ketahanan pangan nasional dan pertanian berkelanjutan
Post on 03-Aug-2015
669 Views
Preview:
TRANSCRIPT
i
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. i
DAFTAR TABEL .................................................................................................... i
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................... i
I. PENDAHULUAN ........................................................................................... 1
II. WAJAH PERTANIAN KITA SAAT INI ....................................................... 2
A. Ketersedian Sumberdaya Pertanian.............................................................. 2
B. Konstribusi Terhadap Pembangunan Nasional ............................................ 5
C. Mengurai Permasalahan Pertanian Nasional ................................................ 9
D. Kelembagaan dalam Pengelolaan Pertanian Nasional ............................... 17
III. SIMPULAN ................................................................................................... 30
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 31
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Ketersediaan Lahan untuk Pengembangan Pertanian Indonesia
Setiap Provinsi ................................................................................... 3
Tabel 2. Pertumbuhan PDB Menurut Lapangan Usaha................................... 7
Tabel 3. Luas Panen dan Produksi untuk Komoditas Padi, Jagung dan
Kedelai Tahun 2007-2011................................................................... 8
Tabel 4. Penyerapan Tenaga Kerja Tahun 2009-2011...................................... 9
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Pola hubungan lintas sektoral dalam pembangunan pertanian........ 18
Gambar 2. Kuadran Keberhasilan Pembangunan............................................. 23
Gambar 3. Contoh Model Arus Input dan Output Pertanian LEISA................ 26
Gambar 4. Diagram alir pembanguan pertanian berkelanjutan yang berke-
arifan komoditas lokal.................................................................... 28
1
I. PENDAHULUAN
Indonesia sebagai negara agraris dengan luas lahan pertanian mencapai
30,61 juta Ha (Litbang Kementan 2011), menempatkan pertanian sebagai salah
satu sektor primer yang mendukung pembangunan nasional. Variabel penting
terhadap pembangunan nasional tidak hanya ditunjukkan atau dibuktikan dari
aspek ekonomi, namun bersentuhan secara langsung dalam aspek pembangunan
nasional lainnya yakni politik, sosial, dan budaya yang semuanya diarahkan pada
upaya mewujudkan kesejahteraan rakyat Indonesia. Dalam rangka menjaga
ketersediaan pangan –hasil pertanian– dalam jangka panjang, dibutuhkan produksi
pertanian yang berkelanjutan (sustainable agriculture). Pertanian berkelanjutan
merupakan pengelolaan sumber daya alam serta perubahan teknologi dan
kelembagaan sedemikian rupa untuk menjamin pemenuhan dan pemuasan
kebutuhan manusia secara berkelanjutan bagi generasi sekarang dan mendatang
(FAO 1989).
Istilah “pertanian” yang disandingkan dengan istilah “keberlanjutan”
mencakup beberapa aspek penting. Ada tiga aspek pokok pertanian berkelanjutan,
yaitu: kesadaran lingkungan, bernilai ekonomis, dan berjiwa sosial. Selanjutnya
Libunao (1995) dalam Salikin (2007), menyatakan bahwa paling tidak terdapat
delapan ciri spesifik agar suatu pertanian dikatakan berkelanjutan, meliputi: 1)
bernuansa ekologi; 2) berjiwa sosial; 3) bernilai ekonomis; 4) berbasis ilmu
holistik; 5) berketepatan teknik; 6) berketepatan budaya; 7) dinamis; dan 8) peduli
keseimbangan gender.
Semangat untuk menjaga pertanian dalam koridor keberlanjutan semakin
masif ketika terjadi degradasi tanah khususnya lahan pertanian dan air baik dari
segi kualitas maupun kuantitas. Hal ini menurut Gliessman (2007), terjadi karena
selama ini pertanian konvensional hanya ditempatkan dalam konteks peningkatan
produksi (orientasi ekonomi) tanpa memperhatikan aspek lingkungan (ekologi).
Fokus keberhasilan pertanian hanya menggunakan indikator produktivitas untuk
mencapai keuntungan sebesar-besarnya dalam tempo yang cepat bagaimanapun
caranya, seperti penggunaan pupuk kimia, pestisida, sistem irigasi dan mesin-
mesin pertanian modern.
2
II. WAJAH PERTANIAN KITA SAAT INI
A. Ketersedian Sumberdaya Pertanian
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, pertanian berkelanjutan
secara sistemik menyangkut tiga aspek pokok yaitu ekologi, ekonomi dan
sosial budaya. Ketiga aspek tersebut merupakan mata rantai yang
seharusnya tidak terpisahkan dalam membentuk dan menjaga kesinam-
bungan pertanian nasional.
Uraian mengenai aspek ekologi pertanian lebih difokuskan pada
kondisi lahan pertanian. Metrotvnews.com mengutip komentar Profesor
Iswandi Anas, bahwa hampir 75 % lahan pertanian di Indonesia sudah kritis
karena penurunan kualitas kesuburan tanah. Penurunan kualitas tanah itu
akibat pemakaian pupuk kimia dengan dosis tinggi dalam kurun waktu yang
panjang dan terus-menerus. Penggunaan bahan kimia untuk menghindari
gagal panen dan serangan hama dan penyakit, padahal bahan kimia tersebut
akan menyebabkan residu pada tanah dan hasil produksi pertanian.
Dari total luas lahan Indonesia, tidak terrnasuk Maluku dan Papua,
sekitar 64.783.523 ha lahan digunakan untuk pekarangan, tegalan / kebun /
ladang / huma, padang rumput, lahan sementara tidak diusahakan, lahan
untuk kayu-kayuan, perkebunan dan sawah (BPS 2001). Data lahan
pertanian dari BPS sejak tahun 1986 – 2000, memperlihatkan bahwa
perluasan lahan pertanian berkembang sangat lambat. Terutama lahan sawah
sebagai penghasil utama pangan; hanya berkembang dari 7,77 juta ha pada
tahun 1986 menjadi 8,52 juta ha pada tahun 1996 bahkan cenderung
menyusut menjadi 7,79 juta ha pada tahun 2000.
Berdasarkan hasil evaluasi lahan pada skala eksplorasi untuk seluruh
wilayah Indonesia, diperoleh data bahwa lahan-lahan yang sesuai untuk
pertanian seluas 100,7 juta ha, terdiri dari lahan sesuai untuk tanaman
pangan seluas 24,6 juta ha lahan basah dan 25,3 juta ha lahan kering, serta
seluas 50,9 juta ha sesuai untuk tanaman tahunan (Puslitbangtanak, 2002).
Sementara data potensi lahan pertanian Indonesia sebagaimana yang
dirilis oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian
Pertanian (2011) menyebutkan luas areal pertanian Indonesia adalah seluas
3
30.613.634 Ha. Ini berarti bahwa terjadi penurunan areal pertanian 70% jika
dibandingkan data tahun 2002. Adapun data potensi lahan pertanian
Indonesia sebagaimana dicantumkan pada Tabel 1.
Tabel 1. Ketersediaan Lahan untuk Pengembangan Pertanian Indonesia
Setiap Provinsi
Provinsi Luas Total
Lahan (Ha) Deskripsi
Aceh 781.663
431.293 ha (55,2%) untuk komoditas tanaman
tahunan, 282.109 ha (36,1%) untuk komoditas
tanaman semusim, dan sisanya 68.261 ha (8,7%)
diarahkan untuk padi sawah.
Sumatra
Utara 647.223
429.751 ha (66,4%) untuk komoditas tanaman
semusim. 2141.972 ha (21,9%) untuk komoditas
tanaman tahunan, dan 75.500 ha (11,7%)
diarahkan untuk padi sawah.
Riau 1.335.225
896.245 ha (67,1%) diarahkan untuk komoditas
tanaman tahunan, 252.980 ha (18,9%) untuk
komoditas tanaman semusim, dan 186.000 ha
(13,9%) untuk padi sawah.
Sumatra
Barat 475.766
310.611 ha (65,3%) untuk komoditas tanaman
tahunan, 110.047 ha (18,9%) untuk padi sawah,
dan sisanya 11,6% komoditas tanaman semusim.
Jambi 633.338
258.997 ha atau 40,9% untuk komoditas tanaman
tahunan, 177.341 ha (28,0%) untuk komoditas
tanaman semusim, dan 197.000 ha (31,1%)
diarahkan untuk padi sawah.
Bengkulu 320.023
209.105 ha (65,3%) untuk komoditas tanaman
tahunan, 88.078 ha (27,5%) untuk komoditas
tanaman semusim, dan 22.840 ha (7,1%) untuk
padi sawah.
Sumatra
Selatan 967.464
43,9% atau seluas 424.846 ha untuk komoditas
tanaman tahunan, 31,8% atau 307.225 ha untuk
komoditas tanaman semusim, dan sisanya
235.393 ha untuk padi sawah.
Bangka
Belitung 251.227
25.807 ha atau 10,3% saja yang diarahkan untuk
padi sawah. 89,7% atau seluas 225.470 ha
diarahkan untuk komoditas tanaman tahunan.
Lampung 87.419
45.8% atau 40.000 ha untuk padi sawah, 26.398
ha (30,2%) untuk komoditas tanaman semusim,
21.021 ha (24,0%) komoditas tanaman tahunan.
4
Provinsi Luas Total
Lahan (Ha) Deskripsi
Jawa Barat 60.410
48.090 ha (79,6%) untuk komoditas tanaman
tahunan, 7.447 ha (12,3 %) untuk padi sawah,
4.873 ha (8,1%) komoditas tanaman semusim.
Banten 56.556
54.757 ha (96,8%) untuk komoditas tanaman
tahunan. Seluas 311 ha (0,5%) untuk komoditas
tanaman semusim, dan 1.488 ha (2,6%) untuk
padi sawah.
Jawa Tengah 30.922
20.654 ha (66,8%) untuk komoditas tanaman
tahunan, 8.966 ha (29,0%) untuk komoditas
tanaman semusim, dan 1.302 ha (4,2%) untuk
padi sawah.
Jawa Timur 66.001
Sekitar 35.451 ha (53,7%) diarahkan untuk
komoditas tanaman tahunan, 26.394 ha (40,0%)
diperuntuk komoditas tanaman semusim,
dan sisanya 6,3% untuk padi sawah.
Kalimantan
Barat 2.809.575
1.770.109 ha (63,0%) untuk komoditas tanaman
tahunan, 856.368 ha (30,5 %) untuk komoditas
tanaman semusim, dan 183.098 ha (6,5%) untuk
padi sawah
Kalimantan
Tengah 3.709.887
2.661.510 ha (71,7%) untuk komoditas tanaman
tahunan, 401.980 ha (10,8%) untuk komoditas
tanaman semusim, dan 646.397 ha (17,4%) untuk
padi sawah.
Kalimantan
Timur 4.549.356
2.431.329 ha (53,4%) untuk komoditas tanaman
tahunan, 1.886.264 ha (41,5%) diperuntuk
komoditas tanaman semusim, dan sisanya 5,1%
untuk padi sawah.
Kalimantan
Selatan 1.238.573
409.101 ha (33,0%) untuk komoditas tanaman
tahunan, 494.791 ha (39,9 %) untuk komoditas
tanaman semusim, dan 334.681 ha (27,0%) untuk
padi sawah .
Sulawesi
Selatan 339.173
266.045 ha (66,6%) untuk komoditas tanaman
tahunan, 69.725 ha (17,5 %) untuk komoditas
tanaman semusim, dan sisanya 63,403 ha (15,9%)
untuk padi sawah .
Sulawesi
Tenggara 321.057
106.158 ha (33,2%) komoditas tanaman tahunan,
93.417 ha (29,1%) tanaman semusim,
dan 121.122 ha (37,7%) padi sawah.
5
Provinsi Luas Total
Lahan (Ha) Deskripsi
Sulawesi
Tengah 334.528
Sekitar 95.484 ha (28,5%) diarahkan untuk
komoditas tanaman tahunan, 47.219 ha (14,1%)
komoditas tanaman semusim, dan sisanya 57,3%
untuk padi sawah.
Gorontalo 20.257 lahan pertanian yang tersedia seluruhnya
diarahkan untuk padi sawah .
Sulawesi
Utara 164.593
Sekitar 133.135 ha (80,9%) diarahkan untuk
komoditas tanaman tahunan, 5.091 ha (3,1%)
untuk komoditas tanaman semusim, dan 26.367
ha (16,0%) untuk padi sawah.
Bali 14.093 seluruhnya diarahkan untuk padi sawah .
Nusa
Tenggara
Barat
224.534
80.628 ha (35,9%) diarahkan untuk komoditas
tanaman tahunan, 137.659 ha (61,3%) untuk
komoditas tanaman semusim, dan 6.247 ha
(2.8%) untuk padi sawah.
Nusa
Tenggara
Timur
558.120
529.537 ha (94,9%) diarahkan untuk komoditas
tanaman tahunan, dan 28.583 ha (5,1%) untuk
padi sawah.
Maluku 562.061
Sekitar 440.381 ha (78,4%) diarahkan untuk
komoditas tanaman tahunan, dan 121.680 ha
(21,6%) untuk padi sawah. .
Maluku
Utara 384.891
210.480 ha (54,7%) diarahkan untuk komoditas
tanaman tahunan, 50.391 ha (13,1%) untuk
komoditas tanaman semusim, dan 124.020 ha
(32,2%) untuk padi sawah.
Papua 9.669.699
2.790.112 ha (28,9%) diarahkan untuk komoditas
tanaman tahunan, 1.688.587 ha (17,5%) untuk
komoditas tanaman semusim, dan 5.187.000 ha
(53,7%) untuk padi sawah.
Indonesia 30.613.634
Sumber: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian
Pertanian (2011), setelah diolah.
B. Konstribusi Terhadap Pembangunan Nasional
Pertanian merupakan sektor penyedia pangan yang tidak pernah lepas
dari berbagai persoalan, baik persoalan ekologi, ekonomi, sosial dan
budaya, bahkan persoalan kebijakan politik. Hal ini tidak berlebihan karena
pangan adalah kebutuhan pokok penduduk, terutama di Indonesia. Laporan
6
BPS tahun 2010 menunjukkan bahwa jumlah penduduk Indonesia sudah
mencapai 237,641,326 jiwa atau meningkat sebesar 15,21% dari tahun
sebelumnya. Kondisi ini membutuhkan ketersediaan pangan yang cukup
agar tidak menjadi salah satu penyebab instabilitas pangan nasional. Dalam
rangka pemenuhan kebutuhan pangan terutama mempertahankan sekaligus
meningkatkan produksi pangan, pada level lapangan masih banyak
hambatan dan kendala yang dijumpai. Dari sekian banyak hambatan dan
kendala tersebut, ada yang dapat ditangani melalui introduksi teknologi dan
upaya strategis lainnya, tetapi ada pula yang sukar untuk ditangani terutama
yang berkaitan dengan fenomena alam.
Pembangunan pertanian menempati prioritas utama dalam pemba-
ngunan ekonomi nasional. Dalam pendekatan perhitungan pendapatan
nasional, sektor pertanian terdiri dari sub-sektor tanaman pangan dan
hortikultura, perkebunan, peternakan, perikanan dan kehutanan. Selain
sektor pertanian, terdapat delapan sektor ekonomi lainnya yang secara
bersama menentukan besarnya pertumbuhan ekonomi bangsa melalui
pendapatan domestik (GDP) dan pendapatan nasional (GNP). Pada tahun
1993, sumbangan sektor pertanian terhadap GDP adalah 18%, kemudian
turun menjadi 15% pada tahun 1997. Namun dengan adanya krisis ekonomi,
sektor pertanian kembali menunjukkan perannya yang lebih besar yaitu
sumbangannya sebesar 17% pada GDP pada tahun 1998 (BPS 1998).
Sedangkan pertumbuhan PDB menurut lapangan usahanya, pada tahun 1997
pertumbuhan sektor pertanian sebesar 0,7% dan memberikan sumbangan
sebesar 0,1%. Pada tahun 1998, pertumbuhan mengalami penurunan
menjadi 0,2% dan meningkat menjadi 2,7% pada tahun 1999. Pertumbuhan
PDB menurut lapangan usaha disajikan pada Tabel 2.
7
Tabel 2. Pertumbuhan PDB menurut Lapangan Usaha
Rincian
1997 1998 1999
Pertumbuhan Sumbangan Pertumbuhan Sumbangan Pertumbuhan
Persen
Produk
Domestik
Bruto
4.9 4.9 -13.7 -13.7 -10.3
Pertanian 0.7 0.1 0.2 0.0 2.7
Pertambang-
an dan
penggalian
1.7 0.2 -4.2 -0.4 -0.7
Industri
pengolahan 6.4 1.6 -12.9 -3.2 -9.6
Listrik, gas
dan air
bersih
12.8 0.2 3.7 0.1 7.7
Bangunan 6.4 0.5 -39.7 -3.2 -5.0
Perdagangan
, hotel dan
restoran
5.8 1.0 -19.0 -3.2 -14.1
Pengangkuta
n dan
komunikasi
8.3 0.6 -12.8 -1.0 -18.3
Keuangan,
persewaan
dan jasa
6.5 0.6 -26.7 -2.4 -47.6
Jasa-jasa 2.8 0.3 -4.7 -0.4 -0.2
Non Migas 5.5 5.0 -14.8 -13.6 -11
Migas -1.0 -0.1 -1.0 -0.1 -3.9
Sumber : BPS dalam Laporan tahunan BI 1998/1999
Keterangan: (1) Atas dasar harga konstan 1993; (2) Triwulan I/1999
Selain kontribusinya melalui GDP, peran sektor pertanian dalam
pembangunan nasional dapat dilihat dari peran sektor pertanian yang sangat
luas, mencakup beberapa indikator antara lain:
a. Pertama, pertanian sebagai penyerap tenaga kerja yang terbesar.
Data Sakernas menunjukkan bahwa pada tahun 1997, dari sekitar
87 juta jumlah tenaga kerja yang bekerja, sekitar 36 juta
diantaranya bekerja di sektor pertanian (Sakernas 1986 dan 1997).
b. Pertanian merupakan penghasil makanan pokok penduduk. Peran
ini tidak dapat disubstitusi secara sempurna oleh sektor ekonomi
8
lainnya, kecuali apabila impor pangan menjadi pilihan. Komoditas
tanaman pangan yang utama adalah padi, jagung dan kedelai.
Adapun luas panen dan produktivitas ketiga tanaman tersebut
disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Luas Panen dan Produksi untuk Komoditas Padi, Jagung
dan Kedelai Tahun 2007-2011
Tahun
Padi Jagung Kedelai
Luas
Panen
(ha)
Produksi
(ton)
Luas
Panen
(ha)
Produksi
(ton)
Luas
Panen
(ha)
Produksi
(ton)
2007 12.147.637 57.157.435 4.001.724 16.317.252 459.116 592.534
2008 12.327.425 60.325.925 4.001.724 16.317.252 590.956 775.710
2009 12.883.576 64.398.890 4.160.659 17.629.748 722.791 974.512
2010 13.253.450 66.469.394 4.131.676 18.327.636 660.823 907.031
2011 13.203.643 65.756.904 3.864.692 17.643.250 622.254 851.286
Sumber : Badan Pusat Statistik (2011), data telah diolah
c. Komoditas pertanian sebagai penentu stabilitas harga. Harga
produk-produk pertanian memiliki bobot yang besar dalam indeks
harga konsumen sehingga dinamikanya sangat berpengaruh
terhadap inflasi.
d. Akselerasi pembangunan pertanian sangat penting untuk
mendorong ekspor dan mengurangi impor. Pembangunan
pertanian mencakup pemasaran dan perdagangan komoditas.
e. Komoditas pertanian merupakan bahan industri manufaktur
pertanian. Masih dalam suatu sistem rantai agribisnis, industri
manufaktur (pengolahan) pertanian, baik yang mengolah
komoditas pertanian maupun yang menghasilkan input pertanian
menduduki tempat yang penting. Kegiatan industri manufaktur
pertanian hanya bisa berjalan apabila memang ada kegiatan
produksi yang sinergis. Dengan demikian kehadiran sektor
pertanian adalah prasyarat bagi adanya sektor industri manufaktur
pertanian yang berlanjut.
9
f. Pertanian memiliki keterkaitan sektoral yang tinggi. Keterkaitan
antara sektor pertanian dengan sektor lain dapat dilihat dari aspek
keterkaitan produksi, konsumsi, investasi, dan fiskal.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Hortikultura, kontribusi
hortikultura pada pembentukan PDB cenderung meningkat. Pada tahun
2005 PDB Hortikultura sebesar Rp. 61,79 Trilliun naik menjadi Rp. 89,057
Trilliun pada tahun 2009. Pada tahun 2000 sektor pertanian menyerap
tenaga kerja sebesar 38.427.606 orang atau setara 67,79% (BPS 2000).
Berdasarkan data BPS mengenai penyerapan tenaga kerja terbaru, sektor
pertanian menyerap tenaga kerja sebesar 41.611.840 orang pada tahun
2009, mengalami kecenderungan menurun pada tahun 2010 menjadi
41.494.941 orang dan tahun 2011 menjadi 39.330.000 orang. Data tersebut
disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4. Penyerapan Tenaga Kerja Tahun 2009-2011
Sumber : BPS (Data ketenagakerjaan bulan Agustus pada masing-masing tahun)
C. Mengurai Permasalahan Pertanian Nasional
Mengurai secara detail dan rinci persoalan pertanian bukan hal yang
cukup mudah. Hal ini selain membutuhkan ruang dan waktu yang cukup
juga membutuhkan metode analisis yang lebih spesifik. Selain itu persoalan
yang terjadi dalam dunia pertanian terjadi mulai dari hulu (on farm) hingga
ke hilir (off farm) serta memiliki keterkaitan (linkage) dengan sektor-sektor
lain. Namun setidaknya dalam uraian ini, secara umum persoalan pertanian
dapat didekati hingga dapat memberikan gambaran yang terjadi. Untuk itu,
data sekunder sangat membantu dalam proses analisis masalah pertanian.
Permasalahan besar dalam pengelolaan sumberdaya pertanian di dunia
termasuk Indonesia yaitu aktivitas pertanian secara konvensional. Pertanian
Sektor Tahun
2009 2010 2011
Pertanian 41.611.840 41.494.941 39.330.000
Non Pertanian 63.258.823 66.712.826 70.340.000
Tidak Bekerja 8.873.745 8.322.233 7.700.000
Total Angkatan Kerja 113.744.408 116.530.000 117.370.000
Persentase Pertanian terhadap
Total Angkatan Kerja 36,58 35,61 33,51
10
konvensional berprinsip bahwa memaksimalkan hasil produksi (panen)
pertanian untuk memenuhi kebutuhan manusia pada saat itu dan
memaksimalkan keuntungan merupakan tujuan utama. Hal tersebut biasanya
diupayakan melalui intensifikasi dan/atau ekstensifikasi pertanian.
Intensifikasi pertanian mengacu pada peningkatan produktivitas tanaman
atau kapasitas produksi per luas lahan, sedangkan ekstensifikasi pertanian
mengacu pada penambahan luas lahan. Kedua cara tersebut baik untuk
mencapai tujuan, namun demi mengejar target produksi, pertanian
konvensional kurang memperhatikan aspek kelestarian lingkungan.
Berdasarkan data FAO tentang pertumbuhan produksi per kapita di
dunia pada tahun 1984 hingga 2004, adanya tren penurunan surplus
produksi pertanian (FAOSTAT 2005). Hal tersebut disebabkan peningkatan
panen yang semakin sedikit tiap tahunnya dihadapkan pada kenaikan
pertumbuhan populasi manusia. Jika dibiarkan demikian, setelah jangka
waktu tertentu kita tidak akan mampu memenuhi kebutuhan hasil pertanian
apabila produksinya hanya mengandalkan pola pertanian konvensional.
Laporan kinerja kemanterian pertanian tahun 2011 menyebutkan
beberapa kendala teknis yang dihadapi dalam pelaksanaan program dan
kegiatan pembangunan petanian tahun 2011, antara lain: (1) dampak
perubahan iklim, (2) kepemilikan lahan sempit dan laju konversi lahan
pertanian pangan, (3) permodalan petani masih sulit diakses dan (4)
kelembagaan petani masih lemah, dan (5) prasarana pertanian terutama jalan
pedesaan dan rusaknya jaringan irigasi.
Bila didekati secara tematik, ada beberapa masalah krusial yang
terjadi dalam dunia pertanian kita yaitu masalah sumber daya lahan dan air
pertanian baik secara kualitatif maupun kuantitatif, masalah petani (sosial
ekonomi, budaya, kepemilikan lahan), masalah teknis budidaya (Alsintan,
Saprodi), dan masalah kebijakan (pemerintah dan regulasi).
1. Degradasi air dan lahan pertanian
Berkurangnya areal lahan pertanian karena derasnya alih lahan
pertanian ke non pertanian seperti industri dan perumahan (laju
1%/tahun). Degradasi lahan secara kualitatif juga terjadi akibat oleh
11
adanya residu bahan-bahan kimia sehingga tingkat kesuburan
tanahpun menurun. Hal ini berakibat pada menurunnya tingkat
produktivitas hasil pertanian nasional.
Berdasar catatan Kementerian Lingkungan Hidup, menyebutkan
bahwa alih fungsi lahan pertanian subur mencapai 30.000 hektar
setiap tahunnya, sebagian besar adalah lahan sawah yang beirigasi
teknis, dan kebanyakan terjadi di Jawa. Menurut Ditjen Pengelolaan
Lahan dan Air Kementerian Pertanian (2011), alih fungsi lahan
pertanian mencapai 110 ribu hektar per tahun.
Masa orde baru telah mencoba mencetak satu juta hektar sawah
lahan gambut di Kalimantan Tengah dan Selatan. Proyek ini menelan
biaya yang tidak sedikit karena membutuhkan fasilitas infrastruktur.
Namun akhirnya proyek ini dinilai gagal dan tidak berkelanjutan.
Bahkan menyisakan persoalan lingkungan yakni kebakaran lahan
gambut dan kabut asap.
Penyusutan lahan pertanian subur juga disebabkan oleh peng-
gunaan pupuk dan obat-obatan kimiawi anorganik. Pemakaian jangka
panjang pupuk dan obat-obatan kimiawi anorganik ternyata telah
membawa kerusakan lahan pertanian dalam jumlah besar, yang
ditandai dengan berkurangnya kesuburan tanah. Pupuk nitrogen (N)
yang digunakan dalam budidaya pertanian mengalami berbagai
perubahan di dalam tanah, seperti dalam bentuk amonium (NH4),
nitrat (NO3), dan/atau nitrit (NO2). Sebagian dari N pupuk (NH3/N2
dan N2O) menguap ke udara (volatilisasi), sebagian lagi hilang
melalui pencucian atau erosi. Di daerah tropis, 40-60% N-urea hilang
dalam bentuk NH3. Pupuk N dosis tinggi dapat mencemari
lingkungan, karena sebagian besar zat N dari pupuk hanyut terbawa
aliran permukaan dan erosi. Berdasarkan hasil penelitian, jumlah hara
yang hilang dari lahan pertanian berkisar antara 240-1.066 kg N/ha,
80-120 kg P2O5/ha, dan 108-197 kg K2O/ha per musim tanam, suatu
jumlah yang cukup besar dan berpotensi mencemari lingkungan. (Tim
Sintesis Kebijakan, 2008).
12
Lahan dan air adalah dua sumberdaya utama yang tidak dapat
dipisahkan untuk menopang keberlanjutan sector pertanian. Dewasa
ini, krisis air sudah Nampak terasa. Krisis air dapat diukur dari Indeks
Penggunaan Air (IPA) yaitu rasio antara penggunaan dan ketersediaan
air. Apabila angka IPA berkisar antara 0,75–1,0 maka dikatakan
keadaan kritis. Jika lebih dari 1,0 maka suatu wilayah dikatakan
sangat kritis atau defisit air, sedangkan jika IPA-nya berkisar antara
0,30 – 0,60 ini tergolong normal dari segi ketersediaan air. Dengan
semakin tingginya IPA, maka potensi konflik penggunaan air antara
wilayah hulu dan hilir, antar sektor maupun antar individu akan
semakin meningkat (Anshori 2009).
Tahun 2000 diperkirakan Jawa, Madura dan Bali sudah
termasuk kategori “sangat kritis” karena untuk Jawa dan Madura
diduga mempunyai IPA sebesar 1,89 dan Bali 1,13. Nusa Tenggara
Barat tergolong dalam keadaan “kritis” dengan IPA 0,92. Di daerah-
daerah lain kecuali Nusa Tenggara Timur (dengan IPA sekitar 0,73)
kondisinya relatif masih baik karena mempunyai IPA di bawah 0,50 (
Osmet, 1996; dan Sugandhy, 1997 dalam Sutawan 2001).
Terjadinya krisis air dapat dipicu oleh sikap dan perilaku
masyarakat yang cenderung boros dalam memanfaatkan air karena air
sebagai milik umum (common property) dianggap tidak terbatas
adanya dan karenanya dapat diperoleh secara cuma-cuma atau gratis.
Padahal, air sebagai sumberdaya alam, adalah terbatas jumlahnya
karena memiliki siklus tata air yang relatif tetap. Ketersediaan air
tidak merata penyebarannya dan tidak pernah bertambah. Selain itu
tingkat efisiensi pemanfaatan air melalui jaringan irigasi yang masih
rendah kiranya dapat menjadi kendala dalam upaya menurunkan IPA.
Diperoleh informasi bahwa dari penelitian di berbagai negara Asia
kurang lebih 20% air irigasi hilang di perjalanan mulai dari dam
sampai ke jaringan primer; 15 % hilang dalam perjalanannya dari
jaringan primer ke jaringan sekunder dan tersier; dan hanya 20% yang
digunakan pada areal persawahan secara tidak optimal. Diperkirakan
13
tingkat efisiensi jaringan irigasi hanya sekitar 40% (Yakup dan
Nusyirwan, 1997 dalam Sutawan 2001).
Dampak luar biasa dari degradasi air dan lahan ini adalah
adanya ancaman krisis pangan. Untuk dapat mencegah terjadinya
krisis pangan, maka Indonesia memerlukan tak kurang dari 15 juta
hektar lahan pertanian yang diyakini dapat memenuhi kebutuhan
seluruh rakyat Indonesia pada 2030 yang diperkirakan berjumlah 280
juta jiwa (Anonim 2011).
2. Lemahnya posisi tawar petani.
Petani adalah pelaku utama sektor pertanian primer (on farm)
yang secara langsung terlibat dalam proses produksi komoditi
pertanian (produsen). Kendati dengan posisi seperti itu, hampir bisa
dipastikan petani tidak berdaya untuk mengatur hasil pertaniannya
dari sisi pasca panen. Bahkan pemilihan jenis komoditi yang harus
ditanam, petani masih dapat diintervensi oleh pasar atau pelaku usaha.
Inilah yang dimaksud dengan lemahnya posisi tawar petani. Menurut
Branson dan Douglas (1984) dalam Reijntjes dkk (1999), lemahnya
posisi tawar petani umumnya disebabkan petani kurang mendapatkan
atau memiliki akses pasar, informasi pasar dan permodalan yang
kurang memadai.
Dari sisi harga dasar komoditi, petani tidak cukup berdaya untuk
menetukan harga pasar. Harga komoditi dikendalikan oleh para
pengumpul yang nota bene tidak memiliki lahan dan tidak terlibat
langsung dengan pertanian on farm. Rantai distribusi komoditi
pertanian yang begitu panjang menempatkan petani terus dalam
kondisi miskin karena hal ini menyebabkan disparitas yang terlalu
jauh antara penghasilan petani dengan biaya yang dikeluarkan untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya.
Selain itu, cukup banyak petani Indonesia yang sebetulnya
bukan sebagai petani namun berstatus sebagai buruh tani. Konversi
lahan pertanian ke non pertanian yang begitu tinggi menyebabkan
petani kehilangan lahannya. Kondisi kepemilikan lahan petani
14
dibawah 0,5 hektar, laju konversi lahan sawah ke non sawah sebesar
187.720 ha per tahun, dengan rincian alih fungsi ke non pertanian
sebesar 110.164 ha per tahun dan alih fungsi lahan ke pertanian
lainnya sebesar 77.556 ha per tahun. Adapun alih fungsi lahan kering
pertanian ke non pertanian sebesar 9.152 ha per tahun (BPS 2004)
berakibat pada penurunan kapasitas produksi pangan dan mengancam
ketahanan pangan.
Keterbatasan modal petani sangat menghambat kemampuan
petani dalam meningkatkan produksi, mutu, nilai tambah dan daya
saing produk pertanian. Petani kesulitan akses ke perbenihan,
termasuk akses pada skim kredit, seperti KPEN-RP dengan realisasi
baru 4,7% dan KUPS baru 10,15% dari komitmen bank. Kelembagaan
petani yang belum solid mengakibatkan manajemen produksi yang
kurang efektif serta meningkatkan biaya produksi sehingga nilai
produk kurang berdaya saing (LK Kementan, 2011).
Rendahnya kualitas sumberdaya manusia merupakan masalah
yang serius dalam pembangunan pertanian. Tingkat pendidikan dan
keterampilan rendah. Selama 10 tahun terakhir kemajuan pendidikan
berjalan lambat. Tahun 1992, 50 persen tenaga kerja di sektor
pertanian tidak tamat SD, 39 persen tamat SD, sedangkan yang tamat
SLTP hanya 8 persen. Tahun 2002, yang tidak tamat SD menjadi 35
persen tamat SD 46 persen dan tamat SLTP 13 persen (BPS, 2003).
Rendahnya mentalitas petani antara lain dicirikan oleh usaha pertanian
yang berorientasi jangka pendek, mengejar keuntungan sesaat, serta
belum memiliki wawasan bisnis luas. Selain itu banyak petani menjadi
sangat tergantung pada bantuan pemerintah. Keterampilan petani yang
rendah terkait dengan rendahnya pendidikan dan kurang dikem-
bangkan kearifan lokal (indigenous knowledge) (Apriantono, 2006).
Disisi kelembagaan, keberadaan kelembagaan petani sangat
lemah. Kelompok tani yang banyak dibentuk selama periode 1980-an
dalam mengejar swasembada beras sudah banyak yang tidak
berfungsi. Intensitas dan kualitas pembinaan terhadap kelompok pasca
15
otonomi daerah jauh berkurang karena sistem penyuluhan yang
kurang mendapat perhatian dari pemerintah daerah. Selama ini
pengembangan kelembagaan petani umumnya berorientasi
keproyekan. Kelompok tani hanya aktif pada saat proyek masih
berjalan. Setelah masa proyek berakhir, umumnya kelompok tani yang
dibentuk menjadi tidak aktif. Pembentukan kelompok tani seringkali
tidak sesuai dengan kebutuhan petani. Kondisi kelompok tani saat ini
juga dinilai sangat buruk karena berbagai instansi pemerintah masing-
masing membentuk kelompok tani atau kelembagaan tani untuk
pelaksanaan kegiatan proyek mereka. Hal ini menyebabkan timbulnya
banyak kelompok tani yang tumpang tindih (Apriantono, 2006).
3. Kebijakan yang keliru dan tidak berpihak pada petani
Regulasi kebijakan pemerintah yang terkait dengan pertanian.
Distribusi sarana produksi pertanian selama ini tidak transparan dan
bersifat monopoli, akibatnya petani mengalami kesulitan untuk dapat
mengakses kebutuhannya terutama pupuk. Selain itu kebijakan
monokultur yang menjadikan beras sebagai bahan makanan pokok
nasional, telah menjadikan penanaman padi sebagai program utama
sektor pertanian. Program ini berlaku secara nasional dan harus
dijalankan di seluruh Indonesia, sekalipun harus mengabaikan realitas
bahwa makanan pokok masyarakat Indonesia tidak hanya beras, tetapi
juga ada ubi, jagung dan sagu (Anonim 2011).
Kerusakan lahan pertanian bisa dikatakan sebagai hasil dari
kebijakan pembangunan pertanian yang tidak memperhatikan prinsip-
prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development).
Selama ini petani didera oleh kebijakan peningkatan produktifitas
pertanian melalui penggunaan pupuk dan obat-obatan kimiawi
anorganik. Penggunaan pupuk dan obat-obatan yang seperti itu, bukan
hanya menciptakan ketergantungan, melainkan juga merusak lahan
pertanian (Bryant 1998 dalam Anonim 2011). Realitas masyarakat
Indonesia tidak saja majemuk dalam hal etnis, bahasa dan agama,
tetapi juga dalam hal pangan (Lawang 1999 dalam Anonim 2011).
16
Maka menjadi sangat mengherankan jika saat ini, pengertian pangan
selalu identik dengan beras. Masyarakat tertentu di Indonesia memang
menempatkan beras sebagai bahan makanan pokok (staple food).
Sementara sebagian masyarakat yang lain ada yang memilih ubi,
jagung dan sagu sebagai makanan pokok.
Kecenderungan untuk menjadikan beras sebagai bahan pangan
pokok (mentality rice) sesungguhnya tidak tumbuh secara kebetulan,
mendadak dan juga bukan persoalan selera rasa. Mentality rice
tumbuh dan berkembang bersamaan dengan pilihan kebijakan
pembangunan pertanian yang sejak awal tertuju atau menekankan
pada kebutuhan beras (Usman, 2004 dalam Anonim 2011). Ketika
diasumsikan bahwa bahan pangan pokok adalah beras, maka
kebutuhan akan beras menjadi semakin meningkat. Tentu saja ini
berpotensi menimbulkan kelangkaan akan beras, yang akhirnya akan
diikuti dengan peningkatan harga bahan pangan pokok beras.
Pengembangan berbagai varietas tanaman pertanian telah
membantu menaikkan produktivitas, namun di sisi lain banyak plasma
nutfah atau spesies liar yang hilang. Penanaman varietas tanaman
pertanian yang seragam juga membuat keanekaragaman genetik
berkurang atau hilang.
4. Masalah infrastruktur dan teknologi pertanian
Terbatasnya aspek ketersediaan infrastruktur penunjang
pertanian yang juga penting namun minim ialah pembangunan dan
pengembangan waduk. Pasalnya, dari total areal sawah di Indonesia
sebesar 7.230.183 ha, sumber airnya 11 persen (797.971 ha) berasal
dari waduk, sementara 89 persen (6.432.212 ha) berasal dari non-
waduk. Karena itu, revitalisasi waduk sesungguhnya harus menjadi
prioritas karena tidak hanya untuk mengatasi kekeringan, tetapi juga
untuk menambah layanan irigasi nasional. Badan Nasional
Penanggulangan Bencana (BNPB) menyatakan, 42 waduk saat ini
dalam kondisi waspada akibat berkurangnya pasokan air selama
kemarau. Sepuluh waduk telah kering, sementara 19 waduk masih
17
berstatus normal. Selain itu masih rendahnya kesadaran dari para
pemangku kepentingan di daerah untuk mempertahankan lahan
pertanian produksi, menjadi salah satu penyebab infrastruktur
pertanian menjadi buruk.
Masalah lain adalah adanya kelemahan dalam sistem alih
teknologi. Ciri utama pertanian modern adalah produktivitas, efisiensi,
mutu dan kontinuitas pasokan yang terus menerus harus selalu
meningkat dan terpelihara. Produk-produk pertanian kita baik
komoditi tanaman pangan (hortikultura), perikanan, perkebunan dan
peternakan harus menghadapi pasar dunia yang telah dikemas dengan
kualitas tinggi dan memiliki standar tertentu. Tentu saja produk
dengan mutu tinggi tersebut dihasilkan melalui suatu proses yang
menggunakan muatan teknologi standar. Indonesia menghadapi
persaingan yang keras dan tajam tidak hanya di dunia tetapi bahkan di
kawasan ASEAN. Namun tidak semua teknologi dapat diadopsi dan
diterapkan begitu saja karena pertanian di negara sumber teknologi
mempunyai karakteristik yang berbeda dengan negara kita, bahkan
kondisi lahan pertanian di tiap daerah juga berbeda-beda. Teknologi
tersebut harus dipelajari, dimodifikasi, dikembangkan, dan selanjutnya
baru diterapkan ke dalam sistem pertanian kita. Dalam hal ini peran
kelembagaan sangatlah penting, baik dalam inovasi alat dan mesin
pertanian yang memenuhi kebutuhan petani maupun dalam
pemberdayaan masyarakat. Lembaga-lembaga ini juga dibutuhkan
untuk menilai respon sosial, ekonomi masyarakat terhadap inovasi
teknologi, dan melakukan penyesuaian dalam pengambilan kebijakan
mekanisasi pertanian.
D. Kelembagaan dalam Pengelolaan Pertanian Nasional
Secara teknis aspek kelembagaan menjadi syarat untuk mewujudkan
pertanian berkelanjutan dan ketahanan pangan nasional. Kelembagaan yang
dimaksud adalah mencakup kelembagaan atau stakeholder pemerintah,
petani (kelompok tani dan gapoktan), perguruan tinggi dan ormas yang
memiliki kepedulian terhadap sektor pertanian. Kelembagaan ini nantinya
18
akan memainkan fungsi regulasi, inovasi, motivasi, fasilitasi dan
pengawasan sesuai dengan kedudukan stakeholder masing. Stakeholder
atau lembaga tersebut akan membentuk sistem yang sinergi yang bersifat
kemitraan.
Secara struktural persoalan pertanian di negeri ini ditangani langsung
oleh Kementerian Pertanian. Hanya saja pada kenyataannya pelaksanaan
pembangunan pertanian bersentuhan langsung dengan sektor-sektor lainnya.
Hal ini mencerminkan adanya pola hubungan antara Kementerian Pertanian
dengan kementerian lainnya. Pelaksanan sistem pertanian berkelanjutan dan
ketahanan pangan tentunya melibatkan banyak pihak terkait diantaranya :
- Pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian Pekerjaan Umum (PU),
Kementerian Pertanian, Badan Pusat Statistik (BPS) dan Badan
Pertanahan Nasional (BPN)
- Pemerintah daerah baik pemerintah provinsi maupun kabupaten/kota
serta pemerintah desa
- Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan)/kelompok tani atau petani
Secara umum pola hubungan lintas sektoral dalam pembangunan
pertanian dapat digambarkan sebagai berikut:
Kementerian PU
(Sarana dan Prasarana
: Irigasi Primer dan
Sekunder)
BPS Provinsi
BPN
(Data dan Informasi
Lahan
BPS
(Data dan Informasi
secara Umum)
Kementerian Pertanian
(Sarana dan Prasarana :
Benih, Saprotan, Irigasi,
Embung, JUT, Penguatan
Modal dan Kelembagaan)
Dinas Pertanian
ProvinsiDinas PU Provinsi
Kelompok Tani / Gapoktan
BPN Kab/KotaBPS Kab/KotaDinas Pertanian
Kabupaten/Kota
Dinas PU Kabupaten/
Kota
BPN Provinsi
Gambar 1. Pola hubungan lintas sektoral dalam pembangunan pertanian
19
Bagan diatas tentu saja tidak secara komprehensif menggambarkan
pola antar lembaga yang terlibat dalam pembangunan pertanian. Masih
banyak lagi kelembagaan lain yang akan terkait di dalamnya seperti:
Lembaga Keuangan Negara berkaitan pembiayaan pembangunan dan
pengembangan pertanian,
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) berkaitan
dengan dokumentasi perencanaan pembangunan dalam skala nasional,
Perguruan Tinggi menyangkut penelitian pengembangan pertanian,
Lembaga perbankan berkaitan dengan kredit usaha pertanian,
Badan usaha yang bergerak di sektor pertanian berkaitan dengan
penyediaan sarana produksi dan alat mesin pertanian,
Organisasi masyarakat yang behubungan dengan pertanian yang
berperan dalam pengawasan dan pemberdayaan masyarakat tani.
Selain itu kelembagaan atau stakeholder lain yang sangat penting
memainkan peranan dalam pembangunan pertanian adalah kelompok tani
atau gabungan kelompok tani (Gapoktan). Gapoktan/ kelompok tani/ petani
sebagai bagian integral dalam pembangunan pertanian mempunyai peran
dan fungsi penting dalam menggerakan pembangunan pertanian di
pedesaan, hal ini dikarenakan mereka adalah pelaku utama dalam
pembangunan pertanian.
Dari uraian diatas menunjukkan bahwa banyaknya kelembagaan atau
stakeholder yang terlibat, sektor pertanian bersentuhan langsung dengan
hajat hidup orang banyak. Namun disisi lain menjadikan permasalahan di
sektor pertanian menjadi lebih rumit diselesaikan akibat banyaknya lembaga
yang harus berkoordinasi.
20
I. ANALISIS KEBERLANJUTAN PEMBANGUNAN PERTANIAN
Bagian ini mencoba menganalisis serta menformulasikan solusi alternatif
terhadap pembangunan pertanian kita. Pendekatan yang dilakukan berbasis pada
masalah yang telah diuraikan dalam bab-bab sebelumnya. Sesuai judul yang
diangkat yaitu penerapan pertanian berkelanjutan menuju ketahanan pangan.
Setidaknya ada dua kata kunci yaitu “berkelanjutan” dan “ketahanan pangan”.
Kata “penerapan” lebih pada penekanan bahwa konsep ini bersifat aplikatif dan
menunjukan komitmen untuk memajukan dan melestarikan dunia pertanian. Dua
kata kunci tersebut akan terlebih dahulu diurai dalam bab ini.
Kata berkelanjutan sering digunakan dalam jargon pembangunan secara
umum. Perhatian terhadap konsep pembangunan berkelanjutan dimulai sejak
Malthus pada tahun 1798 mengkhawatirkan ketersediaan lahan di Inggris akibat
ledakan penduduk. Meadow et al. 1972 dalam Fauzi 2006 mengemukakan bahwa
pertumbuhan ekonomi akan sangat dibatasi oleh ketersediaan sumber daya alam.
Perhatian terhadap pembangunan berkelanjutan populer kembali pada tahun
1987 saat World Commission on Environment and Development atau dikenal
sebagai Brundtland Commission menerbitkan buku berjudul Our Common Future
(Fauzi 2006). Buku tersebut memicu lahirnya agenda baru pembangunan ekonomi
dan keterkaitannya dengan lingkungan, termasuk di bidang pertanian dalam
konteks pembangunan berkelanjutan. Komisi Brundtland mendefinisikan
pembangunan berkelanjutan sebagai pembangunan yang memenuhi kebutuhan
generasi saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk
memenuhi kebutuhan mereka.
The Agricultural Research Service (USDA) mendefinisikan pertanian
berkelanjutan sebagai pertanian yang pada waktu mendatang dapat bersaing,
produktif, menguntungkan, mengkonservasi sumber daya alam, melindungi
lingkungan, serta meningkatkan kesehatan, kualitas pangan, dan keselamatan.
Pertanian berkelanjutan merupakan pengelolaan sumber daya alam serta
pengubahan teknologi dan kelembagaan sedemikian rupa untuk menjamin
pemenuhan dan pemuasan kebutuhan manusia secara berkelanjutan bagi generasi
sekarang dan mendatang (FAO 1989 dalam Saptana dan Ashari 2007).
21
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya
Tanaman Pasal 2 menjelaskan bahwa sistem budidaya tanaman sebagai bagian
pertanian yang dilakukan dengan asas manfaat, lestari, dan berkelanjutan. Selain
itu, dalam Bab V (Tata Ruang dan Tata Guna Tanah Budidaya Tanaman) Pasal 44
ayat (2) menjelaskan bahwa pelaksanaan kegiatan pertanian dilakukan dengan
memperhatikan kesesuaian dan kemampuan lahan maupun pelestarian lingkungan
hidup khususnya konservasi tanah.
Lebih rinci dalam Undang-Undang RI No. 41 tahun 2009 tentang
Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan Pasal 3 menjelaskan bahwa
perlindungan pertanian pangan berkelanjutan diselenggarakan dengan tujuan 1)
melindungi kawasan dan lahan pertanian pangan secara berkelanjutan; 2)
menjamin tersedianya lahan pertanian pangan secara berkelanjutan; 3)
mewujudkan kemandirian, ketahanan dan kedaulatan pangan; 4) melindungi
kepemilikan lahan pertanian pangan milik petani; 5) meningkatkan kemakmuran
serta kesejahteraan petani dan masyarakat; 6) meningkatkan perlindungan dan
pemberdayaan petani; 7) meningkatkan penyediaan lapangan kerja bagi
kehidupan yang layak; 8) mempertahankan keseimbangan ekologis; dan 9)
mewujudkan revitalisasi pertanian. Adapun peraturan-peraturan yang terkait
dengan pembangunan berkelanjutan dan ketahanan pangan disajikan dalam
Lampiran 2.
Salikin (2011) menjelaskan bahwa pertanian berkelanjutan (sustainable
agriculture) menyentuh tiga aspek yakni kesadaran lingkungan (Ecolologically
Sound), bernilai ekonomi (Economic Valueable) dan berwatak sosial atau
kemasyarakatan (Socially Just). Ketiga aspek ini saling berkaitan membentuk satu
sistem pertanian secara terpadu. Mengabaikan salah satu aspek tersebut maka
pertanian akan berjalan timpang dan tidak berkelanjutan.
Aspek kesadaran lingkungan menjelaskan bahwa sistem budidaya
pertanian tidak boleh menyimpang dari sistem ekologis yang ada. Keseimbangan
adalah indikator adanya harmonisasi dari sistem ekologis yang mekanismenya
dikendalikan oleh hukum alam. Misalnya perburuan ular sawah untuk diambil
kulitnya akan mengakibatkan terganggunya keseimbangan dan ketegangan
ekologis berupa timbulnya ledakan populasi tikus sawah, sehingga berubah
22
menjadi hama yang merugikan. Demikian juga, penggunaan obat-obatan kimia
pada sistem ekologi persawahan akan mengakibatkan terganggunya keseimbangan
lingkungan karena matinya organisme non-hama yang sebenarnya bermanfaat.
Misalnya, sekarang sangat sulit mendapatkan belut, katak hijau, capung, bibis,
belalang, dan serangga lain yang hidup liar di sawah. Padahal hewan-hewan
tersebut memiliki keterkaitan manfaat, baik sebagai tambahan sumber bahan
pangan potensial maupun sebagai penentu keseimbangan ekosistem persawahan.
Aspek ekonomis menjelaskan bagaimana sistem budidaya pertanian harus
mengacu pada pertimbangan untung rugi, baik bagi diri sendiri dan orang lain,
untuk jangka pendek dan jangka panjang, serta bagi organisme dalam sistem
ekologi maupun di luar sistem ekologi. Motif-motif ekonomi saja tidak cukup
menjadi alasan pembenaran untuk mengeksploitasi sumberdaya pertanian secara
tidak bertanggung jawab.
Aspek Sosial atau Kemasyarakatan menjelaskan sistem pertanian harus
selaras dengan norma-norma sosial dan budaya yang dianut dan dijunjung tinggi
oleh masyarakat di sekitarnya. Norma-norma sosial dan budaya harus lebih
diperhatikan, apalagi dalam sistem pertanian di Indonesia biasanya jarak antara
perumahan penduduk dengan areal pertanian sangat berdekatan. Didukung dengan
tingginya nilai sosial, budaya, dan agama, maka aspek ini menjadi sangat sensitif
dan harus menjadi pertimbangan utama sebelum merencanakan suatu usaha
pertanian dalam arti luas. Masing-masing daerah memiliki kekayaan pengetahuan
lokal spesifik dan tatanan adat di bidang pertanian yang sangat dihormati oleh
masyarakat setempat.
Pertanian berkelanjutan juga banyak diidentikan dengan istilah LEISA
(Low External Input Sustainable Agriculture) atau LISA (Low Input Susteainable
Agriculture), yaitu sistem pertanian yang berupaya meminimalkan penggunaan
input (benih, pupuk kimia, pestisida dan bahan bakar) dari luar ekosistem, yang
dalam jangka panjang dapat membahayakan kelangsungan hidup sistem pertanian
(Salikin 2007). Secara umum, pertanian berkelanjutan bertujuan meningkatkan
kualitas kehidupan (quality of life). Untuk mencapai tujuan tersebut, diperlukan
paling tidak tujuh macam kegiatan, yaitu: meningkatkan pembangunan ekonomi,
memprioritaskan kecukupan pangan, meningkatkan pengembangan sumberdaya
23
manusia, meningkatkan harga diri, memberdayakan dan memerdekakan petani,
menjaga stabilitas lingkungan, dan memfokuskan tujuan produktivitas untuk
jangka panjang (Manguiat 1995 dalam Salikin 2007). Masalahnya, banyak
kebijakan pemerintah sejak zaman orde baru mencetak paradigma yang sangat
kuat. Kebijakan seperti revolusi hijau dan penyeragaman pangan nasional yang
diperkuat oleh haegomoni politik membuat semakin sulitnya menguubah
paradigma tersebut. Bahkan UNDP (United Nations Development Programs)
membuat sebuah kuadran “keberhasilan pembangunan” yang tidak menyinggung
aspek moral dan lingkungan. Human Capital yang dicirikan oleh peningkatan
physical capital dan finance capital secara implisit menjadi variable penentu dari
keberhasilan pembangunan tersebut. Tentu paradigma seperti ini merupakan
paradigma jangka pendek, sebagaimana disajikan dalam Gambar 2.
Gambar 2. Kuadran Keberhasilan Pembangunan (UNDP, 1996 dalam
makalah Pertanian Berkelanjutan dengan metode LEISA)
Konsep Pertanian Berkelanjutan untuk Menuju Ketahanan Pangan
Kebijakan pertanian pada masa orde baru, yang dikenal revolusi hijau,
bersifat memusat dan cenderung represif terhadap berbagai kreatifitas usaha
tani, pada kenyataannya melahirkan sebuah pola agribisnis yang berbiaya
tinggi secara kesinambungan dan kurang berwawasan lingkungan (Daniel
dan Gudon 1998). Kemudian pada masa Kabinet Reformasi, petani menaruh
harapan besar akan lahirnya kebijakan-kebijakan agribisnis, namun ternyata
Cepat
K4: Tidak Seimbang K1: Seimbang & Kuat
Lambat Cepat
K3: Seimbang & Lemah K2: Tidak Seimbang
Lambat
PE
PM
(Pembangunan Manusia)
(Pembangunan Ekonomi)
24
masih belum signifikan melepaskan kinerja agribisnis dari keterpurukannya.
Demikian pula pada masa pemerintahan Kabinet Persatuan Nasional,
Kabinet Gotong Royong, hingga Kabinet Indonesia Bersatu, perhatian
pemerintah terhadap konsep pertanian yang keberlanjutan di Indonesia
masih dinilai kurang serius.
Hegemoni politik masih mendominasi lahirnya kebijakan-kebijakan di
sektor pertanian, sehingga ia lahir tanpa berpihak pada kekuatan
sumberdaya domestik — salah satu ciri yang paling vulgar adalah kebijakan
impor bahan pangan dengan pertimbangan statistik secara nasional. Selain
itu adanya kebijakan pertanian yang kurang mendukung perkembangan
agribisnis nasional seperti liberalisasi pasar pertanian, impor beras,
industrialisasi yang mengikis sektor pertanian, serta kinerja lembaga-
lembaga terkait yang tidak efektif dan efisien. Maka dari itu, perlu suatu
kebijakan yang komprehensif guna meningkatkan kesejahteraan petani
Indonesia, seperti perbaikan infrastruktur terkait, land reform policy agar
petani tidak lagi sekedar menjadi buruh tani, perbaikan mekanisme subsidi
pupuk, serta perluasan lahan pertanian, dengan harapan hasil produksi
meningkat sehingga terwujud ketahanan pangan nasional dan petani
sejahtera. Akan tetapi, praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang
sudah secara sistemik dan terstruktur di negara ini sangat mempengaruhi
pembangunan pertanian sampai pada level akar rumput.
Paradigma pembangunan pertanian oleh Menteri Pertanian pada masa
Kabinet Reformasi bisa dikatakan hanya sebagai pendukung, bukan jiwa
pertanian nasional. Akibatnya, sektor pertanian diposisikan sebagai
pemasok bahan kebutuhan pangan dan bahan baku industri berharga murah,
pengendali stabilitas harga, dan sumber tenaga kerja murah. Jadi paradigma
pembangunan pertanian masa pra-reformasi itu tidak sesuai dengan
kekuatan nusantara yang sebenarnya memiliki sumber daya alam tropis
yang melimpah dan sumber tenaga kerja pertanian yang banyak di pedesaan.
Maka pada masa Kabinet Indonesia Bersatu, paradigma itu berubah menjadi
paradigma produksi yang diikuti dengan paradigma sistem dan agribisnis.
25
Berdasarkan paradigma baru tersebut, tampak bahwa pemerintah
menaruh harapan besar terhadap pelaksanaan pembangunan pertanian yang
memberikan kontribusi besar bagi pemeliharaan ketahanan pangan dan
perekonomian nasional. Namun saat ini, ketahanan pangan nasional lebih
diartikan sebagai penyediaan pangan secara nasional sehingga
pendekatannya selalu berupa upaya pemenuhan kebutuhan pangan rakyat
Indonesia. Namun harapan itu tidak didukung secara nyata melalui
kebijakan-kebijakan yang termonitor terhadap tingkat harga bahan input,
harga jual, dukungan teknologi dan ilmu pengetahuan, sehingga menjadikan
tingkat pendapatan usaha tani menjadi rendah dan menyebabkan kerawanan
pangan di tingkat masyarakat.
Visi dan misi kementrian pertanian terbaru masih dirasa kontra
produktif dan dinilai “setengah hati” terhadap ketahanan pangan nasional.
Peluang tetap dilaksanakannya sistem pertanian yang sarat dengan masukan
eksternal (HEIA, high external input agriculture) masih sangat terbuka
lebar. Aspek ekologi tidak secara tegas disebutkan dalam visi, namun hanya
ditempatkan pada misi dengan kalimat “berwawasan lingkungan” (sistem
LEISA, low external input and sustainable agriculture). Selain itu istilah
“kemandirian pangan” yang ada pada visi justru tidak secara jelas terurai
dalam misinya, seharusnya pemerintah konsisten dengan visinya mendorong
setiap wilayah untuk melakukan produksi pangan yang sesuai dengan
keragaman lokal. Sehingga keragamangan ini dirasa masih sebagai
paradigma lama ketahanan pangan yang bersifat pemenuhan pangan secara
nasional bukan individu. Paradigma seperti itu pada kenyataannya terbukti
telah menyebabkan kerawanan pangan di keluarga, bahkan tingkat individu,
seperti yang telah terbukti selama krisis pangan berlangsung.
Pertanian berkelanjutan seperti sistem LEISA, memiliki keunggulan
tata laksana pertanian yang berkearifan lingkungan dan mengedepankan
keragaman lokal tanpa mengesampingkan aspek ekonomi, sosial dan
budayanya. Dengan menyeleksi dan menyesuaikan teknik dan sumberdaya
genetik yang sesuai, petani dapat menciptakan sistem LEISA bagi tata letak
fisik hayati dan sosiokulturnya. Sistem-sistem terpadu inilah yang dapat
26
menyediakan kebutuhan sehari-hari bagi keluarga petani. Kombinasi
berbagai macam spesies tanaman dan hewan dan penerapan beraneka ragam
teknik untuk menciptakan kondisi yang cocok dan untuk melindungi
lingkungan juga membantu petani menjaga produktivitas lahan mereka dan
mengurangi resiko usaha tani. Model-model pertanian berkelanjutan dan
terpadu yang ada bukanlah sebuah model yang dibakukan. Model-model itu
berfungsi sebagai suatu basis untuk membahas pilihan-pilihan teknik yang
harus disesuaikan dengan karakteristik khas tiap lahan melalui proses
pengembangan teknologi partisipatoris. Salah satu bentuk model pertanian
LEISA yang terpadu adalah sebagai berikut :
Gambar 3. Contoh Model Arus Input dan Output Pertanian LEISA.
Sumber: Pertanian LEISA pada Lahan Basah, Solihin (2008)
Produk Utama (daging,
telur, benih ikan)
Produk Ikutan (kotoran ternak)
Proses Produksi
Ternak/Ikan
Produk Utama
Produk
Ikutan
Proses
Produksi
Tanaman
Rumah
Tangga
Pengelola
Limbah Masukan
Eksternal
(agrokimia)
Uang Pasar
27
Analisis Finansial Usaha
Pertanian Terpadu Unggulan
Berbasis Tanaman / Ternak / Ikan
Pencadangan
Lahan
Identifikasi Karakteristik
Lahan
Evaluasi
Kesesuaian
Lahan
Iklim; Air; Tanah;
Sosial; Budaya;
Peruntukan
Lahan
Analisis Kebutuhan
Hidup Layak (KHL)
Keluarga Tani atau
Kelompok Masyarakat
Analisis
Pemasaran Produk
Pertanian
(Tanaman, Ternak,
dan Ikan)
Tanaman
? Ternak ? Ikan ?
Persyaratan Lingkungan
Tanaman/Ternak
Persyaratan
Sosial, Budaya
Persyaratan
Komoditas
Lokal
Perencanaan Usaha Pertanian Terpadu
Unggulan Berbasis Tanaman/Ternak/Ikan
28
Gambar 4. Diagram alir pembanguan pertanian berkelanjutan yang
berkearifan komoditas lokal. Sumber: Modifikasi Suwarto dan
Mugnisjah (2008)
Pada diagram alir pembangunan pertanian berkelanjutan tersebut,
terlihat bahwa penentuan komoditas yang akan diusahakan adalah
komoditas yang disesuaikan dengan kondisi lingkungan dan kebutuhan
lokal. Termasuk didalamnya komoditas pangan yang tidak harus berupa
padi, namun disesuaikan dengan kebutuhan pangan setempat seperti jagung,
umbi-umbian dan sagu. Selain itu pertanian yang dikelola bukanlah
pertanian monokultur, namun sebuah konsep pertanian terpadu yang saling
memberikan kontribusi sebagai bahan input maupun subsidi pendapatan,
sehingga mampu mencapai standar pendapatan yang minimal sebanding
dengan nilai Kriteria Hidup Layak (KHL) sebesar Rp 45.000.000 per tahunn
(sesuai KHL Fakultas Pertanian). Sebagai ilustrasi ketangguhan sebuah
pertanian terpadu tersebut dapat dilihat pada Lampiran 1.
Pembangunan Sistem Pangan Nasional
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1996 tentang
Pangan membahas subsistem kegiatan (proses) produksi pangan, subsistem
ini mencakup kegiatan atau proses menghasilkan, menyiapkan, mengolah,
membuat, mengawetkan, mengemas, mengemas kembali, dan atau
mengubah bentuk pangan (Pasal 1, Ayat 5). Jadi, subsistem kegiatan
(proses) produksi pangan berurusan dengan kegiatan produksi pangan
Perancangan Usaha Pertanian Terpadu Unggulan
Penyusunan Rencana Pengelolaan Usaha
Pertanian Terpadu Unggulan
Pengoperasian Usaha Pertanian Terpadu Unggulan
29
yang bersifat on farm (kegiatan produksi bahan mentah) dan yang off farm
(kegiatan pengolahan pangan dan agroindustri). Oleh karena itu, dalam
rangka ketahanan pangan sangat diharapkan adanya kebijakan yang saling
mendukung antar lembaga tinggi negara yang terkait. Kebijakan tentang
intensifikasi, ekstensifikasi, rehabilitasi, dan diversifikasi produksi pertanian
yang ditempuh oleh Departemen Pertanian, sebagai contoh, merupakan hal
yang relevan di tingkat on farm dalam upaya penyediaan pangan. Di tingkat
off farm, kebijakan yang mencakup pengembangan agroindustri dan industri
pengolahan pangan, juga relevan dalam rangka penyediaan pangan.
30
III. SIMPULAN
1. Konsep ketahanan pangan yang dianut dan dijalankan saat ini justru telah
menyengsarakan masyarakat tani secara individu.
2. Pertanian berkelanjutan dan terpadu yang mengambil pendekatan ekologi
dan komoditi lokal merupakan solusi untuk menghindari kerawanan pangan
nasional. Pertanian yang dikembangkan harus mengedepankan tiga faktor
penting yaitu ramah lingkungan / ekologi, menguntungkan secara ekonomi,
serta memberikan dampak sosial yang positif.
3. Pertanian organik dapat menjadi solusi untuk pengembangan pertanian di
mana selain produktivitas ekonomi yang tetap terjaga, lingkungan pertanian
pun tetap lestari.
4. Pemerintah perlu membuat kebijakan yang lebih fundamental, yakni secara
tegas dan rinci mendukung pola pertanian berkelanjutan dan komoditi lokal,
serta bertanggung jawab dalam implementasinya di lapangan.
5. Diperlukan langkah nyata dan terkontrol dari pemerintah melalui kebijakan
dan revitalisasi peran lembaga pertanian sampai ke tingkat daerah.
31
DAFTAR PUSTAKA
[Anonim]. 2011. http://aksarasahaja.wordpress.com/2011/01/15/kerusakan-
lingkungan-dan-krisis-pangan/ (diakses 20 September 2012).
Anshori, Imam. 2009. Konsepsi Pengelolaan Sumber Daya Air Menyeluruh dan
Terpadu. Buletin Dewan Sumberdaya Air Nasional tahun 2009.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2000. Hasil Sensus Penduduk, Penyerapan Tenaga
Kerja. Jakarta: BPS.
______________________. 2001. Data Lahan Pertanian. Jakarta: BPS.
______________________. 2004. Data Lahan Pertanian. Jakarta: BPS.
______________________. 2010. Data Kependudukan Nasional. Jakarta: BPS.
Daniel dan Gudon E. 1998. Menggugat Revolusi Hijau Orde Baru. WACANA
No. 12/Juli-Agustus.
[FAO] Food and Agriculture Organization. 1989. World, The State of Food and
Agriculture. Rome, Italy: Food and Agriculture Organization of the UN.
[FAOSTAT] Food and Agriculture Organization of the United Nations, Statistics
Database. www.faostat.fao.org (diakses 6 Oktoember 2012).
Fauzi, A. 2006. Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan: Teori dan
Aplikasi. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Gliessman SR. 2007. Agroecology: The Ecology of Sustainable Food System Ed
ke-2. Boca Raton: CRC Press.
Hamm, Ulrich dan Michelsen, Johannes. 2000. Analysis of The Organic Food
Market in Europe. Prosiding Konferensi Ilmiah IFOAM di Swiss.
Hermanto dan K.S Swastika, Dewi. 2011. Penguatan Kelompok Tani: Langkah
Awal Peningkatan Kesejahteraan Petani. Jurnal Analisis Kebijakan
Pertanian Volume 9 Nomor 4, Desember 2011.
Jolly, Desmond. 2000. From Cottage Industry to Conglomerates: The
Transformation of The US Organic Food Industry. Prosiding Konferensi
Ilmiah IFOAM di Swiss.
[Litbang Kementan] Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian
Pertanian. 2011. Data Potensi Lahan Pertanian Indonesia. Jakarta:
Kementerian Pertanian.
32
[LK Kementan] Laporan Kinerja Kementerian Pertanian RI. 2011. Jakarta
MetroTV. 2011. http://metrotvnews.com/read/news/2011/12/15/75484/IPB-75-
Persen-Lahan-Pertanian-Indonesia. (diakses September 2012).
[PSP Kementan] Direktorat Jendral Prasarana dan Sarana Pertanian, Kementerian
Pertanian. 2011. www.psp.deptan.go.id (diakses September 2012).
[Puslitbangtanak] Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat.
2002. Data Hasil Evaluasi Lahan di Indonesia. Jakarta: Puslitbangnak
Reijntjes. 2009.
Salikin KA. 2007. Sistem Pertanian Berkelanjutan. Yogyakarta: Penerbit
Kanisius.
Saptana dan Ashari. 2007. Pembangunan Pertanian Berkelanjutan Melalui
Kemitraan Usaha. Jurnal Litbang Pertanian, no 26(4): 123-130.
Sutawan, Nyoman. 2001. Pengelolaan Sumberdaya Air untuk Pertanian
Berkelanjutan – Masalah dan Saran Kebijaksanaan. Ejournal Universitas
Udayana - Bali.
[Tim Sintesis Kebijakan] Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya
Lahan Pertanian. 2008. Strategi Penanggulangan Pencemaran Lahan
Pertanian dan Kerusakan Lingkungan. Pengembangan Inovasi Pertanian 1
(2), 2008: 125-128
top related