laporan kasus
Post on 30-Nov-2015
71 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
DISKUSI KASUS
TINEA INCOGNITO DAN
DERMATITIS KONTAK ALERGI
Oleh:
Ardeshelly Adnan, S.Ked
04104705363
Pembimbing:
DR. Dr. Rusmawardiana, SpKK (K)
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN
RUMAH SAKIT MOH. HOESIN PALEMBANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2012
HALAMAN PENGESAHAN
Diskusi Kasus
TINEA INCOGNITO DAN
DERMATITIS KONTAK ALERGI
Oleh:
Oleh:
Ardeshelly Adnan, S.Ked
Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat guna mengikuti
kepaniteraan klinik senior di Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas
Kedokteran Universitas Sriwijaya Rumah Sakit Dr.Mohammad Hoesin
Palembang periode 21 Mei 2012 – 25 Juni 2012
Palembang, Juni 2012
Pembimbing
DR. Dr. Rusmawardiana, SpKK(K)
DISKUSI KASUS
I. IDENTIFIKASI
Nama : Tn. A
Umur : 36 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Jln.Ki Anwar Mangku no 683
Pendidikan : Tamat S1
Pekerjaan : Guru
Status : Menikah
No.MedRec : 625812
Kunjungan pertama ke poliklinik IKKK RSMH Palembang pada hari Kamis,
31 Mei 2012)
II. ANAMNESIS (Autoanamnesis pada tanggal 31 Mei 2012, pukul 12.00 WIB)
Keluhan Utama: Bercak kemerahan pada lutut kanan sejak 2 bulan lalu
Keluhan Tambahan: Nyeri
Riwayat Perjalanan Penyakit:
Kisaran 2 bulan yang lalu timbul bercak merah pada lutut kanan.
Bercak terasa gatal terutama saat berkeringat. Bercak semakin melebar dan
pasien berobat ke RS AK.Gani. Pasien diberi obat tablet metilprednisolon,
ranitidin, interhistin dan obat salep. Pasien kontrol setiap minggu dan keluhan
gatal berkurang.
Kisaran 1 bulan yang lalu bercak merah semakin melebar dan timbul
bintil-bintil kecil berisi nanah terutama di tepi lesi. Pasien juga mengeluh
nyeri hebat jika bintil pecah. Pasien kontrol ke RS. AK. Gani dan diberikan
obat yang sama tetapi keluhan tidak berkurang. Pasien pernah mencoba
mengobati sendiri dengan daun katepeng dan alkohol tetapi bercak menjadi
semakin merah.
Kisaran 2 pekan yang lalu pasien mengeluh bercak merah semakin
melebar dengan bintil berisi nanah dan nyeri tidak hilang. Pasien kembali
berobat ke RS. AK. Gani dan disarankan untuk berobat langsung ke
Poliklinik IKKK RSMH Palembang.
Riwayat Penyakit Dahulu:
- Riwayat pernah menderita penyakit yang sama sebelumnya disangkal
- Riwayat alergi makanan atau alergi dengan bahan pakaian tertentu
disangkal
- Riwayat batuk lama lebih dari 2 bulan, keringat malam hari dan
penurunan BB disangkal
- Riwayat kontak dengan pasien TB disangkal
Riwayat Penyakit Dalam Keluarga:
- Riwayat penyakit yang sama dalam keluarga disangkal
- Riwayat alergi dalam keluarga disangkal
Riwayat Higienitas:
- Pasien jarang berolahraga dan tidak pernah memakai band knee
- Pasien memakai celana yang sama berulang kali tanpa dicuci
- Pasien tidak memelihara hewan dirumah
- Riwayat berkebun disangkal
Riwayat Sosioekonomi:
Pasien adalah seorang guru sekolah swasta, menikah, istri pasien
adalah seorang ibu rumah tangga dan pasien mempunyai dua orang anak.
Kesan : ekonomi menengah.
III. PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalikus
- Keadaan Umum : tampak sakit ringan
- Kesadaran : kompos mentis
- Tekanan darah : 120/80 mmHg
- Nadi : 84 x/menit
- Pernapasan : 18 x/menit
- Suhu : 36,7oC
- Berat Badan : 60 kg
- Tinggi badan : 162 cm
- IMT : 22,8 kg/m2
- Kesan : Normoweight
Status Spesifik
- Kepala
Mata : konjungtiva palpebra pucat (-/-), sklera ikterik (-/-)
Hidung : tidak ada kelainan
Telinga : tidak ada kelainan
Mulut : tidak ada kelainan
Tenggorokan : tidak ada kelainan
- Leher : tidak ada kelainan, JVP (5-2)cmH2O
- Dada : Jantung : BJ I-II reg, murmur (-), gallop (-)
Paru : vesikuler (+) normal, ronki (-), wheezing (-)
- Perut : datar, lemas, nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak
teraba, bising usus (+) normal
- Ekstremitas atas : tidak ada kelainan
- Ekstremitas bawah : tidak ada kelainan
- Kelenjar getah bening : pada inspeksi dan palpasi tidak ditemukan
pembesaran KGB dan nyeri tekan pada daerah colli, axilla dan inguinal
medial dan lateral
- Kulit : lihat status dermatologikus
Status Dermatologikus
Regio Genu sampai 1/3 Proximal Cruris Dextra:
patch eritem sampai hiperpigmentasi, 2 buah, berbatas tegas, polisiklik,
ukuran 10 x 8 cm dan 8 x 5 cm, pada tepi lesi terdapat papul eritem,
multiple, berbatas tegas, bulat, milier. Lesi sebagian tertutup krusta
berwarna kecoklatan dan skuama halus selapis berwarna putih.
Gambar 1. Regio genu sampai 1/3 proximal cruris dextra
IV. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Pemeriksaan mikroskopik preparat dengan KOH 10% (regio genu dextra)
didapatkan hifa panjang (+).
Gambar 2. Gambaran hifa panjang pada preparat mikroskopik dengan KOH
10% (region genu dextra)
V. RESUME
Tn A, laki-laki, 36 tahun, seorang guru, alamat dalam kota datang ke
poliklinik IKKK RSMH dengan keluhan utama timbul bercak kemerahan
pada lutut kanan disertai nyeri sejak 2 bulan lalu.
Kisaran 2 bulan yang lalu timbul makula eritem di regio genu dextra
disertai pruritus terutama saat berkeringat. Kisaran 1 bulan yang lalu makula
melebar menjadi patch eritem dan timbul pustul multiple terutama pada tepi
lesi yang disertai pruritus jika pustul pecah. Pasien berobat dan diberi obat
tablet metilprednisolon, ranitidin, interhistin dan obat salep dan keluhan tidak
berkurang. Pasien juga mengobati sendiri dengan daun katepeng dan alkohol,
patch semakin eritem. Kisaran 2 pekan yang lalu patch semakin melebar
dengan pustul dan pruritus tidak hilang. Pasien mempunyai kebiasaan
memakai celana yang sama berulang kali tanpa dicuci.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan status generalis dan status spesifik
dalam batas normal. Pada status dermatologikus regio genu sampai 1/3
proximal cruris dextra, patch eritem sampai hiperpigmentasi, 2 buah, berbatas
tegas, polisiklik, ukuran 10 x 8 cm dan 8 x 5 cm, pada tepi lesi terdapat papul
eritem, multiple, berbatas tegas, bulat, milier. Lesi sebagian tertutup krusta
berwarna kecoklatan dan skuama halus selapis berwarna putih. Pada
pemeriksaan laboratorium mikroskopik preparat dengan KOH 10% (regio
genu dextra) didapatkan hifa panjang (+).
VI. DIAGNOSIS BANDING
- Tinea Incognito + Dermatitis Kontak Alergi e.c DD/ Daun Katepeng,
Alkohol
- Tinea Korporis + Dermatitis Kontak Alergi e.c DD/ Daun Katepeng,
Alkohol
- TB Kutis Verukosa
VII. DIAGNOSIS KERJA
- Tinea Incognito + Dermatitis Kontak Alergi e.c DD/ Daun Katepeng,
Alkohol
VIII. PEMERIKSAAN ANJURAN
Pemeriksaan kultur jamur pada media agar Saboraud
Pemeriksaan histopatologi
Pemeriksaan BTA
Tes tempel
Tes tusuk (Prick test)
IX. PENATALAKSANAAN
1. Umum :
- Memberi informasi kepada pasien tentang penyakit yang
diderita adalah akibat infeksi jamur dan kesalahan pengobatan
- Memberi edukasi kepada pasien untuk tetap menjaga
kebersihan diri, menjaga daerah lesi agar tetap kering dan
memakai pakaian yang menyerap keringat
- Menyarankan kepada pasien untuk mengkonsumsi obat secara
teratur dan tidak menghentikan pengobatan tanpa seizin dokter.
- Menyarankan kepada pasien agar tidak memakai obat
sembarangan atau melakukan pengobatan sendiri.
2. Khusus :
- Sistemik : Loratadine tablet 1x100 mg/hari/po (diminum bila gatal)
- Topikal :
Ketokonazol krim 2 % (dioleskan 2 kali sehari pagi dan sore
pada lesi setelah mandi selama 2 minggu).
Kompres terbuka dengan NaCl 0,9% pada lesi
X. PROGNOSIS
- Quo ad vitam : Bonam
- Quo ad functionam : Bonam
- Quo ad sanationam : Dubia ad bonam
DISKUSI
1. Apa manfaat dilakukannya kompres terbuka dan kompres tertutup?
2. Bagaimana penggolongan antimikotik?
3. Bagaimana penggolongan antihistamin?
PEMBAHASAN
1. Obat kompres merupakan salah satu bentuk solusio pada bahan
dasar cairan.
Prinsip pengobatan cairan adalah membersihkan kulit yang sakit
dan debris (pus, krusta dan sebagainya) dan sisa-sisa obat topikal yang
pernah dipakai. Disamping itu terjadi perlunakan dan pecahnya vesikel,
bula dan pustul. Hasil akhir dari pengobatan ini adalah keadaan yang
basah menjadi kering, permukaan menjadi bersih sehingga
mikroorganisme tidak dapat tumbuh dan mulai terjadi proses epitelisasi.
Pengobatan cairan berguna juga untuk menghilangkan gejala,
misalnya rasa gatal, rasa terbakar, parestesi oleh bermacam-macam
dermatosis.
Bahan aktif yang dipakai dalam kompres ialah biasanya bersifat
astringen dan antimikrobial. Astringen mengurangi eksudat akibat
presipitasi protein.
Macam-macam obat kompres adalah :
Solutio Nacl 0,9%
Solutio Povidone-iodine 10%
Tinctura Alcohol 70%
Solutio PK 1/10.000 atau 1/5000
Cara kompres bekerja pada radang akut melalui:
a. Penguapan air akan menarik kalor dari lesi, sehingga terjadi
vasokonstriksi yang mengakibatkan eritem berkurang.
b. Vasokonstriksi memperbaiki permeabilitas vaskuler, sehingga
pengeluaran serum dan udem berkurang.
c. Air melunakkan dan melarutkan krusta pada permukaan kulit,
sehingga mudah terangkat bersama kain kasa. Pembersihan krusta
ini akan mengurangi sarang makanan untuk bakteri dari cairan
yang terperangkap di bawah krusta.
Kompres terbuka (kompres permeabel)
Dasar : Penguapan cairan kompres disusul absorpsi eksudat atau
pus
Indikasi : - dermatitis madidans
- infeksi kulit dengan eritema yang mencolok, misalnya
erisipelas.
- ulkus kotor yang mengandung pus dan krusta
Efek pada kulit : - kulit yang semula eksudatif menjadi kering
- permukaan kering menjadi dingin
- vasokonstriksi
- eritema berkurang
Cara : Kain kasa yang bersifat absorben dan non-iritasi serta
tidak terlalu tebal (3 lapis) dicelupkan ke dalam cairan kompres, diperas,
lalu dibalutkan dan didiamkan, biasanya sehari dua kali selama 3 jam.
Daerah yang dikompres luasnya 1/3 bagian tubuh agar tidak terjadi
pendinginan.
Kompres tertutup (kompres impermeabel)
Dasar : vasodilatasi (bukan penguapan)
Indikasi : kelainan yang dalam, misalnya limfogranuloma venerium.
Cara : digunakan pembalut tebal dan ditutup dengan bahan
impermeabel, misalnya selofan atau plastik
Sumber:
1. Hamzah, M., 2005, Dermatoterapi, dalam Djuanda, A., Hamzah,
M. dan Aisah, S. (eds), Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, 4th ed,
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta: 340 - 350.
2. Hardyanto, 1990, Antijamur Dalam Dermatologi, dalam Ednawati
dan Soedarmadi (eds), Pengobatan Penyakit Kulit dan Kelamin,
Laboratorium Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas
Kedokteran Universitas Gadjah mada, Yogyakarta : 41 – 58.
2. Penggolongan Antimikotik
Golongan Azol
Pada umumnya golongan azol bekerja menghambat biosintesis
ergosterol yang merupakan sterol utama untuk mempertahankan
integritas membran sel jamur. Bekerja dengan cara menginhibisi enzim
sitokrom P 450, C-14-α-demethylase yang bertanggung jawab
merubah lanosterol menjadi ergosterol, hal ini mengakibatkan dinding
sel jamur menjadi permeabel dan terjadi penghancuran jamur.
Ketokonazol Itrakonazol Flukonazol
Indikasi Spektrum luas untuk
dermatomikosis
superfisialis, kandidosis
Blastomikosis,
aspergilosis,
kandedimia,
koksidioidomikosis,
kriptokokosis
kandidiasis mukokutan,
vaginal candidiasis
Mekanisme
kerja
berinteraksi dengan enzim
P-450 untuk menghambat
demetilasi lanosterol
menjadi ergosterol yang
penting untuk membran
jamur
Menghambat enzim
sitokrom P-450
Sama dengan kelompok
azol yang lain.
Namun absorpsi tidak
dipengaruhi oleh makanan
atau kadar asam lambung
Bentuk sediaan Tablet 200 mg Kapsul 100 mg Kapsul 50 mg/ 100 mg
Tablet
50 mg, 100 mg, 150 mg,
dan 200mg
Dosis Dewasa : 200 mg/hr
Anak : 3-6 mg/kgBB/hr
Dewasa : 100 mg/hr
Anak : 3-5
mg/kgBB/hr
Dermatofitosis 150 mg/
mgg
Kandidosis vagina 150 mg
single dose atau 100 mg/hr
selama 5-7 hr
Efek samping gangguan sal cerna, efek
endokrin (ginekomastia,
pe libido, impotensi,
ketidakteraturan
menstruasi)
mual, muntah, kulit
kemerahan,
hipokalemia,
hipertensi, edema
dan sakit kepala
mual, muntah, kulit
kemerahan, teratogenik.
Kontraindikasi tidak boleh diberikan
bersamaan dengan
amfoterisin B, Anoreksia,
mual dan muntah
Penggunaan obat
terfenadin,
cisapride, quinidin,
dan lovastatin
Hipersensitivitas terhadap
flukonazol, azol yang
lain ,atau beberapa
komponen yang terdapat
dalam sediaan; penggunaan
bersamaan dengan cisapride
Golongan Alilamin
Terbinafin merupakan antijamur sintetik golongan alilamin yang dapat
diberikan secara oral. Obat ini terutama bersifat fungisidal dan sangat
aktif melawan dermatofit.
Terbinafin
Indikasi anti jamur yang berspektrum luas. Efektif terhadap dermatofit
yang bersifat fungisidal dan fungistatik
Mekanisme kerja menghambat kerja enzim squalene epoxidase (enzim yang berfungsi sebagai
katalis untuk merubah squalene-2,3 epoxide) pada membran sel jamur
sehingga menghambat sintesis ergosterol (merupakan komponen sterol yang
utama pada membrane plasma sel jamur).
Bentuk sediaan Tablet 250 mg
Dosis Dewasa : 500-1000 mg/hr
Anak : 3-6 mg/kgBB/hr
10-20 kg : 62,5 mg
Efek samping pada gastrointestinal seperti diare, dispepsia, dan nyeri abdomen.
Kontraindikasi Ibu hamil, kelainan hepatoseluler, hipersensitivitas
Golongan antijamur Poliene
Amfoterisin B
Indikasi mikosis sistemik seperti koksidioidomikosis, parakoksidiomikosis,
aspergilosis, kandidiosis, blastomikosis, histoplasmosis.
Mekanisme kerja berikatan dengan ergosterol sehingga mengakibatkan fungsi barier membran
menjadi rusak, hilangnya unsur sel penting, mengganggu metabolism jamur,
serta menimbulkan kerusakan oksidatif terhadap sel jamur.
Bentuk sediaan Injeksi Intravena
Dosis 0,3 – 0,5 mg / kg BB
Efek samping demam dan menggigil, gangguan ginjal, hipotensi, anemia, efek neurologik,
tromboflebitis.
Kontraindikasi Gangguan fungsi ginjal, kehamilan, dan menyusui
Golongan anti jamur lain
Flusitosin Griseofulvin
Indikasi Kandidosis infeksi jamur superficial, baku emas
infeksi dermatofitosis.
Mekanisme kerja Flusitosin masuk ke dalam sel jamur
disebabkan kerja sitosin permease,
kemudian diubah oleh sitosin
deaminase menjadi 5-flourourasil
yang bergabung ke dalam RNA
jamur sehingga mengakibatkan
sintesis protein terganggu.
Flusitosin dapat juga menghambat
thymidylate sinthetase yang
menyebabkan inhibisi sintesis DNA
obat antijamur yang bersifat
fungistatik, berikatan dengan
protein mikrotubular dan menghambat
mitosis sel jamur sehingga tetap dalam
fase metaphase
Bentuk sediaan Tablet tablet berisi mikrokristal 125 mg dan
500 mg, suspensi 125 mg/ml.
Dosis Dewasa : 100 mg/kg BB Dewasa : 500-1000 mg/ hari
Anak : microsize : 10 mg/kgBB/hr
Ultramicrosize : 5,5 mg/kgBB
Efek samping Mual ,muntah dan diare mual, muntah, diare ringan
Kontraindikasi Pasien yang menderita penyakit
porfiria, gangguan sel hati , pasien
yang hipersensitif terhadap
griseofulvin.
penderita yang sedang hamil,
menyusui dan penderita lupus
erythematosus sistemik
Sumber:
1. Kuswadji, Widaty S. Obat anti jamur. Dalam: Budimulja U,
Kuswadji, Bramono K editor. Dermatomikosis superfisialis.
Kelompok Studi Dermatomikosis Indonesia, Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, 2001 : 99-106
2. Jawetz E. Antifungal Agents. In : Katzung BG. Basic & Clinical
Pharmacology, sixth edition, Appleton & Lange, 1995 : 723-29
3. Penggolongan Antihistamin
Antihistamin digolongkan menjadi antihistamin penghambat reseptor H1
(AH1), penghambat reseptor H2 (AH2), penghambat reseptor H3 (AH3).
a. Antagonis Reseptor Histamin 1 ( AH1 )
AH1 bekerja menghambat efek histamin pada pembuluh darah,
bronkus, dan bermacam – macam otot polos. Selain itu AH1
bermanfaat untuk mengobati reaksi hipersensitivitas atau keadaan
lain yang disertai pengelepasan histamin endogen berlebihan.
AH1 dapat pula di kelompokkan menjadi :
AH1 sedatif (klasik), mempunyai efek sedatif kuat dan bersifat anti
kolinergik yang merupakan obat pertama untuk obat alergi akut di
kulit dan urtikaria kronik. Bekerja secara inhibitor kompetitif
dengan histamin pada sel target, misalnya pada reaksi
hipersensitivitas tipe 1 yang fase lambat pada dermatitis atopik.
Pada umumnya AH1 mempunyai efek sedatif kuat yang
diharapkan dapat mengurangi rasa gatal. Contohnya terdiri dari
beberapa golongan, yaitu:
Etanolamin : Difenhidramin, doksilamin, karbinoksamin
Etilendiamin : Tripelanamin, pirilamin, antazolin.
Alkilamin : Klorfeniramin, dekslorfeniramin, dimetidine
Fenotiazin : Prometasin
Piperazin : Homoklorsiklizin, hidroksizin, oksatomid
Piperidin : Siproheptadin
AH1 Non Sedatif (Non klasik), tidak mempunyai efek sedatif,
tidak atau sangat sedikit menembus sawar otak sehingga umumnya
efek samping terhadap susunan saraf pusat minimal. Mempunyai
waktu paruh yang berbeda dengan dosis efektif dan efek
sampingnya bervariasi. Yang termasuk dalam golongan ini antara
lain; asetemizol, terfenadin, akrivastin, loratadin, mekuitazin, dan
setrizin.
b. Antagonis Reseptor Histamin 2 (AH2)
Reseptor histamin 2 ditemukan di sel – sel parietal, kinerjanya
adalah meningkatkan sekresi asam lambung. Dengan demikian
AH2 dapat digunakan untuk mengurangi sekresi asam lambung,
serta dapat pula dimanfaatkan untuk menangani peptic ulcer,
penyakit refluks gastroesofagus. Pada beberapa keadaan AH 2 juga
dapat digunakan dalam bidang dermatologi dimana pemakaian
AH2 dikombinasikan dengan AH 1. Contoh obatnya simetidine,
famotidina, ranitidine, nizatidina, roxatidina, dan lafutidina.
c. Antagonis Reseptor Histamin 3 (AH3)
AH3 merupakan derivate dari AH2, berupa metabolit
(desloratadine dan fexofenadine) dan enansiomer (levocetirizine).
Pencarian AH3 ini dimaksudkan untuk memperoleh profil
antihistamin yang lebih baik dengan efikasi tinggi serta efek
samping yang minimal.
Indikasi Antihistamin
Antihistamin (AH1),digunakan untuk pengobatan berbagai penyakit alergi
1. Rinitis alergi dan rinitis alergik perenial sangat baik reaksinya terhadap
antihistamin. Hampir 70-90% pasien rinitis alergik musiman mengalami
pengurangan gejala (bersin, keluar ingus, sumbatan hidung). Hasil yang
terbaik didapat bilamana antihistamin diberikan sebelum kontak.
Walaupun pada rinitis vasomotor hasilnya kurang memuaskan tetapi efek
antikolinergiknya dapat mengurangi gejala pilek.
2. Pada reaksi anafilaksis akut antihistamin H1 digunakan sebagai terapi
tambahan dari epinefrin yang merupakan obat terpilih. Pada angioedema
berat dengan edema laring, epinefrin merupakan obat terpilih untuk
mengatasi krisis alergi dan memberikan hasil yang paling baik.
3. Pada urtikaria akut sangat bermanfaat untuk mengurangi ruam dan rasa
gatal. Manfaatnya pada urtikaria kronik kurang dan pada keadaan ini AH1
pilihan adalah yang berefek sel rendah dan mempunyai masa kerja
panjang, misal hidroksizin atau AH1 nonsedatif lainnya. Pemberiannya
cukup sekali sehari sehingga meningkatkan kepatuhan. Apabila gejala
belum diatasi dapat dikombinasi dengan AH2, dan kalau perlu ditambah
simpatomimetik.
4. Pada dermatitis kontak, antihistamin oral dapat mengurangi rasa gatal.
Hindari penggunaan antihistamin topikal karena dapat menyebabkan
sensititasi. Antihistamin juga dapat dipakai sebagai terapi tambahan pada
reaksi alergi obat.
5. Pada berbagai dermatosis yang lain seperti Dermatitis Atopik dan
Eritroderma.
Antihistamin 2 (AH2), efektif untuk mengatasi gejala akut tukak
duodenum dan mempercepat pertumbuhannya. Dengan dosis kecil, umumnya
dapat mencegah kambuhnya tukak lambung. Antihistamin 2 (AH2) pada beberapa
keadaan digunakan untuk pengobatan Urtikaria dan Mastositosis, dimana
pemakaian AH2 dikombinasikan dengan AH1. Sedangkan Antihistamin 3 (AH3)
belum jelas peranannya dalam bidang dermatologi.
Efek Samping
Pada setiap antihistamin mempunyai efek samping seperti:
1. Depresi atau stimulasi susunan syaraf pusat
Berupa sedasi bahkan sampai sopor sering menganggu aktifitas sehari –
hari. Efek terhadap susunan saraf pusat yang lain dapat berupa dizzines,
tinnitus, gangguan koordinasi, konsentrasi berkurang dan gangguan
penglihatan.
Stimulasi susunan saraf pusat berupa cemas, irritable, insomnia, dan
tremor.
2. Efek anti kolinergik berupa: retensi urine, disuria, impontensia dan mulut
atau mukosa kering.
3. Hipotensi dapat terjadi pada pemberian antihistamin intravena yang terlalu
cepat.
4. Dermatitis kontak elergi, fotosensitisasi, urtikaria dan petechie di kulit
terutama setelah pemakaian secara topikal.
5. Keracunan akut meliputi halusinasi, respon emosional yang berlebihan
terhadap rangsangan, ataksia, gerakan tak terkoordinasi dan konvulsi.
Kontra indikasi dan Interaksi obat
Kontra indikasi dari antihistamin adalah glaukoma, penyakit hepar,
hipertropi prostat, epilepsi, kehamilan, ibu menyusui dan hipokalemia. Pada
kehamilan muda, setrizin tidak dianjurkan. Untuk pemberian terfenadin,
astemizol, dan loratadin harus digunakan dengan sangat hati – hati.
Antihistamin sering berinteraksi dengan beberapa obat, misalnya simetidin
dapat meningkatkan kadar teofilin dan fenitoin dalam darah. Antihistamin juga
berinteraksi dengan obat antikolinergik, golongan azol, makrolid.
Sumber:
1. Dewoto Hedi R. Histamin dan Antihistamin dalam Farmakologi Dan Terapi,
Edisi 5. Jakarta : Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI. 2007.
Hal :273-287
2. Katzung B, Julius D. Ed. Sjabana D, Raharjo, Sastrowardoyo W, dkk.
Histamin, Serotonin, dan Alkaloida Ergot dalam Farmakologi Dasar dan
Klinik, Buku I, Edisi VI. Jakarta: Salemba Medika. 2001. Hal: 467-487
top related