konsil lsm indonesia (indonesian ngo...
Post on 08-Apr-2019
256 Views
Preview:
TRANSCRIPT
KONSIL LSM INDONESIA (INDONESIAN NGO COUNCIL)
OMP FINAL REPORT PROGRAM PENDAMPINGAN TEKNIS UNTUK
PENINGKATAN PARTISIPASI MASYARAKAT
DALAM PELAYANAN PUBLIK MELALUI
SURVEY PENGADUAN
Lily Pulu dan Lusi Herlina
4/05/2013
i
Daftar Isi
I. INFORMASI OMP ............................................................................................................................ 1
A. Latar Belakang Program ............................................................................................................... 1
B. Ringkasan Eksekutif ....................................................................................................................... 5
C. Analisa Socio-politics di Wilayah Kerja dan Sekitarnya ................................................... 6
1. Sebelum adanya implementasi program ........................................................................... 6
2. Setelah adanya implementasi program .............................................................................. 8
II. PENCAPAIAN ................................................................................................................................. 10
A. Target VS Aktual ........................................................................................................................... 10
1. Rencana kegiatan VS Aktual ................................................................................................ 10
2. Jumlah Target VS Aktual........................................................................................................ 30
3. Pencapaian yang tidak ada dalam rencana .................................................................... 34
B. Dampak Positif .............................................................................................................................. 35
1. Bagi Target Populasi/Masyarakat/Komunitas............................................................. 35
2. Bagi Pemerintah Setempat/Lokal ..................................................................................... 36
3. Bagi OMP ..................................................................................................................................... 36
C. Dampak Negatif ............................................................................................................................ 37
1. Bagi Target Populasi/Masyarakat/Komunitas............................................................. 37
2. Bagi Pemerintah Setempat/Lokal ..................................................................................... 37
3. Bagi OMP ..................................................................................................................................... 38
III. TANTANGAN .................................................................................................................................. 38
A. Dengan KINERJA ........................................................................................................................... 38
1. Management Hibah/Grant ................................................................................................... 38
2. Management Program ............................................................................................................ 39
3. Management Keuangan (Hibah & Cost Sharing) ......................................................... 40
4. Monitoring & Evaluation ....................................................................................................... 40
B. Dengan Pemerintah Lokal ........................................................................................................ 41
C. Dengan Target Komunitas/Masyarakat/Institusi ........................................................... 42
D. Dengan Internal OMP ................................................................................................................. 42
E. Lainnya ............................................................................................................................................. 42
ii
IV. PEMBELAJARAN/LESSON LEARN ........................................................................................... 43
V. STRATEGY KEBERLANJUTAN DAN REPLIKASI .................................................................. 43
VI. REKOMENDASI ............................................................................................................................. 44
A. Bagi KINERJA ................................................................................................................................. 44
B. Bagi Pemerintah ........................................................................................................................... 45
C. Lainnya ............................................................................................................................................. 45
1
I. INFORMASI OMP (isikan semua informasi yang dibutuhkan oleh table dibawah ini, sebagian informasi ini dapat ditemui dalam kontrak
kerjasama OMP – KINERJA)
Grantee ID: 0212751-G-2012-006
Grant Title: Increasing Community Participation in Public Services through Complaint Survey
Agreement No./GI
Code:
Total Budget
(IDR)1:
IDR 1,678,855,000.00
Actual Budget
Spent (IDR)2:
IDR 1,538,806,634.00
Total Budget Cost
Sharing(IDR)3:
IDR 195,009,000.00
Actual Cost Sharing
Spent (IDR)4:
IDR 227,508,283.00
Grant Start Date: 1 November 2011 (01/11/11)
End Date5: 31 December 2012 (31/12/12)
Actual End date6: 31 Januari 2013
Packages Survey Pengaduan
Grant Objective: Meningkatkan kuantitas dan kualitas partisipasi masyarakat, termasuk
kelompok media, perempuan dan penyandang cacat tubuh dalam siklus
pengelolaan pelayanan publik dasar.
A. Latar Belakang Program (Tuliskan apa yang melatarbelakangi terjadinya program, karena apa dan bagaimana?)
Sejak reformasi digulirkan lebih dari satu dekade yang lalu, Indonesia telah
melaksanakan desentralisasi yang sangat luas. Desentralisasi dalam wujud
penyelenggaraan otonomi daerah diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
yang menganut prinsip-prinsip desentralisasi demokratis, yakni desentralisasi yang
menekankan pada demokrasi berupa proses partisipasi masyarakat yang berbasis luas
di tingkat daerah. Dalam undang-undang tersebut dinyatakan bahwa otonomi daerah
diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui
peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat serta peningkatan
daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip-prinsip demokrasi, pemerataan,
keadilan, keistimewaan dan kekhususan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
1Isikan total anggaran yang disebutkan dalam kontrak awal
2Isikan anggaran yang (actual) dihabiskan diakhir project untuk melihat apakah ada penambahan budget atau tidak
3Isikan total anggaran Cost Sharing yang disebutkan dalam kontrak awal
4Isikan total Cost Sharing yang (actual) dikontribusikan sampai akhir project
5Tanggal yang disebutkan dalam kontrak kerjasama
6Tanggal actual berakhirnya project untuk melihat apakah ada extension ataupun tidak
2
Literatur-literatur mengenai desentralisasi demokratis, yaitu desentralisasi yang
dikelola melalui prinsip-prinsip demokrasi, pada umumnya bertujuan untuk
mengembangkan: (1) akuntabilitas dan transparansi, (2) partisipasi publik, dan (3)
demokratisasi. Karena itu, desentralisasi demokratis terutama diukur dari
keberhasilannya mencapai sepuluh hal-hal pokok sebagaimana dikemukakan di bawah
ini:
1. Hambatan-hambatan administratif dalam pengambilan keputusan yang
tersentralisir akan hilang atau berkurang.
2. Pemerintah daerah akan akuntabel terhadap warganya.
3. Pemerintah daerah semakin responsif terhadap kebutuhan-kebutuhan warga
masyarakat, khususnya mereka yang miskin dan termarginalisasi.
4. Pelayanan publik akan semakin efektif dan efisien.
5. Kuantitas dan kualitas pelayanan publik akan semakin meningkat.
6. Berbagai kelompok dalam masyarakat akan merasa lebih terwakili kepentingannya.
7. Kelompok-kelompok masyarakat akan berpartisipasi secara penuh dalam proses
pengambilan keputusan di daerah.
8. Kemampuan anggota masyakat dalam mengartikulasikan kepentingannya semakin
meningkat.
9. Hak-hak kepemilikan daerah (lokal) semakin diakui dan dilindungi keberadaannya.
10. Akses terhadap sumberdaya lokal lebih dikendalikan dan dimanfaatkan secara
bertanggungjawab untuk kesejahteraan masyarakat daerah.
Dari sepuluh tujuan pokok di atas terlihat sebagian besar berhubungan dengan
pelayanan publik dan partisipasi publik. Rondinelli (1989) mengatakan bahwa salah
satu alasan utama dilaksanakannya desentralisasi adalah dalam rangka penyediaan
pelayanan publik dan infrastruktur yang lebih efisien dan efektif.
Menurut Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 63 Tahun 2003,
pelayanan publik adalah segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh
penyelenggara pelayanan publik (instansi pemerintah) sebagai upaya pemenuhan
kebutuhan penerima pelayanan publik. Kebijakan otonomi daerah adalah juga bertujuan
untuk lebih mendekatkan pemerintah sebagai penyedia layanan kepada publik
(masyarakat). Hal ini karena pada dasarnya, misi dari otonomi daerah adalah: (1)
meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat;
(2) menciptakan efisiensi dan efektivitas pengelolaan sumberdaya daerah dan; (3)
memberdayakan dan menciptakan ruang bagi publik untuk berpartisipasi dalam proses
pembangunan.
Paradigma baru pembangunan pada era reformasi sangat menekankan prinsip-prinsip
partisipasi dan akuntabilitas. Prinsip pertama adalah bahwa perubahan yang ingin
dicapai haruslah melalui proses partisipasi dan bahwa partisipasi diperlukan dalam
proses mencapai suatu tujuan. Prinsip kedua yakni akuntablitas pada dasarnya
memandang proses pembangunan sebagai pendekatan berbasis hak (rights-based
approach-RBA).
Prinsip akuntabilitas ini menurut Ljungman diperoleh dari hak yang secara implisit
mengandung kewajiban dan kewajiban menghendaki akuntabilitas. Dengan meminta
akuntabilitas dari pembuat kebijakan dan aktor-aktor lain yang tindakan-tindakan
mereka akan berdampak terhadap hak-hak rakyat, telah memberikan kontribusi bagi
perubahan penyelenggaraan pembangunan dari keadaan yang bersifat kemurahan hati
3
atau amal pemerintah terhadap rakyatnya menjadi kewajiban, sehingga menjadi lebih
mudah untuk dipantau. Akuntabilitas mewajibkan pemerintah yang secara prinsip dan
hukum merupakan duty bearer untuk: (1) menerima tanggungjawab atas dampak yang
terjadi terhadap kehidupan rakyat; (2) bekerjasama dengan menyediakan informasi,
melakukan proses yang transparan dan mendengarkan pandangan-pandangan
masyarakat; dan (3) memberikan tanggapan yang cukup memadai terhadap pandangan-
pandangan tersebut. Akuntabilitas membutuh kondisi-kondisi untuk transparansi dan
kesempatan untuk menantang dan mencari perbaikan atas keputusan atau tindakan-
tindakan yang mempunyai pengaruh negatif terhadap hak-hak. Walaupun tergantung
kepada duty-bearer untuk menentukan mekanisme akuntabilitas yang tepat, seluruh
mekanisme tersebut haruslah mempunyai aksesibilitas, transparan dan efektif.
Kerjasama pembangunan berdasar RBA bertujuan memperkuat akuntabilitas
pemerintah untuk menjamin sistem yang terbuka, transparan, efektif, efisien dan
responsif (Ljungman, 2004: 12).7
Kewajiban ini antara lain mencakup mekanisme pemberian informasi dan/atau
menjelaskan mengenai kinerja pemerintah daerah, baik dalam bentuk keputusan-
keputusan yang dibuat dan tindakan-tindakan yang diambil, kepada berbagai kelompok
dalam masyarakat. Dan dengan informasi yang diberikan para pemangku kepentingan
mengetahui tentang apa yang telah dilakukan dan memberikan kesempatan kepada
mereka untuk memberikan tanggapan, kritik, saran dan kontrol yang pada gilirannya
akan meningkatkan kinerja organisasi tersebut.
Selain itu akuntabilitas juga menyangkut peningkatan akses masyarakat untuk
memperoleh informasi, transparansi dalam proses penyelenggaraan pelayanan publik,
terciptanya mekanisme untuk menyampaikan Pengaduan (complaint mechanism),
adanya konsultasi dan persetujuan yang diberikan masyarakat sebelum program-
program pemerintah dijalankan serta adanya feed-back dan kontrol dari masyarakat.
Dalam upaya mewujudkan kualitas pelayanan publik yang semakin baik Pemerintah
melalui Permenpan Nomor 13 Tahun 2009 telah menetapkan Pedoman Peningkatan
Kualitas Pelayanan Publik dengan Partisipasi Masyarakat. Dalam Permenpan tersebut
terdapat pemahaman bahwa peningkatan kualitas pelayanan akan diukur sejauh mana
meningkatnya tingkat kepuasan pelayanan publik.
Untuk memperoleh aspirasi pengguna pelayanan, Permenpan ini menggunakan Pola
pernyataan ketidakpuasan pengguna pelayanan terhadap kinerja pelayanan.
Pernyataan ketidakpuasan diungkapkan dalam bentuk Keluhan (pengaduan) dari
pengguna pelayanan. Pengalaman menunjukkan bahwa para pengguna pelayanan
umumnya lebih mudah mengungkapkan dan menyampaikan pernyataan ketidakpuasan
(Pengaduan/ pengaduan) daripada pernyataan kepuasan terhadap kinerja pelayanan.
Pendekatan mekanisme pengaduan memang menekankan pada kewajiban Pemerintah
untuk melindungi warganegara sebagai konsumen pelayanan publik dalam memperoleh
hak-haknya. Salah satu bentuk dari perlindungan tersebut adalah dengan memberi
ruang kepada warga untuk menyampaikan Pengaduan. Adanya sebuah mekanisme
penyampaian Pengaduan yang baik akan berkontribusi positif, baik terhadap
pemenuhan hak warga maupun untuk pengembangan sistem pelayanan publik. Dengan
7Rustam Ibrahim et.al, Laporan Final Program untuk Mendorong Pelaksanaan Desentralisasi yang Membuka
Ruang Partisipasi Politik Rakyat, Efektivitas Tata-Pemerintahan dan Meningkatkan Kesejahteraan Sosial
Ekonomi Masyarakat, Jakarta: YAPPIKA bekerjasama dengan Partnership for Governanca Reform, 2006, hal. 11.
4
pengelolaan mekanisme Pengaduan secara baik akan membantu memudahkan
pemerintah untuk menyediakan pelayanan publik secara lebih efektif dan efisien.
Namun budaya menyampaikan pengaduan belum berkembang di Indonesia sehingga
jumlah pengaduan yang disampaikan oleh masyarakat hingga saat ini masih sangat
rendah. Suatu studi yang dilakukan YAPPIKA (1987) menemukan bahwa dalam bidang
pendidikan jumlah anggota masyarakat yang mengaku pernah melakukan pengaduan
ketika dirugikan oleh pelayanan pendidikan di daerahnya hanya sekitar 7,1%. Dalam
bidang pelayanan bidang kesehatan, jumlah masyarakat yang melakukan pengaduan
juga sangat minim. Hanya 10,8% masyarakat yang pernah menggunakan hak melakukan
pengaduan kepada pemerintah. Kalaupun masyarakat melakukan melakukan
pengaduan, pada umumnya mereka menyampaikan pengaduan tersebut langsung
kepada Puskesmas ataupun RSUD bersangkutan. Pihak lain di luar Puskesmas atau RSUD
yang dijadikan sebagai tempat pengaduan adalah Lurah. Sementara instrumen
pemerintah lainnya yang lebih tinggi kurang menjadi prioritas sebagai tempat mengadu
masyarakat dalam pelayanan kesehatan. Ini juga menunjukkan akses masyarakat kepada
aparatur pemerintah cenderung hanya sebatas Lurah. Sementara untuk menembus ke
aparat di atasnya, akses masyarakat tampaknya cukup terbatas. Kenyataan ini juga dapat
ditafsirkan bahwa belum tentu Puskesmas, RSUD ataupun lurah mampu menyelesaikan
persoalan yang dihadapi masyarakat. Namun diduga hal ini lebih pada terbatasnya akses
masyarakat kepada institusi yang lebih tinggi yang nota bene memiliki kekuasaan yang
lebih besar untuk menyelesaikan masalah yang ada.8
Dari pengaduan yang dilakukan masyarakat ada berbagai bentuk tindak lanjut. Ada
tindak lanjut yang bersifat positif dan negatif. Tindak lanjut yang bersifat positif
diantaranya dilakukan dengan mengadakan perbaikan pelayanan publik atau dengan
meminta masukan pendapat dari masyarakat. Sedangkan yang bersifat negatif pihak-
pihak yang berkepentingan tidak melakukan apa-apa dan justru mendiamkan saja
pengaduan masyarakat tersebut. Dari berbagai tindak lanjut, secara umum, survai
memperlihatkan bahwa porsi masyarakat yang menyatakan pengaduannya didiamkan
(40,1%), lebih tinggi dibandingkan dengan masyarakat yang memperoleh tindak lanjut
berupa perbaikan (31.0%).9
Sejak diberlakukannya otonomi daerah dari segi kualitas pelayanan publik memang
mengalami perbaikan; namun dilihat dari sisi efisiensi dan efektivitas maupun daya-
tanggap pemerintah masih memiliki berbagai kelemahan. Hal ini terutama terlihat dari
masih kurang responsifnya pemerintah terhadap berbagai Pengaduan dan aspirasi
masyarakat. Pelayanan terhadap pengaduan masyarakat seringkali lambat atau bahkan
diabaikan sama sekali, atau kurang memberikan informasi yang diperlukan.
Dari uraian singkat di atas dapat disimpulkan bahwa program Pendampingan Teknis
terkait dengan Peningkatan Partisipasi Masyarakat dalam Pelayanan Publik Melalui
Survai Penyampaian Pengaduan (Complaint Survey) merupakan pendekatan yang dapat
dipertanggungjawabkan dalam upaya meningkatkan kualitas pelayanan publik di daerah
kabupaten/kota. Tentu saja pendekatan dengan menggunakan pedoman berdasarkan
Permenpan Nomor 13 Tahun 2009 tersebut memerlukan review dan terbuka untuk
dilakukan modifikasi berdasarkan kebutuhan dan konteks lokal setelah program ini
mulai dijalankan di lapangan.
8Ibid.,hal 105-106.
9Ibid., hal.105-106
5
Namun satu hal yang pokok adalah bahwa keberhasilan program ini akan sangat
tergantung kepada dukungan yang berkelanjutan dari para pihak (stakeholders) pada
umumnya dan pemerintah daerah pada khususnya sebagai pembuat kebijakan serta
penyedia sumberdaya dan pelayanan pokok kepada masyarakat. Sebagaimana
dikemukakan dalam PermenPAN Nomor 13 Tahun 2009 “apapun bentuk saluran yang
digunakan untuk memperoleh saran atau pengaduan dari masyarakat pengguna
pelayanan, tidak akan banyak berarti jika saran atau pengaduan yang masuk tidak
pernah diolah, ditindaklanjuti dalam bentuk perbaikan nyata dan dikomunikasikan
secara efektif kepada para pemberi saran atau para pengadu yang telah menyampaikan
Pengaduan”.
B. Ringkasan Eksekutif (Tuliskan ringkasan dari keseluran program yang dijalankan selama durasi program baik itu process yang
dijalani dan juga hasil ataupun pencapaian yang terjadi serta jika ada dampak yang terjadi; tidak perlu terlalu
detail, karena detail akan dijelaskan pada section selanjutnya)
Program Peningkatan Partisipasi Masyarakat Dalam Pelayanan Publik Melalui Survey
Penyampaian Keluhan (Complaint Survey) ini menggunakan instrumen yang terdapat
dalam Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 13 tahun 2009,
tentang Pedoman Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik dengan Partisipasi Masyarakat.
Tujuan akhir program ini adalah meningkatnya kuantitas, kualitas dan partisipasi
masyarakat – berperan aktif atas inisiatif sendiri secara sukarela - dengan
menggorganisir secara mandiri (self-mobilization) upaya-upaya untuk meningkatkan
pelayanan publik dasar. Sedangkan pendekatan program yang dikembangkan meliputi
dua pihak yakni masyarakat dan pemerintah. Di sisi masyarakat intervensi dilakukan
melalui peningkatan pengetahuan dan kesadaran masyarakat terhadap hak-haknya serta
kewajiban Negara/Pemerintah, khususnya hak-hak terkait dengan pelayanan publik
dasar dalam pendidikan dan kesehatan. Pendekatan ini diharapkan dapat mendorong
masyarakat secara sadar dan sukarela berpartisipasi dalam menuntut dan
mengupayakan perbaikan layanan.
Sedangkan dari sisi pemerintah dengan mendorong adanya keterbukaan (transparansi)
dari unit layanan dan Kepala SKPD terkait, baik dalam memberikan informasi maupun
dalam menerima masukkan/pengaduan dari masyarakat serta menindaklanjutinya.
Secara garis besar proses program mencakup dua tahapan yakni persiapan dan
implementasi program di lapangan. Persiapan meliputi adaptasi instrument PermenPAN
no. 13/2009 disesuaikan dengan paket program Kinerja dan pembekalan tim pelaksana
program. Tahapan implementasi program meliputi: pelaksanaan lokakarya pengelolaan
pengaduan dan dilanjutkan dengan pelaksanaan survey pengaduan di 11
kabupaten/kota yang melibatkan 24,693 responden. Hasil survey disusun dalam bentuk
Index Pengaduan Masyarakat (IPM) dan dilakukan analisis dalam lokakarya analisis
pengaduan yang melibatkan pengguna dan penyedia layanan. Berdasarkan hasil analisis
ini setiap unit layanan membuat draft Janji perbaikan layanan dan menyusun
Rekomendasi perbaikan layanan ke Bupati/Walikota. Penandatanganan janji dan
Maklumat layanan sudah terlaksana hampir di semua kabupaten/kota pada bulan
Oktober-Desember 2012, kecuali 2 kabupaten yakni Sekadau dan Bondowoso. Di kedua
kabupaten ini, Maklumat Perbaikan Layanan baru ditandangani oleh Bupati pada awal
2013. Pasca penandatanganan janji telah dilakukan monitoring dan advokasi untuk
memastikan pemenuhan janji dan Maklumat layanan oleh unit layanan dan pemerintah
daerah serta mendorong replikasi Survei Pengaduan. Proses monitoring dan advokasi
belum berjalan optimal mengingat periode program sudah berakhir diwal 2013.
6
Dampak program relatif sulit diukur mengingat jangka waktu pelaksanaan program
selama lima belas bulan (November 2011-Januari 2013) relatif singkat untuk engukur
sebuah dampak. Hasil-hasil yang dapai dicapai dalam program ini, adalah :
1. Ditandatanganinya janji perbaikan layanan di 11 kabupaten/kota yang meliputi 100
sekolah (SD dan SMP) dan 22 Puskesmas.
2. Terbentuk dan menguatnya kelembagaan Forum Multi Pihak/MSF di 11
kabupaten/kota yang berperan untuk memastikan dipenuhinya janji dan
rekomendasi perbaikan layanan olah unit-unit layanan dan pemerintah daerah.
3. Sudah ada upaya perbaikan di sebagian besar unit-unit layanan sebagai pelaksanaan
janji perbaikan layanan.
4. Sudah ada komitmen dari pemkab/kota untuk mengalokasikan APBD bagi
pemenuhan rekomendasi perbaikan layanan.
5. Adanya komitmen lisan untuk melakukan replikasi:
a. Kab. Jember: 20 sekolah, direncanakan dari dana APBD 2013.
b. Kab. Bener Meriah: di 7 Puskesmas dari dana APBD 2013.
c. Kota Banda Aceh: 1 Puskesmas, anggaran internal Puskesmas 2013.
d. Kab. Sambas, 6 Puskesmas.
Berdasarkan capaian diatas dan jika dibandingkan dengan hasil-hasil yang direncanakan
diawal program maka dapat disimpulkan bahwa 90% dari seluruh output program
sudah tercapai.
C. Analisa Socio-politics10 di Wilayah Kerja dan Sekitarnya (dikarenakan program KINERJA adalah program berbasis Governing Justly and Democratically (GJD) maka akan
menjadi lebih kuat jika memasukkan analis ataupun sedikit mengcapture kondisi social dan politics masyarakat
ataupun stakeholder diwilayah kerja OMP yang bersangkutan)
1. Sebelum adanya implementasi program (ceritakan kondisi social politik masyarakat sebelum adanya implementasi program)
Seperti yang telah disebutkan dalam TOR program ini oleh Kinerja, Program
KINERJA-USAID ini adalah program bantuan teknis kerjasama antara Pemerintah
Indonesia dengan Pemerintah Amerika Serikat, melalui United States Agency for
International Development (USAID)/Badan Pembangunan Internasional Amerika
Serikat, yang bertujuan untuk meningkatkan pelayanan publik melalui peningkatan
pengelolaan/manajemen pelayanan dan peningkatan partisipasi masyarakat,
khususnya di tiga sektor yaitu Pendidikan, Kesehatan, dan Peningkatan Iklim Usaha.
Pemilihan wilayah juga merupakan kesepakatan bersama antara pemerintah daerah
dan Kinerja. Dengan demikian dapat dipastikan bahwa ke-11 wilayah yang menjadi
lokasi program ini masih perlu diperkuat kemampuannya dalam menyediakan
pelayanan publik yang baik.
Berikut ini kami berikan sedikit gambaran tentang konteks sosial politik di 11
wilayah kerja dan sekitarnya sebelum ada intervensi program. Kondisi sosial politik
ini khususnya terkait dengan partisipasi masyarakat dalam peningkatan kualitan
pelayanan public. Dalam intervensi ini, program survey pengaduan dikombinasikan
dengan program sektor baik pendidikan maupun Kesehatan di wilayah-wilayah
mitra program terpilih.
10
Politik disini bukan hanya berkaitan dengan “pilkada” atau “partai politik” tetapi lebih pada pengetahuan masyarakat contohnya
kemampuan untuk mengadvokasi ataupun bernegosiasi demi kepentingan kemasyarakatan.
7
Sebelas kabupaten/kota yang menjadi lokasi program ini secara sosial politik sangat
beragam kondisinya. Beberapa diantaranya merupakan daerah otonomi baru yang
lahir setelah adanya UU Otonomi Daerah 1999 yaitu Kab. Bengkayang (pemekaran
dari Kab. Sambas, 1999), Kota Singkawang (pemekaran dari Kab. Sambas, 2001),
Kab. Aceh Singkil (pemekaran dari Kab. Aceh Selatan, 2002), Kab. Bener Meriah
(pemekaran dari Kab. Aceh Tengah, 2003), Kab. Melawi (2005) dan Kab. Sekadau
(2005). Sementara itu tujuh kabupaten/kota lainnya adalah kabupaten/kota yang
sudah berdiri lebih awal.
Sebagai sebuah ide baru, prinsip penerapan good governance merupakah sebuah
tantangan bagi daerah otonom yang baru mereformasi tata kelola pemerintahannya
semenjak lahirnya UU Otoda 1999. Begitulah yang dirasakan oleh 11
kabupaten/kota lokasi program ini. Sampai tahun 2010 sebelum ada intervensi
program, hampir semua daerah ini memiliki catatan kualitas pendidikan dan
kesehatan yang rendah. Data yang diperoleh dari media massa local (cetak/on line)
memperlihatkan cukup banyak pemberitaan tentang masih kurangnya kualitas
layanan pendidikan dan Kesehatan tersebut. Di Kota Banda Aceh misalnya,
disebutkan oleh Ombudsman Provinsi Aceh bahwa kualitas pelayanan public
khususnya pendidikan dan Kesehatan masih buruk, belum tersedianya komite
Kesehatan di tingkat kecamatan yang bertugas untuk mengelola pengaduan
masyarakat. Di Bener Meriah, sebelum program ini sudah mulai ada inisiasi
pengaduan masyarakat atas pelayanan Kesehatan namun masih sangat terbatas dan
respon pemerintah masih lemah. Kabupaten Jember juga merupakan wilayah yang
memiliki kualitas pelayanan publik yang rendah. Di 5 kabupaten wilayah program di
Kalimantan Barat, kondisi pelayanan publik khususnya di bidang pendidikan dan
Kesehatan tidak berbeda jauh dengan wilayah lainnya. Di kabupaten Melawi
misalnya, rata-rata lamanya sekolah hanya 7,2 tahun artinya rata-rata penduduk
hanya bersekolah sampai kelas 1 SMP dengan angka melek huruf sebesar 92,37%.
Kabupaten Bengkayang juga memiliki profil pendidikan yang hampir sama. Hal ini
mengindikasikan bahwa kondisi pendidikan masih perlu ditingkatkan tidak hanya
dalam penyediaan fasilitas namun juga kualitas pelayanannya. Namun sebagai
daerah otonom baru Kab. Melawi dikategorikan sebagai daerah yang cukup berhasil.
Di bidang Kesehatan, Kab. Sambas memiliki persoalan terkait masih tingginya angka
kelahiran dengan pertolongan dukun yaitu sebesar 24,5% dari seluruh proses
kelahiran. Hal ini disebabkan masih kurangnya fasilitas Kesehatan dan juga lokasi
pemukiman warga yang jauh dari fasilitas Kesehatan. Secara umum, kendala wilayah
kabupaten yang luas di Kalbar dan minimnya fasilitas umum khususnya sekolah dan
puskesmas juga berdampak pada rendahnya kualitas layanan yang diterima oleh
masyarakat.
Meski demikian, dari 11 kabupaten/kota ini sudah ada beberapa wilayah yang
sebelum program ini telah menerapkan PermenPAN 13/2009 sebagai metode
peningkatan partisipasi masyarakat untuk perbaikan pelayanan public seperti
Kabupaten Jember dan Kota Probolinggo.
Dari gambaran umum di atas, kondisi yang paling umum ditemukan adalah
kurangnya keterlibatan masyarakat dalam pelayanan public. Umumnya keterlibatan
masyarakat dalam pelayanan public terlihat dalam kehadiran mereka di
Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) di tingkat desa. Namun
metode ini belum cukup optimal karena terbatasnya jumlah anggota masyarakat
yang bisa terlibat di dalamnya. Sehingga dapat dipastikan bahwa banyak kebutuhan
masyarakat tidak terakomodir dalam perencanaan. Apalagi kebutuhan pendidikan
8
dan Kesehatan sering dikalahkan dengan kebutuhan pengadaan fasilitas umum
seperti jalan raya, jembatan, dan fasilitas fisik lainnya.
Realitas lainnya adalah rendahnya kesadaran masyarakat sebagai pengguna layanan
untuk memberikan pengaduan atau komplain terhadap pelayanan yang mereka
terima dari pemerintah. Pemahaman bahwa pelayanan kesehatan dan pendidikan
yang memadai merupakan hak setiap warganegara belum berkembang secara luas.
Sikap apatisme juga berkembang di tengah masyarakat yang meyakini bahwa
menyampaikan pengaduan adalah tindakan sia-sia yang tidak membawa perubahan,
malah sebaliknya menimbulkan konflik dan justru dapat mempersulit diri mereka
sendiri. Sebaliknya aparat pemerintah sebagai penyedia layanan juga belum memliki
kesadaran dan sikap terbuka terhadap masukan atau pengaduan dari masyarakat.
Bahkan pemahaman bahwa pelayanan publik yang berkualitas merupakan hak
masyarakat di satu pihak dan kewajiban negara di pihak lainnya belum
terinternalisasi dengan baik pada sebagian besar penyedia layanan.
Selain itu mekanisme pengaduan yang efektif dari masyarakat terhadap pelayanan
di puskesmas maupun sekolah juga belum ada.
Metode yang biasa digunakan oleh pemerintah dan unit layanan untuk mendapatkan
masukan dari penerima manfaat adalah menyediakan kotak saran. Metode ini
terbukti tidak cukup efektif. Bahkan di sebuah Puskesmas di Aceh, kotak saran
malahan diisi dengan uang kertas karena dikira kotak amal. Malahan di sebagian
besar sekolah tidak ditemukan kotak saran tersebut. Hal ini secara langsung
berdampak pada rendahnya partisipasi masyarakat dalam upaya perbaikan
pelayanan publik. Tampaknya masyarakat juga mulai jenuh dengan berbagai survey
yang dilakukan oleh LSM, akademisi, maupun pihak lain yang tidak terlalu memberi
dampak langsung terhadap mereka. Hal ini menjadi tantangan tersendiri pada
program ini.
2. Setelah adanya implementasi program (seritakan kondisi social politik masyarakat setelah implementasi program, untuk melihat perubahan
apakah yang terjadi)
Setelah pelaksanaan program ini, kondisi sosial politik di 11 kabupaten/kota
mengalami perubahan yang bervariasi tingkatannya. Namun secara umum dapat
dikatakan bahwa partisipasi masyarakat yang cukup tinggi dalam survei pengaduan
ini memperlihatkan bahwa masyarakat masih menaruh harapan kepada pemerintah
untuk melakukan perbaikan terhadap pelayanan kesehatan dan pendidikan
sebagaimana keluhan yang mereka sampaikan. Masyarakat umumnya tertarik
memberikan respon karena survei pengaduan ini dilakukan secara partisipatif,
mulai dari persiapan kuesioner sampai proses analisis dan advokasi. Dengan
demikian metode ini secara langsung memberi kontribusi besar dalam mendorong
partisipasi publik dalam perbaikan pelayanan kesehatan atau pendidikan di 11
kabupaten/kota lokasi program. Mulai tumbuhnya kesadaran akan pentingnya
partisipasi masyarakat dalam perbaikan pelayanan publik merupakan salah satu
perubahan penting yang terjadi.
Perbaikan sikap penyedia layanan juga tampak berubah ke arah yang lebih baik
sebagai dampak dari perubahan cara pandang dan bertambahnya pemahaman
Di sisi lain, peningkatan kepedulian media terhadap isu-isu pendidikan dan
kesehatan di daerah juga meningkat cukup signifikan. Peran media ini cukup
9
penting dalam mengubah sikap pemerintah daerah yang kurang memberikan
perhatian pada pelayanan publik di bidang pendidikan atau kesehatan. Pemberitaan
di media massa yang kritis memiliki peran penting dalam mendukung keberhasilan
program.
Salah satu contoh pemberitaan media yang berhasil mendapatkan perhatian cukup
besar dari pemerintah terjadi di kabupaten Jember. Setelah hasil survey
dipublikasikan oleh media massa lokal dan menyorot secara khusus terjadinya
pelecehan seksual di sekolah sebagai salah satu keluhan yang muncul dari survei
pengaduan, Dinas Pendidikan setempat bereaksi cukup keras dan sempat
mempersoalkan pemberitaan tersebut karena dianggap dapat menurunkan citra
institusinya. Kendati demikian, di sisi lain pemberitaan tersebut dapat menjadi
momentum untuk membangunkan kepedulian pemerintah daerah atas pengaduan
yang diajukan masyarakat sehingga ke depan pemerintah akan secara serius
menyediakan pelayanan publik yang berkualitas khususnya di bidang pendidikan
dasar bagi seluruh masyarakat.
Selain di Jember, perubahan-perubahan juga telah terjadi hampir di semua
kabupaten/kota yang merupakan wilayah program. Di Kota Probolinggo, perubahan
sosio-politik yang cukup signifikan terlihat dengan menguatnya atensi masyarakat
atas pentingnya pelayanan pendidikan yang berkualitas khususnya di tingkat dasar
(SD-SMP) yg merupakan mitra program. Pendekatan program yang menyentuh
kebutuhan masyarakat ini pada tingkat tertentu telah mendorong mereka untuk
mengambil bagian secara aktif dalam upaya penyediaan pelayanan pendidikan yang
lebih baik. Hal ini terlihat dari berkembangnya Komite Sekolah di setiap sekolah
mitra program sebagai kelompok multi pihak yang mengawal dilakukannya
perubahan perbaikan atas pelayanan pendidikan di sekolahnya. Bahkan kelompok
ini berencana untuk melakukan kongres yang akan dijadikan wadah penguatan
keorganisasian mereka di tingkat Kota. Respon pemerintah kota atas hal ini juga
sangat positif karena pemerintah setempat bersedia memfasilitasi kegiatan-kegiatan
yang dilakukan oleh forum Komite sekolah ini. Di tingkat unit layanan juga tidak
kalah baiknya kerja sama yang terbangun di antara guru dan orang tua/wali murid
untuk mendorong terjadinya perbaikan pelayanan pendidikan.
Di 3 kabupaten di Kalbar yang juga melakukan survey di bidang pendidikan terjadi
perubahan cukup signifikan di tingkat pemerintah daerah, unit layanan dan juga di
kalangan masyarakat sipilnya. Setelah adanya paket program survey pengaduan
yang dikombinasikan dengan penguatan kapasitas unit layanan secara langsung,
pemerintah daerah Bengkayang dalam hal ini Dinas Pendidikan dan BAPPEDA dan
juga penyedia layanan di tingkat unit layanan terlihat sangat serius untuk
membenahi pendidikan di daerahnya. Upaya-upaya tersebut disebabkan banyaknya
pemberitaan media massa terkait hasil survei pengaduan. Sebelumnya, pemberitaan
media kurang memberi tempat yang memadai terhadap pengaduan masyarakat
tentang kualitas layanan pendidikan. Kondisi yang sama juga terjadi di Kabupaten
Sekadau dan Melawi.
Di Aceh, khususnya di 3 kabupaten/kota yang menyelenggarakan Survei Pengaduan
di bidang Kesehatan Ibu dan Anak (KIA), juga telah terjadi perkembangan dalam hal
pelayanan Kesehatan ibu dan Anak di 9 Puskesmas yang merupakan mitra program.
Sebelumnya masalah KIA, khususnya kesehatan reproduksi perempuan merupakan
isu yang sulit dan tabu untuk dibicarakan. Namun setelah proses intervensi yang
dilakukan oleh program ini, masyarakat mulai terbuka untuk membicarakan
10
masalah KIA dan terlibat dalam memberikan pengaduan atas pelayanan KIA yang
mereka terima dari 9 Puskesmas mitra program. Di akhir program ini, masyarakat
dan pemerintah di 3 kabupaten/kota bekerja sama menyelenggarakan kegiatan
akbar di ibu kota Kabupaten Bener Meriah dan Kota Banda Aceh. Kegiatan ini
berbentuk expo KIA sebagai upaya promosi tentang pentingnya KIA dan tentang
pentingnya peran masyarakat memberikan pengaduan sebagai dasar bagi
pemerintah untuk mengembangkan program ke arah yang lebih baik.
Kota Singkawang an Sambas di Kalbar serta Bondowoso di Jawa Timur yang juga
merupakan wilayah program untuk survey pengaduan bidang Kesehatan, juga telah
mengalami perkembangan yang positif. Di Singkawang, hasil survey telah digunakan
sebagai alat untuk membangun hubungan yang lebih baik antar pemangku
kepentingan untuk membahas langkah-langkah kongkrit upaya perbaikan pelayanan
Kesehatan. Di Sambas, meski setelah pelaksanaan survey ditemukan resistensi yang
cukup kuat dari penyedia layanan terhadap hasil survey, namun pada akhirnya
justru pemerintah daerah menyatakan komitmen yang tiggi pada perbaikan layanan
kesehatan dasar. Hal ini terlihat dari komintmen pemerintah daerah untuk
mengalokasikan sejumlah dana pada anggaran 2013 untuk pemenuhan
rekomendasi perbaikan layanan yang diajukan oleh 6 puskesmas mitra program. Di
Bondowoso, isu Kesehatan ibu dan anak menjadi salah satu isu yang cukup populer
di media lokal. Program ini sedikitnya telah memberikan kontribusi terhadap
perubahan sosial politik local yang pada akhirnya diharapkan dapat berkontribusi
terhadap perbaikan layanan Kesehatan dan pendidikan di 11 kabupaten/kota ini.
II. PENCAPAIAN (Pencapaian yang terjadi atau dicapai diakhir durasi project, baik yang terencana ataupun pencapaian yang tidak ada dalm
rencana)
A. Target VS Aktual
1. Rencana kegiatan VS Aktual (bandingkan antara kegiatan yang ada dalam rencana kegiatan (workplan) dengan aktual yang terjadi)
Program ini secara umum bertujuan untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas
partisipasi masyarakat, termasuk kelompok media, perempuan, penyandang cacat tubuh
dan kelompok masyarakat marjinal lainnya dalam siklus pengelolaan pelayanan publik
dasar. Dalam jangka panjang, capaian yang diharapkan (goal) adalah: meningkatnya
kuantitas, kualitas dan partisipasi masyarakat – berperan aktif atas inisiatif sendiri
secara sukarela - dengan menggorganisir secara mandiri (self-mobilization)upaya-upaya
untuk meningkatkan pelayanan publik dasar. Indikator yang menunjukkan bahwa tujuan
jangka panjang tersebut tercapai adalah: 1) pendidikan dasar dan kesehatan dasar sudah
memenuhi standar pelayanan minimum di kabupaten/kota yang menjadi lokasi program
khususnya di unit layanan yang mendapat pendampingan dan, 2) kuantitas dan kualitas
keterlibatan masyarakat dalam mengidentifikasi dan menganalisis masalah serta
rekomendasi untuk perbaikan dan memantau tindak lanjut penanganan Pengaduan di
lokasi program.
Dalam jangka menengah, dampak (outcome) yang ingin dihasilkan adalah:
(1) meningkatnya pemahaman, kesadaran dan patisipasi (berperan aktif secara
sukarela) masyarakat termasuk kelompok media, perempuan, penyandang cacat
tubuh dan kelompok masyarakat marjinal lainnya, dalam meningkatkan pelayanan
publik khususnya pendidikan dasar dan pelayanan dasar.
11
(2) meningkatnya kualitas layanan di masing-masing unit layanan.
(3) adanya kebijakan dari Bupati/Walikota untuk menindaklanjuti penanganan
pengaduan warga dan rekomendasi penyelesaiannya serta komitmen pendanaan.
(4) Pengelolaan program berjalan secara optimal sesuai dengan perencanaan dan hasil
yang diharapkan.
Untuk itu, telah ditetapkan outputs yang merupakan target-target yg harus dicapai
sehingga program memberikan dampak pada hal-hal di atas. Target-target tersebut
dapat dicapai melalui pelaksanaan kegiatan-kegiatan (aktivitas) program. Berikut ini
dipaparkan perbandingan antara target perencanaan versus aktualisasinya:
12
Rencana kegiatan vs Aktual:
Rencana kegiatan
(sesuai workplan revisi per 8/8/2012)
Realisasi kegiatan
Output 1.1:
Adanya adaptasi instrumen survey Pengaduan dengan paket program kinerja
Kegiatan:
1. Menyiapkan instrumen
a. Diskusi review PermenPAN no. 13/2009 dan
modul terkait dari lembaga lain untuk
disesuaikan dengan paket program Kinerja.
b. Adaptasi dan finalisasi instrument survai
Pengaduan untuk bidang Kesehatan dan
Pendidikan.
2. Lokakarya pengelolaan program dan TOF
(Training of Facilitator) untuk tim program
tentang Survei Pengaduan.
Seluruh kegiatan pada output ini terlaksana seperti yang direncanakan yaitu:
1. Menyiapkan instrument. Tujuannya adalah untuk menyediakan panduan dan
instrument yang memadai untuk memandu pelaksanaan program selama 1 tahun.
Penyiapan instrument ini dilakukan melalui 2 kegiatan yaitu:
a. Diskusi review Permen PAN di Kantor Konsil LSM pada tgl 17 Nov 2011 dihadiri
oleh 13 orang peserta berasal dari 5 LSM/jaringan LSM yang memfokuskan diri
pada isu pendidikan dan KIA yaitu YKP, PKBI Pusat, E-Net for Justice, PATTIRO, dan
PKM. Juga dari GIZ yg sebelumnya telah mengembangkan Survey Pengaduan dan
Kementrian PAN-RB serta tim dari Konsil LSM sendiri. Hasil dari FGD ini adalah
masukan untuk draft panduan pelaksanaan program survey pengaduan khususnya
dari aspek substansi.
b. Adaptasi dan finalisasi instrument dilakukan oleh fasilitator nasional bersama tim
Konsil LSM selama bulan November 2012 dan difinalisasi pasca FGD. Dari hasil FGD
di atas Tim program dari Konsil selanjutnya memfinalisasi Konsep dan panduan
pelaksanaan survey pengaduan ini menjadi kerangka program dan modul survey
pengaduan final yang diadaptasi dari PermenPAN No. 13/2009 disesuaikan dengan
paket program Kinerja.
2. Lokakarya pengelolaan program dan TOF yg dilaksanakan di Wisma PKBI Jakarta pada
6-10 Desember 2011. Pertemuan ini dihadiri oleh 20 partisipan yaitu 14 orang dari tim
daerah ditambah tim Konsil LSM dan fasilitator nasional. Tujuan lokakarya ini adalah
untuk membekali para pelaksana program di lapangan yaitu 3 Koordinator Provinsi dan
11 fasilitator kabupaten/kota dengan pengetahuan tentang survey pengaduan, skill, dan
metodologi dalam melakukan program. Selain itu pertemuan ini juga ditujukan untuk
mengkonsolidasikan seluruh tim agar memiliki pemahaman yang sama dalam
melaksanakan program. Baik pemahaman terhadap program itu sendiri maupun tugas
dan tanggung jawab mereka selama program berlangsung.
Pelaksanaan TOT ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan partisipatif, dengan
13
proses pembelajaran orang dewasa. TOF ini dalam pelaksanaannya mengkombinasikan
praktek dan pemberian teori secara berimbang sehingga pemahaman akan substansi,
metodologi, dan pengembangan skil berlangsung secara simultan. TOF ini difasilitasi
oleh fasilitator nasional dibantu oleh tim program dari secretariat Konsil LSM.
Dengan demikian, output 1.1 yaitu adanya adaptasi instrument survey pengaduan
dengan paket program Kinerja telah tercapai.
Output 1.2:
Terbentuknya forum pemangku kepentingan dan adanya perencanaan untuk melakukan survey pengaduan di 5 kabupaten/Kota di
Kalimantan Barat¸3 kabupaten/kota di Jawa Timur, dan 3 kabupaten/kota di Aceh
Kegiatan:
1. Identifikasi dan Pendekatan kepada para pihak
yang akan terlibat dalam Forum Pemangku
Kepentingan, taskforce dan enumerator.
a. Audiensi ke Bupati/Walikota dan jajarannya
yang dilakukan oleh PC Kinerja, LPSS dan
Konsil LSM.
b. Audiensi dengan DPRD khususnya Komisi
terkait.
c. Kunjungan ke tokoh/aktivis masyarakat (yg
peduli pada isu Kesehatan dan pendidikan)
dan organisasi profesi terkait (IDI, IBI, PGRI,
dll) serta LSM.
d. Kunjungan ke Unit Layanan Mitra Program.
2. Rapat tim Teknis dan tim Kinerja untuk
mempersialkan lokakarya Pengelolaan Pengaduan
pelayanan Kesehatan/Pendidikan.
a. Koordinasi persiapan fasilitator kabupaten
dan coordinator provinsi dengan Tim Teknis.
b. Rapat/pertemuan Tim Teknis dengan Tim
Kinerja di kabupaten.
3. Publikasi melalui media lokal.
a. Talk show, spanduk, pamphlet, media massa
Semua kegiatan dalam output ini sudah terlaksana dengan baik. Kegiatan-kegiatan yang
telah terlaksana tersebut adalah:
1. Identifikasi dan pendekatan kepada para pihak. Tujuan dari kegiatan ini adalah
mengidentifikasi semua pihak di tingkat kabupaten/kota serta unit layanan yang terkait
atau berkepentingan dengan pelaksanaan survey pengaduan sebagai metode perbaikan
pelayanan public. Pelaksanaan identifikasi dilakukan oleh fasilitator kabupaten/kota
bersama LPSS, dan tim program dari sector di wilayahnya dibantu oleh tim teknis.
Proses identifikasi ini selanjutnya diikuti dengan pertemuan-pertemuan awal dengan
para pihak yaitu:
a. Audiensi ke Bupati/walikota dan jajarannya. Kegiatan ini dilakukan selama bulan
November 2011-Januari 2012 di Bengkayang, Melawi, Sekadau, Sambas, Kota
Singkawang dan Bener Meriah. Kunjungan ini biasanya dilakukan bersamaan
dengan semua tim Kinerja lainnya di kabupaten/kota tersebut, untuk memaparkan
program Kinerja secara keseluruhan sehingga mengefisienkan tugas LPSS untuk
mengatur pertemuan dengan Bupati. Meski efisien dan efektif, pertemuan ini
memiliki kelemahan yang sangat dirasakan oleh tim Survey Pengaduan karena
tidak punya kesempatan yang cukup baik menjelaskan program. Biasanya
Bupati/Walikota lebih mudah memahami program sector yang akan dilakukan di
wilayahnya.
b. Audiensi dengan DPRD khususnya Komisi terkait. Kegiatan ini dilakukan oleh
Fasilitator kabupaten/kota selama bulan Nov 11 – Januari 12 di Bengkayang,
Sekadau, Kota Singkawang, Bondowoso, Melawi dan Jember. Tidak semua wilayah
berhasil melakukan pertemuan ini pada tahap awal, karena sulitnya membangun
14
cetak, dll.
4. Lokakarya Pengelolaan Pengaduan (Semiloka
Pembentukan Forum Pemangku Kepentingan,
serta lokalatih taskforce dan enumerator).
a. Persiapan: Technical meeting sehari sebelum
dimulai acara lokakarya.
b. Pelaksanaan.
hubungan dengan DPRD setempat dan tingkat kesibukan para anggota dewan yang
cukup tinggi.
c. Kunjungan ke tokoh/aktivis masyarakat (yg peduli pada isu Kesehatan dan
pendidikan) dan organisasi profesi terkait (IDI, IBI, PGRI, dll) serta LSM. Kegiatan
ini dilakukan di Bondowoso, Bengkayang, Sekadau, Aceh Singkil, Kota Probolinggo
dan Melawi. Kegiatan ini dilakukan oleh fasilitator bersama tim dari program sector
di kabupaten tersebut. Pertemuan ini bertujuan untuk menjelaskan secara detail
program Survey Pengaduan yang akan dilakukan dan mendorong para tokoh untuk
terlibat sehingga dapat memberikan pengaruh juga kepada masyarakat setempat
untuk terlibat dan mendukung program ini. Kunjugan ini dilakukan berkali-kali
sehingga mereka dapat memahami secara lebih baik program dimaksud.
d. Kunjungan ke Unit Layanan Mitra Program, dilakukan di semua wilayah. Kunjungan
ini bertujuan untuk menjelaskan secara detail program Survey Pengaduan yang
akan dilakukan kepada seluruh aparat di unit layanan mulai dari pimpinan sampai
staf. Kunjugan ini dilakukan berkali-kali sehingga mereka dapat memahami secara
lebih baik program dimaksud. Meski begitu, tidak semua unit layanan melibatkan
seluruh stafnya dalam sosialisasi ini sehingga dalam perjalanannya banyak staf unit
layanan khususnya di Puskesmas yang belum tahu dan mempertanyakan program
ini.
2. Rapat dengan tim Teknis untuk persiapan lokakarya: terjadi di semua wilayah dengan
intensitas yang berbeda selama bulan Desember dan awal Januari 12. Tujuan kegiatan
ini adalah melakukan persiapan lokakarya seperti membicarakan jumlah peserta,
tempat pertemuan dan logistic lainnya. Pertemuan ini biasanya dilakukan minimal 2
kali. Pada pertemuan ke-2, dilakukan persiapan akhir menjelang pelaksanaan lokakarya
seperti melihat kembali rundown acara, mengecek perlengkapan, peserta yang sudah
konfirmasi hadir dan persiapan ruangan. Rapat ini umumnya dilakukan di kantor
Bappeda atau dinas terkait di kabupaten/kota tergantung kebutuhan masing-masing
wilayah. Peserta yang hadir dalam rapat adalah perwakilan tim teknis, fasilitator
kabupaten dan kadang dihadiri oleh LPSS setempat.
3. Publikasi pelaksanaan lokakarya terlaksana namun tidak di semua kab/kota. Daerah
yang menyelenggarakannya adalah: Kota Probolinggo, Sekadau, Melawi, dan Kota
Singkawang. Publikasi lokakarya dilakukan melalui pemasangan spanduk, Leaflet,
menyiarkan melalui radio, dan pemberitaan di Koran local. Tidak semua
kabupaten/kota melakukan publikasi ini karena pada tahap awal ini masih ada kendala
15
komunikasi dengan tim Media yang juga bekerja di kabupaten/kota yang sama.
4. Lokakarya pengelolaan pengaduan dilakukan di 11 kab/kota sesuai jadwal (Jan-medio
Feb 12). Lokakarya ini bertujuan untuk menyusun prototype kuesioner yang akan
dijadikan alat untuk survey. Peserta yang hadir antara 40-80an orang perwakilan dari
pengguna layanan dan penyedia layanan mitra program. Jumlah ini bervariasi di setiap
kabupaten/kota karena perbedaan jumlah unit layanan yang diintervensi dimana
Puskesmas terdiri dari 3-6 unit per kabupaten/kota sedangkan sekolah berjumlah 20
unit per kabupaten/kota. Wilayah dengan isu pendidikan biasanya memiliki peserta
lokakarya lebih banyak dibandingkan dengan wilayah dengan isu Kesehatan. Peserta ini
memiliki komposisi 80% berasal dari masyarakat pengguna layanan, LSM setempat,
media, akademisi, dan organisasi profesi (IBI, PGRI). Sedangkan sisanya berasal dari
penyedia layanan yaitu kepala sekolah dan guru, kepala puskesmas dan staff serta
utusan dari Dinas Pendidikan atau Dinas Kesehatan di kecamatan yang merupakan
wilayah program.
Pelaksanaan workshop ini dimulai dengan penjelasan tentang program Survey
Pengaduan, dilanjutkan dengan penjelasan mengenai Standar Pelayanan Publik dan
standar-standar lainnya, dan selanjutnya dilakukan curah pendapat tentang keluhan-
pengaduan yang dirasakan oleh pengguna layanan selama mengakses pelayanan di
unit-unit layanan mitra program. Setelah seluruh pengaduan sudah terkumpul,
dilakukan klasifikasi atau pengelompokan selanjutnya ditentukan 20-30 pengaduan
yang akan menjadi prioritas. Setelah merumuskan kuesioner, dalam lokakarya ini juga
dipilih para surveyor yang berasal dari peserta workshop. Para pelaksana survey ini
selanjutnya dilatih pada pelatihan surveyor atau enumerator sehari setelah lokakarya
pengelolaan pengaduan.
Hasil akhir yang diperoleh dari kegiatan-kegiatan tersebut di atas adalah (1) teridentifikasi
serta munculnya cikal bakal forum multi stakeholder (MSF) yang terdiri dari unsur
pemerintah khususnya tim teknis, SKPD terkait, dan penyedia layanan (kepala dan staf unit
layanan); anggota legislative; toma, toga, individu yang menaruh perhatian pada isu-isu
pendidikan dasar atau Kesehatan Ibu dan Anak di tingkat unit layanan sampai tingkat
kabupaten; serta masyarakat pengguna layanan secara lebih luas. (2) adanya draft
prototype kuesioner survey yang dirumuskan secara partisipatif, (3) disepakatinya para
surveyor yang berjumlah antara 15-20 orang yang sebagian besar berasal dari masyarakat
16
pengguna layanan di 11 kab/kota lokasi program, (4) adanya perencanaan survey di
masing-masing kab/kota, dan (5) surveyor yang sudah terlatim melakukan survey .
Dalam hal pembentukan MSF secara lebih formal, sejak awal pelaksanaan program ini telah
disepakati bahwa proses pelembagaan atau formalisasi MSF tidak akan dilakukan pada
tahap awal agar proses pembentukannya tidak hanya memenuhi target program tetapi
merupakan kebutuhan dari masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu pada tahap awal ini
forum-forum yang menghadirkan multi pihak masih disebut sebagai cikal bakal MSF.
Kondisi ini tidak sama di semua kabupaten/kota karena khusus di Singkawang dan Sambas,
Kalbar, pelembagaan MSF telah dilakukan sejak awal program atas inisiatif bersama antara
fasilitator Survey Pengaduan dan Fasilitator KIA di sana. MSF di kedua kab/kota tersebut
telah disahkan pendiriannya oleh pemerintah setempat pada bulan Desember 2011.
Sementara itu, di 2 kab.kota di Aceh, upaya yang sama juga dilakukan oleh tim Kinerja di
sana namun akhirnya belum dapat disebut MSF karena komposisinya yg semuanya masih
berasal dari pemerintah.
Meski demikian output 1.2 dapat dikatakan telah tercapai.
Output 1.3:
Adanya kompilasi Pengaduan warga terhadap pelayanan publik dasar
Kegiatan:
1. Pelaksanaan survai Pengaduan
a. Persiapan :
i. Pertemuan tim survey.
ii. Publikasi melalui spanduk, siaran di
radio, dll.
iii. Pemberitahuan kepada Unit layanan
tentang pelaksanaan survey pengaduan
melalui surat dari Sekda.
iv. Menyiapkan kit survey (memperbanyak
kuesioner, lembar rekapituasi, filling,
pena, dll).
v. Briefing kepada tim survey.
b. Pelaksanaan: Penyebaran angket dan
Semua kegiatan dalam output ini terlaksana sesuai rencana di 11 kab/kota. Terdapat sedikit
modifikasi pelaksanaan program sesuai konteks masing-masing daerah namun tidak
mengurangi pencapaian outputnya.
1. Pelaksanaan Survei:
a. Persiapan. Tujuannya adalah untuk melakukan persiapan tim dan persiapan logistic
pelaksanaan survey di masing-masing kabupaten/kota. Pada tahapan ini, ke 5
kegiatan yang direncanakan telah direalisasikan dengan baik di 11 kabupaten/kota.
Kelima kegiatan tersebut adalah:
a) Pertemuan tim survey (sebanyak 1-2 kali), dilakukan di kantor Bappeda atau
dinas terkait di kab/kota. Pertemuan ini bertujuan untuk membekali lagi tim
survey tentang kondisi di lapangan dan tips sederhana dalam melakukan
survey, menyepakati tugas-tugas setiap tim dan mekanisme pengumpukan
dokumen setiap hari, serta membahas jadwal final pelaksanaan survey sesuai
kondisi terakhir di masing-masing unit layanan. Kegiatan ini dilaksanakan
17
Wawancara.
c. Tabulasi data dan pembuatan Indeks
Pengaduan Masyarakat (IPM).
i. Rekapituasi harian.
ii. Rekapitulasi akhir (setelah seluruh
angket dan wawancara selesai).
iii. Pembuatan IPM.
2. Publikasi IPM hasil survey pengaduan.
mulai akhir Januari-Februari 2012 oleh fasilitator kabupaten bersama tim
survey serta Tim Teknis dan LPSS setempat.
b) Publikasi melalui spanduk, siaran di radio dll. Publikasi ini bertujuan untuk
mensosialisasikan kepada masyarakat tentang rencana pelaksanaan survey di
wilayah kerja unit-unit layanan mitra program. Publikasi dilakukan dengan
menempelkan pamphlet di unit-unit layanan dan ada pula yang membuat
spanduk. Pelaksanaan publikasi melalui media local bekerja sama dengan OMP
Media tidak terlalu berjalan baik di semua wilayah sehingga sangat kurang
publikasi pelaksanaan survey di media local.
c) Pemberitahuan ke unit-unit layanan dilakukan melalui surat resmi yang
dikeluarkan oleh tim teknis (Sekda atau dinas terkait). Selain mengirimkan
surat, umumnya para fasilitator melakukan kunjungan kembali ke unit-unit
layanan untuk memastikan mereka telah siap disurvey pada tanggal yang telah
ditentukan.
d) Menyiapkan kit survey, dilakukan oleh fasilitator kabupaten/kota bersama tim
survey. 1 paket kit survey terdiri dari foto copy kuesioner, pena, papan jalan,
dan tas.
e) Briefing akhir kepada tim survey, dilakukan 1-2 hari menjelang pelaksanaan
survey difasilitasi oleh fasilitator kabupaten/kota. Briefing ini dilakukan per
kecamatan atau per kabupaten tergantung kondisi masing-masing. Untuk
wilayah dengan unit layanan yang lokasinya sangat berjauhan, pertemuan
dilakukan per kecamatan mis. Di Jember dilakukan per UPTD.
b. Pelaksanaan survey dilakukan selama lebih dari 1 bulan (Akhir Februari s/d Maret
2012) dengan menyebar angket ke semua responden di 100 sekolah dan 22
puskesmas di 11 kab/kota wilayah program. Selain dengan mengisi angket oleh
responden, di beberapa unit layanan juga sempat dilakukan wawancara untuk
beberapa responden yg tidak bisa baca tulis oleh para surveyor meski dengan
jumlah informan yang tidak terlalu banyak. Mereka yang menjadi responden untuk
bidang pendidikan adalah murid kelas 5-6 SD, murid kelas 1-3 SMP dan orang
tua/wali murid dari sekolah-sekolah tersebut. Survey untuk siswa SD-SMP
dilakukan di sekolah saat mereka belajar, sedangkan untuk orang tua, angket
dititipkan ke anak-anak untuk diisi oleh orang tuanya dan dikembalikan pada hari
berikutnya. Tingkat pengembalian angket dari orang tua tidak terlalu banyak.
Sedangkan untuk bidang Kesehatan, yang menjadi responden adalah ibu hamil, ibu
18
menyusui/punya balita, pengguna KB yg sedang berada di Pusekesmas selama
survey berlangsung, di posyandu, atau menggunakan kesempatan lain dimana para
pengguna layanan KIA ini berkumpul. Untuk menghindari terjadinya pengisian
ganda, sebelum angket disebar surveyor melakukan pengecekan apakah sudah ada
yang mengisi angket sebelumnya sehingga dia tidak perlu lagi mengisi angket yang
disebar. Survey ini telah menjangkau 25,339 responden dari unit-unit layanan di
atas. Setiap kabupaten/kota memiliki jumlah pengaduan yang beragam yaitu antara
25 – 43 pengaduan yang tertera dalam angket.
c. Tabulasi data dilakukan selama proses survey berjalan untuk tabulasi harian, dan di
akhir survey untuk tabulasi akhir per unit layanan. Setelah seluruh unit layanan
selesai survey, seluruh hasil rekapitulasi akhir di unit layanan dikompilasi oleh
fasilitator kab/kota untuk dibuat Indeks Pengaduan Masyarakat (IPM) per unit dan
IPM gabungan seluruh unit di tiap kab/kota. Proses tabulasi sampai pembuatan IPM
dilakukan oleh surveyor dan fasiliator local mengikuti jadwal survey di masing-
masing kabupaten/kota. Proses tabulasi selesai dilakukan pada April 2012.
2. Publikasi IPM di unit-unit layanan dilakukan dalam berbagai cara seperti menempelkan
hasil IPM di unit layanan, di media sosial, di media massa local (radio), namun ada juga
unit layanan yang tidak bersedia mempublikasikan hasil survey sampai hasil tersebut
dianalisis. Situasi ini terjadi di sebagian unit layanan dimana muncul keberatan
terhadap data hasil survey seperti di 1 Puskesmas di Sambas. Publikasi di unit-unit
layanan dilakukan dalam rentang waktu cukup panjang dan bervariasi di masing-
masing daerah dimulai pada bulan Maret sampai Juli 2012.
Dengan demikian Output 1.3: adanya pengaduan warga terhadap pelayanan public dasar,
dapat dikatakan telah tercapai.
Output 1.4:
Adanya hasil analisis Pengaduan (sebab-akibat) dan rekomendasi perbaikan layanan
Kegiatan:
1. Lokakarya persiapan analisis, orientasi laporan
online dan evaluasi kuartal pertama di Jakarta.
2. Lokakarya analisis pengaduan dan rencana aksi.
a. Persiapan:
i. Penyusunan draft analisa pengaduan
Kegiatan-kegiatan dalam output ini sebagian besar terlaksana sesuai rencana.
1. Lokakarya persiapan analisis, orientasi laporan online dan evaluasi kuartal pertama di
Jakarta dilaksanakan pada tanggal 10-13 Mei 2012 di Hotel Amaris Jakarta. Ada 20
partisipan yang hadir yaitu tim daerah, tim Konsil di Jakarta dan fasilitator nasional.
Tujuan lokakarya ini adalah untuk memperkuat kemampuan para fasilitator dalam hal
pemahaman isi, metodologi, dan juga ketrampilan memfasilitasi lokakarya analisis
19
berdasarkan hasil survey.
ii. Technical Meeting sehari sebelum
dimulai acara lokakarya.
b. Pelaksanaan : Fasilitasi analisa masalah.
c. Penulisan laporan akhir survai
3. Penandatanganan Maklumat Layanan.
a. Persiapan: Pertemuan Tim Teknis, fasilitator
kabuaten, tim survey, dan staf unit layanan
(2-4 kali).
b. Pelaksanaan:
i. Penandatanganan janji dan rekomendasi
perbaikan layanan.
ii. Konferensi pers.
4. Publikasi Maklumat Layanan melalui :
a. Media lokal.
b. Distribusi kepada seluruh pemangku
kepentingan dan penerima manfaat masing-
masing unit layanan
pengaduan di masing-masing kabupaten/kota, khususnya untuk 3 orang fasilitator baru
yang baru bertugas menggantikan fasiliator sebelumnya di Melawi, Bengkayang, dan
Aceh Singkil. Proses lokakarya ini lebih banyak berisi praktek analisis dan simulasi
memfasilitasi lokakarya sesuai dengan tujuan pelaksanaan lokakarya ini. Lokakarya
difasilitasi oleh fasilitator nasional dan tim program dari Sekretariat Konsil.
2. Persiapan pelaksanaan lokakarya dilakukan oleh masing-masing fasilitator kab/kota
bekerja sama dengan para koordinator provinsi untuk menyusun TOR dan persiapan
logistik kegiatan. Dalam waktu yang sama, beberapa fasilitator bersama tim teknis dan
LPSS melakukan pertemuan menyusun draf analisis pengaduan dan persiapan
pelaksanaan lokakarya. Penyusunan draf ini untuk mempermudah proses lokakarya
meskipun draft tersebut tidak dipresentasikan tetapi hanya menjadi pegangan bagi
fasilitator dalam lokakarya karena proses analisis dilakukan secara partisipatif.
Pelaksanaan Lokakarya analisis pengaduan di 11 kab/kota terlaksana pada bulan April-
Juli 2012 di Kantor-kantor Bappeda kab/kota wilayah program. Kota Probolinggo telah
melakukan lokakarya sebelum dilakukan lokakarya nasional dan mereka berbagi
pengalaman tentang proses dan hasil yang sangat berguna bagi fasilitator kab/kota lain
untuk mempersiapkan lokakarya mereka.
Lokakarya analisis ini dihadiri oleh 80% kepala dan staf unit layanan (Sekolah dan
Puskesmas) dan hanya 20% peserta yang berasal dari pengguna layanan, yang
umumnya diwakili oleh para surveyor. Tujuan dari lokakarya ini adalah menyusun
hubungan sebab dan akibat dari pengaduan dan selanjutnya merumuskan solusi untuk
internal maupun eksternal untuk merespon keluhan-keluhan tersebut.
Hasil-hasil kegiatan ini adalah adanya analisis sebab akibat dari pengaduan yang di
sampaikan masyarakat serta rekomendasinya baik yang berupa rekomendasi internal
(untuk unit layanan) maupun eksternal (untuk pemerintah daerah khususnya SKPD
terkait). Dari hasil analisis ini setiap unit-unit layanan membuat draft Janji perbaikan
layanan dan menyusun Rekomendasi perbaikan layanan yang dikirim/diserahkan ke
Bupati/Walikota untuk direspon oleh pemerintah daerah. Draft ini selanjutnya
difinalisasi oleh masing-masing unit layanan setelah lokakarya.
20
3. Proses persiapan penandatanganan maklumat diawali dengan finalisasi Maklumat
Layanan di unit-unit layanan dan bersama tim teknis serta LPSS. Proses ini memakan
waktu yang sangat lama, rata-rata lebih dari 6 bulan. Ini sangat jauh dari rencana awal
dimana penandatanganan maklumat seharusnya dilakukan paling lambat 1 bulan
setelah lokakarya analisis. Lamanya proses ini disebabkan oleh masalah teknis dan
susbtansi baik di tingkat unit layanan maupun birokrasi pemda. Hambatan teknis yang
ditemukan di unit-unit layanan antara lain terbatasnya fasilitas komputer di sekolah,
tidak tersedianya tenaga yang mampu mengoperasikan komputer untuk mengetik Janji
Perbaikan, listrik tidak tersedia setiap saat untuk mengoperasikan komputer, kepala
sekolah sangat sibuk dengan tugas-tugas administrasi lainnya, staf yang terlibat
berganti-ganti sehingga proses berjalan sangat lambat karena transfer informasi tidak
terjadi antar mereka, dsb. Hambatan yang lebih substansial antara lain adanya
penolakan dari staf di beberapa unit layanan atas hasil pengaduan dan analisisnya
sehingga harus dilakukan dialog lagi untuk menjelaskan proses lokakarya dan
bagaimana keluarnya hasil analisis tersebut; permintaan untuk dilakukannya analisis
ulang di Jember yg mengakibatkan molornya waktu penyusunan maklumat; dan proses
birokrasi yang panjang khususnya di Bondowoso dimana Janji layanan yang sudah
dibuat oleh 4 puskesmas tertunda sangat lama finalisasinya. Sebabnya adalah karena
tim hukum dari Pemda Bondowoso ikut-ikutan melakukan revisi dan koreksi sana sini
atas draft maklumat layanan padahal mereka tidak terlibat dalam lokakarya analisis.
Hambatan-hambatan ini secara langsung berpengaruh besar pada tingkat pencapaian
hasil kegiatan yang tidak lagi sesuai dengan waktunya, yaitu Juli-Agustus 2012.
Meski tidak semua rekomendasi internal diakomodir oleh Unit layanan menjadi janji
perbaikan, namun rata-rata di atas 50% hasil rekomendasi internal diakomodir sebagai
Janji Perbaikan layanan. Dan seluruh rekomendasi eksternal khususnya kepada
pemerintah daerah dibuat dalam dokumen Rekomendasi Perbaikan layanan.
Penandatanganan Maklumat layanan sudah terlaksana di semua kabupaten/kota mulai
Oktober-Desember 2012. Namun 2 kabupaten, yaitu Sekadau dan Bondowoso,
Maklumat baru ditandatangani oleh Bupati sebagai yang mengetahui pada awal Januari
2013 (Bondowoso) dan awal Februari 2013 (Sekadau). Acara penandatanganan
umumnya dilakukan di kantor Bappeda atau kantor Bupati/Walikota di masing-masing
wilayah. Acara ini dihadiri oleh lebih pserta dari berbagai kalangan yang umumnya
21
terlibat dalam MSF di kabupaten/kota tersebut. Peserta terbanyak adalah pengguna
dan penyedia layanan. Rata-rata jumlah peserta berkisar antara 40-200an orang.
Peserta terbanyak di Banda Aceh, Bener Meriah, Bondowoso dan Singkawang karena
proses penandatanganan dirangkaikan dengan pekan KIA yang dilakukan bekerja sama
dengan OMP KIA di wilayah tersebut. Pentingnya Janji Perbaikan layanan di
tandatangani di depan umum agar unit layanan akan melakukan janji mereka karena
banyak pihak yang akan mengawasi termasuk Bupati/Walikota dan SKPD terkait.
Konferensi pers rata-rata tidak dilakukan karena pers mewawancarai Pejabat yg hadir
secara langsung.
4. Publikasi Maklumat layanan dilakukan dalam berbagai bentuk seperti: sosialisasi
langsung kepengguna lauyanan, di tempelkan di unit-unit layanan, ditulis di Koran,
dimuat di media sosial, dan lewat radio. 9 kabupaten/kota yang sudah melakukan
penandatanganan Maklumat telah mempublikasikannya sementara 2 kabupaten belum
dapat mempublikasikan karena masih menunggu tanda tangan Bupati.
Dengan melihat hasil-hasil yang telah dicapai di atas, output 1.4 yaitu adanya analisis
pengaduan (sebab dan akibat) dan rekomendasi perbaikan layanan telah tercapai.
Output 2.1:
Adanya perbaikan layanan untuk merespon Pengaduan di masing-masing unit layanan
Kegiatan:
1. Peninjauan langsung ke unit layanan oleh MSF
kabupaten bersama MSF Unit layanan.
2. Pertemuan berkala MSF Kabupaten/kota untuk
membahas kemajuan Maklumat Layanan.
3. Mendistribusikan hasil Monitoring kepada:
a. Media local.
b. Pemangku kepentingan dan penerima
manfaat.
Semua kegiatan dalam output ini sudah terlaksana dengan kualitas capaian yang berbeda-
beda. Secara lebih rinci berikut uraiannya:
1. Peninjauan langsung ke unit layanan oleh MSF kabupaten bersama MSF Unit
layanan.
Kegiatan ini sudah dilaksanakan di 122 unit layanan mitra program pasca
penandatanganan maklumat layanan di masing-masing kabupaten/kota. Peninjauan
langsung dalam konteks ini merupakan pra-monitoring atas pelaksanaan Janji dan
Rekomendasi Perbaikan layanan di masing-masing unit layanan. Hal ini disebabkan
oleh karena waktu pelaksanaan monitoring sebagaimana yang diatur dalam
PermenPAN 13/2009, harus dilakukan minimal 6 bulan setelah Maklumat layanan
ditandatangani. Sementara penandatanganan Maklumat baru layanan dilaksanakan
mulai bulan Oktober 2012, sehingga pelaksanaan monitoring untuk seharusnya baru
22
dapat dilakukan paling cepat pada bulan Maret 2013.
Pelaksanaan pra-monitoring ini mulai dilakukan oleh fasilitator kabupaten/kota
bersama dengan MSF kabupaten/kota dan MSF unit layanan pada bulan Desember
2012 – Januari 2013. Kunjungan pra monitoring ini dilakukan dalam rangka
mempersiapkan unit-unit layanan untuk pelaksanaan Monitoring Maklumat mulai
bulan Maret 2013 oleh MSF unit layanan dan MSF kabupaten/kota. Dalam kunjungan-
kunjungan awal ini, tim program survey memperkenalkan form monitoring yang akan
diisi oleh unit layanan dalam pelaksanaan monev nanti. Dari hasil pengisian formulir
tersebut, MSF akan melakukan verifikasi capaian perbaikan Janji dan Rekomendasi.
Selain menjelaskan tentang rencana pelaksanaan monitoring yang akan dilakukan mulai
Maret 2013, kunjungan ini sekaligus memotret perkembangan yang telah dicapai oleh
unit-unit layananan dalam merespon keluhan dengan merealisasikan janji perbaikan
layanan yang telah mereka buat.
Sampai dengan 31 Januari 2013, hasil yang telah dicapai oleh masing-masing unit
layanan bervariasi namun sebagian besar menunjukkan adanya peningkatan perbaikan
seperti yang dapat dilihat di 3 kabupaten/kota yang dapat dipotret sebagai perwakilan
per provinsi yaitu Kota Probolinggo, Kab. Bengkayang dan Kab. Aceh Singkil. Sekolah-
sekolah di Kota Probolinggo telah merealisasikan janji perbaikan layanan terkait
keluhan tentang kebersihan kamar mandi, penyediaan tempat cuci tangan, dan
kebersihan sekolah yang masih kurang. Untuk janji perbaikan lainnya sedang dilakukan
bekerja sama dengan Komite Sekolah dan orang tua murid. Langkah-langkah perbaikan
ini juga sebagian besar telah dimasukkan dalam perencanaan tahunan sekolah.
Sementara ini sekolah-sekolah di Bengkayang juga mulai merespon keluhan tentang
halaman sekolah yang belum dipagar, lantai sekolah rusak, WC rusak, lantai sekolah
rusak. Perbaikan-perbaikan ini dilakukan pihak sekolah bekerja sama dengan Komite
sekolah dan Orang tua murid. Perbaikan lain terkait tata kelola sedang dilakukan oleh
masing-masing sekolah. Di Aceh Singkil, Puskesmas-puskesmas mitra program di 3
kecamatan yang telah memiliki service charter, telah dan sedang melakukan perbaikan
untuk merespon keluhan tentang kamar mandi kotor, masyarakat belum tahu program
Jampersal, bidan tidak menjelaskan dan mendorong inisiasi menyusu dini, waktu
melahirkan tidak dibantu tenaga Kesehatan, masyarakat kesulitan mendapat pelayanan
jika terjadi komplikasi, dan masyarakat tidak diberi penjelasan tentang program KB
23
pada saat kehamilan atau persalinan. Ke-6 janji ini telah dilakukan di Puskesmas Singkil,
dimana kondisi yang hampir sama juga telah dilakukan di 2 Puskesmas lainnya.
2. Pertemuan berkala MSF Kabupaten/kota untuk membahas kemajuan Maklumat
Layanan.
Pertemuan berkala MSF di tingkat kabupaten/kota ini bertujuan untuk membahas
perkembangan atau kemajuan pelaksanaan Janji dan rekomendasi perbaikan di setiap
unit layanan mitra program dan di tingkat kabupaten/kota secara keseluruhan.
Berdasarkan perencanaan program, pertemuan berkala MSF baru dapat dilakukan
setelah MSF mulai menemukan bentuk kelembagaan mereka atau paling tidak telah
memiliki kesepakatan untuk melakukan pertemuan rutin sebagai kegiatan mereka.
Inisiasi pengembangan MSF di tingkat kabupaten/kota dilakukan sejak awal program
ini yaitu melalui lokakarya Pengelolaan Pengaduan, lokakarya analisis pengaduan dan
penandatanganan Maklumat Layanan.
Namun demikian perkembangan setiap wilayah program berbeda satu sama lain. Di 5
kabupaten/kota yaitu Singkawang, Sambas, Banda Aceh, Aceh Singkil, dan Bener
Meriah, pembentukan MSF tingkat kabupaten/kota telah dimulai sejak persiapan awal
program ini. Inisiasi ini ada yang berasal dari tim Kinerja (NO dan LPSS) sendiri seperti
yang terjadi di 3 kab/kota di Aceh, namun juga merupakan inisiatif dari OMP sektor
yaitu di Singkawang dan Sambas yang diinisiasi oleh PKBI sebagai OMP KIA. Sementara
di 6 kabupaten/kota lainnya, proses pembentukan MSF ini dilakukan sesuai dengan
perencanaan dimana cikal bakal MSF sudah dimulai pada lokakarya pengelolaan
pengaduan, dan baru mulai melakukan pertemuan regular setelah penandatanganan
Maklumat layanan pada bulan Oktorber 2012. Untuk 5 kabupaten/kota yang MSFnya
telah dibentuk sejak awal, pelaksanaan pertemuan regular ada yang dilakukan setiap
bulan namun ada juga yang disesuaikan dengan kebutuhan. Setelah penandatanganan
Maklumat, setiap MSF kabupaten/kota melakukan pertemuan secara lebih intensif
terkait dengan fungsi mereka untuk mengawal pelaksanaan Janji di tingkat unit layanan
dan rekomendasi yang harus diadvokasikan oleh pemerintah daerah. Namun sekali lagi
tantangan terbesar dari pengembangan MSF ini adalah tingkat kehadiran dan komitmen
dari semua unsur yang harus terus diperkuat. Hal ini dikarenakan oleh tingginya
aktivitas masing-masing pihak yang merupakan kendala terbesar ketidakhadiran dalam
pertemuan.
24
Pasca lokakarya analisis pengaduan pada bulan Juli – September 2012, MSF-MSF di 11
kabupaten/kota telah memulai pertemuan rutin. Pertemuan-pertemuan regular MSF
kabupaten/kota ini umumnya dilakukan di kantor Bappeda/sekretariat program
Kinerja di masing-masing kabupaten/kota atau tempat yang disepakati bersama. Pihak-
pihak yang terlibat dalam MSF di tingkat kabupaten/kota ini adalah para perwakilan
MSF di tingkat unit layanan yang terdiri dari komponen pengguna dan penyedia layanan
dari masing-masing unit layanan, perwakilan tim teknis, LSM setempat, organisasi
profesi, tokoh-tokoh masyarakat, media dan akademisi.
Dari hasil pertemuan MSF di tingkat kabupaten/kota, beberapa agenda penting yang
dihasilkan antara lain, di Jember, MSF telah memiliki struktur kepengurusan yang jelas
dan agenda kegiatan. Mereka juga mulai menerima dan menindaklanjuti keluhan-
keluhan yang disampaikan masyarakat tidak hanya terbatas pada 20 sekolah mitra
program. Dengan adanya Forum Pengaduan Pendidikan Jember ini, masyarakat lebih
terbuka menyampaikan keluhan atas pelayanan pendidikan yang mereka alami dan
meminta Forum meneruskannya kepada pemerintah dan unit-unit layanan memberikan
layanan kepada mereka. Untuk melakukan peran ini, Forum Pengaduan Pendidikan
Jember bekerja sama dengan Komisi Pelayanan Publik Jember dan Ombudsman
Provinsi Jatim. Sementara di 3 kab/kota di Aceh, MSF tingkat kabupaten telah
melakukan upaya penguatan kapasitas kepada MSF unit-unit layanan agar mereka
mampu memberi respon terhadap pengaduan pelayanan yang diberikan masyarakat
kepada unit layanan yang umumnya ditangani bersama dengan MSF di tingkat unit
layanan. Di Bengkayang, pemerintah setempat khususnya Bappeda berkeinginan untuk
memformalkan MSF kabupaten ini dengan SK bupati sehingga memiliki kekuatan
hukum dan lebih kuat posisinya untuk melakukan peran advokasi mereka.
Tantangan yang dihadapi adalah LSM mitra pelaksana di tingkat provinsi harus serius
melakukan penguatan MSF-MSF ini setelah program ini berakhir, khususnya di wilayah-
wilayah yang kelembagaan MSFnya belum benar-benar terbentuk seperti di Sekadau,
Melawi, dan Bondowoso. Di samping itu, tidak semua MSF kabupaten/kota mendapat
dukungan dari pemerintah daerah dalam kegiatannya sehingga dibutuhkan penguatan
dari LSM mirta dengan memperkuat LSM di kabupaten/kota setempat sebagai
dinamisatornya.
25
3. Mendistribusikan hasil Monitoring kepada:
a. Media local.
b. Pemangku kepentingan dan penerima manfaat.
Kegiatan mendiseminasikan hasil monitoring ini belum dilakukan oleh semua wilayah
karena alasan yang telah disampaikan dalam poin 1 di atas. Namun di Bengkayang, tim
pelaksana program dan MSF telah menyampaikan hasil kunjungan ke unit layanan ke
media yang kebetulan merupakan bagian dari MSF di tingkat kabupaten. Hasil
perbaikan layanan yang telah dilakukan oleh SDN Lamat Semalat, SDN Sekaruh dan
SDN 06 Belangko telah diberitakan oleh media massa setempat yaitu Borneo Tribun
pada tanggal 16,18, dan 21 Januari 2013. Diseminasi Informasi ini selain merupakan
bentuk pengawalan yang dilakukan oleh Media massa setempat juga merupakan bentuk
apresiasi atas usaha perbaikan yang telah dilakukan oleh unit-unit layanan tersebut.
Dengan melihat hasil-hasil yang telah dicapai di atas, output 2.1 dapat dikatakan telah
tercapai.
Output 3.1:
Terlaksananya advokasi untuk mendapatkan dukungan dari Bupati/Walikota untuk memasukkan rekomendasi-rekomendasi yang diajukan
unit layanan ke dalam RKA, RAPBD, dan replikasi pada bidang layanan lainnya
Kegiatan:
1. Advokasi untuk mendapatkan dukungan dari
Bupati/Walikota untuk memasukkan
rekomendasi-rekomendasi yang diajukan unit
layanan ke dalam RKA atau RAPBD.
a. Lobby dan Dengar pendapat
b. Lokakarya merumuskan kerangka advokasi
dan perumusan rekomendasi replikasi.
2. Advokasi untuk replikasi di unit layanan lainnya.
a. Lobby dan hearing ke Dinas/SKPD,
Bupati/Walikota, dan DPRD/DPRK di minimal
1 kabupaten/kota per provinsi.
Kegiatan-kegiatan dalam output ini telah dilakukan oleh semua kabupaten/kota. Berikut
uraian tentang ringkasan proses dan hasilnya :
1. Advokasi untuk mendapatkan dukungan dari Bupati/Walikota untuk memasukkan
rekomendasi-rekomendasi yang diajukan unit layanan ke dalam RKA atau RAPBD.
a. Lobby dan Dengar pendapat.
Lobby dan dengar pendapat dengan Dinas terkait sudah mulai dilakukan di semua
kabupaten/kota sejak diserahkannya rekomendasi-rekomendasi kepada
pemerintah daerah saat penandatanganan Janji Perbaikan layanan pada Oktober-
November 2012. Lobby-lobby ini dilakukan oleh para fasilitator kabupaten/kota
bersama MSF, dan perwakilan MSF di unit layanan yang kadang didampingi oleh
LPSS kab/kota setempat. Lobby-lobby ini dilakukan untuk memastikan pemerintah
daerah memberikan komitmen yang tinggi untuk pemenuhan rekomendasi
perbaikan layanan yang diajukan oleh unit-unit layanan mitra yang di masing-
26
masing daerah.
Pada saat penandatanganan janji dan penyerahan rekomendasi ke pemerintah
daerah di semua kabupaten/kota (Oktober-November 2012), para pimpinan
daerah yang hadir dalam upacara tersebut, baik Bupati/Wakil Bupati/Sekretaris
Daerah/Kepada Dinas telah menyatakan komitmennya secara lisan untuk
memenuhi rekomendasi perbaikan layanan. Janji dan komitmen lisan ini
selanjutnya ditindaklanjuti oleh tim program untuk memastikan penganggarannya
dalam perencanaan APBD-Perubahan tahun 2013 dengan melakukan pertemuan.
b. Lokakarya merumuskan kerangka advokasi dan perumusan rekomendasi replikasi.
Tujuan pelaksanaan lokakarya ini adalah untuk merumuskan kerangka advokasi
secara bersama untuk diterapkan di masing-masing kabupaten/kota. Kerangka
dasar ini dapat dikembangkan atau dimodifikasi sesuai dengan kondisi atau
konteks sosial politik di masing-masing kabupaten/kota.
Lokakarya ini telah dilakukan pada tanggal 1-3 November 2012 di Wisma Hijau,
Cimanggis, Depok. Lokakarya ini dihadiri oleh 14 orang tim program di daerah
yaitu 11 fasilitator kabupaten/kota dan 3 koordinator provinsi; dan 4 orang tim
program di tingkat nasional.
Hasil dari lokakarya ini adalah strategi pelaksanaan advokasi untuk mempengaruhi
pemerintah daerah agar mereka menindaklanjuti rekomendasi-rekomendasi yang
telah diajukan oleh unit-unit layanan sebagai upaya perbaikan layanan di unitnya.
Selain itu juga untuk mendorong pemerintah daerah mereplikasi survey pengaduan
di unit layanan lainnya baik di bidang yang sama maupun di bidang lainnya atas
pembiayaan mereka sendiri. Langkah-langkah yang disepekati untuk dilakukan
adalah: pertama, penguatan MSF baik di tingkat kabupaten/kota maupun di unit-
unit layanan agar mereka dapat melakukan tugas-tugas advokasi. Kedua, lobby dan
dengar pendapat dengan Bupati/walikota. Masing-masing kabupaten/kota
selanjutnya menyusun perencanaan kegiatannya. Bagi kabupaten/kota yang belum
melakukan penandatanganan Janji dan Rekomendasi Perbaikan layanan, tugas
advokasi dimulai dari mendorong agar Bupati/walikota dan SKPD terkait segera
menandatangani janji layanan yang dibuat dan ditandatangani oleh unit-unit
27
layanan sehingga sudah memiliki kekuatan mengikat. Bupati/walikota yang belum
menandatangani Maklumat per 31 Oktober 2012 adalah Jember, Bondowoso, Kota
Banda Aceh, Bener, Meriah, dan Kota Singkawang.
2. Advokasi untuk replikasi di unit layanan lainnya.
a. Lobby dan hearing ke Dinas/SKPD, Bupati/Walikota, dan DPRD/DPRK di minimal 1
kabupaten/kota per provinsi. Lobby dan hearing ini khusus untuk mendorong
replikasi survey pengaduan ke unit-unit layanan lain di kabupaten/kota tersebut.
Dari hasil lokakarya penyusunan kerangka advokasi pada November 2012, daerah-
daerah yang bersedia melakukan loby untuk replikasi survey pengaduan adalah
Kota Banda Aceh, Bener Meriah, Jember, dan Sambas. Daerah-daerah ini sejak awal
sudah melihat peluang kesediaan dan keterbukaan pemerintah daerah untuk
mereplikasi survei pengaduan. Sementara kabupaten/kota lainnya tidak melakukan
lobby untuk replikasi tetapi hanya fokus pada pemenuhan janji perbaikan layanan.
Lobby dan hearing dilakukan oleh fasilitator kabupaten/kota bersama MSF dan
juga LPSS. Loby dan hearing ini dilakukan bersamaan dengan loby dan hearing
untuk memastikan rekomendasi perbaikan layanan dari unit-unit layanan dipenuhi
oleh pemerintah daerah. Komitmen lisan yang sudah disampaikan pemerintah
daerah untuk mereplikasi adalah sebagai berikut:
Kab. Jember: 20 sekolah, direncanakan dari dana APBD 2013.
Kab. Bener Meriah: di 7 Puskesmas dari dana APBD 2013. (sudah tertuang
dalam RKA 2013).
Kota Banda Aceh: 1 Puskesmas, anggaran internal Puskesmas 2013.
Kab. Sambas, 6 Puskesmas.
Dengan melihat hasil-hasil yang telah dicapai di atas, output 3.1 dapat dikatakan telah
tercapai.
Output 4.1:
Pengelolaan program berjalan secara optimal sesuai dengan perencanaan dan hasil yang diharapkan
Kegiatan:
1. Koordinasi dan laporan bulanan.
2. Pertemuan 3 bulanan koordinator provinsi
dengan para fasilitator kab/kota di masing-
Kegiatan-kegiatan dalam output ini telah dilaksanakan sesuai rencana, dan bahkan lebih
intensif dari yang direncanakan karena kebutuhan koordinasi pelaksanaan kegiatan di
lapangan.
1. Koordinasi dan laporan bulanan.
28
masing provinsi.
3. Kunjungan koordinator provinsi ke
kabupaten/kota.
4. Monitoring evaluasi enam bulanan melalui
kunjungan lapangan.
Koordinasi dan laporan bulanan di Jakarta dilakukan sesuai rencana. Konsil memiliki
pertemuan bulanan staf yg sekaligus dimanfaatkan sebagai wadah gkoordinasi semua
kegiatan di 11 kab/kota diantaranya membagi perkembangan kegiatan dan
mendiskusikan solusi-solusi kongkrit untuk persoalah-persoalan yang dihadapi di
wilayah. Pertemuan bulanan telah dilaksanakan sejak November 2011 s.d Desember
2012 di Kantor Konsil yang diikuti semua tim program. Sementara itu, pelaporan
bulanan juga telah dilakukan sesuai rencana meski dalam pelaporan ini terdapat
beberapa laporan bulanan yang terlambat disampaikan khususnya dari beberapa
kabupaten di Kalbar. Kesulitan yang dihadapi fasilitator terkait pelaporan tepat waktu
adalah sulitnya akses atas internet untuk mengirimkan laporan ke koord. Provinsi dan
tingginya kesibukan di lapangan yang disebabkan lokasi unit-unit layanan yang cukup
berjauhan. Namun sampai Desember 2012, seluruh laporan bulanan sudah dilaporkan
ke Kinerja melalui email untuk periode Nov 2011-Maret 2012, dan melalui laporan on
line mulai April s.d Desember 2012.
2. Pertemuan 3 bulanan koordinator provinsi dengan para fasilitator kab/kota di masing-
masing provinsi.
Pertemuan-pertemuan ini baru dijadwalkan dalam revisi workplan pada April 2012
karena kebutuhan untuk melakukan pertemuan ini sangat penting dirasakan oleh tim di
daerah. Pertemuan-pertemuan tersebut bertujuan untuk mendiskusikan secara lebih
detail strategi dan langkah-langkah kongkrit pelaksanaan kegiatan di masing-masing
kabupaten yang tidak terdiskusikan di tingkat nasional. Pertemuan ini telah
dilaksanakan pada Desember 2011,April 2012, Juli 2012 dan September 2012 di
masing-masing provinsi.
3. Kunjungan koordinator provinsi ke kabupaten/kota.
Kunjungan-kunjungan yang dijadwalkan dalam perencanaan secara resmi hanya 2 kali
namun dalam pelaksanaannya kunjungan ini jauh lebih intensif dari yang direncakan
khususnya di Kalimatan Barat. Tujuan pelaksanaan kunjungan adalah memonitoring
jalannya kegiatan yang dilakukan oleh para fasilitator kab/kota sekaligus memberikan
bantuan teknis terhadap fas kabupaten/kota dalam melaksanakan tugasnya.
Keterlibatan koodinator provinsi dalam proses kegiatan di kabupaten/kota khususnya
ketika melakukan lobby ke pemerintah daerah sangat membantu fasilitator dalam
mencapai tujuan kegiatan dan juga menguatkan kepercayaan pemerintah setempat
tentang jaminan kualitas yang baik dalam pelaksanaan program bersama OMP.
4. Monitoring evaluasi enam bulanan melalui kunjungan lapangan.
29
Kunjungan lapangan untuk Monitoring dan Evaluasi ini hanya dilaksanakan 1 kali di
provinsi Kalbar. Sejak awal rencana kunjungan lapangan ini direncanakan akan
dilakukan di 3 provinsi namun dengan perkembangan pelaksanaan kegiatan dimana
telah tersedia beberapa kali kesempatan untuk mendapatkan Informasi lebih banyak
melalui kunjungan lapangan saat pelaksanaan kegiatan dan sharing Informasi dalam
pertemuan nasional maka kunjungan lapangan akhirnya hanya ditetapkan 1 kali yaitu
di Kalbar. Monev di Kalbar bertujuan untuk melakukan pemantauan keuangan di YDT
sebagai mitra pelaksana di Kalbar khususnya membantu bagian keuangan untuk
memahami pelaporan keuangan untuk program ini dan secara keseluruhan sesuai
dengan prinsip akuntansi. Sementara itu di Aceh dan Jatim masing-masing coordinator
provinsi setelah berkoordinasi dengan tim di Jakarta memutuskan untuk tidak ada
kunjungan lapangan tetapi memaksimalkan setiap kesempatan ke daerah untuk
kegiatan dan pertemuan-pertemuan nasional dalam memantau perkembangan dan
hasil kegiatan.
Dengan melihat hasil-hasil yang telah dicapai di atas, output 4.1 dapat dikatakan telah
tercapai.
30
2. Jumlah Target VS Aktual (bandingkan jumlah target yang di setting diawal project dengan actual pencapaian)
Mengacu pada perencanaan program, target-target program (output) sebagian besar
telah tercapai. Output-output tersebut telah berkontribusi pada pencapaian outcome
(dampak) program yang lebih luas. Pencapaian ini mengacu pada indikator-indikator
capaian sesuai perencanaan.
Dalam bagian ini, target yang akan diukur adalah capaian langsung (output) sedangkan
capaian pada tingkat dampak (outcome) akan dianalisis pada bagian selanjutnya.
Target-target yang harus dicapai versus aktualnya adalah sebagai berikut:
31
Jumlah Target versus Aktual:
Tingkat capaian Indikator
Rencana Capaian Outcome 1:
Meningkatnya pemahaman, kesadaran dan partisipasi (berperan aktif secara sukarela) masyarakat termasuk kelompok media, perempuan, penyandang cacat tubuh dan kelompok masyarakat marjinal lainnya, dalam meningkatkan pelayanan publik khususnya pendidikan dasar dan kesehatan dasar.
1. Minimal 30 orang anggota masyarakat yang terlibat aktif dalam Forum Pemangku Kepentingan (FPK) di tiap kabupaten/kota.
2. Minimal 10 orang penyedia layanan dan pemerintah daerah terlibat aktif dalam Forum Pemangku Kepentingan di tiap kabupaten/kota.
Output 1.1 Adanya adaptasi instrumen
survai pengaduan dengan
paket program Kinerja.
1. Adanya adaptasi instrument survai keluhan untuk bidang Kesehatan dan Pendidikan yang sesuai dengan kondisi local.
2. Tersusunnya disain survai, kuesioner wawancara, dan panduan FGD.
1. Adanya kerangka pelaksanaan survei pengaduan untuk bidang Pendidikan dan Kesehatan ibu dan anak diadaptasi dari PermePAN 2013 disesuaikan dengan paket program Kinerja.
2. Adanya disain/gambaran tahap-tahap pelaksanaan survei yang jelas dan contoh kuesioner yang akan digunakan dalam pelaksanaan program. Dalam Survey Pengaduan, kuesioner tidak dapat disusun oleh pelaksana program karena harus dilakukan secara partisipatif dalam lokakarya pengelolaan pengaduan. Juga panduan FGD tidak disusun karena dalam survey pengaduan tidak perlu melakukan FGD untuk pengumpulan data.
Output 1.2 Terbentuknya forum
pemangku kepentingan dan
adanya perencanaan untuk
melakukan survei pengaduan
di 5 kab/kota di Kalimantan
Barat, 3 kab/kota di Jawa
Timur dan 3 kab/kota di Aceh.
1. Susunan organisasi Forum Pemangku Kepentingan di masing-masing kabupaten/kota.
2. Kesepakatan tentang tujuan, kegiatan/program, dan sumber daya Forum pemangku kepentingan di masing-masing kabupaten/kota.
3. Pertemuan regular forum Pemangku Kepentingan di masing-masing
1. Adanya susunan keorganisasian forum pemangku kepentingan (MSF) di tingkat kabupaten di 11 kab/kota.
2. Ada kesepakatan tentang tujuan pembentukan MSF, sumber daya untuk membiayai kegiatan mereka yang umumnya bersumber dari dana program, sebagian daerah mendapat dukungan biaya dari pemerintah. Namun sebagian kecil belum ada pembicaraan yang lebih jauh tentang sumber dana untuk kegiatan MSF.
32
kabupaten/kota. 4. Rencana kerja Forum Pemangku
Kepentingan yang jelas, meliputi bentuk kegiatan, tujuan, hasil, waktu, dan penanggung jawab untuk pelaksanaan survai.
Belakangan Kab. Sambas berencana membuat SK untuk penguatan MSF sehingga mendapatkan alokasi dana dari Pemda.
3. Ada pertemuan reguler yang dilakukan di masing-masing kabupaten kota dengan intensitas 1 atau 2 bulan sekali.
4. Adanya perencanaan kegiatan masing-masing MSF. (Pertemuan reguler, advokasi, dan monev).
Catatan: Pelembagaan MSF baru mulai dilakukan pada bulan Juli 2012 setelah lokakarya analisis di masing-masing kabupaten/kota.
Output 1.3 adanya kompilasi pengaduan
warga terhadap pelayanan
publik dasar.
Jumlah masalah atau keluhan dari pengguna layanan tentang jangkauan dan kualitas layanan pendidikan dasar dan kesehatan dasar di 5 Kabupaten/Kota di Kalimantan Barat, 3 kab kota di Aceh, dan 2 Kabupaten/kota di Jawa Timur.
Jumlah pengaduan dari pengguna layanan dari 11 kab/kota yaitu:
1. Kota Banda Aceh: 26 pengaduan oleh 905 responden. 2. Kab. Bener Meriah: 25 pengaduan oleh 1,200
responden. 3. Kab. Aceh Singkil: 40 pengaduan oleh 680 responden. 4. Kota Probolinggo: 33 pengaduan oleh 5,601
responden. 5. Kab. Jember: 31 pengaduan oleh 5,893 responden. 6. Kab. Bondowoso: 43 pengaduan oleh 1,750
responden. 7. Kota Singkawang: 33 pengaduan oleh 850
responden. 8. Kab. Sambas: 42 pengaduan oleh 645 responden. 9. Kab. Bengkayang: 34 pengaduan oleh 2,548
responden. 10. Kab. Sekadau: 33 pengaduan oleh 2.721 responden. 11. Kab. Melawi: 27 pengaduan oleh 1,900 responden.
Output 1.4 adanya hasil analisis
pengaduan sebab akibat dan
rekomendasi perbaikan
layanan.
1. Factor-faktor penyebab masalah dan akibat yang ditimbulkan di masing-masing unit layanan.
2. Bentuk-bentuk usulan untuk perbaikan layanan di masing-masing unit layanan.
1. Ada faktor-faktor penyebab pengaduan yang berhasil dirumuskan dari seluruh pengaduan yang diperoleh dari hasil survey di setiap kabupaten/kota.
2. Adanya solusi-solusi untuk perbaikan baik solusi internal (yang dapat dilakukan sendiri oleh unit layanan: sekolah/puskesmas) maupun solusi eksternal, yang mana solusi ini tidak dapat dilakukan
33
oleh unit layanan melainkan oleh lembaga yang lebih tinggi sehingga harus diajukan sebagai rekomendasi.
Outcome 2:
Meningkatnya kualitas layanan di masing-masing unit layanan.
Berkurangnya keluhan di masing-masing unit layanan.
Output 2.1 Adanya perbaikan layanan untuk merespon keluhan di masing-masing unit layanan.
Data/fakta tentang perkembangan pelaksanaan Maklumat Layanan di masing-masing unit layanan.
Data awal berupa: foto perubahan kondisi, hasil wawancara dan pengamatan terkait pelaksanaan Maklumat layanan di unit-unit layanan.
Outcome 3:
Adanya kebijakan dari Bupati/Walikota untuk menindaklanjuti penanganan pengaduan warga dan rekomendasi penyelesaiannya serta komitmen pendanaan.
1. Diterbitkannya SK Bupati/Walikota tentang strategi penanganan keluhan atas layanan pendidikan dasar dan kesehatan dasar.
2. Adanya komitmen dari pemerintah daerah untuk memasukkan rencana replikasi di dalam RKA tahun berikutnya.
Output 3.1 Terlaksananya advokasi untuk mendapatkan dukungan Bupati/Walikota untuk memasukkan rekomendasi-rekomendasi yang diajukan unit layanan ke dalam RKA, atau RAPBD, dan replikasi pada bidang layanan lainnya.
Jumlah pertemuan dengan Bupati/Walikota untuk tindak lanjut penanganan keluhan dan replikasi survei pengaduan di unit layanan lainnya.
1. Minimal 2 kali pertemuan per kabupaten/kota dengan Bupati/walikota atau kepala SKPD Pendidikan/Kesehatan di kabupaten/kota untuk membahas tindak lanjut pelaksanaan rekomendasi hasil survey, maupun replikasi survei di bidang pelayanan lainnya.
2. Anggaran replikasi survei pengaduan telah dimasukkan dalam RKA 2013 di Bener Meriah untuk replikasi di 7 puskesmas.
3. Komitmen lisan dari Bupati Sambas untuk replikasi di 6 Puskesma, Kadis Pendidikan Jember untuk replikasi di 20 sekolah, dan Kepala Dinas Kesehatan Banda Aceh untuk replikasi di 1 puskemas.
34
Di samping target capaian sesuai indikator output, juga dapat dilihat jumlah orang yang
ditargetkan sebagai sasaran program seperti dalam kegiatan-kegiatan di bawah ini:
i. Dalam lokakarya multi stakeholder untuk pengelolaan pengaduan di masing-masing
provinsi ditargetkan dihadiri oleh 40 orang per kabupaten (20% penyedia layanan
dan 80% pengguna layanan). Dalam kenyataannya dalam pelaksanaan lokakarya
tersebut di 11 kabupaten/kota jumlah pesertanya melebihi dari yang direncanakan.
Kelebihan jumlah peserta antara 20-50% dari yang telah ditentukan. Umumnya
kelebihan jumlah peserta ini disebabkan oleh antusiasme mitra program untuk
menggetahui program ini secara lebih jelas seperti yang terjadi di kabupaten
Bengkayang, kota Probolinggo, Kab. Sambas, dll.
ii. Jumlah target sasaran survey pengaduan awalnya direncanakan melibatkan 400
responden saja per kabupaten/kota. Sehingga total responden yang direncanakan
terjangkau sebanyak 4,400 orang. Dalam kenyataannya, responden yang terjangkau
dalam survey ini sebanyak 24,693 atau 5 kali lebih banyak dari yang direncanakan.
Jumlah responden yang terbanyak dijangkau oleh kabupaten/kota bidang
pendidikan karena survey dilakukan serentak di 20 sekolah yang melibatkan murid
kelads 5-6 SD dan kelas 1-3 SMP serta orang tua/wali murid. Sementara responden
di kabupaten/kota bidang kesehatan yang meski respondennya tidak selalu dapat
dijangkau dalam jumlah besar, kelebihan jumlah respondennya antara 50%-400%
dari target sasaran yang direncanakan.
iii. Lokakarya analisis pengaduan juga rencananya dihadiri oleh 40 orang di setiap
kabupaten/kota yang berasal dari pengguna dan penyedia layanan. Perbandingan
pesertanya adalah 80% penyedia layanan dan 20% pengguna layanan. Dalam
kenyataanya, peserta yang terlibat tidak hanya sejumlah yang telah ditentukan
namun melebihi dari rencana. Jumlah peserta yang hadir antara 40-56 orang di
setiap kabupaten/kota. Karena kebutuhan yang tidak terhindarkan untuk
menghadirkan peserta melebihi dari yang direncanakan. Seperti contoh dari
kabupaten/kota bidang pendidikan setiap sekolah mitra mengirimkan minimal 2
orang peserta padahal jumlah sekolah tiap kabupaten/kota sebanyak 20 unit.
Jumlah peserta ini masih ditambah dengan peserta dari kalangan pengguna layanan
seperti perwakilan orang tua dan juga tokoh masyarakat dan LSM setempat. Di
kabupaten/kota bidang kesehatan kondisi yang terjadi tidak jauh berbeda sehingga
setiap kabupaten/kota menghadirkan jumlah peserta lebih banyak dari yang
direncanakan.
iv. Penandatanganan maklumat layanan di setiap kabupaten/kota direncanakan
dihadiri oleh 30-40 orang namun dalam pelaksanaannya kegiatan ini umumnya
dihadiri oleh lebih dari 50 orang bahkan ada yang melebihi 200 orang atau 4-5 kali
lebih banyak dari jumlah yang direncanakan karena dilakukan bersamaan dengan
kegiatan lain seperti expo KIA seperti di Kab. Bener Meriah, Kota Banda Aceh, Kota
Singkawang dan Bondowoso. Di kab/kota lainnya penandatanganan ini dilakukan
bersamaan dengan pertemuan mutlti stakeholder seperti di Kota Probolinggo,
Melawi, dan Bengkayang.
3. Pencapaian yang tidak ada dalam rencana (tuliskan pencapaian yang terjadi diluar perencanaan/yang tidak disebutkan dalam workplan)
Pencapaian-pencapaian yang diperoleh di luar dari yang telah direncanakan adalah:
35
i. Tersusunnya Modul Survey Pengaduan hasil adaptasi panduan Survey Pengaduan
sesuai PermenPAN no. 13/2009 dengan paket program Kinerja. Survey pengaduan
ini memfokuskan pada isu Pendidikan dasar dan Kesehatan dasar khususnya
Kesehatan Ibu dan Anak.
ii. Jumlah responden yang terlibat dalam survei ini jauh melebihi dari yang
direncanakan. Pada awal perencanaan, responden yang direncanakan hanya 400
orang per kabupaten/kota, namun yang terjangkau adalah 24,693 responden.
Jumlah responden yang jauh lebih banyak ini secara otomatis semakin memperkuat
hasil survey menjadi hasil yang sangat valid untuk dijadikan rujukan bagi
pemerintah khususnya penyedia layanan dalam mengetahui persoalah yang
dikeluhkan masyarakat pengguna layanan.
iii. Terbentuknya Forum Multi Pihak di tingkat kecamatan di Kabupaten Jember yang
merupakan wadah untuk menjembatani forum para pihak di tingkat sekolah dan di
tingkat kabupaten. Perlunya forum ini di tingkatan kecamatan disebabkan karena
jarak antar unit layanan yang berjauhan sehingga mereka membutuhkan wadah
yang mampu menjembatani kebutuhan saling berbagi dan bertukar informasi di
antara unit layanan sebelum sampai pada forum di tingkat kabupaten.
B. Dampak Positif Mengukur dampak program yang berlangsung selama satu tahun relatif sulit. Umumnya
dampak sebuah program baru dapat dilihat atau diukur dalam jangka waktu lebih panjang
yaitu minimal 3 tahun. Atas dasar pengertian tersebut, laporan ini terutama akan memotret
seberapa besar output telah berkontribusi pada pencapaian dampak program tersebut.
1. Bagi Target Populasi/Masyarakat/Komunitas (Tuliskan dampak positive yang muncul bagi masyarakat di wilayah program, bisa berasal dari hasil hasil
assessment ataupun melalui observasi yang dilakukan)
Dampak bagi masyarakat penerima manfaat program ini adalah:
i. Jika selama ini sangat sedikit masyarakat yang terlibat dalam memberikan masukan
kepada pemerintah khususnya penerima layanan dalam upaya peningkatan kualitas
layanan, maka melalui survei ini kuantitas keterlibatan masyarakat meningkat.
Demikian juga dari segi kualitasnya, jika selama ini pemberian masukan atau
keluhan lebih banyak dilakukan secara lisan sehingga tidak terdata dan pada
akhirnya tidak ditindaklajuti, maka dengan adanya survei pengaduan, keluhan atau
pengaduan masyarakat menjadi lebih terdokumentasi dan respon dari penyedia
layanan pun lebih sistematis.
ii. Dengan adanya janji perbaikan layanan yang telah ditandatangani oleh unit layanan,
masyarakat sudah mulai menerima hasil perbaikan layanan kesehatan atau
pendidikan di unit layanan mereka. Respon perbaikan ini mulai dilakukan oleh unit
layanan berdasarkan janji perbaikan yang telah tanda tangani di depan masyarakat
dan disaksikan oleh pemerintah. Misalnya, penyediaan tempat mencuci tangan di
lingkungan sekolah di Kota Probolinggo, pelaksanaan penyuluhan oleh Badan
Pemberdayaan Perempuan dan KB tentang Pencegahan Kekerasan Terhadap
Perempuan di sekolah-sekolah mitra di Jember, perbaikan lantai ruang kelas di
Bengkayang, dan Penyediaan Informasi alur pelayanan di 9 Puskesmas mitra di
Aceh.
36
iii. Dampak lain dari proses ini adalah masyarakat mulai aktif melakukan kontrol atas
tugas-tugas pemerintah khususnya di unit layanan setempat sehingga unit layanan
terus berupaya untuk memenuhi pemberian layanan minimal menuju pemberian
layanan prima.
iv. Dari hasil program ini juga, MSF di Jember yang sudah terbentuk dapat memberikan
kontribusi dalam penyusunan RUU Keadilan Gender dengan memberikan data
pelecehan seksual di sekolah sebagai bukti bahwa masih terjadi kejahatan seksual di
sekolah meski pemerintah mengatakan bahwa kurikulum pendidikan sudah
berperspektif keadilan gender.
v. Masyarakat juga mendapatkan manfaat dari keberadaan program ini karena melalui
program Badan Pemberdayaan Perempuan dan KB jember memberikan
kesempatan kepada 2 orang dari 20 warga sekolah mitra program yg berminat
untuk mengikuti peningkatan kapasitas dan skill dibidang tata rias yang dapat
dimanfaatkan sebagai sumber ekonomi keluarga.
2. Bagi Pemerintah Setempat/Lokal (Tuliskan dampak positive yang muncul bagi pemerintah lokal di wilayah program, bisa berasal dari hasil hasil
assessment ataupun melalui observasi yang dilakukan)
Bagi pemerintah lokal, program ini telah memberikan dampak antara lain: mulai
terjadinya perubahan paradigma dari pemerintah daerah khususnya di tingkat
kabupaten/kota sampai di tingkat unit layanan dalam memandang pengaduan dari
masyarakat. Meski proses ini bukan proses yang mudah, karena beberapa unit layanan
dan SKPD di tingkat kabupaten juga masih ada yang menunjukkan resistensi atas
pengaduan yang disampaikan oleh masyarakat pengguna layanan. Hal ini terjadi di
Kabupaten Sambas, Jember dan Bener Meriah
Dari program ini, pemerintah daerah khususnya SKPD terkait mendapatkan bahan
untuk penyusunan program tahunan mereka yang lebih berorientasi pada kebutuhan
masyarakat penerima manfaat.
Di saat bersamaan pemerintah khususnya SKPD Kesehatan maupun Pendidikan di
tingkat kabupaten/kota mulai mendapatkan keyakinan bahwa mereka mampu
memberikan pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat jika mereka menerima
masukan langsung dari masyarakat pengguna layanan. Ini terlihat dari pernyataan
Kepala Dinas Kesehatan Kab. Bondowoso yang sangat terbuka dalam merespon
banyaknya pengaduan dari hasil survey ini sebagai alat motivasi bagi mereka untuk
memberika pelayanan yang lebih baik lagi ke depan.
Dengan keterlibatan pemerintah daerah dan masyarakat pengguna layanan secara
dinamis dalam Forum Pemangku Kepentingan (MSF), secara langsung membuka ruang
interaksi yang lebih intensif antara pemerintah dan masyarakat sehingga pemerintah
berpeluang untuk mendapatkan kepercayaan yang lebih kuat dari masyarakat. Ini dapat
meningkatkan dukungan politik bagi pemerintah daerah.
3. Bagi OMP (Tuliskan dampak positive yang muncul bagi OMP sendiri setelah bekerjasama dengan KINERJA dalam durasi
waktu tertentu)
Bagi Konsil LSM, dampak yang diperoleh dari program ini adalah:
37
i. Meningkatnya kemampuan Konsil LSM dalam menyelenggarakan survey pengaduan
sebagai salah satu instrumen advokasi yang dapat dikembangkan oleh lembaga-
lembaga anggota dalam mengadvokasi isu kesehatan dan pendidikan di wilayahnya.
ii. Meningkatnya kemampuan Konsil LSM dalam mengembangkan kerja sama atau
bermitra dengan pemerintah daerah dalam melakukan peningkatan pelayanan
publik. Ini sesuai dengan misi yang diemban Konsil saat ini yaitu membangun kerja
sama dengan pemerintah dan sektor swasta dalam upaya penguatan lembaga-
lembaga anggota untuk memaksimalkan peran mereka dalam memperkuat
masyarakat sipil.
iii. Bertambahnya peluang bagi Konsil LSM untuk menjadi salah satu service provider
terkait Survey Pengaduan yang dapat bermitra dengan Pemerintah daerah dan
pihak-pihak lainnya dalam menyelenggarakan Survey Pengaduan sebagai alat untuk
memperkuat partisipasi masyarakat dalam perbaikan kualitas layanan publik.
iv. Dalam hal management, program ini telah memberikan dampak sangat penting bagi
Konsil dalam memperkuat kemampuan management keuangan dan program.
C. Dampak Negatif
1. Bagi Target Populasi/Masyarakat/Komunitas (Tuliskan dampak negative yang muncul bagi masyarakat (jika ada) selama atau setelah intervensi program
KINERJA)
i. Mengingat saat ini program baru sampai pada tahapan advokasi pemenuhan janji
dan rekomendasi perbaikan layanan, maka kemungkinan besar hasil advokasi yang
dilakukan selama November 2012 sampai dengan Januari 2013 belum dapat
memberikan hasil optimal terhadap pemenuhan janji dan rekomendasi perbaikan
layanan. Dikuatirkan kepercayaan masyarakat terhadap upaya perbaikan pelayanan
publik melalui survey pengaduan akan hilang karena upaya perbaikan layanan di
tingkat unit layanan kemungkinan tidak akan terpenuhi semuanya sesuai
pengaduan mereka akibat proses advokasi yang mulai melemah pasca berakhirnya
dukungan program.
ii. Mengingat MSF baru terbentuk, maka kemampuan menjalankan fungsinya untuk
melakukan monitoring dan advokasi untuk pemenuhan janji dan rekomendasi
perbaikan layanan masih rendah. Dikhawatirkan akan banyak kendala terkait
keberlanjutan intitusi dan peran MSF.
2. Bagi Pemerintah Setempat/Lokal
(Tuliskan dampak negative yang muncul bagi pemerintah lokal (jika ada) selama atau setelah intervensi
program KINERJA)
Jika pemerintah setempat terbuka terhadap pengaduan yang diberikan masyarakat
pengguna layanan dan menindaklanjuti rekomendasi yang diberikan maka tidak ada
dampak buruk apapun yang ditimbulkan oleh program ini. Namun sebaliknya jika
pemerintah kurang memilki komitmen atau bahkan resisten terhadap rekomendasi
perbaikan layanan, maka dikhawatirkan kepercayaan masyarakat pengguna layanan
akan semakin buruk terhdap pemerintah. Pada akhirnya, ketidakpercayaan masyarakat
terhadap pemerintah daerah akan mempengaruhi dukungan politik mereka terhadap
pemerintah yang sedang menjabat.
38
3. Bagi OMP (Tuliskan dampak negative yang muncul bagi OMP (jika ada) selama atau setelah intervensi program KINERJA)
Pelaksanaan program yang belum tuntas khususnya dalam proses advokasi pemenuhan
janji dan rekomendasi perbaikan layanan sampai program ini berakhir pada 31 Januari
2013, berpeluang tidak terpenuhinya secara maksimal janji yang telah dibuat oleh unit-
unit layanan di 11 kabupaten/kota tsb.
Kondisi ini dikuatirkan akan berimplikasi negatif terhadap Konsil dan Kinerja sebagai
pelaksana program karena menurunkan kepercayaan masyarakat di 11 wilayah
program yang belum merasakan manfaat program secara lebih signifikan. Sementara
masyarakat sudah terlanjur menaruh harapan yang besar bahwa pengaduan mereka
tidak sia-sia dan akan ditindaklajuti.
III. TANTANGAN
A. Dengan KINERJA (berkaitan dengan dukungan yang diberikan oleh KINERJA melalui berbagai divisi yang dipunyai oleh KINERJA yang
secara langsung dan regular seharusnya mendampingi dan memberikan assistensi kepada OMP dalam pelaksanaan
kegiatan program)
1. Management Hibah/Grant (Tuliskan tantangan selama pelaksanaan program dalam kaitannya dengan pengelolaan grant)
Beberapa tantangan yang dirasakan terkait management hibah adalah:
Kinerja cukup terbuka dalam hal terjadinya perubahan dalam disain program yang
berakibat pada perubahan kegiatan, jadwal pelaksanaan, jumlah dan alur pendanaan
program. Namun proses amandemen yang relatif lama (hampir 2 bulan) mengakibatkan
proses pelaksanaan program tertunda.
Dalam hal pelaporan kegiatan, penyediaan form-form laporan di satu sisi sangat
membantu dalam mempermudah fasilitator kab/kota dalam membuat laporan, namun
beberapa kali perubahan form cukup menyulitkan fasilitator kabupaten/kota yang
umumnya lebih berkonsentrasi pada pelaksanaan kegiatan. Perubahan form-form
laporan tersebut seringkali tidak diperhatikan dengan baik oleh fasilitator sehingga
laporan yang diberikan ke Konsil belum lengkap karena fasiliator salah menggunakan
form.
Sistem pelaporan narasi on line juga memiliki tantangan tersendiri karena terkait
dengan tingkat stabilitas sistem dan jaringan internet. Apalagi sampai akhir periode
program masih ditemukan kelemahan dalam sistem on line ini dimana data yang sudah
di-input tidak dapat disimpan sehingga membuat pekerjaan menjadi kurang efektif.
39
2. Management Program (Tuliskan tantangan selama pelaksanaan program yang berkaitan dengan pengelolaan program (tekhnis
implementasi)
Terkait manegement program, ada beberapa tantangan yang dihadapi selama periode
program khususnya terkait efektifitas pelaksanaan kegiatan di kabupaten/kota dan
sinergi dengan OMP sektor Kesehatan atau Pendidikan di 11 kabupaten/kota.
Survey pengaduan idealnya dibuat untuk mendapatkan informasi atau masukan bagi
perencanaan program pemerintah daerah atau SKPD terkait. Dengan demikian
seharusnya Survey Pengaduan menjadi basis dari OMP sektor kesehatan atau
pendidikan dalam merancang program sebagai bentuk intervensi untuk memperkuat
kapasitas unit layanan sehingga dapat memberikan layanan terbaik mereka (minimal
memenuhi SPM). Namun dalam rancangan Kinerja, program survey pengaduan dan
OMP sektor dimulai secara bersamaan sehingga ada kegiatan yang tumpang tindih,
khususnya dengan OMP KIA yang juga melakukan base-line survey. Keadaan ini selain
menyulitkan kedua OMP, juga cukup membingungkan bagi masyarakat yang menjadi
sasaran program atau yang menjadi responden survey karena mengisi 2 angket yang
isinya hampir sama, dan keduanya dilakukan oleh Porgram Kinerja.
Di samping itu tantangan juga terkait temuan data hasil base-line survey yang berbeda
dengan hasil survey pengaduan. Hal ini menimbulkan perdebatan antara 2 OMP, seperti
yang terjadi di Sambas menyangkut data mana yang akan dijadikan patokan atau yang
lebih valid. Akhirnya disepakati bahwa data hasil Survey Pengaduan dijadikan patokan
dasar dengan pertimbangan proses dan hasil survey yang lebih reliable karena
dilakukan oleh masyarakat sendiri.
Tantangan lainnya terkait proses sinergi program dengan OMP sektor (Pendidikan dan
kesehatan) yg kurang terencana dengan baik sejak awal program sehingga
mengakibatkan kurang efisiennya pelaksanaan kegiatan dan pencapaian hasil program
di daerah. Kegiatan-Kegiatan tersebut antara lain:
a) Saling menunggu dengan OMP kesehatan untuk menyatukan Janji Perbaikan
layanan (Bondowoso, Banda Aceh, Bener Meriah, Singkawang, Sambas, Singkil)
sehingga penandatanganan terlambat.
b) Unit layanan menerima penugasan yang sangat banyak karena dalam waktu
bersamaan ada 2 OMP yang mendampingi mereka dengan pendekatan masing-
masing dan tugas yang berbeda-beda: Melawi dan Jember.
c) Format pembentukan MSF di kecamatan dan kabupaten, sebagian kurang sinergis
karena dibentuk oleh OMP yang berbeda.
d) Publikasi program survey di media massa mainstream di tingkat lokal yang
seharusnya didukung oleh OMP Media sebagai bentuk sinergi kegiatan, sebagian
besar tidak berjalan baik karena OMP Media juga memiliki kegiatan sendiri
sehingga tidak bisa optimal mendukung publikasi dari program survei pengaduan.
Tantangan juga dihadapi oleh beberapa wilayah terkait pola hubungan dan komunikasi
dengan LPSS sebagai “koordinator” program Kinerja di Kabupaten/kota sehingga
menyebabkan pelaksanaan beberapa kegiatan kurang efisien dan optimal. Komunikasi
yang kurang produktif antara lain terjadi karena ada LPSS yang kurang memahami
secara utuh alur pelaksanaan program survey pengaduan namun secara sepihak
40
memaksa melakukan perubahan pada disain kegiatan, seperti yang terjadi di Sekadau.
Ada juga LPSS yang kurang memahami pola hubungan dan pembagian tugas serta
tanggung jawab antara LPSS dengan OMP, misalnya meminta fasilitator
kabupaten/kota menjadi notulen dalam kegiatan yg dilakukan LPSS terkait tugas
sebagai local specialist . Meski kegiatan tersebut masih terkait program Kinerja namun
tambahan aktivitas ini berakibat pada bertambahnya beban kerja fasiliator
kabupaten/kota survey pengaduan yang sudah cukup padat, seperti yang terjadi di
Jember. Tantangan lain yang juga dtemui di Jember adalah adanya kekhawatiran yang
berlebihan dari LPSS sehingga membatasi fasilitator kabupaten untuk melakukan
pendekatan kepada para pihak, utamanya pemerintah untuk mendukung program.
LPSS juga terkesan terlalu khawatir terhadap pemberitaan media massa yang kritis
terhadap pemerintah di sektor yang diintervensi oleh Kinerja. Selain itu, kurangnya
pengalaman dan kemampuan leadership LPSS yang berdampak pada kinerja Tim
program juga terjadi di Melawi. Salah satu kasus yang terjadi adalah penolakan LPSS
tanpa alasan yang jelas terhadap staf pengganti fasilitator kabupaten yang telah
diseleksi oleh Dian Tama sebagai lembaga pelaksana program di Kalbar. Dalam proses
dialog yang difasilitasi oleh Bapak Muntajid dan kordinator provinsi terungkap bahwa
LPSS ternyata ingin mengusulkan calonnya sendiri yang tidak mengajukan lamaran.
Dalam dialog tersebut, LPSS juga mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang tidak
mencerminkan sikap profesionalisme, antara lain mengancam akan menggunakan
kekuasaannya sebagai LPSS untuk menggagalkan calon fasilitator kabupaten pengganti
yang sudah lolos seleksi.
3. Management Keuangan (Hibah & Cost Sharing) (Jelaskan tantangan yang muncul dan dihadapi oleh OMP selama pelaksanaan program yang berkaitan dengan
sistim dan management keuangan baik dana hibah maupun cost sharing yang di dokumentasikan)
Penggunaan sistem instalmen dana per bulan sangat membantu Konsil LSM dalam
pelaksanaan program sehingga tidak perlu menyediakan dana talangan. Namun jangka
waktu yang sangat pendek ini kadang kala menimbulkan kesulitan dalam pelaksanaan
program khususnya karena kegiaan di daerah harus tetap berjalan sementara laporan
bulanan belum disetujui Kinerja sehingga Konsil belum dapat mengirimkan dana ke
daerah. Akan lebih mempermudah bila sistem instalmen dana dari Kinerja dilakukan
minimal 3 bulanan sehingga memberikan sedikit kelonggaran dalam pengelolaan dana
dan pelaporannya.
Plafon biaya yang terbatas untuk pelaksanaan program sedikit menimbulkan kesulitan
dalam pengelolaan biaya program khusus di daerah yang unit-unit layanannya cukup
berjauhan dan sulit dijangkau seperti di Melawi, Aceh Singkil, Sambas, dan Jember.
4. Monitoring & Evaluation (Jelaskan tantangan yang dihadapi selama periode pelaksanaan program yang berkaitan dengan sistim
monitoring dan evaluasi)
Dalam pelaksanaan monitoring dan evaluasi, tantangan yang paling besar dialami Konsil
LSM adalah penyediaan bahan-bahan verifikasi kegiatan seperti notulensi pertemuan-
pertemuan informal beserta daftar hadirnya, dan foto dari sejumlah publikasi yang
ditempelkan di unit-unit layanan. Selain dari kedua hal ini, pelaksanaan monitoring dan
evaluasi dari Kinerja sudah sangat baik.
41
Kesulitan dalam menyediakan kedua bukti verifikasi kegiatan ini dikarenakan para
fasilitator yang memfasilitasi pertemuan, dialog atau diskusi tidak dapat berfungsi
sekaligus sebagai pencatat hasil pertemuan dan dokumentator sehingga banyak
dokumen tidak tersedia terkait hal ini. Tidak tersedianya dukungan fasilitas berupa alat
perekam dan kamera foto menjadi salah satu penyebabnya. Berbeda dengan kegiatan
pertemuan formal yang lebih terencana, semua dokumen dipastikan tersedia karena ada
kepanitiaan yang membantu prosesnya.
B. Dengan Pemerintah Lokal (jelaskan hambatan ataupun tantangan yang dihadapi oleh OMP selama pelaksanaan program yang berkaitan
dengan peranserta pemerintah local, kontribusi dan atensi pemerintah local dalam mensupport kegiatan yang
dilakukan oleh OMP)
Tantangan yang dihadapi terkait dengan pemerintah lokal antara lain adalah:
1) Ada pemerintah kabupaten/kota (Kab. Sekadau) tidak bersedia mengeluarkan surat
penugasan untuk surveyor dengan alasan kuatir para surveyor akan meminta honor
yang tinggi. Meski sebelumnya sudah dijelaskan bahwa pembayaran kompensasi
kepada para surveyor sudah selesai dibicarakan. Akhirnya OMP di daerah yaitu Dian
Tama yang mengeluarkan surat tugas kepada surveyor untuk menjadi pegangan jika
ada pertanyaan dari pihak-pihak yang belum mengetahui pelaksanaan program survey
pengaduan ini. Proses birokrasi yang panjang juga mengakibatkan surat tugas untuk
surveyor tidak keluar tepat waktu seperti terjadi di Bengkayang.
2) Sebagian pemerintah kabupaten/kota belum sepenuhnya berkomitmen melakukan
cost-share, seperti di Jember biaya ruang pertemuan yang seharusnya bagian dari cost-
share dari pemerintah tapi tetap dibebankan pada biaya konsumsi. Sebagian meminta
biaya transportasi untuk pejabat struktural ketika menghadiri kegiatan-kegiatan
program seperti di Sambas, Bener Meriah dan Banda Aceh
3) Kepala Dinas Kesehatan Bener Meriah kurang mendukung diawal pelaksanaan program
dengan alasan tidak mendapatkan informasi dari Bupati. Pola komunikasi di tingkat
internal pemerintah daerah berdampak langsung pada kelancaran pelaksanaan
program. Beruntung pada akhir program Kepala Dinas Kesehatan menjadi pendukung
keberlanjutan program.
4) Pergantian pejabat di tingkat unit layanan juga mengakibatkan proses pelaksanaan
kegiatan terganggu. Proses pergantian tersebut mengakibatkan kordinasi dan
kerjasama yang sudah terbangun sebelumnya harus dimulai lagi dari awal, seperti yang
terjadi di Bener Meriah. Pergantian pimpinan daerah juga terjadi di Kota Singkawang
yang mengakibatkan penandatanganan maklumat layanan sempat tertunda 2 bulan dari
rencana.
5) Pemerintah daerah meminta biaya protokoler yg cukup tinggi (sekitar 10 Juta) untuk
menghadirkan Bupati dalam kegiatan penandatanganan maklumat seperti yang terjadi
di Jember.
6) Kekhawatiran pemerintah daerah/Bupati yang berlebihan terhadap beban tanggung
jawab karena menandatangani janji perbaikan layanan mengakibatkan proses finalisasi
janji perbaikan layanan di Bondowoso menjadi sangat berbelit dan memakan waktu
yang panjang. Bupati Bondowoso baru menandatangani janji perbaikan layanan pada
awal Januari 2013 sehingga kurang cukup waktu bagi program untuk melakukan
advokasi memastikan penemuhan janji oleh unit-unit layanan. Di Sekadau, lambatnya
proses penandatanganan maklumat oleh Bupati disebabkan oleh alasan yang hampir
42
sama, dimana Kepala Dinas Pendidikan mempersoalkan redaksional janji perbaikan
yang sudah dibuat oleh unit-unit layanan. Padahal sebelumnya dokumen tersebut telah
dikirimkan ke Kepala Dinas namun tidak mendapatkan tanggapan dan masukan. Baru
ketika pelaksanaan acara penandatanganan maklumat layanan, Kepala Dinas
Pendidikan menolak menandatangani sehingga akhirnya diambil jalan tengah dengan
membuat berita acara bahwa janji layanan telh diterima oleh pemerintah daerah tapi
harus direvisi redaksionalnya sebelum ditandatangani Bupati dan Kepala Dinas
Pendidikan. Akhirnya revisi redaksional juga membutuhkan waktu panjang yaitu mulai
Oktober 2012 dan baru ditandatangani oleh Bupati pada awal Februari 2013 yang lalu.
C. Dengan Target Komunitas/Masyarakat/Institusi (jelaskan tantangan yang muncul disaat berhadapan dengan target dari project, bias jadi komunitas ataupun unit
layanan atau institusi yang menjadi target program)
Tidak ada tantangan berarti yang berasal komunitas dalam program ini. Seluruh komunitas
mendukung pelaksanaan program. Hanya sedikit tantangan yang dialami tim dalam
pelaksanaan survey yakni pembatalan keikutsertaan surveyor dari masyarakat pengguna
layanan 2 hari sebelum pelaksanaan survey. Pembatalan ini terkait jumlah kompensasi
sebagai surveyor yang lebih rendah dibandingkan dengan upah yang diterima jika dia
bekerja (di Bengkayang). Keberatan lainnya terkait biaya transportasi yang tidak memadai
bagi para surveyor yang berasal dari wilayah yang sangat terpencil seperti surveyor di salah
satu puskesmas di Sambas dan satu sekolah di Melawi yang harus melewati sungai.
Tantangan lain adalah beberapa informan dari etnis Tionghoa di Singkawang menolak untuk
disurvey. Di daerah ini juga ditemukan warga yang tidak bisa berbahasa Indonesia sehingga
diperlukan surveyor yang mampu berbahasa lokal dan berasal dari etnis yang sama.
D. Dalam Internal OMP (jika ada tantangan yang dihadapi karena adanya permasalahan internal dari OMP itu sendiri)
Tantangan terbesar adalah mendapatkan informasi dan laporan yang lengkap, secara teratur
dan didukung dokumen pelengkap dari fasiliator kabupaten/kota terkait pelaksanaan
kegiatan di lapangan. Tim fasiliator survey pengaduan yang merupakan single fighter di tiap
kabupaten/kota pada tingkat tertentu menjadi tantangan di internal Konsil LSM dalam
pelaksanaan program. Tugas fasilitator lapangan yang cukup banyak, seringkali
mengakibatkan penulisan laporan bulanan dan laporan keuangan menjadi terabaikan.
Padahal keterlambatan pelaporan berakibat pada lebih lamanya waktu pencairan dana dari
Kinerja untuk pelaksanaan program bulan berikutnya. Wadah komunikasi yang dirancang
untuk mempermudah sharing informasi ke semua tim melalui milis meski berjalan lancar
namun belum cukup efektif digunakan karena kesulitan dalam pengelolaan waktu akibat
banyaknya kegiatan yang dilakukan di lapangan.
Pergantian tim fasiliator di 3 kabupaten yaitu Aceh Singkil, Bengkayang dan Melawi pada
pertengahan pelaksanaan program cukup mengganggu akselerasi pelaksanaan program.
Koordinator provinsi harus melakukan coaching dan asistensi yang cukup untuk membantu
ke-3 fasilitator baru ini sehingga dapat melakukan tugasnya dengan baik.
E. Lainnya (Jika ada tantangan lain yang muncul selama pelaksanaan program yang tidak termasuk dalam 4 kategory di atas)
43
IV. PEMBELAJARAN/LESSON LEARN (tuliskan apa yang dapat dijadikan sebagai pembelajaran dari implementasi program yang dilakukan oleh OMP selama periode
kontrak dengan KINERJA)
Pelaksanaan program selama satu tahun ini telah memberikan banyak pembelajaran bagi Konsil LSM
sebagai organisasi penyelenggara program. Dua pembelajaran yang paling penting adalah:
1. Komitmen yang kuat dari pemerintah daerah merupakan prasyarat utama untuk keberhasilan
program survey pengaduan. Pelaksanaan kegiatan ini harus berangkat dari kesadaran penuh
dari pemerintah daerah bahwa program ini bertujuan untuk memenuhi hak warganegara atas
pelayanan publik yang berkualitas dan terjangkau yang membutuhkan masukan/pengaduan dari
mereka. Komitmen tersebut akan memastikan pemerintah daerah memenuhi maklumat
perbaikan layanan tanpa perlu tekanan publik yang kuat. Masyarakat cukup berpartisipasi
melakukan pengawasan yang akan membantu pemerintah dalam upaya pemenuhan janji
tersebut. Sebaliknya jika komitmen dari pemerintah daerah tidak kuat sejak awal maka
kemungkinan besar survei ini hanya akan menjadi hasil riset semata tanpa berkontribusi pada
peningkatan kualitas pelayanan publik di daerah. Bahkan dapat membuat masyarakat semakin
tidak mau terlibat dan peduli dengan peningkatan kualitas pelayanan publik karena pengaduan
yang disampaikan tidak ditindaklanjuti.
2. Perlu memformulasikan secara lebih matang konsep dan srategi pembentukan Multi stakeholder
forum (MSF) sejak awal program dengan belajar dari pengalaman-pengalaman keberhasilan dan
kegagalan pengembangan MSF dalam program sebelumnya. Pengalaman pembentukan MSF
dalam program ini menambah pembelajaran bahwa MSF yang dapat berfungsi dan berkelanjutan
membutuhkan individu yang berkomitmen atau yang merasakan langsung dampak positif dari
program, kelompok-kelompok/institusi yang peduli dan fokus pada isu yang akan
diperjuangkan, kesepakatan tentang tujuan dan strategi oleh seluruh pihak yang terlibat dalam
MSF, sistem yang sudah mulai terkonsolidasi dan aktifitas MSF secara finansial terjangkau bagi
pihak-pihak yang ingin terlibat. Harus diakui bahwa MSF yang sudah terbentuk dalam program
ini belum terkonsolidasi dengan baik dan masih membutuhkan penguatan, antara lain karena
periode pelaksanaan program yang relatif singkat.
V. STRATEGY KEBERLANJUTAN DAN REPLIKASI (Bagaimana strategy yang dibuat oleh OMP untuk memastikan keberlanjutan program setelah ditinggalkan oleh OMP, mungkin
bisa dijelaskan apakah OMP tersebut ada membuat exit strategy plan atau tidak, jika tidak apa yang dilakukan? Dan bagaimana
caranya agar program menjadi lebih sustain dan dapat direplikasikan diwilayah lain)
Untuk memastikan keberlanjutan program ini, Konsil LSM telah merumuskan secara bersama-sama
dengan seluruh fasiliator kabupaten/kota langkah-langkah yang dapat dilakukan baik oleh fasiliator
secara pribadi, organisasi mitra pelaksana (anggota Konsil LSM) di daerah maupun oleh sekretariat
Konsil LSM di Jakarta setelah program berakhir.
1. Adanya komitmen dari organisasi mitra pelaksana di daerah yaitu Dian Tama di Kalbar, LPKP di
Jatim, dan Sepakat di Aceh untuk tetap memberikan pendampingan kepada MSF di kabupaten-
kabupaten minimal terlibat dalam pertemuan mereka setiap 3 bulan setelah program berakhir.
Dengan demikian diharapkan MSF dapat memantau pelaksanaan janji dan rekomendasi serta
melakukan advokasi.
44
2. Sejak awal program telah mendorong pemerintah daerah untuk terlibat secara aktif dalam MSF
sehingga mereka dapat menjadi penanggung jawab untuk mendukung pelaksanaan kegiatan MSF
setelah program berakhir.
3. Mendorong fasilitator kabupaten/kota yang berdomisili diwilayah program, untuk terlibat aktif
dalam MSF sehingga dapat membantu memperkuat MSF dalam melakukan tugas dan fungsinya
dengan baik. Praktek ini, salah satunya telah dilakukan di Jember dan terbukti hasilnya sangat
positif sehingga MSF di Jember dapat berfungsi baik dan mulai mendapatkan kepercayaan dari
banyak pihak.
VI. REKOMENDASI (tuliskan apa yang menjadi rekomendasi dari hasil program yang dilaksanakan oleh OMP, sebagai masukkan bagi penerapan
program serupa diwilayah lain yang mempunyai karakteristik yang sama. Rekomendasi dapat ditujukan kepada beberapa
komponen dibawah ini)
A. Bagi KINERJA 1) Pentingnya melanjutkan upaya penguatan MSF yang baru terbentuk untuk melakukan
pemantauan dan advokasi pemenuhan janji dan rekomendasi perbaikan layanan serta
mendorong replikasi survey di tingkat kabupaten/kota untuk perbaikan pelayanan
publik.
2) Perlunya dukungan advokasi di tingkat nasional untuk mendorong Kementrian PAN-RB
memberikan reward kepada pemerintah daerah yang sudah melaksanakan survey
pengaduan dan punishment kepada yang tidak melaksanakannya.
3) Pentingnya bekerjasama dengan pemerintah daerah dan Kementrian PAN-RB untuk
memonitor pelaksanaan replikasi Survey pengaduan oleh pemerintah daerah agar tidak
hanya sekedar melakukan survey saja tetapi betul-betul berkomitmen untuk memenuhi
janji dan rekomendasi perbaikan layanan sehingga tercapai tujuan PermenPAN
13/2009.
4) Penting mengantisipasi implikasi yang akan timbul akibat kegiatan yang belum tuntas
dan belum mencapai tujuan program yaitu perbaikan pelayanan publik di unit-unit
layanan saat program sudah berakhir.
5) Dalam hal manajemen hibah penting juga mempertimbangkan pengadaan mekanisme
yang lebih sederhana sehingga proses amandemen kerja sama tidak mengganggu
pelaksanaan kegiatan di lapangan.
6) Terkait manajemen keuangan, Kinerja perlu mempertimbangkan untuk
memperpanjang jangka waktu installment dana ke lembaga mitra program dari sistem
bulanan menjadi 3-6 bulan sekali. Sistem ini kemungkinan akan memberi keleluasaan
kepada OMP dalam melakukan pengelolaan dana khususnya jika pelaksanaan kegiatan
yang membutuhkan pendanaan besar dilakukan dalam jangka waktu berdekatan.
Terkait dengan manajemen keuangan, Kinerja diharapkan lebih tegas dalam penerapan
kebijakan cost sharing dengan pemerintah sehingga tidak terjadi standar ganda antar
OMP yang mengakibatkan gangguan dalam pelaksanaan program di daerah. Contoh:
Konsil sejak awal sudah ketat tidak memberikan pembiayaan kepada semua pejabat
struktural pemerintah yang hadir dalam kegiatan sebagai bagian dari komitmen cost
sharing Pemda, namun hal ini menjadi masalah ketika OMP yang lain tidak konsisten
menjalankannya sehingga tim Konsil di daerah ditegur oleh LPSS.
45
7) Perlu mempertimbangkan disain program yang lebih terintegrasi sehingga kerja sama
antar para pihak terkait akan lebih mudah karena dibangun sejak awal.
8) Berdasarkan pengalaman pelaksanaan program ini, periode program selama 1 tahun
tidak memadai untuk mencapai output dan tujuan dalam desain program secara
maksimal. Kegiatan-kegiatan penguatan MSF, monitoring dan advokasi membutuhkan
waktu yang lebih lama, diperkirakan dibutuhkan waktu 2 tahun untuk melaksanakan
seluruh kegiatan.
B. Bagi Pemerintah
Komitmen dari pemerintah daerah untuk bersungguh-sungguh memperbaiki atau
meningkatkan kualitas pelayanan publik masih perlu diperkuat secara terus menerus.
Keseriusan pemerintah daerah ini sangat penting bagi lancar dan suksesnya pelaksanaan
survey pengaduan dalam upaya mewujudkan kualitas pelayanan publik yang semakin baik
sesuai Permenpan Nomor 13 Tahun 2009. Tanpa kesadaran pemerintah daerah bahwa
pelayanan publik yang baik adalah hak pengguna layanan sebagai warganegara dan
menjadikan pengaduan pengguna layanan sebagai data yang autentik untuk menindaklanjuti
perbaikan layanan maka pelaksanaan survey pengaduan tidak akan berkontribusi positif
bagi masyarakat Indonesia.
C. Lainnya
46
Referensi:
http://id.scribd.com/doc/79192815/Statistik-Daerah-Kabupaten-Melawi-2011
http://sekadaukab.bps.go.id/publikasi-2/kabupaten-sekadau-dalam-angka-2012/
http://id.scribd.com/doc/79813077/Statistik-Daerah-Kabupaten-Bengkayang-2011
http://sambaskab.bps.go.id/DigitalBook/statda2012/index.html
http://kalbarprov.go.id/statistik/2010/FILE/KDA2010.pdf
top related