hanta ua pua sejarah tradisi keagamaan di bima …
Post on 11-Nov-2021
3 Views
Preview:
TRANSCRIPT
HANTA UA PUA:
SEJARAH TRADISI KEAGAMAAN DI BIMA ABAD XVII-XXI
Skripsi
Diajukan untuk memenuhi persyaratan memperoleh Gelar Sarjana
Humaniora (S.Hum)
Oleh:
JUMIATI
NIM: 1112022000034
PROGRAM STUDI SEJARAH DAN KEBUDAYAAN ISLAM
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1438 H/2017
i
MOTTO
Keberhasilan adalah kemampuan untuk melewati dan mengatasi dari satu kegagalan
ke kegagalan berikutnya tanpa kehilangan semangat.
(Winston Chuchill)
ii
KATA PENGANTAR
مسب رب هالل ح ب هالل مسبر
Segala puja dan puji bagi Allah SWT dzat yang maha penggenggam segala
sesuatu yang ada dan tersembunyi di balik jagat semesta alam, dzat yang maha
meliputi segala sesuatu yang terpikir maupun yang tidak terpikir. Shalawat serta salam
semoga senantiasa tercurah atas Nabi Muhammad SAW, keluarganya, sahabatnya, dan
bagi seluruh umat Islam yang terjaga atas sunnahnya.
Alhamdulillah, penulis mengucapkan rasa syukur kepada Allah SWT atas segala
rahmat dan pertolonganNya, sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Karena tanpa
rahmat dan pertolonganNya tidaklah mungkin penulis dapat menyelesaikan skripsi
ini.
Skripsiب yangب berjudulب “Hanta Ua Pua: Sejarah Tradisi Keagamaan Di Bima
Abab XVII-XXI” penulis gunakan untuk memenuhi persyaratan kelulusan yang
ditempuh mahasiswa Sejarah dan Kebudayaan Islam (SKI). Penulis tertarik
mengangkat tema ini karena melihat bahwa Hanta Ua Pua merupakan tradisi Islam
yang berkembang dalam kehidupan masyarakat Bima yang harus dijaga
kelestariannya, karena memiliki pembahasan yang serius untuk diingat dan dihayati
karena berkaitan dengan sejarah masuknya Islam di tanah Bima. Mudah-mudahan
skripsi ini dapat bermanfaat dan berguna, khususnya bagi pribadi penulis dan
umumnya untuk mahasiswa dan masyarakat luas sebagai pengembangan keilmuan dan
bahan referensi bagi mereka yang berkonsentrasi pada bidang studi sejarah.
Dengan penuh kesadaran dan kerendahan hati, penulisan skripsi ini tidak akan
terselesaikan bila tampa bantuan serta dukungan dari berbagai pihak, baik secara moril
maupun materil. Sudah sepatutnya penulis mengucapkan terimakasih kepada pihak
yang telah memberikan bantuan serta dukungannya, sehingga skripsi ini dapat
diselesaikan. Penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:
iii
1. Prof. Dr. Dede Rosyada, M.A. selaku Rektor Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Prof. Dr. Syukron Kamil, M.A. selaku Dekan dan bapak Farhan M.A.
selaku Sekertasis Dekan Fakultas Adab dan Humaniora.
3. H. Nurhasan, S.Ag. M.A. selaku ketua Jurusan Sejarah Kebudayaan Islam
(SKI) Fakultas Adab dan Humaniora.
4. Sholikhatusب Sa’diyah,ب M.Pd.ب selakuب sekretarisب Jurusan Sejarah
Kebudayaan Islam (SKI) Fakultas Adab dan Humaniora.
5. Prof. Dr. Budi Sulistiono, selaku dosen pembimbing akademik.
6. Drs. Imam Subuhi, M.A. selaku dosen pembimbing yang telah
membimbing penulisan skripsi ini hingga selesai dengan baik.
7. Prof. Dr. M. Dien Madjid, selaku dosen penguji I.
8. Imas Emalia, M. Hum, selaku dosen penguji II.
9. Seluruh Dosen Sejarah Dan Kebudayaan Islam. Terima kasih atas
pendidikan, pengarahan, serta wawasan dan ilmu-ilmu yang telah
diberikan kepada penulis semasa kuliah.
10. Ayahanda, Abubakar H. Abdul Hamid dan Ibunda Marjan Hasan tercinta
dan tersayang yang dengan penuh kesabaran memberikan motivasi baik
moril maupun materil dan memberikan doa, ridho, dan semangat sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
11. Kakanda tersayang Jovan Masandaka, terima kasih telah mendukung dan
membantu dalam membiayai kuliah.
12. Abang Al-Haris yang telah rela mengorbankan segala tenaga, waktu, dan
materi dalam membantu penulis. Terima kasih atas perhatiannya.
13. Ahmad Zakaria S.Pd.I., selaku guru pembimbing luar kampus. Terima
kasih atas bimbingannya yang penuh dengan kesabaran dalam
mengarahkan penulis dalam menyelesaikan skripsi.
14. Adinda Yuliati yang selalu menemani.
iv
15. Seluruh teman-teman SKI angkatan 2012, terima kasih atas rasa saling
berbagi dan kebersamaannya.
16. Hasan S.Hum. terima kasih telah memberikan pinjaman buku pribadinya
dalam membantu penulis menyelesaikan skripsi.
17. Bagian administrasi dan Tata Usaha yang telah banyak membantu
memberikan kelancaran pada penulis dalam menyelesaikan administrasi.
Pimpinan dan segenap karyawan Perpustakaan Utama (PU) UIN
Syarifhidayatullah Jakarta, Perpustakaan Fakultas Adab dan Humaniora,
atas penyediaan buku-buku penunjang dan mencari berbagai literature
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
18. Semua pihak yang terlibat membantu dalam penulisan skripsi ini.
Pada akhirnya saya hanya dapat mengucapkan terimakasih yang sebesar-
besarnya. Hanya ucapan inilah yang dapat peneliti berikan, semoga Allah yang akan
membalas semua kebaikan keluarga dan sahabat-sahabat tercinta.
Amiin Ya Robbal Alamin
Jakarta, 3 April 2017
Jumiati
v
ABSTRAK
JUMIATI
Hanta Ua Pua: Sejarah Tradisi Keagamaan di Bima Abad XVII-XXI
Tradisi Hanta Ua Pua merupakan cara dan upaya masyarakat dalam
menerjemahkan pesan-pesan agama melalui sikap dan perbuatan dalam bentuk tradisi
budaya. Cara ini mampu menyentuh kesadaran masyarakat dengan melakukan upaya
yang lebih luas untuk mengadakan suatu perubahan tatanan kehidupan masyarakat
yang berlangsung, yaitu dengan menghidupkan kembali suatu tuntunan masyarakat
yang hampir terlupakan dengan tetap menjaga dan melestarikannya. Begitu besar
peran dan pengaruh Hanta Ua Pua terhadap perkembangan umat Islam di Bima, akan
tetapi peran dan pengaruhnya ini belum diungkapkan secara tertulis. Dalam studi ini
peneliti ingin menjawab masalah diatas melalui sumber tertulis, dan wawancara.
Dalam skripsi bertema budaya Islam ini membahas bagaimana sejarah dan
peran Hanta Ua Pua dalam penanaman nilai keagamaan melalui tradisi budaya Bima.
Penelitian ini menggunakan teori pertahanan budaya. Jenis penelitian ini adalah
penelitian sejarah dengan pendekatan antropologi dan bersifat kualitatif.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa dalam tradisi budaya Hanta Ua
Pua terdapat nilai-nilai keislaman yang dapat diselaraskan dengan ajaran agama. Di
samping itu tradisi Hanta Ua Pua menjadi media dalam melanjutkan dakwah
islamiah yang mengandung pesan moral yang akan disampaikan melalui tradisi Hanta
Ua Pua, yang berfungsi sebagai simbol, pengingat, dan media dalam perkembangan
Islam di Bima.
Kata Kunci: Hanta Ua Pua, Tradisi, Keagamaan, Bima, Abad XVII-XXI.
vi
DAFTAR ISI
MOTTO ……………………………………………………………..…………......... i
KATA PENGANTAR …………………………………………….………....……... ii
ABSTRAK………………………………………………………..…….……..…….. v
DAFTAR ISI …………………………………………………..………………...…. vi
GLOSSARIUM ……………………………………………..………………..…… viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang Masalah ……………………..………...……………... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah………...………………………. 4
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian……………...………………………... 4
D. Tinjauan Pustaka…………..…………………………………....……. 5
E. Kerangka Teori…………..…………………………………......….…. 7
F. Metode Penelitian……….……………………………………...…….. 8
G. SistematikaبPembahasan………………………………………..…... 10
BAB II SEKILAS TENTANG BIMA
A. Letak Geografis…………………………………………………...….12ب
B. Sosial dan Budaya ………………………………………………...… 12
C. Sekilas Tentang Sejarah Bima ……………………………….………14ب
D. Kedatangan Islam ke Bima……………………………………......…16ب
E. BAB III SEJARAH DAN PENGERTIAN HANTA UA PUA
A. Sejarah Munculnya Hanta Ua Pua ………………………………..... 20
B. Pengertian Hanta Ua Pua ……………………………………......…. 25
C. Filosofi yang Terkandung di Dalam Hanta Ua Pua ..…………….... 28
D. Tujuan Hanta Ua Pua ………………………………………..…...… 30
E. Nilai yang Terkandung dalam Hanta Ua Pua …………...……….....32ب
vii
1. Nilai Sosial……………………………………..……..…………... 33
2. Nilai Spiritual……………………………..…………..………....34 ..ب
3. NilaiبPendidikan……………………..……………..……….......... 34
4. Nilai Ekonomi…………………..…………………..….........……. 35
BAB IV HANTA UA PUA SEBAGAI BUDAYA ISLAM DI BIMA
A. Peran dan Pengaruh Hanta Ua Pua terhadap KesultananبBima37 ....…ب
B. Hanta Ua Pua sebagai Simbol Penghormatan pada Ilmu dan Ulama..41
C. Rangkaian dalam Pelaksanaan Upacara Adat Hanta Ua Pua …….... 44
D. Fungsi Hanta Ua Pua terhadap perkembangan Islam di Bima....….. 47
1. SebagaiبPengingat……………………………………………....... 49
2. Sebagai Penghormatan padaبUlama50 ......…………………………ب
3. Sebagai Momentum SilaturahmiبdanبBermusyawarah………….. 50
4. Sebagai Media atauبAlatبPerantaraبdalamبDakwahبIslam….…..... 51
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ……………………….………………………..….…..... 52
B. Saran…………………………………………………………………. 53
DAFTAR PUSTAKA …………………………….……………...………….……... 54
LAMPIRAN
viii
GLOSARIUM
Asi Mbojo : Istana Bima.
BO’ :Kitab Peraturan Pemerintahan atau Stetsel
perundang-undangan Kesultanan Bima.
Dou Mbojo : Orang Bima.
Dou Donggo : Orang Pegunungan.
Hawo ro ninu : Tempat berteduh dan berkaca (yang dimaksud
adalah Raja, Sultan, Ulama, dan pemimpin
masyarakat daerah) yang dijadikan panutan oleh
masyarakat.
Hanta Karo’a : Penyerahan Al-Quran kepada Sultan Bima.
Jena Teke : Raja muda.
Jara Wera : Pasukan kerajaan yang setia kepada Sultan.
Jara Sara’u : Kuda khas dan kuda pilihan yang terlatih dan
pandai menari dengan hentakan kaki mengikuti
irama Tambur.
Karawi Kaboju : Gotong royong.
Kampo Malaju : kampung Melayu.
Lenggo Mbojo : Gadis Bima yang menjadi penari yang menemani
penghuluب Melayuب diatasب “Uma lige”ب yangب
diususng oleh masyarakat.
Lenggo Melayu : Pemuda Melayu yang menjadi penari yang
menemaniب ب ب ب penghuluب Melayuب diatasب “Uma
lige”بyangبdiususngبolehبmasyarakat.
Malaju : Melayu.
Maja Labo Dahu : Dimaknai, Malu dan takut apabila melalaikan
segala perintah agama dan adat-istiadat.
ix
Makakamba makakimbi : Animisme dinamisme.
Mbolo ro dampa : Musyawarah dan mufakat.
Mihu : Pernyataaan kesiapan sultan untuk menerima
sekaligus memulai upacara penyerahan Ua Pua
yang berisi Kitab Suci Al-qur’an.
Mpa’a Kanja : Merupakan tarian kesatria yang dilakukan oleh
panglima perang, sebagai pernyataan setia dan
penghormatan tertinggi terhadap pemimpin
sekaligus menegaskan bahwa pemimpin telah
menyatu dengan tubuh adat dan negeri.
Panggita :بPendisainبbentukب“uma lige”
Ranca Na’e : Gong besar.
Rumata Mantau Uma Jati : Sultan yang memiliki rumah jati.
Rumata Mabata Wadu : Sultan yang mengenal batu-batu.
Rawi ma tolu kali samba’a : Kegiatan yang dilakukan 3 kali setahun.
Ro’o Nahi : Daun siri.
Sara Dana Mbojo : Pemerintah daerah Bima.
Su’u sa wa’u sia sa wale : Berusaha menjalankan kenyataan hidup dan
tidak mengeluh bila permasalahan datang, juga
bermakna siap sedia menanggung resiko dalam
menjalankan tugas dan tanggung jawab.
Sara Tua : Eksekutif.
Sara Hukum : Yudikatif.
Sara syara : Legislatif.
Suba Na’e : Nama sebuah lapangan didekat istana Kesultanan
Bima.
Tolo bali : Sawah yang dikembalikan.
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Bima adalah nama sebuah kota yang terletak di ujung timur Pulau Sumbawa,
Provinsi Nusa Tenggara Barat. Pada pertengahan abad 17 M, Bima menjadi pusat
penyiaran dan pengembangan agama Islam yang tersohor di wilayah Nusantara
bagian timur.1 Kejayaan Islam di Bima berlangsung sampai dengan pertengahan abad
20 M. Dalam penyebarannya, Islam meninggalkan bukti sejarah yang dapat kita lihat
hingga sekarang ini. Salah satu yang hingga kini masih ada bahkan menjadi tradisi
yang diwariskan kepada generasi ke generasi yaitu budaya Hanta Ua Pua, yang
dianggap sebagai budaya peninggalan Islam di Bima.
Hanta Ua Pua merupakan salah satu upacara adat yang erat kaitannya dengan
sejarah masuk agama Islam di Tanah Bima. Hanta Ua Pua adalah suatu acara rutin
dalam rangka memperingati hari lahirnya Nabi Muhammad SAW tepatnya pada
tanggal 12 rabiul awal. Dalam tradisi adat Hanta Ua Pua ini, memiliki nilai sejarah
tersendiri bagi masyarakat Bima2 yaitu dalam mengenang masa-masa masuknya
Islam di Bima. Sebagaimana yang terdapat dalam buku Bo` Sangaji Kai, hasil
suntingan Henri Chambert-Loir dan Siti Maryam R. Salahuddin (1999) bahwa Islam
masuk menjadi agama Kerajaan di Bima pada hari Kamis, 15 Rabiul Awal 1050 H(5
Juli 1640). Islam pertama kali dibawa ke Bima oleh dua orang datuk keturunan
bangsawan Melayu dari Kerajaan Pagaruyung yang sekarang masuk wilayah
Kecamatan Tanjung Emas Kabupaten Tanah Datar Sumatra Barat. Dua datuk yang
juga berprofesi sebagai saudagar tersebut bernama Datuk Dibanda dan Datuk Ditiro.
1 M. Hilir Ismail. Kembangkitan Islam Di Dana MBojo (Bima)1540-1950, (Bogor: CV Binasti,
2008), h. 1. 2 Bagi masyarakat Bima Hanta Ua Pua diidentikan dengan nilai-nilai keislaman yang dapat
diselaraskan dengan ajaran agama Islam. Hanta Ua Pua juga dijadikan sebagai hari peringatan dalam
mengenang jasa-jasa para ulama yang telah berjasa menyebarkan ajaran agama Islam di Bima.
2
Sebagian literatur menyebut keduanya dengan nama Datuk ri Bandang dan Datuk ri
Tiro. Selain ke Bima, dua datuk ini juga dikenal sebagai tokoh utama penyebar
agama Islam di Pulau Sulawesi.3
Hanta Ua Pua pertama kali diperkenalkan oleh para mubalig Islam yang datang
dari Sumatra melalui Sulawesi. Pada awalnya Hanta Ua Pua merupakan upacara
perpisahan yang segaja direncanakan oleh para mubalig Islam yang bertepatan pada
tanggal 12 Rabiul Awal, dan kini menjadi suatu upacara resmi diadakan setiap tahun
untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Upacara adat Hanta Ua
Pua juga digelar untuk menghargai dan menghormati jasa para ulama yang dahulu
telah membawa agama Islam masuk ke wilayah tersebut.
Pada hakikatnya upacara Hanta Ua Pua juga merupakan media dakwah guna
meningkatkan keimanan dan ketakwaan umat agar menjadikan al-Qur’an dan Sunnah
Rasul sebagai pedoman hidup baik dalam tatanan masyarakat maupun dalam hal
negara sesuai dengan nggusu waru4 yang pertama, yaitu “Dou maja labo dahu dei
ndai Ruma Allahu Ta’ala” Artinya orang yang merasa malu dan takut kepada Allah
SWT. Dalam nggusu waru yang pertama tersebut ada dua kata kunci, yaitu : Maja
dan Dahu. Secara harfiah, Maja berarti “malu” dan Dahu berarti “takut, yang
bermakna takwa”.5 Jadi Maja Labo Dahu berisi perintah kepada seluruh lapisan
masyarakat yang telah mengikrarkan kalimat tauhid untuk mengamalkan nilai-nilai
keimanan dan ketakwaan dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam urusan ibadah
maupun muamalah, dengan menjadikan al-Qur’an dan As-sunnah sebagai pedoman
hidup yang baik. Karena sebagai manusia yang beriman dan bertakwa kepada Allah,
mereka harus merasa malu dan takut kepada Allah, pada manusia yang lain
3 Henri Chambert-Loir & Siti Maryam R. Salahuddin, Bo' Sangaji Kai: Catatan Kerajaan
Bima, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999). 4 Hasan Abdul malik Mahmud. NGUSU WARU sebuah Kriteria Pemimpin Menurut Budaya
Lokal Mbojo, (Bima-Dompu), (yansa Yogyakarta, 2008). 5 Djamaluddin Sahidu, Kampung Orang Bima, (Mataram: 2008, cet. II), h. 52-53.
3
(masyarakat), alam, lingkungan, dan pada dirinya sendiri untuk melakukan hal-hal
yang melanggar ajaran Islam.6
Upacara adat Hanta Ua Pua menjadi simbol atau ciri khas dari budaya adat
Bima yang bercorak Islam. Upacara tersebut dilakukan oleh masyarakat secara
meriah pada setiap tahunnya.
Sebelum upacara adat Hanta Ua Pua dilaksanakan sebagai puncak peringatan
Maulid Nabi Muhammad SAW, diawali oleh kegiatan-kegiatan atraksi seni budaya
tradisional dan pengajian Al-Qur’an selama tujuh hari, tujuh malam. Upacara Hanta
Ua Pua ini digelar dengan diawali pemukulan Ranca Na’e atau gong besar pada
pukul 6 pagi dari loteng Gerbang Istana (Lare-Lare Asi). Hal tersebut sebagai
peringatan bahwa hari upacara adat telah tiba.
Upacara adat Hanta Ua Pua dilakukan dengan berpusat pada halaman muka
Istana Kesultanan Bima. Adanya uma lige (mahligai) menambah semakin
menariknya upacara adat Hanta Ua Pua ini. Uma lige memiliki bentuk segi empat
berukuran 4x4 M, berfungsi sebagai tandu untuk membawa penghulu melayu dari
daerah Kampo Malaju (Kampung Melayu) menuju Istana Kesultanan Bima.
Selain itu di dalam uma lige juga berisi Al-Qur’an yang merupakan kitab suci
umat muslim serta Ua Pua atau sirih puan dalam bahasa Melayu. Yang dimaksud
dengan Ua Pua atau sirih puan adalah 99 bunga telur dengan beraneka warna yang
diberi hiasan serta dilengkapi dengan sirih dan pinang. Uma lige tersebut akan
digotong oleh 44 pemuda yang berasal dari berbagai desa yang ada di kota Bima.
Hanta Ua Pua memiliki nilai kearifan lokal (local wisdom ) dan menjadi
pegangan dan sandaran sebagian besar masyarakat Bima, namun arus globalisasi
yang melaju dengan cepat menjadi ancaman bagi eksistensi budaya lokal Hanta Ua
Pua. Dalam hal ini perlu adanya pertahanan untuk tetap menjaga kearifan budaya
lokal yang merupakan jati diri atau identitas diri suatu bangsa dari pengaruh budaya
asing. Dalam hal ini, dibutuhkan strategi untuk meningkatkan dan memperkuat daya
6 M. Hilir Ismail, Menggali Pustaka Terpendam (Butir-Butir Mutiara Budaya Mbojo), (Bima:
2001), h. 46-47.
4
tahan budaya lokal melalui pelestarian budaya daerah. Sebagai tindak lanjut
pembangunan jati diri bangsa melalui pelestarian budaya daerah, penanaman
pemahaman atas falsafah budaya lokal juga harus dilakukan. Langkah ini akan
membantu masyarakat dalam memahami makna dari upacara adat Hanta Ua Pua.
Dari uraian di atas, penulis tertarik dan ingin mengetahui lebih dalam dengan
melakukan penelitian dan mewujudkannya dalam sebuah skripsi yang berjudul:
Hanta Ua Pua: Sejarah Tradisi Keagamaan Di Bima abab XVII-XXI
A. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Mengingat begitu banyak ragam tradisi adat yang terdapat di daerah Bima dan
untuk mengihindari meluasnya pembahasan agar dapat terkait langsung dengan titik
utama yang menjadi pembahasan, maka penulis membatasi masalah penelitian ini
tentang Hanta Ua Pua: Sejarah Tradisi Keagamaan Di Bima abab XVII-XXI.
2. Perumusan Masalah
Penulis merumuskan masalah sebagai berikut:
a. Bagaimana Sejarah munculnya Hanta Ua Pua?
b. Bagaimana pengaruh dan peran Hanta Ua Pua dalam masyarakat dan
Kesultanan Bima?
c. Bagaimana fungsi Hanta Ua Pua dalam perkembangan Islam di Bima?
B. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Ada beberapa tujuan yang ingin dicapai oleh penulis, yaitu terjawabnya semua
permasalahan yang dirumuskan antara lain:
a. Untuk mengetahui bagaimana sejarah munculnya Hanta Ua Pua.
b. Untuk mengetahui tentang bagaimana pengaruh dan peran Hanta Ua Pua
dalam masyarakat dan Kesultanan Bima.
c. Untuk mengetahui tentang bagaimana fungsi Hanta Ua Pua terkait
perkembangan Islam di Bima.
5
2. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Memberikan pengetahuan yang lebih tentang sejarah tradisional dan
kebudayaan Islam Nusantara yang terkait dengan budaya Hanta Ua Pua.
b. Untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar Strata 1(S1).
c. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi peneliti
yang sejenis.
d. Untuk meningkatkan pengetahuan dan kualitas penulis dalam menyusun
karya tulis ilmiah.
C. Tinjauan Pustaka
Berdasarkan permasalahan yang hendak dikaji, maka metode yang digunakan
dalam penelitian ini adalah menggunakan metode sejarah dengan kegiatan
mengumpulkan sumber-sumber sejarah yang relevan dengan permasalaan yang akan
dikaji. Dalam penelitian ini penulis menggunakan sumber sekunder untuk mencari
sumber kepustakaan yang diperoleh dari buku-buku literatur yang berkaitan dengan
penelitian ini. Beberapa buku-buku literatur yang berkaitan antara lain:
Dalam buku pertama yang ditulis oleh M. Hilir Ismail. Peranan Kesultanan
Bima dalam Perjalan Sejarah Nusantara membahas mengenai keadaan Bima
sebelum masa Kesultanan dan pada masa Kesultanan. Pembahasan pertama mengenai
Bima pada masa sebelum Kesultanan lebih ke pembahasan mengenai letak
geografisnya, sosial budaya, keadaan politik dan pemerintahan sebelum masa
Kesultanan. Pembahasan kedua mengenai masa Kesultanan, pada masa ini Islam
sudah masuk dan memiliki peran penting dalam pertumbuhan dan perkembang
Kesultanan Bima. Pada bab ketiga terdapat pembahasan yang berkaitan dengan tema
ini yaitu adat upacara Hanta Ua Pua pada masa kepemimpinan Sultan Abdul Khoir
Sirajuddin.7
7 M. Hilir Ismail. Peranan Kesultanan Bima dalam Perjalan Sejarah Nusantara. (Gunung
Agung I, Mataram 2004), h. 70-75.
6
Dalam buku keduanya, M. Hilir Ismail, tentang Kembangkitan Islam Di Dana
MBojo (Bima)1540-1950 membahas mengenai Perkembangan agama pra Islam, dan
tonggak awal kedatangan Islam di tanah Bima. Proses islamisasi itu berlangsung
dalam tiga tahap yaitu periode kedatangan Islam tahun 1540 – 1621, periode
pertumbuhan Islam tahun 1621-1640 M, dan periode kejayaan Islam pada 1640 –
1950 M. Pada tahap awal sebelum Islam menjadi agama resmi kerajaan, ajaran Islam
sudah masuk di wilayah-wilayah pesisir Bima terlebih dahulu kemudian masuk ke
wilayah pedesaan untuk menghimpun jamaah, setelah itu barulah menyebar ke Istana
kerajaan.8
Buku ketiga, H. Abdullah Tajib, BA. Dalam bukunya Sejarah Bima Dana
MBojo terdapat pembahasan yang berkaitan dengan tema penulis yaitu Sejarah
upacara adat Hanta Ua Pua yang menjadi perayaan resmi kerajaan yang terdapat pada
bab keenam bagian ketiga.9
Buku keempat, yang ditulis oleh Henri Chambert-Loir & Siti Maryam R.
Salahuddin, BO’ Sangaji Kai (catatan lama Istana Bima), yang menjadi sebagai
sumber sejarah Bima menjelaskan mengenai kedatangan Islam. Selain itu dalam BO’
juga menceritakan mengenanai silsilah Kesultanan Bima Pertama hingga terakhir.10
Kelima, berupa E-book yang ditulis oleh Ruslan Muhammad atau Alan
Malingi, Upacara Adat Hanta Ua Pua, dalam E-book ini terdapat pembahasan yang
menjadi tema pokok penulis. Isi pembahasannya mengenai sejarah perayaan Hanta
Ua Pua, prosesi, Perlengkapan Hanta Ua Pua, dan makna serta tujuan Hanta Ua
Pua; dan sedikit tentang sejarah masuknya Islam di Bima.
8 M. Hilir Ismail. Kembangkitan Islam Di Dana MBojo (Bima)1540-1950, (Bogor: CV Binasti,
2008). 9 H. Abdullah Tajib, BA. Sejarah Bima Dana MBojo. (Jakarta: PT Harapan Masa PGRI 1995),
h. 139. 10
Henri Chambert-Loir & Siti Maryam R. Salahuddin, BO’ Sangaji Kai (Catatan Lama Istana
Bima). Ecole Francajse D’Extreme-Orient, (Jakarta : Yayasan Pustaka Obor Indonesia 2012).
7
Buku-buku diatas memiliki keterkaitan antara satu sama lain dalam penulisan
sejarah tradisi Hanta Ua Pua di Bima. Penulis menggunakan buku-buku diatas
sebagai buku pokok dalam penulisan skripsi.
D. Kerangka Teori
Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan teori pelestarian budaya
sebagai kerangka teori penulisan.
Untuk menjaga dan mempertahankan budaya lokal perlu adanya pelestarian
budaya. Keberadaan budaya tradisional seperti budaya Hanta Ua Pua ini diperlukan
perhatian khusus untuk tetap menjaga dan melestarikannya, mengingat kebudayaan
tidak bersifat statis dan selalu mengalami perubahan seiring berjalannya waktu.
Pelestarian, berasal dari kata dasar lestari, yang artinya adalah tetap seperti
keadaannya semula tidak berubah. berdasarkan kata kunci lestari ditambah awalan
pe- dan akhiran –an, maka yang dimaksud pelestarian adalah upaya atau proses untuk
membuat sesuatu tetap seperti keadaannya semula tidak berubah. Bisa pula
didefinisikan sebagai upaya untuk mempertahankan sesuatu supaya tetap
sebagaimana adanya.11
Merujuk pada definisi pelestarian budaya diatas, maka penulis mendefinisikan
bahwa yang dimaksud pelestarian budaya adalah upaya untuk mempertahankan suatu
budaya agar tetap terjaga keasliannya sebagaimana adanya.
Jacobus Ranjabar (2006) mengemukakan bahwa pelestarian norma lama bangsa
(budaya lokal) adalah mempertahankan nilai-nilai seni budaya, nilai tradisional
dengan mengembangkan perwujudan yang bersifat dinamis, serta menyesuaikan
dengan situasi dan kondisi yang selalu berubah dan berkembang.12
Hanta Ua Pua merupakan seni budaya tradisional yang sudah ada sejak lama,
maka dari itu harus tetap dilestarikan dan diadakan secara terus menerus dengan
mempertahankan nilai-nilai seni budaya, karena budaya Hanta Ua Pua adalah bentuk
lain dari kekayaan alam yang patut dipertahankan dan dilestarikan agar tidak punah
11
http://kbbi.web.id/lestari di akses 3 mei 2017. 12
Jacobus Ranjabar, Sistem Sosial Budaya Indonesia, (Bogor :Ghalia Indonesia, 2006), h. 115.
8
dan hilang. Dengan begitu budaya Hanta Ua Pua dapat dinikmati oleh generasi
berikutnya.
Diadakannya pelestarian budaya bertujuan untuk menumbuhkan kesadaran
masyarakat akan pentingnya budaya Hanta Ua Pua dalam pembentukan karakter dan
moral masyarakat Bima. Usaha pelestarian pernah dilakukan oleh majelis hadat dana
mbojo ibu Hj. Siti Mariam Salahuddin dari tahun 1950, 1980, 1990, dan 2002.
Upacara adat Hanta Ua Pua mulai mendapatkan momentumnya setelah era
reformasi. Upacara ini mendapat dukungan penuh dari pihak Kerajaan Bima, pejabat
pemerintahan Kabupaten/Kota Bima, dan masyarakat Bima pada umumnya.13
Kelestarian tradisi Hanta Ua Pua senantiasa berpasangan dengan kemajuan dan
perkembangan yang berlangsung dalam kehidupan. Kelestarian merupakan aspek
stabilisasi kehidupan manusia, sedangkan kelangsungan hidup merupakan
percerminan dinamika.14
E. Metode Penelitian
Dalam penelitian ini, penulis mengguakan penelitian sejarah dengan
pendekatan antropologi yang bersifat kualitatif. Istilah antropologi berasal dari
bahasa Yunani, asal kata antropos berarti manusia, dan logos berarti ilmu. Jadi
antropologi merupakan studi tentang umat manusia yang berusaha menyusun
generalisasi yang bermanfaat tentang manusia dan perilakunya, dan untuk
memperoleh pengertian ataupun pemahaman yang lengkap tentang keanekaragaman
manusia.15
Seperti halnya dalam penelitian ilmiah-ilmiah yang lainnya, dalam penelitian
sejarah dan antropologi pun sangat memperhatikan unsur tempat, waktu, latar
belakang, dan pelaku dari peristiwa tersebut untuk memperoleh pengertian ataupun
pemahaman yang lengkap tentang keanekaragaman manusia termaksud kebudayaan.
13
https://wisatanusatenggara.wordpress.com/wisata-nusa-tenggara-barat/adat-hanta-ua-pua/
diakses 3 Mei 2017. 14
Soerjono Soekanto. Sosiologi Suatu Pengantar. (Jakarta : Rajawali Pers, 2003), h. 432. 15
Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi, Jilid 1, (Jakarta: Univesitas Indonesia Press,
1987). h. 1-2.
9
Karena penelitian ini adalah penelitian sejarah maka metode yang digunakan
pun adalah metode sejarah.
Di antara beberapa tahapan dalam metode penelitian sejarah adalah sebagai
berikut:
1. Heuristik
Sesuai dengan permasalahan yang dibahas dan dikaji, maka dalam
pengumpulan data heuristik sejarah ini dilakukan:
a. Penelitian Kepustakaan (Library research), yaitu penulis mengadakan penelitian
terhadap beberapa literatur yang berkaitan dengan sejarah tradisi perayaan maulid di
Bima yang dikenal dengan tradisi Hanta Ua Pua. Adapun langkah yang ditempuh
dalam studi kepustakaan ini adalah dengan cara mengunjungi perpustakaan utama
UIN Syarifhidayatullah Jakarta, perpustakaan fakultas Adab dan Humaniora,
Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI), perpustakaan pribadi diantaranya
perpustakaan Bapak Ahmad Zakaria dan Bapak Hasan.
b. Wawancara sejarah (oral historis), yakni teknik pengumpulan data dengan cara
melakukan tanya jawab secara langsung (tatap muka) ataupun via email dan telepon
antara peneliti dengan informan yang dianggap mengetahui pengelolaan yang
dilaksanakan di Museum Asi Mbojo. Penulis melakukan wawancara dengan bapak
Ruslan Muhammad selaku penulis sejarah budaya Hanta Ua Pua, bapak Ahmad Zakariah
dan bapak Hanafi Yasin. Dari hasil Wawancara penulis mendapatkan informasi tentang
Sejarah, peran, proses, dan fungsi Hanta Ua Pua di Bima.
c. Studi Dokumentasi, merupakan tekhnik yang dilakukan dalam pengumpulan data
berdasarkan buku, majalah, dan literature-literatur lainnya. Penulis akan
mengumpulkan data yang berhubungan dengan tema.
2. Kritik Sejarah
Setelah penulis mendapatkan informasi yang relevan dengan tema yang dikaji,
maka dilakukan kritik sejarah guna memperoleh kebenaran informasi dan dalam
sejarah tersebut kritik dilakukan dengan cara ekstern dan intern. Kritik ekstern dan
10
intern digunakan untuk meneliti keabsahan tentang kesahihan sumber (kredibilitas)
Hanta Ua Pua.
3. Interpretasi
Interpretasi atau penafsiran peristiwa sejarah juga disebut analisis sejarah, yang
berarti menjelaskan peristiwa sejarah masa lampau. Analisis sejarah bertujuan
melakukan penelitian atas sejumlah fakta yang di peroleh dari sumber-sumber
sejarah.16
Pada tahapan menganalisa data ini penulis memperhatikan bagaimana
melakukan eksplorasi terhadap nilai-nilai dan peran Hanta Ua Pua sebagai suatu
tradisi keagamaan Islami yang rutin dilakukan oleh kesultanan dan masyarakat Bima.
Hanta Ua Pua memang memiliki pengaruh penting terhadap perkembangan dakwah
Islam di Bima. Untuk selanjutnya penulis akan menginterpretasikan makna tradisi
tersebut, kemudian di ambil kesimpulan guna menjawab pertanyaan yang terdapat
dalam rumusan masalah. Dengan adanya kesimpulan tersebut diharapkan penulis
bisa lebih terarah.
4. Historiografi (Metode Penulisan)
Tahap ini adalah tahapan paling akhir dari seluruh rangkaian penulisan karya
ilmiah tersebut, merupakan proses penyusunan fakta-fakta ilmiah dari berbagai
sumber yang telah diseleksi sehingga menghasilkan suatu bentuk penulisan sejarah
yang bersifat kronologi atau memperhatikan aturan waktu dan peristiwa sejarah.
F. Sistematika Pembahasan
Untuk mempermudah pembahasan dan penulisan skripsi ini, maka penulis
menyusun penulisan ini dengan sistematika sebagai berikut:
BAB 1 : Merupakan bab pendahuluan menjelaskan mengenai latar belakang
masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan dan kegunaan
penelitian, tinjauan pustaka, kerangka teori, metode penelitian, dan
sistematika pembahasan. Melalui bab ini di harapkan dapat
16
Dudung Abdurrahman, Metode Penelitian Sejarah, (Jakarta: Logos, 1999), h. 55
11
memberikan gambaran umum mengenai keseluruhan rangkaian
penulisan penelitian sebagai dasar pembahasan selanjutnya.
BAB II : Membahas sekilas tentang Bima yang meliputi: letak geografis
daerah Bima, sosial budaya daerah Bima, sejarah singkat Bima, dan
kedatangan Islam ke Bima,.
BAB III : Membahas tentang sejarah munculnya Hanta Ua Pua, pengertian
Hanta Ua Pua, falsafah yang terkandung di dalam Hanta Ua Pua,
tujuan Hanta Ua Pua, dan nilai yang terkandung dalam Hanta Ua
Pua.
BAB IV : Membahas tentang peran dan pengaruh Hanta Ua Pua terhadap
kesultanan dan masyarakat Bima, Ua Pua sebagai simbol
penghormatan pada ilmu dan ulama, rangkaian dalam pelaksanaan
upacara adat Hanta Ua Pua, dan fungsi Hanta Ua Pua terhadap
perkembangan Islam di Bima.
BAB V : Merupakan bab penutup dari seluruh rangakaian penulisan skripsi
ini akan membahas tentang kesimpulan dan saran-saran.
12
BAB II
SEKILAS TENTANG BIMA
A. Letak Geografis Daerah Bima
Sejarah suatu bangsa dipengaruhi oleh keadaan letak dan geografisnya yang
memberikan pengaruh besar bagi kehidupan masyarakat, seperti letak, luas wilayah,
keadaan struktur tanah dan iklim, semuanya memiliki keterkaitan yang membawa
dampak bagi kehidupan suatu bangsa.
Daerah Bima terletak di pulau Sumbawa bagian Timur. Memiliki luas
diperkirakan 4.596.90 km2
atau 1/3 dari luas pulau Sumbawa. Pada tahun 1950
daerah Bima disebut Sunda Kecil yang memiliki batas-batas sebagai berikut: wilayah
Samudra Indonesia di selatan, Laut Flores di utara, Kabupaten Dompu dan Sumbawa
di barat, dan Selat Sape di timur.1
Hampir 70 % daerah Bima terdiri dari dataran tinggi dan pegunungan. Pada
masa lalu, dataran tinggi dan pegunungan ditumbuhi hutan tropis yang lebat dan
terkenal subur. Daerah bima beriklim panas dan kering. Curah hujan sangat sedikit,
kalau dibanding dengan curah hujan di Indonesia bagian Barat. Musim kemarau
lebih panjang dari musim hujan. Sehingga daerah-daerah pertanian sering mengalami
kekeringan.
Pada perayaan Hanta Ua Pua yang dilakukan pada bulan Rabiul Awal atau
bulan Februari sesuai dengan tanggal peringatan Maulid Nabi SAW dalam kalender
Islam, dan biasanya daerah Bima pada bulan tersebut terjadi musim hujan.
B. Sosial dan Budaya
Berdasarkan hasil sensus penduduk yang dilakukan oleh Kantor Statistik
Daerah Kabupaten Tingkat II Bima tahun 1982, jumlah penduduk Kabupaten
1 M. Hilir Ismail, Kebangkitan Islam di Dana Mbojo(Bima), h. 11.
13
Tingkat II Bima 389.700 orang, yang terdiri dari Dou Donggo, Dou Mbojo, dan
pendatang.2
Penduduk Bima terdiri dari berbagai suku (etnik). Pertama: Dou Mbojo (suku
Bima) merupakan penduduk mayoritas daerah Bima dan Dompu, berasal dari
pembauran penduduk orang Bima dengan makassar dan Bugis. Mereka terdiri dari
pedagang, politisi, ulama, pelaut, dan militer. Kedatangan mereka ke Bima dalam
rangka ikut membantu perkambangan politik dan agama Islam.3 Suku Mbojo
memiliki falsafah hidup yang menjadi pedoman bagi masyarakat Bima “Maja Labo
Dahu”, yang dimaknai, malu dan takut apabila melalaikan segala perintah agama dan
adat-istiadat.
Kedua: “Dou Donggo” (orang Donggo) yang merupakan suku asli Bima yang
masih bertahan dengan adat dan budayanya. Suku Dongga terdiri dari dua kelompok
yang berdasarkan wilayah permukimannya yaitu Dou Donggo Ipa (Barat) disekitar
Gunung Ro’o Salunga dan Gunung Soromandi. Dou Donggo Ele (Timur) bermukim
di sekitar Gunung Lambitu. Jumlah dari Suku Donggo ini tidak sebanyak Suku Bima
yang menjadi penduduk mayoritas, mereka hanya sekitar 15%.4
Ketiga: Kaum pendatang yang terdiri dari Suku Makassar, Bugis, Melayu, dan
Arab. Kaum pendatang yang paling besar pengaruhnya ialah Dou Malaju (orang
Melayu) dan Dou Ara (orang Arab). Latar belakang mereka datang ke Bima sama
dengan orang Makassar dan Bugis. Pada masa awal kesultanan, mereka mulai datang
ke Bima dalam rangka menyiarkan agama Islam dan berdagang. Mereka banyak
yang menjadi ulama dan mubalig yang terkenal pada masa kepemimpinan Sultan
Abdul Khair Sirajuddin.5
Kedatangan para Mubalig tersebut selain menyiarkan agama Islam dan
berdagang juga membawa budaya baru yang membantu dalam menyiarkan ajaran
2 M. Hilir Ismail, Peranan Kesultanan Bima dalam Perjalan Sejarah Nusantara, h. 14.
3 M. Hilir Ismail, Peranan Kesultanan Bima dalam Perjalan Sejarah Nusantara, h. 17.
4 M. Hilir Ismail. Kebangkitan Islam di Dana Mbojo(Bima), h. 14.
5 M. Hilir Ismail. Peranan Kesultanan Bima dalam Perjalan Sejarah Nusantara, h. 18.
14
Islam di Bima. Budaya yang amat besar pengaruhnya dalam penyiaran Islam di Bima
adalah budaya Hanta Ua Pua yang di bawa oleh para mubalig Islam dari Melayu.
C. Sejarah daerah Bima
Daerah Bima terletak di ujung Timur Pulau Sumbawa, Provinsi Nusatenggara
Barat. Daerah Bima mempunyai 2 macam nama atau sebutan yakni Bima dan Mbojo.
Kedua nama ini memang sudah dipergunakan sejak kerajaan ini lahir. Biasanya kata
Bima dipergunakan bila menyebut daerah ini dalam bahasa Indonesia atau bahasa
asing. Sedangkan nama Mbojo dipergunakan bila menyebutnya dalam Bahasa
daerah.6
Untuk mengingat suatu sejarah dan lengenda masa lampau masyarakat Bima
memiliki tradisi atau kebiasaan seperti menceritakan kejadian-kejadian masa lampau
kepada anak cucu dan diwariskan secara turun-temurun. Sejarah dan lengenda
terbentuknya kerajaan Bima itu sendiri selain dapat diperoleh melalui sumber-sumber
tertulis seperti dalam kitab BO’ atau catatan lama kerajaan Bima juga dapat diperoleh
dari cerita rakyat.
Dalam cerita rakyat, nama Bima di ambil dari nama seorang Raja yang
memiliki kekuatan yang dapat disejajarkan dengan sang Bima, salah seorang tokoh
dalam cerita pewayangan Jawa. Karena kekuasaan dan kesaktiannya itu ia digelari
dengan nama sang Bima. Raja Bima yang pertama ini, berasal dari bangsawan Jawa
yang beragama Hindu, ia menikah dengan putri penguasa setempat yang bernama
Tasi Sari Naga yang berkepercayaan totemisme7 yaitu kepercayaan asli daerah
tersebut (lambang naga).8
Raja Bima berhasil menyatukan beberapa kerajaan-kerajaan kecil menjadi satu
dan menjadi pemimpin di wilayah tersebut. Untuk menghormati istrinya yang
merupakan pemilik awal dari daerah yang dikuasakan kepadanya, sang Bima
6 H. Abdullah Tajib, BA. Sejarah Bima Dana Mbojo, h. 41.
7Totemisme merupakan sistem religi yang berkeyakinan bahwa warga kelompok unilineal
adalah keturunan dewa-dewa nenek moyang, moyang yang satu dengan lainnya mempunyai hubungan
kekerabatan 8 H. Abdullah Tajib, BA. Sejarah Bima Dana MBojo, h. 44.
15
mengabadikan sebutan istrinya atau bojonya (Bahasa Jawa) atas daerah
kekuasaannyan dengan memberi nama Mbojo atau Dana Mbojo (Tanah Bima).9
Sang Bima diyakini sebagai seorang bangsawan dari Jawa dan menguasai
kerajaan Bima pada masa Kerajaan Majapahit. Yang berarti Sang Bima masih
memiliki garis keturunan dari Kerajaan Majapahit. Kerajaan Majapahit mencapai
puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk (Rajasanagara) dan
didampingi oleh Patih Gadjah Mada. Dengan sumpah Palapa yang terkenal itu
Majapahit menguasai seluruh wilayah Nusantara (Malindo).10
Kakawin Nagarakaŗtagama karangan Prapanca menyebutkan bahwa kekuasaan
Majapahit sangat luas yang termuat dalam Pupuh XIII: 1 sampai Pupuh XVI: 5.
Daerah kekuasaannya meliputi hampir seluruh wilayah Indonesia, yaitu Pulau
Sumatera di bagian barat dan Maluku di bagian timur, bahkan meluas sampai ke
negara tetangga di Asia Tenggara yang dijalin dalam bentuk persahabatan yang setara
atau mitrasatata.11
Patih Gajah Mada memimpin sendiri ekspedisi untuk menyerang Bali; bahkan
untuk menyerang pulau Sumbawa, namun ia mengurungkan niatnya dan mengutus
Panglima Nala untuk menyerang pulau Sumbawa. Keberhasilan dalam kemenangan
Panglima Nala diceritakan dalam sebuah prasasti lempengan tembaga berangka tahun
Saka bertepatan dengan 1357 M.12
Setelah Gadjah Mada berhasil menguasai seluruh wilayah Nusantara, Gadjah
Mada akan bebas, dalam arti beristirahat. Begitu pula jika Gurun, Seram,
Tanjungpura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Karitang, Tba, dan
Dharmalaya telah dikalahkan, maka Gadjah Mada akan menikmati bebas atau
9 H. Abdullah Tajib, BA. Sejarah Bima Dana MBojo, h. 45.
10 H. Abdullah Tajib, BA. Sejarah Bima Dana MBojo, h. 53.
11 Stuart, Robson. Desawarṇana (Nȃgarakaŗtȃgama) by Mpu Prapanca. (Leiden: KITLV,
1995). Lihat Sukawati Susetyo, Pengaruh Peradaban Majapahit di Kabupaten Bima Dompu, Volume
27, Nomor 2 (Jakarta: Forum Arkeologi, Agustus 2014). h. 122. 12
H. Abdullah Tajib, BA. Sejarah Bima Dana MBojo, h. 53.
16
istirahat yang disebut dengan Amukti Palapa.13
Jadi Gadjah Mada akan melakukan
pembebasan diri dari tugas-tugas negara atau pensiun jika Gadjah Mada sudah
menaklukkan daerah-daerah tersebut.
Sebagaimana dalam kitab Negarakartagama (1365) menyebutkan bahwa
daerah yang dikuasai Majapahit di Nusantara meliputi pulau Sumbawa antara lain
tercatat nama Dompo, Bima, dan Sape. Diduga Sang Bima sedang memimpin suatu
ekspedisi yang singgah di pulau Satonda kemudian tiba di Asakota teluk Bima. Di
sana Sang Bima memahat prasasti pada batu karang yang dikenal dengan Wadu Pa’a.
D. Kedatangan Islam ke Bima
Mubalig Islam memulai penyiaran agama Islam di pulau Sumbawa antara tahun
1540-1550 yang dibawa oleh para mubalig dan pedagang dari Demak, mengingat
pada masa itu Demak merupakan pusat penyebaran Islam di Asia Tenggara,
menggantikan kekuasaan Malaka yang sudah dikuasai oleh Portugis sejak tahun
1511.14
A Salim Harahap menyebutkan bahwa penyiaran agama Islam di pulau
Sumbawa antara tahu 1540-1550. Walaupun hanya disebutkan pulau Sumbawa
namun para sejarawan berkeyakinan para mubalig dan pedagang Demak sudah
datang ke Bima, mengingat bima pada waktu itu merupakan kerajaan yang
berperanan dalam perniagaan di jalur selatan wilayah Nusantara. Sejak abad ke-15,
kerajaan Bima mencapai kejayaan berkat perjuangan Raja Manggampo Donggo, Ma
Wa’a Bilmana, La Mbila dan Raaja Samara, Bahkan pada masa pemerintahan Raja
Ma Wa’a Ndapa dan Ruma Bicara La Mbila, Bima suadah berperan dalam percaturan
13
Amelia dan Libra Hari Inagurasi, “Amukti Palapa dan Kebaharian Masa Majapahit Abad
ke-14.” Dalam BERITA IPTEK Nasionalisme Berbasis Teknologi E-Win, disunting oleh Rusdi
Mochtar. (Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, 2007). h. 84. Lihat Sukawati Susetyo,
Pengaruh Peradaban Majapahit di Kabupaten Bima Dompu, Volume 27, Nomor 2 (Jakarta: Forum
Arkeologi, Agustus 2014). h. 122. 14
M. Hilir Ismail. Peranan Kesultanan Bima dalam Perjalan Sejarah Nusantara, h. 47.
17
niaga Internasional yang berpusat di Sunda Kelapa (Jakarta). Para pedagang Bima
sudah mempunyai perkampungan khusus di Sunda Kelapa.15
Pada abad ke-16 M, Bima sudah menjadi salah satu pusat perdagangan yang
ramai di wilayah bagian timur Nusantara. Menurut Tome Pires yang berkunjung ke
Bima pada tahun 1513 M, pelabuhan Bima ramai dikunjungi oleh para pedagang
Nusantara dan para pedagang Bima berlayar menjual barang dagangannya ke Ternate,
Banda dan Malaka serta singgah di setiap pelabuhan di Nusantara. Pada saat inilah
kemungkinan para pedagang Demak datang ke Bima selain berdagang juga untuk
menyiarkan agama Islam.16
Pengislaman di Pulau Lombok terjadi pada masa pemerintahan Sunan Prapen
putra Sunan Giri yang pernah menguasai kerajaan Sumbawa dan Bima. Sunan Prapen
datang ke Sumbawa dan Bima sebagai ulama dan juru dakwah yang bertugas untuk
menyebarluaskan ajaran agama Islam secara damai, namun pengislaman tersebut
tidak dapat berlangsung lama dan pengaruhnya tidak begitu kuat akibat dari gugurnya
Sultan Tranggono tahun 1546 dan terjadi revolusi istana yang menyebabkan
runtuhnya kerajaan Demak.
Cahaya Islam yang masih redup kembali bersinar setelah para pedagang dari
Sulawesi datang menyebarkan Islam di Bima sekitar tahun 1617 (± 1028 H) di bawa
secara damai berdasarkan ikatan kekeluargaan, oleh empat orang pedagang dari Goa,
Luwu, Bone, dan Tallo. Dalam kitab BO menjelaskan bahwa Ruma Ta Ma Bata
Wadu (La Ka’i), La Mbila, Bumi Jara, dan Manuru Bata sepakat untuk menerima
ajaran Islam pada 10 Rabiulawal 1030 H (± 1619). 17
Keempat petinggi kerajaan
tersebut mengganti nama mereka sesuai nama Islam:
- Ruma Ta Ma Bata Wadu (La Ka’i) menjadi Abdul Kahir
- La Mbila menjadi Jalaluddin
- Bumi Jara menjadi Awaluddin
15
A Salim Harahap, Sejarah Penyiaran Islam di Asia Tenggara, (Medan: Penerbit Toko Buku
Islamiyah, 1965), h. 55. 16
M. Hilir Ismail, Kebangkitan Islam di dana Mbojo(Bima), h. 57. 17
M. Hilir Ismail, Peranan Kesultanan Bima dalam Perjalan Sejarah Nusantara. h. 52.
18
- Manuru Bata menjadi Sirajuddin.
Dari sumber lontara Luwu Wajo diperoleh keterangan bahwa sebelum ketiga
mubalig (Dato ri Bandang, Dato ri Pattimang, dan Dato ri Tiro) memulai penyebaran
agama Islam di Gowa, mereka terlebih dahulu datang ke Luwu melalui Selat Bone.
Tujuannya adalah untuk mengislamkan Raja Luwu yang dianggap masyarakat Bugis-
Makassar sebagai raja atau kerajaan yang diakui kemuliaanya di kalangan raja dan
kerajaan Bugi-Makassar. Raja Luwu yang pertama kali memeluk agama Islam adalah
La Pattiware Daeng Parabu, yang kemudian bergelar Sultan Muhammad Waliyul
Mudharuddin pada 1 Ramadhan 1013 H (1603 M).18
Dalam catatan sejarah Kerajaan Gowa pernah mengirim ekspedisi militernya ke
Bima pada tahun 1616 dan berhasil diduduki oleh panglima perang Gowa Bernama
Lomo Mandolle. Kedatangan pasukan Gowa ke Bima bukan merupakan awal
kedatangan Islam di Bima. Sebelum serangan pasukan Gowa, Bima dan Sumbawa
telah didatangi mubalig-mubalig Islam dari Jawa, antara lain Sunan Prapen dari Giri,
sehingga ada kemungkinan agama Islam sudah dipeluk oleh penduduk setempat
sebelum abad ke-17.19
Pengislaman tersebut tidak berlangsung lama sehingga
menyebabkan ajaran agama Islam tidak menyebar secara menyeluruh.
Pada awal abad ke-17 terjadi perebutanan kekuasaan (takhta) di antara keluarga
kerajaan, yaitu antara Raja Salisi (mantau Asi Peka) dengan La Ka’I atau Abdul
Kahir I yang merupakan keponakannya. Raja Salisi yang berambisi untuk menjadi
Raja, hendak ingin membunuh Abdul Kahir I karena dianggap hambatan baginya
untuk mewujudkan impiannya menjadi penguasa, hal itu terjadi setelah Raja Salisi
berhasil membunuh kakak dari Sultan Abdul Kahir yang merupakan Putera Mahkota
juga dari Raja Samara.20
Peristiwa tersebut menyebabkan terjadinya hambatan proses
18
Boedhihartono, dkk, Sejara Kebudayaan Indonesia: Sistem Budaya, (Jakarta: Rajawali Pers,
2009), h. 178. 19
Boedhihartono, dkk, Sejara Kebudayaan Indonesia: Sistem Budaya, (Jakarta: Rajawali Pers,
2009), h. 180. 20
H. Abdullah Tajib, BA. Sejarah Bima Dana MBojo, h. 108-109.
19
islamisasi yang dilakukan oleh Abdul Kahir I, La Mbila atau Jalaluddin, dan kawan-
kawanya.
Abdul Kahir I meminta batuan kepada Kerajaan Gowa untuk menangkap Raja
Salisi, setelah berhasil di tangkap barulah Abdul Kahir I dinobatkan sebagai Sultan
Bima yang mendirikan Kerajaan Islam pertama di Bima. Sultan Abdul Kahir
memerintah pada tahun 1620-1640, sejak saat itu hubungan kerajaan Bima dengan
kerajaan Gowa menjadi sangat erat. 21
Ikatan kekeluargaan kerajaan Bima dengan
Makassar semakin dipererat dengan adanya pernikahan silang antara kedua kerajaan
yaitu antara Sultan Abdul Khair Sirajuddin dengan adik Sultan Hasanuddin yang
bernama Karaeng Bonto Je’ne pada tanggal 12 Rajab 1066 (± 13 September 1646).22
Sejak muncul sebagai pusat kekuasaan Islam, Kesultanan Bima diperintah oleh
empat belas sultan, mulai dari Sultan Abdul Kahir (1620-1640) sampai Sultan
Muhammad Salahuddin (1915-1951) sebagai Sultan Bima yang terakhir.
Kedatangan Islam ke tanah Bima selain memberikan kesejahteraan hidup bagi
masyarakat juga telah memberikan ruh pada peradaban dan kebudayaan, sehingga
melahirkan berbagai budaya yang unik seperti Hanta Karo’a dalam Bahasa Bima,
artinya mengangkat al-Qur’an pada budaya Hanta Ua Pua dan biasa dilakukan dalam
acara penobatan Sultan. Islam telah memberikan warna pada budaya lokal masyarakat
(local culture), sehingga dalam setiap bentuk tradisi ritual atau upacara keagamaan
secara nyata mengandung nilai agama dan kebudayaan secara bersama.
21
H. Abdullah Tajib, BA. Sejarah Bima Dana MBojo, h. 112-114. 22
M. Hilir Ismail, Kebangkitan Islam di dana Mbojo(Bima), h. 70.
20
BAB III
SEJARAH DAN PENGERTIAN HANTA UA PUA
A. Sejarah Munculnya Hanta Ua Pua
Upacara adat Hanta Ua Pua awalnya dibawa dan diperkenalkan oleh para
mubalig Islam pada masa Sultan Abdul Khair Sirajuddin yang memimpin dari tahun
1640-1682 dan bergelar Rumata Mantau Uma Jati yang berarti raja pemilik rumah
jati. Pelaksanaan tradisi Hanta Ua Pua merupakan syiar Islam yang terus
dilaksanakan dan tetap dilestarikan sepanjang sejarah Kesultanan Bima. Upacara
adat Hanta Ua Pua pertamakali di adakan di Istana kesultanan Bima di depan Sultan
dan masyarakat secara meriah.
Pada masa kepemimpinannya, terjadi pasang surut perkembangan ajaran
agama Islam. Dakwah Islam pun sempat terhenti setelah meninggalnya Sultan Abdul
Kahir I pada tanggal 14 Desember 1640 dan meninggalnya dua ulama Melayu yang
pertamakali menyiarkan ajaran agama Islam ke Bima yaitu Datu ri Bandang dan
Datu ri Tiro. Sebelum meninggal kedua ulama tersebut telah berwasiat kepada anak
cucunya di Pagaruyung Sumatra Barat untuk datang ke Bima memenuhi janjinya
dalam meneruskan dakwah Islam.
Sebelum kedatangan para mubaliq, tampuk pemerintahan kesultanan Bima
diserahkan kepada putranya Sultan Abdul Khair Sirajuddin yang masih muda
umurnya ± 13 Tahun. Dalam usianya yang sangat muda ia masih memerlukan
Bimbingan ilmu agama dari para ulama yang berpengalaman, namun dalam
kenyataan para utusan yang diharapkan menjadi guru dan pembimbing bagi Sultan
Muda tersebut terlambat hadir di Bima. Hal ini lah yang menyebabkan pada awal
pemerintahannya, Sultan Abdul Khair Sirajuddin kurang memahami Agama Islam.1
Pada saat itu Islam baru berusia belasan tahun sebagai agama kerajaan. Dalam
usianya yang demikian muda, Sultan Abdul Khair Sirajuddin belum mengamalkan
1 Ruslan Muhammad atau Alan Malingi, Upacara Adat Hanta Ua Pua, (Mataram: PT Mahani
Persada September 2010), h. 13.
21
ajaran agama Islam dengan baik dan sempurna dalam kehidupan pribadi maupun
kemasyarakatan.2 Sehingga lebih cenderung ke urusan dunia ketimbang urusan
akhirat, akhirnya mempengaruhi sikap dan perilakunya.
Akibatnya ajaran agama Islam tidak tumbuh dan berkembang secara
menyeluruh ditengah masyarakat Bima pada tahun 1650-an. Selain itu kurangnya
perhatian Sultan terhadap pentingnya ajaran agama Islam karena lebih mencintai seni
budaya.
Setelah beberapa tahun akhirnya anak cucu dari kedua ulama besar itu tiba di
Bima melalui Gowa untuk memenuhi janji kedua ulama besar tersebut untuk mengisi
kekosongan mubaliq Islam. Datu Raja Lelo merupakan anak dari Datu Seri Nara
Dirja yang merupakan anak cucu dari kedua ulama besar tersebut. Datu Raja Lelo
meneruskan perjalanannya ke Bima bersama teman-temannya untuk melanjutkan
dakwah Islam.
Setibanya di Bima Datu Raja Lelo dan teman-temannya Datu Iskandar, Datu
Selang Koto, Datu Lela, dan Datu Panjang menemukan keadaan negeri Bima tidak
seperti dulu lagi bagai bercerai-berai. Kekecewaan pun dirasakan oleh Datu Raja
Lelo dan teman-temannya karena sikap Sultan yang tidak mau tahu akan nasihat dan
peringatan dari penasehat dan guru Sultan sebagaimana telah diwariskan
pendahulunya.
Keadaan yang sudah berubah dan situasi lingkungannya yang tidak mendukung
membuat para mubalig sempat merasa putus asa dan tidak tahan untuk berlama-lama.
Sehingga mereka sepakat untuk pergi meninggalkan Bima dan kembali bergabung
dengan ayahnya Datuk Seri Nara Dirja yang sudah sampai di kerajaan Gowa terlebih
dahulu guna memperkuat barisan penyiar agama Islam di Gowa. Kesepakatan itu di
sampaikan ke Sultan dan Sultan menyetujuinnya.3
Setelah berpikir lama Datuk Raja Lelo tidak ingin menyerah begitu saja dalam
menyebarkan ajaran Islam. Langkah awal yang dilakukan ialah menyadarkan Sultan
2 H. Abdullah Tajib, BA. Sejarah Bima Dana MBojo, h. 139.
3 H. Abdullah Tajib, BA. Sejarah Bima Dana MBojo, h. 140.
22
atas kelemahannya di bidang Agama. Dengan modal keikhlasan, kesabaran dan rasa
kasih sayang, akhirnya mereka berhasil menemukan pendekatan yang dapat diterima
oleh sultan. Datu Raja Lelo bersama empat temannya mengadakan acara perpisahan
sekaligus memperingati hari Maulid Nabi atau yang dikenal dengan sebutan Hanta
Ua Pua, yang jatuh pada tanggal 12 Rabiul Awal di pemukiman para ulama di Ule (
kampung luar ). Dalam acara tersebut berkenan dihadiri oleh Sultan, maka oleh
kelima ulama terkemuka dirancang berbagai jenis kegiatan yang dapat memikat hati
Sultan yang berdarah Seni itu, selain melakukan kegiatan Dakwah ( Tadarus al-
Qur’an, tablik dan ceramah ), maka diadakan pula atraksi kesenian yang islami.4
Diselenggarakannya Hanta Ua Pua bukan tampa maksud dan tujuan, Datu
Raja Lelo dan kawan-kawannya ingin Sultan mencabut kembali izin keberangkatan
mereka ke Gowa sebagaimana yang pernah diajukannya kepada Sultan. Akhirnya
Datu Raja Lelo dan kawan-kawannya dapat berdakwah kembali dengan cara dan
metode yang baru tampa menghilangkan atau mengurangi nilai-nilai keislamannya.
Usaha mulia yang dirintis oleh para ulama itu tidak sia-sia. Sultan bersama
anggota majelis Adat berkenan hadir di Ule, guna mengikutii upacara yang baru
pertama kali disaksikannya. Gema wahyu Illahi yang dilantunkan oleh para ulama
mampu menggetarkan hati Sultan Muda Usia. Dalam jiwanya lahir rasa cinta pada
al-Qur’an serta bertekat mengamalkan isinya. Nasihat dan petuah para ulama yang
disampaikan melalui ceramahnya melahirkan tekad untuk memperbaiki segala
kekhilafannya, lirik syair Jiki Molu ( jikir maulud ) yang diseilingi dengan suara
Berjanji dan marhaban yang melantunkan keutamaan dan kemulian Nabi
menimbulkan kecintaan sejati kepada Nabi Muhammad SAW penghulu para Nabi
dan Rasul.5
Dengan usaha keras yang disertai dengan do’a Datu Raja Lelo dan kawan-
kawannya berhasil mencairkan kembali hati Sultan yang sempat membeku. dan ikrar
Sultan Abdul Kahir I, diputar kembali guna menyadarkan Sultan bahwa komitmen
4 Ruslan Muhammad atau Alan Malingi, Upacara Adat Hanta Ua Pua, h. 14.
5 Ruslan Muhammad atau Alan Malingi, Upacara Adat Hanta Ua Pua, h. 15.
23
Sultan Abdul Kahir I terhadap Islam harus dipatuhi oleh siapa saja yang akan
menjadi Sultan Bima.6
Ikrar Sultan Abdul Kahir I, yang bergelar “Mabata Wadu”:
“hai sekalian hadat, hai sekalian Gelarang, aku menyaksikan perkataanku dan
perjanjianku ini kepada Allah Subhanahu wa ta’ala yaitu Tuhan yang Maha
Esa dan kepada Rasulullah penghulu kita Nabi Muhammad dan kepada
sekalian malaekat Allah ta’ala, maka barang siapa yang berubah melalui
perjanjian aku dengan kedua guruku itu sampai keturunannya sebagai mana
tersebut dalam kitab BO ini, ia itulah orang yang dimurkai oleh Allah Ta’ala
dan Rasulullah serta sekalian malaekat, niscayalah orang itu tiadalah mendapat
dunia dan akhirat. Wa llahu khairusyahidinn”.7
Sejak peristiwa puncak perayaan Hanta Ua Pua itu Sultan Abdul Khair
Sirajuddin membuka mata dan hatinya dan kembali mendorong semangat untuk
memperbaharui tekat dan mengkukuhkan niat guna mengendalikan pemerintahan
yang bernafaskan Islam.
Sultan menitahkan Datuk Raja Lelo sebagai guru dan penasehat Sultan. Sultan
menetapkan hari besar Islam yang diperingati dengan resmi oleh pemerintahan
kerajaan pada setiap tahun yang disebut Rawi ma tolu kali samba’a (kegiatan yang
dilakukan 3 kali setahun) yaitu Upacara adat Hanta Ua Pua atau Maulid Nabi, hari
raya Idul Fitri dan Idul Adha, dinyatakan sebagai acara resmi kerajaan.8 Sejak itu
ajaran agama Islam mulai di tingkatkan dan dikembangkan kembali di dalam Istana
Kesultanan Bima maupun di kalangan masyarakat Bima.
Perubahan sikap Sultan Abdul Khair Sirajuddin terhadap pentingnya agama
Islam dan betapa besar peranan sumpah yang diucapkan oleh ayahnya Sultan Abdul
Kahir I dalam perkembangan Islam di Bima, membuatnya menjadi seorang yang
mencintai agama. Kecintaannya kepada agama pula yang menyebabkan lahirnya ide-
6 H. Abdullah Tajib, BA. Sejarah Bima Dana MBojo, h. 142.
7BO Melayu, ditulis awal Kesultanan oleh para ulama keturunan Melayu, dikutib dari buku
Ringkasan Sejarah Kabupaten Bima, 1968, stensilan, oleh Ahmad Amin budayawan keturunan
Melayu. 8 H. Abdullah Tajib, BA. Sejarah Bima Dana MBojo, h. 123.
24
ide baru yang bernafaskan Islam. Sehingga perkembangan politik, ekonomi, dan
sosial budaya selalu berdasarkan Islam. 9
Perubahan sikap Sultan Abdul Khair Sirajuddin terhadap agama dilukiskan
dalam kitab BO’ Melayu sebagai berikut:
“Setelah diperingatkan kepadanya oleh gurunya akan sumpah almarhum
ayahnya dengan kedua gurunya (Datuk Di Bandang dan Datuk Di Tiro),
barulah timbul dari kesadaran Sultan ini, sehingga menjadilah urusan agama
merupakan penting dalam perhatian dan pelaksanaan beliau dalam
menjalankan pemerintahan sehari-hari, malah beliau bersama gurunya ini
Datuk Maharaja Lelo diadakanlah setiap tahun upacara “ua pua” yang terkenal
di Bima, sebagai suatu keramaian adat yang sangat besar setiap tahunya
disediakan biaya dari Kesultanan yang bersumber dari hasil sawah Hadat
sejumlah 200 Ha. Upacara ini dilangsungkan setiap tahun pada bulan Maulud
(Bulan Rabi’ul Awal) mulai pada 17 hari bulan sampai dengan 15 hari bulan
pada siang hari dan malam hari”.10
Sultan Abdul Khair Sirajuddin mengikuti jejak ayahnya dalam menempatkan
dirinya sebagai pendamping dan pelindung para mubaliq Islam. Ia memperlakukan
para mubalig yang merupakan anak cucu dari Datuk ri Bandang dan Datuk ri Tiro
sebagai guru atau penasehat di bidang agama Islam. Sultan menyediakan daerah
permukiman khusus bagi para mubalig yaitu yang bertempat di kawasan pantai
sebelah timur teluk Bima. Selain itu mereka juga dibebaskan dari semua kewajiban
membayar pajak. Kewajiban mereka setiap tahun kepada kesultanan hanya
menyerahkan sirih puan kepada sultan sebagai kedaulatan atas daerah pemukiman.
Sejumlah petak sawah diberikan kepada mereka untuk bercocok tanam dan menjadi
sumber nafkahnya, dan sebagian dikembalikan kepada kerajaan karena jumlahnya
yang banyak. Sawah yang dikembalikan disebut tolo bali (sawah yang dikembalikan)
dan tempat permukiman berada di sebelah utara tolo bali yaitu kampo malayu
(kampung Melayu).11
9 M. Hilir Ismail, Peran Kesultanan Bima Dalam Perjalanan Sejarah Nusantara. h. 71-75.
10 Kitab BO, catatan lama kerajaan Bima.
11 H. Abdullah Tajib, BA. Sejarah Bima Dana MBojo. h. 124.
25
Tanah persawahan tolo bali oleh Sultan Abdul Khair Sirajuddin bersama ulama
sebagai gurunya dijadikan tanah pemakaman. Disanalah jasad Sultan dan sebagian
gurunya bersemayam sedangkan sebagian dari gurunya di makamkan di Toro Tampa
(Ule).12
B. Pengertian Hanta Ua Pua
Dalam antropologi budaya, dikenal macam-macam suku dan budaya dari
berbagai daerah, salah satu dari suku tersebut adalah dou mbojo (orang Bima) yang
memiliki budaya upacara adat Hanta Ua Pua yang telah digelar secara turun temurun
pada masa lalu, terutama pada masa-masa keemasan dan kejayaan Kesultanan Bima
yaitu masa kepemimpinan Sultan Abdul Khair Sirajuddin (1640-1682). Upacara adat
yang erat kaitannya dengan sejarah masuknya agama Islam di Tanah Bima ini telah
menjadi rutinitas masyarakat Bima sejak tahu 1650an-1951. Hanta Ua Pua
dilaksankan setiap tahun pada bulan Rabiul Awal bertepatan dengan Peringatan
Maulid Nabi Muhammad SAW.
Hanta Ua Pua dalam bahasa Bima, Hanta yang berarti angkat atau
mengangkat, Ua Pua yang berarti sirih puan atau tempat penyimpanan sirih. Jadi
Hanta Ua Pua adalah mengangkat seperangkat tempat penyimpanan sirih yang
dihiasi dengan satu rumpun tangkai bunga telur berwarna warni dan dimasukkan ke
dalam satu wadah segi empat.
Menurut Hasan Ibrahim, seorang tokoh adat Melayu yang semasa hidupnya
memegang jabatan penghulu Melayu dalam lembaga Sara Hukum Majelis Adat Dana
Mbojo, kata Ua Pua berasal dari bahasa Melayu sirih puan, Arti Etimologis
(Denotasi) kata tersebut adalah wadah untuk menyimpan sirih. Arti terminologis
(konotasi) kata Ua Pua adalah rangkaian upacara adat untuk memeriahkan Hari
Maulid Nabi Besar Muhammad SAW, yang dilaksanakan selama sajuma’a (sejum’at
/ sepekan) pada wura molu (bulan maulud / Rabiul Awal). Puncak dari upacara Ua
Pua ditandai dengan penyerahan Ua Pua yang berisi sebuah Kitab suci al-Qur’an
12
M. Hilir Ismail, Peran Kesultanan Bima Dalam Perjalanan Sejarah Nusantara, h. 73.
26
oleh penghulu Melayu kepada sultan yang berlangsung pada pagi hari tanggal 12
Rabiul Awal bertempat di Istana Bima. Upacara tersebut merupakan simbol
kesepakatan ulama dan Sultan bersama seluruh Rakyat untuk menjujung tinggi
(mencintai kitab suci al-Qur’an). Dengan kata lain al-Qur’an akan dijadikan sumber
hukum serta pedoman dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat, di samping
“sunnah Rasul” dan “Ijtihad para Ulama” (Ijma, Qyas dan Urfshaih).13
Dalam upacara adat Hanta Ua Pua, daun sirih dijadikan juga sebagai simbol
budaya dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam adat istiadat Kesultanan Bima
pada masanya. Hal ini tergambar ketika berlangsungnya musyawarah untuk
pelaksanaan upacara adat Hanta Ua Pua. Dalam kegiatan musyawarah itu para tamu
dan tetua adat di jamu dengan daun sirih.
Penggunaan sirih dalam budaya adat Bima bukan hanya dalam upacara Hanta
Ua Pua saja tetapi juga dipakai dalam upacara menyambut tamu, dan upacara
meminang. Makna lain dari daun sirih itu sendiri adalah sebagai simbol
penghormatan pada tamu, sebagai simbol perdamaian dan kehangatan sosial, dan
sebagai media komunikasi sosial. Selebihnya dimakan oleh masyarakat yang
dipercaya khasiatnya dapat menguatkan gigi.
Budaya sirih puan pada awalnya memang diperkenalkan oleh orang-orang
Melayu dari Sumatra yang melakukan dakwah Islam di Bima dengan
menggabungkan budaya asli Bima dengan budaya Melayu (akulturasi). Jadi tidak
heran apabila ada sedikit kesamaan budaya Bima dengan budaya Melayu. Walaupun
demikian, upacara Hanta Ua Pua ini sendiri memiliki perbedaan dengan budaya lain
baik dari segi perayaannya maupun dari peralatan yang dipakai. Upacara Hanta Ua
Pua ini diisi dengan pembacaan ayat-ayat al-Qur’an, pembacaan Barzanji dan
Qosidah Dimba, serta beberapa tarian daerah, dan atraksi unjuk kebolehan oleh
pemuda Bima di depan Sultan dan Masyarakat sebagai wujud penghormatan. Upacara
13
Ruslan Muhammad atau Alan Malingi, Upacara Adat Hanta Ua Pua, h. 22-23.
27
Hanta Ua Pua hadir sebagai bentuk dan cara masyarakat Bima mengekspresikan diri
dalam menunjukan identitas diri sebagai masyarakat Muslim.
Budaya sirih puan ini juga tidak asing didaerah-daerah lain yang mayoritas
penduduknya adalah Islam. Misalnya di daerah Aceh, memiliki budaya yang hampir
sama dengan Bima yang dikenal dengan budaya ranub (budaya makan sirih), yaitu
sama-sama menggunakan daun sirih dan pinang dalam pelaksanaan setiap upacara
adat. Namun daerah Bima memiliki cara tersendiri dalam pelaksanaannya.
Dalam pelaksanaan Maulid Nabi atau Molot di Aceh, diselenggarakan di
meunasah, hari pelaksanaan setiap tahunnya ditetapkan oleh pengurus gampong.
Dalam mengadakan Maulid Nabi Muhammad SAW ada yang disebut dengan kenduri
(hajatan), biasanya dilakukan dengan menyerahkan apa yang dinamakan ranub bate
(sirih di dalam sebuah pinggan kecil dari tembaga atau perak dengan taplak kecil
yang bagus), selain sirih juga ada sedikit pinang. Acara molot hanya dihadiri oleh
para tamu pria saja, biasanya berkumpul di meunasah sebelum tengah hari atau pada
waktu siang; teungku dan beberapa leube datang lebih awal untuk mengkisahkan
molot yang dinamakan meulike (dari zikir), seperti di Jawa menyebut zikir moulut dan
adapula pembacaan kitab Barzanji. Pada saat itu mereka berdiri dan ditengah-tengah
diletakan tempat kemenyan, maka asap wangi bercampur dengan lagu pujian terhadap
utusan Allah.14
Sedangkan pada peringatan Maulid orang-orang Bugis di Bali memiliki
kebiasaan dan ciri khas tersendiri untuk menunjukan keakraban mereka dengan
penduduk asli Bali yang mayoritasnya adalah non Muslim. Warga Muslim setempat
mengarak miniatur perahu yang berisi bunga telur yang disusun-susun dan berjalan
mengelilingi gang untuk dibagikan kepada masyarakkat baik muslim maupun non
Muslim. Hal tersebut juga merupakan simbol penghormatan mereka kepada leluhur,
orang-orang Bugis yang dulu datang ke Bali. Hal tersebut sudah menjadi tradisi
turun-temurun dari nenek moyang mereka yang berasal dari Gowa Sulawesi Selatan.
14
C. Snouck Hurgronje, Aceh, Rakyat Dan Adat Istiadatnya, (Jakarta: INIS, 1996), h. 164-165.
28
Di Keraton Yogyakarta, perayaan Maulid Nabi dikenal dengan acara sekaten
(asalnya: syahadatain), yang diselenggarakan dalam waktu yang cukup panjang dan
sangat kuat dipengaruhi budaya lokal.15
Cara ini tentu berbeda dengan yang
dilaksanakan di masjid-masjid pada jaman lampau, yakni dengan membaca syair
Arab yang dikenal oleh dunia pesantren dengan al-Barzanji, al-Diba’, dan al-Burdah
atau Syaraf al-Anam.16
C. Filosofi yang Terkandung di Dalam Hanta Ua Pua
Ua Pua dalam bahasa melayu disebut sirih puan adalah satu rumpun tangkai
bunga telur (Bima: Bunga Dolu), yang terbuat dari telur ayam yang dibungkus dan
dihias dengan kertas minyak yang beraneka warna. Tangkainya terbuat dari bambu
sepanjang 30 cm yang ditancapkan kedalam satu wadah segi empat bersama dengan
daun sirih dan pinang, dan dihias ala tradisi Melayu. Jumlah bunga telur tersebut
berjumlah 99 tangkai yang sesuai dengan Asma’ul Husna (nama-nama Allah yang
baik). Kemudian di tengah-tengahnya diletakan sebuah kitab suci al-Qur’an. Bunga
telur inilah yang dikelilingin oleh para penari Lenggo Mbojo dan Lenggo Melayu,
beserta para penghulu melayu dan pengikutnya yang berada di atas dapat dilihat oleh
seluruh mayarakat sepanjang jalan.17
Ua Pua ditempatkan di tengah-tengah sebuah Rumah Mahligai dalam Bahasa
Bima disebut Uma Lige beserta para penghulu Melayu dan pengikutnya yang terdiri
dari empat orang gadis penari Lenggo Mbojo, dan empat orang perjaka penari Lenggo
Melayu. Uma Lige berbentuk segi empat berukuran 4x4 M dengan atap bersusun dua,
dan terbuka dari ke empat sisinya, agar dapat dilihat oleh masyarakat dengan jelas,
serta menyerupai miniatur masjid sebagai simbol kebesaran rumah Allah SWT. yang
dijadikan tempat beribadah, pendidikan, dan kegiatan dakwah bagi umat Islam.
15
Tim Penyusun, Ensiklopedi Nasional Indonesia, (Jakarta: PT Cipta Adi Pustaka, 1990), hal.
204. 16
Tim penyusun, Ensiklopedi Islam, hal. 336. 17
Ruslan Muhammad atau Alan Malingi, Upacara Adat Hanta Ua Pua, h. 21.
29
Uma Lige tersebut diusung oleh 44 orang pria sebagai simbol dari keberadaan
44 jenis keahlian dan ketrampilan yang dimilikinya sebagai bagian dari struktur
Pemerintahan kesultanan Bima. Mereka melakukan perjalanan dari kampo malaju
(kampung Melayu) menuju Istana Kesultanan Bima atau Asi Mbojo untuk diterima
oleh Sultan Bima dengan Amanah yang harus dikerjakan bersama yaitu memegang
teguh ajaran Islam.18
Uma Lige digambarkan sebagai suatu kerajaan atau kesultanan. Pada bagian-
bagian Uma Lige memiliki makna filosofi tersendiri sebagaimana yang diyakini oleh
Kesultanan dan masyarakat. Diantaranya, atap Uma Lige yang memiliki urutan yang
paling atas dimaknai sebagai pemerintahan, ditengah-tengan Uma Lige ada kitab suci
al-Qur’an sebagai sumber hukum dan konsep tatanan kepemerintahan, kemudian
ulama sebagai transformasi nilai al-Qur’an pada masyarakat dan negara, Asmaul
Husna sebagai sumber kesadaran akan kehadiran Allah SWT dalam segala dimensi
kehidupan. Sultan sebagai penegak hukum dalam menjalankan sistem
kepemerintahan yang sesuai dengan syariat Islam. Sirih Puan sebagai simbol budaya
Melayu, dan orang-orang yang menggotong atau mengusung Uma Lige sebagai
masyarakat yang menjalankan syariat atau hukum.19
Sirih Puan yang dijadikan sebagai simbol budaya Melayu merupakan budaya
asal dari para mubalig yang menyiarkan Islam di Bima. Islam dibawa ke Bima oleh
dua orang datuk keturunan bangsawan Melayu dari Kerajaan Pagaruyung yang
sekarang masuk wilayah Kecamatan Tanjung Emas Kabupaten Tanah Datar Sumatra
Barat melalui melalui Sape (sekarang Labuan Sape). Dua datuk yang juga berprofesi
sebagai saudagar tersebut bernama Datuk Dibanda dan Datuk Ditiro atau yang
dikenal dengan nama Datuk Ri Bandang dan Datuk Ri Tiro. Selain ke Bima, dua
18
Ruslan Muhammad atau Alan Malingi, Upacara Adat Hanta Ua Pua, h. 29. 19
Hasil wawancara pribadi dengan Ahmad Zakaria, (Tangerang: 7 Oktober 2016).
30
datuk ini juga dikenal sebagai tokoh utama penyebar agama Islam di Pulau
Sulawesi.20
Islam dapat dikenal dan diterima oleh masyarakat Bima dengan mudah melalui
budaya. Budaya memiliki peran dan pengaruh penting terdapat pembentukan katakter
suatu nmasyarakat. Karena itu para mubalig mengenalkan ajaran agama Islam kepada
masyarakat dengan menyesuikannya dengan budaya lokal yang sudah ada, yaitu
dengan mengambil kebaikan dari budaya asli masyarakat dan meninggalkan budaya
yang tidak sesuai dengan syariat Islam. Tujuan dari penyesuaiannya sendiri agar
tercipta karakter masyarakat yang dapat menerima dan menjunjung tinggi nilai
keimanan dan kerohanian terhadap suatu kepercayaan yang dianut.
Budaya adat Hanta Ua Pua merupakan budaya yang di cangkok sedikit
banyaknya dari budaya Melayu yang mengalami akulturasi dengan budaya lokal
setempat. Jadi tidak heran apabila ada kesamaan tradisi dan budaya pada beberapa
daerah di Nusantara. Misalnya, seperti Upacara Adat Hanta Ua Pua yang ada di
daerah Bima dengan budaya Ranup lampuan (adab penyambutan tamu)di Aceh.
Dalam tradisi adat diatas sama-sama menggunakan daun sirih atau sirih puan yang
melambangkan kesejahteraan dan keterbukaan terhadap tamu, namun dalam
prosesinya memiliki perbedaan dalam tata cara pelaksanaannya.
D. Tujuan Hanta Ua Pua
Bulan Rabiul Awal merupakan bulan yang sangat bersejarah bagi umat Islam di
dunia. Di mana pada bulan ini Allah SWT. telah mengaruniakan kepada kita umat
manusia, seorang Nabi dan Rasul bernama Muhammad bin Abdullah sebagai rahmat
bagi semesta alam. Sebagaimana firman Allah dalam Q.S. al-Anbiya; 107 :
ل ع ل ح لعني ةي نير اعل ي ام
20
Henri Chambert-Loir & Siti Maryam R. Salahuddin, Bo' Sangaji Kai: Catatan Kerajaan
Bima, 1999.
31
Artinya: “dan tiadalah kami mengutus kamu (Muhammad) melainkan menjadi
rahmat bagi semesta alam.” (Q.S. al-Anbiya; 107).21
Tanggal 12 Rabiul Awal menjadi salah satu tanggal istimewa bagi sebagian
umat muslim di dunia khususnya di Nusantara. Pada Tanggal 12 Rabiul Awal ini
Nabi besar Muhammad SAW dilahirkan ke dunia sebagai Nabi akhir zaman,
pembawa risalah dan penyempurna iman. Beliau merupakan sosok teladan bagi umat
Islam.
Maulid Nabi Muhammad SAW itu sendiri merupakan tradisi yang berkembang
di masyarakat Islam jauh setelah Nabi Muhammad wafat. Masyarakat Islam di Bima
menyambut Maulid Nabi bersamaan dengan mengadakan perayaan upacara adat
Hanta ua Pua, namun bukan hanya sekedar mengenang hari lahirnya Nabi saja, tetapi
juga sebagai wujud penghormatan pada para ulama yang memiliki jasa dalam
menyebarkan agama Islam di Bima.
Adapun tujuan utama dari perayaan upacara adat Hanta Ua Pua sebagai
berikut22
:
1. Untuk memuliakan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW.
2. Untuk mengenang kembali sejarah masuknya agama Islam di Tanah Bima
dan berdirinya Kesultanan Bima.
3. Untuk penghormatan atas jasa-jasa para penghulu Melayu beserta seluruh
kaum keluarga yang telah berjasa menyebarkan agama Islam di Tanah Bima.
Melalui 3 tujuan tersebut diharapkan Sultan sebagai pemimpin beserta
masyarakat taat menjalakan perintah agamanya sesuai petunjuk al-Qur’an dan Sunnah
Rosul serta ijtihad para ulama. Dengan begitu dapat meningkatkan pemahaman dan
pengamalan ajaran Islam yang bersumber dari Kitab Suci al-Qur’an dalam kehidupan
sehari-hari masyarakat Bima dan ditunjukan dengan penyerahan Kitab Suci al-Qur’an
kepada Sultan sebagai pemimpin untuk dilaksanakan secara bersama-sama dengan
seluruh rakyat.
21
Q.S. al-Anbiya; 107. 22
M. Hilir Ismail, Peran Kesultanan Bima Dalam Perjalanan Sejarah Nusantara, h. 72.
32
Upacara Hanta Ua Pua ditetapkan sebagai upacara yang resmi diadakan setiap
tahunnya dalam Kesultanan Bima, tidak lain sebagai bentuk kecintaannya kepada
Nabi besar Muhammad SAW dan rasa hormatnya kepada para Ulama yang telah
menyebarkan agama Islam di Bima, sehingga Bima menjadi suatu pemerintahan yang
bernafaskan Islam.
Salah satu bentuk kecintaan kita kepada Nabi besar Muhammad SAW adalah
dengan bershalawat, sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah SWT dalam (Q.S al-
Ahzab: 56.)
منن لن نكئ ن ا منوله ه اع ئ اانع ه ع ا نن ي ل مهئ نكئ من ا لوع
Artinya:“sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi.
Wahai orang-orang yang beriman bershalawatlah kalian untuk Nabi dan
ucapakanlah salam penghormatan kepadanya.” (QS al-Ahzab: 56).23
Upacara Hanta Ua Pua merupakan bentuk kecintaan dan penghormatan
Kesultanan Bima dan masyarakat pada Rasulullah dan para ulama yang berjasa
sekaligus sebagai penerus Nabi Muhammad SAW dalam menyebarkan ajaran agama
Islam di Bima. Dalam kegiatan upacara Hanta Ua Pua ini dihadiri hampir seluruh
elemen masyarakat Bima terutama orang-orang yang keturunan melayu. Namun
banyak juga orang-orang yang datang dari luar daerah untuk menyaksikan upacara
Hanta Ua Pua ini khususnya daerah bagian Timur.
E. Nilai Yang Terkandung dalam Hanta Ua Pua.
Mempertahankan nilai budaya serta melestarikannya merupakan suatu hal yang
sangat penting. Sudah sepatutnya pemerintah dan masyarakat membangun kesadaran
akan pentingnya nilai budaya dalam mempertahankan jati diri sebagai sebuah bangsa
yang patut memiliki kadaulatan agar tidak mudah terombang ambing oleh arus
globalisasi yang tidak sesui dengan kebiasaan masyarakat setempat.
23
QS al-Ahzab: 56.
33
Dalam hal ini, United Nations Educational, Scientific, and Cultural
Organization (UNESCO) telah mengingatkan bangsa-bangsa di dunia betapa
pentingnya jati diri (bangsa atau masyarakat) di era globalisasi.24
Untuk menjaga
stabilitas kehidupan masyarakat sehingga mereka bisa berdiri sejajar dengan
masyarakat lain dari bangsa maju dan tidak menjadi bahan eksploitasi bagi
kepentingan-kepentingan industri serta perkembangan informasi dan teknologi.
Dengan demikian, upacara Hanta Ua Pua ini selalu dijaga kelestarian dan nilai-
nilai yang terkandung dalam adat istiadat sara dana mbojo atau pemerintah
kesultanan Bima yang selalu diidentikan dengan nilai-nilai keislaman yang
diselaraskan dengan ajaran agama, sehingga semua kalangan masyarakat dapat
menerimanya tanpa harus kehilangan identitas budaya yang sudah sejak lama
diwariskan oleh nenek moyang secara turun temurun. Adapun nilai-nilai yang
terkandung dalam upacara Hanta Ua Pua yaitu:
1. Nilai Sosial
Upacara adat Hanta Ua Pua menjadi momentum silaturahmi antar suku bangsa di
Nusantara maupun masyarakat yang ada di Bima. Selain itu, dengan adanya
upacara Hanta Ua Pua ini masyarakat kembali menegakan budaya mbolo ro
dampa (musyawarah dan mufakat), dan budaya karawi kaboju (gotong royong),
yang melibatkan masyarakat dan pihak Istana Kesultanan guna mengadakan
prosesi Hanta Ua Pua. Masyarakat bertugas sebagai pekerja yang mencari
beberapa kayu dan bambu untuk membuat uma lige (mahligai). Kemudian
melibatkan panggita yang bertugas mendisain bentuk uma lige, dan juga seniman
untuk menghias bunga telur serta merangkai susunan sirih puan.25
Pada upacara
Hanta Ua Pua ini dapat dilihat ada 44 orang dari kampung yang berbeda
mengusung uma lige secara bersama-sama, itu merupakan bentuk dari karawi
kaboju (gotong royong). Dalam budaya mbolo ro dampa (musyawarah dan
24
Edi Sedyawati, Eksistensi Budaya Daerah Di Antara Budaya Nasional dan Global, Makalah
Gelar Budaya NTB, Mataram : 1997), h. 4. 25
Hasil wawancara pribadi penulis dengan Ahmad Zakaria, (Tangerang: 10 September 2016).
34
mufakat), masyarakat berkumpul tampa membeda-bedakankan golongan atau
strata sosial, baik masyarakat biasa maupun pejabat kesultanan. Semuanya
menyatu dalam musyawarah dan bebas mengeluarkan pendapat hingga
memperoleh solusi atau jalan keluar dari masalah yang dimusyawarahkan.
2. Nilai Spiritual
Upacara Hanta Ua Pua mengandung nilai syiar Islam, nilai budaya, nilai
kebersamaan gotong royong, dan juga saling menghargai satu sama lain antara
ulama dan umara atau pemimpin dan ulama sebagai pemimpin dan penasehat para
Sultan pada masa itu.26
Hanta Ua Pua diadakan untuk memperingati hari kelahiran
Nabi Muhammad SAW dan penghormatan pada ulama. Dou Mbojo (masyarakat
Bima) meyakini bahwa dengan diadakannya prosesi upacara Hanta Ua Pua atau
Maulid Nabi ini mampu menumbuhkan dan menambah rasa cinta mereka pada
Nabi Muhammad SAW sekaligus menghormati jasa para ulama yang menjadi
penerus Nabi dalam mendakwahkan Islam. Ulama digambarkan sebagai hawo ro
ninu27
yaitu tempat berteduh dan berkaca yang dijadikan panutan oleh masyarakat.
Nabi Muhammad SAW merupakan suri teladan bagi umat Islam Sebagaimana
firman Allah dalam surat al-Ahzab:
ئس ةاح ي هئسع نع ه كي يعف له لدقي
Artinya: “Sesungguhnya telah ada pada diri Muhammad SAW itu suri teladan
yang baik bagimu”. (Q.S Al Ahzab 33:21)28
Nabi Muhammad SAW merupakan al-Qur’an yang berjalan yang menjadi
pedoman bagi seluruh umat Islam untuk memperoleh kehidupan yang bahagia
dunia dan akhirat.
26
Hasil wawancara via telepon penulis dengan Ruslan Muhammad atau Alan Malingi,
(Bima:13 Januari 2017). 27
Hawo ro ninu artinya teduh dan kaca (tempat berteduh dan berkaca yang menjadi pengayom
sekaligus panutan bagi masyarakat). 28
Q.S Al-Ahzab: 21.
35
3. Nilai Pendidikan
Upacara Hanta Ua Pua juga mengandung nilai pendidikan agama yang sangat
penting bagi Masyarakat Islam, pertama: dalam pendidikan membentuk karakter
atau akhlak seseorang. Dalam pendidikan membentuk karakter ini Nabi
Muhammad SAW, menjadi model panutan untuk memperoleh akhlak yang baik
bagi umat manusia. Kedua: menanamkan nilai kesadaran masyarakat terhadap
pentingnya nilai sejarah, terutama sejarah masuknya Islam di daerah Bima. Ketiga:
menumbuhkan rasa tanggung jawab terhadap tugas yang dipercayakan
terhadapnya untuk dijalankan. Seperti yang terkandung dalam ungkapan Su’u sa
wa’u sia sa wale yang bermakna (siap sedia menanggung resiko dalam
menjalankan tugas dan tanggung jawab).29
4. Nilai Ekonomi
Upacara adat Hanta Ua Pua ini mampu menarik perhatian wisatawan lokal
maupun wisatawan asing. Dalam hal ini upacara Hanta Ua Pua memiliki nilai
kearifan lokal yang sangat luar biasa yang bisa dibanggakan oleh masyarakat
bima. Dalam pelaksanaan upacara Hanta Ua Pua memberikan keuntungan
tersendiri bagi para pedagang, dan pengrajin. Tidak sedikit masyarakat yang
membuka pasar untuk memperoleh penghasilan dari dagangannya yang berupa
makanan-makanan khas daerah, senjata-senjata tradisional yang digunakan dalam
tarian adat Bima, pakaian adat serta hasil kerajian tangan masyarakat setempat dan
lain-lain.
Pada hakekatnya manusia sebagai mahluk sosial tidak dapat hidup sendiri,
melainkan membutuhkan orang lain dalam berbagai aktivitas dan hal-hal lainnya,
seperti bergaul, tolong-menolong, kerja bakti, menjaga keamanan, dan lain-lain.
Hubungan sosial masyarakat tersebut dapat dijabarkan dalam bentuk norma atau
aturan hidup berkeluarga dan bermasyarakat.
29
Wawancara penulis dengan Ahmad Zakaria, (Tangerang: 10 September 2016).
36
Dalam upacara adat Hanta Ua Pua, nilai kebersamaan masyarakat dan
pemerintah Kesultanan Bima tergambar dalam bentuk kerjasama. Kerjasama yang
dilakukan bersama-sama disebut sebagai gotong royong untuk dapat meringankan
beban masing-masing pekerjaan. Masyarakat dan pegawai Istana Kesultanan Bima
saling bekerjasama dalam mempersiapkan segala peralatan yang akan digunakan
dalam upacara adat. Tujuannya untuk mewujudkan rasa kebersamaan dalam
masyarakat. Dalam proses pelaksanaannya, upacara Hanta Ua Pua menjadi wadah
berkumpulnya masyarakat yang saling tolong menolong dalam mempersiapkan acara
tersebut sehingga terjalin kerukunan antar warga masyarakat, sehingga hubungan
silaturahim antar masyarakat akan semakin erat.
37
BAB IV
HANTA UA PUA SEBAGAI BUDAYA ISLAM DI BIMA
A. Peran dan Pengaruh Hanta Ua Pua Terhadap Masyarakat dan Kesultanan
Bima
Tradisi Hanta Ua Pua merupakan cara dan upaya masyarakat dalam
menerjemahkan pesan-pesan agama melalui sikap dan perbuatan dalam bentuk tradisi
budaya. Tradisi ini diwariskan secara turun-temurun dari generasi ke generasi
berikutnya sebagai warisan budaya Islam yang dapat membentuk dan menuntun pola
perilaku manusia untuk menjadi manusia yang berakhlak.
Hanta Ua Pua memiliki nilai-nilai keislaman yang dapat diselaraskan dengan
ajaran agama. Salah satunya yaitu, Adanya nilai kebersamaan karawi kaboju (gotong
royong) antara tiga elemen yaitu ulama, umaro (pemerintah) dan masyarakat.
Kemudian sebelum adanya karawi kaboju ada yang namanya mbolo ro dampa
(musyawarah) untuk mencapai mufakat dalam menentukan harinya kapan akan
dilaksanakan, apa saja yang dibutuhkan dalam prosesi Hanta Ua Pua.1
Islam memang sangat kental dalam kehidupan masyarakat Bima, dan itu dapat
dilihat dari ketaatan pemimpin serta masyarakat terhadap syariat Islam sehingga
membuat kedudukan Islam menjadi sangat kuat di daerah Bima. Pengaruh budaya
Hindu-Budha dan kepercayaan asli suku Bima pun menjadi terkikis dan mengalami
perubahan dengan disisipkannya nilai-nilai Islam kedalam tradisi budaya tersebut.
Namun tidak pada Dou Donggo Ipa (Orang Pegunungan) yang merupakan suku asli
Bima yang masih bertahan dengan adat dan budayanya yaitu kepercayaan terhadap
makakamba makakimbi (animisme dinamisme) dan memilih menjauhkan diri dari
kehidupan sosial.
Dalam tradisi Hanta Ua Pua, seluruh lapisan masyarakat yang ada dalam
wilayah kekuasaan Kesultanan Bima dapat merayakan dan menyaksikan upacara adat
1 Wawancara pribadi dengan Ahmad Zakaria, (Tangerang: 7 Oktober 2016).
38
tersebut yang dipusatkan pada Istana Kesultanan. Masyarakat yang posisi wilayah
tempat tinggalnya cukup jauh dari pusat Istana Kesultanan Bima, harus melakukan
perjalanan yang memakan waktu berjam-jam untuk dapat menyaksikannya, namun
jarak bukanlah penghalang bagi masyarakat Bima untuk tetap menjalin tali
silaturahim dengan sesama. Bima juga menjalin hubungan baik dengan kerajaan lain
di daerah sekitarnya seperti Gowa, sullu, Makassar, dan Ternate yang sempat menjadi
wilayah kekuasaan Kesultanan Bima.
Melalui tradisi Hanta Ua Pua inilah, dakwah Islam mulai mengarahkan pada
pengisian makna dan nilai-nilai Islami yang integratif ke dalam segala jenis seni dan
budaya yang akan dikenalkan dan dikembangkan dalam kehidupan sosial masyarakat.
Pada upacara adat Hanta Ua Pua ini, ada prosesi budaya dan dengan prosesi budaya
ini masyarakat sekaligus orang-orang penting yang memegang kekuasaan di
Kesultanan Bima diperkenalkan Islam tampa keluar dari adat istiadat dan budaya
mereka, sehingga ketika mereka menerima Islam, mereka dapat menerima dengan
suka rela.2
Dampaknya, syariat Islam yang di perkenalkan pada masyarakat adalah syariat
yang sedikit banyak telah di padukan dengan tradisi lokal yang berlaku di kerajaan
dan masyarakat sebelumnya. Untuk itu, para penyiar Islam berusaha memberikan ruh
dan warna pada tradisi lokal dengan ajaran Islam, sehingga betul-betul menjadi tradisi
Islami yang tidak bertentangan dengan syariat Islam dan tidak menghilangkan budaya
lokal yang baik (local wisdom).
Upacara adat Hanta Ua Pua memiliki peran penting dalam penyebaran agama
Islam di Bima. Ua Pua menjadi media atau alat perantara yang paling efektif dalam
pelaksanaan dakwah Islam di Bima pada masa kepemimpinan Sultan Abdul Khair
Sirajuddin “Rumata Mantau Uma Jati”. Berkat media Ua Pua ini para mubalig Islam
dari Melayu berhasil menghidupkan kembali Islam yang sempat mati suri.
2 Wawancara pribadi dengan Ahmad Zakaria, (Tangerang: 7 Oktober 2016).
39
Orang Melayu sejak beberapa abad yang silam telah mempunyai peran penting
dalam penyiaran agama Islam di Bima, orang-orang Melayu tidak hanya dikenal
sebagai pedagang yang ulet dan handal, tetapi mereka juga dikenal sebagai perantara
dalam penyebaran Islam dan mengantarkan budaya Melayu ke daerah Bima dan
sekitarnya.3 Selama Sultan Abdul Khair Sirajudin memerintah tercatat beberapa
peristiwa penting yang terjadi di kerajaan Bima antara lain:
1. Penyesuaian hukum adat dengan hukum Islam sehingga pemerintahan
kerajaan benar-benar berjalan sebagaimana lazimnya kerajaan Islam.
2. Penyesuaian bentuk majelis kerajaan dengan memasukkan unsur-unsur
agama Islam, kalau sebelumnya Majelis Kerajaan terdiri dari Majelis Syara’
dan Majelis Hadat, maka setelah penyesuaian terdiri dari unsur Syara', unsur
Syara' Tua dan unsur hukum.
3. Memperluas penyiaran agama Islam dengan mewajibkan pelaksanaan syariat
Islam dari memberikan kedudukan yang tinggi bagi para mubalig. Oleh
karena itu dalam Kronik Bima.4 Sultan Abdul Khair Sirajudin disebut
sebagai palita agama.
4. Memerintahkan penyempurnaan Kitab Catatan Harian Kerajaan dengan
membuat (menulis) Bo’ dengan huruf Arab dan berbahasa Melayu.
Segala upaya telah dilakukan oleh para mubalig untuk membuka kembali
memori para pemimpin dan masyarakat dalam mengingat kembali sumpah dan ikrar
sultan pertama, Sultan Abdul Kahir I “Ruma ma bata wadu”, terkait dengan peran
dan tanggung jawabnya untuk menjalankan sumpah para leluhur untuk melanjutkan
dakwah Islamiah.5 Serta mengingatkan kembali kepada Sultan yang baru, yang akan
menjadi pucu ro mua (pemimpin tertinggi) dalam kesultanan Bima untuk tetap taat
kepada ajaran agama Islam dan harus mampu menjadi hawo ro ninu (pengayom dan
pelindung) bagi rakyatnya.
Adapun makna Ua Pua sebagai media dakwah Islam yaitu ua yang berarti
pinang ini memiliki pohon yang tinggi atau simbol ketinggian dan buahnya memiliki
3 Helius Syamsuddin. The Coming of Islam and The Role of The Malays as Middelman on Bima
, Papers of Dutch –Indonesian Historical Conference held at Logevuursche, The Netherlands. 23-27
Juni 1980, h. 292. 4 J. Noorduyn, Makasar and The Islamization of Bima, (BKI., 142, 1987), h. 112.
5 Wawancara pribadi dengan Ahmad Zakaria, (Tangerang: 7 Oktober 2016).
40
serat dan daging buah yang lembut yang khasiatnya bagus buat kesehatan tapi itu
hanyalah simbolitas. Bahwa sejatinya para ulama ini kedudukannya tinggi dan
fungsinya adalah untuk mengobati penyakit masyarakat untuk mengarahkan dan
membimbingnya. Bagian dalam buahnya juga memiliki terkstur yang lembut, yang
mewakili sikap dan kelembutan hati seorang ulama karena seorang ulama sudah
sepatutnya memiliki sikap yang lemah lembut dalam menghadapi masyarakat.
sedangkan pua itu berasal dari kata puan yang artinya tuan atau orang yang terhormat
yang memiliki hati yang lembut dan memiliki ilmu.6
Jadi tugas seorang ulama bukan hanya mentransfer tentang ilmu-ilmu
keagamaan tetapi juga mentransfer nilai tentang kehidupan, etika dan akhlak kepada
masyarakat. Kemudian sifat dan prilakunya patut ditiru, maka ada istilah hawo ro
ninu, yaitu menjadi tempat orang untuk melabuhkan perasaannya, mengadukan keluh
kesannya, tempat orang mencontohi sifat dan prilakunya.
Adapun Langkah-langkah yang dilakukan dalam kegiatan dakwah Islam di
Bima. Mulai dari masa kepemimpinan Sultan Abdul Kahir I yang menjadi pemimpin
sekaligus ulama, mampu menanamkan nilai-nilai Islam di tanah Bima (Bima: dana
mbojo). Kemudian dilanjutkan oleh putranya yang bernama Abdul Khair Sirajuddin
yang juga ditanamkan nilai Islam, dibina dan di bimbing langsung oleh para ulama
dari Melayu dan ulama dari tanah Bugis. Langkah-langkah kongkritnya adalah
menjadikan undang-undang kerajaan mengandung nilai syariat Islam, yang beralih
dari hukum kerajaan yang lama dimana yang tadinya mengandung hukum tradisi
budaya masyarakat dan hukum Ncuhi (hukum kerajaan) sekarang lebih ditegakkan
nilai keislamannya sehingga seluruh lapisan masyarakat mengamalkan Islam dalam
kehidupannya sehari-hari. 7
6
Wawancara pribadi dengan Ahmad Zakaria, (Tangerang: 7 Oktober 2016). 7 Wawancara via telepon penulis dengan Hanafi Yasin, (Jakarta: 10 Januari 2017).
41
B. Hanta Ua Pua Sebagai Simbol Penghormatan pada Ilmu dan Ulama
Suatu kenyataan bahwa kedatangan Islam ke Indonesia dilakukan secara
damai.8 Penyebarnya terutama guru sufi dan pedagang dari Arabia. Pada awalnya
mereka membawa Islam ke pantai timur Aceh, kemudian ke Malaka, selanjutnya
sepanjang rute dagang pulau-pulau rempah di Indonesia Timur, dan juga kota-kota
pelabuhan di pantai utara pulau Jawa.9
Sejarah menunjukkan bahwa pengislaman seluruh kawasan nusantara ternyata
berlangsung secara tidak seragam. Tingkat penerimaan Islam pada satu bagian atau
bagian lainnya bergantung tidak hanya waktu pengenalannya, tapi juga pada watak
budaya lokal yang dihadapi Islam.10
Sebagai contoh, di daerah pesisir yang umumnya memiliki budaya maritim dan
sangat terbuka terhadap kehidupan kosmopolitan, Islam masuk dengan cara yang
lebih mudah dari pada di daerah pedalaman yang memiliki budaya agraris yang lebih
tertutup.11
Keberadaan ulama di Indonesia merupakan bagian dari proses sejarah Islam.
Ulama adalah orang yang paling berjasa dalam mensyiarkan Islam dan
memperkenalkannya pada masyarakat Nusantara-Melayu. Upaya para ulama dalam
proses Islamisasi awalnya disandang sejalan dengan perannya sebagai pedagang.12
Sejak itulah, jumlah masyarakat Muslim semakin meningkat dan dapat ditemukan
diberbagai wilayah Nusantara. Salah satunya di daerah Bima yang memang di
Islamkan oleh seorang ulama keturunan bangsawan Melayu dari Sumatra Barat.
Penyebaran Islam di daerah Bima yang melalui pelabuhan Sape, dilakukan
penuh damai, kekeluargaan dan bersatu dalam cita-cita untuk menyiarkan ajaran
8 Azumardi Azra, Renaisens Islam Asia Tenggara, sejarah wacana dan kekuasaan, (Bandung:
PT Remaja Rosda Karya, 1999), h. 8. 9 Azumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII,
(Bandung: Penerbit Mizan, 1994), h. 11-12. 10
Syamsul Arif, Islam Pribumi Indonesia, (Tahlilan: Salah Satu Integrasi Budaya dan Agama). 11
Azyumardi Azra, Islam Nusantara: Jaringan Global dan Lokal, (Bandung: Mizan, 2002), h.
18. 12
Jajat Burhanudin, Pemikiran dan Institusi Politik Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve), h.
89.
42
agama Islam di Kerajaan Bima.13
Kronik Bima menyebutkan bahwa Abdul Kahir,
sultan Bima I memeluk agama Islam pada tanggal 15 Rabi'ul Awal 1030 Hijrah
bertepatan dengan 7 Januari 1621, tidak lama setelah raja Goa mengirim ekspedisi
militernya yang kedua pada tahun 1619.14
Kronik Bima juga menyebutkan bahwa Sultan Bima I (raja yang pertama
memeluk agama Islam) tidak identik dengan tokoh atau raja Bima yang menolak
memeluk agama Islam. Pamannnya yang dikenal sebagai Mantau Asi Peka atau Raja
Salisi berselisih dengan keponakannya Abdul Kahir yang bergelar Ma Bata Wadu
yang pada waktu itu telah memeluk agama Islam.15
Walau sempat terjadi konflik antara raja Salisi mantau Asi Peka dengan
keponakannya putra mahkota La ka’I (Abdul Kahir I) dalam hal perebutan
kekuasaan, sehingga menghambat proses islamisai di Bima. Namun semuanya dapat
diatasi setelah ditangkapnya raja Salisi berkat bantuan dari pasukan kerajaan
Makassar yang dibantu oleh masyarakat Sape dan Wera.
Ulama dalam padangan masyarakat bima digambarkan sebagai hawo ro ninu
yaitu tempat berteduh dan berkaca yang dijadikan panutan oleh masyarakat setara
dengan raja. Kemuliaan tersebut sejalan dengan ajaran Agama Islam yang
menempatkan para ulama sebagai pewaris para nabi dan jalur transmisi ilmu-ilmu
syariat. Sehingga, pendapat dan buah pemikiran ulama merupakan referensi hukum
yang patut dijalankan.
Adapun pesan moral yang ingin disampaikan melalui tradisi Hanta Ua Pua
yaitu; pesan moral yang paling inti disitu adalah, pertama: bahwa masyarakat dan
juga para Raja harus menghormati ulama karena ulama ini adalah pewaris para nabi,
sumber transmisi ilmu dan ilmu tidak akan terpancar dengan baik kalau tidak
menghargai orang yang membawa ilmu tersebut. Untuk membangun masyarakat
peradaban yang bagus itu adalah harus dengan ilmu sedangkan ilmu kepemerintahan
13
H. Abdullah Tajib, BA. Sejarah Bima Dana MBojo, h. 112. 14
H. Abdullah Tajib, BA. Sejarah Bima Dana MBojo, h. 33. 15
Tawalinuddin Haris, Masuknya Islam dan Munculnya Bima Sebagai Pusat Kekuasaan Islam
di Kawasan Nusa Tenggara, (Volume 17 Nomor 2 Juli - Desember 2011), h. 275.
43
itu sendiri berasal dari ulama, maka saat itulah diajarkan secara masal kepada
masyarakat tentang adab dan perilaku terhadap para ulama. Kedua: bahwa adanya
nilai kebersamaan, nilai gotong royong, kemudian ada mufakat dan musyawarahnya,
disamping itu juga terdapat poin penting dimana masyarakat bisa melihat bahwa
membangun suatu bangsa atau negara itu harus ada kerukunan dan keharmonisan
terhadap tiga elemen tersebut. Dimana masyarakat menjadi poin penting suatu
negara, kemudian ulama tempat transfer ilmu dan para Raja sebagai pengayom
masyarakat.16
Karena ulama adalah sumber ilmu syariat sedangkan raja atau sultan adalah
simbol hukum maka para ulama mencari cara terbaik untuk menebarkan ilmu syariat
tersebut dengan legalitas hukum yang jelas sehingga masyarakat luas dengan mudah
tunduk dan patuh pada syiar tersebut, maka melunakkan hati raja dan
mengingatkannya pada sumpah para leluhur mereka terhadap islam adalah suatu
keniscayaan maka dibuatlah acara Hanta Ua Pua sebagai sarana untuk mengingatkan
tanggung jawab tersebut sekaligus menegaskan akan pentingnya penghormatan pada
ilmu dan ulama lewat simbolitas uma lige yang diusung oleh para pemuda.
Pada upacara adat Hanta Ua Pua, ada beberapa syarat yang tidak boleh
ketinggalan dan harus ada dalam pelaksanaan upacara adat. Pertama: seorang ulama
atau tokoh keturunan Melayu yang menjadi para da’i atau mubalig, mereka sebagai
simbol. Kedua: disiapkanya para penari sebagai pengiring sekaligus tanda
penghormatan kepada Sultan yang akan memberikan seserahan sirih puan tersebut.
Kemudian ada al-Qur’an juga sebagai simbol hukum dan bunga telur sebagai
lambang kesatuan para ulama, masyarakat dan pemerintahan dan juga adanya para
pemuda dari berbagai kampung, seperti yang ada di sape donggo, wera, dan Melayu
masing-masing datang untuk mewakili kampungnya karena para pemuda itu akan
menjadi penerus.17
16
Wawancara pribadi dengan Ahmad Zakaria, (Tangerang: 7 Oktober 2016). 17
Wawancara pribadi dengan Ahmad Zakaria, (Tangerang: 7 Oktober 2016).
44
Pada acara tersebut juga dinobatkanlah ulama itu dengan gelar kehormatan
ruma guru18
sebagai simbol status sosial yang setara dengan raja atau sultan agar
memilki kekuatan hukum dan legitimasi politik. Dengan adanya status sosial itu
ulama dengan mudah melakukan dakwah islamiyah kepada para pejabat istana dan
masyarakat yang masih minim pengetahuannya tentang Islam.
C. Rangkaian dalam Pelaksanaan Upacara Adat Hanta Ua Pua.
Dalam pelaksanaan upacara Hanta Ua Pua, ada beberapa persyaratan yang
harus dipenuhi sebelum diadakan prosesi tersebut, diantaranya; 1). Mbolo ro dampa
musyawarah untuk mencapai mufakat 2). Ziki molu (dzikir Maulid) dan pembacaan
kitab barzanji) di Istana Kesultanan Bima yang dihadiri oleh majelis Hadat
Kesultanan Bima yang terdiri dari majelis Sara Tua, majelis Sara-sara, dan majelis
Sara hukum dalam rangka memperingati Maulid Nabi Muhammhad SAW dengan
membacakan Barzanji.19
Ketika dzikir berlangsung beberapa orang melakukan
pengirisan daun pandan yang dicampur dengan kembang-kembang dan wangi-
wangian dan dibagikan kepada peserta dzikir dan tamu.
Dalam acara itu juga berlangsung acara adat Weha Tau Apa yaitu perjamuan
kue Apam yang dimakan dengan opor serta minum serbat. Setiap pejabat mempunyai
satu perangkat hidangan yang ditata di atas talam dan ditutup dengan Tonggo Apa.
Penataan kue Apam diatur menurut peringkat kepangkatan masing – masing pejabat
dalam persidangan juga berdasarkan pangkatnya. Perangkat hidangan ini kemudian
dibawah kerumah masing-masing. Penutupan acara di tandai dengan membagikan
bunga rampai kepada hadirin.20
Barulah upacara adat Hanta Ua Pua dapat
dilaksanakan keesokan harinya yang dipusatkan di halaman depan Istana Kesultanan
Bima, yang dikenal dengan nama Asi Mbojo.
18
Ruma secara Bahasa itu tuan atau sunan, pada awalnya ruma itu khusus untuk raja dan
keturunan raja, seperti panggilan kepada ibu suri ruma ka’u atau ina ka’u. Begitu juga dengan
sebutan anak raja dengan ungkapan ana ruma (anak raja). Namun dalam perkembangannya gelar
tersebut berlaku juga bagi para bangsawan dan tokoh masyarakat yang sudah bertalian keluarga
dengan raja sebagai simbol status sosial. 19 Ruslan Muhammad atau Alan Malingi, Upacara Adat Hanta Ua Pua, h. 25. 20
Ruslan Muhammad atau Alan Malingi, Upacara Adat Hanta Ua Pua, h. 26.
45
Diawali pemukulan Ranca Na’e (gong besar) pada pukul 6 pagi dari loteng
Gerbang Istana (Lare-Lare Asi). Hal tersebut dimkasudkan sebagai peringatan bahwa
hari upacara adat telah tiba. Kemudian pada sekitar pukul 7 pagi utusan Sultan yang
terdiri dari tokoh-tokoh adat, anggota laskar kesultanan, bersama penari lenggo
Mbojo menjemput penghulu Melayu di kediamannya, Kampung Melayu.21
Upacara
adat Hanta Ua Pua diawali oleh kegiatan-kegiatan atraksi seni budaya
tradisional. Seluruh seniman dan Pendekar dari berbagai pelosok desa dalam wilayah
kesultanan Bima berkumpul di lapangan Sera Suba untuk mempertunjukan
keahliannya.
Pada pukul 8 pagi, rombongan penghulu Melayu berangkat dari Kampung
Melayu menuju Istana Bima. Keberangkatan rombongan tersebut ditandai dengan
dentuman meriam. Adapun rombongan yang menyertai para penghulu Melayu secara
berurutan antara lain:22
1. Pasukan Jara Wera sebagai pengawal pembuka jalan. Pasukan Jara Wera
adalah pasukan yang setia pada Sultan dan berani mati dalam membela
agama Islam yang dibentuk dari sejarah perjuangan putra mahkota La Ka’i
(Sultan Abdul Kahir) seluruh pasukan berseragam putih sebagai lambang
kesucian dan keikhlasan dalam membela agama, rakyat, dan negerinya. Para
penunggangnya adalah para pendekar yang menunjukan jalan serta
mengantar para datuk yang datang dari Makassar menuju Bima lewat Teluk
Bima ketika pertama kali membawa ajaran Islam di Kerajaan Bima. Itulah
sebabnya pasukan Jara Wera berada di posisi yang paling depan dalam
upacara adat Hanta Ua Pua.
2. Kemudian diikuti oleh pasukan Jara Sara’u yaitu, pasukan elit berkuda
Kesultanan Bima sebagai pengawal kehormatan. Pasukan ini terampil dalam
memainkan senjata seperti, pedang, keris, tombak diatas kuda. Dalam
Upacara Hanta Ua Pua mereka menampilkan atraksi dengan hentakan kaki
kuda yang khas dari kuda pilihan.
21
Ruslan Muhammad atau Alan Malingi, Upacara Adat Hanta Ua Pua, h. 27. 22
Ruslan Muhammad atau Alan Malingi, Upacara Adat Hanta Ua Pua, h. 25-26. Pada tanggal
23 Februari 2012, upacara Hanta Ua Pua digelar dengan meriah dan ditonton oleh banyak masyarakat
Bima bahkan diluar daerah Bima. Pada akhir acara terdapat pembagian bunga dolu atau bunga telur
yang dipercaya oleh masyarakat dapat mempermudah rejeki bahkan jodoh. Kemeriahan upacara Hanta
Ua Pua ini juga mengundang perhatian dari beberapa wartawan dari stasiun Televisi swasta untuk
meliput langsung kegiatan upacara Hanta Ua Pua.
46
3. Anggota Laskar Suba Na’e adalah pasukan prajurit Kesultanan Bima yang
membawa beberapa peralatan perang berupa tombak dan tameng sebagai
simbol kesiagaan pasukan kejaraan dalam mengamankan negeri. Dibelakang
pasukan Laskar Suba Na’e berjalan rombongan pengiring Uma Lige oleh
keluarga besar Kampung Melayu yang merupakan tamu kehormatan dalam
upacara Hanta Ua Pua. Setelah rombongan iringan Uma Lige sampai di
depan istana barulah penghulu Melayu turun untuk mengantarkan rumpun
bunga dolu dengan al-Qur’an untuk diserahkan kepada Sultan Bima.
4. Penari Sere adalah sejenis tari perang yang dimainkan oleh enam orang
bersama bintara Kesultanan Bima yang disebut “Bumi Sumpi” sebagai tanda
terjaminnya keamanan dan ketertiban jalannya Upacara Hanta Ua Pua. Para
penari sere memegang tombak sambal mengacungkannya sambil melangkah
menuju tangga istana dengan diiringan musik tambur dan Silu. Terkahir
diikuti oleh rombongan Pemuka Adat Bima (Dana Mbojo). Setelah
Penghulu Melayu beserta rombongan tiba di Istana Bima disambut pula
dengan dentuman meriam dan berbagai atraksi serta tarian tradisional seperti
tari kanja23
, tari sere, Gantaong dan dilanjutkan dengan Mihu24
.
Saat terjadi hanta karo’a atau penyerahan al-Qur’an kepada Sultan Bima.
Peristiwa ini menjadi acara inti rangkaian upacara adat. Penyerahan al-Qur’an dari
penghulu Melayu kepada Jena Teke atau Raja muda. Setelah Ua Pua yang berisi al-
Qur’an diserahkan, penghulu Melayu dan Sultan duduk berdampingan sambil
menyaksikan Tari Lenggo, Ua Pua sebagai lambang keharmonisan hubungan dan
simbol kesamaan visi dan misi masyarakat Mbojo dalam kehidupan beragama,
berbangsa dan bernegara. Kemudian dibagian akhir upacara ditandai dengan
pembagian 99 tangkai bunga telur sebagai simbol Asma’ul Husna (99 sifat Allah
S.W.T) kepada seluruh hadirin.25
Tujuan dari penyerahan al-Qur’an oleh penghulu Melayu kepada Sultan, yaitu
untuk mengingatkan pemerintah dan masyarakat, bahwa al-Qur’an merupakan
sumber hukum dan konsep tatanan kepemerintahan yang harus di laksanakan oleh
seluruh lapisan masyarakat, serta mengajak para pemimpin dan masyarakat agar tetap
23
Tarian mpaa kanja merupakan tarian kesatria yang dilakukan oleh panglima perang, sebagai
pernyataan setia dan penghormatan tertinggi terhadap pemimpin sekaligus menegaskan bahwa
pemimpin telah menyatu dengan tubuh adat dan negeri. 24
Mihu yaitu pernyataaan kesiapan sultan untuk menerima sekaligus memulai upacara
penyerahan U’a Pua yang berisi Kitab Suci Al-qur’an. 25 Ruslan Muhammad atau Alan Malingi, Upacara Adat Hanta Ua Pua, h. 27.
47
dan terus membaca serta menjalankan kandungan al-Qur’an dalam kehidupan sehari-
hari. Sebagaimana firman Allah SWT memberi anjuran kepada manusia untuk setiap
saat membaca al- Qur'an karena keutamannya.
صل صل نلا ةلا ملق أ ةلا ل نل با تلك ول ليبلل ك م ل ب
نل ل ك لةب ل للأ ب لا ل ل رلب ب لا مل ب ب ل لك ب بال ب ل ك حل ن بالشب ل بنلت ل
Artinya:"Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, Yaitu Al kitab (Al
Quran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari
(perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar, dan sesungguhnya
mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari
ibadat-ibadat yang lain). dan Allah mengetahui apa yang kamu
kerjakan."(Al-'Ankabuut: 45)26
Nabi Muhammad SAW dalam hadisnya juga memerintahkan untuk membaca
al-Qur`an pada setiap waktu dan setiap kesempatan dengan bentuk perintah yang
bersifat mutlak. Pada hari Kiamat, Allah SWT akan menjadikan pahala membaca al-
Qur`an sebagai sesuatu yang berdiri sendiri, datang memberikan syafa’at dengan
seizin Allah kepada orang yang rajin membacanya.
D. Fungsi Hanta Ua Pua terhadap Perkembang an Islam di Bima
Hanta Ua Pua memiliki kedudukan yang istimewa dihati komunitas Muslim
yang ada di Bima. Hanta Ua Pua merupakan suatu kegiatan yang bersejarah dalam
perkembangan umat Islam di Bima. Didalamnya ada beberapa tradisi yang menjadi
tujuan dari pelaksanaan Hanta Ua Pua yakni, upacara penobatan, peringatan
masuknya Islam di Bima, dan peringatan Maulid yang jatuh pada tanggal yang sama
yaitu 12 Rabiul Awal. Pada prosesi pelaksanaan semua peringatan diatas diturut
sertakan dalam perayaan Hanta Ua Pua.
Peringatan Hanta Ua Pua dilakukan di Istana Kesultanan Bima, yang turut
dihadiri oleh majelis Hadat Kesultanan Bima, yang terdiri dari Sara Tua, majelis
26
Q.S. Al-'Ankabuut: 45.
48
sara-sara, dan majelis Sara Hukum. penghulu Melayu, pejabat kesultanan serta
seluruh lapisan masyarakat dengan membaca al-Barzanji.27
Tradisi Hanta Ua Pua diadakan dengan penuh makna, dan mengagungkan
nilai-nilai islam. Ua Pua berisi 99 tangkai bunga telur yang menjadi lambang Asmaul
husna dan dipercayai oleh masyarakat dapat membawa berkah tersebut merupakan
bentuk ketaatan masyarakat dengan menggungkan nama-nama Allah SWT. Dalam
prosesi Hanta Ua Pua, sirih puan yang terdiri dari daun sirih dan bunga telur tersebut
memiliki makna tersendiri.
Bunga telur dimaknai sebagai simbol persatuan. Simbol persatuan ini dibagi
dalam tiga pola masyarakat, yaitu terdiri dari kulit telur, putih telur, dan kuning telur.
Kulit telur atau cangkang telur ini diibaratkan sebagai pemimpin yang dapat
mengayomi dan menjaga masyarakatnya. Putih telur diibaratkan sebagai masyarakat,
kemudian kuning telur ini sebagai inti yaitu ulama yang akan memberikan
pencerahan sehingga ada keseimbangan antara ulama, umaro (pemimpin) dan
masyarakat. Jadi harus ada keseimbangan dan kerja sama antara ketiga pola tersebut
agar tidak rusak. sedangkan daun sirih dilambangkan sebagai simbol penghormatan
kepada tamu dan sebagai simbol kehidupan, dan kehidupan itu sendiri akan ada
apabila ada kerelaan untuk saling menghargai satu sama lain.28
Sebagai suatu peringatan yang tidak boleh mengandung kegiatan yang bersifat
hiburan, Maulid Nabi harus didefinisikan dengan kriteria prosesinya bukan pada
kriteria perayaannya.29
Karena pada prosesi Hanta Ua Pua para ulama, anggota
kerajaan dan masyarakat melakukan ziki molu (zikir maulud) dan pembacaan kitab al-
Barzanji pada malam hari, barulah pada pagi harinya diadakan perayaan yang disertai
dengan hiburan dan tari-tarian untuk memeriahkan perayaan Hanta Ua Pua.
27
https://www.scribd.com/doc/299517242/Upacara-Adat-Bima-Hanta-Ua-Pua. Diakses tanggal
5 Januari 2017. 28
Wawancara pribadi dengan Bapak Ahmad Zakaria, (Tangerang: 7 Oktober 2016). 29
Toha Hamim, Tradisi Maulid Nabi di Kalangan Pesantren, (jurnal studi agama-agama), h.
257.
49
Masyarakat Bima sangat antusias sekali dalam menyambut kedatangan upacara
adat Hanta Ua Pua, karena acara ini langka hanya 1 kali dalam setahun di adakan dan
itu merupakan pekan raya dalam Kesultanan Bima. Masyarakat dari berbagai daerah
datang, bahkan mereka rela meninggalkan tanaman, sawah dan ladangnya hanya
untuk ikut meramaikan dan menyaksikan Hanta Ua Pua berlangsung dan disatu sisi
masyarakat juga merasa penasaran ingin mengetahui siapa yang menjadi tokoh atau
ulama keturunan Melayu yang akan diusung dengan uma lige oleh 44 orang pemuda
dari berbagai desa. Disatu sisi juga terjadi mobilitas ekonomi dimana masyarakat dari
berbagai daerah akan bertemu, saling menyapa antara suku dan melakukan barter
saling tukar menukar barang kebutuhan sehingga terjalin kekuatan silaturahim antar
suku.30
Hanta Ua Pua merupakan bentuk dari seni budaya tradisional yang diciptakan
guna mensyukuri nikmat Allah SWT dengan segala anugerah yang telah limpahkan
kepada manusia dengan berbagai potensi. Selain itu untuk menghayati kebesaran
Allah SWT baik yang terdapat di alam maupun yang terdapat pada hasil buatan
manusia itu sendiri.
Beberapa fungsi dari Hanta Ua Pua dalam upaya pengembangan Islam di Bima
antara lain;
1. Sebagai Pengingat
Sejak berdirinya Kesultanan Bima yang dipimpin oleh Abdul Kahir I dan
dibantu oleh para ulama. Sultan wajib menjalankan ajaran agama secara kaffah,
dengan menjalankan semua yang diperintahkan dan menjauhi segala yang dilarang.
Diadakanya tradisi Hanta Ua Pua, guna. Memperingati maulid Nabi serta
mengingatkan kembali atau menghidupkan kembali kejayaan Islam di Bima yang
sempat berjaya di Indonesia bagian Timur.31
Hanta Ua Pua juga mengingatkan dan menegaskan kembali kepada para
pemimpin atau Sultan yang baru dan masyarakat akan tugas dan kewajiban mereka
30
Wawancara pribadi dengan Ahmad Zakaria, (Tangerang: 7 Oktober 2016). 31
Wawancara via telepon penulis dengan Hanafi Yasin, (Jakarta: 10 Januari 2017).
50
dalam melanjutkan syar Islam, karena dalam mensyarkan Islam bukan hanya
dilakukan oleh para mubalig dan tokoh agama saja tetapi masyarakat juga memiliki
kewajiban dalam mesyarkan Islam, sebagaimana mereka telah mengidentitaskan
dirinya sebagai seorang muslim.
2. Sebagai Penghormatan Pada Ulama
Fungsi Hanta Ua Pua sebagai memperingati masuknya Islam di Bima dan
menghormati ulama dari Melayu sebagaimana yang tercatat dalam sejarah yang
dikenal dengan Datuk ri Bandang dan Datuk ri Tiro, kerena ulama sangat dihormati.32
Upacara Hanta Ua Pua diresmikan sebagai salah satu perayaan terbesar Islam
setelah Idul Fitri dan Idul Adha yang rutin diadakan setiap tahunya. Dalam
pelaksanaan Hanta Ua Pua ini, ulama, pemerintah, dan masyarakat dapat
menyaksikan secara bersama dengan penuh suka cita. Itu mencerminkan betapa rukun
dan sejahteranya hubungan ketiga elemen tersebut kala itu, tampa adanya perbedaan,
semuanya melebur menjadi satu dalam perayaan Hanta Ua Pua.
3. Sebagai Momentum Silaturahmi dan Bermusyawarah.
Tradisi upacara Hanta Ua Pua disamping sebagai wujud untuk memperingati
hari Maulid Nabi dan mengenang jasa para ulama penyebar Islam di Bima, juga
merupakan kegiatan dan sarana untuk mewujudkan rasa kebersamaan dalam
masyarakat. Sebab, dalam proses pelaksanaannya, upacara Hanta Ua Pua menjadi
wadah berkumpulnya masyarakat dari berbagai suku dalam daerah kekuasaan Bima.
datang dan bekerja secara gotong royong serta saling tolong menolong dalam
mempersiapkan acara tersebut. Daripada itu dapat kita lihat antusias masyarakat
menyambut perayaan Hanta Ua Pua dengan penuh gembira.
Dalam perayaan tersebut beberapa suku akan berkumpul dan berbaur dengan
suku-suku lainya sehingga terjadi interaksi ataupun komunikasi antara suku dan tidak
sedikit yang melakukan barteran atau hanya sekedar menonton bersama. Pada
perayaan upacara Hanta Ua Pua masyarakat dapat menyaksikan berbagai kreasi seni
32
Wawancara via telepon penulis dengan Hanafi Yasin, (Jakarta: 10 Januari 2017).
51
budaya yang ditampilkan baik tari-tarian adat maupun hasil kreasi tangan masyarakat.
Dengan begitu hubungan antara masyarakat akan terbangun dan terjalin dengan
rukun.
4. Sebagai Perantara dalam Dakwah Islam.
Budaya Hanta Ua Pua memiliki suatu kearifan lokal yang mampu
membimbing dan menuntun dalam setiap pelaksanaan dakwah agar berjalan secara
menyeluruh sehingga memperoleh hasil yang optimal bagi keseimbangan dan
kemajuan masyarakat.
Hanta ua pua menjadi salah satu media penyebaran Islam di Bima pada
periode-periode awal masuknya Islam di Bima meskipun perayaan Hanta Ua Pua
dilaksanakan pada masa kepemimpinan Sultan Bima yang ke-2 Abdul Khair
Sirajudddin, masa kepemimpinannya 1640-1682 dan itu ditetapkan oleh kesultanan
Bima sebagai perayaan hari besar yang dikenal dengan rawi na’e matolu kali
samba’a, perayaan yang dilakukan 3 kali dalam setahun yaitu Idul Fitri, Idul Adha,
dan Hanta Ua Pua. Itu menjadi sebuah peringatan perayaan, karena yang dinamakan
wura molu atau Hanta Ua Pua penjadi perayaan besar-besaran selama sehari
semalam.33
Hanta Ua Pua dikatakan sebagai bagian dari fungsi media dakwah Islam,
karena berkaitan erat dengan sejarah masuknya Islam di Bima.34
Dakwah juga
memiliki hubungan simbiosis yang erat dengan budaya Hanta Ua Pua dalam
kaitannya dengan nilai-nilai kemanusiaan, kebangsaan, dan kewargaan sejalan
dengan nilai-nilai Islam yang memuliakan, menyelamatkan, dan membahagiakan
umat manusia. Hanta Ua Pua juga berperan dalam mendukung keberlangsungan dan
keberhasilan pelaksanaan dakwah. Sementara itu, dakwah sendiri mendukung
keberlangsungan dan kelestarian budaya Hanta Ua Pua dengan terus diadakan
perayaan setiap tahunnya.
33
Wawancara via telepon dan via email penulis dengan Ruslan Muhammad atau Alan Malingi,
(Bima: 13 Januari 2017). 34
Wawancara via telepon penulis dengan Hanafi Yasin, (Jakarta: 10 Januari 2017).
52
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pemaparan yang diuraikan penulis pada bab-bab sebelumnya, maka
dengan demikian penulis mengemukakan kesimpulan antara lain:
Upacara adat Hanta Ua Pua merupakan salah satu dari bukti adanya jejak-jejak
kerajaan Islam di tanah Bima. Hanta Ua Pua merupakan budaya yang dicangkok dari
budaya Melayu, kemudian diangkat dan mulai di perkenalkan kepada masyarakat
Bima pada tanggal 12 Rabiul Awal yaitu pada masa kepemimpinan Sultan Abdul
Khair Sirajuddin oleh para ulama Melayu guna melancarkan dakwah Islam.
Upacara adat ini sempat terhenti pasca wafatnya sultan ke-14 Sultan
Muhammad Salahuddin yang memiliki gelar Ma Kakidi Agama pada tahun 1951 dan
bersamaan dengan berakhirnya Kesultanan Bima pada tahun yang sama, yang
akhirnya upacara adat ini tidak dilakukan lagi. Dampaknya masyarakat mengalami
kehilangan suatu tuntunan hidup yang sangat berpengaruh terhadap penanaman nilai
keagamaan.
Upacara adat Hanta Ua Pua pernah dicoba diadakan kembali pada tahun 1952,
namun dihalangi oleh sekelompok masyarakat Islam sendiri dengan dalih upacara
Hanta Ua Pua berjiwa feodal. Pada tahun 2002 Hanta Ua Pua mulai digelar kembali,
setelah Majelis Adat Dana Mbojo mengusulkan kepada Pemerintah kota Bima dan
Kabupaten Bima untuk menggelar kembali kegiatan Hanta Ua Pua.
Selain sebagai media dakwah upacara Hanta Ua Pua juga sebagai simbol
penghormatan kepada para ulama Melayu yang telah berjasa menyebarkan agama
Islam di Bima dengan melahirkan sikap peduli terhadap sejarah, sehingga masyarakat
dapat belajar dan berguru dari sejarah yang dapat dijadikan sebagai cerminan hidup
dalam menata kehidupan yang lebih baik untuk kehidupan yang akan datang.
53
Upacara Hanta Ua Pua menjadi wadah untuk menyalurkan bakat serta
memotivasi para seniman dan budayawan untuk menciptakan karya seni yang
bermutu yang layak di pertunjukan dalam upacara Hanta Ua Pua. Selain itu, dengan
adanya budaya Hanta Ua Pua ini dapat mengapresiasi masyarakat terhadap
pentingnya suatu budaya. Kebudayaan akan tetap lestari jika ada kepedulian tinggi
dari pemerintah dan masyarakat.
B. Saran
Sebagai bukti dari sejarah berdirinya Islam di Bima, Hanta Ua Pua patut
dipertahankan dan harus tetap dilesterikan, karena tradisi Hanta Ua Pua merupakan
aset budaya yang sangat penting dalam upaya menjaga dan mempertahankan jati diri
atau identitas diri sebagai sebuah bangsa. Tentunya tidak lepas dari peran pemerintah
dalam membantu melestarikan budaya Hanta Ua Pua ini. Penulis berharap tradisi
Hanta Ua Pua ini dapat menjadi panduan dalam menghormati serta memuliakan
para ulama sebagai penerus Nabi SAW. Selain itu penulis juga berharap tradisi Hanta
Ua Pua ini dapat menjadi alternatif sekaligus daya tarik bagi wisatawan lokal
maupun asing.
54
DAFTAR PUSTAKA
Azra, Azumardi. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad
XVII. Bandung: Penerbit Mizan, 1994.
, Renaisens Islam Asia Tenggara, Sejarah Wacana dan Kekuasaan,
Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 1999.
, Islam Nusantara: Jaringan Global dan Lokal, Bandung: Mizan, 2002.
Abdul malik Mahmud, Hasan. NGUSU WARU: Sebuah kriteria pemimpin menurut
budaya local mbojo, (Bima-Dompu). Yansa Yogyakarta 2008.
Abdullah, L.Massir Q. Bo (Suatu Himpunan Catatan Kuno Daerah Bima).
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Pengembangan
Permuseuman Nusa Tenggara Barat, 1981/1982.
Abdul Hakim, Atang, Metodologi Studi Islam. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.
2000.
Abdurrahman, Dudung. Metode Penelitian Sejarah. Jakarta: Logos, 1999.
Burhanudin, Jajat, Pemikiran dan Institusi Politik Islam. Jakarta: Ichtiar Baru Van
Hoeve.
Boedhihartono, dkk, Sejara Kebudayaan Indonesia: Sistem Budaya, Jakarta:
Rajawali Pers, 2009.
Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar bahasa Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka. 2003.
Departemen Agama RI, al-Qur’an Al-Karim dan Terjemahannya, Semarang: Toha
Putra 1998.
Harahap, A Salim, Sejarah Penyiaran Islam di Asia Tenggara, (Medan: Penerbit
Toko Buku Islamiyah, 1965.
Hurgronje, C. Snouck, Aceh, Rakyat Dan Adat Istiadatnya, Jakarta: INIS, 1996.
Ismail, M. Hilir. Menggali Pustaka Terpendam; Butir-butir Mutiara Dana Mbojo,
Bima 2001
55
, Peranan Kesultanan Bima dalam Perjalanan Sejarah Nusantara,
Gunung Agung I, Mataram 2004.
, Sejarah Kebudayan Masyarakart Bima. Mataram : Lengge Press, 2005
, Kebangkitan Islam Di Dana Mbojo (Bima) 1540-1950, Bogor: CV
Binasti, 2008.
Koentjaraningrat, Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan, Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama, 1992.
, Pengantar Antropologi, Jakarta: PT Rinaka Cipta, 1996.
, Sejarah Teori Antropologi, Jakarta: UI Press, 1987.
Loir, Henri Chambert, Massir Qurais Abdullah, dkk. Iman dan Diplomasi, Serpihan
Sejarah Kerajaan Bima. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG).,
Maret 2010.
Loir, Henri Chambert. Syair kerajaan Bima. Lembaga penelitian Perancis untuk
Timur Jauh, Jakarta, Bandung: Ecole Francajse D’Extreme-Orient 1982.
Loir, Henri Chambert, dan H. Siti Maryam Salahuddin. BO’ Sangaji Kai, Catatan
Kerajaan Bima. Ecole Francajse D’Extreme-Orient. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor
Indonesia 2012.
Moleong, Lexy J, Metode Penelitian Kualitatif. bandung: PT. Remaja Rosda Karya,
2001.
Muhammad ,Ruslan atau Alan Malingi, Upacara Adat Hanta Ua Pua, Mataram: PT
Mahani Persada September 2010.
Noorduyn, J. Makasar and The Islamization of Bima, BKI., 142, 1987.
Pedoman Akademik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
2012/2013
Ranjabar, Jacobus, Sistem Sosial Budaya Indonesia. Bogor : Ghalia Indonesia, 2006.
Sahidu, Djamaluddin, Kampung Orang Bima, Mataram: 2008, cet. II.
Sejarah Lisan Arsip Nasional Republik Indonesia, (Jakarta: Sub Bidang Sejarah Lisan
Arsip Nasional R.I, 1983.
Soekanto, Soerjono. Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Rajawali Press, 1999.
56
Tajib, H. Abdullah. Sejarah Bima Dana MBojo. Jakarta: PT Harapan Masa PGRI
1995.
Tim Penyusun, Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jakarta: PT Cipta Adi Pustaka, 1990.
Yunus, Mahmud. Kamus Arab Indonesia. Jakarta: PT. Mahmud Yunus Wa
Dzurriyyah, 2010.
Jurnal dan Skripsi:
Arif, Syamsul, “Islam Pribumi Indonesia (Tahlilan: Salah Satu Integrasi Budaya dan
Agama)”.
Hamim, Toha. “Tradisi Maulid Nabi di Kalangan Pesantren”, (jurnal studi agama-
agama).
Haris, Tawalinuddin. “Kesultanan Bima di Pulau Sumbawa” Wacana Vol. 8. NO: 1,
April 2006 17-31.
Haris, Tawalinuddin “Masuknya Islam dan Munculnya Bima Sebagai Pusat
Kekuasaan Islam di Kawasan Nusa Tenggara” Volume 17 Nomor 2 Juli -
Desember 2011, hal. 275.
Sedyawati. Eksistensi budaya daerah Diantara Budaya Nasional dan Global makalah
gelar budaya NTB, Mataram 1997.
Syamsuddin, Helius. The Coming of Islam and The Role of The Malays as
Middelman on Bima , Papers of Dutch –Indonesian Historical Conference held
at Logevuursche, The Netherlands. 23-27 Juni 1980.
Zakariah, Ahmad. “Nilai-nilai Pendidikan Akhlak yang Terkandung Dalam Falsafah
Ndinga Nggahi Rawi Pahu: (Studi Analisis Terhadap Falsafah Budaya Etnik
(Mbojo) Bima NTB)”. Skripsi Fakultas Pendidikan Agama, STAI Shalahuddin
Al Ayyubi Jakarta, 2010.
57
Internet:
https://www.scribd.com/doc/299517242/Upacara-Adat-Bima-Hanta-Ua-Pua. Diakses
tanggal 5 Januari 2017.
http://www.hukumonline.com/pusatdata/downloadfile/ltc3d334309455/parent/25806.
diakses tanggal 5 januari 2017, pukul 15:40 WIB
https://www.youtube.com/watch?v=uY8azFVsReEm. Diakses tgl 27 April 2016.
http://www.google.co.id/search?q=foto+hanta+ua+pua. Diakses tgl 5 Oktober 2016.
http://ilhamrakatezabima.blogspot.co.id/2011/03/profil-museum-asi-mbojo.html. Di
akses tanggal 5 Januari 2017.
https://www.indonesiakaya.com/jelajah-indonesia/detail/museum-asi-mbojo. Di akses
tanggal 5 Januari 2017.
Wawancara:
Muhammad, Ruslan atau Alan Malingi, Bima: 13 Januari 2017.
Yasin, Hanafi, Jakarta: 10 Januari 2017.
Zakaria, Ahmad, Tangerang: 7 Oktober 2016.
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Foto Prosesi Hanta Ua Pua
Uma Lige yang di usung 44 pemuda dari berbagai desa1
Penghulu Melayu bersama para penari lenggo Mbojo, dan penari
lenggo melayu di atas Uma Lige.2
1 https://www.scribd.com/doc/299517242/Upacara-Adat-Bima-Hanta-Ua-Pua. Diakses tanggal
5 Januari 2017. 2https://www.scribd.com/doc/299517242/Upacara-Adat-Bima-Hanta-Ua-Pua. Diakses tanggal 5
Januari 2017.
Penari lenggo Mbojo, dan penari lenggo Melayu menari didepan Sultan
dan majelis Hadat dana Mbojo.3
Foto bunga telur Ua Pua4 pasukan jara Wera dan jara Sara’u
5
3 http://www.google.co.id/search?q=foto+hanta+ua+pua. Diakses tgl 5 Oktober 2016.
4 http://www.google.co.id/search?q=foto+hanta+ua+pua. Diakses tgl 5 Oktober 2016.
5 http://www.google.co.id/search?q=foto+hanta+ua+pua. Diakses tgl 5 Oktober 2016.
ISTANA KESULTANAN BIMA
Lokasi perayaan upacara Hanta Ua Pua. 6
Halaman Istana Kesultanan Bima7
6http://ilhamrakatezabima.blogspot.co.id/2011/03/profil-museum-asi-mbojo.html. Di akses
tanggal 5 Januari 2017. 7 https://www.indonesiakaya.com/jelajah-indonesia/detail/museum-asi-mbojo. Di akses tanggal
5 Januari 2017.
PERTANYAAN WAWANCARA PENELITIAN
WAWANCARA I
Narasumber : Ahmad Zakaria
Jabatan : Guru
Tanggal Wawancara: 7 Oktober 2016
Jenis Wawancara : Wawancara langsung
T: Apa pengaruh Hanta Ua Pua terhadap islamisasi di kesultanan dan masyarakat
Bima?
J: Pertama, yg jelas bahwa dengan adanya Hanta Ua Pua ini, ada prosesi budaya dan
dengan prosesi budaya ini masyarakat sekaligus orang-orang penting yang
memegang kekuasaan di Kesultanan Bima diperkenalkan Islam tampa keluar dari
adat istiadat dan budaya mereka, sehingga ketika mereka menerima Islam itu
dapat menerima dengan suka rela. Kedua, masih terkait dengan pengaruh Hanta
Ua Pua ini sebagai sarana untuk mengingatkan kembali kepada Sultan yang baru
terkait dengan peran dan tanggung jawabnya untuk menjalankan sumpah para
leluhur untuk melanjutkan dakwah Islamiah.
T: Kapan masyarakat Bima pertamakali melaksanakan upacara Hanta Ua Pua?
J: Sejatinya kalau menurut tahunya kurang tahu tapi yang jelas mulai dilaksanakan
pada kepemimpinan Abdul Khair Sirajuddin, kemudian dikenal atau mulai
diberlakukan tiga upacara adat yang besar seperti Idul Fitri, Idul Adha, dan
hanta ua pua.
T: Apa yang membedakan prosesi upacara peringatan Maulid atau Hanta Ua Pua ini
dengan yang ada di daerah lain?
J: Kalau di Bima ini melibatkan para ulama yang digagas oleh para ulama yang
didukung oleh masyarakat kemudian dilibatkanlah pihak istana atau pihak
pemerintahan menggambarankan ada kesatupaduan antara ulama, umaro dan
masyarakat. Kalau maulid upacara-upacara di tempat lain hanya bersifat ritual
saja artinya mereka hanya duduk disuatu tempat kemudian membaca al-Barzanji.
Kalau ini ada prosesi budayanya dengan arak-arakan uma lige menuju Istana.
T: apa makna Hanta Ua Pua sebagai media dakwah Islam ?
J: makna Hanta Ua Pua, Ua yang berarti pinang ini memiliki pohon yang tinggi atau
simbol ketinggian dan buahnya memiliki serat yang khasiatnya bagus buat
kesehatan tapi itu hanyalah simbolitas.. Bahwa sejatinya para ulama ini
kedudukannya tinggi dan fungsinya adalah untuk mengobati penyakit masyarakat
untuk mengarahkan dan membimbingnya. Bagian dalam buahnya juga memiliki
terkstur yang lembut mewakili sikap dan kelembutan hati seorang ulama karena
seorang ulama sudah sepatutnya memiliki sikap yang lemah lembut dalam
menghadapi masyarakat. Kalau Pua itu berasal dari kata puan yang artinya orang
yang terhormat yang memiliki hati yang lembut dan memiliki ilmu. Jadi tugas
seorang ulama bukan hanya mentransfer tentang ilmu-ilmu keagamaan tetapi
juga mentransfer nilai tentang kehidupan, etika dan akhlak kepada masyarakat
yang bisa ditiru maka ada istilah hawo ro ninu, yaitu menjadi tempat orang untuk
melabuhkan perasaannya, mengadukan keluh kesannya, tempat orang
mencontohi sifat dan prilakunya.
T: Apa makna dari simbol bunga telur dan daun sirih dalam perayaan upacara adat
Hanta ua Pua?
J: Pertama, Bunga telur dimknai sebagai simbol persatuan. Bunga telur ini memiliki
tiga bagian yaitu, kuning telur, putih telur dan kulit telur yang masing-masing
memiliki makna tersendiri. kulit telur memiliki cangkang yang dapat melindungi
bagian dalam yang mudah hancur. Bahwa pola masyarakat itu ada tiga. 1.
Cangkang, 2. putih telur, 3. kuning telur. Cangkang ini yang mengayomi ibarat
dari pada pemimpin yang mengayomi dan menjaga masyarakat, putih telur
sebagai masyarakat, kemudian kuning telur ini sebagai inti yaitu ulama yang
akan memberikan pencerahan sehingga ada keseimbangan antara ulama, umaro
dan masyarakat. Jadi harus bekerja sama, tidak mungkin cangkangnya saja. Jika
kulitnya pecah maka isinyapun akan rusak. Maka menjaga cangkang perlu, maka
pemerintah yang benar itu harus didukung juga oleh masyarakat dan ulama,
begitu juga sebaliknya tidak akan bermanfaat cangkang telur apa bila kuning dan
putih telurnya rusak atau busuk maka semuanya akan ikut busuk. Jadi dapat
disimpulkan bahwa rusaknya ulama menyebabkan rusaknya masyarakan dan
kepemimpinan. Sebaliknya rusaknya kepemimpinan akan berimplikasi pada
rusaknya kesejahteraan masyarakat dan teraniayanya para ulama, namun ketika
rusaknya masyarakat maka pemerintah dan ulama yang akan bertanggung jawab.
Kedua, Daun sirih dilambangkan sebagai simbol penghormatan kepada tamu,
bahwa tamu yang hadat itu adalah tamu yang agung dan dimuliakan maka
puncak memuliakan orang dalam tradisi melayu itu adalah disiapkannya sirih dan
pinang itu adalah bentuk penyambutan para raja. Daun sirih juga dilambangkan
sebagai kehidupan dan kehidupan itu sendiri akan ada apabila ada kerelaan untuk
saling menghargai satu sama lain.
T: Nilai-nilai apa sajakah yang terkandung dalam upacara Hanta Ua Pua ini?
J: Adanya nilai kebersamaan gotong royong antara tiga elemen tadi. Yang pertama itu
masyarakat yang memiliki keahlian dalam membuat rancangan uma lige saling
bekerja sama, kemudian bagaimana merancang tari-tarian juga musiknya dan
mengkoordinasi masa yang akan mengangkat uma lige untuk sampai kedepan
istana serta bagaimana memposisikan ulama dan al-Qur’an yang ada di uma lige.
Ini merupakan wujud harmonisasi kehidupan diantara seorang ulama harus
didukung oleh masyarakat dan masyarakat juga harus bekerja sama untuk
menciptakan tatanan keharmonisasian. Tidak akan mungkin jadi uma lige yang
bagus kalau tidak ada kerja sama. Kemudian diikuti dengan iring-iringan musik.
Jadi dalam proses kehidupan itu kita tidak boleh berjan sendiri. Disini diajarkan
bagaimana semua elemen tersebut turut bersama dalam membangun masyarakat
madani, sehingga ketika sampai pada proses perjalanan itu prosesi tradisi ini bisa
mdinikmati oleh masyarakat baik dari musik, dan bisa dicontoh bagaimana
menghargai ulama kemudian bagaimana masyarakat melihat karawi kaboju
(gotong royong), kemudian sebelum adanya karawi kaboju ada yang namanya
mbolo ro dampa (musyawarah) untuk mencapai mufakat dalam menentukan
harinya kapan akan dilaksanakan, apa saja yang dibutuhkan. Masyarakat yang
madani adalah masyarakat yang saling mendengarkan masukan dari orang lain
dan tidak ada istilah masyarakat memaksakan kehendak. Dengan adanya upacara
Hanta Ua Pua ini masyarakat kembali menegakan budaya mbolo ro dampa
(musyawarah dan mufakat), dan budaya karawi kaboju (gotong royong).
T: Apasaja syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam melaksanakan upacara adat
Hanta Ua Pua?
J: pertama, dipersiapkannya seorang ulama atau tokoh keturunan Melayu yang
menjadi para da’I atau mubalig mereka sebagai simbol. kedua, disiapkanya para
penari sebagai pengiring sekaligus sebagai tanda penghormatan kepada Raja
yang akan memberikan seserahan sirih puan tersebut. Kemudian ada al-Qur’an
juga sebagai simbol hukum dan bunga telur sebagai lambang kesatuan para
ulama, masyarakat dan raja dan juga adanya para pemuda dari berbagai
kampung, seperti yang ada di Sape, Donggo dan wera masing-masing datang
untuk mewakili daerahnya karena para pemuda itu akan menjadi penerus.
Kemudian musiknya juga harus ada beras kuning yang di lemparkan sebelum
jalan setiap pelaksanaan upacara hanta ua pua.
T: Bagaimana respon masyarakat terhadap upacara Hanta Ua Pua?
J: masyarakat sangat antusias sekali dalam menyambut perayaan hanta ua pua karena
acara ini langka hanya 1 kali dalam setahun di adakan ini dan itu merupan pekan
raya dalam kesultanan. Masyarakat dari berbai daerah datang bahkan mereka rela
meninggalkan tanamannya, sawah dan ladangnya hanya untuk ikut meramaikan
menyaksikan hanta ua pua berlangsung dan disatu sisi masyarakat juga merasa
penasaran ingin mengetahui siapa yang menjadi tokoh atau ulama keturunan
Melayu yang akan diusung dengan uma lige oleh 44 orang pemuda dari berbagai
desa. Disatu sisi juga terjadi mobilitas ekonomi dimana masyarakat dari berbagai
daerah akan bertemu dan melakukan barter saling tukar menukar barang
kebutuhan. Sehingga terjadi kekuatan.
T: Pesan moral apa sajakah yang ingin disampaikan melalui tradisi Hanta Ua Pua?
J: ya sangat banyak, pesan moral yang paling inti disitu adalah, pertama itu bahwa
masyarakat juga para raja harus menghormati ulama karena ulama ini adalah
pewaris para nabi sumber transmisi ilmu dan ilmu tidak akan terpancar dengan
baik kalau tidak menghargai orang yang membawa ilmu tersebut. Untuk
membangun masyarakat peradaban yang bagus itu adalah harus dengan ilmu
sedangkan ilmu kepemerintahan itu sendiri berasal dari ulama, sehingga maka
pada saat itulah diajarkan secara masal kepada masyarakat tentang adab dan
perilaku terhadap para ulama,. Kedua, bahwa adanya nilai kebersamaan, nilai
gotong royong, kemudian ada mufakat dan musyawarahnya, disamping itu juga
poin pentingnya bahwa masyarakat bisa melihat bahwa membangun suatu bangsa
atau negara itu harus ada kerukunan dan keharmonisan terhadap tiga elemen
tersebut. Dimana masyarakat menjadi poin penting suatu negara, kemudian
ulama tempat transfer ilmu dan para raja sebagai pengayom masyarakat.
WAWANCARA II
Narasumber : Hanafi Yasin
Jabatan : Guru
Tanggal Wawancara: Januari 2017
Jenis Wawancara : Wawancara via Telepon
T: Apa fungsi Hanta Ua Pua terhadap perkembangan Islam di Bima?
J: Fungsinya pertama: memperingati maulid Nabi serta mengingatkan kembali atau
menghidupkan kembali kejayaan Islam di Bima yang sempat berjaya di
Indonesia bagian Timur. Kedua: memperingati masuknya Islam di Bima dan
menghormati ulama dari Melayu yang tercatat dalam sejarah yang dikenal
dengan Datuk ri Bandang dan Datuk ri Tiro, kerena ulama sangat dihormati.
Ketiga: Sebagai media dakwah Islam di Bima, karena berkaitan erat dengan
Islam acara maulid yang dibungkus dengan budaya karena masing-masing punya
cara sendiri, seperti di sasak punya cara tersendiri, di Jawa punya tersendiri, dan
di Bima mempunyai cara sendiri yang memiliki ciri khas tersendiri yang sampai
sekarang menjadi daya tarik para turis dan menjadi ciri dari masyarakat Bima
dalam hal perayaan untuk budaya Islam.
T: Langkah-langkah apa saja yang dilakukan dalam kegiatan dakwah Islam di Bima?
J: Mulai dari jaman kepemimpinan Sultan Abdul Kahir I yang menjadi pemimpin
sekaligus ulama, mampu menanamkan nilai-nilai Islam yang dalam sekali di
dana mbojo (tanah Bima). Kemudian dilanjutkan oleh putranya yang bernama
Abdul Khair Sirajuddin yang juga ditanamkan nilai Islam, dibina dan di bimbing
langsung oleh para ulama dari Melayu dan ulama dari tanah Bugis.
Langkah-langkah kongkritnya adalah menjadikan undang-undang kerajaan
mengandung nilai syariat Islam, yang beralih dari hukum kerajaan yang lama
dimana yang tadinya mengandung hukum tradisi budaya masyarakat dan hukum
Ncuhi (hukum kerajaan) sekarang lebih ditegakkan nilai keislamannya sehingga
seluruh lapisan masyarakat mengamalkan Islam dalam kehidupannya sehari-hari.
Contohnya: budaya rimpu (cadar ala Bima), tidak ada masyarakat khususnya
bagi para wanita yang diperbolehkan membuka aurat, karena akan mendapatkan
sangsi atau hukuman pengasingan bagi yang melakukan pelanggaran. Itu
disebabkan hukum budaya dan hukum adatnya masih berjalan. Hukum sosial dan
hukum budayanya dibungkus dengan hukum Islam. Jadi budaya masyarakat
mengikuti budaya Islam.
Pada jaman dulu para sultan sangat hebat ngajinya yang dikenal dengan ngaji
bi’a karo’a. mereka ngaji sampai kedalamannya sehingga mereka itu faham dan
mengamalkan apa yang menjadi perintah ayat-ayat Al-Qur’an, jadi tidak hanya
ngaji lisan saja tetapi langsung diamalkan. Banyak guru ngaji yang tersebar
dalam masyarakat pada saat itu. Akan menjadi aif bagi masyarakat Bima kalau
tidak bisa mengaji.
WAWANCARA III
Narasumber : Alan Malingi
Jabatan : Penulis
Tanggal Wawancara: Januari 2017
Jenis Wawancara : Wawancara via Telepon dan Email.
T: Bagaimana Rangkaian atau prosesi Dalam Pelaksanaan Upacara Adat Hanta Ua
Pua?
J: Rangakaiannya itu diawali dari penyiapan uma lige dengan bunag telur yang terdiri
dari 99 tangkai yang melambangkan asma’ul husnah, kemudian dipersiapkan dari
kampong melayu dibawah pimpinan penghulu melayu membawa kitab suci al-
Qur’an, sirih pinang, bunga telur dan penari lenggo, baik lenggo mbojo mapun
lenggo melayu menuju keistana Bima. Iring-iringan itu didahului dengan
pasukan-pasukan berkuda kerajaan Bima (jara sara’u dan jara Wera), keudian
lascar kesultanan uma lige, baru setelah itu keluarga-keluarga penghulu Melayu
itu. Diatas uma lige itu penguhu di apit oleh penari lenggo. Setelah tiba di istana
Bima di sambut oleh para pembesar-pembesar kerajaan dan sultan lalu
diserahkanlah kitab suci al-Qur’an, sirih pinang dan Bungan telur. Setelah
penyerahan itu atraksi kesenian dan pembagian bunga telur. Perjalan dari
kampung Melayu ke istana memakan waktu sekatar 1 jam, karena uma lige
sangant berat. Biasanya mulai jam 7 pagi sampai jam 8, karena prosesinya mulai
pada jam 8 pagi di halaman kesultanan Bima.
T: Apa fungsi hanta ua pua terhadap perkembangan Islam di Bima?
J: Hanta ua pua menjadi salah satu media penyebaran Islam di Bima pada periode-
periode awal masuknya Islam di Bima meskipun perayaan hanta ua pua
dilaksanakan pada masa kepemimpinan Sultan Bima yang ke II Abdul Khair
Sirajudddin, masa kepemimpinannya 1640-1682 dan seitu ditetapkan oleh
kesultanan Bima sebagai perayaan hari besar yang dikenal dengan rawi na’e
matolu kali samba’a, perayaan yang dilakukan 3 kali setahun yaitu Idul Fitri, Idul
Adha, dan Hanta Ua Pua. Itu menjadi sebuah remember of iven, karena yang
dinamakan wura molu atau Hanta Ua Pua penjadi perayaan besar-besaran
selama sehari semalam. Kitab suci al-Qur’an dibawa oleh penghulu Melayu
untuk diberikan ke Sultan untuk disyarkan. Adapun pernak-pernik uma lige,
bunga telur dan lain-lain itu adalah prosesi budaya yang mengiringi pengantaran
kitab suci al-Qur’an itu di kampung Melayu. Kampung Melayu itu tanah
kesultanan Bima.
T: Nilai-nilai apa saja yang terkandung dalam Hanta Ua Pua?
J: Yang pertama Syar Islam, kemudian nilai-nilai budaya, bersamaan gotong royong
dan juga saling menghargai satu sama lain antara ulama dan umara atau
pemimpin dan ulama sebagai pemimpin dan penasehat para sultan pada masa itu.
Nilai sosialnya masyarakat digerakan dan tergerak untuk menyiapkan segala
sesutau dalam rangka perayaan Hanta Ua Pua itu, karena sebelum prosesi itu ada
prosesi awal berupa pertunjukan-pertunjukan kesenian, zikir-zikir, dihalaman
sera suba (lapangan merdeka). Kemudian memasuki prosesi inti dan ada
pengantaran sirih pinang dan kitab suci al-Qur’an.
top related