jurnal reading rian
Post on 25-Dec-2015
3 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
Nama Ko-ass : Riandino Suryo RahmantoNRP : 1320221106Stase : Departemen Kulit dan KelaminTugas : Pembacaan Jurnal
Profil dan Pola Sindroma Steven-Johnson dan Nekrolitik Epidermal Toksik di Rumah
Sakit Umum di Singapura: Hasil Penatalaksanaan
Siew-Kiang Tan dan Yong-Kwang Tay1
Departemen Kulit, Rumah Sakit Umum Changi, Singapura
ABSTRAK
Latar Belakang. Sindroma Steven-Johnson (SSJ) dan Nekrolitik Epidermal Toksik (NET) merupakan penyakit langka. Namun berpotensi untuk mengancam jiwa, dan dapat bereaksi terhadap pengobatan. Keduanya memiliki angka morbiditas dan mortalitas yang signifikan.Tujuan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pola epidemiologis, etiologis, pengobatan dan hasil yang didapat.Metode. Analisis retrospektif dilakukan berdasarkan data dari seluruh pasien Sindroma Steven-Johnson dan Nekrolitik Epidermal Toksik dari bulan Januari 2004 sampai dengan November 2010 di Rumah Sakit Umum. Hasil. Terdapat 18 kasus Sindroma Steven-Johnson, tujuh kasus overlap Sindroma Steven-Johnson/Nekrolitik Epidermal Toksik, dan tiga kasus Nekrolitik Epidermal Toksik. Rata-rata umur adalah 50,6 tahun dengan rentang usia 13 – 85 tahun, perbandingan pasien laki-laki dan perempuan adalah 1. Terdapat 26 kasus yang disebabkan karena obat-obatan dan satu kasus yang disebabkan infeksi N. gonorrhoe. Anti-konvulsan (35,7%) merupakan penyebab terbanyak yang didapatkan diikuti Antibiotik (28,5%), Obat Anti Inflamasi Non-Steroid (OAINS) (14,3%), Alopurinol (7,1%) dan obat tradisional cina (7,1%). Pada 7 kasus didapatkan penggunaan obat beragam. Sebagian besar SSJ (88%) diterapi dengan kortikosteroid, dimana 61% diberikan kortikosteroid sistemik dosis tinggi. Tidak diamati komplikasi infeksi. Enam dari 7 kasus SSJ/NET yang overlap dan 3 kasus NET diberikan imunoglobulin intravena. Satu pasien NET dinyatakan meninggal.Kesimpulan. Antikonvulsan, terutama Karbamazepin paling banyak menyebabkan SSJ/NET diikuti antibiotik dan OAINS. Kortikosteroid dosis tinggi efektif pada pengobatan SSJ, sedangkan Imunoglobulin Intravena bermanfaat dalam pengobatan NET dan sindroma overlap SSJ/NET.
Kata Kunci: Sindroma Steven-Johnson; Nekrolitik Epidermal Toksik; Singapura.
1
I. PENDAHULUAN
Sindroma Steven-Johnson (SSJ) dan Nekrolitik Epidermal Toksik (NET)
merupakan penyakit yang jarang terjadi namun berpotensi fatal. Penyakit ini
dianggap suatu bentuk klinis dalam spektrum reaksi efek samping pada kulit yang
keparahannya dinilai berdasarkan luas permukaan lesi pada kulit1. Bastuji-Garin
dkk.2 mengusulkan definisi yang diterima secara luas, dimana SSJ terdiri dari
perlepasan epidermis kurang dari 10% luas permukaan tubuh, sedangkan untuk
NET terdapat perlepasan epidermis lebih dari 30% dari luas permukaan tubuh dan
sindroma overlap SSJ/NET terjadi perlepasan epidermis antara 10 – 30% luas
permukaan tubuh.
Kejadian yang dilaporkan bervariasi antara 1,2 sampai 6 per-juta pasien
per-tahun untuk penyakit SSJ dan 0,4 sampai 1,2 per-juta pasien per-tahun untuk
NET3. Kejadian meningkat dengan bertambahnya usia dan 1,000 kali lipat lebih
tinggi pada pasien dengan Human Immunodeficiency Virus (HIV)/ Acquired
Immunodeficiency Syndrome (AIDS)4.
Sebagian besar kasus terjadi karena obat. Kemungkinan penyebab lainnya
adalah infeksi, imunisasi, zat kimia lingkungan dan terapi radiasi. Obat yang
paling sering berimplikasi terdiri dari antibiotik, anti-konvulsan, OAINS dan
alopurinol. Pada penderita dengan HIV/AIDS obat antiretroviral non-nucleoside
reverse transcriptase inhibitor (NNRTI) merupakan yang paling banyak
menyebabkan SSJ/NET5.
Meskipun langka, SSJ dan NET memiliki akibat yang signifikan dalam
kesehatan di masyarakat karena tingginya morbiditas dan mortalitasnya.
Mortalitas pada SSJ secara umum dibawah 5%, sedangkan NET memiliki
mortalitas hingga 30%6.
Tujuan penelitian ini adalah untuk memperlihatkan pola epidemiologis,
etiologis, pengobatan dan hasil pengobatan dari SSJ dan NET di Rumah Sakit
Umum di Singapura selama periode 7 tahun.
II. METODA
Pasien didapatkan antara bulan Januari tahun 2004 sampai bulan
November tahun 2010. Dengan diagnosia SSJ, SSJ/NET, atau NET yang
didapatkan dari database komputer. Catatan kasus, hasil investigasi dan catatan
pengobatan pasien diamati secara retrospektif. Data yang didapatkan termasuk
2
usia, jenis kelamin, etnis, riwayat medis, komplain, obat, durasi antara mulai
konsumsi obat dan mulai timbul gejala. Skor SCORTEN dan genotipe HLA, jika
ada. Regimen pengobatan, lama perawatan dan mortalitas juga dicatat.
Ada 18 kasus SSJ, 7 kasus overlap SSJ/NET dan 3 kasus NET dengan
total seluruhnya 28 pasien (Tabel 1). Pasien berada di rentang usia 13 – 85 tahun.
Rata – rata usia adalah 50.6 tahun. Sebagian besar pasien berada di antara usia 30
– 39 tahun, dan jumlah laki-laki dan perempuan adalah sama. Terdapat 18 pasien
etnis Cina, 9 orang Malaysia dan satu orang pasien Filipina.
Tabel 1. Karakteristik Pasien
III. HASIL
Etiologis
Satu pasien dengan SSJ (No.8) dikonfirmasi terdapat infeksi gonorrhea.
Pria 43 tahun ini terdapat riwayat ruam berbentuk target selama satu minggu yang
berhubungan dan erosi pada mulut, reactive arthritis pada lutut kiri, dan sekret
pada penis. Pada Swab Genital didapatkan hasil diplokokus Gram-negatif. Pria ini
diobati dengan injeksi penisilin intramuskular. Tidak ada penyebab ditemukan
3
pada pasien nomor 7. Sedangkan yang lainnya disebabkan karena obat. Anti-
konvulsan (35,7%) merupakan penyebab paling sering, kemudian antibiotik,
OAINS, allopurinol dan Obat tradisional Cina. Terdapat 7 kasus dengan konsumsi
obat beragam. Karbamazepin adalah satu-satunya obat anti-konvulsan yang
terimplikasi. Antibiotik beta-laktam merupakan paling sering diantara penyebab
obat antibiotik diikuti sulfonamid dan floroquinolon. Antibiotik beta-laktam
termasuk amoxicillin dan cloxacillin, cefalexin dan ceftriaxon, dan co-amoxiclav.
Genotipe HLA yang didapatkan dari dua pasien SSJ/NET dengan induksi
karbamazepin terdapat alel HLA-B*1502 yang positif.
Interval antara intake obat dengan mulai gejala
Rata-rata waktu antara meminum obat dengan mulainya gejala adalah 15.3
hari. Dengan rentang 2 hari sampai 2 bulan. Lebih dari setengah (60.7%) pasien
mengalami gejala lebih dari 2 minggu. Antibiotik memiliki jarak yang pendek
antara waktu meminum obat dan mulai gejala, dimana floroquinolon dengan
rentang 2 hari, beta laktam dengan rentang 4 hari dan sulfonamid dengan rentang
10 hari. Karbamazepin memiliki rata-rata interval 15 hari dan alopurinol memiliki
rentang paling lama yaitu 42 hari.
Pengobatan
Untuk SSJ hanya 2 kasus yang diterapi secara suportif tanpa
kortikosteroid, lima diberikan kortikosteroid oral (prednisolone 0.5 – 1
mg/kg/hari, selama 2 – 4 minggu) dan 11 diberikan kortikosteroid intravena
(hidrokortison 300 – 400 mg/hari untuk 7 – 10 hari). Untuk sindroma overlap,
satu pasien diberikan oral kortikosteroid dan enam orang diberikan imunoglobulin
intravena (IgIV). Keseluruhan 3 orang pasien NET diberikan 3g/kg IgIV selama 3
hari.
SCORTEN dan Mortalitas
Untuk evaluasi prognosis pasien SSJ dan NET, dihitung nilai SCORTEN
(Tabel II)7. Tujuh pasien memiliki SCORTEN 0, sebelas pasien memiliki
SCORTEN 1, enam pasien memiliiki SCORTEN 2, tiga pasien memiliki
SCORTEN 3 dan satu pasien memiliki SCORTEN 5. Pasien terakhir yaitu
seorang pria 85 tahun yang mendapat terapi alfuzosin untuk penyakit BPH,
mengalami pneumonia, bakteremia pseudomonas yang disertai komplikasi Acute
on Chronic Renal Failure. Pasien ini meninggal 7 hari setelah onset NET.
4
Tabel 2. SCORTEN
IV. PEMBAHASAN
SSJ/NET merupakan penyakit yang jarang terjadi. Pada penelitian ini,
hanya terdapat 28 kasus SSJ/NET dalam periode 7 tahun. Berbeda dengan
penelitian sebelumnya dimana wanita terkena lebih banyak dua kali daripada
pria8,9, penelitian ini memiliki jumlah penderita yang sama antara pria dan wanita.
Pola demografi mungkin telah berubah, bagaimanapun, dalam tahun-tahun
terakhir banyak pasien HIV/AIDS yang mengalami SSJ/NET kebanyakan adalah
pria. Pada penelitian baru-baru ini di Rumah Sakit pendidikan di Lome, Afrika,
54,6% pasien SSJ/NET positif terinfeksi HIV10.
Obat yang paling banyak menimbulkan SSJ/NET pada penelitian ini
adalah anti-konvulsan. Menariknya, karbamazepin (CBZ) menjadi satu-satunya
obat yang didapat pada penelitian ini. CBZ telah diketahui sebagai agen obat
paling sering menimbulkan SSJ dan NET pada beberapa negara di Asia.
Hubungan kuat antara HLA-B* 1502 dan SSJ/NET yang diinduksi CBZ telah
dilaporkan di China11, Thailand12, India13, dan Pasien Malaysia14. Beberapa
pengatur kebijakan seperti US FDA dan sejenisnya di Kanada dan Taiwan telah
menambahkan label obat untuk informasi genetik pengguna. Walaupun begitu,
dokter Singapura tidak secara rutin memeriksa gen HLA-B* 1502 sebelum
memulai pengobatan dengan CBZ. Penelitian ini menggarisbawahi penemuan ini
sehingga dokter yang sering meresepkan CBZ dapat memeriksa gen HLA-B*
1502 pada pasien mereka. Hung dkk 15. Memiliki penelitian kasus-kontrol dan
membuat kesimpulan bahwa fenitoin, lamotrigine dan oxcarbazepine yang cincin
aromatiknya seperti CBZ memiliki risiko yang sama seperti CBZ. Mereka
menyarankan untuk menghindari obat – obatan tersebut.
Di Eropa dan Israel, allopurinol adalah penyebab paling sering terjadinya
SSJ dan NET. Dosis harian yang sama atau lebih dari 200 mg berhubungan
5
dengan tingginya risiko pada penggunaan jangka pendek (< 8 minggu)16.
Sedangkan gen HLA-B* 1502 tidak terdapat pada ras kaukasia17 dan penduduk
Jepang18. Gen HLA-B* 1502 berhubungan kuat dengan terjadinya SSJ/NET pada
ras Eropa19, Jepang18, China20, dan populasi Thailand21.
Rata – rata hari antara konsumsi obat dengan timbulnya gejala pada
penelitian ini adalah 15 hari. Hal ini sesuai dengan rentang waktu yang tipikal
antara 1 – 3 minggu. Untuk beberapa obat, risiko terjadinya SSJ/NET lebih tinggi
pada minggu pertama penggunaan, terutama untuk antibiotik seperti pada
penelitian ini. Untuk obat-obatan yang risikonya paling tinggi dimana digunakan
dalam jangka waktu lama, risiko terjadinya SSJ atau NET meningkat pada 2 bulan
penggunaan6,22.
Sampai dengan saat ini, patogenesis terjadinya SSJ dan NET belum
sepenuhnya jelas. SSJ dan NET dikarakterisasi dengan apoptosis masif dari sel-sel
keratinosit. Apoptosis yang diinduksi FasL adalah salah satu yang terpenting dari
mekanisme imun SSJ/NET. Pertama kali diusulkan pada tahun 1998 bahwa
Fas/CD95 memiliki peranan penting pada apoptosis keratinosit yang
menyebabkan nekrolisis epidermis23. Beberapa mediator yang mungkin berperan
dalam apoptosis keratinosit telah ditemukan seperti sel T sitotoksik perifer18,
sitokin inflamatorik24, nitrit oksida25, granzyme B26, perforin27, dan granulysin 28.
Hubungan kuat antara patogenesis HLA-B* 1502 dengan SJS/NET yang diinduksi
CBZ dan HLA-B* 5801 dengan SJS/NET yang diinduksi allopurinol juga
mendapat peranan penting dari predisposisi genetik
Belum ada modalitas terapi yang telah ditetapkan sebagai standar terapi
SSJ/NET. Dikarenakan kelangkaan penyakit ini, tidak ada penelitian acak untuk
percobaan farmakologi dalam pengobatan SSJ dan NET. Bagaimanapun ada
beberapa laporan kasus yang berhasil melakukan terapi menggunakan IgIV,
Kortikosteroid sistemik, plasmaferesis, siklosporin, siklofosfamid, anti TNF-alfa
dan Hemodialisa29.
Kontroversi penggunaan kortikosteroid sistemik masih didapatkan.
Misalnya di Jerman, kortikosteroid digunakan pada 80% kasus SSJ dimana di
Perancis, kortikosteroid hanya digunakan pada 20% kasus saja30. Kortikosteroid
yang digunakan adalah seperti prednisolon oral, hidrokortison intravena,
metilprednisolon intravena31, dan dexametason intravena32.
6
Enambelas dari 18 pasien pada penelitian ini diberikan kortikosteroid.
Dimana 11 pasien diberikan hidrokortison intravena. Tidak ditemukan adanya
komplikasi sepsis pada pasien ini. Penggunaan kortikosteroid pada fase akut dapat
beralasan sebelum terjadi kerusakan jaringan atau saat masih dalam fase progresif.
Penggunaan harus dikombinasikan dengan antiviral dan antibiotik jika ada infeksi
yang mendasari.
IgIV mengandung antibodi anti-Fas yang dapat mengganggu kerja Fas
untuk apoptosis keratinosit23. Beberapa penelitian penggunaan IgIV pada SSJ dan
NET dilaporkan terdapat perubahan pada proses progresifitas perjalanan penyakit
dan dapat mempercepat proses penyembuhan luka33-35. Secara umum, mortalitas
bervariasi dari 0% hingga 12 % pada penelitian yang menggunakan IgIV, dan
25% hingga 41,7% pada penelitian yang tidak menggunakannya36-38. Mortalitas
berhubungan dengan IgIV dosis rendah, lamanya durasi penyakit sebelum
penggunaan IgIV, penyakit kronis lain yang menyertainya, usia tua dan besarnya
luas permukaan tubuh yang terkena.
Pada penelitian ini, 6 dari 7 kasus overlap SSJ/NET dan tiga dari kasus
NET diberikan IgIV, mereka diberikan 3g/kg IgIV selama 3 hari. Penelitian
sebelumnya menunjukkan penggunaan IgIV dengan dosis lebih rendah (2g/kg)
dilaporkan meningkatkan angka mortalitas37,38. Seluruh pasien pada penelitian ini
yang mendapat terapi IgIV dipantau secara ketat dalam ICU. Rata-rata lama
perawatan adalah 16.9 hari. Hanya ada satu pasien dengan NET meninggal dunia
karena pneumonia, bakteremia pseudomonas dan akut on kronik renal failure.
Penelitian ini merekomendasikan penggunaan dosis IgIV sebesar 3g/kg.
Kesimpulannya adalah pengobatan steroid dengan dosis tinggi dapat
efektif pada SSJ, sedangan IgIV efektif pada NET. Namun diperlukan penelitian
yang multisentral, acak, kontrol-placebo menggunakan desain standar untuk
mengabsahkan penelitian ini.
7
top related