investigasi eksperimental efek nozzle exit … · wherein its operation could utilize waste heat...
Post on 08-Sep-2018
219 Views
Preview:
TRANSCRIPT
INVESTIGASI EKSPERIMENTAL EFEK NOZZLE EXIT
POSITION STEAM EJECTOR TERHADAP PARAMETER
ENTRAINMENT RATIO DAN EXPANSION RATIO
SKRIPSI
Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Strata 1 (S1) Pada Jurusan Teknik Mesin
Universitas Sanata Dharma
oleh :
ADITIA PRATAMA ABDI
135214115
PROGRAM STUDI TEKNIK MESIN
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2016
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
i
INVESTIGASI EKSPERIMENTAL EFEK NOZZLE EXIT
POSITION STEAM EJECTOR TERHADAP PARAMETER
ENTRAINMENT RATIO DAN EXPANSION RATIO
SKRIPSI
Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Strata 1 (S1) Pada Jurusan Teknik Mesin
Universitas Sanata Dharma
oleh :
ADITIA PRATAMA ABDI
135214115
PROGRAM STUDI TEKNIK MESIN
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2016
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ii
EXPERIMENTAL INVESTIGATION OF THE EFFECT OF
NOZZLE EXIT POSITION ON STEAM EJECTOR TO THE
ENTRAINMENT RATIO AND EXPANSION RATIO
PARAMETERS
FINAL PROJECT
To Fulfill One of the Requirements to Obtain
Strata 1 (S1) Bachelor Degree in the Department of Mechanical Engineering
Sanata Dharma University
by :
ADITIA PRATAMA ABDI
135214115
DEPARTMENT OF MECHANICAL ENGINEERING
FACULTY OF SCIENCE AND TECHNOLOGY
SANATA DHARMA UNIVERSITY
YOGYAKARTA
2016
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
iii
SKRIPSI
INVESTIGASI EKSPERIMENTAL EFEK NOZZLE EXIT
POSITION STEAM EJECTOR TERHADAP PARAMETER
ENTRAINMENT RATIO DAN EXPANSION RATIO
Disusun oleh :
ADITIA PRATAMA ABDI
135214115
Telah disetujui dan disahkan oleh Dosen Pembimbing
Pada tanggal 24 Agustus 2016
Yogyakarta, 24 Agustus 2016
Mengetahui,
Pembimbing I Pembimbing II
Wibowo Kusbandono, S.T., M.T. Stefan Mardikus, S.T., M.T.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
iv
SKRIPSI
INVESTIGASI EKSPERIMENTAL EFEK NOZZLE EXIT
POSITION STEAM EJECTOR TERHADAP PARAMETER
ENTRAINMENT RATIO DAN EXPANSION RATIO
Yang dipersiapkan dan disusun oleh :
ADITIA PRATAMA ABDI
135214115
Telah diuji dan dipertahankan di hadapan Dewan Penguji
Pada tanggal 24 Agustus 2016
Susunan Dewan Penguji
Nama Lengkap Tanda Tangan
Ketua : Ir. Petrus Kanisius Purwadi, M.T. ........................
Sekretaris : Doddy Purwadianto, S.T., M.T. ........................
Anggota : Wibowo Kusbandono, S.T., M.T. ........................
Stefan Mardikus, S.T., M.T. ........................
Yogyakarta, 24 Agustus 2016
Mengetahui,
Dekan Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Sanata Dharma
Sudi Mungkasi, S.Si., M.Math.Sc., Ph.D.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Aditia Pratama Abdi
NIM : 135214115
menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi saya yang berjudul:
INVESTIGASI EKSPERIMENTAL EFEK NOZZLE EXIT
POSITION STEAM EJECTOR TERHADAP PARAMETER
ENTRAINMENT RATIO DAN EXPANSION RATIO
adalah hasil karya sendiri dan bukan jiplakan hasil karya orang lain.
Tidak pernah terdapat suatu karya yang sama diajukan pada Perguruan
Tinggi lain. Dan sepanjang pengetahuan saya, tidak terdapat karya dan pendapat
yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis
diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Yogyakarta, 24 Agustus 2016
Penulis,
Aditia Pratama Abdi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
vi
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN
PUBLIKASI KARYA ILMIAH
UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Saya yang bertanda tangan di bawah ini sebagai mahasiswa Universitas
Sanata Dharma Yogyakarta:
Nama : Aditia Pratama Abdi
NIM : 135214115
Demi kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan
kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta karya ilmiah saya
dengan judul:
INVESTIGASI EKSPERIMENTAL EFEK NOZZLE EXIT
POSITION STEAM EJECTOR TERHADAP PARAMETER
ENTRAINMENT RATIO DAN EXPANSION RATIO
Dengan demikian saya memberikan wewenang untuk Perpustakaan
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta untuk menyimpan, mengalihkan dalam
bentuk media lain, serta mengelolanya di internet atau media lain untuk
kepentingan akademis tanpa perlu meminta izin dan memberikan royalty kepada
saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis karya ilmiah.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Yogyakarta, 24 Agustus 2016
Penulis,
Aditia Pratama Abdi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
vii
ABSTRAK
Steam ejector merupakan sistem refrijerasi yang ramah lingkungan,
dimana pengoperasiannya dapat memanfaatkan waste heat yang dihasilkan dari
berbagai macam proses industri. Steam ejector mempunyai beberapa kelebihan
dibandingkan dengan sistem refrijerasi yang lainnya, antara lain struktur desain
yang praktis, hemat biaya produksi, dapat digunakan untuk berbagai macam jenis
refrijeran, dan perawatan yang mudah. Dalam bidang industri, steam ejector
biasanya digunakan untuk memompa cairan yang bersifat korosif dan berbagai
macam gas yang sulit ditangani.
Penelitian tentang steam ejector ini digunakan untuk mengetahui
performa pada steam ejector berdasarkan nilai entrainment ratio dan nilai
expansion ratio. Penelitian ini menggunakan variasi pada primary nozzle exit
position (NXP), dimana NXP -5 mm, NXP 0 mm, dan NXP +5 mm dilakukan
pengujian terhadap primary pressure sebesar 1 bar, 2 bar, 3 bar, dan 4 bar, serta
secondary temperature sebesar 50 ˚C, 60 ˚C, 70 ˚C, dan 80 ˚C. Variasi penelitian
tersebut dilakukan untuk mengetahui pengaruh posisi NXP terhadap besarnya
nilai entrainment ratio dan nilai expansion ratio untuk kondisi pengoperasian
steam ejector yang berbeda.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai entrainment ratio yang
optimal terletak pada NXP +5 mm untuk variasi secondary temperature 50 ˚C, 60
˚C, dan 70 ˚C, serta variasi primary pressure 1 bar. Sedangkan pada variasi
primary pressure 2 bar, nilai entrainment ratio yang optimal terletak pada NXP -5
mm. Nilai expasion ratio maksimal untuk NXP -5 mm, NXP 0 mm, dan NXP +5
mm terletak pada secondary temperature 50 ˚C dengan melakukan variasi pada
primary pressure. Sedangkan pada variasi secondary temperature, nilai expansion
ratio maksimal terletak pada primary pressure 4 bar untuk NXP -5 mm, NXP 0
mm, dan NXP +5 mm.
Kata kunci: steam ejector, entrainment ratio, expansion ratio, NXP
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
viii
ABSTRACT
Steam ejector was an environmentally friendly refrigeration system,
wherein its operation could utilize waste heat that produced from many kinds of
industrial processes. Steam ejector had many advantages over the other type of
refrigeration system, such as structural design simplicity, low production cost, can
be used for many types of refrigerant, and easy to maintain. In industrial sector,
steam ejector usually used for pumping corrosive liquids and many kinds of gases
which are difficult to handle.
The study about this steam ejector system was used to discover the steam
ejector performance based on the entrainment ratio value and the expansion ratio
value. This study used variations of primary nozzle exit position (NXP), where
NXP -5 mm, NXP 0 mm, and NXP +5 mm were experimentally tested for
primary pressure 1 bar, 2 bar, 3 bar, and 4 bar, as well as experimentally tested for
secondary temperature 50 ˚C, 60 ˚C, 70 ˚C, dan 80 ˚C. These experimental
variations on this study were used to discover the effect of NXP position toward
the entrainment ratio value and the expansion ratio value for different steam
ejector operating conditions.
The result of this study founded that optimal entrainment ratio value was
NXP +5 mm when the steam ejector experimentally tested for secondary
temperature 50 ˚C, 60 ˚C, and 70 ˚C, as well as for primary pressure 1 bar. While
for the variation of primary pressure 2 bar, the optimal entraintment ratio value
was NXP -5 mm. Maximum expansion ratio value for NXP -5 mm, NXP 0 mm,
and NXP +5 mm was at secondary temperature 50 ˚C by variating the primary
pressure. While for the variation of secondary temperature, the maximum
expansion ratio value was at primary pressure 4 bar for NXP -5 mm, NXP 0 mm,
and NXP +5 mm.
Keywords: steam ejector, entrainment ratio, expansion ratio, NXP
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ix
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat
karunia-Nya yang dilimpahkan kepada penulis sehingga penulis dapat menyusun
dan menyelesaikan karya ilmiah yang telah penulis susun sejak lama sebagai salah
satu persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Teknik pada Program Studi
Teknik Mesin, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan dan penyelesaian karya
ilmiah ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh
karena itu, dengan segala kerendahan hati penulis ingin mengucapkan rasa terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Sudi Mungkasi, S.Si., M.Math.Sc., Ph.D. selaku Dekan Fakultas Sains
dan Teknologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
2. Ir. Petrus Kanisius Purwadi, M.T. selaku Kepala Program Studi Teknik
Mesin Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
3. Wibowo Kusbandono, S.T., M.T. selaku Pembimbing I Skripsi dan
Dosen Pembimbing Akademik yang terus memberikan semangat dan
dukungan kepada penulis selama mengerjakan tugas akhir.
4. Stefan Mardikus, S.T., M.T. selaku Pembimbing II Skripsi yang sangat
penulis hormati sebagai panutan dan penyemangat bagi penulis selama
menyusun hingga menyelesaikan skripsi.
5. Doddy Purwadianto, S.T., M.T. selaku Kepala Laboratorium Teknik
Mesin Universitas Sanata Dharma Yogyakarta yang telah memfasilitasi
berbagai macam sarana dan prasarana bagi penulis selama mengerjakan
tugas akhir.
6. Ag. Rony W., Intan Widanarko, dan Martono D. N. selaku Laboran
Teknik Mesin Universitas Sanata Dharma Yogyakarta yang telah banyak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
x
membantu dan memberikan masukan serta nasehat yang berguna bagi
penulis selama mengerjakan tugas akhir.
7. Susilo selaku ayah dari penulis yang telah memberikan banyak
dukungan, baik dukungan secara materi maupun moral. Beliau dengan
sabar membimbing penulis selama menempuh proses belajar di Program
Studi Teknik Mesin Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
8. Almh. Marlina selaku ibu dari penulis yang tetap menjadi penyemangat
hidup bagi penulis untuk terus berjuang.
9. Veronica Dwi Cahyani selaku adik perempuan penulis yang telah
memberikan banyak dukungan dan semangat selama penulis menempuh
proses belajar di Program Studi Teknik Mesin Universitas Sanata
Dharma Yogyakarta.
10. Gregorius Bryan Hendriwan Riyanto dan Gilang Argya Dyaksa selaku
rekan satu tim penulis selama mengerjakan tugas akhir hingga penulis
dapat menyelesaikannya dengan baik.
11. Semua rekan penulis yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu,
yang telah memberikan banyak semangat dan dukungan bagi penulis
selama proses mengerjakan tugas akhir dan menyelesaikannya dengan
baik.
Penulis menyadari bahwa selama penyusunan skripsi masih terdapat
banyak kekurangan. Oleh karena itu, penulis menerima segala kritik dan saran
yang penulis sadari akan sangat berguna untuk menyempurnakan penyusunan
skripsi. Penulis sangat berharap bahwa skripsi yang telah disusun oleh penulis
dapat berguna untuk menambah wawasan ilmu pengetahuan.
Yogyakarta, 24 Agustus 2016
Penulis
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xi
Dengan penuh rasa bangga dan penuh dengan ucapan syukur
Naskah ini penulis persembahkan untuk:
Ayahanda tercinta, Susilo
Ibunda terkasih, (Almh.) Marlina
Adik tersayang, Veronica Dwi Cahyani
Dosen Pembimbing terhormat,
Stefan Mardikus, S.T., M.T.
dan
Wibowo Kusbandono, S.T., M.T.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ........................................................................................ i
LEMBAR PERSETUJUAN............................................................................. iii
LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................. iv
LEMBAR PERNYATAAN ............................................................................. v
LEMBAR PERNYATAAN PUBLIKASI ....................................................... vi
ABSTRAK ....................................................................................................... vii
ABSTRACT ..................................................................................................... viii
KATA PENGANTAR ..................................................................................... ix
HALAMAN PERSEMBAHAN ...................................................................... xi
DAFTAR ISI .................................................................................................... xii
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xviii
DAFTAR TABEL ............................................................................................ xxiii
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xxiv
DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG................................................... xxv
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1
1.1. Latar Belakang ..................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah ................................................................ 6
1.3. Tujuan Penelitian ................................................................. 7
1.4. Batasan Masalah .................................................................. 7
1.5. Manfaat Penelitian ............................................................... 8
BAB II DASAR TEORI .................................................................................. 9
2.1. Steam Ejector ....................................................................... 9
2.2. Tipe Steam Ejector .............................................................. 10
2.2.1. Conventional Ejector Refrigeration System
(CERS)................................................................... 10
2.2.2. New Ejector Refrigeration System (NERS) - ERS
With an Additional Jet Pump ................................. 12
2.2.3. Multi-stage Ejector Refrigeration System
(MERS) .................................................................. 14
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xiii
2.3. Aplikasi Steam Ejector ........................................................ 16
2.3.1. Steam Jet Ejector for Deodorizing Edible Oils ..... 16
2.3.2. Steam Ejector Refrigeration System in Thailand .. 17
2.4. Komponen Utama Steam Ejector ........................................ 19
2.4.1. Primary Nozzle ...................................................... 19
2.4.2. Mixing Chamber .................................................... 20
2.4.3. Ejector Throat........................................................ 20
2.4.4. Subsonic Diffuser ................................................... 20
2.5. Kondisi Pengoperasian Steam Ejector ................................. 21
2.6. Parameter Performa Steam Ejector ...................................... 24
2.6.1. Entrainment Ratio (ω) ........................................... 24
2.6.2. Pressure Lift Ratio (PR) ........................................ 25
2.6.3. Expansion Ratio (ER) ............................................ 25
2.7. Fenomena Aliran Steam Ejector .......................................... 26
2.7.1. Compressible Flow ................................................ 26
2.7.2. Supersonic Nozzle dan Subsonic Diffuser ............. 29
2.7.3. Converging of Primary Nozzle .............................. 30
2.8. Mach Number (Ma) ............................................................. 31
2.9. Reynolds Number (Re) ......................................................... 32
2.10. Hukum Gas Ideal ................................................................. 34
2.11. Kinematika Fluida ............................................................... 35
2.11.1. Aliran Invisid dan Viskos ...................................... 35
2.11.2. Aliran Kompresibel dan Tak Kompresibel ............ 36
2.11.3. Aliran Laminer dan Turbulen ................................ 36
2.11.4. Aliran Mantap dan Tak Mantap ............................. 38
2.11.5. Aliran Seragam dan Tidak Seragam ...................... 38
2.12. Viskositas (Kekentalan) ....................................................... 38
2.12.1. Hukum Newton Tentang Kekentalan Zat Cair ...... 39
2.13. Pengukuran Debit Aliran ..................................................... 40
2.13.1. Teori Hambatan Bernoulli (Bernoulli Obstraction
Theory)................................................................... 40
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xiv
2.13.2. Orifice Plate .......................................................... 41
BAB III METODOLOGI PENELITIAN......................................................... 44
3.1. Diagram Alir Penelitian ....................................................... 44
3.2. Alat Penelitian ..................................................................... 46
3.2.1. Sistem Alat Penelitian ........................................... 46
3.2.2. Sistem Steam Ejector ............................................. 47
3.3. Variabel Penelitian ............................................................... 49
3.3.1. Variabel Bebas ....................................................... 50
3.3.2. Variabel Terikat ..................................................... 50
3.4. Prosedur Penelitian .............................................................. 51
3.5. Alat Penelitian ..................................................................... 56
3.5.1. Fluida Kerja ........................................................... 57
3.5.2. Boiler dengan Water Heater Element
2000 Watt .............................................................. 57
3.5.3. Evaporator dengan Water Heater Element
1000 Watt .............................................................. 59
3.5.4. Steam Ejector ......................................................... 60
3.5.5. Kondensor .............................................................. 61
3.5.6. Alat Ukur Temperatur ........................................... 62
3.5.7. Alat Ukur Tekanan ................................................ 64
3.5.8. Alat Ukur Debit Aliran .......................................... 64
3.5.9. Roll Meter .............................................................. 66
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ................................. 67
4.1. Pengaruh Primary Nozzle Exit Position Terhadap Nilai
Entrainment Ratio Dengan Menggunakan Variasi Primary
Pressure Pada Setiap Secondary Temperature .................... 67
4.1.1. Pengaruh Primary Nozzle Exit Position Terhadap
Nilai Entrainment Ratio Dengan Menggunakan
Variasi Primary Pressure Pada Secondary
Temperature 50 ˚C................................................. 68
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xv
4.1.2. Pengaruh Primary Nozzle Exit Position Terhadap
Nilai Entrainment Ratio Dengan Menggunakan
Variasi Primary Pressure Pada Secondary
Temperature 60 ˚C................................................. 69
4.1.3. Pengaruh Primary Nozzle Exit Position Terhadap
Nilai Entrainment Ratio Dengan Menggunakan
Variasi Primary Pressure Pada Secondary
Temperature 70 ˚C................................................. 70
4.1.4. Pengaruh Primary Nozzle Exit Position Terhadap
Nilai Entrainment Ratio Dengan Menggunakan
Variasi Primary Pressure Pada Secondary
Temperature 80 ˚C................................................. 71
4.2. Pengaruh Primary Nozzle Exit Position Terhadap Nilai
Entrainment Ratio Dengan Menggunakan Variasi
Secondary Temperature Pada Setiap Primary Pressure ..... 72
4.2.1. Pengaruh Primary Nozzle Exit Position Terhadap
Nilai Entrainment Ratio Dengan Menggunakan
Variasi Secondary Temperature Pada Primary
Pressure 1 bar ........................................................ 73
4.2.2. Pengaruh Primary Nozzle Exit Position Terhadap
Nilai Entrainment Ratio Dengan Menggunakan
Variasi Secondary Temperature Pada Primary
Pressure 2 bar ........................................................ 74
4.2.3. Pengaruh Primary Nozzle Exit Position Terhadap
Nilai Entrainment Ratio Dengan Menggunakan
Variasi Secondary Temperature Pada Primary
Pressure 3 bar ........................................................ 75
4.2.4. Pengaruh Primary Nozzle Exit Position Terhadap
Nilai Entrainment Ratio Dengan Menggunakan
Variasi Secondary Temperature Pada Primary
Pressure 4 bar ........................................................ 77
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xvi
4.3. Pengaruh Secondary Temperature Terhadap Nilai
Expansion Ratio Dengan Menggunakan Variasi Primary
Pressure Pada NXP -5 mm, NXP 0 mm, dan
NXP +5 mm ......................................................................... 78
4.4. Pengaruh Primary Pressure Terhadap Nilai Expansion
Ratio Dengan Menggunakan Variasi Secondary
Temperature Pada NXP -5 mm, NXP 0 mm, dan
NXP +5 mm ......................................................................... 79
4.5. Pengaruh Primary Nozzle Exit Position Terhadap
Hubungan Antara Nilai Expansion Ratio dan Nilai
Entrainment Ratio Pada Setiap Secondary Temperature .... 80
4.5.1. Pengaruh Primary Nozzle Exit Position Terhadap
Hubungan Antara Nilai Expansion Ratio dan
Nilai Entrainment Ratio Pada Secondary
Temperature 50 ˚C................................................. 81
4.5.2. Pengaruh Primary Nozzle Exit Position Terhadap
Hubungan Antara Nilai Expansion Ratio dan
Nilai Entrainment Ratio Pada Secondary
Temperature 60 ˚C................................................. 82
4.5.3. Pengaruh Primary Nozzle Exit Position Terhadap
Hubungan Antara Nilai Expansion Ratio dan
Nilai Entrainment Ratio Pada Secondary
Temperature 70 ˚C................................................. 83
4.5.4. Pengaruh Primary Nozzle Exit Position Terhadap
Hubungan Antara Nilai Expansion Ratio dan
Nilai Entrainment Ratio Pada Secondary
Temperature 80 ˚C................................................. 84
4.6. Pengaruh Primary Nozzle Exit Position Terhadap
Hubungan Antara Nilai Expansion Ratio dan Nilai
Entrainment Ratio Pada Setiap Primary Pressure .............. 85
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xvii
4.6.1. Pengaruh Primary Nozzle Exit Position Terhadap
Hubungan Antara Nilai Expansion Ratio dan
Nilai Entrainment Ratio Pada Primary Pressure 1
bar .......................................................................... 86
4.6.2. Pengaruh Primary Nozzle Exit Position Terhadap
Hubungan Antara Nilai Expansion Ratio dan
Nilai Entrainment Ratio Pada Primary Pressure 2
bar .......................................................................... 87
4.6.3. Pengaruh Primary Nozzle Exit Position Terhadap
Hubungan Antara Nilai Expansion Ratio dan
Nilai Entrainment Ratio Pada Primary Pressure 3
bar .......................................................................... 89
4.6.4. Pengaruh Primary Nozzle Exit Position Terhadap
Hubungan Antara Nilai Expansion Ratio dan
Nilai Entrainment Ratio Pada Primary Pressure 4
bar .......................................................................... 90
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................... 92
5.1. Kesimpulan .......................................................................... 92
5.2. Saran .................................................................................... 94
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 96
LAMPIRAN ..................................................................................................... 99
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xviii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1 Grafik tingkat produksi dan penjualan batu bara tahun
2003 - 2013. ......................................................................... 1
Gambar 1.2 Skema sistem pembangkit listrik dengan menggunakan
tenaga uap. ........................................................................... 2
Gambar 1.3 Skematik sederhana steam ejector sebagai sistem
pendinginan. ......................................................................... 3
Gambar 1.4 Constant-pressure Mixing Ejector dan Constant-area
Mixing Ejector. .................................................................... 4
Gambar 2.1 Skematik kecepatan aliran dan tekanan pada setiap bagian
steam ejector. ....................................................................... 10
Gambar 2.2 Conventional Ejector Refrigeration System (CERS). .......... 11
Gambar 2.3 COP vs condenser pressure. ................................................ 11
Gambar 2.4 Entrainment ratio vs ejector back pressure. ........................ 12
Gambar 2.5 New Ejector Refrigeration System (NERS). ........................ 13
Gambar 2.6 ERS with an additional ejector by Yu et al. (2006). ........... 13
Gambar 2.7 COP vs back pressure pada CERS dan NERS. ................... 14
Gambar 2.8 Multi-stage Ejector Refrigeration System (MERS). ............ 15
Gambar 2.9 Three Parallel MERS. ......................................................... 15
Gambar 2.10 Desain gambar 3D sistem vacuum dengan menggunakan
steam ejector yang diproduksi oleh Eko Zora, Ltd
(Bulgaria). ............................................................................ 16
Gambar 2.11 Steam ejector refrigeration system saat digunakan sebagai
air conditioning system. ....................................................... 18
Gambar 2.12 Komponen utama steam ejector. ......................................... 19
Gambar 2.13 Kondisi pengoperasian pada steam ejector. ......................... 21
Gambar 2.14 Efek kondisi pengoperasian terhadap performa steam
ejector. ................................................................................. 22
Gambar 2.15 Primary mass flow vs boiler temperature. .......................... 23
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xix
Gambar 2.16 Critical condenser pressure (critical back pressure) vs
evaporator temperature. ...................................................... 24
Gambar 2.17 Perbandingan antara area ratio dan Mach number untuk
compressible flow dengan nilai k = 1,4. .............................. 27
Gambar 2.18 Normal shock wave. ............................................................. 28
Gambar 2.19 Perbedaan antara supersonic nozzle dan subsonic diffuser. . 29
Gambar 2.20 Kondisi pengoperasian pada converging nozzle. ................. 30
Gambar 2.21 Aliran laminer, transisi, dan turbulen. ................................. 34
Gambar 2.22 Developing velocity profiles and pressure change. ............. 36
Gambar 2.23 Aliran laminer - kecepatan aliran rendah. ............................ 37
Gambar 2.24 Aliran laminer dalam pipa. .................................................. 37
Gambar 2.25 Aliran turbulen - kecepatan aliran tinggi. ............................ 37
Gambar 2.26 Aliran turbulen dalam pipa. ................................................. 37
Gambar 2.27 Newtonian shear distribution. ............................................. 39
Gambar 2.28 Tegangan geser pada dua penampang paralel...................... 39
Gambar 2.29 Perubahan tekanan dan kecepatan pada Bernoulli
Obstruction Meter. ............................................................... 40
Gambar 2.30 Grafik hubungan antara Red dan Cd untuk Thin Plate
Orifice. ................................................................................. 42
Gambar 3.1 Diagram alir penelitian. ....................................................... 46
Gambar 3.2 Skema sistem alat penelitian. ............................................... 46
Gambar 3.3 Sistem steam ejector. ........................................................... 47
Gambar 3.4 Steam ejector yang digunakan pada penelitian. ................... 48
Gambar 3.5 Penampang aliran pada steam ejector. ................................. 48
Gambar 3.6 Komponen steam ejector pada penelitian beserta dengan
ukurannya. ........................................................................... 49
Gambar 3.7 Primary nozzle exit position (NXP) +5 mm. ....................... 52
Gambar 3.8 Variasi pada steam ejector dengan menggunakan NXP +5
mm. ...................................................................................... 52
Gambar 3.9 Primary nozzle exit position (NXP) 0 mm. ......................... 53
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xx
Gambar 3.10 Variasi pada steam ejector dengan menggunakan NXP 0
mm. ...................................................................................... 53
Gambar 3.11 Primary nozzle exit position (NXP) -5 mm. ........................ 54
Gambar 3.12 Variasi pada steam ejector dengan menggunakan NXP -5
mm. ...................................................................................... 54
Gambar 3.13 Diagram alir prosedur pelaksanaan penelitian. .................... 56
Gambar 3.14 Boiler. .................................................................................. 57
Gambar 3.15 Water heater element 2000 Watt. ........................................ 58
Gambar 3.16 Evaporator. ........................................................................... 59
Gambar 3.17 Water heater element 1000 Watt. ........................................ 59
Gambar 3.18 Steam ejector. ...................................................................... 60
Gambar 3.19 Kondensor. ........................................................................... 61
Gambar 3.20 Thermocouple type K. .......................................................... 62
Gambar 3.21 Thermo display APPA. ........................................................ 63
Gambar 3.22 Bourdon tube pressure gauge. ............................................. 64
Gambar 3.23 Orifice plate. ........................................................................ 65
Gambar 3.24 Air raksa. .............................................................................. 65
Gambar 3.25 Roll meter. ............................................................................ 66
Gambar 3.26 Aplikasi roll meter pada Manometer Pipa U Air Raksa. ..... 66
Gambar 4.1 Grafik pengaruh primary nozzle exit position terhadap
nilai entrainment ratio dengan menggunakan variasi
primary pressure pada secondary temperature 50 ˚C. ........ 68
Gambar 4.2 Grafik pengaruh primary nozzle exit position terhadap
nilai entrainment ratio dengan menggunakan variasi
primary pressure pada secondary temperature 60 ˚C. ........ 69
Gambar 4.3 Grafik pengaruh primary nozzle exit position terhadap
nilai entrainment ratio dengan menggunakan variasi
primary pressure pada secondary temperature 70 ˚C. ........ 70
Gambar 4.4 Grafik pengaruh primary nozzle exit position terhadap
nilai entrainment ratio dengan menggunakan variasi
primary pressure pada secondary temperature 80 ˚C. ........ 72
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xxi
Gambar 4.5 Grafik pengaruh primary nozzle exit position terhadap
nilai entrainment ratio dengan menggunakan variasi
secondary temperature pada primary pressure 1 bar. ......... 73
Gambar 4.6 Grafik pengaruh primary nozzle exit position terhadap
nilai entrainment ratio dengan menggunakan variasi
secondary temperature pada primary pressure 2 bar. ......... 74
Gambar 4.7 Grafik pengaruh primary nozzle exit position terhadap
nilai entrainment ratio dengan menggunakan variasi
secondary temperature pada primary pressure 3 bar. ......... 76
Gambar 4.8 Grafik pengaruh primary nozzle exit position terhadap
nilai entrainment ratio dengan menggunakan variasi
secondary temperature pada primary pressure 4 bar. ......... 77
Gambar 4.9 Grafik pengaruh secondary temperature terhadap nilai
expansion ratio dengan menggunakan variasi primary
pressure pada NXP -5 mm, NXP 0 mm, dan
NXP +5 mm. ........................................................................ 78
Gambar 4.10 Grafik pengaruh primary pressure terhadap nilai
expansion ratio dengan menggunakan variasi secondary
temperature pada NXP -5 mm, NXP 0 mm, dan
NXP +5 mm. ........................................................................ 80
Gambar 4.11 Grafik pengaruh primary nozzle exit position terhadap
hubungan antara nilai expansion ratio dan nilai
entrainment ratio pada secondary temperature 50 ˚C. ........ 81
Gambar 4.12 Grafik pengaruh primary nozzle exit position terhadap
hubungan antara nilai expansion ratio dan nilai
entrainment ratio pada secondary temperature 60 ˚C. ........ 82
Gambar 4.13 Grafik pengaruh primary nozzle exit position terhadap
hubungan antara nilai expansion ratio dan nilai
entrainment ratio pada secondary temperature 70 ˚C. ........ 83
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xxii
Gambar 4.14 Grafik pengaruh primary nozzle exit position terhadap
hubungan antara nilai expansion ratio dan nilai
entrainment ratio pada secondary temperature 80 ˚C. ........ 85
Gambar 4.15 Grafik pengaruh primary nozzle exit position terhadap
hubungan antara nilai expansion ratio dan nilai
entrainment ratio pada primary pressure 1 bar. .................. 86
Gambar 4.16 Grafik pengaruh primary nozzle exit position terhadap
hubungan antara nilai expansion ratio dan nilai
entrainment ratio pada primary pressure 2 bar. .................. 88
Gambar 4.17 Grafik pengaruh primary nozzle exit position terhadap
hubungan antara nilai expansion ratio dan nilai
entrainment ratio pada primary pressure 3 bar. .................. 89
Gambar 4.18 Grafik pengaruh primary nozzle exit position terhadap
hubungan antara nilai expansion ratio dan nilai
entrainment ratio pada primary pressure 4 bar. .................. 91
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xxiii
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Sifat aliran berdasarkan nilai Mach number (Ma). .............. 31
Tabel 3.1 Keterangan simbol pada skema sistem alat penelitian. ....... 47
Tabel 3.2 Variabel bebas pada penelitian. ........................................... 50
Tabel 3.3 Variabel terikat pada penelitian. .......................................... 50
Tabel 3.4 Tekanan dan temperatur pada boiler dan evaporator,
beserta dengan ukuran NXP yang digunakan pada
penelitian. ............................................................................. 51
Tabel 3.5 Properti air pada tekanan 1 atm dan temperatur 20 ˚C. ....... 57
Tabel 3.6 Spesifikasi teknis water heater element 2000 Watt. ............ 58
Tabel 3.7 Spesifikasi teknis water heater element 1000 Watt. ............ 60
Tabel 3.8 Spesifikasi teknis steam ejector. .......................................... 61
Tabel 3.9 Spesifikasi teknis thermocouple type K. .............................. 62
Tabel 3.10 Spesifikasi teknis thermo display APPA. ............................ 63
Tabel 3.11 Spesifikasi teknis bourdon tube pressure gauge. ................ 64
Tabel 3.12 Properti air raksa pada tekanan 1 atm dan temperatur
20˚C. .................................................................................... 65
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xxiv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran A.1 Gambar Keseluruhan Sistem Steam Ejector ........................ 99
Lampiran A.2 Gambar Penampang Aliran Pada Steam Ejector ................. 100
Lampiran B.1 Gambar Teknik Primary Nozzle .......................................... 101
Lampiran B.2 Gambar Teknik Suction Chamber ....................................... 102
Lampiran B.3 Gambar Teknik Mixing Chamber ........................................ 104
Lampiran B.4 Gambar Teknik Ejector Throat ........................................... 105
Lampiran B.5 Gambar Teknik Subsonic Diffuser ....................................... 106
Lampiran C.1 Data Pengamatan Untuk NXP -5 mm .................................. 107
Lampiran C.2 Data Pengamatan Untuk NXP 0 mm ................................... 108
Lampiran C.3 Data Pengamatan Untuk NXP +5 mm ................................. 109
Lampiran D.1 Data Hasil Analisis Untuk NXP -5 mm ............................... 110
Lampiran D.2 Data Hasil Analisis Untuk NXP 0 mm ................................ 111
Lampiran D.3 Data Hasil Analisis Untuk NXP +5 mm .............................. 112
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xxv
DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG
Singkatan Nama
Pemakaian
Pertama kali
Pada halaman
AC Alternating Current 55
CERS Conventional Ejector Refrigeration System 10
CFD Computational Fluid Dynamics 22
COP Coefficient of Performance 11
ERS Ejector Refrigeration System 10
ESDM Energi dan Sumber Daya Mineral 1
LPG Liquefied Petroleum Gas 18
MERS Multi-stage Ejector Refrigeration System 14
NERS New Ejector Refrigeration System 12
PLTGU Pembangkit Listrik Tenaga Gas dan Uap 2
Lambang Nama Satuan
Pemakaian
Pertama kali
Pada halaman
A Luas penampang saluran m2 36
A* Luas penampang saluran
kritis
m2 27
a Kecepatan suara m/s 31
Cd Discharge coefficient Tidak ada satuan 42
D Diameter pipa saluran m 33
D2 Diameter vena contracta m 41
d Diameter orifice plate m 41
dy
du Gradien kecepatan aliran m/s 40
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xxvi
ER Expansion ratio Tidak ada satuan 25
k Specific heat ratio Tidak ada satuan 28
Ma Mach number Tidak ada satuan 26
Ma1 Mach number
pada saluran inlet
Tidak ada satuan 28
Ma2 Mach number
pada saluran outlet
Tidak ada satuan 28
NXP Primary Nozzle Exit
Position
mm 5
P* Tekanan kritis Pa atau N/m2 31
P0 Tekanan stagnasi Pa atau N/m2 30
Pb Tekanan back pressure Pa atau N/m2 31
Pb* Critical back pressure kPa 16
Pb1 Back pressure pada
ejector 1
kPa 15
Pb2 Back pressure pada
ejector 2
kPa 15
Pb3 Back pressure pada
ejector 3
kPa 15
Pc Condenser pressure kPa 14
Pe Tekanan pada primary
nozzle outlet
Pa atau N/m2 31
Po Tekanan pada outlet
ejector
bar 50
Pp Primary pressure bar 26
Ps Secondary pressure bar 25
PR Pressure lift ratio Tidak ada satuan 25
p Tekanan Pa atau N/m2 29
Q Debit aliran m3/s 36
R Konstanta gas ideal m2/s2 . K 27
Re Reynolds number Tidak ada satuan 32
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xxvii
T0 Temperatur pada kondisi
stagnasi
K 27
T Temperatur K 32
To Temperatur pada outlet
ejector
K 49
Ts Secondary temperature ˚C 49
V Kecepatan aliran m/s 29
ṁmax Laju aliran massa kritis kg/s 27
ṁs Secondary mass flow rate kg/s 25
ṁp Primary mass flow rate kg/s 25
Δh Selisih ketinggian ukuran
pada Manometer Pipa U
mm 50
ΔP Perbedaan tekanan pada
Manometer Pipa U
Pa atau N/m2 50
β Rasio geometri
diameter pipa saluran
dan diameter orifice plate
Tidak ada satuan 41
μ Viskositas dinamik N.s/m2 33
ρ Rapat massa kg/m3 29
ρ0 Rapat massa pada
kondisi stagnasi
kg/m3 27
τ Tegangan geser pada
hukum Newton tentang
kekentalan zat cair
N/m2 40
ν Viskositas kinematik m2/s 33
ω Entrainment ratio Tidak ada satuan 12
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Eksploitasi energi fosil berupa penambangan batu bara yang dilakukan
secara berlebihan akan mengakibatkan berbagai macam permasalahan. Dampak
negatif dari penambangan batu bara antara lain tanah menjadi rusak dan tidak
dapat diperbaharui, sumber air yang tercemar, terjadi polusi udara, serta kesehatan
masyarakat di sekitar area tambang batu bara akan terancam [Fiyanto et al., 2010].
Di sisi lain, produksi batu bara meningkat setiap tahunnya akibat konsumsi batu
bara yang terus meningkat.
Gambar 1.1 Grafik tingkat produksi dan penjualan batu bara tahun 2003 - 2013
[Zed et al., 2014].
Menurut data statistik dari Kementerian ESDM (Kementerian Energi dan
Sumber Daya Mineral), produksi batu bara dari tahun 2003 sampai tahun 2013
terus mengalami peningkatan seiring dengan meningkatnya konsumsi batu bara
[Zed et al., 2014]. Gambar 1.1 menunjukkan bahwa total produksi batu bara pada
tahun 2003 sebesar 114 juta ton meningkat menjadi 449 juta ton pada tahun 2013.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
2
Produksi batu bara meningkat akibat konsumsi batu bara untuk komoditi ekspor
juga meningkat sebesar 85 juta ton pada tahun 2003 menjadi 431 juta ton pada
tahun 2013.
Batu bara menjadi kebutuhan energi primer untuk beberapa negara di
dunia. Batu bara digunakan sebagai bahan bakar utama generator uap (steam
generator) pada industri pembangkit listrik tenaga uap (power plant). Terdapat 4
(empat) bagian utama pada sistem power plant, yaitu boiler atau generator uap
(steam generator), turbin uap yang terhubung pada generator listrik, kondensor,
dan pompa, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1.2.
Gambar 1.2 Skema sistem pembangkit listrik dengan menggunakan tenaga uap
[Moran dan Saphiro, 2006].
Pada sistem power plant, kondensor merupakan bagian yang mempunyai
nilai efisiensi exergy paling rendah. Berdasarkan hasil pengamatan oleh Agustian
Pratamahendra Ismantoro di PLTGU PT. Indonesia Power Unit Pembangkitan
Semarang (2016) melaporkan bahwa nilai efisiensi exergy terendah terletak pada
bagian kondensor. Hal tersebut diakibatkan karena banyaknya kalor yang
dipindahkan dari dalam sistem menuju ke lingkungan, sehingga menyebabkan
terjadinya laju kerusakan exergy yang besar pada kondensor. Laju kerusakan
exergy yang besar pada kondensor diakibatkan oleh sistem pendinginan pada
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
3
kondensor yang tidak optimal. Kondensor digunakan secara rutin untuk proses
pendinginan uap panas dengan temperatur tinggi, sehingga mengakibatkan kinerja
kondensor akan berkurang. Oleh karena itu, diperlukan suatu inovasi yang dapat
digunakan untuk sistem pendinginan pada power plant, sehingga dapat
meningkatkan kinerja kondensor. Steam ejector merupakan salah satu solusi yang
dapat digunakan untuk sistem pendinginan pada power plant. Steam ejector dapat
digunakan untuk proses pendinginan uap panas yang berasal dari turbin uap
sebelum didinginkan kembali oleh kondensor. Proses pendinginan uap panas yang
pertama kali dilakukan oleh steam ejector dapat meringankan kerja kondensor.
Skematik sederhana dari steam ejector yang digunakan untuk sistem pendinginan
pada power plant ditunjukkan pada Gambar 1.3.
Gambar 1.3 Skematik sederhana steam ejector sebagai sistem pendinginan
[Petrenko V. O., 2014].
Steam ejector merupakan suatu aplikasi sistem refrijerasi yang ramah
lingkungan dan dapat digunakan untuk sistem refrijerasi dengan skala besar
[Chunnanond dan Aphornratana, 2004]. Dari sisi efisiensi energi, steam ejector
lebih unggul daripada sistem refrijerasi yang lainnya. Steam ejector tidak
membutuhkan listrik untuk mengoperasikannya, karena sistem refrijerasi pada
steam ejector dapat memanfaatkan panas sisa (waste heat) yang dihasilkan oleh
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
4
berbagai macam proses industri menjadi media pendingin yang berguna
[Ruangtrakoon et al., 2013].
Beberapa kelebihan pada steam ejector yaitu struktur desain yang praktis,
tingkat umur pakai yang lama, hemat biaya (baik dari biaya produksi maupun
biaya operasi), dapat digunakan untuk berbagai macam jenis refrijeran sebagai
fluida kerja, serta perawatan sistem yang mudah [Chandra dan Ahmed, 2014].
Steam ejector juga telah digunakan dalam berbagai bidang. Dalam bidang
Aerospace Engineering, steam ejector digunakan untuk daya dorongan tambahan
pada pesawat luar angkasa. Sedangkan dalam bidang industri, steam ejector
banyak digunakan untuk memompa cairan yang bersifat korosif dan berbagai
macam tipe gas yang sulit untuk ditangani [Chandra dan Ahmed, 2014].
Gambar 1.4 Constant-pressure Mixing Ejector (kiri) dan Constant-area Mixing
Ejector (kanan) [Tashtoush et al., 2015].
Ejector merupakan bagian terpenting dari sistem refrijerasi pada steam
ejector, sehingga optimalisasi pada desain ejector dan prediksi performa pada
ejector sangat diperlukan [Cardemil dan Colle, 2012]. Ejector diklasifikasikan
menjadi 2 (dua) tipe berdasarkan posisi nozzle, yaitu constant-pressure mixing
ejector dan constant-area mixing ejector seperti yang ditunjukkan pada Gambar
1.4. Sedangkan untuk mengetahui performa pada ejector terdapat 3 (tiga)
parameter penting, yaitu entrainment ratio, pressure lift ratio, dan expansion
ratio. Entrainment ratio adalah rasio antara secondary mass flow rate dengan
primary mass flow rate, pressure lift ratio (compression ratio) adalah rasio antara
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
5
tekanan kondensor (condenser back pressure) dengan tekanan evaporator
(secondary pressure), dan expansion ratio adalah rasio antara tekanan boiler
(primary pressure) dengan tekanan evaporator (secondary pressure) [Chandra dan
Ahmed, 2014].
Bourhan Tashtoush et al. (2015) melakukan penelitian tentang hubungan
antara entrainment ratio dan back pressure untuk temperatur boiler yang berbeda
dengan menggunakan constant-pressure mixing ejector dan constant-area mixing
ejector. Hasil penelitian menunjukkan bahwa meningkatnya temperatur boiler dan
tekanan saturasi akan mengakibatkan entrainment ratio menurun dan back
pressure semakin meningkat. Semakin meningkatnya temperatur dan tekanan
saturasi pada boiler mengakibatkan rasio antara primary mass flow rate lebih
besar daripada secondary mass flow rate, sehingga entrainment ratio mempunyai
nilai yang rendah. Semakin rendah nilai entrainment ratio mengakibatkan nilai
compression ratio meningkat [Ma et al., 2012]. Dari kedua tipe ejector, constant-
pressure mixing ejector memiliki nilai compression ratio yang lebih besar
daripada constant-area mixing ejector [Tashtoush et al., 2015]. Semakin tinggi
nilai compression ratio mengakibatkan meningkatnya nilai critical point. Di sisi
lain, dengan semakin meningkatnya nilai compression ratio dapat menyebabkan
nilai back pressure meningkat akibat tekanan pada kondensor lebih besar daripada
tekanan pada evaporator. Hal inilah yang menyebabkan constant-pressure mixing
ejector dapat menerima back pressure lebih besar daripada constant-area mixing
ejector [Tashtoush et al., 2015].
Dapat diketahui dari hasil penelitian Bourhan Tashtoush et al. (2015)
bahwa besarnya nilai back pressure dipengaruhi oleh besarnya nilai generator
temperature (primary temperature) dan nilai entrainment ratio. Sedangkan
besarnya nilai entrainment ratio dipengaruhi oleh 2 (dua) tipe ejector yang
digunakan. Perbedaan kedua tipe ejector terletak pada posisi primary nozzle exit
position (NXP). Constant-pressure mixing ejector mempunyai NXP yang terletak
di area suction chamber, sedangkan constant-area mixing ejector mempunyai
NXP yang terletak di constant-area suction inlet. Oleh karena itu diperlukan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
6
penelitian tentang variasi ukuran NXP dengan menggunakan variasi pada primary
pressure dan secondary temperature yang mempunyai pengaruh terhadap
performa pada steam ejector.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang penelitian, maka dapat dirumuskan beberapa
permasalahan yang akan dilakukan pembahasan pada penelitian ini. Beberapa
permasalahan tersebut antara lain:
a. Pengaruh primary nozzle exit position (NXP) terhadap nilai entrainment
ratio dengan menggunakan variasi primary pressure pada setiap
secondary temperature.
b. Pengaruh primary nozzle exit position (NXP) terhadap nilai entrainment
ratio dengan menggunakan variasi secondary temperature pada setiap
primary pressure.
c. Pengaruh secondary temperature terhadap nilai expansion ratio dengan
menggunakan variasi primary pressure pada setiap primary nozzle exit
position (NXP).
d. Pengaruh primary pressure terhadap nilai expansion ratio dengan
menggunakan variasi secondary temperature pada setiap primary nozzle
exit position (NXP).
e. Pengaruh primary nozzle exit position (NXP) terhadap hubungan antara
nilai expansion ratio dan nilai entrainment ratio pada setiap secondary
temperature.
f. Pengaruh primary nozzle exit position (NXP) terhadap hubungan antara
nilai expansion ratio dan nilai entrainment ratio pada setiap primary
pressure.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
7
1.3. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah yang diajukan pada penelitian ini, maka
terdapat beberapa tujuan penelitian yang ingin dicapai. Tujuan penelitian tersebut
antara lain:
a. Mengetahui pengaruh primary nozzle exit position (NXP) terhadap nilai
entrainment ratio dengan menggunakan variasi primary pressure pada
setiap secondary temperature.
b. Mengetahui pengaruh primary nozzle exit position (NXP) terhadap nilai
entrainment ratio dengan menggunakan variasi secondary temperature
pada setiap primary pressure.
c. Mengetahui pengaruh secondary temperature terhadap nilai expansion
ratio dengan menggunakan variasi primary pressure pada setiap primary
nozzle exit position (NXP).
d. Mengetahui pengaruh primary pressure terhadap nilai expansion ratio
dengan menggunakan variasi secondary temperature pada setiap primary
nozzle exit position (NXP).
e. Mengetahui pengaruh primary nozzle exit position (NXP) terhadap
hubungan antara nilai expansion ratio dan nilai entrainment ratio pada
setiap secondary temperature.
f. Mengetahui pengaruh primary nozzle exit position (NXP) terhadap
hubungan antara nilai expansion ratio dan nilai entrainment ratio pada
setiap primary pressure.
1.4. Batasan Masalah
Terdapat beberapa batasan permasalahan yang digunakan pada penelitian
ini. Beberapa batasan permasalahan tersebut antara lain:
a. Penelitian dilakukan dengan menggunakan fluida kerja air.
b. Tidak diteliti kondisi fase uap panas pada primary fluid.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
8
c. Eksperimen dilakukan dengan menggunakan variasi primary nozzle exit
position (NXP) +5 mm, 0 mm, dan -5 mm.
d. Eksperimen dilakukan dengan melakukan variasi primary pressure pada
tekanan 1 bar, 2 bar, 3 bar, dan 4 bar.
e. Eksperimen dilakukan dengan melakukan variasi secondary temperature
pada temperatur 50 ˚C, 60 ˚C, 70 ˚C, dan 80 ˚C.
f. Tidak memperhitungkan nilai kerugian yang diakibatkan oleh belokan
pada pipa.
g. Tidak memperhitungkan nilai kerugian yang diakibatkan oleh gesekan
pada dinding pipa.
1.5. Manfaat Penelitian
Beberapa manfaat yang diperoleh setelah melakukan penelitian ini antara
lain:
a. Menambah ilmu dan wawasan tentang pemanfaatan waste heat yang
dapat digunakan untuk melakukan efisiensi energi sehingga dapat
menjaga kelestarian lingkungan.
b. Menambah pengetahuan dan wawasan tentang berbagai macam
fenomena aliran fluida dan mekanisme aliran fluida yang terjadi pada
steam ejector.
c. Mengetahui performa kerja dari sistem steam ejector terhadap variasi
yang dilakukan pada primary pressure dan secondary temperature untuk
setiap primary nozzle exit position (NXP).
d. Dapat digunakan sebagai referensi untuk melakukan penelitian tentang
steam ejector selanjutnya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
9
BAB II
DASAR TEORI
2.1. Steam Ejector
Steam ejector pertama kali dikembangkan oleh Le Blance dan Charles
Parsons pada tahun 1901. Pada awal tahun 1930, steam ejector menjadi lebih
dikenal sebagai alat yang digunakan untuk sistem pendinginan udara (air
conditioning system) pada gedung-gedung bertingkat [Chunnanond dan
Aphornratana, 2004]. Saat ini steam ejector semakin banyak dikenal dalam dunia
engineering yang banyak digunakan untuk berbagai macam kepentingan [Chandra
dan Ahmed, 2014].
Steam ejector bekerja dengan cara melakukan pencampuran dua fluida
dengan temperatur dan tekanan yang berbeda. Fluida dengan temperatur dan
tekanan yang tinggi dari boiler dengan nama primary fluid akan melewati primary
nozzle. Primary fluid akan menghasilkan kecepatan aliran supersonic dengan
tekanan yang sangat rendah saat keluar dari primary nozzle exit plane dan masuk
ke dalam area mixing chamber. Akibat tekanan primary fluid yang sangat rendah,
fluida dari evaporator dengan nama secondary fluid dapat terhisap ke dalam area
mixing chamber. Aliran primary fluid akan membentuk converging duct di dalam
mixing chamber. Di sepanjang wilayah converging duct, kecepatan aliran
secondary fluid yang terhisap ke dalam mixing chamber berubah menjadi
kecepatan aliran sonic dan alirannya akan terhambat. Proses pencampuran antara
primary fluid dan secondary fluid akan terjadi setelah aliran pada secondary fluid
terhambat di dalam mixing chamber. Pada bagian akhir area mixing chamber,
kedua aliran akan tercampur dengan sempurna dengan nilai dari static pressure
cenderung konstan sampai pada bagian throat. Setelah melewati bagian throat dan
masuk pada bagian subsonic diffuser, kecepatan aliran di dalam ejector akan
berkurang dengan sangat cepat dari kecepatan aliran supersonic menjadi
kecepatan aliran sonic [Sriveerakul et al., 2007]. Skematik kecepatan aliran dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
10
tekanan yang terjadi pada setiap bagian dari steam ejector dapat dilihat pada
Gambar 2.1.
Gambar 2.1 Skematik kecepatan aliran dan tekanan pada setiap bagian steam
ejector [Sriveerakul et al., 2007].
2.2. Tipe Steam Ejector
Terdapat berbagai macam tipe steam ejector yang berfungsi sebagai
sistem refrijerasi dengan nama Ejector Refrigeration System (ERS). Berbagai
macam tipe ERS tersebut antara lain:
2.2.1. Conventional Ejector Refrigeration System (CERS)
Gambar 2.2 menunjukkan skematik dari siklus dasar Conventional
Ejector Refrigeration System (CERS). Terdapat 6 (enam) komponen utama yang
terdapat pada CERS, yaitu generator, evaporator, kondensor, expansion device,
ejector, dan circulating pump. Pada sistem CERS ini, primary fluid dengan
tekanan yang tinggi mengalir melewati nozzle pada ejector dan akan menghisap
secondary fluid dengan tekanan yang rendah. Primary fluid dan secondary fluid
akan tercampur di dalam mixing chamber dan akan memperoleh tekanan
pencampuran yang berbeda pada saat keluar dari bagian diffuser. Setelah melewati
bagian diffuser, aliran fluida campuran antara primary fluid dan secondary fluid
akan mengalir menuju kondensor dan akan terkondensasi. Fluida yang telah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
11
terkondensasi akan dibagi menjadi 2 (dua) bagian aliran, aliran pertama akan
dialirkan kembali masuk ke dalam generator, sedangkan aliran kedua akan
dialirkan kembali masuk ke dalam evaporator. Kedua bagian aliran tersebut
disirkulasikan menuju boiler dan evaporator dengan menggunakan pompa
(circulating pump) [Yu et al., 2006].
Gambar 2.2 Conventional Ejector Refrigeration System (CERS) [Yu et al.,
2006].
d
Gambar 2.3 COP vs condenser pressure [Chunnanond dan Aphornratana, 2004].
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
12
Coefficient of Performance (COP) merupakan faktor yang dapat
digunakan untuk mengetahui performa pada CERS. COP pada CERS sangat
bergantung pada nilai entrainment ratio (ω) yang dipengaruhi oleh 3 (tiga) faktor
utama, yaitu primary flow inlet state (temperature and pressure of primary fluid),
secondary flow inlet state (temperature and pressure of secondary fluid), dan back
pressure (condenser pressure) [Yu et al., 2006]. Pernyataan tersebut dibuktikan
dengan beberapa hasil penelitian yang menunjukkan bahwa meningkatnya nilai
back pressure (condenser pressure) ketika primary pressure meningkat dengan
secondary pressure yang konstan seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.3 dan
Gambar 2.4.
Gambar 2.4 Entrainment ratio vs ejector back pressure [Sriveerakul et al., 2007].
2.2.2. New Ejector Refrigeration System (NERS) - ERS With an Additional
Jet Pump
New Ejector Refrigeration System (NERS) merupakan salah satu tipe
ERS yang dikembangkan setelah CERS, dimana terdapat jet pump (liquid jet
ejector) pada siklus kerjanya seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.5 dan
Gambar 2.6.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
13
Gambar 2.5 New Ejector Refrigeration System (NERS) [Yu et al., 2006].
Gambar 2.6 ERS with an additional ejector by Yu et al. (2006) [Besagni et al.,
2016].
Pada NERS, jet pump diletakkan di antara ejector dan condenser yang
aplikasinya menggunakan secondary fluid berupa fluida campuran yang
dihasilkan oleh ejector, yaitu fluida campuran antara primary fluid dan secondary
fluid setelah keluar dari bagian diffuser pada ejector. Aplikasi jet pump yang
digunakan pada NERS mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan dengan
menggunakan compressor. Jet pump mempunyai konstruksi yang lebih sederhana
dan biaya produksinya yang lebih rendah daripada menggunakan compressor.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
14
Selain itu, jet pump merupakan salah satu cara yang dapat digunakan untuk
meningkatkan nilai COP pada NERS [Yu et al., 2006] dan dapat meningkatkan
nilai entrainment ratio (ω) pada NERS [Besagni et al., 2016]. Dibandingkan
dengan CERS, NERS mempunyai nilai COP yang lebih tinggi seperti yang
ditunjukkan pada grafik hasil penelitian oleh Yu et al. (2006) pada Gambar 2.7.
Gambar 2.7 COP vs back pressure pada CERS dan NERS [Yu et al., 2006].
2.2.3. Multi-stage Ejector Refrigeration System (MERS)
Multi-stage Ejector Refrigeration System (MERS) merupakan salah satu
tipe ERS dengan menggunakan beberapa buah ejector yang disusun secara paralel
dan ditempatkan sebelum kondensor seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.8.
MERS merupakan suatu sistem yang dapat digunakan untuk memecahkan
permasalahan utama yang terjadi pada ERS, di mana terjadi kesulitan pada ERS
dalam menangani pengoperasian pada sistemnya akibat terjadi perubahan pada
kondisi pengoperasiannya. Setiap ejector yang digunakan dalam MERS
beroperasi pada setiap batasan condenser pressure (Pc) yang berbeda [Besagni et
al., 2016].
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
15
Gambar 2.8 Multi-stage Ejector Refrigeration System (MERS) [Besagni et al.,
2016].
Gambar 2.9 Three Parallel MERS [Chen et al., 2015].
Gambar 2.9 menunjukkan MERS dengan 3 (tiga) ejector yang disusun
secara paralel dengan setiap ejector yang beroperasi pada batasan condenser
pressure (Pc) tertentu beserta dengan grafik hubungan antara entrainment ratio
(ω) dengan condenser pressure (Pc) pada setiap ejector. Ejector 1 beroperasi
dengan nilai condenser pressure (Pc) di bawah nilai back pressure pada ejector 1
(Pb1) (Pc < Pb1). Ejector 2 akan beroperasi ketika nilai condenser pressure (Pc)
berada di antara nilai back pressure pada ejector 1 (Pb1) dan back pressure pada
ejector 2 (Pb2) (Pb1 < Pc < Pb2). Sedangkan ejector 3 akan beroperasi pada nilai
condenser pressure (Pc) yang lebih besar daripada nilai back pressure pada
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
16
ejector 2 (Pb2). Pada MERS tidak terdapat nilai critical back pressure (Pb*)
sehingga dapat menghindari sudden performance drop pada sistem
pengoperasiannya [Chen et al., 2015].
2.3. Aplikasi Steam Ejector
Terdapat berbagai macam fungsi steam ejector yang dapat diaplikasikan
dalam berbagai macam bidang. Berbagai macam aplikasi steam ejector tersebut
antara lain:
2.3.1. Steam Jet Ejector for Deodorizing Edible Oils
Gambar 2.10 Desain gambar 3D sistem vacuum dengan menggunakan steam
ejector yang diproduksi oleh Eko Zora, Ltd (Bulgaria) [Akterian, 2011].
keterangan:
1. First Ejector
2. Second Ejector
3. Barometric Condenser
4. Third Ejector
Sistem vacuum yang menjadi prinsip kerja pada steam ejector
dimanfaatkan sebagai proses deodorizing pada edible oils. Sistem vacuum ini
dikomersialkan oleh 2 (dua) perusahaan mechanical engineering yang berasal dari
negara Bulgaria, yaitu Eko Zora, Ltd yang berada di kota Aksakovo dan Gea-06
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
17
yang terletak di kota Varna. Sampai pada tahun 2011, kedua perusahaan tersebut
telah memproduksi 12 (dua belas) sistem vacuum [Akterian, 2011]. Salah satu
sistem vacuum yang didesain dan diproduksi oleh Eko Zora, Ltd dapat dilihat
pada Gambar 2.10.
Aliran yang dihisap (secondary fluid) pada sistem vacuum ini terdiri atas
beberapa unsur, yaitu 93 % uap panas, 3 % uap yang dihasilkan dari asam lemak,
dan 4 % udara bersih dengan tekanan 0,3 kPa. Sedangkan untuk tekanan pada
motive steam (primary fluid) divariasikan menurut kapasitas hisap yang akan
dilakukan. Untuk sistem dengan kapasitas hisap yang kecil menggunakan tekanan
sebesar 0,6 MPa, sedangkan untuk sistem dengan kapasitas hisap yang lebih besar
menggunakan tekanan sebesar 1 MPa. Sistem ini juga menggunakan air pendingin
dengan temperatur sebesar 30 ˚C yang dialirkan melalui cooling tower [Akterian,
2011].
Dari ke-12 sistem vacuum yang telah diproduksi oleh Eko Zora, Ltd dan
Gea-06, masing-masing mempunyai kemampuan hisap yang berbeda. 1 (satu)
sistem mempunyai kemampuan hisap sebesar 10 kg/jam, 4 (empat) sistem
mempunyai kemampuan hisap sebesar 15 kg/jam, 3 (tiga) sistem mempunyai
kemampuan hisap sebesar 25 kg/jam, dan 4 (empat) sistem mempunyai
kemampuan hisap sampai 35 kg/jam [Akterian, 2011].
Selain dapat digunakan sebagai proses deodorizing pada edible oils,
sistem vacuum pada steam jet ejector juaga dapat digunakan dalam berbagai
macam proses lainnya, antara lain steam refining, bleching, drying, winterizing,
degumming and solvent extraction of vegetable oils, dan berbagai macam proses
lainnya [Akterian, 2011].
2.3.2. Steam Ejector Refrigeration System in Thailand
Steam ejector mempunyai fungsi sebagai sistem refrijerasi di Thailand
yang mempunyai cuaca panas dan lembab pada saat musim kemarau. Pada saat
musim kemarau, Thailand mempunyai temperatur lingkungan hingga 40 ˚C
dengan tingkat kelembaban hingga 70 %. Oleh karena itu, di Thailand steam
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
18
ejector sangat berfungsi sebagai sebagai sistem refrijerasi yang digunakan sebagai
sistem pendinginan udara (air conditioning system) di dalam suatu ruangan seperti
yang ditunjukkan pada Gambar 2.11.
Gambar 2.11 Steam ejector refrigeration system saat digunakan sebagai air
conditioning system [Ruangtrakoon dan Aphornratana, 2014].
Sistem refrijerasi steam ejector yang digunakan sebagai sistem
pendinginan udara (air conditioning system) ini menggunakan kapasitas
pendinginan sebesar 3 kW dengan menggunakan electric heater yang diletakkan
di dalam insulated chilled water box. Proses pemanasan di dalam boiler pada
sistem steam ejector ini menggunakan sumber energi panas yang berasal dari LPG
(Liquefied Petroleum Gas), di mana pemanasan fluida kerja dilakukan dengan
menggunakan LPG burner yang akan menghasilkan uap panas dengan temperatur
100 ˚C - 130 ˚C. Sedangkan pada bagian evaporator menggunakan fluida kerja
dengan temperatur 10 ˚C. Sistem steam ejector menggunakan air pendinginan
dengan temperatur 30 ˚C - 35 ˚C yang disirkulasikan pada bagian kondensor.
Sistem refrijerasi steam ejector berupa sistem pendingin ruangan (air conditioning
system) yang diaplikasikan di Thailand ini dapat menghasilkan temperatur
ruangan sebesar 13 ˚C - 23 ˚C untuk ruangan dengan ukuran panjang 4 meter,
lebar 3 meter, dan tinggi 2,5 meter [Ruangtrakoon dan Aphornratana, 2014].
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
19
2.4. Komponen Utama Steam Ejector
Pada dasarnya terdapat 4 (empat) komponen utama pada steam ejector,
yaitu primary nozzle, mixing chamber, ejector throat, dan subsonic diffuser
[Chunnanond dan Aphornratana, 2004]. Posisi dari komponen utama pada steam
ejector tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.12.
1 2 3 4
Gambar 2.12 Komponen utama steam ejector [Zhu dan Jiang, 2014].
keterangan:
1. Primary Nozzle
2. Mixing Chamber
3. Ejector Throat
4. Subsonic Diffuser
2.4.1. Primary Nozzle
Primary nozzle terbagi menjadi 2 (dua) bagian pada struktur desainnya,
yaitu converging section dan diverging section. Converging section merupakan
bagian dari primary nozzle yang terletak di antara nozzle inlet dan nozzle throat.
Sedangkan diverging section merupakan bagian nozzle exit plane sebagai bagian
untuk keluarnya primary fluid. Primary nozzle dibuat dalam bentuk converging
section dan diverging section dengan tujuan untuk meningkatkan nilai dari
kecepatan aliran primary fluid. Pada saat primary fluid melewati bagian
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
20
converging section pada primary nozzle, primary fluid akan mempunyai
kecepatan aliran subsonic. Setelah melewati bagian diverging section pada
primary nozzle dan keluar melalui nozzle exit plane, maka kecepatan aliran
primary fluid akan meningkat dari subsonic menjadi supersonic [Cardemil dan
Colle, 2012] [Chunnanond dan Aphornratana, 2004].
2.4.2. Mixing Chamber
Mixing chamber merupakan bagian dari ejector yang digunakan untuk
melakukan proses pencampuran antara primary fluid dengan secondary fluid.
Proses pencampuran antara primary fluid dan secondary fluid yang terjadi di
dalam mixing chamber dapat digunakan untuk menghitung besarnya nilai
entrainment ratio. Entrainment ratio merupakan rasio antara laju aliran massa
secondary fluid (secondary mass flow rate) dengan laju aliran massa primary fluid
(primary mass flow rate) [Chandra dan Ahmed, 2014].
2.4.3. Ejector Throat
Ejector Throat merupakan bagian dari steam ejector yang mempunyai
ukuran panjang dan diameter yang sama. Pada bagian ejector throat akan terjadi
compression effect yang menyebabkan terjadinya normal shock. Normal shock
dapat mengakibatkan sudden drop pada kecepatan aliran fluida yang melewati
bagian ejector throat, sehingga kecepatan aliran fluida akan menurun dari
kecepatan aliran supersonic menjadi kecepatan aliran subsonic [Sriveerakul et al.,
2007].
2.4.4. Subsonic Diffuser
Subsonic diffuser merupakan bagian yang digunakan sebagai outlet pada
steam ejector. Fluida yang mengalir melewati bagian subsonic diffuser akan
memiliki kecepatan aliran subsonic yang terjadi setelah melewati bagian ejector
throat. Akibat menurunnya kecepatan aliran fluida yang melewati bagian subsonic
diffuser akan menyebabkan subsonic diffuser menghasilkan tekanan yang tinggi
[Chunnanond dan Aphornratana, 2004].
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
21
2.5. Kondisi Pengoperasian Steam Ejector
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Kanjanapon
Chunnanond dan Satha Aphornratana (2004) dalam jurnal ilmiah dengan judul
”An Experimental Investigation of a Steam Ejector Refrigerator: The Analysis of
the Pressure Profile Along the Ejector” melaporkan bahwa kondisi pengoperasian
pada steam ejector dapat dikategorikan menjadi 3 (tiga) bagian, yaitu choked flow,
unchoked flow, dan reversed flow yang dibedakan berdasarkan nilai dari critical
break pressure (critical condenser pressure) dan break down pressure. Ketiga
bagian kondisi pengoperasian pada steam ejector dapat dilihat pada Gambar 2.13.
Gambar 2.13 Kondisi pengoperasian pada steam ejector [Sriveerakul et al.,
2007].
Pada bagian choked flow, ejector beroperasi di bawah nilai critical back
pressure (critical condenser pressure), di mana rasio antara secondary flow yang
terhisap ke dalam mixing chamber sama besarnya dengan primary flow sehingga
bagian choked flow mempunyai nilai entrainment ratio yang tetap konstan. Pada
bagian unchoked flow, nilai dari back pressure (condenser pressure) akan lebih
besar daripada nilai critical back pressure (critical condenser pressure).
Transverse shock akan terjadi akibat meningkatnya tekanan kondensor sampai
melewati batas critical point. Transverse shock akan mengganggu proses
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
22
pencampuran antara primary fluid dan secondary fluid di dalam mixing chamber,
sehingga mengakibatkan nilai entrainment ratio menurun dengan sangat cepat.
Sedangkan pada bagian reversed flow (break down pressure), tekanan kondensor
akan terus meningkat melewati batas critical point dan mencapai titik break down
pressure, di mana ejector akan kehilangan fungsinya akibat laju aliran yang
mengalir balik menuju secondary flow inlet dan masuk ke dalam evaporator
[Chunnanond dan Aphornratana, 2004] [Sriveerakul et al., 2007].
Gambar 2.14 Efek kondisi pengoperasian terhadap performa steam ejector
[Sriveerakul et al., 2007].
Penelitian yang dilakukan oleh Sriveerakul et al. (2007) dalam jurnal
ilmiah dengan judul “Performance Prediction of Steam Ejector Using
Computational Fluid Dynamics: Part 1. Validation of the CFD Results”
melaporkan bahwa back pressure pada kondisi pengoperasian steam ejector
dipengaruhi oleh temperatur dan tekanan saturasi pada boiler (primary fluid
temperature and primary fluid saturated pressure) serta temperatur dan tekanan
pada evaporator (secondary fluid temperature and secondary fluid pressure).
Fenomena back pressure pada steam ejector dapat ditunjukkan melalui Gambar
2.14.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
23
Semakin berkurangnya temperatur dan tekanan saturasi pada primary
fluid, maka akan mengakibatkan laju aliran massa primary fluid (primary mass
flow rate) akan semakin menurun. Hal ini akan meningkatkan nilai entrainment
ratio pada steam ejector seiring dengan meningkatnya nilai laju aliran massa
secondary fluid (secondary mass flow rate). Semakin meningkatnya nilai
entrainment ratio pada steam ejector, maka nilai dari critical back pressure akan
semakin menurun dan dapat menyebabkan terjadinya back pressure. Di sisi lain,
apabila tekanan pada secondary fluid semakin meningkat maka akan
mengakibatkan laju aliran massa secondary fluid yang masuk ke dalam area
mixing chamber akan meningkat. Hal ini akan meningkatkan nilai critical back
pressure dan menghindari terjadinya back pressure pada steam ejector
[Sriveerakul et al., 2007].
Gambar 2.15 Primary mass flow vs boiler temperature [Ma et al., 2010].
Hubungan antara laju aliran massa primary fluid (primary mass flow
rate) dengan temperatur pada boiler (boiler temperature) dan hubungan antara
temperatur pada evaporator (evaporator temperature) dengan critical back
pressure telah dilaporkan oleh Ma et al. (2010) dalam hasil penelitiannya yang
dituliskan ke dalam jurnal ilmiah dengan judul “Experimental Investigation of a
Novel Steam Ejector Refrigerator Suitable Solar Energy Applications”.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
24
Ma et al. (2010) melaporkan bahwa semakin meningkatnya temperatur
pada boiler (boiler temperature) akan mengakibatkan laju aliran massa primary
fluid (primary mass flow rate) akan semakin meningkat seperti yang ditunjukkan
pada Gambar 2.15. Sedangkan semakin meningkatnya temperatur pada evaporator
(evaporator temperature) akan meningkatkan nilai critical condenser pressure
(critical back pressure) [Ma et al., 2010] seperti yang ditunjukkan pada Gambar
2.16.
Gambar 2.16 Critical condenser pressure (critical back pressure) vs evaporator
temperature [Ma et al., 2010].
2.6. Parameter Performa Steam Ejector
Terdapat 3 (tiga) parameter penting yang dapat digunakan untuk
menentukan performa pada steam ejector, yaitu entrainment ratio (ω), expansion
ratio (ER), dan pressure lift ratio (PR). Pengertian beserta dengan persamaan
yang digunakan untuk menghitung entrainment ratio (ω), expansion ratio (ER),
dan pressure lift ratio (PR) dapat dilihat pada penjelasan berikut.
2.6.1. Entrainment Ratio (ω)
Entrainment ratio merupakan perbandingan antara laju aliran massa pada
secondary fluid (secondary mass flow rate) dengan laju aliran massa pada primary
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
25
fluid (primary mass flow rate) [Chandra dan Ahmed, 2014] yang dapat dinyatakan
ke dalam persamaan (2.1).
m p
ms
(2.1)
dengan ω adalah entrainment ratio yang tidak mempunyai satuan, ms adalah
secondary mass flow rate yang dinyatakan dalam satuan kilogram per detik (kg/s),
dan m p adalah primary mass flow rate yang dinyatakan dalam satuan kilogram
per detik (kg/s).
2.6.2. Expansion Ratio (ER)
Expansion ratio adalah perbandingan antara tekanan pada boiler
(primary pressure) dengan tekanan pada evaporator (secondary pressure)
[Chandra dan Ahmed, 2014] yang dapat dinyatakan ke dalam persamaan (2.3).
Ps
P pER (2.3)
dengan ER adalah expansion ratio yang tidak mempunyai satuan, P p adalah
tekanan pada boiler (primary pressure) yang dinyatakan dalam satuan bar, dan
Ps adalah tekanan pada evaporator (secondary pressure) yang dinyatakan dalam
satuan bar.
2.6.3. Pressure Lift Ratio (PR)
Pressure lift ratio adalah perbandingan antara tekanan pada kondensor
(condenser back pressure) dengan tekanan pada evaporator (secondary pressure)
[Chandra dan Ahmed, 2014] yang dapat dinyatakan ke dalam persamaan (2.2).
Ps
PcPR (2.2)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
26
dengan PR adalah pressure lift ratio yang tidak mempunyai satuan, Pc adalah
tekanan kondensor (condenser back pressure) yang dinyatakan dalam satuan bar,
dan Ps adalah tekanan pada evaporator (secondary pressure) yang dinyatakan
dalam satuan bar.
2.7. Fenomena Aliran Steam Ejector
2.7.1. Compressible Flow
Compressible flow terjadi ketika fluida bergerak dengan kecepatan suara,
rapat massa (density) yang dapat berubah sangat signifikan. Akan tetapi,
compressible flow sulit dicapai pada fluida dengan bentuk cairan (liquid) karena
dibutuhkan tekanan yang tinggi mencapai 1000 atm untuk menghasilkan
kecepatan aliran sonic. Sebaliknya, fluida dengan bentuk gas hanya membutuhkan
rasio tekanan 2:1 untuk menghasilkan kecepatan aliran sonic [White, 2011].
Terdapat dua efek yang sangat penting pada aliran compressible flow,
yaitu:
a. Chocking, dimana laju aliran pada sebuah saluran sangat dibatasi oleh
kondisi kecepatan aliran (sonic condition).
b. Shock Wave, merupakan suatu properti yang selalu berubah pada aliran
supersonic.
2.7.1.1. Choking
Gambar 2.17 menunjukkan hubungan antara rasio luas penampang (area
ratio) pada suatu saluran dengan nilai Mach number, di mana mencapai
kesetimbangan pada saat Ma = 1 dan nilai area ratio akan kembali ke nol apabila
nilai Ma semakin besar. Kondisi inilah yang disebut dengan stagnation condition
yang terjadi apabila laju aliran massa yang melewati saluran telah mencapai
kondisi kritis (sonic condition). Saluran tersebut dapat disebut dengan choked,
dimana saluran tidak dapat membawa laju aliran massa yang lebih banyak kecuali
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
27
dengan memperluas area throat. Apabila dimensi pada throat dibatasi, maka laju
aliran massa yang akan melewati throat juga harus dikurangi [White, 2011].
Gambar 2.17 Perbandingan antara area ratio dan Mach number untuk
compressible flow dengan nilai k = 1,4 [White, 2011].
Untuk memperhitungkan laju aliran massa yang akan melewati throat,
maka dapat dihitung dengan persamaan laju aliran massa kritis yang dapat
dituliskan pada persamaan (2.4).
2/1)0
(
*0
6847.02/1)
0(
0*6847,0
maxRT
ARTAm
(2.4)
dengan max
m adalah laju aliran massa kritis yang dinyatakan dalam satuan
kilogram per detik (kg/s), A* adalah luas penampang saluran kritis yang
dinyatakan dalam satuan meter kuadrat (m2), 0
adalah rapat massa fluida pada
stagnation condition yang dinyatakan dalam satuan kilogram per meter kubik
(kg/m3), R adalah konstanta gas ideal yang dinyatakan dalam satuan meter kuadrat
per detik kuadrat Kelvin (m2/s2.K), dan 0
T adalah temperatur pada stagnation
condition yang dinyatakan dalam satuan Kelvin (K).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
28
2.7.1.2. Shock Wave (Normal Shock Wave)
Normal shock wave terjadi apabila terdapat perubahan pada kecepatan
aliran supersonic dengan nilai Ma lebih dari satu (Ma > 1) menjadi kecepatan
aliran subsonic dengan nilai Ma kurang dari 1 (Ma < 1). Kecepatan aliran
supersonic dihasilkan karena efek dari converging dan diverging pada suatu
penampang aliran seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.18.
Gambar 2.18 Normal shock wave [White, 2011].
Persamaan yang digunakan untuk melakukan perhitungan normal shock
wave dapat dituliskan ke dalam persamaan (2.5).
)1(2
2)1(2
1
2
12
2
kMak
MakMa (2.5)
dengan 1Ma adalah nilai Mach number pada saluran inlet dengan kecepatan aliran
supersonic, 2Ma adalah nilai Mach number pada saluran outlet dengan kecepatan
aliran subsonic, dan k adalah nilai dari specific heat ratio pada gas yang
mempunyai nilai sebesar 1,4.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
29
2.7.2. Supersonic Nozzle dan Subsonic Diffuser
Terdapat 2 (dua) jenis perbedaan penampang pada saluran, yaitu
supersonic nozzle dan subsonic diffuser. Supersonic nozzle dapat diartikan sebagai
penampang saluran yang mempunyai kecepatan aliran yang tinggi dengan nilai
Ma lebih dari 1 (Ma > 1) yang disebut dengan kecepatan aliran supersonic.
Sedangkan subsonic diffuser diartikan sebagai penampang yang mempunyai
kecepatan aliran yang rendah dengan nilai Ma kurang dari 1 (Ma < 1) yang
disebut dengan kecepatan aliran subsonic. Karena kecepatan aliran pada subsonic
diffuser lebih rendah daripada supersonic nozzle, maka subsonic diffuser akan
menghasilkan tekanan yang lebih tinggi daripada supersonic nozzle [White,
2011]. Perbedaan antara subsonic diffuser dan supersonic nozzle dapat dilihat
pada Gambar 2.19.
Gambar 2.19 Perbedaan antara supersonic nozzle dan subsonic diffuser [White,
2011].
Persamaan yang digunakan untuk menjelaskan perbedaan fenomena pada
supersonic nozzle dan subsonic diffuser dituliskan ke dalam persamaan (2.6).
22 1
1
V
dp
MaA
dA
V
dV
(2.6)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
30
2.7.3. Converging of Primary Nozzle
Gambar 2.20 Kondisi pengoperasian pada converging nozzle [White, 2011].
a) Geometri nozzle dan karakteristik tekanan
b) Distribusi tekanan akibat back pressure
c) Mass flow vs back pressure
Gambar 2.20 (a) menunjukkan skema aliran yang terjadi di dalam bagian
converging pada primary nozzle. Aliran dengan tekanan stagnasi (P0) akan
mengalir melewati primary nozzle outlet yang mengalami pengecilan penampang.
Akibat adanya pengecilan penampang, maka tekanan aliran akan menurun pada
bagian primary nozzle outlet (-Pe) sehingga akan keluar sebagai aliran dengan
tekanan back pressure (Pb), di mana nilai tekanan back pressure lebih rendah
daripada nilai tekanan stagnasi (Pb < P0).
Gambar 2.20 (b) menunjukkan distribusi tekanan yang terjadi pada
bagian converging primary nozzle. Pada kondisi pada titik a dan b, tekanan pada
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
31
primary nozzle throat lebih besar daripada tekanan kritis (P*) yang menyebabkan
aliran pada primary nozzle mempunyai kecepatan aliran subsonic dan tekanan
pada primary nozzle outlet (Pe) mempunyai nilai yang sama besar dengan tekanan
back pressure (Pb). Pada kondisi di titik c tekanan back pressure (Pb) mempunyai
nilai yang sama besar dengan tekanan pada primary nozzle outlet (Pe). Sedangkan
pada kondisi di titik d dan e, primary nozzle tidak dapat beroperasi lebih lanjut
karena terjadi proses chocking dengan laju aliran massa yang besar pada bagian
primary nozzle throat sehingga mengakibatkan tekanan akan menurun dari
tekanan kritis (P*) menuju tekanan back pressure (Pb) dan aliran akan
berekspansi dengan kecepatan aliran supersonic.
2.8. Mach Number (Ma)
Mach number (Ma) merupakan parameter yang paling dominan dalam
melakukan analisa pada compressible flow [White, 2011]. Besarnya nilai Mach
number (Ma) dapat dituliskan ke dalam persamaan (2.7).
a
VMa (2.7)
dengan Ma adalah Mach number yang tidak mempunyai satuan, V adalah
kecepatan aliran yang dinyatakan dalam satuan meter per detik (m/s), dan a
adalah kecepatan suara yang dinyatakan dalam satuan meter per detik (m/s).
Adapun interval dari besarnya nilai Mach number (Ma) dapat digunakan
untuk mengetahui sifat aliran seperti yang ditunjukkan pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1 Sifat aliran berdasarkan nilai Mach number (Ma) [White, 2011].
Bilangan Ma Keterangan
Ma < 0,3 Aliran incompressible, di mana pengaruh pada nilai density
dapat diabaikan.
0,3 < Ma < 0,8 Aliran subsonic, di mana pengaruh pada nilai density penting
tetapi tidak ada shock wave yang muncul.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
32
0,8 < Ma < 1,2
Aliran transonic, di mana terdapat shock wave pada aliran.
Aliran transonic merupakan pemisah daerah aliran supersonic
dan subsonic.
1,2 < Ma < 3,0 Aliran supersonic, di mana terdapat shock wave tetapi tidak ada
daerah subsonic.
3,0 < Ma Aliran hypersonic, di mana shock wave dan aliran lainnya
berubah dengan sangat kuat.
Kecepatan suara yang digunakan dalam persamaan Mach Number (Ma)
dapat dinyatakan ke dalam persamaan (2.8) [White, 2011].
2/1)( TRka (2.8)
dengan a adalah kecepatan suara yang dinyatakan dalam satuan meter per detik
(m/s), k adalah specific heat ratio yang tidak mempunyai satuan, R adalah
specific heat yang dinyatakan dalam satuan meter kuadrat per detik kuadrat
Kelvin (m2/s2.K), dan T adalah temperatur yang dinyatakan dalam satuan Kelvin
(K).
Karena nilai specific heat ratio (k) untuk gas ideal diasumsikan
mempunyai nilai 1,4 dan specific heat (R) untuk gas ideal mempunyai nilai 287
m2/s2.K, maka persamaan (2.8) dapat disederhanakan ke dalam bentuk persamaan
lain yang dinyatakan dalam persamaan (2.9).
Ta 20 (2.9)
2.9. Reynolds Number (Re)
Menurut Osborne Reynolds (1884), terdapat 3 (tiga) faktor utama yang
dapat mempengaruhi keadaan aliran, yaitu kekentalan zat cair (viskositas) (μ -
mu), rapat massa zat cair (ρ - rho), dan diameter pipa saluran (D). Perhitungan
pada Reynolds number (Re) dituliskan ke dalam persamaan (2.10) [Triatmodjo,
2013].
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
33
VD Re (2.10)
dengan Re adalah Reynolds number yang tidak mempunyai satuan, (rho) adalah
rapat massa yang dinyatakan dalam satuan kilogram per meter kubik (kg/m3),
D adalah diameter pipa saluran yang dinyatakan dalam satuan meter (m),
V adalah kecepatan aliran yang dinyatakan dalam satuan meter per detik (m/s),
dan adalah viskositas dinamik yang dinyatakan dalam satuan Newton detik per
meter kuadrat (N.s/m2).
karena,
(2.11)
dengan adalah viskositas kinematik yang dinyatakan dalam satuan meter persegi
per detik (m2/s), maka persamaan (2.11) dapat dimasukkan ke dalam persamaan
(2.10) sehingga kedua persamaan tersebut akan menjadi:
DV Re (2.12)
Berdasarkan percobaan aliran dalam pipa yang telah dilakukan oleh
Osborne Reynolds, ditetapkan rentang nilai Reynolds number (Re) yang dapat
digunakan untuk membedakan antara aliran laminer, transisi, dan turbulen.
Rentang nilai tersebut yaitu:
a. Apabila Re< 2000, maka termasuk jenis aliran laminer.
b. Apabila 2000 <Re< 4000, maka termasuk jenis aliran transisi.
c. Apabila Re> 4000, maka termasuk jenis aliran turbulen.
d. Nilai Re = 2000 dan nilai Re = 4000 disebut dengan batas kritis bawah
dan batas kritis atas.
Aliran transisi merupakan aliran yang terjadi akibat perubahan jenis
aliran dari laminer menjadi turbulen. Aliran transisi terjadi pada saat aliran
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
34
laminer melewati nilai Reynolds number (Re) pada batas kritis bawah (Re> 2000)
dan berada di bawah nilai Reynolds number (Re) pada batas kritis atas (Re< 4000).
Perubahan aliran tersebut diakibatkan oleh berkurangnya viskositas pada aliran
laminer sehingga menyebabkan kecepatan aliran semakin meningkat. Untuk
memberikan gambaran tentang perbedaan antara jenis aliran laminer, transisi, dan
turbulen dapat dilihat pada Gambar 2.21.
Gambar 2.21 Aliran laminer, transisi, dan turbulen [Munson et al., 2009].
2.10. Hukum Gas Ideal
Gas mempunyai sifat yang lebih mudah untuk dimampatkan daripada
cairan. Kerapatan gas semakin meningkat seiring dengan meningkatnya tekanan
dan temperatur. Hubungan antara kerapatan massa gas (ρ), tekanan (p), dan
temperatur (T) dapat dilihat melalui persamaan Hukum Gas Ideal yang dituliskan
ke dalam persamaan (2.13).
TRp (2.13)
dengan rapat massa gas (ρ) dinyatakan dalam satuan kilogram per meter kubik
(kg/m3), tekanan (p) dinyatakan dalam satuan Pascal (Pa atau N/m2), temperatur
dinyatakan dalam satuan Kelvin (K), dan specific heat (R) dinyatakan dalam
satuan meter kuadrat per detik kuadrat Kelvin (m2/s2.K).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
35
2.11. Kinematika Fluida
Aliran zat cair dapat diklasifikasikan menjadi beberapa macam
[Triatmodjo, 2013], antara lain:
a. Aliran invisid dan viskos
b. Aliran kompresibel dan tak kompresibel
c. Aliran laminer dan turbulen
d. Aliran mantap (steady flow) dan tak mantap (unsteady flow)
e. Aliran seragam dan tak seragam
2.11.1. Aliran Invisid dan Viskos
Aliran invisid adalah aliran yang mempunyai nilai kekentalan zat cair (μ)
dianggap nol (μ = 0). Akan tetapi, zat cair dengan nilai μ = 0 tidak ada di alam.
Hal ini hanya dijadikan sebagai anggapan untuk menyederhanakan permasalahan
yang sangat kompleks dalam hidraulika. Akibat nilai μ = 0, maka tidak terjadi
tegangan geser antara partikel zat cair dengan partikel yang lainnya. Sehingga
pada kondisi tertentu asumsi bahwa nilai μ = 0 dapat diterima untuk zat cair
dengan nilai μ yang kecil seperti air [Triatmodjo, 2014].
Aliran viskos adalah aliran yang memperhitungkan nilai kekentalan (μ).
Keadaan ini akan menyebabkan timbulnya tegangan geser antara partikel zat cair
yang bergerak dengan kecepatan yang berbeda. Apabila zat cair mengalir melalui
bidang batas yang diam, zat cair yang berhubungan langsung dengan bidang batas
tersebut akan mempunyai kecepatan nol (diam). Kecepatan zat cair akan
bertambah sesuai dengan jarak dari bidang tersebut. Apabila medan aliran sangat
dalam atau lebar, aliran tidak lagi dipengaruhi oleh hambatan bidang batas. Pada
daerah tersebut kecepatan aliran hampir seragam (fully developed velocity)
[Triatmodjo, 2014]. Untuk dapat mengetahui proses terjadinya fully developed
velocity dapat dilihat pada Gambar 2.22.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
36
Gambar 2.22 Developing velocity profiles and pressure change [White, 2011].
Terdapat suatu persamaan yang terdapat pada kondisi fully developed
velocity. Persamaan tersebut dituliskan ke dalam persamaan (2.14).
.constdAuQ (2.14)
2.11.2. Aliran Kompresibel dan Tak Kompresibel
Semua jenis fluida (termasuk zat cair) termasuk jenis aliran kompresibel.
Aliran kompresibel merupakan aliran yang nilai rapat massanya akan berubah
sesuai dengan perubahan nilai tekanan. Akan tetapi pada aliran mantap dengan
perubahan rapat massa yang kecil sering dilakukan penyederhanaan dengan
menganggap bahwa zat cair merupakan aliran tidak kompresibel dan mempunyai
nilai rapat massa yang konstan. Penyederhanaan ini tidak dapat dilakukan pada
aliran tak mantap melalui pipa di mana dapat terjadi perubahan tekanan yang
sangat besar [Triatmodjo, 2014].
2.11.3. Aliran Laminer dan Turbulen
Aliran zat cair yang mempunyai nilai kekentalan (viskositas) disebut
dengan aliran viskos. Aliran viskos dapat dibedakan menjadi 2 (dua) tipe, yaitu
aliran laminer dan turbulen [Triatmodjo, 2013].
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
37
2.11.3.1. Aliran Laminer
Pada aliran laminer, partikel-partikel zat cair bergerak teratur mengikuti
lintasan yang saling sejajar. Aliran laminer terjadi apabila aliran mempunyai
kecepatan aliran yang rendah dan viskostas yang tinggi [Triatmodjo, 2013].
Gambar 2.23 Aliran laminer - kecepatan aliran rendah [White, 2011].
Gambar 2.24 Aliran laminer dalam pipa [White, 2011].
2.11.3.2. Aliran Turbulen
Pada aliran turbulen, gerak partikel-partikel zat cair tidak teratur. Aliran
turbulen terjadi apabila aliran mempunyai kecepatan aliran yang tinggi dan
viskositas yang rendah [Triatmodjo, 2013].
Gambar 2.25 Aliran turbulen - kecepatan aliran tinggi [White, 2011].
Gambar 2.26 Aliran turbulen dalam pipa [White, 2011].
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
38
2.11.4. Aliran Mantap dan Tak Mantap
Aliran mantap (steady flow) terjadi apabila variabel pada aliran seperti
kecepatan aliran (V), tekanan (p), rapat massa (ρ), luas penampang aliran (A),
debit aliran (Q), dan lain sebagainya tidak berubah terhadap waktu. Keadaan yang
terjadi pada aliran mantap dapat dituliskan dalam persamaan (2.15) [Triatmodjo,
2014].
0;0;0;0;0
t
Q
t
A
tt
p
t
V (2.15)
Sedangkan aliran tidak mantap (unsteady flow) terjadi apabila variabel
pada aliran berubah terhadap waktu. Keadaan yang terjadi pada aliran tidak
mantap dapat dituliskan dalam persamaan (2.16) [Triatmodjo, 2014].
0;0;0;0;0
t
Q
t
A
tt
p
t
V (2.16)
2.11.5. Aliran Seragam dan Tidak Seragam
Suatu aliran disebut seragam (uniform flow) apabila tidak ada perubahan
variabel aliran terhadap besar dan arah dari kecepatan aliran. Keadaan yang terjadi
pada aliran seragam dapat dituliskan dalam persamaan (2.17) [Triatmodjo, 2014].
0;0;0;0;0
s
Q
s
A
ss
p
s
V (2.17)
Sedangkan aliran tak seragam (non uniform flow) terjadi apabila semua
variabel aliran berubah terhadap besar dan arah kecepatan aliran. Keadaan yang
terjadi pada aliran tidak seragam dapat dituliskan dalam persamaan (2.18)
[Triatmodjo, 2014].
0;0;0;0;0
s
Q
s
A
ss
p
s
V (2.18)
2.12. Viskositas (Kekentalan)
Kekentalan adalah sifat zat cair yang dapat menyebabkan terjadinya
tegangan geser pada waktu bergerak. Tegangan geser ini akan mengubah sebagian
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
39
energi aliran menjadi bentuk energi lain seperti panas, suara, dan sebagainya.
Perubahan bentuk energi tersebut akan menyebabkan aliran akan kehilangan
tenaga [Triatmodjo, 2013].
2.12.1. Hukum Newton Tentang Kekentalan Zat Cair
Gambar 2.27 Newtonian shear distribution [White, 2011].
Gambar 2.28 Tegangan geser pada dua penampang paralel [Munson et al., 2009].
Hukum Newton tentang kekentalan zat cair menyatakan bahwa tegangan
geser yang terjadi antara dua partikel zat cair yang berdampingan adalah
sebanding dengan perbedaan kecepatan dari partikel yang bergerak [Triatmodjo,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
40
2013]. Pernyataan tersebut dapat dituliskan ke dalam persamaan (2.19) serta
ditunjukkan pada Gambar 2.27 dan Gambar 2.28.
d y
d u (2.19)
dengan µ (mu) adalah viskositas dinamik yang dinyatakan dalam satuan Newton
detik per meter kuadrat (N.s/m2) dan τ (tau) adalah tegangan geser yang
dinyatakan dalam satuan Newton per meter persegi (N/m2).
Seperti yang ditunjukkan pada persamaan (2.19), Gambar 2.27, dan
Gambar 2.28 dapat diketahui bahwa pelat bagian bawah diam dan pelat bagian
atas bergerak. Partikel fluida yang bersinggungan dengan plat yang bergerak
mempunyai kecepatan yang sama dengan plat tersebut. Tegangan geser (τ) antara
dua lapis zat cair adalah sebanding dengan gradien kecepatan dalam arah tegak
lurus dengan gerak (du/dy).
2.13. Pengukuran Debit Aliran
2.13.1. Teori Hambatan Bernoulli (Bernoulli Obstraction Theory)
Gambar 2.29 Perubahan tekanan dan kecepatan pada Bernoulli Obstruction
Meter [White, 2011].
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
41
Suatu aliran melewati pipa yang mempunyai penampang dengan
diameter mayor (D) akan mengalami desakan akibat terjadinya penyempitan
penampang dengan ukuran diameter minor (d) sehingga menghasilkan rasio
geometri (β) di antara kedua penampang tersebut.
D
d (2.20)
Penampang aliran akan menyempit ketika melewati vena contracta yang
mempunyai nilai diameter D2 < d. Dengan menggunakan persamaan Bernoulli
dan kontunyuitas, maka dapat diketahui besarnya debit aliran (Q) yang dituliskan
dalam persamaan (2.21) [White, 2011].
2/1
4
21
1
/)(2
ppACVAQ tdtt (2.21)
dengan t merupakan notasi dari throat pada hambatan aliran, dC merupakan
discharge coefficient yang tidak mempunyai satuan, dimana dC didapatkan dari
fungsi dari nilai β dan ReD. Nilai dC akan dipengaruhi oleh jenis alat pada
Bernoulli Obstruction Meter yang digunakan.
)Re,( Dd fC (2.22)
di mana,
DVD
1Re
2.13.2. Orifice Plate
Orifice plate merupakan alat pada Bernoulli Obstruction Meter yang
digunakan pada penelitian ini. Orifice plate yang digunakan merupakan jenis Thin
Plate Orifice yang mempunyai hubungan antara nilai ReD dan Cd seperti yang
ditunjukkan pada Gambar 2.30 [White, 2011].
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
42
Gambar 2.30 Grafik hubungan antara Red dan Cd untuk Thin Plate Orifice
[White, 2011].
Thin Plate Orifice dapat dibuat dengan nilai β antara 0,2 sampai 0,8,
dengan aturan bahwa ukuran d > 12.5 mm. Untuk mengukur besarnya tekanan
pada p1 dan p2, biasanya digunakan 3 (tiga) tipe sambungan, yaitu:
a. Sambungan menyudut, dimana orifice plate menyambung langsung
dengan dinding pipa.
b. Sambungan D : ½ D, dimana orifice plate menyambung dengan jarak D
pada pipa hulu, dan ½ D pada pipa hilir.
c. Sambungan flens.
Besarnya nilai Cd selain dapat diketahui melalui grafik pada Gambar 2.30
juga dapat dihitung dengan menggunakan persamaan (2.23).
2
3
14
475,05,2 0337,0
1
09,0Re71,91)( FFfC Dd
(2.23)
di mana,
81,2 184,00312,05959,0)( f (2.24)
sedangkan besarnya nilai F1 dan F2 untuk setiap tipe pada ketiga jenis sambungan
orifice plate yaitu:
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
43
a. Untuk sambungan menyudut
F1 = 0 F2 = 0
b. Untuk sambungan D : ½ D
F1 = 0.4333 F2 = 0.47
c. Untuk sambungan flens
)(
1
inD 3,2D
)(
12
inDF 1F
4333,0 3,20,2 D
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
44
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Diagram Alir Penelitian
Penelitian tentang performa pada steam ejector terhadap ukuran primary
nozzle exit position (NXP) terdiri atas berbagai macam proses dari awal hingga
akhir yang dapat digambarkan melalui diagram alir pada Gambar 3.1.
Mulai
Studi Pustaka Tentang Steam Ejector
Pembuatan Desain Steam Ejector
Konsultasi Desain Steam Ejector Dengan Dosen Pembimbing
Persiapan Alat dan Bahan Pembuatan Komponen Steam Ejector
Proses Pembuatan Komponen Steam Ejector:
1. Boiler
2. Evaporator
3. Bed Mesin
4. Ejector
5. Condenser
A
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
45
A
Pengambilan Data Penelitian Pada
Steam Ejector Dengan
Menggunakan Variasi Pada Primary
Nozzle Exit Position (NXP)
Data Penelitian
yang Dibutuhkan
Sudah Lengkap?
Ya
Tidak
Analisis Data Penelitian
Tidak
Ya
B
Hasil Analisis
Data Penelitian
Sudah Benar?
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
46
Gambar 3.1 Diagram alir penelitian.
3.2. Alat Penelitian
3.2.1. Sistem Alat Penelitian
Gambar 3.2 Skema sistem alat penelitian.
B
Pembahasan Hasil Analisis Data Penelitian
Kesimpulan dan Saran
Selesai
Boiler
Evaporator
Ejector
Kondensor
Reservoir
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
47
Tabel 3.1 Keterangan simbol pada skema sistem alat penelitian.
3.2.2. Sistem Steam Ejector
Penelitian ini menggunakan sistem steam ejector seperti yang
ditunjukkan pada Gambar 3.3.
Gambar 3.3 Sistem steam ejector.
No. Simbol Keterangan
1
Water Heater Element
2 Pressure Gauge
3
Thermocouple
4
Expansion Valve
5
Drain Valve
6
Manometer Pipa U
7
Circulating Pump
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
48
Gambar 3.4 dan Gambar 3.5 menunjukkan skema dari steam ejector dan
penampang aliran pada steam ejector yang digunakan pada penelitian ini.
Sedangkan pada Gambar 3.6 menunjukkan komponen pada steam ejector beserta
dengan ukuran komponennya. Skema steam ejector dirancang dan didesain
dengan menggunakan program Solidworks 2013.
Gambar 3.4 Steam ejector yang digunakan pada penelitian.
Gambar 3.5 Penampang aliran pada steam ejector.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
49
A 2 3 4 5
1
B
Gambar 3.6 Komponen steam ejector pada penelitian beserta dengan ukurannya.
keterangan:
A. Primary fluid from boiler
B. Secondary fluid from evaporator
1. Suction chamber
2. Primary nozzle
3. Mixing Chamber
4. Ejector throat
5. Subsonic diffuser
3.3. Variabel Penelitian
Penelitian ini menggunakan 2 (dua) macam variabel penelitian, yaitu
variabel bebas dan variabel terikat. Variabel bebas dan variabel bebas yang
digunakan pada penelitian ini mengacu pada beberapa penelitian yang telah
dilakukan oleh Aphornratana dan Eames (1997), Sriveerakul et al. (2007),
Chandra dan Ahmed (2014), dan Tashtoush et al. (2015).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
50
3.3.1. Variabel Bebas
Terdapat beberapa macam variabel bebas yang digunakan pada penelitian
ini, di mana variabel bebas penelitian tersebut dapat dilihat pada Tabel 3.2.
Tabel 3.2 Variabel bebas pada penelitian.
No. Nama Variabel Simbol
1 Tekanan kerja pada fluida primer (primary pressure). Pp
2 Temperatur kerja pada fluida sekunder (secondary
temperature). Ts
3 Jarak primary nozzle exit position yang terdapat di dalam
ejector. NXP
3.3.2. Variabel Terikat
Beberapa macam variabel terikat yang digunakan pada penelitian ini
dapat dilihat pada Tabel 3.3.
Tabel 3.3 Variabel terikat pada penelitian.
No. Nama Variabel Simbol
1 Laju aliran massa fluida primer (primary mass flow rate) ṁp
2 Laju aliran massa fluida sekunder (secondary mass flow
rate) ṁs
3 Tekanan kerja fluida sekunder (secondary pressure) Ps
4 Temperatur kerja saat keluar ejector To
5 Tekanan kerja saat keluar ejector Po
6 Selisih ketinggian ukuran pada Manometer Pipa U Δh
7 Perbedaan tekanan yang terbaca pada Manometer Pipa U ΔP
8 Rapat massa fluida (density) ρ
9 Viskositas dinamik (dynamic viscosity) μ
10 Viskositas kinematik (kinematic viscosity) ν
11 Kecepatan aliran fluida (velocity) V
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
51
12 Reynolds number Re
13 Debit aliran Q
14
2 (dua) parameter performa steam ejector :
a. Entrainment Ratio
b. Expansion Ratio
ω
ER
3.4. Prosedur Penelitian
Penelitian ini menggunakan beberapa macam variasi dalam pelaksanaan
pengujian. Variasi penelitian tersebut antara lain primary pressure, secondary
temperature, dan ukuran primary nozzle exit position (NXP) seperti yang
ditunjukkan pada Tabel 3.4.
Tabel 3.4 Tekanan dan temperatur pada boiler dan evaporator, beserta dengan
ukuran NXP yang digunakan pada penelitian.
Primary Pressure
(bar)
Secondary Temperature
(˚C)
Primary Nozzle Exit Position
(mm)
1 50
-5 0 +5 2 60
3 70
4 80
Variasi yang dilakukan pada penelitian ini mengacu pada beberapa
penelitian tentang steam ejector yang telah dilakukan sebelumnya. Beberapa
referensi penelitian tersebut merupakan penelitian yang telah dilakukan oleh
Aphornratana dan Eames (1997), Sriveerakul et al. (2007), Chandra dan Ahmed
(2014), dan Tashtoush et al. (2015).
Untuk mengetahui secara jelas posisi dari variasi primary nozzle exit
position (NXP) yang dilakukan pada penelitian ini, maka dapat dilihat pada
gambar berikut.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
52
Gambar 3.7 Primary nozzle exit position (NXP) +5 mm.
Gambar 3.8 Variasi pada steam ejector dengan menggunakan NXP +5 mm.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
53
Gambar 3.9 Primary nozzle exit position (NXP) 0 mm.
Gambar 3.10 Variasi pada steam ejector dengan menggunakan NXP 0 mm.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
54
Gambar 3.11 Primary nozzle exit position (NXP) -5 mm.
Gambar 3.12 Variasi pada steam ejector dengan menggunakan NXP -5 mm.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
55
Mulai
Input Air Pada Boiler dan Evaporator
Variasi Penelitian Awal Menggunakan Ukuran NXP 0 mm
Heater Pada Boiler dan Evaporator Dihidupkan
Setting Tekanan Boiler (Primary Pressure) dan
Temperatur Evaporator (Secondary Temperature)
Sesuai Dengan Tabel 3.4
Tidak
Primary Pressure dan
Secondary Temperature
Sudah Sesuai?
Ya
A
Primary Expansion Valve Dibuka
Selisih ketinggian merkuri (air raksa) pada Manometer Pipa U diukur untuk
menghitung debit aliran (Q). Primary temperature diukur denggan
temperature controller (Thermocouple Type K dan Thermo Display APPA),
sedangkan primary pressure diukur dengan menggunakan Bourdon Tube
Pressure Gauge.
Prosedur pelaksanaan penelitian dilakukan dalam beberapa tahapan dari
awal hingga akhir yang dapat dijelaskan melalui diagram alir seperti yang
ditunjukkan pada Gambar 3.13.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
56
Secondary Expansion Valve Dibuka
Selisih ketinggian merkuri (air raksa) pada Manometer Pipa U diukur untuk
menghitung debit aliran (Q). Secondary temperature diukur dengan temperature
controller (Thermocouple Type K dan Thermo Display APPA).
A
Mengganti Variasi Penelitian Pada Primary Pressure dan Secondary Temperature
Mengganti Variasi Penelitian Dengan NXP -5 mm dan NXP +5 mm
Lakukan Prosedur Penelitian Dari Awal
Selesai
Gambar 3.13 Diagram alir prosedur pelaksanaan penelitian.
3.5. Alat Penelitian
Terdapat berbagai macam alat yang digunakan pada penelitian ini.
Berbagai macam alat tersebut antara lain:
1. Fluida kerja
2. Boiler dengan water heater element 2000 Watt
3. Evaporator dengan water heater element 1000 Watt
4. Steam ejector
5. Kondensor
6. Alat ukur temperatur
7. Alat ukur tekanan
8. Alat ukur debit aliran
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
57
9. Roll meter
10. Stopwatch
3.5.1. Fluida Kerja
Penelitian ini akan menggunakan fluida kerja berupa air, di mana air
merupakan fluida kerja yang paling ramah lingkungan [Chunnanond dan
Aphornratana, 2004]. Properti air sebagai fluida kerja pada tekanan 1 atm dan
temperatur 20 ˚C ditunjukkan pada Tabel 3.5.
Tabel 3.5 Properti air pada tekanan 1 atm dan temperatur 20 ˚C [White, 2011].
No. Properti Nilai Satuan
1 Temperatur (T) 20 ˚C
2 Rapat massa (ρ) 998 kg/m3
3 Viskositas dinamik (μ) 1,80 x 10-5 N.s/m2
4 Viskositas kinematik (ν) 1,50 x 10-5 m2/s
3.5.2. Boiler dengan Water Heater Element 2000 Watt
Gambar 3.14 Boiler.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
58
Gambar 3.14 menunjukkan bagian boiler yang digunakan pada penelitian
ini. Boiler dibuat dengan menggunakan material besi dengan ukuran diameter luar
sebesar 220 mm, tinggi 500 mm, dan mempunyai ketebalan dinding sebesar 10
mm. Pada bagian dalam boiler terdapat water heater element dengan daya 2000
Watt seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3.15, di mana spesifikasi teknisnya
dapat dilihat pada Tabel 3.6.
Gambar 3.15 Water heater element 2000 Watt.
Tabel 3.6 Spesifikasi teknis water heater element 2000 Watt.
Nama Produk Water Heater Element
Material Stainless Steel
Tegangan 220 Volt AC
Daya 2000 Watt
Tube Diameter 10 mm (0,39 inchi)
Screw Diameter 4 mm (0,16 inchi)
Male Thread
Diameter 16 mm (0,6 inchi)
Warna Silver Tone
Ukuran
(L*D*H)
280 mm x 85 mm x 23 mm
(11 inchi x 3,3 inchi x 0,9 inchi)
Berat 252 gram
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
59
3.5.3. Evaporator dengan Water Heater Element 1000 Watt
Gambar 3.16 Evaporator.
Bagian evaporator yang digunakan pada penelitian ini ditunjukkan pada
Gambar 3.16. Sama halnya dengan boiler, evaporator juga dibuat dengan jenis
material besi dengan ukuran diameter luar sebesar 220 mm, tinggi 500 mm, dan
mempunyai ketebalan dinding sebesar 10 mm. Pada bagian dalam evaporator
terdapat water heater element dengan daya 1000 Watt seperti yang ditunjukkan
pada Gambar 3.17, di mana spesifikasi teknisnya dapat dilihat pada Tabel 3.7.
Gambar 3.17 Water heater element 1000 Watt.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
60
Tabel 3.7 Spesifikasi teknis water heater element 1000 Watt.
Nama Produk Water Heater Element
Material Stainless Steel
Tegangan 220 Volt AC
Daya 1000 Watt
Tube Diameter 10 mm (0,39 inchi)
Screw Diameter -
Thread Diameter 15 mm (0,59 inchi)
Warna Black-Grey
Ukuran
(L*W)
220 mm x 80 mm
(8,7 inchi x 3,1 inchi)
Berat 212 gram
3.5.4. Steam Ejector
Penelitian ini menggunakan steam ejector seperti yang ditunjukkan pada
Gambar 3.18 dan mempunyai data teknis yang ditunjukkan pada Tabel 3.8. Steam
ejector dibuat dengan jenis material baja lunak (mild steel).
Gambar 3.18 Steam ejector.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
61
Tabel 3.8 Spesifikasi teknis steam ejector.
Diameter Nozzle 2 mm
Jarak NXP
a. -5 mm
b. 0 mm
c. 5 mm
Diameter Pipa Secondary 33 mm
Diameter Suction Chamber 26,5 mm
Sudut Konvergen Suction
Chamber 18º
Diameter Mixing Chamber 8 mm
Sudut Divergen Diffuser 18,5º
Diameter Diffuser 24 mm
Panjang Steam Ejector
(Tanpa Mixing Chamber) 218,8 mm
Panjang Mixing Chamber 50 mm
3.5.5. Kondensor
Penelitian ini menggunakan kondensor yang dibuat dengan menggunakan
jenis material stainless steel dengan tebal dinding sebesar 2 mm seperti yang
ditunjukkan pada Gambar 3.19.
Gambar 3.19 Kondensor.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
62
3.5.6. Alat Ukur Temperatur
Alat ukur temperatur yang digunakan pada penelitian ini terdiri atas 2
(dua) bagian. Bagian yang pertama yaitu thermocouple type K seperti yang
ditunjukkan pada Gambar 3.20 dan mempunyai spesifikasi teknis yang
ditunjukkan pada Tabel 3.9. Thermocouple type K digunakan sebagai alat untuk
melakukan pengukuran temperatur yang digunakan pada penelitian ini.
Gambar 3.20 Thermocouple type K.
Tabel 3.9 Spesifikasi teknis thermocouple type K.
Thermocouple
Type
Overall Range
(°C)
0,1 °C
Resolution
0,025 °C
Resolution
K -270 to 1370 -270 to 1370 -250 to 1370
Sedangkan bagian yang kedua adalah thermo display APPA seperti yang
ditunjukkan pada Gambar 3.21 dan mempunyai spesifikasi teknis yang
ditunjukkan pada Tabel 3.10. thermo display APPA digunakan sebagai layar yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
63
menunjukkan besarnya nilai temperatur yang dihasilkan dari proses pembacaan
ukuran. Dalam aplikasinya, thermo display APPA disambungkan dengan
thermocouple type K.
Gambar 3.21 Thermo display APPA.
Tabel 3.10 Spesifikasi teknis thermo display APPA.
APPA
Type
Measurement
Range
Resolution
K-Type
Accuracy
Temperature
Coefficient
53II
-200 ºC
to
1372 ºC
0.1 ºC ≤
1000 ºC
3. ±0,3% + 1,1 ºC
at
-210 ºC to -100 ºC
4. ±0,1% + 0,8 ºC
at
-99 ºC to -999,9 ºC;
5. ±0,3% + 1 ºC
at
-1000 ºC to -1200 ºC
0,1 x (Spec
Acc.)/ ºC
< 18 ºC or > ºC
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
64
3.5.7. Alat Ukur Tekanan
Gambar 3.22 Bourdon tube pressure gauge.
Penelitian ini menggunakan alat ukur tekanan berupa bourdon tube
pressure gauge seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3.22 dan mempunyai
spesifikasi teknis yang ditunjukkan pada Tabel 3.11.
Tabel 3.11 Spesifikasi teknis bourdon tube pressure gauge.
Bourdon Tube
Type
Overall
Range
(bar)
Overall
Range
(psi)
Resolution
(bar)
Resolution
(psi)
Tekiro AU
PG100C 0 to 6 0 to 80 0,25 2,5
3.5.8. Alat Ukur Debit Aliran
Penelitian ini menggunakan alat ukur debit aliran berupa orifice plate
seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3.23. orifice plate digunakan untuk
mengukur laju aliran massa dari suatu aliran. Karena orifice plate memiliki
perbedaan penampang pada kedua sisinya, maka akan menghasilkan perbedaan
tekanan yang dihasilkan oleh suatu aliran. Perbedaan tekanan aliran yang
dihasilkan akan dilakukan pembacaan ukuran melalui alat ukur Manometer Pipa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
65
U Air Raksa sehingga dapat digunakan untuk melakukan perhitungan terhadap
besarnya laju aliran massa suatu aliran. Air raksa yang digunakan pada
Manometer Pipa U dalam penelitian ini ditunjukkan pada Gambar 3.24 beserta
dengan propertinya yang ditunjukkan pada Tabel 3.12.
Gambar 3.23 Orifice plate.
Gambar 3.24 Air raksa.
Tabel 3.12 Properti air raksa pada tekanan 1 atm dan temperatur 20 ˚C [White,
2011].
No. Properti Nilai Satuan
1 Temperatur (T) 20 ˚C
2 Rapat massa (ρ) 13.550 kg/m3
3 Viskositas dinamik (μ) 1,56 x 10-3 N.s/m2
4 Viskositas kinematik (ν) 1,15 x 10-7 m2/s
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
66
3.5.9. Roll Meter
Pada penelitian ini roll meter digunakan sebagai alat bantu pembacaan
ukuran pada Manometer Pipa U Air Raksa. Bentuk dari roll meter yang
digunakan pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 3.25, sedangkan aplikasi
roll meter pada Manometer Pipa U Air Raksa dapat dilihat pada Gambar 3.26.
Gambar 3.25 Roll meter.
Gambar 3.26 Aplikasi roll meter pada Manometer Pipa U Air Raksa.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
67
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui performa steam ejector
berdasarkan nilai entrainment ratio (ω) dan expansion ratio (ER). Penelitian ini
menggunakan variasi tekanan kerja pada boiler (primary pressure), temperatur
kerja pada evaporator (secondary temperature), dan primary nozzle exit position
(NXP). Primary pressure (Pp) menggunakan 4 (empat) variasi tekanan, yaitu 1
bar, 2 bar, 3 bar, dan 4 bar. Secondary temperature (Ts) menggunakan 4 (empat)
variasi temperatur, yaitu 50 ˚C, 60 ˚C, 70 ˚C, dan 80 ˚C. Sedangkan primary
nozzle exit position (NXP) menggunakan 3 (tiga) variasi ukuran, yaitu -5 mm, 0
mm, dan +5 mm.
Berbagai macam variasi yang dilakukan pada penelitian ini digunakan
untuk mengetahui besarnya nilai entrainment ratio (ω) dan expansion ratio (ER)
beserta dengan hubungan antara kedua nilai tersebut terhadap performa steam
ejector. Besarnya nilai entrainment ratio (ω) dan expansion ratio (ER) dapat
diketahui melalui grafik hasil penelitian beserta dengan pembahasan yang
disajikan pada pembahasan hasil penelitian berikut ini.
4.1. Pengaruh Primary Nozzle Exit Position Terhadap Nilai Entrainment
Ratio Dengan Menggunakan Variasi Primary Pressure Pada Setiap
Secondary Temperature
Entrainment ratio dapat diartikan sebagai perbandingan antara laju aliran
massa fluida sekunder (secondary mass flow rate) dengan laju aliran massa fluida
primer (primary mass flow rate) [Chandra dan Ahmed, 2014]. Primary mass flow
rate dipengaruhi oleh temperatur dan tekanan kerja primary fluid. Primary mass
flow rate meningkat apabila primary temperature dan primary pressure
meningkat. Akan tetapi, kedua hal inilah yang dapat mengakibatkan nilai
entrainment ratio menurun [Ma et al., 2010].
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
68
4.1.1. Pengaruh Primary Nozzle Exit Position Terhadap Nilai Entrainment
Ratio Dengan Menggunakan Variasi Primary Pressure Pada
Secondary Temperature 50 ˚C
1 2 3 4
-0,6
-0,4
-0,2
0,0
0,2
0,4
En
tra
inm
ent
Ra
tio
Primary Pressure (bar)
NXP -5 mm
NXP 0 mm
NXP +5 mm
Gambar 4.1 Grafik pengaruh primary nozzle exit position terhadap nilai
entrainment ratio dengan menggunakan variasi primary pressure pada secondary
temperature 50 ˚C.
Gambar 4.1 menunjukkan bahwa nilai entrainment ratio menurun seiring
dengan meningkatnya primary pressure. Primary pressure mempunyai nilai
tekanan yang sangat rendah saat melewati primary nozzle yang diakibatkan karena
efek penyempitan penampang aliran (converging section). Perbedaan signifikan
antara tekanan fluida primer (primary pressure) dan tekanan fluida sekunder
(secondary pressure) mengakibatkan kecepatan aliran secondary fluid meningkat
dan terhisap ke dalam area mixing chamber [Sriveerakul et al., 2007]. Apabila
primary pressure terus meningkat dan mengakibatkan primary pressure lebih
besar daripada secondary pressure saat melewati primary nozzle, maka akan
terjadi back pressure. Back pressure terjadi karena area penghisapan (entrained
duct) pada area mixing chamber semakin sempit, sehingga secondary fluid tidak
terhisap ke dalam area mixing chamber dan mengakibatkan primary fluid
mengalir ke dalam saluran evaporator karena besarnya tekanan pada primary fluid
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
69
[Chunnanond dan Aphornratana, 2004]. NXP +5 mm mempunyai nilai
entrainment ratio paling optimal daripada NXP 0 mm dan NXP -5 mm.
Sedangkan back pressure tejadi pada NXP 0 mm dengan nilai entrainment ratio -
0,3652 pada primary pressure 1 bar, dan pada NXP -5 mm dengan nilai
entrainment ratio -0,1072 dan -0,0800 pada primary pressure 3 bar dan 4 bar.
4.1.2. Pengaruh Primary Nozzle Exit Position Terhadap Nilai Entrainment
Ratio Dengan Menggunakan Variasi Primary Pressure Pada
Secondary Temperature 60 ˚C
1 2 3 4
-0,6
-0,4
-0,2
0,0
0,2
0,4
En
tra
inm
ent
Ra
tio
Primary Pressure (bar)
NXP -5 mm
NXP 0 mm
NXP +5 mm
Gambar 4.2 Grafik pengaruh primary nozzle exit position terhadap nilai
entrainment ratio dengan menggunakan variasi primary pressure pada secondary
temperature 60 ˚C.
Gambar 4.2 menunjukkan bahwa nilai entrainment ratio menurun apabila
primary pressure meningkat. Primary pressure mempunyai nilai tekanan yang
sangat rendah saat melewati primary nozzle yang diakibatkan karena efek
penyempitan penampang aliran (converging section). Perbedaan signifikan antara
tekanan fluida primer (primary pressure) dan tekanan fluida sekunder (secondary
pressure) mengakibatkan kecepatan aliran secondary fluid meningkat dan terhisap
ke dalam area mixing chamber [Sriveerakul et al., 2007]. Primary pressure yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
70
terus meningkat melebihi secondary pressure saat melewati primary nozzle akan
mengakibatkan terjadinya back pressure. Back pressure terjadi karena area
penghisapan (entrained duct) semakin sempit, sehingga secondary fluid tidak
terhisap sempurna oleh primary fluid ke dalam area mixing chamber dan
mengakibatkan primary fluid mengalir ke dalam saluran evaporator karena
besarnya tekanan pada primary fluid [Chunnanond dan Aphornratana, 2004].
NXP +5 mm mempunyai nilai entrainment ratio paling optimal daripada NXP 0
mm dan NXP -5 mm, dimana terjadi back pressure dengan nilai entrainment ratio
-0,0625 pada primary pressure 4 bar. Untuk NXP 0 mm, back pressure terjadi
pada primary pressure 1 bar dan 4 bar dengan nilai entrainment ratio -0,4049 dan
-0,1957. Sedangkan pada NXP -5 mm, back pressure terjadi pada primary
pressure 3 bar dan 4 bar dengan nilai entrainment ratio -0,1071 dan -0,0904.
4.1.3. Pengaruh Primary Nozzle Exit Position Terhadap Nilai Entrainment
Ratio Dengan Menggunakan Variasi Primary Pressure Pada
Secondary Temperature 70 ˚C
1 2 3 4
-0,6
-0,4
-0,2
0,0
0,2
0,4
En
tra
inm
ent
Ra
tio
Primary Pressure (bar)
NXP -5 mm
NXP 0 mm
NXP +5 mm
Gambar 4.3 Grafik pengaruh primary nozzle exit position terhadap nilai
entrainment ratio dengan menggunakan variasi primary pressure pada secondary
temperature 70 ˚C.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
71
Gambar 4.3 menunjukkan bahwa meningkatnya primary pressure
mengakibatkan nilai entrainment ratio menurun. Primary pressure mempunyai
nilai tekanan yang sangat rendah saat melewati primary nozzle karena efek
penyempitan penampang aliran (converging section). Perbedaan signifikan antara
tekanan fluida primer (primary pressure) dan tekanan fluida sekunder (secondary
pressure) mengakibatkan kecepatan aliran secondary fluid meningkat dan terhisap
ke dalam area mixing chamber [Sriveerakul et al., 2007]. Primary pressure yang
terus meningkat melebihi secondary pressure saat melewati primary nozzle akan
mengakibatkan terjadinya back pressure. Back pressure terjadi karena area
penghisapan (entrained duct) semakin sempit, sehingga secondary fluid tidak
terhisap sempurna oleh primary fluid ke dalam area mixing chamber dan
mengakibatkan primary fluid mengalir ke dalam saluran evaporator karena
besarnya tekanan pada primary fluid [Chunnanond dan Aphornratana, 2004].
NXP +5 mm mempunyai nilai entrainment ratio paling optimal daripada NXP 0
mm dan NXP -5 mm, dimana terjadi back pressure pada primary pressure 3 bar
dan 4 bar dengan nilai entrainment ratio -0,1159 dan -0,0756. Pada NXP 0 mm,
back pressure terjadi pada primary pressure 1 bar dan 4 bar dengan nilai
entrainment ratio -0,5307 dan -0,2320. Sedangkan pada NXP -5 mm, back
pressure terjadi pada primary pressure 1 bar, 3 bar, dan 4 bar dengan nilai
entrainment ratio -0,1802, -0,1217, dan -0,0800.
4.1.4. Pengaruh Primary Nozzle Exit Position Terhadap Nilai Entrainment
Ratio Dengan Menggunakan Variasi Primary Pressure Pada
Secondary Temperature 80 ˚C
Gambar 4.4 menunjukkan bahwa back pressure sering terjadi pada
secondary temperature 80 ˚C. Back pressure terjadi karena area penghisapan
(entrained duct) semakin sempit, sehingga secondary fluid tidak terhisap
sempurna oleh primary fluid ke dalam area mixing chamber dan mengakibatkan
primary fluid mengalir ke dalam saluran evaporator karena besarnya tekanan pada
primary fluid [Chunnanond dan Aphornratana, 2004]. Pada NXP -5 mm, back
pressure terjadi pada primary pressure 3 bar dan 4 bar dengan nilai entrainment
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
72
ratio -0,1265 dan -0,0835. Pada NXP 0 mm, back pressure terjadi pada primary
pressure 1 bar, 3 bar, dan 4 bar dengan nilai entrainment ratio -0,4430, -0,2798,
dan -0,2545. Sedangkan pada NXP +5 mm, back pressure terjadi pada primary
pressure 2 bar, 3 bar, dan 4 bar dengan nilai entrainment ratio -0,1618, -0,1022,
dan -0,0792. Dari grafik analisis pada secondary temperature 80 ˚C, dapat
disimpulkan bahwa tidak terdapat NXP yang mempunyai nilai entrainment ratio
optimal.
1 2 3 4
-0,6
-0,4
-0,2
0,0
0,2
0,4
En
tra
inm
ent
Ra
tio
Primary Pressure (bar)
NXP -5 mm
NXP 0 mm
NXP +5 mm
Gambar 4.4 Grafik pengaruh primary nozzle exit position terhadap nilai
entrainment ratio dengan menggunakan variasi primary pressure pada secondary
temperature 80 ˚C.
4.2. Pengaruh Primary Nozzle Exit Position Terhadap Nilai Entrainment
Ratio Dengan Menggunakan Variasi Secondary Temperature Pada
Setiap Primary Pressure
Nilai entrainment ratio dipengaruhi oleh 2 (dua) faktor utama, yaitu laju
aliran massa fluida sekunder (secondary mass flow rate) dan laju aliran massa
fluida primer (primary mass flow rate). Primary mass flow rate dipengaruhi oleh
primary temperature dan primary pressure, sedangkan secondary mass flow rate
dipengaruhi oleh secondary temperature dan secondary pressure. Kecepatan
aliran pada secondary fluid akan meningkat apabila secondary pressure pada
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
73
saluran evaporator lebih besar daripada tekanan pada primary fluid yang melewati
primary nozzle. Hal ini mengakibatkan semakin banyaknya secondary fluid yang
terhisap oleh primary fluid ke dalam area mixing chamber, sehingga secondary
mass flow rate dan nilai entrainment ratio semakin meningkat [Chunnanond dan
Aphornratana, 2004].
4.2.1. Pengaruh Primary Nozzle Exit Position Terhadap Nilai Entrainment
Ratio Dengan Menggunakan Variasi Secondary Temperature Pada
Primary Pressure 1 bar
0 50 60 70 80
-0,6
-0,4
-0,2
0,0
0,2
0,4
En
tra
inm
ent
Ra
tio
Secondary Temperature (C)
NXP -5 mm
NXP 0 mm
NXP +5 mm
Gambar 4.5 Grafik pengaruh primary nozzle exit position terhadap nilai
entrainment ratio dengan menggunakan variasi secondary temperature pada
primary pressure 1 bar.
Gambar 4.5 menunjukkan bahwa nilai entrainment ratio semakin
meningkat seiring dengan meningkatnya secondary temperature. Secondary
temperature yang semakin meningkat akan mengakibatkan secondary pressure
meningkat dan mempunyai tekanan yang lebih besar daripada primary pressure
yang telah melewati primary nozzle. Hal inilah yang mengakibatkan secondary
fluid banyak terhisap oleh primary fluid ke dalam area mixing chamber dan
mengakibatkan kecepatan aliran secondary fluid semakin meningkat. Kecepatan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
74
aliran secondary fluid meningkat akan mengakibatkan secondary mass flow rate
meningkat, sehingga nilai entrainment ratio semakin meningkat [Zhu dan Jiang,
2014]. NXP +5 mm mempunyai nilai entrainment ratio paling optimal di antara
NXP 0 mm dan NXP -5 mm. Sedangkan pada NXP 0 mm, back pressure terjadi
untuk semua secondary temperature dengan nilai entrainment ratio -0,3652, -
0,4049, -0,5307, dan -0,4430 pada secondary temperature 50 ˚C, 60 ˚C, 70 ˚C,
dan 80 ˚C. Back pressure yang terjadi diakibatkan oleh secondary fluid yang tidak
terhisap sempurna oleh primary fluid ke dalam area mixing chamber, dimana
tekanan primary fluid saat melewati primary nozzle lebih besar daripada
secondary fluid, sehingga mengakibatkan aliran primary fluid mengalir masuk ke
dalam saluran evaporator [Chunnanond dan Aphornratana, 2004].
4.2.2. Pengaruh Primary Nozzle Exit Position Terhadap Nilai Entrainment
Ratio Dengan Menggunakan Variasi Secondary Temperature Pada
Primary Pressure 2 bar
0 50 60 70 80
-0,6
-0,4
-0,2
0,0
0,2
0,4
En
tra
inm
ent
Ra
tio
Secondary Temperature (C)
NXP -5 mm
NXP 0 mm
NXP +5 mm
Gambar 4.6 Grafik pengaruh primary nozzle exit position terhadap nilai
entrainment ratio dengan menggunakan variasi secondary temperature pada
primary pressure 2 bar.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
75
Gambar 4.6 menunjukkan bahwa secondary temperature yang semakin
meningkat mengakibatkan nilai entrainment ratio semakin meningkat. Nilai
entrainment ratio meningkat diakibatkan oleh besarnya secondary mass flow rate,
dimana secondary mass flow rate yang semakin meningkat dipengaruhi oleh
banyaknya secondary fluid yang terhisap oleh primary fluid ke dalam area mixing
chamber. Banyaknya secondary fluid yang terhisap ke dalam area mixing
chamber dipengaruhi oleh perbedaan tekanan antara secondary fluid pada saluran
evaporator dengan tekanan primary fluid saat melewati primary nozzle, di mana
tekanan secondary fluid pada saluran evaporator lebih besar daripada tekanan
primary fluid saat melewati primary nozzle [Zhu dan Jiang, 2014]. NXP -5 mm
mempunyai nilai entrainment ratio paling optimal di antara NXP 0 mm dan NXP
+5 mm, walaupun nilai entrainment ratio sempat menurun dengan nilai 0,1271
pada primary pressure 2 bar. Sedangkan back pressure hanya terjadi satu kali
dengan nilai entrainment ratio -0,1618 pada primary pressure 4 bar untuk NXP
+5 mm. Back pressure terjadi diakibatkan oleh secondary fluid yang tidak terhisap
sempurna oleh primary fluid ke dalam area mixing chamber, dimana tekanan
primary fluid saat melewati primary nozzle lebih besar daripada secondary fluid.
Hal ini mengakibatkan aliran primary fluid akan mengalir masuk ke dalam saluran
evaporator [Chunnanond dan Aphornratana, 2004].
4.2.3. Pengaruh Primary Nozzle Exit Position Terhadap Nilai Entrainment
Ratio Dengan Menggunakan Variasi Secondary Temperature Pada
Primary Pressure 3 bar
Gambar 4.7 menunjukkan bahwa tidak terdapat nilai entrainment ratio
yang optimal untuk variasi secondary temperature pada primary pressure 3 bar,
dimana back pressure sering terjadi pada kondisi pengoperasian ini. Pada NXP 0
mm, back pressure terjadi pada secondary temperature 80 ˚C dengan nilai
entrainment ratio sebesar -0,2798. Pada NXP +5 mm, back pressure terjadi pada
secondary temperature 70 ˚C dan 80 ˚C dengan nilai entrainment ratio -0,1159
dan -0,1022. Sedangkan pada NXP -5 mm, back pressure terjadi pada semua
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
76
secondary temperature dengan nilai entrainment ratio -0,1072, -0,1071, -0,1217,
dan -0,1265 pada secondary temperature 50 ˚C, 60 ˚C, 70 ˚C, dan 80 ˚C.
0 50 60 70 80
-0,6
-0,4
-0,2
0,0
0,2
0,4
En
tra
inm
ent
Ra
tio
Secondary Temperature (C)
NXP -5 mm
NXP 0 mm
NXP +5 mm
Gambar 4.7 Grafik pengaruh primary nozzle exit position terhadap nilai
entrainment ratio dengan menggunakan variasi secondary temperature pada
primary pressure 3 bar.
Terjadinya back pressure diakibatkan oleh secondary fluid yang tidak
terhisap sempurna oleh primary fluid ke dalam area mixing chamber, dimana area
penghisapan (entrained duct) yang terbentuk di dalam area mixing chamber
menjadi sempit karena pengaruh meningkatnya primary pressure. Hal ini akan
mengakibatkan proses pencampuran antara primary fluid dan secondary fluid
tidak berlangsung dengan optimal [Sriveerakul et al., 2007]. Back pressure juga
dipengaruhi oleh tekanan primary fluid saat melewati primary nozzle lebih besar
daripada secondary fluid, sehingga mengakibatkan aliran primary fluid mengalir
masuk ke dalam saluran evaporator [Chunnanond dan Aphornratana, 2004].
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
77
4.2.4. Pengaruh Primary Nozzle Exit Position Terhadap Nilai Entrainment
Ratio Dengan Menggunakan Variasi Secondary Temperature Pada
Primary Pressure 4 bar
0 50 60 70 80
-0,6
-0,4
-0,2
0,0
0,2
0,4
En
tra
inm
ent
Ra
tio
Secondary Temperature (C)
NXP -5 mm
NXP 0 mm
NXP +5 mm
Gambar 4.8 Grafik pengaruh primary nozzle exit position terhadap nilai
entrainment ratio dengan menggunakan variasi secondary temperature pada
primary pressure 4 bar.
Gambar 4.8 menunjukkan bahwa tidak terdapat nilai optimal pada
entrainment ratio, dimana nilai entrainment ratio cenderung tidak stabil untuk
meningkatnya secondary temperature dan banyaknya back pressure yang terjadi.
Pada NXP 0 mm, back pressure terjadi pada secondary temperature 60 ˚C, 70 ˚C,
dan 80 ˚C dengan nilai entrainment ratio -0,1957, -0,2320, dan -0,2545. Pada
NXP +5 mm, back pressure juga terjadi pada secondary temperature 60 ˚C, 70
˚C, dan 80 ˚C dengan nilai entrainment ratio -0,0625, -0,0756, dan -0,0792.
Sedangkan pada NXP -5 mm, back pressure terjadi untuk semua secondary
temperature dengan nilai entrainment ratio -0,0800, -0,0904, -0,0800, dan -
0,0835 pada secondary temperature 50 ˚C, 60 ˚C, 70 ˚C, dan 80 ˚C. Back pressure
yang terjadi diakibatkan oleh secondary fluid yang tidak terhisap sempurna oleh
primary fluid ke dalam area mixing chamber, dimana area penghisapan (entrained
duct) yang terbentuk di dalam area mixing chamber menjadi sempit karena
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
78
pengaruh meningkatnya primary pressure. Hal ini akan mengakibatkan proses
pencampuran antara primary fluid dan secondary fluid tidak berlangsung dengan
optimal [Sriveerakul et al., 2007]. Selain itu, back pressure juga dipengaruhi oleh
tekanan primary fluid saat melewati primary nozzle lebih besar daripada
secondary fluid, sehingga mengakibatkan aliran primary fluid mengalir masuk ke
dalam saluran evaporator [Chunnanond dan Aphornratana, 2004].
4.3. Pengaruh Secondary Temperature Terhadap Nilai Expansion Ratio
Dengan Menggunakan Variasi Primary Pressure Pada NXP -5 mm,
NXP 0 mm, dan NXP +5 mm
1 2 3 4
6
12
18
24
30
Ex
pa
nsi
on
Ra
tio
Primary Pressure (bar)
Secondary Temperature 50 C
Secondary Temperature 60 C
Secondary Temperature 70 C
Secondary Temperature 80 C
Gambar 4.9 Grafik pengaruh secondary temperature terhadap nilai expansion
ratio dengan menggunakan variasi primary pressure pada NXP -5 mm, NXP 0
mm, dan NXP +5 mm.
Gambar 4.9 menunjukkan bahwa nilai expansion ratio semakin
meningkat seiring dengan meningkatnya primary pressure untuk semua primary
nozzle exit position (NXP). Expansion ratio merupakan perbandingan antara
tekanan pada fluida primer (primary pressure) dengan tekanan pada fluida
sekunder (secondary pressure) [Chandra dan Ahmed, 2014]. Oleh karena itu, nilai
expansion ratio mempunyai nilai yang tinggi pada saat nilai secondary
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
79
temperature paling rendah. Hal ini dapat dibuktikan melalui grafik pada Gambar
4.9, dimana nilai expansion ratio paling tinggi terletak pada secondary
temperature 50 ˚C dan terus meningkat seiring dengan meningkatnya primary
pressure dengan nilai expansion ratio sebesar 8,0972, 16,1943, 24,2915, dan
32,3887 pada primary pressure 1 bar, 2 bar, 3 bar, dan 4 bar. Sedangkan nilai
expansion ratio paling rendah akan dihasilkan pada saat nilai secondary
temperature paling tinggi, dimana pada secondary temperature 80 ˚C
menghasilkan nilai expansion ratio paling rendah dan terus meningkat seiring
dengan meningkatnya primary pressure dengan nilai expansion ratio sebesar
2,1101, 4,2203, 6,3304, dan 8,4406 pada primary pressure 1 bar, 2 bar, 3 bar, dan
4 bar.
4.4. Pengaruh Primary Pressure Terhadap Nilai Expansion Ratio Dengan
Menggunakan Variasi Secondary Temperature Pada NXP -5 mm,
NXP 0 mm, dan NXP +5 mm
Gambar 4.10 menunjukkan bahwa nilai expansion ratio semakin
menurun seiring dengan meningkatnya secondary temperature. Expansion ratio
dapat diartikan sebagai perbandingan antara primary pressure dengan secondary
pressure [Chandra dan Ahmed, 2014], dimana nilai expansion ratio meningkat
apabila primary pressure meningkat dan secondary temperature menurun,
sedangkan nilai expansion ratio menurun apabila primary pressure menurun dan
secondary temperature meningkat. Hal ini dapat dibuktikan melalui grafik pada
Gambar 4.10, dimana nilai expansion ratio paling tinggi dihasilkan saat primary
pressure 4 bar dan terus menurun seiring dengan meningkatnya secondary
temperature dengan nilai expansion ratio sebesar 32,3887, 20,5761, 12,8246, dan
8,4406 pada secondary temperature 50 ˚C, 60 ˚C, 70 ˚C, dan 80 ˚C. Sedangkan
nilai expansion ratio paling rendah dihasilkan saat primary pressure 1 bar, dimana
nilainya terus menurun seiring dengan meningkatnya secondary temperature
dengan nilai expansion ratio sebesar 8,0972, 5,1440, 3,2062, dan 2,1101 pada
secondary temperature 50 ˚C, 60 ˚C, 70 ˚C, dan 80 ˚C.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
80
0 50 60 70 80
6
12
18
24
30
Ex
pa
nsi
on
Ra
tio
Secondary Temperature (C)
Primary Pressure 1 bar
Primary Pressure 2 bar
Primary Pressure 3 bar
Primary Pressure 4 bar
Gambar 4.10 Grafik pengaruh primary pressure terhadap nilai expansion ratio
dengan menggunakan variasi secondary temperature pada NXP -5 mm, NXP 0
mm, dan NXP +5 mm.
4.5. Pengaruh Primary Nozzle Exit Position Terhadap Hubungan Antara
Nilai Expansion Ratio dan Nilai Entrainment Ratio Pada Setiap
Secondary Temperature
Expansion ratio merupakan perbandingan antara primary pressure
dengan secondary pressure, sedangkan entrainment ratio merupakan
perbandingan antara secondary mass flow rate dengan primary mass flow rate
[Chandra dan Ahmed, 2014]. Nilai entrainment ratio akan meningkat apabila
secondary mass flow rate meningkat, dimana meningkatnya secondary mass flow
rate diakibatkan oleh secondary temperature yang meningkat. Secondary
temperature yang terus meningkat akan mengakibatkan secondary pressure
meningkat, sehingga nilai expansion ratio semakin menurun. Oleh karena itu,
terjadi hubungan yang berbanding terbalik antara nilai expansion ratio dengan
nilai entrainment ratio.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
81
4.5.1. Pengaruh Primary Nozzle Exit Position Terhadap Hubungan Antara
Nilai Expansion Ratio dan Nilai Entrainment Ratio Pada Secondary
Temperature 50 ˚C
0 8 12 16 20 24 28 32
-0,6
-0,4
-0,2
0,0
0,2
0,4
En
tra
inm
ent
Ra
tio
Expansion Ratio
NXP -5 mm
NXP 0 mm
NXP +5 mm
Gambar 4.11 Grafik pengaruh primary nozzle exit position terhadap hubungan
antara nilai expansion ratio dan nilai entrainment ratio pada secondary
temperature 50 ˚C.
Gambar 4.11 menunjukkan bahwa semakin meningkatnya nilai
expansion ratio akan mengakibatkan nilai entrainment ratio menurun. Nilai
expansion ratio meningkat diakibatkan oleh semakin meningkatnya primary
pressure. Akan tetapi, dengan semakin meningkatnya primary pressure akan
mengakibatkan nilai entrainment ratio menurun, dimana primary pressure yang
semakin meningkat akan mengakibatkan kecepatan aliran primary fluid semakin
meningkat yang mengakibatkan primary mass flow rate meningkat [Ma et al.,
2010]. Tingginya nilai expansion ratio juga dapat mengakibatkan terjadinya back
pressure, dimana tekanan primary fluid yang melewati primary nozzle masih lebih
tinggi daripada tekanan secondary fluid, sehingga secondary fluid tidak dapat
terhisap ke dalam area mixing chamber karena area penghisapan (entrained duct)
yang terbentuk di dalam area mixing chamber semakin sempit, sehingga dapat
mengakibatkan primary fluid mengalir ke dalam saluran evaporator [Sriveerakul
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
82
et al., 2007]. NXP +5 mm mempunyai hubungan antara nilai expansion ratio dan
nilai entrainment ratio paling optimal di antara NXP 0 mm dan NXP -5 mm
dengan nilai entrainment ratio sebesar 0,2100, 0,1151, 0,0829, dan 0,0644 pada
nilai expansion ratio sebesar 8,0972, 16,1943, 24,2915, dan 32,3887.
4.5.2. Pengaruh Primary Nozzle Exit Position Terhadap Hubungan Antara
Nilai Expansion Ratio dan Nilai Entrainment Ratio Pada Secondary
Temperature 60 ˚C
0 4 8 12 16 20
-0,6
-0,4
-0,2
0,0
0,2
0,4
En
tra
inm
ent
Ra
tio
Expansion Ratio
NXP -5 mm
NXP 0 mm
NXP +5 mm
Gambar 4.12 Grafik pengaruh primary nozzle exit position terhadap hubungan
antara nilai expansion ratio dan nilai entrainment ratio pada secondary
temperature 60 ˚C.
Gambar 4.12 menunjukkan bahwa nilai entrainment ratio akan menurun
seiring dengan meningkatnya nilai expansion ratio. Menurunnya nilai entrainment
ratio diakibatkan oleh primary pressure yang terus meningkat sehingga
mengakibatkan kecepatan aliran primary fluid akan meningkat dan meningkatkan
primary mass flow rate [Ma et al., 2010]. Akan tetapi, hal inilah yang
mengakibatkan nilai expansion ratio meningkat, dimana primary pressure terus
meningkat melebihi secondary pressure yang dihasilkan oleh meningkatnya
secondary temperature. Dengan semakin meningkatnya nilai expansion ratio
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
83
dapat mengakibatkan terjadinya back pressure. Back pressure diakibatkan oleh
tekanan primary fluid yang melewati primary nozzle masih lebih tinggi daripada
tekanan secondary fluid, sehingga secondary fluid tidak dapat terhisap ke dalam
area mixing chamber karena area penghisapan (entrained duct) yang terbentuk di
dalam area mixing chamber semakin sempit, sehingga dapat mengakibatkan
primary fluid mengalir ke dalam saluran evaporator [Sriveerakul et al., 2007].
NXP +5 mm mempunyai hubungan antara nilai expansion ratio dan nilai
entrainment ratio paling optimal di antara NXP 0 mm dan NXP -5 mm, dimana
nilai entrainment ratio yang dihasilkan sebesar 0,2136, 0,1175, dan 0,0842 pada
nilai expansion ratio sebesar 5,1440, 10,2881, dan 15,4321, kemudian terjadi back
pressure dengan nilai entrainment ratio sebesar -0,0625 pada nilai expansion
ratio sebesar 20,5761.
4.5.3. Pengaruh Primary Nozzle Exit Position Terhadap Hubungan Antara
Nilai Expansion Ratio dan Nilai Entrainment Ratio Pada Secondary
Temperature 70 ˚C
0 2 4 6 8 10 12 14
-0,6
-0,4
-0,2
0,0
0,2
0,4
En
train
men
t R
ati
o
Expansion Ratio
NXP -5 mm
NXP 0 mm
NXP +5 mm
Gambar 4.13 Grafik pengaruh primary nozzle exit position terhadap hubungan
antara nilai expansion ratio dan nilai entrainment ratio pada secondary
temperature 70 ˚C.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
84
Gambar 4.13 menunjukkan bahwa terjadi banyak back pressure seiring
dengan meningkatnya nilai expansion ratio untuk semua primary nozzle exit
position (NXP). Back pressure ditandai dengan terus menurunnya nilai
entrainment ratio, sehingga entrainment ratio mempunyai nilai negatif. Back
pressure sering terjadi pada NXP -5 mm dengan nilai entrainment ratio sebesar -
0,1802, -0,1217, dan -0,0800 pada nilai expansion ratio 3,2062, 9,6185, dan
12,8246. Back pressure terjadi karena tekanan primary fluid yang melewati
primary nozzle masih lebih tinggi daripada tekanan secondary fluid, sehingga
secondary fluid tidak dapat terhisap ke dalam area mixing chamber karena area
penghisapan (entrained duct) yang terbentuk di dalam area mixing chamber
semakin sempit. Hal tersebut mengakibatkan fluida campuran antara primary fluid
dan secondary fluid tidak mengalir menuju area ejector throat, melainkan dapat
mengakibatkan primary fluid mengalir ke dalam saluran evaporator [Sriveerakul
et al., 2007].
4.5.4. Pengaruh Primary Nozzle Exit Position Terhadap Hubungan Antara
Nilai Expansion Ratio dan Nilai Entrainment Ratio Pada Secondary
Temperature 80 ˚C
Gambar 4.14 menunjukkan bahwa tidak terdapat nilai optimal pada
hubungan antara nilai expansion ratio dan nilai entrainment ratio pada secondary
temperature 80 ˚C untuk semua primary nozzle exit position (NXP). Back
pressure ditandai dengan terus menurunnya nilai entrainment ratio, sehingga
entrainment ratio mempunyai nilai negatif. Back pressure terjadi diakibatkan oleh
tekanan primary fluid yang melewati primary nozzle masih lebih tinggi daripada
tekanan secondary fluid, sehingga secondary fluid tidak dapat terhisap ke dalam
area mixing chamber karena area penghisapan (entrained duct) yang terbentuk di
dalam area mixing chamber semakin sempit. Hal tersebut mengakibatkan fluida
campuran antara primary fluid dan secondary fluid tidak mengalir menuju area
ejector throat, melainkan dapat mengakibatkan primary fluid mengalir ke dalam
saluran evaporator [Sriveerakul et al., 2007].
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
85
0 2 4 6 8
-0,6
-0,4
-0,2
0,0
0,2
0,4
En
train
men
t R
ati
o
Expansion Ratio
NXP -5 mm
NXP 0 mm
NXP +5 mm
Gambar 4.14 Grafik pengaruh primary nozzle exit position terhadap hubungan
antara nilai expansion ratio dan nilai entrainment ratio pada secondary
temperature 80 ˚C.
Back pressure sering terjadi pada NXP 0 mm dan NXP +5 mm. Pada
NXP 0 mm, back pressure terjadi pada nilai expansion ratio 2,1101, 6,3304, dan
8,4406 dengan nilai entrainment ratio sebesar -0,4430, -0,2798, dan -0,2545.
Sedangkan pada NXP +5 mm, back pressure terjadi pada nilai expansion ratio
4,2203, 6,3304, dan 8,4406 dengan nilai entrainment ratio sebesar -0,1618, -
0,1022, dan -0,0792.
4.6. Pengaruh Primary Nozzle Exit Position Terhadap Hubungan Antara
Nilai Expansion Ratio dan Nilai Entrainment Ratio Pada Setiap
Primary Pressure
Semakin meningkatnya primary pressure akan mengakibatkan nilai
expansion ratio semakin meningkat. Di sisi lain, dengan semakin meningkatnya
primary pressure akan mengakibatkan kecepatan aliran primary fluid semakin
meningkat dan akan meningkatkan primary mass flow rate, sehingga nilai
entrainment ratio akan menurun [Ma et al., 2010]. Nilai expansion ratio yang
terus meningkat dapat mengakibatkan terjadinya back pressure, dimana tekanan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
86
primary fluid yang melewati primary nozzle lebih tinggi daripada tekanan
secondary fluid, sehingga secondary fluid tidak dapat terhisap sempurna ke dalam
area mixing chamber, melainkan primary fluid dapat mengalir ke dalam saluran
evaporator [Sriveerakul et al., 2007].
4.6.1. Pengaruh Primary Nozzle Exit Position Terhadap Hubungan Antara
Nilai Expansion Ratio dan Nilai Entrainment Ratio Pada Primary
Pressure 1 bar
0,0 2 4 6 8
-0,6
-0,4
-0,2
0,0
0,2
0,4
En
tra
inm
ent
Ra
tio
Expansion Ratio
NXP -5 mm
NXP 0 mm
NXP +5 mm
Gambar 4.15 Grafik pengaruh primary nozzle exit position terhadap hubungan
antara nilai expansion ratio dan nilai entrainment ratio pada primary pressure 1
bar.
Gambar 4.15 menunjukkan bahwa nilai entrainment ratio semakin
menurun seiring dengan meningkatnya nilai expansion ratio. Menurunnya nilai
entrainment ratio diakibatkan karena primary pressure yang terus meningkat,
sehingga kecepatan aliran pada primary fluid semakin meningkat dan
mengakibatkan primary mass flow rate semakin meningkat [Ma et al., 2010].
Primary mass flow rate yang meningkat saat keluar dari primary nozzle
merupakan tanda bahwa tekanan pada primary fluid saat keluar dari primary
nozzle masih tinggi, dimana tekanan primary fluid saat keluar dari primary nozzle
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
87
lebih tinggi daripada tekanan pada secondary fluid. Hal inilah yang
mengakibatkan nilai entrainment ratio sangat rendah dan dapat terjadi back
pressure, dimana primary fluid yang mengalir masuk ke dalam area mixing
chamber melalui primary nozzle mempunyai tekanan yang tinggi dan secondary
fluid mempunyai tekanan dan kecepatan aliran yang rendah. Kecepatan aliran
yang rendah pada secondary fluid mengakibatkan secondary mass flow rate
sangat rendah, sehingga secondary fluid tidak dapat terhisap sempurna oleh
primary fluid ke dalam area mixing chamber, melainkan primary fluid dapat
mengalir ke dalam saluran evaporator karena tekanan pada primary fluid saat
melewati primary nozzle lebih besar daripada tekanan pada secondary fluid
[Sriveerakul et al., 2007]. Di sisi lain, primary pressure yang semakin meningkat
akan mengkibatkan nilai expansion ratio semakin meningkat, dimana
perbandingan antara primary pressure lebih besar daripada seondary pressure
[Chandra dan Ahmed, 2014]. Oleh karena itu, seiring dengan meningkatnya nilai
expansion ratio akan mengakibatkan nilai entrainment ratio semakin menurun.
NXP +5 mm mempunyai hubungan antara nilai expansion ratio dan nilai
entrainment ratio paling optimal di antara NXP 0 mm dan NXP -5 mm dengan
nilai entrainment ratio sebesar 0,2571, 0,2336, 0,2136, dan 0,2100 pada nilai
expansion ratio 2,1101, 3,2062, 5,1440, dan 8,9072. Sedangkan pada NXP 0 mm,
back pressure terjadi pada untuk semua hubungan yang terjadi antara nilai
expansion ratio dan nilai entrainment ratio dengan nilai entrainment ratio sebesar
-0,4430, -0,5307, -0,4049, dan -0,3652 pada nilai expansion ratio 2,1101, 3,2062,
5,1440, dan 8,0972.
4.6.2. Pengaruh Primary Nozzle Exit Position Terhadap Hubungan Antara
Nilai Expansion Ratio dan Nilai Entrainment Ratio Pada Primary
Pressure 2 bar
Gambar 4.16 menunjukkan bahwa semakin meningkat nilai expansion
ratio akan mengakibatkan nilai entrainment ratio semakin menurun. Hal ini
diakibatkan karena semakin meningkatnya primary pressure akan meningkatkan
nilai expansion ratio, dimana perbandingan antara primary pressure lebih besar
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
88
daripada secondary pressure yang dipengaruhi oleh secondary temperature
[Chandra dan Ahmed, 2014]. Akan tetapi, primary pressure yang terus meningkat
akan mengakibatkan nilai entrainment ratio menurun, dimana laju aliran pada
primary fluid saat melewati primary nozzle yang tinggi sehingga mengakibatkan
tingginya tekanan primary fluid pada ujung nozzle. Hal ini akan mengakibatkan
secondary fluid tidak dapat terhisap sempurna oleh primary fluid ke dalam area
mixing chamber, dimana area penghisapan (entrained duct) yang terbentuk di
dalam area mixing chamber semakin sempit. Akibat adanya perbedaan tekanan
primary fluid pada ujung nozzle dan secondary fluid pada saluran evaporator,
dimana tekanan primary fluid lebih tinggi daripada secondary fluid, maka primary
fluid tidak akan mengalir menuju bagian ejector throat dan menghisap secondary
fluid, melainkan primary fluid akan mengalir masuk ke dalam saluran evaporator.
Di sinilah terjadinya back pressure [Ma et al., 2010] [Sriveerakul et al., 2007].
0 4 6 8 10 12 14 16
-0,6
-0,4
-0,2
0,0
0,2
0,4
En
tra
inm
ent
Ra
tio
Expansion Ratio
NXP -5 mm
NXP 0 mm
NXP +5 mm
Gambar 4.16 Grafik pengaruh primary nozzle exit position terhadap hubungan
antara nilai expansion ratio dan nilai entrainment ratio pada primary pressure 2
bar.
Nilai optimal pada hubungan antara nilai expansion ratio dan nilai
entrainment ratio terletak pada NXP -5 mm dengan nilai entrainment ratio
sebesar 0,1390, 0,1324, 0,1271, dan 0,1293 pada nilai expansion ratio sebesar
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
89
4,2203, 6,4123, 10,2881, dan 16,1943. Sedangkan back pressure terjadi pada
NXP +5 mm dengan nilai entrainment ratio sebesar -0,1618 pada nilai expansion
ratio sebesar 4,2203.
4.6.3. Pengaruh Primary Nozzle Exit Position Terhadap Hubungan Antara
Nilai Expansion Ratio dan Nilai Entrainment Ratio Pada Primary
Pressure 3 bar
0 5 10 15 20 25
-0,6
-0,4
-0,2
0,0
0,2
0,4
En
tra
inm
ent
Ra
tio
Expansion Ratio
NXP -5 mm
NXP 0 mm
NXP +5 mm
Gambar 4.17 Grafik pengaruh primary nozzle exit position terhadap hubungan
antara nilai expansion ratio dan nilai entrainment ratio pada primary pressure 3
bar.
Gambar 4.17 menunjukkan bahwa tidak ada nilai optimal pada hubungan
antara nilai expansion ratio dan nilai entrainment ratio pada primary pressure 3
bar, dimana terjadi banyak back pressure. Pada NXP -5 mm, back pressure terjadi
pada semua nilai pada hubungan antara nilai expansion ratio dengan nilai
entrainment ratio dengan nilai entrainment ratio sebesar -0,1265, -0,1217, -
0,1071, dan -0,1072 pada nilai expansion ratio sebesar 6,3304, 9,6185, 15,4321,
dan 24,2915. Pada NXP 0 mm, back pressure terjadi saat nilai expansion ratio
sebesar 6,3304 dengan nilai entrainment ratio sebesar -0,2798. Sedangkan pada
NXP +5 mm, back pressure terjadi saat nilai expansion ratio sebesar 6,3304 dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
90
9,6185 dengan nilai entrainment ratio sebesar -0,1022 dan -0,1159. Back pressure
terjadi diakibatkan oleh primary fluid yang mengalir masuk ke dalam area mixing
chamber melalui primary nozzle mempunyai tekanan yang tinggi, sedangkan
secondary fluid mempunyai tekanan dan kecepatan aliran yang rendah. Kecepatan
aliran yang rendah pada secondary fluid mengakibatkan secondary mass flow rate
sangat rendah, sehingga secondary fluid tidak dapat terhisap sempurna oleh
primary fluid ke dalam area mixing chamber, dimana area penghisapan (entrained
duct) yang terbentuk di dalam area mixing chamber semakin sempit. Perbedaan
tekanan primary fluid pada ujung nozzle dengan tekanan secondary fluid pada
saluran evaporator, dimana tekanan primary fluid lebih tinggi daripada tekanan
secondary fluid, dapat mengakibatkan aliran primary fluid mengalir menuju
saluran evaporator dan menyebabkan terjadinya back pressure [Sriveerakul et al.,
2007].
4.6.4. Pengaruh Primary Nozzle Exit Position Terhadap Hubungan Antara
Nilai Expansion Ratio dan Nilai Entrainment Ratio Pada Primary
Pressure 4 bar
Gambar 4.18 menunjukkan bahwa hubungan antara nilai expansion ratio
dan nilai entrainment ratio pada primary pressure 4 bar tidak mempunyai nilai
optimal yang diakibatkan karena back pressure yang sering terjadi. Back pressure
terjadi diakibatkan oleh primary fluid yang mengalir masuk ke dalam area mixing
chamber melalui primary nozzle mempunyai kecepaan aliran dan tekanan yang
tinggi, sedangkan secondary fluid yang mengalir melalui saluran evaporator
mempunyai kecepatan aliran dan tekanan yang rendah. Kecepatan aliran yang
rendah pada secondary fluid mengakibatkan secondary mass flow rate sangat
rendah, sehingga secondary fluid tidak dapat terhisap sempurna oleh primary fluid
ke dalam area mixing chamber, karena area penghisapan (entrained duct) yang
terbentuk di dalam area mixing chamber semakin sempit. Sedangkan perbedaan
tekanan antara primary fluid dan secondary fluid yang terjadi pada ujung nozzle
dan saluran evaporator dapat mengakibatkan primary fluid mengalir ke dalam
saluran evaporator yang diakibatkan oleh tekanan primary fluid pada ujung nozzle
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
91
lebih tinggi daripada tekanan secondary fluid pada saluran evaporator
[Sriveerakul et al., 2007].
0 8 12 16 20 24 28 32
-0,6
-0,4
-0,2
0,0
0,2
0,4
En
train
men
t R
ati
o
Expansion Ratio
NXP -5 mm
NXP 0 mm
NXP +5 mm
Gambar 4.18 Grafik pengaruh primary nozzle exit position terhadap hubungan
antara nilai expansion ratio dan nilai entrainment ratio pada primary pressure 4
bar.
Pada NXP -5 mm, back pressure terjadi untuk semua hubungan yang
terjadi antara nilai expansion ratio dan nilai entrainment ratio, dengan nilai
entrainment ratio sebesar -0,0835, -0,0800, -0,0904, dan -0,0800 pada nilai
expansion ratio sebesar 8,4406, 12,8246, 20,5761, dan 32,3887. Pada NXP 0 mm,
back pressure terjadi pada nilai expansion ratio sebesar 8,4406, 12,8246, dan
20,5761 dengan nilai entrainment ratio sebesar -0,2545, -0,2320, dan -0,1957.
Sedangkan pada NXP +5 mm, back pressure terjadi saat nilai expansion ratio
sebesar 8,4406, 12,8246, dan 20,5761 dengan nilai entrainment ratio sebesar -
0,0792, -0,0756, dan -0,0625.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
92
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Dari hasil penelitian dan analisis tentang performa steam ejector
berdasarkan nilai entrainment ratio dan expansion ratio untuk variasi primary
pressure dan secondary temperature terhadap pengaruh primary nozzle exit
position (NXP), maka dapat diambil beberapa kesimpulan sesuai dengan tujuan
penelitian yang ingin dicapai sebagai berikut:
1. Primary nozzle exit position (NXP) mempunyai pengaruh pada nilai
entrainment ratio untuk setiap secondary temperature dengan
menggunakan variasi pada primary pressure. Nilai entrainment ratio
semakin menurun seiring dengan meningkatnya primary pressure. Dari
variasi NXP yang dilakukan, yaitu NXP -5 mm, NXP 0 mm, dan NXP +5
mm, nilai entrainment ratio yang optimal dihasilkan NXP +5 mm pada
secondary temperature 50 ˚C, 60 ˚C, dan 70 ˚C dengan nilai entrainment
ratio sebesar 0,2100, 0,1151, 0,0829, dan 0,0644 untuk secondary
temperature 50 ˚C; 0,2136, 0,1175, 0,0842, dan -0,0625 untuk secondary
temperature 60 ˚C; 0,2336, 0,1099, -0,1159, dan -0,0756 untuk
secondary temperature 70 ˚C.
2. Primary nozzle exit position (NXP) mempunyai pengaruh pada nilai
entrainment ratio untuk setiap primary pressure dengan menggunakan
variasi pada secondary temperature. Nilai entrainment ratio semakin
meningkat seiring dengan meningkatnya secondary temperature. Dari
variasi NXP yang dilakukan, yaitu NXP -5 mm, NXP 0 mm, dan NXP +5
mm, nilai entrainment ratio yang optimal dihasilkan NXP +5 mm pada
primary pressure 1 bar dengan nilai entrainment ratio sebesar 0,2100,
0,2136, 0,2336, dan 0,2571, serta NXP -5 mm pada primary pressure 2
bar dengan nilai entrainment ratio sebesar 0,1293, 0,1271, 0,1324, dan
0,1390.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
93
3. Secondary temperature mempunyai pengaruh pada nilai expansion ratio
dengan menggunakan variasi primary pressure pada semua primary
nozzle exit position (NXP), yaitu NXP -5 mm, NXP 0 mm, dan NXP +5
mm. Semakin rendah secondary temperature menghasilkan nilai
expansion ratio yang tinggi dan semakin meningkat seiring dengan
meningkatnya primary pressure. Nilai expansion ratio paling tinggi
dihasilkan pada secondary temperature 50 ˚C dengan nilai expansion
ratio sebesar 8,0972, 16,1943, 24,2915, dan 32,3887, sedangkan nilai
expansion ratio paling rendah dihasilkan pada secondary temperature 80
˚C dengan nilai expansion ratio sebesar 2,1101, 4,2203, 6,3304, dan
8,4406.
4. Primary pressure mempunyai pengaruh pada nilai expansion ratio
dengan menggunakan variasi secondary temperature pada semua
primary nozzle exit position (NXP), yaitu NXP -5 mm, NXP 0 mm, dan
NXP +5 mm. Semakin tinggi primary pressure akan menghasilkan nilai
expansion ratio yang tinggi dan akan menurun seiring dengan
meningkatnya secondary temperature. Nilai expansion ratio paling tinggi
dihasilkan pada primary pressure 4 bar dengan nilai expansion ratio
sebesar 32,3887, 20,5761, 12,8246, dan 8,4406, sedangkan nilai
expansion ratio paling rendah dihasilkan pada primary pressure 1 bar
dengan nilai expansion ratio sebesar 8,0972, 5,1440, 3,2062, dan 2,1101.
5. Primary nozzle exit position (NXP) mempunyai pengaruh pada hubungan
antara nilai expansion ratio dan nilai entrainment ratio untuk setiap
secondary temperature. Nilai entrainment ratio semakin menurun seiring
dengan meningkatnya nilai expansion ratio, dimana hubungan antara
nilai expansion ratio dan nilai entrainment ratio yang optimal terletak
pada NXP +5 mm pada secondary temperature 50 ˚C dan 60 ˚C. Untuk
secondary temperature 50 ˚C, nilai entrainment ratio yang dihasilkan
sebesar 0,2100, 0,1151, 0,0829, dan 0,0644 pada nilai expansion ratio
sebesar 8,0972, 16,1943, 24,2915, dan 32,3887. Sedangkan untuk
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
94
secondary temperature 60 ˚C, nilai entrainment ratio yang dihasilkan
sebesar 0,2136, 0,1175, 0,0842, dan -0,0625 pada nilai expansion ratio
sebesar 5,1440, 10,2881, 15,4321, dan 20,5761.
6. Primary nozzle exit position (NXP) mempunyai pengaruh pada hubungan
antara nilai expansion ratio dan nilai entrainment ratio untuk setiap
primary pressure. Nilai entrainment ratio semakin menurun seiring
dengan meningkatnya expansion ratio. Hubungan antara nilai expansion
ratio dan nilai entrainment ratio yang optimal terletak pada NXP +5 mm
pada primary pressure 1 bar dan NXP -5 mm pada primary pressure 2
bar. Untuk NXP +5 mm pada primary pressure 1 bar, nilai entrainment
ratio yang dihasilkan sebesar 0,2571, 0,2336, 0,2136, dan 0,2100 pada
nilai expansion ratio sebesar 2,1101, 3,2062, 5,1440, dan 8,9072.
Sedangkan untuk NXP -5 mm pada primary pressure 2 bar, nilai
entrainment ratio yang dihasilkan sebesar 0,1310, 0,1324, 0,1271, dan
0,1293 pada nilai expansion ratio sebesar 4,2203, 6,4123, 10,2881, dan
16,1943.
5.2. Saran
Setelah melakukan penelitian dan analisis tentang performa steam
ejector, terdapat beberapa macam hal yang perlu diperhatikan dan dilakukan
perbaikan, antara lain:
1. Pipa saluran pada evaporator dipasang hingga dasar tabung evaporator,
sehingga fenomena pada steam ejector terlihat lebih jelas dan dapat
menghasilkan grafik analisis penelitian yang lebih baik.
2. Pada bagian ejector dan ejector throat dipasang pressure manifold untuk
jarak tertentu. Hal ini dilakukan agar dapat mengetahui pressure drop
dan fenomena aliran fluida yang melewati seluruh bagian steam ejector.
3. Mengoptimalkan kinerja pada bagian kondensor.
4. Sistem grounding pada kelistrikan steam ejector perlu diperhatikan
dengan lebih cermat. Hal ini perlu dilakukan mengingat besarnya daya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
95
listrik yang dibutuhkan sebagai sumber tenaga pada water heater element
pada bagian boiler maupun evaporator.
5. Diperlukan penelitian lebih lanjut tentang steam ejector, sehingga dapat
digunakan untuk mengetahui dan menentukan performa pada steam
ejector yang paling baik.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
96
DAFTAR PUSTAKA
Akterian, S. (2011) : Improving the Energy Efficiency of Traditional Multi Stage
Steam Jet Ejector Vacuum Systems for Deodorizing Edible Oils, 11th
International Congress on Engineering and Food (ICEF11), 1, 1785-
1791.
Aphornratana, S., Eames, I. W. (1997) : A Small Capacity Steam Ejector
Refrigerator: Experimental Investigation of a System Using Ejector With
Moveable Primary Nozzle, International Journal of Refrigeration, 20,
352-358.
Besagni, G., Mereu, R., Inzoli, F. (2016) : Ejector Refrigeration: A
Comprehensive Review, Journal of Renewable and Sustainable Energy
Review, 53, 373-407.
Cardemil, J. M., Colle, S. (2012) : A General Model for Evaluation of Vapor
Ejectors Performance for Application in Refrigeration, Journal of Energy
Conversion and Management, 64, 79-86.
Chandra, V. V., Ahmed, M. R. (2014) : Experimental and Computational Studies
on a Steam Jet Refrigeration System With Constant Area and Variable
Area Ejectors, Journal of Energy Conversion and Management, 79, 377-
386.
Chen, J., Jarall, S., Havtun, H., Palm, B. (2015) : A Review on Versatile Ejector
Applications in Refrigeration System, Journal of Renewable and
Sustainable Energy Review, 49, 67-90.
Chunnanond, K., Aphornratana, S. (2004) : An Experimental Investigation of a
Steam Ejector Refrigerator: The Analysis of the Pressure Profile Along
the Ejector, Journal of Applied Thermal Engineering, 24, 311-322.
Fiyanto, A., Mulaika, H., Hidayati, N., Shahab, N., Guerrero, L. (2010).
“Batubara Mematikan - Bagaimana Rakyat Indonesia Membayar Mahal
Untuk Bahan Bakar Terkotor di Dunia”. Walhi: Greenpeace Asia
Tenggara.
Ismantoro, A. P. (2016). “Analisis Laju Kerusakan Exergy dan Efisiensi Exergy
Mesin PLTGU PT. Indonesia Power Unit Pembangkitan Semarang”,
Tugas Akhir, Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Sanata Dharma,
Yogyakarta.
Ma, X., Zhang, W., Omer, S. A., Riffat, S. B. (2010) : Experimental Investigation
of a novel Steam Ejector Refrigerator Suitable for Solar Energy
Applications, Journal of Applied Thermal Engineering, 30, 1320-1325.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
97
Meyer, A. J., Harms, T. M., Dobson, R. T. (2009) : Steam Jet Ejector Cooling
Powered by Waste or Solar Heat, Journal of Renewable Energy, 34, 297-
306.
Moran, M. J., Shapiro, H. N. (2004). “Termodinamika Teknik Jilid 1”. Edisi ke-4.
(Terjemahan: Ir. Yulianto Sulistyo Nugroho, M.Sc., Ph.D.; Editor:
Wayan Santika, S.T., M.M., Wibi Hardani, S.T., M.M.). Jakarta: Penerbit
Erlangga.
Moran, M. J., Shapiro, H. N. (2006). “Fundamentals of Engineering
Thermodynamics: SI Version”. 5th Edition. Chichester, England: John
Wiley & Sons, Ltd.
Munson, B. R., Young, D. F., Okiishi, T. H., Huebsch, W. W. (2009).
“Fundamentals of Fluid Mechanics”. 6th Edition. United States of
America: John Willey & Sons, Inc.
Petrenko, V. O. (2014). “Ejector Refrigeration Technologies Center”. Ukraina:
Odessa National Academy of Food Technologies (ONAFT).
Ruangtrakoon, N., Thongtip, T., Aphornratana, S., Sriveerakul, T. (2013) : CFD
Simulation on the Effect of Primary Nozzle Geometries for a Steam
Ejector in Refrigeration Cycle, International Journal of Thermal
Sciences, 63, 133-145.
Ruangtrakoon, N., Aphornratana, S. (2014) : Development and Performance of
Steam Ejector Refrigeration System Operated in Real Application in
Thailand, International Journal of Refrigeration, 48, 142-152.
Sriveerakul, T., Aphornratana, S., Chunnanond, K. (2007) : Performance
Prediction of Steam Ejector Using Computational Fluid Dynamics: Part
1. Validation of the CFD Results, International Journal of Thermal
Sciences, 46, 812-822.
Tashtoush, B., Alshare, A., Al-Rifai, S. (2015) : Performance Study of Ejector
Cooling Cycle at Critical Mode Under Superheated Primary Flow,
Journal of Energy Conversion and Management, 94, 300-310.
Triatmodjo, B. (2014). “Hidraulika 1”. Cetakan ke-14. Yogyakarta: Beta Offset.
Triatmodjo, B. (2013). “Hidraulika 2”. Cetakan ke-9. Yogyakarta: Beta Offset.
White, F. M. (2011). “Fluid Mechanics”. 7th Edition. New York: McGraw-Hill
Companies, Inc.
Yu, J., Chen, H., Ren, Y., Li, Y. (2006) : A New Ejector Refrigeration System
with an Additional Jet Pump, Journal of Applied Thermal Engineering,
26, 312-319.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
98
Zed, F., Suharyani, Y. D., Rasyid, A., Hayati, D., Rosdiana, D., Mohi, E.,
Santhani, F., Pambudi, S. H., Malik, C., Santosa, J., Nurohim, A. (2014).
“Outlook Energi Indonesia 2014”. Jakarta: Biro Fasilitasi Kebijakan
Energi dan Persidangan - Direktorat Jenderal Dewan Energi Nasional.
Zhu, Y., Jiang, P. (2014) : Experimental and Numerical Investigation of the Effect
of Shock Wave Characteristics on the Ejector Performance, International
Journal of Refrigeration, 40, 31-42.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
99
LAMPIRAN
Lampiran A: Sistem Steam Ejector
Lampiran A.1. Gambar Keseluruhan Sistem Steam Ejector
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
100
Lampiran A.2. Gambar Penampang Aliran Pada Steam Ejector
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
101
Lampiran B: Gambar Teknik Komponen Utama Steam Ejector
Lampiran B.1. Gambar Teknik Primary Nozzle
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
102
Lampiran B.2. Gambar Teknik Suction Chamber
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
103
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
104
Lampiran B.3. Gambar Teknik Mixing Chamber
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
105
Lampiran B.4. Gambar Teknik Ejector Throat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
106
Lampiran B.5. Gambar Teknik Subsonic Diffuser
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
107
Lampiran C: Data Pengamatan
Lampiran C.1. Data Pengamatan Untuk NXP -5 mm
No
Boiler (Primary Fluid) Evaporator (Secondary Fluid) Outlet Ejector
Pp Tp Δh Ts 1 Ts 2 Δh To Δh
(bar) (˚C) (mm Hg) (˚C) (˚C) (mm Coolant) (˚C) (mm Coolant)
1
1
110,3 60 50 49,6 2 95,3 30
2 109,6 40 60 59,6 1 96,9 40
3 109,8 70 70 69,8 -1 96,4 8
4 110,0 52 80 79,5 1 97,6 10
5
2
123,1 150 50 49,6 9 92,9 22
6 122,6 140 60 58,9 4 95,7 10
7 123,0 142 70 69,7 3 97,7 4
8 123,4 130 80 79,6 2 97,3 34
9
3
131,1 214 50 49,5 -16 91,5 6
10 130,5 200 60 58,7 -8 86,3 -6
11 131,0 202 70 68,9 -10 93,6 6
12 130,6 206 80 78,1 -8 88,5 8
13
4
140,1 340 50 49,5 -16 89,5 -20
14 139,6 348 60 59,7 -20 93,5 -16
15 139,5 358 70 69,6 -6 90,3 -12
16 140,4 336 80 79,6 -4 87,4 -10
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
108
Lampiran C.2. Data Pengamatan Untuk NXP 0 mm
No
Boiler (Primary Fluid) Evaporator (Secondary Fluid) Outlet Ejector
Pp Tp Δh Ts 1 Ts 2 Δh To Δh
(bar) (˚C) (mm Hg) (˚C) (˚C) (mm Coolant) (˚C) (mm Coolant)
1
1
113,2 50 50 49,5 -2 97,1 1
2 111,5 60 60 59,6 -3 96,5 -2
3 112,6 30 70 69,4 -4 96,4 -3
4 110,1 40 80 79,8 -1 96,9 -4
5
2
123,0 120 50 49,8 2 96,8 -2
6 122,0 140 60 59,6 1 94,7 -4
7 118,3 110 70 69,9 1,5 95,1 -6
8 120,5 130 80 79,8 0,5 93,4 -8
9
3
129,5 200 50 49,6 4 90,3 10
10 130,1 230 60 59,9 6 90,9 4
11 130,8 206 70 69,8 2 94,3 -10
12 130,4 200 80 79,5 -4 91,9 -6
13
4
140,6 354 50 49,2 5 90,2 -10
14 141,6 350 60 59,6 -6 95,5 -6
15 140,8 310 70 69,3 -8 96,3 2
16 139,2 340 80 79,9 -10 91,6 -5
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
109
Lampiran C.3. Data Pengamatan Untuk NXP +5 mm
No
Boiler (Primary Fluid) Evaporator (Secondary Fluid) Outlet Ejector
Pp Tp Δh Ts 1 Ts 2 Δh To Δh
(bar) (˚C) (mm Hg) (˚C) (˚C) (mm Coolant) (˚C) (mm Coolant)
1
1
109,8 48 50 49,8 4 96,1 6
2 109,6 52 60 59,9 3 94,7 20
3 110,0 60 70 69,6 4 95,6 15
4 109,7 40 80 79,9 2 97,4 6
5
2
123,0 146 50 49,7 4 92,3 30
6 122,7 130 60 59,5 2 93,9 24
7 122,5 150 70 69,6 1 96,1 18
8 122,3 140 80 79,6 -6 96,7 4
9
3
130,9 210 50 49,6 3 92,4 -6
10 131,0 214 60 59,5 2 92,2 -4
11 130,5 220 70 69,9 -9 87,6 -5
12 130,8 200 80 79,6 -2 94,3 -10
13
4
139,9 336 50 49,5 4 85,7 12
14 140,1 346 60 59,7 -2 85,8 14
15 139,7 350 70 69,6 -4 89,8 14
16 140,0 340 80 79,4 -3 86,6 26
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
110
Lampiran D: Data Hasil Analisis
Lampiran D.1. Data Hasil Analisis Untuk NXP -5 mm
Pp Tp Δh Ts 1 Ts 2 Δh To Δh
(bar) (˚C) (mm Hg) (˚C) (˚C) (mm Coolant ) (˚C) (mm Coolant )
1 110,3 60 50 49,6 2 95,3 30 0,1768 0,0269 8,0972
2 109,6 40 60 59,6 1 96,9 40 0,1964 0,0228 5,1440
3 109,8 70 70 69,8 -1 96,4 8 -0,1802 0,0028 3,2062
4 110,0 52 80 79,5 1 97,6 10 0,2136 0,0023 2,1101
5 123,1 150 50 49,6 9 92,9 22 0,1293 0,0197 16,1943
6 122,6 140 60 58,9 4 95,7 10 0,1271 0,0057 10,2881
7 123,0 142 70 69,7 3 97,7 4 0,1324 0,0014 6,4123
8 123,4 130 80 79,6 2 97,3 34 0,1390 0,0080 4,2203
9 131,1 214 50 49,5 -16 91,5 6 -0,1072 0,0054 24,2915
10 130,5 200 60 58,7 -8 86,3 -6 -0,1071 -0,0034 15,4321
11 131,0 202 70 68,9 -10 93,6 6 -0,1217 0,0021 9,6185
12 130,6 206 80 78,1 -8 88,5 8 -0,1265 0,0019 6,3304
13 140,1 340 50 49,5 -16 89,5 -20 -0,0800 -0,0179 32,3887
14 139,6 348 60 59,7 -20 93,5 -16 -0,0904 -0,0091 20,5761
15 139,5 358 70 69,6 -6 90,3 -12 -0,0800 -0,0043 12,8246
16 140,4 336 80 79,6 -4 87,4 -10 -0,0835 -0,0023 8,4406
No Pressure Lift Ratio Expansion Ratio
Evaporator (Secondary Fluid ) Outlet EjectorBoiler (Primary Fluid )
4
3
2
1
Entrainment Ratio
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
111
Lampiran D.2. Data Hasil Analisis Untuk NXP 0 mm
Pp Tp Δh Ts 1 Ts 2 Δh To Δh
(bar) (˚C) (mm Hg) (˚C) (˚C) (mm Coolant ) (˚C) (mm Coolant )
1 113,2 50 50 49,5 -2 97,1 1 -0,3652 0,0009 8,0972
2 111,5 60 60 59,6 -3 96,5 -2 -0,4049 -0,0011 5,1440
3 112,6 30 70 69,4 -4 96,4 -3 -0,5307 -0,0011 3,2062
4 110,1 40 80 79,8 -1 96,9 -4 -0,4430 -0,0009 2,1101
5 123,0 120 50 49,8 2 96,8 -2 0,2529 -0,0018 16,1943
6 122,0 140 60 59,6 1 94,7 -4 0,2392 -0,0023 10,2881
7 118,3 110 70 69,9 1,5 95,1 -6 0,2937 -0,0021 6,4123
8 120,5 130 80 79,8 0,5 93,4 -8 0,2596 -0,0019 4,2203
9 129,5 200 50 49,6 4 90,3 10 0,2181 0,0090 24,2915
10 130,1 230 60 59,9 6 90,9 4 0,2422 0,0023 15,4321
11 130,8 206 70 69,8 2 94,3 -10 0,2312 -0,0036 9,6185
12 130,4 200 80 79,5 -4 91,9 -6 -0,2798 -0,0014 6,3304
13 140,6 354 50 49,2 5 90,2 -10 0,1744 -0,0090 32,3887
14 141,6 350 60 59,6 -6 95,5 -6 -0,1957 -0,0034 20,5761
15 140,8 310 70 69,3 -8 96,3 2 -0,2320 0,0007 12,8246
16 139,2 340 80 79,9 -10 91,6 -5 -0,2545 -0,0012 8,4406
No
Boiler (Primary Fluid ) Evaporator (Secondary Fluid ) Outlet Ejector
1
3
4
Entrainment Ratio Pressure Lift Ratio Expansion Ratio
2
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
112
Lampiran D.3. Data Hasil Analisis Untuk NXP +5 mm
Pp Tp Δh Ts 1 Ts 2 Δh To Δh
(bar) (˚C) (mm Hg) (˚C) (˚C) (mm Coolant ) (˚C) (mm Coolant )
1 109,8 48 50 49,8 4 96,1 6 0,2100 0,0054 8,0972
2 109,6 52 60 59,9 3 94,7 20 0,2136 0,0114 5,1440
3 110,0 60 70 69,6 4 95,6 15 0,2336 0,0053 3,2062
4 109,7 40 80 79,9 2 97,4 6 0,2571 0,0014 2,1101
5 123,0 146 50 49,7 4 92,3 30 0,1151 0,0269 16,1943
6 122,7 130 60 59,5 2 93,9 24 0,1175 0,0137 10,2881
7 122,5 150 70 69,6 1 96,1 18 0,1099 0,0064 6,4123
8 122,3 140 80 79,6 -6 96,7 4 -0,1618 0,0009 4,2203
9 130,9 210 50 49,6 3 92,4 -6 0,0829 -0,0054 24,2915
10 131,0 214 60 59,5 2 92,2 -4 0,0842 -0,0023 15,4321
11 130,5 220 70 69,9 -9 87,6 -5 -0,1159 -0,0018 9,6185
12 130,8 200 80 79,6 -2 94,3 -10 -0,1022 -0,0023 6,3304
13 139,9 336 50 49,5 4 85,7 12 0,0644 0,0108 32,3887
14 140,1 346 60 59,7 -2 85,8 14 -0,0625 0,0080 20,5761
15 139,7 350 70 69,6 -4 89,8 14 -0,0756 0,0050 12,8246
16 140,0 340 80 79,4 -3 86,6 26 -0,0792 0,0061 8,4406
No
Boiler (Primary Fluid ) Evaporator (Secondary Fluid ) Outlet Ejector
Entrainment Ratio Expansion Ratio
1
2
3
4
Pressure Lift Ratio
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
top related