kritik hadis
Post on 12-Dec-2015
79 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kitab-kitab hadis yang beredar di tengah-tengah masyarakat dan dijadikan
pegangan oleh umat Islam dalam hubungannya dengan hadis sebagai sumber
ajaran Islam adalah kitab-kitab yang disusun oleh para penyusunnya setelah lama
Nabi wafat. Dalam jarak waktu antara kewafatan Nabi dan penulisan kitab-kitab
hadis tersebut telah terjadi berbagai hal yang dapat menjadikan riwayat hadis
tersebut menyalahi apa yang sebenarnya berasal dari Nabi. Baik dari aspek
kemurniannya dan keasliannya.
Oleh karena itu, diperlukan penelitian hadis, bukan berarti meragukan hadis
Nabi Muhammad saw, tetapi melihat keterbatasan perawi hadis sebagai manusia,
yang adakalanya melakukan kesalahan, baik karena lupa maupun karena didorong
oleh kepentingan tertentu. Keberadaan perawi hadis sangat menentukan kualitas
hadis, baik kualitas sanad maupun kualitas matan hadis.
B. Rumusuan Masalah
1. Apa Pengertian dan Cakupan Kritik Hadis?
2. Bagaimana Sejarah Kritik Hadis serta Urgensi Kritik Hadis?
3. Apa Saja Kitab-Kitab Yang Diperlukan Dalam Kritik Hadis?
4. Siapa Saja Tokoh-tokoh Kritik Hadis?
5. Bagaimana Indikasi mayor dan Minor Sanad Hadis Shahih?
6. Bagaimana Indikasi mayor dan Minor Matan Hadis Shahih?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui Pengertian dan Cakupan Kritik Hadis
2. Untuk mengetahui Sejarah Kritik hadis serta Urgensi Kritik Hadis
3. Untuk mengetahui Apa Saja Kitab-Kitab Yang Diperlukan Dalam Kritik
Hadis
4. Untuk mengetahui Siapa Saja Tokoh-tokoh Kritik Hadis
5. Untuk mengetahui Indikasi mayor dan Minor Sanad Hadis Shahih
6. Untuk mengetahui Indikasi mayor dan Minor Matan Hadis Shahih
1
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Kritik Hadis
Asal usul penggunaan kata kritik berasal dari bahasa Latin yaitu: critic,
yang berarti menilai. Sedangkan kritik dalam bahasa arab sering digunakan
dengan kata naqd yang memiliki ma’na pokok “mengluarkan sesuatu” atau
“memisahkan”. Secara bahasa, penggunkaaan kata al-naqd bisa juga diartikan
dengan arti pengecekan dan pembedaan1.
Dalam terminology ahli hadis, istilah al-naqd diartikan secara beragam.
‘Azami dengan mengutip pendapat mah}adisi>n mendefinisikan al-naqd (kritik)
dengan:
تمييز االحادث الص��حيحة من الض��عيفة والحكم على ال��رواة
توثيقا وتجريحا
Artinya: Upaya untuk menyeleksi hadis-hadis yang sahih dari yang yang daif, serta untuk menetapkan status para riwayat hadis dari segi keandalan dan kecacatannya2.
Senada dengan itu, Muhammad Ali Qasim al-‘Umari mendefinisikan naqd al-h}adis (kritik hadis) dengan:.
علم يبحث فى تمييز االحاديث الصحيحة من الضعيفة وبيان
عللها والحكم على رواتها جرحا وتع��ديال بالف��اظ مخصوص��ة
ذات دالئل معلومة عند اهل الفن
Artinya: Ilmu yang membahas tentang proses pengklasifikasian hadis yang sahih dengan yang dhaif dengan menjelaskan cacat yang terdapat di dalamnya serta status hukum beserta kondisi perawinya dari aspek jarh dan ta’dil dengan menggunakan istilah-istilah khusus dan bukti-bukti yang mudah dikenal oleh para ahlinya3.
1Zeid B. Smeer, Studi Hadis Kontemporer: Langkah Mudah dan Praktis Dalam Memahami Ilmu Hadis, (Yogyakarta: Aura Pustaka, 2014), hlm, 263.
2 ‘Azami, Manhaj al-Naqd’ Inda al-Muha>ddisi>n, ( Riyadh: al-Umariyah, 1982), hlm 5 dalam Zeid B. Smeer, Studi Hadis, hlm, 263-264.
3 Muhammad Ali Qasim al-‘Umari, Dira>sa>t fi> Manhaj al-Naqd ‘Inda al-
Muh}additsi>n, (Yordania: Da>r al-Nafa>’is, 2000), hlm 11 dalam Zeid B. Smeer, Studi Hadis, hlm 264.
3
Sementara Muhammad Tahir al-Jawabiy naqd al-h}adis (kritik hadis) dengan:
الحكم على الرواة تجريحا وتعديال بالفاظ خاصة ذات دالئ��ل معلومة عن��د اهل��ه والنظ��ر فى مت��ون االح��اديث ال��تى ص��ح سندها لتصحيحها او تضعيفها ولرفع اشكال عما بدا مش��كاال
من صحيحها ودفع التعارض بينها بتطبيق مقاييس دقيقةArtinya: Proses penetapan status keadilan dan kecacatan para periwayat
hadis dengan menggunakan lafad-lafad khusus berdasarkan dalil-dalil yang diketahui oleh ahlinya, serta pemeriksaan terhadap matanmatan hadis berikut menghilangkan kemusykilan dan kontradiksi diantara matan-matan hadis itu dengan menerapkan standar yang cermat4.
Para sarjana hadis lebih senang menamakan ilmu yang membahas tentang
kritik hadis dengan sebutan al-Jarh wa al-Ta’di>l. Belakangan ini beberapa
sarjana hadis mulai tertarik untuk menggunakan istilah al-naqd dalam judul buku-
buku yang mereka tulis. Tetapi ruang lingkup naqd al-hadis dapat dikatakan lebih
luas dibandingkan ilmu al-Jarh wa al-Ta’di>l. Lingkup pembahasan al-Jarh wa
al-Ta’di>l berkisar pada keadilan dan kedhabitan para periwayat hadis berikut
kecacatan mereka, sementara lingkup pembahasan naqd al-hadis berkisar pada
keadilan dan kedhabitan para periwayat hadis, ketersambungan sanad serta ada
tidaknya syudzudz (kejanggalan) dan “illah (cacat)5.
Kritik hadits pada hakikatnya bukan untuk menilai salah atau
membuktikan ketidakbenaran sabda Nabi, tetapi lebih merupakan uji perangkat
yang memuat informasi tentang beliau, termasuk uji kejujuran informatornya.
Kritik hadits bertujuan untuk menguji dan menganalisa secara kritis apakah fakta
sejarah kehaditsan itu dapat dibuktikan, termasuk komposisi kalimat yang
terekspos dalam ungkapan rasional (matan). Pada level ini, pengujian matan
hadits lebih terfokus pada aspek kebahasaan. Tapi lebih jauh lagi, kritik hadits
bergerak pada level menguji apakah kandungan ungkapan matan itu dapat
diterima sebagai sesuatu yang secara historis benar, dan dapat dipercaya. Target
4 Muhammad Tahir al-Jawabi>, Juhu>d al-muh}additsin fi> Naqd Matn al-Hadi>ts
al-Nabawiy al-Syari>f, (tt: Muassasah Abdul Kari>m, t.th), hlm 34 dalam Zeid B. Smeer, Studi Hadis, hlm 264-265.
5 Zeid B. Smeer, Studi Hadis, hlm 267.
4
yang hendak dibidik dalam kritik ini adalah pada isi kandungan (substansi
doctrinal) yang terdeskripsikan dalam redaksi hadis6. Menurut hemat penulis
kritik hadis adalah suatu ilmu yang membahas proses penelitian hadis sehingga
hadis tersebut bisa dikatakan ma’bul baik dalam hal sanad maupun matannya.
B. Sejarah Kritik Hadis
Berbeda dengan al-Qur’an, hadis masih menyimpan pertanyaan atas
eksistensinya. Dalam kesejarahannya, tidak semua pembawa berita dalam hadis
merupakan sesorang yang dipercaya. Dalam sejarah panjangnya, hadis
menyisakan berbagai persoalan diantaranya adalah pembukuan yang relative
lama dan di kalangan ulama’ masih ada perbedaan dalam penilaian suatu hadis,
ada yang terkesan longgar ( mutasa>hih), moderat (mutawa>sit), dan ketat
(mutasyaddid). Hasil karya ulama’ tentang hadis sangat banyak dengan beragam
corak dan metodenya7. Di bawah ini akan penulis paparkan sejarah kritik hadis
sebagaimana berikut:
1. Sejarah Kritik Sanad Hadis
a. Kritik Sanad Hadis masa Rasulullah saw
Kritik sanad hadis sebagai salah satu bagian terpenting dalam jajaran
ilmu hadis, muncul dan berkembang seiring dengan perkembangan hadis itu
sendiri, terutama ketika muncul aktifitas para ulama’ dan pengumpul hadis
dengan memilah-milah serta membuat kategori hadis-hadis tersebut8.
Aktifitas ini marak terjadi pada abad ke-3 H. namun demikian, bukan
berarti bahwa di era sebelumnya sama sekali tidak terjadi kegiatan yang
demikian ini. Jika telah disepakati bahwa kritik di pahami sebagai sebuah
upaya untuk memilah-milah atau membedakan antara yang benar dan yang
salah atau antara yang s>ahi>h dan yang tidak, maka dapat dipahami
bahwa kegiantan kritik hadis telah ada sejak zaman Rasulullah, meski
disadari bahwa kegiatan tersebut masih dilakukan dalam bentuk yang
6 Salamah Noorhidayati, Kritik Teks Hadis: Analisis tentang ar-Riwa>yah bi al-
Ma’na> dan Implikasinya bagi Kualitas Hadis”, (Yogyakarta: Penerbit Teras, 2009), hlm 9.7 Suryadi dan Muhammad Alfatih Suryadilaga, Metodologi Penelitian Hadis”,
( Yogyakarta: Teras, 2009), hlm 5.8 Umi Sumbulah, Kritik Hadis: Pendekatan Historis Metodologis, (Malang: UIN Malang
Press, 2008), 32.
5
sederhana9. Patut diketahui, bahwa hadis dalam masa Rasulullah saw.
diterima dan diriwayatkan oleh para sahabat dengan cara oral
( syafahiyyan). Saat itu tidak dikenal periwayatan dengan tulisan. Sahabat
yang mendengar hadis dari Rasulllah saw.langsung meriwayatkannya
dengan lisan tanpa menunggu tulisan. Dengan cara seperti inilah hadis
banyak dihafal oleh para sahabat10Kritik hadis di masa Rasulullah saw
dilakukan dalam bentuk konfirmasi, yakni para sahabat yang tidak secara
langsung mendengar sebuah hadis dari beliau, tetapi dari sahabat lain yang
mendengarkannya, mereka mengkonfirmasikannya kepada Rasulullah11.
Sebagaimana diketahui bahwa di era Rasulullah agaknya terdapat
semacam aturan khusus yang tidak tertulis dan telah mereka sepakati, yakni
setiap sahabat yang telah mendengar hadis atau mengikuti majlis ta’lim
Rasulullah memiliki kewajiban moral untuk mentransmisikannya kepada
sahabat lain yang tidak mengikutinya. Di saat mereka meriwayatkan
kembali sebuah hadis yang didengarnya dari Rasulullah saw, mereka
menyandarkannya kepada beliau, bahkan jika berupa hadis qudsi sering pula
terjadi penyandaran hadis kepada Allah, jika Rasulullah sendiri
menyebutnya demikian. Adapun bagi yang tidak mendengarkan secara
langsung, mereka selalu menyandarkannya pula kedapa orang yang
meriwayatkan hadis tersebut kepadanya12.
Perjalanan hadis di masa Rasulullah saw tidak dapat dipisahkan dengan
hadis di masa sahabat. Karena di masa Rasulullah saw sahabat juga
memiliki peran yang signifikan dalam proses periwayatan hadis13.
Perkembangan awal kritik hadis yang demikian ini, agaknya dimotivasi
oleh kondisi yang sangat memungkinkan untuk proses konfirmasi tersebut.
Karena di era ini sumber asli dari seluruh sandaran hadis masih hidup, yakni
Rasulullah saw. sendiri. Dengan demikian, para sahabat secara langsung 9 Umi Sumbulah, Kritik Hadis, hlm, 33.10 Zeid B. Smeer, Studi Hadis Kontemporer: Langkah Mudah dan Praktis Dalam
Memahami Ilmu Hadis, (Yogyakarta: Aura Pustaka, 2014), 33. 11 Umi Sumbulah, Kritik Hadis, hlm, 33.12 M.M. Azami, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, terj. Ali Mustafa Ya’kub
(Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994,531 dalam Umi Sumbulah, Kritik, hlm 33-34. 13 Zeid B. Smeer, Studi Hadis,hlm, 33.
6
dapat mengetahui valid dan tidaknya hadis yang mereka terima itu. Oleh
karena itu, model konfirmasi hadis yang demikian ini relative sedikit.
Namun demikian, para ulama’ bersepakat bahwa konfirmasi hadis di era
Rasulullah ini dipandang sebagai cikal bakal lahirnya ilmu kritik hadis, yang
dalam tahap berikutnya menjadi salah satu dari 93 cabang ilmu hadis14.
Praktik kritik hadis dengan pola konfirmasi ini terus berlangsung dan
berhenti dengan sendirinya di saat Rasulullah wafat. Meskipun Rasulullah
telah wafat, bukan berarti bahwa kritik hadis telah kehilangan urgensinya.
Bahkan di saat tersebut , para sahabat lebih memberikan aturan-aturan untuk
memperketat penerimaan hadis dari seorang perawi. Dengan demikian,
kegiatan kritik hadis tetap berjalan, hanya saja mengambil bentuk yang
berbeda dalam mekanisme praktisnya.
b. Kritik Hadis di Masa Sahabat
Jika di era Rasulullah saw kritik hadis mengambil bentuk konfirmatif,
maka pada masa sahabat, tampilan kritik hadis lebih bersifat komparatif15.
Di samping dua metode tersebut, konfirmatif dan komparatif, masih terdapat
sebuah metode kritik. Ini sebenarnya merupakan pengembangan dari
metode komparatif tersebut, hanya saja perbedaan terletak pada jika
komparatif hanya mengacu kepada hafalan dan menyatukan hadis yang
dimaksud dengan diri perawi, maka komparatif bentuk kedua ini tidak
hanya berdasarkan pada kekuatan hafalan seorang perawi ansich, namun
juga diperkuat dengan perbandingan terhadap terhadap data tertulis yang
dapat disima’ pada kitab-kitab hadis mereka. Selain itu juga terdapat model
pengembangan kritik hadis yang dilakukan dengan mengkomparasikan ayat-
ayat terkait. Metode komparatif dalam pengertian kedua inilah yang
kemudian banyak berkembang di kalangan kritikus hadis hingga beberapa
decade pasca penghujung kepemimpinan sahabat16.
14 Jala>l al-Di>n Al-Suyu>ti>, Tadri>b al-Ra>wi> ‘ala> Taqri>b al-
Nawawi>, (ttp: Da>r al-Kutub al-H}adi>thah, t.th.), juz II, hlm 45 dalam Umi Sumbulah, Kritik, hlm 36-37.
15 Umi Sumbulah, Kritik Hadis, hlm, 37.16 Umi Sumbulah, Kritik Hadis, hlm, 39-40.
7
c. Kritik Hadis Masa Tabi’in
Seiring dengan perjalanan sejarah hadis yang semakin digoyang oleh
berbagai kasus manipulasi hadis menurut para ulama’ untuk lebih bersikap
ekstra ketat dalam melakukan kritik hadis. Jika pada tahap sebelumnya
upaya kritik tersebut hanya dilakukan oleh para ulama’ di lingkup satu
daerah saja, maka pada era tersebut perjalanan ilmiah ke berbagai pelosok
daerah semakin intensif dilakukan. Sebagai konsekuensi dari rihlah yang
demikian ini, kemudian bermunculan beberapa kegiatan kritik dengan
tokoh-tokoh kritikus termashur yang memotorinya.
2. Sejarah Kritik Matn Hadis
Berikut ini dikemukakan penelitian mant dalam setiap generasi yang
dimulai dari masa Rasulullah saw sampai ulama’ hadis:
a. Kritik Matn Hadis Masa Rasullah saw
Ketika masih hidup, kritik matan berjalan dengan baik dan dalam
bentuk yang ssederhana. Goal yang ingin dicapai adalah menguji kebenaran
suatu berita yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw. Adapun
bentuk kritik matn pada masa tersebut adalah konfirmasi, klarifikasi
(taba>yun), dan kesaksian(testimony), hal ini membuktikan atas sesuatu
yang diperbuat oleh Nabi Muhammad saw17.
b. Kritik Matn Hadis Masa Sahabat
Setelah Nabi Muhammad saw wafat, maka kemungkinan untuk
melakukan cek tidak ada lagi. Musfir Azmilla>h al-Dama>ni>
menyebutkan tiga pilar utama cara sahabat menilai suatu matn hadis, yaitu
tidak bertentangan dengan al-Qur’an seperti dalam kasus persoalan nikah
mut’ah, tidak bertentangan dengan hadis lain seperti dengan cara
muqa>ranah dengan cara membandingkan antar riwayat sesama sahabat.
Hal tersebut dilakukan oleh Abu> Bakr dan Umar ibn al-Khat}t}a>b18.
Selain sahabat tersebut, Aisyah juga melakukan sebuah kritik hadis
tatkala mendengan sebuah hadis yang didengar dari Ibn ‘Abba>s dari
17 Suryadi dan Muhammad Alfatih Suryadilaga, , hlm 144.18 Suryadi dan Muhammad Alfatih Suryadilaga, , hlm 144-145.
8
‘Umar. Aisyah telah mengkritik matn hadis dari Ibn ‘Abba>s tersebut
dengan cara membandingkan matn hadis dan mengkonfirmasi dengan hadis
yang bertema sama, yang pernah didengar sendiri dari Rasulullah saw.
Disamping itu Aisyah juga membandingkannya dengan nash yang bobot
akurasinya lebih tinggi, yakni Al-Qur’an dan hadis yang lebih sahih,
merupakan standar utama untuk menilai kesahihan sebuah hadis19. Hal
tersebut membuktikan bahwa kritik matn hadis telah dilakukan di era
sahabat.
c. Kritik Matn Hadis Masa Tabi’i>n
Dasar-dasar kritik matn yang telah dibangun oleh para sahabat di atas,
pada tahab berikutnya di kembangkan oleh generasi tabi’in20. Pada masa ini,
kritik matn hadis telah mulai berkembang, selain melakukan penelitian matn
hadis sebagaimana yang dilakukan oleh para sahabat. Para tabi’i>n
melakukan penelitian matn dengan cara mu’a>radah. Cara ini efektif untuk
mencocokkan konsep yang menjadi muatan suatu matn hadis agar tetap
terpelihara kebenarannya. Selain itu, digunakan media al-Qur’an dan
pendekatan historis dalam artian pencocokan dengan sejarahnya. Kenyataan
tersebut berkembang dalam periode berikutnya.
d. Kritik Matn Hadis Masa Ulama’ Hadis
Ulama’ hadis telah berupaya untuk mensistematisasikan penelitian matn
dengan baik yakni dengan cara mempermudah langkah-langkah dalam
melakukan penelitian matn hadis. Musfir Azmilla>h al-Dama>ni>
memberikan gambaran tentang metode ulama’ muh}addisi>n dalam
menilai suatu matn hadis. Metode tersebut antara lain tidak bertentangan
dengan al-Qur’an, tidak bertentangan antar satu hadis dengan hadis lainnya,
tidak bertentangan dengan sunnah satu dengan yang lainnya, tidak
bertentangan dengan kejadian yang sesungguhnya dan fakta sejarahnya, dan
sebagainya21.
19 Umi Sumbulah, Ktitik Hadis, hlm 97.20 Umi Sumbulah, Ktitik Hadis, hlm 98.21 Suryadi dan Muhammad Alfatih Suryadilaga, hlm 145-146.
9
Dengan model metode tersebut, kritik matn mulai menemukan model
baru yang lebih sempurna. Kesempurnaan bentuk kritik matn di masa ini,
dapat ditunjukkan dengan adanya upaya yang dilakukan para ulama’ untuk
memulai menspesialisasikan dirinya sebagai kritikus hadis, seperti Mali>k,
al-Thauri>, dan Syu’bah. Kemudian disusul dengan munculnya kritikus
hadis lainnya seperti Abdullah ibn al-Muba>rak, Yahya> ibn Sa’id al-
Qat}t}a>n, Abd rahma>n Mahdi> dan al-Imam al-Sya>fi’i. jejak mereka
diikuti Yahya> ibn Ma’i>n, Ali ibn al-Madi>ni> dan Ima>m Ah}mad22.
C. Objek Kritik Hadis
Sekalipun terdapat sedikit perbedaan mengenai batasan naqd hadis, namun
secara umum objek pembahasan studi ini tidak berubah, yakni menyangkut dua
aspek yaitu mata rantai transmisi hadis (sanad) dan isi kandungan hadis (matan).
Pada aspek sanad yang diperiksa adalah status maqbul23 dan tidaknya sanad itu,
sementara pada aspek matn yang diperiksa adalah status maqbul dan tidaknya
matn24.
1. Sanad
Secara etimologis, sanad berarti “bagian bumi yang menonjol” dan
“sesuatu yang berada di hadapan anda dan jauh dari kaki bukit ketika anda
memandangnya”. Bentuk jama’nya adalah “asnad”. Segala sesuatu yang
disandarkan kepada lain disebut musnad25.
Sedang secara terminologis, sanad adalah “jalur matn”, yaitu rangkaian
para perawi yang memindahkan matn dari sumber primernya. Sanad dalam
pemahaman sederhana adalah mata rantai sejarah yang terdiri dari manusia-
manusia (rawi) yang menghubungkan antara pencatat hadits dengan sumber
22 Umi Sumbulah, Ktitik Hadis, hlm 99.23 Maqbul adalah hadis yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh orang yang
bersifat ‘udul memiliki hafalan yang sempurna, tidak terdapat kejanggalan dalam matannya dan tidak pula terdapat cacat. Lihat Zeid B. Smeer, Studi Hadis, hlm 52.
24 Zeid B. Smeer, Studi Hadis, hlm 265.25 Suryadi, Metodologi, hlm 99. Lihat juga Muhammad Ajja>l al-Khat}i>b, Us}ul al-
Hadi>s ulu>muh wa Mus}t}alah}uh, (Beirut: Da>r al-Fikr, 1989), hlm, 32-33.
10
riwayat, yaitu Rasulallah saw (pada hadis marfu’) atau sahabat (pada hadis
mauquf) dan tabi’in (pada hadis maqthu’)26.
Dalam kritik sanad hadis maka hal-hal yang perlu diteliti adalah:
a. Kualitas personal sanad hadis yang mencakup kualitas kesalehan
sanad (keadilan-nya) dan kapasitas tingkat intelektualnya
(kedhabithannya).
b. Ketersambungan seluruh sanad hadis.
c. Terhindarnya sanad hadis dari sifat sudzudz dan illat.
2. Matan
Adapun definisi matan dari sisi bahasa berma’na punggung jalan atau
gundukan, bisa juga berma’na isi atau muatan. Teks hadis dinamakan
demikian karena isi hadis berada pada teks. Adapun secara terminology,
matan adalah akhir dari rentetan perawi dalam sebuah sanad. Ibarat tangga,
akhir pada anak tangga berujung pada teks, dan teks itu sendiri adalah
redaksi atau ucapan yang dituturkan oleh si pengucap. Pengucap atau
penutur teks itu bisa Nabi, sahabat, atau juga bisa tabi’in27.
Dalam kritik matan unsure-unsur yang harus diteliti adalah terhindarnya
dari sifat sudzudz dan illat.
Dalam menjabarkan dua criteria tersebut ulama’ berbeda-beda pandangan.
Seperti yang diungkapkan oleh Al-Khati>b al-Baghda>di>, yaitu:
1) Tidak bertentangan dengan akal sehat
2) Tidak bertentangan dengan hukum al-Qur’an
3) Tidak bertentangan dengan hadis mutawatir
4) Tidak bertentangan dengan amalan yang telah menjadi kesepakatan
5) Tidak bertentangan dengan dalil yang pasti
26 Daniel Juned, Ilmu Hadis: Paradigma Baru dan Rekonstruksi Ilmu Hadis, ( Jakarta: Erlangga, 2010), hlm 28.
27 Zeid B. Smeer, Studi Hadis, hlm 94.
11
6) Tidak bertentangan dengan hadis ahad yang kualitasnya lebih kuat28
Sedangkan menurut Shalah al-Din al-Adlabi mengemukakan bahwa
pokok-pokok tolok ukur penelitian keshahihan matan ada empat macam,
yakni:
1) Tidak bertentangan dengan petunjuk al-Quran; (2)
2) Tidak bertentangan dengan hadis yang kualitasnya lebih kuat;
3) Tidak bertentangan dengan akal yang sehat, indera dan sejarah;
dan,
4) Susunan pernyataanya menunjukan cirri-ciri sabda kenabian.29
D. Urgensi Kritik Hadis
Penelitian hadis penting dilakukan karena sosok hadis sendiri merupakan
salah satu ajaran Islam. Bebicara Islam tidak akan terlepas dari ajaran dasarnya.
Sumber Islam secara normative dapat dijumpai dalam al-Qur’an dan hadis30.
Secara eksplisit, Muhammad ibn Si>ri>n menyatakan bahwa : “ Sesungguhnya
pengetahuan hadis adalah agama, maka perhatikanlah dari siapa kamu mengambil
agamamu itu”. Sementara Abd Alla>h ibn al-Muba>rak menyatakan bahwa,
“Sanad hadis merupakan bagian dari agama. Sekiranya sanad hadis tidak ada,
niscaya siapa saja akan bebas menyatakan apa yang dikehendakinya31.
Hadis sebagai sumber ajaran Islam yang kedua, keberadaannya pada awal
mulanya hanya dihafal secara berkesinambungan dari generasi ke generasi
berikutnya. Sampai pada upaya penulisan terhadap hadis32. Berbeda dengan Al-
Qur’an, secara keseluruhan hadis belum ditulis pada zaman Rasulullah saw,
bahkan Rasulullah melarangnya33.
28 Lihat, al-Khathib al-Baghdadi, al-Kifayah fi ‘ilm al-rRwayah, Mesir, Mathba’ah as-Sa’adah, 1972 M, hh. 206-207
29 Lihat Shalah al-Din bin Ahmad al-Adlabi, Manhaj Naqd al Matn, Dar al-Afaq al-Jadidah, Beirut, Cet. I, 1403 H= 1983 M, h. 238
30 Suryadi dan Muhammad Alfatih Suryadilaga, Metodologi, hlm 6.31 Suryadi dan Muhammad Alfatih Suryadilaga, Metodologi, hlm 100.32 Umar bin Abdul Aziz beliau menggagas penulisan ( tadwin) hadits. Beliau
memerintahkan kepada Walikota Madinah Abu Bakar bin Muhammad bin Amr Ibn Hajm yang ada dalam hafalan-hafalan penghafal hadits. Lihat Fathur Rahman, Ikhtishar Mushthalahul Hadits, ( Bandung: PT Al-Ma’arif, 1974), hlm 54.
33 Suryadi dan Muhammad Alfatih Suryadilaga, Metodologi, hlm 11.
12
Perjalanan panjang pembukuan hadis dan adanya beberapa kecenderungan
yang mewabah di dunia Islam menyebab tidak dipungkiri adanya pemalsuan
hadis. Senada dengan itu, hadis dapat diriwayatkan secara makna, artinya tidak
semua periwayat hadis meriwayatkan apa yang didengar dan diketahui dari
Rasulullah mereka dapat memberi ma’na dengan kata lain34.
Hal inilah yang memberikan porsi lebih atas perkembangan hadis dengan
menerapkan kaidah-kaidah yang ketat dalm menerima dan menolak suatu hadis
ketika dijadikan hujjah.
Dari kronologi penyusunan kitab hadis, ada enam macam kitab hadis, yaitu
al-Mus}annaf, al-Musnad, S}ahih, al-Mu’jam, al-Mustadrak, dan al-Mustakhraj35.
E. Kitab-kitab Yang Diperlukan Dalam Kritik Sanad Hadis
Kitab-kitab yang dibutuhkan dalam melakukan penelitian sanad muncul
dalam berbagai bentuk dan sifatnya, mulai dari yang bersifat umum sampai
kepada yang bersifat khusus.
1. Kitab Sanad Hadis Yang Bersifat Umum
a. Al-Tarikh al-Kabir
Kitab ini merupakan karya terbesar Al-Bukhari (wafat 256 H/ 870 M),
di dalamnya terdapat 12.315 biografi periwayat hadis. Al-Bukhari
menyusun nama-nama orang secara alfabetis dengan ciri khas tertentu,
dengan disesuaikan dari huruf pertama dari nama itu dan nama ayahnya.
Nama yang pertama diuraikan adalah mereka yang bernama Muhammad,
nama tersebut dipertimbangkan kemuliaan nama Nabi Muhammad Saw.,
sebagaimana didahulukannya nama sahabat yang paling pertama, dengan
tanpa melihat nama ayah mereka. Setelah penulis menguraikan nama-nama
yang ditempatkan secara khusus itu, baru ia menguraikan nama-nama yang
lain secara alfabetis.36
b. Al-Jarh wa al-Ta’dil
34 Suryadi dan Muhammad Alfatih Suryadilaga, Metodologi, hlm 13.35 Suryadi dan Muhammad Alfatih Suryadilaga, Metodologi, hlm 14.
36 Ahmad Farid, 60 Biografi Ulama Salaf, Penerjemah;Masturi Irham & Asmu’I Taman, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006), hlm.,. 25.
13
Kitab ini ditulis oleh Ibn Abi Hatim (wafat 327 H). Nama-nama
periwayat ditulis secara lengkap dengan menyebutkan nama ayah dan
gelarnya, kemudian diurut secara alfabetis. Yang paling menonjol dari
kitab ini adalah memberikan penilaian kualitas periwayat sesuai dengan
nama kitab tersebut, yaitu al-jarh wa ta’dil.37
2. Kitab-kitab Sanad hadis yang bersifat khusus
a. Kitab-kitab sanad hadis yang sifatnya mengkaji biografi para periwayat
kitab-kitab tertentu, Seperti:
1) Al-Hidayah wa al-Irsyad fi Ma’rifah ahli al-Tsiqat wa al Saddat
Kitab ini dikarang oleh Abi Nashr Ahmad Ibn Muhammad Al-
Kalabadi (wafat 318 H). Kitab ini dikhususkan pengarangnya hanya
membahas biografi para periwayat dalam Sahih Bukhari.
2) Rijal al-Sahih Muslim
Kitab ini dikarang oleh Abi Bakr Ahmad Ibn Ali Al-Asfahani yang
dikenal dengan nama Ibn Manjuyah (wafat 428 H). Kitab ini berisi para
periwayat kitab Sahih Muslim secara khusus.
b. Kitab-kitab sanad hadis yang sifatnya mengkaji biografi para periwayat
beberapa kitab hadis:
1) Kutub al-Tarajum al-Khassah bi Rijal al-Kutub al-Sittah
“Induk dari kitab-kitab yang termasuk dalam kelompok ini adalah
kitab al-Kamal fi Asma al-Rijal, karangan Abdu gani Al-Maqdisi (wafat
600 H). Kitab ini merupakan kitab induk dalam kajian rijal al-Hadis.
Kitab rijal yang termasuk dalam kelompok ini adalah Tahzib al-
Kamal oleh Al-Syahr Abu Hajjaj Yusuf Ibn Zakki Al-Mizzi (wafat 742
H). Kitab Tahzib al-Kamal kemudian disempurnakan oleh ‘Alaw Al-Din
Al-maghlathay (wafat 762 H) dengan judul Ikmal Tahzib al-Kamal.
Karya Al-Mizzi di atas juga disusun ulang oleh Abu Abdillah Ibn
Ahmad Al-Zahabi (wafat 748 H) dengan judul Tahzib al-Tahzib. Ibnu
hajar Al-Asqalani juga menulis kitab dengan judul yang sama, yaitu
Tahzib al-Tahzib.
37 Ibid.
14
c. Kitab-kitab sanad hadis yang khusus memuat periwayat tingkat sahabat:
1) Kitab Ma’rifah man Nazala min al Sahabah Sair al-Buldan karya Abu
al-Hasan Ali ibn Abdullah al-Madini (w.234)
2) Kitab al-Ma’rifah karya Abu Muhammad Abdullah ibn Isa al-
Marwazi, Kitab al-Sahabah karya Abu hatim Muhammad ibn Hibban
Al-Busti,
3) Kitab Al-Istiab fi Marifah al-Ashab karya Abu Umar Yusuf ibn
Abdillah ibn Muhammad ibn Abd Barr al-Namiri Al-Qurtubi (w. 463)
4) Kitab Tajrid Asma al-Sahabah karya al-Hafiz Syams al-Din Abu
abdillah Muhammad ibn Ahmad ibn al-Asir (555-630),
5) Kitab al-Badr al-Munir fi Sahabah al-Basyir al-Nazir karya
Muhammad Qasim ibn Salih al-Sindi, dan lain-lain.38
d. Kitab-kitab yang secara khusus menghimpun para periwayat-periwayat
Tsiqah saja, seperti:
1) Ali Ibn Abdullah Al-Madini (234 H) menghimpun periwayat hadis
yang Tsiqah dalam karyanya yang diberi judul al-tsiyat wa al
Mutsabbitin yang terdiri dari sepuluh juz.
2) Abu Al-Hasan Ahmad Ibn Abdillah Ibn Shalih Al-‘Ijli (261 H) juga
menghimpun perwayat hadis yang tsiqah dalam koleksinya diberi judul
Kitab al-Tsiqah. Di dalam kitab ini, nama-nama periwayat hadis
disusun secara alfabetis.
3) Muhammad Ibn Ahmad Hibban Al-Busti (354 H) juga menghimpun
periwayat hadis yang tsiqah dalam satu kitab tertentu, yang diberi
nama Kitab al-Tsiqat., nama periwayat dalam kitab ini disusun secara
alfabetis.39
e. Kitab-kitab sanad hadis yang khusus mengkaji dan menghimpun
periwayat dhaif:
1) Kitab al-duafa’ wa al-Matrukin, karya An-Nasa’i.
38 Suryadi dan Muhammad Alfatih Suryadilaga, hlm. 117.39 Bustamin, dkk, Metodologi Kritik Hadis, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004) , hlm.
27-28.
15
2) Kitab al-Du’afa’, karya Abu Ja’far Muhammad bin ‘Amr al-‘Uqaili (w
323 H).40
F. Kitab-kitab Yang Diperlukan Dalam Kritik Matan Hadis
Kitab yang khusus membahas kritik matan belum ditemukan pada awal
awal perkembangan ilmu hadis. Namun, kitab tentang matan telah muncul
bersamaan dengan berkembangnya ilmu hadis. Kitab yang membahas tentang
matan hadis, pertama muncul dalam bentuk penyelesaian hadis-hadis kontroversi,
baik kontroversi hadis dengan hadis sahih, hadis dengan akal, maupun dengan
Alquran.
Adapun kitab-kitab yang mengkaji seputar penelitian terhadap matan hadis
antara lain adalah sebagai berikut:
1. Imam Muhammad Ibn Idris Al-Syafi’i (wafat 204 H) menulis kitab yang
berjudul ikhtilaf al-hadits untuk menyelesaikan kitab yang kelihatannya
saling bertentangan terutama yang menyangkut hukum.
2. Imam Ibn Qutaybah Al-Dinuri (wafat 204 H) menulis kitab yang senada
dengan karya Imam Al-Syafi’i dengan judul Ta’wil Mukhtalif al-Hadits.
3. Shalah Al-Din ibn Ahmad Al-Adabi menulis kitab berjudul Manhaj
naqd al-Matn ‘Inda ‘Ulama al-Hadits al-Nabawi
4. Muhammad Thahir Al-Jawabi menulis kitab berjudul Juhud al-
Muhadditsin fi Naqd Matn al-Hadits al-Nabawi al-Syarif
5. Muhammad Mushthafa Al-A’zhami menulis kitab yang berjudul Manhaj
al-Naqd ‘Inda al-Muhadditsin,
6. Yusuf Qardawi menulis kitab yang berjudul kayfa Nataamal ma’a al-
Sunnah al-Nabawiyah, Muhammad Al-Ghazali menulis kitab yang
berjudul Al-Sunnah al-Nabawiyah Bayn Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Hadits.
Kitab-kitab di atas berusaha menawarkan metodologi penelitian dan kritik
matan hadis serta berupaya mengidentifikasi hadis-hadis yang dianggap
berseberangan dengan sumber hukum yang lain.41
G. Tokoh-tokoh Kritikus Hadis
40 Ibid.41 Bustamin, dkk, Metodologi Kritik Hadis, hlm., 61-62.
16
Perjalanan sejarah perkembangan kritik hadis telah diuji oleh berbagai
cobaan dari internal dan eksternal umat Islam. Namun berbagai peristiwa yang
mencoba menguji otentisitas dan orisinalitas hadis tersebut malah menyadarkan
kaum muslimin untuk menetapkan rambu-rambu, standarisasi dan metode
penelitian hadis. Dari hasil kajian tersebut maka terlahirlah para kritikus hadis
yang populer di masanya, yang antara lain adalah sebagai berikut:
1. Kritikus Hadis Pada Masa Sahabat (abad 1 H.)
Adapun para kritikus hadis yang dapat disebutkan di masa sahabat
antaranya adalah sebagai berikut :
Abu Bakar as-Siddiq (w. 13 H=634 M), Umar bin Khattab (w. 234
H=644 M) Ali bin Abi Thalib (w. 40 H=661 M), Abdullah Ibn Hushain (w.
52 H), `Imran ibn Hushain (w.52 H), Abu Hurairah (59 H), Abdullah ibn
Amar ibn al-`Ash (w. 65 H), Abdullah ibn `Umar (w. 83 H), Abu Sa`id al-
Khudzri (w. 79 H), dan Anas ibn Malik (w. 92 H).42
2. Kritikus Hadis Pada Masa Tabi’in (Abad 2 H.)
Adapun tokoh penelitian hadis pada masa tabi’in (abad II) dan pusat
aktivitas mereka adalah sebagai berikut:
a. Kufah dengan tokohnya Sufya>n al-Thauri> (97-161 H), Wa>lid ibn
al-Jarrah (wafat 196 H).
b. Madinah dengan tokohnya Ma>lik ibn Anas ( 93-179 H)
c. Beirut dengan tokohnya al-Awza’I (88-158 H)
d. Wasith dengan tokohnya Syu’bah (83-100 H)
e. Basrah dengan tokohnya Hamma>d ibn Sala>mah ( wafat 167 H),
Hamma>d ibn Zaid (wafat 179 H), Yahya> ibn Sa’id al-Qat}t}a>n
(wafat 198 H) dan Abd al-Rahma>n ibn Mahdi> (wafat 198 H)
f. Mesir dengan tokohnya al-Laits ibn Sa’d (wafat 175 H) dan al-Syafi’I
(wafat 204 H)
g. Makkah dengan tokohnya ibn ‘Uyainah (107-198 H)
h. Merv dengan tokohnya Abdullah ibn al-Muba>rak (118-181 H)43
42 Umi Sumbulah, Kritik Hadis, Pendekatan Historis dan Metodologis, hlm. 40.43 M.M. Azami, Metodologi Pemahaman, hlm 85-86. Lihat juga Umi Sumbulah, Ktitik
Hadis, hlm 41.
17
3. Kritikus Hadis Pada Abad Ke 3 H.
Tokoh-tokoh hadis yang telah disebutkan di atas adalah tokoh kritikus
abad II H yang kemudian melahirkan tokoh-tokoh kritik penerus mereka di
abad ke III H, yakni di antaranya adalah:
a. Baghdad dengan tokohnya Yahya> ibn Ma’i>n (wafat 233 H), Ibn
H}anbal (wafat 241 H), dan Zuhair ibn H}arb (wafat 234 H)
b. Basrah dengan tokohnyan Ali ibn al-Madi>ni> (wafat 234 H) Ubaid
Allah ibn Umar (wafat 235 H)
c. Wasith dengan tokohnya Abu> Bakr ibn Abi> Syaibah (wafat 235 H)
d. Merv dengan tokohnya Isha>q ibn Rahawaih (wafat 238 H)44.
Dari tokoh-tokoh kritik hadis abad ketiga inilah pada perkembangan
berikutnya muncul ilmuwan-ilmuwan hadis seperti al-Bukha>ri>, al-Darimi,
Abu> Ha>tim al-Ra>zi>, yang karena kontribusi intelektual merekalah hadis
maupun ilmu hadis menemukan elanvitalnya sebagai khazanah pola pikir para
cerdik cendekiawan di masa-masa berikutnya45
Dari tokoh-tokoh kritik hadis abad ketiga ini kemudian melahirkan
ilmuwan-ilmuwan hadis sekaliber seperti:
a. Malik bin Anas (97-179 H.), nama lenkapnya adalah Abu ‘Abdullah Malik
bin Anas bin Malik bin Abu ‘Amir al-Asbahiy al-Himyari al-Madaniy.
b. Asy –Syafi’I (150-204 H.), nama lengkapnya adalah Abu ‘Acdullah
Muhammad bin Idris bin al-‘Abbas bin Syafi’I bin as-Saibbin’Ubaid bin
‘Abdu Yaziz bin Hasyim bin ‘Abdul Mutolib bin ‘Abdul Manaf al-
Muttolib al-Qurisyiy.
c. Ahmad bin Hanbal ( 164-241H.) nama lengkapnya Abu ‘Abdullah Ahmad
bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin As’ad Asy- Syaibani al-
Marwaziy dari Maru
d. Ad-Darimi ( 181- 255 H.) nama lengkapnya adalah Abu Muhammad
‘Abdullah bin ‘Abdur Rohman bin Fadl bin Bahrum at- Tamimiy ad-
Darimi.
44 Umi Sumbulah, Ktitik Hadis, hlm 42.45 Umi Sumbulah, Ktitik Hadis,, hlm 42.
18
e. Al-Bukhori(194-256H.),nama lengkapnya, Abu ‘Abdullah Muhammad bin
Isma’il bin Ibrahim bin Mugiroh al-Ja’fi, kakeknya Majusi.
f. Muslim,( 206-261H.), nama lengkapnya adalahAbul Husain Muslim bin
Al-Hajjaj bin Muslim al-Qusyairi an- Naisaburi.
g. Abu Daud (202-275 H.), nama lengkapnya adalah Abu Daud Sulaiman bin
Asy’ast bin Syidad bin ‘Amar bin ‘Amir Assijistani
h. Ibn Majah (209-273 H.), nama lengkapnya adalah Abu ‘Abdillah
Muhammad bin Yazid bin Majah ar-Robi’I al-Qozwani.
i. Abu Hatim Ar Rozi (195 H. - 227 H.), nama lengkap Abu Hatim Ar-Razi
adalah Muhammad bin Idris Al-Mundzir bin Dawud bin Mahran Al-Hanzhali
Al-Hafizh.
j. At-Tirmidzi ( 209-279 H) nama lengkapnya adalah Abu ‘Isa Muhammad
bin Sauroh bin Musa bin Dohhar bin Sulami al Bugi at-Tirmidzi
k. An- Nasa’i (214-303 H) nama lengkapnya adalah Abu ‘Abdur Rohman
Ahmad bin Syu’aib bin ‘Ali bin Bakar bin Sinan an-Nasai.46
4. Kritikus Hadis Pada Abad Ke 4-7 H.
Tokoh-tokoh kritikus hadis yang terdapat pada abad ke 4, 5, 6, 7 adalah
sebagai berikut:
a. At-Tobroni (260-360 H), lahir di Syam, wafat di Hamamah ad-Dausi.
b. Al- Hakim ( 321-405 H), lahir di Naisabur pindah ke Iroq
c. Ibn Khuzaimah (223-313 H), lahir di Khurosan
d. Ibn Hibban ( w 354), dia orang Samarqond.
e. Ad-Daruqutni ( 306-385 H), dia orang Bagdad
f. At-Tohawi (238-321H), dia orang Mesir
g. Al- Baihaqi (w. 458 H), wafat di Naisabur, belajar hadis ke ‘Iroq dan
Hijaj.
h. An-Nawawi ( 631-676 H),lahir di Nawa, beliau pensyarah hadis seperti
Kitab Riyadus solihin.
i. Al-Imam Adz-Dzahabi (673-748 H), Nama lengkap Al-Imam Adz-Dzahabi
adalah Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Utsman bin Qaimaz bin
46 Zeid B. Smeer, Ulumul Hadis, Pengantar Studi Hadis Praktis, (Malang: UIN-Malang Press, 2008), hlm. 86-125.
19
Abdullah at-Turkimani al-Fariqi, Ad-Dimasyqi Asy-Syafi’I, Syamsuddin Abu
Abdillah Adz-Dzahabi.47
Adapun mengenai profil, kapasitas intelektual, guru dan murid, kelompok
sosial, dan karya-karya para tokoh kritikus hadis ini dapat ditelusuri pada kitab
yang mengkaji keritikus hadis seperti kitab tahzib al-kamal.
H. Indikasi Mayor dan Minor Sanad dan Matan Hadis Shahih
1. Indikasi mayor sanad dan matan hadis shahih
Kaidah kritik sanad hadis dapat diketahui dari pengertian istilah hadis
shahih. Menurut ulama hadis, Ibn al-Shalah (w. 643 H), hadis shahih ialah
hadis yang bersambung sanadnya (sampai kepada Nabi), diriwayatkan oleh
periwayat yang adil dan dhabith sampai akhir sanad, (di dalam hadis itu) tidak
terdapat kejanggalan (syudzudz), dan cacat (‘illat).48
Dari pengertian istilah tersebut, dapat diurai unsur-unsur hadis shahih
menjadi: (1) sanad bersambung; (2) periwayat bersifat adil; (3) periwayat
bersifat dhabith; (4) dalam hadis itu tidak terdapat kejanggalan (syudzudz);
dan (5) dalam hadis itu tidak terdapat cacat (‘illat). Ketiga unsur yang
disebutkan pertama berkenaan dengan sanad, sedangkan dua unsur berikutnya
berkenaan dengan sanad dan matan. 49
Dengan demikian unsur-unsur yang termasuk persyaratan umum
kaidah keshahihan hadis ada tujuh macam, yakni lima macam berkaitan
dengan sanad dan dua macam berkaiatan dengan matan. Persyaratan umum itu
dapat diberi istilah sebagai kaidah mayor, sebab masing-masing unsurnya
memiliki syarat-syarat khusus; dan yang berkaitan dengan syarat-syarat
khusus itu dapat diberi istilah sebagai kaidah minor.50
47 Ahmad Farid, 60 Biografi Ulama Salaf, hlm. 812.48 M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi Menurut Pembela, Pengingkar Dan Pemalsunya
(Jakarta: Gema Insani Press, 1995), h. 7649 Pernyataan itu didasarkan atas ketentuan yang menyatakan bahwa syudzudz dan ‘illah
hadis terdapat pada sanad dan matan. Lebih lanjut lihat, misalnya Al-Sakhawi, Fath al-Mugits, al-Maktabah al-Salafiyyah, al-Madinah al-Munawwarah, 1388 H= 1968, Juz I, hh. 183-184 dan 209-217; Nur al-Din ‘Itr, Manhaj al-Naqd fi ‘Ulum al-Hadits, Dar al-Fikr, Damaskus, 1399 H= 1979 M, hh. 428-429 dan 447-454; dan Mahmud al-Thahhan, Taisir Musthalah al-Hadits, Dar al-Qur’an al-Karim, Beirut, 1398 H= 1979 M, hh. 98-101 dan 116-118.
50 M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi Menurut Pembela, Pengingkar Dan Pemalsunya… h. 77
20
Lima unsur yang terdapat dalam kaidah mayor untuk sanad diatas
sesungguhnya dapat “dipadatkan” menjadi tiga unsur saja, yakni unsur-unsur
terhindar dari syudzudz dan terhindar dari ‘illat dimasukkan pada unsur
pertama dan ketiga. Pemadatan unsur-unsur itu tidak mengganggu substansi
kaidah sebab hanya bersifat metodologi untuk menghindari adanya tumpang
tindih unsur-unsur, khususnya dalam kaidah minor.51
2. Indikasi minor sanad hadis shahih
Apabila masing-masing unsur kaidah mayor bagi keshahihan sanad
disertakan unsur-unsur kaidah minornya, maka dapat dikemukakan butir-
butirnya sebagai berikut:
a. Unsur kaidah mayor yang pertama, sanad bersambung. Mengandung
unsur kaidah minor: (a) muttashil (bersambung)52; (b) marfu’
(bersandar kepada Nabi saw); (c) mahfuzh (terhindar dari syudzudz);
dan (d) bukan mu’all (bercacat).53
51 Ibid,. 52 Istilah muttashil, dimaksudkan sebagai hadis yang bersambung sanadnya. Namun
demikian, istilah tersebut belum menjamin bahwa kebersambungan sanad tersebut pasti hingga Rasulullah, bisa saja hingga sahabat atau bahkan hingga tabi’in saja. Oleh karena itu kemudian muncul istilah muttashil marfu’ jika kebersambungan dengan Rasulullah, muttashil mauquf jika hingga sahabat dan muttashil maqthu’ jika hany sampai pada tingkatan tabiin. Lihat misalnya Zain al-Din al-Iraqi, AL-Taqyid wa al-Idhah: Syarh Muqaddimah Ibn al-Shalah. (Beirut: Dar al-Fikr, 1981) h. 65-66
53 Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, bahwa penelitian atau kritik hadis itu berorientasi kepada hadis yang tergolong pada klasifikasi ahad dan tidak pada yang mutawatir. Orientasi yang demikian ini lebih dimotivasi oleh karena hadis mutawatir itu telah memberikan akurasi yang pasti sifatnya. Sayangnya, hadis-hadis Rasulullah yang diklasifikan pada kelompok ini sangat sedikit jumlahnya. Lain halnya dengan hadis yang diklasifikasikan pada jajaran ahad. Disamping hadis tersebut hanya memberikan bobot akurasi yang dzanni sifatnya, seringkali ternyata kualitasnya dipertanyakan. Berpijak pada argumentasi tersebut, titik orientasi kritik sanad yang dikembangkan oleh para ulama menemukan arti pentingnya bagi upaya pembuktian valid atau tidak valid suatu hadis. Tidak selalu terdapat keseberagaman pendapat para ulama mengenai konsep kebersambungan sanad ini. Salah satu konsep yang dapat dimajukan yakni, digulirkan oleh al-Bukhari. Bagi al-Bukhari sebuah sanad baru diklaim bersambung apabila memenuhi criteria berikut: pertama, al-liqa’ yakni adanya pertautan langsung antara satu perawi dengan perawi berikutnya yang ditandai dengan adanya sebuah aksi pertemuan antara murid yang mendengar secara langsung suatu hadis dari gurunya; kedua, al-mu’asharah, yakni bahwa sanad diklaim bersambung apabila terjadi persamaan masa hidup antara seorang guru dengan muridnya. Lihat Ali
21
b. Unsur kaidah mayor yang kedua, periwayatnya bersifat adil.
Mengandung unsur kaidah minor: (a) beragama Islam; (b) mukallaf
(baligh dan berakal sehat); (c) melaksanakan ketentuan agama Islam;
dan (d) memelihara muru’ah (adab kesopanan pribadi yang membawa
pemeliharaan diri manusia kepada tegaknya kebijakan moral dan
kebiasaan-kebiasaan).
c. Unsur kaidah mayor yang ketiga, periwayat bersifat dhabith dan atau
adhbath, mengandung unsur kaidah minor: (a) hafal dengan baik
hadis yang diriwayatkannya; (b) mampu dengan baik menyampaikan
riwayat hadis yang dihafalnya kepada orang lain; (c) terhindar dari
syudzudz; dan (4) terhindar dari ‘illat.54
3. Indikasi minor matan hadis shahih
Kaidah mayor untuk matan, sebagaimana telah disebutkan, ada dua
macam, yakni “terhindar dari syudzudz” dan “terhindar dari ‘illah”. Ulama
hadis tampaknya mengalami kesulitan untuk mengemukakan klasifikasi
unsur-unsur kaidah minornya secara rinci dan sistematik. Dinyatakan
demikian karena, karena dalam kitab-kitab yang membahas penelitian hadis,
sepanjang yang penulis telah mengkajinya, tidak terdapat penjelasan
klasifikasi unsur-unsur kaidah minor berdasarkan unsur-unsur kaidah
mayornya. Padahal untuk sanad, klasifikasi itu dijelaskan.55
Pernyataan tersebut tidaklah dimaksudkan bahwa ulama hadis tidak
menggunakan tolak ukur dalam meneliti matan. Tolok ukur itu telah ada,
hanya saja dalam penggunaannya, biasanya ulama hadis menempuh jalan
secara langsung tanpa bertahap menurut tahapan unsur kaidah mayor;
misalnya dengan memperbandingkan matan hadis yang sedang diteliti dengan
dalil naqli tertentu yang lebih kuat dan relevan. Jadi kegiatan penelitian tidak
Mustafa Ya’kub, Imam Bukhari dan Metodologi Kritik dalam Ilmu Hadis (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1992) Cet. II, h. 19
54 M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), h. 132-133
55 M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi Menurut Pembela, Pengingkar Dan Pemalsunya… h. 78
22
diklasifikasi, misalnya langkah pertama meneliti kemungkinan adanya
syudzudz dengan unsur-unsur kaidah minornya, lalu diikuti langkah
berikutnya meneliti kemungkinan adanya ’illah dengan unsur-unsur kaidah
minornya juga.56
Adapun tolok ukur penelitian matan (ma’ayir naqd al-matn) yang telah
dikemukakan oleh ulama tidaklah seragam. Al-Khathib al-Baghdadi (w. 463
H = 1072 M) menjelaskan bahwa matan hadis yang maqbul (diterima sebagai
hujah) haruslah: (1) tidak bertentangan dengan akal sehat; (2) tidak
bertentangan dengan hukum al-Quran yang telah muhkam; (3) tidak
bertentangan dengan hadis mutawatir; (4) tidak bertentangan dengan amalan
yang telah menjadi kesepakatan ulama masa lalu (ulama salaf); (5) tidak
bertentangan dengan dalil yang sudah pasti; dan (6) tidak bertentangan dengan
hadis ahad yang kualitas keshahihannya lebih kuat. 57 Keenam butir tolak ukur
tersebut nampak masih tumpang tindih. Selain itu, masih ada tolok ukur
penting yang tidak disebutkan, misalnya tentang susunan bahasa dan fakta
sejarah.
Shalah al-Din al-Adlabi mengemukakan bahwa pokok-pokok tolok
ukur penelitian keshahihan matan ada empat macam, yaki: (1) tidak
bertentangan dengan petunjuk al-Quran; (2) tidak bertentangan dengan hadis
yang kualitasnya lebih kuat; (3) tidak bertentangan dengan akal yang sehat,
indera dan sejarah; dan (4) susunan pernyataanya menunjukan cirri-ciri sabda
kenabian.58 Tolok ukur tersebut masih bersifat global dan masih dimungkinkan
untuk dikembangkan.
Butir-butir tolok ukur di atas yang dapat dinyatakan sebagai kaidah
keshahihan matan oleh jumhur ulama dinyatakan sebagai tolok ukur untuk
meneliti kepalsuan suatu hadis. Menurut jumhur ulama, tanda-tanda matan
56 Ibid57 Lihat, al-Khathib al-Baghdadi, al-Kifayah fi ‘ilm al-rRwayah, Mesir, Mathba’ah as-
Sa’adah, 1972 M, hh. 206-20758 Lihat Shalah al-Din bin Ahmad al-Adlabi, Manhaj Naqd al Matn, Dar al-Afaq al-
Jadidah, Beirut, Cet. I, 1403 H= 1983 M, h. 238
23
hadis yang palsu ialah: (1) susunan bahasanya rancu; (2) isinya bertentangan
dengan akal yang sehat dan sangat sulit diinterpretasikan secara rasional; (3)
isinya bertentangan dengan tujuan pokok ajaran Islam; (4) isinya bertentangan
dengan hukum alam (sunnatullah); (5) isinya bertentangan dengan sejarah; (6)
isinya bertentangan dengan petunjuk al-Quran ataupun hadis mutawatir yang
telah mengandung petunjuk secara pasti; (7) isinya berada diluar kewajaran
diukur dari petunjuk umum ajaran Islam.59
Walaupun butir-butir tolok ukur penelitian matan tersebut tampak telah
cukup menyeluruh, tetapi tingkat akurasinya ditentukan oleh ketepatan
metodologis dalam penerapannya. Untuk itu, kecerdasan, keluasan
pengetahuan, dan kecermatan peneliti sangat dituntut.60
Selanjutnya dalam hubungannya dengan pelaksanaan kegiatan kritik
sanad dan matan hadis, maka kritik sanad dilaksanakan terlebih dahulu
sebelum kegiatan kritik matan. Langkah itu dapat dipahami dengan melihat
latar belakang sejarah periwayatan dan penghimpunan hadis sebagaimana
telah dibahas di muka. Dengan latar belakang sejarah tersebut maka dapat
dipahami juga, mengapa Imam al-Nawawi (w. 676 H= 1277 M) menyatakan
bahwa hubungan hadis dengan sanadnya semisal hubungan hewan dengan
kakinya.61 Jadi, penelitian matan barulah bermanfaat, bila sanad hadis yang
bersangkutan telah memenuhi syarat untuk hujah. Bila sanad bercacat berat,
maka matan tidak perlu diteliti sebab tidak akan bermanfaat untuk hujah.62
59 M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi Menurut Pembela, Pengingkar Dan Pemalsunya… h. 80
60 Ibid 61 Lihat pernyataan al-Nawawi dalam Syarh Muslim li al-Nawawi, al-Mathaba’ah al-
Mishriyyah, (Mesir), Juz I, 1924 M, h. 8862 M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi Menurut Pembela, Pengingkar Dan Pemalsunya… h.
80
24
BAB III
PENUTUPAN
A. Kesimpulan
Sanad dipahami sebagai serangkaian perawi yang mentransmisikan hadis
dari Rasulullah sampai kepada mukharrij al-hadith. Matan difokuskan pada
teks hadis yang merupakan intisari dari apa yang pernah disabdakan
Rasulullah, yang ditransmisikan pada generasi-generasi berikutnya sehingga
sampai pada tangan para mukharrij al-hadith, baik secara lafdzi maupun
ma’nawi.
Istilah kritik sanad hadis shahih, mengandung arti bahwa seluruh jajaran
perawi dalam suatu hadis berkualitas shahih, disamping juga adanya
kebersambungan sanad, serta terbebas dari kerancuan (syadz) dan cacat
(‘illat). Mengacu pada pemahaman bahwa salah satu atau beberapa jajaran
periwayatnya berkualitas dha’if, atau bisa jadi karena tidak memenuhi criteria
keshahihan isinya. Istilah kritik matan hadis, dipahami sebagai upaya
pengujian atas keabsahan matan hadis, yang dilakukan untuk memisahkan
antara matan-matan hadis yang shahih dan yang tidak shahih. Dengan
demikian, kritik matan tersebut bukan dimaksudkan untuk mengoreksi atau
menggoyah dasar ajaran Islam dengan mencari kelemahan sabda Rasulullah,
akan tetapi diarahkan kepada telaah redaksi atau makna gua memetapkan
keabsahan suatu hadis.
Dapat ditegaskan, bahwa kritik sanad diperlukan untuk mengetahui apakah
perawi itu jujur, taqwa, kuat hafalannya, dan apakah sanadnya bersambung
atau tidak. Sedangkan kritik matan diperlukan untuk mengetahui apakah hadis
tersebut mengandung berupa syadz atau ‘illat.
Mengacu pada tujuan final dari kritik hadis, yakni memilah dan memilih
hadis antara yang shahih dan yang tidak, aktivitas tersebut merupakan
keharusan. Karena dengan aktivitas kritik hadis, akan memberikan keyakinan
25
pada umat Islam berupaya merealisasikan serangkaian ajaran agama dengan
berpegang pada hadis-hadis yang telah terbukti keshahihannya dan
meninggalkan hadis-hadis yang tidak bisa diterima sebagai dasar agama.
Dengan demikian kekhawatiran akan terjadinya penyimpangan dalam realisasi
ajaran agama yang telah diajarkan dan dicontohkan Rasulullah dapat
diminimalisir.
top related