indonesia bukan negeri kafir

Post on 14-Nov-2015

13 Views

Category:

Documents

2 Downloads

Preview:

Click to see full reader

DESCRIPTION

Penulis ingin mengawali tulisan ini dengan menegaskan bahwa sejak jaman sahabat, sistem politik dan sistem pemerintahan umat Islam terbuka terhadap sistem yang lahir di luar Islam namun sejalan dengan ruh Islam dan maslahat umat. Fakta mengatakan bahwa tak jarang dinasti Islam zaman klasik, seperti Usmaniyah, Abbasiyah, Umayyah, bahkan zaman sahabat radliyallahu anhum, mengadopsi sistem non-Islam.

TRANSCRIPT

  • Indonesia Bukan Negeri KafirOleh Robith QosidiBelakangan ini muncul beberapa kelompok yang menganggap bahwa sistem pemerintahanIndonesia adalah sistem kafir, sehingga sistem pemerintahan Indonesia perlu diganti dengansistem yang menurut mereka- Islami. Penulis tidak sepakat dengan anggapan ini. Dalam tulisanini penulis ingin mengajak untuk berdialog dengan pikiran jernih, tidak emosional, logis, danmengedepankan maslahat. Lalu kita mengkaji, benarkah sistem pemerintahan umat Islam darisejak jaman sahabat radliyallahu anhum tidak mau menerima sistem luar? Lalu sebenarnyabagaimana pandangan Islam terhadap sistem politik dan sistem pemerintahan? Sertapertanyaan terakhir, pantaskah Indonesia disebut sebagai dar al-kufr (negeri kafir)?Penulis ingin mengawali tulisan ini dengan menegaskan bahwa sejak jaman sahabat, sistempolitik dan sistem pemerintahan umat Islam terbuka terhadap sistem yang lahir di luar Islamnamun sejalan dengan ruh Islam dan maslahat umat. Fakta mengatakan bahwa tak jarangdinasti Islam zaman klasik, seperti Usmaniyah, Abbasiyah, Umayyah, bahkan zamansahabat radliyallahu anhum, mengadopsi sistem non-Islam.Seperti Sayyidina Umar radliyallahu anhu mengadopsi sistem diwan (administrasi negara untukmengatur kebijakan ekonomi makro dan administrasi militer), dll) dari kerajaan Syam (IbnKhaldun:2004:304), beliau juga berijtihad untuk mengadopsi perangkat hukum seperti penjara,dinasti Umayyah mengadopsi perangkat pemerintahan seperti protokoler (hijabah) darikerajaan Syam (Ibn Khaldun:2004:356), Abbasiyah megadopsi sistem wizarah (kementerian) alaPersia. Ibn Khillikan mengatakan dalam kitab Wafyat al-A'yan bahwa orang paling pertamamenyandang gelar wazir dengan wewenang tertentu adalah Abu Salamah dalam dinastiAbbasiyah. Sebelumnya, gelar wazir dengan wewenang tertentu tidak pernah ada, baik di masaUmayyah dan masa lainnya. (Ibn Khillikan:1971:Vol I:229)Data di atas membuktikan bahwa dari dahulu pemerintahan yang dijalankan umat Islam selaluterbuka dengan sistem yang lahir di luar Islam. Bahkan ciri-ciri pemerintahan Islam itu justruterbuka dengan sistem luar serta berkembang sesuai dengan kebutuhan zaman dan maslahatumat. Tapi ini tidak serta merta menunjukkan tidak ada inovasi sama sekali dalam konsep-konsep politik Islam. Justru yang terjadi umat Islam melakukan pembenahan-pembenahan agarsistem politik tersebut bisa sesuai dengan kondisi umat Islam dan membawa maslahat bagiumat Islam.

    Oleh karena itu penulis tidak sepakat dengan pemikir seperti al-Jabiry (dalam buku al-Aql as-Siyasy :2000) serta orientalis seperti Louis Marlow (dalam buku Masyarakat Egaliter: 1987).

  • Yang menggambarkan bahwa keterpengaruhan sistem politik Islam dari sistem luar itu adalahbentuk ketidak mandirian sistem politik Islam. Tidak, sama sekali tidak. Masalahnya munculkarena al-Jabiry dan Marlow hanya mengkaji akar konsep tanpa memperhatikan perubahanfungsi serta motivasi adopsi sistem politik tersebut. Sehingga penilaiannya menjadi beratsebelah.Mereka membangun argumentasi seperti ini: Kelahiran konsep-konsep politik umat Islam klasikitu berada dalam paradigma sistem sosial politik Persia yang membagi elemensosial umara' (pemerintah) dan ulama (kahanah). Dua elemen sosial ini dianggap saudarakembar (tauamany), bukan satu kesatuan, seperti di jaman sahabat radliyallahu anhum yangtidak membagi antara elemen sosial umara dan ulama. Di masa sahabat umara juga seorangulama yang mujtahid, seperti Sayyidina Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali r.a. Paradigma sosialpolitik seperti inilah yang membuat karya politik umat Islam hanya berupa nasihat seorangulama terhadap seorang presiden. Sama halnya di zaman Persia kuna tugas seorang kahanah(agamawan Majusi) adalah menasehati raja. Penulis tidak sepakat dengan penyederhanaanmasalah seperti ini.

    Bagi penulis justru nasihat bagi para raja merupakan upaya ulama untuk memberikan dimensietis bagi sistem politik yang ada. Semua karya politik Islam, khususnya karya Ahlu as-Sunnah waal-Jamaah, seperti karya al-Ghazaly dalam Tibr al-Masbuk fi Nashihah al-Muluk, dan karya-karyaNashaih al-Muluk (nasehat bagi raja) mempunyai fungsi dan motivasi mulia. Yaitu memasukkannilai akhlaq pada sistem politik yang kaku, bahkan pada sistem fiqh yang kaku. Sebab jika syariatditerapkan tanpa pendekatan akhlak (etis), maka yang terjadi adalah diktatorisme syariat,bentuk-bentuk syariat yang dipahami secara radikal. Ruh akhlaq pun sirna, bak ditelan tanahatau terbang bersama udara. Inilah yang membuat penulis tidak sependapat dengan Islam gariskeras yang memahami dari sisi hukum (fiqih) saja, tapi tidak mendekati syariat dengan dimensietis dan spritual.

    Penulis menganggap bahwa penerapan syariat tanpa dimensi akhlaq hanya akanmenghilangkan gaya dakwah bi al-hikmah wa al-mauidlah al-hasanah wa al-mujadalah billatyhiya ahsan. Serta akan bermunculan gaya dakwah dengan pedang atau mungkin dengan terorbom bagi rakyat sipil yang tak berdosa. Padahal Nabi Saw sudah mengatakan dengan jelas,dalam peperangan sekalipun tidak boleh membunuh perempuan, anak kecil, orang tua, oranglemah, serta tidak boleh menghancurkan harta benda, serta tidak boleh menghancurkan rumahibadah agama lain.Penerapan syariat dengan wajah radikal pun menurut penulis akan menghilangkan ruh hukumitu sendiri. Serta menghilangkan gaya Rasul SAW dalam menerapkan syariat. Pertanyaannyabenarkah Rasul Saw menerapkan syariat secara ganas dan radikal. Sama sekali tidak. Justru

  • Rasul SAW menerapkan syariat dengan penuh etika dan mengedepankan maslahat. Sebab,kalau kita mengikuti pola pikir golongan Islam garis keras, maka diandaikan Rasul Saw seakan-akan menerapkan hukum Islam tanpa ampun, tanpa nego. Jika ada yang mencuri, potongtangan. Jika ada yang berzinah, dirajam. Jika salah langsung di hukum. Penulis justru melihatRasul SAW tidak seperti itu. Penulis melihat ada proses-proses psikologis, etis, dan dakwah bilhihmah wa al-mauidlah hasanah, wal mujadalah billaty hiya ahsan.Penulis tidak akan berbicara bagaimana hukum dalam Islam diterapkan secara gradual (tadrijy).Penulis ingin memotret fenomena lain tentang bagaimana Rasul SAW menerapkan hukum.Penulis ingin mengambil contoh seorang wanita pezinah yang dihukum oleh Rasul. Ceritanyabermula saat wanita itu menghadap Rasul SAW dan mengaku berzinah. Kalau kita mengikutiIslam garis maka seharusnya Rasul Saw langsung merajam wanita itu. Yang terjadi justru tidakbegitu. Rasul Saw menyuruh wanita itu pulang, seraya berkata mungkin kamu hanya pegang-pegangan, kemudian disuruh pulang. Kemudian lain hari wanita itu datang lagi denganmengaku hal yang sama. Kalau kita mengikuti golongan Islam garis keras, saat itu harusnyaRasul SAW merajam wanita itu, kalau tidak beliau tidak menjalankan perintah Allah, sebabsering kita dengar golongan Islam garis keras menafsirkan ayat wa man la yahkum bimaanzalalallahu faulaika hum al-kafirun, munafiqun, fasiqun, secara semena-mena. Yang terjadijustru Rasul Saw bersebrangan dengan pola pikir golongan Islam garis keras, kemudian beliaumengatakan mungkin kamu tidak sampai bersenggama jima', lalu wanita itu disuruh pulang.Wanita tetap datang lagi sampai berkali-kali, dan disuruh pulang berkali-kali, sampai wanitapezinah itu melahirkan anak, baru ia dihukum oleh Rasul SAW. Betapa beliau mengajarkanbagaimana penerapan hukum itu dengan santun, tenang, tidak gegabah, serta mengedepankanmaslahat.

    Ini juga tauladan dari Rasul SAW agar kita tidak bertindak sceara emosional. Sama halnya ketikabeliau menghadapi orang yang kencing di mesjid Nabawy. Para sahabat langsungmenghunuskan pedang. Ternyata beliau melarang menggunakan kekerasan dan bertindakemosional. Beliau tidak pernah mengatakan bahwa orang itu kafir, menghina Islam, darahnyahalal. Tidak, sama sekali tidak. Beliau dengan wajah tersenyum menyuruh untuk menyirambekas kencing orang badui tersebut dan memaafkannya. Masyallah, innahu la'ala khuluqinadlim. Sesungguhnya beliau berakhlaq mulia. Shadaqa Allahu al-Adlim.Ada contoh menarik lagi yang pantas untuk kita renungkan. Suatu saat ada seorang tua danmiskin bersenggama di tengah hari di bulan ramadlan. Ia datang pada Rasul SAW. Iamengatakan saya bersenggama, wahai Rasul saw. Beliau menyuruhnya untuk memerdekakanbudak. Dia menjelaskan bahwa dia tidak punya uang. Rasul saw menyuruhnya berpuasa duabulan. Ia mengatakan, saya lemah, tua, dan tidak kuat. Rasul saw menyuruh untuk memberimakan pada orang miskin. Ia pun mengatakan, ia sangat miskin dan tidak punya uang. Lalu

  • apakah kemudian tidak ada pilihan lain. Mungkin kalau menggunakan logika Islam garis keraspasti tak ada pilihan lain. Karena pemahaman yang salah tentang wa man la yahkum bimaanzalallahu faulaika hum al-kafirun. Rasul justru memberi alternatif keempat yang tidak adadalam Al-Qur'an. Lalu beliau memberikannya korma, seraya mengatakan, bersedekahlahdengan korma ini. Subhanallah, wa ma arsalnaka illa rahmatan lil alamin. Sesungguhnya,engkau paduka Rasul saw, benar-benar diutus untuk memberi rahmat bagi alamsemesta. Shadaqa Allahu al-Adlim.Jadi hukum yang diterapkan Rasul SAW itu tidak kaku, tapi fleksibel. Dan hukum bukan untukhukum, melainkan untuk maslahat. Ahlussunnah wal Jma'ah mendekati hukum denganpendekatan maslahat tersebut. Itu juga yang dicontohkan oleh sahabat radliyallahu anhum.Oleh karena itu NU tidak melihat politik dijalankan hanya dengan pemahaman teks an-sich yangradikal. Sebab itu bertentangan dengan gaya politik sahabat radliyallahu anhum. Kita pun seringmelihat para sahabat melakukan banyak hal karena berlandaskan maslahat an-sich asal sejalandengan ruh Islam. Seperti Abu Bakar Ra mengumpulkan mushaf al-Qur'an,memerangi mani' zakat, menunjuk Umar sebagai pemimpin penggantinya. Serta Umar Ra tidakmemberikan zakat pada muallaf qulubuhum, membuat diwan atha' dan diwan jaisy,menggunakan penjara, tidak menerapkan potong tangan pada saat krisis ekonomi. Serta Usmanmenetapkan satu mushaf usmany dan membakar yang lain. Serta masih banyak contoh lainyang menegaskan bahwa kebijakan politik dan pemerintahan mereka tidak berdasarkan padanash sharih, tapi berdasarkan maslahat dan sesuai dengan ruh Islam. Sebab pemerintahan itutidak bisa dijalankan dengan teks an-sich, harus selalu ada ijtihad agar mampu memasukkannilai-nilai islami dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat.Semua itu karena tujuan utama berdirinya negara adalah maslahat umat dan tegaknyakeadilan. Sehingga kita memerlukan sebuah pemerintahan yang kuat, berwibawa, adil, danmembawa maslahat. Bahkan demi terciptanya kedamaian dan untuk menghindari peperanganberkepanjangan yang hanya merugikan umat Islam. Oleh karena itu baik al-Ghazaly maupun IbnTaimiyah, memperbolehkan untuk hidup di dalam kekuasaan yangfajir (pendosa) sekalipun.Sebab bertahun-tahun bersama pemimpin fajir lebih baik daripada sehari tanpa pemimpin.Sebab berperang dan beraktifitas tanpa persetujuan pemimpin hanyalah tindakan Khawarij.Bahkan dikisahkan dalam Al-Qur'an banyak negara yang tidak memeluk Islam tapi damai,tentram, sejahtera, dan dipuji Allah swt. Atas dasar ini pula al-Ghazaly lebih mementingkankeadilan dan kesejahteraan daripada sistem politik tertentu. Dalam kitab Tibr al-Masbuk, iamenasehati semua pemeritah muslim, "...Maka perlu kamu ketahui bahwa pembangunannegeri dan kehancurannya disebabkan oleh pemimpinnya. Kalau pemimpinnya adil maka negeriakan makmur seperti di jaman (Raja Persia) Ardsyir, Afridon, Bahram Kur, Kisra Anusyirwan.Sedangkan jika pemimpinnya dlalim maka negeri akan rusak berantakan seperti di jaman

  • Dhahhak, Afrasiyan, Barsdkan...). Dalam teks ini terlihat Al-Ghazali tidak terlalu memusingkanbentuk pemerintahan, mau pemerintahan Persia, Arab atau lain sebagainya. Yang pentingpemimpin harus adil dan membawa maslahat bagi umat.Jadi, sudah seharusnya kita keluar dari dikotomi kaku antara Dar al-Kufr (Negeri Kafir) dan Daral-Islam (Negeri Islam). Tidakkah kita mencari alternatif bentuk negeri yang lain. Sebuah negeriyang terbuka pada sistem luar, menerapkan keadilan, menjaga keamanan, mengedepankanmaslahat, serta bisa menerapkan syariat Islam, akhlaq Islam, Aqidah Islam dengan damai dansantun: Yaitu Dar as-Salam (Negeri Damai). Itulah Indonesia.Robith Qosidi, Alumnus Universitas Al Azhar, Mantan Ketua Lakpesdam PCINU MesirSumber:http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,4-id,10750-lang,id-c,kolom-t,Indonesia+Bukan+Negeri+Kafir-.phpx

top related