komisi yudisial
Post on 29-Jul-2015
84 Views
Preview:
TRANSCRIPT
POLEMIK LEGITIMASI KOMISI YUDISIAL
A. Pendahuluan
Ibarat musuh bebuyutan laksana air dan minyak, ‘perseteruan’
Komisi Yudisial (KY) dengan Mahkamah Agung (MA) sampai saat ini belum
juga menemukan titik terang perdamaian. Belum ada satu pun rekomendasi
dari Komisi Yudisial selama 11 bulan pertama usianya yang diikuti oleh
Mahkamah Agung. Bahkan, rekomendasi yang seharusnya bersifat mengikat
pun, yaitu teguran tertulis, tetap tidak dihiraukan.
Komisi Yudisial memanfaatkan momentum itu dengan gencar
memeriksa hakim termasuk hakim agung. Rekomendasi kian banyak
ditelurkan, meski kadang mendapat protes dari para hakim karena dianggap
mencampuri wilayah mereka. Mereka merasa independensinya selaku
pelaksana kekuasaan kehakiman terganggu. Hakim dikabarkan menjadi takut
memutus perkara.
Konflik MA-Komisi Yudisial menjadi terbuka ketika pers
membocorkan nama-nama hakim agung yang dilaporkan masyarakat sebagai
hakim bermasalah. Kasus itu dibawa ke polisi dan berbuntut pada permintaan
uji materi UU Komisi Yudisial oleh 31 hakim agung. Intinya permintaan uji
materi tersebut adalah keengganan hakim agung diawasi Komisi Yudisial.
Mereka gerah karena merasa diintervensi.
Di saat perseteruan itu terlanjut, muncul putusan Mahkamah
Konstitusi (MK) yang membatalkan beberapa kewenangan Komisi Yudisial.
Banyak kalangan berpendapat, putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
005/PUU-IV/2006 itu menjadi anti klimaks bagi KY untuk melanjutkan
pertarungan. Atau kalau diibaratkan pertandingan tinju paling tidak putusan
tersebut menjadi pukulan yang sangat telak pada titik pertahanan hingga saat
ini KY sempat sempoyongan dan terpaksa meminta perpanjangan waktu untuk
dapat melanjutkan ronde berikutnya.
2
Betapa tidak putusan MK sungguh di luar dugaan. Awalnya, KY
punya dua kewenangan. Pertama, mengusulkan pengangkatan Hakim Agung
kepada DPR. Kedua, menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta
menjaga perilaku hakim. Namun, setelah putusan MK beberapa waktu lalu,
praktis KY hanya dapat menjalankan fungsi yang pertama. Padahal
kewenangan kedua itulah yang menjadi langkah awal bagi KY untuk memulai
kiprahnya.
B. Sejarah Pembentukan Komisi Yudisial
Berawal pada tahun 1968 muncul ide pembentukan Majelis
Pertimbangan Penelitian Hakim (MPPH) yang berfungsi untuk memberikan
pertimbangan dalam mengambil keputusan akhir mengenai saran-saran dan
atau usul-usul yang berkenaan dengan pengangkatan, promosi, kepindahan,
pemberhentian dan tindakan/hukuman jabatan para hakim. Namun ide tersebut
tidak berhasil dimasukkan dalam undang-undang tentang Kekuasaan
Kehakiman.
Baru kemudian tahun 1998-an muncul kembali dan menjadi wacana
yang semakin kuat dan solid sejak adanya desakan penyatuan atap bagi hakim,
yang tentunya memerlukan pengawasan eksternal dari lembaga yang mandiri
agar cita-cita untuk mewujudkan peradilan yang jujur, bersih, transparan dan
profesional dapat tercapai.
Seiring dengan tuntutan reformasi peradilan, pada Sidang Tahunan
MPR tahun 2001 yang membahas amandemen ketiga Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, disepakati beberapa perubahan dan
penambahan pasal yang berkenaan dengan kekuasaan kehakiman, termasuk di
dalamnya Komisi Yudisial yang berwenang mengusulkan pengangkatan
hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan
menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
Berdasarkan pada amandemen ketiga itulah dibentuk Undang-Undang Nomor
3
22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial yang disahkan di Jakarta pada tanggal
13 Agustus 2004.
Setelah melalui seleksi yang ketat, terpilih 7 (tujuh) orang yang
ditetapkan sebagai anggota Komisi Yudisial periode 2005-2010 melalui
Keputusan Presiden tanggal 2 Juli 2005. Dan selanjutnya pada tanggal 2
Agustus 2005, ketujuh anggota Komisi Yudisial mengucapkan sumpah
dihadapan Presiden, sebagai awal memulai masa tugasnya.
C. Tujuan KY
Kiranya perlu dipahami bahwa pembentukan KY selain bermaksud
menciptakan sebuah lembaga pengawas dalam kekuasaan yudikatif agar
tercipta proses check and balances, juga bermakna untuk menjaga dan
menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim, seperti
ditekankan pada Pasal 24B ayat (1) UUD. Di sejumlah negara, keberadaan
komisi semacam ini sudah merupakan hal yang jamak dan dibutuhkan,
meskipun berbeda pada pelaksanaan fungsi dan perannya.
Di Afrika Selatan misalnya, KY memberikan rekomendasi untuk
pemberhentian hakim, mengajukan calon ketua MA, dan memberikan
masukan dalam pengangkatan ketua/wakil ketua MK. Di negara-negara Eropa
Selatan seperti Perancis, Italia, dan Spanyol, kewenangan komisi ini jauh lebih
signifikan karena memiliki kewenangan dalam rekrutmen hakim, mutasi,
promosi, pengawasan dan pendisiplinan hakim.
Kekuasaan Kehakiman yang mandiri dalam rangka mewujudkan
keadilan melalui penegakan hukum di Indonesia, merupakan salah satu
harapan dalam cita – cita bangsa. Namun dalam perkembangannya upaya
tersebut gagal dikarenakan tindakan para mafia peradilan.
Kejahatan korupsi-suap yang telah membudaya dan mengakar hampir
ke semua bidang kehidupan, mengakibatkan Lembaga Peradilan yang
merupakan benteng terakhir bagi pencari keadilan pun menjadi pelindung atau
4
pelaku praktek kotor ini, tindakan mafia peradilan dalam bentuk suap terhadap
oknum – oknum hakim ini sangat bertentangan dengan prinsip negara hukum
dan konsep pemerintahan yang bersih. Akibat mafia peradilan tak jarang
dalam menangani perkara – perkara apapun oknum hakim sering mengabaikan
asas “equality before the law”.
Target utama kelompok mafia peradilan adalah putusan hakim, maka
hakim merupakan sasaran utamanya. Sebelum memangku jabatan, seorang
hakim harus bersumpah atau berjanji menurut agamanya sesuai Pasal 30 UU
Kekuasaan Kehakiman. Meskipun sumpah dan janji yang begitu indah untaian
kata – katanya, tetapi alangkah disayangkan apabila itu diingkari. Selama ini
pengawasan terhadap hakim dilakukan oleh Mahkamah Agung (MA) sesuai
Pasal 32 UU No. 5 Tahun 2004 tentang MA. Tumbuh suburnya mafia
peradilan itu menandakan pengawasan yang dilakukan oleh Mahkamah Agung
itu gagal, sehingga atas dasar itu dibentuklah Komisi Yudisial (KY)
berdasarkan Pasal 24B UUD RI 2945, di mana memiliki kewenangan atribusi
yakni pengangkatan Hakim Agung dan pengawasan dalam rangka menjaga
dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
Sementara, dalam situs resmi Komisi Yudisial, disebutkan tujuan
dibentuknya lembaga tersebut, yaitu:
1. Agar dapat melakukan monitoring secara intensif terhadap
penyelenggaraan kekuasaan kehakiman dengan melibatkan unsur-unsur
masyarakat.
2. Meningkatkan efisiensi dan efektivitas kekuasaan kehakiman baik yang
menyangkut rekrutmen hakim agung maupun monitoring perilaku hakim.
3. Menjaga kualitas dan konsistensi putusan lembaga peradilan, karena
senantiasa diawasi secara intensif oleh lembaga yang benar-benar
independen.
4. Menjadi penghubung antara kekuasaan pemerintah dan kekuasaan
kehakiman untuk menjamin kemandirian kekuasaan kehakiman.
5
D. Dasar Hukum Dibentuknya Komisi Yudisial
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Pasal 24A ayat (3):
Calon hakim agung diusulkan Komisi Yudisial kepada Dewan Perwakilan
Rakyat untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai
hakim agung oleh Presiden.
Pasal 24B:
(1) Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan
pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam
rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran
martabat,serta perilaku hakim.
(2) Anggota Komisi Yudisial harus mempunyai pengetahuan dan
pengalaman di bidang hukum serta memiliki integritas dan
kepribadian yang tidak tercela.
(3) Anggota Komisi Yudisial diangkat dan diberhentikan oleh Presiden
dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
(4) Susunan, kedudukan, dan keanggotaan Komisi Yudisial diatur dengan
undang-undang.
2. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
Pasal 34:
(1) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara pengangkatan hakim agung
dilakukan oleh Komisi Yudisial yang diatur dengan undang-undang.
(3) Dalam rangka menjaga kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku
hakim agung dan hakim, pengawasan dilakukan oleh Komisi Yudisial
yang diatur dalam undang-undang.
3. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial
E. Kritik terhadap Komisi Yudisial
6
Sebagian kalangan menilai, Komisi Yudisial berperan besar
menciptakan resistensi dari Mahkamah Agung (MA) yang tidak
‘menghiraukan’ beberapa rekomendasi yang dikeluarkan KY. Ada dua
persoalan besar yang ditengarai beberapa pihak, yaitu salah dalam melakukan
pendekatan dan rekomendasi yang kebablasan. Keduanya bermuara pada tidak
adanya yurisdiksi dalam lingkup pengawasan di antara kedua lembaga.
Kritik terhadap pendekatan yang dilakukan Komisi Yudisial
diungkapkan Ketua Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Trimedya Panjaitan
(Fraksi PDI-P, Sumatera Utara II). Di awal keberadaannya, kata Trimedya,
Komisi Yudisial seharusnya menjalin komunikasi yang bagus dengan MA.
Namun ini tidak dilakukan, Komisi Yudisial justru buru-buru mengeluarkan
gagasan yang mendapat perlawanan MA, yaitu kocok ulang hakim agung.
Ide itu dikemukakan Ketua Komisi Yudisial Busyro Muqoddas saat
menghadap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada Rabu, 4 Januari 2006.
Gagasan itu dipicu tertangkapnya lima pegawai MA dalam kasus suap
Probosutedjo. Dalam pandangan Komisi Yudisial, kasus tersebut
menunjukkan betapa lemahnya kepemimpinan dan manajemen di MA. Demi
pembaruan peradilan, seleksi ulang terhadap 49 hakim agung yang ada saat itu
perlu dilakukan (Kompas, 5/1/2006).
Beberapa kalangan bahkan lebih ekstrem, menyebut Komisi Yudisial
lebih mirip dengan lembaga swadaya masyarakat. Pendekatan yang digunakan
Komisi Yudisial cenderung mirip dengan pendekatan LSM, bukan pendekatan
sebuah lembaga negara. Sebagaimana dilakukan LSM, penggalangan pendapat
umum melalui media massa menjadi sebuah model perjuangan.
Praktisi hukum di Yogyakarta Kamal Firdaus dalam sebuah
kesempatan mengemukakan, diabaikannya rekomendasi Komisi Yudisial bisa
membuat komisi baru yang lahir dari rahim Perubahan UUD 1945 ini hanya
punya legalitas, tapi tak punya legitimasi (Kompas, 14/6).
Menanggapi kritik yang masuk, anggota Komisi Yudisial Soekotjo
Soeparto tetap tenang. Banyak jalan menuju ke Roma, demikian kilah anggota
Komisi Yudisial Soekotjo Soeparto. Bagi dia, pendekatan hanya bagian dari
7
proses secara keseluruhan. Yang terpenting dari semua proses tersebut adalah
keluaran yang dihasilkan. Resistensi MA tidak ada kaitannya dengan
pendekatan yang dilakukan oleh Komisi Yudisial. “Itu soal lain,” kata
Soekotjo.
Direktur Indonesia Court Monitoring (ICM) Denny Indrayana
sependapat jika selama ini model pendekatan yang digunakan Komisi Yudisial
lebih mirip LSM. Namun, di satu sisi, meniru kerja LSM tidak sepenuhnya
buruk. Dalam beberapa hal, kata Denny, Komisi Yudisial dapat mengadopsi
model kerja LSM seperti gaya kerja yang investigatif, tidak formal prosedural,
tak birokratis, dan sebagainya.
F. Dicabutnya Kewenangan Pengawasan Hakim Komisi Yudisial
Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menganulir beberapa
pasal yang tercantum dalam UU Nomor 22/2004 tentang Komisi Yudisial
(KY) menunjukkan bahwa kewenangan pengawasan komisi itu ditiadakan.
Untuk itu, pemerintah dan DPR harus segera merevisi UU 22/2004 itu dan
mempertegas fungsi pengawasan KY.
MK telah menganulir Pasal 13 huruf b UU 22/2004, yang berbunyi,
“Komisi Yudisial mempunyai wewenang menegakkan kehormatan dan
keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim”.
Pakar hukum tata negara Prof HAS Natabaya mengatakan, MK telah
membatalkan kewenangan KY terkait penegakan kehormatan dan keluhuran
martabat serta menjaga perilaku hakim. Sehingga, kewenangan pengawasan
KY terhadap hakim ditiadakan.
Akibat dari putusan MK itu, ujarnya, KY tidak memiliki kewenangan
pengawasan terhadap para hakim. Sehingga, pemeriksaan yang dilakukan KY
selama ini terhadap para hakim dapat dipertanyakan keabsahannya.
“Pemeriksaan eksternal oleh KY tidak bisa berjalan, karena dasar
hukumnya tidak ada. Pemeriksaan akan menjadi sulit jika hanya dilakukan
8
secara internal melalui Mahkamah Agung (MA), karena ditakutkan belum
cukup objektif dan transparan,” kata Natabaya kepada SP di Jakarta, Rabu
(5/5).
Mantan hakim konstitusi itu menyarankan, KY harus mendesak DPR
agar RUU tentang KY segera dibahas dan disahkan secepat mungkin. Hal ini
dimaksudkan agar kerja lembaga negara yang bersifat independen ini tidak
terbentur oleh ketiadaan dasar hukum.
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Hassanudin Makassar,
Sulawesi Selatan, Achmad Ali mengatakan, KY tetap berwenang memeriksa
para hakim, namun ada beberapa keterbatasan dalam menjalankan fungsi itu,
yang tidak boleh dilanggar oleh komisi tersebut.
“KY tetap bisa melakukan pengawasan sepanjang tidak
mengintervensi putusan pengadilan,” katanya. Dikatakan, KY masih berhak
memberikan rekomendasi putusan atau hukuman kepada MA mengenai hakim
yang melakukan perbuatan tercela setelah melakukan penyelidikan terlebih
dulu.
G. Komisi Yudisial Paska Dicabutnya Kewenangan Pengawasan Hakim
Komisi Yudisial (KY) memutuskan untuk tidak menerima lagi
pengaduan masyarakat berkaitan dengan pengawasan terhadap perilaku
hakim. KY hanya menindaklanjuti pengaduan yang sudah masuk dengan
melaporkannya ke Mahkamah Agung (MA), Presiden, dan DPR. Sayang, KY
terlalu emosi menanggapi putusan MK, padahal Pasal 22 ayat (1) huruf a UU
Nomor 22/2004 tentang Komisi Yudisial yang mengatur bahwa KY dapat
menerima pengaduan masyarakat dan tidak dapat dibatalkan MK.
Meskipun pasal menerima pengaduan masyarakat ada kaitannya
dengan pasal-pasal pengawasan yang dinyatakan tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat, tetapi kalau ada warga masyarakat yang mengadu ke KY
mestinya tetap dilayani. Apalagi konstitusi memberi kewenangan bagi KY
9
untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta
perilaku hakim. Agar tidak terjadi kekosongan oleh para pencari keadilan yang
terzalimi oleh perilaku hakim, KY perlu tetap menerima pengaduan sambil
menunggu revisi UU KY, atau kalau Presiden berani mengeluarkan peraturan
pemerintah pengganti undang-undang (Perppu).
Pertama, KY tidak berwenang mengawasi hakim MK, termasuk
hakim agung yang bukan hakim karier dan hakim ad hoc. MK secara arogan
telah mengabaikan prinsip check and balances yang menjadi roh bangunan
kelembagaan negara dengan tidak rela diawasi dan dijaga kehormatan dan
perilakunya oleh lembaga lain. Padahal, pengawasan dari dalam tidak
maksimal.
Keberadaan hakim konstitusi yang tidak termasuk dalam pengertian
hakim yang dapat diawasi perilaku etiknya oleh KY merupakan putusan
diskriminatif. Para hakim konstitusi tidak digolongkan sebagai hakim seperti
hakim MA dengan alasan demi independensi dalam memeriksa dan
menjatuhkan putusan. Saat ini, MK adalah lembaga negara yang paling steril
dari sentuhan pengawasan dari luar dirinya (pengawasan ekstern). Menurut
MK, pengawasan atas pelaksanaan kode etik hakim konstitusi dilakukan
Majelis Kehormatan sesuai dengan ketentuan Pasal 23 UU MK sebagai
pelaksanaan Pasal 24C ayat (6) UUD 1945.
Kedua, KY tidak berwenang mengawasi hakim yang berkaitan
dengan teknis yudisial, yaitu mengenai putusan hakim atas suatu perkara.
Dalam pertimbangan hukumnya, Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 menyiratkan
bahwa KY hanya dapat mengawasi pelaksanaan kode etik dan kode perilaku
hakim dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan hakim. MK
menilai, hal tersebut menyebabkan adanya penafsiran yang tidak tepat, bahwa
penilaian perilaku dilakukan dengan penilaian putusan.
Putusan MK yang mencabut pengawasan KY terhadap dirinya
merupakan tindakan yang arogan dan mengabaikan prinsip check and
balances. MK secara sistematis melemahkan fungsi dan peran KY dengan
cara "membonsai" kewenangan KY dalam mengawasi perilaku hakim. Praktek
10
mafia peradilan diperkirakan akan semakin menjadi-jadi karena perilaku
hakim tidak lagi diawasi dan dikontrol oleh lembaga lain (KY), tetapi hanya
diawasi sendiri oleh temannya sesama hakim.
H. Sumber Masalah Dicabutnya Kewenangan Pengawasan Komisi Yudisial
1. Norma Kabur dan Konflik Norma.
Adapun kelemahan dari P asal 24B UUD RI 1945 terdapat norma
kabur (unclear norm), pada kata “hakim” dan “wewenang lain”.
Konsekuensi norma kabur dari Pasal 24B UUD RI 1945 tersebut
menimbulkan kesulitan dalam penerapan norma itu sendiri. Apabila dikaji
dengan metode interpretasi sistematis maka, menurut UU KY hakim
adalah “hakim agung dan hakim pada badan peradilan di semua
lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung” (tidak ada
MK karena sesuai putusan MK No. 5 Tahun 2006). Selain itu hakim
menurut Pasal 31 UU Kekuasaan Kehakiman, pejabat yang melaksanakan
tugas kekuasaan kehakiman yang diatur dalam UU. Pasal 24 ayat (2) UUD
RI Tahun 1945 dan Pasal 2 UU Kekuasaan Kehakiman menyatakan
“kekuasaan kehakiman dilakukan sebuah MA dan badan peradilan umum,
lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan
peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah MK.”
Konsep “wewenang lain”, merupakan konsep kabur karena
definisinya mempunyai banyak pengertian. Dengan demikian, kewenangan
Komisi Yudisial sebagaimana terdapat dalam Pasal 24B UUD RI 1945
dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat,
serta perilaku hakim bukan hanya pengawasan saja, tetapi dapat juga
diartikan sebagai tindakan-tindakan lain.
Selain kekaburan norma, terdapat antinomi (konflik norma
hukum), sehingga menimbulkan dualisme antara KY dan MA terhadap
pengawasan perilaku hakim. Menurut mantan Ketua MA, almarhum
11
Purwoto S. Gandasubrata, pelaksanaan pengawasan MA (di luar fungsi
peradilan) di antaranya; tentang masalah teknis peradilan (yudisial),
perilaku hakim dan petugas kepaniteraan, serta tentang administrasi
peradilan.( Reksodiputro, 2006:54)
Dalam Buku Cetak Biru Pembaharuan Mahkamah Agung RI,
teknis yudisial adalah kemampuan menangani perkara, penyusunan berita
acara persidangan, pembuatan dan pengisian daftar kegiatan persidangan,
tenggang waktu penyelesaian perkara, penyelesaian minutasi, kualitas
putusan dan eksekusi. Administrasi peradilan yaitu prosedur penerimaan
perkara, tertib pemeriksaan buku keuangan perkara, tertib kearsipan
perkara, tertib pembuatan laporan perkara dan eksekusi putusan. Aspek
perilaku dibedakan menjadi perilaku dalam kedinasan dan di luar
kedinasan. Dalam kedinasan obyek yang diawasi antara lain kesetiaan,
ketaatan, prestasi kerja, tanggung jawab, kejujuran, kerjasama, prakarsa,
kepemimpinan. Aspek di luar kedinasan yaitu tertib keluarga dan
hubungan dengan masyarakat.( Widjojanto, 2006:122)
Seharusnya kewenangan dalam mengawasi perilaku hakim
merupakan kewenangan dari KY. Hal ini didasari oleh asas Lex Posterior
Derogat Legi Priori UU KY atas UU MA. Untuk itu MA hanyalah
mengawasi aspek teknis yudisial dan aspek administrasi peradilan. Selain
itu Bagir Manan menyatakan, “Mahkamah Agung secara eksplisit
menyatakan bahwa kewenangan pengawasan yang menjadi lingkup
otoritasnya adalah kewenangan di bidang teknis yudisial dan administratif
serta pengawasan atas sikap dan perilaku hakim di dalam dan di luar
pengadilan menjadi bagian dari otoritas Komisi Yudisial. (Bagir Manan,
2003:96).
2. Lembaga Negara
Kedudukan Komosi Yudisial (KY), secara akademik masih
menimbulkan kontroversi yang berkaitan dengan kedudukan KY sebagai
12
lembaga negara. “Dalam putusan Mahkamah Konstitusi, No. 005/PUU-
IV/2006 pengaturan lembaga – lembaga dalam UUD 1945, tidaklah
dengan sendirinya mengakibatkan lembaga – lembaga negara yang
disebutkan dalam UUD 1945 tersebut, termasuk Komisi Yudisial, harus
dipahami dalam pengertian lembaga (tinggi) negara sebagai lembaga
utama (main organs).
Menurut mantan Ketua MA RI, Bagir Manan, “KY hanyalah
auxiliary agency yang melakukan fungsi pengawasan kehakiman.” (Bagir
Manan, 2006). Menurut Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, Komisi Yudisial
adalah “lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang –
Undang Dasar. Pendapat Mahkamah Konstitusi (MK) dan mantan ketua
MA itu tidak sesuai dengan perubahan UUD 1945 yang menghapuskan
klasifikasi Lembaga Tertinggi dan Tinggi Negara. Setelah amandemen
UUD, tidak ada lagi hubungan antar lembaga negara yang bersifat
hierarkis.
Dalam putusan MK juga dinyatakan,”hubungan antara KY
sebagai supporting organ dan MA sebagai main organ dalam bidang
pengawasan perilaku hakim seharusnya dipahami sebagai hubungan
kemitraan (partnership) tanpa mengganggu kemandirian masing-masing.
Padahal, secara logika relasi kemitraan seharusnya mensyaratkan
adanya posisi yang sejajar. Sangatlah tidak mungkin suatu pengawasan itu
berjalan efektif ketika pengawas dan obyek yang diawasi memiliki
hubungan kemitraan. Dengan demikian, kedudukan antara KY, MA, dan
MK sejajar meskipun tanggung jawab, fungsi dan tugasnya Mahkamah
Agung lebih luas daripada Komisi Yudisial.
UUD RI 1945 mempertegas bahwa KY bagian dari kekuasaan
kehakiman. Hal ini dibuktikan dengan tercantumnya KY dalam Bab IX
UUD 1945 tentang Kekuasaan Kehakiman. Namun KY bukan sebagai
penyelenggara kekuasaan kehakiman. Sesuai Pasal 24 ayat (2) UUD RI
1945 dan Undang – Undang Kekuasaan Kehakiman tepatnya Pasal 2 serta
Pasal 10 ayat (1).
13
3. Makna ‘dalam rangka’
Masalah yang selanjutnya adalah masalah yang berkaitan dengan
penggunaan ungkapan ‘dalam rangka’. Dengan adanya frase ‘dalam
rangka’ pada Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 Mahkamah Konstitusi
berpendapat bahwa sifat kewenangan lain Komisi Yudisial adalah
komplementer. Artinya, tugas menjaga dan menegakkan kehormatan,
keluhuran martabat, serta perilaku hakim itu bukan merupakan
kewenangan eksklusif yang hanya dimiliki oleh Komisi Yudisial saja.
Dalam hal ini Mahkamah Agung sebagai pengadilan negara tertinggi juga
mempunyai fungsi pengawasan yang meliputi pengawasan terhadap teknis
yudisial, pengawasan administratif, maupun pengawasan terhadap perilaku
hakim (Wikrama Waskitha, SPPRI 2006 (III) hlm. 141).
Selanjutnya Mahkamah Konstitusi juga berpendapat bahwa,
seandainya pun yang dimaksud sebagai kewenangan lain Komisi Yudisial
itu diartikan sepenuhnya sebagai pengawasan, maka hal itu pun hanyalah
sebagian saja dari ruang lingkup pengawasan, yakni yang menyangkut
perilaku hakim. Hakim yang dimaksud adalah dalam pengertian sebagai
individu di luar dan di dalam kedinasan, agar hakim memiliki kehormatan,
keluhuran martabat, serta perilaku yang baik.
Lebih jauh disebutkan pula bahwa fungsi Komisi Yudisial seperti
tersebut di atas ini adalah berkait dengan wewenang utama Komisi
Yudisial, yaitu untuk merekrut dan mengusulkan pengangkatan hakim
agung, yang dipersyaratkan harus memiliki integritas dan kepribadian
yang tidak tercela, adil, profesional, dan berpengalaman di bidang hukum.
Pengertian ‘dalam rangka’ sebagai bagian wewenang pengawasan
juga diartikan oleh Mahkamah Konstitusi sebagai menunjukkan adanya
kewajiban lain yang sama pentingnya yaitu tugas melakukan pembinaan
yang menurut Mahkamah Konstitusi mempunyai arti sebagai usaha,
tindakan, dan kegiatan yang dilakukan secara efisien dan efektif untuk
meningkatkan profesionalisme hakim sepanjang menyangkut pelaksanaan
14
kode etik. Pasal 24B ayat (1) UUD 1945, dengan rumusan yang
terkandung di dalamnya seharusnya tidak semata-mata diartikan sebagai
pengawasan melainkan juga pembinaan etika profesional hakim untuk
memenuhi amanat Pasal 24A ayat (2) UUD 1945.
Dengan uraian dan alasan di atas, maka Pasal 24B ayat (1) UUD
1945 tersebut sepanjang mengenai “kewenangan lain dalam rangka
menjaga dan menegakkan kehormata, keluhuran martabat, serta perilaku
hakim”, di satu pihak tidak tepat diartikan hanya sebagai pengawasan etik
eksternal saja, dan di pihak lain juga tidak tepat diartikan terpisah dari
konteks Pasal 24A ayat (3) untuk mewujudkan hakim agung –dan hakim-
hakim pada peradilan di bawah Mahkamah Agung– yang memiliki
integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, profesional, dan
berpengalaman di bidang hukum. Dengan kata lain, yang dimaksud
“kewenangan lain” dalam Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 terkait erat
dengan kewenangan utama Komisi Yudisial untuk mengusulkan
pengangkatan hakim agung.
Secara akademik, pendapat Mahkamah Konstitusi ini masih
mengundang perbedaan pendapat. Ada pola pikir yang tidak nyambung
antara kata-kata ‘dalam rangka’, ‘komplementer’, dan ‘bukan merupakan
kewenangan eksklusif yang hanya dimiliki oleh KY (Komisi Yudisial,
pen.)’. Mahkamah Konstitusi memaknai istilah ‘dalam rangka’ sebagai
sifat ‘komplementer’. Bukankah ungkapan ‘dalam rangka’ itu harus
diacukan pada frasa ‘menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran
martabat, serta perilaku hakim’, dan bukan pada frase sebelumnya, yang
menurut istilah Mahkamah Konstitusi merupakan ‘wewenang utama’
Komisi Yudisial? Hal ini mengingat bahwa sebelum ungkapan ‘dalam
rangka’ terdapat ungkapan ‘wewenang lain’. Ini berarti bahwa selain
wewenang Komisi Yudisial yang pertama (yaitu wewenang Komisi
Yudisial untuk mengusulkan pengangkatan hakim agung) ada wewenang
yang bukan wewenang yang pertama itu. Artinya, kedua wewenang
Komisi yudisial tersebut di atas ini adalah setara adanya.
15
Artinya, tidak ada makna wewenang utama dan wewenang
komplementer. Lebih jauh hal ini diperkuat dengan fakta bahwa ungkapan
yang ada hanyalah ‘dalam rangka’, dan bukan ‘dalam rangka itu’.
Ungkapan ‘dalam rangka itu’ tentu menunjuk frase kalimat sebelumnya.
Hal ini selaras dengan pandangan ahli bahasa yang diajukan sebagai salah
satu saksi ahli. Selain itu dalam hal ini tidaklah jelas referensi keahlian
bahasa yang mana yang dijadikan dasar interpretasi Mahkamah Konstitusi.
Dengan demikian kewenangan Komisi Yudisial dalam rangka menjaga
dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, dan perilaku hakim itu
seharusnya terlepas dari kewenangan Komisi Yudisial untuk mengusulkan
pengangkatan hakim agung.
Selanjutnya, apa hubungan antara ‘dalam rangka’ dengan ‘bukan
merupakan kewenangan eksklusif yang hanya dimiliki oleh KY’ itu?
Tidak ada penjelasan atas hubungan kedua frase ini. Mahkamah Konstitusi
rupanya telah terlalu jauh dalam menghubung-hubungkan kedua frase ini.
Lebih jauh, tidaklah jelas pula apa yang menjadi dasar kebahasaan
pendapat Mahkamah Konstitusi atas makna ‘dalam rangka’ yang lalu
diartikan sebagai ‘tugas melakukan pembinaan yang mempunyai arti
sebagai usaha, tindakan, dan kegiatan yang dilakukan secara efisien dan
efektif untuk meningkatkan profesionalisme hakim sepanjang menyangkut
kode etik’. Bukankah urusan pembinaan itu dari sudut administrasi
ataupun manajemen merupakan tugas seorang atasan (untuk membina
bawahannya), padahal Komisi Yudisial itu bukanlah merupakan atasan
para hakim itu sendiri? Interpretasi Mahkamah Konstitusi di sini kiranya
terlalu jauh pula.
I. Penutup
Ada beberapa hal yang perlu dicatat di sini sebagai berikut:
1. Perumusan ataupun bunyi Pasal 13 huruf b, Pasal 20, dan Pasal 24 ayat (1)
UUKY perlu disesuaikan dengan Pasal 24B UUD 1945
16
2. Ada sejumlah substansi yang menyangkut urusan ‘menjaga dan
menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim’ yang
memerlukan pengaturan yang lebih rinci.
a. Pertama-tama adalah menyangkut sistem prosedur dan proses. Perlu
kiranya dirumuskan sistem hukum acara dalam hal ini.
b. Selanjutnya tentang subyek pengawasan, diperlukan pengaturan
hubungan antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial yang bersifat
mandiri namun saling berkait (independent but interrelated) atau
hubungan kemitraan. Dalam hal ini hubungan antara Dewan
Perwakilan Rakyat dengan Badan Pemeriksa Keuangan (dalam hal
pemeriksaan keuangan negara) perlu dijadikan acuan dasar perumusan
hubungan kemitraan antara Mahkamah Agung dengan Komisi
Yudisial di bidang pengawasan hakim ini.
c. Adapun mengenai obyek pengawasan, perlu ditegaskan dalam
penyempurnaan pengaturan tersebut, bahwa obyek pengawasan
Komisi Yudisial adalah perilaku hakim sebagai individu di luar dan di
dalam kedinasan, agar hakim memiliki kehormatan, keluhuran
martabat, serta perilaku yang baik. Perlu pula ditegaskan dalam
pengaturan tersebut, bahwa termasuk dalam pengertian hakim di sini
adalah hakim agung dan semua hakim badan peradilan yang berada di
bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan
agama, lingkungan peradilan militer, dan lingkungan peradilan tata
usaha negara.
d. Akhirnya tentang instrumen pengawasan, di sini perlu dilakukan
perumusan pengaturan semacam kode etik dan perilaku hakim, yang
dapat mengambil kode etik yang selama ini berlaku di lingkungan
Mahkamah Agung maupun IKAHI sebagai acuannya. Ada amanat
Mahkamah Konstitusi yang perlu dijadikan jiwa penyempurnaan
UUKY. Amanat Mahkamah Konstitusi tersebut adalah amanat yang
menegaskan makna kebebasan hakim, yang menurutnya terkandung
kewajiban bagi hakim untuk membebaskan dirinya dari bujuk rayu,
17
tekanan, paksaan, ancaman, atau rasa takut akan adanya tindakan
balasan karena kepentingan politik atau ekonomi tertentu dari
pemerintah atau kekuatan politik yang berkuasa, kelompok atau
golongan tertentu, dengan imbalan atau janji imbalan berupa
keuntungan jabatan, keuntungan ekonomi, atau bentuk lainnya, serta
tidak menyalahgunakan prinsip kebebasan hakim sebagai perisai untuk
berlindung dari pengawasan.
3. Sementara itu, adalah benar manakala dinyatakan bahwa checks and
balances itu tidak tepat dijadikan paradigma konseptual dalam hal
pengawasan di sini. Seperti yang terurai di atas, hubungan kerja
pengawasan antara Mahkamah Agung dengan Komisi Yudisial itu
merupakan hubungan kemitraan, setara dengan hubungan kemitraan antara
Dewan Perwakilan Rakyat dengan Badan Pemeriksa Keuangan.
4. Perlu dilakukan sebuah kerja besar untuk melakukan penyederhanaan
susunan peradilan di Indonesia yang telah terlanjur sangat kompleks itu.
Penyederhanaan ini sangat perlu agar dapat terselenggara sistem peradilan
yang cepat, murah, dan tidak membingungkan para pencari keadilan di
Indonesia.
5. Mahkamah Konstitusi juga merekomendasikan agar UUKY harus segera
disempurnakan melalui proses perubahan undang-undang sebagaimana
mestinya. Rekomendasi ini dikemukakan dalam rangka mengatasi
kekosongan hukum berkaitan dengan tugas Komisi Yudisial, khususnya
yang berkaitan dengan ketentuan mengenai pengawasan perilaku hakim.
Mahkamah Konstitusi juga menganjurkan agar badan legislatif melakukan
perbaikan-perbaikan yang bersifat integral dengan juga mengadakan
perubahan dalam rangka harmonisasi dan sinkronisasi atas undang-undang
tentang Kekuasaan Kehakiman, undang-undang tentang Mahkamah
Agung, dan undang-undang tentang Mahkamah Konstitusi, serta undang-
undang lain yang terkait dengan sistem peradilan terpadu.
18
DAFTAR PUSTAKA
Kleintjes, Ph. Staatsinstellingen van Nederlandsch-Indie, Amsterdam: J.H. de Bussy, eerstedeel, 1932
______, Staatsinstellingen van Nederlandsch-Indie, Amsterdam: J.H. de Bussy, tweede deel, 1933
Schrieke, J.J., 'The Administrative System of the Netherlands-Indies', Bulletin van het Koloniaal Instituut te Amsterdam, Tweede gedeelte: 1938-1939, 1939
Sudikno Mertokusumo, Sejarah Peradilan Dan Perundang-undangannya di Indonesia sejak 1942 dan Apakah Kemanfaatannya bagi Kita Bangsa Indonesia, Bandung: Kilatmadju, 1971
Tresna, R., Peradilan di Indonesia dari Abad ke Abad, Jakarta: Pradnya Paramita, cet. kedua, 1977
Wolhoff, G.J., Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Republik Indonesia, Djakarta: Timun Mas N.V, 1955
top related