kebijakan formulasi hukum pidana dalam …
Post on 02-Oct-2021
18 Views
Preview:
TRANSCRIPT
iv
KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSI DILIHAT DARI UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA
KORUPSI DAN RUU KUHP
SKRIPSI
DiajukanUntukMelengkapiTugasdanMemenuhiSyaratUntukMencapaiGelarSarjanaHukum
OLEH :
ERINSIMAN BENEVOLENCE SINAGA
NIM : 140200166
DEPARTEMEN HUKUM PIDANA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2018
Universitas Sumatera Utara
v
KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSI DILIHAT DARI UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA
KORUPSI DAN RUU KUHP
SKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas dan Memenuhi Syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum
ERINSIMAN BENEVOLENCE SINAGA
NIM : 140200117 DEPARTEMEN HUKUM PIDANA
Disetujui Oleh : Ketua Departemen Hukum Pidana
Dr. Muhammad Hamdan, S.H., M.H.
NIP. 195703261986011001
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2018
DOSEN PEMBIMBING I
NIP.195102061980021001 Prof.Dr.Syafruddin Kalo,S.H.,M.Hum
DOSEN PEMBIMBING II
NIP.197404012002121001 Dr.Mahmud Muliyadi S.H,M.Hum
Universitas Sumatera Utara
vi
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT
Saya yang bertandatangan di bawahini :
Nama : Erinsiman Benevolence Sinaga
NIM : 140200166
Departemen : Hukum Pidana
Judul Skripsi :Kebijakan Formulasi Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Tindak
Pidana Korupsi Dilihat Dari UU Tindak Pidana Korupsi Dan RUU KUHP
Dengan ini menyatakan :
1. Bahwa isi skripsi yang saya tulis tersebut diatas adalah benar tidak merupakan jiplakan
dari skripsi atau karya ilmiah orang lain.
2. Apabila terbukti di kemudian hari skripsi tersebut adalah ciplakan, maka segala akibat
hukum yang timbul menjadi tanggungjawab saya.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya tanpa ada paksaan atau tekanan dari
pihak manapun.
Medan, 2018
ERINSIMAN B. SINAGA
NIM :140200166
Universitas Sumatera Utara
i
i
KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena Atas berkat dan RahmatNya Penulis,
sehingga dapat meyelesaikan penulisan skripsi ini untuk menyelesaikan studinya di Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara. Skripsi ini disusun untuk melengkapi tugas dan syarat
dalam memperoleh gelar sarjana hukum di Universitas Sumatera Utara, yang merupakan
kewajiban bagi setiap mahasiswa/i yang akan menyelesaikan perkuliahannya.
Adapun judul skripsi yang Penulis kemukakan adalah : “KEBIJAKAN FORMULASI
HUKUM PIDANA DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSI
DILIHAT DARI UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA KORUPSI DAN RUU KUHP
Penulis telah bekerja semaksimal mungkin dalam penyelesaian skripsi ini. Namun, Penulis
menyadari masih banyak kekurangan, baik dari segi isi maupun dalam penulisannya.
Melalui kesempatan ini Penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-
tingginya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian penulisan skripsi ini.
1. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara.
2. Bapak Dr. Saidin, SH, M.Hum, Ibu Puspa Melati Hasibuan, SH, M.Hum, Bapak Dr. Jelly
Leviza, SH, M.Hum, yang masing-masing selaku Wakil Dekan I, Wakil Dekan II, dan
Wakil Dekan III pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Universitas Sumatera Utara
ii
ii
3. Ibu Dr. Idha Apriliyana Sembiring SH.,M.Hum selaku Dosen Penasehat Akademik dari
penulis yang telah memberikan bimbingan dan arahan kepada Penulis.
4. Bapak Dr. M. Hamdan, SH., MH selaku Ketua Departemen Hukum Pidana yang telah
memberikan bimbingan ataupun arahan kepada Penulis.
5. Bapak Prof.Dr. Syafruddin Kalo SH., M.Hum selaku Dosen Pembimbing I Penulis, yang
telah memberikan bimbingan ataupun arahan kepada Penulis.
6. Bapak Dr. Mahmud Mulyadi SH., M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II Penulis, yang telah
meluangkan waktu untuk membimbing, mengarahkan, dan memeriksa skripsi ini agar
menjadi lebih sempurna.
7. Kepada Orang tua Bapak Hotler Sinaga SP, dan Ibu Prihatin Manullang SE yang dengan
penuh semangat dan kasih sayang telah memberikan dukungan serta Nasihat dan doa kepada
Penulis dalam studi penulis.
8. Kepada Adik saya Ermando Sinaga yang telah memberikan dukungan baik secara motivasi
serta doa dalam penyusunan skripsi ini.
9. Kepada kawan-kawan KCK dan kawan-kawan saya dari semester 1 yakni Sonny, Kristian,
Elia, Hariz dll terima kasih atas kebersamaannya, hiburan, dan dukungannya kepada penulis.
10. Kepada Rekan-rekan yang memberikan semangat kepada penulis pada saat penulisan skripsi
ini.
11. Kepada seluruh Stambuk 2014 Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, terima kasih
atas kebersamaannya dan dukungannya.
12. Kepada seluruh pihak yang telah memberikan bantuan dan dukungan dalam penulisan
skripsi ini.
Universitas Sumatera Utara
iii
iii
Penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat konstruktif untuk kemajuan di
masa mendatang terutama dalam ranah penegakan hukum di Indonesia. Penulis juga berharap
agar skripsi ini dapat dijadikan sebagai langkah awal dalam upaya pembangunan hukum di
Indonesia terutama dalam perkembangan hukum pidana.
Medan, Januari 2018
Penulis
Universitas Sumatera Utara
iv
iv
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR………………………………………………………………….i
DAFTAR ISI…………………………………………………………………………...iv
ABSTRAK……………………………………………………………………………..vi
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang……………………………………………………….1
B. Perumusan Masalah……………………………....……...……..…....11
C. Tujuan Penulisan……………………………………………………..11
D. Manfaat Penulisan……...……………………………………………12
E. Keaslian Penulisan………………………………………………...…12
F. Tinjauan Kepustakaan.........................................................................13
1. Tindak Pidana dan Unsur-unsur Tindak Pidana..........................13
2. Korupsi........................................................................................20
3. Pembaharuan Hukum Pidana......................................................22
4. Kebijakan Penanggulangan Kejahatan.......................................25
G. Metode Penelitian..............................................................................27
H. Sistematika Penulisan........................................................................30
BAB II : FORMULASI TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM UNDANG-
UNDANG TINDAK PIDANA KORUPSI
A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi ..................................................32
Universitas Sumatera Utara
v
v
B. Ketentuan-ketentuan dalam tindak pidana korupsi menurut Undang-
Undang Tindak Pidana Korupsi…………………………………….37
1. Unsur Melawan Hukum…………………………………………38
2. Perbuatan Memperkaya diri……………………………………..41
C. Perumusan klasifikasi Unsur-Unsur Tindak Pidana Korupsi
berdasarkan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi…………….42
BAB III : KEBIJAKAN FORMULASI PIDANA TERHADAP TINDAK
PIDANA KORUPSI DALAM RUU KUHP
A. Tindak Pidana Korupsi dan Pembaharuan Hukum Pidana………….84
B. Pengertian Kebijakan Formulasi Hukum……………………………92
C. Kebijakan Formulasi Hukum Pidana dilihat dari RUU KUHP…….96
BAB IV : PENUTUP
A. Kesimpulan…………………………………………………………106
B. Saran………………………………………………………………..107
DAFTAR PUSTAKA
Universitas Sumatera Utara
iv
ABSTRAK Erinsiman Benevolence Sinaga*1
Formulasi mengenai Undang-Undang tindak pidana korupsi saat ini didasari oleh ketentuan-ketentuan yang ada di dalam Undang-Undang tindak pidana korupsi tersebut beberapa karakteristik tindak pidana korupsi tersebut mencakup perbuatan melawan hukum, memperkaya diri sendiri, serta merugikan keuangan dan perekonomian negara. Kebijakan formulasi yang akan datang dapat menjadi jawaban bagi perkembangan zaman yang memunculkan berbagai modus operandi yang baru dengan melakukan pembaharuan terhadap hukum pidana yang diterapkan sekarang agar sesuai dengan perkembangan zaman dan mengingat konsep KUHP nasional ini berdasarkan pada ideology bangsa dan konsep pembentukannya adalah dengan kolaborasi antara hukum nasional dan
Prof.Dr. Syafruddin Kalo SH., M.Hum**
Dr. Mahmud Muliyadi SH., M.Hum**
Dewasa ini, tindak pidana korupsi semakin marak terjadi dan semakin mengkhawatirkan dan semakin massif terjadi dengan memunculkan berbagai modus operandi terbaru dalam melakukannya sehingga diperlukan adanya penegakan hukum yang diberlakukan secara intensif berbicara mengenai penegakan hukum pastinya menyangkut peraturan perundang-undangan dan institusi penggeraknya yang selama ini dikatakan belum maksimal dalam meminimalisir terjadinya tindak pidana korupsi tersebut. Adapun berbagai upaya telah dilakukan pemerintah dalam rangka menanggulangi terjadinya tindak pidana korupsi, khusus dalam peraturan perundang-undangan pemerintah mulai dari orde lama hingga saat ini telah merumuskan formulasi untuk dapat menanggulangi tindak pidana korupsi yang hingga saat ini memunculkan UU No. 31 Tahun 1999 dan UU No. 20 Tahun 2001 yang dipakai hingga saat ini dan ke depannya pemerintah juga telah merumuskan aturan baru yakni di dalam RUU KUHP terbaru yang mencantumkan delik korupsi di dalamnya.
Adapun rumusan permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah mengenai formulasi hukum pidana mengenai Undang-Undang tindak pidana korupsi yang dipakai Indonesia saat ini, kemudian juga membahas mengenai kebijakan formulasi hukum pidana Indonesia ke depannya dalam menanggulangi tindak pidana korupsi yang terdapat di dalam RUU KUHP
Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode penelitian yang dilakukan dengan pendekatan yuridis normatif, dimana pengumpulan data yang dilakukan adalah dengan metode library research (penelitian kepustakaan) yakni melakukan penelitian dengan menggunakan data dari berbagai sumber bacaan seperti peraturan perundang-undangan, buku-buku, majalah, koran dan internet yang dinilai relevan dengan permasalahan yang akan dibahas penulis dalam skripsi ini.
* Mahasiswa Fakultas Hukum USU ** Dosen/staf pengajar Fakultas Hukum USU, Pembimbing I ** Dosen/ Staf pengajar Fakultas Hukum USU, Pembimbing II
Universitas Sumatera Utara
v
internasional. Oleh karena itu RUU KUHP berikutnya diharapkan dapat menjawab tantangan oleh berbagai perkembangan zaman dan juga didukung oleh berbagai pihak dalam hal pencegahannya bias dengan memperkuat lembaga-lembaga-lembaga yang mendukung KPK seperti Ombudsman dan lain-lain agar penanggulangan tindak pidana korupsi dapat berjalan efektif dan mencegah maraknya tindak pidana korupsi di Indonesia.
Universitas Sumatera Utara
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penegakan hukum sangat terkait dengan peraturan hukum dan
institusipenegak hukum, kalau yang pertama menyangkut peraturan perundang-
undangannya, sedangkan yang kedua menyangkut institusi penggeraknya, seperti
Kepolisian RI, Kejaksaan RI, pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan, dalam
hal ini termasuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Penegakan hukum
merupakan bagian tidak terpisahkan dari segi pembangunan hukum, sedangkan
pembagunan hukum itu sendiri adalah komponen integral dari pembangunan
nasional.Penegakan Hukum sebagai landasan tegaknya supremasi hukum, tidak
saja menghendaki komitmen ketaatan seluruh komponen bangsa terhadap hukum
mewajibkan aparat penegak hukum untuk dapat menegakkannya secara konsisten
dan konsekuen,tetapi menghendaki juga suatu pengaturan hukum yang
mencerminkan suatu kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan hukum yang
merupakan cita-cita hukum bangsa2
Seperti pada halnya penegakan terhadap hukum pidana, penegakan hukum
pidana merupakan kebijakan yang dilakukan melalui beberapa tahap, yaitu tahap
.
2 Marwan Effendy, Pemberantasan Korupsi dan Good Governance,Timpani
Publishing,Jakarta,2010,hlm. 3,5
1
Universitas Sumatera Utara
2
formulasi, aplikasi, dan eksekusi. Tahap formulasi adalah tahap penegakan hukum
“in abstracto” oleh badan pembuat undang-undang dan biasanya disebut tahap
legislative.
Sedangkan tahap aplikasi adalah penerapan hukum pidana yang dilakukan
oleh aparat penegak hukum, yaitu aparat kepolisian, kejaksaan, dan hakim. Tahap
ini biasa disebut dengan tahap yudikatif. Tahap eksekusi adalah tahapan
pelaksanaan putusan hakim yang disebut kebijakan eksekutif atau administratif.3
Khusus penegakan terhadap pemberantasan atau penanggulangan tindak
pidana korupsi dalam rangka menegakkan hukum pemberantasan tindak pidana
korupsi, ada beberapa hal yang perlu didiskusikan di antaranya, perlu kesamaan
persepsi dan juga perlunya standard pemidanaan dalam kasus pidana. Keperluan
penyamaan persepsi dimaksud terutama perlunya ditingkatkan usaha-usaha
pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pada umumnya serta tindak pidana
korupsi pada khususnya.
4
Oleh karena itu, untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik
dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme, maka upaya pemberantasan korupsi
yang selama ini telah dilakukan oleh aparat penegak hukum.
Tindak pidana korupsi merupakan perbuatan yang
sangat merusak dan merugikan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara.
5
3 Monang Siahaan, Pembaharuan Hukum Indonesia, Grasindo, Jakarta, 2016, hlm. 3 4Kompilasi Penerapan Hukum Oleh Hakim dan Strategi Pemberantasan Korupsi, Biro
Hukum Dan Humas Badan Urusan Administrasi Republik Indonesia,Jakarta, 2015, hlm.69 5Penjelasan Umum Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Universitas Sumatera Utara
3
Perkembangan tindak pidana korupsi juga cukup marak yakni dengan terus
meningkatnya tindak pidana korupsi dari tahun ke tahun, baik dari jumlah kasus
yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan negara maupun dari segi kualitas
tindak pidana yang dilakukan semakin sistematis serta ruang lingkupnya yang
memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat.6
Adapun upaya pemerintah dalam melakukan penanggulangan tindak
pidana korupsi, ada yang dilakukan baik melalui penindakan yang dilakukan oleh
aparat penegak hukum maupun melalui reformasi birokrasi di berbagai sektor
publik dan administratif yang dilakukan oleh pemerintah pusat maupun
pemerintah daerah masih menemui kendala. Belum tuntasnya program tersebut
karena kelembagaan (institution), ketatalaksanaan (business process) prosedur dan
sumber daya manusia (human resource) terkait dengan masalah pelayanan
publik/masayarakat (public service), prosedur untuk berinvestasi/berbisnis
Sebagaimana arti harfiahnya tindak pidana korupsi yang berarti
kebusukan, kebejatan, keburukan, ketidakjujuran, tidak bermoral, penyimpangan
dari yang suci dan yang luhur, korupsi berdampak sangat buruk terhadap
kehidupan bangsa. Dampak korupsi yang paling utama adalah runtuhnya akhlak,
moral, integritas dan religiusitas bangsa. Korupsi yang telah membudaya
mengakibatkan runtuhnya nilai-nilai luhur seperti amanah, kejujuran,
penghormatan pada eksistensi orang lain dan penghargaan akan hak-hak orang
lain.
6 Penjelasan Umum Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi
Universitas Sumatera Utara
4
(investment procedure), proses untuk mendapatkan keadilan (access to justice)
serta dalam pengadaan barang dan jasa di pemerintahan (government good and
service procurement) belum sesuai dengan harapan masyarakat.7
Oleh karenanya, tidaklah salah dan berlebihan apabila dikatakan bahwa
fenomena maraknya tindak pidana korupsi yang terjadi di Indonesia sudah
menjadi seperti penyakit yang kronis dan sulit untuk disembuhkan.
Tindak pidana korupsi di Indonesia hingga saat ini masih menjadi salah
satu penyebab terpuruknya sistem perekonomian di Indonesia yang terjadi secara
sistemik dan meluas sehingga bukan saja merugikan kondisi keuangan negara
ataupun perekonomian negara, tetapi juga telah melanggar hak-hak sosial dan
ekonomi masyarakat secara luas.
8
Tindak pidana korupsi telah menjadi sesuatu yang sistemik, sudah menjadi
suatu sistem yang menyatu dengan penyelenggaraan pemerintahan negara dan
bahkan dapat dikatakan bahwa pemerintahan justru akan hancur apabila tindak
pidana korupsi diberantas. Struktur pemerintahan yang dibangun dengan latar
belakang korupsi akan menjadi struktur yang korup dan akan hancur manakala
korupsi tersebut dihilangkan.
9
Berdasarkan data Political and Economic Risk Consultancy (PERC) pada
tahun 2010, Indonesia merupakan Negara yang paling korup dari 16 negara di
7 Marwan Effendy,Kapita Selekta Hukum Pidana,Referensi,Jakarta,2012,hlm. 1 8 Kristian dan Yopi Gunawan, Tindak Pidana Korupsi Kajian terhadap harmonisasi
antara hukum nasional dan The united Nations Convention Against Corruption (UNCAC), Refika Aditama, Bandung, 2015, hlm. 2
9 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
5
Asia Pasifik. Jika dilihat dalam kenyataan sehari-hari, tindak pidana korupsi
hampir terjadi di setiap tingkatan dan aspek kehidupan masyarakat. Mulai dari
izin mendirikan bangunan, proyek pengadaan di instansi pemerintahan sampai
proses penegakan hukum.
Ada beberapa hambatan yang sebenarnya sangat krusial dalam hal
memberantas tindak pidana korupsi di Indonesia ini seperti:10
1. Tindak pidana korupsi muncul dari kebiasaan yang ada dalam
masyarakat sehingga tindak pidana korupsi sudah dianggap suatu hal
yang lumrah dan wajar untuk dilakukan oleh masyarakat umum. Hal
serupa terlihat pula dalam hal memberikan hadiah kepada pejabat
pegawai negeri atau keluarganya sebagai imbal jasa sebuah pelayanan.
Kebiasaan-kebiasaan itu dipandang lumrah dilakukan sebagai bagian
dari budaya ketimuran. Kebiasaan koruptif ini lama-lama akan menjadi
bibit-bibit tindak pidana korupsi yang nyata.
2. Dengan makin mahalnya kebutuhan yang ada pada zaman sekarang
maka sering sekali seperti pegawai negeri itu semata-mata karena
keterpaksaan yang dilakukan dengan perbuatan melawan hukum
3. Manajemen yang kurang baik dan kontrol yang kurang efektif dan
efisien biasanya korupsi ini terjadi bila ada niat dan kesempatan.
Apabila manajemen dapat terkontrol dengan baik, maka keluar
masuknya aliran dana dapat terdeteksi.
10 Jawade Hafidz Arsyad, Korupsi Dalam Perspektif HAN, Sinar Grafika, Jakarta, 2013,
hlm.11,13,15
Universitas Sumatera Utara
6
Persoalan korupsi yang sekarang terjadi telah menjadi gurita dalam sistem
pemerintahan di Indonesia merupakan gambaran dari bobroknya tata
pemerintahan di negara kita ini. Dampak dari fenomena ini telah menghasilkan
kemiskinan, rendahnya tingkat pendidikan dan kesehatan, serta buruknya
pelayanan publik. Akibatnya, penderitaan selalu dialami oleh masyarakat,
terutama yang berada di bawah garis kemiskinan.
Sejarah menorehkan catatan panjang perjuangan bangsa Indonesia
melawan tindak pidana korupsi. Namun demikian, hingga saat ini tindak pidana
korupsi masih merajalela bahkan semakin canggih dan semakin tersistematis.
Sebagai bangsa pejuang, bangsa Indonesia tidak pernah dan tidak boleh
menyerah. Perlawanan terhadap tindak pidana korupsi ini tentunya harus
dilakukan dengan lebih masif, sistematis, konsisten, dan berkomitmen.11
Pemerintah Indonesia berusaha memberantas tindak pidana korupsi yang
terus menjamur di Indonesia dengan berbagai daya dan upaya. Pemerintah telah
berkali-kali membentuk komisi Independen atau lembaga yang mempunyai tugas
Upaya pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia telah dilakukan
selama lebih dari 60 tahun, baik pada era orde Lama, orde Baru, maupun pada era
Reformasi, serta era baru pemerintahan saat ini. Namun demikian, segala dan
upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah dan seluruh lapisan masyarakat
dalam menanggulangi tindak pidana korupsi ternyata belum menunjukkan hasil
seperti yang diharapkan.
11 Ibid.hlm 3
Universitas Sumatera Utara
7
untuk menangani kasus atau perkara tindak pidana korupsi secara khusus, namun
komisi atau lembaga yang dibentuk tidak mampu menyelesaikan tugasnya dengan
baik.
Dimulai pada tahun 1967, pemerintah telah membentuk Tim
Pemberantasan Korupsi yang berada di bawah Kejaksaan Agung (pada saat itu
dipimpin oleh Agung Sugih Arto dan sebagai penasihatnya ada Menteri
Kehakiman, Panglima ABRI dan Kapolri). Kemudian pada tahun 1970 dibentuk
Komisi Empat dengan anggota Mohammad Hatta (merangkap sebagai ketua),
Anwar Tjokroaminoto, Herman Johannes dan Soetopo Yoewono.12
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan
atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 telah mengatur berbagai ketentuan
khusus diantaranya adalah sanksi pidana dan ketentuan hukum acara pidana.
Sanksi (hukuman/ganjaran) yang berbeda dengan undang-undang sebelumnya,
dalam proses penerapan hukum diharapkan dapat memberikan pengaruh positif
untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi.
13
12 Ibid.hlm 4 13Biro Hukum Dan Humas Badan Urusan Administrasi Republik Mahkamah Agung
Op.cit.,hlm.69
Semangat dan upaya memberantas korupsi mulai dari era reformasi
sebelumnya ditandai terutama dengan keluarnya berbagai produk perundang-
undangan. Dimulai dengan keluarnya :
Universitas Sumatera Utara
8
a. TAP MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang “Penyelenggara Negara yang
bersih dan bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN)”; lalu kemudian
dikeluarkan pula.
b. Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang “Penyelenggara Negara
yang bersih dan bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN)” yang
di dalamnya memuat ketentuan kriminalisasi delik “kolusi” (Pasal 21) dan
delik “nepotisme” (Pasal 22): dan
c. Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang “Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi”, yang mengubah dan mengganti undang-undang lama
(Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971).
Upaya melakukan pembaharuan undang-undang memang merupakan
langkah yang sepatutnya dilakukan. Namun, masalah korupsi ini sering mendapati
kendala-kendala yang dimana dalam menyelesaikan permasalahan korupsi ini
sarat dengan masalah maka seyogyanya dapat ditempuh dengan “pendekatan
integral”.
Tidak cukup hanya melakukan “law reform”atau biasa disebut dengan
pembaharuan hukum khususnya hukum pidana tetapi juga disertai dengan “social,
economic, political, cultural, moral, and administrative reform”. Jangkauan
hukum pidana adalah terbatas.Usaha pemberantasan secara tidak langsung dapat
dilakukan dengan tindakan-tindakan di lapangan politik, ekonomi, pendidikan dan
sebagainya.14
14 Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,
2003 hlm 65-67
Mengingat korupsi di Indonesia terjadi secara sistematik dan meluas
Universitas Sumatera Utara
9
sehingga tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga melanggar hak-hak
social dan ekonomi masyarakat secara luas, maka pemberantasan korupsi perlu
dilakukan dengan cara luar biasa.15
Bahwa saat ini korupsi dan tindak pidana terorganisir lainnya tidak lagi
menjadi masalah lokal melainkan merupakan fenomena transnasional yang
mempengaruhi seluruh masyarakat ekonomi regional maupun global yang
mendorong kerja sama masyarakat dan negara-negara di dunia menjadi sangat
relevan dan strategis dalam konteks pencegahan dan penegakan hukumnya
perkara-perkara tersebut. Mengingat bahwa pencegahan dan pemberantasan
tindak pidana korupsi dan tindak pidana teroganisasi lainnya merupakan tanggung
jawab semua negara oleh karena itu mereka harus bekerja sama satu sama lain
dengan dorongan dan keterlibatan “individu - individu dan kelompok - kelompok”
di luar sektor publik seperti masyarakat madani, lembaga swadaya masyarakat dan
organisasi kemasyarakatan supaya dapat lebih optimal dan efektif.
16
15Penjelasan Umum Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
16 Biro Hukum Dan Humas Badan Urusan Administrasi Republik Mahkamah Agung Op.cit.,hlm.121
Di tengah upaya pembangunan nasional di berbagai bidang, aspirasi
masyarakat untuk memberantas korupsi dan bentuk penyimpangan lainnya
semakin meningkat, karena dalam kenyataan adanya perbuatan korupsi telah
menimbulkan kerugian negara yang sangat besar yang pada gilirannya dapat
berdampak pada timbulnya krisis di berbagai bidang.
Universitas Sumatera Utara
10
Untuk itu, upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi perlu semakin
ditingkatkan dan diintensifkan dengan tetap menjunjung tinggi hak asasi manusia
dan kepentingan masyarakat.17
17Penjelasan Umum Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi
Dalam tugas akhir yang berjudul “Kebijakan Formulasi Hukum Pidana
Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi dilihat dari UU Tindak
Pidana Korupsi dan RUU KUHP” ini berusaha mencoba mencari tahu
kebijakan formulasi hukum pidana apa yang ingin dipakai Indonesia kedepannya
agar dapat menanggulangi tindak pidana korupsi dan sekaligus ingin melihat
kemajuan yang terdapat di dalam pembentukan RUU KUHP yang akan menjadi
tonggak hukum nasional dalam hal hukum pidana.
Universitas Sumatera Utara
11
B. Perumusan Masalah
Setelah mengetahui latar belakang yang telah diuraikan di atas maka penulis
selanjutnya membentuk rumusan masalah yakni:
1. Bagaimana formulasi hukum pidana dilihat dari segi Undang-undang
Tindak Pidana Korupsi?
2. Bagaimana kebijakan formulasi pidana terhadap tindak pidana korupsi
dilihat dari RUU KUHP?
C. Tujuan dan Manfaat penulisan
Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini :
1. Untuk mengetahui bagaimana karakteristik dari tindak pidana korupsi itu
sendiri dan bagaimana pengaturannya di dalam perundang-undangannya
sendiri.
2. Untuk mengetahui bagaimana cara-cara dalam penanggulangan korupsi
yang diberlakukan sekarang.
3. Untuk mengetahui bagaimana kebijakan hukum pidana di kemudian hari
yang seharusnya bisa diterapkan karena melihat fenomena yang
belakangan ini terjadi dengan banyaknya OTT KPK diberlakukan.
Universitas Sumatera Utara
12
Adapun yang menjadi manfaat dari penulisan skripsi ini tidak dapat dipisahkan
dari tujuan penulisan yang telah diuraikan di atas, yaitu :
1. Secara teoritis, penulisan skripsi ini diharapkan akan menjadi bahan
pertimbangan lebih lanjut terhadap penanggulangan tindak pidana korupsi
di kemudian hari dan penulisan skripsi ini juga diharapkan dapat memberi
masukkan untuk ilmu pengetahuan mengenai hukum khususnya tindak
pidana korupsi sebagai suatu sub sistem dari kejahatan kerah putih (white
collar crime).
2. Secara praktis, penulisan skripsi ini diharapkan dapat menjadi referensi
bagi para aparat penegak hukum yang terkait khusus dalam skripsi ini
yang berada di bidang legislatif dan yudikatif untuk dapat menindak para
pelaku tindak pidana korupsi dan dapat membentuk atau merumuskan
kebijakan formulasi yang tepat dalam hukum pidana agar bisa
menanggulangi tindak pidana korupsi itu sendiri.
D. Keaslian Penulisan
“KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA DALAM
PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSI DILIHAT DARI RUU
KUHP DAN UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA KORUPSI”, yang diangkat
menjadi judu l skripsi ini belum pernah ditulis di Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara. Permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini adalah murni hasil
pemikiran dari penulis yang dikaitkan dengan teori-teori hukum yang berlaku
maupun doktrin-doktrin yang ada melalui referensi buku-buku, media elektronik
Universitas Sumatera Utara
13
dan bantuan dari berbagai pihak. Skripsi ini dibuat dalam rangka melengkapi
tugas akhir dan memenuhi syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum di
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, sebelumnya penulis menelusuri ke
perpustakaan Universitas Sumatera Utara belum ada yang mengangkat judul
tersebut dalam penulisan skripsi dan apabila ternyata di kemudian hari terdapat
judul dan permasalahan yang sama, maka penulis akan bertanggung jawab
sepenuhnya terhadap skripsi ini.
E. Tinjauan Pustaka
1. Tindak Pidana dan Unsur-unsur Tindak Pidana
Sebelum masuk ke istilah tindak pidana maka terlebih dahulu kita harus
menjabarkan arti dari hukum pidana itu sendiri dalam merumuskan hukum
pidana ke dalam rangkaian kata untuk dapat memberikan sebuah pengertian
yang komprehensif tentang apa yang dimaksud dengan hukum pidana adalah
sangat sukar. Dari beberapa para ahli hukum pidana banyak yang memberi
pengertian dari hukum pidana beberapa diantarannya adalah:
Simons
Menurut simons hukum pidana itu dapat dibagi menjadi hukum pidana dalam
arti objektif atau strafrecht in objectieve zin dan hukum pidana dalam arti
subjektif atau strafrecht in subjectieve zin.18
18Mohammad Ekaputra, Dasar-dasar Hukum pidana, Medan,USU press, 2010 hlm.1
Universitas Sumatera Utara
14
Hukum pidana dalam arti objektif adalah hukum pidana yang berlaku, atau
juga yang disebut sebagai hukum positif atau ius poenale.
Simons merumuskan hukum pidana dalam arti objektif sebagai:
a. Keseluruhan larangan dan pemerintah yang oleh negara diancam dengan
nestapa yaitu suatu pidana apabila tidak ditaati;
b. Keseluruhan peraturan yang menetapkan syarat-syarat untuk penjatuhan
pidana, dan;
c. Keseluruhan ketentuan yang memberikan dasar untuk penjatuhan dan
penerapan pidana.
Hukum pidana dalam arti subjektif atau ius puniendi bisa diartikan secara luas
dan sempit, yaitu sebagai berikut:
a. Dalam arti luas:
Hak dari Negara atau alat-alat perlengkapan negara untuk mengenakan atau
mengancam pidana terhadap perbuatan tertentu;
b. Dalam arti sempit:
Hak untuk menuntut perkara-perkara pidana, menjatuhkan dan melaksanakan
pidana terhadap orang yang melakukan perbuatan yang dilarang. Hak ini
dilakukan oleh badan-badan peradilan. Jadi ius puniendi adalah hak
mengenakan pidana.
Universitas Sumatera Utara
15
Hukum pidana dalam arti subjektif (ius puniendi) yang merupakan peraturan
yang mengatur hak negara dan alat perlengkapan negara untuk mengancam,
menjatuhkan dan melaksanakan hukuman terhadap seseorang yang melanggar
larangan dan perintah yang telah diatur di dalam hukum pidana itu diperoleh
negara dari peraturan-peraturan yang telah ditentukan oleh hukum pidana dalam
arti objektif (ius poenale).
Pompe
Hukum pidana adalah semua aturan-aturan hukum yang menentukan terhadap
perbuatan-perbuatan apa seharusnya dijatuhi pidana dan apakah macamnya pidana
itu.19
Tindak Pidanaistilah ini adalah berasal dari istilah yang dikenal dalam
hukum pidana Belanda yaitu “strafbaar feit”. Para ahli hukum mengemukakan
istilah yang berbeda-beda dalam upayanya memberikan arti dari strafbaar feit.
20
19Mohammad Ekaputra, Op.Cit, hlm. 1,3 20Ibid hlm. 73
Tidak ditemukan penjelasan yang konkrit tentang apa yang dimaksud dengan
strafbaar feit di dalam KUHP maupun di luar KUHP, oleh karena itu para ahli
hukum berusaha untuk memberikan arti dan isi dari istilah itu, yang sampai saat
ini belum ada keseragaman pendapat. Pengertian tindak pidana penting dipahami
untuk mengetahui unsur-unsur yang terkandung di dalalamnya. Unsur-unsur
tindak pidana ini dapat menjadi patokan dalam upaya menentukan apakah
perbuatan seseorang itu merupakan tindak pidana atau tidak.
Universitas Sumatera Utara
16
Perlu diperhatikan bahwa istilah tindak pidana (strafbaar feit) dengan
tindakan/perbuatan (gedraging/handeling) memiliki makna yang berbeda. Sudarto
mengemukakan, bahwa unsur pertama dari tindak pidana adalah
tindakan/perbuatan (gedraging), perbuatan orang ini merupakan titk penghubung
dan dasar untuk pemberian pidana. Perbuatan (gedraging), meliputi berbuat dan
tidak berbuat. Van Hattum dalam Sudarto, tidak menyetujui untuk memberi
defenisi tentang gedraging, sebab defenisi harus dapat meliputi pengertian berbuat
dan tidak berbuat, sehingga defenisi itu tetap akan kurang lengkap atau berbelit-
belit dan tidak jelas.21
Tindak pidana merupakan suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah
perbuatan jahat atau kejahatan yang bisa diartikan secara yuridis atau
kriminologis. Menurut Sudarto, perbuatan yang dapat dipidana atau disingkat
perbuatan jahat yang merupakan objek ilmu pengetahuan hukum pidana adalah
perbuatan jahat dalam arti hukum pidana yang terwujud in abstracto dalam
peraturan-peraturan pidana. Sedangkan perbuatan jahat sebagai gejala masyarakat
yang dipandang secara concrete sebagaimana terwujud dalam masyarakat adalah
perbuatan manusia yang memperkosa/menyalahi norma-norma dasar dari
masyarakat dalam konkrito.
22
21 Ibid hlm.75 22 Ibid hlm.77
Universitas Sumatera Utara
17
Unsur-unsur Tindak Pidana
Pengertian unsur-unsur tindak pidana hendaklah dibedakan dari pengertian
unsur-unsur tindak pidana sebagaimana tersebut di dalam rumusan undang-
undang (rumusan pasal). Pengertian unsur-unsur tindak pidana lebih luas daripada
pengertian unsur-unsur tindak pidana sebagaimana tersebut dalam rumusan
undang-undang, misalnya: unsur-unsur (dalam arti sempit) dari tindak pidana
pencurian ialah unsur-unsur yang tercantum dalam pasal 362 KUHP23
A. Unsur Tindak Pidana Menurut beberapa Teoritisi
. Berbagai
rumusan tindak pidana yang dikemukakan oleh para ahli hukum, jika diperhatikan
terdiri dari beberapa unsur/elemen. Ada beberapa unsur-unsur tindak pidana yang
dibagi ke beberapa pengertian yang dikemukakan oleh para ahli hukum yakni :
Dari beberapa rumusan tindak pidana yang disusun oleh para ahli hukum,
baik penganut paham dualisme maupun paham monism. Unsur-unsur yang ada
dalam tindak pidana adalah melihat bagaimana bunyi rumusan yang dibuatnya.
Beberapa contoh diambilkan dari batasan tindak pidana oleh beberapa teoritisi
yakni: R.Tresna, Vos, Jonkers, dan Schravendijk.
Menurut Moeljatno, unsur tindak pidana adalah:
a. Perbuatan;
b. Yang dilarang (oleh aturan hukum);
c. Ancaman pidana (bagi yang melanggar larangan).
23 Mohammad Ekaputra, Op.cit, hlm. 103
Universitas Sumatera Utara
18
Perbuatan manusia saja yang boleh dilarang, oleh aturan hukum.
Berdasarkan kata majemuk perbuatan pidana, maka pokok pengertian ada pada
perbuatan itu, tapi tidak dipisahkan dengan orangnya.
Ancaman (diancam) dengan pidana menggambarkan bahwa tidak mesti
perbuatan itu dalam kenyataannya benar-benar dipidana. Pengertian diancam
pidana merupakan pengertian umum, yang artinya pada umumnya dijatuhi
pidana.24
a. Perbuatan/rangkaian perbuatan (manusia);
Rumusan R.Tresna mengenai tindak pidana terdiri dari unsur-unsur yakni:
b. Yang bertentangan dengan peraturan perundang undangan;
c. Diadakan tindakan penghukuman.
Dari unsur yang ketiga, kalimat diadakan tindakan penghukuman, terdapat
pengertian bahwa seolah-olah setiap perbuatan yang dilarang itu selalu diikuti
dengan penghukuman (pemidanaan). Berbeda dengan Moeljatno, karena kalimat
diancam pidana berarti perbuatan itu tidak selalu dan tidak dengan demikian
dijatuhi pidana.
Walaupun mempunyai kesan bahwa setiap perbuatan yang bertentangan
dengan undang-undang selalu diikuti dengan pidana, namun dalam unsur-unsur
24 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, Jakarta, Rajawali Grafindo Persada,
2002, hlm. 67
Universitas Sumatera Utara
19
itu tidak terdapat kesan perihal syarat-syarat (subjektif) yang melekat pada
orangnya untuk dapat dijatuhkannya pidana.25
a. Kelakuan manusia;
Menurut Vos, unsur-unsur tindak pidana adalah:
b. Diancam dengan pidana;
c. Dalam peraturan perundang-undangan.
Dapat dilihat bahwa pada unsur-unsur dari tiga batasan penganut paham
dualisme tersebut, tidak ada terdapat perbedaan, yaitu bahwa tindak pidana itu
adalah perbuatan manusia yang dilarang, dimuat dalam undang-undang, dan
diancam dipidana bagi yang melakukannya. Dari unsur-unsur yang ada jelas
terlihat bahwa unsur-unsur tersebut tidak menyangkut diri si pembuat atau
dipidananya pembuat, semata-mata mengenai perbuatannya.26
a. Perbuatan (yang);
Akan tetapi, jika dibandingkan dengan pendapat penganut paham
monisme, memang tampak berbeda. Penulis mengambil dua rumusan yakni yang
dikemukakan oleh Jonkers dan Schravendijk. Dari apa yang dianut Jonkers dapat
dirinci bahwa unsur-unsur tindak pidana adalah:
b. Melawan hukum (yang berhubungan dengan);
c. Kesalahan (yang dilakukan oleh orang yang dapat);
d. Dipertanggungjawabkan.
25 Ibid, hlm. 73 26 Ibid, hlm. 75
Universitas Sumatera Utara
20
Sementara itu, Schravendijk merumuskan unsur-unsur sebagai berikut:27
a. Kelakuan (orang yang);
b. Bertentangan dengan keinsyafan hukum;
c. Diancam dengan hukuman;
d. Dilakukan oleh orang (yang dapat)
e. Dipersalahkan/kesalahan.
2. Korupsi
Dalam Ensiklopedia Indonesia disebut ‘korupsi’ (dari bahasa latin : Curruptio
= penyuapan; Curruptore = merusak) yang berarti gejala dimana para pejabat,
badan-badan Negara menyalahgunakan wewenang dengan terjadinya
penyuapan, pemalsuan serta ketidakberesan lainnya.
Adapun arti harafiah dari korupsi dapat berupa :
a. Kejahatan, kebusukan, dapat disuap, tidak bermoral, kebejatan dan
ketidakjujuran.
b. Perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang
sogok dan sebagainya.28
c. Korup (busuk, suka menerima uang suap/sogok, memakai kekuasaan
untuk kepentingan diri sendiri). Korupsi (penyelewengan atau
penyalahgunaan uang Negara (perusahaan dsb) untuk kepentingan
pribadi atau orang lain. Koruptor (orang yang korupsi atau orang yang
27 Ibid, hlm.77 28 Poerwadinata W.J.S, Kamus Hukum Bahasa Indonesia, Penerbit Balai Pustaka, Jakarta,
1976, hlm. 12
Universitas Sumatera Utara
21
menyelewengkan (menggelapkan) uang Negara (perusahaan) tempat
dimana ia bekerja).29
Menurut Subekti dan Tjitrosoedibio dalam kamus Hukum yang dimaksud dengan
Curruptie adalah korupsi, perbuatan curang, tindak pidana yang merugikan
keuangan Negara.
30
a. Korupsi senantiasa melibatkan lebih dari satu orang
Korupsi diartikan sebagai perbuatan yang merugikan kepentingan public atau
masyarakat luas untuk keuntungan pribadi atau kelompok tertentu. Dengan
demikian ada tiga fenomena yang mencakup dalam istilah korupsi yakni
pemerasan, penyuapan, dan nepotisme.
Selanjutnya bisa diidentifikasikan anatomi kejahatan korupsi antara lain :
b. Korupsi pada umumnya melibatkan kerahasiaan
c. Korupsi biasanya melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal
balik yang tidak selalu berupa uang
d. Perbuatan terselubung di balik pembenaran hukum
e. Pelaku pada umumnya punya pengaruh kuat yang baik dari status
ekonominya maupun status politiknya yang tinggi
f. Mengandung unsur tipu muslihat
g. Mengandung unsur pengkhianatan kepercayaan
29 Departemen pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa, Balai Pustaka, Jakarta,
2001, hlm.597 30Subekti dan Tjitrosodibio, Kamus Hukum, Penerbit Pradnya Paraminta, Jakarta, 1973,
hlm. 10
Universitas Sumatera Utara
22
h. Perbuatan tersebut melanggar norma, tugas dan pertanggungjawaban
dalam tatanan masyarakat.
3. Pembaharuan Hukum Pidana
Sebagaimana diketahui bahwa KUHPidana Negara kita yang berlaku
sekarang ini adalah berasal dari negara Belanda. Di negara Belanda sendiri pada
mulanya kodefikasi hukum pidananya disebut “Het Criminele Wetboek voor het
koninklijk Holland”, yang berlaku sampai tahun 1811. Kemudian pada tahun 1811
Belanda dijajah Perancis, maka berlakulah Code Penal Perancis terhadap Belanda.
Maka setelah itu berkembangnya Belanda setelah penjajahan itu mengembangkan
juga apa yang dilakukan oleh Perancis dengan menerapkan hukum mereka
terhadap Indonesia dengan menerapkan azas konkordansi tertanggal 1 Januari
1918 memberlakukan Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan ini berlaku bagi
semua golongan penduduk yang ada di Indonesia sebagai daerah jajahan
Belanda.31
Makna yang terkandung dalam pembaharuan hukum, setidaknya
mempunyai makna Legal Reform dan Law Reform. Secara sederhana, dalam legal
reform adalah undang-undangnya yang mendapatkan perubahan, dan lebih
mengedepankan arus dari kaum intelektual yang telah menguasai ilmu Undang-
undang. Sementara dalam Law Reform adalah lebih mengetengahkan nilai-nilai
extra legal masuk ke dalamnya. Perlu kita ketahui bahwa penyusunan KUHP
31 H.M. Hamdan, Pembaharuan Hukum Tentang Alasan Penghapus Pidana, USU Press,
Medan, 2008, hlm.71-72
Universitas Sumatera Utara
23
(baru) dilatarbelakangi oleh kebutuhan tuntutan nasional untuk melakukan
pembaharuan dan sekaligus perubahan-perubahan atau penggantian KUHP.32
Usaha untuk melakukan pembaharuan Hukum Pidana merupakan bidang
dari Politik Hukum Pidana. Sebagaimana dinyatakan bahwa secara politis dan
kultural, pemberlakuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) di
Indonesia sesungguhnya tidak dapat dipertanggungjawabkan. Meskipun terhadap
KUHP telah dilakukan berbagai perubahan dan penyesuaian, tidaklah menjadikan
usaha tersebut disebut sebagai upaya pembaharuan Hukum Pidana dalam arti
sesungguhnya serta memiliki karakter Nasional. Penegasan ini disebabkan karena
perubahan terhadap KUHP bukan hanya untuk pengganti Wetboek van Strafrecht
(WvS) menjadi KUHP sebagai produk bangsa sendiri.
33
Pembaharuan hukum pidana sebagai bagian dari upaya pembaharuan atau
pembangunan sistem hukum nasional, adalah merupakan masalah yang sangat
besar, yang sedang dihadapi oleh bangsa ini. Masalah yang tengah dihadapi
adalah masalah memperbaharui dan mengganti produk-produk kolonial di bidang
hukum pidana, khususnya pembaharuan KUHP (WvS) warisan zaman Hindia
Belanda yang merupakan induk dari keseluruhan sistem hukum pidana saat ini.
34
Dewasa ini pembaharuan hukum pidana sebagai bagian dari kebijakan
hukum pidana (Penal policy) tengah diupayakan yang sampai sekarang masih
32 Yesmil Anwar, Pembaharuan Hukum Pidana Reformasi Hukum Pidana, Gramedia
Widiawarsana Indonesia, Jakarta, 2008, hlm. 1 33 M. Ali Zaidan, Menuju Pembaharuan Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2015, hlm.59 34 Yesmil Anwar, Op.cit, hlm. 20
Universitas Sumatera Utara
24
terus diolah. 35 Pembaharuan hukum pidana (penal reform) harus dilakukan
dengan pendekatan kebijakan. Oleh karena itu, pada hakikatnya pembaharuan
hukum pidana itu adalah merupakan bagian dari suatu kebijakan.36
Pada saat hukum dikonsepkan sebagai suatu sistem, hukum akan menuju
pada suatu proses demi tegaknya hukum itu sendiri.Proses untuk mencapai
terwujudnya Indonesia baru adalah merupakan suatu proses politik yang disadari.
Proses pembaharuan ini kita kenal dengan istilah Legal Reform. Proses ini adalah
bagian dari proses politik yang progresif dan reformatif.
37
Pembaharuan Hukum Pidana harus menyentuh segi-segi filosofis, yakni
perubahan atau orientasi terhadap asas-asas hingga ke tahap nilai-nilai yang
melandasinya.
Barda Nawawi Arief mengatakan bahwa pembaharuan hukum pidana pada
hakikatnya mengandung makna :
“suatu upaya untuk melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana yang
sesuai dengan nilai-nilai sentral sosial politik, sosial filosofis, dan sosio-
kultural masyarakat Indonesia yang melandasi kebijakan social, kebijakan
criminal, dan kebijakan penegakan hukum di Indonesia”.
38
35 Ibid, hlm. 2 36 Ibid. hlm. 21 37 Ibid, hlm.2-3 38 M.Ali Zaidan, Op.cit,
Hukum Pidana dituntut untuk memberikan keadilan di tengah-
tengah situasi yang tengah berkembang dan terus berubah.
Universitas Sumatera Utara
25
Dengan kata lain bahwa KUHP nasional harus dapat menyesuaikan diri
dengan perkembangan-perkembangan baru khususnya perkembangan
internasional dalam bidang ilmu pengetahuan dan tekhnologi dan kesepakatan-
kesepakatan Internasional yang digariskan oleh PBB maupun seminar-seminar
Internasional.39
4. Kebijakan Penaggulangan Kejahatan
Prof. Sudarto, SH., pernah mengemukakan tiga arti mengenai kebijakan
kriminal, yaitu :
a. Dalam arti sempit, ialah keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar
dari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana;
b. Dalam arti luas, ialah keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum,
termasuk di dalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisi ; dan
c. Dalam arti paling luas (yang beliau ambil dari Jorgen Jepsen), ialah
keseluruhan kebijakan, yang dilakukan melalui perundang-undangan dan
badan-badan resmi, yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma
sentral dari masyarakat.
Prof. Sudarto, SH., juga mengemukakan defenisi singkat, bahwa politik
criminal merupakan “suatu usaha yang rasional dari masyarakat dalam
menanggulangi kejahatan”.40
39 Ibid, hlm. 60 40 Barda Nawawie Arief, Bunga rampai Kebijakan Hukum Pidana (Perkembangan
Penyusunan Konsep KUHP Baru), Kencana, Jakarta, 2008, hlm. 1
Universitas Sumatera Utara
26
Kebijakan penanggulangan kejahatan itu sebenarnya dibagi dan memiliki
dua cara dalam menyelesaikannya yakni yang kita ketahui adalah
Pertama, kebijakan penal (penal policy) yang biasa disebut dengan
“criminal law application”.
Kedua, kebijakan non-penal (non-penal policy) yang terdiri dari
“prevention without punishment” dan “influencing views of society on crime and
punishment (mass media)”.
Kebijakan penanggulangan kejahatan merupakan ilmu untuk
menanggulangi kejahatan (Criminal policy is a science of crime prevention)
kebijakan penanggulangan kejahatan (criminal policy) merupakan usaha yang
rasional dari masyarakat sebagai reaksi mereka terhadap kejahatan. Sebagai
bagian dari kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy) harus mampu
menempatkan setiap komponen sistem hukum dalam arah yang kondusif dan
aplikatif untuk menanggung kejahatan, termasuk peningkatan budaya hukum
masyarakat sehingga mau partisipasi yang aktif dalam penanggulangan
kejahatan.41
Oleh karena itu kebijakan penanggulangan kejahatan harus dilakukan
melalui perencanaan yang rasional dan menyeluruh sebagai respon terhadap
kejahatan (a rational total of the responses to crime). Kebijakan ini termasuk
bagaimana mendesain tingkah laku manusia yang dapat dianggap sebagai
kejahatan ( criminal policy of designating human behavior as crime).
41 Bahan Kuliah Politik Hukum Pidana Dr.Mahmud Muliyadi
Universitas Sumatera Utara
27
F. METODE PENELITIAN
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian dalam penulisan skripsi ini dilakukan dengan pendekatan yuridis
normatif yaitu dengan melakukan analisis terhadap permasalahan melalui
pendekatan terhadap asas-asas hukum serta mengacu terhadap norma-norma
hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan.
2. Data dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam skripsi ini adalah data sekunder42
1. Bahan hukum primer, antara lain :
. Data sekunder
yang dimaksud penulis adalah sebagai berikut :
a. Norma atau kaedah dasar
b. Peraturan dasar
c. Peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan tindak
pidana korupsi yakni Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2009 dan
perubahannya yang ada di dalam Undang-Undang 20 Tahun 2001,
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 serta perundang-
undangan lain yang mengatur mengenai korupsi RUU KUHP,
KUHP, KUHAP.
2. Bahan hukum sekunder berupa buku yang berkaitan dengan tindak
pidana korupsi dengan disertai oleh artikel-artikel yang membahas
42 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Prenada Media, Jakarta, 2015, hlm.15
Universitas Sumatera Utara
28
mengenai korupsi, hasil-hasil penelitian, laporan-laporan dan
sebagainya.
3. Bahan hukum tersier atau bahan hukum penunjang yang mencakup
bahan yang memberi petunjuk-petunjuk dan penjelasan terhadap bahan
hukum primer, bahan hukum sekunder, seperti kamus umum, kamus
hukum, majalah, jurnal ilmiah, serta bahan-bahan diluar bidang hukum
yang relevan dan dapat digunakan untuk melengkapi data yang
diperlukan dalam penulisan skripsi ini.
3. Metode Pengumpulan Data
Dalam penulisan skripsi ini metode yang penulis gunakan dalam
mengumpulkan data adalah metode library research (penelitian kepustakaan),
yakni dengan melakukan penelitian menggunakan data dari berbagai sumber
bacaan seperti peraturan perundang-undangan, buku-buku, majalah, dan internet
yang dinilai relevan dengan permasalahan yang akan dibahas penulis dalam
skripsi ini.
Studi kepustakaan merupakan metode tunggal yang dipergnakan dalam
penelitian hukum normatif. Tujuan dan kegunaan studi kepustakaan pada
dasarnya adalah menunjukkan jalan pemecahan permasalahan penelitian. Secara
singkat studi kepustakaan membantu peneliti dalam berbagai keperluan,
misalnya:43
43 Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003,
hlm. 112-113.
Universitas Sumatera Utara
29
a. Mendapatkan gambaran atau informasi tentang penelitian yang sejenis dan
berkaitan dengan permasalahan.
b. Mendapat metode, teknik, atau cara pendekatan pemecahan permasalahan
yang digunakan.
c. Sebagai sumber data sekunder.
d. Mengetahui historis dan perspektif dari permasalahan penelitiannya.
e. Mendapatkan informasi tentang cara evaluasi atau analisis data yang dapat
digunakan;
f. Memperkaya ide-ide baru;
g. Mengetahui siapa saja peneliti lain di bidang yang sama dan siapa
pemakai hasilnya.
Penelitian studi kepustakaan ini dilakukan untuk mendapatkan landasan
dalam menganalisa data-data yang diperoleh dari berbagai sumber yang
validitasnya terjamin. Sehingga akan diperoleh suatu kesimpulan yang relevan
dari pokok bahasan. Alat pengumpul data yang digunakan dalam penulisan ini
adalah studi dokumen terkait dengan topik penulisan.
4. Analisis Data
Analisis data adalah proses penyederhanaan data ke dalam bentuk yang
lebih mudah dibaca dan diinterpretasikan.44
44 Masri Singarimbun dan Sofian Efendi, Metode Penelitian Survei, Pustaka LP3ES
Indonesia, Jakarta, 2008, hlm. 263
Analisis data dalam penelitian hukum
mempergunakan metode pendekatan kualitatif bukan kuantitatif, karena tanpa
menggunakan rumusan statistik, sedangkan penggunaan angka hanya sebatas
Universitas Sumatera Utara
30
angka presentase sehingga diperoleh gambaran yang jelas dan menyeluruh
mengenai masalah yang diteliti.45
G. Sistematika Penulisan
Analisis data kualitatif yaitu dengan menganalisis melalui data lalu
diorganisasikan dalam pendapat atau tanggapan dan data-data sekunder yang
diperoleh dari pustaka kemudian dianalisis sehingga diperoleh data yang dapat
menjawab permasalahan dalam skripsi ini.
Untuk lebih jelas dan terarahnya penulisan skripsi ini, maka akan dibahas
dalam bentuk sistematika, yaitu sebagai berikut :
BAB I PENDAHULUAN :
Merupakan bab pendahuluan yang mengemukakan tentang latar
belakang penulisan, perumusan masalah, tujuan dan manfaat
penulisan, keaslian penulisan, tinjauan pusataka, metodologi
penulisan, dan sistematika penulisan.
BAB II FORMULASI HUKUM PIDANA DALAM UNDANG-UNDANG
TINDAK PIDANA KORUPSI
Dalam bab ini membahas mengenai tindak pidana korupsi itu sendiri
dilihat dari pengertiannya, karakteristik, ketentuan-ketentuan
mengenai tindak pidana korupsi dan dalam bab ini juga membahas
mengenai unsur-unsur yang ada di dalam tiap bentuk tindak pidana
korupsi.
45 Ediwarman, Monograf metodologi Penelitian Hukum : Panduan Penulisan Skripsi, Tesis,
dan Disertasi, Sofmedia, Medan, 2015, hlm. 99-100
Universitas Sumatera Utara
31
BAB III KEBIJAKAN FORMULASI PIDANA TERHADAP TINDAK
PIDANA KORUPSI DALAM RUU KUHP
Dalam bab ini menjelaskan mengenai pembaharuan hukum pidana
khususnya dalam tindak pidana korupsi lalu juga membahas mengenai
pengertian dari kebijakan formulasi dalam hukum pidana dan
beberapa kebijakan-kebijakan hukum pidana ke depannya dalam
menanggulangi tindak pidana korupsi ke depannya di dalam
pengaturan RUU KUHP.
Universitas Sumatera Utara
32
BAB II
FORMULASI HUKUM PIDANA DALAM UNDANG-UNDANG TINDAK
PIDANA KORUPSI
A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi
Korupsi berasal dari perkataan corruption yang berarti kerusakan. Menurut
kamus istilah hukum Latin-Indonesia, corruptio berarti penyogokan. Menurut
Sudarto, perkataan korupsi semula hanyalah bersifat umum dan baru menjadi
istilah hukum untuk pertama kalinya adalah di dalam Peraturan Penguasa Militer
Nomor Prt/PM/06/1957 tentang Pemberantasan Korupsi. Dalam konsiderans
peraturan tersebut dikatakan antara lain bahwa berhubung tidak adanya kelancaran
dalam usaha-usaha memberantas dalam perbuatan-perbuatan yang merugikan
keuangan negara dan perekonomian negara yang oleh khalayak dinamakan
korupsi perlu segera menetapkan suatu tata kerja untuk dapat menerobos
kemacetan usaha memberantas korupsi.46
Menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Undang-Undang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UUPTPK) yang dimaksud dengan tindak
pidana korupsi adalah:
47
46 Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1986, hlm. 115 sebagaimana
dikutip dari Edi Yunara, Korupsi dan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Berikut studi Kasus, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005 hlm. 33
47 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,sebagaimana dikutip dari Edi Yunara, Korupsi dan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Berikut studi Kasus, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005 hlm. 36
32
Universitas Sumatera Utara
33
a. Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara (Pasal 2).
b. Setiap orang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau suatu badan
atau suatu korporasi menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau
sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat
merugikan keuanagan negara atau perekonomian negara (Pasal 3).
c. Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana yang dimaksud
dalam Pasal 209, Pasal 210, Pasal 387, Pasal 415, Pasal 416, Pasal 417,
Pasal 418, Pasal 419, Pasal 420, Pasal 423, atau Pasal 435 KUHP; serta
Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12
Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
d. Setiap orang yang member hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan
mengingat kekuasaannya atau wewenang yang melekat pada jabatannya
atau kedudukan tersebut (Pasal 13).
e. Setiap orang yang melanggar ketentuan undang-undang yang secara tegas
menyatakan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang
tersebut sebagai tindak pidana korupsi (Pasal 14).
f. Setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan, atau permufakatan
jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi (Pasal 15).
g. Setiap orang di luar wilayah negara Republik Indonesia yang memberikan
bantuan, kesempatan sarana atau keterangan untuk terjadinya tindak pidana
korupsi (Pasal 16).
Universitas Sumatera Utara
34
Tindak pidana korupsi sangat bersinggungan dengan masalah-masalah
ekonomi (basic economic and economic life of the nation) dan transnational crime
di samping itu korupsi bisa juga terjadi dalam lapangan jabatan, kekuasaan politik,
korupsi moral dan korupsi demokrasi.
M.Mc Mullari meyatakan, bahwa seorang pejabat Pemerintahan dikatakan
korup apabila ia menerima uang yang dirasakan sebagai dorongan untuk
melakukan sesuatu yang bisa ia lakukan dalam tugas jabatannya padahal ia selama
menjalankan tugasnya seharusnya tidak boleh berbuat demikian. Atau dapat
berarti menjalankan kebijaksanaanya secara sah untuk alasan yang tidak benar dan
dapat merugikan kepentingan umum yang menyalahgunakan kewenangan dan
kekuasaan.48
Secara umum pengertian korupsi adalah sebagai perbuatan yang berkaitan
dengan kepentingan publik atau masyarakat luas untuk kepentingan pribadi dan
atau kelompok tertentu. Dengan demikian secara spesifik ada tiga fenomena yang
tercakup dalam istilah korupsi, yaitu penyuapan (bribery), pemerasan (extraction),
dan nepotisme (nepotism). Pada hakekatnya kejahatan korupsi juga termasuk ke
dalam kejahatn ekonomi, hal ini bisa dibandingkan dengan anatomi kejahatan
ekonomi sebagai berikut:
49
1. Penyamaran atau sifat tersembunyi maksud dan tujuan kejahatan
(disguise of purpose or intent).
48Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana, Raja Grafindo, Jakarta, 2008, hlm. 54 49 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana, Alumni, Bandung,
1992, hlm. 5-6
Universitas Sumatera Utara
35
2. Keyakinan si pelaku terhadap kebodohan dan kesembronoan si korban
(reliance upon the ingenuity or carelesne of victim)
3. Penyembunyian pelanggaran (concealement of the violation).
Dalam halnya formulasi tindak pidana korupsi yang berlaku pada saat ini,
yakni yang dikemukakan oleh Adami Chazawi (2005: 19-22) yang
mengemukakan dari 44 rumusan Tindak Pidana Korupsi yakni dalam Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Dapat dibedakan menjadi lima (5)
kelompok, yakni:50
a. Atas dasar substansi objeknya, tindak pidana korupsi dapat dibedakan menjadi
dua jenis, yaitu:
1. Tindak Pidana Korupsi Murni
Tindak pidana korupsi murni adalah tindak pidana korupsi yang
substansi objeknya mengenai hal yang berhubungan dengan
perlindungan hukum terhadap kepentingan hukum yang menyangkut
keuangan negara, perekonomian negara, dan kelancaran pelaksanaan
tugas pegawai negeri atau pelaksana pekerjaan yang bersifat publik.
Tindak pidana yang masuk dalam kelompok ini dirumuskan dalam
Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10,
Pasal 11, Pasal 12, Pasal 12b, Pasal 13, Pasal 15, Pasal 16 dan Pasal
23.
50 A. Rahmah dan Amiruddin Pabbu, Kapita Selekta Hukum Pidana, Mitra Wacana
Media, Jakarta, 2015, hlm 90,91
Universitas Sumatera Utara
36
2. Tindak pidana Korupsi Tidak Murni
Tindak Pidana Korupsi tidak murni adalah tindak pidana korupsi yang
substansi objeknya mengenai perlindungan hukum terhadap
kepentingan hukum bagi kelancaran pelaksanaan tugas penegak hukum
dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. Tindak pidana
yang dimaksudkan di sini diatur dalam tiga pasal, yakni Pasal 21, Pasal
22 dan Pasal 24.
b. Atas dasar Subjek Hukum Tindak Pidana Korupsi
Atas dasar subjek hukum atau si pembuatnya, maka tindak pidana korupsi
dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yakni:
1. Tindak pidana korupsi umum
Tindak pidana korupsi umum adalah bentuk tindak pidana korupsi
yang ditujukan tidak terbatas kepada orang-orang yang berkualitas
sebagai pegawai negeri, akan tetapi ditujukan pada setiap orang
termasuk korporasi.
2. Tindak pidana korupsi pegawai negeri dan atau penyelenggara negara
Tindak pidana korupsi pegawai negeri dan atau penyelenggara negara
adalah tindak pidana korupsi yang dapat dilakukan oleh orang yang
berkualitas sebagai pegawai negeri atau penyelenggara negara.
c. Atas Dasar tingkah laku/Perbuatan dalam rumusan Tindak Pidana
Dilihat dari sudut unsur tingkah laku dalam rumusan tindak pidana, maka
tindak pidana korupsi dapat dibedakan sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
37
1. Tindak Pidana Korupsi Aktif
Tindak pidana korupsi aktif atau tindak pidana korupsi positif adalah
tindak pidana korupsi yang dalam rumusannya mencantumkan unsur
perbuatan aktif.
2. Tindak Pidana Korupsi Pasif
Tindak pidana korupsi pasif adalah tindak pidana yang unsur tingkah
lakunya dirumuskan secara pasif.
Dalam doktrin hukum pidana, tindak pidana pasif dibedakan menjadi:
- Tindak Pidana Pasif Murni
Tindak pidana pasif murni adalah tindak pidana pasif yang
dirumuskan secara formil atau yang pada dasarnya semata-mata
unsure perbuatannya adalah berupa perbuatan pasif.
- Tindak pidana pasif tidak murni
Tindak pidana pasif yang tidak murni adalah berupa tindak pidana
yang pada dasarnya berupa tindak pidana aktif, tetapi dapat
dilakukan dengan cara tidak berbuat atau tidak melakukan
perbuatan aktif.
B. Ketentuan Tindak Pidana Korupsi
Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pada dasarnya
mengacu kepada ketentuan yang terdapat di dalam KUHPidana, sehingga
kerangka hukum yang dijadikan sebagai dasar penindakan pelaku kejahatan
korupsi sebagai tindak pidana menggunakan norma hukum KUHPidana (lex
Universitas Sumatera Utara
38
generalis). 51 Dalam hal ini ketentuan yang dimaksud adalah ketentuan pidana
yang di mana di dalamnya berisi aturan yang berisi larangan, atau keharusan
disertai sanksi pidana.52
1. Unsur Melawan Hukum
Berikut beberapa unsur-unsur yang dijumpai dalam pasal
2 ayat (1) yang sesuai dengan karakteristik tindak pidana korupsi.
Yang dimaksud dengan unsur melawan hukum dapat diartikan bahwa
tersangka/terdakwa tidak mempunyai hak untuk menikmati atau menguasai
sesuatu benda, dalam hal ini berupa uang. Dalam melawan hukum ini merupakan
suatu sifat tercelanya atau terlarangnya dari suatu perbuatan, di mana sifat tercela
tersebut dapat bersumber pada undang-undang (melawan hukum formil) dan dapat
bersumber dari pada masyarakat (melawan hukum materiil). 53
Dalam penjelasan umum Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi dapat dikonstruksikan bahwa melawan hukum diartikan seperti dalam
hukum perdata, yang pengertiannya meliputi: perbuatan-perbuatan yang
bertentangan dengan norma-norma kesopanan yang lazim atau bertentangan
dengan keharusan dalam pergaulan hidup untuk bertindak cermat terhadap orang
lain, barangnya maupun haknya. Ini dimaksudkan agar mudah memperoleh
Yurisprudensi
Indonesia menafsirkan unsur melawan hukum secara sosiologis, yang meliputi
baik melawan hukum yang formal (tertulis) maupun yang materiil (tertulis dan
tidak tertulis).
51 Faisal Salam, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Penerbit Pustaka, Bandung,
2004, hlm.84 52 Andi Hamzah, Terminologi Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2013, hlm. 122 53 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana, Raja Grafindo, Jakarta, 2008, hlm. 86
Universitas Sumatera Utara
39
pembuktian tentang perbuatan yang dapat dihukum, yaitu memperkaya diri
sendiri, orang lain atau suatu badan.
Penjelasan dari Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Pasal 2 ayat (1) menentukan bahwa yang dimaksud dengan “secara melawan
hukum” adalah mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formal maupun
dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam
peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap
tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan
social dalam bermasyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana.
Dalam unsur melawan hukum ini terdapat juga masukan dari perbuatan
melawan hukum menjadi salah satu pendukung dari unsur melawan hukum
tersebut dalam Arrest Lindenbaum Cohen pada tahun 1919 terdapat 4 (empat)
kriteria perbuatan melawan hukum, yaitu:54
1. Bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku;
2. Melanggar hak subjektif orang lain;
3. Melanggar kaidah tata susila; dan
4. Bertentangan dengan asas kepatutan, ketelitian, serta sikap hati-hati
yang seharusnya dimiliki seseorang dalam pergaulan dengan sesame
warga masyarakat atau terhadap harta benda orang lain.
Unsur melawan hukum itu sendiri juga tidak hanya menjadikan perbuatan
melawan hukum itu saja sebagai syarat dalam melawan hukum melainkan
54 Edy Yunara, Korupsi dan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, hlm. 45
Universitas Sumatera Utara
40
melawan hukum adalah perbuatan yang dapat dihukum, dalam hal ini dengan
“memperkaya diri sendiri atau orang lain atau badan atau korporasi” dan dapat
pula mencakup perbuatan-perbuatan tercela yang menurut perasaan keadilan
masyarakat harus dituntut dan tetap dipidana. Dalam penjelasan umum Undang-
Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juga
menjabarkan mengenai melawan hukum yang menyatakan bahwa:
“Agar dapat menjangkau berbagai modus operandi penyimpangan keuangan negara atau perekonomian negara yang semakin canggih dan rumit, maka tindak pidana yang diatur dalam undang-undang ini dirumuskan sedemikian rupa sehingga meliputi perbuatan-perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi secara melawan hukum dalam pengertian formil dan materiil. Dengan perumusan tersebut, pengertian melawan hukum dalam tindak pidana korupsi dapat pula mencakup perbuatan-perbuatan tercela yang menurut perasaan keadilan masyarakat harus dituntut dan dipidana”.55
Secara formal atau secara perumusan undang-undang, suatu tindakan
adalah bersifat melawan hukum apabila seseorang melanggar suatu ketentuan
undang-undang, karena bertentangan dengan undang-undang. Dengan perkataan
Dalam sistem perundang-undangan hukum pidana yang berlaku sekarang
ternyata bersifat melawan hukum (dari suatu tindakan) tidak selalu dicantumkan
sebagai salah satu unsur delik. Akibatnya timbul persoalan apakah sifat melawan
hukum harus selalu dianggap sebagai salah satu unsur delik, walaupun tidak
dirumuskan secara tegas, ataukah baru dipandang sebagai unsur dari suatu delik
jika dengan tegas dirumuskan dalam delik di dalam pasal-pasal sebuah
perundang-undangan.
55 Penjelasan Umum Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi
Universitas Sumatera Utara
41
lain, semua tindakan yang bertentangan dengan undang-undang atau suatu
tindakan yang telah memenuhi perumusan delik dalam undang-undang, baik sifat
melawan hukum itu dirumuskan atau tidak, adalah tindakan-tindakan yang
bersifat melawan hukum.56
Dari perbuatan melawan hukum yang terdapat dalam Pasal 2 ayat (1)
Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi inilah yang menjadi dasar
bahwa unsur-unsur perbuatan melawan hukum tidak hanya perbuatan melawan
hukum formil saja melainkan juga perbuatan melawan hukum secara materiil
karena dalam pasal 2 ini sebenarnya menjelaskan meskipun perbuatan tersebut
tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan
tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-
norma kehidupan social dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat
dipidana” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
57
2. Perbuatan Memperkaya Diri
Unsur memperkaya diri sendiri ini tidak terdapat keterangan dalam
Undang-Undang termasuk dalam penjelasannya tentang apa yang dimaksud
perbuatan memperkaya diri sendiri. Unsur menguntungkan diri menurut beberapa
pasal yang terdapat di dalam KUHP, pengertiannya telah disepakati oleh para ahli
sebagai “memperoleh atau menambah kekayaan dari yang sudah ada”.
56 Edy Yunara, Op.cit, hlm.48 57 Guse Prayudi, Tindak Pidana Korupsi Dipandang Dalam Berbagai Aspek, Pustaka
Pena, Yogyakarta, 2010, hlm. 45
Universitas Sumatera Utara
42
Dengan mengikuti pendapat Hoge Raad yang tercermin dalam
pertimbangan hukum salah satu putusannya yang mengatakan bahwa “si pelaku
haruslah mempunyai maksud untuk memperoleh keuntungan bagi dirinya sendiri
atau orang lain”. Memperoleh keuntungan sama artinya dengan memperoleh
kekayaan. Perbuatan memperkaya harus terdapat unsur:
1. Adanya memperoleh kekayaan;
2. Ada peroleh kekayaan melampaui dari perolehan sumber kekayaannya
yang sah;
3. Ada kekayaan yang sah bersumber dari sumber kekayaannya yang sah,
dan ada kekayaan selebihnya yang tidak sah yang bersumber dari
sumber yang tidak sah. Kekayaan yang tidak sah inilah yang diperoleh
dari perbuatan memperkaya secara melawan hukum
C. Perumusan klasifikasi Unsur-Unsur Tindak Pidana Korupsi berdasarkan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi
Dalam pengklasifikasian unsur-unsur dalam Undang-Undang Tindak
Pidana korupsi dijelaskan mengenai bentuk-bentuk tindak pidana korupsi jika
dilihat dari Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 bunti pasal-pasalnya tidak
dirinci akan tetapi hanya menunjuk pada pasal-pasal yang terkait. Tetapi dalam
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 yakni Undang-Undang yang merubah
dan menambah maka pasal-pasal yang ditunjuk atau yang terkait itu dirinci dan
kemudian dimasukkan dalam pasal-pasal tindak pidana korupsi yang baru.
Universitas Sumatera Utara
43
Maka perumusan tindak pidana korupsi yang termasuk dalam klasifikasi
dalam hukum nasional atau berdasarkan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi
adalah berikut:
1. Tindak Pidana korupsi yang mengakibatkan kerugian keuangan Negara
atau perekonomian Negara;
2. Tindak pidana korupsi yang berkaitan dengan suap menyuap;
3. Tindak pidana korupsi yang berkaitan dengan penggelapan dalam
jabatan;
4. Tindak pidana korupsi yang berkaitan dengan pemerasan;
5. Tindak pidana korupsi yang berkaitan dengan perbuatan curang;
6. Tindak pidana korupsi yang berkaitan dengan kepentingan dalam
pengadaan barang dan jasa;
7. Tindak pidana korupsi yang berkaitan dengan gratifikasi.
Ad.a. Tindak Pidana Korupsi yang Terkait dengan Kerugian Keuangan
Negara atau Perekonomian Negara
Mengenai tindak pidana korupsi yang termasuk dalam kelompok tindak
pidana korupsi yang dapat mengakibatkan kerugian keuangan negara diatur secara
eksplisit dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyatakan :
Pasal 2:
(1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun
Universitas Sumatera Utara
44
dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
(2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.
Berdasarkan rumusan Pasal 2 di atas, dapat dilihat dengan jelas bahwa
suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai tindak pidana korupsi yang merugikan
keuangan atau perekonomian negara dan dijerat serta diancam dengan pidana
menggunakan ketentuan ini apabila memenuhi beberapa unsur sebagai berikut :58
a. Dilakukan oleh setiap orang;
b. Perbuatan tersebut berupa memperkaya diri sendir atau orang lain atau
suatu korporasi;
c. Dilakukan dengan cara melawan hukum;
d. Dapat;
e. Merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Unsur yang pertama dari ketentuan ini adalah unsur “setiap orang”. 59
Dalam unsur ini merupakan pelaku atau subjek delik dalam Pasal 2 ayat (1) ini,
dan unsur ini bukanlah delik inti melainkan elemen delik.60
Dengan demikian, unsur memperkaya diri sendiri atau orang lain atau
suatu korporasi dapat dimaknai sebagai suatu proses membuat bertambah kayanya
seseorang atau orang lain atau suatu korporasi tanpa dapat dibuktikan bahwa
bertambah kayanya pihak-pihak tersebut diperoleh dari hasil usahanya secara
58 Surachmin dan Dr. Suhandi Cahaya, Strategi & Teknik Korupsi Mengetahui Untuk
Mencegah, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, hlm. 17 59 Kristian dan Yopi Gunawan, Op.Cit, hlm.149 60 Mahrus Ali, Hukum Pidana Korupsi, UII Press, Yogyakarta, 2016, hlm. 83
Universitas Sumatera Utara
45
legal. 61Mengenai makna memperkaya yakni bahwa tidak ada keharusan pelaku
saja yang bertambah kekayaannya akibat melakukan tindak pidana korupsi, tapi
juga orang lain atau bahkan korporasi. 62 Menurut Andi Hamzah unsur
memperkaya diri sebagai “menjadi orang yang belum kaya jadi kaya atau orang
yang sudah kaya bertambah kaya.63 Adapun perbuatan memperkaya diri sendiri
maupun orang lain di sini dapat dijabarkan menjadi 3 kategori, yaitu :64
a. Memperkaya diri sendiri
Bahwa perbuatan melawan hukum yang dilakukan si pelaku membuat
bertambahnya harta kekayaan atau harta benda miliknya sendiri.
b. Memperkaya orang lain
Bahwa perbuatan melawan hukum yang dilakukan si pelaku membuat
bertambahnya harta kekayaan atau harta benda milik orang lain. Dalam hal ini,
pelaku tidak memperoleh keuntungan secara langsung dari perbuatan melawan
hukum yang dilakukannya melainkan orang lain (keluarga pelaku, kerabat
pelaku, sanak saudara pelaku dan pihak-pihak lainnya) yang memperoleh
keuntungan secara langsung.
c. Memperkaya korporasi
61 Kristian dan Yopi Gunawan, Op.Cit, hlm.149 62 Mahrus Ali, Op.Cit, hlm. 85 63Andi Hamzah, Korupsi di Indonesia Masalah dan Pemecahannya, PT Gramedia,
Jakarta, 1991, hlm. 240 sebagaimana dikutip dari Adami Chazawi,Hukum Pidana Korupsidi Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, 2017, hlm. 29
64Kristian dan Yopi Gunawan, Op.Cit, hlm.150
Universitas Sumatera Utara
46
Pihak yang memperoleh keuntungan dari perbuatan melawan hukum yang
dilakukan oleh si pelaku adalah sebuah korporasi. Korporasi di sini dapat
diartikan sebagai kumpulan orang atau kumpulan harta kekayaan yang
terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum
(Pasal 1 butir 1 Undang-Undang No. 31 tahun 1999 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi).
Pada bagian ini, perlu dikemukakan kembali bahwa yang dimaksud
dengan “melawan hukum” dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999
sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mencakup perbuatan melawan hukum
dalam arti formil maupun materiil. 65 Sifat melawan hukum formal diartikan
sebagai bertentangan dengan undang-undang. Sedangkan sifat melawan hukum
materiil diartikan sebagai bertentangan dengan norma dan nilai-nilai
masyarakat.66
Selanjutnya, berkaitan dengan unsur “dapat” merugikan keuangan atau
perekonomian negara dalam ketentuan ini, kata “dapat” sebelum frasa “merugikan
keuangan negara atau perekonomian keuangan negara” menunjukan bahwa tindak
pidana korupsi adalah delik formil, yaitu untuk menentukan ada atau tidaknya
tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang
sudah dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat. Dengan demikian, suatu
perbuatan yang berpotensi akan menimbulkan kerugian negara atau perekonomian
65 Kristian dan Yopi Gunawan, Op.Cit, hlm.150 66 Mahrus Ali, Op.Cit, hlm. 85
Universitas Sumatera Utara
47
negara dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi bentuk ini. 67
Kerugian keuangan negara haruslah berupa kerugian yang diakibatkan langsung
oleh wujud perbuatan memperkaya diri yang mengandung sifat melawan hukum
dalam berarti pidana (perbuatan menyalahgunakan kewenangan).68
Unsur terakhir sebagaimana terdapat dalam ketentuan Pasal 2 Undang-
Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang No.
20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah unsur
“merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”. Dalam penjelasan
Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah oleh Undang-
Undang No. 20 tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
dinyatakan dengan tegas bahwa yang dimaksud dengan keuangan negara adalah
seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau yang tidak
dipisahkan, termasuk di dalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak
dan kewajiban yang timbul karena:
69
a. Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat
lembaga negara, baik di tingkat pusat maupun di daerah;
b. Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban Badan
Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, yayasan, badan hukum,
dan perusahaan yang menyertakan modal negara, atau perusahaan yang
menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan negara.
67 Kristian dan Yopi Gunawan, Op.Cit, hlm.150-151 68Adami Chazawi,Hukum Pidana Korupsi di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, 2017,
hlm. 54 69Kristian dan Yopi Gunawan, Op.Cit, hlm.151
Universitas Sumatera Utara
48
Adapun yang dimaksud dengan “Perekonomian Negara” dalam undang-
undang ini adalah kehidupan perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama
berdasarkan asas kekeluaragaan ataupun usaha masyarakat secara mandiri yang
disasarkan pada kebijakan pemerintah, baik di tingkat pusat maupun di daerah
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang
bertujuan untuk memberikan manfaat, kemakmuran, dan kesejahteraan kepada
seluruh kehidupan rakyat. Berdasarkan defenisi di atas, dapat disimpulkan bahwa
perumusan defenisi keuangan negara dan perekonomian negara dirumuskan
secara seluas-luasnya. Hal ini dimaksudkan untuk mengantisipasi atas
penyimpangan keuangan atau perekonomian negara yang dirasa semakin canggih
dan rumit.70
Berdasarkan ketentuan Pasal 3 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dapat dilihat dengan jelas suatu
Suatu perbuatan dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi yang
merugikan keuangan atau perekonomian negara juga termuat dalam Pasal 3
Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi yang menyatakan:
Pasal 3: Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
70 Ibid
Universitas Sumatera Utara
49
perbuatan dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi ini manakala
memenuhi beberapa unsur berikut ini:71
a. Dilakukan oleh setiap orang;
b. Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana (secara melawan
hukum);
c. Kewenangan, kesempatan atau sarana tersebut karena jabatan atau
kedudukannya;
d. Menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi;
e. Dapat;
f. Merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Ad.b. Tindak Pidana Korupsi yang Terkait dengan Suap-Menyuap
Suap-menyuap termasuk dalam salah satu bentuk tindak pidana korupsi
menurut Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi. Pengaturan mengenai tindak pidana korupsi dalam bentuk suap-menyuap
dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi diatur dalam beberapa ketentuan, yakni Pasal 5 ayat (1) huruf a
dan b, Pasal 5 ayat (2), Pasal 6 ayat (1) huruf a dan b, Pasal 6 ayat (2), Pasal 11,
Pasal 12 huruf a dan b, Pasal 12 huruf c dan d serta Pasal 13. Adapun bunyi dari
masing-masing ketentuan adalah sebagai berikut:
71 Surachmin dan Dr. Suhandi Cahaya, Strategi & Teknik Korupsi Mengetahui Untuk Mencegah, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, hlm. 18
Universitas Sumatera Utara
50
1. Menyuap Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara
Tindak pidana korupsi terkait dengan suap-menyuap, bentuk yang pertama
adalah menyuap pegawai negeri atau penyelenggara negara.72
a. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; atau
Hal tersebut diatur
secara tegas dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a dan huruf b Undang-Undang No. 20
Tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai berikut:
Pasal 5 ayat (1) huruf a dan b: Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang:
b. Memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.
Untuk menyimpulkan apakah suatu perbuatan dapat dikatakan atau
digolongkan sebagai tindak pidana korupsi menurut Pasal 5 ayat (1) huruf a ini
maka harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:73
1) Setiap orang;
2) Memberikan atau menjanjikan sesuatu;
3) Ditujukan kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara;
4) Dengan maksud supaya berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam
jabatannya sehingga bertentangan dengan kewajibannya.
72Kristian dan Yopi Gunawan, Op.Cit, hlm. 153 73 Surachmin dan Dr. Suhandi Cahaya, op.cit, hlm. 18
Universitas Sumatera Utara
51
Adapun suatu perbuatan dapat dikatakan atau digolongkan sebagai tindak
pidana korupsi menurut Pasal 5 ayat (1) huruf b apabila memenuhi unsur-unsur
sebagai berikut:74
1) Setiap orang;
2) Memberikan atau menjajikan sesuatu;
3) Ditujukan kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara;
4) Karena berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban,
dilakukan atau tidak dalam jabatannya.
2. Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara yang Menerima Suap
Tindak pidana korupsi terkait dengan suap menyuap bentuknya yang
kedua, yakni pegawai negeri atau penyelanggara negara yang menerima suap.75
Pasal ini mengatur bahwa pegawai negeri atau penyelenggara negara yang
menerima suap dapat dikategorikan sebagai suatu tindak pidana korupsi.
Hal ini diatur secara tegas dalam pasal 5 ayat (2) Undang-Undang No. 20 Tahun
2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang berbunyi:
Pasal 5 ayat (2): Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1).
76
74Ibid 75 Kristian dan Yopi Gunawan, Op.Cit, hlm.155 76Ibid
Perbuatan menerima pemberian bermakna, bahwa selesainya perbuatan menerima
adalah apabila suatu pemberian, misalnya sejumlah uang, telah berpindah
Universitas Sumatera Utara
52
kekuasaan pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima. 77 Untuk
mengetahui apakah suatu perbuatan itu termasuk tindak pidana korupsi menurut
Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi maka harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:78
1) Setiap pegawai negeri atau penyelenggara negara;
2) Menerima pemberian atau janji;
3) Pemberian atau janji tersebut harus termuat dalam Pasal 5 ayat (1)
huruf a dan b di atas.
Dalam pasal ini adalah penyelenggara negara adalah sebagaimana
dimaksud oleh Pasal 2 Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 Tentang
Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme. Penyelenggara negara yang dimaksud meliputi:
1. Pejabat negara pada lembaga tertinggi negara;
2. Pejabat negara pada lembaga tinggi negara;
3. Menteri;
4. Gubernur;
5. Hakim;
6. Pejabat negara yang lain sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku; dan
77 Mahrus Ali, Op.Cit, hlm. 118 78 Surachmin dan Dr. Suhandi Cahaya, op.cit, hlm. 19
Universitas Sumatera Utara
53
7. Pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan
penyelenggara negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
3. Menyuap Hakim dan Menyuap Advokat
Tindakan menyuap hakim dan meyuap advokat dapat dikategorikan
sebagai salah satu bentuk tindak pidana korupsi sebagaimana tertuang tegas dalam
Pasal 6 ayat (1) huruf a dan huruf b berikut ini:
Pasal 6 ayat (1) huruf a dan b Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang:
a. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk memengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili; atau
b. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan dengan maksud untuk memengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili.
Untuk menentukan apakah suatu perbuatan dapat dijerat dengan
menggunakan Pasal 6 ayat (1) huruf a, maka perbuatan tersebut harus memenuhi
unsur-unsur sebagai berikut:79
1) Setiap orang;
2) Memberi atau menjanjikan sesuatu;
3) Ditujukan kepada hakim;
79 Surachmin dan Dr. Suhandi Cahaya, Op.cit, hlm. 19
Universitas Sumatera Utara
54
4) Dengan maksud untuk memengaruhi putusan perkara yang diserahkan
kepadanya untuk diadili.
Adapun suatu perbuatan dapat dikualifikasikan sebagai perbuatan yang
melanggar ketentuan Pasal 6 ayat (1) huruf b apabila memenuhi unsur-unsur
sebagai berikut:80
1) Setiap orang;
2) Memberi atau menjanjikan sesuatu;
3) Ditujukan kepada advokat yang menghadiri sidang pengadilan;
4) Dengan maksud untuk memengaruhi nasihat atau pendapat yang akan
diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada
pengadilan untuk diadili.
4. Hakim atau Advokat yang Menerima Suap
Tindak pidana korupsi bentuk ke empat yang berkaitan dengan suap-
meyuap yakni hakim dan advokat yang menerima suap.81
80 Ibid 81 Mahrus Ali, Op.Cit, hlm. 121
Mengenai hal ini, dalam
Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang-Undang
No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diatur dalam
Pasal 6 ayat (2) yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 6 ayat (2) Bagi hakim yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau advokat yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Universitas Sumatera Utara
55
Ketentuan pasal ini mengatur secara tegas bahwa hakim atau advokat yang
menerima suap dapat dikategorikan sebagai salah satu tindak pidana korupsi.
Untuk menilai bahwa suatu perbuatan melanggar rumusan Pasal 6 ayat (2) harus
memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:82
1) Hakim atau advokat;
2) Menerima pemberian atau janji;
3) Pemberian atau janji itu diberikan oleh setiap orang;
4) Dengan maksud untuk memengaruhi putusan perkara yang diserahkan
kepadanya untuk diadili (bagi hakim) atau dengan maksud untuk
memengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan berhubung
dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili (bagi
advokat).
5. Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara yang Menerima Hadiah yang
Berkaitan dengan Jabatannya
Bentuk ke lima tindak pidana korupsi yang berkaitan dengan suap-
menyuap adalah pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima
hadiah yang berkaitan dengan jabatannya. Hal ini diatur secara tegas dan jelas
dalam pasal 11 Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas
Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi yang menyatakan:
82 Surachmin dan Dr. Suhandi Cahaya, op.cit, hlm. 20
Universitas Sumatera Utara
56
Pasal 11 Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya. Untuk mengkalisifikasikan suatu perbuatan melanggar dan dapat
dimintakan pertanggungjawaban pidana berdasarkan Pasal 11 ini maka harus
memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:83
1) Pegawai negeri atau penyelenggara negara;
2) Menerima hadiah atau janji;
3) Diketahuinya atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut
diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan
dengan jabatannya dan menurut pikiran orang yang memberikan
hadiah atau janji tersebut ada hubungannya dengan jabatannya.
6. Pegawai Negeri yang Menerima Suap
Bentuk ke enam tindak pidana korupsi yang berkaitan dengan suap
menyuap adalah pegawai negeri yang menerima suap. Hal ini diatur secara tegas
dalam Pasal 12 huruf a dan huruf b Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang
Perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi yang menyatakan bahwa:
83Kristian dan Yopi Gunawan, Op.Cit, hlm.161
Universitas Sumatera Utara
57
Pasal 12 huruf a dan b: Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah):
a. Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya;
b. Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya.
Untuk menilai apakah suatu perbuatan dapat dikatakan sabagai tindak
pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 12 huruf a maka harus memenuhi
unsur-unsur sebagai berikut:84
1) Pegawai negeri atau penyelenggara negara;
2) Menerima hadiah atau janji;
3) Diketahuinya bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk
menggerakkannya agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu
dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya;
4) Patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk
menggerakkannya agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu
dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya.
84Surachmin dan Dr. Suhandi Cahaya, Op.cit, hlm. 26
Universitas Sumatera Utara
58
Adapun unsur-unsur yang terdapat dalam ketentuan Pasal 12 huruf b
Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi adalah sebagai berikut:85
1) Pegawai negeri atau penyelenggara negara;
2) Menerima hadiah atau janji;
3) Diketahuinya bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau
karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam
jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya;
4) Patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau
karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam
jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya.
7. Hakim dan Advokat yang Menerima Suap
Hal ini diatur limitatif dalam ketentuan Pasal 12 huruf c dan huruf d
Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang-Undang
No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi berikut ini:
Pasal 12 huruf c dan d Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah):
c. Hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk memengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili;
d. Seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan, menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa
85Mahrus Ali, Op.Cit, hlm. 131
Universitas Sumatera Utara
59
hadiah atau janji tersebut untuk memengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan, berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili.
Adapun unsur-unsur yang harus dipenuhi untuk menentukan suatu
perbuatan masuk dalam tindak pidana korupsi sebagaimana dirumuskan dalam
Pasal 12 huruf c yaitu sebagai berikut:86
1) Hakim;
2) Menerima hadiah atau janji;
3) Diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan
untuk memengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk
diadili.
Adapun unsur-unsur yang harus dipenuhi untuk dapat menyatakan suatu
perbuatan telah melanggar ketentuan Pasal 12 huruf d sebagai berikut:87
1) Advokat;
2) Menerima hadiah atau janji;
3) Diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut untuk
memengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan berhubung
dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili.
8. Memberikan Hadiah kepada Pegawai Negeri karena Jabatannya
Bentuk tindak pidana korupsi yang berkaitan dengan suap-menyuap yang
ke delapan adalah memberikan hadiah kepada pegawai negeri karena jabatannya.
Hal ini diatur secara tegas dalam Pasal 13 Undang-Undang No. 20 Tahun 2001
86Ibidhlm. 133 87Ibid hlm. 134
Universitas Sumatera Utara
60
Tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi berikut ini:
Pasal 13: Setiap orang yang memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah). Pasal ini pada dasarnya menyatakan bahwa memberikan hadiah kepada
pegawai negeri karena jabatannya adalah salah satu tindak pidana korupsi dalam
bentuk suap menyuap. 88 Suatu perbuatan dapat dikualifikasikan atau
dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi dalam bentuk suap menyuap
sebagaimana diatur dalam Pasal 13 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999
sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi manakala memenuhi unsur-unsur sebagai
berikut:89
1) Dilakukan oleh setiap orang;
2) Memberi hadiah atau janji;
3) Ditujukan kepada pegawai negeri;
4) Karena kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau
kedudukannya atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat
pada jabatan atau kedudukannya tersebut.
88 Kristian dan Yopi Gunawan, Op.Cit, hlm.165 89 Surachmin dan Dr. Suhandi Cahaya, Op.cit, hlm. 30
Universitas Sumatera Utara
61
Subjek delik dalam Pasal 13 adalah setiap orang. Makna setiap orang bisa
siapa saja meliputi pegawai negeri, penyelenggara negara, hakim, jaksa penuntut
umum, advokat, pegawai swasta, atau pihak-pihak yang lain.
Ad.c. Tindak Pidana Korupsi yang Terkait dengan Penggelapan dalam
Jabatan
Tindak pidana korupsi yang termasuk dalam kelompok penggelapan
jabatan ini diatur secara tegas dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999
sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, tepatnya dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10
huruf a dan huruf b dan Pasal 10 huruf c. Berikut akan dijelaskan secara rinci
mengenai ketentuan-ketentuan yang dimaksud beserta dengan unsur-unsur yang
membentuknya:
1. Pegawai Negeri atau Orang Lain selain Pegawai Negeri yang
Menggelapkan Uang atau Membiarkan Dilakukannya Penggelapan
Pegawai negeri atau orang lain selain pegawai negeri yang menggelapkan
uang atau membiarkan penggelapan dapat dikualifikasikan sebagai salah satu
bentuk tindak pidana korupsi yang berkaitan dengan penggelapan dalam jabatan.90
90Kristian dan Yopi Gunawan, Op.Cit, hlm.166
Hal ini diatur secara tegas dalam Pasal 8 Undang-Undang No. 20 Tahun 2001
Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menyatakan:
Universitas Sumatera Utara
62
Pasal 8 Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah), pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan karena jabatannya, atau membiarkan uang atau surat berharga tersebut diambil atau digelapkan oleh orang lain, atau membantu dalam melakukan perbuatan tersebut. Pasal 8 tersebut mengatur bahwa pegawai negeri atau orang lain selain
pegawai negeri yang menggelapkan uang atau membiarkan penggelapan dapat
dikategorikan sebagai salah satu bentuk tindak pidana korupsi. Untuk menentukan
suatu perbuatan tergolong pada tindak pidana korupsi sebagaimana tertuang dalam
rumusan pasal ini, maka perbuatan tersebut harus memenuhi unsur-unsur sebagai
berikut:91
1) Pegawai negeri atau orang lain;
2) Ditugaskan untuk menjalankan suatu jabatan umum secara terus
menerus atau sementara waktu;
3) Dilakukan dengan sengaja;
4) Menggelapkan atau membiarkan orang lain mengambil atau
membiarkan orang lain menggelapkan uang atau surat berharga;
5) Uang atau surat berharga yang disimpan karena jabatannya;
6) Membantu dalam melakukan perbuatan itu.
91 Adami Chazawi, Op.Cit, hlm. 118
Universitas Sumatera Utara
63
2. Pegawai Negeri atau Orang Selain Pegawai Negeri yang Memalsukan
Buku Untuk Pemeriksaan Administrasi
Bentuk ke dua dari tindak pidana korupsi yang termasuk dalam kelompok
tindak pidana penggelapan dalam jabatan adalah pegawai negeri atau orang selain
pegawai negeri yang memalsukan buku untuk pemeriksaan administrasi.92
Ketentuan Pasal 9 Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi mengatur dengan tegas mengenai pegawai negeri atau
orang selain pegawai negeri yang memalsukan buku untuk pemeriksaan
administrasi sebagai salah satu bentuk tindak pidana korupsi, khususnya tindak
pidana korupsi yang berkaitan dengan penggelapan dalam jabatan. Untuk
menentukan apakah suatu perbuatan termasuk dalam tindak pidana korupsi
sebagaimana diatur dalam Pasal 9 harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:
Hal ini
diatur secara tegas dalam Pasal 9 Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 9 Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja memalsukan buku-buku atau daftar-daftar yang khusus untuk pemeriksaan administrasi.
93
92 Kristian dan Yopi Gunawan, Op.Cit, hlm.168 93Mahrus Ali, Op.Cit, hlm. 153
Universitas Sumatera Utara
64
1) Pegawai negeri atau orang lain selain pegawai negeri;
2) Ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus
atau untuk sementara waktu;
3) Dengan;
4) Sengaja;
5) Buku-buku atau daftar-daftar yang khusus untuk pemeriksaan
administrasi.
3. Pegawai Negeri atau Orang Lain Selain Pegawai Negeri Yang Merusak
Bukti
Tindak pidana korupsi bentuknya yang ketiga berkaitan dengan
penggelapan dalam jabatan adalah pegawai negeri atau orang lain selain pegawai
negeri yang merusak bukti. 94
94Kristian dan Yopi Gunawan, Op.Cit, hlm.169
Hal ini diatur secara tegas dalam Pasal 10 huruf a
Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang
No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang
menyatakan bahwa:
Pasal 10 huruf a Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja: menggelapkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar yang digunakan untuk meyakinkan atau membuktikan di muka pejabat yang berwenang, yang dikuasai karena jabatannya.
Universitas Sumatera Utara
65
Pasal ini mengatur bahwa pegawai negeri atau orang lain selain pegawai
negeri yang merusak bukti dapat dikategorikan sebagai salah satu bentuk tindak
pidana korupsi yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi khususnya tindak
pidana korupsi yang berhubungan dengan penggelapan jabatan. 95 Untuk
menentukan apakah suatu perbuatan dapat dikategorikan melanggar Pasal
melanggar Pasal 10 huruf a di atas maka harus memenuhi unsur-unsur sebagai
berikut:96
1) Pegawai negeri atau orang lain selain pegawai negeri;
2) Ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus
atau untuk sementara waktu;
3) Dengan sengaja;
4) Menggelapkan, menghancurkan, merusakkan atau membuat tidak
dapat dipakai;
5) Barang, akta, surat atau daftar;
6) Yang digunakan untuk meyakinkan atau membuktikan di muka pejabat
yang berwenang;
7) Barang tersebut dikuasainya karena jabatan.
4. Pegawai Negeri Atau Orang Lain Selain Pegawai Negeri yang
Membiarkan Orang Lain Merusak Bukti
95 Ibid, hlm.170 96Surachmin dan Dr. Suhandi Cahaya, Op.cit, hlm. 24
Universitas Sumatera Utara
66
Dalam Pasal 10 huruf b Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi yang menyatakan:
Pasal 10 huruf b Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau orang lain selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja: membiarkan orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut. Pasal ini mengatur bahwa pegawai negeri atau orang lain selain pegawai
negeri yang membiarkan orang lain merusakkan bukti sebagai salah satu bentuk
tindak pidana yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi.97 Untuk menentukan
suatu perbuatan sesuai dengan rumusan pasal ini, maka harus memenuhi unsur-
unsur sebagai berikut:98
1) Pegawai negeri atau orang lain selain pegawai negeri;
2) Ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus
atau untuk sementara waktu;
3) Dengan sengaja;
4) Membiarkan orang lain;
5) Menghilangkan, menghancurkan, merusakkan atau membuat tidak
dapat dipakai;
6) Barang, akta, surat, atau daftar;
97 Kristian dan Yopi Gunawan, Op.Cit, hlm.171 98 Adami Chazawi, Op.Cit, hlm. 143
Universitas Sumatera Utara
67
7) Yang digunakan untuk meyakinkan atau membuktikan di muka pejabat
yang berwenang;
8) Barang tersebut dikuasainya karena jabatan.
5. Pegawai Negeri atau Orang Lain Selain Pegawai Negeri yang Membantu
Orang Lain Merusak Bukti
Dalam ketentuan Pasal 10 huruf c Undang-Undang No. 20 Tahun 2001
Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menyatakan:
Pasal 10 huruf c Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja: membantu orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut. Pasal ini mengatur bahwa pegawai negeri atau orang lain selain pegawai
negeri yang membantu orang lain merusak bukti sebagai salah satu bentuk tindak
pidana yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi. 99 Suatu perbuatan dapat
dikatakan melanggar ketentuan Pasal 10 huruf c Undang-Undang No. 20 Tahun
2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi apabila memenuhi unsur-unsur sebagai
berikut:100
1) Pegawai negeri atau orang lain selain pegawai negeri;
99 Kristian dan Yopi Gunawan, Op.Cit, hlm. 172 100 Mahrus Ali, Op.Cit, hlm. 157
Universitas Sumatera Utara
68
2) Ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus
atau untuk sementara waktu;
3) Dengan sengaja;
4) Membantu orang lain;
5) Menghilangkan, menghancurkan, merusakkan atau membuat tidak
dapat dipakai;
6) Barang, akta, surat, atau daftar;
7) Yang digunakan untuk meyakinkan atau membuktikan di muka pejabat
yang berwenang;
8) Barang-barang tersebut dikuasainya karena jabatan.
Ad.d. Tindak Pidana Korupsi yang Terkait dengan Pemerasan
Bentuk atau tipologi tindak pidana korupsi yang ke empat sebagaimana
diatur dalam hukum positif di Indonesia adalah tindak pidana korupsi yang
berkaitan dengan pemerasan. 101
1. Pemerasan oleh Pegawai negeri
Namun demikian, perlu dikemukakan bahwa
tidak semua pemerasan dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi.
Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut, tindak pidana korupsi yang
berkaitan dengan pemerasan dapat dikelompokkan atau digolongkan kembali
menjadi beberapa bentuk, yaitu:
Tindak pidana korupsi bentuknya yang pertama berkaitan dengan tindak
pidana korupsi yang berkaitan dengan pemerasan adalah pemerasan yang
101 Kristian dan Yopi Gunawan, Op.Cit, hlm. 173
Universitas Sumatera Utara
69
dilakukan oleh pegawai negeri.102Rumusan pasal 12 huruf e diadopsi dari Pasal
423 KUHP yang dalam praktik hukum disebut dengan knevlarij atau pemerasan
dari sebab adanya perbuatan memaksa. 103
Selanjutnya, untuk menentukan apakah suatu perbuatan termasuk dalam
tindak pidana korupsi seperti yang diatur dalam Pasal 12 huruf e harus memenuhi
unsur-unsur berikut ini:
Hal ini diatur secara tegas dan jelas
dalam Pasal 12 huruf e Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan
Atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi yang menyatakan:
Pasal 12 huruf e Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah): pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri.
104
1) Pegawai negeri atau penyelenggara negara;
2) Dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain;
3) Secara melawan hukum;
4) Memaksa seseorang;
5) Memberikan sesuatu, membayar atau menerima pembayaran dengan
potongan atau mengerjakan sesuatu bagi dirinya;
102Ibid 103 Adami Chazawi, Op.Cit, hlm. 201 104 Surachmin dan Dr. Suhandi Cahaya, Op.cit, hlm. 27
Universitas Sumatera Utara
70
6) Dengan menyalahgunakan kekuasaan.
2. Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara yang Memeras Pegawai
Negeri atau Penyelenggara Negara Lainnya
Bentuk tindak pidana korupsi yang kedua berkaitan dengan tindak pidana
korupsi yang berhubungan dengan pemerasan adalah perbuatan pegawai negeri
atau penyelenggara negara yang memeras pegawai negeri atau penyelenggara
negara lainnya. 105
Pasal 12 huruf f Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan
Atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi mengatur bahwa pegawai negeri atau penyelenggara negara yang
memeras pegawai negeri atau penyelenggara negara lainnya dapat dikategorikan
Hal ini diatur secara tegas dalam Pasal 12 huruf f Undang-
Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31
Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menyatakan
sebagai berikut:
Pasal 12 huruf f Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah): pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, meminta, menerima, atau memotong pembayaran kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kepada kas umum, seolah-olah pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kas umum tersebut mempunyai utang kepadanya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang.
105 Kristian dan Yopi Gunawan, Op.Cit, hlm. 175
Universitas Sumatera Utara
71
sebagai tindak pidana korupsi. Untuk menentukan suatu perbuatan termasuk
dalam rumusan pasal ini maka harus memenuhi unsur-unsur berikut ini:106
1) Pegawai negeri atau penyelenggara negara;
2) Pada waktu menjalankan tugas;
3) Meminta, menerima, atau memotong pembayaran;
4) Kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain kepada
kas umum;
5) Seolah-olah pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau
kas umum mempunyai utang kepadanya;
6) Diketahuinya bahwa hal tersebut bukan merupakan utang.
3. Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara yang Dalam Tugasnya
Melakukan Pemerasan
Bentuk ketiga dari tindak pidana korupsi yang berkaitan dengan
pemerasan adalah perbuatan pegawai negeri atau penyelenggara negara yang
dalam menjalankan tugasnya melakukan pemerasan. 107
Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah): pegawai negeri atau
Hal ini diatur eksplisit
dalam Pasal 12 huruf g Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan
Atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi yang menyatakan:
Pasal 12 huruf g
106 Mahrus Ali, Op.Cit, hlm. 107 Kristian dan Yopi Gunawan, Op.Cit, hlm.176
Universitas Sumatera Utara
72
penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, meminta atau menerima pekerjaan atau penyerahan barang, seolah-olah merupakan utang kepada dirinya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang. Untuk menentukan apakah suatu perbuatan termasuk dalam tindak pidana
korupsi sebagaimana termuat dalam rumusan pasal ini, maka perbuatan tersebut
harus memenuhi unsur-unsur berikut ini:108
1) Pegawai negeri atau penyelenggara negara;
2) Pada waktu menjalankan tugas;
3) Meminta atau menerima pekerjaan atau penyerahan barang;
4) Seolah-olah merupakan utang kepada dirinya;
5) Diketahuinya bahwa hal tersebut bukan merupakan utang.
Subjek delik dalam Pasal 12 huruf g adalah pegawai negeri atau
penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas. Perbuatan yang
dilarang adalah meminta atau menerima pekerjaan, atau penyerahan barang.
Adapun unsur objektifnya adalah berupa “meminta, menerima, memotong”.
Pengertian penyerahan barang hakikatnya sama dengan pengertian memotong,
yakni untuk menyelesaikan tindak pidana penyerahan barang, barang tersebut
telah benar-benar dan nyata ada barang yang diserahkan seseorang dan diterima
pegawai negeri atau penyelenggara Negara selaku pelaku delik ini.109
108 Surachmin dan Dr. Suhandi Cahaya, Op.cit, hlm. 28 109 Mahrus Ali, Op.Cit, hlm. 163
Ad.e. Tindak pidana Korupsi Berkaitan Dengan Perbuatan Curang
Universitas Sumatera Utara
73
Pengaturan tentang tindak pidana korupsi yang terkait dengan perbuatan
curang diatur secara tegas dalam beberapa pasal dalam Undang-Undang No. 31
Tahun 1999 sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang No. 20 Tahun 2001
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Hal ini diatur dalam Pasal 7 ayat
(1) huruf a, Pasal 7 ayat (1) huruf b, Pasal 7 ayat (1) huruf c, Pasal 7 ayat (1) huruf
d, Pasal 7 ayat (2) dan Pasal 12 huruf h. Berdasarkan ketentuan-ketentuan
tersebut, tindak pidana korupsi yang berkaitan dengan perbuatan curang dapat
dikelompokkan kembali ke dalam beberapa bentuk yakni sebagai berikut:
1. Perbuatan Curang yang Dilakukan oleh Pemborong
Tindak pidana korupsi berkaitan dengan perbuatan curang bentuk pertama
adalah perbuatan curang yang dilakukan oleh pemborong. Hal ini dapat
dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi sebagaimana diatur secara tegas
dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi. Ketentuan Pasal 7 ayat (1) huruf a Undang-Undang No.
31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tersebut
menyatakan:
Pasal 7 ayat (1) huruf a Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah): pemborong ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan atau penjual bahan bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan bangunan, melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang, atau keselamatan negara dalam keadaan perang.
Universitas Sumatera Utara
74
Untuk menentukan suatu perbuatan termasuk ke dalam tindak pidana
korupsi sebagaimana dirumuskan dalam pasal ini jika memenuhi unsur-unsur
sebagai berikut:110
1) Pemborong, ahli bangunan atau penjual bahan bangunan;
2) Melakukan perbuatan curang;
3) Pada waktu membuat bangunan atau menyerahkan bahan bangunan;
4) Yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang atau
keselamatan negara dalam keadaan perang.
Pemborong dalam hal ini adalah seorang yang mengikatkan dirinya dalam
suatu perjanjian (perjanjian pemborongan) pada pihak/orang lain untuk
melakukan suatu pekerjaan tertentu dengan harga tertentu yang disepakati.
Sedangkan perbuatan curang dalam hal ini adalah berupa perbuatan abstrak yang
wujud konkretnya dapat bermacam-macam dan tidak terhingga.111
2. Pengawas Proyek yang Membiarkan Perbuatan Curang
Bentuk tindak pidana korupsi kedua yang berkaitan dengan perbuatan
curang, yaitu perbuatan pengawas proyek yang membiarkan perbuatan curang
dilakukan. Hal ini dapat dikategorikan sebagai salah satu bentuk tindak dari
pidana korupsi sebagaimana diatur secara tegas dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b
Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang
No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang
menyatakan:
110 Kristian dan Yopi Gunawan, Op.Cit, hlm. 178 111 Adami Chazawi, Op.Cit, hlm. 106, 107
Universitas Sumatera Utara
75
Pasal 7 ayat (1) huruf b Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah): setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau penyerahan bahan bangunan, dengan sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf a. Pasal ini mengatur bahwa pengawas proyek yang dengan sengaja
membiarkan perbuatan curang sebagai salah satu bentuk tindak pidana korupsi
khususnya tindak pidana korupsi yang berkaitan dengan perbuatan curang. 112
Untuk menyatakan suatu perbuatan sebagai tindak pidana korupsi sebagaimana
diatur dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b Undang-Undang No. 20 Tahun 2001
Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, harus memenuhi unsur-unsur berikut
ini:113
1) Pengawas bangunan atau pengawas penyerahan bahan bangunan;
2) Dengan sengaja;
3) Membiarkan dilakukannya perbuatan curang;
4) Pada waktu membuat bangunan atau menyerahkan bahan bangunan;
5) Yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang atau
keselamatan negara dalam keadaan perang.
3. Rekanan Tentara Nasional Indonesia (TNI)/ Kepolisian Negara Republik
Indonesia (POLRI) yang Berbuat Curang
112 Kristian dan Yopi Gunawan, Op.Cit, hlm. 179 113 Mahrus Ali, Op.Cit, hlm. 166
Universitas Sumatera Utara
76
Tindak pidana korupsi bentuk ketiga berkaitan dengan perbuatan curang
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah
diubah oleh Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi adalah perbuatan curang yang dilakukan oleh rekanan Tentara
Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri). Hal
ini diatur dengan tegas dalam Pasal 7 ayat (1) huruf c Undang-Undang No. 20
Tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 114
Berikut adalah unsur-unsur yang harus dipenuhi untuk menentukan suatu
perbuatan termasuk dalam tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal
ini:
Adapun pasal 7 ayat (1) huruf c
Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang-Undang
No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyatakan:
Pasal 7 ayat (1) huruf c Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah): setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keselamatan negara dalam keadaan perang.
115
1) Setiap orang;
2) Melakukan perbuatan curang;
114Kristian dan Yopi Gunawan, Op.Cit, hlm. 180 115Surachmin dan Dr. Suhandi Cahaya, Op.cit, hlm. 21
Universitas Sumatera Utara
77
3) Dilakukan pada waktu menyerahkan barang keperluan Tentara
Nasional Indonesia (TNI) dan atau Kepolisian Negara Republik
Indonesia;
4) Dapat membahayakan keselamatan negara dan dalam keadaan perang.
4. Pengawas Rekanan Tentara Nasional Indonesia (TNI)/Kepolisian Negara
Republik Indonesia (POLRI) yang Berbuat Curang
Tindak pidana korupsi bentuk keempat yang berkaitan dengan perbuatan
curang adalah perbuatan curang yang dilakukan oleh pengawas rekanan Tentara
Nasiona l Indonesia (TNI) dan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri). Hal
ini diatur secara tegas dalam Pasal 7 ayat (1) huruf d Undang-Undang No. 20
Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Adapun Pasal 7 ayat (1) huruf d
Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang-Undang
No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi berbunyi:
Pasal 7 ayat (1) huruf d Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah): setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan/atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf c. Untuk menyatakan suatu perbuatan melanggar ketentuan ini harus
memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:116
1) Setiap orang;
116 Mahrus Ali, Op.Cit, hlm. 169
Universitas Sumatera Utara
78
2) Yang bertugas mengawasi penyerahan barang keperluan Tentara
Nasional Indonesia (TNI)/Kepolisian Negara Republik Indonesia
(POLRI);
3) Dengan sengaja;
4) Membiarkan perbuatan curang;
5) Dapat membahayakan keselamatan negara dan dalam keadaan perang.
5. Penerima Barang Tentara Nasional Indonesia (TNI)/Kepolisian Negara
Republik Indonesia (POLRI) yang Membiarkan Perbuatan Curang
Hal ini diatur secara tegas dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2001
Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam Pasal 7 ayat (2). Adapun ketentuan
Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas
Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, berbunyi:
Pasal 7 ayat (2) Bagi orang yang menerima penyerahan bahan bangunan atau orang yang menerima penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan/atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dan membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf c, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). Berdasarkan ketentuan Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang No. 20 Tahun
2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang
Universitas Sumatera Utara
79
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di atas harus memenuhi unsur-unsur
sebagai berikut:117
1) Dilakukan oleh setiap orang;
2) Orang tersebut bertugas mengawasi penyerahan bahan bangunan atau
orang yang menerima penyerahan barang keperluan Tentara Nasional
Indonesia (TNI) dan/atau Kepolisian Negara Republik Indonesia
(POLRI);
3) Membiarkan perbuatan curang;
4) Dilakukan pada waktu menyerahkan barang keperluan Tentara
Nasional Indonesia (TNI) dan atau Kepolisian Negara Republik
Indonesia (POLRI);
5) Dapat membahayakan keselamatan negara dan dalam keadaan perang.
6. Pegawai Negeri Atau Penyelenggara Negara yang Menyerobot Tanah
Negara Sehingga Merugikan Orang Lain
Hal ini diatur secara tegas dalam Pasal 12 huruf h Undang-Undang No. 20
Tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menyatakan:
Pasal 12 huruf h Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah): pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, telah menggunakan tanah negara yang di atasnya terdapat hak pakai, seolah-olah sesuai dengan peraturan perundang-undangan, telah merugikan orang
117Adami Chazawi, Op.Cit, hlm. 109
Universitas Sumatera Utara
80
yang berhak, padahal diketahuinya bahwa perbuatan tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Untuk menentukan suatu perbuatan masuk ke dalam rumusan pasal ini
maka harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:118
1) Pegawai negeri atau penyelenggara negara;
2) Pada waktu menjalankan tugas;
3) Menggunakan tanah negara yang di atasnya ada hak pakai;
4) Seolah-olah sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
5) Telah merugikan yang berhak;
6) Diketahuinya bahwa perbuatan tersebut bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Subjek delik pasal 12 huruf h adalah seseorang yang memiliki kapasitas
sebagai pegawai negeri atau penyelenggara negara. Perbuatan yang dilarang
berupa menggunakan tanah negara. Unsur ini harus terjadi dalam kaitannya
dengan menjalankan tugas jabatan pegawai negeri atau penyelenggara negara.
Sedangkan objeknya adalah tanah negara yang di atasnya terdapat hak pakai.119
Tindak pidana korupsi yang terkait dengan benturan kepentingan dalam
pengadaan diatur secara tegas dalam Pasal 12 huruf I Undang-Undang No. 31
Tahun 1999 sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang No. 20 Tahun 2001
Ad.f. Tindak Pidana Korupsi yang Terkait dengan Benturan Kepentingan
dalam Pengadaan
118Surachmin dan Dr. Suhandi Cahaya, Op.cit, hlm. 28 119Mahrus Ali, Op.Cit, hlm. 170
Universitas Sumatera Utara
81
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal 12 huruf i Undang-Undang
No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyatakan:
Pasal 12 huruf i Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah): pegawai negeri atau penyelenggara negara baik langsung maupun tidak langsung dengan sengaja turut serta dalam pemborongan, pengadaan atau persewaan, yang pada saat dilakukan perbuatan, untuk seluruh atau sebagian ditugaskan untuk mengurus atau mengawasinya. Untuk menentukan apakah suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai tindak
pidana korupsi sebagaimana dirumuskan menurut ketentuan ini maka harus
memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:120
1) Pegawai negeri atau penyelenggara negara;
2) Dengan sengaja;
3) Turut serta;
4) Baik secara langsung atau tidak langsung;
5) Dalam hal pemborongan, pengadaan atau persewaan;
6) Pada saat dilakukan perbuatan pemborongan, pengadaan atau
persewaan;
7) Untuk seluruh atau sebagian ditugaskan untuk mengurus atau
mengawasinya.
Ad.g. Gratifikasi sebagai Salah Satu Bentuk Tindak Pidana Korupsi
120Mahrus Ali, Op.Cit, hlm.170
Universitas Sumatera Utara
82
Secara sederhana, gratifikasi dapat diartikan sebagai pemberian dalam arti
luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman
tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan
cuma-cuma dan berbagai fasilitas lainnya baik yang diterima di dalam negeri
maupun di luar negeri serta digunakan baik dengan sarana elektronik atau tanpa
sarana elektronik. 121
(1) Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut:
Dalam hukum positif yakni Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi, gratifikasi diatur secara tegas dalam Pasal 12 B dan Pasal
12 C berikut ini:
Pasal 12 B
a. yang nilainya Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi;
b. yang nilainya kurang dari Rp. 10.000.000.00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut merupakan suap dilakukan oleh penuntut umum.
(2) Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 12 C
(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 B ayat (1) tidak berlaku, jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
(2) Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilakukan oleh penerima gratifikasi paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima.
121Kristian dan Yopi Gunawan, Op.Cit, hlm. 187
Universitas Sumatera Utara
83
(3) Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal menerima laporan wajib menetapkan gratifikasi dapat menjadi milik penerima atau milik negara.
(4) Ketentuan mengenai tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan penentuan status gratifikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur dalam Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pasal 12 B dan Pasal 12 C Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi mengatur apabila pegawai negeri atau penyelenggara
negara yang menerima gratifikasi dan tidak melaporkan hal tersebut kepada
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) dapat dikategorikan telah
melakukan tindak pidana korupsi.122 Untuk menentukan apakah suatu perbuatan
dapat dikategorikan sebagai gratifikasi sebagaimana diatur dalam Pasal 12 B dan
Pasal 12 C ini maka harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:123
1) Pegawai negeri atau penyelenggara negara;
2) Menerima gratifikasi;
3) Yang berhubungan dengan jabatan atau bertentangan dengan
kewajiban atau tugasnya;
4) Penerimaan gratifikasi tersebut tidak dilaporkan kepada Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) dalam jangka waktu 30
hari sejak diterimanya gratifikasi.
122 Ibid, hlm. 189 123 Adami Chazawi, Op.Cit, hlm. 239
Universitas Sumatera Utara
84
BAB III
KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK
PIDANA KORUPSI DALAM RUU KUHP
A. Tindak Pidana Korupsi dan Pembaharuan Hukum Pidana
Banyak cara yang telah dikerahkan dalam upaya pemberantasan korupsi
tapi malah kebayakan tidak banyak berarti dalam penurunan statistik dalam tindak
pidana korupsi mungkin barangkali karena upaya pemberantasan korupsi tersebut
belum menyentuh akar persoalan. Budaya feodalisme disebut sebagai akar
korupsi. Bila budaya yang berarti telah melalui proses pembiasaan, habituasi,
sebagai penyebab, harus dicari jalan memberantas korupsi dengan cepat sebab
mengubah kebiasaan butuh waktu panjang.124 Dari pendapat yang dikatakan oleh
Evi Hartanti yakni beberapa akibat dari korupsi yakni:125
a. Berkurangnya kepercayaan terhadap pemerintah
b. Berkurangnya kewibawaan pemerintah dalam masyarakat
c. Menyusutnya pendapatan negara
d. Rapuhnya keamanan dan ketahanan negara
Hal di atas diakibatkan biasanya oleh lemahnya penegakan hukum
terhadap pelaku tindak pidana korupsi maka dari itu perlu dilakukan pembaharuan
hukum pidana terhadap formulasi hukum pidana saat ini. Maka dari itu
sebenarnya usaha pembaharuan hukum di Indonesia yang sudah dimulai sejak
124 Ninuk Marniana Pambudy, Reformasi Saja Tak Cukup Butuh Transformasi Tata
Kelola, PT Kompas Media Nusantara, Jakarta, 2011 hlm. 57 125 Surachmin dan Dr. Suhandi Cahaya, Op.cit, hlm. 105
42
84
Universitas Sumatera Utara
85
lahirnya UUD 1945 tidak dapat dilepaskan pula dari landasan dan sekaligus tujuan
yang ingin dicapai seperti telah dirumuskan dalam pembukaan UUD 1945.126
Dalam rangka merespons amanat pembukaan UUD 1945 yakni pada alinea
keempat, maka pembaharuan sebagai produk perundang-undangan yang sudah
tidak sesuai dengan nilai-nilai masyarakat Indonesia menjadi agenda yang patut
diprioritaskan.
127
Ada beberapa alasan sebenarnya maka pembaharuan hukum pidana harus
dilakukan, alasan-alasan tersebut adalah:
128
a. KUHP dipandang tidak lagi sesuai dengan dinamika perkembangan
hukum pidana nasional Indonesia;
b. Perkembangan hukum pidana di luar KUHP, baik berupa hukum
pidana khusus maupun hukum pidana administrasi telah menggeser
keberadaan sistem hukum pidana dalam KUHP. Keadaan ini telah
mengakibatkan terbentuknya lebih dari satu sistem hukum pidana yang
berlaku dalam sistem hukum pidana nasional;
c. Dalam beberapa hal telah terjadi duplikasi norma hukum pidana yakni
antara norma hukum pidana yang terdapat di dalam KUHP dengan
norma hukum pidana yang ada di luar KUHP.
126 Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan Dengan
Pidana Penjara, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 2000, hlm.1 127 Muliyati Pawennei dan Rahmanuddin Tomalili, Hukum Pidana, Mitra Wacana Media,
Jakarta, 2015, hlm.18 128https://antikorupsi.org/sites/default/files/doc/Regulasi/NARASI%20Power%20Point-
Agustinus%20Pohan.pdf
Universitas Sumatera Utara
86
Produk dalam hukum pidana yang memang kita pakai sekarang ini tidak
sesuai dengan perkembangan bangsa atau dapat dikatakan ketinggalan zaman
karena produk hukum yang kita pakai adalah produk dari kolonial yang dimana
produk tersebut sudah diganti berkali-kali oleh negara yang menjajah Indonesia
pada saat itu. Hukum pidana Indonesia yang sekarang tidak sesuai dengan situasi
politik, filosofis dan sosiologis Indonesia sekarang ini.129
Pembaharuan hukum pidana tidak dapat dilepaskan dari ide atau kebijakan
pembangunan sistem hukum nasional yang berlandaskan Pancasila sebagai nilai-
nilai kehidupan kebangsaan yang dicita-citakan. Ini mengandung arti bahwa
pembaharuan hukum pidana nasional seyogyanya juga harus dilatarbelakangi oleh
sumber-sumber yang berorientasi kepada ide dasar Pancasila.
130
Dalam rangka pembaharuan hukum pidana dalam hal ini ruang lingkup
pembaharuan hukum pidana ada 3 yakni meliputi:
131
1. Pembaharuan substansi hukum pidana;
2. Pembaharuan struktur hukum pidana; dan
3. Pembaharuan budaya hukum pidana
Konsepsi pembaharuan hukum pidana sebagai suatu kebijakan untuk
menanggulangi masalah korupsi harus dilakukan sebagai suatu pembaharuan yang
bersifat komprehensif terhadap “legal system” yang meliputi baik pembaharuan
129 Monang Siahaan, Op.cit, hlm. 1 130Yesmil Anwar, Op.cit, hlm. 25 131 Muliyati Pawennei dan Rahmanuddin Tomalili, Op.cit, hlm.18
Universitas Sumatera Utara
87
substansi hukum (legal substance), struktur hukum (legal structure), dan
pembaharuan budaya hukum (legal culture).
Secara substantif, pembaharuan itu sendiri harus meliputi tiga masalah
pokok dalam hukum pidana, yaitu masalah tindak pidana, masalah
pertanggungjawaban pidana, dan masalah pidana. 132 Untuk itu, pembentukan
RUU KUHP dibentuk dan juga Undang-Undang Tindak pidana korupsi dan
dilihat sebagai gambaran pembaharuan hukum pidana itu sendiri tinggal
bagaimana pengimplementasiannya sehingga misi yang diembannya dapat
diwujudkan. Secara struktural, undang-undang korupsi telah mengamanatkan
kepada pembuat undang-undang untuk membentuk sebuah komisi independen
untuk melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi. Sedangkan dalam
mengembangkan budaya hukum kita perlu secara kritis memeriksa plus minus
tradisi budaya tradisional yang kita miliki. 133
Budaya hukum merupakan suasana pikiran sosial dan kekuatan sosial yang
menentukan bagaimana hukum itu digunakan, dihindari atau bahkan
disalahgunakan. Budaya hukum mempunyai peranan yang besar dalam sistem
hukum, sehingga tanpa budaya hukum, maka sistem hukum akan kehilangan
kekuatannya.
134
132 M.Ali Zaidan, Op.cit, hlm. 364 133 Yesmil Anwar, Op.cit, hlm. 26 134 Mahmud Muliyadi, Criminal Policy Pendekatan Integral Penal Policy dan Non-Penal
Policy dalam Penanggulangan kejahatan kekerasan, Pustaka Bangsa Press, Medan, 2008, hlm.16
Latar belakang kebudayaan Indonesia sebagai faktor yang cukup
menentukan tumbuh suburnya korupsi di negeri ini, seperti sejak zaman dahulu
Universitas Sumatera Utara
88
kebiasaan dalam memberikan upeti kepada rajaraja. 135 Bahkan Barda Nawawie
mengatakan jika ingin terjadinya penegakan hukum yang kompeten atau
tujuannya adalah penegakan terhadap keadilan justru yang dibangun adalah pada
aspek immaterielnya yakni dengan membangun budaya dan nilai-nilai kejiwaan
dari hukum itu sendiri. 136
Jadi ketiga ruang lingkup ataupun sistem hukum tersebut mempunyai
hubungan dan peranan yang tidak terpisahkan. Ketiganya adalah satu kesatuan
yang menggerakkan sistem hukum tersebut sehingga dapat berjalan dengan
lancar. Struktur hukum dapat diibaratkan sebagai mesin yang menghasilkan
sesuatu.
137 Maka dari itu diperlukan adanya perbaikan terhadap ketiga elemen
tersebut yang dilakukan secara simultan dan terintegrasi. Jadi tidak cukup hanya
substansi hukumnya saja yang diperbaharui, mengingat masyarakat menginginkan
agar institusi-instistusi penegak hukum dapat berfungsi secara optimal di dalam
penegakan supremasi hukum di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.138
Dalam hal kali ini yang akan dibahas dalam hal pembaharuan hukum yang
dibahas dalam pembaharuan hukum pidana/KUHP Nasional yang dimana dalam
hal ini dikategorikan sebagai bagian ‘Criminal Policy’ yakni pembaharuan hukum
pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya penanggulangan kejahatan,
dan juga sebagai bagian dari Law enforcement dari Policyyang dimana berarti
135 Elwi Danil, Korupsi Konsep, Tindak Pidana dan Pemberantasannya, PT Rajagrafindo
Persada, Jakarta, 2011, hlm.50 136 Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum &Kebijakan Penanggulangan
Kejahatan , PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hlm.4 137 Mahmud Muliyadi, Op.cit, hlm.16 138 Chaerudin, Syaiful Ahmad dinar dan Syarif Fadillah, Strategi Pencegahan dan
Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi, Refika Aditama, Bandung, 2008, hlm.52
Universitas Sumatera Utara
89
pembaharuan hukum pidana yang pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya
menunjang kelancaran/efektivitas dalam hal penegakan hukum.139
Dalam hal penegakan hukum pidana merupakan kebijakan yang dilakukan
melalui beberapa tahap yakni tahap formulasi, aplikasi, dan eksekusi. Tahap
formulasi adalah tahap penegakan hukum “in abstracto” oleh badan pembuat
undang-undang dan biasanya disebut sebagai tahap legislatif. Lalu pada tahap
aplikasi adalah penerapan hukum pidana yang dilakukan oleh aparat penegak
hukum tahap ini biasa disebut tahap yudikatif. Lalu pada tahap eksekusi adalah
tahapan pelaksanaan putusan hakim yang disebut kebijakan eksekutif atau
administratif.
140 Sebagai bagian dari kebijakan penegakan hukum, pembaharuan
pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya memperbarui substansi hukum
dalam rangka lebih mengefektifkan penegakan hukum.141
Pembaharuan hukum pidana itu sendiri pada hakikatnya berhubungan erat
dengan latar belakang dan urgensi dilakukannya pembaharuan hukum pidana
tersebut.
142
139 Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum &Kebijakan Penanggulangan
KejahatanOp.cit, hlm. 5 140 Monang Siahaan, Op.cit, hlm. 3 141 Elwi Danil, Op.cit, hlm.20 142 Ibid, hlm. 19
Karena berbagai perkembangan dan kebutuhan masyarakat yang
mendesak maka dibuatlah beberapa Undang-Undang Pidana di luar Kitab
Undang-undang hukum Pidana (KUHP). Sekalipun demikian, tuntutan terhadap
perubahan-perubahan materi yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana semakin hari semakin nyata. Dalam penjelasan seorang ahli menegaskan
bahwa konsep pembaharuan hukum pidana harus bersedia untuk meninggalkan
Universitas Sumatera Utara
90
cara-cara positivistik yang kaku dan penuh dengan sistem kapitalisme dan
liberal.143
Pembaharuan hukum pidana (penal reform) merupakan bagian dari
kebijakan/politik hukum pidana (penal policy). Makna pembaharuan hukum
pidana berkaitan erat dengan latar belakang dan urgensi diadakannya
pembaharuan hukum pidana itu sendiri. Latar belakang dan urgensi diadakannya
pembaharuan hukum pidana dapat ditinjau dari aspek sosiopolitik, sosiofilosofis,
sosiokultural, atau dari berbagai aspek kebijakan (khususnya kebijakan sosial,
kebijakan kriminal, dan kebijakan penegakan hukum). Dapat dikatakan, bahwa
pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya harus ditempuh dengan pendekatan
yang berorientasi pada kebijakan dan sekaligus pendekatan yang berorientasi pada
nilai.
144
Dalam rangka pembaharuan hukum pidana nilai-nilai telah
diakomodasikan oleh penyusun RUU KUHP. Hal ini dapat dilihat dari beberapa
prinsip yang terkandung dalam penyusunan rancangan KUHP Nasional yang
antara lain menyebutkan :
145
a. Bahwa hukum pidana dipergunakan untuk menegaskan atau
menegakkan kembali nilai-nilai sosial dasar perilaku hidup
masyarakat, dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dijiwai
oleh falasafah dan ideologi Negara Pancasila;
143 Yesmil Anwar, Op.cit, hlm. 21 144 Barda Nawawi Loc.cit, hlm. 29 145 Muliyati Pawennei dan Rahmanuddin Tomalili, Op.cit, hlm. 20
Universitas Sumatera Utara
91
b. Bahwa hukum pidana sedapat mungkin hanya dipergunakan dalam
keadaan di mana cara lain melakukan pengendalian sosial tidak mau
atau belum dapat diharapkan keefektifannya;
Dalam tindak pidana korupsi juga dilihat memang perlu ada pembaharuan
atau reformasi dalam hukum pidana yakni dengan membentuk Undang-undang
yakni dengan membentuk RUU KUHP. Pembentukan RUU KUHP yang diajukan
ke DPR tahun 2006, telah memiliki sejarah yang cukup lama sejak tahun
1981. 146 Kini pembahasan RKUHP berlanjut di tahun 2018. Tentu, sejumlah
permasalahan rumusan pasal tersebut seyogyanya segera diatasi. Terlebih,
RKUHP ini masuk sebagai salah satu RUU Prolegnas Prioritas 2018. Hal ini agar
tidak menimbulkan polemik dan menuai “gugatan” setelah nantinya disahkan
dalam rapat paripurna DPR. Karena itu, pembentuk UU perlu lebih terbuka untuk
mensosialisasikan hasil pembahasan terutama pasal-pasal yang masih menjadi
polemik di masyarakat.147
Karena problematika pembaharuan hukum pidana ini merupakan suatu
upaya dalam pembangunan sistem hukum nasional, yakni dengan mengganti
produk-produk hukum dari kolonial yang juga merupakan tuntutan dan amanat
dari proklamasi. Akan tetapi, pembaharuan hukum pidana yang menyeluruh
hingga dewasa ini masih merupakan suatu masalah besar, dan masih berlangsung
sebagai bagian dari pembangunan hukum.
148
146 Yesmil Anwar, Op.cit, hlm. 31
Dalam penegakan hukum terhadap
147http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5a42131b82c60/sekilas-sejarah-dan-problematika-pembahasan-rkuhp
148 Elwi Danil Op.cit, hlm. 20
Universitas Sumatera Utara
92
tindak pidana korupsi memperlihatkan bahwa penegak hukum sebenarnya telah
berani dan bersungguh-sungguh dalam memberantas korupsi. 149 Namun hingga
kini korupsi justru semakin akut atau semakin massif sehingga penegak hukum
tidak mampu memberantas secara tuntas bahkan hingga sekarang sampai setengah
tuntas pun tidak dapat tercapai.150
B. Pengertian Kebijakan Formulasi Hukum
Kebijakan kriminal (hukum pidana) dengan perkembangan kejahatan,
yaitu bahwa dalam konteks penegakan hukum yang mempergunakan pendekatan
sistem, Romli Atmasasmita menyatakan terdapat hubungan pengaruh timbal balik
yang signifikan antara perkembangan kejahatan dan kebijakan kriminal yang telah
dilaksanakan oleh aparatur penegak hukum. 151 Kebijakan Kriminal (Criminal
Policy) merupakan bagian dari Politik Hukum Pidana (Criminal Law Policy).
Kebijakan Kriminal merupakan cabang ilmu baru yang berobjekkan kejahatan di
mana hukum pidana dan Kriminologi telah lebih dahulu muncul sebelum
kebijakan kriminal ini. 152 Tujuan akhir atau tujuan utama dari politik kriminal
ialah “perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat.”153
149 Yesmil Anwar, Op.cit, hlm. 272 150 Monang Siahaan, Loc.cit 151 Muliyati Pawennei dan Rahmanuddin Tomalili, Op.cit, hlm. 27 152 M.Ali Zaidan, Op.cit, hlm.99 153 Barda Nawawie Arief, Op.cit hlm.4
Universitas Sumatera Utara
93
Dari yang telah dibahas sebelumnya mengenai kebijakan kriminal atau
(criminal policy) dapat disederhanakan menjadi 2 kebijakan yakni:154
1. Kebijakan Penal (penal policy) yang biasa disebut dengan “criminal
law application.” Dalam hal ini yang menjadi fokus adalah di bidang
hukum pidananya jadi dapat dikatakan ini adalah kebijakan hukum
pidana.
2. Lalu yang kedua adalah kebijakan non-penal (non-penal policy) yang
terdiri dari “prevention without punishment” dan “influencing views of
society on crime and punishment (mass media).”
Dikarenakan dalam hal kebijakan formulasi hukum pidana ini merupakan
bagian dari (penal policy) maka ada baiknya dengan menjabarkan terlebih dahulu
apa arti dari kebijakan atau politik hukum pidana.
Sudarto menyatakan:
Politik hukum merupakan usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu saat. Politik hukum juga diartikan sebagai kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.155
Dari pengertian di atas Prof. Sudarto selanjutnya menyatakan, bahwa
melaksanakan “politik hukum pidana“ berarti mengadakan pemilihan untuk
mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik dalam arti
154 Bahan Kuliah Politik Hukum Pidana Mahmud Muliyadi 155 Muliyati Pawennei dan Rahmanuddin Tomalili, Hukum Pidana, Mitra Wacana Media,
Jakarta, 2015, hlm.27
Universitas Sumatera Utara
94
memenuhi syarat keadilan dan daya guna. Dalam kesempatan lain beliau
menyatakan, bahwa melaksanakan “politik hukum pidana” berarti, “usaha
mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan
dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang. Dengan
demikian, dilihat sebagai bagian dari politik hukum, maka politik hukum pidana
mengandung arti, bagaimana mengusahakan atau membuat dan merumuskan
suatu perundang-undangan pidana yang baik. 156 Sedangkan Marc Ancel
mengemukakan bahwa penal policy adalah suatu ilmu sekaligus seni yang pada
akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif
dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberikan tidak hanya kepada pembuat
undang-undang, tetapi juga kepada pengadilan yang menerapkan undang-undang
dan juga kepada para penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan.157
Melaksanakan politik hukum pidana berarti berusaha mewujudkan
peraturan perundang-undangan yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada
waktu dan untuk masa-masa yang akan dating.
158
156 Barda Nawawie Arief, Bunga rampai Kebijakan Hukum Pidana (Perkembangan
Penyusunan Konsep KUHP Baru) Op.cit hlm. 23 157 Barda Nawawie Arief, Masalah Penegakan Hukum &Kebijakan Penanggulangan
KejahatanOp.cit hlm. 23 158 M.Ali Zaidan, Op.cit hlm. 63
Usaha dan kebijakan untuk
membuat peraturan hukum pidana yang baik pada hakikatnya tidak dapat
dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan. Jadi, kebijakan atau politik
hukum pidana juga merupakan bagian dari politik criminal (criminal policy),
politik hukum pidana ini identik dengan penanggulangan kejahatan.
Digunakannya hukum pidana di Indonesia sebagai sarana untuk menanggulangi
Universitas Sumatera Utara
95
kejahatan.159 Politik hukum pidana juga merupakan penentu dari garis kebijakan
yakni yang ditentukannya adalah :160
a. Seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu
dilakukan perubahan atau diperbaharui;
b. Cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan, dan pelaksanaan
pidana harus dilaksanakan;
c. Apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya kejahatan.
Berdasarkan defenisi-defenisi mengenai politik hukum pidana maka dapat
disimpulkan bahwa politik hukum pidana merupakan upaya menentukan arah dari
pemberlakuan hukum pidana akan ke arah mana pemberlakuan hukum pidana
Indonesia di masa yang akan datang dengan melihat penegakannya pada saat ini.
Hal ini juga sangat berkaitan dengan konseptualisasi hukum pidana yang paling
tepat untuk diterapkan.161
Kebijakan formulasi hukum pidana yang berupaya untuk mencapai
tujuannya melalui kebijakan kriminal dengan menggunakan sarana penal (hukum
pidana), yang digunakan sebagai pendekatan dalam penanggulangan kejahatan
tersebut. Hal ini merupakan pembentukan hukum baru yang mengkriminalisasikan
atau mendekriminalisasikan (kriminalisasi atau dekriminalisasi) suatu perbuatan
yang dapat dijadikan sebagai tindak pidana (kriminalisasi) sebagaimana yang
dirumuskan dalam undang-undang pidana dan dapat diancam dengan pidana; dan
159 Yesmil Anwar, Op.cit, hlm. 58 160Ibid, hlm. 59 161 Bahan Kuliah Politik Hukum Pidana Mahmud Muliyadi
Universitas Sumatera Utara
96
sebaliknya, yaitu dihilangkan sama sekali sifat dapat dipidananya suatu
perbuatan.162
Seperti yang dikatakan kebijakan formulasi dalam hukum pidana yang
menggunakan sarana penal atau melalui hukum pidana, dengan adanya tahap
formulasi maka upaya pencegahan atau penanggulangan kejahatan bukan hanya
tugas aparat penegak hukum akan tetapi juga menjadi tugas aparat pembuat
hukum. Bahkan kebijakan formulasi adalah tahap paling strategis dalam hal
penanggulangan kejahatan dari segi “penal policy”.
163
C. Kebijakan Formulasi Hukum Pidana Dalam Tindak Pidana Korupsi
dilihat dari RUU KUHP
Seperti yang sudah dibahas dalam pembahasan di atas kebijakan formulasi
ini tujuannya adalah agar ke depannya dapat mencapai hasil perundang-undangan
yang paling baik. Fungsi kebijakan formulasi hukum pidana dalam suatu
masyarakat ada beberapa yakni:164
1. Membentuk hukum baru;
2. Memperkuat hukum yang sudah ada;
3. Memperjelas batasan ruang lingkup fungsi hukum yang sudah ada.
Dari beberapa fungsi dari kebijakan formulasi di atas kita dapat melihat
dalam hal penanggulangan tindak pidana korupsi yang ada sekarang dan yang
162 Muliyati Pawennei dan Rahmanuddin Tomalili, Op.cit hlm. 27 163 Barda Nawawie Arief, Op.cit hlm. 75 164Muliyati Pawennei dan Rahmanuddin Tomalili, Op.cit hlm. 30
Universitas Sumatera Utara
97
akan atau sedang dibentuk yakni dengan adanya melaksanakan fungsi dari
membentuk hukum baru. Jika kita melihat dari segi membentuk hukum baru hal
tersebut sudah terlaksana dengan pembentukan RUU KUHP yakni memang dalam
RUU KUHP melakukan perubahan terhadap beberapa pasal yang diadopsi dalam
pasal-pasal yang terdapat di dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi
perubahan dalam pasal 2 ayat 1 dan juga perubahannya dalam RUU KUHP dan
beberapa pasal lain yang diubah berikut adalah beberapa pasal dalam RUU KUHP
yang diubah dari pasal-pasal yang ada dalam Undang-Undang Tindak Pidana
korupsi:
Pasal 688 RUU KUHP yang rumusan ketentuannya berasal dari pasal 3 Undang-
Undang Tindak Pidana Korupsi isinya adalah berikut:
Pasal 688 RUU KUHP:
Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Kategori II dan paling banyak Kategori IV.
Pasal 689 RUU KUHP yang rumusan ketentuannya berasal dari pasal 3 Undang-
Undang Tindak Pidana Korupsi isinya adalah berikut:
Pasal 689 RUU KUHP: Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan/atau denda paling sedikit Kategori II dan paling banyak Kategori IV.
Universitas Sumatera Utara
98
Pasal 690 RUU KUHP yang rumusan ketentuannya berasal dari pasal 5 Undang-
Undang Tindak Pidana Korupsi isinya adalah berikut:
(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Kategori II dan paling banyak Kategori IV setiap orang yang: c. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau
penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; atau
d. Memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.
(2) Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 691 RUU KUHP yang rumusan ketentuannya berasal dari pasal 12 B
Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi isinya adalah berikut:
(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Kategori II dan paling banyak Kategori IV setiap orang yang: c. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud
untuk memengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili; atau
d. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan dengan maksud untuk memengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili.
(2) Bagi hakim yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau advokat yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 699 RUU KUHP yang rumusan ketentuannya berasal dari pasal 12 B
Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi isinya adalah berikut:
Universitas Sumatera Utara
99
(3) Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut: c. yang nilainya Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih,
pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi;
d. yang nilainya kurang dari Rp. 10.000.000.00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut merupakan suap dilakukan oleh penuntut umum.
(4) Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Kategori II dan paling banyak Kategori V.
Pasal 700 RUU KUHP yang rumusan ketentuannya berasal dari pasal 12 C
Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi isinya adalah berikut:
(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 699 tidak berlaku, jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
(6) Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilakukan oleh penerima gratifikasi paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima.
(7) Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal menerima laporan wajib menetapkan gratifikasi dapat menjadi milik penerima atau milik negara.
(8) Ketentuan mengenai tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan penentuan status gratifikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur dalam Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pasal 702 RUU KUHP yang rumusan ketentuannya berasal dari pasal 14 Undang-
Undang Tindak Pidana Korupsi isinya adalah berikut:
Setiap orang yang melanggar ketentuan Undang-Undang yang secara tegas menyatakan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan Undang-Undang tersebut sebagai tindak pidana korupsi berlaku ketentuan yang diatur dalam Bab ini dan Undang-Undang yang mengatur mengenai Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Universitas Sumatera Utara
100
Pasal 703 RUU KUHP yang rumusan ketentuannya berasal dari pasal 15 Undang-
Undang Tindak Pidana Korupsi isinya adalah berikut:
Setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan, atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi, dipidana dengan dipidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 687, Pasal 688, Pasal 689 sampai dengan Pasal 702
Dan ada satu pasal yang baru di dalam RUU KUHP yakni adalah pasal 698. Pasal
ini adalah pasal yang mengkhususkan kepada orang-orang yang melakukan tindak
pidana atau pelaku tindak pidana korupsi yang nilainya kurang dari Rp.
5.000.000,00 berikut adalah isinya:
(1) Ketentuan mengenai pidana penjara dan pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 690, Pasal 691, Pasal 692, Pasal 693, Pasal 694, Pasal 695, Pasal 696 dan Pasal 697 tidak berlaku bagi tindak pidana korupsi yang nilainya kurang dari Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah).
(2) Bagi pelaku tindak pidana korupsi yang nilainya kurang dari Rp.5.000.000,00 (lima juta rupiah) sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak kategori II.
Dari beberapa pasal di atas telah dikemukakan pasal-pasal yang telah
diperbaharui dan yang menjadi perbedaan adalah:
a. Beberapa penggolongan kategori pidana denda terhadap tindak
pidana termasuk tindak pidana korupsi digolongkan di dalam
pasal 82 RUU KUHP;
b. Dalam naskah RUU KUHP mengenai tindak pidana korupsi
terbaru akan adanya penghilangan kata dapat di dalam pasal 687
dan pasal 688 RUU KUHP karena mengikuti putusan MK
25/PUU-XIV/2016 yang menitikberatkan adanya akibat delik
materiil. Dikarenakan dalam unsur merugikan negara harus
Universitas Sumatera Utara
101
adanya ketegasan dan jikalau memakai kata dapat seperti halnya
perkiraan dan menimbulkan ketidakpastian hukum.
c. Dalam beberapa pasal juga ada yang ancaman pidana dendanya
di bagian minimal menjadi menurun dan bagian maksimal
ancaman pidananya tinggi
Jadi dari beberapa pasal-pasal yang sudah disebutkan di atas adalah bentuk
dari bagaimana akan berlakunya Undang-Undang kita ke depannya khususnya
dalam pengaturan tindak pidana korupsi. Dari segi semangat dan fungsi dari
kebijakan formulasi hukum pidana kita ketahui memang adalah hal yang memang
sudah mencakup dalam pembentukan hukum baru, namun pembentukan RUU
KUHP ini juga memunculkan kontroversial di kalangan para ahli hukum pidana
dan penegak hukum pidana khususnya Komisi Pemberantasan Korupsi. Hal itu
terjadi karena disebabkan oleh banyak yang berpendapat pasal-pasal yang ada di
dalamnya memunculkan dampak bahwa akan berdampak kurang baik apalagi
dengan eksisnya tindakan represif KPK belakangan ini yaitu dengan tindakan
OTT yang dinilai cukup memperlihatkan bahwa kinerja pemberantasan korupsi
yang cukup efektif yang diperlihatkan oleh KPK seperti tidak ada yang dapat lolos
dari KPK.
Banyak yang salah sangka dan khawatir mengenai nasib KPK setelah
terbentuknya RUU KUHP ini akan langsung meniadakan Undang-Undang Tindak
Pidana Korupsi yang menjadi dasar dari bertindaknya KPK. Seperti yang
dikemukakan oleh Prof J.E. Sahetapy yang mengatakan
Universitas Sumatera Utara
102
“bahwa kodifikasi tidak boleh diartikan seluruh tindak pidana, harus disusun dalam satu buku. Artinya, RUU KUHP harus dilakukan melalui proses pengkajian yang kritis. Dengan demikian, delik korupsi tidak layak dimasukan dalam RUU KUHP. Supaya tidak salah paham, kodifikasi adalah menghimpun semua peraturan yang ada dalam satu buku. Tapi itu tidak berarti tidak boleh ada peraturan di luar buku itu. Itu yang saya kira ada kesalahpahaman. Kodifikasi bisa saja dilakukan, tapi itu tidak berarti tidak boleh ada peraturan lain di luar kodifikasi.”165
Dalam bahan kuliah Dr Shinta Agustina dosen Universitas Andalas
mengatakan bahwasanya jikalau tindak pidana korupsi dimasukkan ke dalam
KUHP nasional nantinya akan menghilangkan sifatnya sebagai extraordinary
crime maka diharuskan untuk ditangani secara khusus. Instrument yang
seharusnya dapat bekerja secara optimal, cepat dan efektif maka tidak lagi ada
jikalau dimasukkan ke dalam RUU KUHP.
Dari beberapa ahli banyak yang kurang setuju dengan adanya RUU KUHP
memuat mengenai tindak pidana korupsi di dalamnya dikarenakan akan adanya
pemotongan terhadap wewenang yang dipegang oleh Komisi Pemberantasan
Korupsi secara perlahan. Karena KPK tidak bisa berkerja jika tidak dengan
Undang-Undang Tindak pidana korupsi dan juga beberapa ahli takut mengenai
status tindak pidana korupsi akan menjadi ketentuan umum yang dimana
berakibat pada bagian dari cara-cara menyidik, menuntut atau mengadili akan
bersifat umum padahal ada bab khusus dalam RUU KUHP yang mengatur
mengenai tindak pidana khusus.
166
165
Dari pendapat yang dikatakan oleh
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5354e9ac8dcd0/pro-kontra-delik-tindak-pidana-korupsi-dalam-ruu-kuhp
166https://antikorupsi.org/sites/default/files/doc/Regulasi/TPK%20dalam%20RUU-KUHP-Shinta%20Agustina.pdf
Universitas Sumatera Utara
103
beliau cukup beralasan dikarenakan selama ini KUHP hanya berisi tindak pidana
biasa dan belum ada bab khusus yang mengatur mengenai tindak pidana khusus.
Pada sudut pandang lain juga melihat bahwa memasukkan tindak pidana
korupsi ke dalam RUU KUHP juga dianggap blunder oleh penegak hukum seperti
halnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dikarenakan batasan ruang lingkup
hukumnya menjadi tidak jelas dikarenakan bias saja terjadinya antara Undang-
Undang Tindak Pidana Korupsi berseberangan dengan RUU KUHP. Dalam hal
lain juga KPK menyoroti bahwa jikalau suatu tindak pidana dikodifikasi maka
akan sulit dalam hal amandemennya dan hal yang ditakutkan adalah RUU KUHP
tidak dapat secara cepat mengikuti perkembangan zaman yang bisa saja
memunculkan berbagai modus operandi yang baru dalam melakukan tindak
pidana khususnya tindak pidana korupsi dan dianggap oleh pihak KPK adalah
tidak sesuai dengan semangat dari kebijakan hukum pidana itu sendiri.167
Beberapa pendapat di atas adalah dari pihak-pihak yang tidak setuju
mengenai masuknya delik korupsi di dalam RUU KUHP dan jika dilihat dari
sudut pandang pihak yang berbeda khususnya adalah tim dari penyusun RUU
KUHP itu sendiri yakni dari Badan Pembina Hukum Nasional (BPHN). Mereka
berpandangan bahwasanya konsep dari RUU KUHP itu sendiri tidak ingin
melemahkan KPK tapi ingin mencapai dari atau mengekspresikan dari nilai-nilai
apa yang terkandung di masyarakat Indonesia saat ini dan juga
mengkonsolidasikan nilai-nilai budaya bangsa yang ada dalam Negara kita ini.
167https://nasional.tempo.co/read/1094959/10-alasan-kpk-tolak-masuknya-delik-
korupsi-dalam-rkuhp
Universitas Sumatera Utara
104
Tim perumus RUU KUHP juga ingin menyeimbangkan antara nilai nasional dan
Internasional mereka juga mengadopsi kaidah-kaidah hukum internasional
terhadap pembentukan RUU KUHP.
Untuk itulah tiap tindak pidana akan dimasukkan ke dalam KUHP
nasional nantinya sebenarnya juga ini adalah cita-cita dari beberapa pakar hukum
pidana yang menginginkan bahwa adanya pembaharuan hukum khususnya
terhadap KUHP yang sudah lama dipakai dan dinilai tidak relevan lagi terhadap
perkembangan zaman. Hal ini lah yang membuat dimasukkannya tindak pidana
korupsi dan yang lain ke dalam RUU KUHP hal ini juga dalam rangka
rekodifikasi dan konsolidasi dan memang menurut pandangan salah satu tim ahli
penyusun RUU KUHP yakni Prof Eddy OS Hiariej memasukkan hukum pidana
khusus internal ke dalam RUU KUHP tidak akan menghilangkan sifat kekhususan
dari tindak pidana tersebut dan juga tidak menghilangkan sifat kewenangan
lembaga-lembaga khusus seperti KPK. Hal ini didasarkan pada argumentasi
teoretik yakni sebagai berikut:168
1. Delik korupsi, pelanggaran HAM berat, terorisme, dan narkotika berada
pada bab tindak pidana khusus;
2. Substansi delik-delik a quo hanyalah bersifat pidana pokok atau core
crime dan tidak menghapus Undang-Undang yang masih berlaku
sekarang;
3. Mengenai delik korupsi yang direformulasi hanyalah dalam Pasal 2 ayat
(1), Pasal 3, Pasal 5, Pasal 11, dan Pasal 13. Padahal, berdasarkan
168 Harian Kompas, Lex Specialis dalam Hukum Pidana hlm.7 terbit pada 12 Juni 2018
Universitas Sumatera Utara
105
Undang-Undang tindak pidana korupsi ada 30 perbuatan yang
dikualifikasikan sebagai korupsi sementara yang direformulasi ada 5 yang
artinya 25 ketentuan yang lain yang berada dalam Undang-Undang Tindak
Pidana Korupsi masih tetap berlaku;
4. Berdasarkan pasal 729 RUU KUHP kewenangan KPK dan lembaga lain
masih tetap berlaku.
Melihat dari konsep atau rancangan yang sedang dirumuskan oleh Tim
penyusun RUU KUHP khususnya delik mengenai tindak pidana korupsi cukup
relevan sebagai kebijakan hukum pidana untuk pemberantasan atau
penanggulangan tindak pidana korupsi yang akan datang. Karena banyak dari
konsep-konsep yang sudah dirancang menyesuaikan dengan kebutuhan hukum di
zaman yang akan datang dan memang RUU KUHP yang dibentuk ini juga berasal
dari nilai-nilai budaya bangsa dan memang mewujudkan cita-cita mengenai
Indonesia harus mempunyai KUHP yang dibentuk oleh Negara sendiri.Namun
tidak dipungkiri memang dalam beberapa pasal masih terdapat beberapa yang
harus dan perlu lebih diperjelas lagi seperti halnya bentuk-bentuk gratifikasi yang
sekarang makin meluas dan beberapa ukuran minimum dan maksimum tindak
pidana juga belum sesuai dengan kesadaran dan budaya hukum masyarakat
Indonesia.
Universitas Sumatera Utara
106
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Formulasi mengenai Undang-Undang Tindak Pidana korupsi atau
mengenai ketentuan Tindak Pidana Korupsi harus didasari oleh Undang-
Undang Tindak Pidana Korupsi yakni mencakup mengenai perbuatan
melawan hukum (formil dan materiil) dan dengan maksud memperkaya diri
sendiri, dan ditambah dengan beberapa unsur lain seperti merugikan
keuangan atau perekonomian Negara. Undang-Undang Tindak Pidana
Korupsi juga memberikan pengelompokan terhadap setiap tindak pidana
korupsi yang berbeda-beda jenis yakni kelompok tindak pidana penyuapan,
kelompok tindak pidana perbuatan curang, kelompok tindak pidana
memalsukan buku atau daftar pemerikasaan, kelompok tindak pidana dan
kelompok tindak pidana yang menerima hadiah atau janji.
2. Kebijakan formulasi hukum pidana khususnya terhadap tindak pidana
korupsi ini merupakan 2 hal yang sekaligus dilakukan yakni dalam rangka
membangun sistem hukum pidana nasional yang kuat yakni dengan
memperbaharui KUHP juga dalam rangka memperbaharui aturan yang
mengatur tentang tindak pidana korupsi dikarenakan sudah banyak yang
menjadi perdebatan seperti kata-kata dapat merugikan Negara yang menjadi
celah bagi para pelaku untuk dapat melakukan pembelaan karena sifat
dalam kata dapat seperti hanya berkira-kira. Dalam kebijakan formulasi
106
Universitas Sumatera Utara
107
mendatang juga khususnya mengenai korupsi yang ada di dalam RUU
KUHP merupakan gambaran dari semangat pembaharuan hukum pidana
yakni dengan pendekatan yang berorientasi pada nilai dan diaplikasikan
dalam bentuk kebijakan hukum pidana. Karena kali ini KUHP yang
dibangun adalah berasal dari nilai-nilai bangsa dan budaya Indonesia
Sendiri dan yang dimasukkan ke dalam KUHP sebagai corong hukum
pidana hanya memasukkan core crime dan masih memberi jalan bagi
Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi untuk tetap diberlakukan.
B. Saran
1. Perlu adanya perubahan terhadap Undang-Undang Tindak pidana korupsi
sehingga sesuai dengan perkembangan zaman yang memunculkan
berbagai modus operandi baru. Perubahan yang dimaksudkan adalah
dengan setidaknya memperbaharui undang-undang tindak pidana korupsi
yang sekarang ini secara intensif. Dalam formulasi hukum pidana yang
saat ini dipakai yakni Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi memang
sudah cukup efektif dalam penegakan hukumnya dan kalau dilihat jejak
penggunaannya cukup efektif dengan adanya OTT yang diberlakukan
KPK. Akan tetapi tetap harus adanya pembaharuan di bagian Undang-
Undangnya.
2. Diharapkan dalam RUU KUHP yang sekarang memang perlu harus benar-
benar dirumuskan secara jelas karena dalam rangka mengamandemen atau
merevisinya kembali akan sangat sulit berbeda dengan KUHP yang ada di
Universitas Sumatera Utara
108
Belanda yang memang secara intensif dilakukan pembaharuan. Jikalau ada
rencana memang ingin memperkuat bagian pencegahan oleh DPR sebagai
masukan adalah dengan memberikan kewenangan lebih terhadap lembaga
pendukung dari KPK seperti Ombudsman, PPATK dan barbagai lembaga
lain. Yakni ada beberapa yang masih dikategorikan belum sempurna oleh
Panja DPR mengenai RUU KUHP seperti perluasan arti gratifikasi,
maksud dari siapa saja pegawai negeri sipil dan banyak lagi. Terlepas dari
hal itu RUU KUHP ini juga harus dirancang agar terhadap kebutuhan
sosial khususnya dalam pemberantasan tindak pidana korupsi di masa
yang akan datang.
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR PUSTAKA
Buku :
Ali, Mahrus, 2016, Hukum Pidana Korupsi, UII Press, Yogyakarta.
Anwar,Yesmil,2008, Pembaharuan Hukum Pidana Reformasi Hukum Pidana
Gramedia Widiawarsana Indonesia, Jakarta.
Biro Hukum Dan Humas Badan Urusan Administrasi Republik Indonesia, 2015,
Kompilasi Penerapan Hukum Oleh Hakim dan Strategi
Pemberantasan Korupsi, Jakarta.
Chazawi, Adami, 2002, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, Rajawali Grafindo
Persada, Jakarta.
______________, 2008, Pelajaran Hukum Pidana, Raja Grafindo, Jakarta.
______________, 2017, Hukum Pidana Korupsi di Indonesia, Rajawali Pers,
Jakarta.
Danil, Elwi, 2011, Korupsi Konsep, Tindak Pidana dan Pemberantasannya, PT
Rajagrafindo Persada, Jakarta.
Departemen pendidikan dan Kebudayaan, 2001, Kamus Besar Bahasa, Balai
Pustaka, Jakarta.
Dinar, Ahmad, Syaiful, Chairuddin dan Syarif Fadillah, 2008, Strategi
Pencegahan dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi,
Refika Aditama, Bandung.
Ediwarman, 2015, Monograf metodologi Penelitian Hukum : Panduan Penulisan
Skripsi, Tesis, dan Disertasi, Sofmedia, Medan.
Effendy, Marwan, 2010, Pemberantasan Korupsi dan Good Governance,Timpani
Publishing, Jakarta.
Universitas Sumatera Utara
______________, 2012, Kapita Selekta Hukum Pidana, Referensi, Jakarta.
Ekaputra, Muhammad, 2010, Dasar-dasar Hukum pidana, Medan,USU press, Medan.
Hamdan, H.M, 2008, Pembaharuan Hukum Tentang Alasan Penghapus Pidana,
USU Press, Medan.
Hamzah, Andi, 2013, Terminologi Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta.
Kristian dan Yopi Gunawan, 2015, Tindak Pidana Korupsi Kajian terhadap
harmonisasi antara hukum nasional dan The united Nations
Convention Against Corruption (UNCAC), Refika Aditama,
Bandung.
Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1992, Bunga Rampai Hukum Pidana, Alumni,
Bandung.
Muliyadi, Mahmud, 2008, Criminal Policy Pendekatan Integral Penal Policy dan
Non-Penal Policy dalam Penanggulangan kejahatan kekerasan,
Pustaka Bangsa Press, Medan.
_______________, Bahan Kuliah Politik Hukum Pidana
Nawawie Arief, Barda, 2000, Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan
Kejahatan Dengan Pidana Penjara, Badan Penerbit Universitas
Diponegoro, Semarang.
____________________, 2001, Masalah Penegakan Hukum &Kebijakan
Penanggulangan Kejahatan , PT Citra Aditya Bakti, Bandung.
____________________, 2003, Kapita Selekta Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung.
___________________, 2008, Bunga rampai Kebijakan Hukum Pidana
(Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru), Kencana,
Jakarta.
Universitas Sumatera Utara
Pambudi, Ninuk Marniana, 2011, Reformasi Saja Tak Cukup Butuh Transformasi
Tata Kelola, PT Kompas Media Nusantara, Jakarta.
Pawenei, Muliyati dan Rahmanuddin Tomalili, 2015, Hukum Pidana, Mitra
Wacana Media, Jakarta.
Prayudi, Guse, 2010, Tindak Pidana Korupsi Dipandang Dalam Berbagai Aspek,
Pustaka Pena, Yogyakarta.
Rahmah, A dan Amiruddin Pabbu, 2015 Kapita Selekta Hukum Pidana, Mitra
Wacana Media, Jakarta.
Salam, Faisal, 2004, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Penerbit Pustaka,
Bandung.
Singarimbun, Masri dan Sofian Efendi, 2008, Metode Penelitian Survei, Pustaka
LP3ES Indonesia, Jakarta.
Siahaan, Monang, 2016, Pembaharuan Hukum Indonesia, Grasindo, Jakarta.
Subekti dan Tjitrosodibio, 1973, Kamus Hukum, Penerbit Pradnya Paraminta,
Jakarta.
Sunggono, Bambang, 2003, Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada,
Jakarta.
Surachmin dan Dr. Suhandi, 2011, Cahaya, Strategi & Teknik Korupsi
Mengetahui Untuk Mencegah, Sinar Grafika, Jakarta.
W.J.S, Poerwadinata, 1976, Kamus Hukum Bahasa Indonesia, Penerbit Balai
Pustaka, Jakarta.
Yunara, Edi, 2005, Korupsi dan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Citra
Aditya Bakti, Bandung.
Universitas Sumatera Utara
Zaidan, M. Ali, 2015, Menuju Pembaharuan Hukum Pidana, Sinar Grafika,
Jakarta.
Undang-Undang:
Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi
Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
No. 31 Tahun 1999
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Internet:
https://antikorupsi.org/sites/default/files/doc/Regulasi/NARASI%20Power%20Point-Agustinus%20Pohan.pdf, 9 Mei 2018 Jam 9:50 WIB.
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5a42131b82c60/sekilas-sejarah-dan-problematika-pembahasan-rkuhp 1 Juni 2018 Jam 22:15 WIB.
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5354e9ac8dcd0/pro-kontra-delik-tindak-pidana-korupsi-dalam-ruu-kuhp 5 Juni 2018 Jam 21:00 WIB.
https://antikorupsi.org/sites/default/files/doc/Regulasi/TPK%20dalam%20RUU-KUHP-Shinta%20Agustina.pdf 7 Juni 2018 Jam 18:30 WIB. https://nasional.tempo.co/read/1094959/10-alasan-kpk-tolak-masuknya-delik-korupsi-dalam-rkuhp 10 Juni 2018 Jam 16:45 WIB.
Universitas Sumatera Utara
Sumber Lainnya:
Harian Kompas, Lex Specialis dalam Hukum Pidana hlm.7 terbit pada 12 Juni
2018
Universitas Sumatera Utara
top related