jurnal hexagro - journal.unper.ac.idjournal.unper.ac.id/uploads/jurnal hexagro.pdf · tujuan...
Post on 06-Feb-2018
244 Views
Preview:
TRANSCRIPT
-
Jurnal Hexagro. Vol. 1. No. 1 Februari 2017 ISSN 2459-2691
1
JURNAL HEXAGRO VOL. 1 No. 1 FEBRUARI 2017
FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS PERJUANGAN TASIKMALAYA
Jl. Pembela Tanah Air (PETA) No. 177 Kota Tasikmalaya 46115
e-mail: hexagro.jurnal@gmail.com
ISSN 2549-2691
mailto:hexagro.jurnal@gmail.com
-
Jurnal Hexagro. Vol. 1. No. 1 Februari 2017 ISSN 2459-2691
JURNAL HEXAGRO diasuh oleh Fakultas Pertanian Universitas Perjuangan
Tasikmalaya dengan jadwal penerbitan 2 (dua) kali dalam satu tahun dengan
tujuan menyebarluaskan informasi ilmiah tentang perkembangan teknologi
pertanian baik Agribisnis, Agroteknologi, Peternakan atau bidang-bidang lain
yang terkait. Naskah yang dimuat dalam jurnal ini terutama berasal dari
penelitian dan pengabdian kepada masyarakat maupun kajian konseptual
yang dilakukan oleh mahasiswa dan Dosen/akademisi dari berbagai
universitas dan lembaga-lembaga pemerintah serta pemerhati masalah
pertanian di Indonesia.
Lembaga Penerbit Jurnal Hexagro
Dewan Redaksi
Jurnal Hexagro
Penanggung Jawab
dr. H. Kamiel Roesman Bachtiar, M.Si.
Redaktur
Ristina Siti Sundari, M.P.
Penyunting
Andri Kusmayadi, S.Pt., M.Sc.
Ulpah Jakiyah, S.E, M.Si.
Siti Nurhidayah, S.P., M.Si.
Firgian Ardigurnita, S.Pt., M.P
Desain Grafis
Dona Setia Umbara, M.P.
Sekretariat:
Fakultas Pertanian Universitas Perjuangan
Jl. PETA No. 177 Gn. Roay
Kota Tasikmalaya 46115
e-mail: hexagro.jurnal@gmail.com
mailto:hexagro.jurnal@gmail.com
-
Jurnal Hexagro. Vol. 1. No. 1 Februari 2017 ISSN 2459-2691
Sinopsis
Pada terbitan perdana, Hexagro memuat artikel hasil penelitian dari Institut
Pertanian Bogor, Universitas Siliwngi Tasikmalaya dan dari Universitas Perjuangan
Tasikmalaya. Dari Institut Pertanian Bogor, Yudhi Arie Priyanto melakukan penelitian
mengenai viabilitas benih kedelai kultivar Anjasmoro pada umur simpan 1 bulan
berbagai Pada terbitan perdana, Hexagro memuat, artikel hasil penelitian dari Institut
Pertanian Bogor, Universitas Siliwangi Tasikmalaya dan dari Universitas Perjuangan
Tasikmalaya. Dari Institut Pertanian Bogor, Yudhi Arie Priyanto melakukan penelitian
mengenai Viabilitas benih kedelai kultivar Anjasmoro pada umur simpan satu (1) bulan
setelah panen dengan perlakuan invigorasi matriconditioning. Dedi Sufyadi dan Tedi
Hartoyo dari Universitas Siliwangi Tasikmalaya membahas hubungan antara peranan
P3A dengan persepsi para petani P3A Mekar Sauyunan di daeran Ancaran Kabupaten
Kuningan Jabar. Selanjutnya inovasi baru dalam agribisnis, Ristina Siti Sundari dkk
membandingkan besarnya nilai tambah dari pembuatan abon berbahan baku ikan lele
dan ikan patin yang belum dikenal luas seperti halnya abon sapi. Di bidang peternakan
ada peneliti Dedi Sumarna dari Universitas Siliwangi mencoba membandingkan secara
ilmiah pendapatan antara penerima dan non penerima bantuan belanja hibah bidang
peternakan dalam usaha penggemukan sapi potong melalui uji statistika. Tanaman
Kakao mendapat perhatian khusus dar Yayu Rahayu dari Universitas Siliwangi.
Bidang penyuluhan diteliti oleh Dona Setia Umbara dari Universitas Perjuangan, dan
terakhir dikupas dampak kebijakan Pemerintah terhadap usahatani beras organic di
provinsi jawa barat oleh Ulpaj Jakiyah dari Universitas Perjuangan Tasikmalaya.
-
Jurnal Hexagro. Vol. 1. No. 1 Februari 2017 ISSN 2459-2691
DAFTAR ISI Halaman
1. Viabilitas benih Kedelai (Glycine max L. Merr) Cult. Anjasmoro
umur 1 bulan setelah panen dengan Perlakuan Invigorasi Matriconditioning.
Yudhi Arie Priyanto (Institut Pertanian Bogor) ......
1 9
2.
Hubungan antara Peranan P3A dengan Partisipasi Petani Anggota P3A (Berdasarkan Persepsi Para Petani P3A Mekar
Sauyunan di Ancaran Kabupaten Kuningan, Jawa Barat)
Dedi Sufyadi dan Tedi Hartoyo (Universitas Siliwangi Tasikmalaya)
10 16
3.
Nilai Tambah Agroindustri Abon Ikan Lele dan Ikan Patin
Ristina Siti Sundari, Andri Kusmayadi, Dona Setia Umbara (Universitas Perjuanan) ..........
17 23
4.
Perbedaan Pendapatan Antara Penerima Dengan Non Penerima Bantuan Belanja Hibah Bidang Peternakan Dalam Usaha
Penggemukan Sapi Potong (Kasus Di Kecamatan Pamarican
Kabupaten Ciamis)
Dedi Sumarna (Universitas Siliwangi) dan Ristina Siti Sundari (Universitas Perjuangan) ...........
24 30
5
Hubungan Antara Pemberdayaan Kelompok Tani Dengan Adopsi Inovasi Pengendalian Hama Terpadu Kakao
Yayu Rahayu (Universitas Siliwangi) dan Ristina Siti Sundari
(Universitas Perjuangan) ...........
31 40
6
Paradigma Masyarakat Terhadap Pemanfaatan Tanaman
Singkong Sebagai Tanaman Produktif Di Indonesia
Dona Setia Umbara (Universitas Perjuangan) .....................
41 44
7
Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Usahatani Beras
Organik Di Provinsi Jawa Barat Ulpah Jakiyah (Universitas Perjuangan) ...
45 48
-
Jurnal Hexagro. Vol. 1. No. 1 Februari 2017 ISSN 2459-2691
1
VIABILITY OF SOYBEAN SEEDS (GLYCINE MAX. L. MERRIL) BY MATRICONDITIONING AND OSMOCONDITIONING INVIGORATION
(VIABILITAS BENIH KEDELAI (Glycine max. L. Merril) DENGAN PERLAKUAN INVIGORASI MATRICONDITIONING DAN
OSMOCONDITIONING)
Yudhi Arie Priyanto1, 1Institut Pertanian Bogor
*Email : yudhiariepriyanto@rocketmail.com
ABSTRACT
This research aimed at knowing the best invigorations treatment due to enhancing seeds viability of Soybean. This research was designed using Completely Randomized Design by use of eight invigoration treatments and four times replication that consisted of A (no treatment), B (control soaked in aquadest), C (matriconditioning of burned husk), D (matriconditioning of sawdust), E (matriconditioning of Vermiculite), F (osmoconditioning PEG), G (osmoconditioning NaCl), H (osmoconditioning KNO3). In order to determine the result, data tested by F-test and continued by contrast orthogonal test. The result showed that invigoration treatment enhanced viability of soybean toward parameter such as sprout percentage, sprout growth rapidity, height of sprout and sprouts dried weight. The best of among invigoration treatment enhancing viability of soybean was matriconditioning invigoration treatment respectively vermiculite and sawdust.
Key words: Soybean, Invigoration, Viability, Matriconditioning, Osmoconditioning.
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh perlakuan invigorasi yang paling baik
dalam meningkatkan viabilitas benih kedelai. Penelitian ini dirancang menggunakan Rancangan
Acak Lengkap dengan delapan perlakuan invigorasi yang diulang empat kali yang terdiri dari: A (tanpa perlakuan), B (kontrol yang direndam aquades), C (matriconditioning abu sekam), D
(matriconditioning serbuk gergaji), E (matriconditioning Vermikulit), F (osmoconditioning PEG),
G (osmoconditioning NaCl), H (osmoconditioning KNO3). Untuk mengetahui hasil penelitian,
data diuji dengan Uji F yang dilanjutkan dengan uji ortogonal kontras. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa perlakuan invigorasi dapat meningkatkan viabilitas benih kedelai pada
parameter persentase kecambah, kecepatan tumbuh, bobot kering kecambah dan tinggi kecambah. Dari semua perlakuan invigorasi, bahan yang paling baik dalam meningkatkan
viabilitas benih kedelai adalah perlakuan invigorasi matriconditioning berturut-turut yaitu
vermikulit dan serbuk gergaji.
Kata kunci: Kedelai, Invigorasi, Viabilitas, Matriconditioning, Osmoconditioning.
I. PENDAHULUAN
Kita sering menganggap bahwa
kualitas kedelai produksi Indonesia lebih rendah dari pada kedelai impor. Padahal
itu hanya stigma. Menurut Gakoptindo
dalam Djaki (2014) sesungguhnya kedelai Indonesia kualitasnya lebih baik
dibandingkan dengan kedelai impor asal
Amerika Serikat. Akan tetapi produksi
kedelai Indonesia masih sangat jauh untuk memenuhi kebutuhan dalam
negeri, sehingga di samping terus
mengupayakan peningkatan produksi kedelai, juga melakukan impor kedelai
dari Amerika Serikat.
Di Indonesia kedelai banyak digunakan sebagai bahan baku
pembuatan tempe dan tahu, tauco,
kecap, makanan ringan (snack), susu kedelai dan bahan pelengkap menu
makanan lainnya seperti bubur ayam,
soto dan lainlain.
Menurut Kementerian Pertanian (2014) kebutuhan kedelai sebagai bahan
baku industri tempe dan tahu mencapai
2,5 juta ton per tahun sedangkan produksi dalam negeri baru mencapai
400 ribu ton per tahun. Hasil panen
kedelai hanya mampu memenuhi kebutuhan daerah setempat dan tidak
bisa memenuhi permintaan daerah lain.
Menurut Lutfi (2015) rendahnya
produksi kedelai di Indonesia disebabkan luas lahan yang terus berkurang (hanya
berkisar 600.000 ha) karena banyak
terjadi alih fungsi lahan dan produktifitas rendah yang disebabkan oleh cuaca
ekstrim, rendahnya keterampilan petani
dalam budidaya kedelai, pemupukan yang kurang berimbang dan ketersediaan
mailto:yudhiariepriyanto@rocketmail.com
-
Jurnal Hexagro. Vol. 1. No. 1 Februari 2017 ISSN 2459-2691
2
benih unggul di lapangan yang tidak
mencukupi.
Hal ini merupakan tantangan bagi pemerintah, petani, ilmuwan dan
peneliti untuk dapat meningkatkan
produksi kedelai sampai swasembada kedelai tercapai sehingga tidak harus
mengimpor lagi. Dari faktor penyebab
rendahnya produksi kedelai Indonesia, peneliti berupaya lebih fokus untuk
memberikan solusi dalam penyediaan
benih unggul di lapangan. Ada berbagai cara invigorasi
benih kedelai yang bisa dilakukan
diantaranya dengan Priming (Hydro priming, solid matric priming), hardening, matri-conditioning, osmoconditioning, moisturizing, dan humidifying. Dari berbagai cara invigorasi tersebut, maka Osmoconditioning dan matriconditioning adalah cara invigorasi yang paling sering
dilakukan (Litbang, 2014). Walaupun
cara ini belum memberikan hasil yang konsisten, untuk hal tersebut penelitian
viabilitas benih kedelai dengan perlakuan
invigiorasi perlu dilakukan.
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini telah dilaksanakan
di Laboratorium Teknologi Benih dan di Rumah Kaca (Green House) Fakultas Pertanian, Universitas Siliwangi
Tasikmalaya. Penelitian ini dimulai pada bulan Juni sampai Juli 2015.
Bahan-bahan yang digunakan
dalam penelitian ini adalah: benih kedelai varietas Anjasmoro, aquadest, abu
sekam, serbuk gergaji, vermikulit, PEG
6000, KNO3, NaCl dan media
perkecambahan (pasir steril halus, porasi dan tanah dengan perbandingan 1:1: 1.
Alatalat yang digunakan
diantaranya baki perkecambahan, termometer maksimum minimum, hand sprayer, mistar 30 cm, gelas ukur, cangkir plastik ukuran 200 ml, alat tulis, sarung tangan karet, sendok pengaduk,
masker, saringan, dan kamera digital.
Metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah eksperimen dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap
yang diulang 4 kali, dengan perlakuan
sebagai berikut :
A = tanpa perlakuan
B = Kontrol: benih yang direndam selama 6 jam dengan Aquadest C = Matriconditioning : (benih direndam selama 6 jam dalam campuran abu
sekam : air dengan perbandingan 3 : 5)
D = Matriconditioning (benih direndam selama 6 jam dalam campuran serbuk gergaji : air dengan perbandingan 3 : 5)
E = Matriconditioning (benih direndam selama 6 jam dalam campuran vermikulit : air dengan perbandingan 3 : 5)
F = Osmoconditioning (benih direndam selama 6 jam dengan larutan PEG 6000 pada konsentrasi 2 % ,)
G = Osmoconditioning (benih direndam selama 6 jam dengan larutan NaCl pada konsentrasi 2%)
H = Osmoconditioning (benih direndam selama 6 jam dengan larutan KNO3 pada konsentrasi 2%)
Model persamaan yang cocok
untuk penelitian ini menurut Gaspersz
(1991) adalah model tetap karena hanya
terdiri dari tujuh perlakuan yang
tersedia. Model tersebut adalah :
Yij = + ti + ij Keterangan :
Yij ti ij
=
= =
=
hasil pengamatan ke j yang memperoleh perlakuan ke I
rata-rata populasi hasil pengamatan pengaruh perlakuan ke i
pengaruh galat percobaan pada pengamatan ke j yang memperoleh
perlakuan ke i
Tabel 1. Analisis Sidik Ragam 1
Sumber
Ragam
Derajat
Bebas
Jumlah
Kuadrat
Kuadrat
Tengah
Fhit Ftabel
5% 1%
Perlakuan t 1
2
=1
2,42 3,5
Galat (N-1) - (t-1)
JKtot JKperla
Total N 1 Yij2 - FK
-
Jurnal Hexagro. Vol. 1. No. 1 Februari 2017 ISSN 2459-2691
3
Kaidah Pengujian :
Jika Fhitung Ftabel maka perlakuan seragam (tidak berbeda nyata); Tidak ada
pengaruh; Hipotesa Nol (H0) diterima
Jika Fhitung > Ftabel maka perlakuan tidak seragam (berbeda nyata); Hipotesa Nol
(H0) ditolak.
Jika perlakuan memberi perbedaan yang nyata atau memiliki ragam yang
berbeda, maka pengujian dilanjutkan
dengan uji ortogonal kontras
Analisis ortogonal kontras untuk membandingkan antar dan dalam
kelompok perlakuan. Analisis ortogonal
kontras sering juga disebut Uji-F terencana karena pengujian dilakukan
didasarkan pertanyaan-pertanyaan
spesifik penelitian yang telah dirancang, baik didasarkan pada teori atau
penelitian-penelitian sebelumnya
(Mawardi Syana, 2013). Jika perlakuan signifikan,
dilakukan uji perbandingan kelompok
perlakuan dan uji gugus perlakuan. Jumlah komponen yang disusun sama
dengan derajat bebas perlakuan.
Komponen 1 : A, Vs B, C, D, E, F, G, H Komponen 2 : B Vs C, D, E, F, G, H
Komponen 3 : C, D, E Vs F, G, H
Komponen 4 : C Vs D, E
Komponen 5 : D Vs E Komponen 6 : F Vs G, H
Komponen 7 : G Vs H
Menghitung jumlah kuadrat komponen:
JKi = ()
Jumlah semua Jumlah Kuadrat
komponen harus sama dengan Jumlah
Kuadrat Perlakuan. Kemudian dihitung
jumlah kuadrat dari masing-masing komponen dengan rumus di atas. Total
perlakuan di sini diperoleh dari total
perlakuan yang terdapat dalam data awal.
Tabel 2. Susunan Koefisien Ortogonal Kontras
Komponen Koefisien ortogonal kontras untuk invigorasi (b)
b2 A B C D E F G H
1 -7 1 1 1 1 1 1 1 56
2 0 -6 1 1 1 1 1 1 42
3 0 0 -1 -1 -1 1 1 1 6
4 0 0 -2 1 1 0 0 0 6
5 0 0 0 -1 1 0 0 0 2
6 0 0 0 0 0 -2 1 1 6
7 0 0 0 0 0 0 -1 1 2
Total perlakuan
Daftar sidik ragam uji lanjutan ortogonal kontras seperti terlihat pada tabel 3 di bawah
ini.
Tabel 3. Analisis Sidik Ragam Uji lanjutan Ortogonal Kontras
Sumber Ragam Db JK KT Fhit F.05 F.01
Perlakuan 7
Komponen 1 1 (b1T1)2
b12
1
1
1
Komponen 2 1
Komponen 3 1
Komponen 4 1
Komponen 5 1
Komponen 6 1
Komponen 7 1 (b7T7)2
b72
7
7
7
Galat 24
Total 31
II. HASIL DAN PEMBAHASAN.
Temperatur udara harian dalam
rumah kaca selama percobaan
memenuhi syarat tumbuh
perkecambahan benih kedelai yaitu
-
Jurnal Hexagro. Vol. 1. No. 1 Februari 2017 ISSN 2459-2691
4
berkisar 270C 310C. Menurut
Adisarwanto (2014) temperatur optimum
untuk perkecambahan benih kedelai antara 200C 350C. Kisaran temperatur
tersebut cukup sesuai untuk awal tanam
kedelai.
1) Persentase Kecambah
Tabel 4. Hasil Uji Ortogonal Kontras Transformasi Pengaruh Perlakuan Invigorasi terhadap Persentase Kecambah pada Pengamatan Hari ke 3, 5, 7, 9 dan 11 Setelah Semai.
Keterangan: * = berbeda nyata menurut Uji Ortogonal Kontras. ** = berbeda sangat nyata menurut Uji Ortogonal Kontras
Tabel diatas memperlihatkan
perlakuan invigorasi matriconditioning berpengaruh pada setiap hari
pengamatan dapat meningkatkan
presentasi kecambah lebih baik dibandingkan dengan invigorasi
osmoconditioning. Sedangkan dalam perlakuan invigorasi matriconditioning pemberian serbuk gergaji menunjukkan
hasil persentasi kecambah yang paling
tinggi, hal ini menunjukan bahwa
perlakuan matriconditioning dapat meningikatkan viabilitas benih lebih
tinggi dibandingkan dengan perlakuan
osmoconditioning. Tabel diatas memperlihatkan
perlakuan invigorasi matriconditioning berpengaruh pada setiap hari
pengamatan dapat meningkatkan presentasi kecambah lebih baik
dibandingkan dengan invigorasi
osmoconditioning. Perlakuan invigorasi matri-
conditioning pemberian serbuk gergaji menunjukkan hasil persentasi kecambah yang paling tinggiHal ini menunjukan
bahwa perlakuan matriconditioning dapat meningikatkan viabilitas benih lebih
tinggi dibandingkan dengan perlakuan osmoconditioning.
Menurut Kiki Muslihin, 2011.
Perlakuan invigorasi matriconditioning memiliki fase imbibisi yang lebih lama
dibanding invigorasi osmoconditioning. Proses imbibisi ke dalam benih lebih
terkontrol karena bahan
matriconditioning memiliki daya pegang air yang baik. Sedangkan invigorasi osmoconditioning` tidak memiliki daya pegang air, air langsung masuk ke bagian
membran sehingga proses imbibisi berlangsung cepat, hal ini dapat
menyebabkan rusaknya membran benih.
Sehingga perlakuan matriconditioning meningkatkan persentase kecambah
kedelai yang telah mengalami deteriorasi
lebih baik dibandingkan dengan
perlakuan invigorasi osmoconditioning. Dalam penelitian ini perlakuan
matriconditioning yang dicoba adalah serbuk gergaji, abu sekam, dan vermikulit. Serbuk gergaji menunjukkan
pengaruh yang paling baik dalam
meningkatkan presentasi kecambah kedelai yang telah mengalami deteriorasi,
hal ini menurut Ilyas et. al (1994), terdapat perbedaan kemampuan
memegang air antara serbuk gergaji dengan abu sekam yang dipengaruhi
oleh sifat fisik permukaan media. Serbuk
gergaji memiliki sifat yang paling mudah menyerap air dan memiliki kemampuan
memegang air yang tinggi dibandingkan
dengan abu sekam. Perbedaan hasil perkecambahan antara perlakuan abu
sekam dan serbuk gergaji sebagai media
matriconditioning karena abu sekam mengandung silikat yang dapat mengikis kulit benih sehingga menyebabkan
kerusakan pada kulit saat pencampuran
abu, air, dan benih dilakukan.
Sumber
Keragaman
Db
F Hitung
(hari ke 3)
F Hitung
(hari ke 5)
F Hitung
(hari ke 7)
F Hitung
(hari ke 9)
F Hitung
(hari ke 11)
Perlakuan 7 11,827** 35,83** 9,58** 31.58** 23,85**
A vs
(B,C,D,E,F,G,H) 1 9,297** 0,30 1,73 3.99 0,24
B vs (C,D,E,F,G,H) 1 2,785 17,28** 0.31 0.003 1,31
(C,D,E) vs,(F,G,H) 1 33,867** 150,23** 27.78** 54.19** 53,55**
C vs (D,E) 1 7,953* 0,28 0.001 0.00 0,17
D vs E 1 18,755** 1,87 0.004 1.25 1,77
F vs (G,H) 1 9,101** 45,45** 19.57** 46.99** 45,71** G vs H 1 0.921 35,41** 17,68* 114.65** 64,23**
-
Jurnal Hexagro. Vol. 1. No. 1 Februari 2017 ISSN 2459-2691
Kerusakan kulit benih berpengaruh pada proses perkecambahan sehingga jika
dibandingkan dengan serbuk gergaji,
perlakuan abu sekam memberikan hasil persentase kecambah lebih rendah
dibandingkan dengan perlakuan serbuk
gergaji.
Hasil penelitian ini sejalan dengan laporan hasil penelitian Fauziah Koes dan
Ramlah Arief (2010) yang menyimpulkan
bahwa benih yang diberi perlakuan matriconditioning serbuk gergaji berpengaruh paling baik terhadap
persentase perkecambahan benih jagung yang sudah mengalami deteriorasi.
2) Kecepatan Berkecambah
Tabel memperlihatkan bahwa perlakuan A (tanpa perlakuan) berbeda
nyata dibandingkan perlakuan B, C, D, E,
F, G dan H (air suling, abu sekam, serbuk
gergaji, vermikulit, PEG 6000, NaCl dan KNO3). Kecepatan tumbuh rata-rata
perlakuan berturut-turut sebesar A 2,32;
B 3,34; C 3,82; D 4,21; E 3,52; F 4,75; G 1,25; H 2,93. Perlakuan B (air suling) tidak
berbeda nyata dibandingakan dengan C,
D, E, F, G dan H (abu sekam, serbuk gergaji, vermikulit, PEG 6000, NaCl dan
KNO3) .Tabel 5. Uji Ortogonal Kontras
Perlakuan Invigorasi terhadap Kecepatan Berkecambah Kedelai
Sumber
Keragaman
Fhitung F0,05 F0,01
Perlakuan 15,57** 2,42 3,5
A vs
(B,C,D,E,F,G,H) 13,05**
4,26 7,82
B vs
(C,D,E,F,G,H) 0,061
4,26 7,82
(C,D,E)
vs,(F,G,H) 14,64**
4,26 7,82
C vs (D,E) 0,02 4,26 7,82
D vs E 3,09 4,26 7,82
F vs (G,H) 6,18* 4,26 7,82
G vs H 7,69* 4,26 7,82
Keterangan: * = berbeda nyata menurut Uji Ortogonal Kontras.
** = berbeda sangat
nyata menurut Uji Ortogonal Kontras
Perbandingan antar kelompok perlakuan matriconditioning (abu sekam, serbuk gergaji, vermikulit) berbeda sangat
nyata dibandingkan dengan kelompok perlakuan osmoconditioning (PEG 6000, NaCl dan KNO3). Kecepatan berkecambah
rerata perlakuan invigorasi
matriconditioning sebesar 3,85 sedangkan osmoconditioning sebesar 2,97. Di dalam
kelompok perlakuan matriconditioning perlakuan C (abu sekam) dibandingkan D
(serbuk gergaji) dan E (vermikulit); dan
perlakuan D (PEG) dibanding E (NaCl)
relatif seragam, hasil analiais ortogonal kontras tidak menunjukkan perbedaan
yang nyata.
Perlakuan Matriconditioning lebih baik dalam meningkatkan laju
berkecambah dibandingkan perlakuan
osmoconditioning. Menurut Kiki Muslihin, 2011. Perlakuan invigorasi
matriconditioning memiliki fase imbibisi yang lebih lama daripada invigorasi
osmoconditioning, karena bahan matri-conditioning memiliki daya pegang air yang baik. Sedangkan perlakuan invigorasi
osmoconditioning` tidak memiliki daya pegang air, air langsung masuk ke bagian
membran sehingga proses imbibisi
berlangsung cepat, hal ini dapat
menyebabkan rusaknya membran benih. Pada invigorasi matriconditioning,
benih mengalami proses imbibisi yang
lebih terkontrol sehingga air ataupun cairan masuk ke dalam benih berlangsung
secara perlahan sampai terjadi
keseimbangan. Imbibisi yang terkontrol ini memungkinkan benih mengoptimalkan
faktor internalnya untuk memulai
perkecambahan seperti pemulihan
integritas membran, karena benih yang telah mengalami deteriorasi, membrannya
mengalami kerusakan. Kerusakan
membran ini mengakibatkan kerusakan pada dinding sel sehingga terjadi
kebocoran jika benih berimbibisi, hal ini
tidak terjadi pada benih yang diberi perlakuan invigorasi osmoconditioning.
Menurut (Powell dan Matthews,
1978 dalam Agus Rulyansyah, 2011) Terganggunya struktur membran akan menyebabkan berbagai perubahan
metabolik. Hal ini dapat dikurangi dengan
cara mengimbibisi benih terlebih dahulu pada konsentrasi yang mengurangi laju
penyerapan air, sehingga dapat
mendukung kecepatan berkecambah benih. Sehingga perlakuan
matriconditioning meningkatkan kecepatan berkecambah kedelai yang telah mengalami deteriorasi lebih baik
dibandingkan dengan perlakuan invigorasi
osmoconditioning. 3) Panjang Akar
Hasil analisis perlakuan invigorasi
tidak berpengaruh nyata terhadap panjang
akar. Dengan demikian tidak dilakukan uji lanjutan ortogonal kontras. Data hasil uji
-
Jurnal Hexagro. Vol. 1. No. 1 Februari 2017 ISSN 2459-2691
6
varians dapat dilihat pada Tabel di bawah ini.
Tidak berpengaruhnya perlakuan
invigorasi terhadap panjang akar
disebabkan karena pertumbuhan akar
lebih banyak dipengaruhi oleh faktor
internal antara lain sifat genetik
tumbuhan, tipe pertumbuhna akar,
proses pembelahan sel dan
deferensiasi. Menurut (Taiz, L. and E.
Zeiger. 1998). Proses pembelahan sel
dan deferensiasi lebih lambat pada
akar dibandingkan pada batang,
selanjutnya Syatrianty A Syaiful et. al
(2012) berpendapat bahwa pengaturan
imbibisi dengan perlakuan invigorasi
tidak mempengaruhi pertumbuhan
akar, tidak seperti yang terjadi pada
parameter viabilitas lainnya yaitu
pertumbuhan batang dan
pertumbuhan daun pada kedelai
Tabel 6. Analisis Sidik Ragam Pengaruh Perlakuan Invigorasi terhadap Panjang Akar Kedelai
Sumber
Keragaman
Derajat
Bebas
Jumlah
Kuadrat
Kuadrat
Tengah
Fhitung PA
F0,05 F0,01
Perlakuan 7 58,85 8,41 1.88 2,42 3,5 Galat 24 107,24 4,47
Total 31 166,07
4) Tinggi Kecambah
Hasil uji ortogonal kontras dapat
dilihat pada tabel 7 di bawah ini. Pertumbuhan tinggi kecambah relatif
seragam pada pengamatan hari ke
sembilan, hal ini dimungkinkan karena kondisi perakaran stabil dan siap untuk
pertumbuhan selanjutnya. Duplet sudah
tumbuh merata dan mulai muncul satu-satu triplet tetapi tidak menambah tinggi
kecambah melainkan tumbuh trifoliet terlebih dahulu. Ada stagnansi
pertumbuhan tinggi kecambah pada tahap awal pertumbuhan trifoliet. Setelah itu pertumbuhan batang lebih aktif lagi.
Hasil uji ortogonal kontras pada pengamatan hari ke sebelas
memperlihatkan bahwa perlakuan A
(tanpa perlakuan) tidak memberikan perbedaan yang nyata dibandingkan
dengan B, C, D, E, F, G dan H (air suling,
abu sekam, serbuk gergaji, vermikulit, PEG 6000, NaCl dan KNO3). Perlakuan B
(air suling) tidak berbeda nyata dibanding
C, D, E, F, G dan H (abu sekam, serbuk gergaji, vermikulit, PEG 6000, NaCl dan
KNO3), tetapi sangat berbeda nyata saat
dilakukan perbandingan antar kelompok
perlakuan invigorasi matriconditioning C, D, E (abu sekam, serbuk gergaji,
vermikulit) dan osmoconditioning F, G, H (PEG 6000, NaCl dan KNO3).
Tabel 7. Uji Ortogonal Kontras Pengaruh Perlakuan Invigorasi terhadap Tinggi Kecambah pada Pengamatan hari ke 3, 5, 7, 9 dan 11 setelah Semai.
Sumber Keragaman DB F Hitung
(hari ke 3)
F Hitung
(hari ke 5)
F Hitung
(hari ke 7)
F Hitung
(hari ke 9)
F Hitung
(hari ke 11)
Perlakuan 7 8.81** 2.99* 3.97** 1.162 5.51**
A vs (B,C,D,E,F,G,H) 1 4.66* 2.02 4.61* 0.051 0.19
B vs (C,D,E,F,G,H) 1 0.77 0.27 2.40 0.014 0.54
(C,D,E) vs,(F,G,H) 1 35.57** 12.72* 15.64** 3.074 29.32**
C vs (D,E) 1 2.21 0.02 0.15 0.120 0.03
D vs E 1 0.001 1.32 1.34 0.145 1.99
F vs (G,H) 1 8.09** 1.05 1.00 1.388 6.28**
G vs H 1 10.37** 3.52 2.63 3.346 0.25
Keterangan: * = berbeda nyata menurut Uji Ortogonal Kontras.
** = berbeda sangat nyata menurut Uji Ortogonal Kontras Perlakuan invigorasi
matriconditioning memiliki nilai rata-rata 20,36 sedangkan osmoconditioning sebesar 16,62. Hal ini sejalan dengan
penelitian Agus Ruliyansyah (2011) bahwa perlakuan invigorasi matriconditioning dengan serbuk gergaji, abu sekam dan
vermikulit dapat meningkatkan tinggi kecambah jenis kacangkacangan
dibandingkan dengan kontrol.
Perbandingan dalam kelompok perlakuan matriconditioning relatif sama.
Menurut Rouhi et al (2011) perlakuan invigorasi matriconditioning
-
Jurnal Hexagro. Vol. 1. No. 1 Februari 2017 ISSN 2459-2691
7
memiliki daya pegang air yang tinggi hingga mampu melepaskan air untuk
proses imbibisi secara perlahan sesuai
kebutuhan benih untuk menambah tinggi kecambahnya. Penelitian ini sejalan
dengan hasil penelitian Agus Ruliyansyah
(2011) yang melaporkan bahwa perlakuan
osmoconditioning dengan larutan NaCl dan KNO3 tidak berpengaruh dalam
meningkatkan viabilitas benih kacang-
kacangan yang sudah mengalami deteriorasi, hal tersebut disebabkan
karena penggunaan kedua jenis larutan
tersebut memberikan pengaruh yang buruk terhadap benih dibandingkan
dengan kontrol. Menurut Ilyas (1994)
penggunaan larutan garam untuk media
priming dapat pula menimbulkan efek keracunan terhadap benih. Tipisnya kulit
benih kedelai juga dapat menyebabkan
embrio mengalami keracunan karena larutan garam yang memiliki tingkat
tekanan osmotik tinggi dapat menerobos
masuk hingga ke embrio dan menghambat pertumbuhan embrio atau embrio tidak
mampu tumbuh.
Perbedaan yang nyata pengaruh
perlakuan invigorasi matriconditioning dengan perlakuan invigorasi
smoconditioning terhadap tinggi kecambah, karena pada perlakuan matriconditioning benih setelah diberi perlakuan mengalami proses imbibisi yang
lebih terkontrol sehingga air ataupun cairan masuk ke dalam benih berlangsung
secara perlahan sampai terjadi
keseimbangan. Imbibisi yang terkontrol ini
memungkinkan benih mengoptimalkan faktor internalnya untuk memulai
perkecambahan seperti pemulihan
integritas membran. 5) Bobot Kering Kecambah
Hasil uji lanjutan ortogonal kontras
dapat dilihat pada Tabel 6 di bawah ini Tabel 6. Uji Ortogonal Kontras Pengaruh
Perlakuan Invigorasi terhadap Bobot
Kering Kecambah Kedelai
Sumber
Keragaman
Fhitung BKK
F0,05 F0,01
Perlakuan 3,95** 2,42 3,5
A vs (B,C,D,E,F,G,H) 1.48
4,26 7,82
B vs (C,D,E,F,G,H) 4,66*
4,26 7,82
(C,D,E) vs,(F,G,H) 3.69* 4,26 7,82 C vs (D,E) 0.03 4,26 7,82 D vs E 6.68* 4,26 7,82 F vs (G,H) 1,86 4,26 7,82
G vs H 4,21 4,26 7,82
Keterangan: * = berbeda nyata menurut Uji Ortogonal Kontras.
** = berbeda sangat nyata menurut Uji Ortogonal
Kontras
Perlakuan C, D, E (abu sekam, serbuk gergaji, vermikulit) invigorasi
matriconditioning dengan nilai rata-rata 25,76 memberikan bobot kering kecambah lebih tinggi dan berbeda nyata
dibandingkan dengan osmoconditioning F, G, H (PEG 6000, NaCl dan KNO3). Nilai rata-rata 19,21. Di dalam kelompok perlakuan invigorasi matriconditioning, perlakuan invigorasi E (vermikulit)
memberikan hasil bobot kering kecambah paling tinggi dengan nilai rata-rata sebesar
33,13 dibandingkan dengan perlakuan
invigorasi D (serbuk gergaji) dengan nilai rata-rata sebesar17,86 dan C (abu sekam)
dengan nilai rata-rata sebesar 26,30.
Dengan demikian maka perlakuan
invigorasi matriconditioning memberikan bobot kering kecambah yang lebih tinggi
dibandingkan dengan perlakuan invigorasi
osmoconditioning. Selanjutnya bahan untuk perlakuan invigorasi
matriconditioning yang paling baik adalah vermikulit yang memiliki bobot kering
kecambah rata-rata sebesar 33,13, hal tersebut disebabkan karena benih yang
diberi perlakuan invigorasi
matriconditioning mengalami proses imbibisi yang lebih terkontrol sehingga air
ataupun cairan masuk ke dalam benih
berlangsung secara perlahan sampai terjadi keseimbangan. Imbibisi yang
terkontrol ini memungkinkan benih
mengoptimalkan faktor internalnya untuk memulai perkecambahan. Dengan proses
imbibisi terkontrol, proses
perkecambahan juga menjadi lebih baik
sehingga dapat meningkatkan bobot kering kecambah (Erinnovita et. al 2008)
Menurut Subagjo Kastria Ingwang
Djaja (1995) Vermikulit adalah bahan mineral tanah liat yang berbentuk layer (lapisan), tersusun dari oksida Si, Al dan
Mg sebagai pembentuk utamanya. Oksida
tersebut membentuk lapislapis yang terdiri dari lapisan Si/Al Mg/Al Si/Al
yang bertumpuktumpuk. Diantara lapis
tersebut terdapat molekul air dan ion magnesium yang menjadi pengikat antar
lapis tersebut.
Menurut Wikipedia (2015) menjelaskan bahwa ciri khas vermikulit
dibandingkan mineral lain, seperti abu
sekam dan serbuk gergaji adalah mengandung air dan kation lain seperti
Mg2+,Si4+, Al3+, Fe3+ diantara unit Kristal
dan memiliki daya pegang air yang tinggi,
-
Jurnal Hexagro. Vol. 1. No. 1 Februari 2017 ISSN 2459-2691
8
sehingga sangat sesuai untuk masa perkecambahan benih dan pertumbuhan
benih tanaman yang menyebabkan
peningkatan pada bobot kering kecambah. Pernyataan ini diperjelas oleh Subagjo
Kastria Ingwang Djaja (1995) bahwa
keistimewaan mineral tanah liat
berbentuk lapis ini adalah sifat lapisannya yang fleksibel (dapat merenggang) dan ion
magnesium yang berada di antara lapis
dapat ditukar dengan ion lain dengan mekanisme pertukaran ion. Pada lempeng
oktaedernya mengandung Al, Mg dan Fe,
sehingga kelebihan vermikulit dari mineral lainnya adalah mengandung air diantara
unit Kristal yang menyebabkan vermikulit
memiliki daya pegang air yang tinggi.
III. KESIMPULAN
Dari hasil percobaan ini dapat diambil
kesimpulan: 1) Perlakuan invigorasi berpengaruh
terhadap viabilitas kedelai yang sudah
mengalami deteriorasi: meningkatnya persentase kecambah, kecepatan
tumbuh, tinggi kecambah dan bobot
kering kecambah. 2) Perlakuan invigorasi matriconditioning
meningkatkan viabilitas benih kedelai
yang sudah mengalami deteriorasi lebih baik dibandingkan dengan perlakuan
invigorasi osmoconditioning 3) Invigorasi matriconditioning bahan
serbuk gergaji lebih baik pada persentase dan kecepatan tumbuh
benih, sedangkan vermikulit
berpengaruh paling baik terhadap bobot kering kecambah.
Daftar Pustaka
Agus Ruliyansyah. 2011. Peningkatan Performansi Benih Kacangan Dengan Perlakuan Invigorasi. Perkebunan dan Lahan Tropika ISSN: 2088-6381
J. Tek. Perkebunan & PSDL Vol 1, Juni 2011,hal 13-18
Atin Septiatin. 2012. Meningkatkan
Produksi Kedelai di Lahan Kering, Sawah dan Pasang Surut. Penerbit CV Yrama Widya.
Balitkabi. 2014. Invigorasi Benih Kedelai. Kementrian Pertanian.
Djaki. 2014. Dilematis, Hasil Kedelai Lokal Meningkat, Kedelai Impor Tetap Menguasai Pasar. Gemadesa Gemamedia News.
Eny Widajati, Endang Wurniati, Endah R.
Palupi, Titiek Kartika, M. R.
Suhartanto, Abdul Qadir. 2013.
Dasar Ilmu dan Teknologi Benih. IPB Press. Bogor.
Erinnovita, Maryati Sari dan Dwi Guntoro.
2008. Invigorasi Benih untuk Memberbaiki Perkecambahan Kacang Panjang (Vigna unguiculata Hask. Ssp. Sesquipedalis) pada Cekaman Salinitas. Bulletin Agron. (36) (3) 214 220.
Farooq, M. S., M. A. Basra, B. A. Saleem.
2005. Enhancement of Tomato Seed Germination and Seedling Vigor by Osmopriming. Journal of Agriculture Science. 42 (3-4):36 41.
Farooq, M. S., M. A. Basra, K. Hafeez. 2006. Seed Invigoration bu osmohardening in Coarse and Fine
Rice Seed. Journal of Science and Technology. 34 : 181 187.
Fauziah Koes dan Ramlah Arief. 2010.
Pengaruh Perlakuan Matriconditioning Terhadap Viabilitas Dan Vigor Benih Jagung. Balai Penelitian Tanaman Serealia.
Gaspersz, V. 1991. Metode Perancangan Percobaan. Untuk Ilmu-ilmu Pertanian, Ilmu-ilmu Teknik dan Biologi. Penerbit Armico. Bandung.
Khan MR, Khan SM. 2002. Effects of Rootdip Treatment with Certain Phosphate Solubilizing Microorganisms on the Fusarial Wilt of Tomato. Biores Technology 85:213-215.
Kementrian Pertanian. 2014. Kebutuhan Kedelai Indonesia. Jakarta.
Kiki Muslihin. 2011. Deteriorasi Benih. Universitas Winayamukti. Bandung.
Gomez, K. A & Gomez, A.A.1995. Prosedur Statistik untuk Penelitian Pertanian. Edisi Kedua. Penterjemah: Endang
Sjamsuddin & Justika S Baharsjah.
Pendamping: Andi Hakim Nasution. Penerbit Universitas Indonesia. (UI-
PRESS).
Litbang. 2014. Invigorasi, Alternatif Atasi Penurunan Mutu Benih Kedelai. www.litbang.pertanian.
go.id/berita/one/1542. Diunduh tanggal 28 Maret 2015.
Lutfi. 2015. Pilah-pilah Masalah Demi Swasembada Kedelai. Teknopreneur. Jakarta.
Mira arumi, et. al. 2013. Pengujian Viabilitas Benih. Produksi dan
Pengembangan Pertanian Terpadu. IPB. Bogor.
-
Jurnal Hexagro. Vol. 1. No. 1 Februari 2017 ISSN 2459-2691
9
Samsoeoed Sadjad. 1993. Dari Benih Kepada Benih. Penerbit Grasindo. Jakarta.
Setijo Pitojo. 2003. Benih Kedelai. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
Sri Wahyuni. 2011. Peningkatan Daya Berkecambah dan Vigor Benih Padi HibridaMelalui Invigorasi. Penelitian Pertanian Tanaman Pangan Vol. 30
No. 2 201183. Balai Besar Penelitian
Tanaman Padi Jl. Raya 9
Sukamandi, Subang, Jawa Barat. Subagijo Kastria Ingwang Djaja.1995.
Vermikulit sebagai Bahan Komposit Interkalasi. Pusat Penelitian Sain Materi. BATAN. Jakarta.
Syatrianty A Syaiful, M. Amin Ishak, Novaty E. Dungga, Muh. Riadi. 2012. Peran Conditioning Benih dalam Meningkatkan Daya Adaptasi Tanaman Kedelai terhadap Stres Kekeringan. Pertanian untuk Mengentaskan Kemiskinan. Faperta Unhas. Makassar.
Taiz, L. and E. Zeiger. 1998. Plant Physiology. World Press. London.
Adisarwanto, T. 2014. Kedelai Tropika. Produktifitas 3 ton/ha. Penerbit Penebar Swadaya.
Wikipedia. 2015. Pemanfaatan Serbuk Gergaji.
-
Jurnal Hexagro. Vol. 1. No. 1 Februari 2017 ISSN 2459-2691
10
CORRELATION BETWEEN P3A ROLE AND FARMER PARTICIPATION AS THE MEMBER
OF P3A (BASED ON P3A FARMER PERCEPTION OF MEKAR SAUYUNAN IN ANCARAN
KABUPATEN KUNINGAN WEST JAVA)
[Hubungan antara Peranan P3A dengan Partisipasi Petani Anggota P3A]
Dedi Sufyadi 1, dan Tedi Hartoyo1
dedisufyadi@yahoo.co.id
Agriulture Faculty, Siliwangi University, Jalan Siliwangi No. 24 Tasikmalaya, West
Java. Indonesia.
ABSTRACT
This research aims at observing role of P3A in operating and maintaining tertiary irrigation network,
especially the relationship between the role of P3A and participation of farmers in operating and
maintaining tertiary irrigation network based on perception of farmer member of P3A Mekar Sauyunan in
Irrigation Region (DI) Ancaran Kabupaten Kuningan.
The research was conducted through survey method on farmer of P3A Mekar Sauyunan, one of the
five P3A members of GP3A Mitra Cai in Ancaran Kabupaten Kuningan. The research site was determined
purposively, and sample was taken by means of simple random sampling technique.
The hypothesis to be answered was whether or not relationship between role of P3A and level of
participation of farmer in operating and maintaining tertiary irrigation network. In other words, the higher
the role of P3A, the higher the participation of farmer of P3A in operating and maintaining tertiary irrigation
network would be.
The research result indicated that: (1) the role of P3A in operating and maintaining tertiary
irrigation network was running well with the NT of 86.67 percent; (2) the participation of farmer of P3A in
operation and maintaining tertiary irrigation network also has been running well with the NT of 88.08
percent; (3) There was relationship between the role of P3A and participation of farmer of P3A based on
the perception of farmers of P3A Mekar Sauyunan in DI Ancaran KabupatenmKuningan. It was
recommended that government to always take care of farmer interests in order that the role of P3A and
participation of farmer of P3A in operating and maintaining tertiary irrigation network will always run in
better ways.
Keywords: irrigation, role of P3A, participation of farmer.
ABSTRAK
Penelitian ini melihat bagaimana peran P3A dalam operasionalisasi dan pemeliharaan jaringan
irigasi tersier. Utama nya tentang hubungan antara peran P3A dengan partisipasi petani P3A dalam operasionalisasi pemeliharaan jaringan irigasi tersier, berdasarkan persepsi petani P3A Mekar
Sauyunan di Daerah Irigasi (DI) Ancaran Kabupaten Kuningan.
Metode penelitian dilakukan melalui survai pada petani P3A Mekar Sauyunan yang merupakan salah satu dari lima P3A dalam GP3A Mitra Cai di DI Ancaran Kabupaten Kuningan. Penentuan lokasi
penelitian secara purposive dan pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan simple random
sampling.
Kesimpulan sementara yang ingin di jawab yaitu, perihal terdapat hubungan antara peran P3A dengan tingkat partisipasi petani dalam OP jaringan irigasi tersier. Dengan kata lain, semakin tinggi peran P3A
maka semakin tinggi pula partisipasi petani anggota P3A tersebut dalam kegiatan OP jaringan irigasi
tersier.
Hasil penelitian menunjukkan: pertama, peran P3A dalam OP jaringan irigasi tersier telah berjalan
baik dengan NT sebesar 86,67 persen. Ke dua, partisipasi petani P3A dalam OP jaringan irigasi tersier
telah berjalan baik pula dengan NT sebesar 88,08 persen. Ke tiga, ada hubungan antara peran P3A
dengan partisipasi petani P3A, menurut persepsi para petani P3A Mekar Sauyunan di DI Ancaran Kabupaten Kuningan. Disarankan, pemerintah untuk senantiasa peduli terhadap kepentingan para
petani, agar peran P3A dan partisipasi petani P3A dalam OP jaringan irigasi tersier senantiasa
bertumbuh.
Kata Kunci : Irigasi, peran P3A, partisipasi petani.
I. PENDAHULUAN Bahwa, peran Perkumpulan Petani
Pemakai Air (P3A) dalam menjalankan
eksistensi, tujuan dan fungsinya serta dalam memecahkan masalah operasi dan
pemeliharaan jaringan tersier; tampaknya
-
Jurnal Hexagro. Vol. 1. No. 1 Februari 2017 ISSN 2459-2691
11
semakin strategis saja. Menurut Undang-Undang Nomor 7 tahun 2004 tentang
Sumberdaya Air, pasal 41 ayat 3
dikatakan P3A berhak dan bertanggungjawab atas pengembangan
jaringan irigasi tersier. Namun di balik itu
ada nya partisipasi petani dalam
operasionalisasi dan pemeliharaan jaringan irigasi tersier akan jauh lebih
strategis lagi bagi pengelolaan dan
pengembangan irigasi secara keseluruhan.
Melalui program Participatory
Irrigation Sector Proyect (PISP), Kabupaten Kuningan telah menjadi satu daerah yang
cukup menonjol soal keirigasiannya
(KPCMO Program PISP Kabupaten Kuningan, 2009). Sejak tahun 2006 dalam rangka pengembangan dan pengelolaan
system irigasi partisipatif (PPSIP) telah
banyak P3A yang eksis dan bertumbuh tersebar diberbagai Daerah Irigasi (DI).
Eksistensi P3A itu lah yang diharapkan
dapat mendorong terciptanya peningkatan kesejahteraan petani yang sejalan dengan
payung hukum yaitu, Perda Jabar nomor
4 Tahun 2008 pasal 3 : irigasi untuk petani.
Dalam konteks PISP itu lah, ingin
diketahui apakah ada hubungan antara persepsi petani terhadap peran P3A
dengan partisipasi petani dalam
operasionalisasi dan pemeliharaan
jaringan irigasi. Untuk keperluan tersebut penelitian dilakukan pada petani P3A yang
ada di wilayah DI Ancaran Kecamatan
Sindangagung Kabupaten Kuningan. Untuk itu permasalahannya dapat
diidentifikasikan yaitu pertama,
bagaimana peran P3A Mekar Sauyunan dalam operasionalisasi dan pemeliharaan
jaringan irigasi tersier ?. Ke dua,
bagaimana partisipasi petani P3A Mekar Sauyunan dalam operasionalisasi dan
pemeliharaan jaringan irigasi tersier ?.Ke
tiga, bagaimana hubungan antara peran
P3A Mekar Sauyunan dengan partisipasi petani P3A tersebut dalam
operasionalisasi dan pemeliharaan
jaringan irigasi tersier ? Sedangkan kegunaan penelitian
diperuntukkan kepada pertama,
pengembangan profesi dan keilmuan, terutama ilmu Pembangunan pertanian.
Ke dua, ikhtiar mencari justifikasi bagi
kebijakan pengembangan dan pengelolaan irigasi partisipatif, terutama dalam
kaitannya dengan upaya peningkatan
kesejahteraan masyarakat tani.
Berdasarkan apa yang dipikirkan, maksud dari pada penelitian ini, dapat di
pandang sebagai justifikasi bagi penting
nya pembangunan pertanian yang mengusung penguatan kelembagaan dan
kesejahteraan petani. Berbicara tentang
peran P3A dan partisipasi petani dalam OP
jaringan irigasi tersier, ibarat membicarakan wadah dan isi. Dalam hal
ini tentu nya ada nya partisipasi petani itu
lah yang akan menciptakan keberhasilan pembangunan irigasi di negeri ini.
Diyakini partisipasi petani sebagai isi akan
meningkatkan peran P3A dalam menjalankan eksistensi, tujuan dan fungsi
nya sebagai wadah.
Menurut Pakpahan, A (1991) bahwa, bentuk organisasi berdampak
terhadap kinerja produksi, penggunaan
input, kesempatan kerja; perolehan hasil
dan kelestarian lingkungan. Seberapa jauh organisasi yang di rekayasa di terima
masyarakat bergantung pada struktur
wewenang, kepentingan individu, keadaan masyarakat; adat dan kebudayaan. Hal ini
mengisyaratkkan bahwa organisasi yang
mempunyai nilai-nilai dan norma yang mampu mengatur anggota nya berperilaku
selaras dengan lingkungannya akan
mencerminkan suatu totalitas kinerja kehidupan sosial yang khas, organisasi-
organisasi tradisional pengelola irigasi
yang sampai saat ini bertahan (seperti
subak di Bali) membuktikan betapa penting nya organisasi dalam suatu
pengelolaan air.
Menurut Rahim Darmo dan Letty Fudjaja (2011), fungsi organisasi P3A adalah mendorong anggota nya untuk
mengatur penggunaan air secara efisien dan efektif. Hal ini dapat dicapai
mengingat bahwa organissasi merupakan
fitur kehidupan sosial yang terdiri dari
jejaring (network), norma (norm); kepercayaan (trust) yang mampu
menggerakkan partisipasi anggota
kelompok untuk mencapai tujuan bersama.
Menurut Siti Asmaul Mustanirah (2001), pembentukan P3A diharapkan dapat meningkatkan kemampuan petani dalam melaksanakan operasi dan
pemeliharaan pada gilirannya dapat
meningkatkan produksi dan kesejahteraan petani. Begitu juga menurut
Rizki Akbar Maulana (2012), P3A diharapkan dapat lebih berperan dalam pengelolaan irigasi untuk mengatasi
masalah pemeliharaan tersebut. Peran
-
Jurnal Hexagro. Vol. 1. No. 1 Februari 2017 ISSN 2459-2691
12
P3A yang ada sekarang masih `terbatas dan belum mengarah kepada peningkatan
fungsi dan peran dalam pengembangan
dan pengelolaan irigasi.
Conchelos (1985) dalam Ganjar Kurnia (2004), membagi partisipasi menjadi dua jenis, yaitu partisipasi dalam
pengertian teknis dan partisipasi dalam pengertian politik. Partisipasi teknis
diartikan sebagai taktik untuk
mengikutsertakan masyarakat di dalam aktifitas : mendefinisikan masalah,
mengumpulkan data, menganalisa data
dan mengimplementasikan hasil nya. Secara umum partisipasi ini seringkali
diartikan sebagai keikutsertaan
masyarakat di dalam setiap tahapan
kegiatan pembangunan, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, evalluasi dan
memanfaatkan hasil. Partisipasi secara
politik diartikan sebagai pemberian kekuasaan dan kontrol kepada
masyarakat melalui pemberian pilihan-
pilihan untuk beraksi, berotonomi dan berefleksi terutama melalui
pengembangan dan penguatan
kelembagaan. Partisipasi yang dianggap betul-
betul partisipasi adalah self mobilisation
(mandiri). Pada partisipasi tipe ini,
masyarakat berpartisipasi dengan mengambil inisiatif secara bebas (tidak
dipengaruhi/ditekan piihak luar) untuk
mengubah sistem-sistem atau nilai-nilai yang mereka miliki. Masyarakat
mengembangkan kontak dengan lembaga-
lembaga lain untuk mengembangkan kapasitas diri nya dan masyarakat
memegang kendali atas pemanfaatan
sumberdaya yang ada. Kesimpulan sementara yang
diajukan dalam penelitian ini yaitu,
terdapat hubungan antara peran P3A
dengan tingkat partisipasi petani dalam operasionalisasi dan pemeliharaan
jaringan irigasi tersier.
II. METODE PENELITIAN
Penelitian ini akan dilaksanakan dengan
menggunakan metode survei di Daerah Irigasi (DI) Ancaran Kabupaten
Kuningan. Lokasi penelitian ditentukan
secara purposif pada salah satu P3A dari empat P3A yang berada di wilayah DI
tersebut. Perlu diketahui bahwa, P3A
Mekar Saluyu yang terpilih hanyalah
didasarkan pada kemampuan finansial peneliti semata.
Pengambilan sampel ditentukan dengan cara simpel random sampling pada
satuan populasi petani anggota P3A Mekar
Saluyu sebanyak 296 orang. 33 orang petani sampel yang teranalisis dapat di
anggap cukup reprenstatif dan memenuhi
syarat ilmiah.
Data yang dikumpulkan terdiri atas data primer dan data sekunder. Data
primer diperoleh dari hasil wawancara
langsung dengan petani P3A Mekar Saluyu melalui kuesioner yang telah disiapkan
terlebih dahulu. Data sekunder diperoleh
dari studi kepustakaan, serta instansi yang terkait dengan penelitian ini. Jadi
wilayah studi berada di lapangan dan
perkantoran. Variabel penelitian secara garis besar
terdiri dari dua variabel yaitu, variabel
peranan P3A dan variabel partisipasi
petani anggota P3A. Peran P3A di sini yaitu keterlibatan P3A dalam kegiatan OP
jaringan irigasi tersier. Variabel ini di
bangun oleh empat indikator. Selanjutnya indikator-indikator variabel peran P3A
tersebut (Harun Al Rasyid, 1995) diklassifikasikan dengan kategori sebagai berikut :
Klassifikasi = max
, sehingga
peran P3A dapat diklassifikasikan :
Tinggi = 13 18, Sedang = 8 12, Rendah = 3 7
Sedangkan, yang dimaksud dengan
partisipasi petani yaitu, partisipasi petani atau keikut sertaan petani anggota P3A
dalam kegiatan OP jaringan irigasi tersier.
Variabel ini di bangun oleh empat indikator pula.
Peran P3A dan partisipasi petani
dalam operasionalisasi dan pemeliharaan
jaringan irigasi tersier di analisis dengan menggunakan analisis Nilai Tertimbang
(NT), menggunakan rumus sebagai berikut
:
NT = %100xidealskor
dicapaiyangSkor
Skor ideal merupakan skor tertinggi
dari variabel dan indikator, berdasarkan item jumlah pertanyaan dalam kuesioner,
sedangkan skor yang di capai berasal dari
skor variabel dan indikator-indikator nya yang di dapat dari jawaban pertanyaan-
pertanyaan yang diajukan (Djoni, 1998). Peran P3A dan partisipasi petani
anggota P3A tersebut di dasarkan pada
persepsi petani anggota P3A itu sendiri.
Analisis dilakukan dengan menggunakan
-
Jurnal Hexagro. Vol. 1. No. 1 Februari 2017 ISSN 2459-2691
13
analisis Nilai Tertimbang (NT), menggunakan rumus sebagai berikut :
NT = %100x
idealskor
dicapaiyangSkor
Skor ideal merupakan skor tertinggi
dari variabel dan indikator, berdasarkan
item jumlah pertanyaan dalam kuesioner,
sedangkan skor yang di capai berasal dari skor variabel dan indikator-indikator nya
yang di dapat dari jawaban pertanyaan-
pertanyaan yang diajukan (Djoni, 1998). Hipotesis penelitian yang diajukan,
di uji oleh uji korelasi rank sperman. Alat
uji ini dapat di simak di bawah ini, dengan
rumus sebagai berikut:
:
6
12
1
2
NN
d
r
N
i
i
s
jika sedikit rank kembar atau tidak ada sama sekali.
Keterangan : rs = Korelasi Rank Spearman
di = Perbedaan antara jumlah rank X dan rank Y
N = Jumlah responden
22
222
.2 YX
dYXr is
jika cukup banyak rank kembar
Keterangan:
rs = Korelasi Rank Spearman T = Faktor Koreksi
t = Banyak Kembaran data
di = Perbedaan antara rank x dan y
Untuk sampel besar jika N > 10, penentuan signifikasi rs diuji dengan :
thit = 2)(1/2 ss rNr
Untuk hipotesis yang diajukan, maka thit dibandingkan dengan ttab, db = N 2. Hipotesis yang diajukan sebagai berikut:
Ho : 0 : Tidak terdapat hubungan antara peran P3A dengan partisipasi petani anggota P3A tersebut dalam kegiatan OP jaringan irigasi tersier.
H1 : 0 : Terdapat hubungan antara peran P3A dengan partisipasi petani anggota P3A tersebut dalam kegiatan OP jaringan irigasi tersier.
Kriteria uji yang digunakan untuk
menetapkan keputusan hipotesis tersebut adalah:
Terima Ho atau tolak H1, jika thit < ttab Tolak Ho atau terima H1, jika thit ttab.
Penelitian ini dilakukan di P3A
Mekar Sauyunan Daerah Irigasi Ancaran Kabupaten Kuningan. Ada pun waktu
penelitian di bagi menjadi beberapa
tahapan sebagai berikut : 1) Tahap persiapan yaitu penyusunan
usulan penelitian dilaksanakan pada
bulan Mei 2013.
2) Tahap pengumpulan Data di lapangan
pada bulan Agustus 2013. 3) Tahap pengolahan data dan penulisan
hasil penelitian dilaksanakan pada
bulan November 2013 sampai dengan selesai.
III. HASIL PENELITIAN DAN
PEMBAHASAN
Persepsi Petani P3A Terhadap Peran P3A dalam Operasi Pemeliharaan
Jaringan Irigasi Tersier
Hasil penelitian menunjukkan bahwa, secara keseluruhan peran P3A
dalam skor operasi dan pemeliharaan
jaringan irigasi tersier berkategori tinggi dengan nilai skor 52 dan nilai tertimbang
86,67. Hal ini berarti bahwa, secara umum peran P3A dirasakan sangat penting.
Eksistensi P3A yang ada saat ini
berada pada kategori baik dengan skor rata-rata yang diperoleh sebesar 20,15
dari skor ideal 21 dengan nilai tertimbang
sebesar 95,95 persen. Hal ini berarti bahwa persepsi para petani P3A terhadap
eksistensi P3A yang ada saat ini dapat
-
Jurnal Hexagro. Vol. 1. No. 1 Februari 2017 ISSN 2459-2691
14
dikatakan baik. Baik dalam arti P3A itu sudah dapat dirasakan manfaat nya
dalamm memenuhi kebutuhan air,
pengurus nya sudah diakui; dan memiliki
badan hukumm. Memang menurut Hari Prasetijo (2011) bahwa, Himpunan Petani Pemakai Air (HIPPA) atau P3A harus
berbentuk badan hukum, pemerintah sebagai fasiilitator, motivator,
mengadakan kerjasama pengelolaan,
menyediakan tenaga pendamping, sarana produksi, dan memmfasilitasi
pembentukan koperasi serba usaha.
Tujuan P3A berada pada kategori baik juga dengan skor rata-rata yang
diperoleh sebesar 10,97 dari sor ideal 12
dengan nilai tertimbang sebesar 91,42
persen. Ini mengandung arti bahwa, persepsi para petani P3A terhadap tujuan
P3A dapat dikatakan baik. Baik dalam arti
tujuan P3A itu sudah sesuai dengan AD/ART, sudah dimengerti dan sudah
sesuai dengan keinginan para petani.
Pemecahan masalah yang dilakukan P3A berada pada kategori baik dengan
skor rata-rata yang diperoleh sebesar
12,27 dari skor ideal 15 dengan nilai tertimbang sebesar 81,80 persen. Hal ini
berarti bahwa, persepsi para petani P3A
terhadap ihwal pemecahan masalah yang
dilakukan P3A ternyata di pandang baik. Baik dalam arti layanan P3A sudah
dirasakan ada hasil nya seperti debit air
relatif tinggi dan sistem giliran sudah relatif optimal.
Fungsi P3A berada pada kategori
baik juga dengan skor rata-rata yang diperoleh sebesar 8,61 dari skor ideal 12
dengan nilai tertimbang sebesar 71,75
persen. Hal ini berarti bahwa, persepsi para petani P3A terhadap fungsi P3A
dapar dikatakan baik. Baik dalam arti P3A
telah aktif menjalankan fungsi nya seperti,
dalam mengumpulkan iuran P3A dan melindungi kebutuhan air irigasi anggota
nya.
Dari ke empat indikator yang berkaitan dengan peran P3A dalam operasi
dan pemeliharaan jaringan irigasi tersier
di atas, dapat lah diindikasikan bahwa,peran P3A dalam operasi dan
pemeliharaan jaringan irigasi tersier itu
baik. Dengan kata lain, secara konsepsional maupun operasional, peran
P3A dalam operasi dan pemeliharaan
jaringan irigasi tersier di P3A Mekar
Sauyunan itu sudah baik, walau pun memang keberfungsiannya masih harus
ditingkatkan.
Partisipasi Petani P3A dalam Operasi dan Pemeliharaan Jaringan Tersier
Partisipasi petani P3A dalam operasi
dan pemeliharaan jaringan irigasi tersier secara keseluruhan berdasarkan hasil
penelitian berada pada kategori tinggi
dengan nilai skor 42,28 dari nilai ideal 48
dengan nilai tertimbang sebesar 88,08 persen. Hal ini mengandung arti bahwa
tingkat partisipasi petani P3A Mekar
Sauyunan telah ikut serta dalam mengoperasikan `dan memelihara
jaringan irigasi tersier. Namun dikatakan
oleh Ida Dewi Yuliawati (1997) bahwa, pengalaman usahatani dan status
penggarapan lahan berpengaruh negatif
terhadap tingkat partisipasi petani dalam pengelolaan jaringan irigasi, sedangkan
jarak lahan terhadap pusat bendungan air
dan umur petani berpengaruh positif.
Rapat anggota berada pada kategori tinggi dengan skor rata-rata yang
diperoleh sebesar 10,73 dari skor ideal
sebesar 12 dengan nilai tertimbang sebesar 89,42 persen. Hal ini berarti
bahwa partisipasi petani P3A dalam rapat
anggota sebesar 89,42 persen. Dalam satu musim terakhir rapat anggota diikuti oleh
petani P3A rata-rata sebanyak dua kali.
Partisipasi petani P3A dalammengikuti rapat anggota ini di ukur di samping
dengan melihat intensitas keikutsertaan
juga di lihat dari segi pengetahuan tentang
tugas, fungsi dan wewenanng rapat itu sendiri, banyak nya gagasan/saran/ ide
dalam satu kali kegiatan rapat anggota;
dan tingkat penerimaan dari forum terhadap saran/gagasan/ide tersebut.
Rencana kerja berada pada kategori
tinggi dengan skor rata-ratayang diperoleh sebesar 9,61 dari skor ideal sebesar 12
dengan nilai tertimbang sebesar 80,08
persen. Hal ini berarti bahwa partisipasi petani P3A dalam menyusun rencana
kerja sebesar 80,08 persen. Dalam satu
musim terakhir membuat rencana kerja
diikuti oleh petani P3A rata-rata sebanyak satu kali. Partisipasi petani P3A dalam
menyusun rencana kerja ini di ukur juga
melalui tingkat pengetahuan akan manfaat rencana kerja dalam P3A, banyak
nya gagasan/ide/saran yang
dikemukakan dalam satu kali pembuatan rencana kerja; dan tingkat penerimaan
dari forum terhadap saran/gagasan/ide
tersebut. Memelihara jaringan berada pada
kategori tinggi dengan skor rata-rata yang
diperoleh sebesar 11,82 dari skor ideal
-
Jurnal Hexagro. Vol. 1. No. 1 Februari 2017 ISSN 2459-2691
15
sebesar 12 dengan nilai tertimbang sebesar 98,50 persen. Hal ini berarti
bahwa, partisipasi petani P3A dalam
memelihara jaringan tersier sebesar 98,50 persen. Dalam satu musim terakhir
memelihara jaringan tersier diikuti oleh
petani P3A rata-rata sebanyak dua kali.
Partisipasi petani P3A dalam memelihara jaringan irigasi tersier ini di ukur juga
melaluitingkat pengetahuan akan manfaat
pemeliharaan jaringan irigasi itu dalam P3A, tingkat pengetahuan akan kegiatan
gotong royong dalam rangka pemeliharaan
jaringan irigasi yang dilaksanakan oleh P3A.
Membayar iuran berada pada
kategori tinggi dengan skor rata-rata yang diperoleh sebesar 10,12 dari skor ideal
sebesar 12 dengan nilai tertimbang
sebesar 84,33 persen. Hal ini berarti
bahwa, partisipasi petani P3A dalam membayar iuran sebesar 84,33 persen.
Partisipasi petani P3A dalam membayar
iuran ini di ukur melalui tingkat sumber dana bagi pemeliharaan jaringan irigasi
tersier, tingkat kesukaan membayar iuran
pokok; tingkat kesukaan membayar iuran khusus; tingkat teguran dari pengurus
P3A akibat keterlambatan dalam
membayar iuran. Perlu diketahui menurut Rahim Darmo dan Letty Fudjaja (2011) bahwa, faktor-faktor yang menyebabkan
petani tidak membayar IPAIR adalah
karena gagal panen, akibat kekurangan air, pengurus yang kurang aktif, tempat
tinggal pengurus yang tidak
beradapadahamparan pemukiman yag sama dengan anggota. Memang menurut
Helmi (2011) pun, penyerahan urusan pemungutan dan pengelolaan dana IPAIR yang otonom dapat mendorong partisipasi
pettani dalam membayar iuran.
Hubungan antara Persepsi petani P3A terhadap Peran P3A dengan Partisipasi
Petani P3A dalam Operasi dan
Pemeliharaan Jaringan Irigasi Tersier
Melalui perhitungan yang di bantu oleh program SPSS, hubungan antara
persepsi petani P3A terhadap peran P3A
dengan partisipasi petani P3A dalam opetrasi dan pemeliharaan jaringan irigasi
tersier dapat dimunculkan. Nilai-nilai
pada program SPSS menunjukkan bahwa, nilai degree of freedom (df) adalah 0,01. Nilai koefisien korelasi Rank Spearman (rs)
sebesar 0,543. Hal ini dapat diartikan
bahwa, besar nya hubungan antara persepsi petani P3A terhadap peran P3A
dengan partisipasi petani P3A dalam
operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi tersier sebesar 54,30 persen.
Hasil uji hipotesis menunjukkan
bahwa, terdapat hubungan yang sangat nyata antara persepsi petani P3A terhadap
peran P3A dengan tingkat partisipasi
petani P3A, pada level 0,01. Dengan
demikian dapat disimpulkan menolak Ho dan menerima Hi. Hal ini sejalan dengan
pendapat masyarakat bahwa, jika lembaga
itu baik dalam arti pengurus nya menjalankan tugas dengan benar, maka
partisipasi mayarakat mudah terangkat.
Dikatakan oleh Soekanto (2009) bahwa, peranan merupakan proses
dinamis kedudukan (status). Apabila
seseorang melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan
kedudukannya, dia menjalankan suatu
peranan. Dalam hal ini dapat
ditambahkan bahwa, kunci sukses organisasi sangat tergantung dari ada nya
dinamika sumberdaya manusia. Oleh
karena itu lah dinamika peran organisasi akan sejalan dengan dinamika partisipasi
anggota organisasi tersebut.
IV. SIMPULAN DAN SARAN.
Simpulan.
Menurut persepsi petani P3A dalam operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi
terssier berada pada kategori baik dengan
nilai tertimbang sebesar 86,67 persen.
Dengan kata lain, P3A Mekar Sauyunan telah memperlihatkan eksistennsi nya,
melaksanakan tujuan organisasi,
berfungsi dan dapat memecahkan permasalahan dengan baik.Ke dua,
partisipasi petani P3A dalam operasi dan
pemeliharaan jaringan irigasi tersier berada pada kategori baik dengan nilai
tertimbang sebesar 88,08 persen. Dengan
kata lain petani P3A Mekar Sauyunan telah berpartisipasi aktif mengikuti rapat
anggota, menyusun rencana kerja; turut
memelihara jaringan irigasi tersier; dan
membayar iuran dengan baik. Ke tiga, terdapat hubungan antara peran P3a
dengan tingkat partisipasi petani P3A
dalam opersionalisasi dan pemeliharaan jaringan irigasi tersier. Dengan kata lain
dinamika peran organisasi sejalan dengan
dinamika partisipasi anggota organisasi tersebut.
Saran.
Berdasarkan kesimpulan dapat disarankan bahwa, pemerintah
diharapkan senantiasa peduli terhadap
kepentingan para petani, agar peran P3A
-
Jurnal Hexagro. Vol. 1. No. 1 Februari 2017 ISSN 2459-2691
16
dan partisipasi petani P3A dalam operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi tersier
senantiasa bertumbuh.
DAFTAR PUSTAKA
Pakpahan, Agus.1991. Kerangka Analitik untuk Penelitian Rekayasa Sosial : Perspektif Ekonomi Institusi. Prosiding Evaluasi Kelembagaan, Pedesaan. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi
Pertanian. Bogor. Djoni. 1998. Hubungan Interpersonal,
Kelompok, dan Lingkungan serta Pengaruhnya terhadap Keefektifan Kelompok. Studi Mengenai Usahatani Terpadu di Kalangan Kelompok Tani di Jawa Barat Bagian Timur. Disertasi.
Universitas Padjadjaran. Bandung. Ganjar Kurnia. 2004. Petani, Pejuang Yang
Terpinggirkan. Depdiknas. UNPAD Bandung.
Hari Prasetijo.2011. Studi Pemberdayaan Lembaga Pengelola Jaringan Irigasi di Tingkat Desa. Fak. Teknik Univ Brawijaya. Malang.
Harun Al Rasyid. 1991. Teknik Sampling dan Teknik Penyusunan Skala. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kopertis Wilayah IV.
Bandung.
Helmi. 2001. Peranan Lembaga P3A/Kejruenblang Dalam Konteks Otonomi Daerah Tentang Air Irigasi di Provinsi Aceh. Jurusan Agroteknologi Fakultas Pertanian Unsyiah. Banda Aceh.
Ida Dewi Yuliawati. 1997. Analisis Faktor-faktor yang Di duga Mempengaruhi Tingkat Partisipasi Petani dalam Pengelolaan Jaringan Irigasi di Tingkat Tersier (Study Kasus Desa Mandopo, Kecamatan Dawuan, Kabupaten Majalengka. Jurusan Sosial. Fakultas Pertanian. IPB.
KPCMO Program PISP Kab. Kuningan.
2009. Laporan Kegiatan Participatory Irrigation Sector Project (PISP).
Perda Jabar nomor 4 Tahun 2008. Tentang Irigasi. Rahim Darma dan Letty Fudjaja. 2011.
Penguatan P3A untuk Pengelolaan IPAIR dan Pemeliharaan Saluran Irigasi di Kabupaten Pinrang. Jurnal
Agrisistem Vol 7 No 1. ISSN. 2089-0036.
Rizki Akbar Maulana. 2012. Operasi dan Pemeliharaan Irigasi Partisipatif di Cihea. Rizki_AkbarM@com
Siti Asmaul Mustanirah. 2001. Evaluasi Aspek Kelembagaan Pengelolaan Jaringan Irigasi di Tingkat Petani Pada Usahatani Padi Sawah di Kabupaten Banjarbaru Kalimantan Selatan. Jurnal Teknologi Pertanian. Vol 2, no 2, Agustus 2001.
Soekartawi. 2005. Prinsip Dasar
Komunikasi Pertanian. Jakarta. UI
Press. Soekanto,S. 2009. Sosiologi Suatu
Pengantar. Edisi Baru. Rajawali Press. Jakarta.
Undang-Undang nomor 7 Tahun 2004.
Tentang Sumberdaya Air.
-
Jurnal Hexagro. Vol. 1. No. 1 Februari 2017 ISSN 2459-2691
17
THE ADDED VALUE OF SHREDDED LELE AND PATIN CATFISH.
(NILAI TAMBAH AGROINDUSTRI ABON IKAN LELE DAN IKAN PATIN DI
TASIKMALAYA)
Ristina Siti Sundari1, Andri Kusmayadi2, Dona Setia Umbara3
Ristina Siti Sundari 1 ristina.sitisundari@yahoo.com Andri Kusumayadi2 andrikusmayadi@ugm.ic.id
Dona Setia Umbara3 dsu_corry@yahoo.com
*Universitas Perjuangan Tasikmalaya, Jl. Peta No. 177 Tasikmalaya
ABSTRACT Fish is not only perishable product but also has segmented market. Consumption market such
wants the fresh fish and certainty size. The problem is when the size of fish is too big for consumption, so that product is not wanted by consumer anymore. This research aimed at knowing the added value of shredded Lele and Patin catfish agribusiness and increasing prosperity of humanitarian society throughout processing the shredded catfishes.The data of this research was analyzed by Added Value Analysis of Hayami.
The result showed that the shredded product of Lele catfish gave the added value 14.295,00 IDR per kilogram with the added value ratio was 25,53 percent and Conversion value was 0,35. Whereas, the shredded product of Patin catfish gave the added value 18.295,00 IDR per kilogram with the added value ratio was 29,04 percent and Conversion value was 0,35.
The agribusiness toward processing and marketing of shredded Lele and Patin ccatfish was innovative agribusiness that caould develop business opportunity so that it could move on the economical wheel and increasing humanitarian society prosperity actively. The market demand was still very wide either in town or out of town. The partnership among various not only government but also non government associations would be a good matter toward this agribusiness is running well. Key Words: Added Value, Lele Patin, Shredded
ABSTRAK
Ikan merupakan produk yang tidak tahan lama dan memiliki segmen pasar tertentu. Pasar
konsumsi seringkali menginginkan ikan segar dengan ukuran tertentu.biasanya makin besar
ukuran ikan, nilai jualnya makin turun. Sehingga jika penjual tidak bisa menghabiskan jualannya
maka ikan harus dibiarkan hidup dan membutuhkan biaya tambahan untuk pakan dan
pemeliharaannya, sedangkan pangasa pasar ikan ukuran besar sangat terbatas. Maka ikan yang
kurang laku tersebut diolah menjadi abon ikan dimana di jawa barat produksi abon ikan tidak
sebanyak abon sapi yang sudah populer terlebih dahulu.
Penelitian ini merupakan studi kasus dan dianalisis dengan metode Hayami. Ikan yang digunakan
adalah ikan lele (Clarias sp) dan ikan Patin (Pangasius pangasius). Data yang dikumpulkan terdiri
dari data primer dan data sekunder yang diperoleh melalui praktek pengolahan dan analisis
deskriptif nilai tambah metode Hayami.
Hasil penelitian menunjukkan Produk abon ikan lele memberikan nilai tambah sebesar Rp.
14.295,00 rasio nilai tambah sebesar 25,53 persen dengan nilai konversi sebesar 0,35. Produk
abon ikan patin memberikan nilai tambah sebesar Rp. 18.295,00. Rasio nilai tambah sebesar 29,04
persen dengan nilai konversi sebesar 0,35.
Kata Kunci: Nilai Tambah, Abon, Lele, Patin
PENDAHULUAN
Hasil perikanan Indonesia, baik dalam bentuk segar maupun olahan,
semakin diminati pasar dalam maupun
luar negeri. Masalah yang dihadapi
adalah produk ikan dalam bentuk segar dapat mengalami kemunduran mutu
misalnya cepat membusuk. Oleh karena
itu perlu upaya mempertahankan mutu dengan cara penanganan yang tepat.
dalam bentuk olahan. Bahkan dengan
cara mengawetkan dan mengolahnya
sehingga secara ekonomis nilai tambah produk juga meningkat. (Afrianto dan
Liviawaty, 2008). Potensi sumberdaya
perikanan dan kelautan di Jawa Barat
cukup besar baik dari aspek perikanan tangkap ataupun budidaya. Total
produksi perikanan budidaya Jawa
Barat pada tahun 2012 mencapai 580.244,07 ton yang tersebar di seluruh
wilayah pedesaan Jawa barat seperti di
mailto:ristina.sitisundari@yahoo.commailto:andrikusmayadi@ugm.ic.id
-
Jurnal Hexagro. Vol. 1. No. 1 Februari 2017 ISSN 2459-2691
18
Kabupaten Bogor, Subang, Sukabumi dan Tasikmalaya. Jenis ikan
yang banyak dipelihara antara lain ikan
Nila (Oreocromis sp), Mas (Cyprinus carpio), Patin (Pangasius sp), Gurame (Asphronemus gourami), Lele (Clarias sp) dan Bawal (Pampus argentus sp) (Dinas Perikanan dan Kelautan, 2012). Ikan juga merupakan bahan makanan yang
banyak dikonsumsi masyarakat sehari-
hari di samping peruntukan lain seperti ekspor dan industri.
Pengawetan ikan secara
tradisional dengan mengurangi kadar air
dalam tubuh ikan misalnya melalui pengeringan sehingga tidak memberikan
kesempatan bagi bakteri untuk
berkembang biak. Untuk mendapatkan hasil awetan yang bermutu diperlukan
perlakuan yang baik selama proses
pengawetan seperti mmenjaga kebersihan bahan dan alat yang
digunakan dan menggunakan ikan yang
masih segar. Cara pengawetan ikan seperti dengan penggaraman,
pengeringan, pengasapan, peragian,
pendinginan atau pembekuan,
pemindangan, digoreng dan dibuat abon.
Abon ikan merupakan jenis
makanan olahan ikan yang diberi bumbu, diolah dengan cara perebusan
dan penggorengan. Produk yang
dihasilkan mempunyai bentuk lembut, rasa enak dan mempunyai daya awet
yang relatif lama (Suryani, 2007)
mencapai lebih dari enam bulan. Sementara menurut Karyono dan
Wachid (2012), abon ikan adalah produk
olahan hasil perikanan yang dibuat dari
daging ikan, kombinasi dari proses penggilingan dan penggorengan.
Peralatan yang dibutuhkan pun relatif
sederhana sehingga untuk memulai usaha ini relatif tidak memerlukan biaya
investasi yang besar. Oleh sebab itu,
usaha pengolahan abon ikan ini bisa dilakukan dalam skala usaha kecil. Hal
ini membuat usaha ini sangat berpotensi
untuk dikembangkan di banyak wilayah di Indonesia yang memiliki sumberdaya
perikanan yang melimpah (Nugraha,
Satriya, 2004).
Bahan baku ikan lele dan ikan patin yang digunakan untuk pembuatan
abon sekarang banyak dibudidayakan,
produk yang diserap pasar, modal relatif terjangkau, dapat diproduksi di rumah
dengan teknologi yang relatif sederhana
dan dapat dikerjakan oleh pria maupun wanita. Usaha pembuatan abon ini
mudah dipelajari dan diaplikasikan
sehingga tinggal kemauan yang kuat untuk menjadikan usaha abon ikan
yang bisa menggerakkan roda
perekonomian masyarakat.
Dengan demikian, kegiatan agroindustri pengolahan ikan memiliki
nilai tambah dari pada ikan segarnya
saja. Sehubungan dengan hal tersebut untuk mengetahui nilai tambah pada
usaha pengolahan ikan lele dan ikan
patin menjadi abon, maka penulis tertarik untuk mengetahui lebih jauh
pengolahan abon kedua ikan tersebut,
berapa besar nilai tambah yang bisa diperoleh dari usaha pengolahan abon
ikan lele dan ikan patin
Kerangka Pemikiran Potensi perikanan selain
ditingkatkan dalam upaya peningkatan
hasil tangkapan maupun budidaya, juga perlu ditingkatkan kualitasnya melalui
proses pengolahan sehingga memiliki
nilai tambah yang lebih menguntungkan. Menurut Afrianto dan
Liviawaty (2008) ada beberapa aspek
yang dapat mempengaruhi perkembangan usaha agroindustri
pengolahan ikan, di antaranya adalah:
regulasi dan kelembagaan, informasi
ketersediaan ikan sebagai bahan baku, data dan informasi kondisi sarana dan
prasarana dalam mengembangkan
agroindustri, data dan informasi teknologi yang mendukung, data dan
informasi modal yang diperlukan untuk
kesinambungan permintaan dan penawaran hasil agroindustri dan
informasi pasar hasil agroindustri
olahan abon berbahan baku ikan. Nilai tambah adalah pertambahan
nilai suatu komoditas karena mengalami
proses pengolahan, pengangkutan atau penyimpanan dalam suatu proses
produksi (penggunaan/ pemberian input
fungsional). Nilai tambah dipengaruhi
oleh faktor teknis dan faktor pasar. Kapasitas produksi, jumlah bahan baku
yang digunakan serta tenaga kerja
merupakan faktor teknis yang berpengaruh, sedangkan faktor pasar
dipengaruhi oleh harga output, upah
tenaga kerja, harga bahan baku dan nilai input lain. Sedangkan menurut
Hayami, dkk (2005) definisi nilai tambah adalah pertambahan nilai suatu
-
Jurnal Hexagro. Vol. 1. No. 1 Februari 2017 ISSN 2459-2691
19
komoditi karena adanya input fungsional yang diberlakukan pada
komoditi yang bersangkutan. Input
fungsional tersebut berupa proses
merubah bentuk (form utility), memindahkan tempat (place utility) maupun menyimpan (time utility). Nilai tambah merupakan selisih antara nilai komoditas yang mendapatkan
perlakuan pada tahap tertentu
dikurangi dengan nilai korbanan yang digunakan selama proses produksi
berlangsung. Nilai tambah dipengaruhi
oleh dua faktor yaitu faktor teknis dan
faktor ekonomis. Faktor teknis dipengaruhi oleh kapasitas produksi,
jumlah bahan baku dan tenaga kerja
yang digunakan. Faktor ekonomis dipengaruhi oleh harga output, upah
tenaga kerja, harga bahan baku dan
harga input lain. Agroindustri pengolahan abon
ikan sangat penting artinya bagi
peningkatan diversifikasi produk dan dalam menciptakan nilai tambah.
Konsep pendukung dalam nilai tambah
adalah faktor konversi, koefisien tenaga
kerja dan nilai tambah produk. Faktor konversi menunjukkan banyaknya
tenaga kerja yang diperlukan untuk
mengolah satu satuan input, nilai produk menunjukkan nilai output per satuan input. Jadi nilai tambah merupakan selisih dari nilai output dengan harga bahan baku dan sumbangan input lain. Persentase nilai tambah dari nilai output disebut Rasio Nilai Tambah. Pendapatan tenaga kerja menunjukkan upah yang diterima
tenaga kerja untuk mengolah satu
satuan bahan baku. Keuntungan menunjukkan pendapatan yang diterima
pengusaha sebagai pengelola dalam
usaha tersebut, sedangkan tingkat
keuntungan menunjukkan persentase keuntungan dari nilai output. (Hayami,
dkk. 2005)
Hasil penelitian Vagar Basma, dkk (2010) pada pengolahan abon sapi yang
dilakukan di Ciamis menunjukkan
bahwa nilai tambah dari 1 kilogram bahan baku daging sapi adalah sebesar
30,86 persen. Sedangkan Arista Henry
Untari (2014) melakukan penelitian
Analisis Nilai Tambah pada Industri Abon dan Dendeng Sapi di Kota
Surakarta menyimpulkan bahwa nilai
tambah olahan abon sapi sebesar Rp. 17.323,76 per kilogram dan nilai tambah
dendeng sapi sebesar Rp. 19.120,63 per kilogram. Keuntungan pada industri
abon sapi sebesar Rp. 7.796.818,54 per
bulan sedangkan pada industri dendeng sapi lebih kecil yaitu Rp. 1.123.993,31
per bulan.
METODE PENELITIAN Obyek penelitian dilakukan
secara sengaja (Purposive), yaitu metode yang bersifat tidak acak akan tetapi dipilih berdasarkan pertimbangan
tertentu (Singarimbun dan Efendi,
2006). Penelitian yang dilaksanakan ini bersifat deskriptif. Metode yang
digunakan dalam penelitian agroindustri
abon ikan patin dan ikan lele ini adalah praktek membuat abon.
Data yang dikumpulkan dalam
penelitian ini adalah: Data primer, yaitu
data yang diperoleh dari hasil pembuatan abon langsung dan Data
sekunder, yaitu data yang diperoleh dari
hasil studi pustaka, jurnal penelitian, bahan publikasi dan Dinas terkait. Data
dianalisis selama satu periode
pengolahan abon ikan lele dan patin. Variabel-variabel yang diukur pada
penelitian sebagai berikut:
a. Produk (output) adalah hasil olahan ikan patin dan ikan lele berupa produk abon dalam satu kali proses
produksi.
b. Input adalah bahan baku berupa ikan patin dan ikan lele segar diukur
dalam satuan kilogram
c. Tenaga Kerja adalah jumlah hari kerja dalam satu kali proses
produksi, dinilai dalam satuan
rupiah. d. Faktor Konversi adalah banyaknya
output yang dihasilkan dari beratnya
(kg) input bahan baku.
e. Koefisien tenaga kerja adalah banyaknya tenaga kerja yang
diperlukan untuk mengolah abon
ikan lele dan abon ikan patin dalam satu periode produksi.
f. Harga output adalah harga jual
produk abon ikan patin dan ikan lele diukur dalam satuan rupiah.
g. Upah tenaga kerja adalah besarnya
upah yang diterima oleh tenaga kerja dalam satu kali proses produksi.
h. Harga bahan baku (input) adalah
harga beli ikan patin dan ikan lele
segar dihitung dalam Rp/kg. i. Sumbangan Input Lain adalah biaya
bahan selain bahan baku (ikan patin
-
Jurnal Hexagro. Vol. 1. No. 1 Februari 2017 ISSN 2459-2691
20
dan ikan lele segar) dan tenaga kerja dinilai dalam satuan rupiah. Berikut
adalah sumbangan input lain dalam
proses pengolahan ikan lele dan ikan patin: Listrik dalam satuan Rp/kwh;
Plastik kemasan dihitung dalam
satuan Rp/buah; Label kemasan
dihitung dalam satuan Rp/pasang; Bawang putih dihitung dalam satuan
Rp/ons; Bawang merah dihitung
dalam satuan Rp/ons; Jahe dihitung dalam satuan Rp/ons; Kunyit
dihitung dalam satuan Rp/ons;
Ketumbar dihitung dalam satuan Rp/ons; Gula Putih dihitung dalam
satuan Rp/ons dan Garam dihitung
dalam satuan Rp/ons j. Nilai output adalah nilai perkalian
antara harga output dengan faktor
konversi yaitu jumlah output yang
dihasilkan dari satu satuan input. Nilai output diukur dalam satuan
Rp/kg.
k. Nilai tambah (Rp) adalah selisih antara nilai output abon ikan dengan
bahan baku utama ikan patin dan
ikan lele segar dan sumbangan input lain dalam satu kali proses produksi
diukur dalam satuan rupiah.
l. Rasio nilai tambah adalah persentase nilai tambah dari nilai produk
(output) dalam satuan persen.
m. Pendapatan tenaga kerja adalah
koefisiesn tenaga kerja dikali upah tenaga kerja diukur dalam satuan
Rp/kg.
n. Pangsa tenaga kerja adalah persentase pendapatan tenaga kerja
dari nilai tambah diukur dalam
satuan persen. o. Keuntungan adalah selisih antara
nilai tambah dengan pendapatan
tenaga kerja diukur dalam satuan Rp/kg.
p. Rasio keuntungan adalah presentase
keuntungan dari nilai tambah diukur dalam satuan persen.
q. Marjin adalah nilai output dikurangi
harga bahan baku diukur dalam
satuan Rp/kg r. Marjin pendapatan tenaga kerja
adalah persentase pendapatan tenaga
kerja terhadap marjin dalam satuan persen.
s. Marjin sumbangan input lain adalah
persentase sumbangan input lain terhadap marjin dalam satuan persen
t. Marjin keuntungan pengusaha
adalah persentase keuntungan
pengusaha terhadap marjin dalam satuan persen.
u. Periode produksi adalah waktu yang
dibutuhkan untuk mengolah ikan lele dan ikan patin segar (mentah)
menjadi abon lele dan abon patin.
v. Bahan penolong (sumbangan input
lain) adalah bahan tambahan yang digunakan dalam satu kali produksi
selain bahan baku, dinyatakan dalam
satuan rupiah per kilogram (Rp/Kg). Menurut Soekartawi (2002)
Analisis nilai tambah Hayami sering
digunakan karena memiliki kelebihan seperti: Dapat diketahui besarnya nilai
tambah, nilai output dan produktifitas;
Dapat diketahui besarnya balas jasa terhadap pemilik faktor produksi;
Prinsip nilai tambah menurut Hayami
dapat diterapkan pula untuk subsistem
lain di luar pengolahan, misalnya untuk kegiatan pemasaran. Namun demikian,
ada pula kelemahannya seperti:
Pendekatan rata-rata tidak tepat jika diterapkan pada unit usaha yang
menghasilkan banyak produk dari satu
jenis bahan baku; Tidak dapat menjelaskan produk sampingan; Sulit
menentukan pembanding yang dapat
digunakan untuk menyimpulkan apakah balas jasa terhadap pemilik
faktor produksi tersebut sudah layak.
Diasumsikan bahwa setiap satu periode
produksi abon terjual habis. Penentuan besarnya nilai tambah dari produk
olahan abon ikan patin dan ikan lele
dikaji secara deskriptif dan kuantitatif dengan metode Hayami. Ikan lele dan
ikan patin dapat diolah menjadi produk
lain yang memiliki nilai jual yang lebih tinggi, daya simpan lama dan parktis
untuk dikonsumsi dengan dibuat abon.
Abon ikan lele dan ikan patin merupakan salah satuk bentuk olahan
dan awetan ikan. Ikan yang dibutuhkan
untuk membuat abon harus yang berukuran besar atau sangat besar
karena dagingnya lebih banyak.
Prosedur Perhitungan nilai tambah
menurut Hayami dkk. (2005) dapat dilihat pada Tabel 1. Sedangkan alat
alat yang dibutuhkan untuk pengolahan
ikan menjadi abon adalah baskom, kompor, pisau, panci dandang, talenan,
blender, penggilingan daging, kompor,
wajan, toples tempat menyimpan abon yang telah digoreng sebelum dikemas,
spinner untuk memisahkan sisa minyak
yang melekat pada abon.
-
Jurnal Hexagro. Vol. 1. No. 1 Februari 2017 ISSN 2459-2691
21
Tabel 1. Kerangka Analisis Nilai
Tambah Metode Hayami
Output, Input, Harga Formula
si
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Output (kg)
Bahan baku (kg)
Tenaga kerja (JKO)
Faktor konversi
Koefisien tenaga
kerja
Harga output
Upah
A
B
C
D = A/B
E = C/B
F
G
Pendapatan dan Keuntungan (Rp/Kg)
8.
9.
10
.
11
.
12
.
13
.
Harga Bahan
Baku (Rp/kg)
Sumbangan input
lain (Rp/kg)
Nilai Output
(Rp/kg)
a. Nilai
Tambah
(Rp/kg)
b. Rasio Nilai
Tambah (%)
a. Imbalan
Tenaga Kerja
(Rp/kg)
b. Pangsa/bagian
Tenaga Kerja (%)
Margin
a. Keuntung
an (Rp/kg)
b. Tingkat
Keuntungan (%)
H
I
J = D x F
K = J I
H
L% =
(K/J) x
100%
M = E x
G
N% =
(M/K) x
100%
O = K
M
P% =
(O/K) x
100%
Balas Jasa Pemilik
Faktor-faktor Produksi
14
.
Margin (Rp/kg)
a. Pendapata
n Tenaga
Kerja (%)
b. Sumbanga
n Input
Lain (%) c. Keuntung
an
Pengolah
Q = J H
R = M/Q
x 100%
S = I/Q x
100%
T = O/Q
x 100%
Tahapan yang dilakukan dalam proses
pembuatan abon yang dilakukan
adalah sebagai berikut: Pembersihan dan Penyiangan; Pengukusan;
Pemberian bumbu seperti santan
kelapa, Rempah rempah, gula dan garam; Penggorengan (Setelah semua
bahan untuk pembuatan abon
berbahan baku ikan lele dan ikan patin tercampur merata selanjutnya
dilakukan penggorengan. Bahan abon
ikan lele dan ikan patin digoreng sampai kering sambil terus diaduk
aduk agar hasil gorengan matang
secara merata dan serempak. Tabel 2 Informasi Gizi Tiap 100 gram abon
Ikan Lele dan Patin Jenis kandungan
jumlah
satuan
Jenis kandungan
jumlah
Satuan
Kalori 824,28
Kal Posfor 513,48
Mg
Protein 49,964
Mg Besi 55,8 Mg
Lemak 58,478
Mg Natrium
215,6
Mg
Hidrat
Arang
25,4
8
Mg Kalium 968,
8
Mg
Calcium
121,08
Mg Vitamin B1
0,585
Mg
Vitamin C
4,72 Mg
Sumber: Poklahsar Jaya Mandiri (2012)
Abon selesai digoreng setelah
kering dan berwarna kecoklatan. Abon
yang telah matang diangkat dan dinginkan); Penirisan dengan mesin
peniris; Pengemasan dan Pemasaran.
HASIL DAN PEMBAHASAN Nilai tambah yang diperoleh
pada kegiatan usaha pengolahan hasil
perikanan terkait dengan faktor teknis dan faktor non teknis (Heny, dkk,
2011). Secara teknis, tingkat teknologi,
jumlah bahan baku dan jumlah tenaga kerja yang digunakan akan
mempengaruhi besarnya nilai tambah.
Unsur non teknis yang juga berpengaruh terhadap besarnya nilai
tambah adalah biaya input dan harga
output; dalam hal ini harga produk
olahan abon ikan lele dan ikan patin. Analisis nilai tambah dari kegiatan
pengolahan abon ikan dilakukan untuk
mengetahui besarnya nilai tambah abon ikan dengan bahan baku utama
ikan lele dan ikan patin segar dan
untuk mengetahui pembagian m
top related