jurnal dok lum obgyn
Post on 13-Aug-2015
86 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
Apoptosis: Mekanisme dan Implikasi Klinisnya
Ringkasan
Keseimbangan antara pertahanan hidup sel dan kematian sel adalah dibawah control genetic
yang ketat. Banyaknya sinyal dari mediator ekstraseluer dan intra seluler yang terlibat telah
mempertahankan keseimbangan tersebut. Ketika sel terpapar oleh jejas fisik, biokimia, zat
tertentu ataupun biologis sel akan mengaktivasi serial gen yang berhubungan dengan respon
terhadap stress. Apabila stress minimal, maka sel akan bisa memperbaiki dirinya dan kembali
ke keadaan normal. Namun apabila stress yang diterima cukup besar, maka sel akan
mengalami kematian atau apoptosis dan didaur ulang uleh sel-sel di sekitarnya. Apabila stress
yang diterima sangat besar, maka banyak sel yang mengalami nekrosis disertai dengan
adanya respon inflamasi. Disregulasi dari mekanisme yang mengkontrol kondisi tersebut
akan menghasilkan suatu penyakit. Defisiensi apoptosis berhubungan dengan kejadian
kanker, penyakit autoimun dan infeksi viral. Apoptosis yang berlebihan berhubungan dengan
penyakit jantung iskemik, stroke, penyakit neurodegenerative, sepsis dan sindroma disfungsi
organ multiple (MODS). Terdapat banyak sekali pilihan terapi yang tersedia saat ini akibat
dari semakin terungkapnya pengetahuan tentang apoptosis dan control dari apoptosis.
Proses kematian sel merupakan suatu peristiwa yang terkontrol dengan ketat, terorganisasi
dengan seksama, dan dibagi menjadi proses apoptosis dan non apoptosis atau biasa disebut
sebagai nekrosis. Apoptosis merupakan peristiwa bunuh diri sel dimana mekanismenya telah
dikode dalam kromosom semua sel berinti. Kematian sel secara fisiologis yang
menghilangkan sel-sel yangtidak dikehendaki merupakan peristiwa yang sangat penting
untuk perkembangan, homeostasis jaringan, dan pertahanan untuk melawan infeksi virus dan
mutasi. Apoptosis diatur oleh sinyal molecular yang komplek. Iskemik dan reperfusi jaringan
mampu mengaktivasi sistem molekuler tersebut, yang oleh karenanya dapat mewakili sebuah
target terapi untuk mempertahankan integritas pada organ-organ vital seperti jantung dan
otak. Sel yang mengalami apoptosis akan dipecah menjadi fragmen sel melalui mekanisme
enzimatik dependen energy, yang terdiri dari DNA (deoksiribonukleat), lipid, dan
makromolekul lain. Kesemua debris sel tersebut disimpan dalam vesikel untuk kemudian
difagositosis dan digunakan kembali. Sel yang mati melalui mekanisme ini tidak melukai sel
disekitarnya, sebaliknya sel yang mati secara nekrosis akan disertai dengan tanda inflamasi
dan kerusakan sel yang luas.
Apoptosis memegang peranan sentral dalam pathogenesis berbagai penyakit pada manusia
yakni ketika gen yang mengkode proses apoptosis tersupresi, overekspresi atau tidak
berfungsi karena terjadinya mutasi.[3] Gangguan pada proses apoptosis dapat memicu
terjadinya berbagai penyakit (table 1). Penelitian mengenai apoptosis telah berkembang pesat
dan hal ini memicu munculnya kemungkinan pendekatan terapi berbagai macam penyakit
pada manusia. [4]
Tujuan dari review ini adalah untuk menyediakan informasi mengenai komponen molekuler
yang mengaktivasi apoptosis dan kaitannya dalam menyebabkan berbagai penyakit pada
manusia, dan membahas mengenai hal-hal yang borpotensi menjadi terapi pada penyakit
tersebut berdasarkan pemahaman mengenai mekanisme apoptosis. Pemahaman mengenai
peran jejas sel dan kematian sel pada pastofisiologi disfungsi organ berperan dalam
penatalaksanaan jejas iskemik dan reperfusi serta sindoma disfungsi organ multiple (MODS)
Sejarah
Pada tahun 1880 Weigert & Cohnheim menggamparkan penampakan mikroskopis kematian
sel pada jaringan nekrotik sebagai nekrosis koagulasi. [5] Pada tahun 1885, Flemming
menggambarkan proses kromatolisis dimana nucleus dari sel folikel ovarium mamalia
terpecah-pecah dan kemudian menghilang pada proses kematian sel. [6-8]
Pada awal tahun 1870an, Kerr menggambarkan penampakan mikroskopis electron dari sel
liver binatang, [9,10] yang terpapar oleh toksin (heliotrine dan albitocin) dan iskemia (dengan
ligasi cabang besar vena porta), set tersebut mengalami shrinkage necrosis (atau nekrosis
pengkerutan) [11]. Kematian sel adrenal tikus akibat karsinogen dan sel tumor yang terpapar
dengan actinomycin D, mitomycin C, cytosine arabinose dan sikloheksimid juga telah diteliti
pada tahun 1971. Wylie menemukan bahwa kematian sel tunggal pada kelenjar adrenal yang
terpapar carsinogen dipicu oleh hipofisektomi dan menunjukan jalur kematian sel melalui
tegulasi hormonal dan jalur kematian yang berkaitan dengan jejas keganasan. [14,15]. Pada
sebuah karya tulis yang diterbitkan pada tahun 1972, Kerr dkk menggambarkan ciri-ciri
perubahan struktur sel dari jaringan sehat secara sekuensial yang terjadi selama proses
kematian sel. Selain itu juga digambarkan perubahan sekuensial dari perkembangan normal,
regresi tumor, atropi dan involusi dari sel. [1] Istilah apoptosis (berasal dari bahasa yunani
yang berarti “jatuh kebawah”, suatu istilah untuk menggambaekan daun yang berguguran
pada saat musim dingin) telah diperkenalkan [1].
Pada tahun 1980an Horvits melaporkan kematian sel spesifik selama perkembangan
nematode Caenorhabditis elegans dan mengkloning gen kematian (gen ced) yang
bertanggung jawab terhadap peristiwa tersebut. Gen anti-apoptosis pada nematode yakni gen
ced-9 memiliki kemiripan dengan gen pro-oncogen pada mamalia yakni gen bcl-2 [17], dan
menunjukan kemampuannya untuk meempertahankan limfosit B [18,19]. Pada tahun 1990an,
mekanisme biomolekuler yang tetap menjaga proses apoptosis berjalan dengan benar dan
peristiwa molekuler yang membuat gangguan pada proses apoptosis masih belum terungkap.
Tumor fibroblast tikus yang mengekspresikan gen human c-myc memiliki daya apoptosis
yang tinggi [20], mengindikasikan bahwa kanker dapat terjadi ketika mutasi telah
mengakibatkan disfungsi dari peristiwa apoptosis.
Definisi
Apoptosis secara spesifik didefinisikan sebagai proses yang tergantung adanya energy,
asinkron, terkontrol secara genetic, dimana sel yang tidak diperlukan atau rusak membunuh
diri mereka sendiri ketika gen apoptosis diaktifkan [22,23]. Sel akan mengkerut dan
melepaskan diri dari sel-sel disekitarnya dan inti sel menjadi terpecah-pecah. Fragmen inti
dan organela menggumpal dan terbungkus oleh membrane yang membentuk vesikel,
kemudian dieksositosis atau dicerna oleh sel-sel disekitarnya. Integritas membrane sel intak,
sedangkan kematian sel terjadi dalam akhir proses. Tidak adanya tanda inflamasi merupakan
hal yang membedakan apoptosis dari nekrosis. Perbedaan antara nekrosis dan apoptosis
dirangkum dalam table 2. Kematian sel secara iskemik dan tiba-tiba memiliki ciri terjadinya
pembengkakan sel atau oncosis (dari bahasa yunani “onkos” yang berarti bengkak) akibatnya
terjadi pembengkakak inti dan kariolisis (hilangnya afinitas terhadap pewarna basa). Baik
onkosis maupun apoptosis sel akan mengalami tahap dimana sel tersebut difagositosis,
namun pada onkosis juga disertai tanda-tanda inflamasi. Apoptosis dan onkosis/nekrosis
merupakan peristiwa kematian sel yang saling over lap. Sel terpapar oleh stimulus noxious
yang berat seperti iskemia atau toksin yang memicu terjadinya onkosis dan nekrosis [27].
Kematian sel yang terprogram (programmed cell death = PCD) didefinisikan sebagai upaya
bunuh diri sel yang terjadi selama proses perkembangan embrio dari organism imatur dan
maturasi jaringan dan tidak memerlukan ekspresi gen de novo [28,29,30].
Pathofisiologi
Ciri Morfologis
Terdapat 3 fase dalam apoptosis [31]. Pada fase pertama, sel melepaskan diri dari jaringan
dan sel sekitarnya akibat hilangnya mikrovili dan kompleks juctional yang disebut
desmosome [32]. DNA dicerna oleh enonuclease spesifik dan dipecah menjadi fragmen-
fragmen yang terbungkus oleh vesikel. Perubahan DNA yang terjadi meliputi pemisahan pita
DNA (karyohexis) dan kondensasi kromatin inti (pyknosis). Kromatin pyknotik tampak
sebagai topi yang berbetuk bulan sabit di bawah mikroskop cahaya. Reticulum endoplasma
membengkak dan mengeluarkan semua isinya. Sel menjadi lebih padat dan mengkerut dan
mengalami involusi. Pada fase kedua, sel membentuk pseudopodia (budding) yang memiliki
organela atau fragmen inti dan semuanya terdapat dalam vesikel. Sel yang tersisa menjadi
berbentuk bulat, dan terbungkus oleh membrane yang halus (disebut sebagai badan apoptotic)
[3,4, 32]. Pada fase ketiga, membrane tersebut menjadi permeable terhadap pewarnaan,
misalnya Triphan blue. Badan apoptotic dan budding kemudian difagositosis oleh makrofag,
epitel, endotel dan sel tumor. Kesemua proses terjadi sekitar 15 menit dan oleh karena itu
tidak dapat terdeteksi pada irisan jaringan [5,23,33].
Sebaliknya pada proses onkosis terjadi pembengkakan sel dan organela dengan proses
fragmentasi inti yang lambat serta dicerna oleh enzim lisosom. Pembengkakakn terjadi
karena deficit produksi ATP (adenosisn trifosfat) yang memicu gagalnya pompa Na-K dan
meningkatkan permeabilitas membrane. Hal ini akan membuat sel menggembung (seperti
balon yang terisi air) yang kemudian terjadi rupture membrane. Terjadi serbuan neutrofil dan
makrofag pada jaringan disekitarnya yang memicu terjadinya proses inflamasi.
Teknik yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi dan menghitung apoptosis meliputi
pewarnaan inti sel seperti Hoechst 33258 yang mampu memvisualisasikan inti yang
menggumpal atau “clumping”. Mikroskop modem video mampu memvisualisasikan sekuen
temporal yang terjadi selama 15-60 menit sampai 24 jam. [23,34,35]
Mikroskop floresen dengan acridine orange mampu membuat kromatin yang clumping dapat
dilihat segera setelah proses pewarnaan. Beberapa teknik lain antara lain comet assay yang
mampu menunjukan degradasi DNA [2]. Metode yang lebih akurat untuk mengidentifikasi
apoptosis adalah metode yang secara spesifik dapat mengetahui terjadinya fragmentasi DNA
[36]. Agarose elektroforesis dari DNA yang terfragmentasi menunjukkan pola “ladder” atau
anak tangga yang dapat digunakan sebagai marker dari apoptosis. Degrasi DNA dapat
menghasilkan bentuk hexamerik yang disebut sebagai rosette [4]. Metode labeling DNA
dengan pengecatan TUNEL (The terminal transferase deoxyuridine nick-end Labeling)
dimana melabel residu uridine dapat digunakan untuk mendeteksi terjadinya apoptosis pada
irisan jaringan [37]. Flowsitometri juga dapat digunakan untuk menghitung jumlah sel yang
mengalami apoptosis secara lebih akurat [38-40].
Mekanisme kematian sel
Setelah stimulus yang adekuat, tahap pertama atau tahap “decision phase” dari apoptosis
adalah aktivasi control genetic dari kematian sel. Kemudian diikuti oleh tahap ke dua yakni
tahap eksekusi atau “execution phase”, dimana bertanggung jawab terhadap perubahan
morfologi sel pada proses apoptosis. Terdapat empat kelompok stimulus apoptosis
[4,30,32,34,41-45]. Stimulus fisiologis maupun patologis dapat memulai terjadinya apoptosis
seperti yang terangkum dalam table 3. Stimulus kelompok pertama menyebabkan kerusakan
DNA termasuk di dalamnya radiasi pengion dan obat anti kanker alkilasi. Kelompok yang
kedua menginduksi apoptosis melakui mekanisme reseptor-ligan, termasuk di dalamnya oleh
reseptor yang termediasi oleh hormone glukokortikoid (beraksi pada timus) [34], temor
necrosis factor-a (TNF-a), atau oleh deficit factor pertumbuhan (nerve growth factor dan
interleukin (IL)-3) [41,42]. Kelompok ketiga melibatkan agen biokimia yang merangsang
komponen yang mengaktivasi jalur apoptosis termasuk di dalamnya adalah inhibitor fosfatase
dan kinase (misal, calphostin C, stauroporine). Kelompok keempat adalah berkaitan dengan
agen yang dapat secara langsung merusak membrane sel, termasuk di dalamnya antara lain
agen oksidan (anion superoksida, hydrogen peroksida). Produksi ROS (reactive oxygen
species) yang berlebih seperti superoksida, hydrogen peroksida, dan radikal hidroksi,
menghasilkan radikal bebas yang dapat merusak membran lipid, protein, asam nukleat, dan
matrik ekstraseluler glikoaminoglikan. Stimulus tersebut pada dosis besar dapat menicu
nekrosis. Jejas pada membrane sel dapat merangsang terjadinya apoptosis dengan
mengaktivasi asam spingomyelin yang menghasilkan second messanger dari membrane lipid
yakni ceramid. [43,44]
Sinyak tranduksi yang memicu apoptosis merupakan dampak dari ikatan “death receptor”
dengan ligannya atau karena kerusakan genome. Reseptor kematian (death receptor) yang
memicu apoptosis antara lain sistem reseptor Fas dan reseptor TNF [41]. Reseptor Fas pada
walnya dikenal dengan nama CD95 atau APO-1, merupakan death reseptor yang tersusun
dari glikoprotein dan berlokasi di transmembran. Reseptor ini teraktivasi oleh Fas ligan (Fas-
L) yang juga berada di membrane sel, [41]. Molekul intrasel yang disebut FADD
(Fasassociated death domain) juga diproduksi. Reseptor Fas terdapat pada sel epitel, tumor,
jam jaringan hematopoeitik yang dapat terinduksi oleh sel-sel lain yang memiliki Fas-L.
Jalur Fas memegang peranan penting dalam sistem imun. Limfosit T sitotoksik mampu
mengekspresikan Fas-L yang mengaktivasi apoptosis dari sel yang memiliki reseptor Fas.
Sistem reseptor TNF memediasi berbagai macam jalur biokimiawi yang berbeda.[41,42]
ligan apoptosis yang diinduksi oleh TNF (TRAIL=TNF related apoptosis inducing ligan)
telah ditemukan. Sel-sel kanker sangatpeka terhadap apoptosis yang diinduksi oleh TRAIL.
Jika TRAIL berikatan dengan reseptornya, maka molekul intrasel yang disebut “death
domain” diproduksi. TNF receptor associated death domain (TRADD) juga telah
teridentifikasi. TNF dapat mensupresi apoptosis dengan berikatan dengan reseptornya yakni
TNFR2 yang mana mengaktivasi suatu protein yang disebut Nucleas Factor kappa B (NF-kB)
yang diklassifikasikan sebagai protein inhibitor apoptosis (IAP=inhibitor apoptosis protein)
yang menghambat terjadinya fase eksekusi [43]. NF-kB merupakan protein yang meregulasi
banyak gen pro inflamasi untuk memproduksi berbagai sitokin dan molekul proinflamasi.
Terdapat bukti bahwa peningkatan NF-kB sangat penting dalam pathogenesis SIRS (systemic
inflammatory response syndrome), MODS dan sindrom distress respirasi akut [28].
Fase keputusan “decision” (kontrol genetik)
Apoptosis dikendalikan secara genetic oleh 2 macam gen yakni bcl2 dan p53. Bcl2
merupakan family gen yang mengatur apoptosis [46-49], dan dapat ditemukan di membrane
mitokondria, dan pada membran reticulum endoplasma gen ini juga berperan untuk mengatur
kanal kalsium. Saat ini juga telah ditemukan gen yang satu family dengan bcl2 yang juga
mampu mengaktivasi atau menghambat apoptosis [50,51]. Protein seperti bcl2 dan bcl xl
dapat mencegah apoptosis, sedangkan bcl2 ini sendiri berhubungan dengan protein x (bax)
seperti bax, bad dan bcl xl yang dapat memicu terjadinya apoptosis [30,52,53].
p53 merupakan suatu protein inti dengan berat molekul 23 kDa terikat dengan DNA dan
berperan sebagai factor transkripsi serta mengkontrol proliferasi sel danperbaikan DNA [54].
Mutasi pada gen p53 disinyalir berhubungan dengan 50% kejadiang kanker pada manusia
(misalnya kanker kolon) dan berhubungan dengan resistensi terhadap suatu terapi. Gen c-myc
merupakan suati gen proto-oncogen yang mengkode sequence-specific DNA-binding protein
suatu protein yang berperan sebagai factor transkripsi dan memicu apoptosis dengan p53
yang normal. Pada banyak tumor terdapat peningkatan kadar c-myc.
Mutasi gen neuronal apoptosis inhibitory protein (NAIP) terjadi pada pasien dengan atropi
otot spinal [56]. NAIP dapat melindungi berbagai sel dari apoptosis yang diakibatkan oleh
TNF-a, radikal bebas dan defisiensi factor pertumbuhan
Tahap Eksekusi
Peristiwa penting dalam apoptosis adalah proteolisis dan inaktivasi mitokondrial. Kerusakan
sel merupakan dampak dari aktivasi family sitein protease yang disebut caspase (CASP)
[30,32,43,57-59]. Kaspase merupakan proenzim yang telah berhasil diisolasi dari tubuh
nomatoda sampai tubuh manusia. Saat ini telah ditemukan 10 jenis caspase (casp 1-10). Studi
terdahulu mengenai apoptosis berfokus pada nematode C. elegan dan gen yang dibutuhkan
untuk penentuan apoptosis yakni gen ced-3. Terdapat 2 subfamili caspase yakni subfamily
ced-3 (diproduksi oleh gen ced-3) dan subfamili ICE (IL-1b coverting exzyme). Caspase 1
yang berkaitan erat dengan ICE sering terlibat dalam proses inflamasi [60,61]. Caspase ced-3
berperan penting sebagai efektor apoptosis. Caspase 8 atau FADD-like interleukin converting
enzyme (FLICE) merupakan enzim paling penting dari subfamily ced-3 [61,62]. Aksi dari
caspase sangat bervariasi: beberapa berperan sebagai endonuklease yang memotong DNA,
beberapa memotong protein sitoskeleton, dan yang lainnya mengakibatkan hilangnya daya
adhesi sel. Integritas membrane sel tetap dipertahankan pada awalnya, meskipun budding dari
sel membrane dapat terjadi setelahnya. Tidak ada sekresi enzim lisosom yang menyababkan
kerusakan sel disekitarnya atau memicu timbulnya respon imun. [63] sel yang mengalami
apoptosis mampu mengekspresikan sinyal yang memicu fagositosis [64]. Makrofag dapat
mengenali sinyal dari neutrofil yang mengalami apoptosis melalui kompleks protein yang
melibatkan reseptor thrombospodin (CD36) dan integrin avb3 [65-67]
Relevansi Klinis dari Apoptosis
Sistem Saraf Pusat
Pada perkembangan organisme terdapat bentuk kematian sel yang disebut apoptosis namun
saat ini dikenal sebagai kematian sel yang terprogram (PCD) [30]. Selama perkembangan
sistem saraf pusat embrio terdapat surplus sel yang terbentuk. PCD mengeliminasi sel-sel
yang berlebih tersebut dimana axon gagal untuk meraih target sel tersebut. PCD tersebut
terjadi dengan cara withdrawl atau penarikan kembali subtansi thropic seperti nerve growth
factor atau dengan menghilangkan kontak sinaptik atau input afferent. Sitokin (seperti TNF-
a) dan ROS juga dapat memicu PCD [68]. Stess oksidatif, eksitosisitas glutamate dan influx
kalsium juda dapat memicu apoptosis pada sistem saraf pusat matur. Produksi ROS yang
berlebih mengakibatkan stress oksidatif, merusak lipid membrane, protein, asam nukleat, dan
matriks ekstraseluler glikosaminoglikan. ROS dengan dosis rendah atau berkurangnya
antioksidan (superokside dismutase, katalase, gluthation peroksidase) dapat memicu
apoptosis. Sedangkan ROS dosis tinggi akan memicu terjasinya nekrosis [30]. Jejas neuronal
yang dimediase oleh reseptor glutamate merupakan penyebab utama terjadinya kematian sel
neuronal akibat eksotoksikasi yang diikuti dengan iskemia, trauma, kejang epileptic atau
neurodegenerasi [30]. Glutamate mengakibatkan nekrosis dengan merangsang influx dari Na,
Cl, dan air sehingga sel menjadi membengkak atau justru menunda kematian sel dan
mengarahkan ke proses apoptosis beberapa jam setelah paparan melalui mekanisme influx
kalsium akibat aktivasi reseptor glutamate. [69-71]
Kalsium merupakan second messanger yang penting, dan merupakan instrument dalam
menginduksi apoptosis dengan menstimulasi neurotransmitter, induksi gen dan aktivasi
enzim (protease, fosfatase, protein kinase, endonuklease, fosfolipase dan NO sintetase) [72].
Fosfolipase A2 menghasilkan anion superoksida dan NO sintetase menghasilkan NO,
keduanya dapat menyebabkan stress oksidatif yang memicu terjadinya apoptosis.
Peningkatan apoptosis akibat berlebihnya ion kalsium intrasel merupakan hal yang terjadi
pada iskemia serebri, jejas dan trauma otak. Iskemia serebri berakibat terjadinya nekrosis
dan DND (delayed neuronal death). Sel yang mengalami DND akibat stress minimal, terlihat
pada bagian perifer dari infark di dalam penumbra.
Terdapat berbagai bukti yang menyatakan bahwa apoptosis berperan dalam DND [30].
Transfer gen dengan menggunakan virus yang mengandung vector bcl2 dapat memberikan
perlindungan terhadap iskemia [73]. Pada cedera otak, kurang dari 10% neuran yang mati
mengalami apoptosis pada 24-48 jam paska jejas. [74] Semakin berat jejas pada suatu
jaringan, maka semakin banyak sel yang mengalami nekrosis, sedangkan sel yang mengalami
apoptosis semakin kecil. [73]. Peningkatan jumlah sel yang mengalami apoptosis berdampak
pada terjadinya beberapa penyakit neurodegenerative. Pada penyakit Alzheimer apoptosis
korteks otak terjadi akibat penumpukan b-amyloid peptide pada jaringan otak dan pembuluh
darahnya [75] melalui mekanisme NO [76]. Penyakit Parkinson berhubungan dengan
hilangnya neuron dopaminergik pada substansia nigra, dan dopamine Nampak
mengakibatkan apoptosis pada neuron yang terpapar. [30] Beberapa bentuk sclerosis familial
amyotrophic lateral dapat diakibatkan oleh gen mutan yang mengkode antioksidan superoksid
dismutase sehingga terjadi kematian motor neuron via apoptosis. Pendekatan terapi masa
depan dapat dilakukan dengan memberikan growth factor atau inhibitor sintesis
makromolekul yang merangsang apoptosis [56].
Defek pada apoptosis akibat dari mutasi gen pro apoptosis juga dapat mengakibatkan
terjadinya berbagai tumor neuronal. Mutasi pada gen p53 terjadi pada tumor astrosit [77,78]
Inhibitor protein kinase C (seperti hipericin dan capholstin) dapat mengakibatkan apoptosis
pada kultur sel glioma. Teknik transfer gen juga digunakan untuk memapar bclxl ke dalam
sel neuroblastoma dan retrovirus ICE ke dalam sel gliosarkoma yang berda,pak apoptosis sel
tumor. [78-79].
Sistem Kardiovaskuler
Saat ini telah diketahui bahwa kematian miosit pada penyakit jantung terjadi melaui proses
baik apoptosis maupun nekrosis sebagai respon terhadap hipoksia atau iskemia. [45]
Apoptosis telah dilaporkan terjadi pada iskemia miorkadium, reperfusi, infark, dan gagal
jantung yang dikarenakan kinerja berlebihan ventrikel atau emboli coroner, overload
hipertropi, dan penuaan [42]. Hipoksia, malnutrisi dan toksin (misalnya kemiterapi) yang
umumnya menyebabkan nekrosis, dapat pula memicu apoptosis pada dosis rendah. [45,52]
Area infark memiliki sebuah daerah sentral yang mengalami nekrosis yang dikelilingi dengan
daerah dimana selnya mengalami apoptosis pada batas periinfark. [42] Sttudi otopsi dari
infark miokardium menyatakan bahwa apoptosis secara acak terjadi pada bagian sentral area
nekrotik dan area perifer miokard normal. Ligasi arteri coronaria dapat memicu peningkatan
biomarker proto oncpgen (bcl2 dan Fas) pada miosit. Peristwa biomolekuler yang terjadi
pada beberapa jam awal iskemia mengarah kepada apoptosis. Karena sel jantung mendapat
iskemia yang semakin parah maka gen apoptosis tidak mampu lagi diekspresikan dan
terjadilah nekrosis [81]. Studi mengenai reperfusi in vivo pada kelinci menyatakan bahwa
apoptosis paling banyak terjadi pada jantung yang mengalami reperfusi, sedangkan nekrosis
paling banyak terjadipada area dengan oklusi persisten [82]. Reperfusi meningkatkan
produksi radikal bebeas dan kalsium intrasel, yang merupakan agen potensial untuk
menginduksi apoptosis,
Apoptosis pada otot polos pembuluh darah pada plak atherosclerosis dalam arteri coronaria
dapat mengakibatkan ketidakstabilan dan rupture plak [83]. Apoptosis meningkat menjadi
43% pada lesi atheroskerosis dan 93% pada restenosis [84,85]. Hal tersebut mungkin dipicu
oleh NO dan berhubungan dengan ekspresi caspase 1 [84]. Aritmia juga mungkin berkaitan
dengan defisiensi peristiwa apoptosis pada saat perkembangan jantung. Normalnya paska
kelahiran terjadi apoptosis pada pacemaker kecil pada bagian sentral dan bawah dari AV
node [85]. Penundaan atau gagalnya apoptosis dari sel pacemaker tersebut dapat berakibat
terjadinya aritmia yang mengancam jiwa, namun dapat membaik secara spontan pula.
Sedangkan apoptosis sel pace maker yang berlebihan dapat mengakibatkan bradiaritmia dan
kematian mendadak [45]. Pasien dengan sindroma QT memanjang memiliki peningkatan
daya apoptosis pada sinus node [85]. Fase akhir dari semua kelainan pada sistem
kardiovaskuler tersebut adalah gangguan fungsi jantung dan gagal jantung yang berkaitan
dengan kardiomiopati dilatasi [45.46].
Hipertropi miokardium dapat terjadi sebagai respon kompensasi awal terhadap overload
pada jantung. Hal ini berhubungan dengan c-myc, c-fos, dan perubahan factor pertumbuhan
yang terlibat dalam memulai peristiwa apoptosis. Kardiomiopati dilatasi dapat dipicu oleh
paparan kronik TNF-a yang menyebabkan apoptosis [43]. Penurunan fungsi jantung secara
progresif pada gagal jantung tahap akhir mungkin dikarenakan apoptosis, hal ini didukung
dengan ditemukannya peningkatan bcl2 pada miosit pasien dengan gagal jantung. Meskipun
apoptosis sendiri merupakan peristiwa irreversible, namun dengan meminimalisasi factor
pertumbuhan dan sitokin mungkin dapat mencegah penurunan progresif dari fungsi ventrikel
kiri. [45]
Aritmia ventrikel kanan yang dysplasia merupakan kardiomiopati yang berkaitan dengan
aritmia ventrikel akibat periwtiwa apoptosis, yang mana ditemukan pada biopsy miokardium
pada pasien tersebut [45].
Sistem Imun
Disfungsi jalur apoptosis dapat menyebabkan penyakit autoimun, imunodefisiensi dan
keganasan limfoid. Selama proses perkembangan, banyak sel precursor dari sumsum tulang
bermigrasi ke timus. Mayoritas (90-95%) sel precursor gagal memproduksi TCR (T-cell
receptor) dan mati memalui jalur apoptosis [86]. Apoptosis timosit dapat dipicu oleh
hormone glukokortikoid dan deficit TCR [87,88]. Kematian klon sel (delesi klonal) karena
apoptosis yang berkaitan dengan deficit TCR, juga terjadi pada sel limfosit B yang
menghasilkan antibody terhadap tubuh sendiri, peristiwa ini terjadi di liver janin dan
kemudian di sumsum tulang [89,90]. Studi menggunakan binatang mengindikasikan ahwa
penyakit autiimun seperti reumathoid arthritis, systemic lupus erimatosus (SLE), inflamatori
bowel disease (IBD), dan diabetes dependen insulin, mungkn juga diakibatkan oleh disfungsi
apoptosis [91,92]. Terdapat bukti bahwa sel T sitotoksik telah membunuh sel target dengan
menginduksi apoptosis sel target [93].
Apoptosis granulosit juga penting untuk resolusi dari respon inflamasi. Agen inflamasi
seperti LPS (lopopolisakarida) dan granulocyte colony stimulating factor (G-CSF)
menghambat apoptosis netrofil. Selama apoptosis dipicu oleh TNF-a dan NO, neutrofil
kehilangan kemampuannya untuk degranulasi, sehingga membatasi inflamasi. Neutofil yang
intak difagosit oleh makrofag dan didegradasi dalam hitungan menit tanpa mengeluarkan
mediator pro inflamasi. Ketika granulosit yang nekrosis difagosit, makrofag mengeluarkan
mediator pro inflamasi [94].
Penyakit hematologi seperti MDS (myelodisplasia syndrome), anemia aplastik, neutropeni
kronis, atau b-thalasemia berat juga berkaitan dengan peningkatan apoptosis pada sumsum
tulang [95].
Infeksi Virus
Banyak virus mampu menghambat apoptosis sel inang mereka untuk memperlama masa
hidup sel inang sehingga mereka dapat bereplikasi. Virus dapat mengkode protein anti
apoptosis seperti baculovirus, IAPs, p53 baculovirus dan protein crma dari virus serpin
cowpox, dan protein-protein tersebut mampu memicu perkembangan berbagai macam
kanker. [96] Virus DNA juga memiliki gen anti apoptosis. Sebagai contoh, virus papiloma
dan adenovirus dapat mengkode inhibitor p53. Virus RNA juga memiliki gen anti apoptosis
[97]. Infeksi HIV memiliki ciri penurunan proliferasi sel T awalnya dengan berkurangnya sel
T CD4 dan CD8, kemudian disusul dengan sel NK (natural killer) dan neuron. Apoptosis
pada sel CD4 pada pasien dengan HIV telah dipicu oleh virus. Produk lain dari virus HIV-1
yakni protein tat, juga diproduksi oleh sel yang terinfeksi dan kemudian diambil oleh sel T
yang tidak terinfeksi, mengakibatkan kadar antioksidan intrasel menjadi berkurang dan stess
oksidatif menjadi bertambah [99].
Sepsis dan MODS (multiple organ dysfunction syndrome)
Sepsis sering disertai dengan MODS dimana diakibatkan oleh apoptosis [100]. Pelepasan
sitokin secara sitemik seperti TNF-a dan IL-1b oleh LPS bakteri mengakibatkan peningkatan
kalsium intrasel dan peningkatan produksi radikal bebas, hal ini dipercaya mampu memicu
apoptosis pada berbagai macam organ [101-104]. TNF-a dapat memicu pelepasan IL-1b
[105]. Pada percobaan dengan tikus yang mengalami syok septic, paparan langsung terhadap
TNF-a dapat memicu apoptosis hepatosit. Penemuan lainnya menyatakan bahwa defisiensi
ICE merupakan parameter dari resistensi terhadap syok septic. [107] Telah dinyakatakan
bahwa peristiwa apoptosis pada syok septic sebenarnya menguntungkan bagi penderitanya
karena bertujuan untuk meminimalisir respon inflamasi pada target organ. [28] Apoptosis
merupakan penyebab utama kematian sel limfosit pada sistem imun (timus, limfonodi, dan
limpa) selama proses infeksi bakteri maupun virus. [101,108-113] selain itu, selama sepsis
apoptosis juga terjadi pada sel paru, ileum, colon, dan otot rangka. [109] Apoptosis mungkin
merupakan regulator yang penting untuk mencapai keseimbangan antara factor pro dan anti
inflamasi, dan keseimbangan ini dicapai melalui kematian sel limfosit yang berujung pada
berkurangnya produksi sitokin [114].
Pasien yang mengalami trauma baik dengan atau tanpa sepsis menunjukan penurunan
apoptosis neutrofil yang berkaitan dengan peningkatan fosforilasi tirosin yang mana mampu
memicu kerusakan jaringan secara luas [115,116]. Pasien dengan SIRS dan paska operasi
aorta juga menunjukan penurunan apoptosis neutrofil yang mungkin dikarenakan beredarnya
agen pro inflamasi anti-apoptosis seperti LPS, TNF-a, IFN-g, G-CSF dan granulosit monosit
colony stimulating factor. [117] Neutofil pada kondisi tersebut berkontribusi terhadap
patofisiologi MODS karena neutrofil akan terus mendegranulasikan mediator kimia dan
ROS yang memicu kerusagan jaringan. Apoptosis dapat berjalan normal kembali dengan
pemberian antibody anti TNF dan IL-10 [118]. Pada sepsis karena polimikroba, terjadi
apoptosis makrofag yang berlebih, yang berkaitan dengan aktivasi NO dan caspase yang
memicu hilangnya fungsi fagositosis [119]
Kanker
Terdapat bukti bahwa kegagalan memulai proses apoptosis diikuti dengan kerusakan DNA
dapat mengakibatkan kanker. Peningkatan kadar c-myc juga ditemukan pada banyak tumor.
[120-122] Pada limfoma folikular, translokasi kromosom 14 dan 18 menyebabkan ekspresi
oncogene bcl2. Kadar bcl2 meingkat pada berbagai macam kanker pada manusia, seperti
limfoma, leukemia, adenocarcinoma, kanker ginjal dan paru, neuroblastoma, dan melanoma
[123-126]. Proses mutasi juga terlibat dalam karsinogenesis. Sebagai contoh, mutasi pada gen
supresi tumor p53 yang berfungsi menekan produksi bcl2. Defisiensi gen p53 terjadi pada
semua kanker manusia [127-130]. Sebagai contoh pada tumor Wilms dimana terjadi mutasi
gen p53 pada area yang anaplastik.
Sitem Ginjal
Secara embriologis, perkembangan ginjal melibatkan periode apoptosis yang diwakili dengan
adanya bcl2 [131]. Kekurangan kadar bcl2 pada tikus dapat mengakibatkan terjadinya
penyakit ginjal polikistik [132], namun bcl2 yang berlebih terjadi pada berbagai macam
tumor ginjal [133].
Sistem Gastrointestinal
Penyakit saluran pencernaan dapat berkaitan dengan apoptosis yang berlebihan maupun yang
defisiensi apoptosis. Shigella dysentriae dapat menyebabkan apoptosis yang berlebihan dari
makrofag pada lamina propia intestine dengan melepaskan IL-1b. pada tikus yang
mengekspresikan N-cadherin mutan nonfungsional pada vilinya, mampu berkembang kea rah
Crohn disease dan menunjukan peningkatan apoptosis baik pada vili maupun kripta dan
beresiko untuk terjadinya adenoma. Inhibisi progresif terhadapproses apoptosis diduga juga
terlibat dalam pathogenesis neoplasma pada saluran pencernaan khususnya kanker kolorektal.
[134] gen yang mengatur apoptosis menjadi gen mutan pada kanker gaster dan kolorektal.
p53 wild type, ketika dikenalkan kepada kultur sel kanker kolorektal, mampu menghambat
pertumbuhan sel dan menginduksi apoptosis [135]. Namun, ekspresi p53 juga berhubungan
dengan prognosis yang lebih buruk baik pada kanker gaster maupun kolorektal [4] yang
mungkin diakibatkan oleh mutasi atau malfungsi p53 sehingga apoptosis tidak berjalan
sebagai mana mestinya. Protein bcl2 juga ditemukan pada berbagai macam kanker pada
manusia terutama tertinggi pada adenoma [136].
Sel hepar mengalami apoptosis ketika terinfeksi oleh virus seperti dalam kondisi hepatisis
kronis [137]. Aktivasi sel T sitotoksik abdominal mungkin juga terlibat dalam terjadinya
hepatitis fulminan pada manusia. [95] Paracetamol mampu merangsang peningkatan kadar
kalsium intrasel yang mana akan mengaktivasi nuclease dependen Ca [138]. Apoptosis juga
mampu memediasi rejeksi allograf pada transplantasi hati [139].
Sistem Reproduksi
Apoptosis secara kontinyu dihambat oleh banyak jaringan sistem reproduksi yang memiliki
hormone trophic dari kelenjar hipofisis, gonad dan uterus. Ketika hormone tersebut
dihilangkan, jaringan akan mengalami atropi. Folikel ovarium akan mengalami pertumbuhan
atau atresia tergantung dari respon terhadap perubahan siklus LH (leutenizing hormone) dan
FSH (follicle stimulating hormone); endometrium; payudara dan prostat juga dipengaruhi
oleh hormone steroid dan mengalami regresi jika hormone tersebut dihilangkan. [140]
Kemungkinan Pendekatan Terapi di Masa Depan
Banyaknya keterlibatan komponen-komponen dalam apoptosis mempengaruhi patofisiologi
dari penyakit dan juga menyediakan celah untuk intervensi terapeutik penyakit itu sendiri.
Pada penyakit yang diakibatkan oleh banyaknya kematian sel, seperti hepatitis viral dan
penyakit neurodegenerative, tujuan terapi adalah meminimalisir apoptosis dengan
memodifikasi sinyal tranduksi yang memicu respon apoptosis (influx kalsium , ROS) atau
dengan mengganggu efektor apoptosis (caspase dan endonuklease). Namun, hambatan proses
apoptosis juga beresiko untuk menimbulkan berbagai tumor karena tidak terjadi eliminasi sel-
sel yang rusak. Pada penyakit yang diakibatkan defisiensi apoptosis seperti kanker, latensi
virus, penyakit autoimun, maka dapat digunakan pendekatan terapi dengan metode
meningkatkan apoptosis.
Agen yang memiliki target reseptor atau molekul regulator dan agen yang memliki target
pada proses akhir jalur apoptosis memiliki kemungkinan sebagai agen terapi. Fas yang
terlarut dapat menjadi agen yang memicu apoptosis (untuk terapi tumor), sedangkan antibody
anti Fas merupakan agen yang dapat menghambat terjadinya apoptosis (misalnya untuk terapi
penyakit neurodegenerative).
Terdapat laporan mengenai kesuksesan inhibitor TNF-a untuk menngobati beberapa penyakit
inflamasi kronis seperti reumathoid arthritis dan colitis ulseratif, namun agen ini tidak
mencegah terjadinya sepsis [141]. Sebaliknya penurunan bcl2 pada sel kanker dapat
mengembalikan kembali sensitivitas tumor terhadap kemoterapi dan radioterapi. Hal ini
terjadi karena terapi dengan single strand DNA sintetis pendek yang disebut antisense
oligonukleotida yang mana mampu mengikat messager spesifik dari sekuen RNA dan
mencegah produksi protein tertentu yang hendak dibentuk. [143]
Caspase merupakan target terapi dimana mulai dikembangkan berbagai macam inhibitor
untuk caspase. Aldehid tetrapeptida merupakan inhibitor potent ICE namun bersifat toksik
[4]. Zat tersebut beraksi spesifik dengan berikatan dengan protease dan menghambat
pemecahan protein sel target. Inhibitor ICE dapat menghambat apoptosis pada sejumlah besar
sistem sel. Zat tersebut memiliki peran terhadap sepsis dan penyakit neurodegenerative [144].
Kanker
Kerr dkk [145] menemukan bahwa agen antikanker juga memicu apoptosis pada tumor.
Agen kemoterapi yang dilaporkan mampu menginduksi apoptosis antara lain alkilating agen
(siklofosfamid, mitomisin C, mustard nitrogen), inhitor topoisomerase II (danorubisin,
adriamisin), deksametasone, antimetabolit (methotrexate, 5-fluorouracil, 5-azacytidine),
cisplatin, penghancur mikrotubuli (vincristine, vinblastin, taxol), cycloheximide, bleomicin,
tamoxifen, dan sitosin arabinose [30,90]. Radiasi dam agen sitotoksik memicu terjadinya
kerusakan DNA sehingga merangsang ekspresi p53 untuk memulai apoptosis. Jika terjadi
defek p53, maka terjadi resistensi terhadap kemoterapi [129]. Aktivasi jalur p53 pada sel
kanker untuk memulai proses apoptosis merupaka target terapi yang potensial dan kuat untuk
terapi tumor. Sehingga muncul pendekatan terapi melalui gen p53. Sebagai contoh terapi
kanker dengan menggunakan paparan wild type p53 yang dibawa oleh viral sebagai vector
pada karsinoma small cell paru dengan hasil yang cukup memuaskan [146].
Penyakit Inflamasi
Kortikosteroid dapat memicu apoptosis sel eosinofil namun menghambat apoptosis neutrofil.
Pengobatan pasien astma dengan kortikosteroid dapat menyebabkan kematian eosinofil untuk
selanjutnya difagosit oleh makrofag. [147] Deteksi fenomena ini pada sekret saluran napas
pasien astma mengindikasikan telah terjadinya perbaikan.[148]
Iskemia dan Reperfusi
Apoptosis sudah terbukti terjadi pada area iskemi dan reperfusi baik pada jaringan otak,
jantung, hepar, dan ginjal. [11,82]. Seiring dengan berkembangnya pemahaman mengenai
mekanisme molekuler, maka berkembanglah pendekatan terapi atau pencegahan.
Traktus Gastrointestinal
Obat sitotoksik memicu apoptosis pada berbagai studi pada sel kanker gastrointestinal
manusia seperti halnya pada usus normal tikus, sehingga agen tersebut berpotensi sebagai
terapi antikanker. Konsumsi NSAID (non steroid anti-inflammatory drug) dimana
menghambat COX-1 dan COX-2 dapat mencegah up regulasi bcl2 oleh prostaglandin dan
mencegah kanker kolorektal. Efek protektif diet tinggi serat mungkin melalui fermentasi
serat oleh bakteri di dalam kolon sehingga terbentu asam lemak rantai tunggal 9tak jenuh)
(misalnya butirat) yang mana dapat memicu apoposis sel. [4]
Kesimpulan
Jejas sel sebagai dampak dari stress fisik, biokimia ataupun biologi atau defisiensi substansi
vital dapat memicu ekspresi gen respon adaptif terhadap stress. Interaksi respon sel pada
fase akut, heat shock, dan stress oksidatif menentukan nasib dari sel tersebut. Respon intrasel
terhadap jejas merangsang ekspresi genetic yang memediasi perubahan seluler yang biasanya
bersifat spesifik tergantung dari jenis sel dan jejasnya. Respon seluler tersebut biasanya
berupa respon sitoprotektif namun dapat juga memicu apoptosis. Agen reduksi, antioksidan,
antibody anti TNF, steroidantagonis dan inhibitor sintesis protein dapat memodulasi
apoptosis. Beberapa modalitas terapi gen untuk berbagai penyakit seperti MODS dan kanker
mungkin dapat tersedia seiring dengan semakin berkembangnya pemahaman dari dampak
dan mekanisme respon gen terhadap stress sampai terjadinya jejas.
top related