isi makalah
Post on 04-Jul-2015
787 Views
Preview:
TRANSCRIPT
BAB 1
PENDAHULUAN
Penyakit stroke sampai saat ini masih merupakan suatu masalah kesehatan yang
serius baik di negara maju maupun di negara berkembang, karena disamping
menyebabkan angka kematian yang tinggi, stroke juga sebagai penyebab kecacatan yang
utama. Stroke merupakan penyebab kematian nomor tiga di dunia, bahkan di banyak
rumah sakit dunia stroke merupakan penyebab kematian nomor satu. Banyak ahli
kesehatan dunia juga yakin bahwa serangan stroke adalah penyebab kecacatan nomor
satu di dunia (Imam,2009).
Angka kecacatan akibat stroke umumnya lebih tinggi dari angka kematian,
perbandingan antara cacat dan mati dari penderita stroke adalah empat berbanding satu.
Stroke paling banyak menyebabkan orang cacat pada kelompok usia diatas 45 tahun.
Banyak penderitanya yang menjadi cacat dan tidak mampu lagi mencari nafkah seperti
sedia kala (Lumbantobing, 2003).
Menurut Yayasan Stroke Indonesia (Yastroki) terdapat kecenderungan
meningkatnya jumlah penyandang stroke di Indonesia dalam dasawarsa terakhir.
Diungkapkan bahwa angka kejadian kasus stroke mencapai 63,5 per 1000 pada
kelompok usia 65 tahun keatas. Secara kasar, setiap dua hari orang Indonesia terkena
stroke. Dari semua kasus stroke, 87% kasus adalah stroke infark trombotik
(Anonymus,2008).
1
Kita ketahuai, bahwa stroke merupakan suatu penyakit serebrovaskuler
(pembuluh darah otak) yang ditandai dengan kematian jaringan otak (infark serebral)
yang terjadi karena berkurangnya aliran darah dan oksigen ke otak. WHO
mendefinisikan bahwa stroke adalah gejala-gejala defisit fungsi susunan saraf yang
diakibatkan oleh penyakit pembuluh darah otak dan bukan oleh yang lain dari itu. Ada
sekitar 30%-40% penderita stroke yang masih dapat sembuh secara sempurna asalkan
ditangani dalam jangka waktu 6 jam atau kurang dari itu. Hal ini penting agar penderita
tidak mengalami kecacatan (Harsono,1994; Imam,2009).
Dalam menangani penyakit stroke, diagnosis yang dilakukan sangat menentukan
jenis terapi yang akan diberikan. Selain itu, dengan terapi yang tepat juga akan
menentukan kesembuhan pasien. Hal inilah yang menyebabkan teknologi di bidang
radiologi diagnostik, yang merupakan salah satu metode untuk mendiagnosis stroke
terus berkembang. Yaitu dengan mencari modalitas pemeriksaan radiologi yang tidak
saja membuat diagnosis stroke lebih akurat, tetapi juga lebih cepat dan menghasilkan
informasi tambahan yang sangat dibutuhkan untuk terapi terkini.
Pada penderita stroke, imaging memiliki banyak manfaat. Di antaranya,
identifikasi lesi (apakah benar stroke atau lainnya), infark atau hemorrhagic, lokasi, luas
infark, umur lesi, dan lainnya. CT scan telah menjadi tulang punggung untuk imaging
stroke sejak awal. Namun dalam beberapa kasus, gambaran infark seringkali tidak
tampak pada CT-scan dalam 48 jam pertama. Padahal prognosis stroke akan lebih baik
bila data didiagnosis dan mendapat terapi lebih dini.
Modalitas imaging lain diantaranya adalah MRI. Pemeriksaan stroke dengan
MRI terbukti lebih spesifik dan sensitif daripada CT scan untuk deteksi stroke. Dengan
2
keunggulannya yang dimiliki MRI yaitu Diffusion Weighted Image (DWI), yang sangat
sensitif untuk menangkap gambaran stroke yang hiperakut. Tak hanya itu, MRI dengan
gradient echo imaging dengan mudah mendiagnosis pendarahan intrakranial. Teknologi
MRI saat ini dapat menghasilkan gambar yang relatif tajam pada penderita yang tidak
kooperatif , penurunan kesadaran, dan gelisah (Rahardjo,2009)
Maka dari itu perlu dibahas peranan yang lebih mendalam tentang MRI,
mengingat MRI merupakan salah satu modalitas diagnosis penyakit stroke.
3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
A. STROKE
DEFINISI
Stroke merupakan suatu gangguan neurologis akut, yang disebabkan oleh karena
gangguan peredaran darah ke otak, dimana secara mendadak (dalam beberapa detik),
atau secara cepat (dalam beberapa jam) timbul gejala dan tanda yang sesuai dengan
daerah fokal di otak yang terganggu (Chandra, 1994).
Stroke dapat dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu stroke infark (stroke
iskemik) dan stroke perdarahan (stroke hemoragik) (Chandra,1994).
STROKE INFARK (ISKEMIK)
Stroke iskemik adalah defisit neurologis yang terjadi secara mendadak dan
menetap 24 jam atau lebih yang disebabkan oleh kelainan vaskuler. Stroke merupakan
penyebab kematian ketiga di dunia, tetapi merupakan penyebab kecacatan fisik dan
mental. Stroke iskemik terjadi karena perfusi oksigen serebral yang tidak adekuat, hal
ini disebabkan oleh adanya penyembuhan sementara atau permanen dari feeding artery
ekstra kranial atau intra kranial.Penyebab stroke meliputi hipertensi, aterosklerosis dan
thrombosis (Giantini,2003).
Berdasarkan gejala klinis, Infark serebri dapat dibagi menjadi 3, yaitu Infark
aterotrombotik (aterotromboli), Infark kardioemboli, dan Infark lakuner. Menurut
4
Warlow, dari penelitian pada populasi masyarakat, Infark aterotrombotik merupakan
penyebab stroke yang paling sering terjadi, yaitu ditemukan pada 50% penderita
aterotrombotik bervariasi antara 14-40%. Infark aterotrombotik terjadi akibat adanya
proses aterotrombotik pada arteri ekstra dan intrakranial (Giantini,2003).
Patofisiologi aterotrombotik
Proses aterotrombotik tejadi melalui 2 cara, yaitu:
1. Aterotrombotik in situ, terjadi akibat adanya plak yang terbentuk akibat proses
aterosklerotik pada dinding pembuluh darah intrakranial, dimana plak tersebut
membesar yang dapat disertai dengan adanya trombus yang melapisi pembuluh darah
arteri tersebut. Apabila proses tersebut terus berlangsung maka akan terjadi
penyumbatan pembuluh darah tersebut dan penghentian aliran darah disebelah distal.
2. Tromboemboli (artery to artery embolus), terjadi akibat lepasnya plak
aterotrombolik yang disebut sebagai emboli, yaitu akan menyumbat arteri disebelah
distal dari arteri yang mengalami proses aterosklerotik (Giantini,2003).
Patofisiologi infark tromboemboli
Plak aterotrombotik yang terjadi pada pembuluh darah ekstrakranial dapat lisis
akibat mekanisme fibrinotik pada dinding arteri dan darah, yang menyebabkan
terbentuknya emboli, yang akan menyumbat arteri yang lebih kecil, distal dari pembuluh
darah tersebut. Trombus dalam pembuluh darah juga dapat akibat kerusakan atau
ulserasi endotel, sehingga plak menjadi tidak stabil dan mudah lepas membentuk emboli.
Emboli dapat menyebabkan penyumbatan pada satu atau lebih pembuluh darah. Emboli
5
tersebut akan mengandung endapan kolesterol, agregasi trombosit dan fibrin. Emboli
akan lisis, pecah atau tetap utuh dan menyumbat pembuluh darah sebelah distal,
tergantung pada ukuran, komposisi, konsistensi dan umur plak tersebut, dan juga
tergantung pada pola dan kecepatan aliran darah. Sumbatan pada pembuluh darah
tersebut (terutama pembuluh darah di otak) akan meyebabkan matinya jaringan otak,
dimana kelainan ini tergantung pada adanya pembuluh darah yang adekuat
(Jupardi,2002).
Otak yang hanya merupakan 2% dari berat badan total, menerima perdarahan 15%
dari cardiac output dan memerlukan 20% oksigen yang diperlukan tubuh manusia,
sebagai energi yang diperlukan untuk menjalankan kegiatan neuronal. Energi yang
diperlukan berasal dari metabolisme glukosa, yang disimpan di otak dalam bentuk
glukosa atau glikogen untuk persediaan pemakaian selama 1 menit, dan memerlukan
oksigen untuk metabolisme tersebut, lebih dari 30 detik gambaran EEG akan mendatar,
dalam 2 menit aktifitas jaringan otak berhenti, dalam 5 menit maka kerusakan jaringan
otak dimulai, dan lebih dari 9 menit, manusia akan meninggal (Jupardi,2002).
Bila aliran darah jaringan otak berhenti maka oksigen dan glukosa yang diperlukan
untuk pembentukan ATP akan menurun, akan terjadi penurunan Na-K ATP ase,
sehingga membran potensial akan menurun. K+ berpindah ke ruang CES sementara ion
Na dan Ca berkumpul di dalam sel. Hal ini menyebabkan permukaan sel menjadi lebih
negatif sehingga terjadi membran depolarisasi.Saat awal depolarisasi membran sel masih
reversibel, tetapi bila menetap terjadi perubahan struktural ruang menyebabkan kematian
jaringan otak. Keadaan ini terjadi segera apabila perfusi menurun dibawah ambang batas
kematian jaringan, yaitu bila aliran darah berkurang hingga dibawah 0,10 ml/100
6
gr.menit (Jupardi,2002).
Akibat kekurangan oksigen terjadi asidosis yang menyebabkan gangguan fungsi
enzim-enzim, karena tingginya ion H. Selanjutnya asidosis menimbulkan edema serebral
yang ditandai pembengkakan sel, terutama jaringan glia, dan berakibat terhadap
mikrosirkulasi. Oleh karena itu terjadi peningkatan resistensi vaskuler dan ekmudian
penurunan dari tekanan perfusi sehingga terjadi perluasan daerah iskemik
(Jupardi,2002).
Peranan ion Ca pada sejumlah proses intra dan ekstra seluler pada keadaan ini
sudah makin jelas, dan hal ini menjadi dasar teori untukmengurangi perluasan daerah
iskemi dengan mengatur masuknya ion Ca.
Komplikasi lebih lanjut dari iskemia serebral adalah edema serbral. Kejadian ini
terjadi akibat peningkatan jumlah cairan dalam jaringan otak sebagai akibat pengaruh
dari kerusakan lokal atau sistemis. Segera setelah terjadi iskemia timbul edema serbral
sitotoksik.Akibat dari osmosis sel cairan berpindah dari ruang ekstraseluler bersama
dengan kandungan makromolekulnya.Mekanisme ini diikuti dengan pompa Na/K dalam
membran sel dimana transpor Na dan air kembali keluar ke dalam ruang ekstra
seluler.Pada keadaan iskemia, mekanisme ini terganggu danneuron menjadi bengkak.
Edema sitotoksik adalah suatu intraseluler edema.Apabila iskemia menetap untuk waktu
yang lama, edema vasogenic dapat memperbesar edema sitotoksik (Jupardi,2002).
Hal ini terjadi akibat kerusakan dari sawar darah otak, dimana cairan plasma akan
mengalir ke jaringan otak dan ke dalam ruang ekstraseluler sepanjang serabut saraf
dalam substansia alba sehingga terjadi pengumpalancairan. Sehingga vasogenik edema
serbral merupakan suatu edema ekstraseluler. Pada stadium lanjut vasigenic edema
7
serebral tampak sebagai gambaran fingerlike pada substansia alba. Pada stadium awal
edema sitotoksik serbral ditemukan pembengkakan pada daerah disekitar arteri yang
terkena.Hal ini menarik bahwa gangguan sawar darah otak berhungan dengan
meningkatnya resiko perdarahan sekunder setelah rekanalisasi (disebut juga trauma
reperfusy) (Jupardi,2002).
Edema serbral yang luas setelah terjadinya iskemia dapat berupa space occupying
lesion. Peningkatan tekanan tinggi intrakranial yang menyebabkan hilngnya kemampuan
untuk menjaga keseimbangan cairan didalam otak akan menyebabkan penekanan sistem
ventrikel, sehingga cairan serebrospinalis akan berkurang. Bila hal ini berlanjut,maka
akan terjadi herniasi kesegala arah, dan menyebabkan hidrosephalus obstruktif.
Akhirnya dapat menyebabkan iskemia global dan kematian otak (Jupardi,2002).
Diagnosis stroke infark/ iskemik
Diagnosis biasanya ditegakkan berdasarkan perjalanan penyakit dan hasil
pemeriksaan fisik. Pemeriksaan fisik membantu menentukan lokasi kerusakan otak.
Untuk memperkuat diagnosis biasanya dilakukan pemeriksaan CT scan atau MRI.
Kedua pemeriksaan tersebut juga bisa membantu menentukan penyebab dari stroke,
apakah perdarahan atau tumor otak (Jupardi,2002).
STROKE PERDARAHAN
Klasifikasi Stroke Hemoragik
Menurut WHO, dalam International Statistical Classification of Diseases and
Related Health Problem 10th Revision, stroke hemoragik dibagi atas:
8
a. Perdarahan Intraserebral (PIS)
Perdarahan Intraserebral (PIS) adalah perdarahan yang primer berasal dari
pembuluh darah dalam parenkim otak dan bukan disebabkan oleh trauma. Perdarahan ini
banyak disebabkan oleh hipertensi, selain itu faktor penyebab lainnya adalah aneurisma
kriptogenik, diskrasia darah, penyakit darah seperti hemofilia, leukemia,
trombositopenia, pemakaian antikoagulan angiomatosa dalam otak, tumor otak yang
tumbuh cepat, amiloidosis serebrovaskular (Anita, 2006).
b. Perdarahan Subarakhnoidal (PSA)
Perdarahan Subarakhnoidal (PSA) adalah keadaan terdapatnya/masuknya darah
ke dalam ruangan subarakhnoidal. Perdarahan ini terjadi karena pecahnya aneurisma
(50%), pecahnya malformasi arteriovena atau MAV (5%), berasal dari PIS (20%) dan
25% kausanya tidak diketahui (Anita, 2006).
c. Perdarahan Subdural
Perdarahan subdural adalah perdarahan yang terjadi akibat robeknya vena
jembatan (bridging veins) yang menghubungkan vena di permukaan otak dan sinus
venosus di dalam durameter atau karena robeknya araknoidea (Anita, 2006).
Patofisiologi Stroke Hemoragik
Perdarahan intrakranial meliputi perdarahan di parenkim otak dan perdarahan
subarachnoid. Insidens perdarahan intrakranial kurang lebih 20 % adalah stroke
hemoragik, dimana masing-masing 10% adalah perdarahan subarachnoid dan
perdarahan intraserebral (Anita,2006)
9
Perdarahan intraserebral biasanya timbul karena pecahnya mikroaneurisma
(Berry aneurysm) akibat hipertensi maligna. Hal ini paling sering terjadi di daerah
subkortikal, serebelum, dan batang otak. Hipertensi kronik menyebabkan pembuluh
arteriola berdiameter 100 – 400 mikrometer mengalami perubahan patologi pada dinding
pembuluh darah tersebut berupa lipohialinosis, nekrosis fibrinoid serta timbulnya
aneurisma tipe Bouchard. Pada kebanyakan pasien, peningkatan tekanan darah yang
tiba-tiba menyebabkan rupturnya penetrating arteri yang kecil. Keluarnya darah dari
pembuluh darah kecil membuat efek penekanan pada arteriole dan pembuluh kapiler
yang akhirnya membuat pembuluh ini pecah juga. Hal ini mengakibatkan volume
perdarahan semakin besar (Anita, 2006)
Elemen-elemen vasoaktif darah yang keluar serta kaskade iskemik akibat
menurunnya tekanan perfusi, menyebabkan neuron-neuron di dearah yang terkena darah
dan sekitarnya lebih tertekan lagi. Gejala neurologik timbul karena ekstravasasi darah ke
jaringan otak yang menyebabkan nekrosis (Anita, 2006).
Perdarahan subarachnoid (PSA) terjadi akibat pembuluh darah disekitar
permukaan otak pecah, sehingga terjadi ekstravasasi darah ke ruang subarachnoid.
Perdarahan subarachnoid umumnya disebabkan oleh rupturnya aneurisma sakular atau
perdarahan dari arteriovenous malformation (AVM).
Gejala Stroke Hemoragik
a. Gejala Perdarahan Intraserebral (PIS)
Gejala yang sering djumpai pada perdarahan intraserebral adalah: nyeri kepala
berat, mual, muntah dan adanya darah di rongga subarakhnoid pada pemeriksaan pungsi
10
lumbal merupakan gejala penyerta yang khas. Serangan sering kali di siang hari, waktu
beraktivitas dan saat emosi/marah. Kesadaran biasanya menurun dan cepat masuk koma
(65% terjadi kurang dari setengah jam, 23% antara 1/2-2 jam, dan 12% terjadi setelah 3
jam). (Anita, 2006).
b. Gejala Perdarahan Subarakhnoid (PSA)
Pada penderita PSA dijumpai gejala: nyeri kepala yang hebat, nyeri di leher dan
punggung, mual, muntah, fotofobia. Pada pemeriksaan fisik dapat dilakukan dengan
pemeriksaan kaku kuduk, Lasegue dan Kernig untuk mengetahui kondisi rangsangan
selaput otak, jika terasa nyeri maka telah terjadi gangguan pada fungsi saraf. Pada
gangguan fungsi saraf otonom terjadi demam setelah 24 jam. Bila berat, maka terjadi
ulkus pepticum karena pemberian obat antimuntah disertai peningkatan kadar gula
darah, glukosuria, albuminuria, dan perubahan pada EKG. (Anita, 2006).
c. Gejala Perdarahan Subdural
Pada penderita perdarahan subdural akan dijumpai gejala: nyeri kepala, tajam
penglihatan mundur akibat edema papil yang terjadi, tanda-tanda defisit neurologik
daerah otak yang tertekan. Gejala ini timbul berminggu-minggu hingga berbulan-bulan
setelah terjadinya trauma kepala. (Anita, 2006).
Diagnosis Stroke Hemoragik
a. Perdarahan Intraserebral (PIS)
Diagnosis didasarkan atas gejala dan tanda-tanda klinis dari hasil pemeriksaan.
Untuk pemeriksaan tambahan dapat dilakukan dengan Computerized Tomography
Scanning (CT-Scan), Magnetic Resonance Imaging (MRI), Elektrokardiografi (EKG),
11
Elektroensefalografi (EEG), Ultrasonografi (USG), dan Angiografi cerebral. (Anita,
2006).
b. Perdarahan Subarakhnoid (PSA)
Diagnosis didasarkan atas gejala-gejala dan tanda klinis. Pemeriksaan tambahan
dapat dilakukan dengan Multislices CT-Angiografi, MR Angiografi atau Digital
Substraction Angiography (DSA). (Anita, 2006).
c. Perdarahan Subdural
Diagnosis didasarkan atas pemeriksaan yaitu dilakukan foto tengkorak
anteroposterior dengan sisi daerah trauma. Selain itu, dapat juga dilakukan dengan CT-
Scan dan EEG.
Oleh karena tidak seluruh Rumah Sakit memiliki alat-alat di atas, maka untuk
memudahkan pemeriksaan dapat dilakukan dengan sistem lain, misalnya sistem skoring
yaitu sistem yang berdasarkan gejala klinis yang ada pada saat pasien masuk Rumah
Sakit. Sistem skoring yang sering digunakan yaitu:
Siriraj Hospital Score:
= (2.5 x kesadaran) + (2 x muntah) + ( 2 x sakit kepala) + (0.1 x
tekanan darah diastolik) – (3 x atheroma) – 12.
1. Kesadaran:
Sadar = 0; mengantuk, stupor = 1; semikoma, koma = 2
2. Muntah:
tidak = 0 ; ya = 1
12
3. Sakit kepala dalam 2 jam:
tidak = 0 ; ya = 1
4. Tanda-tanda ateroma:
tidak ada = 0 ; 1 atau lebih tanda ateroma = 1
(anamnesis diabetes; angina; klaudikasio intermitten)
Pembacaan:
Skor > 1 : Perdarahan otak
< -1: Infark otak
Sensivitas: Untuk perdarahan: 89.3%.
Untuk infark: 93.2%.
Ketepatan diagnostik: 90.3%.
B. MRI (MAGNETIC RESONANCE IMAGING)
Magnetic Resonance Imaging (MRI) adalah suatu teknik penggambaran
penampang tubuh berdasarkan prinsip resonansi magnetik inti atom hidrogen. Tehnik
penggambaran MRI relatif komplek karena gambaran yang dihasilkan tergantung pada
banyak parameter. Alat tersebut memiliki kemampuan membuat gambaran potongan
coronal, sagital, aksial dan oblik tanpa banyak memanipulasi tubuh pasien. Bila
pemilihan parameternya tepat, kualitas gambaran detil tubuh manusia akan tampak
jelas, sehingga anatomi dan patologi jaringan tubuh dapat dievaluasi secara teliti
(Notosiswoyo,2004)
Magnetic Resonance Imaging yang disingkat dengan MRI adalah suatu alat
diagnostik mutahir untuk memeriksa dan mendeteksi tubuh dengan menggunakan medan
13
magnet dan gelombang frekuensi radio, tanpa operasi, penggunaan sinar X ataupun
bahan radioaktif.
Hasil pemeriksaan MRI adalah berupa rekaman gambar potongan penampang
tubuh/organ manusia dengan menggunakan medan magnet berkekuatan antara 0,064 –
1,5 tesla (1 tesla = 1000 Gauss) dan resonansi getaran terhadap inti atom hydrogen
(Notosiswoyo,2004).
Untuk menghasilkan gambaran MRI dengan kualitas yang optimal sebagai alat
diagnostik, maka harus memperhitungkan hal-hal yang berkaitan dengan teknik
penggambaran MRI, antara lain :
a. Persiapan pasien serta teknik pemeriksaan pasien yang baik
b. Kontras yang sesuai dengan tujuan pemeriksaanya
c. Artefak pada gambar, dan cara mengatasinya
d. Tindakan penyelamatan terhadap keadaan darurat.
TIPE MRI
MRI bila ditinjau dari tipenya terdiri dari (Notosiswoyo,2004):
a. MRI yang memiliki kerangka terbuka (open gantry) dengan ruang yang luas
b. MRI yang memiliki kerangka (gantry) biasa yang berlorong sempit.
Sedangkan bila ditinjau dari kekuatan magnetnya terdiri dari :
a. MRI Tesla tinggi ( High Field Tesla ) memiliki kekuatan di atas 1 – 1,5 T
b. MRI Tesla sedang (Medium Field Tesla) memiliki kekuatan 0,5 – T
14
c. MRI Tesla rendah (Low Field Tesla) memiliki kekuatan di bawah 0,5 T.
PERKEMBANGAN MRI
Pada tahun 1946, Felix Bloch dan Purcell mengemukakan teori, bahwa inti atom
bersifat sebagai magnet kecil, dan inti atom membuat spinning dan precessing. Dari
hasil penemuan kedua orang diatas kemudian lahirlah alat Nuclear Magnetic Resonance
(NMR) Spectrometer, yang penggunaannya terbatas pada kimia saja.
Setelah lebih dari sepuluh tahun Raymond Damadian bekerja dengan alat NMR
Spectometer, maka pada tahun 1971 ia menggunakan alat tersebut untuk pemeriksaan
pasien. Pada tahun 1979, The University of Nottingham Group memproduksi gambaran
potongan coronal dan sagittal (disamping potongan aksial) dengan NMR. Selanjutnya
karena kekaburan istilah yang digunakan untuk alat NMR dan di bagian apa sebaiknya
NMR diletakkan, maka atas saran dari American College of Radiology (1984), NMR
dirubah menjadi Magnetic Resonance Imaging ( MRI) dan diletakkan di bagian
Radiologi (Notosiswoyo,2004)
PRINSIP DASAR MRI
Struktur atom hidrogen dalam tubuh manusia saat diluar medan magnet
mempunyai arah yang acak dan tidak membentuk keseimbangan. Kemudian saat
diletakkan dalam alat MRI (gantry), maka atom H akan sejajar dengan arah medan
magnet . Demikian juga arah spinning dan precessing akan sejajar dengan arah medan
15
magnet. Saat diberikan frekuensi radio , maka atom H akan mengabsorpsi energi dari
frekuensi radio tersebut. Akibatnya dengan bertambahnya energi, atom H akan
mengalami pembelokan, sedangkan besarnya pembelokan arah, dipengaruhi oleh besar
dan lamanya energi radio frekuensi yang diberikan. Sewaktu radio frekuensi dihentikan
maka atom H akan sejajar kembali dengan arah medan magnet. Pada saat kembali inilah,
atom H akan memancarkan energi yang dimilikinya. Kemudian energi yang berupa
sinyal tersebut dideteksi dengan detektor yang khusus dan diperkuat. Selanjutnya
komputer akan mengolah dan merekonstruksi citra berdasarkan sinyal yang diperoleh
dari berbagai irisan (Notosiswoyo,2004).
INSTRUMEN MRI
Secara garis besar instrumen MRI terdiri dari:
a. Sistem magnet yang berfungsi membentuk medan magnet.
Agar dapat mengoperasikan MRI dengan baik, kita perlu mengetahui tentang tipe
magnet, efek medan magnet, magnet shielding, shimming coil dari pesawat MRI
tersebut.
b. Sistem pencitraan
berfungsi membentuk citra yang terdiri dari tiga buah kumparan koil, yaitu:
1. Gradien koil X, untuk membuat citra potongan sagittal.
2. Gardien koil Y, untuk membuat citra potongan koronal.
16
3. Gradien koil Z untuk membuat citra potongan aksial
Bila gradien koil X, Y dan Z bekerja secara bersamaan maka akan terbentuk
potongan oblik.
c. Sistem frequensi radio berfungsi membangkitkan dan memberikan radio frekuensi
serta mendeteksi sinyal.
d. Sistem komputer berfungsi untuk membangkitkan sekuens pulsa, mengontrol semua
komponen alat MRI dan menyimpan memori beberapa citra.
e. Sistem pencetakan citra, berfungsinya untuk mencetak gambar pada film rongent
atau untuk menyimpan citra (Notosiswoyo,2004).
Gambar 2.1 Instrumen MRI
17
APLIKASI KLINIS PEMERIKSAAN MRI
Pemeriksaan MRI bertujuan mengetahui karakteristik morpologik (lokasi,
ukuran, bentuk, perluasan dan lain lain) dari keadaan patologis. Tujuan tersebut dapat
diperoleh dengan menilai salah satu atau kombinasi gambar penampang tubuh aksial,
sagital, koronal atau oblik tergantung pada letak organ dan kemungkinan patologinya.
Adapun jenis pemeriksaan MRI sesuai dengan organ yang akan dilihat, misalnya:
1. Pemeriksaan kepala untuk melihat kelainan pada kelenjar pituitary, lobang telinga
dalam, rongga mata dan sinus.
2. Pemeriksaan otak untuk mendeteksi stroke/infark, gambaran fungsi otak,
pendarahan, infeksi, tumor, kelainan bawaan, kelainan pembuluh darah seperti
aneurisma, angioma, proses degenerasi, atrofi.
3. Pemeriksaan tulang belakang untuk melihat proses Degenerasi (HNP), tumor,
infeksi, trauma dan kelainan bawaan.
4. Pemeriksaan Musculoskeletal untuk organ lutut, bahu, siku, pergelangan tangan,
pergelangan kaki, kaki, untuk mendeteksi robekan tulang rawan, tendon, ligamen,
tumor, infeksi/abses dan lain lain.
5. Pemeriksaan Abdomen untuk melihat hati , ginjal, kantong dan saluran empedu,
pakreas, limpa, organ ginekologis, prostat dan buli-buli.
6. Pemeriksaan Thorax untuk melihat paru-paru dan jantung (Notosiswoyo,2004).
18
KELEBIHAN MRI DIBANDINGKAN DENGAN CT SCAN
Ada beberapa kelebihan MRI dibandingkan dengan pemeriksaan CT Scan yaitu:
1. MRI lebih unggul untuk mendeteksi beberapa kelainan pada jaringan lunak seperti
otak, sumsum tulang serta muskuloskeletal.
2. Mampu memberi gambaran detail anatomi dengan lebih jelas.
3. Mampu melakukan pemeriksaan fungsional seperti pemeriksaan difusi, perfusi dan
spektroskopi yang tidak dapat dilakukan dengan CT Scan.
4. Mampu membuat gambaran potongan melintang, tegak, dan miring tanpa merubah
posisi pasien.
5. MRI tidak menggunakan radiasi pengion (Notosiswoyo,2004).
PENATALAKSANAAN PASIEN DAN TEHNIK PEMERIKSAAN
Pada pemeriksaan MRI perlu diperhatikan bahwa alat-alat seperti tabung
oksigen, alat resusistasi, kursi roda, dll yang bersifat feromagnetik tidak boleh dibawa ke
ruang MRI. Untuk keselamatan, pasien diharuskan mema-kai baju pemeriksaan dan
menanggalkan benda-benda feromagnetik, seperti jam tangan, kunci, perhiasan jepit
rambut, gigi palsu dan lainnya.
Screening dan pemberian informasi kepada pasien dilakukan dengan cara
mewawancarai pasien, untuk mengetahui apakah ada sesuatu yang membahayakan
pasien bila dilakukan pemeriksaan MRI, misalnya: pasien menggunakan alat pacu
jantung, logam dalam tubuh pasien seperti IUD, sendi palsu, neurostimulator, dan klip
anurisma serebral, dan lain-lain.
19
Transfer pasien menuju ruangan MRI, khususnya pasien yang tidak dapat
berjalan (non ambulatory) lebih kompleks dibandingkan pemeriksaan imaging lainnya.
Hal ini karena medan magnet pesawat MRI selalu dalam keadaan “on” sehingga setiap
saat dapat terjadi resiko kecelakaan, dimana benda-benda feromagnetik dapat tertarik
dan kemungkinan mengenai pasien atau personil lainnya. Salah satu upaya untuk
mengatasi hal tersebut, meja pemeriksaan MRI dibuat mobile, dengan tujuan pasien
dapat dipindahkan ke meja MRI di luar ruang pemeriksaan dan dapat segera dibawa ke
luar ruangan MRI bila terjadi hal-hal emergensi. Selain itu meja cadangan pemeriksaan
perlu disediakan, agar dapat mempercepat penanganan pasien berikutnya sebelum
pemeriksaan pasien sebelumnya selesai. Upaya untuk kenyamanan pasien diberikan,
antara lain dengan penggunaan Earplugs bagi pasien untuk mengurangi kebisingan,
penggunaan penyangga lutut/tungkai , pemberian selimut bagi pasien, pemberian tutup
kepala .
Untuk persiapan pelaksanaan pemeriksaan perlu dilakukan beberapa hal berikut:
1. Persiapan console yaitu memprogram identitas pasien seperti nama, usia dan lain-
lain, mengatur posisi tidur pasien sesuai dengan obyek yang akan diperiksa.
2. Memilih jenis koil yang akan digunakan untuk pemeriksaan, misalnya untuk
pemeriksaan kepala digunakan Head coil, untuk pemeriksaan tangan, kaki dan
tulang belakang digunakan Surface coil.
3. Memilih parameter yang tepat, misalnya untuk citra anatomi dipilih parameter yang
Repetition Time dan Echo Time pendek, sehingga pencitraan jaringan dengan
konsentrasi hidrogen tinggi akan berwarna hitam. Untuk citra pathologis dipilih
parameter yang Repetition Time dan Echo Time panjang, sehingga misalnya untuk
20
gambaran cairan serebro spinalis dengan konsentrasi hidrogen tinggi akan tampak
berwarna putih. Untuk kontras citra antara, dipilih parameter yang repetition time
panjang dan echo time pendek sehingga gambaran jaringan dengan konsentrasi
hidrogen tinggi akan tampak berwarna abu-abu.
Untuk mendapatkan hasil gambar yang optimal, perlu penentuan center magnet
(land marking patient) sehingga coil dan bagian tubuh yang diamati harus sedekat
mungkin ke senter magnet, misalnya pemeriksaan MRI kepala, pusat magnet pada
hidung.
Untuk menentukan bagian tubuh dibuat Scan Scout (panduan pengamatan),
dengan parameter, ketebalan irisan dan jarak antar irisan serta format gambaran tertentu.
Ini merupakan gambaran tiga dimensi dari sejumlah sinar yang telah diserap. Setelah
tergambar scan scout pada TV monitor, maka dibuat pengamatan- pengamatan
berikutnya sesuai dengan kebutuhan.
Pemeriksaan MRI yang menggunakan kontras media, hanya pada kasus-kasus
tertentu saja. Salah satu kontras media untuk pemeriksaan MRI adalah Gadolinium
DTPA yang disuntikan intra vena dengan dosis 0,0 ml/kg berat badan
(Notosiswoyo,2004).
ARTEFAK PADA MRI DAN UPAYA MENGATASINYA
Artefak adalah kesalahan yang terjadi pada gambar yang menurut jenisnya dapat
terdiri dari kesalahan geometrik, kesalahan algoritma, kesalahan pengukuran attenuasi.
Sedangkan menurut penyebabnya terdiri dari:
21
a. Artefak yang disebabkan oleh pergerakan fisiologi, karena gerakan jantung gerakan
pernafasan, gerakan darah dan cairan cerebrospinal, gerakan yang terjadi secara
tidak periodik seperti gerakan menelan, berkedip dan lain-lain.
b. Artefak yang terjadi karena perubahan kimia dan pengaruh magnet.
c. Artefak yang terjadi karena letak gambaran tidak pada tempat yang seharusnya.
d. Artefact yang terjadi akibat dari data pada gambaran yang tidak lengkap.
e. Artefak sistem penampilan yang terjadi misalnya karena perubahan bentuk gambaran
akibat faktor kesalahan geometri, kebocoran dari tabir radiofrequens.
Akibat adanya artefak-artefak tersebut pada gambaran akan tampak gambaran
kabur, terjadi kesalahan geometri, tidak ada gambaran, gambaran tidak bersih, terdapat
garis–garis dibawah gambaran, gambaran bergaris garis miring, gambaran tidak
beraturan.
Upaya untuk mengatasi artefak pada gambaran MRI, antara lain dilakukan
dengan cara waktu pemotretan dibuat secepat mungkin memeriksa keutuhan tabir
pelindung radio frekuensi, menanggalkan benda-benda yang bersifat feromagnetik bila
memungkinkan, perlu kerja sama yang baik dengan pasien. (Notosiswoyo, 2004)
22
BAB 3
PEMBAHASAN
A. Peranan MRI dalam Diagnosis Stroke
Penggunaan Magnetic resonance imaging (MRI) dalam diagnosis cerbrvascular
accident (CVA) masih belum jamak dilakukan di Indonesia, karena harga pemeriksaan MRI
yang relatif mahal dan hanya ada di kota-kota besar. Walaupun demikian MRI sebenarnya
memiliki beberapa keunggulan dalam diagnosis stroke dibandingkan dengan pemeriksaan
CT-Scan, yaitu resolusi kontras yang lebih tinggi dan tidak terdistorsi oleh artefak tulang.
Dengan keunggulan ini, maka MRI dapat digunakan untuk mendiagnosis stroke infark
ataupun perdarahan dalam kondisi hiperakut. Selain itu, MRI juga mampu mendeteksi
adanya potensi untuk mengalami stroke pada pasien (Culebras et al, 1997).
Dengan kemajuan zaman, peran MRI dalam diagnosis stroke semakin penting,
Advanced MRI menggunakan medan magnit dengan kekuatan tinggi (1,5-3,0 Tesla),
sehingga hasil pencitraan yang diperoleh dapat menjadi lebih baik dalam hal resolusi, dan
bahkan menghasilkan potongan-potongan baru. Ada beberapa teknik MRI yang sering
digunakan dalam diagnosis stroke pada masa sekarang, yaitu :
T1-weighted imaging (T1-WI), dalam teknik ini cairan serebrospinal
menjadi hipointens dibandingkan parenkim otak.
T2-weighted imaging (T2-WI), dalam teknik ini cairan serebrospinal
menjadi hiperintens dibandingkan parenkim otak.
23
Spin density-weighted imaging, dalam teknik ini cairan serebro spinal
memiliki densitas yang sama dengan parenkim otak.
Gradient Echo Imaging(GRE), yang memiliki sensitivitas tertinggi untuk
perubahan pada stroke perdarahan dini.
Diffusion-weighted Imaging (DWI), yang memberikan gambaran
pergerakan molekul air dalam konteks jaringan.
Perfusion-weighted Imaging, yang memberikan gambaran dengan
memperlihatkan kemampuan kontras untuk memasuki parenkim otak
(Sen et al,2011).
Magnetic Resonance Spectroscopy, merupakan teknik baru dengan cara
mengukur level ATP, laktat dan pH dari area-area di otak (Dunbabin
DW, Sandercock PAG, 1991)
Gambar 3.1 Gambaran MRI dengan DWI
Dikutip dari: Thumher, 2009
24
B. Gambaran MRI Stroke Infark
Pada MRI konvensional gambaran infark harus dipastikan dengan adanya gambaran
hiperintens pada T2-WI, gambaran ini juga harus muncul sebagai gambaran hipointens pada
T1-WI (Culebras et al,1997). Gambaran ini muncul karena pada sel yang mengalami
iskemia terjadi kegagalan pompa Na-K ATPase, sehingga terjadi akumulasi ion dalam ruang
intraseluler. Akumulasi ion ini akan diikuti dengan masuknya cairan kedalam sel (edema
sitotoksik). Gambaran cairan akan terlihat sebagai hipointens pada T1-WI dan terlihat
sebagai hiperintens pada T2-WI.
Gambar 3.2 Contoh gambaran MRI pada stroke iskemik
Dikutip dari : Thumher, 2008
Selain itu American Stroke Association juga membuat sebuah kriteria diagnosis stroke
infark untuk pemeriksaan MRI, antara lain :
Akut: Hipointens pada T1 yang sering sulit ditemukan dan hiperintens pada
spin density dan T2. Efek massa terlihat maksimal pada 24 jam setelah
kejadian stroke, namun sering sudah mulai terlihat pada 2 jam setelah onset
25
stroke. Tidak ada peningkatan intensitas parenkim dengan kontras
paramagnetik. Terlihat peningkatan intensitas dari slow-flow arteries dengan
kontras. Pada 48 jam setelah onset baru terjadi peningkatan intensitas
parenkim dengan kontras.
Subakut (sampai dengan 1 minggu) : low signal pada T1, dan high signal
pada T2-weighted images. Sesuai ditribusi vaskuler. Terjadinya
revaskularisasi dan rusaknya sawar darah otak akan mengakibatkan
peningkatan intensitas parenkim dengan kontras.
Kronik (beberapa minggu sampai beberapa tahun): Low signal pada T1, high
signal on T2. Efek massa hilang setelah 1 bulan. Didapatkan kerusakan
jaringan yang luas. Peningkatan intensitas parenkim dengan kontras hilang
setelah beberapa bulan.
Pada pemeriksaan dengan menggunakan DWI kita bisa mendapatkan Apparent
Diffusion Coefficient (ADC). Berbagai penelitian membuktikan, bahwa nilai ADC
berkurang sebanyak 50% pada areal iskemik, yang dalam hasil pencitraan akan tampak
sebagai gambaran hiperintens. Perubahan ADC ini dapat terjadi bahkan hanya berselang 10
menit dari onset stroke.
26
Gambar 3.3 Perbandingan Hasil Pencitraan T2WI, DWI, ADC
Dikutip dari : Thumher,2008
Gambar di atas menunjukkan bahwa gambaran hiperintens pada DWI dapat muncul
sejak fase akut (bahkan beberapa menit) lalu memuncak pada minggu pertama. Sedangkan pada
T2WI kita melihat bahwa gambaran hiperintens baru muncul setelah 24 jam dan menjadi
semakin jelas setelah beberapa minggu (Thumher,2008). Beberapa peneliti juga mengatakan
bahwa DWI dapat digunakan untuk menentukan areal ireversibel akibat stroke (Srinivasan et al,
2006)
Untuk Perfusion Weighted Imaging, biasanya model pencitraan ini digunakan untuk
mengetahui luas area yang masih dapat kembali seperti semula (reversibel). Oleh karena itu
27
gambaran PWI dan DWI seringkali digunakan bersamaan. Srinivasan et al, 2008 mengemukakan
beberapa kemungkinan gambaran pada PWI dan DWI dan kaitannya dengan terapi pilihan untuk
pasien. Adanya mismatch pada gambaran PWI yang lebih besar daripada DWI menunjukkan
adanya penumbra yang luas.
Gambar 3.4 Mismatch perfusion and diffusion, gambar di kiri adalah gambar PWI
Dikutip dari: Thumher,2008
C. Gambaran MRI Stroke Perdarahan
MRI dapat juga digunakan untuk menegakkan diagnosis dini stroke perdarahan.
MRI dapat mendeteksi area transformasi perdarahan lebih dulu daripada CT-Scan. Pada
gambaran MRI, di pencitraan T1 akan didapatkan gambaran high signal. Sedangkan
pada T2, akan didapatkan gambaran patchy area of low signal dengan latar high signal.
28
Penggunaan MRI juga dapat dikembangkan untuk mengetahui penyebab awal terjadinya
stroke perdarahan, baik itu karena aneurisma, ataupun malformasi arteriovenosus.
Gambar 3.5 Gambaran MRI Stroke Perdarahan
Dikutip dari: Sen et al, 2011
Pada gambar 3.5 dapat dilihat bahwa pada gambaran T1 (kiri) areal perdarahan akan
tampak sebagai daerah isointens, sedangkan pada gambar T2, akan terlihat sebagai gambaran
hiperintens.
American Stroke Association pada tahun 1997 mengeluarkan guideline untuk diagnosis
pencitraan MRI pada kasus stroke perdarahan.
29
Tabel 3.1 Kriteria Diagnosis Stroke Perdarahan
Dikutip dari : Washington University Stroke Center, 2010
Untuk mendeteksi stroke perdarahan dalam waktu cepat bisa digunakan GRE (Gradient
Resolution), EPI (Echoplantar Imaging), and DWI, karena pemeriksaan ini dapat mendeteksi
perdarahan intraparenkim dalam beberapa jam pertama. Sedangkan gambaran T1 dan T2 hanya
sensitif untuk perdarahan kronik dan subakut.
Pada akhirnya, dapat disimpulkan bahwa MRI sangat berguna untuk mendeteksi
perdarahan kecil (lebih sensitif daripada CT-Scan sebesar 90%). American Stroke Association
merekomendasikan penggunaan MRI untuk deteksi dini stroke perdarahan (kelas II) (Srinivasan
et al, 2006).
30
D. Peran MRI dalam Pemilihan Terapi Pasien
MRI sangat bermanfaat dalam pemilihan terapi pasien, berikut adalah diagram alur
pemilihan teknik pencitraan dalam kasus stroke akut.
Gambar 3.6 Diagram Alur Teknik Pencitraan dan Terapi Stroke
31
BAB 4
KESIMPULAN
1. MRI (Magnetic resonance imaging) merupakan salah satu modalitas diagnosis
penyakit stroke yang terbukti lebih spesifik dan sentitif untuk deteksi dini stroke.
Hal ini terutama dalam mendeteksi stroke fase hiperakut baik dalam diagnosis
stroke infark maupun stroke perdarahan. Dimana sangat berpengaruh terhadap
prognosa dari pasien. Namun kenyatannya penggunaan MRI ini masih belum
banyak dilakukan di Indonesia,dikarenakan beberapa kendala yaitu biaya dari
pemeriksaan suatu MRI yang relatif mahal dan biasanya pemeriksaan MRI hanya
didapatkan pada kota-kota besar.
2. Dalam diagnosis stroke infark pada MRI ditemukan gambaran hipointens pada
teknik pemeriksaan dengan T1-weighted imaging (T1-WI) dan gambaran
hiperintens pada teknik pemeriksaan dengan T2-weighted imaging (T2-WI).
3. Untuk mendapatkan diagnosis yang lebih cepat lagi dapat digunakan teknik
pemeriksaan Diffusion-weighted Imaging (DWI) dan Perfusion-weighted
Imaging (PWI) yang sering digunakan bersamaan. Dalam beberapa menit sudah
dapat terdeteksi dengan teknik DWI dan dapat diketahui luas area yang masih
dapat kembali seperti semula dengan teknik PWI.
32
4. Dalam diagnosis stroke perdarahan pada MRI, pencitraan T1 akan didapatkan
gambaran high signal. Sedangkan pada T2, akan didapatkan gambaran patchy
area of low signal dengan latar high signal.
5. MRI juga dapat digunakan dalam penentuan terapi stroke.
33
DAFTAR PUSTAKA
Anita.2006. Tinjauan Pustaka Stroke. Dapat diakses di: http://repository.usu.ac.id/
bitstream/123456789/19551/4/Chapter%20II.pdf. Diakses pada: 21 Mei
2011, 14.00 WIB.
Anonymus.2008.Stroke,Pembunuh no.3 di Indonesia. Dapat diakses di: http://www.
eurekaindonesia.org/ .Diakses pada 21 Mei 2011,15.23 WIB
Chandra,B.1994.Neurologi Klinik.Surabaya:FK UNAIR
Culebras et al, 1997. Practice Guidelines for the Use of Imaging in Transient Ischemic
Attacks and Acute Stroke : A Report of the Stroke Council, American Heart
Association. Dapat diakses di : http://stroke.ahajournals.org/cgi/content/full/
28/7/1480. Diakses pada 21 Mei 2011, 11:14 WIB.
Dunbabin DW, Sandercock PAG, 1991. Investigation of Acute Stroke. Dapat diakses di :
www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/.../pdf/postmedj00075-0044.pdf. Dia-
kses pada : 21 Mei 2011, 12:09 WIB
Giantini,A.2003. Analisis Parameter Laboratorium Faktor Stroke Iskemik di Rumah
Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta. Dapat diakses di:
http://digilib.litbang.depkes.go.id/go.php?id=jkpkbppk-gdl-res-2003-astuti-
1705-stroke .Diakses pada : 20 Mei 2011,22.00WIB
Harsono. 1994. Faktor Resiko Stroke. Yogyakarta: Seminar Stroke RS Bethesda
Imam,Nugroho.2009.Asuhan Keperawatan Penyakit Stroke. Dapat diakses di :
http://etd.eprints. ums.ac.id /6377/1/J200060070.pdf .Diakses pada 21 Mei
2011,16.23 WIB
34
Japardi,I.2002. Patofisisiologi Stroke Infark akibat Tromboemboli. Dapat diakses di :
http://library.usu.ac.id/download/fk/bedah-iskandar%20japardi31.pdf.
Diakses pada: 20 Mei 2011,22.05 WIB
Lumbantobing,SM.2003.Stroke:Bencana Peredaran Darah di Otak.Jakarta:Balai
Penerbit FKUI
Rahardjo,Paulus.2009.Imejing ‘Stroke’ Terkini. Dapat diakses di http://dhammacitta.
org/forum /index.php?topic=9095.0 .Diakses pada 21 Mei 2011,17.06 WIB
Notosiswoyo M, 2004. Pemanfaatan Magnetic Resonance Imaging (MRI) sebagai
Sarana Diagnosa Pasien. Jakarta: Media Litbang Kesehatan Volume XIV:3
Sen, et al, 2011. MRI in Acute Stroke. Dapat diakses di : http://emedicine.medscape.
com/article/1155506-overview#aw2aab6c13 . Diakses pada 21 Mei 2011,
11:17 WIB.
Srinivasan et al, 2006. State-of-the-Art Imaging of Acute Stroke. Dapat diakses di:
http://radiographics.rsna.org/content/26/suppl_1/S75.full. Diakses pada: 21
Mei 2001, 13:41 WIB
Thumher Majda et al, 2008. Brain Ischemia - Imaging in Acute Stroke. Dapat diakses di:
http://www.radiologyassistant.nl/en/483910a4b6f14 . Diakses pada : 21 Mei
2011, 13:26 WIB
Washington University Stroke Center. 2010. Diagnosis Criteria of Stroke. Dapat diakses
di : http://www.strokecenter.org/education/ct-mri_criteria/ . Diakses pada :
21 Mei 2011, 11:26 WIB.
Yuh WT et al, 1991. Imaging of cerebral ischemia: findings in the first 24 hours. AJNR
Am J Neuroradiol. Dapat diakses di: http://stroke.ahajournals.org/cgi/ijlink?
linkType=ABST&journalCode=ajnr&resid=12/4/621. Diakses pada: 21 Mei
2011, 11:31 WIB.
35
top related