kata sambutan pberkas.dpr.go.id/puskajiakn/ringkasan-telaahan/public...a) beberapa dinas/skpd yang...
Post on 31-Oct-2020
5 Views
Preview:
TRANSCRIPT
i
KATA SAMBUTAN
uji syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa
atas segala rahmatNYA sehingga atas perkenan-Nya kami
dapat menyelesaikan Kutipan dan Telahan Hasil
Pemeriksaan BPK RI Semester I Tahun 2016 atas Laporan
Keuangan Kementerian/Lembaga Tahun Anggaran 2015 yang
disusun oleh Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara Badan
Keahlian DPR RI hingga selesai .
Dalam kesempatan ini, saya ingin menyampaikan bahwa Akuntabilitas adalah evaluasi
terhadap proses pelaksanaan kegiatan/kinerja organisasi untuk dapat
dipertanggungjawabkan sekaligus sebagai umpan balik bagi pimpinan organisasi untuk
dapat lebih meningkatkan kinerja organisasi pada masa yang akan datang. Dengan
demikian diharapkan akuntabilitas dapat mendorong terciptanya kinerja yang baik dan
terpercaya.
Di Indonesia, sebagai negara berkembang, tema akuntabilitas sudah menjadi
jargon yang terus dibicarakan oleh banyak kalangan. Jangankan media massa dan elit,
istilah ini bahkan sudah mulai digunakan oleh komunitas terpinggirkan yang umumnya
dalam bentuk kritik atas praktek penganggaran baik APBN maupun APBD. Persoalan
akuntabilitas bukan lagi wacana, tapi anggaran tidak akuntabel mulai disadari bahkan
oleh kelompok masyarakat sebagai salah satu problem mendasar di ranah pengambilan
keputusan publik kita.
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia yang mempunyai 3 (tiga) fungsi
yaitu fungsi Legislasi, fungsi Anggaran dan fungsi Pengawasan yang juga menerima hasil
pemeriksaan BPK secara berkala tentunya akan ditindaklanjuti oleh DPR dalam Raker,
RDP dengan mitra kerja.
Dengan demikian kehadiran Badan Keahlian DPR RI sebagai supporting system
Dewan di bidang keahlian pada umumnya dan Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan
Negara pada khususnya dapat mendukung kelancaran pelaksanaan wewenang dan tugas
DPR RI di bidang pengawasan berupa hasil kajian dan analisis terhadap laporan hasil
pemeriksaan BPK RI atas laporan keuangan, laporan kinerja dan pemeriksaan dengan
tujuan tertentu yang disusun oleh Kementerian/Lembaga pemerintah pusat. Untuk itu,
dokumen yang hadir dihadapan ini merupakan satu diantara hasil kajian yang disusun
oleh Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara yang dinamakan dengan judul ‘Hasil
Telaahan Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara BKD Atas Hasil Pemeriksaan BPK’.
Kami menyadari bahwa dokumen ini masih banyak memiliki kekurangan. Untuk
itu saran dan masukan serta kritik konstruktif guna perbaikan isi dan struktur penyajian
P
ii
sangat kami harapkan, agar dapat dihasilkan kajian atas telaahan yang lebih baik di masa
depan. Akhir kata, kami mengucapkan terima kasih atas perhatian dan kerjasama semua
pihak.
iii
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,
uji syukur kami panjatkan kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa
yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga
Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara (PKAKN) dalam
rangka memberikan dukungan (supporting system) keahlian dapat
menyusun dan menyajikan Kutipan dan Telaahan Hasil Pemeriksaan
BPK RI Semester I Tahun 2016 Atas Laporan Keuangan
Kementerian/Lembaga Tahun Anggaran 2015 kepada Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
Kutipan dan Telaahan ini dapat dijadikan awal bagi komisi-komisi untuk melakukan pendalaman atas
kemampuan dan kinerja mitra kerja dalam mempertanggungjawabkan pengelolaan keuangan negara,
serta dapat melengkapi sudut pandang atas kualitas Opini BPK dan rekomendasi BPK terhadap kinerja
sektor publik.
Dengan terbitnya buku kutipan dan telaahan ini semoga dimanfaatkan sebagai bahan dalam rapat-
rapat Alat Kelengkapan Dewan dalam menindaklanjuti rekomendasi BPK.
P
iv
DAFTAR ISI
1. Kata Sambutan Kepala Badan Keahlian DPR RI ......................................... i
2. Kata Pengantar Kepala Pusat Kajian Akuntabilitas
Keuangan Negara ......................................... iii
3. Daftar Isi ......................................... iv
4. Gambaran Umum Kementerian Perindustrian ......................................... 1
5. LHP Kementerian Perindustrian ......................................... 2
6. Gambaran Umum Kementerian BUMN ......................................... 12
7. LHP Kementerian BUMN ......................................... 13
8. Gambaran Umum Koperasi dan UKM ......................................... 18
9. LHP Koperasi dan UKM ......................................... 19
10. Gambaran Umum BKPM ......................................... 24
11. LHP BKPM ......................................... 25
12. Gambaran Umum Badan Standarisasi Nasional ......................................... 28
13. LHP Badan Standarisasi Nasional ......................................... 29
14. Gambaran Umum Kementerian Perdagangan ......................................... 34
15. LHP Kementerian Perdagangan ......................................... 35
16. Gambaran Umum KPPU ......................................... 42
17. LHP KPPU ......................................... 43
18. Gambaran Umum Badan Pengusahaan Kawasan ......................................... 47
Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Batam
19. LHP Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan ......................................... 48
Bebas dan Pelabuhan Batam
20. Gambaran Umum Badan Pengusahaan ......................................... 54
Kawasan Perdagangan Bebas Sabang
21. LHP Badan Pengusahaan Kawasan ......................................... 55
Perdagangan Bebas Sabang
LHP No. 13/Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara-BKD
1
GAMBARAN UMUM
KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN
ajian yang disusun merupakan kajian yang dilakukan terhadap laporan hasil
pemeriksaan BPK RI atas laporan keuangan, laporan kinerja dan pemeriksaan dengan
tujuan tertentu yang disusun oleh Kementerian/Lembaga Pemerintah Pusat tahun
2015 yang dikeluarkan pada Semester I Tahun 2016. Secara khusus kajian ini dilakukan
terhadap LK Kementerian Perindustrian. Sedangkan tujuan dari kajian adalah untuk
menyediakan informasi sebagai bahan tindaklanjut DPR atas LHP BPK sebagai pelaksanaan
wewenang, tugas dan fungsi pengawasan parlemen atas akuntabilitas administrasi keuangan
negara.
Gambaran umum sebagai pelengkap dari kajian ini dapat dilihat sebagai berikut:
Opini BPK RI
Laporan Realisasi Anggaran (LRA) dan Laporan Operasional (LO)
Kondisi Aset dalam Neraca 2015 (Audited)
K
OPINI BPK RI2014
WTP
2015
WTP
LRAAnggaran
4.600.975.142.000
Realisasi
3.646.744.814.45779,26%
Aset Lancar
• 113.998.369.462
Aset Tetap
• 5.238.581.808.857
Aset Lainnya
• 1.062.913.105.553
LO
Pendapatan Operasional
219.299.987.967
Beban Operasional
2.869.058.164.802
Defisit
(2.649.758.176.835)
LHP No. 13/Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara-BKD
2
KUTIPAN & TELAAHAN HASIL PEMERIKSAAN BPK RI SEMESTER I TAHUN 2016
ATAS LAPORAN KEUANGAN KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN
TAHUN ANGGARAN 2015
NO. TEMUAN REKOMENDASI BPK HASIL TELAAHAN
Pemeriksaan atas Sistem Pengendalian Intern
1. Pengelolaan Aset-Aset Infrastruktur Milik
Kementerian Perindustrian yang Dibangun di
atas Lahan Bukan Milik Kementerian
Perindustrian Minimal Senilai
Rp641.580.323.854,00 Tidak Jelas dan Tidak
Sesuai Dengan Pengelolaan Barang Milik
Negara
Hal tersebut terlihat pada beberapa hal
berikut, antara lain :
a. Aset-aset infrastruktur milik Kemenperin
yang dibangun di atas lahan Instansi
Pemerintah lainnya belum ditetapkan
penggunaannya dan belum jelas bentuk
pemanfaatannya
b. Tanah di Kelurahan Kebon Pala, Kecamatan
Makasar, Cawang, Jakarta Timur Seluas
20.042 m2 dikuasai oleh pihak ketiga, dengan
nilai perolehan sebesar
Rp10.021.000.000,00, dengan dokumen
perolehan diantaranya berupa Surat
Keputusan Menteri Perindustrian No.
566/M/SK/10/74 tentang Penguasaan Tanah
ex. Y.I.P.I yang terletak di Kelurahan
Cawang, Kecamatan Pasar Rebo, seluas
56.177 m2 dibawah pemilikan Departemen
Perindustrian tanggal 7 Oktober 1974.
c. Tanah Ex. Proyek Kaca Jendela di Kelurahan
Rawajati, Kecamatan Pancoran, Jakarta
Selatan seluas 77.285 m2 dikuasai pihak
ketiga
d. Tanah di Batu Ampar, Komplek Inerbang
seluas 8.734 m2 dikuasai pihak ketiga,
dengan harga perolehan sebesar
Rp10.480.800.000,00.
e. Tanah di Perdatam Seluas 5.003 m2 dan
Anuraga seluas 117 m2 dikuasai pihak
ketiga.
f. Tanah di Latumenten Seluas 3200 m2
dikuasai pihak ketiga, dengan harga
perolehan sebesar Rp4.800.000.000,00. Pada
KIB, tanah tersebut memiliki status
penggunaan pinjam pakai.
g. Tanah di Pakubuwono Seluas 834 m2
dikuasai pihak ketiga, dengan harga
perolehan sebesar Rp8.340.000.000,00.
Tanah dan bangunan merupakan pelimpahan dari
Proyek Baja Kalimantan, Direktorat Jenderal
Perindustrian Dasar pada tahun 1960, namun
tidak disertai dengan dokumen perolehan yang
lengkap.
Penghuni juga sudah mengajukan permohonan
untuk membeli rumah tetapi karena kebijakan
Menteri Perindustrian, Rumah Negara tidak
diizinkan untuk dijual. Pada dokumen tersebut
BPK RI merekomendasikan
Menteri Perindustrian agar
menginstruksikan Sekretaris
Jenderal untuk memerintahkan
Kepala Biro Umum agar
melakukan pengamanan baik
secara administrasi, pengamanan
fisik, dan pengamanan hukum atas
aset tetap tanah yang berada dalam
penguasaan Kemenperin.
Untuk memperbaiki
permasalahan tersebut, maka
Menteri Perindustrian sebagai
Pengguna Barang dan
Sekretaris Jenderal sebagai
Kuasa Pengguna Barang Milik
Negara harus lebih optimal
dalam melaksanakan
koordinasi dengan
Kementerian Keuangan dan
melakukan upaya-upaya
pengamanan barang milik
negara.
LHP No. 13/Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara-BKD
3
NO. TEMUAN REKOMENDASI BPK HASIL TELAAHAN
juga diketahui bahwa terdapat bangunan rumah
seluas 384 m2 berlantai 2. Sampai dengan akhir
pemeriksaan, belum ada tindak lanjut atas kasus
tersebut.
Permasalahan tersebut tidak sesuai dengan:
a. UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara, pada:
1) Pasal 44 yang menyatakan bahwa
Pengguna Barang dan/atau Kuasa
Pengguna Barang wajib mengelola dan
menatausahakan barang milik daerah
yang berada dalam penguasaannya
dengan sebaik-baiknya.
2) Pasal 49 ayat (1) yang menyatakan
bahwa barang milik negara yang berupa
tanah yang dikuasai Pemerintah Pusat
harus disertifikatkan atas nama
Pemerintah Republik Indonesia.
b. PP Nomor 27 Tahun 2014 tentang
Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah,
pada:
1) Pasal 3 ayat (1) yang antara lain
menyatakan bahwa Pengelolaan Barang
Milik Negara/Daerah dilaksanakan
berdasarkan asas fungsional, kepastian
hukum, transparansi, efisiensi,
akuntabilitas, dan kepastian nilai.
2) Pasal 6 ayat (2) huruf f. yang antara lain
menyatakan bahwa Pengguna Barang
Milik Negara berwenang dan
bertanggung jawab mengamankan dan
memelihara Barang Milik Negara yang
berada dalam penguasaannya.
3) Pasal 6 ayat (2) huruf l. yang antara lain
menyatakan bahwa Pengguna Barang
Milik Negara berwenang dan
bertanggung jawab melakukan
pencatatan dan Inventarisasi Barang
Milik Negara yang berada dalam
penguasaannya.
4) Pasal 8 ayat (2) huruf c. yang antara lain
menyatakan bahwa Kuasa Pengguna
Barang Milik Negara berwenang dan
bertanggung jawab melakukan
pencatatan dan Inventarisasi Barang
Milik Negara yang berada dalam
penguasaannya.
5) Pasal 8 ayat (2) huruf f. yang antara lain
menyatakan bahwa Kuasa Pengguna
Barang Milik Negara berwenang dan
bertanggung jawab mengamankan dan
memelihara Barang Milik Negara yang
berada dalam penguasaannya.
6) Pasal 42 ayat (1) dan (2) yang antara lain
menyatakan bahwa pengelola barang,
pengguna barang dan/atau kuasa
pengguna barang wajib melakukan
pengamanan barang milik negara yang
berada dalam penguasaannya, meliputi
LHP No. 13/Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara-BKD
4
NO. TEMUAN REKOMENDASI BPK HASIL TELAAHAN
pengamanan administrasi, pengamanan
fisik, dan pengamanan hukum.
7) Pasal 43 ayat (1) yang menyatakan
bahwa barang milik negara berupa tanah
harus disertipikatkan atas nama
Pemerintah Republik Indonesia.
Permasalahan tersebut mengakibatkan
a. Kemenperin berpotensi kehilangan aset tanah
dengan luas total sebesar 128.172 m2;
b. Kemenperin kehilangan potensi penerimaan
PNBP atas penggunaan aset tanah.
2. Kementerian Perindustrian Belum
Sepenuhnya Melakukan Pengendalian Secara
Memadai atas Aset Tetap Senilai
Rp1.048.753.266.344,00 yang Tidak
Digunakan Untuk Operasional Kementerian
Perindustrian
Hal tersebut terlihat dari ditemukan
permasalahan terkait adanya aset tetap yang
dikuasai pihak ketiga atau yang memang dari
awal ditujukan untuk diberikan kepada pihak
ketiga sebesar Rp1.048.753.266.344,00 yang
terdapat pada lima eselon I yaitu Sekretariat
Jenderal (Setjen), Ditjen IKM, Ditjen ILMATE,
Ditjen IKTA, dan Ditjen Industri Agro (IA),
dengan rincian sebagai berikut.
a. Aset tetap peralatan dan mesin sebesar
Rp994.026.371.100,00
b. Aset tetap gedung dan bangunan sebesar
Rp80.950.619.286,00
c. Aset tetap jalan irigasi dan jaringan yang
telah diserahkan kepada masyarakat masih
tercatat sebagai aset tetap sebesar
Rp26.026.363.418,00
Lebih lanjut diketahui bahwa terdapat beberapa
kendala dalam proses pelaksanaan
pemindahtanganan melalui hibah sebagai
berikut.
a. Aset tetap yang dimaksudkan untuk
diserahkan kepada masyarakat
1) Kemenperin telah melakukan
monitoring bantuan peralatan dan mesin
yang akan diserahkan ke masyarakat,
namun terdapat beberapa kendala yang
dihadapi dalam pelaksanaan
pemindahtanganan melalui hibah antara
lain:
a) Beberapa Dinas/SKPD yang
membidangi sektor industri di
kabupaten/kota tidak mengetahui
keberadaan KUB penerima mesin
peralatan.
b) Dinas Perindag/Pemerintah Daerah
tidak bersedia menandatangi berita
acara kesediaan menerima hibah,
sehingga menghambat proses hibah.
2) Selain itu Kemenperin belum
melakukan pengamanan atas BMN,
yang meliputi pengamanan
BPK RI merekomendasikan
Menteri Perindustrian agar
menginstruksikan kepada:
a. Sekretaris Jenderal untuk
menyusun dan menetapkan
prosedur kerja di lingkungan
Kemenperin terkait
pengawasan dan pengendalian
BMN yang akan diserahkan
kepada pihak ketiga; dan
b. Sekretariat Jenderal, Ditjen
IKM, Ditjen ILMATE, Ditjen
IKTA, dan Ditjen IA untuk
segera melakukan
inventarisasi dan proses hibah
atas aset tetap yang diserahkan
kepada pihak lain sesuai
dengan ketentuan.
Untuk memperbaiki
permasalahan tersebut, maka
Kemenperin perlu membuat
prosedur kerja pengawasan
dan pengendalian BMN terkait
BMN yang akan diserahkan
kepada pihak ketiga yang
diberlakukan pada lingkungan
Kementerian/Lembaga. Selain
itu, Kepala Biro Keuangan
Kemenperin harus segera
melakukan jurnal koreksi atas
aset tetap yang telah
diserahkan kepada pihak
ketiga.
LHP No. 13/Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara-BKD
5
NO. TEMUAN REKOMENDASI BPK HASIL TELAAHAN
administrasi, pengamanan fisik, dan
pengamanan hukum hal ini terlihat
tidak diadministrasikannya dokumen
pendukung permohonan persetujuan
hibah BMN dengan nilai aset peralatan
dan mesin senilai
Rp22.665.452.619,00.
3) Untuk jalan, irigasi dan jaringan yang
akan diserahkan kepada masyarakat
belum dapat diketahui kondisi barang
dan keberadaan barang untuk menindak
lanjuti penggunaan BMN tersebut.
4) Atas aset tetap yang digunakan oleh
BUMN yang telah mendapat
persetujuan PMN belum di
reklasifikasikan dalam aset lain-lain.
b. Aset tetap yang digunakan oleh BUMN
1) Sedangkan untuk kondisi peralatan dan
Mesin pada PT.G sampai dengan saat
ini belum dapat diketahui kondisi
barang dan keberadaan aset berupa
peralatan dan mesin dan jalan jaringan
irigasi tersebut sehingga atas kondisi
tersebut Dirjen IKTA belum
menetapkan status penggunaan barang
yang dikuasai dan digunakan oleh PT G.
2) Atas Aset Tetap yang digunakan oleh
BUMN yang telah mendapat
persetujuan PMN belum di
reklasifikasikan dalam aset lain-lain.
c. Jurnal koreksi dilakukan apabila dokumen
sumber sebagai pencatatatan telah lengkap
dan telah dilakukan proses verifikasi oleh
Tim BPK. Namun sampai dengan akhir
pemeriksaan, Kemenperin telah melakukan
koreksi terhadap akun aset tetap sebesar
Rp923.525.414.497,00 (88,06% dari total
nilai 1.048.753.266.344,00). Sementara atas
aset tetap sebesar Rp22.665.452.619,00 tidak
dapat dilakukan jurnal koreksi karena pihak
Kemenperin tidak dapat menyediakan data
dan dokumen pendukung atas transaksi
tersebut.
Permasalahan tersebut tidak sesuai dengan:
a. PP Nomor 27 Tahun 2014 tentang
Pengelolaan BMN/D:
1) Pasal 1 ayat (9) menyatakan bahwa
penggunaan BMN adalah kegiatan yang
dilakukan oleh pengguna barang dalam
mengelola dan menatausahakan BMN
sesuai dengan tugas dan fungsi instansi
yang bersangkutan.
2) Pasal 1 ayat (10) menyatakan bahwa
pemanfaatan adalah pendayagunaan
BMN yang tidak digunakan untuk
penyelenggaraan tugas dan fungsi
kementerian dan/atau optimalisasi BMN
dengan tidak mengubah status
kepemilikan.
LHP No. 13/Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara-BKD
6
NO. TEMUAN REKOMENDASI BPK HASIL TELAAHAN
3) Pasal 27 menyatakan bahwa bentuk
pemanfaatan BMN berupa: sewa, pinjam
pakai, kerja sama pemanfaatan, bangun
guna serah/bangun serah guna, atau kerja
sama penyediaan infrastruktur.
4) Pasal 68 ayat (2) menyatakan bahwa
hibah BMN harus memenuhi syarat:
bukan merupakan barang rahasia negara,
bukan merupakan barang yang
menguasai hajat hidup orang banyak,
dan tidak diperlukan dalam
penyelenggaraan tugas dan fungsi dan
penyelenggaraan pemerintahan
negara/daerah.
b. PMK Nomor 244/PMK.06/2012 tentang Tata
Cara Pelaksanaan Pengawasan dan
Pengendalian Barang Milik Negara, Bab III
Pengawasan dan Pengendalian Oleh
Pengguna Barang/Kuasa Pengguna Barang:
1) Pasal 6 menyatakan pemantauan oleh
Pengguna Barang/Kuasa Pengguna
Barang merupakan pemantauan atas
kesesuaian antara pelaksanaan
Penggunaan, Pemanfaatan,
Pemindahtanganan, Penatausahaan,
pemeliharaan dan pengamanan atas
BMN yang berada dalam penguasaannya
dengan ketentuan peraturan
perundangundangan.
2) Pasal 7 menyatakan Pemantauan atas
Penggunaan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 dilakukan terhadap:
a) BMN yang digunakan oleh
Pengguna Barang/Kuasa Pengguna
Barang;
b) BMN yang digunakan sementara
oleh Pengguna Barang lainnya; dan
c) BMN yang dioperasikan oleh pihak
lain dalam rangka menjalankan
pelayanan umum sesuai tugas dan
fungsi Pengguna Barang.
3) Pasal 11 menyatakan Pemantauan
terhadap pemeliharaan dan pengamanan
BMN sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 antara lain dilakukan terhadap:
a) Pemeliharaan BMN telah sesuai
dengan Daftar Isian Pelaksanaan
Anggaran dan dokumen
penganggaran turunannya; dan
b) Pengamanan BMN yang meliputi
pengamanan administrasi,
pengamanan fisik, dan pengamanan
hukum, telah dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
c. PMK No. 219/PMK.05/2013 tentang
Kebijakan Akuntansi Pemerintah Pusat,
Lampiran VIII diantaranya menyatakan
bahwa aset tetap yang dimaksudkan untuk
LHP No. 13/Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara-BKD
7
NO. TEMUAN REKOMENDASI BPK HASIL TELAAHAN
dihentikan dari penggunaan aktif Pemerintah
direklasifikasikan ke dalam aset lain-lain.
Contoh penghentian penggunaan aset tetap
Pemerintah dapat disebabkan karena rusak
berat, usang, dan/atau aset tetap yang tidak
digunakan karena sedang menunggu proses
pemindahtanganan (proses penjualan, sewa
beli, penghibahan, penyertaan modal).
d. PMK No. 4/PMK.06/2015 tentang
Pendelegasian Kewenangan dan Tanggung
Jawab Tertentu dari Pengelola Barang
kepada Pengguna Barang yang menyatakan
antara lain, Pasal 5:
1) ayat (1) menyatakan bahwa Pengguna
Barang berwenang dan bertanggung
jawab memberikan persetujuan atas
permohonan Pemindahtanganan BMN
berupa penjualan dan hibah.
2) ayat (3) menyatakan bahwa kewenangan
dan tanggung jawab sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b
dilakukan terhadap:
a) BMN yang dari awal perolehan
dimaksudkan untuk dihibahkan
dalam rangka kegiatan
pemerintahan;
b) BMN selain tanah dan/atau
bangunan, yang tidak mempunyai
dokumen kepemilikan, dengan nilai
perolehan sampai dengan
Rp100.000.000,00 (seratus juta
rupiah) per unit/satuan;
c) Bongkaran BMN karena perbaikan
(renovasi, rehabilitasi, atau
restorasi).
Permasalahan tersebut mengakibatkan:
a. Aset tetap Kemenperin Tahun 2015 berupa
peralatan/mesin dan gedung/bangunan
sebesar Rp1.048.753.266.344,00 berisiko
disalahgunakan/dihilangkan oleh pihak lain.
b. Aset tetap Kemenperin Tahun 2015 berupa
peralatan/mesin dan gedung/bangunan
sebesar Rp22.665.452.619,00 (aset tetap
yang tidak dapat dilakukan jurnal koreksi)
tidak dapat diyakini kewajarannya.
Pemeriksaan atas Kepatuhan terhadap Peraturan Perundang-undangan
1. Penyelesaian Lima Paket Pekerjaan
Pembangunan Konstruksi Pada Direktorat
Pengembangan Wilayah Industri I Belum
Dikenakan Denda Keterlambatan Minimal
Senilai Rp1.327.414.862,00 dan Terdapat
Kekurangan Pengenaan Denda
Keterlambatan atas Penyelesaian Dua Paket
Pekerjaan Belanja Modal Pada BPIPI Hal tersebut terlihat pada beberapa hal berikut,
antara lain :
a. Penyelesaian lima paket pekerjaan
pembangunan konstruksi pada Direktorat
BPK RI merekomendasikan
Menteri Perindustrian agar
memerintahkan Dirjen PPI dan
Kepala BPIPI:
a. Memberikan sanksi sesuai
ketentuan kepada PPK yang
tidak tegas dalam pengenaan
sanksi keterlambatan
pelaksanaan pekerjaan; dan
b. Memerintahkan PPK untuk
menagih dan menyetorkan
denda keterlambatan
Untuk memperbaiki
permasalahan tersebut, maka
PPK harus mengenakan denda
keterlambatan atas
penyelesaian lima paket
pekerjaan pembangunan
konstruksi pada Direktorat
Pengembangan Wilayah
Industri I; dan Penyedia barang
harus mematuhi surat
perjanjian yang sudah
disepakati dan PPK tidak tegas
LHP No. 13/Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara-BKD
8
NO. TEMUAN REKOMENDASI BPK HASIL TELAAHAN
Pengembangan Wilayah Industri I
Kemenperin senilai Rp63.052.337.000,00
terlambat dan kontraktor pelaksana belum
dikenakan denda keterlambatan minimal
senilai Rp1.327.414.862,00
b. Kekurangan pengenaan denda atas
keterlambatan penyelesaian pekerjaan
belanja revitalisasi laboratorium uji dan
desain (lelang ulang) untuk kegiatan
penyiapan infrastruktur dan pekerjaan
belanja modal peralatan laboratorium desain
dan uji (lelang ulang) pada Satker Balai
Pengembangan Industri Persepatuan
Indonesia senilai Rp9.898.387,20 dan
Rp482.377,50
Permasalahan tersebut tidak sesuai dengan:
a. Perpres No. 54 Tahun 2010 tentang
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, Pasal 11
ayat (1) yang menyatakan bahwa PPK
memiliki tugas pokok dan kewenangan,
antara lain pada huruf e. mengendalikan
pelaksanaan kontrak.
b. Syarat-Syarat Umum Kontrak:
1) Pasal 42.3 huruf b pada:
a) Kontrak No.
01/PKMPPDKI/PPI.4/PPK/KONT
RAK/9/2015 tanggal 29 September
2015 berikut addendumnya;
Kontrak No.
01/PJMRKIB/PPI.4/PPK/KONTR
AK/9/2015 tanggal 18 September
2015 berikut addendumnya;
Kontrak No.
01/PGPIKIM/PPI.4/PPK/KONTR
AK/9/2015 tanggal 15 September
2015 berikut addendumnya; dan
Kontrak No.
01/PGPILKIM/PPI.4/PPK/KONTR
AK/9/2015 tanggal 14 September
2015 berikut addendumnya yang
menyatakan bahwa dalam hal
terjadi keterlambatan dan akan
melampaui tahun anggaran berjalan
akibat kesalahan Penyedia
Pekerjaan Konstruksi, sebelum
dilakukan pemutusan kontrak,
Penyedia Pekerjaan Konstruksi
dapat diberikan kesempatan
menyelesaikan pekerjaan sampai
dengan 90 (sembilan puluh) hari
kalender sejak masa berakhirnya
pelaksanaan pekerjaan dengan
diberlakukan denda sebesar 1/1000
(satu perseribu) dari nilai kontrak
atau bagian kontrak apabila
ditetapkan serah terima pekerjaan
secara parsial untuk setiap hari
keterlambatan. Kesempatan
menyelesaikan pekerjaan selama 90
pelaksanaan pekerjaan ke kas
negara, yaitu pada Direktorat
PWI I minimal senilai
Rp1.327.414.862,00 dan
BPIPI minimal senilai
Rp10.380.764,70.
Atas rekomendasi penyetoran
denda keterlambatan minimal
senilai Rp1.337.795.626,70
tersebut, pihak BPIPI telah
melakukan pemotongan SPM
untuk pembayaran denda
keterlambatan senilai
Rp18.619.630,00 yaitu:
a. SPM No. 00437 tanggal 17
Desember 2015 untuk
pembayaran denda kepada CV
BK senilai Rp17.689.425,00.
b. SPM No. 00439 tanggal 18
Desember 2015 untuk
pembayaran denda kepada CV
PJA senilai Rp930.205,00.
dalam pengenaan sanksi
keterlambatan pelaksanaan
pekerjaan.
LHP No. 13/Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara-BKD
9
NO. TEMUAN REKOMENDASI BPK HASIL TELAAHAN
(sembilan puluh) hari tersebut dapat
melampaui tahun anggaran berjalan.
b) Kontrak No.
01/PKAKPJPGLKIB/PPI.4/PPK/K
ONTRAK/9/2015 tanggal 18
September 2015 berikut
addendumnya yang menyatakan
bahwa dalam hal terjadi
keterlambatan dan akan melampaui
tahun anggaran berjalan akibat
kesalahan Penyedia Pekerjaan
Konstruksi, sebelum dilakukan
pemutusan kontrak, Penyedia
Pekerjaan Konstruksi dapat
diberikan kesempatan
menyelesaikan pekerjaan sampai
dengan 50 (lima puluh) hari
kalender sejak masa berakhirnya
pelaksanaan pekerjaan dengan
diberlakukan denda sebesar 1/1000
(satu perseribu) dari nilai kontrak
atau bagian kontrak apabila
ditetapkan serah terima pekerjaan
secara parsial untuk setiap hari
keterlambatan. Kesempatan
menyelesaikan pekerjaan selama 50
(sembilan puluh) hari tersebut dapat
melampaui tahun anggaran berjalan.
2) Pasal 42.3 huruf d pada: Kontrak No.
01/PGPIKIM/PPI.4/PPK/KONTRAK/9/
2015 tanggal 15 September 2015 berikut
addendumnya; dan Kontrak No.
01/PGPILKIM/PPI.4/PPK/KONTRAK/
9/2015 tanggal 14 September 2015
berikut addendumnya yang menyatakan
bahwa dalam hal keterlambatan
sebagaimana pasal 42.3 a. atau 42.3 b.,
setelah dilakukan penanganan kontrak
kritis sesuai pasal 42.3 a., PPK dapat
langsung memutuskan kontrak secara
sepihak dengan mengesampingkan 1266
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
PPK dapat memutuskan kontrak secara
sepihak, apabila:
a) Kebutuhan barang/jasa tidak dapat
ditunda melebihi batas berakhirnya
kontrak;
b) Berdasarkan penelitian PPK,
Penyedia tidak akan mampu
menyelesaikan keseluruhan
pekerjaan walaupun diberikan
kesempatan sampai dengan 90
(sembilan puluh) hari kalender sejak
masa berahirnya pelaksanaan
pekerjaan untuk menyelesaikan
pekerjaan;
c) Setelah diberikan kesempatan
menyelesaikan pekerjaan sampai
dengan 90 (sembilan puluh) hari
LHP No. 13/Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara-BKD
10
NO. TEMUAN REKOMENDASI BPK HASIL TELAAHAN
kalender sejak masa berakhirnya
pekerjaan, Penyedia tidak dapat
menyelesaikan pekerjaan.
c. Syarat-Syarat Khusus Kontrak huruf E pada:
1) Kontrak No.
01/PKMPPDKI/PPI.4/PPK/KONTRAK
/9/2015 tanggal 29 September 2015
berikut addendumnya; Kontrak No.
01/PJMRKIB/PPI.4/PPK/KONTRAK/9
/2015 tanggal 18 September 2015
berikut addendumnya; Kontrak No.
01/PGPIKIM/PPI.4/PPK/KONTRAK/9/
2015 tanggal 15 September 2015 berikut
addendumnya; dan Kontrak No.
01/PGPILKIM/PPI.4/PPK/KONTRAK/
9/2015 tanggal 14 September 2015
berikut addendumnya yang menyatakan
bahwa PPK memberikan kesempatan
kepada Penyedia untuk menyelesaikan
pekerjaan sampai dengan 90 (sembilan
puluh) hari kalender sejak berakhirnya
pelaksanaan pekerjaaan dengan
diberlakukan denda sebesar 1/1000 (satu
perseribu) dari nilai bagian kontrak yang
belum diselesaikan untuk setiap hari
keterlambatan.
2) Kontrak No.
01/PKAKPJPGLKIB/PPI.4/PPK/KONT
RAK/9/2015 tanggal 18 September 2015
berikut addendumnya yang menyatakan
bahwa PPK memberikan kesempatan
kepada Penyedia untuk menyelesaikan
pekerjaan sampai dengan 50 (lima
puluh) hari kalender sejak berakhirnya
pelaksanaan pekerjaaan dengan
diberlakukan denda sebesar 1/1000 (satu
perseribu) dari nilai bagian kontrak yang
belum diselesaikan untuk setiap hari
keterlambatan.
d. Surat Perjanjian/Kontrak No. 01-Pbjl/IKM.1-
BPIPI/ /8/2015, angka 61.3 Denda dan ganti
rugi, huruf c. besarnya denda yang dikenakan
kepada penyedia atas keterlambatan
penyelesaian pekerjaan untuk setiap hari
keterlambatan adalah:
1) 1/1000 (satu perseribu) dari sisa harga
bagian kontrak yang belum dikerjakan,
apabila bagian pekerjaan yang sudah
dilaksanakan dapat berfungsi; atau
2) 1/1000 (satu perseribu) dari harga
kontrak, apabila bagian yang sudah
dilaksanakan belum berfungsi.sesuai
yang ditetapkan dalam Syarat-Syarat
Khusus Kontrak (SSKK).
e. Surat Perjanjian/Kontrak No. 6-Pbjl/IKM.1-
BPIPI/8/2015, angka 61.3 Denda dan ganti
rugi, huruf c. besarnya denda yang dikenakan
kepada penyedia atas keterlambatan
LHP No. 13/Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara-BKD
11
NO. TEMUAN REKOMENDASI BPK HASIL TELAAHAN
penyelesaian pekerjaan untuk setiap hari
keterlambatan adalah:
1) 1/1000 (satu perseribu) dari sisa harga
bagian kontrak yang belum dikerjakan,
apabila bagian pekerjaan yang sudah
dilaksanakan dapat berfungsi; atau
2) 1/1000 (satu perseribu) dari harga
kontrak, apabila bagian yang sudah
dilaksanakan belum berfungsi.
f. Syarat-syarat Umum Kontrak (SSUK) huruf
B. Angka 54 Pembayaran Denda, yang
menyatakan bahwa penyedia berkewajiban
untuk membayar sanksi finansial berupa
denda sebagai akibat wanprestasi atau cidera
janji terhadap kewajiban-kewajiban penyedia
dalam kontrak ini. Pembayaran denda tidak
mengurangi tanggung jawab kontraktual
penyedia. Dan SSKK huruf J. Denda
disebutkan untuk pekerjaan ini besar denda
keterlambatan untuk setiap hari
keterlambatan adalah 1/1000 (satu perseribu)
dari nilai kontrak.
Permasalahan tersebut mengakibatkan:
a. Penerimaan negara dari denda keterlambatan
minimal senilai Rp1.327.414.862,00
(Rp156.495.398,00 + Rp123.084.108,00 +
Rp109.004.856,00 + Rp854.138.371,00 +
Rp84.692.129,00) belum diperoleh; dan
b. Kekurangan penerimaan atas denda
keterlambatan yang seharusnya diterima
minimal senilai Rp9.898.387,20 dan
Rp482.377,50.
12 LHP No. 28/Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara-BKD
OPINI BPK RI2014
WTP-DPP
2015
WTP
LRAAnggaran
148.072.303.000
Realisasi
124.755.092.98884,25%
Aset Lancar
• 2.778.774.759
Aset Tetap
• 467.379.112.108
Aset Lainnya
• 19.885.556.336
GAMBARAN UMUM
KEMENTERIAN BUMN
ajian yang disusun merupakan kajian yang dilakukan terhadap laporan hasil
pemeriksaan BPK RI atas laporan keuangan, laporan kinerja dan pemeriksaan dengan
tujuan tertentu yang disusun oleh Kementerian/Lembaga Pemerintah Pusat tahun
2015 yang dikeluarkan pada Semester I Tahun 2016. Secara khusus kajian ini dilakukan
terhadap LK Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Sedangkan tujuan dari kajian
adalah untuk menyediakan informasi sebagai bahan tindaklanjut DPR atas LHP BPK sebagai
pelaksanaan wewenang, tugas dan fungsi pengawasan parlemen atas akuntabilitas administrasi
keuangan negara.
Gambaran umum sebagai pelengkap dari kajian ini dapat dilihat sebagai berikut:
Opini BPK RI
Laporan Realisasi Anggaran (LRA) dan Laporan Operasional (LO)
Kondisi Aset dalam Neraca 2015 (Audited)
K
LO
Pendapatan Operasional
4.285.079.149
Beban Operasional
113.847.645.178
Defisit
(109.562.566.029)
13 LHP No. 28/Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara-BKD
KUTIPAN & TELAAHAN HASIL PEMERIKSAAN BPK RI SEMESTER I TAHUN 2016
ATAS LAPORAN KEUANGAN KEMENTERIAN BUMN
TAHUN ANGGARAN 2015
NO. TEMUAN REKOMENDASI BPK HASIL TELAAHAN
Pemeriksaan atas Sistem Pengendalian Intern
1. Terdapat Perbedaan Nilai RDI/SLA untuk
Tahun Anggaran 2015 antara BUMN,
Kementerian Keuangan dan Kementerian
BUMN
Diketahui bahwa pencatatan nilai RDI antara
Kementerian BUMN dengan Kementerian
Keuangan terdapat selisih nilai sebesar
Rp366.733.683.455,00 dan pencatatan nilai RDI
antara Kementerian BUMN dengan Berita Acara
Rekonsiliasi sebesar Rp255.155.536.755,00.
Perbedaan nilai SLA yang dicatat oleh Kementerian
BUMN dengan Kementerian Keuangan sebesar
Rp110.479.989.064,00 dan selisih nilai SLA yang
dicatat oleh Kementerian BUMN dengan Berita
Acara Rekonsiliasi sebesar Rp10.190.107.294,00.
Perbedaan nilai RDI/SLA antara Kementerian
BUMN, Kementerian Keuangan dan BUMN
disebabkan oleh pembayaran tahun 2015 yang
belum dicatat oleh Kementerian BUMN. Selain itu,
seluruh BUMN yang memiliki perbedaan
perhitungan RDI/SLA tersebut di atas (10 BUMN),
semuanya belum menyerahkan Laporan Keuangan
Audited kepada Kementerian BUMN serta
kurangnya koordinasi antara Kementerian BUMN
dan Kementerian Keuangan.
Hal tersebut tidak sesuai dengan :
a. Keputusan Menteri BUMN Nomor SK-
213/MBU/2014 tentang Penerapan SOP Proses
Penyelenggaraan Tugas dan Fungsi
Kementerian BUMN dalam SOP Nomor SOP-
7/IBIS/10/2014 tentang Pemutakhiran Data
RDI/SLA.
b. Surat Kementerian Keuangan RI Direktorat
Jenderal Perbendaharaan dan Direktorat Sistem
Manajemen Investasi Nomor S-6147/PB4/2014
tanggal 23 September 2014 Perihal
Penyampaian Salinan Keputusan Direktur
Perbendaharaan Nomor 204/PB/2014 tentang
Pembentukan Tim Kerja dan Sekretariat Komite
Penyelesaian Piutang Negara yabf Bersumber
dari Perjanjian Pinjaman Rekening Dana
Investasi pada BUMN/PT.
c. Peraturan Menteri Negara BUMN Nomor PER-
10/MBU/07/2015 tentang Organisasi dan Tata
Kerja Kementerian BUMN, pasal 223.
Kondisi tersebut mengakibatkan pemutakhiran
data Rekening Dana Investasi (RDI)/Sub Loan
Agreement (SLA) tidak maksimal
BPK merekomendasikan Menteri
BUMN agar menginstruksikan
Menteri BUMN agar
menginstruksikan kepada
Kedeputian yang membawahi
masing-masing BUMN untuk
lebih optimal melaksanakan
koordinasi Kementerian
Keuangan terkait pemutakhiran
data Rekening Dana Investasi
(RDI)/Sub Loan Agreement (SLA)
Untuk memperbaiki
permasalahan tersebut, maka
harus ada koordinasi antara
Kementerian BUMN dan
Kementerian Keuangan terkait
pemutakhiran data Rekening
Dana Investasi (RDI)/Sub
Loan Agreement (SLA)
2. Penyelesaian Pengembalian Sisa Dana Kegiatan
Program Bina Lingkungan Peduli Tahun 2012
Senilai Rp127.488.185.885,00 Berlarut-Larut
Program Bina Lingkungan BUMN Peduli (BL
Peduli) adalah program BL yang dilakukan secaara
bersama-sama antar BUMN dan pelaksanaannya
BPK merekomendasikan Menteri
BUMN agar menginstruksikan
kepada Keasdepan Teknis (TJSL)
untuk melakukan koordinasi lebih
lanjut terkait rekomendasi BPK
mengenai pembukaan rekening
Untuk memperbaiki
permasalahan tersebut, maka
Keasdepan TJSL harus
maksimal mengkoordinir
BUMN-BUMN pembina
dalam proses pengembalian
14 LHP No. 28/Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara-BKD
NO. TEMUAN REKOMENDASI BPK HASIL TELAAHAN
ditetapkan dan dikoordinir oleh Menteri diman
ruang lingkup bantuan program BL BUMN Peduli
juga ditetapkan oleh Menteri. Ketentuan
pelaksanaan kegiatan BL BUMN Peduli didasarkan
atas Peraturan Menteri BUMN Nomor PER-
05/MBU/2007 tentang Program Kemitraan (PK)
BUMN dengan Usaha Kecil dan Program Bina
Lingkungan (BL). Setiap tahun berjalan sebesar 30%
dari jumlah dana program BL yang tersedia di
masing-masing BUMN diperuntukan bagi program
BL BUMN Peduli.
Dengan terbitnya PER-20/MBU/2012 tanggal 27
Desember 2012 tentang Perubahan Pertama PER-
05/MBU/2007, program BL Peduli tersebut
dihentikan mulai tahun buku 2013 dan selanjutnya
diatur batas waktu penyelesaian sisa program BL
Peduli.
Konfirmasi dan pemantauan tindak lanjut pasca
dihentikannya kegiatan BL Peduli menemukan
adanya kesulitan-kesulitan pengembalian sisa dana
ke BUMN donatur.
Kementerian BUMN telah melakukan koordinasi
secara lisan dengan pihak Direktorat Pengelolaan
Kas Negara (PKN) Ditjen Perbendaharaan
Kementerian Keuangan terkait rencana pembukaan
rekening khusu untuk penampungan dana BL Peduli.
Hal tersebut tidak sesuai dengan Surat Menteri
BUMN Nomor S-554/MBU/2013 tanggal 9
September 2013 salah satunya mengatur batas waktu
kegiatan BL Peduli yang belum selesai dilaksanakan
dapat terus dilaksanakan sepanjang anggaran sudah
direncanakan masih tersedia dengan tetap mengacu
kepada ketentuan sesuai PER-07/MBU/2007 tanggal
27 April 2007 dan bagi anggaran yang masih tersisa
setelah seluruh program dilaksanakan, dananya
dikembalikan kepada masing-masing BUMN secara
proporsional dan seluruh pelaksanaan program BL
Peduli diaudit oleh KAP.
Hal tersebut mengakibatkan Sisa Dana BL Peduli
yang tidak segera disetorkan kembali berpotensi
disalahgunakan.
khusus atas nama KBUMN untuk
penampungan sisa dana BL Peduli
dan apabila tidak diperkenankan
agar meminta satu rekening
khusus dari Kementerian
Keuangan untuk penampungan
dana tersebut serta melakukan
monitoring penyetoran yang
dilakukan.
dana sisa BL Peduli ke BUMN
Donatu. Selain itu, KBUMN
(Keasdepan TJSL dan Biro
Umum dan Humas) harus
maksimal berkoordinasi
dengan Kementerian
Keuangan terkait pembentukan
rekening khusus pengembalian
dana sisa BL Peduli untuk
selanjutnya disetorkan ke Kas
Negara
Pemeriksaan atas Kepatuhan terhadap
Peraturan Perundang-undangan
1. Terdapat Akomodasi yang Dibiayai Pihak
Ketiga/ BUMN Minimal Sebesar
Rp422.841.000,00
Hal tersebut terlihat dari bukti-bukti perjalanan dinas
TA 2015 menemukan minimal 97 perjalanan dinas
pegawai Kementerian BUMN dalam rangka rapat
atau kunjungan kerja pembinaan BUMN yang
dibiayai oleh pihak ketiga/BUMN terkait. Hal ini
diperkuat dengan surat pernyataan bahwa biaya
akomodasi sesuai surat tugas terkait tidak
dibebankan pada DIPA Kementerian BUMN
walaupun pada Surat Perjalanan Dinas anggaran
dibebankan ke Kementerian BUMN. Akomodasi
kunjungan kerja tersebut jika dihitung berdasar SBM
BPK merekomendasikan Menteri
BUMN agar menginstruksikan
Sekretaris Kementerian BUMN
agar segera membuat Surat Edaran
Sesmen tentang kewajiban
penggunaan dana APBN dalam
setiap kegiatan Kementerian
BUMN kepada seluruh pegawai
Kementerian BUMN, dengan
tembusan kepada semua Direksi
BUMN.
Untuk memperbaiki
permasalahan tersebut, maka
pejabat/pegawai Kementerian
BUMN harus sepenuhnya
memperbaiki pelaksanaan
realisasi belanja perjalanan
dinas dan belanja non
operasional lainnya sesuai
rekomendasi BPK dalam dua
tahun terakhir.
15 LHP No. 28/Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara-BKD
NO. TEMUAN REKOMENDASI BPK HASIL TELAAHAN
2015 dengan tarif penginapan Golongan III akan
bernilai sebesar Rp422.841.000,00
Kondisi tersebut diatas tidak sesuai dengan:
a. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2013
tentang Tata Cara Pelaksanaan APBN pada:
1) Pasal 13, PPK bertanggungjawab atas
kebenaran materiil dan akibat yang timbul
dari penggunaan bukti mengenai hak tagih
kepada Negara; dan
2) Pasal 67 ayat 91) berdasarkan hak tagihan
kepada negara, PPK menerbitkan dan
menandatangani SPP.
b. Surat Edaran Menteri BUMN Nomor SE-
06/MBU.S/2011 yang antara lain menyatakan
bahwa kunjungan kerja dalam rangka
pembinaan BUMN tidak dibiayai oleh BUMN.
Kondisi tersebut diatas mengakibatkan kunjungan kerja dalam rangka pembinaan BUMN
yang dibiayai oleh BUMN yang dikunjungi
berpotensi menimbulkan benturan kepentingan
(conflict of interest).
2. Biaya Sewa Kendaraan Dinas Hasil pengadaan
Melalui E-Purchasing Lebih Tinggi dari SBM
Sebesar Rp91.424.748,00
Kementerian BUMN pada Tahun Anggaran (TA)
2015 telah menerapkan e-purchasing, salah satunya
untuk kegiatan sewa mobil dinas Eselon I dengan
menggunakan akses ke aplikasi e-purchasing yang
merupakan perangkat lunak Sistem Pengadaan
Secara elektronik (SPSE) berbasis web di server
LPSE. Dengan menggunakan aplikasi tersebut
terpilih penyedia jasa sewa kendaraan yaitu PT
Serasi Autoraya (PT SA) karena PT SA sebagai
wakil/manajemen TRAC Astra Rent A Car, menjadi
satu-satunya penyedia jasa sewa mobil yang ada
dalam e-catalogue saat Kementerian BUMN
melakukan e-purchasing. Selanjutnya Kementerian
BUMN dan PT SA membuat kontrak perjanjian
sewa dengan nilai kontrak keseluruhan sebesar
Rp607.709.125,00 yang dituangkan dalam tujuh
kontrak perjanjian.
Namun demikian, hasil perbandingan antara harga
sewa dalam kontrak dengan Standar Biaya Masukan
(SBM) TA 2015 sesuai Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 53/PMK.02/2014 menunjukkan bahwa nilai
kontrak sewa atas 14 mobil melalui e-purchasing
lebih tinggi dari SBM 2015 sebesar
Rp91.424.748,00
Kondisi tersebut diatas tidak sesuai dengan:
a. Peraturan Presiden No. 70 Tahun 2012 tentang
Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden No.
54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah sebagaimana terakhir diubah
dengan Perpres 4 tahun 2015:
1) Pasal 6 angka 6 yang menyatakan bahwa
“Para pihak yang terkait dalam pelaksanaan
pengadaan barang/jasa harus mematuhi
etika menghindari dan mencegah terjadinya
BPK merekomendasikan Menteri
BUMN agar menginstruksikan
Sekretaris Menteri BUMN untuk
memberikan teguran kepada ULP
yang lalai tidak melakukan
negosiasi harga dengan penyedia
barang/jasa dalam katalog
elektronik.
Untuk memperbaiki
permasalahan tersebut, maka
ULP harus cermat terutama
dalam melakukan negosiasi
harga dengan penyedia
barang/jasa dalam katalog
elektronik.
16 LHP No. 28/Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara-BKD
NO. TEMUAN REKOMENDASI BPK HASIL TELAAHAN
pemborosan dan kebocoran keuangan
negara dalam pengadaan barang/jasa”
2) Pasal 66: a) Ayat (1) PPK menetapkan
Harga Perkiraan Sendiri (HPS)
Barang/Jasa, kecuali untuk
Kontes/Sayembara; b) Ayat (5) HPS
digunakan sebagai antara lain alat untuk
menilai kewajaran penawaran termasuk
rinciannya; c) Ayat (7) Penyusunan HPS
didasarkan pada data harga pasar setempat,
yang diperoleh berdasarkan hasil survei
menjelang dilaksanakannya pengadaan,
dengan mempertimbangkan informasi yang
meliputi: (1) Informasi biaya satuan yang
dipublikasikan secara resmi oleh Badan
Pusat Statistik (BPS); (2) Informasi biaya
satuan yang dipublikasikan secara resmi
oleh asosiasi terkait dan sumber data lain
yang dapat dipertanggungjawabkan; (3)
Biaya Kontrak sebelumnya atau yang
sedang berjalan dengan
mempertimbangkan faktor perubahan
biaya; (4) Daftar biaya/tarif Barang/Jasa
yang dikeluarkan oleh pabrikan/distributor
tunggal; (5) Hasil perbandingan dengan
Kontrak sejenis, baik yang dilakukan
dengan instansi lain maupun pihak lain; (6)
Norma indeks; dan/atau (7) Perkiraan
perhitungan biaya yang dilakukan oleh
konsultan perencana (engineer’s estimate);
b. Peraturan Menteri Keuangan Nomor
53/PMK.02/2014 tentang Standar Biaya
Masukan Tahun Anggaran 2015 khususnya:
Nomor 33.2 tentang sewa kendaraan
operasional pejabat yang pada Angka 33.2.1
menyatakan untuk pejabat eselon 1 sewa sebesar
Rp17.660.000,00 per bulan.
Kondisi tersebut diatas mengakibatkan pemborosan keuangan negara sebesar
Rp91.424.748,00 atas biaya sewa kendaraan dinas
hasil e-purchasing yang melebihi SBM 2015.
3. Proses Pengadaan dan Pelaksanaan Pekerjaan
Renovasi Ruang Kerja Kementerian BUMN
Tidak Memadai Sehingga Mengakibatkan
Pemborosan Sebesar Rp.344.134.100,00.
Hal tersebut terlihat pada beberapa hal berikut,
antara lain :
a. Dokumen Sumber HPS Tidak Dapat
Ditunjukkan oleh ULP dan Konsultan
Perencana
b. Negosiasi Harga Satuan dengan Pemenang
Lelang Tidak Dilakukan oleh Anggota ULP
c. Pada saat penyerahan lokasi kerja tidak
dilakukan pemeriksaan lapangan bersama antara
PPK, rekanan dan konsultan pengawas. Hal ini
berisiko timbulnya perubahan pekerjaan dan
tidak sesuai dengan spesifikasi kontrak.
d. Perubahan kontrak Belum Sepenuhnya Sesuai
Dengan Ketentuan.
BPK merekomendasikan kepada
Menteri BUMN menginstruksikan
Sekretaris Kementerian BUMN
untuk memberikan teguran kepada
ULP yang kurang cermat dalam
menyusun RKS dan mengevaluasi
dokumen penawaran pemenang
lelang, serta PPK yang kurang
cermat dalam mengawasi
konsultan perencana, rekanan dan
konsultan pengawas.
Untuk memperbaiki
permasalahan tersebut maka
ULP harus cermat dalam
menyusun RKS dan
mengevaluasi dokumen
penawaran pemenang lelang.
Selain itu, PPK harus cermat
dalam mengawasi konsultan
perencana, rekanan, dan
konsultan pengawas.
17 LHP No. 28/Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara-BKD
NO. TEMUAN REKOMENDASI BPK HASIL TELAAHAN
e. Terdapat Harga Satuan Pekerjaan yang tidak
didukung Analisa Harga Satuan Sebesar
Rp81.959.160,00
f. Terdapat Bagian Pekerjaan yang Berpotensi
Memboroskan Keuangan Negara Sebesar
Rp49.691.600,00 dan Belum Dilaksanakan.
g. Konsultan Pengawas Belum Memadai dalam
Menjalankan Fungsinya
Hal tersebut tidak sesuai dengan:
a. Peraturan Presiden Nomor 172 Tahun 2014
tentang Perubahan ketiga atas Peraturan
Presiden Nomor Tahun 2014 tentang Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah pada Pasal 66 Ayat (1),
Ayat (5), dan Ayat (7).
b. Addendum Kesatu Atas Perjanjian Induk
Pekerjaan Renovasi Ruang Kerja Lantai 3 s,d 7
KBUMN Nomor ADD-01/PPK2.MBU/12/2015
tanggal 8 Desember 2015 pada Pasal 5 Hak dan
Kewajiban Para Pihak, Pasal 6, Pasal 7, dan
Syarat-Syarat Umum Kontrak Nomor 14.2,
Nomor 20.1, Nomor 20.2, dan Nomor 34.1.
c. Syarat-syarat Khusus Kontrak Nomor Perj-
48/PPK2.MBU/10/2015 Pekerjaan Jasa
Konsultansi Pengawas Ronovasi Ruang Kerja
Gedung KBUMN tanggal 15 Oktober 2015,
Pembayaran Prestasi Pekerjaan.
Kondisi diatas mengakibatkan :
a. Potensi harga pekerjaan renovasi ruang kerja
yang harus dibayar bukan merupakan harga
yang paling menguntungkan bagi KBUMN.
b. Pemborosan keuangan negara atas pembayaran
jasa konsultan perencana, pengawas dan
instalasi CCTV Rp344.134.100,00.
LHP No.30/Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara-BKD
18
GAMBARAN UMUM
KEMENTERIAN KOPERASI DAN USAHA KECIL & MENENGAH
ajian yang disusun merupakan kajian yang dilakukan terhadap laporan hasil
pemeriksaan BPK RI atas laporan keuangan, laporan kinerja dan pemeriksaan dengan
tujuan tertentu yang disusun oleh Kementerian/Lembaga Pemerintah Pusat tahun
2015 yang dikeluarkan pada Semester I Tahun 2016. Secara khusus kajian ini dilakukan
terhadap LK Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah. Sedangkan tujuan dari
kajian adalah untuk menyediakan informasi sebagai bahan tindaklanjut DPR atas LHP BPK
sebagai pelaksanaan wewenang, tugas dan fungsi pengawasan parlemen atas akuntabilitas
administrasi keuangan negara.
Gambaran umum sebagai pelengkap dari kajian ini dapat dilihat sebagai berikut:
Opini BPK RI
Laporan Realisasi Anggaran (LRA) dan Laporan Operasional (LO)
Kondisi Aset dalam Neraca 2015 (Audited)
K
OPINI BPK RI2014
WTP-DPP
2015
WTP
LRAAnggaran
1.677.169.425.000
Realisasi
1.319.343.918.26378,66%
Aset Lancar
• 575.646.309.913
Aset Tetap
• 1.886.874.194.645
Aset Lainnya
• 100.536.237.378
LO
Pendapatan Operasional
305.950.368.870
Beban Operasional
1.441.840.086.320
Defisit
(1.135.889.717.450)
LHP No.30/Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara-BKD
19
KUTIPAN & TELAAHAN HASIL PEMERIKSAAN BPK RI SEMESTER I TAHUN 2016
ATAS LAPORAN KEUANGAN KEMENTERIAN KOPERASI DAN USAHA KECIL & MENENGAH
TAHUN ANGGARAN 2015
NO. TEMUAN REKOMENDASI BPK HASIL TELAAHAN
Pemeriksaan atas Sistem Pengendalian Intern
1. Proses Review Internal Atas Penganggaran
Pengadaan Aset Tetap dan Aset Tak Berwujud
Sebesar Rp1.517.459.000,00 Tidak Memadai
Hal tersebut terlihat pada dokumen sumber
pertangungjawaban pengeluaran/belanja tahun 2015
ditemukan penggunaan MAK 52 (Belanja Barang)
sebesar Rp1.517.459.000,00 (Rp235.500.000,00 +
Rp1.051.347.000,00 + Rp187.712.000,00 +
Rp42.900.000,00) yang digunakan untuk Belanja
Modal, yang meliputi :
a. Belanja Modal yang menggunakan MAK
522131 (Belanja Jasa Konsultan) sebesar
Rp235.500.000,00 pada Deputi Bidang
Pengkajian Sumber daya UMKM.
b. Belanja Modal yang menggunakan MAK
522131 (Belanja Jasa Konsultan) sebesar
Rp1.051.347.000,00 pada Deputi Bidang
Pengembangan dan Restrukturisasi Usaha.
c. Belanja Modal yang menggunakan MAK
522191 (Belanja Jasa Lainnya) sebesar
Rp187.712.000,00 pada Bagian Data Biro
Perencanaan.
d. Belanja Modal yang menggunakan MAK
521811 (Belanja Barang untuk Persediaan
Barang Konsumsi) sebesar Rp42.900.000,00
pada Biro Umum Pemeriksaan lebih lanjut
diketahui bahwa kesalahan penganggaran
tersebut terjadi pada awal perencanaan mulai
dari usulan tingkat satker bersangkutan sampai
dengan Inspektorat. Penjelasan dari Pihak
Inspektorat terkait penganggaran diperoleh
informasi bahwa Pihak Inspektorat tidak
melakukan review atas proses penyusunan
anggaran dikarenakan keterbatasan waktu yaitu
pengesahan DIPA yang telah ditetapkan dan
SDM yang terbatas untuk melakukan mereview.
Permasalahan tersebut tidak sesuai dengan:
a. Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010
tentang Standar Akuntansi Pemerintah yang
menetapkan bahwa:
1) Belanja operasi adalah pengeluaran
anggaran untuk kegiatan sehari-hari
pemerintah pusat/daerah yang memberi
manfaat jangka pendek. Belanja operasi
antara lain meliputi belanja pegawai, belanja
barang, bunga, subsidi, hibah, bantuan
sosial; dan
2) Belanja modal adalah pengeluaran anggaran
untuk perolehan aset tetap dan aset lainnya
yang memberi manfaat lebih dari satu
periode akuntansi. Belanja modal meliputi
antara lain belanja modal untuk perolehan
BPK merekomendasikan kepada
Menteri Koperasi dan UKM agar
menginstruksikan Sekretaris
Menteri untuk memberikan sanksi
sesuai ketentuan yang berlaku
kepada Inspektur Kementerian
Koperasi dan UKM dan Kepala
Biro Perencanaan dan secara
berjenjang kepada pejabat terkait
lainnya sehingga penganggaran
belanja sesuai dengan klasifikasi
anggaran belanja.
Untuk memperbaiki
permasalahan tersebut, maka
Deputi Bidang Pengkajian
Sumber Daya UMKM, Deputi
Bidang Pengembangan dan
Restrukturisasi Usaha, Bagian
Data Biro Perencanaan, dan
Biro Umum serta Bagian
Program Biro Perencanaan
sebagai bagian yang
mengkonsolidasi perencanaan
harus segera menyusun
anggaran yang selaras dengan
kebutuhan; dan Inspektorat
dan Kepala Biro Perencanaan
harus cermat dalam mereviu
dan menyusun klasifikasi
anggaran belanja Tahun 2015
LHP No.30/Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara-BKD
20
NO. TEMUAN REKOMENDASI BPK HASIL TELAAHAN
tanah, gedung dan bangunan, peralatan, aset
tak berwujud.
b. Peraturan Menteri Keuangan No.
136/PMK/02/2014 tentang Petunjuk Penyusunan
dan Penelaahan Rencana Kerja dan Anggaran
Kementerian Negara/Lembaga Pasal 8 yang
menetapkan antara lain:
1) Penelitian RKA/K/L unit eselon I oleh
Sekretariat Jenderal/Sekretariat
Utama/Sekretariat c.q Biro
Perencanaan/Unit Perencanaan
Kementerian/Lembaga sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 huruf a dilakukan
melalui verifikasi atas kelengkapan dan
kebenaran dokumen yang dipersyaratkan
serta kepatuhan dalam penerapan kaidah-
kaidah perencanaan penganggaran; dan
2) Hasil penelitian RKA/K/L sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada
APIP K/L untuk direviu.
Hal tersebut mengakibatkan fungsi penganggaran
yang merupakan salah satu alat pengendalian intern
tidak berjalan optimal.
2. Pengendalian Atas 11 Paket Pengadaan
Barang/Jasa Pada Dinas Koperasi dan UMKM
Provinsi Banten Belum Memadai
Hal tersebut terlihat pada beberapa hal berikut,
antara lain :
a. Penyusunan HPS Tidak Didukung Dengan
Analisa Harga Satuan
b. Harga Yang Digunakan Dalam SPK adalah
Harga Tertinggi dan Tidak Terdapat Riwayat
Negosiasi Harga
c. Terdapat Indikasi Pemecahan Pekerjaan ke
Dalam Lima Paket Pekerjaan Untuk
Menghindari Pelelangan
Hal tersebut tidak sesuai dengan:
a. Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2015 tentang
Perubahan Keempat atas Perpres Nomor 54
Tahun 2010 yang menetapkan antara lain:
1) Pasal 5 yang menyatakan pengadaan
barang/jasa menerapkan prinsip-prinsp
antara lain: efisien, transparan, terbuka dan
bersaing;
2) Pasal 55 ayat (4) yang menyatakan, SPK
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
c, digunakan untuk Pengadaan
Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Lainnya
sampai dengan Rp200.000.000,00 (dua ratus
juta rupiah) dan untuk Jasa Konsultansi
dengan nilai sampai dengan
Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
b. Peraturan Kepala LKPP Nomor 14 tahun 2012
Petunjuk Teknis Peraturan Presiden (Perpres)
Nomor 70 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua
atas Perpres Nomor 54 Tahun 2010 pada:
1) BAB II huruf A. angka 3.2) yang
menyatakan Harga Perhitungan Sendiri
BPK merekomendasikan kepada
Menteri Koperasi dan UKM agar
memberitahukan secara tertulis
kepada Kepala Dinas Koperasi dan
UKM Provinsi Banten untuk
memberikan sanksi sesuai
ketentuan yang berlaku kepada
Pejabat Pembuat Komitmen dan
Pejabat Pengadaan terkait,
sehingga pengadaan barang/jasa
dapat dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan.
Untuk memperbaiki
permasalahan tersebut, maka
Pejabat Pembuat Komitmen
perlu menyusun HPS
berdasarkan dokumen sumber
sesuai dengan peraturan yang
berlaku, dan tidak melakukan
pemecahan paket pekerjaan
untuk menghindari pelelangan.
Selain itu, Pejabat Pengadaan
harus melakukan negosiasi
harga untuk mendapatkan
harga yang terbaik dari proses
pengadaan barang dan/atau
jasa.
LHP No.30/Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara-BKD
21
NO. TEMUAN REKOMENDASI BPK HASIL TELAAHAN
a) digunakan untuk pengadaan dengan
bukti kuitansi, SPK, dan surat
perjanjian;
b) dasar untuk menetapkan batas tertinggi
penawaran yang sah untuk pengadaan;
dan
c) riwayat HPS harus didokumentasikan
secara baik.
2) BAB II. Huruf A. Angka 4.C.2) yang
menyatakan bahwa Pengadaan Langsung
dilaksanakan berdasarkan harga yang
berlaku di pasar kepada Penyedia yang
memenuhi kualifikasi; dan
3) BAB III. Huruf A. Angka 11.c.2).b).(2)
yang menyatakan Permintaan penawaran
yang disertai dengan klarifikasi serta
negosiasi teknis dan harga kepada Penyedia
untuk pengadaan yang menggunakan SPK,
meliputi antara lain: a) Pejabat Pengadaan
mencari informasi terkait pekerjaan yang
akan dilaksanakan dan harga, antara lain
melalui media elektronik dan/ atau non-
elektronik; dan b) Pejabat Pengadaan
membandingkan harga dan kualitas paling
sedikit dari 2 (dua) sumber informasi yang
berbeda.
Hal tersebut mengakibatkan:
a. Penyusunan HPS belum sepenuhnya didukung
dengan analisa harga satuan;
b. Upaya untuk memperoleh harga yang
menguntungkan negara tidak diperoleh; dan
c. Upaya untuk melaksanakan persaingan yang
sehat belum sepenuhnya terwujud.
3. Terdapat Dana Penjaminan yang Idle Senilai
Rp1.746.390.418,30 Belum Dialihkan ke
Rekening LPD KUMKM
Hal tersebut terlihat bahwa terdapat dana
penjaminan yang idle sebesar Rp1.843.486.414,68
yang belum dialihkan ke rekening LPDB KUMKM.
Pemeriksaan lebih lanjut dan berdasarkan
keterangan dari Asisten Deputi Urusan Asuransi
pada tanggal 8 April 2016 diketahui bahwa
berdasarkan data per Februari 2016, dana idle adalah
sebesar Rp1.746.390.418,30 yaitu total dana
penjaminan (sebesar Rp2.341.323.198,58) dikurangi
dana pada rekening penjaminan (yang masih dalam
proses penjaminan sebesar Rp592.049.753,59) dan
dikurangi dengan hak perum Jamkrindo sebesar
Rp2.883.026,69.
Hal tersebut diatas tidak sesuai dengan Keputusan Menteri Koperasi dan UKM Nomor
144/Kep/M.KUKM/XI/2007 tentang Pengalihan
Dana Bergulir Program Penjaminan dan Program
MAP untuk Dikelola LPDB KUMKM, Diktum
Keempat yang menyatakan bahwa
pengadministrasian dan teknis pengalihan Dana
Bergulir Program Penjaminan dilaksanakan dengan
ketentuan Dana bergulir program penjaminan yang
terdapat pada rekening dana penjaminan setelah
BPK merekomendasikan kepada
Menteri Koperasi dan UKM agar
memerintahkan Deputi
Restrukturisasi dan
Pengembangan Usaha untuk
memantau proses pengalihan dana
tersebut ke rekening LPDB
KUMKM, sehingga dapat
dimanfaatkan sesuai dengan
ketentuan.
Untuk memperbaiki
permasalahan tersebut, Deputi
Restrukturisasi dan
Pengembangan Usaha tidak
optimal dalam mengelola dana
penjaminan, terutama terhadap
proses pengalihan atas dana
yang telah idle.
LHP No.30/Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara-BKD
22
NO. TEMUAN REKOMENDASI BPK HASIL TELAAHAN
tanggal jatuh tempo disetor oleh lembaga pengelola
dana penjaminan dan selanjutnya dialihkan ke
rekening pengembalian pokok dana bergulir LPDB
KUMKM.
Hal tersebut mengakibatkan dana idle belum
dapat digunakan sebagai dana bergulir oleh LPDB
KUMKM senilai Rp1.746.390.418,30.
Pemeriksaan atas Kepatuhan terhadap Peraturan Perundang-undangan
1. Saldo Rekening Lainnya Nomor 720-1000-801
Pada Bank Permata Sebesar Rp564.755.563,00
Sudah Tidak Aktif Namun Belum Dilakukan
Penutupan
Hasil pemeriksaan atas rekening kas, diketahui
selain 37 rekening yang disajikan dalam neraca
masih terdapat satu rekening untuk penampungan
lainnya yaitu pada PT Bank Permata Tbk dengan
saldo Rp564.755.563,00. Berdasarkan surat dari
Head Client Relationship dan Head Financial
Institutions dari PT Bank Permata Tbk, Nomor
0450/SK/NFBI/FI/CR/WB/08/2015 tanggal 24
Agustus 2015 kepada Sdr. AG dan Sdr. SY, M.D,
perihal pemberitahuan rekening Koperasi dan UKM
yang menyatakan bahwa sesuai PMK Nomor
252/PMK.05.2014 tentang Rekening Milik
Kementerian Negara/Lembaga/Satuan Kerja,
rekening Nomor 720-1000-801 atas nama rekening
Kementerian Koperasi dan UKM diketahui saat ini
status rekening tersebut dormant (tidak aktif) yang
kerja sama pembukaan rekeningnya dilakukan sejak
tanggal 4 Maret 2003.
Berdasarkan pengecekan dari dokumen bank oleh
pihak PT Bank Permata Tbk. pembukaan rekening
ditandatangani oleh Drs. ZU selaku Asisten Deputi
Urusan Restrukturisasi UKM. Rekening Nomor
720-1000-801 telah dilaporkan sebagai rekening
pemerintah lainnya dengan mencatatkan dalam
laporan keuangan.
Hal tersebut tidak sesuai dengan PMK Nomor
252/PMK.05/2014 tentang Rekening Milik
Kementerian Negara/Lembaga/Satuan Kerja
a. Pasal 1 angka 12 yang menyatakan Rekening
Lainnya adalah Rekening giro dan/atau deposito
pada bank umum/kantor pos yang dipergunakan
untuk menampung uang yang tidak dapat
ditampung pada Rekening Penerimaan dan
rekening Pengeluaran berdasarkan tugas dan
fungsi Kementerian Negara/Lembaga/Satuan
Kerja;
b. Pasal 2 ayat (1) yang menyatakan Rekening
milik Kementerian Negara/Lembaga/Satuan
Kerja dikelompokkan menjadi Rekening
Penampungan, Rekening Pengeluaran, dan
Rekening Lainnya;
c. Pasal 26 ayat (1) yang menyatakan
KPA/pemimpin BLU harus melaporkan saldo
seluruh Rekening yang dikelolanya setiap bulan
kepada Kepala KPPN paling lambat tanggal 10
(sepuluh) bulan berikutnya;
BPK merekomendasikan kepada
Menteri Koperasi dan UKM agar
menginstruksikan Sekretaris
Kementerian dan Kepala Biro
Keuangan untuk memastikan
penutupan rekening pada Bank
Permata Nomor 720-1000-801 dan
penyetoran saldonya ke rekening
kas negara.
Untuk memperbaiki
permasalahan tersebut, maka
KPA harus cermat dalam
mengendalikan dan
mengawasi rekening milik
Kementerian Koperasi dan
UKM.
LHP No.30/Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara-BKD
23
NO. TEMUAN REKOMENDASI BPK HASIL TELAAHAN
d. Pasal 37 yang menyatakan KPA/pemimpin BLU
harus menutup Rekening milik Kementerian
Negara/Lembaga/Satuan Kerja yang sudah tidak
digunakan sesuai dengan tujuan dan
peruntukannya dan memindahkan saldo
Rekening ke Kas Negara.
Hal tersebut mengakibatkan saldo pada rekening
Bank Permata Nomor 720-1000-801 senilai
Rp564.755.563,00 berpotensi dan berpeluang untuk
disalahgunakan.
LHP No. 44/Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara-BKD
24
GAMBARAN UMUM
BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL
ajian yang disusun merupakan kajian yang dilakukan terhadap laporan hasil
pemeriksaan BPK RI atas laporan keuangan, laporan kinerja dan pemeriksaan dengan
tujuan tertentu yang disusun oleh Kementerian/Lembaga Pemerintah Pusat tahun
2015 yang dikeluarkan pada Semester I Tahun 2016. Secara khusus kajian ini
dilakukan terhadap LK Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Sedangkan tujuan dari
kajian adalah untuk menyediakan informasi sebagai bahan tindaklanjut DPR atas LHP BPK
sebagai pelaksanaan wewenang, tugas dan fungsi pengawasan parlemen atas akuntabilitas
administrasi keuangan negara.
Gambaran umum sebagai pelengkap dari kajian ini dapat dilihat sebagai berikut :
Opini BPK RI
Laporan Realisasi Anggaran (LRA) dan Laporan Operasional (LO)
Kondisi Aset dalam Neraca 2015 (Audited)
K
OPINI BPK RI2014
WTP
2015
WTP
LRAAnggaran
635.922.699.000
Realisasi
572.399.412.27090,01%
Aset Lancar
• 14.605.878.608
Aset Tetap
• 587.220.656.274
Aset Lainnya
• 117.358.396.460
LO
Pendapatan Operasional
471.367.981
Beban Operasional
565.112.510.32
Defisit
(564.641.142.751)
LHP No. 44/Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara-BKD
25
KUTIPAN & TELAAHAN PEMERIKSAAN BPK RI SEMESTER I TAHUN 2016
ATAS LAPORAN KEUANGAN BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL
TAHUN ANGGARAN 2015
NO. TEMUAN REKOMENDASI BPK HASIL TELAAHAN
Pemeriksaan atas Sistem Pengendalian Intern
1. Pemantauan Pelaksanaan Penatausahaan
Barang Milik Negara Berupa Aset Tak Berwujud
(ATB) Belum Dilaksanakan Secara Memadai dan
BKPM Belum Memperhitungkan Amortisasi
atas ATB nya
Hasil pemeriksaan yang dilakukan Tim BPK
bersama dengan tim Inspektorat dan Biro Keuangan
terhadap ATB tersebut diketahui bahwa terdapat
ATB yang tergolong sudah usang dan tidak
dimanfaatkan lagi seperti software dan ATB lainnya
karena telah diganti dengan yang baru senilai
Rp24.397.613.656,00. BKPM telah melakukan
reklasifikasi ATB yang sudah usang dan tidak
digunakan lagi ke dalam kelompok aset lain-lain
senilai Rp24.397.613.656,00.
Hal tersebut di atas tidak sesuai dengan:
a. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan
Barang Milik Negara/ Daerah:
1) Pasal 91 yang menyatakan “Pengawasan
dan Pengendalian Barang Milik Negara/
Daerah dilakukan oleh: pada huruf (a)
Pengguna Barang melalui pemantauan dan
penertiban.”
2) Pasal 92 ayat (1) yang menyatakan
“Pengguna barang melakukan pemantauan
dan penertiban terhadap penggunaan,
pemanfaatan, pemindahtanganan,
penatausahaan, pemeliharaan, dan
pengamanan BMN/D yang berada dalam
penguasaannya.”
3) Pasal 92 ayat (2) yang menyatakan
“Pelaksanaan pemantauan dan penertiban
untuk kantor/satuan kerja dilaksanakan oleh
Kuasa Pengguna Barang.”
b. Peraturan Menteri Keuangan Nomor
244/PMK.06/2012 tentang Tata Cara
Pelaksanaan Pengawasan dan Pengendalian
Barang Milik Negara:
1) Pasal 12 ayat (1) yang menyatakan “Kuasa
Pengguna Barang wajib melakukan
pemantauan atas pelaksanaan penggunaan,
pemanfaatan, pemindahtanganan,
penatausahaan, pemeliharaan dan
pengamanan atas BMN yang berada di
bawah penguasaannya, yang terdiri dari: (1)
pemantauan periodik; dan (2) pemantauan
insidentil.
2) Pasal 12 ayat (2) yang menyatakan
“pemantauan periodik sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan 1
(satu) tahun sekali.”
BPK merekomendasikan Kepala
BKPM agar menginstruksikan
Sekretaris Utama untuk
membentuk tim pengawasan atas
penatausahaan BMN dan segera
mengusulkan penghapusan ATB
yang sudah usang dan tidak
digunakan ke Direktorat Jenderal
Kekayaan Negara sesuai dengan
peraturan yang berlaku.
Untuk memperbaiki
permasalahan tersebut, maka
Kuasa Pengguna Barang harus
optimal melakukan
pemantauan atas
penatausahaan ATB dan belum
membentuk tim untuk
melakukan pemantauan secara
periodik.
LHP No. 44/Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara-BKD
26
NO. TEMUAN REKOMENDASI BPK HASIL TELAAHAN
3) Pasal 12 ayat (3) yang menyatakan “Kuasa
Pengguna Barang melakukan pemantauan
periodik yang diselesaikan paling lama akhir
bulan Februari tahun berjalan, untuk
kegiatan pelaksanaan Penggunaan,
Pemanfaatan, Pemindahtanganan,
Penatausahaan, Pemeliharaan dan
Pengamanan BMN tahun sebelumnya.”
c. Lampiran I Peraturan Menteri Keuangan Nomor
219/PMK.05/2013 tentang Kebijakan Akuntansi
Pemerintah Pusat yang berbunyi “Terhadap Aset
Tidak Berwujud dilakukan amortisasi, kecuali
atas Aset Tidak Berwujud yang memiliki masa
manfaat tidak terbatas”.
d. Bab V Hal. 24 baris 18 s.d 24 Buletin Teknis
Nomor 17 tentang Amortisasi, penurunan nilai,
Penghentian dan pelepasan Aset Tak Berwujud
yang berbunyi “Amortisasi hanya dapat
diterapkan atas ATB yang memiliki masa
manfaat terbatas dan pada umumnya ditetapkan
dalam jumlah yang sama pada periode, atau
dengan suatu basis alokasi garis lurus. Aset tak
berwujud dengan masa manfaat yang terbatas
(seperti paten, hak cipta, waralaba dengan masa
manfaat terbatas, dll) harus diamortisasi selama
masa manfaat atau masa secara hukum mana
yang lebih pendek. Nilai sisa dari ATB dengan
masa manfaat yang terbatas harus diasumsikan
bernilai nihil.
Hal tersebut mengakibatkan:
a. Terdapat potensi lebih saji pada akun Aset Tak
Berwujud per 31 Desember 2015.
b. Terdapat ATB yang tidak dapat dimanfaatkan
sebagaimana mestinya senilai
Rp24.397.613.656,00.
Pemeriksaan atas Kepatuhan terhadap Peraturan Perundang-undangan
1. Penatausahaan Kas di Bendahara Pengeluaran
pada Delapan Satker Badan Koordinasi
Penanaman Modal Belum Tertib
Hal tersebut terlihat pada beberapa hal berikut,
antara lain :
a. Bendahara Pengeluaran Terlambat Menyetorkan
Sisa Dana Uang Persediaan (UP/TUP) Tahun
2015
b. Terdapat Saldo Kas Tunai di Bendahara
Pengeluaran yang Melebihi Nominal Rp50,00
juta
Atas kondisi jumlah uang kas yang melebihi jumlah
maksimal tersebut, BP atau BPP tidak membuat
Berita Acara Keadaan Kas yang ditandatangani oleh
BP/BPP dan KPA atau PPK atas nama KPA
sebagaimana diatur dalam Peraturan Direktur
Jenderal Perbendaharaan Nomor PER-3/PB/2014
Pasal 7 ayat (2).
Kondisi tersebut tidak sesuai dengan:
a. Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan
Nomor Per-3/PB/2014 tentang Petunjuk Teknis
Penatausahaan, Pembukuan, dan
BPK merekomendasikan Kepala
BKPM agar menginstruksikan
KPA untuk memerintahkan:
a. PPK atas nama KPA
memastikan jumlah uang tunai
yang berasal dari UP/TUP di
brankas BP/BPP pada akhir
jam kerja maksimal
Rp50.000.000.
b. Bendahara menyetorkan sisa
dana UP/TUP sesuai ketentuan
dan membuat Berita Acara
Keadaan Kas setiap hari dalam
hal karena kebutuhan saldo kas
melebihi Rp50.000.000,00.
Untuk memperbaiki
permasalahan tersebut, maka
Bendahara masing-masing
Satker harus sepenuhnya
melaksanakan tugas dan
kewajibannya sesuai ketentuan
peraturan yang berlaku. Selain
itu perlu pengawasan PPK
dalam penatausahaan kas di
akhir hari kerja sesuai
ketentuan.
LHP No. 44/Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara-BKD
27
NO. TEMUAN REKOMENDASI BPK HASIL TELAAHAN
Pertanggungjawaban Bendahara pada Satuan
Kerja Pengelola Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara serta Verifikasi Laporan
Pertanggungjawaban Bendahara:
1) Pasal 7 ayat (1) menyatakan bahwa “Dalam
rangka penatausahaan kas Bendahara
Pengeluaran/BPP, KPA atau PPK atas nama
KPA memastikan jumlah uang tunai yang
berasal dari UP/TUP di brankas Bendahara
Pengeluaran/BPP pada akhir jam kerja
maksimal Rp50.000.000.”
2) Pasal 7 ayat (2) menyatakan bahwa “Dalam
hal uang tunai yang berasal dari UP/TUP
yang ada pada kas Bendahara
Pengeluaran/BPP lebih dari
Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah),
Bendahara Pengeluaran/BPP membuat
Berita Acara yang ditandatangani oleh
Bendahara Pengeluaran/BPP dan KPA atau
PPK atas nama KPA.”
3) Pasal 7 ayat (3) menyatakan bahwa “Berita
acara keadaan kas harus dibuat pada saat
kejadian paling lambat pada jam tutup
kantor.”
b. Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan
Nomor Per-24/PB/2015 tentang Pedoman
Pelaksanaan Penerimaan dan Pengeluaran
Negara Pada Akhir Tahun Anggaran 2015, Pasal
24 ayat (1) Bendahara Pengeluaran harus
menyetorkan sisa dana UP/TUP Tahun
Anggaran 2015 yang berada pada kas bendahara
(baik tunai maupun di dalam rekening bank/pos)
ke kas negara paling lambat tanggal 31
Desember 2015, dengan menggunakan akun
pengembalian UP/TUP.
Penatausahaan Kas di BP/BPP yang tidak sesuai
ketentuan dan dalam jumlah lebih dari
Rp50.000.000,00 yang tidak disertai Berita Acara
Keadaan Kas mengakibatkan adanya risiko
pencurian/kehilangan fisik kas.
LHP No. 58/Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara-BKD 28
GAMBARAN UMUM
BADAN STANDARDISASI NASIONAL
ajian yang disusun merupakan kajian yang dilakukan terhadap laporan hasil
pemeriksaan BPK RI atas laporan keuangan, laporan kinerja dan pemeriksaan dengan
tujuan tertentu yang disusun oleh Kementerian/Lembaga Pemerintah Pusat tahun
2015 yang dikeluarkan pada Semester I Tahun 2016. Secara khusus kajian ini dilakukan
terhadap LK Badan Standardisasi Nasional. Sedangkan tujuan dari kajian adalah untuk
menyediakan informasi sebagai bahan tindaklanjut DPR atas LHP BPK sebagai pelaksanaan
wewenang, tugas dan fungsi pengawasan parlemen atas akuntabilitas administrasi keuangan
negara.
Gambaran umum sebagai pelengkap dari kajian ini dapat dilihat sebagai berikut :
Opini BPK RI
Laporan Realisasi Anggaran (LRA) dan Laporan Operasional (LO)
Kondisi Aset dalam Neraca 2015 (Audited)
K
OPINI BPK RI2014
WTP
2015
WDP
LRAAnggaran
164.811.970.000
Realisasi
157.450.708.84595,53%
Aset Lancar
• 201.113.808
Aset Tetap
• 21.277.649.678
Aset Lainnya
• 9.852.391.020
LO
Pendapatan Operasional
16.988.487.190
Beban Operasional
136.898.118.190
Defisit
(119.909.631.000)
LHP No. 58/Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara-BKD 29
KUTIPAN & TELAAHAN HASIL PEMERIKSAAN BPK RI SEMESTER I TAHUN 2016
ATAS LAPORAN KEUANGAN BADAN STANDARDISASI NASIONAL
TAHUN ANGGARAN 2015
NO. TEMUAN REKOMENDASI BPK HASIL TELAAHAN
Pemeriksaan atas Sistem Pengendalian Intern
1. Saldo Aset Tak Berwujud Tidak Dapat Diyakini
Kewajarannya
Hal tersebut terlihat pada beberapa hal berikut,
antara lain :
a. Pencatatan penambahan atas aplikasi SISPK
yang prosentase riil pekerjaanya belum 100%
tidak sesuai dengan SAP. Berdasarkan hasil
pemeriksaan diketahui bahwa prosentase
penyelesaian aplikasi SISPK yang sesuai dengan
spesifikasi TOR, yaitu hanya 52%. Masih
terdapat 48% dari spesifikasi TOR yang belum
dipenuhi oleh PT MCS. Kompetensi PT MCS
dalam memenuhi 48% spesifikasi TOR tersebut
diragukan. Walaupun kondisi demikian BSN
telah membayar 100% nilai kontrak dengan
mendasarkan pada BAPP Nomor
345.13/13SN/PPK-Kesestamaan/3552.996/12/2015
tanggal II Desember 2015 yang menyatakan bahwa
pekerjaan telah diterima oleh BSN sehingga BPK tidak
dapat mengetahui berapa prosentase riil penyelesaian
aplikasi SISPK per 31 Desember 2015.
b. BSN belum memperhitungkan amortisasi Aset
Tak Berwujud. Terlihat dari jumlah akumulasi
penyusutan senilai 273.583.399,00 hanya
merupakan Akumulasi Penyusutan atas aset
tetap yang tidak digunakan dalam operasi
pemerintahan dan belum termasuk Amortisasi
atas Aset Tak berwujud. Penelusuran lebih lanjut
diketahui bahwa pada Aplikasi SIMAK BMN
belum mengakomodir perhitungan amortisasi
pada Aset Tak Berwujud.
Kondisi tersebut tidak sesuai dengan:
a. Bab III Pengakuan Halaman 13 Buletin Teknis
Nomor 11 tentang Akuntansi Aset Tak Berwujud
yang menyatakan bahwa "Sesuatu diakui sebagai
ATB jika biaya perolehan atau nilai wajamya
dapat diukur secara andal".
b. Lampiran I Peraturan Menteri Keuangan Nomor
219/PMK.05/2013 tentang Kebijakan Akuntansi
Pemerintah Pusat yang berbunyi "Terhadap Aset
Tidak Berwujud dilakukan amortisasi, kecuali
atas Aset Tidak Berwujud yang memiliki masa
manfaat tidak terbatas".
c. Bab V Hal. 24 baris 18 s.d 24 Buletin Teknis
Nomor 17 tentang Amortisasi, penurunan nilai,
Penghentian dan pelepasan Aset Tak Berwujud
yang berbunyi "Amortisasi hanya dapat diterapkan
atas ATB yang memiliki masa manfaat terbatas
dan pada umumnya ditetapkan dalam jumlah yang
sama pada periode, atau dengan suatu basis alokasi
garis lurus. Aset tak berwujud dengan masa
manfaat yang terbatas (seperti paten, hak cipta,
BPK merekomendasikan kepada
BSN agar menetapkan pencatatan
Aset Tak Berwujud dan
amortisasinya sesuai SAP.
Untuk memperbaiki
permasalahan tersebut, maka
perlu memfungsikan SISPK
yang berisi saldo Aset Tak
Berwujud yang belum dapat
difungsikan sesuai tujuan
pengadaan dan diragukan
proses penyelesaiannya sesuai
TOR; dan perlu adanya aturan
yang melandasi dasar
perhitungan amortisasasi Aset
Tak Berwujud.
LHP No. 58/Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara-BKD 30
NO. TEMUAN REKOMENDASI BPK HASIL TELAAHAN
waralaba dengan masa manfaat terbatas, dan harus
diamortisasi selama masa manfaat atau masa
secara hukum mana yang lebih pendek. Nilai sisa
dari ATB dengan masa manfaat yang terbatas
harus diasumsikan bemilai nihil.
Hal ini mengakibatkan nilai aset tak berwujud
tidak dapat diyakini kewajarannya.
Pemeriksaan atas Kepatuhan terhadap Peraturan Perundang-undangan
1. Hasil Pekerjaan Pengembangan Sistem
Informasi Standardisasi dan Penilaian
Kesesuaian Senilai Rp4,95 miliarTidak Sesuai
Spesifikasi Teknis dan Berpotensi Tidak Dapat
Digunakan Sesuai Tujuan Pengadaan
Berdasarkan hasil pemeriksaan atas proses
pengadaan, pelaksanaan pengembangan SISPK, dan
implementasi SISPK diketahui beberapa hal sebagai
berikut:
a. Penyusunan dan Penetapan Harga Perkiraan
Sendiri (HE'S) Kurang Dikordinasikan Dengan
Tim Teknis
b. ULP terindikasi kurang cermat dalam
pembuktian validitas dokumen Tenaga Ahli
yang tercantum dalam penawaran
c. Pelaksanaan Pengembangan SISPK tidak sesuai
dengan spesifikasi pekerjaan yang ditentukan
dalam TOR
d. PPK Belum Sepenuhnya Memastikan
Penyerahan Hasil.
e. Pembayaran BLP tidak sesuai dengan kondisi
sebenarnya, dan diindikasikan terdapat
kelebihan pembayaran senilai
Rp2.274.812.500,00
f. Potensi kegagalan penyelesaian pekerjaan
pengembangan dan implementasi SISPK
Hal tersebut tidak sesuai dengan:
a. Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010
sebagaimana telah diubah melalui Perpres
Nomor 70 Tahun 2012 tentang Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah
1) Pasal 5 yang menyatakan "pengadaan
barang/jasa menerapkan prinsip-prinsip, pada
huruf a. efisien, dan b. efektif."
a) Penjelasan Pasal 5 huruf a. yang
menyatakan "Efisien, berarti pengadaan
barang/jasa harus diusahakan dengan
menggunakan dana dan daya yang
minimum untuk mencapai kualitas dan
sasaran dalam waktu yang ditetapkan
untuk mencapai hasil dan sasaran dengan
kualitas yang maksimum."
b) Penjelasan Pasal 5 huruf b. yang
menyatakan "Efektif, berarti pengadaan
barang/jasa harus sesuai dengan
kebutuhan dan sasaran yang ditetapkan
serta memberikan manfaat yang senilai-
besarnya.
2) Pasal 11 ayat (1) menyatakan bahwa PPK
memiliki tugas pokok dan kewenangan
BPK merekomendasikan kepada
Kepala BSN untuk:
1. Memerintahkan Sestama BSN
untuk menagih kelebihan
pembayaran kepada PT MCS
senilai Rp2.274.812.500,00
2. Memberikan sanksi kepada
para pejabat yang tidak
melaksanakan tugas sesuai
ketentuan; dan
3. Meminta PT MCS untuk
mempertanggujawabkan hasil
pekerjaan yang tidak sesuai
speseifikasi teknis.
Untuk memperbaiki
permasalahan tersebut, maka
perlu melakukan beberapa hal
antara lain :
a. Sestama dan Karo PKT
perlu membuat perubahan
TOR SISPK kurang
memperhatikan prinsip
efisien dan efektif dalam
pengadaan barang jasa,
serta tidak berkoordinasi
dengan unit teknis;
b. ULP dan PPK dalam
menyusun HPS perlu
memiliki pertimbangan
teknis yang memadai;
c. ULP harus melaksanakan
tugasnya dalam
penyelenggaraan
aanwijzing dan
pembuktian kualifikasi
Tenaga Ahli sesuai
ketentuan;
d. PPK harus melaksanakan
tugasnya dalam
pengendalian pelaksanaan
kontrak oleh PT MCS
sesuai ketentuan;
e. PT MCS harus
memberitahukan kepada
PPK terkait perubahan
metodologi pelaksanaan
kerja, penggantian personil
pelaksana dan pengalihan
pekerjaan utama (sub
kontrak);
f. Panitia Penerima Hasil
Pekerjaan harus
melaksanakan tugasnya
dalam pemeriksaan hasil
pekerjaan pengembangan
SISPK sesuai ketentuan;
dan
g. PT MCS tidak
diperboehkan memalsukan
daftar presensi Tenaga Ahli
yang tercantum dalam
penawaran dan
menagihkan seluruh BLP
LHP No. 58/Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara-BKD 31
NO. TEMUAN REKOMENDASI BPK HASIL TELAAHAN
diantaranya; menetapkan rencana
pelaksanaan pengadaan barang/jasa yang
meliputi spesifikasi teknis barang/jasa, HPS,
dan rancangan kontrak, serta mengendalikan
pelaksanaan kontrak
3) Pasal 11 ayat (2) menyatakan dalam hal
diperlukan, PPK dapat mengusulkan kepada
PA/KPA menetapkan tim pendukung,
menetapkan tim atau tenaga ahli pemberi
penjelasan teknis (aanwijzer) untuk
membantu pelaksanaan tugas ULP:
4) Pasal 18 ayat (5) menyatakan Panitia/Pejabat
Penerima Hasil Pekerjaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) mempunyai tugas
pokok dan kewenangan untuk melakukan
pemeriksaan hasil pekerjaan Pengadaan
Barang/Jasa sesuai dengan ketentuan yang
tercantum dalam Kontrak
5) Pasal 51 ayat (2) menyatakan bahwa kontrak
harga satuan merupakan kontrak pengadaan
barang/jasa atas penyelesaian seluruh
pekerjaan dalam Batas waktu yang telah
ditetapkan dengan ketentuan diantaranya
bahwa pembayarannya didasarkan pada hasil
pengukuran bersama atas volume pekerjaan
yang benar-benar telah dilaksanakan oleh
Penyedia Barang/Jasa.
6) Pasal 56 ayat (11) menyatakan ULP/Pejabat
Pengadaan wajib menyederhanakan proses
kualifikasi dengan ketentuan:
a) meminta Penyedia Barang/Jasa mengisi
formulir kualifikasi;
b) tidak meminta seluruh dokumen yang
disyaratkan kecuali pada tahap
pembuktian kualifikasi; dan
c) pembuktian kualifikasi pada
pelelangan/seleksi internasional dapat
dilakukan dengan meminta dokumen
yang dapat membuktikan kompetensi
calon Penyedia Barang/Jasa.
7) Pasal 87 ayat (3) menyatakan Penyedia
Barang/Jasa dilarang mengalihkan
pelaksanaan pekerjaan utama berdasarkan
Kontrak, dengan melakukan subkontrak
kepada pihak lain, kecuali sebagian pekerjaan
utama kepada penyedia Barang/Jasa spesialis
c. Surat Perjanjian/Kontrak Nomor
196/BSN/PPK-Kesestamaan/3552.996/07/2015
tanggal 15 Juli 2015 Point 3 menyatakan:
dokumen-dokumen berikut merupakan satu
kesatuan dan bagian yang tidak terpisahkan dari
Kontrak: 1) Adendum Surat Perjanjian; 2)
Pokok Perjanjian; 3) Surat Penawaran berikut
Daftar Kuantitas dan Harga; 4) SSKK; 5) SSUK;
6) Spesifikasi khusus; 7) Spesifikasi umum; 8)
Gambar-gambar; dan 9) Dokumen lainnya
seperti jaminan-jaminan, SPPBJ, BAHP dan
BAPP.
d. Syarat-syarat Umum Kontrak (SSUK)
sesuai kontrak, dan
terhadap tindakan tersebut
perlu diberikan sanksi.
LHP No. 58/Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara-BKD 32
NO. TEMUAN REKOMENDASI BPK HASIL TELAAHAN
1) Angka 9.1 Pekerjaan Jasa Konsultasi ini
dikerjakan terutama oleh tenaga Indonesia
pada lokasi-lokasi yang tercantum dalam
KAK. Jika lokasi untuk bagian pekerjaan
tertentu tidak tercantum maka lokasi akan
ditentukan oleh PPK.
2) Angka 22.3 Panitia/Pejabat Penerima Hasil
Pekerjaan melakukan penilaian terhadap
hasil pekerjaan yang telah diselesaikan oleh
penyedia. Apabila terdapat kekurangan-
kekurangan dan/atau cacat hasil pekerjaan,
penyedia wajib
memperbaiki/menyelesaikannya, atas
perintah PPK.
3) Angka 29.1 tentang penangguhan
pembayaran huruf (a) PPK dapat
menangguhkan pembayaran setiap angsuran
prestasi pekerjaan penyedia jika penyedia
gagal atau lalai memenuhi kewajiban
kontraktualnya, termasuk penyerahan setiap
hasil pekerjaan sesuai dengan waktu yang
telah ditetapkan Angka 30.1 huruf (a)
Personil inti yang dipekerjakan harus sesuai
dengan kualifikasi dan pengalaman yang
ditawarkan dalam Dokumen Penawaran.
Huruf(b) Penggantian personil inti dan/atau
peralatan tidak boleh dilakukan kecuali atas
persetujuan tertulis PPK.
4) Angka 46 tentang Hak dan Kewajiban PPK
huruf (a) mengawasi dan memeriksa
pekerjaan yang dilaksanakan oleh penyedia.
e. Surat Penawaran PT MCS, poin 2.15 Tanggapan
dan Saran Terhadap Lokasi Pelaksanaan
Pekerjaan menyatakan bahwa berdasarkan KAK
maka lokasi pelaksanaan pekerjaan dalam
pengembangan SISPK adalah perancangan dan
pengembangan SISPK di Kantor BSN. Adapun
tanggapan dan saran yang dapat kami sampaikan
terhadap lokasi pelaksanaan pekerjaan
pengembangan SISPK BSN adalah dengan
sudah ditetapkannya lokasi pekerjaan
perancangan dan pengembangan SISPK di
Kantor BSN, maka kami pihak konsultan akan
melaksanakan pekerjaan tersebut dengan sebaik
baiknya guna kelancaran proses pelaksanaan
pekerjaan dan tahapannya sampai selesai dengan
lancar.
Hal tersebut mengakibatkan:
a. Perubahan Nilai HPS yang ditetapkan tidak
didukung dengan pertimbangan teknis yang
memadai;
b. ULP/Pejabat Pengadaan tidak efektif dalam
melaksanakan aanwijzing dan hasil evaluasi
teknis terkait kualifikasi Tenaga Ahli tidak valid;
c. Hasil pekerjaan PT MCS dibawah standar dan
tidak sesuai dengan spesifikasi yang ditentukan
dalam TOR;
d. Negara membayar lebih besar atas 48% dari yang
prestasi pekerjaan mencapai 52%;
LHP No. 58/Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara-BKD 33
NO. TEMUAN REKOMENDASI BPK HASIL TELAAHAN
e. Kerugian keuangan negara diindikasikan dari
pembayaran BLP yang tidak sesuai kualifikasi
adalah senilai Rp2.274.812.500,00; dan
f. Kerugian keuangan negara berpotensi lebih besar
lagi j ika PT MCS gagal menyelesaikan
pengembangan SISPK yang sesuai KAK.
LHP No. 64/Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara-BKD
34
GAMBARAN UMUM
KEMENTERIAN PERDAGANGAN
ajian yang disusun merupakan kajian yang dilakukan terhadap laporan hasil
pemeriksaan BPK RI atas laporan keuangan, laporan kinerja dan pemeriksaan dengan
tujuan tertentu yang disusun oleh Kementerian/Lembaga Pemerintah Pusat tahun
2015 yang dikeluarkan pada Semester I Tahun 2016. Secara khusus kajian ini dilakukan
terhadap LK Kementerian Perdagangan. Sedangkan tujuan dari kajian adalah untuk
menyediakan informasi sebagai bahan tindaklanjut DPR atas LHP BPK sebagai pelaksanaan
wewenang, tugas dan fungsi pengawasan parlemen atas akuntabilitas administrasi keuangan
negara.
Gambaran umum sebagai pelengkap dari kajian ini dapat dilihat sebagai berikut:
Opini BPK RI
Laporan Realisasi Anggaran (LRA) dan Laporan Operasional (LO)
Kondisi Aset dalam Neraca 2015 (Audited)
K
OPINI BPK RI2014
WTP
2015
WTP
LRAAnggaran
3.532.078.978.000
Realisasi
3.075.253.096.17787,07%
Aset Lancar
• 49.169.507.787
Aset Tetap
• 4.720.555.660.125
Aset Lainnya
• 268.059.657.347
LO
Pendapatan Operasional
69.799.421.842
Beban Operasional
1.743.531.889.077
Defisit
(1.673.732.467.235)
LHP No. 64/Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara-BKD
35
KUTIPAN & TELAAHAN HASIL PEMERIKSAAN BPK RI TAHUN 2016
ATAS LAPORAN KEUANGAN KEMENTERIAN PERDAGANGAN
TAHUN ANGGARAN 2015
NO. TEMUAN REKOMENDASI BPK HASIL TELAAHAN
Pemeriksaan atas Sistem Pengendalian Intern
1. Kesalahan Pembebanan Mata Anggaran
Kegiatan Belanja Senilai Rp236,69 Juta atas
Kegiatan pada Tiga Satuan Kerja dan Realisasi
Belanja Tidak Sesuai Peruntukan Senilai Rp3,56
Milyar atas Kegiatan pada Tiga Satker di
Lingkungan Kementerian Perdagangan
Hal tersebut terlihat pada beberapa hal berikut,
antara lain :
a. Perolehan Aset Tetap pada Biro Umum Senilai
Rp192,19 Juta Tidak Sesuai Dengan Klasifikasi
Yang Ditetapkan Dalam Dokumen Anggaran.
b. Perolehan Aset Tetap pada Pusat
Pengembangan Sumber Daya Manusia
Kemetrologian (PPSDMK) Senilai Rp38,83
Juta Tidak Sesuai dengan Klasifikasi yang
Ditetapkan Dalam Dokumen Anggaran.
c. Perolehan Aset Tetap pada Setjen Kementerian
Perdagangan Senilai Rp5,67 Juta Tidak Sesuai
dengan Klasifikasi yang Ditetapkan Dalam
Dokumen Anggaran.
d. Perolehan Aset Tak Berwujud (ATB) pada
Satker Badan Pengkajian dan Pengembangan
Kebijakan Perdagangan (BP2KP) Kementerian
Perdagangan Senilai Rp132,49 Juta Tidak
Sesuai dengan Klasifikasi yang Ditetapkan
Dalam Dokumen Anggaran.
e. Perolehan ATB pada Satker Direktorat Fasilitasi
Ekspor dan Impor Kementerian Perdagangan
Senilai Rp2,83 Milyar Tidak Sesuai dengan
Klasifikasi yang Ditetapkan dalam Dokumen
Anggaran
f. Perolehan ATB Pada Satker Setditjen
Perdagangan Dalam Negeri (PDN) Kementerian
Perdagangan Senilai Rp594,55 Juta Tidak
Sesuai dengan Klasifikasi yang Ditetapkan
Dalam Dokumen Anggaran
Kondisi tersebut tidak sesuai dengan:
a. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 71 Tahun
2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintah
(SAP), pada Pernyataan SAP Nomor 02
Laporan Realisasi Anggaran, sebagai berikut.
1) Paragraf 36 yang menyatakan bahwa belanja
operasi adalah pengeluaran anggaran untuk
kegiatan sehari-hari pemerintah
pusat/daerah yang memberi manfaat jangka
pendek. Belanja operasi antara lain meliputi
belanja pegawai, belanja barang, bunga,
subsidi, hibah dan bantuan sosial;
2) Paragraf 37 yang menyatakan bahwa belanja
modal adalah pengeluaran anggaran untuk
perolehan aset tetap dan aset lainnya yang
memberi manfaat lebih dari satu periode
BPK merekomendasikan Menteri
Perdagangan agar memerintahkan
Sekretaris Jenderal Kementerian
Perdagangan untuk memberikan
sanksi sesuai ketentuan kepada:
a. KPA Biro Umum, KPA
PPSDMK dan KPA Biro
Organisasi dan Kepegawaian
yang tidak memedomani
ketentuan tentang BAS dalam
mengusulkan kegiatan dan
klasifikasi anggaran belanja
dalam RKAKL Tahun 2015;
dan
b. PPK Biro Umum, PPK
PPSDMK, PPK Sekretariat
Jenderal, PPK BP2KP, PPK
Direktorat Fasilitasi Ekspor
dan Impor dan PPK
Sekretariat Direktorat
Jenderal Perdagangan Dalam
Negeri yang tidak
memperhatikan ketentuan
MAK dalam BAS dalam
seluruh tahap pelaksanaan
kegiatan.
Untuk memperbaiki
permasalahan tersebut, maka
Kuasa Pengguna Anggaran
(KPA) pada Satker Biro
Umum, Satker PPSDMK dan
Setjen pada Kementerian
Perdagangan harus
memperhatikan ketentuan
MAK dalam BAS dalam
menyetujui Rencana Kerja dan
Anggaran
Kementerian/Lembaga
(RKAKL). Selain itu, Pejabat
Pembuat Komitmen (PPK)
Satker Satker Biro Umum,
Satker PPSDMK, Satker
Setjen, Satker BP2KP, Satker
Direktorat Fasilitasi Ekspor
dan Impor (Ditfas) dan Satker
Setditjen PDN harus
memperhatikan ketentuan
MAK dalam BAS dalam
seluruh tahap pelaksanaan
kegiatan.
LHP No. 64/Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara-BKD
36
NO. TEMUAN REKOMENDASI BPK HASIL TELAAHAN
akuntansi. Belanja modal meliputi antara
lain belanja modal untuk perolehan tanah,
gedung dan bangunan, peralatan dan aset tak
berwujud.
b. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 214 Tahun
2013 tentang Bagan Akun Standar (BAS), Bab
II Segmen BAS; terkait dengan akun realisasi
pada LRA, pedoman penggunaan akun belanja,
Poin B menyatakan bahwa belanja barang
merupakan pengeluaran untuk menampung
pembelian barang dan jasa yang habis pakai
untuk memproduksi barang dan jasa yang
dipasarkan maupun yang tidak dipasarkan serta
pengadaan barang yang dimaksudkan untuk
diserahkan atau dijual kepada masyarakat dan
belanja perjalanan. Belanja ini terdiri dari
belanja barang dan jasa, belanja pemeliharaan,
belanja perjalanan dinas, belanja barang Badan
Layanan Umum (BLU) dan belanja barang
untuk diserahkan kepada masyarakat,
pengadaan Aset Tetap yang nilai persatuannya
di bawah nilai minimum kapitalisasi, belanja
pemeliharaan aset tetap yang tidak menambah
umur ekonomis/masa manfaat atau kapasitas
kinerja Aset Tetap atau Aset Lainnya, dan/atau
kemungkinan besar tidak memberikan manfaat
ekonomi di masa yang akan datang dalam
bentuk peningkatan kapasitas, mutu produksi
atau peningkatan standar kinerja. Belanja
Pemeliharaan adalah pengeluaran yang
dimaksudkan untuk mempertahankan Aset
Tetap atau Aset Lainnya yang sudah ada ke
dalam kondisi normalnya.
Hal tersebut mengakibatkan realisasi belanja
barang senilai Rp3.798.711.010,00 yang disajikan di
Laporan Keuangan Tahun 2015 tidak mencerminkan
kondisi yang sebenarnya.
2. Aset Tak Berwujud yang Disajikan dalam
Laporan Keuangan Kementerian Perdagangan
Tahun 2015 Belum Dimanfaatkan Senilai Rp3,85
Milyar
Hal tersebut terllihat pada beberapa hal berikut,
antara lain :
a. Sistem Pertukaran Data Elektronik dalam rangka
Penerapan L/C Kegiatan Ekspor Komoditi Tertentu
Senilai Rp2,83 Milyar. Diketahui bahwa sistem
pertukaran data elektronik dalam rangka penerapan
L/C kegiatan ekspor komoditi tertentu tersebut
belum dimanfaatkan karena belum ada kesepakatan
dengan pihak bank selaku penerbit L/C.
b. Sistem Informasi Perundingan Senilai Rp1,02
Milyar. Pekerjaan tersebut telah selesai dilaksanakan
serta telah dilakukan pembayaran senilai
Rp1.021.196.000,00 dengan SP2D nomor
151751301055274 tanggal 22 Desember 2015.
Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik, yang dilakukan
sebanyak dua kali, pada tanggal 18 Maret 2016 dan
21 Maret 2016, SIP tersebut belum dimanfaatkan.
Kondisi tersebut tidak sesuai dengan:
BPK merekomendasikan Menteri
Perdagangan agar memerintahkan
Pengguna Barang/Kuasa
Pengguna Barang pada Direktorat
Fasilitasi Ekspor dan Impor dan
Direktorat Jenderal Kerjasama
Perdagangan Internasional untuk
segera memanfaatkan ATB sistem
pertukaran data elektronik dalam
rangka penerapan L/C kegiatan
ekspor komoditi tertentu dan
sistem informasi perundingan.
Untuk memperbaiki
permasalahan tersebut, maka
Pengguna Barang/Kuasa
Pengguna Barang pada Ditfas
dan Ditjen KPI dalam
mengidentifikasi barang/jasa
yang dibutuhkan harus
memperhatikan kebutuhan riil
satker.
LHP No. 64/Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara-BKD
37
NO. TEMUAN REKOMENDASI BPK HASIL TELAAHAN
a. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014
tentang Pengelolaan Barang Milik
Negara/Daerah, Pasal 3 ayat (2) menyatakan
bahwa pengelolaan barang milik negara/daerah
meliputi antara lain pemanfaatan; dan
b. Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 54 Tahun
2010 sebagaimana terakhir diubah dengan
Perpres Nomor 4 Tahun 2015 tentang
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, Pasal 5
menyatakan bahwa pengadaan barang/jasa
menerapkan prinsip-prinsip diantaranya efektif,
dan penjelasan Pasal 5 tersebut menyatakan
bahwa efektif berarti pengadaan barang/jasa
harus sesuai dengan kebutuhan dan sasaran yang
ditetapkan serta memberikan manfaat yang
sebesar-besarnya.
Hal tersebut mengakibatkan tujuan dibuatnya
sistem dan aplikasi atau ATB senilai
Rp3.856.171.000,00 belum tercapai.
3. Gedung dan Bangunan yang Dibangun dengan
Menggunakan Anggaran Dana Tugas
Pembantuan dan Direncanakan akan
Dihibahkan kepada Pemerintah Daerah Belum
Diproses Hibah Senilai Rp3,18 Triliun
Dalam pemeriksaan atas Laporan Keuangan
Kementerian Perdagangan Tahun 2015, masih
ditemukan permasalahan yang sama. Pada Tahun
2015, Kementerian Perdagangan belum memroses
hibah gedung dan bangunan sarana distribusi dan
pemasaran senilai Rp3.181.079.757.196,00.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat dinyatakan
bahwa proses hibah gedung dan bangunan yang
diperoleh dengan menggunakan anggaran dana tugas
pembantuan dan direncanakan akan diserahkan
kepada Pemerintah Daerah pada Kementerian
Perdagangan berjalan lamban. Lambannya proses
hibah menyebabkan gedung dan bangunan yang
direncanakan akan dihibahkan tersebut tetap
disajikan sebagai aset tetap gedung dan bangunan.
Kondisi tersebut tidak sesuai dengan:
a. PMK Nomor 96/PMK.06/2007 tentang Tata
Cara Pelaksanaan Penggunaan, Pemanfaatan,
Penghapusan dan Pemindahtanganan Barang
Milik Negara, Lampiran IX tentang Tata Cara
Pelaksanaan Hibah Barang Milik Negara, pada:
1) Poin V angka 2 menyatakan bahwa tata cara
hibah atas tanah dan/atau bangunan yang
dari sejak perencanaan pengadaannya
dimaksudkan untuk dihibahkan
sebagaimana tercantum dalam dokumen
penganggaran, sebagai berikut.
a) Pengguna Barang membentuk Tim
internal untuk melakukan persiapan
pengusulan hibah tanah dan/atau
bangunan dengan tugas:
(1) menyiapkan dokumen anggaran
beserta kelengkapannya;
(2) melakukan penelitian data
administratif,
BPK RI merekomendasikan
Menteri Perdagangan agar
memerintahkan:
a. Inspektur Jenderal
Kementerian Perdagangan
untuk berkoordinasi dengan
Aparat Pengawas Internal
Pemerintah (APIP) di
Pemerintah Daerah setempat
untuk melakukan audit atas
gedung dan bangunan yang
akan dihibahkan dalam rangka
mempercepat proses hibah;
b. Sekretaris Jenderal
Kementerian Perdagangan
segera memroses persetujuan
hibah atas gedung dan
bangunan yang akan
dihibahkan kepada
Pemerintah Daerah sesuai
dengan ketentuan perundang-
undangan di bidang
pengelolaan Barang Milik
Negara.
Untuk memperbaiki
permasalahan tersebut, maka
Sekretariat Direktorat Jenderal
PDN harus optimal dalam
melengkapi sarat-sarat
pengajuan hibah yang
ditetapkan dalam PMK
96/PMK.06/2007. Selain itu,
Inspektorat Jenderal juga harus
optimal dalam melakukan
audit atas gedung dan
bangunan yang direncanakan
akan dihibahkan.
LHP No. 64/Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara-BKD
38
NO. TEMUAN REKOMENDASI BPK HASIL TELAAHAN
(3) melakukan penelitian fisik atas
tanah dan/atau bangunan yang akan
dihibahkan untuk mencocokkan
data administratif yang ada; dan
(4) menyampaikan laporan hasil
penelitian data administratif dan
fisik kepada Pengguna Barang.
b) Pengguna Barang mengajukan
permintaan persetujuan hibah tanah
dan/atau bangunan kepada Pengelola
Barang dengan disertai:
(1) dokumen penganggaran yang
menunjukkan bahwa barang yang
diusulkan sejak perencanaan
pengadaannya dimaksudkan untuk
dihibahkan;
(2) calon penerima hibah;
(3) rincian peruntukan,
jenis/spesifikasi, status dan bukti
kepemilikan, dan lokasi;
(4) hasil audit aparat pengawas
fungsional; dan
(5) hal lain yang dianggap perlu.
2) Poin V angka 3 menyatakan bahwa tata cara
hibah atas tanah dan/atau bangunan yang
diperoleh dari dana dekonsentrasi dan tugas
pembantuan mengikuti ketentuan
sebagaimana tersebut pada romawi V angka
2 dengan penyesuaian seperlunya dan
memperhatikan ketentuan perundang-
undangan yang mengatur dana
dekonsentrasi dan tugas pembantuan.
b. Pasal 3 ayat 1 PMK Nomor 4/PMK.06/2015
dijelaskan bahwa kewenangan dan tanggung
jawab yang didelegasikan oleh Pengelola
Barang kepada Pengguna Barang meliputi
diantaranya pemberian persetujuan atas
permohonan pemindahtanganan BMN meliputi
penjualan dan hibah BMN, kecuali terhadap
BMN yang berada pada Pengguna Barang yang
memerlukan persetujuan Presiden/Dewan
Perwakilan Rakyat.
Hal tersebut mengakibatkan Aset Tetap Gedung
dan Bangunan berupa sarana distribusi dan
pemasaran senilai Rp3.181.079.757.196,00 tercatat
sebagai BMN Kementerian Perdagangan, namun
secara fisik dikuasai dan dimanfaatkan oleh
Pemerintah Daerah.
Pemeriksaan atas Kepatuhan terhadap Peraturan Perundang-undangan
1. Kelebihan Pembayaran Pekerjaan Jasa
Konsultansi pada Delapan Satker Kementerian
Perdagangan Senilai Rp1,05 Milyar
Hal tersebut terlihat pada beberapa hal berikut,
antara lain :
a. Kelebihan pembayaran BLP pada sepuluh
pekerjaan jasa konsultansi di tujuh satuan kerja
senilai Rp756,28 Juta
BPK merekomendasikan Menteri
Perdagangan agar melalui
Sekretaris Jenderal Kementerian
Perdagangan memerintahkan KPA
Badan Pengawas Perdagangan
Berjangka Komoditi, KPA
Direktorat Logistik dan Sarana
Distribusi, KPA Sekretariat
Direktorat Jenderal Perdagangan
Untuk memperbaiki
permasalahan tersebut, maka
penyedia jasa konsultansi
harus sepenuhnya
melaksanakan pekerjaan sesuai
dengan kesepakatan dalam
kontrak. Selain itu, Pejabat
Pembuat Komitmen (PPK)
harus optimal dalam
LHP No. 64/Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara-BKD
39
NO. TEMUAN REKOMENDASI BPK HASIL TELAAHAN
b. Biaya Langsung Non Personil (BLNP)
menunjukkan bahwa terdapat kekurangan bukti
pertanggungjawaban dan jawaban konfirmasi
yang tidak sesuai dengan dokumen
pertanggungjawaban senilai Rp297.240.184,00
Kondisi tersebut tidak sesuai dengan:
a. Lampiran IV.A Peraturan Presiden Nomor 54
Tahun 2010 sebagaimana terakhir diubah
dengan Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun
2015 tentang Pengadaan Barang dan Jasa
Pemerintah, pada:
1) Huruf A. angka 3.a.2).h) menyatakan bahwa
Biaya Langsung Personil dihitung menurut
jumlah satuan waktu tertentu (bulan,
minggu, hari atau jam) dengan konversi
menurut satuan waktu berikut.
SBOM = SBOB/4,1
SBOH = (SBOB/22) x 1,1
SBOJ = (SBOH/8) x 1,3
Dimana :
SBOB : Satuan Biaya Orang Bulan
SBOM : Satuan Biaya Orang Minggu
SBOH : Satuan Biaya Orang Harian
SBOJ : Satuan Biaya Orang Jam
2) Huruf A. angka 3.a.2).i) menyatakan bahwa
Biaya Langsung Non Personil yang dapat
diganti adalah biaya yang sebenarnya
dikeluarkan penyedia untuk pengeluaran-
pengeluaran yang sesungguhnya (at cost),
yang meliputi antara lain biaya untuk
pembelian ATK, sewa peralatan, biaya
perjalanan, biaya pengiriman dokumen,
biaya pengurusan surat ijin, biaya
komunikasi, biaya pencetakan laporan,
biaya penyelenggaraan
seminar/workshop/lokakarya dan lain-lain;
3) Huruf B. angka 1.v.5).b) menyatakan bahwa
klarifikasi dan negosiasi terhadap unit biaya
personil dilakukan berdasarkan daftar gaji
yang telah diaudit dan/atau bukti setor pajak
penghasilan tenaga ahli konsultan yang
bersangkutan, dengan ketentuan unit biaya
personil dihitung berdasarkan satuan waktu
yang dihitung berdasarkan tingkat kehadiran
dengan ketentuan 1 (satu) bulan dihitung
minimal 22 (dua puluh dua) hari kerja dan 1
(satu) hari kerja dihitung minimal 8
(delapan) jam kerja.
b. Peraturan Menteri Keuangan Nomor
190/PMK.05/2012 tentang Tata Cara
Pembayaran Dalam Rangka Pelaksanaan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara,
pada:
1) Pasal 13 ayat (1) menyatakan dalam
melakukan tindakan yang dapat
mengakibatkan pengeluaran anggaran
belanja negara, PPK memiliki tugas dan
wewenang diantaranya menguji dan
Dalam Negeri, KPA Direktorat
Bina Usaha Perdagangan, KPA
Direktorat Fasilitasi Ekspor
Impor, KPA Sekretariat Direktorat
Jenderal Pengembangan Ekspor
Nasional dan KPA Badan
Pengkajian dan Pengembangan
Kebijakan Perdagangan untuk:
a. Memberi sanksi sesuai
ketentuan kepada Pejabat
Pembuat Komitmen masing-
masing satker yang tidak
maksimal dalam melakukan
pengendalian atas
pelaksanaan pekerjaan dan
pertanggung-jawaban
pembayaran kepada penyedia
jasa; dan
b. Menginstruksikan Pejabat
Pembuat Komitmen masing-
masing satker untuk menagih
kelebihan pembayaran senilai
Rp1.053.520.934,00 dan
menyetorkan ke kas negara.
Atas rekomendasi tersebut,
beberapa satker telah melakukan
penyetoran senilai
Rp266.030.000,00 dengan rincian
berikut.
a. Bendahara Pengeluaran
Badan Pengawas
Perdagangan Berjangka
Komoditi a.n PT PMU telah
menyetorkan kelebihan
pembayaran Biaya Langsung
Non Personil ke kas negara
senilai Rp50.000.000,00
dengan NTPN
3CDDE1KH4NCJBPTP
tanggal 27 April 2016;
b. Bendahara Pengeluaran
Sekretariat Direktorat
Jenderal Perdagangan Dalam
Negeri telah menyetorkan
senilai Rp216.030.000,00
dengan rincian:
1) NTPN Nomor
0711141414110613
tanggal 9 Mei 2016
senilai
Rp205.200.000,00;
2) NTPN Nomor
0605090206120806
tanggal 9 Mei 2016
senilai Rp10.830.000,00.
melakukan pengendalian atas
pelaksanaan pekerjaan dan
pertanggungjawaban
pembayaran kepada penyedia
jasa.
LHP No. 64/Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara-BKD
40
NO. TEMUAN REKOMENDASI BPK HASIL TELAAHAN
menandatangani surat bukti mengenai hak
tagih kepada negara;
2) Pasal 14 ayat (1) menyatakan bahwa dalam
pelaksanaan tugas dan wewenangnya, PPK
menguji diantaranya kebenaran data pihak
yang berhak menerima pembayaran atas
beban APBN dan kesesuaian spesifikasi
teknis dan volume barang/jasa sebagaimana
tercantum dalam perjanjian/kontrak dengan
barang/jasa yang diserahkan oleh penyedia
barang/jasa.
c. Rencana Anggaran dan Biaya (RAB) masing-
masing kontrak pekerjaan jasa konsultansi
tersebut.
Hal tersebut mengakibatkan kelebihan
pembayaran senilai Rp1.053.520.934,00
(Rp756.280.750,00 + Rp297.240.184,00).
2. Penyusunan Harga Perkiraan Sendiri atas
Pekerjaan Kampanye Peningkatan Penggunaan
Produk Dalam Negeri Melalui Media Televisi
Nasional yang Tidak Profesional Mengakibatkan
Nilai Kontrak Tidak Dapat Diyakini
Kewajarannya
Diketahui bahwa biaya tayang iklan di media TV
lebih rendah daripada nilai yang ditetapkan dalam
rate card yang digunakan oleh PPK dalam
penyusunan HPS. Berdasarkan penjelasan PPK,
dalam penyusunan HPS, PPK hanya menggunakan
dokumen rate card karena sampai dengan saat ini,
hanya rate card yang dapat dikategorikan sebagai
informasi biaya satuan yang dipublikasikan secara
resmi oleh asosiasi terkait dan sumber data lain yang
dapat dipertanggungjawabkan.
Sampai dengan saat ini, belum ada kesepakatan
resmi terkait harga satuan penayangan iklan produk
pemerintah antara pemerintah dhi. Kementerian
Perdagangan atau kementerian/lembaga yang
memiliki tugas dan fungsi di bidang pengadaan
barang dan jasa pemerintah.
Selain itu, diketahui bahwa terdapat keuntungan
(selisih antara nilai kontrak yang diterima dengan
biaya-biaya yang dikeluarkan) PT Cakrisma senilai
Rp4.939.244.545,00 atau 33,75% dari nilai kontrak.
Berdasarkan penjelasan Direktur PT Cakrisma,
selisih tersebut merupakan keuntungan (margin)
yang wajar diperoleh perusahaan dari kontrak
tersebut. Sampai dengan pemeriksaan berakhir, tim
belum memperoleh bukti-bukti yang memadai
terkait biaya-biaya yang dikeluarkan oleh PT
Cakrisma sehingga tim tidak dapat menilai
kewajaran keuntungan (margin) tersebut.
Kondisi tersebut tidak sesuai dengan Peraturan
Presiden Nomor 54 Tahun 2010 sebagaimana
terakhir diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 4
Tahun 2015 tentang Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah, pada:
a. Pasal 5 yang menyatakan bahwa pengadaan
barang dan jasa menerapkan prinsip-prinsip
diantaranya efisien dan efektif;
BPK merekomendasikan Menteri
Perdagangan agar memerintahkan:
a. Sekretaris Jenderal
Kementerian Perdagangan
berkoordinasi dengan
kementerian/lembaga yang
memiliki tugas dan fungsi di
bidang pengadaan barang dan
jasa pemerintah serta asosiasi
penyiaran televisi untuk
menetapkan harga standar
penayangan iklan layanan
masyarakat produk
pemerintah;
b. Inspektur Jenderal melakukan
audit untuk mendapatkan
keyakinan yang memadai
terkait tarif riil berdasarkan
penagihan dari televisi ke
penyedia jasa dan keuntungan
yang wajar atas pekerjaan
kampanye P3DN melalui
media televisi nasional dan
melaporkan hasil audit ke
BPK; dan
c. Direktur Jenderal
Perdagangan Dalam Negeri
memberikan sanksi sesuai
ketentuan kepada PPK yang
tidak optimal dalam
memperoleh data yang
memadai pada saat
penyusunan HPS dan
memerintahkan PPK untuk
lebih profesional dalam
menyusun HPS dengan
berusaha memperoleh data
pendukung yang lebih
memadai agar HPS yang
disusun lebih mendekati harga
yang sebenarnya pada
Untuk memperbaiki
permasalahan tersebut, maka
PPK harus optimal dalam
memperoleh data yang
memadai pada saat
penyusunan HPS, yaitu tarif
riil dan keuntungan yang wajar
dari penayangan iklan melalui
media televisi nasional.
LHP No. 64/Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara-BKD
41
NO. TEMUAN REKOMENDASI BPK HASIL TELAAHAN
b. Pasal 6 huruf f bahwa para pihak yang terkait
dalam pelaksanaan pengadaan barang/jasa harus
mematuhi etika menghindari dan mencegah
terjadinya pemborosan dan kebocoran keuangan
negara dalam pengadaan barang/jasa; dan
c. Lampiran V Tata Cara Pemilihan Penyedia Jasa
Lainnya, poin A.3.a.2).c). yang menyatakan
bahwa data yang dipakai untuk menyusun HPS
berdasarkan pada data harga pasar setempat
yang diperoleh berdasarkan hasil survei
menjelang dilaksanakannya pengadaan dengan
mempertimbangkan informasi yang meliputi:
1) Informasi biaya satuan yang dipublikasikan
secara resmi oleh Badan Pusat Statistik
(BPS);
2) Informasi biaya satuan yang dipublikasikan
secara resmi oleh asosiasi terkait dan sumber
data lain yang dapat
dipertanggungjawabkan;
3) Daftar biaya/tarif yang dikeluarkan oleh
pabrikan/distributor tunggal;
4) Biaya Kontrak sebelumnya atau yang sedang
berjalan dengan mempertimbangkan faktor
perubahan biaya;
5) Inflasi tahun sebelumnya, suku bunga
berjalan dan/atau kurs tengah Bank
Indonesia;
6) Hasil perbandingan dengan Kontrak sejenis,
baik yang dilakukan dengan instansi lain
maupun pihak lain;
7) Perkiraan perhitungan biaya yang dilakukan
oleh konsultan perencana (engineer’s
estimate);
8) Norma indeks; dan/atau
9) Informasi lain yang dapat
dipertanggungjawabkan.
Hal tersebut mengakibatkan nilai kontrak dan
keuntungan yang diperoleh penyedia jasa dari
kegiatan Kampanye P3DN Melalui Media Televisi
Nasional tidak dapat dinilai kewajarannya senilai
Rp14.632.800.000,00 dan Rp4.939.244.545,00.
pelaksanaan kegiatan sejenis
di tahun-tahun berikutnya.
LHP No. 74/Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara-BKD 42
GAMBARAN UMUM
KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA
ajian yang disusun merupakan kajian yang dilakukan terhadap laporan hasil
pemeriksaan BPK RI atas laporan keuangan, laporan kinerja dan pemeriksaan dengan
tujuan tertentu yang disusun oleh Kementerian/Lembaga Pemerintah Pusat tahun
2015 yang dikeluarkan pada Semester I Tahun 2016. Secara khusus kajian ini dilakukan
terhadap LK Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Sedangkan tujuan dari kajian adalah
untuk menyediakan informasi sebagai bahan tindaklanjut DPR atas LHP BPK sebagai
pelaksanaan wewenang, tugas dan fungsi pengawasan parlemen atas akuntabilitas administrasi
keuangan negara.
Gambaran umum sebagai pelengkap dari kajian ini dapat dilihat sebagai berikut:
Opini BPK RI
Laporan Realisasi Anggaran (LRA) dan Laporan Operasional (LO)
Kondisi Aset dalam Neraca 2015 (Audited)
K
OPINI BPK RI2014
WTP
2015
WTP
LRAAnggaran
100.591.000.000
Realisasi
90.343.359.16389,81%
Aset Lancar
• 738.570.253
Aset Tetap
• 8.221.748.724
Aset Lainnya
• 732.099.163
LO
Pendapatan Operasional
10.675.331.575
Beban Operasional
100.647.522.034
Defisit
(89.972.190.459)
LHP No. 74/Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara-BKD 43
KUTIPAN & TELAAHAN HASIL PEMERIKSAAN BPK RI SEMSETER I TAHUN 2016
ATAS LAPORAN KEUANGAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA
TAHUN ANGGARAN 2015
NO. TEMUAN REKOMENDASI BPK HASIL TELAAHAN
Pemeriksaan atas Sistem Pengendalian Intern
1. Pembayaran Honorarium Staf Ahli Sebesar
Rp1.005.789.489,00 Selama Tahun 2015
Belum Sepenuhnya Didukung Laporan
Kegiatan dan Tidak Didukung Bukti
Kehadiran
Berdasarkan kontrak antara KPPU dan staf ahli
diketahui bahwa hal-hal yang perlu dipenuhi oleh
staf ahli adalah berdasarkan Peraturan hari dan
jam kerja, hari kerja di lingkungan KPPU adalah
hari Senin sampai dengan hari Jumat, kecuali
hari libur nasional atau hari libur yang ditetapkan
oleh Ketua KPPU atau yang ditetapkan oleh
Pemerintah, jam kerja di lingkungan KPPU
adalah jam yang telah ditetapkan oleh Ketua
KPPU atau yang ditetapkan oleh Pemerintah.
Berdasarkan hasil pemeriksaan dokumen
pertanggungjawaban honorarium staf ahli
diketahui bahwa terdapat 7 staf ahli tidak
membuat laporan kegiatan. Selain itu
berdasarkan pemeriksaan terhadap tingkat
kehadiran staf ahli diketahui selama bulan
Januari s.d. Desember 2015 sangat rendah.
Akumulasi hari kerja selama satu tahun anggaran
(TA 2015) adalah sebanyak 245 hari kerja. Dari
hasil kalkulasi diatas, akumulasi alpha (tidak
masuk kerja) staf ahli dalam satu tahun adalah
berkisar antara 140 hari sampai dengan 244 hari.
Kondisi ketidakhadiran staf ahli terse but bel urn
pernah diberikan hukuman disiplin sebagaimana
diatur dalmn Peraturan Komisi Pengawas
Persaingan Usaha Nomor 9 Tahun 2010 tentang
Staf Ahli Komisi Pengawas Persaingan Usaha
Tanggal 3 Juni 2010.
Komisioner tidak pernah mengusulkan maupun
menetapkan penjatuhan hukuman disiplin
kepada staf ahli yang tidak hadir sesuai dengan
peraturan yang ditetapkan dalam KPPU.
Hal tersebut tidak sesuai dengan:
a. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2013
tentang Tata Cara Pelaksanaan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara yaitu:
1) Pasal 8 huruf e dan fyang menyatakan
bahwa KP A memiliki tugas dan
wewenang melakukan tindakan yang
mengakibatkan pengeluaran Negara dan
melakukan pengujian tagihan dan
perintah pembayaran atas beban
anggaran negara;
2) Pasal10 ayat (1) yang menyatakan
bahwa KPA bertanggungjawab secara
formal dan materiil kepada PA atas
kegiatan yang berada di dalam
penguasaannya;
BPK merekomendasikan agar Ketua
KPPU memerintahkan Sekretaris
Jenderal KPPU:
a. Menetapkan keputusan yang
mengatur secara jelas syarat
penyampaian dokumen laporan
pelaksanaan kegiatan, laporan
evaluasi dan penilaian kinerja
serta data presensi sebagai
pertimbangan dalam
menghitung belanja honorarium
pegawai;
b. Melakukan pembinaan kepada
PPK agar lebih cermat dalam
melakukan verifikasi dan
pemantauan pembayaran
honorarium staf ahli.
Untuk memperbaiki
permasalahan tersebut,
maka harus ada aturan
yang mengatur syarat
penyampaian dokumen
laporan pelaksanaan
kegiatan, laporan
evaluasi dan penilaian
kinerja serta data absensi
dalam pembayaran
belanja honorarium
pegawai. Selain itu, PPK
harus cermat dalam
melakukan verifikasi dan
pemantauan pembayaran
honorarium staf ahli.
LHP No. 74/Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara-BKD 44
3) Pasal12 ayat (1) huruf g, PPK memiliki
tugas dan wewenang yaitu tnenguji dan
menandatangani surat bukti mengenai
hak tagih kepada negara;
4) Pasal13 PPK bertanggung jawab atas
kebenaran materiil dan akibat yang
timbul dari penggunaan bukti mengenai
hak tagih kepada negara;
5) Pasal 23 ayat (2) huruf b yang
menyatakan bahwa pelaksanaan tugas
kebendaharaan atas uang persediaan
meliputi melakukan pengujian tagihan
yang akan dibayarkan melalui uang
persediaan; dan
6) Pasal 65 ayat 1 bahwa penyelesaian
tagihan kepada Negara atas beban
anggaran Belanja Negara yang tertuang
dalam APBN dilaksanakan berdasarkan
hak dan bukti yang sah untuk
memperoleh pembayaran.
b. Keputusan KPPU Nomor
161/Kep/KPPU/XI/2006 tentang Pokok-
pokok Kepegawaian Pasal 9 ayat 1 bahwa
setiap Pegawai Komisi berhak menerima
gaji/honorarium yang adil dan layak sesuai
dengan beban pekerjaan dan tanggung
jawabnya.
c. Peraturan Komisi Pengawas Persaingan
Usaha Nomor 6 Tahun 2012 tentang Disiplin
Pegawai Komisi Pengawas Persaingan Usaha
Tangga110 Desember 2012:
1) Pasal 2 Ayat 10 dan 11 yang menyatakan
masuk kerja dan menaati ketentuan jam
kerja dan mencapai sasaran kerja
pegawai;
2) Pasal 4 yang menyatakan pegawai yang
tidak menaati ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasa12 dan/atau Pasa13
dijatuhi hukuman disiplin; dan
3) Pasal 6 tentang tingkat hukuman disiplin
pegawai KPPU.
d. Perjanjian Kerja antara KPPU dengan Staf
Ahli Pembantu Anggota Komisi Pasal10
tentang Hari dan Jam Kerja yang
menyatakan:
1) Hari kerja di Komisi Pengawas
Persaingan Usaha adalah Hari Senin
sampai dengan Hari Jumat, kecuali hari
libur nasional atau hari libur yang
ditetapkan oleh pimpinan komisi atau
yang ditetapkan oleh Pemerintah; dan
2) Jam kerja Komisi Pengawas Persaingan
Usaha adalah 7,5 (tujuh setengah) jam
sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Hal tersebut diatas mengakibatkan tugas staf
ahli dalam memberikan masukan dan
pertimbangan atas substansi hukum, ekonomi
dan/atau bidang lainnya kepada Anggota Komisi
tidak berjalan maksimal dan risiko hasil
pekerjaan tidak sesuai dengan perjanjian karena
LHP No. 74/Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara-BKD 45
tidak adanya laporan pelaksanaan pekerjaan Staf
Ahli.
Pemeriksaan atas Kepatuhan terhadap Peraturan Perundang-undangan
1. Sisa Realisasi Belanja Perjalanan Dinas
Sebesar Rp60.234.732,00 Terlambat
Disetorkan ke Kas Negara
Berdasarkan analisa dan perbandingan antara
daftar nominatif dan daftar pengeluaran riil
perjalanan dinas diketahui masih terdapat sisa
uang perjalanan dinas senilai Rp60.234.732,00
yang belum disetorkan ke kas negara. Sisa uang
perjalanan dinas tersebut terjadi karena uang
yang diberikan melebihi realisasi biaya
perjalanan dinas. BPK melalui surat Nomor 1
0/PLK/KPPU/04/20 16 tanggal 4 April 2016
telah meminta bukti surat setoran atas sisa uang
perj alan an dinas terse but. KPPU
menindaklanjuti surat tersebut dengan
menyampaikan bukti NTPN No
677EC440543E82R9 tanggal 6 April 2016. Hal
ini menunjukkan bahwa KPPU menyetorkan sisa
SP2D LS tersebut setelah temuan BPK
disampaikan kepada KPPU.
Kondisi tersebut tidak sesuai dengan:
a. PP Nomor 45 Tahun 2013 tentang Tata Cara
Pelaksanaan APBN yaitu:
1) Pasal 10 ayat (1) yang menyatakan
bahwa KPA bertanggung jawab secara
formal dan materiil kepada P A atas
kegiatan yang berada di dalam
penguasaannya.
2) Pasal 12 ayat (1) huruf g, PPK memiliki
tugas dan wewenang yaitu menguji dan
menandatangani surat bukti mengenai
hak tagih kepada Negara.
3) Pasal 13 PPK bertanggungjawab atas
kebenaran materiil dan akibat yang
timbul dari penggunaan bukti mengenai
hak tagih kepada Negara.
4) Pasal 23 ayat (2) huruf b yang
menyatakan bahwa pelaksanaan tugas
kebendaharaan atas uang persediaan
meliputi melakukan pengujian tagihan
yang akan dibayarkan melalui uang
persediaan.
b. PMK Nomor 162 Tahun 2013 tentang
Kedudukan dan Tanggung Jawab Bendahara
pada Satuan Kerja Pengelolaan Anggaran
Pendapatan Belanja Negara, yaitu:
1) Pasal 4 menyatakan batasan tanggung
jawab bendahara pengeluaran
merupakan pejabat perbendaharaan yang
secara fungsional bertanggungjawab
kepada kuasa BUN dan secara pribadi
bertanggung jawab atas seluruh
uang/surat berharga yang dikelolanya
dalam rangka pelaksanaan APBN.
2) Berdasarkan pasal 19 yang dimaksud
jenis-jenis uang/surat berharga yang
BPK merekomendasikan kepada
Ketua KPPU agar memerintahkan
Sekretaris Jenderal KPPU
memberikan pembinaan kepada
PPK dan Bendahara Pengeluaran
supaya lebih cermat di dalam
melakukan pertanggungjawaban
atas sisa belanja perjalanan dinas
melalui SP2D LS Bendahara.
Untuk memperbaiki
permasalahan tersebut,
maka Bendahara
Pengeluaran dan PPK
harus cermat di dalam
melakukan
pertanggungjawaban atas
sisa belanja perjalanan
dinas melalui SP2D LS
Bendahara.
LHP No. 74/Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara-BKD 46
harus ditatausahakan oleh bendahara
pengeluran/BPP meliputi:
(a) Uang persediaan;
(b) Uang yang berasal dari Kas Negara
melalui SPM LS Bendahara;
(c) Uang yang berasal dari potongan
atas pembayaran yang
dilakukannya sehubungan dengan
fungsi Bendahara selaku wajib
pungut;
(d) Uang dan sumber lainnya yang
menjadi hak negara; dan
(e) Uang lainnya yang menurut
ketentuan peraturan perundang-
undangan boleh dikelola oleh
Bendahara.
3) Pasal 29 menyatakan dalam hal terdapat
sisa uang yang bersumber dari SPM LS
Bendahara yang tidak terbayarkan
kepada pihak yang berhak, Bendahara
Pengeluran/BPP harus segera
menyetorkan sisa uang yang dimaksud
ke Kas Negara.
Hal tersebut mengakibatkan Negara tidak
dapat segera memanfaatkan sisa uang SP2D LS
Bendahara sebesar Rp60.234.732,00.
LHP No. 78/Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara-BKD 47
GAMBARAN UMUM
BADAN PENGUSAHAAN KAWASAN PERDAGANGAN BEBAS DAN PELABUHAN
BEBAS BATAM
ajian yang disusun merupakan kajian yang dilakukan terhadap laporan hasil
pemeriksaan BPK RI atas laporan keuangan, laporan kinerja dan pemeriksaan dengan
tujuan tertentu yang disusun oleh Kementerian/Lembaga Pemerintah Pusat tahun 2015
yang dikeluarkan pada Semester I Tahun 2016. Secara khusus kajian ini dilakukan
terhadap LK Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam.
Sedangkan tujuan dari kajian adalah untuk menyediakan informasi sebagai bahan tindaklanjut
DPR atas LHP BPK sebagai pelaksanaan wewenang, tugas dan fungsi pengawasan parlemen
atas akuntabilitas administrasi keuangan negara.
Gambaran umum sebagai pelengkap dari kajian ini dapat dilihat sebagai berikut:
Opini BPK RI
Laporan Realisasi Anggaran (LRA) dan Laporan Operasional (LO)
Kondisi Aset dalam Neraca 2015 (Audited)
K
OPINI BPK RI2014
WDP
2015
WDP
LRAAnggaran
1.247.283.955.000
Realisasi
1.029.260.030.65082,52%
Aset Lancar
• 1.471.394.873.220
Aset Tetap
• 26.807.814.279.958
Aset Lainnya
• 149.326.790.556
LO
Pendapatan Operasional
621.027.666.879
Beban Operasional
1.028.108.418.956
Defisit
(407.080.752.077)
LHP No. 78/Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara-BKD 48
KUTIPAN & TELAAHAN HASIL PEMERIKSAAN BPK RI SEMESTER I TAHUN 2016
ATAS LAPORAN KEUANGAN BADAN PENGUSAHAAN KAWASAN PERDAGANGAN BEBAS
DAN PELABUHAN BEBAS BATAM
TAHUN ANGGARAN 2015
NO. TEMUAN REKOMENDASI BPK HASIL TELAAHAN
Pemeriksaan atas Sistem Pengendalian Intern
1. Kesalahan Penganggaran Belanja Modal sebesar
Rp4.933.907.065,64 dan Belanja Barang Sebesar
Rp234.165.945,74
Diketahui bahwa terdapat kegiatan-kegiatan yang
seharusnya dianggarkan dalam Belanja Barang
namun dianggarkan dalam Belanja Modal sebesar
Rp4.933.907.065,64. seharusnya dianggarkan dan
direalisasikan melalui Belanja barang karena hanya
bersifat pemeliharaan, termasuk barang habis pakai
dan realisasi belanja nilainya di bawah nilai
kapitalisasi sebagai aset tetap.
Selain itu terdapat realisasi Belanja Barang sebesar
Rp234.165.945,74 yang seharusnya dianggarkan
dan direalisasikan melalui Belanja Modal. Belanja
tersebut lebih tepat dikategorikan sebagai Belanja
Modal karena merupakan belanja pemeliharaan yang
bersifat menambah umur manfaat dan pengadaan
peralatan yang merupakan aset tetap.
Hal tersebut tidak sesuai dengan Peraturan
Menteri Keuangan No. 214/PMK/06/2013 tentang
Bagan Akuntansi Standar yang menyatakan bahwa:
a. Belanja Barang adalah pengeluaran untuk
menampung pembelian barang dan jasa yang
habis pakai untuk memproduksi barang dan jasa
yang dipasarkan maupun yang tidak dipasarkan
serta pengadaan barang yang dimaksudkan
untuk diserahkan atau dijual kepada masyarakat
dan belanja perjalanan. Belanja ini terdiri dari
belanja barang dan jasa, belanja pemeliharaan,
belanja perjalanan dinas, belanja barang BLU
dan belanja barang untuk diserahkan kepada
masyarakat. Beberapa hal yang perlu
diperhatikan terkait belanja barang adalah:
1) Belanja barang difokuskan untuk membiayai
kebutuhan operasional kantor (barang dan
jasa), pemeliharaan kantor dan aset tetap/
aset lainnya serta biaya perjalanan;
2) Di samping itu, belanja barang juga
dialokasikan untuk pembayaran honor-
honor bagi para pengelola anggaran (KPA,
PPK, Bendahara dan Pejabat
Penguji/Penandatangan SPM, termasuk
Petugas SIA/ SIMAK-BMN);
3) Sesuai dengan penerapan konsep nilai
perolehan maka pembayaran honor untuk
para pelaksana kegiatan menjadi satu
kesatuan dengan kegiatan induknya;
4) Selain itu, belanja barang juga meliputi hal-
hal:
a) Pengadaan aset tetap yang nilai per
satuannya di bawah nilai minimum
kapitalisasi;
BPK merekomendasikan Kepala
BP Batam agar memerintahkan
kepada Kepala Biro Perencanaan
BP Batam supaya dalam
menyusun RKAKL belanja barang
dan belanja modal berpedoman
pada ketentuan dan standar yang
berlaku.
Untuk memperbaiki
permasalahan tersebut, maka
Kepala Biro Perencanaan
Program dalam menyusun
RKAKL Belanja harus
mempedomani ketentuan
mengenai karakteristik
belanja.
LHP No. 78/Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara-BKD 49
NO. TEMUAN REKOMENDASI BPK HASIL TELAAHAN
b) Belanja pemeliharaan aset tetap yang
tidak menambah umur ekonomis/ masa
manfaat atau kapasitas kinerja aset tetap
atau aset lainnya, dan/ atau kemungkinan
besar tidak memberikan manfaat
ekonomis di masa yang akan datang
dalam bentuk peningkatan kapasitas,
mutu produksi atau peningkatan standar
kinerja. Belanja pemeliharaan adalah
pengeluaran yang dimaksudkan untuk
mempertahankan aset tetap atau aset
lainnya yang sudah ada ke dalam kondisi
normalnya;
c) Belanja barang untuk diserahkan kepada
masyarakat/ pemerintah daerah.
b. Belanja Modal adalah pengeluaran anggaran
yang digunakan dalam rangka memperoleh atau
menambah Aset Tetap dan/ atau Aset Lainnya
yang memberi manfaat ekonomis lebih dari satu
periode akuntansi (12 bulan) serta melebihi
batasan nilai minimum kapitalisasi Aset Tetap
atau Aset Lainnya yang ditetapkan pemerintah.
Aset Tetap tersebut dipergunakan untuk
operasional kegiatan suatu satuan kerja atau
dipergunakan oleh masyarakat umum/ publik
serta akan tercatat di dalam neraca satker K/L.
Hal tersebut mengakibatkan realisasi Belanja
Barang dan Belanja Modal yang disajikan dalam
LRA BP Batam TA 2015 tidak menggambarkan
keadaan sebenarnya sebesar Rp5.168.073.011,38
(Rp4.933.907.065,64 + Rp234.165.945,74).
2. Uang Muka Belum Dapat
Dipertanggungjawabkan dan Penyelesaiannya
Berlarut-larut
Permasalahan uang muka yang belum dapat
dipertanggungjawabkan tersebut telah diungkap
dalam LHP BPK tahun-tahun sebelumnya, yaitu:
a. Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK Nomor
13b/S/XVIII.TJP/01/2010 tanggal 13 Januari
2010 atas Laporan Keuangan Konsolidasi
Otorita Batam yang mengungkapkan temuan
terdapat Uang Muka Rutin Sebesar
Rp1.801.431.068,00 dan Uang Muka
Pembangunan Sebesar Rp8.732.917.926,00
yang Belum Dipertanggungjawabkan;
b. LHP BPK Nomor 1d/HP/XVIII/02/2013
tanggal 12 Februari 2013 mengungkapkan
permasalahan yang sama yaitu terdapat panjar
kegiatan mulai tahun 1993 sampai dengan 2011
sebesar Rp7.389.558.190,00 yang belum
dipertanggungjawabkan;
c. LHP BPK Nomor 9a/HP/XVIII/TJP/05/2014
tanggal 28 Mei 2014 mengungkapkan
permasalahan terdapat panjar kegiatan sebesar
Rp5.717.724.262,00 belum
dipertanggungjawabkan;
d. LHP BPK Nomor 12a/HP/XVIII/TJP/05/2015
tanggal 5 Mei 2015 mengungkapkan
permasalahan terdapat panjar kegiatan sebesar
BPK merekomendasikan Kepala
BP Batam agar :
a. Memberikan sanksi sesuai
ketentuan yang berlaku
kepada para penanggung
jawab uang muka yang lalai
dalam memenuhi
kewajibannya untuk
mempertanggungjawabkan
panjar kegiatan atau
pembelian barang/jasa yang
diterimanya;
b. Memerintahkan Tim
Pelaksana Kegiatan
Penyelesaian Kerugian
Negara BP Batam supaya
segera memproses TGR
kepada para penanggung
jawab uang muka yang lalai
dalam
mempertanggungjawabkan
uang muka yang diterima.
Untuk memperbaiki
permasalahan tersebut, maka
para penanggung jawab uang
muka harus cermat dalam
memenuhi kewajibannya
untuk
mempertanggungjawabkan
panjar kegiatan atau pembelian
barang/jasa yang diterimanya.
Selain itu, Tim Pelaksana
Kegiatan Penyelesaian
Kerugian Negara BP Batam
harus segera memproses TGR
atas sisa uang muka/panjar
yang belum
dipertanggungjawabkan.
LHP No. 78/Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara-BKD 50
NO. TEMUAN REKOMENDASI BPK HASIL TELAAHAN
Rp4.210.414.740,00 belum
dipertanggungjawabkan.
BP Batam telah membentuk tim penyelesaian panjar
sejak tahun 2012 s.d. Februari 2015, namun sampai
dengan saat pemeriksaan berakhir permasalahan
tersebut belum selesai seluruhnya.
Berdasarkan pemeriksaan atas Laporan Keuangan
Tahun 2015, saldo Uang Muka yang belum dapat
dipertanggungjawabkan adalah sebesar
Rp3.205.093.900,00. Catatan dan dokumen yang
tersedia juga tidak memungkinkan BPK untuk
melakukan prosedur pemeriksaan yang memadai
untuk meyakini kewajaran uang muka yang belum
dipertanggungjawabkan tersebut.
Hal tersebut tidak sesuai dengan:
a. Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010
tentang SAP, yaitu PSAP No. 1 tentang
kerangka konseptual, paragraf 91 yang
menyatakan bahwa sejalan dengan penerapan
basis akrual, aset dalam bentuk piutang atau
beban dibayar dimuka diakui ketika hak klaim
untuk mendapatkan arus kas masuk atau
manfaat ekonomi lainnya dari entitas lain;
b. Buletin Teknis No. 6 tentang Akuntansi Piutang
yang menjelaskan bahwa pada cut of period
tertentu apabila terdapat hak pemerintah untuk
menagih, harus dicatat sebagai penambahan aset
pemerintah berupa piutang, dan peristiwa yang
menimbulkan piutang adalah pungutan
pendapatan negara, perikatan, transfer antar
pemerintah, dan kerugian negara.
Hal tersebut mengakibatkan saldo Kas pada BLU,
Uang Muka, Aset Lainnya – (Uang Muka) Panjar
Tidak Lancar, dan Cadangan Penyisihannya tidak
dapat diyakini kewajarannya Rp3.205.093.900,00.
Pemeriksaan atas Kepatuhan terhadap Peraturan Perundang-undangan
1. Pendapatan dari KSO PT BAS Belum Diterima
Minimal Sebesar Rp4.272.174.880,37 dan
Terdapat Denda yang Belum Dipungut Sebesar
Rp1.534.033.204,17
Hasil pemeriksaan secara uji petik atas KSO Kantor
Bandara, antara lain diketahui bahwa terdapat
kerjasama pengelolaan Ground Handling dan Cargo
Handling di Bandara Hang
Nadim Batam yang menunjukkan PT Batam Air
Service (PT BAS) belum menyetorkan bagian
pendapatan Kantor Bandara minimal sebesar
Rp3.324.588.293,38 dan belum dikenakan denda
keterlambatan penyetoran pendapatan minimal
sebesar Rp1.514.590.585,50 serta belum membayar
piutang sebesar Rp947.586.587,00 dan
USD33,172.09 dengan uraian sebagai berikut:
a. PT BAS belum menyetorkan bagian pendapatan
Kantor Bandara minimal sebesar
Rp3.324.588.293,38 dan belum dikenakan
denda minimal sebesar Rp1.514.590.585,50
b. PT BAS belum membayar piutang sebesar
Rp947.586.587,00 dan USD33,172.09 serta
BPK merekomendasikan Kepala
BP Batam agar memerintahkan
Kepala Bandara Hang Nadim
untuk:
a. Menagih bagi hasil
pendapatan KSO dan piutang
sewa yang belum dibayar PT
BAS minimal sebesar
Rp4.272.174.880,37
(Rp3.324.588.293,37 +
Rp947.586.587,00) dan
USD33,172.09, serta denda
atas Pendapatan KSO dan
piutang sewa yang belum
dipungut sebesar
Rp1.534.033.204,17
(Rp1.514.590.585,49 +
Rp19.442.618,68);
b. Memerintahkan kepada
Kepala Bidang Komersil dan
Kepala Sub Bagian Keuangan
Kantor Bandara Hang Nadim
Untuk memperbaiki
permasalahan tersebut, maka
Kepala Kantor Bandara Hang
Nadim harus cermat dalam
mengendalikan pelaksanaan
perjanjian kerja sama dengan
PT BAS. Selain itu, Kepala
Bidang Komersil Kantor
Bandara Hang Nadim dan
Kepala Sub Bagian Keuangan
harus cermat dalam menagih
bagi hasil pendapatan KSO dan
piutang sewa kepada PT BAS.
LHP No. 78/Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara-BKD 51
NO. TEMUAN REKOMENDASI BPK HASIL TELAAHAN
terdapat denda keterlambatan pembayaran yang
belum dikenakan sebesar Rp19.442.618,68
Hal tersebut tidak sesuai dengan:
a. Perjanjian Nomor 238/SPJ/KA/12/2012 dan
Nomor 030/BAS-DIRUT/XII/2012 tentang
Adendum terhadap perjanjian BP Batam dan PT
BAS tentang Pengelolaan Full Ground
Handling di Bandara Hang Nadim Batam
Nomor 9362/AMD/KA/UM/VI/2012 dan
Nomor 022/BAS-DIRUT/VI/2012 pada:
1) Pasal 8:
a) Ayat (1) yang menyatakan bahwa
persentase bagi hasil yang menjadi hak
Pihak Pertama dan wajib dibayar oleh
Pihak Kedua ditetapkan sebagai berikut:
Bagi Hasil sebesar 8% (delapan persen)
dari besarnya Penghasilan Kotor (Gross
Revenue) yang diperoleh Pihak Kedua
selama pengelolaan setiap tahunnya
berlaku terhitung sejak tanggal 1 Januari
2013 s.d. 31 Desember 2013;
b) Ayat (2) yang menyatakan bahwa jadwal
pembayaran bagi hasil diatur sebagai
berikut:
(1) Pembayaran Bagi Hasil untuk
jangka waktu 1 Januari 2013 s.d. 31
Maret 2013, wajib dilunasi
seluruhnya oleh Pihak Kedua pada
tanggal 30 April 2013;
(2) Pembayaran Bagi Hasil untuk
jangka waktu 1 April 2013 s.d. 30
Juni 2013, wajib dilunasi
seluruhnya oleh Pihak Kedua pada
tanggal 31 Juli 2013;
(3) Pembayaran Bagi Hasil untuk
jangka waktu 1 Juli 2013 s.d. 30
September 2013, wajib dilunasi
seluruhnya oleh Pihak Kedua pada
tanggal 15 Nopember 2013; dan
(4) Pembayaran Bagi Hasil untuk
jangka waktu 1 Oktober 2013 s.d.
31 Desember 2013, wajib dilunasi
seluruhnya oleh Pihak Kedua pada
tanggal 15 Februari 2014.
2) Pasal 9:
a) Ayat (1) yang menyatakan bahwa
terhadap setiap keterlambatan
pelaksanaan pembayaran tunggakan bagi
hasil (tidak menggunakan invoice) dalam
pasal 8 ayat (1) perpanjangan perjanjian
ini, maka Pihak Kedua dikenakan denda
sebesar 1/1000 (satu per seribu) untuk
setiap hari keterlambatan dari jumlah
yang tidak dibayar atau ditagih, yang
dihitung sejak lampaunya batas waktu
yang ditetapkan dalam setiap kewajiban
pembayaran, atau lampaunya tenggang
waktu pembayaran dalam tagihan Pihak
Pertama, yang berlaku sampai dengan
untuk melakukan monitoring
terhadap pembayaran bagi
hasil pendapatan KSO dan
piutang sewa oleh PT BAS;
dan
c. Melakukan evaluasi dan
meninjau kembali
pelaksanaan kerja sama KSO
dengan PT BAS.
LHP No. 78/Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara-BKD 52
NO. TEMUAN REKOMENDASI BPK HASIL TELAAHAN
dibayarnya tagihan atau kewajiban
tersebut berikut dendanya;
b) Ayat (2) yang menyatakan bahwa apabila
Pihak Kedua melalaikan salah satu atau
lebih kewajiban pembayaran tunggakan
bagi hasil (menggunakan invoice) dalam
pasal 8 ayat (1) perpanjangan perjanjian
ini, maka Pihak Kedua dikenakan sanksi
kewajiban pelunasan tunggakan tersebut
langsung dan seketika; dan
c) Ayat (4) yang menyatakan bahwa
terhadap keterlambatan pengembalian
peralatan Pihak Pertama setelah
berakhirnya jangka waktu perpanjangan
Perjanjian, Pihak Kedua dikenakan
denda sebesar 1/1000 (satu per seribu)
dari total nilai perolehan peralatan Pihak
Pertama sesuai data yang ada pada Surat
Perjanjian Nomor 06/SPJ/KS/XII/1996
tanggal 19 Desember 1996 denda berlaku
sampai dengan pelaksanaan
pengembalian peralatan Pihak Pertama
dalam keadaan layak pakai, demikian
juga apabila terjadi kerusakan maka
Pihak Kedua wajib memperbaiki dengan
biaya sendiri, dan waktu keterlambatan
pengembalian peralatan akibat harus
dilaksanakannya perbaikan akan tetap
diperhitungkan sebagai keterlambatan
dan dikenakan denda.
b. Perjanjian Sewa Menyewa Ruangan di Bandara
Nomor 64/SPJ/KA-HN/8/2012 tanggal 16
Januari 2012 pada:
1) Pasal 4:
a) Ayat (2) yang menyatakan bahwa harga
sewa ruangan adalah sesuai tarif yang
berlaku pada saat ini (PP Nomor 6 Tahun
2009). Masing-masing tarif sewa
tersebut di atas untuk setiap 1 m2 (meter
per segi), untuk setiap bulannya terinci
sebagai berikut:
(1) Satu Paket Gedung Shelter
Terminal = 972 m2 x Rp1.000,00 =
Rp972.000,00;
(2) Tanah di Perkeras Areal Apron =
334,69 m2 x Rp1.000,00 =
Rp334.690,00;
(3) Ruangan Tertutup dengan Fasilitas
AC = 196 m2 x Rp60.000,00 =
Rp11.760.000,00;
(5) Ruangan Tertutup dengan Fasilitas
AC = 35 m2 x Rp60.000,00 =
Rp2.100.000,00;
(6) Ruangan Tertutup dengan Fasilitas
AC = 20 m2 x Rp60.000,00 =
Rp1.200.000,00;
Total Sewa Ruangan adalah sebesar
Rp16.366.690,00 “Enam belas juta tiga
LHP No. 78/Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara-BKD 53
NO. TEMUAN REKOMENDASI BPK HASIL TELAAHAN
ratus enam puluh enam ribu enam ratus
sembilan puluh rupiah”,
b) Ayat (3) yang menyatakan Jumlah harga
sewa sebagaimana ayat (2) pasal ini,
belum termasuk sewa pemakaian air,
listrik dan telepon.
2) Pasal 8 Ayat (1) yang menyatakan bahwa
keterlambatan pembayaran sewa oleh Pihak
Kedua dari waktu sebagaimana ditetapkan
dalam pasal 4 ayat (7) perjanjian ini
dikenakan sanksi denda sebesar 1/1000 (satu
per seribu) per hari dari total harga sewa
untuk jangka waktu paling lama 30 (tiga
puluh) hari.
Hal tersebut mengakibatkan potensi kerugian
Kantor Bandara Hang Nadim :
a. Belum diterimanya pendapatan KSO dari PT
BAS minimal sebesar Rp4.272.174.880,37
(Rp3.324.588.293,37 + Rp947.586.587,00) dan
USD33,172.09; dan
b. Denda atas keterlambatan pembayaran bagi
hasil pendapatan KSO dengan PT BAS belum
dipungut minimal sebesar Rp1.534.033.204,17
(Rp1.514.590.585,49 + Rp19.442.618,68).
LHP No. 84/Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara-BKD
54
GAMBARAN UMUM
BADAN PENGUSAHAAN KAWASAN PERDAGANGAN BEBAS SABANG
ajian yang disusun merupakan kajian yang dilakukan terhadap laporan hasil
pemeriksaan BPK RI atas laporan keuangan, laporan kinerja dan pemeriksaan dengan
tujuan tertentu yang disusun oleh Kementerian/Lembaga Pemerintah Pusat tahun
2015 yang dikeluarkan pada Semester I Tahun 2016. Secara khusus kajian ini dilakukan
terhadap LK Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang.
Sedangkan tujuan dari kajian adalah untuk menyediakan informasi sebagai bahan tindaklanjut
DPR atas LHP BPK sebagai pelaksanaan wewenang, tugas dan fungsi pengawasan parlemen
atas akuntabilitas administrasi keuangan negara.
Gambaran umum sebagai pelengkap dari kajian ini dapat dilihat sebagai berikut :
Opini BPK RI
Laporan Realisasi Anggaran (LRA) dan Laporan Operasional (LO)
Kondisi Aset dalam Neraca 2015 (Audited)
K
OPINI BPK RI2014
WDP
2015
WDP
LRAAnggaran
246.512.000.000
Realisasi
204.719.931.46983,05%
Aset Lancar
• 4.197.839.933
Aset Tetap
• 2.491.047.235.383
Aset Lainnya
• 2.498.316.530.327
LO
Pendapatan Operasional
1.650.250.570
Beban Operasional
117.454.940.952
Defisit
(115.804.690.382)
LHP No. 84/Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara-BKD
55
KUTIPAN & TELAAHAN HASIL PEMERIKSAAN BPK RI SEMESTER I TAHUN 2016
ATAS LAPORAN KEUANGAN BADAN PENGUSAHAAN KAWASAN PERDAGANGAN BEBAS
DAN PELABUHAN BEBAS SABANG
TAHUN ANGGARAN 2015
NO. TEMUAN REKOMENDASI BPK HASIL TELAAHAN
Pemeriksaan atas Sistem Pengendalian Intern
1. Penerimaan dan Penggunaan Pendapatan BPKS
TA 2015 Masing-Masing Sebesar
Rp3.529.331.972,00 dan Sebesar
Rp9S0.665.938,00 Tidak Melalui Mekanisme
APBNserta Pengelolaannya Belum Tertib
Permasalahanyang sama telah diungkapkan dalam
Laporan Hasil Pemeriksaan atas Sistem
Pengendalian Intern (LHP SPI) BPKS Tahun 2013
Nomor 03B/LHP/XVIII.BAC/04/2014 tanggal 22
April 2014 dan LHP SPI Tahun 2014 Nomor
17B/HP/XVIII/05/2015 tanggal 6 Mei 2015, dengan
rekomendasi agar memberikan sanksi sesuai
ketentuan yang berlaku kepada Kepala Unit
Manajemen Pelabuhan, Kepala Bagian Keuangan,
dan Kepala Biro Keuangan BPKS yang kurang
optimal dalam mengelola dan menatausahakan
pendapatan, menyetorkan PNBP sebesar
Rp1.838.182.966,00 ke Kas Negara, dan segera
berkoordinasi dengan Kementerian Perhubungan
untuk mempercepat persetujuan Perka Nomor
24/BPKS/2010 tentang Penetapan Tarif Jasa
Pelabuhan dan SOP pengelolaan pendapatan.
Hasil pemeriksaan atas pengelolaan pendapatan
BPKS Tahun 2015 menunjukkan bahwa
rekomendasi tersebut belum sepenuhnya
ditindaklanjuti oleh BPKS, sehingga masih
ditemukan permasalahan-permasalahan sebagai
berikut:
a. Penerimaan BPKS tidak disetor ke Kas Negara
sebesar Rp3.529.331.972,00 dan digunakan
Iangsung tanpa melalui mekanisme APBN
sebesar Rp980.665.938,00. Terhadap hal ini
Manajemen BPKS menjelaskan bahwa
pendapatan tersebut tidak disetor ke Kas Negara
karena pada dasarnya BPKS merupakan entitas
BLU, meskipun pada TA 2015 BPKS belum
memiliki DIPA BLU. Sedangkan penggunaan
langsung penerimaan sendiri BPKS dilakukan
membiayai kegiatan-kegiatan yang tidak
dianggarkan dalam APBN yang sangat
mendesak, setelah mendapat izin dari Gubernur
Aceh selaku Ketua Dewan Kawasan Sabang
(DKS).
Untuk TA 2016 BPKS telah memiliki DIPA
BLU, sehingga pendapatan yang belum disetor
ke kas negara pada TA 2015 akan menjadi
pendapatan BPKS TA 2016.
BPK merekomendasikan Kepala
BPKS agar:
a. Memerintahkan Deputi
Umum, Kepala Biro
Keuangan dan Kepala Biro
Perencanaan supaya dalam
mengelola pendapatan dan
belanja mengikuti mekanisme
APBN;
b. Memerintahkan kepada
Deputi Umum supaya
mengangkat Bendahara
Penerimaan dari PNS sesuai
ketentuan peraturan
perundang-undangan yang
berlaku dan memisahkan
fungsi bendahara dari fungsi
pencatatan akuntansi;
c. Mengajukan penetapan tarif
PNBP jasa kepelabuhanan
kepada Menteri Keuangan
dengan terlebih dahulu
melakukan kajian mengenai
tarif jasa kepelabuhanan yang
wajar di lingkungan BPKS;
dan
d. Memerintahkan kepada
Deputi Umum untuk
menyusun SOP Pendapatan
dan Jasa di lingkungan BPKS
yang kemudian ditetapkan
secara formal dengan
Peraturan Kepala BPKS.
Untuk memperbaiki
permasalahan tersebut, maka
perlu dilakukan beberapa hal
berikut antara lain :
a. Deputi Umum, Kepala
Biro Keuangan dan
Kepala Biro Perencanaan
harus segera melengkapi
syarat-syarat untuk
memperoleh pengesahan
DIPA BLU TA 2015;
b. Deputi Umum harus
mempedomani ketentuan
yang mengatur mengenai
syarat-syarat
pengangkatan Bendahara
Penerimaan;
c. Kepala Biro Keuangan
BPKS, Kepala Unit
Manajemen
Kepelabuhanan dan
Kepala Bagian Keuangan
harus melakukan
rekonsiliasi pendapatan
secara tertib dan teratur;
d. Kepala BPKS harus segera
mengajukan penetapan
tarif PNBP jasa
kepelabuhanan kepada
Menteri Keuangan; dan
e. SOP Pendapatan dan Jasa
di Iingkungan BPKS harus
segera disusun dan
ditetapkan secara formal.
LHP No. 84/Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara-BKD
56
NO. TEMUAN REKOMENDASI BPK HASIL TELAAHAN
b. Rekening penampungan pendapatan BPKS
belum memperoleh persetujuan Bendahara
Umum Negara (BUN)/Kuasa BUN
c. Pengangkatan bendahara penerimaan belum
sesuai ketentuan dan BPKS belum melakukan
pemisahan fungsi pengelola pendapatan.
d. Bendahara penerimaan tidak menyelenggarakan
Buku Kas Umum.
e. Rekonsiliasi antara unit kerja pengelola
pendapatan belum dilakukan.
f. Terdapat beberapa tarif pendapatan pada BPKS
yang belum memiliki dasar hukum.
Kondisi tersebut tidak sesuai dengan:
a. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang
Penerimaan Negara Bukan Pajak, Pasal 4 dan 5
yang menyatakan bahwa seluruh Penerimaan
Negara Bukan Pajak wajib disetor langsung
secepatnya ke Kas Negara. Seluruh
PenerimaanNegara BukanPajak dikelola dalam
sistem Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara;
b. Peraturan Pemerintah Nomor 105 Tahun 2012
tentang Pengelolaan Keuangan pada BPKS,
Pasal 6 ayat (1) yang menyatakan bahwa dalam
pengelolaan keuangan, Kepala BPKS paling
sedikit antara lain: (a) Menyusun rencana
strategis bisnis, pola tata kelola, standar
pelayanan minimum untuk ditetapkan Ketua
DKS; (b) Menetapkan tarif layanan dengan
persetujuan DKS setelah berkonsultasi dengan
Menteri Keuangan; dan (c) Menyampaikan
rencana strategis bisnis, pola tata kelola dan
standar pelayanan minimum yang telah
ditetapkan KetuaDKSkepada Menteri
Keuangan;
c. Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1999
tentang Tata Cara Penggunaan Penerimaan
Negara Bukan Pajak yang Bersumber dari
Kegiatan Tertentu:
1) Pasal 2 yang menyatakan bahwa seluruh
Penerimaan Negara Bukan Pajak wajib
disetor langsung secepatnya ke Kas Negara;
2) Pasal 3 yang menyatakan bahwa seluruh
Penerimaan Negara Bukan Pajak dikelola
dalam sistem Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara;
3) Pasal 5 yang menyatakan bahwa instansi
dapat menggunakan sebagian dana
Penerimaan Negara Bukan Pajak setelah
memperoleh persetujuan dari Menteri;
4) Pasal 6 ayat (1) yang menyatakan bahwa
permohonan penggunaan Penerimaan
Negara Bukan Pajak diajukan oleh pimpinan
instansi pemerintah yang bersangkutan
kepada Menteri; ayat (2) yang menyatakan
bahwa permohonan paling sedikit
dilengkapi dengan: a) Tujuan penggunaan
LHP No. 84/Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara-BKD
57
NO. TEMUAN REKOMENDASI BPK HASIL TELAAHAN
dana Penerimaan Negara Bukan Pajak; b)
Rincian kegiatan pokok instansi dan
kegiatan yang akan dibiayai Penerimaan
Negara Bukan Pajak; Jenis
PenerimaanNegara Bukan Pajak beserta tarif
yang berlaku; dan c) Laporan realisasi dan
perkiraan tahun anggaran berjalan serta
perkiraan untuk 2 (dua) tahun anggaran
mendatang;
5) Pasal 9 yang menyatakan bahwa saldo lebih
dari sebagian dana Penerimaan Negara
Bukan Pajak, pada akhir tahun anggaran
wajib disetor seluruhnya ke Kas Negara.
d. PMK Nomor 162/PMK.05/2013 tentang
Kedudukan dan Tanggung Jawab Bendahara
pada Satuan Keija Pengelola APBN, Pasal 9
antara Iain menyatakan bahwa setiap orang yang
akan diangkat menjadi Bendahara Penerimaan
harus memiliki sertifikat bendahara. Dalam hal
proses sertifikasi belum terlaksana, maka
persyaratan yang harus dipenuhi untuk dapat
diangkat sebagai bendahara adalah pegawai
negeri, dengan pendidikan minimal SLTA atau
sederajat dan golongan minimal Il/b atau
sederajat.
Kondisi tersebut mengakibatkan:
a. Realisasi PNBP dan Belanja pada LRA BPKS
TA 2015 tidak mencerminkan kondisi yang
sebenarnya masing-masing sebesar Rp3.529.33
1.972,00 dan sebesarRp980.665.938,00; dan
b. Membuka peluang terjadinya penyalahgunaan
keuangan yang bersumber dari pendapatanjasa
dan penyewaan aset BPKS;
2. Kesalahan Penganggaran BelanjaBarang
Sebesar Rp12.086.206.000,00
Hal tersebut terlihat bahwa terdapat realisasi
belanja barang sebesar Rp12.086.206.000,00 yang
menghasilkan aset dan digunakan untuk
pemeliharaan aset milik pihak lain. Realisasi belanja
untuk pengadaan barangtersebut tidak tepat jika
dibebankan pada belanja barang karena kegiatan
tersebut merupakan kegiatan yang direncanakan
untuk menghasilkan aset untuk dikelola dan dimiliki
oleh BPKS. Kemudian sesuai dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010 tentang SAP
Akrual, untuk realisasi belanja
pemeliharaan/renovasi infrastruktur milik
pemerintah lainnya/pihak lain yang meningkatkan
masa manfaat atas aset tersebut seharusnya
dianggarkan pada Belanja Modal.
Kondisi tersebut tidak sesuai dengan:
a. Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010
tentang Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP),
pada:
1) Pasal 3 yang menyatakan bahwa Pernyataan
Standar Akuntansi Pemerintahan (PSAP)
dapat dilengkapi dengan IPSAP dan/atau
BPK merekomendasikan Kepala
BPKS agar memerintahkan
kepada Deputi Umum, Kepala
Biro Perencanaan dan Kepala
Bagian Perencanaan supaya dalam
menyusun RKAKL dilakukan
secara cermat sesuai dengan
standar dan ketentuan yang
berlaku.
Untuk memperbaiki
permasalahan tersebut, maka
Deputi Umum, Kepala Biro
Perencanaan dan Kepala
Bagian Perencanaan harus
cermat dalam menyusun
RKAKL serta memedomani
standar dan ketentuan yang
berlaku.
LHP No. 84/Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara-BKD
58
NO. TEMUAN REKOMENDASI BPK HASIL TELAAHAN
Buletin Teknis SAP, yang antara lain pada
Bultek SAP Nomor 15 tentang Akuntansi
Aset Tetap berbasis Akrual pada :
a) Bab VI point 6.3 menyatakan bahwa
Perolehan Aset Tetap Lainnya, selain
Aset Tetap-Renovasi, pada umumnya
melalui pembelian atau perolehan lain
seperti hibah/donasi. Perolehan Aset
Tetap Lainnya melalui pembelian diakui
sebagai penambah nilai Aset Tetap
Lainnya, dan mengurangi Kas Umum
Negara/Daerah pada neraca.
Dalam rangka penyajian dalam Laporan
Realisasi Anggaran, perolehan Aset
Tetap Lainnya melalui pembelian diakui
sebagai belanja modal. Perolehan Aset
Tetap Lainnya melalui hibah/donasi
diakui sebagai penambah nilai Aset
Tetap Lainnya pada Neraca dan sebagai
pendapatan-LO;
b) Bab X point 10.3 menyatakan bahwa
renovasi aset tetap dalam lingkup ini
mencakup perbaikan aset tetap bukan
milik suatu satuan kerja K/L atau SKPD,
di luar entitas pelaporan yang memenuhi
syarat kapitalisasi. Lingkup
renovasijenis ini meliputi:
(1) Renovasi aset tetap milik
pemerintah lainnya; dan
(2) Renovasi aset tetap milik pihak
lain, selain pemerintah (swasta,
BUMN/D,yayasan, dan Iain-lain).
Renovasi semacam ini, pengakuan
dan pelaporannya serupa dengan
renovasi aset bukan milik - dalam
lingkup entitas pelaporan
sebagaimana butir 2 di atas, yaitu
bahwa pada satuan kerja yang
melakukan renovasi tidak dicatat
sebagai penambah nilai perolehan
aset tetap terkait karena
kepemilikan aset tetap tersebut ada
pada pihak lain. Apabila renovasi
aset tersebut telah selesai dilakukan
sebelum tanggal pelaporan, maka
transaksi renovasi akan dibukukan
sebagai aset tetap lainnya-aset
renovasi dan disajikan di neraca
sebagai kelompok aset tetap.
Apabila sampai dengan tanggal
pelaporan renovasi tersebut belum
selesai dikeijakan, atau sudah
selesai pengeijaannya namun
belum diserahterimakan, maka
akan dicatat sebagai KDP.
2) Lampiran 1.03 PSAP 02 pada Paragraf 37
yang menyatakan bahwa Belanja modal
LHP No. 84/Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara-BKD
59
NO. TEMUAN REKOMENDASI BPK HASIL TELAAHAN
adalah pengeluaran anggaran untuk
perolehan aset tetap dan aset lainnya yang
memberi manfaat lebih dari satu periode
akuntansi.
b. Peraturan Menteri Keuangan Nomor
91/PMK.06/2007 tentang Bagan Akun Standar:
1) BAB II Klasifikasi Akun Standar Bagian G
yaitu Klasifikasi berdasarkan Jenis Belanja
(ekonomi) yang menyebutkan bahwa:
a) Belanja barang adalah pengeluaran untuk
menampung pembelian barang dan jasa
yang habis pakai untuk memproduksi
barang dan jasa yang dipasarkan maupun
yang tidak dipasarkan serta pengadaan
barang yang dimaksud untuk diserahkan
atau dijual kepada masyarakat dan
belanja perjalanan. Belanja ini terdiri
dari belanja barang dan jasa, belanja
pemeliharaan dan belanja peijalanan
dinas; dan
b) Belanja modal adalah pengeluaran
anggaran yang digunakan dalam rangka
memperoleh atau menambah aset tetap
dan aset lainnya yang memberi manfaat
lebih dari satu periode akuntansi serta
melebihi batasan minimal kapitalisasi
aset tetap atau aset lainnya yang
ditetapkan oleh pemerintah. Aset Tetap
tersebut dipergunakan untuk operasional
kegiatan sehari-hari suatu satuan keija
bukan untuk dijual.
Kondisi tersebut mengakibatkan Realisasi
Belanja Barang pada LRA BPKS TA 2015 tidak
mencerminkan substansinya sebesar
Rp12.086.206.000,00.
3. Kegiatan Inventarisasi, Penilaian, dan
Pengamanan Aset Tetap BPKS Belum Memadai
dan Penyajian Aset Tetap Sebesar
Rp85.498.953.670,00 Tidak Dapat Diyakini
Kewajarannya
Hal tersebut terlihat pada beberapa hal berikut,
antara lain :
a. BPKS belum seluruhnya menindaklanjuti
temuan Aset Tetap pada LHP BPK TA 2014,
yang meliputi :
1) Inventarisasi Aset Tetap Tanah Belum
Dilakukan Seluruhnya
2) Pencatatan Aset Tetap Tanah tidak tertib dan
tidak dapat diyakini kewajarannya sebesar
Rp27.639.779.110.00
3) Aset Tetap yang diperoleh dari dana APBD
dan pendapatan sendiri sebesar
Rp1.060.059.750,00 tidak diketahui
keberadaannya
4) Inventarisasi Aset eks PT Pelindo Isebesar
Rp15.843.048.297,00 belum dilakukan
BPK merekomendasikan Kepala
BPKS agar memerintahkan
kepada:
a. Deputi Bidang Umum,
Direktur Pemanfaatan Aset,
Kepala Biro Keuangan, dan
Kepala Bagian Akuntansi
supaya melakukan
inventarisasi, penilaian,
penatausahaan dan
pengamanan Aset Tetap
BPKS secara tuntas dan
menyeluruh;
b. Memerintahkan kepada
Kepala Bagian Akuntansi
supaya melakukan koordinasi
dengan pejabat pembuat
komitmen (PPK) terkait,
sehinga setiap kegiatan
pengadaan yang
menghasilkan aset dapat
dicatat dalam MAK BMN
Untuk memperbaiki
permasalahan tersebut, maka
perlu melakukan beberapa hal
berikut antara lain :
a. Deputi Bidang Umum,
Direktur Pemanfaatan
Aset, Kepala Biro
Keuangan, dan Kepala
Bagian Akuntansi harus
optimal dalam melakukan
inventarisasi, penilaian,
penatausahaan dan
pengamanan Aset Tetap
BPKS;
b. Harus ada koordinasi
antara Bagian Akuntansi
dengan pejabat pembuat
komitmen (PPK) dalam
memberikan dokumen
sumber terkait kegiatan
pengadaan yang
menghasilkan aset;
LHP No. 84/Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara-BKD
60
NO. TEMUAN REKOMENDASI BPK HASIL TELAAHAN
5) Aset Tetap eks Pelindo digunakan oleh
masyarakat tanpa perjanjian Sewa
6) Aset Tetap Jalan sebesar
Rp26.500.217.050,00 tidak didukung
informasi yang memadai
b. Permasalahan pengelolaan dan penatausahaan
aset tetapTA 2015
1) Penatausahaan Aset Tetap belum memadai
a) Pengurus/penyimpan BMN belum
sepenuhnya melaksanakan tugas dan
fungsi sebagai pengelola aset tetap
b) Aplikasi SIMAK BMN belum dapat
menyajikan rincian Aset Tetap secara
informatif dan akurat
2) Aset Tetap berupa Peralatan dan Mesin tidak
diketahui keberadaannya sebesar
Rp839.547.223,00
3) Aset Tetap belum disajikan nilainya dalam
SIMAK BMN TA 2015
4) Pemeliharaan dan Pembangunan atas Aset
Tetap bukan milik BPKS
5) Terdapat Aset Tetap Peralatan dan Mesin
dengan nilai tidak wajar pada SEVTAK
BMN
6) Daftar Barang Ruangan (DBR) tidak
lengkap, berbeda dengan kondisi dan
pencatatannya di Aplikasi BMN
7) Pengamanan Aset Tanah belum memadai
8) Pengkodean Barang Belum Tertib
9) Gedung dan Bangunan BPKS digunakan
oleh pihak lain tanpa didukung dengan Surat
Perjanjian Pinjam Pakai
Kondisi tersebut tidak sesuai dengan:
a. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014
tentang Pengelolaan Barang Milik
Negara/Daerah antara lain disebutkan:
1) Pasal 6 ayat (2) huruf f, k, dan 1 yang
menyatakan bahwa Pengguna BarangMilik
Negara berwenang dan bertanggungjawab:
a) Mengamankan dan memelihara Barang
Milik Negara yang berada dalam
penguasaannya;
b) Melakukan pembinaan, pengawasan dan
pengendalian atas penggunaan Barang
Milik Negara yang berada dalam
penguasaannya;
c) Melakukan pencatatan dan inventarisasi
Barang Milik Negara yang berada dalam
penguasaannya;
2) Pasal 42 ayat (1) yang menyatakan bahwa
Pengelola Barang, Pengguna Barang
dan/atau Kuasa Pengguna Barang wajib
melakukan pengamanan Barang Milik
Negara/Daerah yang berada dalam
penguasaannya; dan ayat (2) yang
menyatakan bahwa pengamanan Barang
Milik Negara/Daerah meliputi pengamanan
dengan informasi yang
Iengkap dan akurat;
c. Memerintahkan kepada
petugas SIMAK BMNsupaya
dalam menginput data aset ke
dalam aplikasi SIMAK BMN
dilakukan secara cermat dan
didukung dengan data dan
informasi yang Iengkap
seperti nama/jenis aset, tahun
peroleh, Iokasi, nilai, dan
sumber dana; dan
d. Deputi Umum untuk
meningkatkan pengetahuan
dan keterampilan para
Pengurus dan Penyimpan
Barang, sehingga dapat
melaksanakan tugas dan
fungsinya dengan baik.
c. Petugas SIMAK BMN
harus cermat dalam
menginput data ke dalam
aplikasi SIMAK BMN;
d. Pengurus dan Penyimpan
Barang harus memahami
tugas dan fungsinya;
LHP No. 84/Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara-BKD
61
NO. TEMUAN REKOMENDASI BPK HASIL TELAAHAN
administrasi, pengamanan fisik, dan
pengamanan hukum;
3) Pasal 43 ayat (1) yang menyatakan bahwa
Barang Milik Negara/Daerah berupa tanah
harus disertifikatkan atas nama Pemerintah
Republik Indonesia/pemerintah daerah yang
bersangkutan;
4) Pasal 85 ayat (1) yang menyatakan bahwa
Pengguna Barang melakukan inventarisasi
Barang Milik Negara/Daerah sekurang-
kurangnya sekali dalam lima tahun.
b. Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010
Tentang Standar Akuntansi Pemerintah antara
lain disebutkan pada:
1) PSAP Nomor 7 tentang Akuntansi Aset
Tetap:
a) Paragraf 19 yang menyatakan bahwa saat
pengakuan aset akan dapat diandalkan
apabila terdapat bukti bahwa telah terjadi
perpindahan hak kepemilikan dan/atau
penguasaan secara hukum, misalnya
sertifikat tanah dan bukti kepemilikan
kendaraan bermotor. Apabila perolehan
aset tetap belum didukung dengan bukti
secara hukum dikarenakan masih adanya
suatu proses administrasi yang
diharuskan, seperti pembelian tanah
yang masih harus diselesaikan proses
jual beli (akta) dan sertifikat
kepemilikannya di instansi berwenang,
maka aset tetap tersebut harus diakui
pada saat terdapat bukti bahwa
penguasaan atas aset tetap tersebut telah
berpindah, misalnya telah terjadi
pembayaran dan penguasaan atas
sertifikat tanah atas nama pemilik
sebelumnya;
b) Paragraf 53 yang menyatakan bahwa
Aset Tetap disajikan berdasarkan biaya
perolehan Aset Tetap tersebut dikurangi
akumulasi penyusutan. Apabila teijadi
kondisi yang memungkinkan penilaian
kembali, maka aset tetap akan disajikan
dengan penyesuaian pada masing-
masing akun aset tetap dan akun
Diinvestasikandalam Aset Tetap.
c) Paragraf 77 yang menyatakan bahwa
suatu aset tetap dieliminasi dari neraca
ketika dilepaskan atau bila aset secara
permanen dihentikan penggunaannya
dan tidak ada manfaat ekonomi masa
yang akan datang.
c. PMK Nomor l/PMK.06/2013 tentang
Penyusutan Barang Milik Negara Berupa Aset
Tetap pada Entitas Pemerintah Pusat:
1) Pasal 1 ayat (4) yang menyatakan bahwa
masa manfaat adalah periode suatu Aset
LHP No. 84/Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara-BKD
62
NO. TEMUAN REKOMENDASI BPK HASIL TELAAHAN
Tetap yang diharapkan digunakan untuk
aktivitas pemerintahan dan/atau pelayanan
publik atau jumlah produksi atau unit serupa
yang diharapkan diperoleh dari aset untuk
aktivitas pemerintahan dan/atau pelayanan
publik;
2) Pasal 3 yang menyatakan bahwa penyusutan
Aset Tetap dilakukan untuk: huruf (c)
memberikan bentuk pendekatan yang Iebih
sistematis dan Iogis dalam menganggarkan
Belanja Pemeliharaan atau Belanja Modal
untuk mengganti atau menambah Aset Tetap
yang sudah dimiliki;
3) Pasal 10 ayat (1) yang menyatakan bahwa
dalam hal terjadi perubahan nilai Aset Tetap
sebagai akibat penambahan atau
pengurangan kualitas dan/atau nilai Aset
Tetap, maka penambahan atau pengurangan
tersebut diperhitungkan dalam nilai yang
dapat disusutkan; dan ayat (2) yang
menyatakan bahwa penambahan atau
pengurangan kualitas dan/atau nilai Aset
Tetap meliputi penambahan dan
pengurangan yang memenuhi kriteria
sebagaimana diatur dalam Standar
Akuntansi Pemerintahan;
4) Pasal 13 yang menyatakan bahwa penentuan
masa manfaat Aset Tetap dilakukan dengan
memperhatikan daya pakai dan tingkat
keausan fisik dan/atau keusangan, dari Aset
Tetap yang bersangkutan; dan
5) Pasal 15 ayat (1) yang menyatakan bahwa
perbaikan terhadap Aset Tetap yang
menambah masa manfaat atau kapasitas
manfaat mengubah masa manfaat Aset Tetap
yang bersangkutan.
d. Buletin Teknis 09 tentang Akuntansi Aset Tetap
mengenai Penyajian dan Pengungkapan
Konstruksi Dalam Pengerjaan yang menyatakan
bahwa KDP disajikan sebesar biaya perolehan
atau nilai wajar pada saat perolehan.
Kondisi tersebut mengakibatkan:
a. Penyajian Aset Tetap BPKS tidak dapat diyakini
kewajarannya sebesar Rp85.498.953.670,00;
dan
b. Aset yang tidak didukung dengan pengamanan
yang memadai berpotensi hilang, dikuasai atau
disalahgunakan oleh pihak lain.
Pemeriksaan atas Kepatuhan terhadap Peraturan Perundang-undangan
1. Pembayaran Tunjangan Hari Raya Kepada
Pegawai BPKS Sebesar Rp417.500.000,00 Tidak
Sesuai Ketentuan
Hasil pemeriksaan terhadap DIPA tahun 2015
menunjukkan bahwa anggaran untuk THR tersebut
tidak tersedia anggarannya, namun pembayaran
THR tetap diberikan dengan menggunakan dana dari
BPK merekomendasikan kepada
KepalaBPKS agar:
a. Meninjau kembali kebijakan
pembayaran THR kepada
Pimpinan dan karyawan
BPKS dengan mengacu pada
ketentuan peraturan
Untuk memperbaiki
permasalahan tersebut, maka
kebijakan Kepala BPKS harus
sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Selain
itu, Deputi Umum, Kepala
LHP No. 84/Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara-BKD
63
NO. TEMUAN REKOMENDASI BPK HASIL TELAAHAN
pendapatan jasa yang digunakan langsung tanpa
melalui mekanisme APBN. Pemberian THR tersebut
berdasarkan pada Surat Kepala BPKS kepada
Gubernur Aceh selaku Dewan Kawasan Sabang
Nomor 970/BPKS/123 tanggal 4 Juni 2015 perihal
Penggunaan Dana Pendapatan Sendiri.
Pada Lampiran surat tersebut memuat rencana bisnis
anggaran dan pendapatan sumber pendapatan sendiri
BPKS yang antara lain menganggarkan Belanja
THR sebesar Rp425.000.000,00. Atas surat tersebut,
Gubernur Aceh selaku Dewan Kawasan
memberikan jawaban melalui surat Nomor
970/14175 tanggal 5 Juni 2015 yang menyatakan
tidak keberatan terhadap penggunaan dana
pendapatan sendiri sepanjang tidak bertentangan
dengan peraturanperundang-undangan.
Atas dasar surat tersebut, kemudian Deputi Umum
memerintahkan kepada Kepala Biro Keuangan
untuk memproses pengeluaran dana untuk THR dari
rekening bank sesuai memorandum Deputi Umum
Nomor 02/BPKS-DEPUM/2015. Selanjutnya
Bendahara Penerimaan membuat Bukti Pengeluaran
uang dengan persetujuan Kepala BPKS dan
diketahui oleh Wakil Kepala BPKS. Bendahara
penerimaan selanjutnya mentransfer uangTHR
tersebut ke rekening masing-masing pegawai.
Kondisi tersebut tidak sesuai dengan:
a. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara, Pasal 3 ayat (3), yang
menyebutkan bahwa setiap pejabat dilarang
melakukan tindakan yang berakibat pengeluaran
atas beban APBN/APBD jika anggaran untuk
membiayai pengeluaran tersebut tidak tersedia
atau tidak cukup tersedia;
b. Keputusan Presiden Nomor 42 Tahun 2002
tanggal 28 Juni 2002 sebagaimana telah diubah
terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 53
Tahun 2010 tanggal 6 Agustus 2010 tentang
Pedoman Pelaksanaan Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara pada pasal 13 ayat (1) yang
menyebutkan bahwa atas beban anggaran
belanja negara tidak diperkenankan melakukan
pengeluaran untuk keperluan: (a) perayaan atau
peringatan hari besar, hari raya, dan hari ulang
tahun departemen/lembaga/pemerintah daerah;
(b) pemberian ucapan selamat, hadiah/tanda
mata, karangan bunga, dan sebagainya untuk
berbagai peristiwa; (c) pesta untuk berbagai
peristiwa dan pekan olah raga pada
departemen/lembaga/pemerintah daerah; dan
(d) pengeluaran Iain-Iain untuk
kegiatan/keperluan yang sejenis serupa dengan
yang tersebut di atas.
Kondisi tersebut mengakibatkan pemborosan
keuangan negara sebesar Rp417.500.000,00.
perundangundangan yang
mengatur mengenai
pengelolaan APBN; dan
b. Memerintahkan kepada
Deputi Umum, Kepala Biro
Keuangan dan Bendahara
Penerimaan supaya dalam
menggunakan dana
pendapatan sendiri
mempedomani ketentuan
yang berlaku dan tidak
menggunakannya untuk
membayar THR.
Biro Keuangan, dan Bendahara
Penerimaan harus
mempedomani ketentuan
peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
LHP No. 84/Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara-BKD
64
NO. TEMUAN REKOMENDASI BPK HASIL TELAAHAN
2. Jaminan Pelaksanaan Pekerjaan Pembangunan
Jalan ke Kawasan Wisata LbokWeng Sebesar
Rpl75.077.550,00 Tidak Dapat Dicairkan
Berdasarkan hasil pemeriksaan atas Iaporan
konsultan pengawas menunjukkan bahwa sampai
dengan berakhirnya kontrak tanggal 31 Desember
2015 PT ALP hanya mengerjakan flsik pekerjaan
sebesar 15,109% dan telah memperoleh pembayaran
sesuai dengan SP2D Nomor 150011301042778
tanggal 30 Desember 2015 sebesar
Rp514.620.723,00. Atas keterlambatan penyelesaian
pekerjaannya tersebut, PT ALP tidak pernah
mengajukan perpanjangan waktu penyelesaian
pekerjaan sedangkan PPK telah tiga kali
menyampaikan surat teguran terakhir dengan surat
teguran Nomor 277.A/LO/PPK-WST/XH/2015
tanggal 18 Desember 2015. Sehingga pekerjaan
Pembangunan Jalan ke Kawasan Wisata Lhok Weng
tersebut dinyatakan wanprestasi karena PT ALP
berhenti melaksanakan pekerjaan dan PPK telah
memutuskan kontrak dengan surat Nomor
320/LO/PPKWST/XII/2015 tanggal 31 Desember
2015.
Terhadap pemutusan kontrak tersebut, PPK telah
berupaya mengirimkan surat kepada PT BRI
(Persero) Tbk Kantor Cabang Pembantu Sabang
melalui surat Nomor 005/LO/PPK-Wst/I/2016
tanggal 8 Januari 2016 perihal pencairan jaminan
pelaksanaan sebesar Rp175.077.550,00. Sampai
dengan pemeriksaan berakhir tanggal 14 Maret
2016, klaim tersebut tidak dapat dicairkan oleh pihak
penjamin dikarenakan pengajuan klaim pencairan
jaminan pelaksanaan tersebut telah melewati batas
waktu yang tercantum dalam Bank Garansi yang
dikeluarkan PT BRIKC Pembantu Sabang.
Kondisi tersebut tidak sesuai dengan Syarat-
Syarat Umum Kontrak Nomor 03/PKWST-
BPKPBPBS/APBN/X/2015 tanggal 26 Oktober
2015, point (40) mengenai Pemutusan Kontrak oleh
Pejabat Pembuat Komitmen Butir 40.2 yang
menyatakan bahwa dalam hal pemutusan kontrak
dilakukan karena kesalahan Penyedia, maka:
a. Jaminan Pelaksanaan dicairkan;
b. Sisa Uang Muka harus dilunasi oleh penyedia
atau Jaminan Uang Muka dicairkan;
c. Penyedia membayar denda keterlambatan;
d. Penyedia dimasukkan dalam daftar hitam; dan
e. PPK membayar kepada Penyedia sesuai dengan
pencapaian prestasi pekerjaan yang telah
diterima oleh PPK sampai dengan tanggal
berlakunya pemutusan kontrak dikurangi
dengan denda keterlambatan yang harus dibayar
penyedia bila ada, serta penyedia menyerahkan
semua hasil pelaksanaan pekerjaan kepada PPK
dan selanjutnya menjadi milik PPK.
Kondisi tersebut mengakibatkan kekurangan
penerimaan negara sebesar Rp175.077.550,00.
BPK merekomendasikan Kepala
BPKS agar:
a. Memerintahkan PPK
mempertanggungjawabkan
jaminan pelaksanaan sebesar
Rp175.077.550,00 yang tidak
dapat dicairkan dan
menyetorkannya ke Kas
Negara; dan
b. Memerintahkan PPK supaya
melaporkan PT ALP kepada
LKPP sehingga dimuat dalam
daftar hitam penyedia jasa.
Untuk memperbaiki
permasalahan tersebut, maka
PPK harus cermat dalam
mencairkan jaminan
pelaksanaan sesuai dengan
ketentuan yang berlaku. Selain
itu, PT ALP sebagai pelaksana
pekerjaan pembangunan jalan
kawasan wisata Lhok Weng
harus memenuhi kewajibannya
untuk menyelesaikan
pekeijaannya sesuai Kontrak.
LHP No. 84/Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara-BKD
65
top related