kedudukan surat edaran gubernur aceh nomor 450/21770
Post on 21-Nov-2021
13 Views
Preview:
TRANSCRIPT
IURIS STUDIA: Jurnal Kajian Hukum Kedudukan Surat Edaran Gubernur Aceh… Volume 2 Nomor 2, Juni 2021: Page 241-256 (Muhammad Nur Miswari, dkk.)
Page 241
Kedudukan Surat Edaran Gubernur Aceh Nomor 450/21770 Tentang Larangan
Mengadakan Pengajian Selain Dari I’tiqad Ahlussunnah Waljamaah Yang
Bersumber Dari Mazhab Syafi’iyah Terhadap Qanun Nomor 8 Tahun 2014
Tentang Pokok-Pokok Syariat Islam
Muhammad Nur Miswari1, Faisal Akbar Nasution2, Mirza Nasution3, Chairul Bariah4 1,2,3,4Program Studi Magister Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Sumatera Utara
E-mail: miswary94@gmail.com (CA)
Abstrak
Berdasarkan ketentuan Permendagri Nomor 55 Tahun 2010 tentang Tata Naskah Dinas di Lingkungan
Kementerian Dalam Negeri Pasal 1 butir 43 menyebutkan Surat Edaran adalah naskah dinas yang berisi
pemberitahuan, penjelasan, dan/atau petunjuk cara melaksanakan hal tertentu yang di anggap penting
dan mendesak. Kemudian dalam Peraturan Kepala Arsip Nasional RI Nomor 2 Tahun 2014 tentang
Pedoman Tata Naskah Dinas, surat edaran digolongkan sebagai produk tata naskah dinas. Sehingga
idealnya Surat Edaran hanya sebatas alat komunikasi kedinasan berupa pemberitahuan kepada kalangan
internal saja. Diterbitkannya Surat Edaran Gubernur Aceh Nomor 450/21770 tentang Larangan
Mengadakan Pengajian Selain Dari I'tiqad Ahlussunnah Waljamaah yang bersumber Hukum Mazhab
Syafi'iyah oleh Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur Aceh menimbulkan permasalahan baru seperti
pembubaran pengajian secara paksa oleh kelompok yang namai dirinya pujuang ASWAJA, dan juga
Surat Edaran Gubernur Aceh tersebut telah mengurangi hak-hak warga negara yang dilindungi oleh
konstitusi, Kepala Ombudsman Aceh memberi pendapat agar SE tersebut dicabut karena dengan
dikeluarkannya SE tersebut akan memunculkan intoleransi antar umat beragama dan berpotensi masuk
kedalam ranah maladministrasi. Metode pendekatan dalam penelitian ini adalah menggunakan metode
yuridis sosiologis dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach),
pendekatan sejarah (historical approach) dan pendekatan kasus (case approch). Hasil penelitian
menunjukkan kewenangan pemerintah Aceh dalam membuat kebijakan dibentuk oleh Dewan
Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) dan Gubernur Aceh atas saran dan juga masukan dari MPU, namun
dalam hal pembentukan SE yang diterbitkan oleh Gubernur Aceh ini bukanlah sebuah peraturan
kebijakan yang berasal dari freies ermessen atau diskresi, ia hanyalah surat naskah kedinasan, Sehingga,
SE tersebut perlu dilakukan pengawasan oleh Ombudsman, DPRA, dan juga Peradilan Tata Usaha
Negara selaku lembaga yang berwenang dalam pelayanan publik.
Kata Kunci: Kedudukan, Surat EdaranGubernur Aceh 450/21770, Qanun Nomor 8 Tahun 2014
Abstract
The provisions of Permendagri Number 55 of 2010 concerning Administration of Service Scripts within
the Ministry of Home Affairs Article 1 43 states that Circular Letters are official texts containing notifications, explanations, and/or instructions based on how to carry out certain things that are
considered important and urgent. Then in the Regulation of the Head of the National Archives of the
Republic of Indonesia Number 2 of 2014 concerning Guidelines for Official Manuscripts, circulars are
classified as products of official manuscripts. So ideally the Circular Letter is only a communication
tool in the form of notification to internal circles. The issuance of the Circular Letter of the Governor of Aceh Number 450/21770 concerning the Prohibition of Holding Recitations Other than I'tiqad
Ahlussunnah Waljamaah which is sourced from the Syafi'iyah School of Law by the Acting Governor of
Aceh has created a new problem, namely the forcible dissolution of the recitation by a group calling itself a warrior. ASWAJA, as well as the Aceh Governor's Circular has reduced the rights of citizens
protected by the constitution, the Head of the Aceh Ombudsman gave the opinion that the SE was
revoked by the issuance of the SE it would lead to intolerance between religious communities and enter
the realm of maladministration. The approach method in this research is using a sociological juridical method using a statute approach, a historical approach, and a case approach. The results of research
from the Aceh government in making policies were formed by the Aceh People's Representative Council
Volume 2 Nomor 2, Juni 2021: Page 241-256
http://jurnal.bundamediagrup.co.id/index.php/iuris
ISSN ONLINE: 2745-8369
IURIS STUDIA: Jurnal Kajian Hukum Kedudukan Surat Edaran Gubernur Aceh… Volume 2 Nomor 2, Juni 2021: Page 241-256 (Muhammad Nur Miswari, dkk.)
Page 242
(DPRA) and the Aceh Governor on the advice and input of the MPU, but in terms of the formation of
the SE issued by the Aceh Governor this is a regulation that comes from freies ermessen or discretion it is only an official document. Thus, the SE needs to be supervised by the Ombudsman, DPRA, and also
the State Administrative Court as an institution in the public service.
Keywords: Position, Circular Letter of the Governor of Aceh 450/21770, Qanun Number 8 of 2014
Cara Sitasi:
Miswari, Muhammad Nur dkk. (2021). “Kedudukan Surat Edaran Gubernur Aceh Nomor 450/21770 Tentang Larangan
Mengadakan Pengajian Selain Dari I’tiqad Ahlussunnah Waljamaah Yang Bersumber Dari Mazhab Syafi’iyah Terhadap
Qanun Nomor 8 Tahun 2014 Tentang Pokok-Pokok Syariat Islam”, IURIS STUDIA: Jurnal Kajian Hukum 2, No. 2, Juni:
Pages 241-256
A. Pendahuluan
Ketentuan mengenai bentuk Negara Indonesia telah termaktub dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945) yang menyebutkan
bahwa bahwa negara Indonesia ialah Negara kesatuan yang berbentuk Republik. Kemudian untuk
mengatur negara Indonesia yang sangat luas, konstitusi menyerukan di dalam Pasal 18 ayat (1) UUD
NRI Tahun 1945 bahwa wilayah NKRI kemudian dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah
provinsi dibagi atas kabupaten dan kota yang tiap-tiapnya mempunyai pemerintah daerah yang diatur
dengan undang-undang.1 Kemudian pada Pasal 18B ayat (2) menyatakan bahwa negara mengakui dan
menghormati satuan-satuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih
hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia,
yang diatur dalam undang-undang. Pasal-pasal konstitusi inilah yang menjadi rujukan pemerintah pusat
untuk membentuk daerah-daerah otonom di Indonesia, dan hal tersebut menunjukkan bahwa Negara
Indonesia adalah negara yang menganut sistem desentralisasi.
Aceh adalah daerah provinsi yang merupakan kesatuan masyarakat hukum yang bersifat
istimewa dan diberi kewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan
dan kepentingan masyarakat setempat. Kewenangan ini dilaksanakan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan UUD
NRI Tahun 1945. Perlakuan khusus sebagaimana dimaksud diatas termasuk juga dalam hal pelaksanaan
syariat islam di Provinsi Aceh.
Pengakuan negara atas keistimewaan dan kekhususan daerah Aceh diatur melalui Undang-
Undang Nomor 44 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa
Aceh didalam Pasal 3 ayat (1) yang memberi pengertian keistimewaan, “Keistimewaan merupakan
pengakuan bangsa lndonesia yang diberikan kepada Daerah karena perjuangan dan nilai-nilai hakiki
masyarakat yang tetap dipelihara secara turun-temurun sebagai landasan spiritual, moral, dan
kemanusiaan”. ketentuan Undang-Undang Nomor 44 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan
Keistimewaan Propinsi Aceh di dalam Pasal 3 ayat (2) menyebutkan bahwa keistimewaan dan
kekhususan Provinsi Aceh meliputi :
a. penyelenggaraan kehidupan beragama;
b. penyelenggaraan kehidupan adat; c. penyelenggaraan pendidikan; dan
d. peran ulama dalam penetapan kebijakan Daerah. Setelah terjadinya bencana Alam dan Tsunami di Aceh, regulasi tentang keistimewaan Aceh
terjadi perubahan dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh
(Lembaran Negara 2006 No 62, Tambahan Lembaran Negara 4633). Undang-Undang Pemerintahan
Aceh ini tidak terlepas dari Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding) antara Pemerintah
dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang ditanda tangani pada tanggal 15 Agustus 2005 dan merupakan
suatu bentuk rekonsiliasi secara bermartabat menuju pembangunan sosial, ekonomi, serta politik di
Aceh secara berkelanjutan.
Salah satu aspek pembangunan sosial adalah penguatan syariat islam dan toleransi antar ummat
beragama di Provinsi Aceh, seperti yang disebutkan didalam pasal 1 ayat (7) Undang-Undang Nomor
44 tahun 1999 bahwa “Syariat Islam adalah tuntunan ajaran Islam dalam semua aspek kehidupan”. Jadi
Syariat Islam yang diberlakukan di Aceh tidak hanya dalam aspek akidah dan ibadah mahdhah saja,
tetapi juga dalam bidang muamalah, dan juga dimensi-dimensi Syariat Islam ini memerlukan kekuasaan
1 Sirajuddin, Hukum Administrasi Pemerintahan Daerah, (Malang : Setara Press, 2016), hlm 231
IURIS STUDIA: Jurnal Kajian Hukum Kedudukan Surat Edaran Gubernur Aceh… Volume 2 Nomor 2, Juni 2021: Page 241-256 (Muhammad Nur Miswari, dkk.)
Page 243
negara dan pemerintah dalam pelaksanaannya seperti didalam bidang akidah dan pengamalannya, oleh
karena itu, negara berperan penting dan bertanggung jawab dalam melaksanakan Syariat Islam secara
kâffah di Aceh.2
Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi
Daerah Istimewa Aceh tersebut merupakan turunan dari Keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia
Nomor 1/Missi/1959 tentang Keistimewaan Provinsi Aceh yang meliputi agama, peradatan dan
pendidikan, namun dalam undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 adanya penambahan yaitu peran
ulama dalam menentukan kebijakan daerah.3 Dengan adanya peran ulama membuat semua peraturan
kebijakan di daerah Aceh harus mencerminkan norma-norma hukum islam, maka lahirlah Qanun dan
peraturan kebijakan tentang syariat islam di Aceh berdasarkan perintah dari BAB XVII Pasal 125 ayat
(3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh yang menyebutkan mengenai
ketentuan lebih lanjut tentang pelaksanaan syari’at Islam di Aceh diatur dengan Qanun Aceh.
Konstitusi Indonesia juga menyerukan hal yang sama didalam Pasal 18 ayat 6 yang telah
menegaskan bahwa: ”Negara memberikan hak kepada Pemerintahan daerah untuk menetapkan
peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan”,
maka atas perintah konstitusi lahirlah peraturan daerah di Aceh yang disebut dengan Qanun Aceh yaitu
peraturan untuk melaksanakan otonomi khusus dalam hal yang menjadi kewenangan pemerintah
provinsi.4
Qanun atau peraturan daerah yang berkaitan tentang syariat islam dan tata cara beribadah di
Provinsi Aceh diantaranya adalah Qanun Aceh Nomor 8 Tahun 2014 tentang Pokok-Pokok Syariat
Islam yang membahas mengenai ketentuan ibadah di Provinsi Aceh terdapat didalam pasal 14 ayat (1)
sampai dengan ayat (5) menyebutkan :
(1) Penyelenggaraan ibadah di Aceh wajib dijalankan sesuai dengan tuntunan syariah.
(2) Menyatakan Penyelenggaraan ibadah sebagaimana diatur ayat (1) diamalkan dengan
memprioritaskan tata cara pengamalan ibadah menurut mazhab Syafi’i.
(3) Penyelenggaraan ibadah di Aceh yang tidak mengacu pada tata cara mazhab syafi’i dibolehkan
selama dalam bingkai mazhab Hanafi, Maliki dan Hambali dengan selalu mengedepankan
kerukunan, ukhwah Islamiyah dan ketentraman dikalangan umat Islam.
(4) Dalam hal adanya kelompok masyarakat di Aceh yang sudah mengamalkan mazhab Hanafi,
Maliki atau Hambali tidak dapat dipaksakan untuk mengamalkan ibadah menurut mazhab
Syafi’i.
(5) Dalam hal kelompok masyarakat yang mengamalkan ibadah mengikuti paham organisasi
keagamaan yang sesuai dengan Al-Quran dan Hadist serta diakui secara sah oleh Negara tetap
dibenarkan dan dilindungi.
Dalam melaksanakan fungsi pemerintahan, maka Gubernur dapat melakukannya dengan
mengeluarkan instrumen-instrumen pemerintahan, yang mana instrumen tersebut diperlukan agar fungsi
pemerintahan dapat dilaksanakan secara efektif.5 Dalam administrasi negara dikenal juga dengan asas
kebebasan (Freies Ermessen) yaitu kepada pejabat administrasi negara diberikan kebebasan untuk dan
atas inisitif sendiri melakukan perbuatan-perbuatan guna menyelesaikan persoalan-persoalan yang
mendesak yang dianggap belum adanya peraturan penyelesaian, dikarenakan badan kenegaraan yang
diserahi tugas membuat undang-undang belum membentuknya.6
Peraturan kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah dengan menggunakan freies ermessen dapat berupa peraturan, pedoman, pengumuman, surat edaran dan mengumumkan kebijaksanaan itu
secara langsung.7 Dalam hal ini, berkaitan surat edaran berdasarkan ketentuan Permendagri Nomor 55
2 Kamarusdiana, Qanun Jinayah Aceh Dalam Perspektif Negara Hukum Indonesia, Ahkam: Vol, XVI,
No. 2, Juli 2016. hlm. 156 3 Endri, Analisis Yuridis Terhadap Legalitas Qanun Aceh No.6/2014 Tentang Hukum Jinayah, Kanun
Jurnal Ilmu Hukum, Vol 20, No. 1, (April, 2018), pp. 123-147. hlm. 125 4 Al Yasa’ Abubakar dan M. Daud Yoesoef, Qanun sebagai Peraturan Pelaksana Otonomi Khusus Di
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 1 No. 3 November 2004. hlm. 16 5 W. Riawan Tjandra, Hukum Administrasi Negara, (Yogyakarta : Universitas Atma Jaya
Yogyakarta,2008), hlm. 23. 6 Bachsan Mustafa, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara (Bandung : PT.Citra Aditya Bakti, 1990),
hlm. 40. 7 Philipus M.Hadjon, Pengantar Hukum Administrasi Negara (Yogyakarta: Gajah Mada University
Press, 2008). hlm.152
IURIS STUDIA: Jurnal Kajian Hukum Kedudukan Surat Edaran Gubernur Aceh… Volume 2 Nomor 2, Juni 2021: Page 241-256 (Muhammad Nur Miswari, dkk.)
Page 244
Tahun 2010 tentang Tata Naskah Dinas di Lingkungan Kementerian Dalam Negeri Pasal 1 butir 43
menyebutkan: “Surat Edaran adalah naskah dinas yang berisi pemberitahuan, penjelasan dan/atau
petunjuk cara melaksanakan hal tertentu yang dianggap penting dan mendesak.” Peraturan-peraturan
kebijaksanaan yang di terbitkan ditandai dengan sebutan pseudo-wetgeving (undang-undang semu) dan
bukan peraturan perundang-undangan serta dibuat oleh pejabat yang tidak memiliki wewenang
membuat peraturan maka peraturan kebijakan yang dikeluarkan tersebut tidak mengikat hukum secara
langsung, namun mempunyai relevansi hukum.8
Dalam hukum administrasi negara dikenal adanya azas de tournament de pouvoir atau azas tidak
boleh menyalahgunakan kekuasaan dan asas Non diskriminatif yaitu azas dimana pemerintah harus
memberikan kesamaan hak bagi setiap penduduk supaya mencegah timbulnya perbuatan administrasi
Negara yang diskriminatif,9 kedudukan yang sama bagi setiap warga Negara Indonesia didepan hukum
dan bebas dari sifat diskriminatif serta berhak mendapatkan perlindungan hukum adalah suatu hal yang
di lindungi oleh konstitusi Indonesia yang telah di jamin didalam Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 NKRI.10
Berbicara lebih lanjut mengenai kebijakan pemerintah yang menyimpang dapat disebut juga
dengan maladministrasi. Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 37 tahun 2008 tentang
Ombudsman Republik Indonesia, Pasal 1 butir 3 menyebutkan bahwa : “Maladminstrasi merupakan
perilaku atau perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh penyelenggara Negara dan pemerintahan
yang melampaui wewenang dan menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain dari yang menjadi tujuan
wewenang tersebut, termasuk kelalaian atau pengabaian kewajiban hukum yang menimbulkan kerugian
materil dan/atau immaterial bagi masyarakat dan orang perseorangan.” Pengambilan kebijakan publik
yang tidak transparan, tidak pertisipatif, tidak dapat dipertanggungjawabkan secara publik dan tindakan
yang tidak sesuai dengan semangat supremasi hukum, serta tindakan pejabat publik lainnya yang tidak
sesuai dengan asas-asas umum good governance dapat dikatagorikan sebagai perbuatan
maladministrasi, dimana seharusnya setiap pejabat publik berkewajiban memberikan perlakuan yang
sama bagi setiap warga masyarakat (equality before the law).11
Surat edaran dikategorikan sebagai instrumen administratif yang bersifat internal yang
ditujukan untuk memberikan petunjuk lebih lanjut mengenai suatu norma peraturan perundang-
undangan yang bersifat umum. Materi muatan surat edaran biasanya menjelaskan atau membuat
prosedur untuk mempermudah, atau memperjelas peraturan yang mesti dilaksanakan. Karena sifatnya
hanya memperjelas, maka surat edaran tidak boleh menabrak peraturan perundang-undangan diatasnya
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 7 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan yang membahas tentang jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan.
Sedangkan dalam Peraturan Kepala Arsip Nasional RI No. 2 Tahun 2014 tentang Pedoman Tata
Naskah Dinas, surat edaran digolongkan sebagai produk tata naskah dinas. Sehingga idealnya surat
edaran hanya sebatas alat komunikasi kedinasan berupa pemberitahuan kepada kalangan internal.
Dikarenakan sifatnya informatif, maka Surat Edaran tidak boleh mengatur hal-hal yang melampaui
kewenangan dan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Tanggal 13 Desember 2019 Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur Aceh Nova Iriansyah
mengeluarkan Surat Edaran Nomor 450/21770 tentang Larangan Mengadakan Pengajian Selain Dari
I'tiqad Ahlussunnah Waljamaah yang bersumber Hukum Mazhab Syafi'iyah, Kebijakan Surat Edaran
Gubernur tersebut dikeluarkan dikarenakan banyaknya laporan dari sebagian masyarakat tentang
pengajian-pengajian/ibadah yang berbeda dengan kebiasaan masyarakat Aceh di mushalla atau mesjid selain dari ahlussunnah waljamaah yang bermazhab syafi’i yang mana pengajian tersebut berakhir
dengan ricuh dan pembubaran secara paksa dan SE tersebut juga bertujuan untuk mencegah meluasnya
aliran sesat di Aceh,12 serta untuk memperkuat pelaksanaan Syariat Islam, nilai-nilai keislaman dan
kebudayaan keacehan dalam kehidupan masyarakat dengan hanya satu mazhab yaitu i'tiqad
Ahlussunnah Waljamaah yang bersumber hukum Mazhab Syafi'iyah.
8 Ibid, hlm.153 9 Bachsan Mustafa, Op.Cit, Pokok-Pokok...., hlm.55 10 Ibid. hlm.56 11 Nuryanto A.Daim, Hukum Adminstrasi Perbandingan Penyelesaian Maladministrasi Oleh
Ombudsman dan Pengadilan Tata Usaha Negara, (Surabaya: Laksbang Justitia, 2014), hlm. 62 12 Wawancara dengan Marzuki, Kepala Subbagian Ulama dan Umara Dinas Syariat Islam Aceh, data
diolah pada tanggal 24 Juni 2020 pada pukul. 07.00 wib
IURIS STUDIA: Jurnal Kajian Hukum Kedudukan Surat Edaran Gubernur Aceh… Volume 2 Nomor 2, Juni 2021: Page 241-256 (Muhammad Nur Miswari, dkk.)
Page 245
Surat edaran Gubernur Aceh tersebut menjadi suatu permasalahan yang baru dikalangan
penganut agama islam di Aceh, dimana terjadinya intoleransi umat islam yang berbeda mazhab, seperti
yang terjadi pada tanggal 27 Januari 2020 di Masjid Agung Oman Al-Makmur Banda Aceh hingga
terjadinya pembubaran paksa kegiatan pengajian oleh kelompok yang mengaku sebagai aliran
Ahlulsunnah Waljamaah (ASWAJA) dan mengklaim pengajian tersebut sesat dan bermuatan wahabi,13
sedangkan menurut jamaah mesjid tersebut tidak ada pengajian sesat dan bermuatan wahabi.14
Pengertian ahlussunnah waljamaah merupakan gabungan dari kata ahl as-sunnah dan ahl al-
jama’ah,15 didalam bahasa arab ahl berarti “pemeluk aliran/mazhab” sedangkan al-sunnah adalah sebuah
istilah yang menunjuk kepada jalan Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya, baik ilmu, amal,
akhlak, serta segala yang meliputi berbagai segi kehidupan. Adapun al-jama’ah yang berarti adalah
berkumpul dan tidak berpecah dan berselisih.
Sedangkan Wahabisme atau aliran wahabi, adalah sebuah aliran reformasi keagamaan dalam
islam, aliran ini dikembangkan oleh Muhammad bin Abdul Wahab. Aliran Wahabi ini berpendapat
bahwa:16
(1) yang boleh dan harus disembah hanyalah Allah, dan orang-orang yang menyembah selain Allah
telah menjadi musyrik, dan boleh dibunuh,
(2) kebanyakan orang Islam bukan lagi penganut paham tauhid yang sebenarnya karena mereka
meminta pertolongan bukan lagi kepada Tuhan, tetapi kepada para syaikh atau wali dan dari
kekuatan gaib. Orang Islam demikian juga telah menjadi musyrik;
(3) menyebut nama nabi, syaikh atau malaikat sebagai perantara dalam doa juga merupakan syirik;
(4) meminta syafaat selain kepada Tuhan adalah juga syirik;
(5) bernazar kepada selain Allah juga syirik;
(6) memperoleh pengetahuan selain dari Alquran, hadis, dan kias (analogi) merupakan kekufuran;
(7) tidak percaya kepada kada dan kadar Tuhan juga merupakan kekufuran; dan
(8) penafsiran Alquran dengan takwil (interpretasi bebas) adalah kufur.
Konstitusi Indonesia dalam Pasal 28I ayat (1) dan 28E ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 tentang
hak asasi manusia menyebutkan bahwa : “Setiap orang berhak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak
untuk kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama adalah hak asasi manusia yang tidak dapat
dikurangi dalam keadaan apapun, pada ayat (2) menyebutkan setiap orang berhak atas kebebasan
meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya”, begitu juga pada
ayat (3) setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat.17 Uraian
diatas merupakan hak konstitusional bagi setiap warga negara Indonesia untuk beribadah dan kebebasan
untuk berserikat yang tidak bisa dibatasi dan diabaikan oleh negara dan harus dilindungi.
Kepala Ombudsman Aceh Taqwaddin memberi pendapat agar Plt Gubernur Aceh mencabut
Surat Edaran Nomor 450/21770 tentang Larangan Mengadakan Pengajian Selain dari I’tiqad
Ahlussunnah Waljamaah yang bersumber dari Mazhab Syafi’iyah. Tidak ada urgensinya surat edaran
itu dikeluarkan, karena dengan dikeluarkan surat edaran tersebut akan memunculkan intoleransi antar
umat beragama baik agama Islam maupun agama lainnya. Dengan adanya surat edaran tersebut Plt
Gubernur Aceh berpotensi melakukan diskriminatif dan masuk kedalam ranah maladministrasi.18
Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka akan dilakukan peneltian dengan judul “Kedudukan
Surat Edaran Gubernur Aceh Nomor 450/21770 Tentang Larangan Mengadakan Pengajian Selain Dari
I’tiqad Ahlussunnah Waljamaah Yang Bersumber Dari Mazhab Syafi’iyah Terhadap Qanun Nomor 8
Tahun 2014 Tentang Pokok-Pokok Syariat Islam”, Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah :
Bagaimanakah kewenangan daerah otonom Aceh dalam membuat peraturan perundang-undangan dan
13 https://www.ajnn.net/news/kajian-ustad-farhan-dibubarkan-kepengurusan-masjid-oman-diambil-alih-
pemko/index.html, diakses pada tanggal 20 Februari 2020, Pukul 08.24. 14 Wawancara dengan Fazlul Ridha, Jamaah tetap masjid Agung Al-Makmur Banda Aceh, data diolah
pada tanggal 2 September 2020 pada pukul. 09.00 wib 15 Ahsin W. Alhafidz, Kamus Fiqh, Cet. 1, (Jakarta : Amzah, 2013), hlm 9 16 Mansur Mangasing, Muhammad Ibn Abd Al-Wahhab dan Gerakan Wahabi, Jurnal Hunafa,Vol. 5, No.
3, Desember 2008, hlm 325 17 Wawancara dengan Muhammad Faizil, Imam dan Pengurus Badan Kemakmuran masjid Agung Al-
Makmur Banda Aceh, data diolah pada tanggal 2 September 2020 pada pukul. 10.00 wib 18 https://www.ajnn.net/news/ombudsman-aceh-sarankan-plt-gubernur-cabut-surat-edaran-nomor-450-
21770/index.html, diakses pada tanggal 20 Februari 2020, Pukul 09.12.
IURIS STUDIA: Jurnal Kajian Hukum Kedudukan Surat Edaran Gubernur Aceh… Volume 2 Nomor 2, Juni 2021: Page 241-256 (Muhammad Nur Miswari, dkk.)
Page 246
kebijakan di daerah? Bagaimanakah Kedudukan dan materi muatan Surat Edaran Gubernur Aceh No.
450/21770 menurut Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan dengan Qanun No.8 Tahun 2014 Tentang Pokok-Pokok Syariat islam? Bagaimana
implementasi kebijakan Surat Edaran Gubernur Aceh No. 450/21770 Tentang Larangan Mengadakan
Pengajian Selain Dari I’tiqad Ahlussunnah Waljamaah Yang Bersumber Dari Mazhab Syafi’iyah
terhadap Qanun No.8 Tahun 2014 Tentang Pokok-Pokok Syariat Islam dalam pelaksanaan Otonomi
Daerah?
Penelitian ini merupakan penelitian yuridis sosiologis dengan menggunakan pendekatan sejarah
(historical approach), pendekatan perundang-undangan (statute approach), dan pendekatan kasus (case approch). Pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui penelitian data
empiris atau data lapangan yaitu menghimpun data dengan melakukan wawancara dengan informan
dan responden yang berhubungan dengan objek yang diteliti yang dapat juga ditambah dengan data
normative berupa peraturan perundang-undangan, jurnal dan karya ilmiah. Sesuai dengan jenis dan sifat
penelitiannya, sumber data yang digunakan adalah data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer
dan bahan hukum sekunder yang terdiri dari buku, jurnal ilmiah, makalah dan artikel ilmiah yang dapat
memberikan penjelasan tentang bahan hukum primer.19 Teknik pengumpulan data dilakukan dengan
penelitian kepustakaan (library research) dengan analisis data dilakukan secara kualitatif.20 Penelitian
ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan masalahnya adalah dengan melakukan pendekatan hasil
kajian empiris teoritik dengan melihat berbagai pendapat para ahli, penulis dan kajian-kajian terhadap
peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan persoalan berdasarkan asas-asas hukum dan
merumuskan definisi hukum.21
B. Pembahasan
1. Kewenangan Daerah Otonom Aceh dalam Membuat Peraturan Perundang-Undangan
dan Kebijakan di Daerah
Pemberian dan penerapan syariat Islam di Aceh diberikan dengan tujuan untuk mengakhiri
konflik yang berkepanjangan antara Aceh dengan pemerintah RI.22 Dan juga melihat faktor sejarah
yang dimiliki oleh Provinsi Aceh yang mana sebelum dibawah penjajahan dan Indonesia Merdeka,
Aceh berada dibawah kepemimpinan kesultanan Aceh dengan menerapkan syariat islam secara
kaffah. Kebijakan mulai dikeluarkan oleh pemerintah Pusat untuk menyelesaikan konflik tersebut,
dimulai dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus
Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam sebagai
pelengkap dari Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan
Provinsi Daerah Istimewa Aceh yang memuat empat keistimewaan Aceh, yaitu penyelenggaraan
kehidupan beragama, adat, pendidikan, peran ulama dalam penetapan kebijakan daerah.23
Berdasarkan dua regulasi tersebut akan memberikan otoritas bagi pemerintah Aceh untuk
menyusun legislasi berupa qanun sebagai aturan derivatifnya. Setelah terjadinya musibah gempa
bumi dan Tsunami dan terjalinnya MOU Helsinki antara pemerintah RI dan Gerakan Aceh Merdeka
maka penerapan syariat islam kembali dipertegas dengan pemberlakuan UU No 11 Tahun 2006
tentang Pemerintahan Aceh yang diatur dalam Bab XVII Pasal 128-137, dimana mengatur semua
aspek termasuk pengaturan mengenai jinayat.24 Maka semakin banyak lahirnya Qanun dan peraturan
kebijakan yang dikelaurkan oleh Pemerintah Aceh tentang Syariat Islam.
19 Zainuddin dan Rahmat Ramadhani, “The Legal Force Of Electronic Signatures In Online Mortgage Registration”, Jurnal
Penelitian Hukum De Jure 21, No. 2, (2021): p. 244. 20 Rahmat Ramadhani, “Legal Consequences of Transfer of Home Ownership Loans without Creditors' Permission”, IJRS:
International Journal Reglement & Society 1, No. 2, (2020): p. 33. 21 Rahmat Ramadhani, “Peran Poltik Terhadap Pembangunan Hukum Agraria Nasional”, SOSEK: Jurnal Sosial dan Ekonomi
1, No. 1, (2020): p. 2. 22 Husni Mubarok A. Latief, ”Disonansi Qanun syariat Islam dalam Bingkai Konstitusi Indonesia: Aceh
sebagai studi Kasus”, Annual International Conference on Islamic studies (AICIS XII), 27080. 23 Ali Geno Berutu , Penerapan Syariat Islam Aceh dalam Lintas Sejarah, Jurnal Hukum, Vol. 13 Nomor
2, November 2016, hlm. 181 24 Muhammad Yani,Pelaksanaan Hukum Jinayat Di Aceh Dalam Perspektif Fiqh Dan Ham Studi Qanun
Nomor 12, 13, Dan 14 Tahun 2003, Tesis, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2011, hlm. 4
IURIS STUDIA: Jurnal Kajian Hukum Kedudukan Surat Edaran Gubernur Aceh… Volume 2 Nomor 2, Juni 2021: Page 241-256 (Muhammad Nur Miswari, dkk.)
Page 247
Pembentukan qanun Aceh ditetapkan oleh Pemerintah Aceh bersama DPRA, sedangkan untuk
substansi yang berkenaan dengan syariat islam berasal dari Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU).25
Tidak hanya dalam pembentukan qanun, tetapi juga dalam pembentukan peraturan kebijakan di Aceh.
Menurut Marzuki,26 Surat Edaran Gubernur Aceh Nomor 450/21770 Tentang Larangan Mengadakan
Pengajian Selain Dari I’tiqad Ahlussunnah Waljamaah Yang Bersumber Dari Mazhab Syafi’iyah,
diajukan oleh Dinas Syariat Islam Aceh kepada Gubernur Aceh dan kemudian dimusyawarahkan
dengan melibatkan Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh (MPU) atas permasalahan yang terjadi
didalam masyarakat, karena MPU mempunyai tugas seperti yang tertuang didalam Pasal 6 ayat (1)
Qanun Nomor 2 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Ulama yaitu dapat memberikan
masukan, pertimbangan, dan saran kepada pemerintah Aceh dan DPRA dalam menetapkan kebijakan
berdasarkan syariat islam.
Dalam pembentukan qanun menganut prinsip yang ditetapkan oleh Qanun Nomor 3 Tahun 200
tentang Tata Cara Pembentukan Qanun dan Undang-undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah dengan tujuan sebagai berikut : “Perda dibentuk dalam rangka penyelenggaraan otonomi, tugas
pembantuan dan penjabaran lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi”.27 Qanun yang
dibuat oleh pemerintah daerah mengatur mengenai segala urusan pemerintahan baik yang bersifat
sebustansial maupun hal-hal yang bersifat tata cara dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan.
Untuk substansi qanun kabupaten/kota lebih luas dibandingkan dengan qanun provinsi karena
kewenangan dari provinsi sebagai daerah otonom hanya terbatas pada tiga hal, yaitu : “Pertama,
Kewenangan dalam bidang pemerintahan yang bersifat lintas kabupaten dan kota; Kedua, Kewenangan
dalam bidang pemerintahan tertentu lainnya; Ketiga, Kewenangan yang tidak atau belum dapat
dilaksanakan daerah kabupaten dan daerah kota”.28 Sedangkan Qanun Kabupaten/Kota dapat mengatur
tentang apa saja yang dibutuhkan oleh masyarakat kabupaten/kota dengan tetap didalam bingkai syariat
islam.
Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan (2) Undang-Undang-Nomor 44 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah istimewa Aceh menyebutkan (1) bahwa daerah diberi
kewenangan untuk mengembangkan dan mengatur keistimewaan yang dimiliki. (2) kewenanagan untuk
mengembangkan dan mengatur keistimewaan yang dimiliki di kabupaten dan kota diatur lebih lanjut
dengan peraturan. Peraturan yang maksud berupa peraturan perundang-undangan Qanun Provinsi,
Qanun Kabupaten/kota dan peraturan dibawahnya dan peraturan yang tertuang didalam Pasal 8 ayat (1)
UU Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, diantaranya
peraturan yang dikeluarkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan
Rakyat Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.
Maka hal tersebut jelas, bahwa kewenangan daerah otonom Aceh didalam mengeluarkan suatu
peraturan perundang-undangan merupakan perintah dari undang-undang diatasnya termasuk
diantaranya peraturan kebijakan yang dikeluarkan oleh Pejabat Administrasi Negara dengan tetap
memperhatikan ketentuan yang berlaku. Salah satu contoh peraturan kebijakan yang dikeluarkan oleh
pemerintah daerah adalah surat edaran (circulaires), dimana pembentukannya didasarkan atas
kewenanangan bebas (freies ermessen) atau (diskresi) dari pemerintah. Seperti Surat Edaran Gubernur
Aceh Nomor 450/21770 Tentang Larangan Mengadakan Pengajian Selain Dari I’tiqad Ahlussunnah
Waljamaah Yang Bersumber Dari Mazhab Syafi’iyah.
2. Kedudukan Surat Edaran Gubernur Aceh Nomor 450/21770 Tentang Larangan
Mengadakan Pengajian Selain Dari I’tiqad Ahlussunnah Waljamaah Yang Bersumber
Dari Mazhab Syafi’iyah
Berbicara mengenai kedudukan, artinya membicarakan mengenai posisi suatu hal yang konkret.
Meurut Bagir Manan, peraturan kebijakan bukanlah peraturan perundang-undangan melainkan hanya
peraturan kebijakan walau pun telah menunjukkan gejala-gejala sebagai peraturan perundang-undangan.
Sedangkan berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 42 Tahun
25 MPU dibentuk berdasarkan Perda No. 3 Tahun 2000, untuk memberi peran Ulama dalam menetapkan
kebijakan daerah sesuai dengan UU No. 44 Tahun 1999 jo. UU No. 11 Tahun 2006. 26 Wawancara dengan Marzuki, Kepala Subbagian Ulama dan Umara Dinas Syariat Islam Aceh, data
diolah pada tanggal 24 Juni 2020 pada pukul 07.00 WIB. 27 Ronald M. M. Goni, Kewenangan Gubernur Dalam Pembentukan Peraturan Daerah sebagai
Implementasi Pemberlakuan Otonomi Daerah, Lex Administratum, Vol. III/No. 4/Juni/2015, hlm. 24 28 Ibid. hlm 26
IURIS STUDIA: Jurnal Kajian Hukum Kedudukan Surat Edaran Gubernur Aceh… Volume 2 Nomor 2, Juni 2021: Page 241-256 (Muhammad Nur Miswari, dkk.)
Page 248
2006 Tentang Tata Persuratan Di Lingkungan Departemen Pendidikan Nasional dijelaskan didalam
Pasal 39 ayat (1) memberi pengertian bahwa surat edaran adalah surat yang berisi penjelasan atau
petunjuk pelaksanaan sesuatu peraturan perundang-undangan dan/atau perintah. Hal tersebut jelas
bahwa sebuah surat edaran itu harus mempunyai relevansi hukum yang saling berkaitan. Seperti halnya
Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) merupakan perintah dari Pasal 79 Undang-Undang Nomor 14
Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung yang menyebutkan bahwa “Mahkamah Agung dapat mengatur
lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan apabila terdapat hal-hal
yang belum cukup diatur dalam Undang- undang ini”.
Surat edaran Gubernur Aceh Nomor 450/21770 tentang larangan mengadakan pengajian selain
dari I’tiqad Ahlussunnah Waljamaah yang bersumber Hukum Mazhab Syafi’iyah berbunyi sebagai
berikut :
Gubernur Aceh
Banda Aceh, 13 Desember 2019
Yang terhormat :
1. Para bupati/walikota se-Aceh
2. Para Kepala SKPA
3. Para Kakanwil Kementerian/Non Kementerian Provinsi Aceh Masing-masing ditempat
Surat Edaran Nomor 450/21770
Tentang Larangan mengadakan pengajian selain dari I’tiqad Ahlussunnah Waljamaah yang bersumber
Hukum Mazhab Syafi’iyah
Dalam rangka menindaklanjuti Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh, Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, Qanun Aceh Nomor 2 Tahun 2009 Tentang Majelis
Permusyawaratan Ulama Aceh, Qanun Aceh Nomor 8 Tahun 2014 Tentang pokok-pokok
syariat islam dan Qanun Nomor 8 Tahun 2015 Tentang pembinaan dan perlindungan aqidah,
kami harap Perhatian saudara sebagai berikut :
1. Majelis Permusyawaratan Ulama mempunyai tugas dan wewenang sebagai berikut :
a. Memberikan fatwa baik diminta maupun tidak diminta terhadap persoalan
pemerintahan, pembangunan, pembinaan masyarakat dan ekonomi;
b. Memberi arahan terhadap perbedaan pendapat pada masyarakat dalam masalah
keagamaan;
2. Qanun aceh nomor 01 tahun 2019 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh
Tahun 2017-2022, misi kedua yaitu memperkuat pelaksanaan syariat islam beserta nilai-nilai
keislaman dan budaya keacehan dan kehidupan masyarakat dengan I’tiqad Ahlussunnah
Waljamaah yang bersumber Hukum Mazhab Syafi’iyah dengan tetap menghormati mazhab
yang lain;
3. Untuk menjaga suasana keagaman masyarakat aceh dalam beribadah dan supaya tidak
berkembangnya I’tiqad/aliran/mazhab selain Ahlussunnah Waljamaah/selain mazhab
Syafi’iyah;
4. Kami melarang untuk diadakan pengajian/kajian selain dari I’tiqad Ahlussunnah Waljamaah
dan selain dari Mazhab Syafi’iyah dan kepada penyelnggara untuk berkonsultasi dengan MPU Aceh serta kepada para Kepala SKPA dan para Bupati/Walikota untuk selalu
mengawasi, mengevaluasi, dan mendata kembali nama-nama penceramah/pengisi
pengajian/kajian di instansi masing-masing;
Demikian surat edaran ini kami sampaikan dan terima kasih.
Gubernur Aceh
Ir. Nova Iriansyah, MT
Tembusan :
1.Wali Nanggroe Aceh
2. ketua DPR aceh
3. pangdam iskandar muda
4. kapolda aceh
5. kejati aceh
IURIS STUDIA: Jurnal Kajian Hukum Kedudukan Surat Edaran Gubernur Aceh… Volume 2 Nomor 2, Juni 2021: Page 241-256 (Muhammad Nur Miswari, dkk.)
Page 249
Surat edaran Gubernur Aceh Nomor 450/21779 diajukan oleh instansi yang menjalankan tugas
dan fungsi syariat Islam di Aceh kepada gubernur Aceh, namun karena sifat beleids adalah kebijakan,
dimana pembentukannya merujuk pada perundang-undangan yang ada, yaitu UU No.44/1999, UU
No.11/2006 dan Qanun Aceh Nomor 2 Tahun 2009 Tentang Majelis permusyawaratan Ulama Aceh,
Qanun Aceh Nomor 8 Tahun 2014 Tentang pokok-pokok syariat islam dan Nomor 8 Tahun 2015
Tentang pembinaan dan perlindungan aqidah. Sehingga, jika memahami substansi perundang-undangan
tersebut, Surat Edaran atau beleids ini hanya menjalankan peraturan perundang-undangan yang
disebutkan didalam SE Gubernur tersebut.29
Namun jika SE Gubernur Aceh tersebut merujuk kepada Qanun Aceh Nomor 8 Tahun 2014
Tentang pokok-pokok syariat islam, maka didalam qanun tersebut sudah sangat jelas terkait pengajian
dan peribadatan di Aceh dan hal ini menjadi suatu dualisme hukum yang saling bertolak belakang. Pasal
14 ayat (1) sampai dengan (5) Qanun Nomor 8 Tahun 2014 tentang Pokok-Pokok Syariat Islam yang
berbunyi:
(1) menyebutkan Penyelenggaraan ibadah di Aceh wajib dijalankan sesuai dengan tuntunan
syariah;
(2) Penyelenggaraan ibadah sebagaimana diatur ayat (1) diamalkan dengan memprioritaskan tata
cara pengamalan ibadah menurut mazhab Syafi’i;
(3) Penyelenggaraan ibadah di Aceh yang tidak mengacu pada tata cara mazhab Syafi’i dibolehkan
selama dalam bingkai mazhab Hanafi, Maliki dan Hambali dengan selalu mengedepankan
kerukunan, ukhwah Islamiyah dan ketentraman dikalangan umat Islam;
(4) Dalam hal adanya kelompok masyarakat di Aceh yang sudah mengamalkan mazhab Hanafi,
Maliki atau Hambali tidak dapat dipaksakan untuk mengamalkan ibadah menurut mazhab
Syafi’i;
(5) Dalam hal kelompok masyarakat yang mengamalkan ibadah mengikuti paham organisasi
keagamaan yang sesuai dengan Al-Quran dan Hadist serta diakui secara sah oleh Negara tetap
dibenarkan dan dilindungi;
Jika Surat Edaran Gubernur Aceh Nomor 450/21770 dikatagorikan sebagai freies ermessen atau
diskresi, maka berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang
Administrasi Pemerintahan memberikan pengertian “Diskresi adalah Keputusan dan/atau Tindakan
yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang
dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundang-undangan yang
memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi
pemerintahan”. Jika kita melihat tujuan penggunaan diskresi yang telah ditetapkan didalam Pasal 22
ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan yaitu bertujuan
untuk:
a. melancarkan penyelenggaraan pemerintahan;
b. mengisi kekosongan hukum;
c. memberikan kepastian hukum; dan
d. mengatasi stagnasi pemerintahan dalam keadaan tertentu guna kemanfaatan dan kepentingan
umum.
Gubernur Aceh, sebagai pejabat Pemerintahan yang menggunakan Diskresi harus memenuhi
syarat yang telah ditentukan dalam Pasal 24 Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan :
1. sesuai dengan tujuan Diskresi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2);
2. tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
4. sesuai dengan Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB);
5. berdasarkan alasan-alasan yang objektif;
6. tidak menimbulkan Konflik Kepentingan; dan
7. dilakukan dengan iktikad baik.
Maka, jika Surat Edaran 450/21770 Tentang Larangan Mengadakan Pengajian Selain Dari
I’tiqad Ahlussunnah Waljamaah Yang Bersumber Dari Mazhab Syafi’iyah tersebut dikeluarkan
berkenaan dengan aliran sesat, Qanun Nomor 8 Tahun 2014 Tentang Pokok-Pokok Syariat Islam sudah
sangat jelas dan sangat lengkap, dan selama ini semua persoalan konkret di Aceh mengenai aliran sesat
29 Wawancara dengan Amrizal, Kepala Biro Hukum Sekretariat Daerah Aceh, Data diolah Pada tanggal
22 Juni 2020, Pada Pukul 16.35 Wib
IURIS STUDIA: Jurnal Kajian Hukum Kedudukan Surat Edaran Gubernur Aceh… Volume 2 Nomor 2, Juni 2021: Page 241-256 (Muhammad Nur Miswari, dkk.)
Page 250
dapat diselesaikan dengan baik dan tidak memberikan stagnasi dan menghambat jalannya roda
pemerintahan di Aceh. walaupun tidak dikeluarkannya Surat Edaran tersebut permasalahan khilafiah
dapat diselesaikan oleh Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh yang merupakan tugas
pokoknya. Jika bertujuan untuk mengisi kekosongan hukum, maka Qanun Nomor 8 Tahun 2014 tentang
Pokok-Pokok Syariat Islam sudah menjawab dengan jelas dan komplek. SE Gubernur tersebut tidak
memberikan kepastian hukum dimana SE tersebut berjudul pelarangan pengajian selain dari Mazhab
Syafi’iyah, namun didalam poin ke dua SE tersebut menghormati mazhab lain, hal ini menunjukkan
bahwa SE tersebut tidak ada kejelasan yang ingin disampaikan, SE tersebut hanyalah bentuk
diskriminasi untuk sebahagian kelompok.
Syarat yang sangat penting dalam menggunakan diskresi adalah dengan memperhatikan
kesesuaian dengan Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB), namun terdapat beberapa AAUPB
yang tidak sesuai dengan SE tersebut, seperti asas kepastian hukum, kemanfaatan, tidak
menyalahgunakan kewenangan, kepentingan umum, asas pelayanan yang baik, sebagaimana yang
termaktub dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi
Pemerintahan.
Maka, dapat disimpulkan bahwa Surat Edaran Gubernur Aceh Nomor 450/21770 tentang
Larangan Mengadakan Pengajian Selain Dari I’tiqad Ahlussunnah Waljamaah Yang Bersumber Dari
Mazhab Syafi’iyah yang sudah diberlakukan dari tanggal 13 Desember 2019 terbentuk bukanlah fries
Ermessen atau Diskresi karena tidak adanya permasalahan konkret yang dihadapi dalam
penyelenggaraan Pemerintah Aceh dan Pasal 14 Qanun Nomor 8 Tahun 2014 Tentang Pokok-Pokok
Syariat Islam yang mengatur mengenai penyelenggaraan peribadatan di Aceh sangatlah jelas dan
lengkap dan tidak meberikan stagnasi dalam menjalankan pemerintahan di Aceh, namun didalam
ketentuan ilmu perundang-undangan dikenal adaya asas-asas pembentukan peraturan perundang-
undangan yang berkaitan dengan masalah ini yaitu asas lex superiot derogate legi inferiori yaitu
peraturan yang lebih tinggi tingkatannya didahulukan berlakunya dari pada peraturan perungang-
undangan yang lebih rendah dan sebaliknya, namun jika peraturan yang lebih rendah bertentangan
dengan peraturan yang lebih tinggi maka dapat dibatalkan atau batal demi hukum.30
SE Gubernur tersebut bertentangan dengan Qanun nomor 8 Tahun 2014 tentang Pokok-Pokok
Syariat Islam dan juga bertentangan dengan UUD 1945 pada bab hak asasi manusia yaitu didalam
beberapa pasal diantaranya adalah Pasal 28E ayat (1) UUD NKRI 1945 Setiap orang berhak memeluk
agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan,
memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta
berhak kembali. Kemudian dalam ayat (2) Setiap orang berhak atas kebebasan menyakini kepercayaan,
menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nurani.
Pasal 28E ayat (3) UUD NKRI 1945 memberikan hak penuh kepada setiap orang yang ada di
Indonesia ini untuk kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat, kemudian dipertegas
lagi dalam pasal berikutnya Pasal 28F bahwa setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh
informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak mencari, memperoleh,
memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala saluran
yang tersedia.
Pasal 28I ayat (2) UUD NKRI 1945 menyebutkan bahwa “Setiap orang bebas dari perlakuan
yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu”. Setelah dikeluarkannya Surat Edaran Gubernur No. 450/21770 tersebut
memunculkan perlakuan diskriminatif terhadap beberapa pihak dan seharusnya Pemerintah Aceh
memperhatikan hal tersebut dan memberikan perlindungan dan kesetaran dalam beribadah.
Pasal 28J ayat (2) UUD NKRI 1945 yang berbunyi: “Dalam menjalankan hak dan
kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang
dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang
lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama,
keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.”
Kedudukan Surat Edaran Gubernur Aceh Nomor 450/21770 tentang Larangan Mengadakan
Pengajian Selain Dari I’tiqad Ahlussunnah Waljamaah Yang Bersumber Dari Mazhab Syafi’iyah
bukanlah peraturan yang mengikat masyarakat Aceh secara keseluruhan namun hanyalah surat naskah
30 Abdullah, Abdul Gani, Artikel Ilmiah, Pengantar Memahami Undang-Undang tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan, Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 1 No.2. hlm. 14
IURIS STUDIA: Jurnal Kajian Hukum Kedudukan Surat Edaran Gubernur Aceh… Volume 2 Nomor 2, Juni 2021: Page 241-256 (Muhammad Nur Miswari, dkk.)
Page 251
kedinasan yang dibuat oleh Plt Gubenur Aceh kepada dinas Syariat Islam yang intinya tertuang didalam
poin ke 4 Surat Edaran tersebut yang menyerukan kepada semua penyelenggaraan pengajian/kajian
untuk berkonsultasi dengan MPU Aceh serta kepada para kepala Satuan Kerja Pemerintah Aceh (SKPA)
dan para Bupati/walikota untuk selalu mengawasi, mengevaluasi dan mendata kembali nama-nama
penceramah di instansi masing-masing. Hal tersebut sesuai dengan Peraturan Kepala Arsip Nasional
Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Pedoman Tata Naskah Dinas didalam Pasal 1 ayat
(2) memberikan pengertian bahwa Naskah Dinas adalah informasi tertulis sebagai alat komunikasi
kedinasan yang dibuat oleh pejabat yang berwenang di lingkungan lembaga negara, pemerintah daerah,
perguruan tinggi negeri, BUMN/BUMD dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan dan
pembangunan. Hal tersebut sejajar dengan yang tertuang didalam pasal 1 butir ke 43 Permendagri
Nomor 55 Tahun 2010 Tentang Tata Naskah Dinas di Lingkungan Kementerian Dalam Negeri yang
menyebutkan bahwa: Surat Edaran adalah naskah dinas yang berisi pemberitahuan, penjelasan, dan/atau
petunjuk cara melaksanakan hal tertentu yang di anggap penting dan mendesak.
3. Materi Muatan Surat Edaran Gubernur Aceh Nomor 450/21770 Tentang Larangan
Mengadakan Pengajian Selain Dari I’tiqad Ahlussunnah Waljamaah Yang Bersumber
Dari Mazhab Syafi’iyah
Materi muatan peraturan perundang-undangan mengatur mengenai pengaturan lebih lanjut dari
peraturan perundang-undangan, perintah dari peraturan yang lebih tinggi, maupun pemenuhan dari
kebutuhan masyarakat. Selain itu, peraturan perundang-undangan memuat materi muatan yang
mengatur tata kehidupan yang lebih mendasar dan bersifat abstrak, dimana berisi larangan dan juga
perintah untuk melakukan sesuatu yang apabila perlu akan disertakan dengan sanksi pidana, perdata,
dan sanksi administrasi.31 Kemudian materi muatan dalam peraturan perundang-undangan memuat
asas-asas sebagai berikut “pengayoman, kemanusiaan, kebangsaan, kekeluargaan, kenusantaraan,
bhinneka tunggal ika, keadilan, kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, ketertiban dan
kepastian hukum, dan/atau keseimbangan, keserasian, dan keselarasan”
Jika merujuk pada batasan yang ditetapkan di dalam Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, terdapat beberapa asas didalam surat edaran
Nomor 450/2770 tersebut yang tidak terpenuhi yaitu :
1. Asas kemanusiaan. Menurut asas ini, setiap peraturan yang dibuat itu harus mencerminkan dan
menghormati setiap hak-hak asasi manusia serta hak warga negara secara proporsional.
Berdasarkan asas ini, surat edaran tersebut tidak memenuhi asas ini dimana adanya hak asasi
manusia yang diatur di dalam Pasal 28 UUD NRI Tahun 1945 tersebut yang dilanggar yaitu
hak untuk melakukan ibadah sesuai dengan agamanya.
2. Asas kebangsaan adalah asas yang mengatur mengenai peraturan perundang-undangan tersebut
harus memenuhi unsur pluralistik bangsa Indonesia. Namun dalam hal ini surat edaran tersebut
tidak memenuhi unsur ini, hal ini juga telah menyimpang dari ketentuan yang telah ditetapkan
didalam poin kedua surat edaran tersebut yang menyebutkan “dengan tetap menghormati
mazhab yang lain”. Frasa tersebut mempunyai arti bahwa diakui nya mazhab yang lain selain
dari mazhab syafi’iyyah. Namun di poin ke 3 dan juga ke 4 tidak mengalami konsistensi dengan
poin ke 2 dimana pada poin 3 dan 4 dapat ditafsirkan hanya hanya mengatur mengenai mazhab
syafi’iyyah saja, padahal secara asas kebangsaan harus menganut pluralistic dan diketahui
secara bersama bahwa mazhab yang dianut di dalam Pasal 14 ayat (3) Qanun Nomor 8 Tahun
2014 tentang Pokok-Pokok Syariat Islam tidak hanya mazhab syafi’yyah namun mengakui ke
tiga mazhab lainnya yaitu maliki, hanafi, dan hambali.
3. Asas Kekeluargaan yaitu asas yang mengandung pengertian bahwa setiap pembentukan
peraturan perundang-undangan harus mencermin kan musyawarah mufakat dalam pengambilan
keputusan. SE tersebut tidak memenuhi asas ini, walaupun berdasarkan jenis peraturan nya yaitu
peraturan kebijakan yang merupakan kewenangan bebas yang diambil oleh pejabat administrasi
negara, tetapi dalam konteks ini pemerintah Aceh seharusnya juga melibatkan elemen ulama
dan intelektual, bahkan beberapa golongan mazhab yang memahami terhadap substansi UU dan
Qanun yang memiliki hubungan langsung dengan diterbitkannya surat edaran tersebut.
31 Hotma P Sibuea, Asas Negara Hukum, Peraturan Kebijakan, dan Asas-asas Umum Pemerintahan yang
Baik. (Jakarta: Erlangga, 2010), hlm 134
IURIS STUDIA: Jurnal Kajian Hukum Kedudukan Surat Edaran Gubernur Aceh… Volume 2 Nomor 2, Juni 2021: Page 241-256 (Muhammad Nur Miswari, dkk.)
Page 252
4. Asas kenusantaraan yang bertujuan dalam “pembentukan setiap pembentukan peraturan
perundang-undangan harus memperhatikan kepentingan seluruh wilayah dan harus merupakan
bagian dari sistem hukum nasional”.32 Secara keseluruhan, asas tidak terpenuhi karena di dalam
surat edaran tersebut hanya memperhatikan kepentingan sebagian masyarakat dan golongan
yang dapat memicu terjadinya perpecahan dalam kehidupan beragama,
5. Asas Bhinneka Tunggal Ika. Menurut asas ini, suatu peraturan perundang-undangan harus
memperhatikan keragaman yang ada di Indonesia secara umum dan keberagaman di provinsi
Aceh secara khusus, seperti keragaman pendudukan, agama, suku, maupun mengenai
kekhususan daerah. Surat edaran tersebut tidak memenuhi asas ini karena tidak hanya golongan
bermazhab Syafi’iyah yang tinggal dan menetap di Aceh namun juga maazhab maliki, hambali
dan hanafi.
6. Asas keadilan bermakna bahwa setiap peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh
pemerintah harus mencerminkan keadilan bagi setiap warga negara secara proporsional.
Menurut surat edaran gubernur tersebut, asas ini tidak terpenuhi didalam SE tersebut, hal ini
dapat dibuktikan melalui poin ke 3 dan ke 4 yang hanya membolehkan pengajian berdasarkan
satu mazhab saja. Ini memberikan ketidakadilan bagi masyarakat lain yang menganut aliran
diluar dari mazhab syafi’iyyah.
7. Asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan. Berdasarkan asas ini peraturan
perundang-undangan yang akan dibuat tersebut harus memberikan rasa persamaan didepan
hukum bagi setiap warga masyarakat tanpa harus membedakan ras, suku, agama, latar belakang.
Surat edaran Nomor 450/21770 tersebut tidak memenuhi asas ini karena surat edaran tersebut
tidak memberikan persamaan bagi penganut mazhab lainnya untuk melakukan pengajian.
8. Asas ketertiban dan kepastian hukum yang mengandung pengertian bahwa peraturan
perundang-undangan tersebut harus dapat memberikan jaminan kepastian hukum bagi setiap
masyarakat. Surat edaran yang diterbitkan gubernur aceh ini tidak memberikan kepastian
hukum hal tersebut jelas tertuang didalam SE Gubernur dimana judulnya melarang pengajian
selain mazhab Syafi’iyah namun pada poin ke dua menyebutkan menghormati mazhab lain, dan
bertentangan dengan Qanun No. 8 Tahun 2014 tentang Pokok-Pokok Syariat Islam.
9. Asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan. Berdasarkan asas ini peraturan perundang-
undangan yang dibuat oleh pemerintah harus “mencerminkan kepentingan individu dan
masyarakat dengan kepentingan bangsa dan negara”.33 Dalam surat edaran tersebut belum
sepenuhnya terpenuhinya asas ini, hal ini dilihat dari hanya beberapa kepentingan individu saja
yang terpenuhi sedangkan untuk individu yang menganut mazhab lain tidak terpenuhi.
Berdasarkan uraian mengenai asas-asas pembentukan peraturan perundangan-undangan diatas
surat edaran tersebut tidak memenuhi asas-asas yang telah ditetapkan di dalam undang-undang. Materi
muatan yang terkandung di dalam surat edaran tersebut bersifat tidak jelas dalam mengatur mengenai
larangan pengajian bagi masyarakat Aceh untuk melakukan pengajian selain dari mazhab yang telah
ditentukan dalam surat edaran tersebut.
4. Implementasi Dan Hambatan Kebijakan Surat Edaran Nomor 450/21770 Tentang
Larangan Mengadakan Pengajian Selain Dari I’tiqad Ahlussunnah Wal Jamaah Yang
Bersumber Dari Mazhab Syafi’iyah Terhadap Qanun Nomor 8 Tahun 2014 Tentang
Pokok-Pokok Syariat Islam
Kebijakan Surat Edaran Gubernur Aceh Nomor 450/21770 tentang Larangan Mengadakan
Pengajian Selain Dari I’tiqad Ahlussunnah Waljamaah Yang Bersumber Dari Mazhab Syafi’iyah
dikeluarkan dikarenakan banyaknya laporan dari sebagian masyarakat tentang pengajian-
pengajian/ibadah yang berbeda dengan kebiasaan masyarakat Aceh di mushalla atau mesjid selain dari
ahlussunnah waljamaah yang bermazhab syafi’i di lingkungan pemerintah Aceh baik di Propinsi
maupun di kabupaten/kota, serta adanya pengajian di Banda Aceh dan Aceh Besar yang dilaksanakan
oleh suatu kelompok yaitu kolompok Salafi.34
32 Pipin Syarifin dan Dedeh Djubaedah, Ilmu Perundang-Undangan, (Bandung : Pustaka Setia, 2012),
hlm. 105 33 Ibid, hlm. 106 34 Wawancara dengan Marzuki, Kepala Subbagian Ulama dan Umara Dinas Syariat Islam Aceh, data
diolah pada tanggal 24 Juni 2020 pada pukul. 07.00 wib
IURIS STUDIA: Jurnal Kajian Hukum Kedudukan Surat Edaran Gubernur Aceh… Volume 2 Nomor 2, Juni 2021: Page 241-256 (Muhammad Nur Miswari, dkk.)
Page 253
Kelompok Salafiun ini, didalam ceramahnya selalu menyebutkan Hadist yang diriwayatkan
oleh An Nasa’i yang berbunyi “ Sejelek-jeleknya perkara dalam agama adalah perkara yang diada-
adakan, dan setiap perkara yang diada-adakan adalah bid’ah, setiap bid’ah adalah suatu kesesatan dan
setiap kesesatan tempatnya di neraka”35 kemudian mereka mengatakan zikir setelah solat 5 waktu
dengan serentak dan segala nyanyian, baik itu nasyid, gambus, qasidah termasuk bid’ah dan masih
banyak hal-hal yang dilakukan oleh masyarakat Aceh dalam hal beribadah yang mereka anggap bid’ah
walaupun MPU Aceh membolehkan hal-hal tersebut, hal tersebut memunculkan reaksi dan tanggapan
dari para Ulama dan Pimpinan Pesantren di Aceh yang beri’tiqad ahlussaunnah waljamaah bermazhab
syafi’i dan mereka memantau setiap pergerakan dari golongan salafi ini, dan akhirnya terjadi kekacauan
di setiap pengajian mereka hingga terjadi pembubaran. Hal tersebutlah yang melatar belakangi lahirnya
Surat Edran ini.36
Pengimplementasian Surat Edaran tersebut memunculkan penolakan dari kelompok salafi
dengan mengirim surat kepada Pemerintah Aceh dan Dinas syariat islam bertujuan untuk berdiskusi dan
beraudiensi, namun pimpinan Dinas Syariat Islam Aceh menunda dahulu audiensi mereka, dan mereka
juga menggugat SE tersebut ke Mahkamah Agung,37 berdasarkan mekanismenya Surat Edaran tersebut
merupakan peraturan kebijakan dan ia digugat melalui mekanisme Pengadilan Tata Usaha Negara bukan
melalui Mahkamah Agung. 38 Lahirnya Surat Edaran Nomor 450/21770 memunculkan beberapa
hambatan dalam penerapannya dan menuai pro dan kontra dikalangan masyarakat dan hingga terjadinya
penolakan oleh sebagian masyarakat yang sudah melaksanakan pengajian/ibadah yang berbeda mazhab
sehingga menghambat berjalannya Surat Edaran tersebut dengan baik.
Hambatan lain dalam penerapan Surat Edaran Gubernur Aceh Nomor 450/21770 dimana masih
banyak ketidak patuhan masyarakat terhadap keharusan untuk melakukan konsultasi dengan Dinas
Syariat Islam, Majelis Permusyawaratan Ulama dan kepala Satuan Kerja Provinsi Aceh, untuk
mengevaluasi dan mendata kembali nama-nama penceramah/pengisi pengajian/kajian di instansi
masing-masing, seperti yang tertuang didalam angka 4 Surat Edaran tersebut, hingga masih ada
pengajian-pengajian yang dianggap menyimpang dan tidak sesuai dengan syariat sehingga
mengakibatkan pembubaran secara paksa oleh masyarakat.
Pembubaran pengajian secara paksa oleh masyarakat pernah terjadi dibeberapa tempat seperti
yang terjadi di Masjid Al-Fitrah, Keutapang II, Banda Aceh, dimana yang menjadi penceramah saat itu
adalah Ustad Firanda Andirja dimana beliau cukup dikenal di luar negeri sebagai penceramah tetap di
Masjid Nabawi, Madinah, Arab Saudi. Para penegak ahlussunnah waljamaah menilai bahwa Ustad
Firanda bertolak belakang dengan mazhab Syafi’i dan ceramah beliau dan bermuatan wahabi, dan
menyuruh untuk menghentikan pengajian dengan alasan tidak adanya izin acara.39 Kemudian juga
pernah terjadi di Mesjid Oman Al-makmur Lampriet pada tanggal 27 Januari 2020 dengan tuduhan
yang sama, dan juga pembubaran pada pengajian rutin mingguan Kaukus Wartawan Peduli Syariat
Islam (KWPSI) di Rumoh Aceh Lambada Kupi, Gampong Pineung, Kecamatan Syiah Kuala, Banda
Aceh pada tanggal 17 Maret 2020 dimana pengajian tersebut sudah berjalan dari tahun 2012 pengajian
tersebut dihadiri oleh para jurnalis maupun partisi kampus dan masyarakat umum. Masa yang
membubarkan tersebut menilai bahwa ustad yang mengisi ceramah tersebut sebagai Wahabi dan
menurut mereka tidak sesuai dengan Surat Edaran Plt. Gubernur Aceh Nomor 450/21770 tentang
Larangan Mengadakan Pengajian Selain I’tiqad Ahlussunnah Waljamaah Yang Bersumber Dari Hukum
Mazhab Syafi’iyah.
35 Wawancara dengan Muti Arafah, Anggota Bagian Hukum dan Fatwa Majelis Permusyawaratan Ulama
Aceh, data diolah pada tanggal 28 Juni 2020 pada pukul. 20.35 36 Wawancara dengan Marzuki, Kepala Subbagian Ulama dan Umara Dinas Syariat Islam Aceh, data
diolah pada tanggal 24 Juni 2020 pada pukul. 07.00 wib 37 Wawancara dengan Muti Arafah, Anggota Bagian Hukum dan Fatwa Majelis Permusyawaratan Ulama
Aceh, data diolah pada tanggal 28 Juni 2020 pada pukul. 20.35 38 Wawancara dengan Hasanuddin Yusuf Adan, Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Syariah UIN Ar-
raniry Banda Aceh data diolah pada tanggal 24 Juni 2020 pada pukul. 22.00. 39 Wawancara dengan Nauval Pallay Taran, Jamaah Salafi Banda Aceh, data diolah pada tanggal 1 juli
2020, pada pukul, 14.40.
IURIS STUDIA: Jurnal Kajian Hukum Kedudukan Surat Edaran Gubernur Aceh… Volume 2 Nomor 2, Juni 2021: Page 241-256 (Muhammad Nur Miswari, dkk.)
Page 254
5. Upaya Dalam Menyelesaikan Permasalahan Surat Edaran Nomor 450/21770 Tentang
Larangan Mengadakan Pengajian Selain Dari I’tiqad Ahlussunnah Waljamaah Yang
Bersumber Dari Mazhab Syafi’iyah
Tugas pemerintah yang kompleks memiliki konsekuensi terhadap pelaksanaan tugas untuk
melakukan freis ermessen atau diskresi yaitu bertindak atas inisiatif sendiri dan tetap mengacu kepada
pancasila dan hukum yang berlaku.40 Perwujudan dari diskresi yang sering digunakan dalam praktik
penyelenggaraan pemerintahan dapat berupa kebijakan yang dibuat oleh pemerintah, seperti surat
edaran. Meskipun freies ermessen memberikan kewenangan bebas kepada pejabat pemerintahan namun
dalam pelaksanaan nya tetap harus memperhatikan perundang-undangan yang berlaku dan Asas-Asas
Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB).41
Jika dikaitkan dengan pernyataan Kepala Ombudsman Aceh yang menyatakan bahwa SE
Nomor 450/21770 tersebut adalah maladministrasi, maka hal tersebut sesuai dengan pengertian
maladministrasi itu sendiri yang tertuang didalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 37 Tahun
2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia, “maladminstrasi adalah perilaku atau perbuatan
melawan hukum, melampaui wewenang, menggunakan wewenang untuk tujuan lain dari yang menjadi
tujuan wewenang tersebut, termasuk kelalaian atau pengabaian kewajiban hukum dalam
penyelenggaraan pelayanan publik yang dilakukan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan yang
menimbulkan kerugian materiil dan/atau immateriil bagi masyarakat dan orang perorangan”. Sesuai
dengan devinisi diatas, menurut Muammar,42 Gubernur Aceh dengan kewenangan yang diamiliki telah
melampaui kewenangannya dimana peribadatan di Aceh telah tertuang didalam Qanun Nomor 8 Tahun
2014 tentang Pokok-Pokok Syariat Islam dan bukan kewenangan gubernur mengaturnya dan melarang
selain bermazhab Syafi’iyah melakukan pengajian, Gubernur juga beraku tidak adil, melanggar undang-
undang, dan berbuat diskriminasi.
Jika SE tersebut termasuk maladministrasi atau melanggar hak-hak warga negara yang telah
dilindungi oleh konstitusi, dan berlawanan dengan AAUPB, juga berkaitan dengan pelayanan publik
dan meyalahi kewenangan maka dapat dilaporkan kepada Ombudsman RI, juga dapat ditempuh dengan
mengajukan gugatan kepada PTUN karena dalam sistem hukum administrasi negara, peraturan
kebijakan yang mengalami masalah dapat dilakukan pengujian yang merupakan kompetensi absolut
peradilan administrasi negara.
Di dalam memutuskan hal tersebut, hakim PTUN akan berpedoman pada AAUPB sebagai batu
uji nya untuk menguji kemanfaatan yang telah dikeluarkan oleh Gubernur Aceh melalui surat edaran
tersebut. Jika menurut hakim PTUN surat edaran tersebut tidak memenuhi unsur kemanfaatan sesuai
dengan AAUPB maka surat edaran tersebut akan dinyatakan batal oleh hakim.
Upaya lain untuk menghindari terjadinya kekacauan dan pembubaran pengajian secara paksa
maka penyelenggara acara tersebut harus terlebih dahulu melakukan komunikasi dan konsultasi dengan
MPU dan Dinas Syariat Islam serta kepala Satuan Kerja Pemerintah Aceh (SKPA) Kabupaten atau Kota
setempat dan mengevaluasi dan mendata kembali nama penceramah atau pengisi pengajian tersebut,
bila terdapat nama penceramah yang kontroversi dan dapat memicu kemarahan, kekacau dan tindak
pidana didalam masyarakat, maka tidak diperbolehkan berceramah.43
C. Penutup
1. Kesimpulan
Surat edaran tersebut juga bukanlah freies ermessen atau diskresi. Karena diskresi dikeluarkan
ketika didalam peraturan perundang-undangan tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau
adanya stagnasi pemerintahan. Karena dalam Pasal 14 Qanun Nomor 8 Tahun 2014 tentang Pokok-
Pokok Syariat Islam sudah sangat jelas mengatur peribadatan di Aceh dan tidak perlu adanya surat
edaran tersebut. Kemudian mengenai materi muatan yang terkandung didalam surat edaran tersebut juga
tidak memenuhi beberapa hal yang telah ditetapkan melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan seperti adanya beberapa asas-asasnya yang tidak
40 E. Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia (Jakarta: Ichtiar, 1962), hlm. 22-23 41 Sadhu Bagas Suratno, Pembentukan Peraturan Kebijakan Berdasarkan Asas-Asas Umum Pemerintahan
yang Baik, e-Journal Lentera Hukum, Volume 4, Issue 3 (2017), hlm. 166-167 42 Wawancara dengan Muammar, Kepala Bidang Pencegahan Ombudsman Aceh, data diolah pada
tanggal 29 Maret 2021 pada pukul. 11.02 wib. 43 Wawancara dengan Marzuki, Kepala Subbagian Ulama dan Umara Dinas Syariat Islam Aceh, data
diolah pada tanggal 24 Juni 2020 pada pukul. 07.14 wib
IURIS STUDIA: Jurnal Kajian Hukum Kedudukan Surat Edaran Gubernur Aceh… Volume 2 Nomor 2, Juni 2021: Page 241-256 (Muhammad Nur Miswari, dkk.)
Page 255
terpenuhi dengan sempurna. SE tersebut hanyalah surat kedinasan yang hanya ditujukan kepada Dinas
Syariat Islam yang intinya terdapat didalam poin 4 SE tersebut untuk mengawasi, mengevaluasi dan
mendata kembali nama penceramah guna agar tidak terjadi kericuhan dalam masyarakat.
2. Saran
Dalam pembuatan peraturan kebijakan tetap harus mengacu sesuai dengan ketentuan yang telah
ditetapkan, Surat edaran ini tidak hanya melanggar Qanun 8 tahun 2014 tentang Pokok-Pokok Syariat
Islam namun juga bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945, selain itu isi dari peraturan kebijakan
dalam hal ini surat edaran antara poin nya itu harus memiliki kesesuaian, yang mana poin ke 2
menyebutkan “...dengan teteap menghormati mazhab lain” namun dalam poin 4 menyebutkan
“...melarang untuk diadakan pengajian selain dari mazhab Syafi’iyah”. Kemudian isi dari surat edaran
tersebut sebaiknya harus disesuaikan dengan qanun sehingga tidak mengalami pertentangan. Sebaiknya
Surat Edarat tersebut dikaji kembali karena ia masuk kedalam ranah maladministrasi, Masyarakat
seharusnya dapat melaporkannya kepada Ombudsman RI dan berkonsultasi dengan DPR Aceh yang
merupakan kewenangannya atau dapat digugat melalui Pengadilan Tata Usaha Negara. Sebaiknya Surat
Edaran Gubernur Aceh Nomor 450/21770 tersebut dilakukan pengujian kepada PTUN sehingga
diperoleh kepastian hukum agar beberapa hak-hak warga negara yang tidak terpenuhi tersebut dapat
terpenuhi dan konflik yang terjadi di masyarakat tersebut dapat segera diselesaikan.
Daftar Pustaka
Abdullah, Abdul Gani, (2004), Artikel Ilmiah, Pengantar Memahami Undang-Undang
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 1 No.2
Aceh Journal National Network (AJNN.NET) “Ombudsman Aceh Sarankan Plt Gubernur Aceh Cabut
Surat Edaran Nomor 450/21770 https://www.ajnn.net/news/ombudsman-aceh-sarankan-plt-
gubernur-cabut-surat-edaran-nomor-450-21770/index.html.
Ahsin W. Alhafidz, (2013), Kamus Fiqh, Cet. 1, Jakarta : Amzah.
Al Yasa’ Abubakar dan M. Daud Yoesoef, (2004), Qanun sebagai Peraturan Pelaksana Otonomi Khusus
Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 1 No. 3 November 2004
Ali Geno Berutu, (2016), Penerapan Syariat Islam Aceh dalam Lintas Sejarah, Jurnal Hukum, Vol. 13
Nomor 2, November 2016
Bachsan Mustafa, (1990), Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara. Bandung: PT.Citra Aditya Bakti.
E. Utrecht, (1962), Pengantar Hukum Administrasi Indonesia. Jakarta: Ichtiar.
Endri, (2018), Analisis Yuridis Terhadap Legalitas Qanun Aceh No.6/2014 Tentang Hukum Jinayah,
Kanun Jurnal Ilmu Hukum, Vol 20, No. 1, (April, 2018), pp. 123-147
Hotma P Sibuea, (2010), Asas Negara Hukum, Peraturan Kebijakan, dan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik. Jakarta: Erlangga.
Husni Mubarok A. Latief, ”Disonansi Qanun syariat Islam dalam Bingkai Konstitusi Indonesia: Aceh
sebagai studi Kasus”, Annual International Conference on Islamic studies (AICIS XII) Kamarusdiana, (2016), Qanun Jinayah Aceh Dalam Perspektif Negara Hukum Indonesia, Ahkam: Vol,
XVI, No. 2, Juli 2016
Mansur Mangasing, (2008), Muhammad Ibn Abd Al-Wahhab dan Gerakan Wahabi, Jurnal Hunafa,Vol.
5, No. 3, Desember 2008
Muhammad Yani, (2011), Pelaksanaan Hukum Jinayat Di Aceh Dalam Perspektif Fiqh Dan Ham Studi
Qanun Nomor 12, 13, Dan 14 Tahun 2003, Tesis, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah,
Jakarta.
Nuryanto A.Daim, (2014), Hukum Adminstrasi Perbandingan Penyelesaian Maladministrasi Oleh
Ombudsman dan Pengadilan Tata Usaha Negara, Surabaya: Laksbang Justitia.
Philipus M.Hadjon, (2008), Pengantar Hukum Administrasi Negara. Yogyakarta: Gajah Mada
University Press.
Pipin Syarifin dan Dedeh Djubaedah, (2012), Ilmu Perundang-Undangan, Bandung: Pustaka Setia.
Ramadhani, Rahmat. (2020). “Legal Consequences of Transfer of Home Ownership Loans without
Creditors' Permission”, IJRS: International Journal Reglement & Society 1, No. 2.
Ramadhani, Rahmat. (2020). “Peran Poltik Terhadap Pembangunan Hukum Agraria Nasional”,
SOSEK: Jurnal Sosial dan Ekonomi 1, No. 1.
IURIS STUDIA: Jurnal Kajian Hukum Kedudukan Surat Edaran Gubernur Aceh… Volume 2 Nomor 2, Juni 2021: Page 241-256 (Muhammad Nur Miswari, dkk.)
Page 256
Ronald M. M. Goni, (2015), Kewenangan Gubernur Dalam Pembentukan Peraturan Daerah sebagai
Implementasi Pemberlakuan Otonomi Daerah, Lex Administratum, Vol. III/No. 4/Juni/2015
Sadhu Bagas Suratno, (2017), Pembentukan Peraturan Kebijakan Berdasarkan Asas-Asas Umum
Pemerintahan yang Baik, e-Journal Lentera Hukum, Volume 4, Issue 3
Sirajuddin, (2016), Hukum Administrasi Pemerintahan Daerah. Malang: Setara Press.
W. Riawan Tjandra, (2008), Hukum Administrasi Negara. Yogyakarta: Universitas Atma Jaya
Yogyakarta.
Zainuddin dan Rahmat Ramadhani. (2021). “The Legal Force Of Electronic Signatures In Online
Mortgage Registration”, Jurnal Penelitian Hukum De Jure 21, No. 2.
top related