jurnal reading
Post on 24-Jul-2015
142 Views
Preview:
TRANSCRIPT
Jurnal Reading
POSTERIOR PELVIC FLOOR
Tim A Cook, Neil Mortensen
Oleh
Elvera Eklesia
I1A003076
Pembimbing
dr. H. Pribakti Budinurdjaja, Sp. OG(K)
BAGIAN/SMF ILMU KEBIDANAN DAN PENYAKIT KANDUNGAN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNLAM – RSUD ULIN
BANJARMASIN
Juni, 2011
KOLON, REKTUM, ANUS, SFINGTER ANUS DAN DASAR PELVIS
Pemahaman tentang mekanisme kontinensia normal dan proses defekasi
beserta perubahan yang terjadi pada penyakit, dalam proses ini memerlukan
pengetahuan dasar tentang anatomi, fisiologi, dan farmakologi organ yang
bersangkutan. Bab ini mencakup diskusi tentang anatomi dan embriologi kolon,
rektum dan anus. Suplai darah dan persarafan juga akan dibahas dan penjelasan
tentang susunan fleksus saraf usus juga akan disajikan. Akhirnya, farmakologi
sfingter anus internus (internal anal sphincter [IAS]) dan persarafan sensorik
kanalis anus dan rektum juga akan akan dijelaskan.
I. ANATOMI KOLON, REKTUM DAN ANUS
Usus besar memanjang dari terminal ileum hingga ke anus. Terdiri atas
sekum, kolon, rektum dan anus. Kolon memiliki panjang sekitar 150 cm
meskipun akan bervariasi antar individu. Diameter lumen terbesarnya sekitar
7,5 cm pada sekum. Semakin ke distal menuju perbatasan kolon sigmoid
dengan rektum, maka semakin menyempit pula diameter lumen sedikit demi
sedikit. Diameter lumen rektum jauh lebih besar daripada kanalis anus.
Sebagaimana bagian saluran cerna yang lain, dinding usus besar juga
terdiri atas lapisan mukosa, submukosa, lamina propria muskularis dan serosa
yang merupakan bagian peritoneum pelvis. Lapisan otot polos (lamina propria
muskularis) tersusun oleh dua lapis, yaitu lapisan otot sirkuler di dalam dan
lapisan otot longitudinal di luar. Pada sekum dan kolon, lapisan otot
longitudinal ini terkumpul menjadi tiga jalur atau pita (band) yang memiliki
2
jarak yang setara satu sama lain dan disebut sebagai taenia coli. Dinding usus di
antara taenia coli ini tipis dan dapat menampung isi kolon dan sekum dalam
jumlah besar dengan cara distensi. Taenia coli ini lebih pendek dibandingkan
dengan panjang seluruh kolon dan menyebabkan lapisan otot sirkuler mengerut
disertai dengan produksi sakkulasi haustra yang khas. Taenia memanjang dari
dasar apendiks di sekum (seluruhnya lapisan otot longitudinal) hingga
perbatasan kolon sigmoid dengan rektum dimana ketiga pita otot menyatu jadi
lapisan otot longitudinal komplit di rektum. Kecuali apendiks, sekum maupun
rektum, usus besar diselimuti oleh peritoneum dengan taburan lemak yang
dinamakan appendices epiploicae dan paling banyak pada bagian taenia serta
relatif rata pada kolon sisi kanan tetapi memanjang dan berdungkul pada kolon
sigmoid.
1.1 Sekum
Ada beberapa variasi dalam hal disposisi kolon antar individu, terutama
porsi mesokolon. Sekum terletak pada fossa iliaka dekstra yang biasanya
diselimuti peritoneum tetapi pada beberapa individu bagian ini hanya diselimuti
sedikit sehingga sekum langsung kontak dengan os iliaka. Apendiks tumbuh
pada bagian terbawah sekum. Ileum membuka ke dalam usus besar melalui
katup ileosekal yang terletak di medial dan posterior. Katup terdiri atas
segmen/bibir atas dan bawah yang berbentuk semilunar dan mengarah ke
sekum. Katup ini mencegah refluks dari sekum ke dalam ileum tetapi juga
bertindak sebagai sfingter untuk mencegah perpindahan isi ileum yang terlalu
3
cepat ke dalam sekum. Penelitian dengan barium enema seringkali
menunjukkan katup ileosekal yang inkompeten tanpa adanya suatu patologi
sekalipun.
1.1.1 Kolon asendens
Kolon asendens memiliki panjang sekitar 15 cm dan berjalan dari sekum
hingga fleksura hepatika. Bagian usus ini tertanam dengan peritoneum di
anterior, medial dan lateral, tetapi tidak dilapisi di bagian posterior sehingga
posisinya dapat difiksasi. Biasanya langsung kontak dengan muskulus iliakus,
kuadratus lumborum, dan pangkal dari muskulus transversus abdominis di
bagian bawah serta dengan kutub inferior ginjal kanan di bagian atas. Pada sisi
anterior, bersentuhan dengan usus halus dan tepi kanan omentum majus. Tepat
di bawah lobus kanan liver, kolon berbelok tajam ke bawah dan depan untuk
membentuk fleksura hepatika dan kolon transversus pada titik ini memotong
abdomen menuju kuadran kiri atas dimana akan berbelok tajam lagi yang
membentuk fleksura splenika.
1.1.2 Kolon transversus
Kolon transversus membentuk untaian yang menggantung ke bawah
sedikit di bawah lambung dan memiliki panjang sekitar 45 cm. Di proksimal,
berhubungan dengan ginjal kanan, bagian kedua duodenum dan kaput pankreas
di sisi posterior. Sisanya tertanam seluruhnya di dalam peritoneum dan
terhubung dengan batas inferior pankreas serta kutub inferior ginjal kiri pada
mesokolon transversa yang membagi kavitas abdomen menjadi kompartemen
4
suprakolika dan infrakolika. Untaian usus halus memanjang di belakang kolon
transversus, termasuk fleksura duodeno-jejunum. Sedikit di atas bagian ini
terdapat lambung dan limpa di bagian distalnya.
1.1.3 Kolon desendens
Dari fleksura splenika, usus besar menjadi kolon desendens dan berjalan
ke bawah antara muskulus psoas dan kuadratus lumborum sepanjang
lengkungan os iliaka dengan panjang sekitar 25 cm. Di anterior, medial dan
lateral, ditutupi oleh peritoneum tetapi kontak langsung di posterior dengan
ginjal kiri serta muskulus kuadratus lumborum, transversus abdominis, iliaka
dan psoas.
1.1.4 Kolon sigmoid
Kolon sigmoid memanjang dari bagian terbawah kolon desendens
hingga bagian atas rektum. Kolon ini membentuk untaian yang bervariasi
panjangnya tetapi rata-rata sekitar 40 cm. Semua bagian diselimuti oleh
peritoneum yang membentuk mesokolon. Mesokolon berkurang panjangnya
dari tengah hingga akhir untaian dimana kolon sigmoid terfiksasi pada
perbatasannya dengan kolon desendens dan rektum. Mesolon melekat dengan
bentuk V terbalik pada dinding pelvis. Bagian tengah ke atas berjalan dari batas
medial muskulus psoas sinistra menuju ke garis tengah yang memotong ureter
dan a.v. iliaka.
1.2 Rektum
5
Perbatasan antara kolon sigmoid dan rektum biasanya setinggi
promontorium sakralis. Perbatasan ditandai oleh tidak adanya selimut
peritoneum, tidak adanya mesokolon sejati, tidak adanya appendices epiploicae
dan divergensi tiga taenia coli untuk membentuk lapisan otot longitudinal yang
kontinu. Rektum memiliki panjang antara 15-20 cm dan berakhir pada bagian
atas kanalis anus. Sepertiga atas rektum ditutupi peritoneum di anterior dan
lateral. Sepertiga tengah rektum hanya diselimuti di anterior sedangkan
sepertiga akhir tidak diselimuti sama sekali. Sepertiga anterior ini langsung
kontak dengan bagian belakang kandung kemih dan vesikula seminalis, atau
vagina dan uterus pada perempuan, yang berturut-turut membentuk lipatan
rektovesika dan rektouterina. Jarak antara perlekatan peritoneum dan kulit
perineum adalah sekitar 8 cm pada pria dan 5-8 cm pada wanita. Prolapsus
seluruh rektum dikaitkan dengan kelainan lipatan rektovagina. Rektum duduk
di depan dan di bagian bawah sakrum sehingga rektum berjalan ke bawah dan
ke posterior lalu ke bawah dan akhirnya ke ke bawah depan sebelum kembali ke
belakang dan inferior untuk menjadi kanalis anus pada dinding pelvis.
Hubungan fasia pada rektum ekstraperitoneal
Di belakang rektum, terdapat mesorektum yang berisi pembuluh darah
dan limfe. Bagian ini melekat secara longgar dengan bagian depan sakrum dan
koksigeus oleh jaringan ikat. Mesorektum dan rektum dapat dipisahkan dari
sakrum dengan potongan tajam dan bagian ini disebut sebagai mesorectal
plane.Sekali digerakkan, mesorektum tetap tertanam di dalam lapisan tipis fasia
6
dan disebut sebagai fasia propria. Sakrum dan koksigeus juga diselimuti oleh
fasia tebal yang memanjang ke bawah dan depan pada sisi atas ligamentum
anokoksigeusdan disebut sebagai fasia Waldeyer. Ligamen lateral dari rektum
ini mengandung arteri rektum media dan diduga memberikan suplai kepada
rektum. Pembagiannya diyakini penting dalam mobilisasi rektum dari pelvis.
Namun, dalam beberapa tahun terakhir, banyak ahli bedah digestif
mempertanyakan keberadaan ligamen ini.
1.2.1 Kanalis anus
Gambaran mengenai kanalis anus bervariasi. Ada dua definisi kanalis
anus, yaitu kanalis anus yang panjang (istilah bedah) memiliki panjang 4 cm
dan kanalis anus yang pendek (istilah embriologi) memiliki panjang 2 cm.
Kanalis anus yang pendek dikatakan memanjang dari katup anus hingga tepi
anus. Gambaran ini berdasarkan pada keyakinan bahwa katup anus dan linea
dentatus/pektinatus mewakili lokasi terbaginya membran kloaka selama masa
perkembangan. Kanalis anus yang panjang memanjang dari setinggi muskulus
levator ani dimana rektum berjalan ke belakang dam inferior melintasi dasar
pelvis. Kanalis ini bertemu dengan ujung distal rektum yang terdilatasi dan juga
paling dekat dengan tengah daerah dimana tekanan intraluminal paling tinggi.
Kontraksi aktif muskulus puborektalis akan mempertahankan sudut antara
rektum dan kanalis analis.
Lapisan epitel
7
Lapisan dinding kanalis anus bervariasi selama perjalanannya akibat
dari derivasi embriologik. Kulit pantat langsung menyambung dengan tepi
anus dan akan berlanjut hingga setinggi batas bawah sfingter anus internus.
Secara histologik, lapisan dindingnya merupakan epitelium skuamosum
stratifikatum berkeratin yang mengandung folikel rambut, kelenjar sudorifera
(keringat) dan kelenjar sebasea (minyak). Di proksimal bagian ini, hanya
berupa epitelium skuamosum stratifikatum yang tidak berkeratin dan kurang
mengandung folikel rambut, kelenjar sebasea dan kelenjar keringat. Di atas
bagian tersebut adalah zona transisi anus yang merupakan area dengan
epitelium yang bervariasi antara epitelium skuamosum stratifikatum dan
kolumner. Fenger mengenalkan definisi zona transisi anus sebagai ‘zona silang
antara kripta pada mukosa kolorektal dan epitelium skuamosum di bawahnya’.
Dalam penelitian terhadap 113 kanalis anus dengan menggunakan alcian blue
Fenger menunjukkan bahwa lokasi zona transisi anus rata-rata di atas line
dentatusyang memanjang sekitar 9 mm. Dalam beberapa kasus, ada pula yang
terdapat di bawah line dentatus. Dengan menggunakan pemetaan
terkomputerisasi, data-data terbaru menunjukkan bahwa panjang zona transisi
anus faktanya lebih pendek dari yang pertama ditemukan. Bagian atas dari
kanalis anus dilapisi oleh epitelium kolumner tipe mukosa rektum.
1.3 Sfingter anus
1.3.1 Sfingter anus internus
8
Sfingter anus internus bersifat kontinu dengan lapisan otot sirkuler
rektum di superior dan berakhir dengan tepi membulat 6-8 mm di atas tepi
anus. Serat otot ditunjukkan dibagi menjadi kumpulan otot eliptikal yang
diskret yang berjalan oblik di bagian atas sfingter dengan aksis transversa
berjalan ke internal dan bawah yang memberikan susunan anyaman. Sedangkan
di bagian bawah sfingter, susunannya menjadi lebih horizontal.
Otot longitudinal gabungan ( conjoint )
Lapisan otot longitudinal pada bagian rektum bawah terkonsentrasi
menjadi pita anterior dan posterior setinggi dasar pelvis. Beberapa serat
menghubungkan pita-pita ini ke badan perineum dan koksigeus. Pada
perbatasan anorektal, otot longitudinal bercampur dengan serat muskulus
pubokoksigeus untuk membentuk lapisan otot longitudinal gabungan. Lapisan
utama serat longitudinal berjalan antara sfingter eksterna dan interna. Sebagian
kecil berjalan ke bawah dan terbagi menjadi ke arah tepi bawah sfingter anus
internus dan septa fibrosa yang memotong sepanjang sfingter anus eksternus
dan akhirnya melekat di kulit kanalis anus bagian bawah dan regio perianal.
Lapisan serat halus dari otot longitudinal juga didapati di dalam lapisan
submukosa. Fine dan Lawes menunjukkan bahwa lapisan ini terkonsentrasi di
sekitar katup anus dan disebut sebagai muscularis mucosae ani.
1.3.2 Sfingter anus eksternus
Kompleks otot sfingter anus eksternus diturunkan dari bagian posterior
sfingter kloaka. Dulu, otot-otot ini dibagi menjadi tiga bagian, yaitu subkutan,
9
superfisial, dan dalam. Bagian subkutan merupakan cincin multifasikular otot
bergaris tanpa perlekatan anterior maupun posterior. Bagian superfisial
merupakan otot elips yang melekat pada koksigeus di posterior sedangkan
bagian dalam merupakan bagian yang hampir menyatu dengan muskulus
puborektalis. Tepi bawah sfingter eksternus memanjang di bawah tepi inferior
sfingter internus hingga ke subkutan. Serat-seratnya berjalan melintang dengan
perpanjangan jaringan fibrosa lapisan otot longitudinal gabungan. Oh dan Kark
menekankan perbedaan antara sfingter pria maupun wanita dan juga
menunjukkan perbedaan susunan serat dalam posisi anterior, posterior dan
lateral. Penelitian terbaru yang menggunakan ultrasonografi endoanal
menunjukkan adanya defisiensipada sfingter eksternus pada bagian atas kanalis
anus.
Bogduk baru-baru ini melakukan tinjauan pustaka tentang anatomi
sfingter eksternus dan menekankan hasil kerja Shafik yang menunjukkan bahwa
sfingter eksternus terdiri atas serial dari tiga untaian. Untaian (loop) atas terdiri
atas sfingter eksternus dan muskulus puborektalis dengan perlekatan di pubis,
untaian tengah terdiri atas bagian tengah sfingter yang melekat di posterior
dengan koksigeus, dan untaian basal yang melekat pada kulit di anterior hingga
anus (untaian ini juga mengandung beberapa serat sirkumferensial).
10
II. DASAR PELVIS
Dasar pelvis terdiri atas sepasang lembaran otot ganda yang didominasi
otot bergaris dan biasanya merupakan muskulus levator ani. Dasar pelvis
memiliki defek di garis tengah dimana visera melintasinya. Di depan fleksura
rektoanal terdapat badan perineum yang merupakan kompleks fibromuskular
antara kanalis anus dan visera urogenitalis. Posterior dari perbatasan rektum dan
anus terdapat badan anokoksigeal (disebut juga anococcygeal plate) yang
memanjang dari kanalis anus ke bagian kaudal kolumna vertebra.
Thompson awalnya menggambarkan tiga bagian muskulus levator ani
berdasarkan asalnya dari komponen tulang pubis, yaitu muskulus pubo-, ilio-
dan iskio-koksigeus. Namun, sekarang lebih umum membagi otot ini menjadi
11
empat bagian meskipun iskiokoksigeus merupakan otot rudimenter pada pria
dan lebih mewakili sebagai ligamentum sakrospinosum. Muskulus puborektalis
muncul dari bagian bawah belakang simfisis pubis dan membentuk untaian di
sekitar fleksura rektoanal. Seperti ditulis sebelumnya, serat-serat ini paling
dekat berhubungan dengan bagian dalam sfingter eksternus, dan pada potongan
histologik, sulit membedakan keduanya. Namun, ada beberapa penelitian
histologik dan klinik terbaru yang menggarisbawahi bidang anatomis yang
memisahkan muskulus sfingter eksternus dan puborektalis. Ditunjukkan pula
bahwa bidang ini penting ketika terdapat lesi supuratif di anus. Muskulus
puborektalis tidak ada perlekatan di posterior dengan kolumna vertebra dan
untaian ini bekerja untuk menarik fleksura rektoanal ke depan dan memperkecil
sudut.
Muskulus iliokoksigeus adalah otot tipis yang berasal dari permukaan
medial tulang belakang iskius dan bagian posterior fasia yang menyelimuti
muskulus obturatorius internus. Otot ini tumpang tindih dengan muskulus
pubokoksigeus dengan masuk ke bawahnya pada permukaan lateralnya pada
bagian ujung koksigeus dan anococcygeal raphe. Sedangkan muskulus
iskiokoksigeus keluar dari permukaan posterior tulang belakang iskius dan
masuk ke dalam sisi lateral bagian bawah sakrum dan koksigeus bagian atas.
12
III. PERKEMBANGAN KOLON, REKTUM DAN ANUS
Kolon berkembang dari midgut dan hindgut. Selain usus halus, turunan
midgut juga mencakup sekum dan apendiks, kolon asendens duapertiga
proksimal kolon transversa. Sedangkan sisa perjalanan kolon diturunkan dari
hindgut, termasuk pula rektum dan bagian atas kanalis anus. Awalnya midgut
berasal dari dinding abdomen bagian dorsal oleh mesenterium pendek tetapi
bagian ini dengan cepat memanjang untuk membentuk untaian berbentu U pada
minggu keenam perkembangan embrionik dan mengalami herniasi ke dalam tali
pusat.
Di dalam tali pusat, midgut mengalami rotasi 90 derajat berlawanan arah
jarum jam di sekitar aksis arteri mesenterika superior. Dari bulan ketiga, rongga
perut cukup berkembang untuk mengakomodasi organ viseral dan hernia dapat
mengalami reduksi cepat. Usus halus kembali masuk pertama kali dan rotasi
13
lebih dari 180 derajat terjadi pada tahap ini sehingga kolon desendens
mengambil posisi di sisi kiri dimana kolon ini kehilangan mesenterium dan
secara efektif menjadi struktur retroperitoneal.
Turunan hindgut disuplai oleh arteri mesenterika inferior. Bagian ujung
hindgut disebut sebagai kloaka. Kloaka ini merupakan kavitas yang dilapisi
endoderm dan langsung kontak dengan ektoderm. Membran kloaka terdiri atas
endoderm kloaka dan ektoderm dari proktodeum atau disebut anal pit. Septum
urorektal membagi otot-otot kloaka menjadi bagian anterior dan posterior.
Bagian posterior berkembang menjadi sfingter anus eksternus sedangkan bagian
anterior menjadi muskulus transversus perinei, bulbospongiosus,
iskiokavernosus dan diafragma urogenital.
Banyak tulisan tentang asal embriologik atas berbagai bagian kanalis
anus. Secara umum, dikatakan bagian ini terdiri atas endoderm maupun
ektoderm tetapi batasan antara keduanya masih tidak ditentukan. Diyakini
bahwa katup anus mewakili lokasi terpisahnya membran anus. Namun,
beberapa bukti penelitian terbaru menunjukkan membran hilang sebelum
pembentukan katup anus.
Ada beberapa penelitian mengenai perkembangan sfingter anus
eksternus dan levator ani. Sfingter anus eksternus ditemukan pada embrio
manusia setelah 8 minggu gestasi. Sfingter dan levator ani diduga berkembang
dari miotoma hipaksial. Meskipun berhubungan erat, penelitian embrio
menunjukkan bahwa sfingter eksternus dan levator ani muncul dari dua
primordia yang berbeda. Penelitian anatomi komparatif menegakkan
14
keberadaan dua kelompok otot yang berbeda. Kelompok pertama adalah
sfingter sedangkan kelompok kedua adalah kompresor. Kompresor
menghubungkan pelvis rudimenter ke bagian kaudal kolumna vertebra dan
disebut sebagai otot-otot pelvi-kaudal.
IV. SUPLAI DARAH
Kolon mendapat vaskularisasi dari dua cabang utama aorta yang
mencerminkan perkembangan embriologiknya. Arteri mesenterika superior
menyuplai turunan midgut, sekum, kolon asendens dan sebagian besar kolon
transversa selain usus halus dan sebagian duodenum. Arteri mesenterika
inferior menyuplai turunan hindgut, kolon transversa distal, kolon desendens
dan sigmoid serta rektum dan bagian atas kanalis anus.
Arteri mesenterika superior dipercabangkan setinggi vertebra L1.
Selama melewati akan mesenterium, arteri ini mempercabangkan arteri
ileokolika untuk menyuplai ileum terminalis, sekum dan apendiks. Arteri kolika
dekstra ke bawah mempercabangkan anastomosis dengan ramus kolika arteri
ileokolika sedangkan ke atas mempercabangkan arteri kolika media. Arteri
kolika media adalah cabang paling proksimal arteri mesenterika superior.
Ramus dekstra beranastomosis dengan ramus asendens arteri kolika sinistra dari
suplai arteri mesenterika inferior.
Arteri mesenterika inferior dipercabangkan dari aorta setinggi vertebra
L3. Arteri kolika sinistra dipercabangkan dari arteri mesenterika inferior dan
bercabang menjadi ramus asendens dan desendens yang berturut-turut
15
menyuplai fleksura splenika dan kolon desendens. Kolon sigmoid diperdarahi
oleh tiga atau empat cabang arteri mesenterika inferior.
Suplai darah utama ke rektum dan kanalis anus berasal dari arteri
rektalis superior dan inferior. Arteri rektalis media juga memberikan suplai ke
regio usus ini tetapi signifikansinya diperdebatkan. Arteri rektalis superior
adalah lanjutan dari arteri mesenterikan inferior yang memberikan cabang ke
rekto-sigmoid dan rektum bagian atas sebelum bercabang setinggi S3menjadi
ramus dekstra dan sinistra. Masing-masing kemudian bercabang-cabang hingga
ke sekitar cincing anorektal. Arteri rektalis media adalah adalah cabang-cabang
dari bagian anterior arteri iliaka interna. Arteri rektalis inferior adalah cabang-
cabang dari arteri pudenda interna yang melintasi fossa iskiorektal dan
bercabang-cabang menuju sfingter anus eksternus untuk mencapai distal kanalis
anus. Cabang-cabang ini kurang melingkupi daerah garis tengah posterior yang
menunjukkan fissur anus iskemik.
Aliran vena dari kolon, rektum dan kanalis anus berjalan bersama suplai
arteri. Vena mesenterika inferior bergabung dengan vena splenika. Sedangkan
vena mesenterika superior juga bergabung dengan vena splenika untuk
membentuk vena porta.
V. PERSARAFAN
Kolon, rektum, dan kanalis anus dipersarafi oleh saraf simpatis (dari
segmen torakal 11-12 dan lumbal) dan parasimpatis (dari nervus vagus dan
segmen sakral 1, 2 dan 3) sistem saraf otonom.Saraf simpatis memiliki efek
16
hambat terhadap peristaltik kolon dalam hal sekresi sedangkan parasimpatis
meningkatkannya. Saraf sampai di kolon bersama pembuluh darahnya. Suplai
sinyal simpatis ke kolon didapat dari bagian lumbal dan dari pleksus celiaca.
Serat dari vagus bersambung dengan pleksus celiaca.
Suplai parasimpatis ke kolon kiri, rektum dan anus datang dari nervus
sakralis 2,3 dan 4, serta nervus splanknikus pelvis atau nervi erigentes. Serat-
serat ini bergabung dengan kedua pleksus hipogastrika inferior. Serat
parasimpatis yang menuju kolon sigmoid dan desendens bersambung dengan
pleksus hipogastrikus superius dan kemudian berlanjut ke arteri mesenterika
inferior yang terdistribusi pada seluruh kolon. Badan sel neuron yang
mengendalikan otot bergaris pada sfingter anus eksternus pada tanduk ventral
medulla spinalis di S2 yang sering disebut sebagai Onuf’s nucleus. Saraf untuk
muskulus puborektalis adalah nervus pudendus melalui permukaan perineum.
Sedangkan levator ani sisanya mendapat suplai dari plexus sakralis melalui
permukaan pelvis.
VI. PLEKSUS MYENTERIKUS
Meskipun fungsi saluran cerna dipengaruhi oleh input simpatis dan
parasimpatis , terdapat konsep sistem saraf intrinsik intra mural yang disebut
enteric nervous system (ENS) yang terutama mengendalikan motilitas saluran
cerna. ENS terdiri atas dua pleksus utama ganglion interkoneksi, yaitu pleksus
myenterikus (Auerbach) dan submukosa (Meissner). Pleksus myenterikus
mendapat serat saraf simpatis postganglionik dari torakolumbal.
17
Struktur dan organisasi
Pleksus myenterikus berada di antara lapisan otot sirkuler dan
longitudinal lamina prorpria muskularis. Terdiri atas jaringan saraf dan
ganglion kecil. Terdapat variasi dalam ukuran antara berbagai bagian usus
tetapi ganglion pleksus myenterikus biasanya lebih besar daripada pleksus
submukosa. Organisasi umum pleksus myenterikus berbeda di bagian distal
kolon dibandingkan dengan seluruh saluran cerna. Kumpulan otot mengandung
serat saraf bermielin yang disebut shunt fascicles dan berjalan seiring pleksus
ganglion. Pemeriksaan dengan mikroskop elektron atas ganglion pleksus
myenterikus menunjukkan adanya badan sel, glia enterik dan prosesus sel yang
tergabung erat serta mirip dengan di otak.
Klasifikasi neuron myenterikus
Dogiel mengklasifikasikan neuron enterik menjadi tiga tipe. Tipe I
digambarkan rata dan memiliki beberapa dendrit ireguler dan satu prosesus tipis
panjang yang dapat bersambung dengan anyaman saraf internodus. Prosesus
akson melintasi hingga empat ganglion sebelum masuk ke otot sirkuler dan
dikatakan oleh Dogiel sebagai neuron motorik. Tipe II berbentuk bintang atau
gelendong dengan 3-10 dendrit yang memanjang ke ganglion lain dan diduga
sebagai neuron sensorik. Tipe III memiliki prosesus dengan panjang menengah
yang bercabang-cabang di sekitar sel-sel ganglion pada ganglion yang sama
atau berdekatan.
18
Proyeksi neuron myenterik
Neuron motorik untuk lapisan otot sirkuler bertempat di dalam pleksus
myenterikus sedangkan untuk mukosa di dalam pleksus submukosa. Proyeksi
kranial dan kaudal merupakan serat yang saling berhubungan antara pleksus
myenterikus dan submukosa. Serat saraf dari dinding usus bersinapsis dengan
sel-sel di ganglion prevertebra. Sebanyak 30% serat saraf yang ditemukan di
mesenterium usus halus didapat dari sel-sel saraf di dalam dinding usus.
Kebanyakan aksonnya adalah prosesus aferen yang terlibat dalam refleks
inhibisi intestino-intestinal.
Neurokimia pleksus myenterikus
Penggunaan atropin dan pemilihan antagonis adrenergik membuktikan
bahwa transmisi inhibisi pada saluran cerna dimediasi oleh transmitter yang
memiliki properti non-adrenergic non-cholinergic (NANC). Kemudian juga
ditemukan beberapa antagonis spesifik antara lain peptida-peptida seperti
substansi P, vasoactive intestinal peptide (VIP), neuropeptida Y, peptida terkait
gen kalsitonin, enkephalin, galanin, somatostatin dan pituitary adenylate
cyclase-activating peptide (PACAP). Namun, dalam 10 tahun terakhir, molekul
yang dapat perhatian besar sebagai neurotransmitter enterik putatif adalah nitrit
oksida (NO).Produksi NO neuron berasal L-arginin yang membentuk NO dan
L-sitrulin yang disertai oleh stimulasi soluble guanylate cyclase. Bredt dkk
mengisolasi nitric oxide synthase (NOS) neuron, yaitu enzim yang membantu
pembentukan NO, dari homogenat otak tikus.
19
Nitrit oksida dan saluran cerna
NG-monometil-L-arginin (L-NMMA, turunan metil dari L-arginin) dapat
mengurangi relaksasi yang dimediasi oleh saraf NANC dan efek ini dibalik oleh
L-arginin. L-NMMA juga dapat meningkatkan tonus basal yang menunjukkan
bahwa mungkin terdapat pelepasan tonik atas NO. Stimulasi saraf NANC akan
melepaskan faktor yang memiliki aktifitas biologis serupa dengan NO dan
diinaktifasi oleh O2 dan hemoglobin, dihambat oleh Nω-nitro-L-arginin (L-
NOArg) dan dipotensiasi oleh L-arginin.
VII. TONUS ANUS DAN SFINGTER ANUS INTERNUS
Mempertahankan kontinensia adalah proses kompleks berbagai faktor
yang saling terkait. Sfingter anus berperan memberikan tekanan tinggi
intraluminal ada kanalis anus. Tekanan tinggi ini timbul dari aktifitas sfingter
anus eksternus dan internus. Sel-sel ganglion juga terdistribusi merata di daerah
kanalis anus. Sfingter anus internus menghasilkan tonus derajat tinggi dalam
20
keadaan istirahat dan berperan dalam 50-85% dari tonus anus keseluruhan
selama istirahat. Tonus diukur sebagai tekanan intraluminal di dalam kanalis
anus dan tonus istirahat maksimum menunjukkan variasi antara 30-120 cmH2O
dibandingkan dengan tonus rerata saat istirahat, yaitu 5 cmH2O di rektum.
Refleks inhibisi rektoanal
Refleks ini mengarah pada relaksasi sfingter anus internus yang terjadi
hampir segera ketika rektum dan rektosigmoid mengalami distensi dan diikuti
dengan pemulihan spontan. Dengan menyebabkan reduksi dalam tekanan anus,
isi rektum akan berkontak dengan epitelium sensorik khusus di kanalis anus
(proses ini juga dikenal sebagai ano-rectal sampling). Proses ini tergantung
mekanoreseptor di rektum dan tidak tergantung dengan pusat saraf yang lebih
tinggi. Namun, refleks ini tampaknya juga dipengaruhi nervus ekstrinsik dan
hal ini didukung pada pengamatan atas stimulasi nervus presakralis yang
menyebabkan relaksasi sfingter anus internus yang serupa akibat proses di atas.
Farmakologi sfingter anus internus
Sfingter anus internus berkontraksi terhadap pemberian noradrenalin,
memiliki variasi respon terhadap adrenalin dan relaksasi terhadap pemberian
isoprenalin. Kontraksi terhadap noradrenalin dan adrenalin dapat diubah
menjadi relaksasi dengan menambahkan antagonis reseptor alpha. Dopamin
juga mengontraksikan sfingter anus internus. Asetilkolin memiliki efek inhibisi
yang lebih dominan terhadap sfingter anus internus melalui reseptor
muskarinik. Reseptor muskarinik terdapat nervus yang melepaskan NO karena
21
inhibitor NOS memperkuat respon terhadap carbachol (analog kolinergik).
Masih ada beberapa substansi lain yang mempengaruhi kontraksi/relaksasi otot
ini seperti dirangkum oleh gambar di bawah ini.
VIII. SENSASI ANOREKTAL
Sensasi rektal
Modalitas sensasi rektal
Goligher dan Hughes menggambarkan dua tipe sensasi, yaitu sensasi
tipe rektal dan sensasi tipe kolon. Tipe rektal adalah sensasi penuh di rektum
yang menimbulkan keinginan defekasi akibat distensi rektum hingga 15 cm dari
anal verge. Sedangkan tipe kolon adalah sensasi penuh di perut terutama
suprapubik atau fossa iliaka sinistra.
22
Perjalanan saraf
Saraf yang menyuplai ke rektum dan sigmoid datang dari serat simpatis
segmen T7-L2 dan parasimpatis segmen S2-4. Sensasi rektal tidak dipengaruhi
simpatektomi total maupun bilateral dan blok pada nervus hemoroidalis
bilateral tapi dikurangi oleh blok parasimpatis pada anestesi spinal di segmen
S1. Sedangkan sensasi kolon tidak dipengaruhi anestesi spinal ini.
Sensasi anus
Modalitas sensasi anus
Kanalis anus amat sangat sensitif terhadap sentuhan pada 0,25 hingga
0,75 cm di atas katup anus. Rasa nyeri lebih dapat dibedakan di kanalis anus
daripada kulit perianal. Sensasi paling tinggi antara 0,5 hingga 1,5 cm di atas
kelenjar anus. Panas dan dingin juga lebih dapat dibedakan di kanalis anus
dengan batas atas hingga katup anus. Gerakan longitudinal maupun rotasional
juga dapat dibedakan di kanalis anus. Kulit perianal memiliki sensitifitas sama
dengan punggung jari.
Reseptor untuk sensasi anus
Duthie dan Gairns secara teliti menggambarkan distribusi reseptor
sensorik spesifik pada spesimen post-mortem atas kulit perianal dan rektum
seperti terlihat pada gambar di bawah ini.
23
Inervasi kulit perianal sama dengan kulit lainnya diseluruh tubuh.
Folikel rambut diinervasi oleh nervus berselubung myelin sedangkan nervus
intra epithelial berakhir tanpa organisir. Di dalam canalis anal terdapat variasi
inervasi regional. Bagian tepi anal hanya mengandung beberapa folikel rambut.
Inervasi pada kanalis anal lebih baik dibandingkan inervasi pada bagian
tepi dinding anal. Besarnya diameter pada akhiran saraf bebas berhubungan
epithelium. Bentuk lebih komplek dapat ditemukan di zona transisi pada anus.
Untuk lebih spesifik tentang akhiran saraf bebas dapat dilihat pada table 5.1.
24
Perjalanan saraf
Sensasi untuk kanalis anus didapat dari ramus hemoroidalis inferior
nervus pudendus ke akar saraf S2-4. Segmen S3 paling penting dalam fungsi
diskriminasi normal dan kontinensia.
Refleks sampling
Duthie dan Bennett menunjukkan bahwa distensi rektum mengalami
relaksasi transien pada kanalis anus bagian atas sehingga melewatkan isi rektum
untuk kontak dengan lapisan mukosa kanalis anus bagian atas. Informasi
sensorik ini penting dalam menjaga kontinensia. Relaksasi pada sfingter anus
bagian atas inilah yang disebut sebagai refleks sampling. Proses yang
mempertahankan kontinensia merupakan proses yang multifaktorial dan tidak
hanya melibatkan sensasi anorektal tetapi juga sfingter, dasar pelvis dan
motilitas kolon proksimal. Kelainan pada faktor-faktor tersebut dapat
menimbulkan gangguan dalam proses evakuasi atau inkontinensia.
25
DAFTAR PUSTAKA
1. Jones OM, Smeuleders N, Wiseman O, et al. Lateral ligament of the rectum: an anatomical study. Br J Surg 1999;86:487-9.
2. Kourambas J, Angus DG, Hosking P,et al. A histological study of Denonvilliers’ fascia and its relationship to the neurovascular bundle. Br J Urol. 1998;82:408-10.
3. Fenger C. The anal transitional zone. Location and extent. Acta Pathol Microbiol Scand A 1979;87a:379-86.
4. Thompson-Fawcett MW, Warren BF, Mortensen NJM. A new look at the anal transition zone with reference to restorative proctocolectomy and the columnar cuff. Br J Surg 1998;85:1517-21.
5. Miligan ET, Morgan CN. Surgical anatomy of the anal canal. Lancet 1934;ii:1150-6.
6. Fine J, Lawes CHW. On the muscle fibres of the anal submucosa with special reference to pectin band. Br J Surg 1940;27:723-7.
7. Parks AG. The surgical treatment of haemorroids. Br Jr Surg 1956;43:337-51.
8. Goligher JC. Surgical anatomy of the anus, rectum, and colon. In: Goligher JC (ed). Surgical anatomy of the anus, rectum, and colon. London: Biliere Tindal, 1984:1-47.
9. Oh C, Kark AE. Anatomy of the external anal sphincter. Br J Surg 1972;59:717-23.
10. Bollard RC, Phillips K, Luidow S, et al. Defective versus normal female anal sphincter anatomy. Br J Surg. 1998;85:1566-7.
11. Bogduk N. Issues in anatomy: the external anal sphincter revisited. Aust NZ J Surg 1996;66:626-9.
12. Shafik A. A new concept of the anatomy of the anal sphincter mechanism and the physiology of defecation. The external and sphincter: a triple-loop system. Invest Urol 1975;12:412-9.
13. Thompson P. The mycology of the pelvic floor: a contribution to human and comparative anatomy. London: McCorquodale, 1899.
14. Keighley MRB. Anatomy and Physiology. In: Keighly MRB, Williams NS (eds). Surgery of the anus, rectum, and colon. London: WB Saunders, 1993.
15. Fucini C, Elbetti C, Messerini L. Anatomc plane of separation between external anal sphincter and puborectalis muscle. Dis colon rectum. 1999;42:374-9.
16. Nobles VP. The develelopment and human anal canal. J Anat 1984;138:575.
26
17. Tichy M. The development and organization of sphincter ani externus and adjacent part of levator ani muscle in man. Folia Morphol Praha 1984;32:113-20.
18. Wendell-Shmith CP. Studies on morphology of the pelvic floor. Phd thesis: University of London, UK, 1967.
19. Lawson JO. Pelvic anatomy. I. Pelvic floor muscle. Ann R Coll Surg Engl 1974;54:244-52.
20. Levi AC, Borghi F, Garavoglia M. development of the anal canal muscles. Dis Colon Rectum. 1991;34:262-6.
21. Thomson WH. The nature of haemorroids. Br J Surg 1975;62:542-52.22. Ayoub SF. Arterial supplay to the human rectum. Acta Anat Basel
1978;100:317-27.23. Klosterhalfen B, Vogel P, Rixen H, et al. Topography of the inferior rectal
artery: a possible cause of chronic, primary anal fissure. Dis colon Rectum. 1989;32:43-52.
24. Lund JN, Binch C, McGrath J, et al. Topographical distribution of blood supply to anal canal. Br J Surg 1999;86:496-8.
25. Schroder HD. Onuf’s nucleus X: a morphological study of a human spinal nucleus. Anat embryo Berl 1981;162:443-53.
26. Wounderlich M, Swash M. The overlapping innervations of the two sides of the external anal sphincter by the pudendal nerves. J Neurol Sci 1983;59:97-109.
27. Langley JN. The autonomic nervous system. Cambridge:Heffer, 1921.28. Furness JB, Costa M. The enteric nervous system. London: Churchill
Livingstone, 1987.29. Christensen J, Stiles MJ, Rick GA, et al. Comparative anatomy of the
myenteric plexus of the distal colon in eight mammals. Gastroenterology 1984;86:706-13.
30. Llewellyn-Smith IJ, Furness JB, Wilson AJ, et al. Organization and the fine structure of enteric ganglia. In: Elvin EG (ed). Autonomic ganglia. New York: Wiley, 1983:145-82.
31. Macrae IM, Furness JB, Costa M. Distribution of subgroups of noradrenaline neurons in the celiac ganglion of the guinea-pig. Cell Tiss Res 1986;244:173-80.
32. Burnstock G, Campbel G, Rand MJ. The inhibitory innervations of the taenia of the guinea-pig of the caecum. J Physiol Lond 1966;182:504-26.
33. Furness JB, Costa M. The nervous release and the action of substances which affect intestinal muscle through neiter adrenoreceptors nor cholinoreceptors. Philos Trans R Soc Lond B Biol Sci 1973;265:123-33.
34. Hoyle CHV, Burnstock G. Neuromuscular transmission in the gastrointestinal tract. In: Wood JD (ed). Handbook of physiology- the gastrointestinal system I. Bethseda MD: American Physiologycal Society, 1989:435-64.
27
35. Crowe R, Kamm MA, Burnstock G, et al. Peptide containing neurons in different regions of the submucous plexus of human sigmoid colon. Gastroenterology 1992;102:461-7.
36. Lynn RB, Sankey SL, Chakder S, et al. Colocalization of NADPH-diaphorase staining and VIP immunoreadtivity in neurons in opossum internal and sphincter. Dig Dis Sci 1995;40:789-91.
37. Hellstrom PM, Lundberg JM, Hokfelt T. et al. Neuropeptide Y, peptide YY, and sympathetic control of rectal tone and anal canal pressure in the cat. Scand J Gastroenterol. 1989;24:231-41.
38. Domoto T, Yang H, Bishop AE, et al. Distribution and origin of extrinsic nerve fibers containing calcitonin generelated peptide, substance P, and galanin in the rat upper rectum. Neurosci 1992;15:64-73.
39. Costa M, Brooks SJ, Steele PA, et al. Neurochemical classification of myenteric neurons in the guinea-pig ileum. Neuroscience 1996;75:949-67.
40. Rattan S, Tamura W. Role of galanin in the gastrointestinal sphincters. Ann NY Acad Sci 1998;863:143-55.
41. Keast JR, Furness JB, Costa M. Somatostatin in human enteric nerves. Distribution and characterization. Cell Tissue Res 1984;237:299-308.
42. Chakder S, Rattan S. Involment of pituitary adenylate cyclase-activating peptide in opossum internal anal sphincter relaxation. Am J Physiol 1998;275:G769-77.
43. Wang YF, Mao YK, Fox Threlkeld JE, et al. Colocalization of inhibitory mediators, NO, VIP and galanin, in canine enteric nerves. Peptides 1998;19:99-112.
44. Furchgott RF, Zawadzki JV. The obligatory role of endothelial cells in the relaxation of arterial smooth muscle by acetylcholine. Nature 1980;288:373-6.
45. Palmer RM, ferrige AG, Moncada S. Nitricoxide relese accounts for the biological activity of endothelium-derived relaxing factor. Nature 1987;327:524-6.
46. Deguchi T. Endogenous activating factor for guanylate cyclase in synaptosomal-soluble fraction of rat brain. J Biol Chem 1977;252:7617-9.
47. Knowles RG, Palacios M, Palmer RM, et al. Formation of nitrogen oxide from L-arginine in the central nervous system: a transduction mechanism for stimulation of the soluble guanylate cyclase. Proc natl Acad Sci USA 1989;86:5159-62.
48. Schmidt HN, Wilke P, Evers B, et al. Enzymatic formation of oxides from L-arginine in bovine brain cytosol. Biochem Biophys Res Commun 1989;165:284-91.
49. Bredt DS, Hwang PM, Snyder SH. Localization of nitric oxide synthase indicating a neural role for nitric oxide. Nature 1990;347:768-70.
50. Bredt DS, Snyder SH. Isolation of nitric oxide synthetase, a calmodulin-requiring enzyme. Proc Natl Acad Sci USA 1990;87:682-5.
28
51. Gillespie JS, Liu XR, Martin W. The effects of L-arginine and NG- Monomethyl L-arginine on the response of the rat anococcygeus muscle to NANC nerve stimulation. Br J Pharmacol 1989;98:1080-2.
52. Li CG, Rand MJ. Evidence for a role of nitric oxide in the neurotransmitter system mediating relaxation of the rat anococcygeus muscle. Clin Exp Pharmacol Physiol 1989;16:933-8.
53. Bult H, Boeckxstaens GE, Pelckmans PA, Bult H, et al. Nitric oxide as an inhibitory non-adrenergic non-cholinergic neurotransmitter. Nature 1990;345:346-7.
54. Boeckxstaens GE, Pelckmans PA, Bult H. et al. Evidence for nitric oxide as mediator of non-adrenergic non-cholinergic relaxations induced by ATP and GABA in the canine gut. Br J Pharmacol 1991;102:434-8.
55. Boeckxstaens GE, Pelckmans PA, Ruytjens IF, et al. Bioassay of nitric oxide released upon stimulation of non-adrenergic non-cholinergic nerve in canine ileo-colonic junction. Br J Pharmacol 1991;103:1085-91.
56. Boeckxstaens GE, Pelckmans PA, Herman AG. Et al. Involvment of nitric oxide in the inhibitory innervations of the human isolated colon. Gastroenterology 1993;104:690-7.
57. Burleigh DE. Ng-nitro-L-arginine reduces nonadrenergic, noncholinergic relaxations of human gut. Gastroenterology. 1992;102:679-83.
58. Tam FS, Hiller K. The role of nitric oxide in mediating non-adrenergic non-cholinergic relaxation in longitudinal muscle of human taenia coli. Life Sci. 1992;51:1277-84.
59. Nichols K, Staines W, Krantis A. Nitric oxide synthase distribution in the rat intestine: a histochemical analysis. Gastroenterology 1993;105:1651-61.
60. Nichols K, Staines W, Krantis A. Neural sites of the human colon colocalize nitric oxide synthase-related NADPH diaphorase activity and neuropeptide Y. Gastroenterology 1994;107:968-75.
61. Middleton SJ, Cuthbert AW, Shorthouse M, et al. Nitric oxide affect mammalian distal colonic smooth muscle by tonic neural inhibition. Br J Pharmacol 1993;108:974-9.
62. Stebbing JF, Brading AF, Mortensen NJ. Nitrergic inhibitory innervations of porcine rectal circular smooth muscle. Br J Surg 1995;82:1183-7.
63. Stebbing JF, Brading AF, Mortensen NJ. Nitrergic innervations and relaxan respone of rectal circular smooth muscle. Dis Colon Rectum 1997;40:706-10.
64. Stebbing JF, Brading AF, Mortensen NJ. Role of nitric oxide in relaxation of the longitudinal layer of rectal circular smooth muscle. Br J Surg 1997;49:706-10.
65. Stebbing JF, Brading AF, Mortensen NJ. Distribution of neuronal nitric oxide synthase immunoreactivity in the muscularis propria of the human rectum. Dis Colon Rectum 1996;39:A43(Abstrac).
29
66. Rattan S, Sarker A, Chakder S. Nitric oxide pathway in rectoanal inhibitory reflex of opossum internal anal sphincter. Gastroenterology 1992;103:43-50.
67. O”Kelly T, Brading A, Mortensen N. Nerve mediated relaxation of the human lateral anal sphincter: the role of nitric oxide. Gut 1993;34:689-93.
68. Gaskel WH. The involuntary nervous system. New York: Longman,1920.69. Frenkner B, Euler CV. Influence of pudendal block on the function of the
anal sphincters. Gut 1975;16:482-9.70. Lester B, Penninckx F, Kerremans R. The composition of anal basal
pressure. An in vivo and in vitro study in man. Int J Colorectal Dis 1989:4:118-22.
71. Dickinson VA. Maintenance of anal continence: a review of pelvic floor physiology. Gut 1978;19:1163-74.
72. Frankner B, Iher T. Influence of autonomic nerve on the internal and ssphincter in man. Gut 1976;17:306-12.
73. Guiterrez JG, Shah AN. Autonomic control of the internal anal sphincter in man. In : von Trappen G (ed). Vth international Symposium on gastrointestinal motility. Leuven: Typoff Press, 1975:363-73.
74. Carlstedt A, Nordgren S, Fasth S. et al. Sympathetic nervous influence on the internal anal sphincter and rectum in man. Int J Colorectal Dis 1988;3:90-5.
75. Lubowski DZ, Nicholas RJ, Swash M, et al. Neural control of internal anal sphincter function. Br J Surg 1987;74:668-70.
76. O”Kelly T, Davies JR, Brading A, et al. Distribution of nitric oxide synthase containing neurons in rectal myenteric plexus and anal canal. Morphologic evidence that nitric oxide mediates the rectoanal inhibitory reflex. Dis Colon Rectum 1994;37:350-7.
77. O”Kelly T, Davies JR, Tam PK, et al. Abnormalities of nitric-oxide-producing neurons in Hisprung’s disease: morphology and implications. J Pediat Surg 1994;29:294-300.
78. Stebbing JF, Brading AF, Mortensen NJ. Nitric oxide and the rectoanal inhibitory reflex: retrograde neuronal tracing reveals a descending nitrergic rectoanal pathway in a guinea-pig model. Br J Surg1996;83:493-8.
79. Burleigh DE, D’Mello A, parks AG. Responses of isolated human internal anal sphincter to drugs and electrical field stimulation. Gastroenterology 1979;77:484-90.
80. Bouvier M, Gonella J. Electrical activity from smooth muscle of the anal sphincteric area of the cat. J Physial Lond 1981;310;445-56.
81. O”Kelly T, Brading A, Mortensen N. Nitric oxide mediates cholinergic relaxation of human internal anal sphincter muscle in vitro. Gut 1992;33:A48(Abstrac)
82. Parks AG, Fishlock DJ, Cameron JD, et al. Preliminary investigation of the pharmacology of the human internal anal sphincter. Gut 1969;10:674-7.
83. Friedmann CA. The action of nicotine and cathecolamines on the human internal anal sphincter. Am J Dig Dis 1968;13:428-31.
30
84. Read M, Read NW, Duthie HL. Effects of loperamide on anal sphincter function in patients complaining of chronic diarrhea with faecal incontinence and urgency. Dig Dis Sci 1982;27:807-14.
85. Rattan S, Chakder S. Inhibitory effect of CO on internal anal sphincter: heme oxygenase inhibitor inhibits NANC relaxtion. Am J Physiol 1993;265:G799-804.
86. Lund JN, Scholefield JH. A prospective, randomized, double blind, placebo-controlled trial of glyceryl trinitrate in anal fissure. Lancer 1997;349:11-14.
87. Pitt J, Boulos PB, Henry MM, et al. The affect of ά-adrenoceptor blockade on the anal canal profile in patients with anal fissures. J Physiol 1997;499:78-9P(Abstrac).
88. Carapeti EA, Kamm MA, Evans BK, et al. Topical phenylephrine increases anal sphincter pressure. Br J Surg 1999;86:267-70.
89. Carupeti EA, Kamm MA, Nicholas RJ, Philips RK. Randomized, controlled trial of topical, phenyleprine for fecal incontinence in patient after ileoanal pouch construction Dis Colon Rectum 2000;43:1059-63.
90. Goligher JC, Hughes ES. Sensibility of the rectum and colon. Its role in mechanism of anal incontinence. Lancer 1951; i:543-7.
91. Lane RH, Parks AG. Function of the anal sphincters following colo-anal anastomosis. Br J Surg 1977;64:596-9.
92. Duthie HL, Gairns FW. Sensory nerve endings and sensation in the anal region in man. Br J Surg 1960;47:585-95.
93. Duthie HL, Bennett RC. The relation of sensation in the anal canal to the functional sphincter length: a possible factor in anal incontinence. Gut 1963;4:179-82.
94. Miller R, Bartolo DC, Cevero F, et al. Anorectal sampling: a comparison of normal and incontinent patiens. Br J Surg 1988;75:44-7.
95. Read MG, read MW. Role of anorectal sensation in preserving continence. Gut 1982;23:245-7.
96. Miller R, Bartolo DC, orrom WJ, et al. Imvropment of anal sensation with preservation of the anal transition zone after ileoanal anastomosis for ulcerative colitis. Dis Colon Rectum 1990;33:414-8.
97. Miller R, Bartolo DC, Cevero F, et al. Anorectal temperature sensation: a comparison of normal and incontinent patiens. Br J Surg 1987;74:511-5.
98. Rogers J. Anorectal temperature sensation: a comparison of normal and incontinent patients. Br J Surg 1987;74:1189(Latter).
31
top related