kejahatan korporasi by timur abimanyu, sh.mh
Post on 27-Nov-2015
60 Views
Preview:
TRANSCRIPT
1
Kejahatan Korporasi Dalam Penerapan Sanksi Hukum Berdasarkan UU No. 25 Tahun 2003
Serta Implementasi-nya
By Timur Abimanyu, SH.MH
Kejahatan korporasi (corporate crime) merupakan salah satu penomena yang timbul dengan semakin majunya kegiatan perekenomian dan teknologi.Corporate crime bukanlah barang baru, melainkan barang lama yang senantiasa berganti kemasan. Tidak ada yang dapat menyangkal bahwa perkembangan zaman serta kemajuan peradaban dan teknologi turut disertai dengan perkembangan tindak kejahatan berserta kompleksitasnya. Di sisi lain, ketentuan Hukum Pidana yang berlaku di Indonesia belum dapat menjangkaunya dan senantiasa ketinggalan untuk merumuskannya. Salah satu contohnya adalah Tindak Pidana Pencucian Uang (money laundering) yang baru dikriminalisasi secara resmi pada tahun 2002. Contoh lain adalah kejahatan dunia maya atau cyber crime yang sampai dengan saat ini pengaturannya masih mengundang tanda tanya. Akibatnya, banyak bermunculan tindakan-tindakan atau kasus-kasus illegal, namun tidak dapat dikategorikan sebagai crime.
Agar dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang, maka di berlakukanya Undang Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentan Perubahan Atas Undang Undang Nomor 15 Tan 2002 tetang Tindak Pidana pencucian uang perlu disesuaikan dengan perkembangan hukum pidana tentang pencucian uang dan standar internasional, dengan berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud tersebu diatas.
Tindak pidana (crime) dapat diidentifikasi dengan timbulnya kerugian (harm), yang kemudian mengakibatkan lahirnya pertanggungjawaban pidana atau criminal liability. Yang pada gilirannya mengundang perdebatan adalah bagaimana pertanggungjawaban korporasi atau corporate liability mengingat bahwa di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia yang dianggap sebagai subyek hukum pidana hanyalah orang perseorangan dalam konotasi biologis yang alami (naturlijkee person). Di samping itu, KUHP juga masih menganut asas sociates delinquere non potest dimana badan hukum atau korporasi dianggap tidak dapat melakukan tindak pidana sebagaimana ditentukan undang-undang. Jika seandainya kegiatan atau aktivitas yang dilakukan untuk dan atas nama suatu korporasi terbukti mengakibatkan kerugian dan harus diberikan sanksi, siapa yang akan bertanggungjawab ? Apakah pribadi korporasi itu sendiri atau para pengurusnya ?
Dasar analisa pemikiran tersebut untuk mendeteksi sampai sejauh manakah undang-undang kejahatan korporasi tersebut dapat mencegah para pelaku tindak pidana pencucian uang yang banyak terjadi di dalam maupun diluar wilayah hukum negara Indonesia.
Ruang Lingkup dan Pengertian.
Ruang lingkup kejahatan Korporasi adalah di bidang perekonomian terutama pada
industri perbankan yaitu Pencucian Uang adalah perbuatan yang menempatkan, mentransfer,
membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa ke
2
luar negeri, menukarkan, atau perbuatan lainnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau
patut diduga merupakan hasil tindak pidana dengan maksud untuk menyembunyikan, atau
menyamarkan asal usul Harta Kekayaan sehingga seolah-olah menjadi Harta Kekayaan yang
sah, yang dilakukan oleh 1.Setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi, 2.
Korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi baik
merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum, 3. Harta Kekayaan adalah semua
benda bergerak atau benda tidak bergerak, baik yang berwujud maupun yang tidak
berwujud dan 4. Penyedia Jasa Keuangan adalah setiap orang yang menyediakan jasa di
bidang keuangan atau jasa lainnya yang terkait dengan keuangan termasuk tetapi tidak terbatas
pada bank, lembaga pembiayaan, perusahaan efek, pengelola reksa dana, kustodian, wali
amanat, lembaga penyimpanan dan penyelesaian, pedagang valuta asing, dana pensiun,
perusahaan asuransi, dan kantor pos.
Setiap transaksi adalah seluruh kegiatan yang menimbulkan hak atau kewajiban atau
menyebabkan timbulnya hubungan hukum antara dua pihak atau lebih, termasuk kegiatan
pentransferan dan/atau pemindahbukuan dana yang dilakukan oleh Penyedia Jasa Keuangan,
dimana terhadap transaksi Keuangan yang mencurigakan adalah berupa : a. transaksi
keuangan yang menyimpang dari profil, karakteristik atau kebiasaan pola transaksi dari
nasabah yang bersangkutan, b. transaksi keuangan oleh nasabah yang patut diduga
dilakukan dengan tujuan untuk menghindari pelaporan transaksi yang bersangkutan yang
wajib dilakukan oleh Penyedia Jasa Keuangan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang
ini dan/atau c. transaksi keuangan yang dilakukan atau batal dilakukan dengan menggunakan
Harta Kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana.
Sedangkan transaksi Keuangan yang Dilakukan Secara Tunai adalah transaksi
penarikan, penyetoran, atau penitipan yang dilakukan dengan uang tunai atau instrumen
pembayaran lain yang dilakukan melalui Penyedia Jasa Keuangan, dengan dokumen yang
nerupakan data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar, yang
dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas,
benda fisik apapun selain kertas, atau yang terekam secara elektronik, termasuk tetapi tidak
terbatas pada : a. tulisan, suara, atau gambar, b. peta, rancangan, foto, atau sejenisnya dan
c. c. huruf, tanda, angka, simbol, atau perforasi yang memiliki makna atau dapat dipahami
oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya. Dengan adanya pusat pelaporan dan
Analisis Transaksi Keuangan yang selanjutnya disebut yang PPATK adalah suatu lembaga
3
independen yang dibentuk dalam rangka mencegah dan memberantas tindak pidana
pencucian uang menurut Undang-undang No. 25 Tahun 2003 tentang tindak pidana pencucian
uang.
1. Pengertian Kejahatan Korporasi.1
Sebagaimana penulis uraikan diatas, bahwa Kejahatan Korporasi Black’s Law
Dictionary menyebutkan kejahatan korporasi atau corporate crime adalah any criminal
offense committed by and hence chargeable to a corporation because of activities of its
officers or employees (e.g., price fixing, toxic waste dumping), often referred to as
“white collar crime yang artinya kejahatan korporasi adalah tindak pidana yang
dilakukan oleh dan oleh karena itu dapat dibebankan pada suatu korporasi karena
aktivitas-aktivitas pegawai atau karyawannya (seperti penetapan harga, pembuangan
limbah), sering juga disebut sebagai “kejahatan kerah putih”.
Sally. A. Simpson yang mengutip pendapat John Braithwaite menyatakan kejahatan korporasi adalah “conduct of a corporation, or employees acting on behalf of a corporation, which is proscribed and punishable by law“. Simpson menyatakan bahwa ada tiga ide pokok dari definisi Braithwaite mengenai kejahatan korporasi. Pertama, tindakan ilegal dari korporasi dan agen-agennya berbeda dengan perilaku kriminal kelas sosio-ekonomi bawah dalam hal prosedur administrasi. Karenanya, yang digolongkan kejahatan korporasi tidak hanya tindakan kejahatan atas hukum pidana, tetapi juga pelanggaran atas hukum perdata dan administrasi. Kedua, baik korporasi (sebagai “subyek hukum perorangan “legal persons“) dan perwakilannya termasuk sebagai pelaku kejahatan (as illegal actors), dimana dalam praktek yudisialnya, bergantung pada antara lain kejahatan yang dilakukan, aturan dan kualitas pembuktian dan penuntutan. Ketiga, motivasi kejahatan yang dilakukan korporasi bukan bertujuan untuk keuntungan pribadi, melainkan pada pemenuhan kebutuhan dan pencapaian keuntungan organisasional. Tidak menutup kemungkinan motif tersebut ditopang pula oleh norma operasional (internal) dan sub-kultur organisasional.
Jelasnya bahwa kejahatan korporasi mungkin tidak terlalu sering terpublikasi dalam
pemberitaan-pemberitaan kriminil di media. Aparat penegak hukum, seperti kepolisian
juga pada umumnya lebih sering menindak aksi-aksi kejahatan konvensional yang
secara nyata dan faktual terdapat dalam aktivitas sehari-hari masyarakat. Ada beberapa
1. Undang Undang Republik Indonesia, Nomor 31 Tahun 1999, Pasal 1, Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:1.Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.2. Pegawai Negeri adalah meliputi : a. pegawa i nege r i s ebaga imana d imaksud da l am Undang-undang t en t ang Kepegawaian;b. pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana; c.orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah;d. orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah; ataue. orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat.3. Setiap orang adalah orang perseorangan atau termasuk korporasi.
4
beberapa faktor yang mempengaruhi hal ini. Pertama, kejahatan-kejahatan yang
dilaporkan oleh masyarakat hanyalah kejahatan-kejahatan konvensional. Penelitian
juga menunjukkan bahwa aktivitas aparat kepolisian sebagian besar didasarkan atas
laporan anggota masyarakat, sehingga kejahatan yang ditangani oleh kepolisian juga
turut bersifat konvensional. Kedua, pandangan masyarakat cenderung melihat kejahatan
korporasi atau kejahatan kerah putih bukan sebagai hal-hal yang sangat berbahaya,dan
juga turut dipengaruhi. Ketiga, pandangan serta landasan hukum menyangkut siapa
yang diakui sebagai subjek hukum pidana dalam hukum pidana Indonesia. Keempat,
tujuan dari pemidanaan kejahatan korporasi adalah lebih kepada agar adanya perbaikan
dan ganti rugi, berbeda dengan pemidanaan kejahatan lain yang konvensional yang
bertujuan untuk menangkap dan menghukum. Kelima, pengetahuan aparat penegak
hukum menyangkut kejahatan korporasi masih dinilai sangat minim, sehingga
terkadang terkesan enggan untuk menindaklanjutinya secara hukum. Kelima, kejahatan
korporasi sering melibatkan tokoh-tokoh masyarakat dengan status sosial yang tinggi.
Hal ini dinilai dapat mempengaruhi proses penegakan hukum.
2. Pertanggungan Jawaban Pidana Akibat Kejahatan Koorporasi.2
Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia memang hanya
menetapkan bahwa yang menjadi subjek tindak pidana adalah orang persorangan (legal
persoon). Pembuat undang-undang dalam merumuskan delik harus memperhitungkan
bahwa manusia melakukan tindakan di dalam atau melalui organisasi yang, dalam
hukum keperdataan maupun di luarnya (misalnya dalam hukum administrasi), muncul
sebagai satu kesatuan dan karena itu diakui serta mendapat perlakuan sebagai
badan hukum atau korporasi. Berdasarkan KUHP, pembuat undang-undang akan
2 Undang Undang Republik Indonesia, Nomor 20 Tahun 2001, Pasal I, Beberapa ketentuan dan penjelasan pasal dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diubah sebagai berikut:1.Pasal 2 ayat (2) substansi tetap, penjelasan pasal diubah sehingga rumusannya sebagaimana tercantum dalam penjelasan Pasal Demi Pasal angka 1 Undang-undang ini.2. Ketentuan Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12, rumusannya diubah dengan tidak mengacu pasal-pasal dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana tetapi langsung menyebutkan unsur-unsur yang terdapat dalam masing-masing pasal Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang diacu, sehingga berbunyi sebagai berikut:Pasal 5, (1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang: :a.memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat s e sua tu da l am j aba t annya , yang be r t en t angan dengan kewajibannya; atau, b. memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara nega ra ka r ena a t au be rhubungan dengan s e sua tu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.(2) Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).Pasal 6, (1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang::a.memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili; atau, b.memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan dengan maksud untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili dan s e t e ru snya .
5
merujuk pada pengurus atau komisaris korporasi jika mereka berhadapan dengan situasi
seperti itu. Sehingga, jika KUHP Indonesia saat ini tidak bisa dijadikan sebagai
landasan untuk pertanggungjawaban pidana oleh korporasi, namun hanya
dimungkinkan pertanggungjawaban oleh pengurus korporasi. Hal ini bisa kita lihat
dalam pasal 398 KUHP yang menyatakan bahwa jika seorang pengurus atau komisaris
perseroan terbatas, maskapai andil Indonesia atau perkumpulan korporasi yang
dinyatakan dalam keadaan pailit atau yang diperintahkan penyelesaian oleh pengadilan,
diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun 4 bulan: 1. jika yang
bersangkutan turut membantu atau mengizinkan untuk melakukan perbuatan-perbuatan
yang bertentangan dengan anggaran dasar, sehingga oleh karena itu seluruh atau
sebagian besar dari kerugian diderita oleh perseroan, maskapai, atau perkumpulan.
Di Belanda sendiri, sebagai tempat asal KUHP Indonesia, pada tanggal 23 Juni
1976, korporasi diresmikan sebagai subjek hukum pidana dan ketentuan ini dimasukkan
kedalam pasal 51 KUHP Belanda (Sr.), yang isinya menyatakan antara lain:
1. Tindak pidana dapat dilakukan baik oleh perorangan maupun korporasi;
2. Jika suatu tindak pidana dilakukan oleh korporasi, penuntutan pidana dapat
dijalankan dan sanksi pidana maupun tindakan yang disediakan dalam perundang-
undangan sepanjang berkenaan dengan korporasi dapat dijatuhkan. Dalam hal ini,
pengenaan sanksi dapat dilakukan terhadap :
2.1. korporasi sendiri, atau
2.2. mereka yang secara faktual memberikan perintah untuk melakukan tindak
pidana yang dimaksud, termasuk mereka yang secara faktual memimpin
pelaksanaan tindak pidana dimaksud, atau
2.3. korporasi atau mereka yang dimaksud di atas bersama-sama secara tanggung
renteng.
Berkenaan dengan penerapan butir-butir sebelumnya, yang disamakan dengan
korporasi: persekutuan bukan badan hukum, maatschap (persekutuan
perdatan), rederij (persekutuan perkapalan) dandoelvermogen (harta kekayaan yang
dipisahkan demi pencapaian tujuan tertentu; social fund atau yayasan).
6
Meskipun KUHP3 Indonesia saat ini tidak mengikutsertakan korporasi sebagai
subyek hukum yang dapat dibebankan pertanggungjawaban pidana, namun
korporasi mulai diposisikan sebagai subyek hukum pidana dengan ditetapkannya
UU No.7/Drt/1955 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana
Ekonomi.
Kemudian kejahatan korporasi juga diatur dan tersebar dalam berbagai undang-
undang khusus lainnya dengan rumusan yang berbeda-beda mengenai “korporasi”,
antara lain termasuk pengertian badan usaha, perseroan, perusahaan, perkumpulan,
yayasan, perserikatan, organisasi, dan lain-lain, seperti :
- UU No.11/PNPS/1964 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi ;
- UU No.38/2004 tentang Jalan ;
- UU No.31/1999 jo. UU No.21 tahunn 2002 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi .;
Jelasnya bahwa Pertanggungjawaban Pidana oleh Korporasi, dimana korporasi
sebagai badan hukum sudah tentu memiliki identitas hukum tersendiri. Identitas
hukum suatu korporasi atau perusahaan terpisah dari identitas hukum para
pemegang sahamnya, direksi, maupun organ-organ lainnya. Dalam kaidah hukum
perdata (civil law), jelas ditetapkan bahwa suatu korporasi atau badan hukum
merukapan subjek hukum perdata dapat melakukan aktivitas jual beli, dapat
membuat perjanjian atau kontrak dengan pihak lain, serta dapat menuntut dan
dituntut di pengadilan dalam hubungan keperdataan. Para pemegang saham
menikmati keuntungan yang diperoleh dari konsep tanggung jawab terbatas, dan
3 Undang Undang Republik Indonesia, Nomor 20 Tahun 2001, Pasal I, Beberapa ketentuan dan penjelasan pasal dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diubah sebagai berikut:1.Pasal 2 ayat (2) substansi tetap, penjelasan pasal diubah sehingga rumusannya sebagaimana tercantum dalam penjelasan Pasal Demi Pasal angka 1 Undang-undang ini.2. Ketentuan Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12, rumusannya diubah dengan tidak mengacu pasal-pasal dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana tetapi langsung menyebutkan unsur-unsur yang terdapat dalam masing-masing pasal Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang diacu, sehingga berbunyi sebagai berikut:Pasal 5, (1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang: :a.memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat s e sua tu da l am j aba t annya , yang be r t en t angan dengan kewajibannya; atau, b. memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara nega ra ka r ena a t au be rhubungan dengan s e sua tu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.(2) Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).Pasal 6, (1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang::a.memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili; atau, b.memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan dengan maksud untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili..(2) Bagi hakim yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau advokat yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dan seterusnya.
7
kegiatan korporasi berlangsung terus-menerus, dalam arti bahwa keberadaannya
tidak akan berubah meskipun ada penambahan anggota-anggota baru atau
berhentinya atau meninggalnya anggota-anggota yang ada. Namun sampai saat ini,
konsep pertanggungjawaban pidana oleh korporasi sebagai pribadi (corporate
criminal liability) merupakan hal yang masih mengundang perdebatan. Banyak
pihak yang tidak mendukung pandangan bahwa suatu korporsi yang wujudnya semu
dapat melakukan suatu tindak kejahatan serta memiliki criminal intentyang
melahirkan pertanggungjawaban pidana. Disamping itu, mustahil untuk dapat
menghadirkan di korporasi dengan fisik yang sebenarnya dalam ruang pengadilan
dan duduk di kursi terdakwa guna menjalani proses peradilan.
Perlu diketahui dalam sistem hukum common law maupun civil law, sangat sulit
untuk dapat mengatribusikan suatu bentuk tindakan tertentu (actus reus atauguilty
act) serta membuktikan unsur mens rea (criminal intent atauguilty mind) dari suatu
entitas abstrak seperti korporasi. Di Indonesia, meskipun undang-undang diatas
dapat dijadikan sebagai landasan hukum untuk membebankan criminal
liability terhadap korporasi, namun Pengadilan Pidana sampai saat ini terkesan
enggan untuk mengakui dan mempergunakan peraturan-peraturan tersebut. Hal ini
dapat dilihat dari sedikitnya kasus-kasus kejahatan korporasi di pengadilan dan
tentu saja berdampak pada sangat sedikitnya keputusan pengadilan berkaitan
dengan kejahatan korporasi. Akibatnya, tidak ada acuan yang dapat
dijadikansebagai preseden bagi lingkungan peradilan di Indonesia. Dua kasus yang
muncul di peradilan sampai dengan saat ini hanya berkaitan dengan pelanggaran
lingkungan hidup.
Jika kita melihat praktek yang diterapkan di Belanda sebelum pertanggung-jawaban
pidana korporasi ditetapkan dalam KUHP Belanda, sebagaimana disebutkan oleh
Remmelink dalam bukunya Hukum Pidana : Komentar atas Pasal-Pasal
Terpenting dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya
dalam Kita Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, dalam bidang hukum pidana
fiskal atau ekonomi, ditemukan kemungkinan menuntut pertanggunjawaban pidana
terhadap korporasi. Pandangan ini bahkan sudah dikenal lama sebelum KUHP
Belanda dibuat. Hal ini dimungkinkan dengan mempertimbangkan kepentingan
8
praktis. Dari sudut pandang ini, hukum pidana dapat dengan mudah melakukan
perujukan pada kewajiban yang dibebankan oleh hukum fiskal pada pemilik,
penyewa, atau yang menyewakan dan lain-lain, yang sering kali berbentuk
korporasi. Namun, terlepas dari itu, dalam perkembangan selanjutnya hukum pidana
umum juga semakin sering dengan masalah tersebut. Semakin banyak perundang-
undangan dan peraturan administratif baru yang bermunculan. Dalam aturan-aturan
tersebut, pembuat undang-undang merujuk pada ‘pengemban’ hak-hak warga yang
banyak berbentuk korporasi. Bilamana suatu kewajiban tidak dipenuhi, maka
beranjak dari sistem perundang-undangan yang ada, ‘korporasi’ juga dimungkinkan
untuk dipandang sebagai ‘pelaku’. Di Belanda, kemungkinan ini sudah lama
dikenal dalam waterschapsverordening(peraturang tentang tata guna dan lalu lintas
perairan) yang sering mewajibkan pemilik tanah yang terletak disamping kali atau
saluran air untuk membersihkan atau menjaga kebersihan kewajiban yang diancam
dengan sanksi pidana apabila dilalaikan.
Dalam praktek common law, Pengadilan Inggris pertama kali memberlakukan
pertanggungjawaban pidana korporasi hanya bagi kasus-kasus pelanggaran
kewajiban hukum oleh korporasi-korporasi quasi-public yang hanya bersifat
pelanggaran ketertiban umum (public nuisance). Sejalan dengan semakin
meningkatnya jumlah dan peranan korporasi, pengadilan memperluas
pertanggungjawaban pidana korporasi pada bentuk-bentuk pelanggaran atau
kejahatan yang tidak terlalu serius yang tidak memerlukan pembuktian mens
rea atau criminal intent (offenses that did not require criminal intent), yang
didasarkan pada doktrin vicarious liability. Hal ini diikuti oleh pengadilan di
Amerika Serikat yang turut memberlakukan ketetapan yang serupa.
Pembebanan pertanggungjawaban pidana korporasi terhadap kejahatan yang
memerlukan pembuktian mens rea baru dilakukan setelah melalui waktu dan
perkembangan yang lambat. Di Amerika Serikat, penerapan corporate criminal
liability pertama kali diterapkan dalam kasus New York Central & Hudson River
Railroad Company v. United States, dimana pemerintah Amerika Serikat mendakwa
perusahaan New York Central telah melanggar Elkins Act section I.
9
Oleh karenanya dengan berlakunya Undang-Undang No. 25 Tahun 2003 tentang
kejahatan tindak pidana pencucian uang yang mengatur tenang bantuan timbal balik
didalam masalah tindak pidana pencucian uang diatur pada Pasal 44 yaitu :
(1). Dalam rangka mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang, dapat
dilakukan kerja sama bantuan timbal balik di bidang hukum dengan negara lain
melalui forum bilateral atau multilateral sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(2) Kerja sama bantuan timbal balik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ini dapat
dilaksanakan dalam hal negara dimaksud telah mengadakan perjanjian kerja sama
bantuan timbal balik dengan Negara Republik Indonesia atau berdasarkan prinsip
resiprositas dan kerja sama yang dimaksud antara lain meliputi: a. pengambilan
barang bukti dan pernyataan seseorang, termasuk pelaksanaan surat rogatori, b.
pemberian barang bukti berupa dokumen dan catatan lain, c. identifikasi dan lokasi
keberadaan seseorang, d. pelaksanaan permintaan untuk pencarian barang bukti dan
penyitaan, e.upaya untuk melakukan pencarian, pembekuan, dan penyitaan hasil
kejahatan, f.mengusahakan persetujuan orang-orang yang bersedia memberikan
kesaksian atau membantu penyidikan di negara peminta dan g. bantuan lain yang
sesuai dengan tujuan pemberian kerja sama timbal balik yang tidak bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan. Dan dalam rangka melakukan kerja sama
bantuan timbal balik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri yang
bertanggung jawab di bidang hukum dan peraturan perundang-undangan dapat
meminta pejabat yang berwenang untuk melakukan tindakan kepolisian berupa
penggeledahan, pemblokiran, penyitaan, pemeriksaan surat, pengambilan
keterangan, atau hal-hal lain yang sesuai dengan ketentuan dan persyaratan
sebagaimana diatur dalam Hukum Acara Pidana dan Undang-Undang ini serta
Barang bukti, pernyataan, dokumen, atau catatan lain sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) merupakan alat bukti yang digunakan dalam pemeriksaan tindak pidana
pencucian uang sesuai dengan peraturan perundangundangan.
(3) Permintaan kerja sama bantuan timbal balik dari dan ke negara lain disampaikan
kepada dan oleh Menteri yang bertanggung jawab di bidang hukum dan perundang-
undangan.
10
(4) Menteri dapat menolak permintaan kerja sama bantuan timbal balik dari negara lain
dalam hal tindakan yang diajukan oleh negara lain tersebut dapat mengganggu
kepentingan nasional atau permintaan tersebut berkaitan dengan penuntutan kasus
politik atau penuntutan yang berkaitan dengan suku, agama, ras, kebangsaan, atau
sikap politik seseorang.
3. Dasar Hukum adalah Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak
Pidana Pencucian Uang, UU No.11/PNPS/1964 tentang Pemberantasan Kegiatan
Subversi, UU No.38/2004 tentang Jalan, UU No.31/1999 jo. UU No.21 tahunn 2002
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang Undang No. 25 Tahun 2003
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 tahun 2002 tentang Tindak Pidana
Pencucian Uang, Undang-Undang No. 3 tahun 2004 tentang Bank Indonesia dan KUHP
Pasal 51, Pasal 398.
Kebijakan Menurut Undang Undang No. 25 Tahun 2003 Dan Opini Terehadap
Rancangan Kitab Undang Undang Hukum Pidana (RKUHP).
Dimana Menurut Pasal 2 adalah mengenai Hasil tindak pidana adalah Harta Kekayaan yang
diperoleh dari tindak pidana: a. Korupsi,b.penyuapan,c. penyelundupan barang, d.
penyelundupan tenaga kerja, e. penyelundupan imigran, f. di bidang perbankan,g. Dibidang
pasar modal, h.dibidang asuransi,i.narkotika,j.psikotropika,k. perdagangan manusia,
l. perdagangan senjata gelap .....dst.
Dimana tindak pidana lainnya yang diancam dengan pidana penjara 4(empat) tahun atau
lebih, yang dilakukan di wilayah Negara Republik Indonesia atau di luar wilayah Negara
Republik Indonesia dan tindak pidana tersebut juga merupakan tindak pidana menurut
hukum Indonesia, dimana terhadap Harta Kekayaan yang dipergunakan secara langsung
atau tidak langsung untuk kegiatan terorisme dipersamakan sebagai hasil tindak pidana
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf n dari Undang Undang No. 25 Tahun 2003.
A. Contoh Kasus
1. Jakarta-Wakil Ketua Komisi XI DPR Harry Azhar Azis mengungkapkan kasus Melinda Dee dan kasus debt collector yang menimpa Citibank mungkin saja merupakan sebuah kejahatan korporasi."Polisi kan bilang kemungkinan masih tetap ada. Kita lihat saja nanti, kita enggak bisa memberikan sanksi karena belum ada bukti yang kuat," ujar
11
Harry ketika berbincang dengan okezone, Minggu (1/5/2011). Menanggapi masalah ini, Harry mengaku akan kembali membahasnya dengan pihak Bank Indonesia (BI) untuk menilai apakah keputusan BI sesuai dengan keputusan komisi atau tidak."Masih pembahasan. Apa yang sudah dilakukan Bank Indonesia, nanti Mei kita masuk lagi. Kesempatan rapat kerja dengan gubernur BI," tambahnya. Harry pun menambahkan belum adanya laporan resmi dari BI mengenai masalah ini atau masalah pelanggaran standard of procedure (SOP) dari pihak Citibank. Pihaknya pun akan terus menelusuri kasus ini. "Sekarang belum ada laporan lebih lanjut," Ungkap Harry.Lebih lanjut, dirinya juga masih mempertanyakan kepastian kasus ini, apakah termasuk kejahatan korporasi atau kejahatan individual."Apakah nanti kasus ini tingkat tertentu badan usaha. Sekarang kan posisinya masih individual. Apakah itu ada kaitan dengan kejahatan korporasi, apakah tindakan kematian nasabah atau Melinda jabatan tertentu kejahatan korporasi," pungkasnya.4
2. Jakarta - Penyidik Kepolisian Daerah Metro Jaya akan mengusut kemungkinan adanya uang negara dalam dana Elnusa senilai Rp 111 miliar yang dibobol. Jika ada, polisi akan mendalami dugaan tindak pidana korupsi dalam pembobolan tersebut."Sementara, kita akan dalami, saham itu siapa saja yang punya. Kalau ada uang negara, kita selidiki ke sana (dugaan korupsi)," jelas Kepala Satuan Fiskal, Moneter dan Devisa (Fismondev) Polda Metro Jaya AKBP Arismunandar kepada wartawan di Mapolda Metro Jaya, Jakarta, Rabu (11/5/2011). Sementara itu, Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Kombes Baharudin Djafar mengatakan, pembobolan dana Elnusa adalah kejahatan korporasi. Pasalnya, pembobolan tersebut dilakukan secara berjamaah dengan melibatkan sejumlah pejabat dari berbagai instansi."Sejak awal, kasus ini korporasi. Buktinya, mereka berlima bersepakat bersepakat berlima orang, yang latar belakang berbeda melakukan kejahatan mengalihkan dana PT Elnusa," jelas Baharudin. Seperti diketahui, pembobolan dana PT Elnusa senilai Rp 111 miliar itu melibatkan Direktur Keuangan Elnusa, Santun Nainggolan, Kepala Cabang Bank Mega Jababeka, Itman Harry Basuki, Direktur PT Discovery, Ivan CL, Direktur PT Harvestindo Andi Gunawan beserta Staf Collection-nya bernama Zulkarnaen, juga seorang broker bernama Richard Latief. Dana Elnusa yang didepositokan itu dicairkan, lalu diinvestasikan ke lima perusahaan berjangka. Menurut pengakuan tersangka Ivan, dana yang diinvestasikan sebesar Rp 87 miliar. Namun, dari hasil pemeriksaan lima direksi perusahaan investasi, dana Elnusa yang diinvestasikan hanya Rp 55,4 miliar saja.
3. Jakarta (ANTARA News)5 - Pakar hukum pidana Universitas Indonesia (UI), Mardjono Reksodiputro, mengatakan bahwa korporasi dapat dipidana terkait kasus mafia pajak yang melibatkan mantan pegawai Direktorat Jenderal Pajak, Gayus HP Tambunan."Jadi meskipun yang menyampaikan uang pada saudara Gayus itu orang, tapi uang itu datangnya dari perusahaan. Jadi perusahaannya harus bisa dianggap bersalah," katanya di sela-sela seminar dengan tema "Kasus Gayus Ditinjau Dari Pendekatan Interdisipliner" di Jakarta, Kamis.Kasus pajak yang melibatkan Gayus itu, katanya, gratifikasinya besar, karena sebenarnya perusahaan yang meminta misalnya penurunan pajak dan sebagainya."Jadi meskipun yang tentu menyampaikan uang pada
4
? http://www.yahoo.com5 http://www.Antara.com
12
saudara Gayus itu orang, tapi uang tersebut datangnya dari perusahaan, maka perusahaannya harus bisa dianggap bersalah," kata Mardjono.Gayus saat menjadi pegawai Dirjen Pajak menangani pajak 149 perusahaan, di mana tiga perusahaan adalah milik Bakrie Group yakni Arutmin, Kaltim Prima Coal (KPC) dan Bumi Resources. Mardjono menambahkan ada empat sisi kasus Gayus yakni korupsi, penyimpangan oleh kekuasaan, penyalahgunaan wewenang oleh petugas penegak hukum dan harta kekayaan dalam kasus Gayus."Hampir semua Undang-Undang yang baru, itu dinyatakan bahwa kalau korporasi yang melakukan tindak pidana maka akan dikenakan hukuman yang berat," katanya.Menurut Mardjono, sebuah korporasi atau badan hukum dijadikan terpidana sebenarnya bukan hal baru, karena pada 1955 Indonesia sudah ada Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi."Tetapi sekarang selalu yang dikejar dan dibawa ke pengadilan adalah manusia," kata Guru Besar Fakultas Hukum UI itu.
4. Canadian Dredge and Dock v. The Queen, [1985] 1 S.C.R. 662. Dalam kasus ini, Supreme Court mengakui teori ini sebagai model untuk menentukan tanggungjawab perusahaan. Pengadilan berpendapat bahwa faktor yang membedakan antara directing mind dengan pegawai biasa adalah tingkatan kewenangan pengambilan atau pembuatan keputusan dalam praktek individual. Individu yang bertanggungjawab menyusun dan menerapkan kebijakan korporasi adalah directing mind dari perusahaan bersangkutan. Sebaliknya, individu yang membuat kebijakan untuk operasional day-to-day basis, bukanlah directing mind. Supreme Courtmenempatkan directing mind sebagai “ego”, “pusat” dan/atau “organ vital” korporasi.
Implementasi Kebijakan secara Internal.6
Analisa implementasi secara faktor internal terhadap upaya pencegahan kejahantan
korporasi, walaupun sudah ada undang-undang yang berlapis yaitu Pasal 5 ayat (1) dan Pasal
20 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, UU No.11/PNPS/1964 tentang
Pemberantasan Kegiatan Subversi, UU No.38/2004 tentang Jalan, UU No.31/1999 jo. UU
No.21 tahunn 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang No. 3
tahun 2004 tentang Bank Indonesia dan KUHP Pasal 51, Pasal 398.Akan tetapi dalam upaya
pencegahan secara faktor internal dimana segala kebijakan yang secara internal belum benar-
benar berjalan dengan sebaik-baiknya dan terimplementasi didalam menanggulali kejahatan
koorpirai tersebut. Dan secara otomatis dalam upaya penegakan hukum tidak berjalan
sebagaimana mestinya.
Undang-undang ini secara faktor internal dianggap mandul, karena tidak dapat berfungsi
untuk menanggulangi kejahatan kooporasi, apalagi didalam hal memberikan hukuman yang
6.Charty Scott, op.cit, hal. 274-275.Caveat venditor merupakan lawan caveat emtor digunakan biasanya dalam lingkungan finansiil,
Winardi, Kamus Ekonomi (Inggris-Indonesia), (Bandung : Penerbit Alimni, 1982), hal 59. Caveat Venditor diartikan sebagai sipenjual harus berhati-hati (Let The Seller Beware), Henry Campbell Vlack, Op.cit, hal.222. Kasmir, SE.,MM., “Dasar-Dasar Perbankan”, Divisi Buku Perguruan Tinggi, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta.Tahun 2005.
13
setimpal sesuai dengan kejahatan kooporasi yang mereka lakukan. Al hasil karena ketidak
tegasan didalam penindakan, maka kejahatan koorporasi akan terus berkembang dan semakin
canggih motif prilaku kejahatan koorporasi dengan menggunakan perangkat yang lebih
canggih, ketimbang perangkat yang dipunyai para penegak hukum atau institusi pemerintah
tersebut.
Implementasi Kebijakan secara External.7
Analisa secara faktor ekstenal, suatu korporasi adalah sebuah abstraksi dimana
kejahatan koorporasiIa tidak berdiri dan tumbuh yaitu karena ada kehendak yang harus dicari
atau ditemukan untuk tujuan tertentu yang dapat disebut sebagai agen/perantara, yang benar-
benar merupakan otak dan kehendak untuk mengarahkan (directing mind and will)8, maka
tindakannya pasti merupakan tindakan dari perusahaan itu sendiri. Dengan kata lain
unsur mens rea dari pertanggungjawaban pidana korporasi terpenuhi dengan dipenuhinya
unsur mens rea pengurus korporasi atau perusahaan tersebut. Begitu pula dengan actus
reus yang diwujudkan oleh pengurus korporasi yang berarti merupakan actus reus perusahaan.
Hal ini dapat dilihat terhadap pelaku tindak pidana yang berkomplot atau berkonspirasi untuk
menggelapkan uang dan memperoleh uang dengan cara menipu. Jika memang demikian
seharusnya Pengadilan berpendapat bahwa tidak ada alasan mengapa suatu korporasi yang
dapat mengikatkan dirinya dalam suatu perjanjian dengan individu atau korporasi lain tidak
dapat memenuhi unsur mens rea ketika korporasi tersebut melibatkan dirinya dalam perjanjian
yang menjadi dasar utama konspirasi dan penipuan tersebut dan secara umum terhadap
perusahaan yang merupakan kehendak bertindak dan mengarahkan (acting and directing will)
dari perusahaan. Niat untuk melakukan tindak pidana (mens rea) dan tindakan hukumnya
(actus reus) merupakan niat dan tindakan dari perusahaan dan bahwa konspirasi untuk
penggelapan uang dan penipuan merupakan kejahatan yang mampu diwujudkan oleh suatu
perusahaan.
Analisa Pertanggungan Jawab Pidana sebagai akaibat Perbuatan Melawan Hukum Kejahatan Korporasi.
Terdapatnya beberapa prinsip atau konsep yang penting.Pertama, directing mind dari
suatu korporasi atau perusahaan tidak terbatas hanya satu individu saja. Sejumlah pejabat
7Frederic.S.Mishkin, The Economics of Money, Bangking and Financial Market, Sixth Edition, Addison Wesley Longman USA, 2001.
8Gallant, Peter.” The Eurobond Market, First Publishied”.New York :New York Institute of Finance, 1988
14
korporasi atau anggota direksi bisa membentuk directing mind. Kedua, faktor geografis9 tidak
berpengaruh. Fakta bahwa suatu korporasi memiliki banyak operasi atau cabang di daerah
yang berbeda-beda tidak akan mempengaruhi penentuan individu-individu yang mana yang
menjadi directing minds korporasi. Dengan demikian, seseorang tidak dapat menghindar dari
tanggung jawab hanya karena ia tidak ditempatkan atau bertugas di daerah dimana perbuatan
melawan hukum dilakukan. Ketiga, korporasi10 tidak bisa lari dari tanggung jawab dengan
berkilah bahwa individu-individu tersebut melakukan perbuatan melawan hukum meskipun
telah ada instruksi untuk melakukan tindakan lain yang sah (tidak melawan hukum).
Anggota direksi dan pejabat korporasi lainnya memiliki kewajiban untuk mengawasi tindak
tanduk para pegawai lebih dari sekedar menetapkan panduan umum yang melarang tindakan
illegal.Keempat, untuk dapat dinyatakan bersalah melakukan perbuatan melawan hukum,
individu bersangkutan harus memiliki criminal intent atau mens rea. Directing mind dan mens
rea ada pada individu yang sama. Namun dalam teori identifikasi, anggota direksi atau pejabat
korporasi lain yang merupakandirecting mind korporasi tidak bisa dikenakan tanggung jawab
atas perbuatan melawan hukum yang dilakukan tanpa mereka sadari. Kelima, untuk dapat
menerapkan teori identifikasi harus dapat dibuktikanbahwa tindakan seorangdirecting
mind adalah : i) berdasarkan tugas atau instruksi yang ditugaskan padanya, ii) bukan
merupakan penipuan (fraud) yang dilakukan terhadap perusahaan, dan iii) dimaksudkan untuk
dapat mendatangkan keuntungan bagi perusahaan. Keenam, tanggung jawab korporasi
memerlukan analisa kontekstual. Dengan kata lain, penentuannya harus dilakukan
berdasarkancase-to-case basis. Jabatan seseorang dalam perusahaan tidak secara otomatis
menjadikannya bertanggungjawab. Penilaian terhadap kewenangan seseorang untuk
menetapkan kebijakan korporasi atau keputusan korporasi yang penting harus dilakukan dalam
konteks keadaan yang tertentu (particular circumstances).
Dalam hal Pertanggungan Jawab Pidana sebagai akaibat Perbuatan Melawan Hukum
Kejahatan Korporasi11. Korporasi sebagai badan hukum sudah tentu memiliki identitas hukum
tersendiri. Identitas hukum suatu korporasi atau perusahaan terpisah dari identitas hukum para
9Hardjasoemantri, Koesnadi. “Hukum Tata Lingkungan”.Edisi Ketujuh. Yogyakarta :Gadjah Mada University Press, 1999.
1010.Harzel Leo & Richard Shepro.” Setting the Boundaries for Disclosure”.Delevare Journal of Corporate Law, vol. 74 1989.
11Undang Undang Republik Indonesia, Nomor 31 Tahun 1999, Pasal 1, Dalam Undang-undang ini yang dimaksud
dengan:1.Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.2. Pegawai Negeri adalah meliputi : a. pegawa i nege r i s ebaga imana d imaksud da l am Undang-undang t en t ang Kepegawaian;b. pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana; c.orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah;d. orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah; ataue. orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat.3. Setiap orang adalah orang perseorangan atau termasuk korporasi.
15
pemegang sahamnya, direksi, maupun organ-organ lainnya. Dalam kaidah hukum perdata
(civil law), jelas ditetapkan bahwa suatu korporasi atau badan hukum merukapan subjek
hukum perdata dapat melakukan aktivitas jual beli, dapat membuat perjanjian atau kontrak
dengan pihak lain, serta dapat menuntut dan dituntut di pengadilan dalam hubungan
keperdataan. Para pemegang saham menikmati keuntungan yang diperoleh dari konsep
tanggung jawab terbatas, dan kegiatan korporasi berlangsung terus-menerus, dalam arti bahwa
keberadaannya tidak akan berubah meskipun ada penambahan anggota-anggota baru atau
berhentinya atau meninggalnya anggota-anggota yang ada. Namun sampai saat ini, konsep
pertanggungjawaban pidana oleh korporasi sebagai pribadi (corporate criminal liability)
merupakan hal yang masih mengundang perdebatan. Banyak pihak yang tidak mendukung
pandangan bahwa suatu korporsi yang wujudnya semu dapat melakukan suatu tindak kejahatan
serta memiliki criminal intentyang melahirkan pertanggungjawaban pidana. Disamping itu,
mustahil untuk dapat menghadirkan di korporasi dengan fisik yang sebenarnya dalam ruang
pengadilan dan duduk di kursi terdakwa guna menjalani proses peradilan.
Baik dalam sistem hukum common law maupun civil law, sangat sulit untuk dapat
mengatribusikan suatu bentuk tindakan tertentu (actus reus atauguilty act) serta membuktikan
unsur mens rea (criminal intent atauguilty mind) dari suatu entitas abstrak seperti korporasi.
Di Indonesia, meskipun undang-undang diatas dapat dijadikan sebagai landasan hukum untuk
membebankan criminal liability terhadap korporasi, namun Pengadilan Pidana sampai saat ini
terkesan enggan untuk mengakui dan mempergunakan peraturan-peraturan tersebut. Hal ini
dapat dilihat dari sedikitnya kasus-kasus kejahatan korporasi di pengadilan dan tentu saja
berdampak pada sangat sedikitnya keputusan pengadilan berkaitan dengan kejahatan
korporasi. Akibatnya, tidak ada acuan yang dapat dijadikan sebagai preseden bagi lingkungan
peradilan di Indonesia. Dua kasus yang muncul di peradilan sampai dengan saat ini hanya
berkaitan dengan pelanggaran lingkungan hidup.
Jika kita melihat praktek yang diterapkan di Belanda sebelum pertanggung-jawaban
pidana korporasi ditetapkan dalam KUHP Belanda, sebagaimana disebutkan oleh Remmelink
dalam bukunya Hukum Pidana : Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kita Undang-Undang Hukum Pidana
Indonesia, dalam bidang hukum pidana fiskal atau ekonomi, ditemukan kemungkinan
menuntut pertanggunjawaban pidana terhadap korporasi. Pandangan ini bahkan sudah
dikenal lama sebelum KUHP Belanda dibuat. Hal ini dimungkinkan dengan
16
mempertimbangkan kepentingan praktis. Dari sudut pandang ini, hukum pidana dapat dengan
mudah melakukan perujukan pada kewajiban yang dibebankan oleh hukum fiskal pada
pemilik, penyewa, atau yang menyewakan dan lain-lain, yang sering kali berbentuk korporasi.
Namun, terlepas dari itu, dalam perkembangan selanjutnya hukum pidana umum juga semakin
sering dengan masalah tersebut. Semakin banyak perundang-undangan dan peraturan
administratif baru yang bermunculan. Dalam aturan-aturan tersebut, pembuat undang-undang
merujuk pada ‘pengemban’ hak-hak warga yang banyak berbentuk korporasi. Bilamana suatu
kewajiban tidak dipenuhi, maka beranjak dari sistem perundang-undangan yang ada,
‘korporasi’ juga dimungkinkan untuk dipandang sebagai ‘pelaku’. Di Belanda, kemungkinan
ini sudah lama dikenal dalam waterschapsverordening(peraturang tentang tata guna dan lalu
lintas perairan) yang sering mewajibkan pemilik tanah yang terletak disamping kali atau
saluran air untuk membersihkan atau menjaga kebersihan-kewajiban yang diancam dengan
sanksi pidana apabila dilalaikan.
Dalam praktek common law12, Pengadilan Inggris pertama kali memberlakukan
pertanggungjawaban pidana korporasi hanya bagi kasus-kasus pelanggaran kewajiban hukum
oleh korporasi-korporasi quasi-public yang hanya bersifat pelanggaran ketertiban umum
(public nuisance). Sejalan dengan semakin meningkatnya jumlah dan peranan korporasi,
pengadilan memperluas pertanggungjawaban pidana korporasi pada bentuk-bentuk
pelanggaran atau kejahatan yang tidak terlalu serius yang tidak memerlukan
pembuktian mens rea atau criminal intent (offenses that did not require criminal intent), yang
didasarkan pada doktrin vicarious liability. Hal ini diikuti oleh pengadilan di Amerika Serikat
yang turut memberlakukan ketetapan yang serupa. Pembebanan pertanggungjawaban pidana
korporasi terhadap kejahatan yang memerlukan pembuktian mens rea baru dilakukan setelah
melalui waktu dan perkembangan yang lambat. Di Amerika Serikat, penerapan corporate
criminal liability pertama kali diterapkan dalam kasus New York Central & Hudson River
Railroad Company v. United States, dimana pemerintah Amerika Serikat mendakwa
perusahaan New York Central telah melanggar Elkins Act section I.
Tindakan yang dilakukan seseorang diduga melakukan kejahatan dapat diuji
berdasarkan kaedah hukum yang dilanggar apakah tindakan seseorang tersebut termasuk
kategori tindakan yang merupakan mala in se atau perbuatan yang merupakan mala in
prohibita. Tindakan yang termasuk mala in se, adalah perbuatan yang melawan hukum, ada 12
Soejono Soekanto, Mengenai Sosiologi Hukum, Bandung, PT. Citra Bakti, 1989.Teguh Pudjo Mulyono, “ Anlisis Laporan Keuangan untuk Perbankan”, Penerbit Djambatan , Jakarta, 1999.
17
atau tidak ada peraturan yang melarangnya misalnya mencuri, menipu, membunuh, dan
sebagainya. Sedangkan perbuatan yang merupakan mala in prohibita adalah perbuatan yang
dinyatakan melanggar hukum apabila ada aturan yang melarangnya misalnya aturan-aturan
lalu lintas di jalan raya, aturan-aturan administrasi internal suatu lembaga. Apabila tindakan
seseorang itu termasuk perbuatanmala in prohibita, ada kemungkinan dia hanya melanggar
aturan administrasi dan tidak dapat dikenakan hukuman pidana melainkan hanya tindakan
administratif.
Namun, apabila tindakan yang dilakukan seseorang itu termasuk kategori mala in se,
misalnya, dalam kasus obligor meskipun dana tersebut dikembalikan, unsur tindak pidananya
tidak hilang, pengembalian tersebut hanya merupakan unsur pertimbangan untuk memberi
keringanan hukuman. Untuk itu perlu ditelusuri kaedah hukum apa yang dilanggar? Apakah
tindakan tersebut termasuk melanggar kaedah hukum bahwa seseorang tidak boleh mengambil
barang orang lain tanpa hak seperti pada pencurian, penipuan atau perampokan maka
selanjutnya di telusuri pula unsur lainnya seperti adanya mens rea dan actus reus.
Dalam wacana common law, ada beberapa pendekatan yang dapat digunakan untuk
menentukan pertanggungjawaban pidana korporasi.
Identification Tests / Directing Mind Theory, atau directing minds theory, kesalahan dari
anggota direksi atau organ perusahaan/korporasi yang tidak menerima perintah dari tingkatan
yang lebih tinggi dalam perusahaan, dapat dibebankan kepada perusahaan/ korporasi. Teori
ini diadopsi di Inggris sejak tahun 1915, yaitu melalui kasus Lennard’s Carrying Co. Ltd v.
Asiatic Petroleum Co., [1915] A.C. 705, at 713 (H.L.). Dalam kasus ini, Hakim Pengadilan
berpendapat : ”Suatu korporasi adalah sebuah abstraksi. Ia tidak punya akal pikiran sendiri dan
begitu pula tubuh sendiri; kehendaknya harus dicari atau ditemukan dalam diri seseorang yang
untuk tujuan tertentu dapat disebut sebagai agen/perantara, yang benar-benar merupakan otak
dan kehendak untuk mengarahkan (directing mind and will) dari korporasi tersebut……Jika
Tuan Lennard merupakan otak pengarah dari perusahaan, maka tindakannya pasti merupakan
tindakan dari perusahaan itu sendiri”.
Kesimpulan :
1. Kejahatan Korporasi adalah di bidang perekonomian terutama pada industri perbankan yaitu Pencucian Uang adalah perbuatan yang menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, menukarkan, atau perbuatan lainnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga
18
merupakan hasil tindak pidana dengan maksud untuk menyembunyikan, atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan sehingga seolah-olah menjadi Harta Kekayaan yang sah, yang dilakukan oleh Setiap orang (orang perseorangan atau korporasi), kumpulan orang dan/atau kekayaan yang merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum, semua benda bergerak atau benda tidak bergerak (berwujud maupun yang tidak berwujud), dan Penyedia Jasa Keuangan. Dan setiap transaksi adalah seluruh kegiatan yang menimbulkan hak atau kewajiban atau menyebabkan timbulnya hubungan hukum antara dua pihak atau lebih, termasuk kegiatan pentransferan dan/atau pemindahbukuan dana yang dilakukan oleh Penyedia Jasa Keuangan.
2. Transaksi Keuangan yang Dilakukan Secara Tunai adalah transaksi penarikan, penyetoran, atau penitipan yang dilakukan dengan uang tunai atau instrumen pembayaran lain yang dilakukan melalui Penyedia Jasa Keuangan, dengan dokumen yang nerupakan data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, atau yang terekam secara elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada: a. tulisan, suara, atau gambar, b. peta, rancangan, foto, atau sejenisnya dan c. huruf, tanda, angka, simbol, atau perforasi yang memiliki makna atau dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya. Dengan adanya pusat pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan yang selanjutnya disebut yang PPATK adalah suatu lembaga independen yang dibentuk dalam rangka mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2003 tentang tindak pidana pencucian uang.
3. Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia memang hanya menetapkan bahwa yang menjadi subjek tindak pidana adalah orang persorangan (legal persoon), dalam merumuskan delik harus memperhitungkan bahwa manusia melakukan tindakan di dalam atau melalui organisasi yang, dalam hukum keperdataan maupun di luarnya (misalnya dalam hukum administrasi), muncul sebagai satu kesatuan dan karena itu diakui serta mendapat perlakuan sebagai badan hukum atau korporasi. Berdasarkan KUHP, pembuat undang-undang akan merujuk pada pengurus atau komisaris korporasi jika mereka berhadapan dengan situasi seperti itu, KUHP Indonesia tidak bisa dijadikan sebagai landasan untuk pertanggungjawaban pidana oleh korporasi, namun hanya dimungkinkan pertanggungjawaban oleh pengurus korporasi ( pasal 398 KUHP yang menyatakan bahwa jika seorang pengurus atau komisaris perseroan terbatas, maskapai andil Indonesia atau perkumpulan korporasi yang dinyatakan dalam keadaan pailit atau yang diperintahkan penyelesaian oleh pengadilan).
4. Meskipun KUHP Indonesia saat ini tidak mengikut sertakan korporasi sebagai subyek hukum yang dapat dibebankan pertanggungjawaban pidana, namun korporasi mulai diposisikan sebagai subyek hukum pidana dengan ditetapkannya UU No.7/Drt/1955 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi dan sistem hukum common law maupun civil law, sangat sulit untuk dapat mengatribusikan suatu bentuk tindakan tertentu (actus reus atauguilty act) serta membuktikan unsur mens rea (criminal intent atauguilty mind) dari suatu entitas abstrak seperti korporasi. Di Indonesia, meskipun undang-undang diatas dapat dijadikan sebagai landasan hukum untuk membebankan criminal liability terhadap korporasi, namun Pengadilan Pidana sampai saat ini terkesan enggan untuk mengakui dan mempergunakan peraturan-peraturan tersebut. Hal ini dapat dilihat dari sedikitnya kasus-kasus kejahatan korporasi di pengadilan dan tentu saja berdampak pada sangat sedikitnya keputusan pengadilan berkaitan dengan kejahatan korporasi. Akibatnya, tidak ada acuan yang dapat dijadikan sebagai preseden bagi lingkungan peradilan di Indonesia.
19
5. Dalam praktek common law, Pengadilan Inggris pertama kali memberlakukan pertanggungjawaban pidana korporasi hanya bagi kasus-kasus pelanggaran kewajiban hukum oleh korporasi-korporasi quasi-public yang hanya bersifat pelanggaran ketertiban umum (public nuisance). Sejalan dengan semakin meningkatnya jumlah dan peranan korporasi, pengadilan memperluas pertanggungjawaban pidana korporasi pada bentuk-bentuk pelanggaran atau kejahatan yang tidak terlalu serius yang tidak memerlukan pembuktian mens rea atau criminal intent (offenses that did not require criminal intent), yang didasarkan pada doktrin vicarious liability. Hal ini diikuti oleh pengadilan di Amerika Serikat yang turut memberlakukan ketetapan yang serupa.
6. Undang-Undang No. 25 Tahun 2003 tentang kejahatan tindak pidana pencucian uang yang mengatur tenang bantuan timbal balik didalam masalah tindak pidana pencucian uang diatur pada Pasal 44 yaitu :(1). Dalam rangka mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang, dapat dilakukan kerja sama bantuan timbal balik di bidang hukum dengan negara lain melalui forum bilateral atau multilateral sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, (2) Kerja sama bantuan timbal balik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ini dapat dilaksanakan dalam hal negara dimaksud telah mengadakan perjanjian kerja sama bantuan timbal balik dengan Negara Republik Indonesia atau berdasarkan prinsip resiprositas dan kerja sama yang dimaksud.
7. Analisa implementasi secara faktor internal terhadap upaya pencegahan kejahantan korporasi, walaupun sudah ada undang-undang yang berlapis yaitu Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, UU No.11/PNPS/1964 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi, UU No.38/2004 tentang Jalan, UU No.31/1999 jo. UU No.21 tahunn 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang No. 3 tahun 2004 tentang Bank Indonesia dan KUHP Pasal 51, Pasal 398. Dalam upaya pencegahan secara faktor internal dimana segala kebijakan yang secara internal belum benar-benar berjalan dengan sebaik-baiknya dan terimplementasi didalam menanggulali kejahatan koorpirai tersebut. Dan secara otomatis dalam upaya penegakan hukum tidak berjalan sebagaimana mestinya. Undang-undang ini secara faktor internal dianggap tidak berfungsi secara maksimal, karena tidak dapat berfungsi untuk menanggulangi kejahatan kooporasi, apalagi didalam hal memberikan hukuman yang setimpal sesuai dengan kejahatan kooporasi yang mereka lakukan. Al hasil karena ketidak tegasan didalam penindakan, maka kejahatan koorporasi akan terus berkembang dan semakin canggih motif prilaku kejahatan koorporasi dengan menggunakan perangkat yang lebih canggih, ketimbang perangkat yang dipunyai para penegak hukum atau institusi pemerintah tersebut.
8. Analisa secara faktor ekstenal, suatu korporasi adalah sebuah abstraksi dimana kejahatan koorporasiIa tidak berdiri dan tumbuh yaitu karena ada kehendak yang harus dicari atau ditemukan untuk tujuan tertentu yang dapat disebut sebagai agen/perantara, yang benar-benar merupakan otak dan kehendak untuk mengarahkan (directing mind and will), maka tindakannya pasti merupakan tindakan dari perusahaan itu sendiri. Dengan kata lain unsur mens rea dari pertanggungjawaban pidana korporasi terpenuhi dengan dipenuhinya unsur mens rea pengurus korporasi atau perusahaan tersebut. Begitu pula dengan actus reus yang diwujudkan oleh pengurus korporasi yang berarti merupakan actus reus perusahaan. Hal ini dapat dilihat terhadap pelaku tindak pidana yang berkomplot atau berkonspirasi untuk menggelapkan uang dan memperoleh uang dengan cara menipu. Jika memang demikian
20
seharusnya Pengadilan berpendapat bahwa tidak ada alasan mengapa suatu korporasi yang dapat mengikatkan dirinya dalam suatu perjanjian dengan individu atau korporasi lain tidak dapat memenuhi unsur mens rea ketika korporasi tersebut melibatkan dirinya dalam perjanjian yang menjadi dasar utama konspirasi dan penipuan tersebut dan secara umum terhadap perusahaan yang merupakan kehendak bertindak dan mengarahkan (acting and directing will) dari perusahaan. Niat untuk melakukan tindak pidana (mens rea) dan tindakan hukumnya (actus reus) merupakan niat dan tindakan dari perusahaan dan bahwa konspirasi untuk penggelapan uang dan penipuan merupakan kejahatan yang mampu diwujudkan oleh suatu perusahaan.
9. Berdasarkan case-to-case basis. Jabatan seseorang dalam perusahaan tidak secara otomatis menjadikannya bertanggungjawab. Penilaian terhadap kewenangan seseorang untuk menetapkan kebijakan korporasi atau keputusan korporasi yang penting harus dilakukan dalam konteks keadaan yang tertentu (particular circumstances). Dengan demikian Pertanggungan Jawab Pidana sebagai akaibat Perbuatan Melawan Hukum Kejahatan Korporasi. Korporasi sebagai badan hukum sudah tentu memiliki identitas hukum tersendiri. Identitas hukum suatu korporasi atau perusahaan terpisah dari identitas hukum para pemegang sahamnya, direksi, maupun organ-organ lainnya. Dalam kaidah hukum perdata (civil law), jelas ditetapkan bahwa suatu korporasi atau badan hukum merukapan subjek hukum perdata dapat melakukan aktivitas jual beli, dapat membuat perjanjian atau kontrak dengan pihak lain, serta dapat menuntut dan dituntut di pengadilan dalam hubungan keperdataan. Para pemegang saham menikmati keuntungan yang diperoleh dari konsep tanggung jawab terbatas, dan kegiatan korporasi berlangsung terus-menerus, dalam arti bahwa keberadaannya tidak akan berubah meskipun ada penambahan anggota-anggota baru atau berhentinya atau meninggalnya anggota-anggota yang ada.
10. Konsep pertanggungjawaban pidana oleh korporasi sebagai pribadi (corporate criminal liability) merupakan hal yang masih mengundang perdebatan. Banyak pihak yang tidak mendukung pandangan bahwa suatu korporsi yang wujudnya semu dapat melakukan suatu tindak kejahatan serta memiliki criminal intentyang melahirkan pertanggungjawaban pidana. Disamping itu, mustahil untuk dapat menghadirkan di korporasi dengan fisik yang sebenarnya dalam ruang pengadilan dan duduk di kursi terdakwa guna menjalani proses peradilan.
11. Tindakan yang dilakukan seseorang diduga melakukan kejahatan dapat diuji berdasarkan kaedah hukum yang dilanggar apakah tindakan seseorang tersebut termasuk kategori tindakan yang merupakan mala in se atau perbuatan yang merupakan mala in prohibita. Tindakan yang termasuk mala in se, adalah perbuatan yang melawan hukum, ada atau tidak ada peraturan yang melarangnya misalnya mencuri, menipu, membunuh, dan sebagainya. Sedangkan perbuatan yang merupakan mala in prohibita adalah perbuatan yang dinyatakan melanggar hukum apabila ada aturan yang melarangnya misalnya aturan-aturan lalu lintas di jalan raya, aturan-aturan administrasi internal suatu lembaga. Apabila tindakan seseorang itu termasuk perbuatanmala in prohibita, ada kemungkinan dia hanya melanggar aturan administrasi dan tidak dapat dikenakan hukuman pidana melainkan hanya tindakan administratif.
12. Kategori mala in se, misalnya, dalam kasus obligor meskipun dana tersebut dikembalikan, unsur tindak pidananya tidak hilang, pengembalian tersebut hanya merupakan unsur pertimbangan untuk memberi keringanan hukuman. Untuk itu perlu ditelusuri kaedah hukum apa yang dilanggar ? Apakah tindakan tersebut termasuk melanggar kaedah hukum bahwa
21
seseorang tidak boleh mengambil barang orang lain tanpa hak seperti pada pencurian, penipuan atau perampokan maka selanjutnya di telusuri pula unsur lainnya seperti adanya mens rea dan actus reus.
DAFTRA PUSTAKA
Abraham, Martin. “ The Lesson of Bhopal a Community Action Resource Manual on Hazardous Tecnologoes”.Penang, Malaysia : International Organization of Consumers Union IOCU, 1985.
Allen, Linda. “ Capital Markets And Institutions “: A Global View.New York, Brisbane, Singapore : Jhon Wiley & Sons’s, Inc., 1997.
Black and Daniel, “ Money and Bangkok”, Contemporary Pranctices, Politik and Isues Business Publication INC.Plano, Texas 1991.
Brodjonegoro, B. and Asunama, S. 2000: Regional Autonomy and Fiscal Decentralization in Democratic Indonesia. Unpublished paper, University of Jakarta.
Blair, H. 2000: Participation and Accountability at the Periphery: Democratic Local Governance in Six countries. World Development.
Crook, R. and Manor, J. 1994: Enhancing Participation and Institutional Performance: Democratic Decentralisation in South Asia and West Africa. London: Overseas Development Administration.
Corgill, Dennis.S.” Insider Trading, Price Signals, and Noisy Information”. Indiana Law Journal, vol. 71, 1996.
Davis, Jeffry L.” Disorgement in Insider Trading Cases : A Proposed Rule”. Securities Regulation Law Journal, vol.22, 1994.
------------Dasar-Dasar Perkreditan, Penerbit PT.Gramedia, Jakarta, 1988.Downes, John dan Jordan Elliot Gooman, “ Dictionary of Finance and Investment Term “Diterjemahkan oleh Soesanto Budhidarmo. Jakarta : PT.Elex Media Komputindo, 1991.
Eisert, Edward G “ Legal Strategis for Avoiding Class Action Law Suit Against Mutual Funds”. Securities Regulation Law Journal. Vol.24, 1996.
Eaton, K. 2001: Political Obstacles to Decentralization. Evidence from Argentina and the Philippines. Development and Change.
Fischel, Daniel R.” Efficient Capital Markets, The Crash, and the Fraud on the Market Theory”. Delaware Journal of Corporate Law, vol. 74, 1989.
Gallant, Peter.” The Eurobond Market, First Publishied”.New York :New York Institute of Finance, 1988.
Goelzer, Daniel L. Esq.” Management’s Discussion and Analysis and Environmental Disclosure”.Preventive Law Reporter, Summer, 1995.
Hardjasoemantri, Koesnadi. “Hukum Tata Lingkungan”.Edisi Ketujuh. Yogyakarta :Gadjah Mada University Press, 1999.
Harzel Leo & Richard Shepro.” Setting the Boundaries for Disclosure”.Delevare Journal of Corporate Law, vol. 74 1989.
Hidayat, Ade, Marthen Selamet Susanto, dan Sri Unggul Azul Sjafrie.I.Putu Gede Ary Suta. “Menuju Pasar Modal Modern’. Jakarta : Yayasan SAD Satria Bhaktu, 2000.
Indonesian Observer, 4/10/00: ‘Regions learning streamlined administration’. Islam, I. 1999: Regional Decentralisation in Indonesia: Towards a Social Accord. Working paper 99/01. Jakarta: United Nations Support Facilityfor Indonesian Recovery.
22
Kirana Jaya, W. and H. Dick, 2001: The Latest Crisis of Regional Autonomy in Historical Perspective. In Lloyd, G. and Smith, S., Editors, Indonesia Today: Challenges of History. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies.
Podger, O. 2001: Regions know what to do to develop themselves. Opinion. Jakarta Post, 29/3/01.Prasetyo, P. 2000: Personal communications.
Rondinelli, D. 1990: Decentralization, Territorial Power and the State : A Critical Response. Development and Change.
Rondinelli, D. and Cheema, G. 1983: Implementing Decentralization policies. In Cheema, G. and Rondinelli, D., Editors, Decentralization andDevelopment. Policy Implementation in Developing Countries. California: SAGE Publications.
------------Republik Indonesia, Undang Undang Nomor 25 tahun 2003 tentang------------Republik Indonesia, Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang “Otonomi
Daearh.”Republik Indonesia Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang “Pemerintahan Daerah.”
[Republic of Indonesia Law Number 22, 1999 regarding ‘Regional Governance’].-sudah tidak berlaku lagi.
------------Republik Indonesia, Undang Undang Nomor. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.
------------Republik Indonesia, Undang Undang Nomor. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Republik Indonesia, Undang Undang Nomor. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Republik Indonesia, Undang Undang Nomor. 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
Republik Indonesia, Undang Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang “Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah.”
------------Republika Online, Ju,;at. Tgl 27 Desember 1996 Sukrisno, “ Perencanaan Strategis Bank”, Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia, J akarta 1992.
Soejono Soekanto, Mengenai Sosiologi Hukum, Bandung, PT. Citra Bakti, 1989.Teguh Pudjo Mulyono, “Anlisis Laporan Keuangan untuk Perbankan”, Penerbit Djambatan , Jakarta, 1999.
Schwarz, A. 2000: A Nation in Waiting: Indonesia in the 1990s. New South Wales: Allen and Unwin.
Slater, D. 1989: Territorial Power and the Peripheral State: The issue of Decentralisation, Development and Change.1990: Debating Decentralisation–A Reply to Rondinelli ,Development and Change.
Sadli, M. 2000: Establishing Regional Autonomy in Indonesia. The State of the Debate. Paper presented at the University of Leiden, Holland, 15- 16 May.
Suharyo, W. 2000: Voices from the Regions: A Participatory Assessment of the New Decentralization Laws in Indonesia. Report prepared for the United Nations Support Facility for Indonesian Recovery, Jakarta.
Turner, S. and Seymour, R., 2002: Ethnic Chinese and the Indonesian Crisis.In R. Starrs, Editor, Nations under Siege: Globalisation and Nationalism in Asia. New York, Palgrave, MacMillian Press.
Thomas Suryono DKK, “ Kelembagaan Perbankan”, Penerbit PT. Gramedia, Jakarta, 1998.http://www.yahoo.comhttp://www.Antara.comhttp://www.Google.comHttp://www.detik.com
top related