ilmu nasikh mansukh
Post on 19-Jul-2015
413 Views
Preview:
TRANSCRIPT
ILMU NASIKH MANSUKH
Makalah diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah
STUDI AL-QUR’AN
Oleh:
Nur Alfiyatur Rochmah (B06213037)
Dosen Pengampu:
Prof.Dr.H.Aswadi,M.Ag
JURUSAN ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA
2013
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim…
Syukur Alhamdulillah saya panjatkan kehadirat Allah swt yang telah
melimpahkan rahmat hidahnya, sehingga saya bisa menyelesaikan tugas makalah
ini.
Sholawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad
saw, yang telah membimbing umatnya ke jalan yang benar dan diridloi Allah swt.
Tidak lupa saya ucapkan terima kasih kepada Bapak Prof.Dr.H.Aswadi,M.Ag
selaku dosen mata kuliah STUDI AL-QUR’AN yang memberikan pengajaran
kepada mahasiswa tentang mata kuliah ini.
Setiap permasalahan pasti ada pemecahan, adapun masalah hukum-hukum
Al-Qur’an yang dianggap memiliki kemiripan atau perbedaan dapat dipecahkan
melalui ilmu Nasikh Mansukh. Dalam makalah ini menjelaskan tentang
pengertian, syarat & jenis-jenis nasikh mansukh serta urgensi dan pendapat ulama
tentang Nasikh Mansukh. Sebelumnya mohon maaf apabila terdapat kesalahan
dalam penulisan makalah ini.
Surabaya, 17 September 2013
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Fenomena naskh yang keberadaannya diakui oleh mayoritas ulama,
merupakan bukti terbesar, bahwa ada dialektika hubungan antara wahyu dan
realitas. Sebab naskh adalah pembatalan atau penggantian hokum, baik dengan
menghapuskan, dan menghilangkan teks yang menunjuk hokum dari bacaan
(dengan tidak dimasukkan dalam kondifikasi al-Qur’an), atau membiarkan teks
tersebut tetap ada sebagai petunjuk adanya ‘hukum’ yang di-mansukh.
Pengetahuan tentang nasikh dan mansukh menurut Ali ra. bagi yang tidak
mengetahui akan menjadikan dirinya celaka dan mencelakakan. 1 Sedangkan
Nasikh dan Mansukh menurut Ibnu Hazm adalah ruknul adzam (rukun yang
paling besar) dalam ijtihad adalah mengetahui naql (pemindahan sunnah) dan
faedah naql adalah mengetahui nasikh dan mansukh. Masih banyak persoalan
yang terkandung dalam nasikh dan mansukh, apakah nasakh dengan Had its dapat
dibenarkan atau tidak. Begitu juga naskh dalam pemikiran agama yang hegemoni
dan dominan yang melahirkan berbagai problem. Juga mengenai pengertian
Nasikh Mansukh secara Etimologi dan Terminologi.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan ilmu Nasikh mansukh?
2. Perbedaan pendapat diantara ulama tentang Nasikh Mansukh
3. Apa saja syarat-syarat dan jenis-jenis Nasikh
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud Nasikh Mansukh
2. Untuk mengetahui perbedaan pendapat diantara ulama tentang Nasikh
Mansukh
3. Agar pembaca mengetahui bagaimana sajakah karakteristik Nasikh
Mansukh.
1 Drs.H.M.Shalahuddin Hamid,Study ulumul Qur’an. 304
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Nasikh dan Mansukh
Menurut bahasa nasikh dan mansukh berasal dari kata nasakha yang
berarti: menghilangkan, membatalkan, memindahkan atau menyalin. Dengan
demikian nasikh berarti: dengan makna menghilangkan berarti ia menghapusnya
(berlaku dalam isim fail) sedangkan dengan makna memindahkan berarti
memindahkan dari ayat maupun Hadits.
Sedangkan Mansukh berarti: yang terhapus (berlaku untuk ism maf’ul).
Kata-kata tersebut terdapat dalam QS.al-Baqarah 2:106) “dan kami tidak
hapuskan satu ayat atau kami melupakannya kami pasti mendatangkan dengan
yang lebih baik darinya”.
Ulama salaf bahkan memperluas arti nasikh hingga mencakup:
a. Pembatalan hukum yang ditetapkan oleh hukum yang ditetapkan
kemudian.
b. Pengecualian hukum yang bersifat umum oleh hukum yang spesifik yang
datang kemudian.
c. Penjelasan susulan terhadap hukum yang bersifat umum.
d. Penetapan syarat bagi hukum yang datang kemudian guna membatalkan
atau menyatakan berakhirnya masa berlakunya hukum yang terdahulu.
Secara Etimologi Nasikh memiliki beberapa arti antara lain;
1. Al-Izalah wa al-I’dam (menghapus/menghilangkan) seperti yang terdapat
dalam QS.Al-Hajj:52 “Allah menghilangkan apa yang dimasukkan oleh
syaitan itu & Allah menguatkan ayat-ayat-Nya”.
2. At-Taghyir wa al-Ibtal wa Iqamah ash-shai’ maqamahu
(mengganti/menukar)
3. At-Tahwil ma baqa’ihi fi nafsihi/at-Tabdil (memalingkan/memindahkan)
4. An-naql min kitab ila kitab (menyalin/mengutip)
Namun makna yang paling relevan menurut pandangan para pendukung
adanya teori & konsep Nasikh Mansukh adalah poin kedua At-Taghyir wa al-Ibtal
wa Iqamah ash-shai’ maqamahu (mengganti/menukar) atau poin ke tiga yaitu At-
Tahwil ma baqa’ihi fi nafsihi/at-Tabdil (memalingkan/memindahkan).
Sedangakan Nasikh Secara Terminologi adalah menggantikan hukum
syara’ dengan memakai dalil syara’ dengan adanya tenggang waktu, dengan
catatan kalau sekiranya tidak ada nasikh itu tentulah hukum yang pertama akan
tetap berlaku. Seperti contoh yang terdapat dalam QS.al-Mujadalah:12-13. Nasikh
secara Terminologi tersebut memiliki dua konotasi;
1) Hukum syara’ atau dalil syara’ yang mengganti dalil syara’ yang
mendahuluinya. Contoh; QS.al-Mujadalah:13 (nasikh) menggantikan ayat
sebelumnya (12)
2) Hanya Allah SWT. Yang berhak mengganti, sebagaimana pernyataan
QS.al-An’am: 57 “Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia
menerangkan yang sebenarnya dan Dia Pemberi keputusan yang paling
baik”
Secara Etimologi, Mansukh berarti sesuatu yang diganti
Dan Secara Terminologi, Mansukh berarti hukum syara’ yang menempati
posisi awal, yang belum diubah dan belum diganti dengan hukum syara’ yang
datang kemudian.
B. Syarat-syarat Nasikh
1. Hukum yang dimansukh harus berupa hukum syara’ (bukan hukum akal
dan bukan hukum manusia), yakni dari Allah & rasul-Nya. Dan dalil yang
mengganti (Nasikh) juga harus berupa dalil syara’(Al-Qur’an, As-Sunnah,
Ijma’, Qiyas) seperti yang terdapat dalam QS.an-Nisa’:59
2. Adanya dalil baru yang mengganti (nasikh) harus setelah ada tenggang
waktu dari dalil hukum yang pertama (mansukh).
3. Antara dalil nasikh & mansukh / antara dalil satu dengan dalil dua
tersebut harus ada pertentangan yang nyata (kontradiktif).
4. Dalil yang mengganti (nasikh) harus bersifat mutawattir karena dalil yang
ketetapan hukumnya telah terbukti secara pasti, maka tidak dapat dinasikh
kecuali oleh hukum yang terbukti secara pasti pula.2
3. Jenis-jenis Nasikh
a. Menurut ulama ushul fiqih3
1. Yang dinasakh dalam kitab bacaannya, tetapi hukumnya tetap,
contohnya dalam ayat yang menyebut “orang yang sudah tua laki-
2 As-Shatibiy, al-muwafaqat fi ushul al -fiqh (Beirut: Dar al -ma’ari,1975)III:105 3 Drs.Moh Riva’I, Ushul fiqih (bandung: Almaarif,1993) III:92 -95
laki maupun perempuan, jika berzina rajamlah keduanya, tidak
boleh tidak”
2. Dinasakh hukumnya tetapi bacaannya tetap, misalnya QS.Al-
Baqarah:240 “dan orang-orang yang akan meninggal dunia
diantara kamu dan meninggalkan istri, hendaklah berwasiat untuk
istri-istrinya (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dengan
tidak disuruh pindah dari rumahnya”. Dari ayat ini di fahamkan,
bahwa ‘iddah wafat itu satu tahun lamanya, tetapi dinasakh dengan
QS.Al-Baqarah:234 “orang-orang yang meninggal dunia
diantaramu denagn meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri
itu) menangguhkan dirinya (ber’iddah) empat bulan sepuluh hari”.
3. Dinasakh bacaannya beserta hukumnya bersama-sama; misalnya
hadits Muslim dari ‘Aisyah ra. yang mengatakan bahwa:”Menurut
ayat yang pernah diturukan (dalam Al-Qur’an) sepuluh kali
menyusu yang diketahui itu menjadikan haram”.”kemudian
dinasakh dengan lima kali menyusu yang diketahui itu menjadikan
haram”. Tegasnya, dahulu pernah diturunkan bahwa sampai
mengharamkan (menjadi haram) antara anak dan ibu susuan itu
apabila telah sampai sepuluh kali susuan. Kemudian dinasakh
dengan ayat yang menerangkan lima kali susuan sudah cukup
menjadi batas bagi haramnya antara anak susuan dan ibu susuan.
4. Nasakh kitab dengan Sunnah
5. Nasakh sunnah dengan sunnah; misalnya, tentang ziarah kubur.
6. Nasakh sunnah dengan kitab; misalnya menasakh menghadap
Baitul Maqdis. “Bahwasanya Nabi saw menghadap (Baitul
Maqdis) dalam shalat enam belas bulan”.(Sepakat Ahli Hadits)
dinasakhkan oleh ayat QS.Al-Baqarah:144, “Hadapkanlah
mukamu ke arah Masjidil Haram”
b. Menurut segi keberadaannya
1. Nasakh al-Qur’an dengan al-Qur’an
2. Nasakh al-Qur’an dengan sunnah
3. Nasakh Sunnah dengan alQur’an
4. Nasakh Sunnah dengan Sunnah
4. Karakteristik Nasikh Mansukh
a. Bila ada dua ayat hukum yang nampak saling bertentangan dan tidak dapat
dikompromikan
b. Harus diketahui secara meyakinkan perurutan turunnya ayat-ayat tersebut,
sehingga ayat yang lebih dahulu ditetapkan sebagai mansukh, dan ayat
yang turun kemudian sebagai Nasikh.
5. Urgensitas Ilmu Nasikh-Mansukh dalam Studi Pemahaman al-Qur’an
Ilmu Nasikh Mansukh dalam penggalian ajaran dan hukum islam dalam
al-qur’an sangat penting untuk mengetahui proses Tashri’ (penetapan dan
penerapan hukum) Islam sejalan dengan dinamika kebutuhan masyarakatnya yang
selalu berubah, sejauhmana elastisitas ajaran dan hukumnya, serta sejauhmana
perubahan hukum itu berlaku. Disamping itu untuk menelusuri tujuan ajaran, dan
illat hukum (alasan ditetapkannya suatu hukum), sehingga suatu hukum dan
ajarannya boleh diberlakukan secara longgar (rukhsah) dan ketat sebagaimana
hukum asalnya (a’zimah) sesuai kondisi yang mengitarinya atas dasar tujuan
ajaran dan illat hukum tersebut.
6. Pendapat Ulama Tentang Nasikh Mansukh
Perbedaan pendapat dikalangan ulama lebih pada masalah hubungan
antara hukum dan realitas di masyarakat. Ada ulama memandang bahwa secara
legal al-Qur’an merupakan keharusan yang tidak dapat diubah.
Abu Muslim al-Isfahany berpendapat nasakh secara akal bisa diterima,
tetapi dalam prakteknya tidak bisa terjadi terlebih dalam al-Qur’an karena Allah
berfirman:”Tidak datang kepadanya (al-Qur’an) kebatilan baik dari depan
maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari tuhan yang Maha Bijaksana lagi
Maha Terpuji” (QS.Fusshilat 41:42). Dia berpendapat ayat al-Qur’an tidak
menerima pembatalan dan ia menjadikan ayat-ayat nasakh ke dalam takhsis.4
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Memahami Nasikh Mansukh penting dalam upaya memahami hukum
secara sempurna dan benar, sehingga secara bijaksana dapat memutuskan hukum
yang adil.
4Drs.H.M. Shalahuddin, Hamid. 2002. Study Ulumul Qur’an. 305
Disamping itu bahwa nasikh pada umumnya berupa perubahan hukum
kepada yang lebih ringan, sehingga dengan adanya nasikh dan mansukh ummat
betul-betul dapat merasakan kemurahan dan rahmat Allah swt.
Hikmah memahami Nasikh Mansukh menurut mana’a sebagai berikut:
1. Memelihara kemaslahatan umat.
2. Mengembangkan penetapan syara’ hukum sampai pada tingkat
kesempurnaan sesuai dengan perkembangan da’wah dan kondisi manusia
itu sendiri.
3. Menguji kualitas keimanan mukallaf dengan cara adanya suruhan yang
kemudian dihapus.
4. Merupakan kebaikan dan kemudahan bagi ummat. Apabila ketentuan
nasikh lebih berat dari ketentuan mansukh, maka berarti mengandung
penambahan pahala, sebaliknya jika ketentuan dalam nasikh lebih mudah
dari pada ketentuan mansukh itu berate kemudahan dan rahmat bagi umat.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qattan, Mana’ Khalil. 2000. Mabahith Fi ‘Ulum al-Qur’an, Tt: Maktabah
al-Ma’arif li al-Nashr Wa al-Tawzi’.
Hamid, Shalahuddin. 2002. Study Ulumul Qur’an, Jakarta: Intimedia.
Musyafa’ah, Sauqiyah.dkk. 2012. Studi Al-Qur’an. Surabaya: IAIN Sunan
Ampel Presss
Riva’i, Moh. 1993. Ushul Fiqih, Bandung: Almaarif.
Yunus, Mahmud. 1941. Ilmu mushtholahul hadits, Jakarta: Sa’adiyah Putra.
top related