laporan buku kelompok prof azis
Post on 28-Jun-2015
242 Views
Preview:
TRANSCRIPT
Laporan Buku KelompokOleh : Sawaludin, Irwan Efendi, Patoni
JUDUL BUKU : Hukum Kewarganegaraan dan HAM (Bagaimana SBKRI menurut UU No. 12 Tahun 2006)
PENULIS : Siahaan, N.H.T, SubihartaPENERBIT : Pancuran Alam dan PK2HETAHUN : 2007JUMLAH BAB : 6 BabTEBAL : X, 141 hlm
BAB I
PENDAHULUAN
Memandang HAM memang tidak akan utuh jika hanya dipahami secara utuh jika
hanya dipahami secara inkremental, atau tidak secara komprenhensip, karena HAM
hendaknya dipahami sebagai berpasangan denga kewajiban. HAM dibingkaikan dalam
kerangka hukum, demikian pula hal yang sama kewajiban dibingkaikan pula dalam
kerangka hukum. Dalam aspek bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sejauh manapun
tingginya nilai-nilai HAM nya maka kerangka hukum dan politik dalam konteks
bermasyarakat dan bernegara selalu berada dalam condito sine qua non.
HAM yang baik dan benar jika ia dilihat dalam totalitas hak dan kewajiban yang
seimbang, dan tidak berat sebelah. Segala sesuatunya dirajut dengan aturan-aturan hukum
yang mengatur dan menata hak-hak, kewenangnan, tugas, kewajiban dan tanggung jawab.
Seseorang warga negara warga negara tidak hanya cukup menuntut pemenuhan HAM nya
secara baik, sementara kewajiban dan tanggung jawabnya tidak dijalankan secara baik
pula. Sebaliknya pun bisa terjadi bilamana pemenuhan HAM diabaikan, atau dikondisikan
tidak baik, bahkan dirusak, maka kewajiban dan tanggung jawabnya sebagai manusia,
warga negara dan terutama dalam proporsi bermasyarakat, berbangsa dan bernegara tidak
akan kontributif.
Demikianlah dalam pemahaman kita, bahwa aspek HAM dalam setiap warga negara
Indonesia, hendaknya diporsikan dalam kerangka hukum sebagai bingkai dan pilar penting
dalam elemen-elemen berbangsa dan bernegara. Tetapi patut dipahami pula bahwa bingkai
dan pilar-pilar hukum hendaknya dengan landasan-landasan yang adil, beradab atau tidak
diskriminatif tidak lebih mengutamakan yang satu dengan lainya, atau membelangkangkan
Hukum Kewarganegaraan dan HAM (Bagaimana SBKRI menurut UU No. 12 Tahun 2006)
1
Laporan Buku KelompokOleh : Sawaludin, Irwan Efendi, Patoni
yang lainya, hanya karena perbedaan yang bersifat suku, ras, agama, keyakinan, golongan
dan sebagainya.
Bertolak dari situ maka jika memang SBKRI (Surat Bukti Kewarganegaraan
Republik Indonesia) dipandang sebagai suatu wujud yang bersifat membatasi ruang gerak
dan kebebasan kalangan warga negara indonesia dari keturunan asing, tentu kita harus
segera gentleman mengakui bahwa kebijakan seperti ini sangat mendistorsi nilai-nilai
HAM yang kita junjung, dan selanjutnya mendistorsi nilai-nilai konstitusi (UUD 1945)
pula.
Jadi dimensi hukum, politik dan pemerintahan yang berlandaskan pada nilai ke-
pancasilaan harus konsekwen menolak diskriminasi dengan segala wujudnya
Hukum Kewarganegaraan dan HAM (Bagaimana SBKRI menurut UU No. 12 Tahun 2006)
2
Laporan Buku KelompokOleh : Sawaludin, Irwan Efendi, Patoni
BAB II
PEMBAHASAN
A. Rumusan Isi Pokok Pemikiran Penulis Buku
Sistematika laporan buku ini diawali dengan mengkaji secara umum isi buku yang
akan dilaporkan, Buku ini terdiri dari 6 Bab, yang memuat Materi Hukum
Kewarganegaraan dan HAM yang terkait bagaimana SBKRI menurut Undang-Undang No
12 Tahun 2006. Berikut ini kami rumuskan isi pokok pemikiran penulis dari bab ke bab.
1. Otonomi Daereh Dalam Perspektif Negara Kesatuan
Dalam proses politik sepanjang masa, seperti bangsa-bangsa lain didunia, negara
kesatuan republik indonesia juga dihadapkan kepada lima masalah besar (great issues)
sebagaimana diihtisarkan oleh Lislie Lipton dalam The Great Issues of Politics An
Introduction to Political Science, yang salah satu diantaranya adalah the Structure of
authorithy? Should power be concentrated or dispresed? Masalah ini berkaitan
langsung dengan masalah pemilihan (penentuan) antara centralization atau local
autonomy. Apabila pilihan jatuh pada local autonomy, maka pemerintah pusat harus
melaksanakan desentralisasi, atau dengan kata lain, bahwa desentralisasi merupakan
konsekuensi yang harus dilaksanakan oleh pemerintah pusat sebagai pilihan pada local
autonomy.
Pasal 1 Ayat (1) Undang-undang Dasar 1945 menyatakan Negara Indonesia ialah
Negara Kesatuan yang berbentuk Republik, Pada hakekatnya merupakan cermin dari
perumusan gagasan negara kesatuan sebagai suatu ketentuan Hukum. Selanjutnya
dalam penjelasannya diterangkan. Negara melindungi segenap bangsa indonesia dan
seluruh tumpah dara indonesia dengan berdasarkan atas persatuan dengan
mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Negara menurut
pengertian ini menghendaki persatuan meliputi segenap bangsa indonesia seliruhnya.
Berkenaan dengan pemerintah daerah telah diatur pada pasal 18 Undang-Undang
dasar 1945 yang berbunyi:
“Pembagian daerah indonesia atas daerah besar dan kecil dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan Undang-undang dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak-hak asal usul dalam daerah-daerah yang lebih kecil.”
Hukum Kewarganegaraan dan HAM (Bagaimana SBKRI menurut UU No. 12 Tahun 2006)
3
Laporan Buku KelompokOleh : Sawaludin, Irwan Efendi, Patoni
Dari ketentuan pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 Beserta penjelasanya, dapat
ditarik kesimpulan:
1. Wilayah indonesia dibagai kedalam daerah-daerah (propinsi dan derah lebih kecil
lagi). Baik yang bersifat otonom maupun yang bersifat administratif.
2. Daerah tersebut mempunyai pemerintahan, tetapi tidak bersifat staat.
3. Pembagian wilayah maupun susunan pemerintahan daerah ditetapkan dengan
undang-undang.
4. Didaerah otonom dibentuk badan perwakilan daerah sesuai dengan dasar
permusyawaratan dalam sistem pemerintah Negara.
Dapatlah dikatakan, Republik Indonesia adalah negara kesatuan yang di
desentralisasikan, meskipun terdapat asas, bahwa segenap urusan-urusan negara tidak
berarti dibagi antar pemerintah pusat sedemikian rupa, sehingga urusan-urusan negara
dalam negara kesatuan tetap merupakan suatu kebulatan (eenheid), dan bahwa
pemegang kekuasaan tertinggi adalah pemerintah pusat.
Pada intinya terdapat dua hal mendasar yang ingin dicapai dari pilihan
desentralisasi (Otonomi daerah).
1. Agar tercapainya efektifitas pemerintahan (doelmatigheid van het bestuur).
Wilayah negara terdiri dari berbagai satuan daerah yang masing-masing memiliki
sifat khusus tersendiri akibat perbedaan faktor geografis, adat istiadat, kehidupan
ekonomi, dialek (bahasa), tingkat pendidikan masyarakat dan lain-lain.
2. Agar terlaksananya demokrasi secara bottom up (grassroots democracy)
Negara yang menganut demokrasi, rakyat diberi kesempatan seluas-luasnya untuk
ikut serta dalam penyelenggaraan pemerintahan, sebagai landasan filosofis dari
demokrasi sendiri adalah goverment of the people and for the people.
Meskipun tujuan dasar otonomi daerah sangat strategis, tetapi selama 25 tahun
pelaksanaan UUD No. 5 Tahun 1974, sebenarnya tidak lebih dari membungkus
sentralisasi dengan pola hubungan pemerintah pusat dengan daerah melalui apa yang
disebut dekonsentrasi.
Pola demikian telah menafsirkan aspirasi masyarakat, memperlemah proses
demokratisasi, cenderung tidak transparan dan jauh dari sense of public
accountability. Denag kata lain, pelaksanaan pola pemerintahan daerah menurut UUD
Hukum Kewarganegaraan dan HAM (Bagaimana SBKRI menurut UU No. 12 Tahun 2006)
4
Laporan Buku KelompokOleh : Sawaludin, Irwan Efendi, Patoni
No. 5 Tahun 1974 dianggap telah gagal, karena pendekatan yang digunakan adalah
sentralisrtik, menumbuhkan inefisiensi administrasi dan korupsi, serta tidak mampu
mengantisipasi arus globalisasi dunia yang terjadi terutama dalam bidang ekonomi
dan keuangan.
Memahami kegagalan, sebagai bangsa yang berupaya untuk cerdas, maka pola
hubungan pusat dan daerah yang peternalistik dan sentralistik diubah menjadi pola
hubungan yang bersifat kemitraan dan desentralistik, sebagaimana tertuang dalam
Undang-undang No. 22 tahun 1999 dan UUD No. 25 tahun 1999. Yang memberikan
otonomi yang luas kepada daerah khususnya Kabupaten/Kota.
Meskipun demikian, ketika masih disosialisasikan dan bahkan ketika sudah
dilaksanakan, otonomi daerah atas Undang-undang No. 22 Tahun 1999, yang telah
menimbulkan kesimpangsiuran pemahaman, ditafsirkan berbeda-beda, yang lebih
mengedepankan argumentasi politik ketimbang argumentasi bersifat keilmuan. Hal ini
jelas telah melahirkan stigmasi kurang menguntungkan, antara lain.
a. Otonomi dikaitkan semata-mata hanya dengan uang sehinga derah dianggap
belum mampu.
b. Melalui otonomi daerah, pemerintah pusat akan melepaskan tanggungjawabnya
untuk membantu dan membina daerah.
c. Dengan otonomi maka derah dapat bebas melakukan apa saja.
d. Dengan otonomi akan melahirkan raja-raja kecil, memindahkan korupsi kedaerah
dan dapat menimbulkan disintegrasi bangsa.
Ketika Undang-undang No. 22 dan 25 Tahun 1999 digulirkan, seiring nuansa
euphoria reformasi saat itu, harus diakui, tiba-tiba banyak daerah Kabupaten/Kota
yang merasa kaget, berkembang perdebatan serta presepsi yang berbeda-beda.
Sebagian diliputi ptimisme, tetapi sebagian lagi merasakan pesimis terhadap misi yang
di emban oleh Undang-undang tersebut.
Melalui kewenangan yang diberikan, sebagian daerah menganggap otonomi
sebagai sebuah peluang dalam menangkap berbagai kesempatan menata kehidupan
yang lebih baik, terlebih dalam menghadapi daerah globalisasi dan demokratisasi.
Namun demikian, tersapat juga yang bersifat pesimistis terhadap implementasi
Undang-undang No. 22 Tahun 1999, antara lain. Pertama, meskipun dengan mision
yang sangat kuat melalui pemberian kewenangan yang luas kepada masyarakat
Hukum Kewarganegaraan dan HAM (Bagaimana SBKRI menurut UU No. 12 Tahun 2006)
5
Laporan Buku KelompokOleh : Sawaludin, Irwan Efendi, Patoni
daerah, emerintah pusat yang telah memiliki hagemoni kekuasaan dengan berbagai
atribut, masih terkesan setengah hati untuk melaksanakan otonomi daerah. Hal ini
tercermin dari masih terjadinya tarik ulur mengenai kewenangan-kewenagnan mana
yang pantas dan tidak pantas untuk diberukan kepada daerah. Kedua, sebagai daerah
belum siap untuk berotonomi, karena merasa kurang memiliki dukungan sumberdaya
keuangan. Ketiga, belum adanya kepastian yang berkaitan dengan kebijakan-
kebijakan pendukung pelaksanaanya.
2. Prinsip-Prinsip Ham dan Kebijakan SBKRI
Belakangan ini, isu hak Asasi manusia (HAM) begitu gencar dipersoalkan
dimana-mana, baik ditingkat internasional, regional maupun nasional. Dari isu-isu
yang tercuat, muncul suatu sistem nilai bahwa negara yang tidak menghormati dan
melaksanakan penerapan nilai-nilai HAM, berarti belum menjunjung asas-asas
keberradaban masa kini. Mungkin dapat diartikan bahwa negara pelanggar HAM
adalah bangsa tidak beradab. Pada hematnya dikatakan demikian, karena sesuai
penjelasan dari UU No. 27 Tahun 1999 tentang ratifikasi konvensi internasional
tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi rasial 1965 menyatakan.
“Oleh karena diskriminasi rasial menjadi musuh, baik bagi masyarakat luas
maupun internasional, maka harus dihapuskan dari peradaban umat manusia “.
Mengartikan hak-hak asasi manusia (HAM) sebenarnya sangat sulit dirumuskan.
Mengingat apakah semua hak yang dipunyai setiap orang dapat disebut HAM. Apakah
masing-masing pemilik hak yang berlainan tidak akan kolitif (tabrakan kepentingan),
dan sampai berapa jauh hak-hak itu dapat didukung atau direalisasikan, dan juga
dimana hak-hak harus berhenti. Membuat kesimpulan, yang mencakup seluruh hal-hal
diatas dalam suatu pengertian, amatlah sulit. Namun Undang-undang No.39 Tahun
1999 tentang hak asasi manusia (UUHAM) memberikan devinisi, kendati sebenarnya
masih belum mudah dicerna dan dipahami.
“Seperangkat hak yang melekat pada hakekat dan keberadaan manusia sebagai mahluk Than Yang Maha Esa dan merupakan anugrah-nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia “. (Pasal 1 ayat 1 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM).
Hukum Kewarganegaraan dan HAM (Bagaimana SBKRI menurut UU No. 12 Tahun 2006)
6
Laporan Buku KelompokOleh : Sawaludin, Irwan Efendi, Patoni
Undang-undang HAM dalam devinisi diatas, dalam kenyataannya tidak dapat
mengkaitkan semua hal itu, dan sebaiknya batasan-batasan demikian harus
ternuansa/tercakup dalam suatu definisi, apalagi telah menjadi terminologi yuridis.
Pengingkaran dan kesewenangan-wenangan atas HAM dapat disebut sebagai telah
melanggar HAM.
Hukum yang mengatur hak-hak asasi manusia pada dasarnya bertumbuh dan
bersumber dari proses atau interaksi internasional. Nilai-nilai dan konsep hak asasi
manusia yang tumbuh diberbagai negeri di dunia, yang kemudian diterima oleh
berbagai bangsa dikembangkan, dirumuskan dan dijadikan sebagai pedoman universal
oleh masyarakat dunia untuk melindungi setiap orang/kelompok dengan segala hak-
hak dasar kemanusiaan yang melekat padanya.
Perkembangan demi perkembangan terjadi secara internasional, dari suatu
dimensi umum hak-hak yang dilindungi, hingga berbagai dimensi yang lebih khusus.
Sehingga, dimensi hukum internasional mengenai Ham berkembang kini seperti untuk
diskriminasi rasial, genocide, diskriminasi gender, hak-hak anak, hak-hak pekerja, dan
lain lain.
Undang-undang yang secara khusus mengatur HAM seperti UU No. 39 Tahun
1999. Tetapi dalam berbagai pengaturan bidang lain, aspek HAM juga dimasukan,
contohnya didalam KUHAP, didalam hukum ketenagakerjaan, didalam hukum
sumber daya alam, dll. Kemajuan HAM didunia diikuti di indonesia, dan konvensi-
konvensi internasional diadopsi kedalam hukum nasional melalui ratifikasi. Terakhir
dibentuknya sebuah institusi pengadilan HAM.
Tetapi hal yang terpenting dari semua ini ialah implementasi atau pelaksanaan
pengaturan HAM itu sendiri, bagaimana hukum HAM berjalan dalam proses
pelaksanaan yang konsekkuen.
Berikut beberapa produk Hukum HAM, baik dalam level Internasional dan
Nasional.
a. Internasional.
1) Deklarasi Hak Asasi Manusia (1948)
2) Piagam PBB (1945)
3) Konvenan Internasional tentang Hak-Hak ekonomi sosial budaya (1966)
4) Konvensi tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi rasial (1966)
Hukum Kewarganegaraan dan HAM (Bagaimana SBKRI menurut UU No. 12 Tahun 2006)
7
Laporan Buku KelompokOleh : Sawaludin, Irwan Efendi, Patoni
5) Konvensi menentang penyiksaan dan perlakuan hukuman kejam, tidak
manusiawi dan merendahkan martabat manusia (1948)
6) Konvensi pencegahan dan penghukuman kejahatan Genocide.
7) Konvensi tentang Hak-Hak anak (1989)
8) Code of Conduct for Law Enforcement officials (1979)
b. Nasional
1) UUD 1945 dan perubahannya.
2) TAP, MPR RI No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia.
3) UU No. 14 Tahun 1970 tentang Pokok Kekuasaan Kehakiman yang diubah oleh
UU No.35 Tahun 1999.
4) UU No.8 tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana.
5) UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka
umum.
6) UU No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
7) UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengedalan Hak Asasi Manusia
Untuk melihat ada tidaknya pelanggaran HAM didalam masalah SBKRI, perlu
dilihat dari sudut indikatornya. Indikator HAM dapat diartikan sebagai sebuah
informasi yang digunakan untuk mengukur sejauh mana sebuah hak secara hukum
dipenuhi atau dinikmati dalam situasi tertentu (Audrey R. Chapman, sebagimana
diambil dari Maria Green; What We Talk About Indicator: Current Approaches to
Human Rights Measurement, 1999). Indikator dapat didasarkan pada informasi
kuantitatif maupun kualitatif dan dapat menilai input maupun output. Indikator perlu
dibedakan dengan Benchmark, jika indikator mengukur observasi atau pemuasan
HAM dalam kondisi mutlak, maka benchmarks umumnya mengacu kepada target
yang ditetapkan oleh pemerintahan tertentu dalam kaitanya dengan hak-hak ekonomi,
sosial dan budaya.
Dikatakan bahwa indikator merupakan sebuah alat untuk membuat kebijakan-
kebijakan dan perkembangan pemantauan yang lebih baik serta menindentifikasi
dampak-dampak yang tidak diharapkan dari undang-undang, kebijakan-kebijakan dan
pelaksanaanya.
Dalam pelayanan berbagai kepentingan administaratif warga negara, pemerintah
daerah masih saja mensyaratkan adanya SBKRI, Pemda DKI misalnya dalam rangka
Hukum Kewarganegaraan dan HAM (Bagaimana SBKRI menurut UU No. 12 Tahun 2006)
8
Laporan Buku KelompokOleh : Sawaludin, Irwan Efendi, Patoni
pembuatan kartu keluarga bagi warganya, mensyaratkan SBKRI, bagi WNI dan surat
kependudukan dan catatan sipil Pemda DKI dalam pencatatan perkawinan, juga
mensyaratkan SBKRI. Dinas kependudukan kota medan, dalam persyaratan
memperoleh akte lahir, harus melengkapi syarat dengan SKBRI bagi WNI keturunan,
hal sama pula pada pemkot/catatan sipil kota pontianak, mensyaratkan SBKRI dan
ganti nama bagi WNI keturunan.
Implementasinya dari SBKRI ialah kepres No. 56 Tahun 1996 ini secara baik,
instruksi lainya yaitu Kepres No 4 Tahun 1999 tentang pelaksanaan bukti
Kewarganegaraan RI. Intruksi presiden atau Inpres ini di tujukan kepada para mentri,
para pimpinan lembaga pemerintah non departemen (LPND), hingga kepada gubernur
dan bupati/Walikota seluruh indonesia menegaskan kembali bahwa dengan keluarnya
Kepres No. 56 Tahun 1996, semua peraturan perundangan yang mensyaratkan
SBKRI untuk berbagai urusan kepentingan, dinyatakan tidak berlaku lagi, maka bagi
warga negara RI yang telah memiliki KTP, kartu keluarga, atau kelahiran, tentang
pelaksananaan bukti kewarganegaraan RI, cukuplah dengan menggunakan KTP, kartu
keluarga atau akte kelahiran tersebut (butir 3 Inpres No 4 Tahun 1999).
Tampaknya dalam masalah SBKRI ini diperlukan sebuah undang-undang,
mungkin juga dengan membuat UU baru mengenai kewarganegaraan indonesia. UU
ini misalnya dapat memuat secara tegas dan jelas bahwa syrat bukti kewarganegaraan
tidak perlu menjadi keharusan bagi pelayanan administrasi tertentu Wni, jikalau ia
sudah melampirkan surat bukti kewarganegaraan ayah/ibu atau orang tuanya, yakni
keputusan presiden tentang pewarganegaraan orang tuanya.
Dalam hal belum tersosialisasinya produk hukum itu ketingkat bawah, dapat
diatasai dengan membuat surat edaran atau petunjuk oleh aparatur-aparatur tingkat
pusat, dengan tentunya disertai sanksi administratif bagi aparaturnya yang tidak
melaksanakan dilapangan.
Alasan kepentingan administratif juga tidak menjadi dasar untuk tidak
melaksanakan hukum, sementara rekayasa birokrasi demi pemasukan uang melalui
keharusan SBKRI, dengan mudah dapat dikikis jika ada kemauan melaksanakanya.
Hukum Kewarganegaraan dan HAM (Bagaimana SBKRI menurut UU No. 12 Tahun 2006)
9
Laporan Buku KelompokOleh : Sawaludin, Irwan Efendi, Patoni
3. Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia, Sejarah dan Masalahnya
Dalam Praktek.
Berbicara mengenai SBKRI tidak terlepas dari permasalahan kewarganegaraan.
Kewarganegaraan merupakan identitas seseorang yang diperoleh dari adanya
kepastian hukum dari negara dimana orang itu berasal. Oleh karena itu,
kewarganegaraan seseorang sangat penting karena berkaitan dengan hak-hak dan
kewajibannya terhadap negara dimana diperoleh kewarganegaraanya tersebut.
Pemikiran kewarganegaraan berpijak pada arti warga negara. Warga negara
adalah anggota negara. Warga negara secara kolektif merupakan salah satu fundamen
penting keberadaan suatu negara. Warga negara adalah suatu syarat yang harus
dipenuhi yntuk berdirinya suatu negara yang merdeka dan berdaulat, disamping syarat
lainya ialah adanya suatu wilayah yang tertentu dan pemerintah yang berdaulat.
Secara politis warga negara adalah unsur penting dari suatu negara yang patut
mendapatkan kepastian dan jaminan hukum yang layak dari negara.
Istilah warga negara merupakan terjemahan dari belanda, yakni Staatsburger.
Menurut Koerniatmanto Soetoprawiro yang dimaksud warga negara adalah anggota
negara sehingga sebagai anggota negara ia mempunyai hubungan hak dan kewajiban
yang bersifat timbal balik terhadap negaranya.
Pentingnya status warga negara seseorang erat kaitannya dengan keberadaan
yang meliputi hak dan kewajiban. Dalam suatu negara terdapat 2(dua) jenis penduduk,
yaitu warga negara dan bukan warga negara.
Dalam pembatasan antara pengertian warga negara dengan orang asing dapat
dilihat dari adanya berbagai hak yang disediakan khusus warga negaranya. Hak-hak
ini termasuk dalam lingkungan hak-hak politik, hak-hak sipil, hak-hak sosial dan hak
ekonomi dan budaya.
Pengaturan mengenai warga negara dapat dilihat dari Undang-undang
kewarganegaraan. Undang-undang No. 3 Tahun 1946 tentang warga negara dan
penduduk Negara Indonesia. (UU No.3/1946) pasal 1 UU No.3?146 Menyatakan
bahwa Warga negara Indonesia ialah.
a. Orang yang asli dalam daerah negara indonesia
Hukum Kewarganegaraan dan HAM (Bagaimana SBKRI menurut UU No. 12 Tahun 2006)
10
Laporan Buku KelompokOleh : Sawaludin, Irwan Efendi, Patoni
b. Orang yang tidak dalam golongan tersebut diatas, akan tetapi keturunan dari
seseorang dari golongan itu lahir dan bertempat kedudukan dan kediaman
didalam daerah negara indonesia....”
Melihat peraturan tersebut, jelas UU No. 3/1946 menganut asas ius soli, artinya
kewarganegaraan seseorang ditentukan dari negara dimana ia dilahirkan, atau setiap
orang yang dilahirkan di Indonesia otomatis menjadi warga negar Indonesia.
Namun setelah jatuhnya soekarno dan digantikan soeharto, segala sesuatu yang
sudah mulai dirintis berkaitan dengan peranan etnis tionghoa dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara mulai dikengkang.
Entah apa yang melatarbelakangi pemerintah orde baru sehingga diawal
kepemimpinan soeharto dikeluarkan kebijakansanaan yang menyangkut
kewarganegaraan indonesia keturunan asing yang sifatnya menekan etnis Tionghoa
indonesia yaitu dengan Kepres No. 240 Tahun 1967 yang kemudia dilanjutkan dengan
kebijakan-kebijakan baru yang lebih diskriminatif terhadap warga negara indonesia
etnis Tionghoa. Salah satunya adalah SBKRI.
Dalam Permenkeh No. 3/4/12 Tahun 1978 tersebut ditetapkan bahwa setiap warga
Negara Republik Indonesia harus mengajukan permohonan SBKRI kepada Mentri
Kehakiman khususnya bagi mereka yang keturunan asing, yang sudah menjadi warga
negara indonesia dan telah dewasa, namun saat itu tidak memiliki bukti
kewarganegaraan, dengan demikian SBKRI dimaksudkan untuk naturalisasi warga
negara asing menjadi warga negara indonesia.
Jika ditilik dari sejarah politik dan kewarganegaraan etnis tionghoa di Indonesia
pada masa sebelum kemerdekaan RI, masa kepemimpinan Soekarno dan masa
kepemimpina Soeharto, tampak jelas sekali perbedaan yang mencolok, warga negara
republik indonesia dari etnis tionghoa telah mendapatkan penekanan-penekanan yang
sangat tidak manusiawi di bawah kepemimpinan Soeharto pada masa orde baru.
Jika dilihat dari perspektif hukum Undang-undang kewarganegaraan, tentunya
sangat jelas sekali terlihat masi adanya perlindungan hukum yang diberikan kepada
warga negara indonesia dari etnis tionghoa pada masa itu. Namun permasalahan
timbul pada masa pemerintahan soeharto. Yaitu dikeluarkanya Permenkeh No. JB
3/4/12 Tahun 1978 jo. SK bersama Menkeh dan Mendagri.
Hukum Kewarganegaraan dan HAM (Bagaimana SBKRI menurut UU No. 12 Tahun 2006)
11
Laporan Buku KelompokOleh : Sawaludin, Irwan Efendi, Patoni
Yang lebih disayangkan adalah bahwa dalam prakteknya kebijakan SBKRI
tersebut telah ditafsirkan dan diberlakukanya hanya untuk warga negara indonesia
keturunan Tionghoa saja. Perlu disadari bahwa apabila pemerinyahan orde baru saat
itu memiliki pemahaman dan pengertian yang benar akan arti kewarganegaraan, maka
tentu tidak akan muncul masalah mengenai SBKRI yang pada prakteknya hanya
ditujukan kepada warga negara indonesia dari etnis Tionghoa. Dengan kata lain
SBKRI adalah bentuk lain dari apartheid (segregation) atau state sponsored racial
discrimination, yang diekspresikan melalui perangkat hukum kebiasaan.
Angin segar dihembuskan ketika kebijakan mengenai SBKRI ditiadakan melelui
kepres No. 56 tahun 1996 tentang surat bukti Kewarganegaraan republik indonesia jo.
INMENDAGRI No.25 Thun 1996 tentang SBKRI jo. Surat Edaran MENDAGRI
No.471.2/1265/SJ tanggal 18 juni 2002 perihal SBKRI jo Inpres No. 4 Tahun 1999
tentang pelaksanaan Bukti Kewarganegaraan RI Jo. Inpres No.26 Tahun 1998 Tentang
intruksi agar semua institusi pemerintah memberikan layanan yang sama. Serta Surat
Edaran Direktorat Penelitian dan pengaturan Perbankan N0. 6 Tanggal 11 Juni 2004
Tentang SBKRI dalam Dokumen Perbankan.
Namun demikian, bukan pekerjaan mudah bagi pemerintah era reformasi saat ini
untuk memprkokoh integritas bangsa indonesia dan menegakan demokrasi dan hak
asasi manusia. Walaupun pemerintah telah mengeluarkan berbagai kebijakan untuk
mencabut kebijakan-kebijakan yang diskriminatif terhadap etnis Tionghoa di
indonesia, namun kenyataan dilapangan masi menunjukan perlakuan-perlakuan
diskriminatif terhadap etnis Tionghoa, contoh permasalahan yang masih sering
dijumpai seperti masih diisaratkan SBKRI dalam pembuatan KTP dan Paspor.
Hal ini jelas karena sampai dengan saat ini masih berlaku beberapa peraturan
peraturan yang bersifat diskriminatif yang belum dicabut/dihapuskan oleh pemerintah,
salah satunya yang berkaitan dengan kewarganegaraan atau masalah kependudukan
adalah peraturan mengenai catatan sipil yang dibuat pada zaman belanda, yaitu
staatsblad 1849-25 Tahun 1849 tentang catatn sipil untuk golongan timur Tionghoa,
golongan indonesia Asli Beragama Islam, dan staatbslad 1933-75 tahun 1933 tentang
catatan sipil untuk golongan indonesia asli beragam kristen. Peraturan tersebut masih
berlaku dan dipergunakan oleh kantor catatan sipil diseluruh indonesia sampai saat ini,
khususnya dalam pembuatan akta lahir, akta kawin, akta cerai dan kematian. Padahal
Hukum Kewarganegaraan dan HAM (Bagaimana SBKRI menurut UU No. 12 Tahun 2006)
12
Laporan Buku KelompokOleh : Sawaludin, Irwan Efendi, Patoni
peraturan tersebut cenderung diskriminatif dan sengaja dibuat oleh pemerintah hindia
belanda untuk menjalankan praktek devide et impera, sehingga jelas adanya peraturan-
peraturan tersebut telah melahirkan diskriminatif kependudukan dalam pelayanan
catatan sipil.
Sebagai negara hukum, indonesia harus menghormati hak asasi manusia, baik
dalam bidang politik, budaya, ekonomi,sosial , hukum dan kependudukan. Berbicara
mengenai hak asasi manusia, tentu kita harus mengerti apa yang dimaksud dengan hak
asasi manusia itu. Hak asasi manusia merupakan hak yang menjadi bagian inti dari
kodrat manusia dan terdapat pada setiap peradaban manusia yang tidak dapat
dikurangi maknanya (non-drogable rights). Hak tersebut antara lain meliputi hak atas
hak milik (right to property), hak atas kehidupan (right to life) dan hak atas kebebasan
(right to liberty).
4. Kebijakan Pemerintah dalam Penghapusan Diskriminasi di Indonesia
Bab ini ditulis oleh Dr. Ramly Hutabarat, SH. M.Hum yang studi kasusnya
tentang Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI). Bab ini
mendeskripsikan beberapa hal diantaranya tentang bagaimana mengedepankan etos
kebangsaan dan hukum, konsep penghapusan diskriminasi, bukti kewarganegaraan
dan kebijakan penghapusan dikriminasi dalam perspektif SBKRI.
a. Mengedepankan Etos Kebangsaan dan Hukum
Masyarakat keturunan yang berada dan bertempat tinggal di Indonesia adalah
bagian dari masyarakat indonesia secara keseluruhan. Merekapun merupakan
masyarakat hukum Indonesia juga sebagaimana warga negara lain. Oleh karena itu
kedudukan hukum mereka adalah sama dengan kedudukan masayarakat Indonesia
lainnya.
Secara konstitusional dalam pasal 27 ayat (1) UUD 1945 telah ditentukan
kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan serta wajib mematuhi hukum dan
pemerintahan itu. Baik etnis Tionghoa maupun etnis lainnya adalah sama
kedudukannya sebagai warganegara.
Dengan kenyataan tersebut adalah tugas kita bersama untuk memahami dan
mewujudkan kesatauan bangsa menuju masyarakat Indonesia baru. Satu hal yang
patut diperhatikan bahwa usaha mwujudkan kesatuan bangsa adalah suatu proses
Hukum Kewarganegaraan dan HAM (Bagaimana SBKRI menurut UU No. 12 Tahun 2006)
13
Laporan Buku KelompokOleh : Sawaludin, Irwan Efendi, Patoni
dimana setiap warga negara Indonesia terlibat di dalamnya, baik sebagai subyek atau
sekaligus sebagai obyek yang menentukan peranan selanjutnya di dalam masyarakat.
Keberadaan WNI keturunan di Indonesia adalah bagian dari asset umum bangsa
Indonesia. Hal inilah yang perlu ditingkatkan peranannya dalam rangka membangun
bangsa dan negara menuju Indonesia baru. Policy (kebijakan) pemerintah terhadap
keturunan etnis Tionghoa, didasarkan kepada pandangan bahwa semua warga negara
adalah sama haknya secara kultural, ekonomi dan hukum.
Oeh karena itu pada tempatnyalah meningkatkan peran serta didalam
pembengunan bangsa dan negara menurut kemampuan dan bidang yang ditekuni
sehari-hari. Dengan peran serta keturunan etnis Tionghoa, akan mengharumkan citra
keturunan etnis Tionghoa dan otomatis akan membantu semakin bergairahnya
pelaksaan pembangunan bangsa dan negara.
b. Konsep Penghapusan Diskriminasi
Dalam rangka Penghapusan diskriminasi di Indonesia, pemerintah telah
meratifikasi konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadapa perempuan
melalui Undang-Undang no 7 Tahun 1984. Dalam pasal 3 konvensi yang telah
diratifikasi ini menyebutkan agar negara peserta membuat Undang-Undang yang
menjamin pelaksanaan dan penikmatan hak-hak asasi manusia. Salah satu Undang-
Undang yang telah dibuat untuk mengatur dan melindungi hak asasi manusia adalah
Undang-Undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Dari tahun 1958 hingga sekarang sudah ada 6 instrumen internsional HAM yang
sudah diratifikasi oleh pemerintah republik Indonesia, yaitu:
a. Konvensi hak-hak politik kaum wanita (UU No. 68 Tahun 1958, Tanggal 17 Juli
1958).
b. Konvensi tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi wanita (UU No. 7
Tahun 1984, Tanggal 24 Juli 1984).
c. Konvensi tentang hak-hak anak (Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990 Tanggal
25 Agustus 1990).
d. Konvensi Internasional anti apartheid dalam olahraga (UU No. 48 Tahun 1993
Tanggal 22 Mei 1993)
Hukum Kewarganegaraan dan HAM (Bagaimana SBKRI menurut UU No. 12 Tahun 2006)
14
Laporan Buku KelompokOleh : Sawaludin, Irwan Efendi, Patoni
e. Konvensi tentang penyiksaan atau perlakuan atau hukum yang kejam, tidak
manusiawi dan merendahkan martabat manusiawi (UU No. 5 Tahun 1998,
Tanggal 28 September 1998).
Inilah beberapa konvensi yang telah diratifikasi yang pada hakekatnya
menghilangkan diskriminasi dan melindungi hak-hak asasi manusia. Pada tahun 1993
telah dibentuk pula komisi hak asasi manusia (KOMNAS HAKM). Lembaga ini
merupakan instrumen yang memperlihatkan langkah maju kebijakan pemerintah
melindungi HAM. KOMNAS HAM ini pada tahun 1999 menjadi lembaga yang
mendiri setelah dikeluarkan UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusi.
Substansi ketentuan hukum yang mangatur HAM yanga ada sekarang ini, pada
hakekatnya menghilangkan diskriminasi. Diskriminasi ini biasa terjadi dalam berbagai
dimensi kehidupan. Salah satu diantaranya adalah masalah kewarganegaraa. Namun
kita tidak menganut diskriminasi dalam memperlakukan warganegara.
Setiap warganegara sama kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan. Hal ini
berarti tidak ada diskriminasi terhadap warganegara. Dalam hal kewarganagaraan
pasal 28 D ayat (4) UUD 1945 setelah diamandemen menyebutkan: “setiap orang
berhak atas status kewarganegaraan”. Namum masih ada pandangan dalam hal status
dan pembuktian kewarganegaraan ini yang berpandangan terhadap diskriminasi.
c. Bukti Kewarganegaraan
Setiap orang asing yang menjadi warganegara Indonesia harus bisa menunjukkan
bukti kewarganegaraannya. Tanpa bukti itu, dia bukanlah warganegara Indonesia. Ada
24 bukti kewarganegaraan yang kita kenal, salah satunya adalah SBKRI (Surat Bukti
Kewarganegaraan Republik Indonesia).
Dalam RUU kewarganegaraan pada Pasal 39 tentang bukti Kewarganegaraan
disebut bahwa setiap orang yang perlumembuktikan kewarganegaraan Republik
Indonesia dan tidak mempunyai surat bukti untuk itu, dapat mengajukan permohonan
kepada mentri atau pejabat untuk memperolehnya. Ketentuan ini menurut sebagian
orang memberikan kesan adanya perbedaan (diskriminasi) dalam pembuktian tentang
status kewarganegaraan Indonesia (khususnya bagi warganegara republik Indonesia
keturunan asing, telah banyak muncul kepermukaan, baik melalui media cetak, media
elektronik maupun melaui surat yang dikirim kepada mentri kehakiman dan hak asasi
manusia).
Hukum Kewarganegaraan dan HAM (Bagaimana SBKRI menurut UU No. 12 Tahun 2006)
15
Laporan Buku KelompokOleh : Sawaludin, Irwan Efendi, Patoni
Berkaitan dengan maksud dan tujuan dicantumkannya ketentuan bukti
kewarganegaraan dan kondisi dilapangan, yang sering dtemukan bukti
kewarganegaraan Indonesia yang palsu atau aspal, maka pencantuman ketentuan
tersebut bukanlah suatu upaya untuk membedakan (diskriminatif). Justru merupakan
upaya pemerintah untuk melindungi warganegaranya, untuk memberikan kepastian
jaminan hukum bagi orang yang bersangkutan dalam hubungannya dengan instansi
atau lembaga yang terkait.
d. Kebijakan Penghapusan Diskriminasi dalam Perspektif SBKRI
Berbicara tentang policy (kebijakan) Pemerintah RI dalam penghapusan,
diskriminasi, pertama-tama penulis menyampaikan bahwa kita adalah masyarakat
Indonesia yang harus tunduk pada tatanan hukum yang berlaku di Indonesia.
Pemerintah memandang tidak perlu adanya diskriminasi dalam segala bidang,
termasuk mengenai variasi adat dan budaya masing-masing, masih tetap
diperkenankan sepanjang tidak bertentangan dengan budaya bangsa Indonesia yang
bersifat kekeluargaan dan gotong-royong.
Kebijakan tersebut dapat kita perhatikan dari berbagai keputusan pemerintah
misalnya instruksi presiden No. 4 Tahun 1999 dan keputusan Presiden No. 6 Tahun
2000 tentang pencabutan inpres No. 14/1967 tentang Agama, kepercayaan dan adat
istiadat Cina seperti barongsay dan sejenisnya tidak perlu ijin khusus dari Pemerintah
karena secara kultural budaya etnis Tionghoa tetap dipandang sebagai salah satu aset
budaya bangsa yang secara yuridis dijamin keberadaannya.
Jika selama ini ada anggapan bahwa pemerintah kurang memperhatikan WNI
keturunan misalnya dalam hal pemilikan SBKRI bukan merupakan kewajiban bagi
setiap warga negara, melainkan merupakan suatu kebutuhan yang sifatnya biologi.
Warganegara RI keturunan Tionghoa tidak wajib memiliki SBKRI, melainkan cukup
dengan dokumen yang dapat membuktikan status kewarganegaraannya, karena
berdasarkan Pasal 20 UU No. 62 Tahun 1958 “ barang siapa bukan warganegara RI
adalah orang asing”. Dalam melaksanakan ketentuan tersebut perlu diketahui dan
dipastikan siapa-siapa yang menjadi warganegara RI, sebab hak-hak seorang WNI dan
WNA berbeda, maka untuk warganegara RI, diperlukan pembuktian. Bukti
kewarganegaraan itu ada yang termasuk bukti langsung dan tidak langsung.
Hukum Kewarganegaraan dan HAM (Bagaimana SBKRI menurut UU No. 12 Tahun 2006)
16
Laporan Buku KelompokOleh : Sawaludin, Irwan Efendi, Patoni
Bukti langsung itu diperoleh oleh seseorang yang secara aktif berdasarkan
peraturan yang berlaku memperoleh kewarganegaraan RI, misalnya Keputusan
Presiden, Formulir tentang melepaskan kewarganegaraan RRT, SBKRI dan lain-lain.
Bukti tidak langsung adalah bukti yang menunjukkan seseorang yang berstatus
warganegara RI misalnya akte kelahiran seseorang yang membuktikan seseorang lahir
dari seorang warganegara RI, atau seseorang memiliki KTP bagi warganegara RI.
Menurut pasal 4 ayat (2), menyebutkan :” bagi warganegara RI yang telah
memeiliki KTP, atau kartu keluarga atau akte kelahiran, pemenuhan kebutuhan
persayaratan untuk kepentingan tertentu tersebut cukup manggunakan kartu tanda
penduduk, atau kartu keluarga atau akte kelahiran tersebut.
Adanya RUU kewarganegaraan juga merupakan usaha-usaha pemerintah
mengahapuskan diskriminasi dan bias gender melalui peraturan perundang-undangan
yang dalam RUU tersebut tiada lagi istilah bukti kewarganegaraan.
Untuk menindak lanjuti tentang ketentuan tidak perlunya SBKRI baru-baru ini
mentri kehakiman dan HAM telah memerintahkan untuk menghentikan penerbitan
SBKRI dan diikuti dengan mengeluarkan instruksi No. M-01.HL.05.06 Tahun 2004
yang intinya bagi warganegara RI dalam memohon surat perjalanan RI dan perijinan
lainnya cukup menunjukkan KTP, kartu keluarga atau akte kelahiran.
Mudah-mudahan dengan keluarnya instruksi mentri kehakiman dan HAM ini
dapat secara tepat orang melupakan SBKRI, tetapi manakala instruksi ini belum
berjalan departemen kehakiman dan HAM akan mengusahakan lagi agar tidak muncul
anggapan-anggapan diskriminatif.
5. Kesimpulan Diskusi Panel
Dalam bab ini, penulis hanya menyampaikan kesimpulan tentang hasil diskusi
panel yang dibahas di bab empat (4).
1. Secara normatif, HAM merupakan hak kodrati yang diberikan oleh Tuhan Yang
Maha Esa kepada manusia, sifatnya tidak boleh dikurangi, dibebani, bahkan
dihapuskan oleh siapapun juga.
2. Indonesia secara kelembagaan telah menghormati HAM, secara kongkrit hal ini
dapat dilihat dari lahirnya beberapa kebijaksanaan negara dan pemerintah dalam
mengeluarkan peroduk hukum perlindungan HAM.
Hukum Kewarganegaraan dan HAM (Bagaimana SBKRI menurut UU No. 12 Tahun 2006)
17
Laporan Buku KelompokOleh : Sawaludin, Irwan Efendi, Patoni
3. Dalam rangka bernegara, berbangsa, dan bermasyarakat, dalam peradaban dunia
modern sekarang, sudah seharusnya setiap insan Indonesia (individu, pejabat,
masyarakat, suku, ras, agama, kelompok, golongan) membenci/memerangi sikap
pembeda-bedaan atau pola diskriminatif. Dimensi hukum, politik, dan
pemerintahan dan berlandas nilai ke-Pancasila-an harus konsekuen pula menolak
diskriminasi dengan segala wujudnya, dimana aparaturnya pun harus bisa
mengamplikasikan itu dalam segala kebijakan dan sikapnya.
4. Status warganegara Indonesia hanya dibedakan dengan Warganegara Indonesia
dan warganegara asing. Ditegaskan, penyebutan warganegara keturunan tidak ada
lagi, karena tidak pada proporsinya ditempatkan baik dalam sistem hukum
maupun proporsi politik.
5. Diskriminasi adalah pelanggaran terhadap HAM dan dapat menjurus kepada
perbuatan melanggar hukum (discrimination is crime).
6. UU No. 62 Tahun 1958 tentang kewarganegaraan RI, tidak sesuai dengan
kebutuhan dan sesuai dengan perkembangan zaman, sudah waktunya untuk
diganti. Hal ini dapat dilihat dengan keluarnya Kepres No. 56 Tahun 1996 tentang
SBKRI dan beberapa peraturan perundang-undangan lainnya (SK KaBPN, SK
MENDAGRI, dll).
7. Hukum menentukan bahwa tidak lagi menyaratkan SBKRI bagi WNI (Keturunan
Tionghoa) untuk berbagai kepentingan perdatanya (Berdasarkan Kepres No. 56
Tahun 1996 maupun Inpres No. 4 Tahun 1999).
8. Diperlukan sosialisasi berbagai produk hukum di tingkat pelaksanaan (di
lapangan), agar diperoleh pemahaman yang sama untuk pelaksanaan di
masyarakat rangka melaksanakan peraturan perundang-undangan, mengenai
ketidak harusan SBKRI.
9. Pemerintah telah mencanangkan program legislasi nasional, antara lain dengan
dibuatnya RUU tentang kependudukan dan catatan sipil, serta RUU
Kewarganegaraan RI. Itu semua usulan-usulan dalam rangka menuju kesetaraan
dan keadilan yang menjunjung martabat setiap orang.
10. Dalam rangka percepatan penghapusan bukti SBKRI di lapangan, perlu ditunjang
proses asimilasi dan pambauran warganegara Indonesia Cina dan Warganegara
Hukum Kewarganegaraan dan HAM (Bagaimana SBKRI menurut UU No. 12 Tahun 2006)
18
Laporan Buku KelompokOleh : Sawaludin, Irwan Efendi, Patoni
Indonesia Pribumi perlu juga proses kultural dan sosiologi pendekatan gotong
royong dan kesetiakawanan dalam masalah sosial dan kemasyarakat.
11. Tugas dan peranan media cetak/elektronik menyampaikan berita secara utuh, agar
tidak ditafsirkan sepotong-sepotong yang mengakibatkan saling curiga antar
komponen bangsa.
6. Hak Asasi Manusia dalam Perspektif UU No. 12 Tahun 2006 tentang
Kewarganegaraan RI
Bab ini ditulis oleh Subiharta yang berisi tentang Waraganegara dan penduduk,
pewarganegaraan, kehilangan kewarganegaraan RI, dan ketentuan pidana.
a. Warganegara dan Penduduk
Pasal 26 ayat (1) UUD 1945 ditentukan : yang menjadi warganegara ialah orang-
orang bangsa Indonesia asli atau orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan UU
sebagai warganegara.
Sedangkan ayat (2) ditentukan : penduduka ialah warganegara Indonesia dan
orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia.
Ketentuan pasal 20 ayat (1) UUD 1945 tersebut sesuai dengan ketentuan yang
diatur dalam pasal 2 UU No. 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan RI, yang
menjadi warganegara Indonesia adalah orang-orang bangsa Indonesiaasli dan orang-
orang bangsa lain yang disahkan oleh UU sebagai warganegara.
Ornga Indoesia asli berarti orang yang nenek moyangnya sejak beratus tahun
yang lalu tinggal di Indonesia sehingga sulit untuk diketahui asal-usulnya. Hal ini
yang membedakan dengan orang keturunan Eropa, Cina, Arab, India dan lain-lain.
Orang-orang yang terkhir ini sesuai dengan ketentuan pasal 2 UU No. 12 tahun 2006
harus mengajukan permohonan untuk dapat disahkan sebagai warganegara Indonesia.
Dengan berlakunya UU No. 12 tahun 2006 mengakui seorang (anak) mempunyai
dwi kewargangaraan (warganegara rangkap) hal ini disebabkan oleh pengaturan pasal
5 ayat (1) yang menentukan:
Anak warganegara Indonesia yang lahir di luar perkawinan yang sah belum
berusia 18 tahun dan belum diakui secara sah oleh ayanhnya yang warganegara asing
tetap diakui sebagai warganegara Indonesia.
Pasal 5 ayat (2) menentukan:
Hukum Kewarganegaraan dan HAM (Bagaimana SBKRI menurut UU No. 12 Tahun 2006)
19
Laporan Buku KelompokOleh : Sawaludin, Irwan Efendi, Patoni
Anak warganegara Indonesia yang belum berusia 5 tahun diangkat secara sah
sebagai anak warganegara asing berdasarkan penetapan pengadilan tetap diakui
sebagai warganegara Indonesia.
Berdasarkan ketentuan di muka menyebabkan seorang anak menjadi dwi
warganegara maka pasal 6 ayat (1) menentukan dalam hal status kewarganegaraan RI
terhadap anak sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 hurup c, huruf d, huruf h, huruf i,
dan pasl 5 mengakibatkan anak berkewaraganegaraan ganda, setelah berusia 18 tahun
atau sudah kawin anak tersebut harus mengatakan memilih salah satu
kewarganegaraannya.
Sebagaimana disebutkan dalam pasal 1 ayat 1, bahwa yang dimaksud dengan
waragnegara adalah warga suatu negara yang ditetapkan berdasarkan peraturan
perundang-undangan. Hal ini selaras dengan ketentuan pasal 8, yang menentukan
bahwa kewarganegaraan RI dapat juga diperoleh melalui pewarganegaraan.
b. Pewarganegaraan
Ada tiga unsur dasar atau asas yang menentukan warga negara atau
kewarganegaraan sesorang:
1. Asas “ketentuan” atau “pertalian darah” atau istilah asingnya “ius sanguinis”.
Disini di dalam menentukan kewarganegaraan seseorang didasarkan atas
kewarganegaraan orang tuanya, sekalipun anak itu sendiri dilahirkan diluar
negaranya. Asas ius sanguinis ini antara lain di anuat oleh Cina, sehingga seorang
ayah berkewarganegaraan Cina juga, tanpa memperhatikan tempat atau negara di
mana anak itu dilahirkan. Asas ini juga dianut misalnya oleh Negara Indonesia.\
2. Asas “kedaerahan” atau “territorial” atau istlah asingnya “ius soli”. Asas ini
kebalikan dari asas yang pertama, yakni menentukan kewarganegaraan seseorang
didasarkan pada tempat dimana dia dilahirkan, meskipun orang tuannya berasal
dari negara lain.
3. Asas “pewarganegaraan” atau “naturalisasi”. Asas atau dasar penentuan ini dapat
dilakukan manakala seseorang yang berkewargaenagaraan asing mengajukan
permohonan untuk menjadi warga negara dari suatu negara tertentu. Prosesnya,
yakni sayarat-syarat dan prosedur yang harus dilakukan antara satu negara dengan
negara lainya tidak sama.
Hukum Kewarganegaraan dan HAM (Bagaimana SBKRI menurut UU No. 12 Tahun 2006)
20
Laporan Buku KelompokOleh : Sawaludin, Irwan Efendi, Patoni
Permohonan kewaraganegaraan sebagaimana diatur di dalam UU No. 12 tahun
2006 dikenai biaya. Permohonan diajukan kepada Presiden, selanjutnya Presiden
dapat mengabulkan atau menolak permohonan pewarganegaraan. Apabila
permohonan pewarganegaraan di kabulkan maka akan ditetapkan dengan Keputusan
Presiden. Keputusan Presiden untuk paling lama 3 bulan terhitung sejak permohonan
dikeluarkan oleh Mentri dan diberitahukan kepada pemohon paling lambat 14 hari
terhitung sejak Keputusan Presiden ditatapkan.
Dalam UU ini juga menentukan orang asing yang telah berjasa kepada negara RI
atau dengan alasan kepentingan negara dapat diberi kewarganegaraan RI oleh
Presiden setelah memperoleh pertimbangan DPR RI, juga memungkinkan orang yang
bersangkutan melepaskan kewarganegaraan asalnya.
c. Kehilangan Kewarganegaraan RI
Menjadi warganegara Indonesia tentu bangga dengan berbagai suka dan dukanya
meskipun demikian warganegara bisa kehilangan kewarganegaraannya karena:
1. Memperoleh kewarganegaraan lain atas kamauan sendiri. Prinsip ini merupakan
konsekuensi dari dihindarkannya kewarganegaraan rangkap.
2. Tidak menolak atau tidak melepaskan kewarganegaraan lain, sedangkan orang
yang bersangkutan mendapatkan kesempatan untuk itu.
3. Dinyatakan hilang kewarganegaraan oleh Presiden atas permohonannya sendiri
yang bersngkutan sduah berusia 18 tahu atau sudah kawin, bertempat tinggal di
luar negari, dan dengan dinyatakan hilang kewarganegaraan RI tidak terjadi tanpa
kewarganeagaraan.
4. Masuk dalam dinas tentara asing tanpa ijin terlebih dahulu dari Presiden.
5. Secara sukarela masuk dalam dinas negara asing, yang jabatan dalam dinas
semacam itu di Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undang
hanya dapat dijabat oleh WNI.
6. Secara suka rela mangangkat sumpah atau menyatakan janji setia kepada negara
asing atau bagian dari negara asing tersebut.
7. Tidak diwajibkan tapi turut serta dalam pemilihan sesuatu yang berkaitan
ketatanegaraan untuk suatu negara asing.
Hukum Kewarganegaraan dan HAM (Bagaimana SBKRI menurut UU No. 12 Tahun 2006)
21
Laporan Buku KelompokOleh : Sawaludin, Irwan Efendi, Patoni
8. Mempunyai paspor atau surat yang bersifat paspor dari negara asing atau surat
yang dapat diartikan sebagai tanda kewarganegaraan yang masih berlakudari
negara lain atas namanya, atau
9. Bertempat tinggal di luar wilayah RI selama 5 (tahun) berturut-turut bukan dalam
pangkatdinas negara, tanpa alasan yang sah dan dengan sengaja tidak mengatakan
keinginannya untuk tetap menjadi WNI sebelum jangka waktu 5 (lima) tahun itu,
dan setiap 5 tahun berikutnya yang bersangkutan tidak mengajukan pernyataan
ingin tetap menjadi WNI kepada perwakilan RI yang wilayah kerjanya meli[uti
tempat tinggal yang bersangkutan. Perwailan RI tersebut telah memberitahukan
secara tertulis kepada yang bersangkutan, sepanjang yang bersangkutan menjadi
tanpa keawargaengaraan.
Di samping hal tersebut, menurut pasal 26 ayat (1) perempuan WNI yang kawin
dengan laki-laki warganegara asing kehilangan kewarganegaraan RI jika menurut
kewarganegaraan suaminya, kewarganegaraan istri mengikat kewarganegaraan suami
sebagai akibat perkawinan tersebut. Ayat (2)-nya menyebutkan bahwa laki-laki yang
kawin dengan perempuan warganegara asing kehilangan kewarganegaraan RI jika
menurut hukum negara asal istrinya, kewarganegaraan suami mangikut
keawrganegaraan istirnya sebagai akibat perkawinan tersebut.
Apabila seseorang yang kehilangan kewarganegaraan maka UU No. 12 tahun
2006 memperbolehkan orang tersebut mangajukan permohonan sebagai warganegara
RI yang wilayah negaranya meliputi tempat tinggal pemohon.
d. Ketentuan Pidana
Di dalam ranah hukum, terasa kurang sempurna apabila suatu UU tidak memuat
ancaman pidana. Meskipun dalam ilmu hukum sebagai ultimatum remedium tetapi
manfaatnya masih dapat dirasakan, sebab didalamnya membrikan ancamandengan
upaya paksa bagi pelanggar. Meskipun demikian, tidak semua UU di dalamnya
membrikan ancaman pidana. Hal mana karena tidak selamanya kurang memberikan
manfaat, dan dirasa pula memberikan danpak pembelasan.
UU Kewarganegaraan RI No. 12 Tahun 2006 mangatur tentang ketentuan pidana.
Ketentuan ini tidak diatur dalam UU No.62 tahun 1958.
Pasal 36 ayat (1) :
Hukum Kewarganegaraan dan HAM (Bagaimana SBKRI menurut UU No. 12 Tahun 2006)
22
Laporan Buku KelompokOleh : Sawaludin, Irwan Efendi, Patoni
Memerintahkan pejabat yang karena kelalaiannya melaksanakan tugas dan kewajibannya sebagaimana ditentukan dalam UU ini sehingga mengakibatkan seorang kehilangan hak untuk memperoleh atau memperoleh kembali dan atau kehilangan kewarganagaraan RI dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun.
Ayat (2) nya menetukan :
Dalam hal tindak pidana tersebut sebagaimana dimaksud pada ayat satu dilakukan karena kesengajaan, dipidana dengan pidana paling lama 3 (tiga) tahun;Sedangkan setiap orang yang dengan sengaja memakai keterangan palsu, termasuk keterangan di atas sumpa, membuat surat atau dokumen palsu, mamalsukan surat atau dokumen dengan maksud untuk memakai atau menyuruh memakai keterangan atau surat atau dokumen yang dipalsukan untuk memperoleh kewaraganegaraan RI atau mamperoleh kembali kewarganegaraan RI dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun dan denda paling sedikit RP.250.000.000,- dan paling banyak RP.1.000.000.000,-.
Ayat (3)-nya mnenetukan :
Setiap orang yang dengan sengja menggunakan keterangan palsu, termasuk keterangan di atas sumpah, membuat surat atau dokumen palsu, memalsukan surat atau dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun dan denda paling sedikit RP. 250.000.000,- dan paling banyak RP.1.000.000.000,-.
Ketentuan pidana sebagaimana diatur dalam bab VI pasal 36,37,38 UU No. 12
tahun 2006 memberi kesan seakan aspek kewarganegaraan perlu dilakukan
krimaninalisasi. Ancaman pidana penjara dan denda yang cukup berat menimbulkan
pertanyaan, efektifkah ancaman pidana demikian. Apakah ancaman tidak terlalu berat
bagi perorangan maupun korporasi yang melakukan pelanggaran. Di damping itu
ancaman pidana paling sedikit apakah tidak mempersulit hakim dalam menjatuhkan
pidana.
Kriminalisasi dalam UU Kewarganegaraan tahun 2006 ini efektif atau tidak,
tentunya kita tunggu dalam praktek di lapangan. Kemudian apabila tidak efektif mau
tidak mau dalam waktu tak terlalu lama UU No.12 Tahun 2006 ini harus mengalami
revisi. Memang tidak ada gading yang tak retak. Kasempurnaan bukan ada pada
manusia tetapi ada pada sang Kholik.
Hukum Kewarganegaraan dan HAM (Bagaimana SBKRI menurut UU No. 12 Tahun 2006)
23
Laporan Buku KelompokOleh : Sawaludin, Irwan Efendi, Patoni
B. KSIMPULAN
Brdasarkan uraian di atas, maka kita menarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Pasal 1 Ayat (1) Undang-undang Dasar 1945 menyatakan Negara Indonesia
ialah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik, Pada hakekatnya merupakan
cermin dari perumusan gagasan negara kesatuan sebagai suatu ketentuan
Hukum. Selanjutnya dalam penjelasannya diterangkan. Negara melindungi
segenap bangsa indonesia dan seluruh tumpah dara indonesia dengan
berdasarkan atas persatuan dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia. Negara menurut pengertian ini menghendaki persatuan
meliputi segenap bangsa indonesia seliruhnya. Berkenaan dengan pemerintah
daerah telah diatur pada pasal 18 Undang-Undang dasar 1945 yang berbunyi:
“Pembagian daerah indonesia atas daerah besar dan kecil dengan bentuk
susunan pemerintahannya ditetapkan dengan Undang-undang dengan
memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem
pemerintahan negara, dan hak-hak asal usul dalam daerah-daerah yang lebih
kecil.”
2. Isu Hak Asasi Manusia (HAM) begitu gencar dipersoalkan dimana-mana, baik
ditingkat internasional, regional maupun nasional. Dari isu-isu yang tercuat,
muncul suatu sistem nilai bahwa negara yang tidak menghormati dan
melaksanakan penerapan nilai-nilai HAM, berarti belum menjunjung asas-asas
keberradaban masa kini. Mungkin dapat diartikan bahwa negara pelanggar
HAM adalah bangsa tidak beradab. Pada hematnya dikatakan demikian, karena
sesuai penjelasan dari UU No. 27 Tahun 1999 tentang ratifikasi konvensi
internasional tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi rasial 1965
menyatakan.“Oleh karena diskriminasi rasial menjadi musuh, baik bagi
masyarakat luas maupun internasional, maka harus dihapuskan dari
peradaban umat manusia “.
3. Pengaturan mengenai warga negara dapat dilihat dari Undang-undang
kewarganegaraan. Undang-undang No. 3 Tahun 1946 tentang warga negara dan
penduduk Negara Indonesia. (UU No.3/1946) pasal 1 UU No.3?146
Menyatakan bahwa Warga negara Indonesia ialah.
a. Orang yang asli dalam daerah negara indonesia
Hukum Kewarganegaraan dan HAM (Bagaimana SBKRI menurut UU No. 12 Tahun 2006)
24
Laporan Buku KelompokOleh : Sawaludin, Irwan Efendi, Patoni
b. Orang yang tidak dalam golongan tersebut diatas, akan tetapi keturunan
dari seseorang dari golongan itu lahir dan bertempat kedudukan dan
kediaman didalam daerah negara indonesia....”
4. UU No. 62 Tahun 1958 tentang kewarganegaraan RI, tidak sesuai dengan
kebutuhan dan sesuai dengan perkembangan zaman, sudah waktunya untuk
diganti. Hal ini dapat dilihat dengan keluarnya Kepres No. 56 Tahun 1996
tentang SBKRI dan beberapa peraturan perundang-undangan lainnya (SK
KaBPN, SK MENDAGRI, dll).
5. Hukum menentukan bahwa tidak lagi menyaratkan SBKRI bagi WNI
(Keturunan Tionghoa) untuk berbagai kepentingan perdatanya (Berdasarkan
Kepres No. 56 Tahun 1996 maupun Inpres No. 4 Tahun 1999).
6. Diperlukan sosialisasi berbagai produk hukum di tingkat pelaksanaan (di
lapangan), agar diperoleh pemahaman yang sama untuk pelaksanaan di
masyarakat rangka melaksanakan peraturan perundang-undangan, mengenai
ketidak harusan SBKRI.
7. Pemerintah telah mencanangkan program legislasi nasional, antara lain dengan
dibuatnya RUU tentang kependudukan dan catatan sipil, serta RUU
Kewarganegaraan RI. Itu semua usulan-usulan dalam rangka menuju kesetaraan
dan keadilan yang menjunjung martabat setiap orang.
8. Dalam rangka percepatan penghapusan bukti SBKRI di lapangan, perlu
ditunjang proses asimilasi dan pambauran warganegara Indonesia Cina dan
Warganegara Indonesia Pribumi perlu juga proses kultural dan sosiologi
pendekatan gotong royong dan kesetiakawanan dalam masalah sosial dan
kemasyarakat.
9. Tugas dan peranan media cetak/elektronik menyampaikan berita secara utuh,
agar tidak ditafsirkan sepotong-sepotong yang mengakibatkan saling curiga
antar komponen bangsa.
Hukum Kewarganegaraan dan HAM (Bagaimana SBKRI menurut UU No. 12 Tahun 2006)
25
Laporan Buku KelompokOleh : Sawaludin, Irwan Efendi, Patoni
BAB III
KOMENTAR TERHADAP ISI BUKU
Buku tulisan N.H. T. Siahaan (Nommy), Subiharta, H. Mokh. Muslikh
Abdussyukur, SH, M.Si, DR. Frans Hendra Winarta dan DR Ramly Hutabarat, SH,
M.Hum Tahun 2007 dengan judul Hukum Kewarganegaraan Dan HAM (Bagaimana
SBKRI Menurut UU No 12 Tahun 2006) merupakan buku yang berisi tentang bagaimana
gambaran seputar masalah kewarganegaraan di Indonesia dikaitkan dengan sejumlah
ketentuan-ketentuan hukum dan HAM menurut UU No.12 Tahun 2006.
Meskipun pada masa sekarang kita sudah mempunyai undang-undang
kewarganegaraan yang baru yaitu Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 yang pada
esensinya ditafsirkan bahwa semangat dari Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 adalah
mempermudah dan melindungi hak-hak warga negara dan bertujuan memberi kepastian
hukum.
Bahkan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia sebelumnya, menyatakan
bahwa paradigma pemerintah tentang kewarganegaraan berubah, sebelumnya cara
pandang tentang kewarganegaraan didominasi latar belakang etnis atau suku. Namun sejak
undang-undang itu disahkan pada tanggal 1 Agustus 2006, cara pandang tersebut berubah.
Cara pandang kewarganegaraan baru itu menurut Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia
didasarkan pada hukum. “Bukan lagi etnis atau warna kulit, tidak diskriminatif dan
menghargai prestasi seseorang” (www.iapw.info).
Kemudian ditegaskan bahwa dengan cara pandang itu, setiap orang yang ingin
menjadi Warga Negara Indonesia tidak lagi harus susah payah mengurus syarat
administrasi yang bertele-tele termasuk SBKRI. Kendati demikian, dengan berlakunya
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tersebut, terhadap masalah kewarganegaraan
Warga Tionghoa Indonesia bukan lantas terselesaikan. Sebagai contoh konkrit kita
saksikan di sekitar kita sekarang ini masih terjadi kesulitan-kesulitan berkenaan dengan
Warga Tionghoa Indonesia. Mereka yang hendak menjadi Warga Negara Indonesia atau
mempergunakan haknya untuk mengajukan permohonan menjadi Warga Negara Indonesia
ternyata menemui kesulitan yang hanya dapat diatasi dengan bantuan dari pihak negara
atau pelaksanaan undang-undang kewarganegaraan yang baru sesuai dengan semangat
pembaharuan dan non diskriminatif.
Hukum Kewarganegaraan dan HAM (Bagaimana SBKRI menurut UU No. 12 Tahun 2006)
26
Laporan Buku KelompokOleh : Sawaludin, Irwan Efendi, Patoni
Justru sebaliknya sehari sebelum penegasan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia
pada harian surat kabar Kompas memuat berita yang sangat mengejutkan, bahwa ternyata
masih banyak warga Tionghoa di Surabaya yang dianggap sebagai Warga Negara Asing
meskipun lahir dan tumbuh besar di Indonesia. (Kompas “Susahnya menjadi Warga
Negara Indonesia di Surabaya”, tanggal 20 September 2006 dalm www.iapw.info)
Berdasarkan pemantauan wartawan harian surat kabar Kompas di lapangan,
ditegaskan bahwa ternyata di Jakarta pun praktik diskriminasi pada Warga Negara
Indonesia keturunan Tionghoa masih terjadi kendati undang-undang kewarganegaraan
baru diberlakukan. (baca Kompas, “Susahnya menjadi Warga Negara Indonesia di
Surabaya”, tanggal 20 September 2006 dalam www.iapw.info). Adanya diskriminasi itu di
masyarakat, meskipun Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2006 menjamin hak setiap Warga Negara Indonesia sama di hadapan hukum.
Pasal 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 menentukan bahwa “Yang menjadi
Warga Negara Indonesia adalah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang
bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara.” Dalam
penjelasan Pasal 2 tersebut menerangkan pengertian orang-orang bangsa Indonesia asli
adalah “Warga Negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima
kewarganegaraan lain atas kehendak sendiri”. Hal ini berarti secara yuridis ketentuan ini
oleh pembentuk undang-undang dimaksudkan sedapat mungkin mencegah timbulnya
keadaan tanpa kewarganegaraan.
Oleh karena itu, dengan menerapkan asas kelahiran (ius soli), orang yang lahir di
wilayah Republik Indonesia mendapatkan perlindungan dan kepastian hukum, karena
mereka adalah warga negara Republik Indonesia. Titik berat diletakkan atas kelahirannya
dalam wilayah negara Republik Indonesia dengan tujuan supaya tidak ada anak yang lahir
menjadi apatride.
Interpretasi tentang pengertian orang-orang bangsa Indonesia asli ini, setidak-
tidaknya telah memperjelas pengertian “Asli” yang bersifat yuridis konstitusional yang
tidak dapat kita abaikan sebagaimana dimaksud di dalam Pasal 26 dan Pasal 6 ayat (1)
Undang-Undang Dasar 1945 (sebelum amandemen) dengan Pasal 1 huruf (a) dan (b)
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1946, sehingga mereka yang menjadi warga negara
Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 sama aslinya
seperti yang dimaksud asli berdasarkan proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945
Hukum Kewarganegaraan dan HAM (Bagaimana SBKRI menurut UU No. 12 Tahun 2006)
27
Laporan Buku KelompokOleh : Sawaludin, Irwan Efendi, Patoni
ditetapkan oleh Konstitusi Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang Nomor 3
Tahun 1946 bahwa Warga Negara Indonesia adalah orang-orang bangsa Indonesia asli
dalam negara Republik Indonesia secara otomatis menjadi warga negara Republik
Indonesia.
Ketegasan siapa orang-orang bangsa Indonesia asli sebagaimana diatur dalam Pasal
2 berikut penjelasannya berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 telah
memperjelas dan mempertegas kedudukan dan kepastian hukum bagi setiap Warga Negara
Indonesia yang sejak kelahirannya di wilayah Republik Indonesia tidak pernah menerima
kewarganegaraan lain atas kehendak sendiri ; Adalah senafas dan sejalan dengan ketegasan
yang diatur dalam ketentuan Pasal 26 ayat (1) dan Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Dasar
1945 yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan Undang-Undang
Nomor 3 tahun 1946, sehingga dengan demikian pada tataran yuridis konstitusional
interpretasi tentang pengertian “Asli” menjadi lebih jelas.
Sehubungan dengan itu, dipandang perlu guna mempertegas siapa saja yang menjadi
Warga Negara Indonesia, Pasal 4 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 menegaskan
sebagai berikut :
“Warga Negara Indonesia adalah :
a. Setiap orang yang berdasarkan peraturan perundang-undangan dan/atau berdasarkan
perjanjian Pemerintah Republik Indonesia dengan negara lain sebelum undang-
undang ini berlaku sudah menjadi Warga Negara Indonesia ;
b. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah dan ibu Warga Negara
Indonesia ;
c. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah Warga Negara
Indonesia dan ibu Warga Negara Asing ;
d. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah Warga Negara Asing
dan ibu Warga Negara Indonesia ;
e. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ibu Warga Negara Indonesia,
tetapi ayahnya tidak mempunyai kewarganegaraan atau hukum negara asal ayahnya
tidak memberikan kewarganegaraan kepada anak tersebut ;
f. Anak yang lahir dalam tenggang waktu 300 (tiga ratus) hari setelah ayahnya
meninggal dunia dari perkawinan yang sah dan ayahnya Warga Negara Indonesia ;
Hukum Kewarganegaraan dan HAM (Bagaimana SBKRI menurut UU No. 12 Tahun 2006)
28
Laporan Buku KelompokOleh : Sawaludin, Irwan Efendi, Patoni
g. Anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu Warga Negara
Indonesia ;
h. Anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu Warga Negara Asing
yang diakui oleh seorang ayah Warga Negara Indonesia sebagai anaknya dan
pengakuan itu dilakukan sebelum anak tersebut berusia 18 (delapan belas) tahun atau
belum kawin ;
i. Anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia yang pada waktu lahir tidak
jelas status kewarganegaraan ayah dan ibunya ;
j. Anak yang baru lahir yang ditemukan di wilayah negara Republik Indonesia selama
ayah dan ibunya tidak diketahui ;
k. Anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia apabila ayah dan ibunya tidak
mempunyai kewarganegaraan atau tidak diketahui keberadaannya ;
l. Anak yang dilahirkan di luar wilayah negara Republik Indonesia dari seorang ayah
dan ibu Warga Negara Indonesia yang karena ketentuan dari negara tempat anak
tersebut dilahirkan memberikan kewarganegaraan kepada anak yang bersangkutan ;
m. Anak dari seorang ayah atau ibu yang telah dikabulkan permohonan
kewarganegaraannya, kemudian ayah atau ibunya meninggal dunia sebelum
mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia”.
Selanjutnya mengenai cara-cara memperoleh kewarganegaraan Indonesia dapat
diperoleh melalui pewarganegaraan yang memenuhi persyaratan dapat mengajukan
permohonan pewarganegaraan Republik Indonesia sebagai berikut : (Pasal 9 Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2006)
1. Telah berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin ;
2. Pada waktu mengajukan permohonan sudah bertempat tinggal di wilayah negara
Republik Indonesia paling singkat 5 (lima) tahun berturut-turut atau paling singkat
10 (sepuluh) tahun tidak berturut-turut ;
3. Sehat jasmani dan rohani ;
4. Dapat berbahasa Indonesia serta mengakui dasar negara Pancasila dan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ;
5. Tidak Pernah dijatuhi pidana karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan
pidana penjara 1 (satu) tahun atau lebih ;
Hukum Kewarganegaraan dan HAM (Bagaimana SBKRI menurut UU No. 12 Tahun 2006)
29
Laporan Buku KelompokOleh : Sawaludin, Irwan Efendi, Patoni
6. Jika dengan memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia, tidak menjadi
berkewarganegaraan ganda ;
7. Mempunyai pekerjaan dan/atau berpenghasilan tetap ; dan
8. Membayar uang pewarganegaraan ke kas negara.
Adapun asas-asas yang dianut dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2006 ditegaskan sebagai berikut :
1. Asas ius sanguinis (law of the blood) adalah asas yang menentukan kewarganegaraan
seseorang berdasarkan keturunan, bukan berdasarkan negara tempat kelahiran.
2. Asas ius soli (law of the soil) secara terbatas adalah asas yang menentukan
kewarganegaraan seseorang berdasarkan negara tempat kelahiran, yang diberlakukan
terbatas bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang
ini.
3. Asas kewarganegaraan tunggal adalah asas yang menentukan satu kewarganegaraan
bagi setiap orang.
4. Asas kewarganegaraan ganda terbatas adalah asas yang menentukan
kewarganegaraan ganda bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam
undang-undang ini.
Undang-undang ini pada dasarnya tidak mengenal kewarganegaraan ganda
(bipatride) ataupun tanpa kewarganegaraan (apatride).
Kewarganegaraan ganda yang diberikan kepada anak dalam undang-undang ini
merupakan suatu pengecualian.
Selain asas tersebut di atas, beberapa asas khusus juga menjadi dasar penyusunan
undang-undang tentang kewarganegaraan Republik Indonesia,
a. Asas kepentingan nasional adalah asas yang menentukan bahwa peraturan
kewarganegaraan mengutamakan kepentingan nasional Indonesia, yang bertekad
mempertahankan kedaulatannya sebagai negara kesatuan yang memiliki cita-cita dan
tujuannya sendiri.
b. Asas perlindungan maksimum adalah asas yang menentukan bahwa pemerintah
wajib memberikan perlindungan penuh kepada setiap Warga Negara Indonesia
dalam keadaan apapun baik di dalam maupun luar negeri.
Hukum Kewarganegaraan dan HAM (Bagaimana SBKRI menurut UU No. 12 Tahun 2006)
30
Laporan Buku KelompokOleh : Sawaludin, Irwan Efendi, Patoni
c. Asas persamaan di dalam hukum dan pemerintahan adalah asas yang menentukan
bahwa setiap Warga Negara Indonesia mendapatkan perlakuan yang sama di dalam
hukum dan pemerintahan.
d. Asas kebenaran substantif adalah prosedur pewarganegaraan seseorang tidak hanya
bersifat administratif, tetapi juga disertai substansi dan syarat-syarat permohonan
yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.
e. Asas non diskriminatif adalah asas yang tidak membedakan perlakuan dalam segala
hal ikhwal yang berhubungan dengan warga negara atas dasar suku, ras, agama,
golongan, jenis kelamin dan gender.
f. Asas pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia adalah asas yang
dalam segala hal ikhwal yang berhubungan dengan warga negara harus menjamin,
melindungi, dan memuliakan hak asasi manusia pada umumnya dan hak warga
negara pada khususnya.
g. Asas keterbukaan adalah asas yang menentukan bahwa dalam segala hal ihwal yang
berhubungan dengan warga negara harus dilakukan secara terbuka.
h. Asas publisitas adalah asas yang menentukan bahwa seseorang yang memperoleh
atau kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesia diumumkan dalam Berita
Negara Republik Indonesia agar masyarakat mengetahuinya.
Selanjutnya ketentuan Pasal 44 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 secara tegas
telah menyatakan dicabut dan dinyatakan tidak berlakunya :
1. Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 Tentang Kewarganegaraa Republik
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1958 Nomor 113,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 1647) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1976 Tentang Perubahan Pasal 18 Undang-Undang
Nomor 62 Tahun 1958 Tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1976 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3077) ;
2. Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 Tentang
Kewarganegaraan Republik Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 1976 Tentang Perubahan Pasal 18 Undang-Undang Nomor
62 Tahun 1958 Tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia dinyatakan masih
Hukum Kewarganegaraan dan HAM (Bagaimana SBKRI menurut UU No. 12 Tahun 2006)
31
Laporan Buku KelompokOleh : Sawaludin, Irwan Efendi, Patoni
tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti berdasarkan ketentuan
dalam undang-undang ini.
Selain itu, semua peraturan perundang-undangan sebelumnya yang mengatur
mengenai kewarganegaraan, dengan sendirinya dinyatakan tidak berlaku karena tidak
sesuai dengan prinsip-prinsip yang diamanatkan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu :
1. Undang-Undang Tanggal 10 Pebruari 1910 Tentang Peraturan Tentang
Kekaulanegaraan Belanda Bukan Belanda (Stb. 1910 296 jo. 27 458) ;
2. Undang-Undang Tahun 1946 Nomor 3 Tentang Warga Negara dan Penduduk
Negara jo. Undang-Undang Tahun 1947 Nomor 6 jo. Undang-Undang Tahun 1947
Nomor 8 jo. Undang-Undang Tahun 1948 Nomor 11 ;
3. Persetujuan Perihal Pembagian Warga Negara antara Republik Indonesia Serikat dan
Kerajaan Belanda (Lembaran Negara Tahun 1950 Nomor 2) ;
4. Keputusan Presiden Nomor 7 Tahun 1971 Tentang Pernyataan Digunakannya
Ketentuan-Ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1946 Tentang Warga
Negara dan Penduduk Negara Republik Indonesia untuk Menetapkan
Kewarganegaraan Republik Indonesia bagi Penduduk Irian Barat ; dan
5. Peraturan perundang-undangan lain yang berkaitan dengan kewarganegaraan.
(Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 Tentang
Kewarganegaraan Republik Indonesia)
Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 ternyata salah satu
permasalahan pokok yang di dalam proses “Menjadi” negara bangsa Indonesia setelah
berusia lebih dari setengah abad adalah belum memberikan pemecahan dan penyelesaian
masalah kewarganegaraan Indonesia bagi Warga Tionghoa Indonesia yang tidak memiliki
surat bukti kewarganegaraan sebagaimana diberitakan pada harian surat kabar Kompas
tertanggal 20 September 2006 tersebut di atas. Kita masih membutuhkan Peraturan
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 dan Peraturan Perundang-undangan
masa silam yang justru sudah dinyatakan tidak berlaku.
Dengan undang-undang kewarganegaraan yang baru ini diharapkan Presiden
Republik Indonesia dapat memberikan pemecahan dan penyelesaian secara tertib, tegas,
dan tuntas, agar mereka yang tidak memiliki surat bukti kewarganegaraan tetap diakui
sebagai Warga Negara Indonesia baik melalui permohonan berdasarkan pewarganegaraan
atau secara otomatis menjadi Warga Negara Indonesia melalui Peraturan Pengganti
Hukum Kewarganegaraan dan HAM (Bagaimana SBKRI menurut UU No. 12 Tahun 2006)
32
Laporan Buku KelompokOleh : Sawaludin, Irwan Efendi, Patoni
Undang-Undang atau pemulihan dengan Keputusan Presiden berdasarkan kepentingan
nasional yang mendesak guna mengakhiri persoalan tersebut.
Dengan cara demikian masalah kewarganegaraan bagi Warga Tionghoa Indonesia
yang belum mempunyai dan memiliki bukti kewarganegaraan Indonesia dapat diatasi
sehingga untuk jangka panjang keturunan seluruh Warga Tionghoa Indonesia dalam
membina persatuan dan kesatuan akan lebih mudah dan lebih lancar, dapat dimengerti,
diyakini, dan dihayati dalam rangka menetapkan dan memperkokoh ketahanan nasional
sehingga dipandang perlu untuk mempercepat proses penyelesaian Warga Negara
Indonesia yang belum memiliki surat apapun tersebut.
Negara kesatuan Republik Indonesia bukan hanya mempunyai Undang-Undang
Dasar 1945 dan Undang-Undang Hak Asasi Manusia, Ratifikasi Konvensi Internasional
Tentang Hak Sipil dan Politik, Konvensi Internasional Tentang Penghapusan Segala
Bentuk Diskriminasi Rasial dan Undang-Undang Kewarganegaraan Baru, yang menjamin
perlakuan baik dan adil terhadap Warga Negara Indonesia dan Warga Negara Asing yang
selaras dengan ukuran dan anggapan internasional, tetapi juga memiliki sebuah Aparatur
Penyelenggara Negara, Kebijakan, Pelaksana Program, ataupun Pelaksanaan Kegiatan
Penyelenggaraan Pemerintahan yang secara praktis berusaha untuk mewujudkan jaminan
yang diberikan secara yuridis konstitusional Hak-Hak Atas Identitas Kewarganegaraan
dengan bukti-bukti yang nyata yaitu memberikan perlakuan dan layanan yang sama kepada
seluruh Warga Negara Indonesia dalam penyelenggaraan layanan Pemerintahan,
Kemasyarakatan dan Pembangunan, dan meniadakan pembedaan dalam segala bentuk,
sifat, serta tingkatan kepada Warga Negara Indonesia baik ras atas dasar suku, etnik,
agama, kepercayaan maupun asal usul dalam penyelenggaraan layanan tersebut.
Bahwa Aparatur Penyelenggara Negara yang belum atau tidak berhasil menjalankan
amanat yuridis konstitusional sebagaimana diharapkan oleh warga negara yang
berkepentingan dan oleh Pemerintah sendiri perlu secara tegas diberikan sanksi
sebagaimana diamanatkan Pasal 36 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006.
Ketika para pendiri negara bersepakat untuk membentuk sebuah negara merdeka
yang berdaulat, mereka sebenarnya telah meletakkan prinsip-prinsip dasar diatas mana
negara merdeka yang berdaulat dan ditegakkan. Salah satu yang penting adalah
ditegakkannya prinsip kewarganegaraan yang akan menjadi dasar bagi format dan struktur
politik hukum negara kesatuan Republik Indonesia, bukan hanya pelopor kemerdekaan
Hukum Kewarganegaraan dan HAM (Bagaimana SBKRI menurut UU No. 12 Tahun 2006)
33
Laporan Buku KelompokOleh : Sawaludin, Irwan Efendi, Patoni
bagi seluruh bangsa Indonesia dari Sabang sampai Merauke, tetapi juga perintis jalan
dalam memecahkan soal-soal kewarganegaraan Warga Tionghoa Indonesia yang benar-
benar memadai di dalam proses menjadi negara bangsa di alam Indonesia merdeka.
Sekarang dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 kita doakan
dan bersama-sama berjuang agar undang-undang kewarganegaraan yang telah dirintis
dengan susah payah di masa lalu maupun sekarang yang telah dirintis oleh Dewan
Perwakilan Rakyat bersama-sama Pemerintah dengan memberlakukan Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2006 dapat kiranya diteruskan, dikawal, dan diperjuangkan dengan
memperbaiki kesalahan di masa lampau dan memperkuat yang sudah benar untuk masa
depan bangsa dan negara Republik Indonesia.
Sesungguhnya dengan semangat warga bangsa dalam mewujudkan supremasi hukum
dengan menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia, maka upaya perjuangan
berbagai pihak, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dan berbagai organisasi-organisasi
non pemerintah, anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah yang tidak kenal
akhir, maka upaya perjuangan untuk mewujudkan perlakuan yang adil bagi semua warga
telah berhasil dengan disahkannya undang-undang kewarganegaraan baru, yang
merupakan usaha bersambungan sejak dulu hingga sekarang sampai ke masa yang akan
datang, diharapkan dalam kehidupan sehari-hari yang objektif dan tidak diskriminatif
terhadap warga negara yang hendak memiliki bukti kewarganegaraan Indonesia perlu
mendapatkan prioritas utama.
Dalam perjuangan itu seluruh Warga Negara Indonesia dengan jiwa pancasila
berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 dengan tidak memandang suku, etnis, ras,
agama, kepercayaan, dan sebagainya, mempunyai kewajiban dan hak yang sama untuk
mengabdi kepada tanah air, tempat kita lahir, hidup, dan akan mati.
Hukum Kewarganegaraan dan HAM (Bagaimana SBKRI menurut UU No. 12 Tahun 2006)
34
Laporan Buku KelompokOleh : Sawaludin, Irwan Efendi, Patoni
DAFTAR PUSTAKA
Siahaan, N.H.T, dan Subiharta. (2007). Hukum Kewarganegaraan dan HAM (Bagaimana SBKRI menurut UU No. 12 Tahun 2006). Jogjakarta. Pancuran Alam dan PK2HE
__________. (2007). Politik Hukum Kewarganegaraan dan Pewarganegaraan (ii). (online) http://www.iapw.info/home/index.php?option=com_content&view=article&id=48:politik-hukum-kewarganegaraan-dan-pewarganegaraan-&catid=28:hukum&Itemid=45 . Diakses Tanggal 25 Desmber 2010
Hukum Kewarganegaraan dan HAM (Bagaimana SBKRI menurut UU No. 12 Tahun 2006)
35
top related