implementasi ekstraksi pembuluh retina dengan … · ketika x,y dan f bernilai diskrit citra...
Post on 27-Mar-2019
227 Views
Preview:
TRANSCRIPT
MAKALAH SEMINAR TUGAS AKHIR PERIODE JANUARI 2012
1
IMPLEMENTASI EKSTRAKSI PEMBULUH RETINA DENGAN METODE MATCHED
FILTER DAN FIRST-ORDER DERIVATIVE OF GAUSSIAN
Firda Nur Safira1, Handayani Tjandrasa
2, Arya Yudhi Wijaya
3
Jurusan Teknik Informatika, Fakultas Teknologi Informasi
Institut Teknologi Sepuluh Nopember
email : firda.safira@gmail.com1, handatj@its.ac.id
2, arya@if.its.ac.id
3
ABSTRAKSI
Ekstraksi pembuluh darah secara otomatis pada citra retina merupakan langkah penting dalam
diagnosis penyakit dengan bantuan komputer. Citra retina memberikan informasi terhadap perubahan
patologis yang disebabkan oleh penyakit dan sebagai penanda awal dari gejala penyakit sistem indera
penglihatan tertentu. Pendeteksian dini terhadap gejala-gejala penderita merupakan hal penting karena
dapat diketahui perawatan yang bersesuaian. Karakteristik dari pembuluh darah pada retina membantu
untuk menggolongkan tingkat keparahan penyakit ini, disamping juga dapat dijadikan sebagai petunjuk
dalam pengobatan.
Dalam tugas akhir ini metode matched Filter dan first-order derivative of Gaussian digunakan
untuk melakukan ekstraksi pembuluh retina pada citra fundus mata berwarna. Pada awalnya citra green
channel difilter menggunakan Matched Filter. Kemudian citra green channel ini difilter menggunakan
First-Order Derivative of Gaussian Filter. Selanjutnya dilakukan threshold pada citra response terhadap
Matched Filter, dimana level dari threshold ini telah disesuaikan dengan citra response terhadap First-
Order Derivative of Gaussian Filter sehingga didapatkan citra keluaran yang merupakan citra yang
hanya berisi pembuluh darah.
Hasil eksperimen berdasarkan citra fundus mata berwarna yang tersedia, yaitu STARE dan
DRIVE yang masing-masing terdiri dari 20 citra retina. Dengan menggunakan dua dataset ini,
didapatkan akurasi sebesar 95,2% untuk STARE dan 93,7% untuk DRIVE masing-masing pada 10 kali
percobaan. Metode ini terbukti mampu mengekstraksi pembuluh darah pada citra fundus mata berwarna
dengan baik dan meminimalisir kesalahan deteksi yang ada pada metode Matched Filter.
Kata Kunci: Ekstraksi pembuluh darah retina, Matched filter, Deteksi pembuluh, Deteksi garis.
1 Pendahuluan
Mata adalah salah satu indera tubuh
manusia yang sangat kompleks dan berfungsi
untuk penglihatan. Meskipun fungsinya bagi
kehidupan manusia sangat penting, namun
seringkali kurang terperhatikan. Hal ini
menyebabkan banyak penyakit dan gangguan yang
menyerang mata. Pada saat ini, jumlah penyakit
mata lebih dari 200. Sebagian menimpa kaum
berusia 40 tahun keatas. Berdasarkan hasil studi
yang dilakukan oleh Eye Disease Prevalence
Research Group diperkirakan pada tahun 2020
jumlah penderita penyakit mata akan mencapai
55.000.000 jiwa.
Retina merupakan lapisan saraf yang
melapisi bagian belakang mata, menangkap
cahaya, dan menciptakan impuls yang berjalan
melalui saraf optik ke otak. Identifikasi dari
beberapa bagian anatomi retina merupakan
persyaratan dari diagnosa awal beberapa penyakit
retina [1]. Identifikasi ini dapat menggunakan citra
retina. Citra retina memperlihatkan tampak dalam
dari mata sehingga dapat membantu pengamatan
terhadap penyakit yang terdapat pada mata. Pada
beberapa penyakit, ketidaknormalan yang terjadi
dapat dilihat pada pembuluh darah yang terdapat
pada citra retina. Pendeteksian awal dapat
dilakukan dengan melihat pembuluh darah yang
membesar, percabangan yang tidak normal pada
pembuluh darah, dan sebagainya. Untuk mencari
MAKALAH SEMINAR TUGAS AKHIR PERIODE JANUARI 2012
2
pembuluh darah retina dari citra retina dapat
dilakukan dengan ekstraksi pembuluh darah retina.
Ekstraksi terhadap pembuluh darah retina dengan
menggunakan citra retina dapat menyediakan
sebuah pemetaan dari pembuluh darah di retina
yang dapat memudahkan penilaian karakteristik
pembuluh darah tersebut.
Pendeteksian manual terhadap pembuluh
darah ini sulit dilakukan karena penampakan dari
pembuluh darah pada citra retina cukup kompleks
dan muncul dalam kontras yang rendah. Oleh
sebab itu, sebuah pengukuran manual akan sangat
melelahkan dan dibutuhkan metode pendeteksian
otomatis yang handal.
Ekstraksi pembuluh darah secara otomatis
pada citra retina merupakan langkah penting dalam
diagnosis dan pengobatan penyakit dengan bantuan
komputer untuk penyakit diabetic retinopathy [2-
9], hypertension [10], glaucoma[11],
arteriosclerosis dan retinal artery occlusion,
obesity [12], dan lain-lain.
Ekstraksi pembuluh pada dasarnya
merupakan permasalahan untuk mendeteksi tepi
dan telah banyak metode yang diajukan, misalnya
metode filtering, mathematical morphology, trace,
machine-learning dan lain-lain. Di antara berbagai
macam metode ekstraksi, matched filter
merupakan metode yang representatif, sederhana,
dan efektif. Kekurangan dari metode matched filter
adalah metode ini tidak hanya mengekstraksi
pembuluh, tetapi juga mengekstraksi non
pembuluh.
Dalam Tugas Akhir ini penulis
mengimplementasikan ekstraksi pembuluh darah
retina pada citra fundus mata berwarna
menggunakan metode matched filter dan first-
order derivative of Gaussian. Kontribusi utama
dari Tugas Akhir ini adalah menemukan pembuluh
darah retina pada citra fundus mata berwarna
dengan menggunakan proses ekstraksi. Proses ini
menggunakan metode matched filter dan first-
order derivative of Gaussian untuk
menyempurnakan hasil deteksi pembuluh yang
dilakukan metode matched filter. Metode ini
mendapatkan hasil deteksi pembuluh yang hasilnya
sebanding dengan metode lain yang
kompleksitasnya lebih tinggi daripada matched
filter. Selain itu metode ini sangat baik digunakan
untuk citra pathological retina.
2 Tinjauan Pustaka
2.1 Citra
Citra dapat didefinisikan sebagai fungsi
dua dimensi, f(x,y), x dan y merupakan koordinat
spasial dan f pada koordinat (x,y) merupakan
intensity atau gray level citra pada titik tersebut.
Ketika x,y dan f bernilai diskrit citra disebut
disebut citra digital. Citra digital merupakan citra
yang dihasilkan melalui proses digitalisasi terhadap
citra kontinu. Sehingga pengolahan citra digital
merujuk pada pemrosesan citra digital dengan
digital computer. Pengolahan citra digital
mencakup proses yang input dan output-nya adalah
citra dan juga proses yang mengekstrak atribut dari
citra sampai dengan pengenalan objek.
2.2 Hubungan Antar Piksel
Terdapat beberapa jenis hubungan antar
piksel, diantaranya ketetanggaan dan konektivitas.
Sebuah piksel p pada koordinat (x,y) memiliki
empat tetangga, yaitu tetangga yang berada pada
arah horizontal dan vertikal. Keempat tetangga
tersebut memiliki koordinat (x+1, y), (x-1, y), (x,
y+1), dan (x, y-1). Piksel-piksel tersebut disebut
sebut sebagai 4-neighbors dari p, yang dinotasikan
dengan N4(p). Selain tetangga pada arah horizontal
dan vertikal, terdapat empat tetangga piksel p pada
arah diagonal. Koordinat piksel tetangga tersebut
adalah (x+1), y+1), (x+1, y-1), (x-1, y+1), dan (x-1,
y-1). Piksel-piksel tersebut dinotasikan dengan
ND(p). ND(p) bersama dengan 4-neighbors
disebut sebagai 8-neighbors dari p, dan dinotasikan
dengan N8(p).
Konektivitas antar piksel merupakan konsep
dasar yang menyederhanakan definisi berbagai
konsep dasar citra digital, seperti region dan
boundary. Dua piksel dikatakan memiliki
konektivitas bila kedua piksel tersebut bertetangga
dan derajat keabuannya memenuhi kriteria
kesamaan tertentu. Pada citra biner, dua piksel
dikatakan memiliki konektivitas bila bertetangga
dan memiliki nilai yang sama [13].
2.3 Histogram
Histogram pada citra bertindak sebagai
representasi grafis dari distribusi intensitas pada
citra digital. Histogram merepresentasikan jumlah
MAKALAH SEMINAR TUGAS AKHIR PERIODE JANUARI 2012
3
piksel untuk setiap nilai intensitas. Dengan melihat
histogram citra seorang pengamat secara sekilas
bisa menilai keseluruhan distribusi intensitas pada
citra tersebut.
Sumbu horizontal pada histogram
merepresentasikan nilai intensitas sedangkan
sumbu vertikal pada histogram merepresentasikan
jumlah piksel pada nilai intensitas tersebut. Daerah
gelap direpresentasikan di sumbu horizontal
sebelah kiri dan daerah yang terang
direpresentasikan pada sumbu horizontal sebelah
kanan. Jadi, semakin ke kanan intensitas semakin
terang. Jika terdapat histogram yang datanya
mengumpul di kiri berarti gambar tersebut sangat
gelap sedangkan bila datanya cenderung
mengumpul di kanan berarti gambar tersebut
sangat terang. Sumbu vertikal mereprsentasikan
ukuran daerah setiap intensitas karena informasi
yang terdapat dalam histogram merupakan
representasi distribusi intensitas piksel, maka
dengan menganalisis histogram bisa didapatkan
puncak atau lembah dari histogram citra tersebut.
Informasi tersebut kemudian dapat digunakan
untuk menentukan nilai threshold, sehingga
histogram citra dapat digunakan untuk
thresholding. Selain itu dapat dimanfaatkan untuk
proses deteksi tepi dan segmentasi citra
2.4 Segmentasi Citra
Segmentasi membagi citra menjadi objek
atau daerah yang dipilih. Sampai seberapa jauh
pembagian dalam citra tersebut tergantung pada
permasalahan yang ingin diselesaikan. Ketika
objek yang ingin disegmentasi telah terisolasi,
segmentasi harus dihentikan. Hal ini dilakukan
karena tidak ada gunanya untuk melakukan
segmentasi melebihi tingkat kedetailan yang
seharusnya dibutuhkan untuk mengidentifikasi
elemen tersebut.
Sementasi citra merupakan salah satu
pekerjaan yang paling sulit dalam pengolahan citra.
Akurasi dari segmentasi menentukan kesuksesan
atau kegagalan prosedur analisa yang
terkomputerisasi. Oleh karena itu, sangat penting
untuk meningkatkan akurasi segmentasi. Secara
umum algoritma dalam segmentasi citra berdasar
pada dua properti dasar dari nilai intensitas, yaitu
diskontinuitas dan similaritas. Pendekatan pada
kategori yang pertama adalah dengan membagi
citra berdasarkan pada perubahan intensitas yang
tajam, seperti tepi pada citra. Sedangkan
pendekatan pada kategori yang kedua berdasarkan
pada pembagian citra menjadi daerah yang mirip
berdasarkan pada sekumpulan kriteria yang telah
didefinisikan sebelumnya. Beberapa contoh
metode pada kategori ini adalah thresholding,
region growing dan region splitting, serta merging.
2.5 Konvolusi Citra
Konvolusi merupakan perkalian antara dua
fungsi, yaitu f dan g. Terdapat dua operasi
konvolusi, yakni untuk fungsi malar dan fungsi
diskrit. Untuk fungsi malar h(x,y) didefinisikan
pada persaman
𝑥,𝑦 = 𝑓 𝑥,𝑦 ∗ 𝑔 𝑥,𝑦 (1)
= 𝑓 𝑎, 𝑏 𝑔 𝑥 − 𝑎 𝑦 − 𝑏 𝑑𝑎𝑑𝑏 ∙∞
∞
∞
−∞
Konvolusi dengan fungsi inilah yang
banyak digunakan pada pengolahan citra digital.
Namun fungsi ini sulit diimpelementasikan
menggunakan komputer karena komputer hanya
dapat melakukan perhitungan pada data diskrit.
Untuk itulah dibentuk operasi konvolusi h(x,y)
untuk fungsi diskrit seperti pada persamaan
𝑥,𝑦 = 𝑓(𝑥,𝑦) ∗ 𝑔 𝑥,𝑦 (2)
= 𝑓 𝑎, 𝑏 𝑔 𝑥 − 𝑎 𝑦 − 𝑏 ,∞𝑏=−∞
∞𝑎=−∞
pada citra biasanya dinotasikan dengan persamaan
𝑂 𝑥,𝑦 = 𝐼 𝑥,𝑦 ∗ 𝐹, (3)
dimana I(x,y) merupakan citra yang
direpresentasikan dengan matriks m x n (𝑜 ≤ 𝑥 <𝑚 dan 𝑜 ≤ 𝑦 < 𝑛), F merupakan
kernel/filter/mask/window/template.
Operasi ini dilakukan dengan langkah-
langkah sebagai berikut:
1. Memilih ukuran kernel yang berupa
bilangan ganjil.
2. Menempatkan kernel pada piksel yang
dimulai dari kiri atas dan selalu
beroperasi pada ukuran area ketetanggaan
yang sama.
3. Mengalikan elemen-elemen pada kernel
yang merupakan koefisien konvolusi
MAKALAH SEMINAR TUGAS AKHIR PERIODE JANUARI 2012
4
dengan elemen yang bersesuaian pada
piksel-piksel tetangga pada citra.
4. Menjumlahkan seluruh hasil perkalian
dan kemudian nilai keluaran yang berupa
nilai tunggal ini disimpan di dalam lokasi
piksel baru, yaitu pusat dari ketetanggaan
aslinya.
5. Memindahkan kernel satu piksel ke
kanan, melakukan kembali perkalian dan
penjumlahan elemen seperti langkah 3
dan 4, dan bergerak satu piksel ke kanan
sampai baris diselesaikan kemudian
pindah ke baris dibawahnya. Pemindahan
kernel ini dilakukan terus-menerus hingga
selesai.
2.6 Thresholding Citra
Thresholding adalah proses mengubah
citra berderajat keabuan menjadi citra biner atau
hitam putih sehingga dapat diketahui daerah mana
yang termasuk objek dan background dari citra
secara jelas. Citra hasil thresholding biasanya
digunakan lebih lanjut untuk proses pengenalan
objek serta ekstraksi fitur. Cara untuk mengekstrak
objek dari background adalah dengan memilih
nilai threshold T yang memisahkan dua mode
tersebut. Kemudian untuk sembarang titik (x,y)
yang memenuhi f(x,y) > T disebut titik objek,
selain itu disebut titik background. Kesuksesan
metode ini bergantung pada seberapa bagus teknik
partisi histogram.
Metode thresholding secara umum
dibagi menjadi dua, yaitu Thresholding global
dan Thresholding adaptif. Thresholding global
dilakukan dengan mempartisi histogram dengan
menggunakan sebuah threshold (batas ambang)
global T, yang berlaku untuk seluruh bagian pada
citra.Thresholding dikatakan global jika nilai
threshold T hanya bergantung pada f(x,y), yang
melambangkan tingkat keabuan pada titik (x,y)
dalam suatu citra. Thresholding adaptif dilakukan
dengan membagi citra menggunakan beberapa sub
citra. Lalu pada setiap sub citra, segmentasi
dilakukan dengan menggunakan threshold yang
berbeda.
2.7 Operator Sobel
Operator Sobel adalah algoritma untuk
mendeteksi tepi pada citra. Deteksi tepi pada
dasarnya adalah untuk membedakan objek yang
terdapat pada citra dengan background. Deteksi
tepi mendeteksi perubahan yang tajam dalam
brightness citra. Sebagiam besar metode deteksi
tepi bekerja dengan asumsi bahwa tepi ditemukan
ketika terdapat diskontinuitas pada intensitas.
Terdapat banyak metode untuk melakukan deteksi
tepi, namun secara garis besar ada dua metode
untuk melakukan deteksi ini, yaitu Gradient dan
Laplacian. Operator Sobel menggunakan
pengetahuan bahwa sebuah tepi pada citra akan
ditemukan ketika nilai gradiennya melebihi
threshold. Gradien citra adalah perubahan
intensitas atau warna pada sebuah citra. Operator
Sobel menghitung perkiraan gradien citra dari
setiap piksel dengan melakukan konvolusi citra
terhadap pasangan filter 3x3. Filter ini
mengestimasi gradien di arah horizontal (x) dan
vertikal (y), kemudian besarnya gradien dihitung
dengan menjumlahkan 2 gradien ini. Gambar 1(a)
memperlihatkan filter x dan Gambar 1(b)
memperlihatkan filter y. Sobel Detector sangat
sensitif terhadap noise pada citra. Besarnya gradien
dihitung menggunakan persamaan
𝐺 = 𝐺𝑥2 + 𝐺𝑦2 ∙ (4)
-1 0 +1
-2 0 +2
-1 0 +1
+1 +2 +1
0 0 0
-1 -2 -1
(a) (b)
Gambar 1 Mask Sobel ; (a) Filter x; (b) Filter y;
2.8 Matched Filter
Matched filter adalah salah satu algoritma
template matching yang digunakan untuk
mendeteksi pembuluh darah pada citra retina dan
aplikasi lain yang serupa. matched filter
menggunakan properti spasial dari objek untuk
dikenali. Ide dari matched filter ini sendiri muncul
diawali dengan pengambilan sejumlah contoh dari
MAKALAH SEMINAR TUGAS AKHIR PERIODE JANUARI 2012
5
percabangan permbuluh darah mata. Kemudian
profil tingkat keabuan dari contoh ini didekati
dengan bentuk kurva Gaussian. Matched filter
dirancang berdasarkan sejumlah properti dari
pembuluh darah [15], yaitu:
Pembuluh dapat didekati sebagai segmen
anti-paralel
Pembuluh memiliki reflektansi yang lebih
rendah dibandingkan permukaan retina
lain, sehingga pembuluh muncul relatif
lebih gelap dibandingkan dengan
background.
Semakin menjauhi optic disk, ukuran
pembuluh semakin mengecil. Ukuran
pembuluh terdapat pada rentang 2-10
piksel.
Profil intensitas bervariasi dengan jumlah
yang kecil dari pembuluh ke pembuluh.
Profil intensitas memiliki bentuk Gaussian
Oleh karena itu, filter berbentuk Gaussian dapat
digunakan untuk mendeteksi pembuluh. matched
filter adalah zero-mean Gaussian filter
didefinisikan pada persamaan
𝑓 𝑥,𝑦 = 1
2𝜋𝑠𝑒𝑥𝑝 −
𝑥2
2𝑠2 − 𝑚 (5)
𝑥 ≤ 𝑡 ∙ 𝑠 , 𝑦 ≤ 𝐿/2 ,
dimana s merepresentasikan skala dari filter ini.
Nilai 𝑚 = 1
2𝜋𝑠
𝑡𝑠
−𝑡𝑠𝑒𝑥𝑝
−𝑥2
2𝑠2 𝑑𝑥 / 2𝑡𝑠
digunakan untuk menormalisasi nilai rata-rata dari
filter menjadi 0 sehingga smooth background dapat
dihapus setelah proses filter dilakukan. L adalah
panjang dari neighborhood sepanjang sumbu y
untuk menghilangkan noise. t bernilai konstan dan
biasanya diset 3 karena lebih dari 99% area dari
kurva Gaussian berada pada rentang [-3s,3s].
Parameter L dipilih berdasarkan s. Ketika s kecil,
maka L relatif bernilai kecil dan sebaliknya.
𝑓 𝑥,𝑦 akan dirotasi dengan sudut 𝜃 untuk
mendeteksi pembuluh di orientasi yang berbeda.
Rotasi 𝑓 𝑥,𝑦 dengan sudut 𝜃 dapat dilihat pada
persamaan
𝑓𝜃 𝑥 ′,𝑦 ′ = 𝑓(𝑥,𝑦)
𝑥 ′ = 𝑥 cos𝜃 + 𝑦 sin𝜃 ∙ (6)
𝑦 ′ = 𝑦 cos𝜃 − 𝑥 sin𝜃
2D Matched Filter mendeteksi segmen pembuluh
darah melalui konvolusi citra dengan kernel
Matched Filter yang telah dirotasi dan kemudian
dilakukan penyimpanan bagi yang memiliki respon
maksimal. Kemudian dilakukan threshold dari
hasil konvolusi ini untuk memperoleh sebuah
segmentasi biner dari segmen pembuluh darah.
2.9 First-Order Derivative of Gaussian
First-Order Derivative of Gaussian Filter
merupakan turunan pertama dari Matched Filter.
Ide penggunaan dari First-Order Derivative of
Gaussian adalah percabangan pembuluh akan
memiliki respon kuat positif terhadap Matched
Filter tetapi respon terhadap First-Order
Derivative of Gaussian Filter adalah anti-simetrik.
Pada non pembuluh juga akan memiliki respon
kuat positif terhadap Matched Filter tetapi respon
terhadap First-Order Derivative of Gaussian Filter
adalah positif dan simetrik. Oleh karena itu dapat
digunakan untuk membedakan pembuluh dan non
pembuluh yang kemudian meminimalisir
munculnya non pembuluh pada citra. First-Order
Derivative of Gaussian Filter didefinisikan pada
persamaan
𝑔 𝑥,𝑦 = −𝑥
2𝜋𝑠3 𝑒𝑥𝑝 −𝑥2
2𝑠2 (7)
𝑥 ≤ 𝑡 ∙ 𝑠, 𝑦 ≤ 𝐿/2 ,
dimana s merepresentasikan skala dari filter ini. L
adalah panjang dari neighborhood sepanjang
sumbu y untuk menghilangkan noise. Nilai t
bernilai konstan dan biasanya diset 3 karena lebih
dari 99% area dari kurva Gaussian berada pada
rentang [-3s,3s]. Parameter L dipilih berdasarkan s.
Ketika s kecil, maka L relatif bernilai kecil dan
sebaliknya.
𝑔 𝑥,𝑦 akan dirotasi dengan sudut 𝜃 untuk
mendeteksi pembuluh di orientasi yang berbeda.
Rotasi 𝑓 𝑥,𝑦 dengan sudut 𝜃 dapat dilihat pada
persamaan
𝑔𝜃 𝑥 ′,𝑦 ′ = 𝑔(𝑥,𝑦)
𝑥 ′ = 𝑥 cos𝜃 + 𝑦 sin𝜃 ∙ (8)
𝑦 ′ = 𝑦 cos𝜃 − 𝑥 sin𝜃
MAKALAH SEMINAR TUGAS AKHIR PERIODE JANUARI 2012
6
2.10 Operasi Morfologi
Salah satu penerapan morfologi adalah
dalam pengekstrakan komponen citra yang berguna
dalam representasi dan deskripsi bentuk. Dalam
morphology sekumpulan refleksi dan translasi
dilakukan berdasarkan structuring element (SE).
Structuring element merupakan suatu set kecil atau
subimage yang digunakan untuk memeriksa citra
yang sedang dipelajari propertinya. Structuring
element biasanya direpresentasikan dengan matriks
0 dan 1, namun terkadang hanya ditampilkan yang
bernilai 1 saja. Pada bagian berikut ini dijelaskan
mengenai beberapa operasi dasar dalam
morphology. Operasi – operasi tersebut antara lain
dilasi, erosi, opening, closing.
2.10.1 Dilasi dan Erosi
Dilasi adalah operasi yang membuat objek
dalam citra biner menjadi lebih “tebal”. Penebalan
ini dikontrol oleh structuring element. Sedangkan
erosi merupakan operasi yang membuat objek
menjadi lebih “tipis” atau “menyusut”. Penipisan
pada erosi juga dikontrol oleh structuring element
seperti pada proses dilasi. Secara matematis, proses
dilasi A oleh B, dengan A adalah citra yang akan
didilasi dan B adalah structuring element, dapat
dinotasikan sebagai berikut :
𝐴⊕ 𝐵 = 𝑧 (𝐵)𝑧 ∩𝐴 ≠⊘ , (9)
sedangkan proses erosi A oleh B dapat dinotasikan
sebagai berikut :
𝐴⊖ 𝐵 = 𝑧 (𝐵)𝑧 ∩ 𝐴𝑐 ≠⊘} ∙ (10)
Secara grafis proses dilasi seperti proses
mentranslasikan structuring element ke seluruh
piksel pada citra dan kemudian diperiksa dimana
saja piksel yang overlap dengan piksel yang
bernilai 1. Lalu piksel citra hasil dilasi bernilai 1
pada setiap lokasi structuring element overlap
minimal satu piksel bernilai 1 pada citra asli. Erosi
secara grafis dapat digambarkan sebagai proses
translasi structuring element ke seluruh citra dan
kemudian dilakukan pengecekan utnuk melihat
lokasi structuring element cocok sepenuhnya
dengan foreground dari citra. Citra keluaran
bernilai 1 pada setiap lokasi structuring element
overlap piksel bernilai 1 saja pada citra asli atau
dengan kata lain tidak overlap dengan background
citra.
2.10.2 Opening dan Closing
Morphological opening merupakan erosi
yang diikuti dengan dilasi. Morphological opening
A oleh B, dengan A adalah citra yang akan di-
opening dan B adalah structuring element, dapat
dinotasikan sebagai A ◦ B
𝐴 ∘ 𝐵 = 𝐴 ⊖𝐵 ⊕ 𝐵 ∙ (11)
Persamaan di atas secara sederhana dapat
diinterpretasikan A ◦ B adalah gabungan dari
seluruh translasi dari B yang pas sepenuhnya
dengan A. Morphological opening menghapus
daerah yang tidak mengandung structuring
element, memperhalus kontur objek, memutus
koneksi tipis, dan menghapus tonjolan tipis.
Morphological closing merupakan kebalikan dari
morphological opening. Jika pada opening, operasi
yang dilakukan adalah erosi yang diikuti dengan
dilasi, maka pada closing, operasi yang dilakukan
adalah dilasi yang
diikuti dengan erosi. Morphological closing A oleh
B dapat dinotasikan dengan A • B
𝐴 ∙ 𝐵 = 𝐴 ⊕𝐵 ⊝ 𝐵 ∙ (12)
Seperti halnya pada opening, closing juga
cenderung menghaluskan kontur pada objek.
Perbedaannya adalah closing biasanya
menyambung objek yang terputus dan mengisi
lubang yang lebih kecil dari structuring element.
2.11 Perhitungan Akurasi, TPR, dan FPR
Deteksi akurasi dari metode Matched
Filter dan First-Order Derivative of Gaussian
didefinisikan sebagai perbandingan dari jumlah
total piksel yang terklasifikasi dengan benar
dengan jumlah piksel di dalam field of view (FOV)
[16]. Deteksi Akurasi dapat dilihat pada persamaan
Akurasi = 𝑇𝑃+𝑇𝑁
𝑆 , (13)
dimana TP = True Positive, TN = True Negative, S
= Jumlah piksel di dalam FOV.
MAKALAH SEMINAR TUGAS AKHIR PERIODE JANUARI 2012
7
True Positive Ratio (TPR) didefinisikan
sebagai perbandingan dari jumlah piksel yang
terklasifikasi sebagai pembuluh dengan benar
dengan total piksel pembuluh di dalam FOV
ground truth [16]. TPR dapat dilihat pada
persamaan
TPR = 𝑇𝑃
𝑆𝑃𝑔 , (14)
dimana TP = True Positive, SPg = Jumlah piksel
pembuluh di dalam FOV ground truth.
False Positive Ratio (FPR) didefinisikan
sebagai perbandingan dari jumlah piksel non
pembuluh yang terklasifikasi sebagai pembuluh di
dalam FOV dengan jumlah piksel non pembuluh di
dalam FOV ground truth [16]. FPR dapat dilihat
pada persamaan
FPR = 𝐹𝑃
𝑆𝑁𝑔 , (15)
dimana FP = False Positive, SNg = Jumlah piksel
non pembuluh di dalam FOV ground truth. Dari
hasil perhitungan ini akan dikalikan dengan 100
yang kemudian didapatkan hasil akurasi dengan
rentang antara 0% sampai 100%.
3 Metodologi dan Implementasi
Keseluruhan tahapan dalam ekstraksi citra
dengan metode matched filter dan first-order
derivative of Gaussian akan digambarkan pada
diagram alir pada Gambar 2. Secara umum
ekstraksi pembuluh darah retina pada citra fundus
mata berwarna menggunakan metode matched
filter dan first-order derivative of Gaussian ini
terdiri dari berbagai langkah dalam proses
ekstraksi. Pada awalnya citra inputan diubah
menjadi citra biner dengan mengambil bagian
green channel karena informasi pembuluh
terbanyak terdapat pada bagian ini. Kemudian citra
ini difilter menggunakan matched filter dan first-
order derivative of Gaussian filter. Citra hasil dari
filtering menggunakan First-Order Derivative of
Gaussian Filter ini selanjutnya difilter lagi dengan
mean filter untuk mendapatkan local mean yang
berupa daerah lokal dari non pembuluh.
Selanjutnya citra hasil filtering dengan mean filter
dinormalisasi, kemudian dilakukan proses
perhitungan nilai mean dari citra response terhadap
matched filter, perhitungan nilai threshold
reference, perhitungan threshold, dan proses
thresholding terhadap citra response matched filter
sehingga didapatkan citra keluaran yang
diinginkan. Citra keluaran yang diinginkan dalam
hal ini adalah pembuluh darah retina. Selanjutnya
dilakukan proses penghapusan pinggiran. Hasil
akhir dari sistem ini berupa citra yang telah
diekstraksi.
MULAI
Pemilihan Komponen
Citra Green Channel
Proses filtering
dengan
Matched Filter
Proses filtering
dengan
First-Order Derivative of
Gaussian Filter
Input :
Citra
Fundus
Retina
Proses filtering
dengan
Mean Filter
Perhitungan
Nilai Mean
Perhitungan Nilai
Threshold Reference
Perhitungan
Nilai Threshold
Proses Thresholding
Normalisasi Citra
Citra
response
Matched
Filter
Menghilangkan
Pinggiran
Output :
Citra
dengan
peta
Pembuluh
Selesai
Gambar 2 Diagram Alir Model Sistem Secara
Umum
3.1 Pemilihan Komponen Citra Green
Channel
Dalam proses pemilihan komponen citra
green channel, citra masukan awalnya berupa citra
fundus mata RGB. Selanjutnya komponen warna
dari citra masukan hanya akan diambil komponen
MAKALAH SEMINAR TUGAS AKHIR PERIODE JANUARI 2012
8
green saja, sedangkan komponen lain yang
terdapat pada citra akan dihilangkan.
3.1 Proses Filtering dengan Matched
Filter
Dalam tahap ini, akan dilakukan proses
filtering pada citra green channel dengan matched
filter. Tujuan dari proses ini adalah untuk
mendapatkan citra response terhadap matched
filter. Pada awalnya dibuat matched filter kernel
seperti pada persamaan (5) yang kemudian kernel
ini dirotasi dengan sudut 𝜃 seperti pada persamaan
(6). Selanjutnya citra green channel akan
dikonvolusi dengan matched filter kernel ini untuk
mendapatkan citra response. Proses filtering
ditunjukkan pada persamaan
𝑓1 = 𝑖𝑚 ∗ 𝑓𝜃 𝑥 ′,𝑦 ′ , (16)
dimana f1 merupakan citra hasil proses filtering
dengan matched filter. Citra ini merupakan citra
response terhadap matched filter yang menyimpan
respon maksimal dari hasil filtering. Im merupakan
citra green channel dan 𝑓𝜃 𝑥 ′,𝑦 ′ merupakan
matched filter kernel yang dirotasi dengan berbagai
orientasi.
3.2 Proses Filtering dengan First-Order
Derivative of Gaussian
Dalam tahap ini, akan dilakukan proses
filtering pada citra green channel dengan first-
order derivative of Gaussian filter. Tujuan dari
proses ini adalah untuk mendapatkan citra
response terhadap first-order derivative of
Gaussian filter. Pada awalnya dibuat first-order
derivative of Gaussian kernel seperti pada
persamaan (7) yang kemudian kernel ini dirotasi
dengan sudut 𝜃 seperti pada persamaan (8).
Selanjutnya citra green channel akan dikonvolusi
dengan first-order derivative of Gaussian kernel
ini untuk mendapatkan citra response. Proses
filtering ditunjukkan pada persamaan
𝑓2 = 𝑖𝑚 ∗ 𝑔𝜃 𝑥 ′,𝑦 ′ , (17)
dimana f2 merupakan citra hasil proses filtering
dengan first-order derivative of Gaussian filter.
Citra ini merupakan citra response terhadap first-
order derivative of Gaussian filter yang nantinya
akan dilakukan perhitungan local mean untuk
menyesuaikan nilai threshold dalam mendeteksi
munculnya pembuluh maupun non pembuluh. Im
merupakan citra green channel dan 𝑔𝜃 𝑥 ′,𝑦 ′
merupakan first-order derivative of Gaussian
kernel yang dirotasi dengan berbagai orientasi.
3.3 Proses Filtering Citra Response First-
Order Derivative of Gaussian dengan Mean
Filter
Tahap selanjutnya adalah proses filtering
citra response first-order derivative of Gaussian
dengan mean filter. Tujuan dari proses ini adalah
untuk mendapatkan local mean yang merupakan
daerah lokal dari non pembuluh. Daerah ini yang
nantinya akan diminimalisir keberadaannya. Proses
ini ditunjukkan pada persamaan
𝑓3 = 𝑓2 ∗𝑊 , (18)
dimana f3 merupakan citra hasil proses filtering
citra response first-order derivative of Gaussian
dengan mean filter. Citra ini merupakan citra local
mean. F2 merupakan merupakan citra response
terhadap first-order derivative of Gaussian filter.
W adalah sebuah filter w x w yang semua
elemennya adalah 𝟏
𝒘𝟐 .
3.4 Proses Normalisasi Citra Local Mean
Dalam tahap ini, citra hasil filtering
dengan mean filter dinormalisasi. Normalisasi
yang dimaksud disini adalah setiap elemen dari
citra berada pada rentang [0-1]. Proses ini
ditunjukkan pada persamaan
𝑓4 = 𝑓3 , (19)
dimana f4 merupakan citra hasil proses normalisasi
dari citra response first-order derivative of
Gaussian dengan mean filter. Citra ini disebut citra
local mean yang sudah dinormalisasi.
3.5 Proses Perhitungan Nilai Mean dari
Citra Response Matched Filter
MAKALAH SEMINAR TUGAS AKHIR PERIODE JANUARI 2012
9
Dalam tahap ini, dilakukan perhitungan
nilai mean dari Citra response matched filter.
Proses ini ditunjukkan pada persamaan
𝑓5 = 𝑓1 ∗ 𝑊 , (20)
dimana f5 merupakan nilai mean dari citra response
matched filter. F1 merupakan merupakan citra
response matched filter. W adalah sebuah filter w x
w yang semua elemennya adalah 1
𝑤2 .
3.6 Perhitungan Nilai Threshold
Reference
Dalam tahap ini, dilakukan perhitungan
nilai threshold reference. Proses perhitungan nilai
dari threshold reference dapat dilihat pada
persamaan
𝑓6 = 𝑐 ∗ 𝑓5 , (21)
dimana f6 merupakan nilai dari threshold reference.
C merupakan nilai constant dan f5 merupakan nilai
mean dari citra response terhadap matched filter.
3.7 Perhitungan Threshold
Dalam tahap ini, dilakukan perhitungan
threshold yang akan digunakan dalam proses
thresholding terhadap citra response matched
filter. Threshold ini merupakan threshold yang
levelnya telah disesuaikan dengan citra response
terhadap first-order derivative of Gaussian. Proses
perhitungan threshold dapat dilihat pada
persamaan
𝑓7 = 1 + 𝑓4 ∙ 𝑓6 , (22)
dimana f7 merupakan nilai dari threshold. F4
merupakan citra hasil proses normalisasi dari citra
response first-order derivative of Gaussian dengan
mean filter. F6 merupakan nilai dari threshold
reference.
3.8 Proses Thresholding terhadap Citra
Response Matched Filter
Dalam tahap ini, citra response terhadap
matched filter akan dithreshold dengan nilai
threshold yang levelnya telah disesuaikan dengan
citra response terhadap first-order derivative of
Gaussian. Tujuan dari proses ini adalah untuk
memisahkan struktur pembuluh dengan non
pembuluh. Proses thresholding dapat dilihat pada
persamaan
𝑓8 = 1 𝑓1 𝑥,𝑦 ≥ 𝑓7 𝑥,𝑦
𝑓8 = 0 𝑓1 𝑥,𝑦 < 𝑓7 𝑥, 𝑦 , (23)
dimana f8 merupakan peta pembuluh akhir. F1
merupakan citra response terhadap matched filter.
F7 merupakan nilai dari threshold.
3.9 Menghilangkan Pinggiran
Dalam tahap ini, dilakukan proses untuk
menghilangkan pinggiran citra. Pada awalnya, citra
masukan diubah menjadi citra red channel. Dalam
proses pengubahan menjadi citra red channel, citra
masukan awalnya berupa citra fundus mata RGB.
Selanjutnya komponen warna dari citra masukan
hanya akan diambil komponen red saja, sedangkan
komponen lain yang terdapat pada citra akan
dihilangkan. Kemudian dilakukan deteksi tepi pada
citra dengan menggunakan operator Sobel seperti
pada persamaan (4). Setelah tepi didapatkan,
kemudian dilakukan penebalan tepi dengan proses
dilasi. Proses dilasi ini menggunakan structuring
element berbentuk disk dengan radius yang
disesuaikan dengan citra. Tepi yang telah menebal
kemudian diubah warnanya menjadi 0 agar warna
tepi ini sama seperti warna background. Dengan
demikian pinggiran pada citra telah hilang dan
hanya terdapat pembuluh yang telah diekstraksi
pada citra.
4 Uji Coba dan Evaluasi
4.1 Data Masukan
Data yang digunakan pada uji coba ini
adalah citra STARE [17] dan citra DRIVE [18]
yang merupakan citra fundus mata berwarna
berupa citra RGB. Citra yang akan digunakan ada
dua puluh buah. Citra STARE [17] berukuran 605
x 700 piksel dan citra DRIVE [18] berukuran 584 x
565 piksel.
MAKALAH SEMINAR TUGAS AKHIR PERIODE JANUARI 2012
10
4.2 Uji Coba Perbandingan Hasil Akurasi,
TPR, dan FPR dengan Nilai Skala Kernel yang
Berbeda-beda
Pada skenario uji coba yang pertama ini
akan dibandingkan nilai akurasi, TPR, dan FPR
ekstraksi citra yang dihasilkan dari masing-masing
citra dengan nilai skala kernel yang berbeda-beda.
Uji coba pertama skenario ini akan diujikan pada
citra im0077.ppm yang merupakan Gambar dari
citra STARE [17]. Citra ini dapat dilihat pada
Gambar 3. Pada skenario ini, nilai skala kernel
akan diubah-ubah. Nilai skala kernel 10,5 untuk
pembuluh tebal dan 4 untuk pembuluh tipis, nilai
skala kernel 5 untuk pembuluh tebal dan 1,5 untuk
pembuluh tipis, serta nilai skala kernel 1,5 untuk
pembuluh tebal dan 1 untuk pembuluh tipis. Nilai-
nilai ini ditentukan sebagai parameter nilai skala
kernel. Dari nilai-nilai skala kernel tersebut, akan
diimplementasikan pada citra masukan
im0077.ppm yang merupakan Gambar dari citra
STARE [17]. Hasilnya dapat dilihat pada Gambar
4, Gambar 5, Gambar 6, dan Tabel 1.
Gambar 3 Citra im0077.ppm Uji Coba I
(a)
(b)
Gambar 4 Hasil uji coba I dengan nilai skala
kernel 10,5 untuk pembuluh tebal dan
4 untuk pembuluh tipis; (a) citra
green channel; (b) hasil ekstraksi
(a)
(b)
Gambar 5 Hasil uji coba I dengan nilai skala
kernel 5 untuk pembuluh tebal dan
1,5 untuk pembuluh tipis; (a) citra
green channel; (b) hasil ekstraksi
(a)
(b)
Gambar 6 Hasil uji coba I dengan nilai skala
kernel 1.5 untuk pembuluh tebal dan
1 untuk pembuluh tipis; (a) citra
green channel; (b) hasil ekstraksi
Tabel 1 Hasil akurasi, TPR, dan FPR dari hasil
ekstraksi citra pada uji coba I citra
im0077.ppm
Uji coba lainnya dilakukan pada citra
19_test.tif yang merupakan Gambar dari citra
DRIVE [18]. Citra ini ditunjukkan pada Gambar 7.
Hasilnya dapat dilihar pada Gambar 8, Gambar 9,
Gambar 10, dan Tabel 2.
No Nilai skala kernel
Nilai Akurasi
(%)
TPR (%)
FPR (%)
1 (10,5 & 4,0) 90 78 9 2 (5,0 & 1,5) 92 83 6 3 (1,5 & 1,0) 95 79 3
MAKALAH SEMINAR TUGAS AKHIR PERIODE JANUARI 2012
11
Gambar 7 Citra masukan 19_test.tif uji coba I
(a)
(b)
Gambar 8 Hasil uji coba I dengan nilai skala
kernel 10,5 untuk pembuluh tebal dan
4 untuk pembuluh tipis; (a) citra green
channel; (b) hasil ekstraksi
(a)
(b)
Gambar 9 Hasil uji coba I dengan nilai skala
kernel 5 untuk pembuluh tebal dan
1,5 untuk pembuluh tipis; (a) citra
green channel; (b) hasil ekstraksi
(a)
(b)
Gambar 10 Hasil uji coba I dengan nilai skala
kernel 1,5 untuk pembuluh tebal dan
1 untuk pembuluh tipis; (a) citra
green channel; (b) hasil ekstraksi
Tabel 2 Hasil akurasi, TPR, dan FPR dari hasil
ekstraksi citra pada uji coba I citra
19_test.tif
Hasil rata-rata akurasi, TPR, dan FPR dari
masing-masing dataset dapat dilihat pada Tabel 3
dan Tabel 4.
Tabel 3 Hasil akurasi, TPR, dan FPR dari hasil
ekstraksi citra STARE pada uji coba I
No Nilai skala
kernel
Rata-rata Nilai
Akurasi (%)
Rata-rata Nilai TPR
(%)
Rata-rata Nilai FPR
(%)
1 (10,5 & 4,0) 89,6 73,8 8,8 2 (5,0 & 1,5) 91,6 75,0 6,2 3 (1,5 & 1,0) 95,0 77,0 3,0
Tabel 4 Hasil akurasi, TPR, dan FPR dari hasil
ekstraksi citra DRIVE pada uji coba I
No Nilai skala kernel
Rata-rata Nilai
Akurasi (%)
Rata-rata Nilai TPR
(%)
Rata-rata Nilai FPR
(%)
1 (10,5 & 4,0) 88,4 55,0 6,8 2 (5,0 & 1,5) 92,8 67,4 3,6 3 (1,5 & 1,0) 93,8 64,2 1,6
Dari nilai akurasi, TPR, dan FPR hasil
ekstraksi citra ditunjukkan bahwa pemilihan nilai
skala kernel mempengaruhi nilai akurasi, TPR, dan
FPR hasil ekstraksi citra. Apabila selisih nilai skala
kernel antara pembuluh tebal dan pembuluh tipis
besar, maka akan semakin sedikit pembuluh yang
masuk dalam ekstraksi dan daerah non pembuluh
yang juga memiliki respon maksimal terhadap
filter akan terdeteksi, sehingga nilai akurasi
mengecil, TPR mengecil, dan FPR membesar.
Sebaliknya, apabila selisih nilai skala kernel antara
No Nilai skala kernel
Nilai Akurasi
(%)
TPR (%)
FPR (%)
1 (10,5 & 4,0) 89 60 7 2 (5,0 & 1,5) 94 73 3 3 (1,5 & 1,0) 95 71 1
MAKALAH SEMINAR TUGAS AKHIR PERIODE JANUARI 2012
12
pembuluh tebal dan pembuluh tipis kecil, maka
akan semakin banyak pembuluh yang terdeteksi
dan daerah non pembuluh yang menghilang
sehingga nilai akurasi membesar, TPR membesar,
dan FPR semakin mengecil. Dari hasil percobaan
menunjukkan bahwa nilai skala kernel 1,5 untuk
pembuluh tebal dan 1 untuk pembuluh tipis akan
menghasilkan akurasi, TPR, dan FPR terbaik.
4.3 Uji Coba Perbandingan Hasil Akurasi,
TPR, dan FPR dengan Nilai L yang Berbeda-
beda
Pada skenario uji coba yang pertama ini
akan dibandingkan nilai akurasi, TPR, dan FPR
ekstraksi citra yang dihasilkan dari masing-masing
citra dengan nilai L yang berbeda-beda. L adalah
panjang dari neighborhood sepanjang sumbu y. Uji
coba pertama skenario ini akan diujikan pada citra
im0163.ppm yang merupakan Gambar dari citra
STARE [6]. Citra ini dapat dilihat pada Gambar
11. Pada skenario ini, nilai L akan diubah-ubah
Nilai L 1 untuk pembuluh tebal dan 9 untuk
pembuluh tipis, nilai L 3 untuk pembuluh tebal
dan 2 untuk pembuluh tipis, serta nilai L 9 untuk
pembuluh tebal dan 5 untuk pembuluh tipis. Nilai-
nilai ini ditentukan sebagai parameter nilai L. Dari
nilai-nilai L tersebut, akan diimplementasikan pada
citra masukan im0163.ppm. yang merupakan
Gambar dari citra STARE [6]. Hasilnya dapat
dilihat pada Gambar 12, Gambar 13, Gambar 14,
dan Tabel 5.
Gambar 11 Citra masukan im0163.ppm uji coba II
Tabel 5 Hasil akurasi, TPR, dan FPR dari hasil
ekstraksi citra pada uji coba II citra
im0163.ppm
No Nilai L Nilai Akurasi
(%)
TPR (%)
FPR (%)
1 (1 & 9) 87 67 10,0 2 (3 & 2) 96 80 3,0 3 (9 & 5) 96 80 2,0
(a)
(b)
Gambar 12 Hasil uji coba II dengan nilai L 1
untuk pembuluh tebal dan 9 untuk
pembuluh tipis; (a) citra green
channel; (b) hasil ekstraksi
(a)
(b)
Gambar 13 Hasil uji coba II dengan nilai L 3
untuk pembuluh tebal dan 2 untuk
pembuluh tipis; (a) citra green
channel; (b) hasil ekstraksi
MAKALAH SEMINAR TUGAS AKHIR PERIODE JANUARI 2012
13
(a)
(b)
Gambar 14 Hasil uji coba II dengan nilai L 9
untuk pembuluh tebal dan 5 untuk
pembuluh tipis; (a) citra green
channel; (b) hasil ekstraksi
Uji coba lainnya dilakukan pada citra
15_test.tif yang merupakan Gambar dari citra
DRIVE [2]. Citra ini ditunjukkan pada Gambar 15.
Hasilnya dapat dilihar pada Gambar 16, Gambar
17, Gambar 18, dan Tabel 6.
Gambar 15 Citra masukan 15_test.tif uji coba II
(a)
(b)
Gambar 16 Hasil uji coba II dengan nilai L 1 untuk
pembuluh tebal dan 9 untuk pembuluh
tipis; (a) citra green channel; (b) hasil
ekstraksi
Hasil rata-rata akurasi, TPR, dan FPR dari
masing-masing dataset dapat dilihat pada Tabel 7
dan Tabel 8.
(a)
(b)
Gambar 17 Hasil uji coba II dengan nilai L 3 untuk
pembuluh tebal dan 2 untuk pembuluh
tipis; (a) citra green channel; (b) hasil
ekstraksi
(a)
(b)
Gambar 18 Hasil uji coba II dengan nilai L 9 untuk
pembuluh tebal dan 5 untuk pembuluh
tipis; (a) citra green channel; (b) hasil
ekstraksi
Tabel 6 Hasil akurasi, TPR, dan FPR dari hasil
ekstraksi citra pada uji coba II citra
15_test.tif
No Nilai L Nilai Akurasi
(%)
TPR (%)
FPR (%)
1 (1 & 9) 75 61 23,0 2 (3 & 2) 93 65 4,0 3 (9 & 5) 95 64 2,0
Tabel 7 Hasil akurasi, TPR, dan FPR dari hasil
ekstraksi citra STARE pada uji coba II
No Nilai L Rata-rata Nilai
Akurasi (%)
Rata-rata Nilai TPR
(%)
Rata-rata Nilai FPR
(%)
1 (1 & 9) 87,4 65,0 9,6 2 (3 & 2) 94,8 76,0 3,0 3 (9 & 5) 95,4 76,2 2,2
MAKALAH SEMINAR TUGAS AKHIR PERIODE JANUARI 2012
14
Tabel 8 Hasil akurasi, TPR, dan FPR dari hasil
ekstraksi citra DRIVE pada uji coba II
No Nilai L Rata-rata Nilai
Akurasi (%)
Rata-rata Nilai TPR
(%)
Rata-rata Nilai FPR
(%)
1 (1 & 9) 77,2 64,2 20,8000 2 (3 & 2) 92,2 63,0 3,6000 3 (9 & 5) 93,6 62,8 2,0000
Dari nilai akurasi, TPR, dan FPR hasil
ekstraksi citra ditunjukkan bahwa pemilihan nilai L
mempengaruhi nilai akurasi, TPR, dan FPR hasil
ekstraksi citra. Apabila nilai L yang digunakan
untuk pembuluh tipis bernilai besar sedangkan
nilai L yang digunakan untuk pembuluh tebal
sangat kecil, maka akan semakin banyak pembuluh
darah kecil dan garis non pembuluh yang masuk
dalam ekstraksi, sehingga nilai akurasi mengecil,
TPR baik, dan FPR membesar. Apabila nilai L
yang digunakan antara pembuluh tebal dan
pembuluh tipis tidak berbeda jauh masih terdapat
cabang-cabang pembuluh darah kecil yang
terekstraksi sehingga walaupun nilai akurasi dan
TPR sudah cukup bagus, nilai FPR dapat
membesar. Dari hasil percobaan menunjukkan
bahwa nilai L 9 untuk pembuluh tebal dan 5 untuk
pembuluh tipis akan menghasilkan akurasi, TPR,
dan FPR terbaik.
5 Evaluasi
Dari hasil uji coba yang telah dilakukan,
beberapa parameter yang digunakan selama uji
coba memberikan pengaruh terhadap hasil proses
ekstraksi pembuluh retina dengan metode matched
filter dan first-order derivative of Gaussian pada
citra fundus mata berwarna. Keterangan dari setiap
pengaruh yang dihasilkan oleh parameter yang
berbeda antara lain:
1. Nilai skala kernel
Nilai skala kernel yang digunakan dalam
proses filtering citra memberikan pengaruh
terhadap hasil akurasi, TPR, dan FPR ekstraksi
citra. Jika selisih nilai skala kernel antara
pembuluh tebal dan pembuluh tipis besar,
maka akan semakin sedikit pembuluh yang
masuk dalam ekstraksi. Selain itu selisih nilai
yang besar ini juga berpengaruh terhadap
daerah non pembuluh. Daerah non pembuluh
yang juga memiliki respon maksimal terhadap
filter akan terdeteksi, sehingga nilai akurasi
mengecil, TPR mengecil, dan FPR membesar.
Sebaliknya, apabila selisih nilai skala kernel
kecil, maka akan semakin banyak pembuluh
yang terdeteksi dan daerah non pembuluh yang
menghilang, sehingga nilai akurasi membesar,
TPR membesar, dan FPR mengecil. Hal ini
juga dapat dilihat dari hasil ekstraksi pembuluh
darah. Apabila selisih nilai skala kernel antara
pembuluh tebal dan pembuluh tipis besar maka
akan banyak cabang-cabang pembuluh darah
yang hilang dalam citra hasil ekstraksi. Selain
itu daerah non pembuluh seperti optic disk atau
macula dapat muncul pada citra. Apabila
selisih nilai skala kernel antara pembuluh tebal
dan pembuluh tipis kecil, maka banyak
pembuluh darah yang sesuai dengan ground
truth muncul pada citra.
2. Nilai L
Nilai L yang digunakan dalam proses filtering
memberikan pengaruh terhadap hasil akurasi,
TPR, dan FPR ekstraksi citra. L adalah
panjang dari neighborhood sepanjang sumbu y.
Apabila nilai L yang digunakan untuk
pembuluh tipis bernilai besar sedangkan nilai L
yang digunakan untuk pembuluh tebal sangat
kecil, maka akan semakin banyak pembuluh
darah tipis dan garis non pembuluh yang
masuk dalam ekstraksi, sehingga nilai akurasi
mengecil, TPR mengecil, dan FPR membesar.
Apabila nilai L yang digunakan antara
pembuluh tebal dan pembuluh tipis tidak
berbeda jauh masih banyak cabang-cabang
pembuluh darah kecil yang terekstraksi
sehingga walaupun nilai akurasi dan TPR
sudah cukup bagus, nilai FPR dapat membesar.
Hal ini juga dapat dilihat dari hasil ekstraksi
pembuluh darah. Apabila nilai L yang
digunakan untuk pembuluh tipis bernilai besar
sedangkan nilai L yang digunakan untuk
pembuluh tebal sangat kecil, sangat banyak
cabang-cabang kecil dari pembuluh darah yang
muncul pada citra. Selain itu banyak garis non
pembuluh darah terlihat pada citra. Apabila
nilai L yang digunakan antara pembuluh tebal
dan pembuluh tipis tidak berbeda jauh, pada
citra masih terdapat noise berupa cabang-
cabang pembuluh yang sangat kecil.
MAKALAH SEMINAR TUGAS AKHIR PERIODE JANUARI 2012
15
Dibutuhkan nilai L yang tepat (yang dalam
hasil percobaan sistem ini untuk pembuluh
tebal 9 dan pembuluh tipis 5) agar nilai akurasi
dan TPR tinggi, tetapi nilai FPR rendah.
6 Kesimpulan
Berdasarkan hasil uji coba yang telah
dilakukan, terdapat beberapa kesimpulan yang
dapat diambil, yaitu:
1. Dengan melihat hasil uji coba terbukti
bahwa algoritma ekstraksi pembuluh retina
dengan metode matched filter dan first-
order derivative of Gaussian ini dapat
melakukan ekstraksi dengan baik citra
fundus mata berwarna sehingga didapatkan
hasil ekstraksi berupa pembuluh darah
retina.
2. Nilai skala kernel yang digunakan dalam
proses filtering mempengaruhi hasil
akurasi, TPR, dan FPR ekstraksi citra dari
proses algoritma ini. Semakin besar selisih
nilai skala kernel antara pembuluh tebal
dan tipis, maka semakin sedikit pembuluh
yang terekstraksi dan semakin banyak
daerah non pembuluh yang terdeteksi,
sehingga nilai akurasi mengecil, TPR
mengecil, dan FPR membesar. Apabila
selisih nilai skala kernel antara pembuluh
tebal dan pembuluh tipis kecil, maka
banyak pembuluh darah yang sesuai
dengan ground truth muncul pada citra.
3. Nilai L yang digunakan dalam proses
filtering mempengaruhi hasil akurasi, TPR,
dan FPR ekstraksi citra dari proses
algoritma ini. Apabila nilai L yang
digunakan untuk pembuluh tipis bernilai
besar sedangkan nilai L yang digunakan
untuk pembuluh tebal sangat kecil, sangat
banyak cabang-cabang kecil dari pembuluh
darah dan garis non pembuluh darah yang
terlihat pada citra. Apabila nilai L yang
digunakan antara pembuluh tebal dan
pembuluh tipis tidak berbeda jauh, pada
citra masih terdapat noise berupa cabang-
cabang pembuluh yang sangat kecil.
Dibutuhkan beberapa kali percobaan untuk
menghasilkan nilai L yang tepat sehingga
akan menghasilkan tingkat akurasi dan
TPR yang tinggi juga tingkat FPR yang
rendah.
Referensi
[1] Patton, N., Aslam, T.M., MacGillivray, T.,
Deary, I.J., Dhillon, B., Eikelboom, R.H.,
Yogesan, K., dan Constable, I.J. 2006.
Retinal image analysis: concepts,
applications and potential. Progress in
Retinal and Eye Research 25, 1:99-127.
[2] J.J. Staal, M.D. Abramoff, M. Niemeijer,
M.A.Viergever, B. van Ginneken, Ridge
based vessel segmentation in color images of
the retina, IEEE Trans. Med. Imaging
(2004) 501–509.
[3] J.V.B. Soares, J.J.G. Leandro, R.M. Cesar
Jr., H.F. Jelinek, M.J. Cree, Retinal vessel
segmentation using the 2-d gabor wavelet
and supervised classification, IEEE Trans.
Med. Imaging 25 (2006) 1214–1222.
[4] M. Niemeijer, J.J. Staal, B. van Ginneken,
M. Loog, M.D. Abramoff, Comparative
study of retinal vessel segmentation methods
on a new publicly available database, SPIE
Med. Imaging 5370 (2004) 648–656.
[5] M. Martı ́nez-Pe ́rez, A. Hughes, A. Stanton,
S. Thom, A. Bharath, K. Parker, Scale-space
analysis for the characterisation of retinal
blood vessels, Med. Image Comput.
Computer-Assisted Intervention (1999)
90–97.
[6] A. Hoover, V. Kouznetsova, M. Goldbaum,
Locating blood vessels in retinal images by
piecewise threshold probing of a matched
filter response, IEEE Trans. Med. Imaging
19 (3) (2000) 203–210.
[7] X. Jiang, D. Mojon, Adaptive local
thresholding by verification based
multithreshold probing with application to
vessel detection in retinal images, IEEE
Trans. Pattern Anal. Mach. Intell. 25 (1)
(2003) 131–137.
[8] A.M. Mendonca, A. Campilho,
Segmentation of retinal blood vessels by
combining the detection of centerlines and
MAKALAH SEMINAR TUGAS AKHIR PERIODE JANUARI 2012
16
morphological reconstruction, IEEE Trans.
Med. Imaging 25 (9) (2006) 1200–1213.
[9] M.E. Martinez-Perez, A.D. Hughes, S.A.
Thom, A.A. Bharath, K.H. Parker,
Segmentation of blood vessels from red-free
and fluorescein retinal images, Med. Image
Anal. 11 (1) (2007) 47–61.
[10] H. Leung, J.J. Wang, E. Rochtchina, T.Y.
Wong, R. Klein, P. Mitchell, Impact of
current and past blood pressure on retinal
arteriolar diameter in older population, J.
Hypertens. (2003) 1543–1549.
[11] P. Mitchell, H. Leung, J.J. Wang, E.
Rochtchina, A.J. Lee, T.Y. Wong, R. Klein,
Retinal vessel diameter and open-angle
glaucoma: the Blue Mountains eye study,
Ophthalmology (2005) 245–250.
[12] J.J. Wang, B. Taylor, T.Y. Wong, B. Chua,
E. Rochtchina, R. Klein, P. Mitchell, Retinal
vessel diameters and obesity: a population-
based study in older persons, Obes. Res.
(2006) 206–214.
[13] Gonzales, R.C., et al. 2004. Digital Image
Processing Using MATLAB 3rd
edition.
United States of America : Prentice Hall.
[14] Wikipedia. 2011. Image Histogram, <URL:
http://en.wikipedia.org/wiki/Image_histogra
m diakses 2 Januari 2012>.
[15] S. Chaudhuri, S. Chatterjee, N. Katz, M.
Nelson, M. Goldbaum, “Detection of blood
vessels in retinal images using two-
dimensional matched filters”, IEEE Trans.
Med. Imaging 8 (3) (1989) 263–269.
[16] B. Zhang, Lin Zhang, Lei Zhang, F. Karray,
Retinal vessel extraction by matched filter
with first-order derivative of gaussian,
Computers in Biology and Medicine 40
(2010) 438-445
[17] STARE Structured Analysis of The
Retina.2000.STAREDatabase,<URL:http://
www.parl.clemson.edu/stare/probing/stare-
images.tar diakses pada 15 Oktober 2011>
[18] DRIVE Digital Retinal Image for Vessel
Extraction.2004.DriveDatabase,<URL:http:
//www.isi.uu.nl/Research/Databases/DRIVE/
diakses pada 15 Oktober 2011>
top related