laporan akhir insentif riset sinas - unmer-madiun.ac.id
Post on 05-Oct-2021
5 Views
Preview:
TRANSCRIPT
LAPORAN AKHIR
INSENTIF RISET SINAS
IDENTIFIKASI PENYEBAB PENYAKIT BUSUK UMBI PORANG
(Amorphophallus mueleri Blume) DAN ISOLASI SERTA SKREENING AGENS HAYATI
UNTUK PENGENDALIAN RAMAH LINGKUNGAN
RD-2015-0019
Bidang Prioritas Iptek:
10. Teknologi Pangan
10.03 Riset Pengembangan Perkebunan
Jenis Insentif Riset:
Riset Dasar
NON KONSORSIUM
Lembaga Penelitian Dan Pengabdian Masyarakat
Universitas Merdeka Madiun
Jln. Serayu No 79 Madiun 63133
Phone (0351) 495551/Fax (0351) 495551/E-mail: lppm@unmer-madiun.ac.id
Tahun 2015
ii
iii
RINGKASAN/ABSTRAK
Identifikasi penyebab penyakit busuk umbi porang (Amorphophallus mueleri
Blume) dan isolasi serta skreening agens hayati untuk pengendalian ramah
lingkungan. Indonesia mengexport porang ke Jepang dan China. Salah satu faktor
pembatas produksi porang disebabkan serangan penyakit busuk di pertanaman dan pasca
panen. Identifikasi yang akurat dari penyebab penyakit dan isolasi serta skreening agens
hayati sangat diperlukan untuk keberhasilan pengendalian terhadap penyakit tersebut.
Penelitian bertujuan: 1) mendeteksi dan mengidentifikasi patogen busuk umbi porang; 2)
memperoleh dan menguji daya antagonisme agens hayati terhadap patogen busuk umbi
porang. Penelitian dilakukan dengan cara: 1) pendekatan Postulat Koch yaitu isolasi,
inokulasi, dan reisolasi yang dilanjutkan dengan analisis molekular untuk menentukan
spesies dari penyebab penyakit; 2) isolasi dan skreening agens hayati serta uji kemampuan
daya hambat bakteri antagonis terhadap penyakit busuk umbi porang secara in vitro. Hasil
penelitian menunjukkan penyebab busuk umbi porang terdiri atas dua isolat jamur yaitu:
Sclerotium delphinii isolate CBS221 dengan patogenisitas tertinggi yaitu 88,23%, diikuti :
Fusarium oxysporum strain Ppf15 sebesar 30,65 % dan dua isolat bakteri yaitu Serratia
nematodiphila strain DZ0503SBS1 sebesar 14,01 % dan Cedecea neteri NBRC 105707
sebesar 10,46 %. Aplikasi Pseudomonas fluorescens (Pf 11, Pf 15, dan Pf 25) mampu
menghambat patogen busuk umbi porang secara in vitro. Pseudomonas fluorescens Pf 11
mempunyai daya hambat yang lebih efektif dibandingkan Pseudomonas fluorescens Pf 15,
dan Pf 25. P. fluorescens Pf 11 memiliki prospek untuk dikembangkan sebagai alternative
pengendalian ramah lingkungan terhadap umbi katak di tempat penyimpanan.
Kata kunci: porang (Amorphophallus mueleri Blume), busuk umbi,Pseudomonas fluorescens
iv
DAFTAR ISI Halaman
Lembar Identitas dan Pengesahan .................................................................... ii
Ringkasan/Abstrak ........................................................................................... iii
Daftar Isi ........................................................................................................... iv
Daftar Tabel ...................................................................................................... v
Daftar Gambar .................................................................................................. vi
BAB 1. PENDAHULUAN .................................................................................. 1
1.1. Latar Belakang ......................................................................................... 1
1.2. Tujuan dan Sasaran .................................................................................. 2
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................... 4
1.1. Tanaman Porang (Amorphophallus muelleri Blume) ................................. 4
1.2. Penyakit Busuk Umbi Porang ................................................................... 5
BAB 3 TUJUAN DAN MANFAAT ..................................................................... 7
BAB 4. METODE ............................................................................................... 8
1.1. Laporan Tahap I ....................................................................................... 7
1.2. Laporan Tahap II ....................................................................................... 13
1.3. Laporan Tahap III ...................................................................................... 18
BAB 5. RENCANA CAPAIAN, HASIL DAN PEMBAHASAN ............................ 19
1.1. Rencana Capaian ...................................................................................... 19
1.2. Hasil .......................................................................................................... 21
1.3. Hambatan ................................................................................................... 30
1.4. Pembahasan ............................................................................................. 30
BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................. 36
1.1. Kesimpulan ................................................................................................ 36
1.2. Saran ......................................................................................................... 36
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 37
v
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Persentase penyakit busuk umbi di permukaan kulit dan
daging umbi porang berdasarkan periode tumbuh ketiga ................... 21
Tabel 2. Jenis isolat jamur penyebab busuk umbi porang hasil inokulasi ......... 24
Tabel 3. Jenis isolat bakteri penyebab busuk umbi porang hasil inokulasi ....... 27
Tabel 4. Sifat fenotipik Pseudomonas fluorescens isolate Saradan ................. 29
Tabel 5. Hasil pengujian Pseudomonas fluorescens isolat Saradan terhadap
pertumbuhan koloni penyebab penyakit busuk umbi porang ............. 29
Tabel 6. Pengaruh P.fluorescens PF 11 terhadap penekanan jumlah organ
sklerosia dari S. delphinii dan persentase perkecambahan sklerosia
pada umbi katak di penyimpanan ...................................................... 30
vi
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Tanaman porang (Amorphophallus muelleri Blume) ..................... 4
Gambar 2. Pembusukan pada umbi porang .................................................. 8
Gambar 3. Pengambilan sampel umbi dari tanaman porang ......................... 9
Gambar 4. Cara peletakan inokulum bakteri antagonis dan penyebab penyakit 17
Gambar 5. Penyebab penyakit busuk umbi porang pada 4 hari setelah inokulasi 20
Gambar 6. Gejala busuk pada umbi porang yang muncul setelah diinokulasi
dengan isolat jamur ...................................................................... 22
Gambar 7. Biakan murni dari bagian jaringan umbi porang ............................. 22
Gambar 8. Morfologi koloni jamur penyebab busuk umbi porang (200 X) ....... 23
Gambar 9. Hasil amplifikasi DNA pada isolat jamur penyebab penyakit busuk
umbi porang dalam PAGE 6% ...................................................... 23
Gambar 10. Pohon filogenetik dari isolat penyebab penyakit busuk
umbi porang .................................................................................. 24
Gambar 11. Gejala pada umbi porang dari hasil reisolasi isolat bakteri .......... 25
Gambar 12. Koloni bakteri penyebab penyakit busuk umbi porang
di bawah sinar UV ......................................................................... 25
Gambar 13. Reaksi hipersensitif pada daun tembakau ..................................... 26
Gambar 14. Hasil uji degradasi pektat isolat bakteri pendarfluor pada
umbi kentang ................................................................................ 26
Gambar 15. Pohon filogenetik yang memperlihatkan posisi isolat bakteri
nomor 5 dan 7 berdasarkan sekuen gen 6 S rRNA ....................... 27
Gambar 16. Pengamatan koloni bakteri pada medium King B di bawah
Sinar UV (λ = 366 nm) .................................................................. 28
Gambar 17. Bentuk bakteri pada pengamatan di bawah mikroskop
cahaya dengan perbesaran 1000 x ............................................... 28
Gambar 18. Pengujian reaksi hipersensitif dari Pseudomonas fluorescens
pada daun tembakau .................................................................... 29
Gambar 19. Gejala penyakit busuk umbi porang .............................................. 31
Gambar 20. Daya hambat Pseudomonas fluorescens Pf 11 terhadap
Sclerotium delphinii pada 7 hari setelah inokulasi di media
King B agar ................................................................................... 34
Gambar 21. Penyimpanan umbi katak selama dua bulan yang ditumbuhi oleh
miselium dan sklerosia ................................................................... 35
1
BAB 1.
PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Indonesia mengexport porang (Amorphophallus mueleri Blume) ke Jepang dan
Tiongkok. Bahan makanan yang berasal dari porang atau iles-iles ini mengandung
glukomanan dan disukai oleh masyarakat Jepang sebagai bahan baku mie atau
konyaku dan industri lain, seperti obat-obatan. Tanaman porang dapat dipanen setelah
berumur 3 tahun (3 kali pertumbuhan). Harga umbi saat ini diperkirakan sekitar
Rp. 4.000,-/Kg dalam keadaan basah. Umbi dalam bentuk irisan keripik yang kering
dijual sekitar Rp. 9.000,-/Kg. Apabila menjualnya langsung ke pihak investor dari
Jepang harga sekitar USD 18/Kg. Oleh karena itu budidaya tanaman porang
mempunyai prospek yang baik dan bernilai ekonomis tinggi bagi masyarakat. Sehingga
dapat membantu masyarakat dalam membuka lapangan kerja dan usaha serta
memberikan nilai tambah bagi masyarakat itu sendiri.
Salah satu faktor pembatas produksi porang disebabkan serangan penyakit
busuk umbi porang di pertanaman dan pasca panen. Jamur Sclerotium rolfsii Sacc,
Fusarium oxysporum, Pseudomonas sp, Rhizoctonia, Cercospora menyebabkan
penyakit busuk pada pangkal batang dan umbi busuk lunak (foot root). Selain itu
Batryodiplodia theobromae terjadi pada kondisi panas dan lembab. Penyebab
penyakit yang disebabkan oleh jamur terutama berkembang pada musim hujan dan
kondisi lingkungan yang lembab dengan intensitas sinar matahari rendah. Agihan
penyakit busuk pangkal batang di lahan mengelompok dengan batas tegas. Hal ini
menunjukkan penyebab penyakit terbawa melalui tanah (Setiasih, 2008; Andayanie,
2014). Pengamatan berdasarkan gejala secara visual terhadap penyakit tersebut
sebagai langkah awal identifikasi, namun tidak dapat dijadikan jaminan. Penyakit
busuk pada pangkal batang yang menyerang melalui akar menimbulkan tantangan
dalam pengelolaan penyakit yang efektif. Oleh karena sumber inokulum awal sudah
ada di dalam tanah sebelum awal pertumbuhan atau diintroduksi oleh tanaman
inang. Identifikasi yang akurat dari penyebab penyakit sangat diperlukan untuk
keberhasilan pengendalian terhadap penyakit tersebut.
Pengendalian hayati menggunakan mikroorganisme yang berasosiasi dengan
rizosfer perakaran tanaman yang sehat lebih aman,ramah lingkungan dan
berkesinambungan serta dapat diintegrasikan dengan pengendalian hama terpadu.
Saat ini bakteri Pseudomonas fluorescens banyak dimanfaatkan sebagai agens hayati.
2
Rizobakteri dari genus Pseudomonas, Bacillus dapat meningkatkan pertumbuhan
tanaman, menguraikan dinding sel patogen dan menghambat pertumbuhan patogen
dengan menghasilkan senyawa antimikroba seperti siderofor ( Weller et al., 2002;
Joseph et al., 2007; Chandrashekhara, 2007; Diniyah, 2010). Tahapan pengembangan
agens hayati dilakukan melalui isolasi, skreening in vitro, uji kemampuan antagonisme,
skreening in vivo, dan pengembangan formulasi (Ahmed et al., 2007).
Eksplorasi keragaman bakteri rizozfer di perakaran tanaman porang yang
sehat diperlukan untuk mengetahui potensi ketersediaan agens hayati pada
pengendalian penyakit busuk umbi porang.
Pengendalian penyakit busuk umbi pada tanaman porang akan meningkatkan
kandungan glukomanan. Kemampuan agens hayati dalam meningkatkan pertumbuhan
dan pengendalian penyakit pada berbagai komoditas telah banyak dilaporkan peneliti,
tetapi informasi tentang penggunaan agens hayati untuk pengendalian busuk umbi
porang di sentra penanaman porang belum pernah dilaporkan, khususnya di
Indonesia. Upaya identifikasi penyebab penyakit busuk umbi dan isolasi serta
skreening agens hayati yang akurat akan digunakan sebagai strategi pengendalian
busuk umbi porang. Selain itu membantu penyelamatan umbi porang dan
pengembangan sumber pangan alternatif serta meningkatkan devisa negara melalui
export porang dalam bentuk chip melalui program pengelolaan hutan bersama
masyarakat, sehingga dapat memperkuat Sistim Inovasi Nasional (SINas).
1.2. TUJUAN DAN SASARAN
a. Tujuan
Tujuan Umum: Tujuan umum penelitian sebagai upaya untuk peningkatan
produksi porang dan ketahanan pangan nasional yang akan teragregasi ke dalam
SINas melalui:
i) Isolasi dan identifikasi penyebab penyakit busuk umbi yang akurat sebagai langkah
awal pengendalian penyakit busuk umbi porang (laporan kemajuan I).
ii) Isolasi dan potensi bakteri rizozfer pada tanaman porang sehat sebagai agens
hayati penyakit busuk umbi porang (laporan kemajuan II).
iii) Mendapatkan umbi katak yang sehat di penyimpanan (laporan kemajuan III).
Tujuan Khusus: Tujuan khusus penelitian terdiri atas:
i) Mengetahui dan mengkaji intensitas penyakit busuk umbi porang yang disebabkan
oleh organisme patogenik di sentra penanaman porang di Kabupaten Madiun
(laporan kemajuan I).
3
ii) Mengkaji dan mempelajari derajad (tingkat) virulensi isolat organisme patogenik
dominan yang berasal dari daerah sentra penanaman porang di Kabupaten Madiun
(laporan kemajuan I).
iii) Melakukan karakterisasi dan identifikasi isolat dari organisme patogenik yang
berasosiasi dengan umbi porang berdasarkan analisis fenotipik (konvensional) dan
genotipik (molekular) (laporan kemajuan I).
iv) Mendapatkan dan melakukan identifikasi isolat rizobakteri dari rizosfer tanaman
porang sehat di daerah endemis penyakit busuk umbi porang (laporan kemajuan II).
v) Mengevaluasi daya hambat dan efektivitas isolat-isolat rizobakteri untuk menekan
penyakit busuk umbi porang (laporan kemajuan II).
vi) Memperoleh bulbil atau umbi katak yang sehat dengan penggunaan isolat yang
tertinggi daya hambatnya terhadap penyebab penyakit busuk umbi (laporan
kemajuan III).
b. Sasaran
Diperoleh identifikasi penyebab penyakit busuk umbi porang (laporan
kemajuan I) dan identifikasi bakteri rizozfer serta potensi bakteri tersebut sebagai
agens hayati (laporan kemajuan II) untuk strategi pengendalian penyebab penyakit
busuk umbi porang yang ramah lingkungan melalui penggunaan umbi katak yang
sehat, sehingga kualitas dan kuantitas umbi porang dapat ditingkatkan (laporan
kemajuan III).
4
BAB 2.
TINJAUAN PUSTAKA
1.1. TANAMAN PORANG (Amorphophallus muelleri Blume)
Amorphophallus muelleri dikenal dengan nama lokal porang. Tanaman porang
menyebar dari Kepulauan Andaman melewati Myanmar, Thailand bagian utara sampai
ke Sumatera, Jawa terus ke Flores dan Timor (Yuzammi, 2000). Tanaman ini memiliki
bulbil atau umbi katak yang terdapat pada tengah dan pada percabangan rakhisnya,
sehingga berbeda dengan jenis Amorphophallus lainnya yang ada di Pulau Jawa.
Umbi katak dapat digunakan untuk bahan perbanyakan tanaman secara generative.
Umbi katak yang dipilih harus sehat, sehingga persentase tumbuh dapat mencapai di
atas 90 %. Daun biasanya hanya satu per umbi akan tetapi terkadang dijumpai juga
adanya daun tumbuh lebih dari satu. Tangkai daun halus, hijau atau hijau kecoklatan
atau hampir hitam pada bagian latar dengan totol-totol kecil atau berbentuk jajaran
genjang (rhomboid) atau berbentuk seperti garis-garis, berjumlah banyak, berwarna
hijau pucat atau hijau muda (Gambar 1). Tanaman porang yang cukup besar dapat
menghasilkan umbi katak ± 40 /pohon. Umbinya berwarna coklat tua pada bagian luar,
kuning atau orange pada bagian dalam dan tidak mempunyai umbi samping.
Gambar 1. Tanaman porang (Amorphophallus muelleri Blume)
Pangsa pasar umbi porang mencakup pasar dalam negeri dan luar negeri.
budidaya tanaman porang mempunyai prospek yang baik dan bernilai ekonomis tinggi
bagi masyarakat ( Rachmawati dan Daroini, 2014). Satu gelondong porang memiliki
berat sekitar 1 – 3 kg. Harga chips mencapai Rp 28.000/kg. Lahan seluas kurang lebih
1 hektar dapat menghasilkan 12 ton porang gelondongan dan 4 kuintal katak. Harga
katak pada tahun 2014 mencapai Rp 50.000/kg.
5
1.2. PENYAKIT BUSUK UMBI PORANG
Salah satu faktor pembatas produksi porang disebabkan serangan penyakit
busuk umbi di pertanaman dan pasca panen. Pengamatan berdasarkan gejala secara
visual terhadap penyakit tersebut sebagai langkah awal identifikasi, namun tidak dapat
dijadikan jaminan. Identifikasi yang akurat secara biologi, dan fisiologi serta molekular
dari penyebab penyakit sangat diperlukan untuk keberhasilan pengendalian terhadap
penyakit tersebut. Agihan penyakit busuk pangkal batang di lahan mengelompok
dengan batas tegas. Hal ini menunjukkan penyebab penyakit terbawa melalui tanah
dan sulit dikendalikan secara kimiawi karena penyebarannya sangat cepat (Setiasih,
2008; Andayanie, 2014). Kondisi tersebut memberikan gagasan untuk melakukan
pengendalian penyakit busuk umbi porang yang ramah lingkungan dan berkelanjutan
dengan pemanfaatan agens hayati.
1.3. PENGENDALIAN PENYAKIT BUSUK UMBI PORANG
Rizobakteri dapat digunakan untuk mengendalikan penyakit melalui beberapa
cara yaitu produksi senyawa antibiosis, persaingan ruang dan nutrisi, penguraian
faktor kepatogenan seperti enzim kitinase (1-3 glukanase) sebagai pendegradasi
dinding sel serta menghasilkan fitohormon (Van Loon, 2007; Wiyono et al., 2008).
Salah satu rizobakteri yang mempunyai potensi sebagai agens hayati yaitu
Pseudomonas fluorescens. Bakteri ini diisolasi dari perakaran tanaman gandum
bersifat sebagai antifungi dan antibakteri dari penyebab penyakit. Kemampuan
rizobakteri dalam menginduksi ketahanan tanaman bervariasi. Isolat yang efektif
mengendalikan penyakit tanaman adalah yang berasal dari rizoplan tanaman yang
bersangkutan (indigenus). Bakteri kelompok ini menghasilkan pigmen berwarna hijau
kuning yang dapat digunakan untuk identifikasi serta klasifikasi dari senyawa
fluorescence atau pyoverdin yang berpendar di bawah cahaya ultraviolet (panjang
gelombang 266 nm (Nawangsih et.al., 2014). Pengendalian penyakit dengan
menggunakan P. fluorescens merupakan salah satu alternatif pengendalian yang
ramah lingkungan, berkesinambungan dan dapat diintegrasikan dalam program
pengendalian hama terpadu ( Soesanto et al., 2011; Yanti et al., 2013).
Kemampuan Rizobakteria mengendalikan penyakit pada berbagai komoditas
telah banyak dilaporkan, tetapi penggunaan rizobakteria dari lingkungan habitat
tanaman porang belum pernah dilaporkan. Oleh karena itu identifikasi dan potensi
6
rizobakteri tersebut perlu dievaluasi dan dipertimbangkan untuk pengendalian penyakit
busuk umbi porang di pertanaman dan pasca panen.
Keberhasilan pengendalian hayati sangat dipengaruhi oleh daya antagonis atau
daya hambat yang dimiliki isolat atau jumlah inokulum yang digunakan dan cara
aplikasinya (Cook & Baker, 1996). Leeman et al. (l995) mengatakan bahwa aplikasi
Pseudomonas fluorescens melalui penyelaputan benih (seed coating) sangat sesuai
dan praktis untuk pengendalian patogen tular tanah. Oleh karena umbi katak yang
terinfeksi penyakit busuk umbi akan menjadi sumber inokulum di lapangan. Masalah
yang perlu mendapat perhatian dalam penggunaan Pseudomonas fluorescens yaitu
daya hambat harus tinggi dan konsentrasinya aplikasi efektif, terutama pada benih
umbi katak saat penyimpanan.
7
BAB 3.
TUJUAN DAN MANFAAT
Tujuan dan manfaat penelitian ini adalah:
1. Diharapkan dapat berguna sebagai bahan informasi dasar tentang keberadaan
mikroorganisme patogenik pada umbi porang terutama tentang intensitas penyakit,
virulensi patogen, karakteristik mikroorganisme patogenik berdasarkan fenotipik dan
genotipik. Informasi ini dipergunakan sebagai salah satu dasar untuk membantu
pengendalian busuk umbi porang yang tepat Selain itu hasilnya dapat berguna
sebagai data base penelitian porang di Indonesia (laporan kemajuan I).
2. Mendapatkan dan melakukan identifikasi isolat rizobakteri dari rizoplan
tanaman porang (indigenus). Manfaat penelitian untuk mengetahui senyawa yang
berpendar dari kelompok Pseudomonas spp dan morfologi serta sifat fenotipik dari
sel bakteri tersebut (laporan kemajuan II).
3. Mendapatkan daya hambat isolat Pseudomonas fluorescens terhadap patogen
penyebab busuk umbi porang secara in vitro. Manfaat penelitian ini untuk melihat
keefektifan daya hambat rizobakteri terhadap penyebab penyakit busuk umbi
porang (laporan kemajuan II).
4. Mempelajari konsentrasi yang efektif Pseudomonas fluorescens terhadap penularan
penyebab penyakit busuk umbi porang melalui umbi katak saat penyimpanan
(laporan kemajuan III).
8
BAB 4.
METODE
1.1. Laporan Tahap I
Sampel umbi diperoleh dari pertanaman porang yang bergejala busuk umbi di
bawah tegakan hutan jati Kecamatan Saradan Kabupaten Madiun. Analisis sampel
dilakukan di laboratorium Agroteknologi Universitas Merdeka Madiun dan di
laboratorium LPPT Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Penelitian isolasi dan
identifikasi penyebab penyakit busuk umbi porang dilakukan mulai bulan April 2015
sampai bulan Agustus 2015. Metode penelitian dilakukan dengan pengamatan
intensitas penyakit, pendekatan Posulath Koch yaitu: isolasi, inokulasi, reisolasi,dan
pengamatan secara visual di bawah mikroskop serta analisis molekular.
a. Pengamatan Intensitas Penyakit
Gejala busuk umbi porang diamati pada periode tumbuh ketiga yaitu 2 minggu
sebelum tanaman rebah (MSBTR), saat tanaman rebah (TR), dua minggu setelah
tanaman rebah (MSTR). Pengambilan umbi dilakukan, masing-masing sebanyak 10
tanaman. Masa pengamatan ini merupakan panen ketiga dari umbi porang dengan
kandungan glukomanan yang tinggi, jika umbi tersebut sehat (Chairiyah, 2014).
Persentase umbi yang terserang dibedakan menjadi persentase umbi bergejala busuk
di bagian luar dan persentase umbi bergejala busuk di bagian dalam (Gambar 2).
Gambar 2. Pembusukan pada umbi porang: A) miselium jamur nampak di bagian luar umbi; B) pembusukan nampak di bagian dalam umbi
Intensitas busuk umbi di bagian kulit umbi dihitung menggunakan rumus:
∑ (n x v) I = x 100% N x Z I = intensitas serangan
n = jumlah umbi yang terserang dengan nilai skor tertentu
v = harga numerik tiap tingkat kerusakan (skor)
A B
9
N = jumlah semua sampel yang diamati
Z = nilai tingkat kerusakan (skor) tertinggi
Skor tingkat kerusakan yang digunakan yaitu:
1 = umbi porang nampak sehat, kulit umbi mulus tanpa ada cacat
2 = bagian kulit umbi porang sedikit sekali membusuk
3 = bagian batang dan kulit umbi porang sedikit membusuk dan tidak lepas secara
alami
4 = bagian batang dan kulit umbi porang membusuk dan tidak lepas secara alami
5 = bagian batang dan kulit umbi porang membusuk dengan miselium nampak di
bagian batang dan kulit luar umbi porang
Persentase busuk umbi porang di bagian dalam dihitung dengan rumus:
P = A/B x 100%
P = persentase serangan
A = jumlah contoh umbi porang yang daging buahnya mengalami pembusukan
B = jumlah contoh umbiporang yang diamati
b. Pengambilan Sampel Umbi Porang Bergejala Busuk dan Isolasi Penyebab
Penyakit
Umbi porang diambil dari tanaman yang menunjukkan gejala pangkal batang
dan umbi yang mengalami pembusukan sebanyak 10 tanaman porang (Gambar 2).
Gambar 3. Pengambilan sampel umbi dari tanaman porang: A) pembusukan dan miselium
nampak pada pangkal batang; B) pembusukan pada umbi
Sampel umbi yang mengalami pembusukan di pertanaman diamati di
laboratorium. Tanah pada bagian umbi dibersihkan dengan air mengalir dan
dikeringanginkan. Umbi diseka dengan alkohol 70% sebanyak tiga kali. Bagian
jaringan umbi diambil secara aseptik dan direndam di dalam larutan natrium hipoklorit
2% selama 3 menit. Selanjutnya dibilas sebanyak tiga kali dengan aquadest steril
serta dikeringkan dengan tissue steril. Jaringan ditumbuhkan dalam media PDA
A B
10
(Potato Dextrose Agar) kloramfenikol untuk mendapatkan isolat jamur. Isolat bakteri
diperoleh dengan cara perendaman bagian jaringan bergejala di dalam 5 ml air steril.
Setelah jaringan mengeluarkan oose bakteri, kemudian diambil satu oose serta
ditumbuhkan pada media CPG (Cassamino Pepton Glucose Agar). Jaringan dan
oose pada masing-masing media tersebut diinkubasikan selama tiga hari. Isolat
jamur dan atau bakteri yang tumbuh di subkultur pada media yang baru sampai
didapatkan biakan murni.
c. Inokulasi Isolat Jamur Penyebab Penyakit Busuk Umbi Porang
Umbi porang sehat dan telah steril umur satu bulan disiapkan untuk inokulasi
isolat patogen. Biakan murni dari isolat jamur diinokulasikan satu persatu pada umbi
porang yang sehat di laboratorium. Umbi porang dibelah dan dilubangi bagian
tengahnya. Bagian yang lubang pada umbi disentuhkan masing-masing isolat dengan
jarum ose. Sedangkan perlakuan kontrol tidak disentuhkan dengan isolat. Masing-
masing isolat jamur dilakukan dengan 10 kali ulangan dan diletakkan pada gelas
plastik transparan yang telah disterilkan dengan alkohol. Gejala busuk umbi yang
muncul di laboratorium diamati secara visual.
d. Reisolasi Isolat Jamur Penyebab Penyakit Busuk Umbi Porang
Umbi hasil inokulasi dengan isolat jamur penyebab penyakit yang
menunjukkan gejala pada hari ketiga diisolasi mikroorganismenya. Isolasi dilakukan
dengan pengambilan jaringan (± 2 mm2) antara yang sakit dan sehat. Jaringan
diambil secara aseptik kemudian direndam dalam larutan hipoklorit selama 3 menit.
Selanjutnya dibilas sebanyak tiga kali dengan aquadest steril serta dikeringkan
dengan tissue steril. Bagian jaringan tersebut diinkubasikan selama 3 hari. Selanjutnya
dibilas sebanyak tiga kali dengan aquadest steril serta dikeringkan dengan tissue
steril. Jaringan ditumbuhkan dalam media PDA (Potato Dextrose Agar) kloramfenikol
untuk memastikan jamur yang sama dengan yang diinokulasi sebelumnya.
e. Identifikasi Isolat Jamur Penyebab Penyakit Busuk Umbi Porang
Isolat jamur hasil reisolasi yang menimbulkan gejala busuk umbi diidentifikasi di
bawah mikroskop dengan mencocokkan ciri-ciri jamur yang teramati ( Barnet & Hunter,
1998; CMI, 1981). Analisis secara molekular dilakukan sebagai berikut:
1) Ekstraksi DNA
Isolat jamur ditumbuhkan pada medium PDA. Jamur yang tumbuh disubkultur
ke dalam 50 ml medium Potato Dextrose Broth, digoyang di atas shaker dengan
11
kecepatan 125 rpm selama 7-10 hari pada suhu ruang. Ekstraksi DNA jamur dilakukan
dengan menggunakan bahan-bahan ekstraksi. Kultur jamur disaring dan miselium
ditimbang 0,5 gram dan dihaluskan dengan mortar dengan cara menambah 700 µl
CTAB 2% dan 500-700 µg pasir kwarsa. Sebanyak miselium dimasukkan dalam tube
1,5 ml diinkubasikan pada suhu 60°C selama 30 menit dalam waterbath, selanjutnya
disentrifuse 5.000 rpm selama 5 menit. Supernatan diambil dan dimasukkan dalam
tube baru dan ditambahkan dengan CIAA dengan volume yang sama dan divortex
selama 1-3 menit. Selanjutnya disentrifuse 12.000 rpm selama 10 menit. Supernatan
dipindahkan lagi dalam tube baru dan ditambahkan ethanol 96 % (1 M) sebanyak 1-2
kali volume supernatan yang didapatkan. Selanjutnya disimpan semalam pada suhu -
20 °C dan disentrifuse 12.000 rpm selama 10 menit. Supernatan dipindah kedalam
tube baru dan ditambah ethanol 70% sampai penuh dan digojog selama1-3 menit,
kemudian disentrifuse 12.000 rpm selama 10 menit dan ethanol dibuang. Pelet yang
didapatkan dikeringanginkan dan ditambah TE buffer 20 µL dan disimpan pada suhu -
20 °C.
2) Amplifikasi gen 16S rRNA DNA genom hasil ekstraksi digunakan untuk amplifikasi gen 18S-rRNA.
Selanjutnya, sampel DNA tersebut diamplifikasi dengan menggunakan pasangan
primer universal untuk berbagai spesies jamur yaitu 18S FWEU (5’-AGG ATC CAT
TGG AGG GCA AGT -3’) dan 18SRVEU (5’-TCC ACC TAC GAG CTT TTT ACC TGC
A -39). Komponen reaksi PCR (25 µl) mengandung PCR kit KAPA (10 µl), primer 27F
dan 1509R (masing-masing 2 µl), DNA cetakan (2 µl) dan dH2O (9 µl). Tahapan PCR
terdiri atas pre-denaturasi pada suhu 94 ºC selama 1 menit, denaturasi pada suhu
94 OC selama 30 detik, annealing (pelekatan primer) pada suhu 55 OC selama 30 detik,
extension pada suhu 72 OC selama 45 detik dan final extension pada suhu 72 OC
selama 5 menit dan PCR dijalankan selama 30 siklus. Tahap akhir suhu diturunkan
dan dipertahankan pada 4OC, kemudian siap untuk divisualisasi. Hasil amplifikasi DNA
kemudian divisualisasi menggunakan elektroforesis gel agarose dengan konsentrasi
1%. Setelah amplifikasi, DNA marker dan larutan DNA produk amplifikasi gen 18S
rRNA, masing-masing sebanyak 5 µl dimasukkan ke dalam sumur gel agarose dalam
1 x TBE dan alat elektroforesis di running dengan 110 V selama 30 menit .
Pita DNA hasil elektroforesis dideteksi dengan pengecatan ethidium bromida
selama 15 menit dan gel diletakkan di atas permukaan UV transilluminator, kemudian
divisualisasi dengan fotografi cahaya UV. Selanjutnya didokumentasikan dengan
kamera digital.
12
3) Analisis filogenetik
Hasil amplifikasi DNA dengan teknik PCR, selanjutnya disekuensing pada
perusahaan jasa sekuensing PT Genetika Science Indonesia (1st BASE Pte Ltd
Malaysia). Hasil sekuen berupa data perunutan DNA kemudian dianalisis tingkat
kesamaan atau kekerabatan genetik dari isolat yang diperoleh dengan data sekuen
GenBank menggunakan program BLAST-N (Basic Local Alignment Search Tool) .
Dengan program BLAST metode neighbour joining dibuat pohon filogenetik.
f. Identifikasi Isolat Bakteri Penyebab Penyakit Busuk Umbi Porang
Identifikasi isolat bakteri dilakukan setelah reisolasi biakan murni dari isolat
bakteri ke umbi porang dengan cara sebagai berikut:
1) Karakterisasi koloni bakteri
Karakterisasi bakteri yang diamati berdasarkan fisiologi bakteri yaitu: produksi
pigmen fluorescens, uji busuk lunak, reaksi gram, dan reaksi hipersensitif.
i. Produksi pigmen fluorescens dan warna koloni bakteri
Biakan murni isolat bakteri ditumbuhkan pada media King agar pada satu
cawan. Isolat bakteri yang tumbuh diamati di bawah sinar UV dengan panjang
gelombang 365 nm untuk pengamatan koloni bakteri dan pendarfluor yang dihasilkan.
Koloni bakteri yang tumbuh dan berpendar digoreskan kembali pada media King B
hingga diperoleh koloni tunggal. Koloni bakteri diamati di bawah sinar UV untuk melihat
koloni yang berpendar.
ii. Uji degradasi pektat
Uji degradasi pektat menggunakan umbi kentang sehat berbobot 30 g. Umbi
dicuci dengan air mengalir selanjutnya diusap dengan alkohol 96% dan dibilas dengan
air steril. Umbi kentang dibelah dan dibuat lubang (sumuran) ditengahnya. Isolat
bakteri umur 48 jam dituangkan pada sumuran tersebut. Umbi kentang diinkubasikan
pada suhu kamar selama 48 jam dengan kondisi anaerob. Pengamatan dilakukan
pada 24 jam dan dilanjutkan pada 48 jam. Untuk kontrol air steril dituangkan pada
sumuran umbi kentang.
iii. Reaksi gram
Uji reaksi gram menggunakan KOH 3%. Apabila saat pengujian dijumpai
benang hifa berarti gram negatif. Bakteri gram negatif mempunyai sifat patogenik.
iv. Uji hipersensitif
Pengujian hipersensitif dilakukan pada bakteri yang telah dipastikan berpendar
di bawah sinar UV. Pengujian ini menggunakan kerapatan bakteri 106 cfu/ml dan
13
diinfiltrasi pada daun tembakau. Hasil infiltrasi pada daun tersebut diiinkubasikan
selama 24 jam. Gejala nekrosis yang berwarna coklat muda hingga coklat tua dan
daun nampak tipis akan dihasilkan pada permukaan daun bagian atas, jika bakteri
yang diinfiltrasikan patogenik.
2) Analisis molekular
i. Ekstraksi DNA
Isolat bakteri yang berasal dari koloni tunggal ditumbuhkan pada medium NA
miring dalam tabung reaksi dan diinkubasikan dalam inkubator pada suhu 30OC
selama 48 jam. Isolat bakteri dipindahkan dan ditumbuhkan kembali ke dalam 5 ml
medium Nutrien Broth, digoyang di atas shaker dengan kecepatan 125 rpm selama 16
– 24 jam pada suhu ruang. Ekstraksi DNA bakteri dilakukan dengan menggunakan
bahan-bahan ekstraksi. Kultur bakteri dimasukkan dalam tube 1,5 ml disentrifuse
dengan kecepatan 12.000 rpm untuk mendapatkan sel bakteri dan selanjutnya
ditambah dengan 540 µL buffer TE dan 30 µL SDS 10% dan diinkubasikan selama
1 jam pada suhu 37°C dalam oven. Suspensi tersebut ditambah dengan 100 µL NaCl
5 M dan 80 µL CTAB/NaCl dan digojog, selanjutnya diinkubasikan pada suhu 65 °C
selama 10 menit dalam waterbath. Kemudian sebanyak 750 µL CIAA ditambahkan dan
digojog, selanjutnya disentrifuse 12.000 rpm selama 5 menit. Supernatan dipindahkan
kedalam tube baru dan ditambahkan dengan PCIAA sebanyak 600 µL untuk kemudian
disentrifuse 12.000 rpm selama 5 menit. Supernatan dipindahkan lagi dalam tube baru
dan ditambahkan ethanol 96 % (1 M). Selanjutnya disentrifuse 12.000 rpm selama
5 menit dan pelet dicuci dengan ethanol 70% dingin sebanyak 300 µL, kemudian
disentrifuse 12.000 rpm selama 5 menit. Pelet yang didapatkan dikeringanginkan dan
ditambah TE buffer 20 µL dan disimpan pada suhu -20 °C.
ii. Amplifikasi gen 16S rRNA
DNA genom hasil ekstraksi digunakan untuk amplifikasi gen 16S-rRNA.
Selanjutnya, sampel DNA tersebut diamplifikasi dengan menggunakan pasangan
primer universal untuk berbagai spesies bakteri yaitu 27F (5’-
AGAGTTTGATCCTGGCTCAG-3’) dan 1509R (5’-GGTTACCTTGTTACGACTT-3’).
Komponen reaksi PCR (25 µl) mengandung PCR kit KAPA (10 µl), primer 27F dan
1509R (masing-masing 2 µl), DNA cetakan (2 µl) dan dH2O (9 µl). Tahapan PCR
terdiri atas pre-denaturasi pada suhu 94 ºC selama 2 menit, denaturasi pada suhu 95
OC selama 15 detik, annealing (pelekatan primer) pada suhu 57 OC selama 30 detik,
extension pada suhu 68 OC selama 30 detik dan final extension pada suhu 72 OC
selama 5 menit dan PCR dijalankan selama 30 siklus. Tahap akhir suhu diturunkan
14
dan dipertahankan pada 4OC, kemudian divisualisasi dengan elektroforesis gel
agarose konsentrasi 1%. Setelah amplifikasi, DNA marker dan larutan DNA dari produk
amplifikasi gen 16S rRNA, masing-masing sebanyak 5 µl dimasukkan kedalam sumur
gel agarose dalam 1 x TBE dan alat elektroforesis di running dengan 90 V/80 menit .
Pita DNA hasil elektroforesis dideteksi dengan pengecatan ethidium bromida
selama 15 menit dan gel diletakkan di atas permukaan UV transilluminator, kemudian
divisualisasi dengan fotografi cahaya UV. Selanjutnya didokumentasikan dengan
kamera digital.
iii. Sekuensing gen 16S rRNA dan Analisis filogenetik
Hasil amplifikasi DNA dengan teknik PCR, selanjutnya disekuensing pada
perusahaan jasa sekuensing PT Genetika Science Indonesia (1st BASE Pte Ltd
Malaysia). Hasil sekuen berupa data perunutan DNA kemudian dianalisis tingkat
kesamaan atau kekerabatan genetik dari isolat yang diperoleh dengan data sekuen
GenBank menggunakan program BLAST-N (Basic Local Alignment Search Tool) .
Pohon filogenetik sibuat dengan program BLAST metode neighbour joining .
1.2. Laporan Tahap II
Sampel tanah diperoleh dari tanaman porang yang sehat di sekitar
pertanaman yang terserang penyakit busuk umbi (bulbs rot) dan busuk pangkal
batang (collar rot) di bawah tegakan hutan jati Kecamatan Saradan Kabupaten
Madiun. Analisis sampel tanah dilakukan di laboratorium Agroteknologi Universitas
Merdeka Madiun dan LPPT Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Penelitian
dilakukan mulai bulan September 2015 sampai bulan November 2015.
Pemahaman sifat-sifat dari agens hayati, seperti sifat fenotipik bakteriologis
dan sifat patogenisitas terhadap tanaman porang diperlukan untuk keefektifan
pengendalian hayati. Metode penelitian dilakukan dengan cara: isolasi, skreening in
vitro, uji kemampuan antagonisme.
a. Isolasi dan Identifikasi Agens Hayati
Isolasi agens hayati dilakukan dengan cara pengambilan tanah yang melekat
disekitar perakaran tanaman porang sehat. Selanjutnya tanah dimasukkan dan
disimpan dalam kantung plastik untuk dianalisa. Sampel tanah dengan berat 1 g
dimasukkan dalam erlenmeyer yang berisi 10 ml larutan bufer fosfat 0,1 M dengan pH
7,0. Larutan divortex dan supernatan dibuat pengenceran 6 kali (10-6). Supernatan
sebanyak 1 ml dibiakkan dalam media King B agar dan diinkubasikan pada suhu kamar
15
selama 48 jam. Selanjutnya dilakukan isolasi kembali bakteri pada media King B
hingga diperoleh isolat murni.
Identifikasi bakteri antagonis diamati berdasarkan:1) pengamatan morfologi
koloni dan sel; 2) sifat fisiologi dan biokimia.
1) Pengamatan morfologi koloni dan sel bakteri antagonis
Bentuk dan warna koloni bakteri diamati di bawah mikroskop dengan sinar ultra
violet panjang gelombang 365 nm (UV tipe Gamac). Pengecatan negatif dilakukan
untuk melihat morfologi individu sel dengan metode Yutono et al., 1973.
2) Sifat fisiologi dan biokimia bakteri antagonis
Pengujian sifat fisiologi dan biokimia bakteri dilakukan dengan cara sebagai
berikut:
a) Pengujian gram
Isolat murni dari bakteri yang berumur 24 jam diambil sebanyak satu ose dan
diletakkan pada gelas obyek steril yang telah ditetesi dengan KOH 3% serta diaduk,
sehingga tercampur rata. Selanjutnya jarum ose diangkat perlahan-lahan, jika lengket
di jarum ose digolongkan gram negatif dan tidak lengket digolongkan gram positif
(Lelliot & Stead, 1987).
b) Reduksi Hidrogen Peroksidase (H2O2)
Isolat murni dari bakteri yang berumur 24 jam diambil sebanyak satu ose dan
digoreskan pada gelas obyek steril yang telah ditetesi dengan H2O2 3%, jika terjadi
gelembung udara menunjukkan bakteri tersebut mereduksi H2O2 (Lelliot & Stead,
1987).
c) Hidrolisis pati
Isolat murni dari bakteri yang berumur 24 jam ditumbuhkan pada medium pati
dan diinkubasikan selama 5 hari. Selanjutnya isolat ditetesi dengan reagen Iodium
pati, jika disekitar koloni menjadi bening menunjukkan reaksi positif. Reaksi negatif
akan nampak di sekitar koloni berwarna biru tua atau gelap (Lelliot & Stead, 1987).
d) Enzim gelatin
Isolat murni dari bakteri yang berumur 24 jam diinokulasikan pada medium
gelatin di dalam tabung reaksi dan diinkubasikan pada temperatur ruang selama 3 hari.
Selanjutnya diinkubasikan di dalam kulkas (suhu 4oC) selama 2 jam. Jika medium
tetap cair menunjukkan reaksi positif atau bakteri dapat menghidrolisis gelatin
(Klement, 1990).
16
e) Produksi Indol
Isolat murni dari bakteri yang berumur 24 jam ditumbuhkan pada medium
Indol dan diinkubasikan selama 3 −5 hari. Pengamatan dilakukan dengan meneteskan
larutan Iodin. Jika pada permukaan medium tersebut terdapat cincin merah
menunjukkan reaksi positif (Klement, 1990).
f) Reduksi nitrat
Isolat murni dari bakteri yang berumur 24 jam ditumbuhkan pada medium
Nitrat dalam tabung reaksi dan diinkubasikan selama 4 hari. Selanjutnya ditambahkan
1 ml reagen Nitrat dan diinkubasikan selama 24 jam pada temperatur ruangan. Jika
pada permukaan medium tersebut berwarna merah menunjukkan bakteri tersebut
mereduksi Nitrat (Klement, 1990).
g) Hidrolisis arginin
Isolat murni dari bakteri yang berumur 24 jam ditumbuhkan pada medium
dengan kandungan L-arginin di dalam dua tabung reaksi, masing-masing ditutup
dengan minyak parafilm dan tanpa ditutup minyak parafilm. Selanjutnya diinkubasikan
pada suhu 27oC selama 5 hari. Reaksi positif ditunjukkan dengan perubahan media
berwana merah pada tabung yang ditutup parafilm dan berwarna merah jambu pada
tabung yang tanpa ditutup parafilm (Lelliot & Stead, 1987).
h) Pembentukan Levan
Bakteri ditumbuhkan pada medium Nutrien Agar dengan penambahan sukrosa
5%. Selanjutnya diinkubasikan pada temperatur ruangan selama 2 hari. Pembentukan
levan sukrosa ditunjukkan dengan koloni bakteri yang transparan sampai gelap,
berlendir (mukoid) dan berbentuk cembung (Fahy & Hayward, 1983).
3) Pengujian koloni bakteri antagonis menghambat pertumbuhan koloni patogen
busuk umbi porang
Sclerotium delpinii isolate CBS221 dan Fusarium oxysporum strain Ppf15
sebagai kelompok jamur penyebab penyakit busuk umbi porang dan Cedecea lapagei
strain DSM 4597 dan Serratia marcecens subsp. Sakuensis strain KRED (laporan
kemajuan I) akan digunakan untuk uji daya hambat dari bakteri antagonis. Pengujian
dilaksanakan pada media King B agar dalam cawan petri.
Pengujian pada kelompok patogen jamur, bagian bawah cawan petri masing-
masing diberi garis tengah dengan spidol marker. Inokulum koloni bakteri antagonis
berumur 48 jam dengan cork borer ukuran diameter 5 mm diletakkan dengan jarak 3
cm dari tepi cawan petri. Sedangkan inokulum koloni penyebab penyakit busuk umbi
porang dengan cara yang sama, tetapi arahnya berlawanan dengan koloni bakteri
17
antagonis. Masing-masing inokulum koloni penyebab penyakit tersebut diletakan pada
cawan petri yang berbeda (Gambar 5). Selanjutnya inokulum tersebut diinkubasikan
selama 7 hari. Pengamatan dilakukan setiap hari dengan mengukur jari-jari koloni
Sclerotium delpinii isolate CBS221 dan Fusarium oxysporum strain Ppf15.
Gambar 4. Cara peletakan inokulum bakteri antagonis dan penyebab penyakit Keterangan : Pf = Pseudomonas fluorescens; P = Sclerotium delpinii;
Fusarium oxysporum
Daerah penghambatan diukur dengan rumus:
r1 – r2 I = x 100% r1
I = daya hambat (%).
r1 = jari-jari koloni Sclerotium delpinii isolate CBS221 dan Fusarium oxysporum strain
Ppf15 yang arahnya berlawanan dengan koloni bakteri antagonis.
r2 = jari-jari koloni Sclerotium delpinii isolate CBS221 dan Fusarium oxysporum strain
Ppf15 yang arahnya menuju koloni bakteri antagonis.
Pengujian pada kelompok patogen bakteri Cedecea lapagei strain DSM 4597
dan Serratia marcecens subsp. Sakuensis strain KRED dilakukan dengan
penambahan 6 ml air steril pada biakan patogen bakteri. Selanjutnya suspensi bakteri
diambil sebanyak 100 µl (107cfu/ml), dituangkan dalam cawan petri yang berisi media
King B agar, kemudian kertas saring steril diletakkan ditengah petri dan ditetesi bakteri
antagonis sebanyak 20 µl ( Navitasari et al., 2013).
Masing-masing isolat agens hayati dilakukan pengujian dengan tiga kali
ulangan. Nilai diameter daya hambat yang diperoleh dianalisis ragamnya dan diuji
dengan Jarak Berganda Duncan.
Pf P
18
1.3. Laporan Tahap III
Umbi katak diperoleh dari lahan endemis penyakit busuk umbi porang. umbi
katak tersebut berasal dari tanaman yang terinfeksi penyakit busuk umbi porang dan
jika jatuh ke tanah akan banyak sklerosia berlimpah di tanah, sehingga umbi katak
akan berfungsi sebagai agen penyebab penyakit saat disimpan dan di tanam di
lapangan.
Umbi katak dimasukkan dalam plastik diameter 30 cm dengan jumlah 1 kg umbi
katak/plastik untuk setiap perlakuan. Isolat yang tertinggi daya hambatnya
(P. fluorescens Pf 11) terhadap penyebab penyakit busuk umbi porang diuji pada umbi
katak saat penyimpanan. Isolat P. fluorescens hasil seleksi sebelumnya dikultur pada
media cair King B 5% dengan konsentrasi sesuai yang ditentukan dalam perlakuan.
Inokulum tersebut diinkubasikan selama 2 x 2 jam, selanjutnya diaplikasikan pada
umbi katak dengan dua cara aplikasi. Perlakuan terdiri atas dua faktor:
1) Cara aplikasi P. fluorescens: (A) umbi katak saat penyimpanan diperlakukan
dengan penyelaputan P. fluorescens. Umbi katak sebanyak 1 kg dicampurkan
dengan 10 ml suspensi P. fluorescens dan ditambah talk serta diaduk supaya
merekat, selanjutnya dimasukkan plastik; (B) penyemprotan umbi katak sebanyak
1 kg disemprot secara merata dengan 10 ml suspensi Pseudomonas fluorescens,
selanjutnya dimasukkan plastik; (C) sebagai kontrol tanpa upaya pengendalian.
2) Konsentrasi P. fluorescens: 105 cfu/ml; (B) 107 cfu/ml; (C) 109 cfu/ml. Hasil akhir
adalah benih umbi katak yang dilapisi pasta dan cairan bakteri antagonis
P fluorescens.
Percobaan ini disusun dalam Rancangan Acak Lengkap (RAL) terdiri dari 7
perlakuan dengan masing-masing perlakuan lima kali ulangan. Data diolah dengan
analisis ragam (ANOVA) dan dilanjutkan denganuji selang berganda Duncan (DMRT)
pada taraf nyata α = 5% menggunakan SAS versi 6.12
19
BAB 5.
RENCANA CAPAIAN, HASIL DAN PEMBAHASAN
1.1. Rencana Capaian
a. Laporan Tahap I
1) Pengamatan intensitas penyakit
Rencana capaian pada laporan kemajuan tahap pertama ini adalah mengetahui
persentase pembusukan di bagian luar dan bagian dalam umbi porang
berdasarkan periode tumbuh ketiga yaitu 2 minggu sebelum tanaman rebah
(MSBTR), saat tanaman rebah (TR), dua minggu setelah tanaman rebah (MSTR).
2) Pengambilan sampel umbi porang bergejala busuk dan isolasi penyebab
penyakit
Rencana capaian pada laporan kemajuan tahap pertama ini adalah menentukan
persentase busuk umbi di bagian kulit dan daging umbi porang serta
mendapatkan biakan murni dari isolat jamur dan bakteri. Biakan murni digunakan
untuk inokulasi penyebab penyakit.
3) Inokulasi isolat penyebab penyakit
Inokulasi isolat penyebab penyakit dilakukan pada umbi porang sehat di
laboratorium. Kegiatan inokulasi direncanakan akan mendapatkan gejala busuk di
laboratorium dan isolat murni yang akan diidentifikasi secara akurat. Sampai
dengan laporan kemajuan tahap pertama, direncanakan sudah terkumpul data hasil
skoring gejala busuk umbi di laboratorium.
4) Reinokulasi isolat jamur penyebab penyakit
Pada kegiatan reinokulasi penyebab penyakit direncanakan akan mendapatkan
mikroba yang tumbuh pada masing-masing media sampai diperoleh biakan murni
yang siap diidentifikasi.
5) Identifikasi isolat jamur penyebab penyakit
Pada kegiatan identifikasi isolat penyebab penyakit akan teramati ciri-ciri penyebab
penyakit dari isolat jamur berdasarkan pengamatan di bawah mikroskop, dan hasil
amplifikasi DNA isolat jamur serta analisis filogenetik.
20
6) Identifikasi isolat bakteri penyebab penyakit
Pada kegiatan identifikasi isolat penyebab penyakit akan teramati ciri-ciri penyebab
penyakit dari isolat bakteri berdasarkan pengamatan uji gram, pengujian
hipersensitif, sekuensing gen 16S rRNA serta analisis filogenetik.
b. Laporan Tahap II
1) Pengamatan morfologi koloni dan sel bakteri antagonis
Kegiatan ini dilakukan untuk mengetahui pigmen yang dikeluarkan oleh bakteri
tersebut pada medium King B di bawah sinar UV, sehingga dapat dibedakan dengan
kelompok bakteri lain. Selain itu pengecatan negatif terhadap bakteri untuk
mengetahui bentuk dan ukuran bakteri dengan pengamatan di bawah mikroskop.
2) Pengamatan sifat fisiologi dan biokimia bakteri antagonis
Pengujian berbagai sifat fisiologi dan biokimia bakteri dilakukan untuk
mengetahui sifat fenotipik bakteriologis agar efektif sebagai agens hayati. Pengujian ini
dilakukan dengan cara: pengujian gram, reduksi hidrogen peroksida, hidrolisis pati,
enzim gelatin, produksi indol, reduksi nitrat, hidrolisis arginin, pembentukan levans.
3) Pengujian koloni bakteri antagonis menghambat pertumbuhan koloni patogen
busuk umbi porang
Uji daya hambat terhadap patogen penyebab busuk umbi porang (S. delpinii
CBS221 dan F. oxysporum strain Ppf 15 , Cedecea lapagei strain DSM 4597, dan
Serratia marcecens subsp. Sakuensis strain KRED.) secara in vitro akan dilakukan
untuk memilih bakteri antagonis yang berpotensi sebagai agens hayati. Koloni patogen
penyebab penyakit busuk umbi porang disajikan pada Gambar 5.
Gambar 5. Penyebab penyakit busuk umbi porang pada 4 hari setelah inokulasi: A) Fusarium oxysporum strain Ppf 15; B) Sclerotium delpinii CBS221; C) Cedecea lapagei strain DSM 4597;D) Serratia marcecens subsp. Sakuensis strain KRED.
A B C D
21
c. Laporan tahap III
Jumlah sklerosia dan perkecambahan sklerosia dilakukan pengamatan
setelah umbi katak disimpan selama dua bulan. Jumlah sklerosia dihitung
menggunakan Wt Sieving Technique (Punja, 1988) yang telah dimodifikasi.
Skerosia setiap perlakuan diambil dengan pinset dan dimasukkan ke dalam
cawan petri. Selanjutnya organ pembiakan tersebut dikecambahkan. Setiap perlakuan
diambil 25 butir untuk diisolasikan pada media PDA dalam cawan. Perkecambahan
ditandai oleh munculnya hifa berwarna putih. Perkecambahan dihitung dengan rumus:
a P = x 100% a + b
P : persentase perkecambahan
a : sklerosia yang berkecambah
b : sklerosia yang tidak berkecambah
1.2. Hasil
a. Laporan Tahap I
1) Persentase penyakit busuk umbi porang
Gejala penyakit busuk umbi porang di batang nampak kumpulan miselium
seperti bulu. Miselium tersebut akan berubah menjadi butir-butir bulat dan lonjong yang
nampak disekitar tanah dari tanaman yang terinfeksi. Infeksi penyebab penyakit
tersebut menyebabkan permukaan kulit umbi terlapisi oleh miselium, jika ditekan umbi
menjadi lunak. Infeksi pada bagian daging umbi menampakkan gejala nekrose yang
berwarna coklat sampai hitam. Persentase penyakit busuk umbi porang tergolong
cukup rendah seperti yang ditunjukkan pada Tabel 1.
Tabel 1. Persentase penyakit busuk umbi di permukaan kulit dan daging umbi porang
berdasarkan periode tumbuh ketiga
Masa periode tumbuh ketiga Gejala pada bagian umbi porang
Permukaan kulit umbi (X ± SE%) Daging umbi (X±SE%)
2 MSBTR 7.25± 2.01 9.48 ± 2,39 TR 11.61± 1.84 14.01± 3.12 2 MSTR 13.83 ± 0.97 16.25 ± 1.70
Keterangan: MSBTR = minggu sebelum tanaman rebah; TR = tanaman rebah; MSTR = minggu setelah tanaman rebah; SE = Standard Error pengukuran
Penyakit busuk umbi porang terbanyak terjadi pada daging umbi saat 2 MSTR.
Daging umbi menampakan gejala nekrosa yang berwarna coklat muda sampai coklat
22
tua. Tingginya persentase busuk umbi ini disebabkan infeksi organisme lain saat
tanaman.
2) Inokulasi isolat jamur penyebab penyakit
Hasil inokulasi isolat patogen pada umbi porang menghasilkan gejala yang
terdiri atas: 1) umbi mengalami nekrose dengan miselium berwarna putih seperti
kapas dan berbulu dengan pertumbuhannya sangat cepat. Hari kelima setelah
inokulasi menampakan gumpalan berwarna putih, selanjutnya gumpalan tersebut
berwarna coklat ;2) umbi mengalami nekrose dengan miselium seperti kapas dengan
pertumbuhannya lambat. Sampai hari kelima tidak nampak terbentuknya gumpalan.
Hasil inokulasi isolat penyebab penyakit disajikan pada Gambar 6.
Gambar 6. Gejala busuk pada umbi porang yang muncul setelah diinokulasi dengan isolat jamur (A,B,C,D) pemacu pembusukan pada umbi porang di laboratorium, K: kontrol
3) Identifikasi isolat jamur penyebab penyakit
Potongan jaringan dari umbi bergejala busuk dengan miselium yang tumbuh di
daging umbi disubkultur hingga diperoleh biakan murni jamur. Morfologi jamur
penyebab busuk umbi porang pada media PDA disajikan pada Gambar 7.
Gambar 7. Biakan murni dari bagian jaringan umbi porang: A) koloni penyebab penyakit; B) koloni penyebab penyakit dengan sklerotia berwarna coklat
A B
23
a) Pengamatan mikroskopi
Hasil pengamatan di bawah mikroskop menampakan hasil sebagai berikut:
1) miselium dengan sklerotia; 2) miselium dengan spora yang terdiri atas mikrokonidia
dan makrokonidia yang berbentuk bulan sabit dan bersekat. Morfologi koloni jamur
penyebab busuk umbi porang disajikan pada Gambar 8.
Gambar 8. Morfologi koloni jamur penyebab busuk umbi porang (200 X):A) miselium dengan klamidospora (terminal); B,C,D) miselium dengan mikro dan makrokonidia
b) Analisis secara molekular
Masing-masing DNA isolat jamur seperti pada Gambar 4 diisolasi, kemudian di
PCR. Hasil amplifikasi DNA dengan teknik PCR disajikan pada Gambar 9.
M 1 2 3
Gambar 9. Hasil amplifikasi DNA pada isolat jamur penyebab penyakit busuk umbi porang dalam
PAGE 6%. Lajur (1) DNA miselium jamur dengan spora (makrokonidia dan mikrokonidia); Lajur (2) DNA miselium jamur dengan sklerotia; Lajur (3) DNA miselium jamur dengan spora (makrokonidia dan mikrokonidia); Lajur (M) marker DNA 1 kb
3000 bp
1000 bp
A B
C D
24
Isolat nomor 1 dan 3 berhasil teramplifikasi pada daerah sekitar 600 bp. Isolat
nomor 2 teramplifikasi pada daerahsekitar 700 bp. Hasil amplifikasi DNA isolat jamur
disekuensing. Hasil sekuen berupa data perunutan DNA kemudian dianalisis tingkat
kesamaan atau kekerabatan genetik dari isolat yang diperoleh dengan data sekuen
GenBank menggunakan program BLAST-N (Basic Local Alignment Search Tool) .
Program BLAST metode neighbour joining digunakan untuk membuat pohon filogenetik,
sehingga diperoleh nama spesies jamur dengan kecocokan tertinggi (Gambar 10).
Isolat1
Isolat3
Fusarium oxysporum strain Ppf15
Fusarium oxysporum f. sp. radicis-lycopersici strain ATCC 52429
Fusarium oxysporum isolate 2-X
Sclerotium delphinii isolate CBS221
Isolat2
Athelia rolfsii strain bai269
100
64
87
42
0.05
Gambar 10. Pohon filogenetik dari isolat penyebab penyakit busuk umbi porang
4) Jenis isolat jamur penyebab busuk umbi porang hasil inokulasi
Jenis isolat jamur penyebab busuk umbi porang hasil inokulasi disajikan pada
Tabel 2.
Tabel 2. Jenis isolat jamur penyebab busuk umbi porang hasil inokulasi
Nomor isolat
Jenis mikroba Hasil inokulasi pada umbi
Rerata kemunculan gejala
Karakteristik pertumbuhan koloni di media PDA
1 dan 3 Fusarium oxysporum Strain Ppf15
Menghasilkan gejala pada 5 hsi
30,65% Koloni tumbuh agak lama; pada biakan umur 3 hari mencapai 0.8 cm
2 Sclerotium delphinii isolate CBS221
Menghasilkan gejala pada 3 hsi
88,23% Koloni tumbuh sangat cepat; pada biakan Umur 3 hari mencapai 3,6 cm
5) Reisolasi dan karakterisasi isolat bakteri penyebab penyakit busuk umbi porang
a) Reisolasi isolat bakteri penyebab penyakit
Reisolasi isolat bakteri penyebab penyakit dilakukan pada umbi porang yang
berumur satu bulan. Isolat bakteri yang tumbuh pada jaringan disubkultur beberapa
kali sampai diperoleh biakan murni. Reisolasi isolat bakteri disajikan pada Gambar 11.
25
Gambar 11. Gejala pada umbi porang dari hasil reisolasi isolat bakteri
b) Pengamatan koloni bakteri penyebab penyakit
Hasil isolasi pada media King B penyebab penyakit ditemukan 10 jenis bakteri
berpendar dan isolat nomor 3 berwarna merah. Hasil pengamatan koloni bakteri
tersebut pada media King B disajikan pada Gambar 12.
Gambar 12. Koloni bakteri penyebab penyakit busuk umbi porang
c) Pengujian gram
Hasil uji gram menunjukkan bahwa isolat bakteri nomor 1, 2, 3, 5, 7, 8 bersifat
gram negatif dan nomor 4, 6 dan 10 bersifat gram positif.
d) Pengujian hipersensitif
Pengujian hipersensitif menggunakan 10 isolat bakteri yang berpendar. Isolat
bakteri nomor 7 dan 5 masing-masing setelah masa inkubasi 2 hari, dan 3 hari
menunjukkan gejala nekrosis dan daun nampak tipis transparan (Gambar 13).
26
Gambar 13. Reaksi hipersensitif pada daun tembakau: A) gejala nekrosis pada isolat bakteri nomor 7; B) gejala nekrosis pada isolat bakteri nomor 5
e) Pengujian degradasi pektat pada umbi kentang
Uji degradasi pektat pada isolat bakteri pendar fluor nomor 5 dan 7
menunjukkan gejala yang berbeda. Isolat bakteri pendarfluor nomor 5 jaringan umbi
yang rusak dan mati berwarna hitam pekat dan tidak meluas dibandingkan isolat nomor
9. Hasil pengujian degradasi pektat pada umbi kentang disajikan pada Gambar 14.
Gambar 14. Hasil uji degradasi pektat isolat bakteri pendar fluor pada umbi kentang: Konrrol
dengan penuangan air steril; isolat 5 dan 7 dengan penuangan masing-masing isolat bakteri pendar fluor
f) Analisis secara molekular
Pohon filogenetik menunjukkan bahwa isolat bakteri nomor 5 termasuk dalam
kelompok Cedecea lapagei strain DSM 4597. Berdasarkan hasil BLAST diketahui
isolat mempunyai kemiripan 99% dengan Cedecea neteri NBRC 105707. Isolat
nomor 7 termasuk dalam kelompok Serratia marcecens subsp. Sakuensis strain
KRED. Isolat mempunyai kemiripan 100% dengan Serratia nematodiphila strain
DZ0503SBS1. Pohon filogenetik yang memperlihatkan posisi isolat bakteri nomor 5
dan 7 berdasarkan sekuen gen 16S rRNA (Gambar 15).
A B
27
P5
Cedecea lapagei strain DSM 4587
Cedecea neteri NBRC 105707
Serratia nematodiphila strain DZ0503SBS1
P7
Serratia marcescens subsp. sakuensis strain KRED
Leclercia adecarboxylata strain NBRC 102595
Pantoea agglomerans strain JCM1236
P4
Enterobacter cancerogenus strain LMG 2693
Enterobacter asburiae strain JCM6051
Pantoea ananatis strain 1846
P1
Pantoea anthophila strain LMG 255852
100
78
100
88
64
99
52
72
85
41
0.005
Gambar 15. Pohon filogenetik yang memperlihatkan posisi isolat bakteri nomor 5 dan 7 berdasarkan sekuen gen 16 S rRNA
6) Jenis isolat bakteri penyebab busuk umbi porang hasil inokulasi
Jenis isolat bakteri penyebab busuk umbi porang hasil inokulasi disajikan pada
Tabel 3.
Tabel 3. Jenis isolat bakteri penyebab busuk umbi porang hasil inokulasi
Nomor isolat
Jenis mikroba Hasil inokulasi pada umbi
Rerata kemunculan gejala
Karakteristik Uji hipersensitif, gram, dan degradasi pektat
5 Cedecea neteri NBRC 105707
Menghsilkan gejala pada 8 hsi
10,46% Gejala nekrosis, gram negatif, mendegradasi pektat pada hari 4, tetapi tidak menyebar
7 Serratia namatodiphila strain DZ0503SBS1
Menghasilkan gejala pada 4 hsi
14,01% Gejala nekrosis, gram negatif, mendegradasi pektat pada hari 4, tetapi menyebar
28
b. Laporan Tahap II
1) Morfologi koloni bakteri
Berdasarkan pengamatan di bawah sinar UV ( λ = 366 nm) menunjukkan tiga
dari 37 koloni bakteri pada medium King B agar berpendar dengan warna hijau
kebiruan. Koloni bakter tersebut dengan kode 11,15,25. Pendaran dan warna dari
koloni bakteri tersebut disajikan pada Gambar 16
Gambar 16. Pengamatan koloni bakteri pada medium King B di bawah sinar UV (λ = 366 nm) A) koloni bakteri yang berpendar; B) koloni bakteri yang berpendar dan yang tidak berpendar.
Individu bakteri dengan pengecatan negatif mempunyai bentuk batang dengan
ukuran 0,5−0,9 x 1,6−3,7 µm. Bakteri dapat ditemukan dalam keadaan tunggal dan
bergerombol (Gambar 17).
Gambar 17. Bentuk bakteri pada pengamatan di bawah mikroskop cahaya dengan perbesaran 1000x
2) Pengujian reaksi hipersensitif pada daun tembakau
Pengujian hipersensitif menggunakan tiga koloni bakteri (Pf 11, Pf 15, Pf 25)
yang berpendar di bawah sinar UV masing-masing setelah masa inkubasi sampai
hari ke 7 tidak menunjukkan gejala nekrosis (Gambar 18).
A B
29
Gambar 18. Pengujian reaksi hipersensitif dari Pseudomonas fluorescens pada daun tembakau
3) Pengamatan sifat fisiologi dan biokimia bakteri
Tabel 4. Sifat fenotipik Pseudomonas fluorescens isolat Saradan
Sifat fenotip Pf 11 Pf 15 Pf 25
Gram − − − Reduksi Hidrogen Peroksidase + + + Hidrolisis Pati − + − Enzim Gelatin + + − Reduksi Nitrat + + + Produki Indol 2 hari 5 hari
− +
+ −
+ −
Hidrolisis Arginin + + + Pembentuk Levan + − −
4) Pengujian daya hambat
Tabel 5. Hasil pengujian Pseudomonas fluorescens isolat Saradan terhadap
pertumbuhan koloni penyebab penyakit busuk umbi porang
Kode isolat P. fluorescens
Daya hambat terhadap jamur penyebab busuk umbi porang (%)
Diameter hambatan terhadap bakteri penyebab busuk umbi porang (mm)
F.oxysporum S. delpinii C. neteri S. namatodiphila
Pf 11 85,12 a 78,84 a 11,25 a 14.09 a Pf 15 54,93 c 51.06 b 9.37 b 12,14 b Pf 25 61,40 b 49,93 b 9,29 b 8,70 b Kontrol 1,37 d 1,80 c 2,01 c 2,28 d
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama dalam kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada P= 0.05
Kontrol = tanpa menggunakan isolat P. fluorescens
c. Laporan Tahap III
Perlakuan yang paling menekan jumlah dan perkecambahan sklerosia
adalah aplikasi dengan penyelaputan umbi katak P. fluorescens dengan konsentrasi
tinggi 107 -109cfu/ml. Viabilitas organ pembiakan Sclerotium delphinii pada umbi katak
yang disimpan selama dua bulan dari peubah jumlah dan perkecambahan sklerosia
hanya dipengaruhi oleh cara aplikasi P. fluorescens Pf 11. P fluorescens yang
diaplikasikan dengan penyelaputan benih dan penyemprotan umbi katak dengan
agens hayati tersebut, masing-masing mampu menekan jumlah sklerosia yang
30
terbentuk pada umbi katak rata-rata 22,50 butir (90 %) dan 12,34 butir (49,36 %)
sklerosia dari 25 sklerosia yang dikembangkan pada media PDA (Tabel 6).
Tabel 6. Pengaruh P.fluorescens PF 11 terhadap penekanan jumlah organ sklerosia
dari S. delphinii dan persentase perkecambahan sklerosia pada umbi katak di
penyimpanan
Cara aplikasi P.fluorescens Pf 11
Konsentrasi P.fluorescens Pf 11
(cfu/ml).
Organ sklerosia (butir/1 kg umbi katak)
Perkecambahan (%)
A1 105 20,45 b 18,20 e
107 23,26 ab 6,96 g
109 23,79 a 4,84 fg
A2 105 10,46 d 58,80 b
107 11,80 d 52,81 c
109 14,75 c 41,00 d
Kontrol 3,89 e 84,44 a
Keterangan: A1 : Aplikasi melalui penyelaputan umbi katak A2 : Aplikasi melalui penyemprotan Angka selajur yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada P= 0,05
1.3. HAMBATAN
Kendala dan hambatan pada kegiatan penelitian “Identifikasi Penyebab
Penyakit Busuk Umbi Porang (Amorphophallus mueleri Blume) “ yaitu ketersediaan
tanaman porang di lapangan. Ketersediaan tanaman porang di lapangan yang
digunakan untuk isolasi penyebab penyakit busuk umbi porang merupakan hambatan
yang paling utama. Tanaman porang pada musim kemarau yaitu bulan Juni sampai
bulan September dalam kondisi dorman. Oleh karena itu peneliti melakukan penelitian
sebelum bulan Juni untuk mendapatkan isolat penyebab penyakit busuk umbi porang di
pertanaman,sehingga tidak berpengaruh terhadap target-target penelitian. Meskipun
masalah keterlambatan pendanaan merupakan masalah klasik yang selalu terjadi untuk
peneliti di Indonesia.
Tahap ke II dan III secara teknis tidak mengalami hambatan dalam
penelitian. Hal ini karena penelitian dilakukan lebih awal dan penelitian di laboratorium
serta umbi katak di lapangan tersedia pada akhir musim kemarau. Meskipun tenggang
waktu pelaporan kemajuan II dan III sangat dekat.
1.4. PEMBAHASAN
a. Laporan Kemajuan I
Gejala penyakit busuk umbi menampakan tumbuhnya miselium pada pangkal
batang dan kulit serta bagian daging umbi porang. Kumpulan miselium berwarna
31
putih seperti kapas dan sklerotia berwarna coklat yang tumbuh pada kulit umbi porang
mengotori tanah dan melekat pada umbi tersebut serta menjadi sumber inokulum. Jika
tanah di permukaan umbi dibersihkan nampak permukaan umbi berwarna coklat
terang dan ditekan nampak lunak. Gejala pada pangkal batang ini menyebabkan
tanaman porang rebah sebelum saatnya (Gambar 19). Kondisi ini akan memudahkan
infeksi jasad pengganggu lain yang memperparah gejala pada umbi tersebut.
Gambar 19. Gejala penyakit busuk umbi porang: A) gejala pada pangkal batang; B) gejala pada permukaan tanah ; C) gejala pada permukaan kulit umbi porang
Jamur tular tanah dengan struktur berupa skletotia dapat bertahan hingga 10
tahun. Jika terdapat tanaman inang akan berkembang kembali. Permukaan sklerotium
dapat mengeluarkan exudat antara lain asam oksalat yang bersifat racun pada
tanaman. Asam oksalat meningkat karena senyawa dari akar yang menguap (Yaqub
dan Shahzad, 2005; Okereke dan Wokocha,2007; Sumartini,2011).
Hasil identifikasi berdasarkan pengamatan di bawah mikroskop miselium
dengan skerotia dan miselium dengan spora yang terdiri atas: makrokonidia dan
mikrokonidia, masing-masing adalah kelompok jamur Sklerotium sp dan Fusarium sp.
Amplifikasi DNA menunjukkan isolat 1 mempunyai ukuran pita yang sama
Berdasarkan diagram filogenetik, miselium jamur dengan sklerotia 100 % dianggap
teridentifikasi pada tingkat spesies dan memiliki kemiripan basa dengan Sclerotium
delphinii isolate CBS221. Miselium jamur dengan spora yang terdiri atas makrokonidia
dan mikrokonidia 87% dianggap teridentifikasi pada tingkat genus atau famili dan
memiliki kemiripan basa dengan Fusarium oxysporum strain Ppf15.
Karakter isolat bakteri nomor 1, 2, 3 ,5 , 7 dan 8 menunjukkan bersifat gram
negatif dan produksi pigmen pendarfluor. Meskipun pada uji hipersensitif menunjukkan
isolat bakteri nomer 5 dan 7 bergejala nekrosis, yang berarti penyebab penyakit pada
umbi porang. Hasil pengujian ini didukung dengan uji pektat. Isolat nomor 5 dan 7
mampu menghasilkan dan mensekresikan ensim pektinase atau isoensim serta
mendegradasikan dinding sel untuk merombak pektat. Hal ini menyebabkan umbi
porang membusuk dan berwarna hitam. Menurut Barras et al. (l994) menyatakan
A B C
32
enzim pektinase dari bakteri pendar fluor mampu memecah pektin didalam lamela
tengah dan dinding sel tanaman, sehingga jaringan mati, rusak dan sel pecah.
Berdasarkan hasil isolasi dan uji busuk umbi serta produksi pigmen
pendarfluor didapatkan 10 koloni bakteri. Koloni bakteri dari isolat nomor 5 dan 7
setelah uji gram menunjukan kelompok bakteri gram negatif dan uji hipersensitif
menghasilkan gejala nekrosis pada daun tembakau.Isolat nomor 5 dan 7
mengindikasikan patogenik terhadap umbi porang. Ignjatov et al., (2007) uji
patogenisitas positif, jika daun tembakau menunjukkan gejala nekrosis pada bagian
daun 24 jam setelah terinfiltrasi dengan isolat bakteri.
Berdasarkan uji gram isolat bakteri nomor 1 bersifat gram negatif, tetapi
bereaksi negatif pada uji hipersensitif, reisolasi pada umbi porang, dan degradasi
pektat, sehingga tbakteri tersebut tidak patogenik. Meskipun analisis pohon filogenetik
teridentifikasi Pantoea ananatis strain 1846. Bakteri patogenik yang menyebabkan
busuk umbi porang adalah dari kelompok Cedecea neteri NBRC 105707 dan Serratia
namatodiphila strain DZ0503SBS1 termasuk famili Enterobacteriaceae. Menurut
Kowalska et al. (2011) Serratia plymuthica menyebabkan busuk umbi pada bawang.
Sedangkan Serratia marcecens strain PPM4 16 S termasuk bakteri endofit yang
mampu menekan serangan penyakit hawar daun bakteri.
b. Laporan Kemajuan II
1) Morfologi koloni bakteri dan uji reaksi hipersensitif
Tiga koloni bakteri tersebut (Pf 11, Pf 15, Pf 25) merupakan kelompok
Pseudomonas fluorescens. Hal ini karena memancarkan sinar hijau kebiruan, jika
diamati di bawah sinar UV dengan panjang gelombang 365 nm. Menurut Sands (2001)
dan Schaad (l988) pendaran sinar tersebut mencirikan keberadaan dari siderofor
karena medium King B mengandung ion Fe. Terbentuknya pigmen fluorescens pada
bakteri di media King B menunjukkan bakteri termasuk golongan Pseudomonas
fluorescens.
Sampel dari tiga koloni bakteri Pseudomonas fluorescens tersebut mempunyai
bentuk batang dengan ukuran 0,5−0,9 x 1,6−3,7 µm. Menurut Palleroni (l993) koloni
bakteri tersebut merupakan famili dari Pseudomonasaceae.
Gejala nekrotik sampai hari ke 7 tidak dihasilkan oleh tiga koloni bakteri
Pseudomonas fluorescens pada uji HR. Reaksi ini menunjukkan koloni bakteri tersebut
bukan patogen tanaman.
33
2) Pengamatan sifat fisiologi dan biokimia bakteri
Koloni bakteri Pseudomonas fluorescens (Pf 11, PF 15, Pf 25) memberikan
reaksi negatif pada pengujian gram. Hal ini karena campuran koloni tersebut dengan
KOH 3% melekat pada jarum ose dan dapat diangkat. Hal ini nampak pada koloni
tersebut tidak melekat pada jarum ose. Menurut Lelliot & Stead (l987) kebanyakan
bakteri yang virulen bersifat gram negatif.
Reduksi Hidrogen Peroksidase (H2O2) dilakukan dengan uji katalase. Uji
katalase menunjukkan semua koloni bakteri Pseudomonas fluorescens (Pf 11, Pf 15,
Pf 25) bereaksi positif. Hal ini dibuktikan dengan gelembung-gelembung udara dari
campuran masing-masing koloni tersebut dengan H2O2. Menurut Lay (l994 ) koloni
bakteri tersebut menghasilkan enzim katalase. Enzim ini mampu merubah H2O2
menjadi air dan oksigen.
Uji hidrolisis pati menunjukkan dua koloni bakteri Pseudomonas fluorescens
(Pf 11 dan Pf 25) bereaksi negatif. Hal ini ditunjukkan dengan warna hitam di
permukaan media. Sedang koloni bakteri yang lain menunjukkan reaksi positif.
Menurut Lay (l994) koloni bakteri tersebut tidak dapat menghidrolisa pati menjadi
maltosa dan glukosa, sehingga tidak mampu menghasilkan enzim amylase.
Koloni bakteri Pf 11 , Pf 15 menunjukkan reaksi positif pada uji enzim gelatin.
Sedangkan koloni bakteri yang lain menunjukkan reaksi negatif. Reaksi positif
menghasilkan media cair setelah diinkubasikan di dalam kulkas. Menurut Lay (l994)
reaksi positif terjadi karena bakteri mendekomposisi medium gelatin.
Uji produksi indol menunjukkan isolat bakteri Pseudomas fluorescens (Pf 15,
Pf 25) bereaksi positif pada hari ke dua. Sedang pada hari ke lima menunjukkan reaksi
positif pada Pf 11. Hal ini ditunjukkan dengan lapisan berwarna merah pada
permukaan media setelah ditetesi iodin. Menurut Lay (l994) koloni bakteri (Pf 11)
tersebut mampu menghasilkan triptophan untuk memecah asam amino triptophan
menjadi indol dan asam piruvat serta NH4+.
Uji reduksi nitrat menunjukkan semua koloni bakteri Pseudomonas fluorescens
(Pf 11, Pf 15, Pf 25) bereaksi positif. Koloni bakteri tersebut setelah ditambahkan nitrat
mampu menghasilkan nitrit, sehingga terjadi perubahan warna merah dari bakteri
tersebut.
Uji hidrolisis arginin menunjukkan reaksi positif pada semua koloni bakteri
Pseudomonas fluorescens (Pf 11, Pf 15, Pf 25). Reaksi positif dicirikan dengan
perubahan warna merah pada tiga koloni yang ditutup dengan minyak parafin.
34
Koloni bakteri Pf 11 menunjukkan reaksi positif, sedangkan koloni bakteri yang
lain bereaksi negatif pada pembentukan Levan. Koloni bakteri Pf 11 nampak berlendir
dan bercahaya. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Fahy & Hayward (l983).
3) Daya hambat Pseudomonas fluorescens terhadap pertumbuhan koloni
penyebab penyakit busuk umbi porang secara in vitro
Berdasarkan hasil pengujian isolat Pseudomonas fluorescens menunjukkan
ketiga isolat (Pf 11, Pf 15, Pf 25) mampu menghambat pertumbuhan dan mempunyai
penghambatan bersifat bakteriostatik terhadap isolat penyebab penyakit busuk umbi
porang. Hal ini dilihat dari zona bening yang dihasilkan di sekitar isolat. Pengujian
Pseudomonas fluorescens menunjukkan senyawa siderofor. Hal ini ditunjukkan
dengan pendaran warna di bawah sinar UV.
Pengujian Pseudomonas fluorescens Pf 11 lebih effektif menghambat
penyebab penyakit penyakit busuk umbi porang secara in vitro (Gambar 20).
Gambar 20. Daya hambat Pseudomonas fluorescens Pf 11 terhadap Sclerotium delphinii pada 7 hari setelah inokulasi di media King B agar: A) koloni Sclerotium delphinii; B) daya hambat Pseudomonas fluorescens Pf 11 terhadap Sclerotium delphinii.
Secara umum daya hambat maupun zona hambat berbeda nyata dengan
daya hambat Pseudomonas fluorescens Pf 15 dan Pseudomonas fluorescens Pf 25.
Menurut Mulya et al. (l996) dan Kazempour (2004) rizobakteri yang menghasilkan
siderofor dan antibiotika lebih efektif untuk menekan penyakit dibandingkan dengan
agens hayati penghasil siderofor atau antibiotik saja.
Kemampuan Pseudomonas fluorescens Pf 11 menghasilkan siderofor yang
semakin tinggi dan senyawa toksik yang lebih banyak berhubungan dengan
peningkatan kemampuan penekanan penyakit. Selain itu mekanisme antagonisme
dilakukan dengan kompetisi pemanfaatan unsur hara Fe oleh bakteri antagonis. Oleh
karena media King B yang mengandung ion Fe juga digunakan untuk organisme lain.
c. Laporan Kemajuan III
Umbi katak selalu disimpan oleh petani untuk dijual dan ditanam pada saat
yang tepat harga dan waktu. Penyimpanan umbi katak yang tidak sehat akan menjadi
sumber inokulum di tempat penyimpanan (Gambar 21).
A B
35
Gambar 21. Penyimpanan umbi katak selama dua bulan yang ditumbuhi oleh miselium dan sklerosia
Pemanfaatan isolat P.fluorescens pf 11 asal rizosfer porang dari penelitian ini
memberi harapan baik dalam upaya pengendalian hayati penyakit tular tanah
S. delphinii (laporan kemajuan II) yang merupakan salah satu penyebab penyakit
busuk umbi porang. Aplikasi isolat P. fluorescens pf 11 (yang paling antagonis secara
in vitro) pada konsentrasi 107-109 cfu/ml dengan cara aplikasi melalui penyelaputan
umbi katak mempunyai pengaruh yang sangat nyata untuk menekan penyebab
penyakit terbawa umbi katak hingga tingkat 93,03%. Aplikasi dengan konsentrasi
tinggi dan merata akan meningkatkan populasi bakteri antagonis tersebut serta efisien
di tempat penyimpanan. Rahayu (2008) menyatakan bahwa konsentrasi suspensi
P. fluorescens pada 109 cfu/g, dapat mencegah penularan jamur tanah S. rolfsii pada
persemaian kedelai.
36
BAB 6.
KESIMPULAN DAN SARAN
1.1. Kesimpulan
1. Berdasarkan hasil identifikasi sekuensing 16 S rRNA, isolat penyebab busuk umbi
porang terdiri atas dua isolat jamur yaitu: Fusarium oxysporum strain Ppf15 ;
Sclerotium delphinii isolate CBS221 dan dua isolat bakteri yaitu Cedecea neteri
NBRC 105707 dan Serratia namatodiphila strain DZ0503SBS1.
2. Semua isolat Pseudomonas fluorescens yang diuji tidak merupakan patogen
tanaman dan bersifat bakteriostatik serta toksik, sehingga bisa digunakan sebagai
calon agens hayati penyebab penyakit busuk umbi porang. P. fluorescens Pf 11
yang paling antagonis secara in vitro.
3. P. fluorecens Pf 11 yang diaplikasikan melalui penyelaputan umbi katak dengan
konsentrasi tinggi (109 cfu/ml) berpengaruh positif dalam menekan S. delphinii .
4. P. fluorescens Pf 11 memiliki prospek untuk dikembangkan sebagai alternatif
pengendalian ramah lingkungan terhadap umbi katak di tempat penyimpanan.
1.2. Saran
Kegiatan identifikasi penyebab penyakit busuk umbi porang dilakukan dalam
upaya pengendalian terhadap penebab penyakit tersebut. Oleh karena itu penelitian ini
diharapkan untuk mendapatkan agens hayati dari tanaman porang sehat dengan cara
isolasi dan skreening di daerah endemis penyakit busuk umbi porang.
Sifat-sifat fenotipik dari Pseudomonas fluorescens dilakukan sebagai upaya
untuk dapat menggunakan efektifitas dari agens hayati tersebut. Meskipun masih
perlu diteliti secara molekular untuk memastikan hubungan kekerabatan dengan
kelompok Pseudomonas spp yang lain.
Pemanfaatan mikroba tanah sebagai biopestisida untuk mengendalikan
penyakit busuk umbi porang secara in Planta akan dijumpai kesulitan. Oleh karena itu
perlu diteliti lebih lanjut formulator yang tepat, sehingga isolat P. fluorescens Pf 11
mempunyai efikasi.
37
DAFTAR PUSTAKA
Ahmed IH, N Labuschagne, & L. Korsten.2007. Screening rhizobacteria for biological
control of Fusarium root and crown rot of sorghum in Ethiopia. Biol Control. 40 (1): 97−106. DOI: http://dx.doi.org/10.1016/j.biocontrol .2006.07.017.
Andayanie WR. 2014. Kajian penyakit busuk umbi dan pangkal batang pada tanaman
porang. Laporan penelitian hibah internal. Universitas Merdeka Madiun. Barnet HL & BB Hunter. 1998. Illustrated Genera of Imperfect Fungi. 4 th Ed.APS
Press, Minnesota.
Barras F, F Van Gijsegem, & AK Chatterjee. 1994. Extracellular enzymes and
pathogenesis of soft rot Erwinia. Annu Rev. Phytopathol. 32: 201-234.
Chandrashekhara. 2007. Endophytic bacteria from different plant origin enhance
growth and induce Downy mildew resistence in pearl millet. J. Plant Pathology.
1 (1): 1-11.
CMI.1981. Description of pathogenic fungi and bacteria. Commonwealth Mycology
Institute, England.
Cool RJ & KF Baker. 1996. The nature and practice of biological control of plant
pathogens. APS Press. The American Phytopatological Society. St. Paul.
Minnesota, USA. 539 p.
Diniyah S. 2010. Potensi isolat bakteri Endofit sebagai penghambat pertumbuhan
bakteri (Ralstonia solanacearum) dan jamur (Fusarium sp. dan Phytopthora
infestans) penyebab penyakit layu pada tanaman. Skripsi Fak. Sains dan
Teknologi UIN Maulana Ibrahim Malang.
Fahy PC & AC Hayward. 1983. Media and methods for isolation and diagnostics test.
In Fahy PC & GJ Persley (Eds) Plant bacterial diseases a diagnostics guide:
337−378. Australia Academic Press.
Habazar T, Nasrun, Jamsari, & I N Rusli. 2007. Pola penyebaran penyakit hawar
daun bakteri (Xanthomonas axonopodis pv. allii) pada bawang merah dan
upaya pengendaliannya melalui imunisasi menggunakan rizobakteria. Laporan
hasil penelitian Universitas Andalas Padang dengan Litbang Pertanian Proyek
KKP3T.
Ignjatov M, M Milosevic, M Nikolic, Z Vujakovic, & D Petrovic. 2007. Characterization of
Pseudomonas savastanoi pv. glycinea isolates from Vojvodina.
Phytopathol.45:43-54.
Joseph B, Ranjan PR, & R Lawrence. 2007. Characterization of plant growth promoting
rhizobacteria associated with chickpea (Cicerarietinum L.). J. Plant Production
1(2): 141-151.
38
Jutono J, Soedarsono, S Hartadi, S Kabirun, Soehadi, Susanto. 1973. Pedoman
praktikum mikrobiologi umum untuk perguruan tinggi. Departemen Mikrobiologi
Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada , Yogyakarta. 227 hal.
Kazempour MN. 2004. Biological control of Rhizoctonia solani, the causal agent of rice sheath blight by antagonis bacteria in green house and field conditions. J. Plant Pathol. 3: 88−96.
Klement Z, K Rudolph, DC Sand. L990. Methods in Phytobacteriology. Budapest
Academia Kiado. Kowalska B, U Smolinska, M Oskiera. 2011. Serratia plymuthica causing bulb rot in
Poland. Pol. J. Microbiol.60(1): 85-87. Lay Wb. 1994. Analisis mikrobia di laboratorium. Jakarta. Raja Grafindo Persada.
Lelliot & Stead. 1987. Mehods for the diagnosis of bacterial diseases of plant. Oxford:
Blackwell. Sci. Publ.
Leeman M, JA Van Velt, MJ Hendrick, RJ Schiffer, PAHM Baker, & B Schippers. L995.
Biocontol of Fusarium wilt of radish in commercial green house trials by seed
treatment with Pseudomonas fluoresens 374. Phytopath.85: 1301-1305.
Mulya K, M Watanabe, M Goto, y Takikawa, & S Tsuyusumu. 1996. Suprpression of
bacterial wilt disease in tomato by root dipping with Pseudomonas fluorescens
PfG 32: The role of antibiotic substances and siderophore production. Ann.
Phytopathol. Soc. Jap. 62; 132−140.
Navitasari L, L Soesanto, AY Rahayu. 2013. Pengaruh aplikasi Pseudomonas
fluorescens P60 terhadap mutu patologis, mutu fisiologis dan pertumbuhan bibit
padi IR 64. J. Hama Penyakit Tumbuhan Tropika 13 (2): 179−190.
Nawangsih AA, T Widjayanti, & Y.Anisa. 2014. Kelimpahan bakteri rizosfer pada
sistem PHT biointensif serta kemampuan antagonismenya terhadap
Sclerotium rolfsii pada kedelai. J. HPT Tropika 14(2): 110-120.
Okereke V, & RC Wokocha. 2007. In vitro growth of four isolates of Sclerotium
rolfsii Sacc in the humid tropics. African Journal of Biotechnologi 6(16): 1879-
1881.
Palleroni NJ. 1993. Introduction to the family Pseudomonasaceae. In: MP Starr, HG Troper, A Balows, and HG Schiegel (Eds.). The prokaryotes A Handbook on Habitat, Isolation and identification of bacteria. Springer-Verlag. New York.
Punja ZK. 1988. Sclerotium (Athelia) rolfsii, a pathogen of many plant species.
Advances in plant pathology, 6: 523-535.
39
Racmawati NY, & A Daroini. 2014. Strategi pengembangan komoditi tanaman porang (Amorphophallus oncophyllus) di Kabupaten Nganjuk. J. Manajemen Agribisnis. 14(1): 51-56.
Rahayu M. 2008. Efikasi isolat Pseudomonas fluorescens terhadap penyakit rebah
semai pada kedelai. Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 27(3): 179-184. Sands, DS.1990. Physiological criteria- determinative test. In: Klement, Z., K Rudolph,
and DC Sands. Methods in phytobacteriology. Academical Kado, Budapest: 133−143.
Schaad NW. 1988. Laboratory guide for identification of plant pathogenic bacteria. 2 nd
Edition Minnesota: The American Phytopathological Society. Schaad NW, JB Jones & W Chun, 2001. Laboratory guide for identification of plant
pathogenic bacteria (third Edition), APS Press, The American Phytopathological Society. St. Paul Minnesota.
Setiasih I. 2008. Produktivitas tanaman iles-iles (Amorphophallus muelleri Blume) pada
berbagai perlakuan dosis N dan K . Skripsi. Institut Pertaian Bogor. Sumartini. 2011. Penyakit tular tanah (Sklerotium rolfsii dan Rhizoctonia solani) pada
tanaman kacang-kacangan dan umbi-umbian serta cara pengendaliannya. J Litbang Pertanian 3(1):27-34.
Yanti Y & Z Resti. 2010. Induksi ketahanan tanaman bawang merah dengan bakteri
rhizoplan indigenus terhadap penyakit hawar daun bakteri (Xanthomonas axonopodis pv allii). Dalam Loekas Soesanto, Endang Mugiastuti, Ruth Feti Rahayuniati dan Abdul Manan (Ed.). Prosiding seminar nasional pengelolaan opt ramah lingkungan Purwokerto, 10-11 November 2010.
Yanti Y, T Habazar, Z Resti, & D Suhalita. 2013. Penapisan isolat rizobakteri dari
perakaran tanaman kedelai yang sehat untuk pengendalian penyakit pustul
bakteri (Xanthomonas axonopodis PV. Glycines) . J HPT Tropika 12 (1); 24-34.
Yaqub F, & S. Shahzad.2005. Effect of fungicides in in vitro growth of
Sclerotium rolfsii Pak. J. Bot. 38(3): 881-883.
Yuzammi. 2000. A Taxonomic Revision of Terrestrial and Aquatic Araceae in Java.
Unpublished Thesis. University of New South Wales, Sydney, Australia.
Van Loon LC. 2007. Plant response to plant growth promoting rhizobacteria. Eur. J.
Plant Pathol. 119:243-254.
Weller DM, JM Raaijmakers, GB Mc Spadden, LS Thomashow. 2002. Microbial
populations responsible for specific soil suprressiveness to plant pathogens.
Annu Rev Phytopathol. 40:309−348. DOI:http://dx.doi.org/ 10.1146/annurev.
phyto.40.030402.110010.
40
Wiyono S, DF Schulz, & GA Wolf. 2008. Improvement of the formulation and
antagonistic activity of Pseudomonas fluorescens B5 through selective additives
in the pelleting process. Biol Contr 46:348-357.
top related