hakim dan keadilan masyarakat
Post on 06-Apr-2018
235 Views
Preview:
TRANSCRIPT
-
8/3/2019 Hakim Dan Keadilan Masyarakat
1/23
1
HAKIM DAN KEADILAN MASYARAKAT
Oleh : Firdaus Muhammad Arwan1
I. PENGANTARDinamika hukum senantiasa berkembang seiring dengan
perkembangan kehidupan masyarakat, sehingga hampir dapat dipastikan,
hukum (tertulis) selalu tertinggal dibanding dengan dinamika masyarakat.
Berdasarkan kenyataan demikian, maka tidak salah apabila muncul
berbagai teori yang menentang aliran positivisme.
Indonesia sebagai bekas negara jajahan Belanda yang menganut
sistem civil law, sistem hukumnya sangat dipengaruhi oleh sistem
tersebut, sehingga aliran legisme-positivisme masih tetap eksis dalam
praktik, meskipun diakui dalam beberapa tahun terakhir ini telah
mengalami sedikit pergeseran menuju ke arah sistem common law. Akibat
masih kentalnya faham tersebut, seringkali dijumpai sikap hakim yang
bersikap yuridis-dogmatik dan hanya bertindak sebagai corong undang-
undang (buche de laloi), tanpa mempertimbangkan nilai-nili yang hidup di
masyarakat. Akibatnya, banyak putusan hakim yang mendapat hujatanmasyarakat karena tidak dapat memenuhi rasa keadilan masyarakat.
Setiap masyarakat selalu memiliki budaya yang menjadi ciri khas
individu para anggotanya secara kolektif, salah satunya adalah budaya
hukum yaitu pemahaman terhadap norma atau nilai-nilai yang hidup
dalam kehidupan sehari-hari, baik yang tertulis mapun yang tidak tertulis,
sehingga kehidupan masyarakat berjalan dengan tertib dan bergerak
sesuai aturan-aturan, berkreasi dan menciptakan peradaban. Oleh sebab
itu setiap masyarakat yang mendiami suatu wilayah senantiasa akan
mewariskan budaya hukum.
Norma atau nilai-nilai yang berlaku di masyarakat merupakan cermin
kehendak bersama para anggotaya yang menjadi ukuran baik dan buruk
suatu perbuatan hukum serta cermin dari rasa keadilan mereka. Oleh
1 Hakim PTA Pontianak
-
8/3/2019 Hakim Dan Keadilan Masyarakat
2/23
2
sebab itu setiap hakim yang mengadili perkara senantiasa dituntut untuk
menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan
yang hidup dalam masyarakat sebagaimana ditentukan oleh pasal 5 ayat(1) Undang-Undang Nomor Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman. Perintah demikian, juga ditemukan dalam pasal 229 Kompilasi
Hukum Islam yang merupakan salah satu acuan hukum bagi kalangan
peradilan agama.
Diakui, menjatuhkan putusan yang dapat memuaskan kedua belah
pihak tidak mudah diwujudkan karena masing-masing pihak mempunyai
kepentingan yang berbeda, namun yang harus selalu disadari oleh seorang
hakim adalah senantiasa berupaya menjatuhkan putusan seadil-adil
mungkin berdasarkan rasa keadilan masyarakat. Hakim yang bijaksana
adalah hakim yang menunjukkan sikap: senantiasa mendengar, melihat,
dan berusaha mendatangkan kebajikan, serta mampu melakukan sesuatu
yang konkrit dan bermanfaat bagi masyarakat agar putusan yang
dijatuhkan dirasakan sebagaisebuah keadilan yang membawa rahmat.
II. HUKUM DAN MASYARAKATHukum dan masyarakat merupakan dua gejala yang tidak
terpisahkan. Hukum merupakan suatu lembaga sosial (social institution),
artinya hukum merupakan kesatuan kaedah-kaedah yang bertujuan untuk
memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar manusia pada segala tingkatan,
yang bertujuan untuk mencapai kedamaian dalam masyarakat.
Soerjono Soekanto (1988:9-11) mengemukakan, hukum merupakan
suatu gejala yang sangat penting karena menjadi dasar legislasi maupun
legalitas pelbagai gejala sosial lainnya yang juga menjadi lembaga sosial.
Dengan demikian, hukum sebagai lembaga sosial tidak hanya menciptakan
keteraturan bagi lembaga sosial lainnya, akan tetapi juga menciptakan
nilai-nilai, asas-asas, dan kaidah-kaidah tersendiri.
Adanya nilai-nilai, asas-asas, dan kaidah-kaidah itu menyebabkan
timbulnya mekanisme perangkat peranan dan kedudukan-kedudukan
tertentu. Oleh karena itu, hukum bukanlah semata-mata hanya
-
8/3/2019 Hakim Dan Keadilan Masyarakat
3/23
3
merupakan suatu kekuatan yang mengamankan, akan tetapi juga suatu
kekuatan yang menciptakan fasilitas untuk menyederhanakan dan
melancarkan proses interaksi sosial. (Soerjono Soekanto, 1988:11).Hukum dalam fungsinya sebagai legalisasi, berarti mengesahkan
gejala-gejala yang sudah ada dalam masyarakat, sehingga perundang-
undangan merupakan sarana untuk pengendalian sosial (social control),
sedang hukum dalam fungsinya sebagai alat legislasi merupakan proses
pembaruan, sehingga perundang-undangan senantiasa dapat diterapkan
sesuai kondisi masyarakat yang dihadapi.
Riduan Syahrani (1999:224) menyatakan, kaidah hukum berlaku
atau hidup di dalam masyarakat, apabila kaedah itu memiliki empat unsur
yang harus dipenuhi yakni:
1. Kaidah itu diketahui2. Kaidah itu dihargai3. Kiidah itu ditaati4. Kaidah itu diakui
Proses pengkaidahan (noumering proses) dari keempat unsur
merupakan langkah awal untuk mengetahui apakah suatu kaidah benar-
benar hidup di dalam masyarakat. Sukses tidaknya pengkaidahan sangat
tergantung pada tiga faktor yaitu :
1. Efektifitas penanaman kaidah-kaidah tersebut dalam masyarakat2. Reaksi dan respon yang timbul dari masyarakat, dan3. Kecepatan menanamkan kaidah-kaidah dalam masyarakat
(Riduan Syahrani, 1999:225)
Eksistensi hukum sebagai bagian dari kehidupan bermasyarakat
senantiasa berkembang sesuai kondisi masyarakat setempat, oleh sebab
itu jika hukum ditelusuri dari segi nilai-nilai yang hidup di masyarakat,
maka hukum dari segi ruang lingkupnya dapat dipahami dari berbagai
aspek pengertian yang secara tidak langsung terkait dengan proses
pengkaidahan.
-
8/3/2019 Hakim Dan Keadilan Masyarakat
4/23
4
A.Hukum dalam Arti Kaidah atau NormaSudikno Mertokusumo (2004:11) mengartikan kaidah hukum sebagai
peraturan hidup yang menentukan bagaimana manusia itu seyogyanyaberperilaku, bersikap di dalam masyarakat agar kepentingannya dan
kepentingan orang lain terlindungi. Kaidah pada hakekatnya merupakan
perumusan suatu pandangan obyektif mengenai penilaian atau sikap yang
seyogyanya dilakukan atau tidak dilakukan, yang dilarang atau dianjurkan
untuk dijalankan.
Senada dengan itu Soerjono Soekanto (1988:59) mengatakan,
kaidah merupakan patokan-patokan atau pedoman-pedoman perihal
tingkah laku atau perikelakuan yang diharapkan. Menurutnya, kaidah
merupakan kristalisasi pola berpikir yang mempengaruhi sikapnya
terhadap kecenderungan untuk melakukan atau tidak melakaukan sesuatu
terhadap manusia, benda maupun keadaan.
Apabila perilaku warga masyarakat sesuai dengan norma atau
kaidah, maka perbuatannya dipandang baik. Jika perbuatannya ternyata
sebaliknya, maka yang bersangkutan dipandang sebagai orang yang jahat
dan akan mendapat sanksi moral dari masyarakat setempat. Oleh karena
itu dapat dikatakan bahwa apa yang diartikan dengan kaidah adalah
patokan atau ukuran untuk berperilaku dan bersikap dalam kehidupan
masyarakat yakni apa yang seharusnya dilakukan atau tidak dilakukan.
Ada empat norma yang mengatur segala macam hubungan antar
individu dalam masyarakat yaitu, norma kesusilaan, norma kesopanan,
norma agama dan norma hukum. (Van Apeldoorn - M.Oetarid Sadiono,
1958:13)
1. Norma KesusilaanNorma atau kaidah kesusilaan lahir sebagai kaidah perilaku yang
dijadikan patokan menyangkut hati nurani seseorang yang berdimensi
moral. Karena itu dalam pergaulan, aspek moral serta harga diri
senantiasa menjadi acuan dalam mengukur sejauh mana seseorang
tetap berada di atas koridor kesusilaan. Norma ini secara faktual tidak
-
8/3/2019 Hakim Dan Keadilan Masyarakat
5/23
5
nampak, akan tetapi setiap pelaku pelanggaran norma kesusilaan
senantiasa menanggung aib selama hidupnya bahkan berimbas pada
keturunannya.2. Norma Kesopanan
Kaidah ini terwujud dari kesepahaman masyarakat untuk mengarahkan
agar hidup dalam pergaulan senantiasa dalam suasana menyenangkan
satu sama lain. Kaidah kesopanan yang fundamental merumuskan inti
kehidupan yang baik, yang berada pada posisi saling menghormati dan
saling menghargai satu sama lain.
3. Norma AgamaKaidah agama ini merupakan wujud dari kayakinan masyarakat tentang
agama sebagai filter dan sumber hukum tidak tertulis yang bersumber
dari Tuhan Yang Maha Kuasa (Allah) dan diyakini sebagi suatu ibadah
bagi yang mentaatinya. Secara yuridis formal tidak mempunyai
kekuatan memaksa, akan tetapi diyakini oleh masyarakat bahwa
pelanggaran terhadap norma agama dapat mendatangkan murka
Tuhan (Allah) serta ancaman dosa. Dengan keyakinan demikian, maka
masyarakat dengan kesadaran dan keikhlasan sendiri akan mematuhi
norma agama.
Dalam Islam dikenal tiga klasifikasi hukum yakni hukum tentang
aqidah (ibadah), hukum tentang muamalah dan hukum tentang
akhlaq. Tiga komponen ini disatukan dalam satu kesatuan yang disebut
syariah. Hukum aqidah (ibadah) mengatur tentang hubungan manusia
dengan Tuhan (Allah), sedangkan hukum muamalah mengatur
interaksi antar sesama manusia yang lebih dikenal dengan fiqh. Adapun
hukum akhlaq mengatur tentang sikap sopan santun.
4. Norma HukumRadbruch (dalam Ahmad Ali, 2002:43) menyatakan bahwa kaidah
kesusilaan (kaidah sosial) dimasukkan ke dalam golongan kaidah ideal,
sedangkan kaidah hukum digolongkan ke dalam kaidah kultur. Ahmad
-
8/3/2019 Hakim Dan Keadilan Masyarakat
6/23
6
Ali mengemukakan bahwa kaidah hukum sebagai salah satu kaidah
sosial mempunyai 2 sifat ayitu :
a.Ada kemungkinan bersifat imperatif, yaitu secara apriori wajibditaati, artinya tidak dapat dikesampingkan dengan perjanjian.
b. Ada kemungkinan bersifat fakultatif, yaitu tidaklah secara apriorimengikat atau wajib ditaati. Terhadap kaidah ini dapat
dikesampingkan dengan cara diperjanjikan.
Proses lahirnya kaidah hukum adakalanya diciptakan oleh pembuat
hukum dan adakalanya lahir dari kaidah sosial lainnya (kaidah kesusilaan,
kaidah kesopanan dan kaidah agama). Terhadap bentuk yang kedua ini
oleh Paul Bohannan dinamakan kaidah hukum yang berasal dari proses
double legitimacyatau legitimasi ulang. (Ahmad Ali, 2002:49)
Baik norma hukum, norma agama, norma kesusilaan, maupun norma
kesopanan mengandung jawaban atas pertanyaan, apakah yang
sepatutnya/seharusnya dilakukan oleh orang sebagai anggota masyarakat.
Perbedaannya hanya bersifat gradual di mana kepatutan itu meningkat
sampai pada satu tingkatan, dan bagaimana pemerintah terutama hakim
berbuat untuk kepentingan masyarakat harus memperhatikan norma itu,
di situlah dapat dikatakan bahwa norma dalam masyarakat adalah norma
hukum. (Wirjono Prodjodikoro, 1974:12).
Sampai tingkatan manakah suatu norma harus mengikat sehingga
pemerintah dan pengadilan harus memperhatikan norma tersebut. Wirjono
(1974:14) menyatakan, yang seharusnya diperhatikan adalah tujuan
hukum yakni untuk keselamatan dan ketertiban masyarakat. Keselamatan
masyarakat berarti keselamatan semua orang yang merupakan anggota
masyarakat. Dengan demikian maka yang menjadi ukurannya adalah
tujuan hukum yaitu keselamatan dan ketertiban masyarakat.
Dapat disimpulkan, apabila suatu norma dalam masyarakat sudah
menyangkut keselamatan dan/atau ketertiban, di mana pelanggaran atas
norma itu sudah menggangu sendi-sendi keselamatan dan/atau ketertiban
masyarakat, maka norma itu telah meningkat pada satu tingkatan.
-
8/3/2019 Hakim Dan Keadilan Masyarakat
7/23
7
Disinilah pengadilan (hakim) harus memperhatikannya sebagai bagian dari
nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.
B.Tujuan HukumVan Apeldoorn (1958:20) mengemukakan, tujuan hukum adalah
untuk mengatur pergaulan hidup secara damai. Kedamaian di antara
manusia dipertahankan oleh hukum dengan melindungi kepentingan-
kepentingan manusia yang tertentu, yaitu kehormatan, kemerdekaan,
jiwa, harta benda, dan lain sebagainya terhadap yang merugikan.
Kepentinagn individu dan kepentingan golongan manusia selalu
bertentangan satu sama lain. Petentangan kepentingan-kepentingan selalu
akan menyebabkan pertikaian dan kekacauan satu sama lain kalau tidak
diatur oleh hukum untuk menciptakan kedamaian.
Kedamaian merupakan suatu yang meliputi dua hal yaitu ketertiban
dan ketentraman. Ketertiban tertuju pada hubungan lahiriah dengan
melihat pada proses interaksi antar pribadi dalam masyarakat, sedangkan
ketentraman tertuju pada keadaan batin yaitu melihat pada kehidupan
batiniah masing-masing pribadi dalam masyarakat. (Purnadi Purbacaraka
dan Soerjono Soekanto, 1982:30).Suatu lingkungan yang ideal seharusnya dapat menserasikan
kepentingan umum dan kepentingan pribadi sehingga tercapai suatu
keadaan yang relatif stabil yang digambarkan sebagai kedamaian yang
didalamnya terdapat keserasian antara ketertiban dan ketentraman. Pada
segi ketertiban lebih menonjolkan kewajiban warga masyarakat,
sedangkan pada segi ketentraman yang diutamakan adalah hak-haknya.
Manusia memerlukan keduanya dalam wujud serasi. Terlampau
menekankan ketertiban membuka jalan ke arah totaliter, sedang lebih
mementingkan ketentraman membuka peluang ke arah anarkhis.
(Riduan Syahrani,1999 : 26).
Tujuan hukum menurut syariat Islam dikenal dengan istilah Ghayah
as-Syary yang penekanannya kepada terwujudnya kemaslahatan ummat.
Setiap taklif(bebanan hukum) mengandung kemaslahatan yang memiliki
-
8/3/2019 Hakim Dan Keadilan Masyarakat
8/23
8
urgensi bervareasi yang terdiri dari tiga tingkatan yaitu dharuriyah,
hajjiyah, dan tahsiniyah. Kemaslahatan dalam kaitannya dengan nilai-nilai
hukum yang hidup di masyarakat pada dasarnya hanya terbatas padapersoalan muamalah dan tingkat kemaslahatannya pada umumnya pada
tingkatan hajjiyah dan tahsiniyah. (Wahbah az-Zuhaily, 1986:1017)
Dalam ilmu hukum dikenal beberapa teori tentang tujuan hukum,
antara lain teori Etis, teori Utilitas, dan teori Yuridis-Dogmatik yang
digolongkan ke dalam ajaran konvensionlal serta teori prioritas yang
digolongkan ke dalam ajaran modern. Teori prioritas ini dibedakan antara
prioritas baku dan prioritas kasuistik. (Ahmad Ali 2002:73)
1. Teori EtisMenurut teori Etis (Etische theori), hukum semata-mata bertujuan
untuk mewujudkan keadilan. Teori ini pertama kali dikemukakan oleh
Aristoteles dalam buktunya Ethica Nicomachea. Teori ini menyatakan
bahwa hukum mempunyai tugas yang suci yaitu memberikan kepada
setiap orang yang ia berhak menerimanya. (Utrecht, 1957:20).
2. Teori UtilitasTeori utilitas (Utiliteis theori) mengemukakan, hukum bertujuan
mewujudkan apa yang berfaedah. Teori ni diajarkan oleh Jeremi
Bentham. Baik buruknya hukum diukur dari akibat yang ditimbulkan
dari penerapan hukum. Suatu ketentuan hukum baru dapat dinilai baik
jika akibat yang ditimbulkan dari penerapan hukum itu menimbulkan
manfaat. Teori ini juga diikuti oleh James Mill dan John Stuart Mill. Dari
dua teori diatas Bellefroid mencoba memadukannya dengan
mengemukakan bahwa hukum ditentukan menurut dua asas yaitu
keadilan dan faedah. (Riduan Syahrani, 1999:21).
3. Teori Yuridis-DogmatikTeori ini bersumber dari pemikiran posisitivistis yang cenderung melihat
hukum sebagai suatu yang otonom dan mandiri. Menurut pemikiran
mereka hukum tidak lain hanya kumpulan aturan dan tujuan hukum
tidak lain dari sekedar menjamin terwujudnya kepastian hukum. Bagi
-
8/3/2019 Hakim Dan Keadilan Masyarakat
9/23
9
penganut teori ini kepastian hukum merupakan sesuatu yang penting,
dan tidak menjadi persoalan apakah dalam penerapannya dirasakan
tidak adil atau tidak memberikan manfaat bagi masyarakat.4.Teori Prioritas
Berbeda dengan ketiga teori konvensional yang ekstrem di atas, yang
menganggap tujuan hukum hanya untuk mewujudkan salah satu dari
tiga tujuan yakni keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum, maka
teori prioritas lebih moderat dengan menerima ketiga-tiganya sekaligus
sebagai tujuan hukum. Teori ini dibedakan antara prioritas baku dan
prioritas kasuistik
a. Prioritas BakuTeori ini dipelopori oleh Gutaf Radburch seorang filosof Jerman.
Menurutnya ide dasar hukum mencakup tiga unsur yaitu keadilan,
kemanfaatan, dan kepastian hukum yang oleh sebagaian para pakar
diidentikkan dengan tujuan hukum. Radburch mengajarkan adanya asas
prioritas dimana keadilan harus mendapat prioritas pertama, barulah
kemanfaatan, dan terakhir kepastian hukum.
Ketika hakim dihadapkan kepada pilihan antara keadilan,
kemanfaatan dan kepastian hukum, maka ia harus mengutamakan
keadilan, barulah kemanfatan dan yang terakhir kepastian hukum.
Begitu juga ketika dihadapkan kepada kemanfatan dan kepastian
hukum, maka yang diutamakan adalah kemanfaatan.
b. Prioritas KasuistikTeori Radburch yang semula dipandang sebagai teori yang maju
dan arif, ternyata dalam kasus tertentu tidak sesuai dengan kebutuhan
hukum. Dalam kasus tertentu, keadilan dipandang lebih tepat utuk
mendapatkan prioritas, namun tidak demikian dalam kasus lain.
Adakalanya kemanfaatan justeru harus lebih diutamakan daripada
keadilan dan kepastian hukum atau kepastian hukum lebih diutamakan
daripada keadilan dan kemanfaatan. Melihat kenyataan semacam itu
-
8/3/2019 Hakim Dan Keadilan Masyarakat
10/23
10
timbullah teori prioritas kasuistik yang mengajarkan penerapan
prioritas tersebut tergantung kepada kasus yang dihadapi.
III. PERANAN HAKIM DALAM PENEMUAN HUKUM.1. Penemuan Hukum
Sudikno (2004:37-43) menyatakan bahwa penemuan hukum
menurut lazimnya diartikan sebagai proses pembentukan hukum oleh
Hakim, atau aparat hukum lainnya yang ditugaskan untuk menerapkan
peraturan hukum umum pada peristiwa hukum konkrit. Lebih lajut Sudikno
mengatakan bahwa penerapan hukum adalah konkritisasi atau
individualisasi peraturan hukum (das Sollen) yang bersifat umum denganmengingat akan peristiwa konkrit tertentu (das Sein). Penemuan hukum
dalam arti ini oleh van Eikema Hommes disebut sebagai pandangan
peradilan yang typis logicistic, di mana aspek logis analitis dibuat absolut,
atau yang oleh Wiarda disebut penemuan hukum heteronom. (Sudikno,
2004:37-43)
Ketika terjadi persoalan hukum dalam masyarakat yang
menyangkut kepentingan seseorang atau kelompok yang diajukan kepada
hakim, maka hakim berkewajiban menemukan hukumnya. Karena itu
hukum secara implisit sangat ditentukan oleh peran hakim dan itu
sebabnya seorang hakim harus dalam posisi ius curia novit, sehingga tidak
satupun persoalan hukum yang dihadapi dinyatakan tidak ada hukumnya.
Montesquieu dan Kant (dalam Sudikno, 2004:40-43),
mengemukakan, menurut pandangan klasik, hakim dalam menerapkan
hukum terhadap peristiwa hukum yang konrit tidak menjalankan
peranannya secara mandiri. Peran hakim hanyalah sebagai penyambung
lidah atau corong undang-undang (buche de la loi), sehingga tidak dapat
mengubah kekuatan undang-undang, tidak dapat menambah dan atau
menguranginya. Pandangan demikian menurut Montesquieu disebabkan
undang-undang adalah satu-satunya sumber hukum positif. Semua hukum
telah secara lengkap dan sistematis tertuang dalam undang-undang,
-
8/3/2019 Hakim Dan Keadilan Masyarakat
11/23
11
sehingga tugas hakim adalah mengadili sesuai dengan bunyi undang-
udang.
Montesquieu menyatakan, ada tiga bentuk negara dan pada setiapnegara terdapat penemuan hukum yang cocok untuk masing-masing
bentuk negaranya. Dalam eta despotique yang tidak ada undang-undang,
hakim dalam mengadili setiap peristiwa individual didasarkan atas
apresiasi pribadinya secara arbitrer sehingga terjadi penemuan hukum
secara otonom mutlak. Sedangkan dalam negara etat republikcain,
terdapat penemuan hukum yang heteronom di mana hakim menerapkan
undang-undang sesuai dengan bunyinya. Adapun dalam etat monarchique,
meskipun hakim berperan sebagai corong undang-undang, tetapi dapat
menafsirkan dengan mencari jiwanya. Di sini terdapat sistem penemuan
hukum yang bersifat heteronom dan otonom.
Di Indonesia mengenal penemuan hukum heteronom dan otonom
sehingga karenanya apabila dihadapkan suatu kasus sesulit apapun hakim
wajib menemukan hukumnya, baik melalui terobosan hukum (contra
legem), atau melalui konstruksi hukum (rechts construksi), baik dengan
cara menafsirkan hukum yang sudah ada maupun dengan cara menggali
nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Peranan hakim disini lebih
bersifat otonom. Agar putusan yang dijatuhkan dapat
dipertanggungjawabkan baik secara yuridis maupun secara moral, maka
dalam menghadapi fakta konkrit, hakim harus mampu menemukan
hukumnya melalui interpretasi
2. Aliran Penemuan HukumMunculnya aliran-aliran penemuan hukum pada dasarnya bertitik
tolak dari pandangan mengenai apa yang menjadi (satu-satunya) sumber
hukum. Sebelum abad ke-18 hingga abad ke-19 awal, sebagaian besar
hukum adalah hukum kebiasaan. Sebagai reaksi dari ketidakpastian dan
ketidakseragaman hukum, maka timbullah usaha untuk menyeragamkan
hukum melalui kodifikasi. Di Perancis kodifikasi diadakan pada
pertengahan abad ke-18 yang kemudian ditiru oleh seluruh Eropa, seperti
-
8/3/2019 Hakim Dan Keadilan Masyarakat
12/23
12
di Nederland diadakan kodifikasi hukum pada tahun 1838. Adanya
kodifikasi hukum inilah yang memunculkan aliran legisme.
a. Aliran LegismeMenurut pandangan aliran in,i hukum itu berasal dari kehendak
penguasa tertinggi dalam hal ini adalah pembentuk undang-undang.
Munculnya aliran ini dipengaruhi oleh teori trias politika Montesquieu yang
memisahkan kekuasaan ke dalam tiga lembaga, yudikatif, eksekutif dan
legislatif. Dalam pemisahan kekuasaan yang ketat peranan hakim menurut
pandangan Montesquieu hanya sebagai corong undang-undang (bouche de
la loi).
Meskipun hukum telah dikodifikasikan ke dalam undang-undang
secara lengkap, namun tidak dapat disangkal adanya hukum kebiasaan
merupakan suatu kenyataan yang hidup. Oleh sebab itu untuk
mempertahankan teroinya bahwa undang-undang merupakan satu-
satunya sumber hukum, maka dicarilah jalan keluar melalui legitimasi
hukum kebiasaan yakni dengan cara penunjukan oleh undang-undang
seperti yang diatur dalam pasal 15 AB.
b. Aliran HistorisPada abad ke-20 mulai muncul kesadaran bahwa undang-undang
tidaklah lengkap. Nilai-nilai yang tertuang dalam undang-undang tidak lagi
sesuai dengan perkembangan zaman kehidupan masyarakat, sehingga
sangat dirasakan adanya kekosongan dan ketidakjelasan hukum. Oleh
sebab itu penemuan hukum oleh hakim dan hukum kebiasaan dianggap
dapat melengkapi undang-undang, sehingga sejak itu yurisprudensi dan
hukum kebiasaan dianggap sebagai unsur-unsur sistem hukum.
Pandangan inilah yang kemudian melahirkan aliran Historis yang dipelopori
oleh von Savigny.
Menurut pendapatnya, hukum itu ditentukan secara historis, hukum
tumbuh dari kesadaran hukum masyarakat/bangsa di suatu tempat dan
pada waktu tertentu. Kesadaran hukum yang paling murni terdapat dalam
kebiasaan. Penemuan hukum menurut aliran ini tidak berbeda dengan
-
8/3/2019 Hakim Dan Keadilan Masyarakat
13/23
13
aliran Legisme karena pada dasarnya undang-undang merupakan satu-
satunya sumber hukum. Perbedaan antara keduanya terletak pada cara
pemberlakuan kebiasaan.Pada aliran Legisme berlakunya kebiasaan dengan cara ditunjuk oleh
undang-undang, sedangkan pada aliran Historis kebiasaan dijadikan salah
satu dasar pembentukan undang-undang, artinya pembentuk undang-
undang sebelum membuat peraturan terlebih dahulu meneliti kebiasaan
yang ada untuk dijadikan dasar pembentukan undang-undang. Oleh
karena undang-undang dipangdang sebagai satu-satunya sumber hukum,
maka peranan hakim menurut aliran ini tidak lain hanyalah sebagai corong
undang-undang sebagaimana pandangan kaum legis.
c. Aliran BegriffsjurisprudenzAliran ini muncul untuk memperbaiki kelemahan dari ajaran Legis.
Ajaran Begriffsjurisprudenz menyatakan bahwa sekalipun undang-undang
itu tidak lengkap, namun undang-undang masih dapat menutupi
kekurangannya sendiri dengan cara memperluas daya cakupannya melalui
pemberian pengertian-pengertian-pengertian baru (begriff) dihubungkan
dengan yang terdapat pada undang-undang lainya.
Aliran in lebih memberikan kebebasan kepada hakim daripada aliran
legisme. Hakim tidak perlu terikat dari bunyi lafal undang-undang, tetapi
dapat mengambil argumentasi dari peraturan hukum yang tersirat di
dalamnya. Dengan demikian peradilan lebih mendasarkan kepada ilmu
hukum atas pemikiran yang rasional dan logis.
Aliran ini mendapatkan kritik bahwa hukum bukan sekedar persoalan
logika dan rasio, tetapi juga merupakan persoalan hati nurani,
pertimbangan budi yang kadang-kadang sifatnya tidak rasional. (Ahmad
Ali, 2002 :138)
d. Aliran InteressenjurisprudenzSebagai reaksi terhadap Begriffsjurisprudenz, di Jerman lahir aliran
Interessenjurisprudenz yang dipelopori oleh Rudolf von Jhering, suatu
aliran yang menitikberatkan pada kepentingan-kepentingan (interessen)
-
8/3/2019 Hakim Dan Keadilan Masyarakat
14/23
14
yang difiksikan. Hukum menurut aliran ini merupakan resultan
pertentangan-pertentangan kepentingan yang berlawanan dan
berbenturan satu sama lain.Peraturan hukum tidak boleh dilihat oleh hakim sebagai formil-logis
belaka, tetapi harus dinilai menurut tujuannya. Tujuan hukum pada
dasarnya dimaksudkan untuk melindungi, memuaskan atau memenuhi
kepentingan atau kebutuhan yang nyata. Dalam keputusannya hakim
harus bertanya kepentingan manakah yang dimaksud oleh pembentuk
undang-undang.
Sewaktu merumuskan peraturan pembentuk undang-undang telah
mempertimbangkan pelbagai kepentingan dan akhirnya mengambil pilihan
sehingga dalam peraturan tersebut telah ditetapkan kepentingan yang
mengandung nilai. Hakim ketika diminta untuk memutuskan perkara
(konflik kepentingan), maka ia harus menyesuaikan dengan ukuran nilai
yang termuat dalam undang-undang dan tidak boleh menilai kepentingan
atas kemauannya sendiri.
Berdasarkan pendangannya itu, maka dapat disimpulkan bahwa
penemuan hukum oleh hakim bersifat heteronom, karena masih terikat
dengan apa yang telah ditentukan oleh undang-undang, namun demikian
hakim tidak sekedar corong undang-undang yang mendasarkan kepada
bunyi teksnya, melainkan harus menafsirkan maksud undang-undang
terhadap kepentingan yang ditetapkan pembentuk undang-undang.
Dalam memberikan pengertian aliran Interessenjurisprudenz, Ahmad
Ali (2002:138) berbeda dengan Sudikno. Ahmad Ali menyatakan bahwa
menurut aliran ini, hakim diberikan kebebasan yang sebebas-bebasnya
untuk melakukan penemuan hukum, dalam arti kata bukan sekedar
penerapan undang-undang oleh hakim, tetapi juga mencakup memperluas
dan membentuk peraturan dalam putusan hakim. Untuk mencapai
keadilan yang setinggi-tingginya, hakim bahkan boleh menyimpang dari
undang-undang demi kemanfaatan masyarakat. Dengan mengaitkan teori
-
8/3/2019 Hakim Dan Keadilan Masyarakat
15/23
15
tujuan hukum Ahmad Ali menggolongkan ke dalam aliran utilitarisme dan
hakim mempunyai freies ermessen.
Terjadinya perbedaan pendapat terseebut dikarenakan Ahmad Alimenyamakan antara aliran Interessenjurisprudenz dengan aliran
Freirechtsschule yang oleh Sudikno Mertokusumo disebut dengan aliran
Freirechtbewegung yang digolongkan ke dalam aliran tersendiri.
e. Aliran FreirechtbewegungReaksi yang sangat tajam terhadap aliran Legisme di Jerman
dimotori oleh Kantorowicz yang menggunakan nama samaran Gnaeus
Flavius. Aliran baru ini disebutnya dengan Freirechtlicht (bebas) yang
kemudian dikenal dengan Freirechtbewegung. Menurut aliran ini hakim
tidak hanya mengabdi kepada fungsi kepastian hukum sebagaimana
pandangan aliran Legisme, tetapi mempunyai tugas sendiri dalam
merealisasikan keadilan. Pengertian yang umum dan luas yang
mengakibatkan kabur dan/atau samar-samar harus diisi dan dilengkapi.
Putusan hakim tidak selalu dapat dijabarkan berdasarkan undang-
undang, karena setiap peristiwa mempunyia sifat yang khusus, sehingga
karenanya tidak benar jika hakim selalu dapat menerapkan peraturan
undang-undang (yang bersifat umum) pada situasi konkrit. Hakim tidak
hanya menerapkan atau melaksanakan undang-undang, tetapi harus juga
menghubungkan semua sifat-sifat yang khusus dari sengketa yang
diajukan kepadanya.
Menurut aliran ini hakim tetap harus menghormati undang-undang,
tetapi tidak sekedar tunduk dan mengikutinya, melainkan dapat
menggunakan undang-undang sebagai sarana untuk menemukan
pemecahan peristiwa konkrit. Hakim tidak secara ketat terikat pada
undang-undang sehingga peranan hakim bukan sebagai penafsir undang-
undang tetapi sebagai pencipta hukum. Penemuan hukum model ini
disebutpenemuan hukum bebas.
Dalam penemuan hukum bebas undang-undang merupakan
subordinated yang berfungsi sebagai satana dan bukan sebagai tujuan
-
8/3/2019 Hakim Dan Keadilan Masyarakat
16/23
16
hukum bagi hakim. Hakim yang melakukan penemuan hukum bebas tugas
utamanya bukanlah menerapkan undang-undang, melainkan menciptkan
pemecahan melalui atau dengan bantuan undang-undang untuk peristiwakonkrit sedemikian, sehingga peristiwa serupa yang dihadapi kemudian
dapat diselesaikan dengan memuaskan. (Sudikno, 2004:103-104).
Sudikno (1993 : 45) mengajukan kritik terhadap penemuan hukum
bebas ini, bahwa aliran ini sangat berlebih-lebihan karena hakim tidak
hanya boleh mengisi kekosongan undang-undang saja, tetapi bahkan
boleh menyimpang. Senada dengan itu Ahmad Ali menyatkan, freies
ermessen (kebebasan) yang diberikan kepada hakim, akan membuka
peluang terjadinya kesewenang-wenangan sehingga hakim akan menjadi
raja terhadap undang-undang karena ia berkuasa menciptakan hukum
sendiri bagi semua anggota-anggota masyarakat.
f. Aliran Penemuan Hukum ModernSalah satu pokok pandangan dari aliran ini ialah bahwa bukan sistem
perundang-undangan yang merupakan titik tolak, tetapi masalah
kemasyarakatan yang konkrit yang harus dipecahkan. Undang-undang
bukanlah penuh dengan kebenaran dan jawaban, tetapi lebih merupakan
usulan untuk penyelesaian, suatu pedoman dalam penemuan hukum.
Undang-undang bukan satu-satunya sumber hukum, tetapi masih banyak
faktor-faktor penting lainya yang dapat digunakan untuk penyelesaian
masalah-masalah hukum. Pandangan penemuan hukum modern ini dapat
digolongkan ke dalam pandangan yang problem orientedatau
gesystematisseerd problemdenken. Metode penafsiran undang-undang
yang digunakan di sini adalah (terutama) teleologis yang menonjolkan
masalah kemasyarakatan.
Penganut aliran ini pada umumnya menekankan bahwa masalah
yuridis selalu berhubungan dengan masalah kemasyarakatan dan dari
sinilah harus dicari penyelesaian yang paling diterima dalam praktek.
Setiap yuris yang melakukan penemuan hukum harus bertanya apakah
suatu penyelesaian hukum dapat menuju kepada hasil akhir yang
-
8/3/2019 Hakim Dan Keadilan Masyarakat
17/23
17
diharapkan. Penemu hukum harus mempertimbangkan semua faktor-
faktor yang mempengaruhi putusan akhir. Fungsi hukum adalah
melindungi kepentingan manusia, sehingga dalam menemukan hukumyang problem oriented ini kepentingan yusticiable harus diutamakan.
Bertitik tolak dari pandangan ini maka tujuan pembentuk undang-undang
dapat dikoreksi dan digeser tetapi tidak boleh diabaikan.
Aliran penemuan hukum modern yang berorientasi kepada problema
ini oleh Ahmad Ali disebut dengan aliran Sozilogische Rechtsschule.
Menurutnya, aliran Sozilogische Rechtsschule ini lahir sebagai reaksi
penolakan atas pandangan penemuan hukum bebas. Oleh karena titik
sentral penemuan hukum menurut aliran Sozilogische Rechtsschule kepada
upaya pemenuhan rasa hukum masyarakat, maka sangat ditekankan agar
para hakim mendalami ilmu-ilmu sosial lain seperti sosilogi, antropologi,
politik, ekonomi dan sebagainya.
3. Metode Penemuan HukumAda dua pendapat mengenai kapan hakim melakukan penemuan
hukum. Pendapat pertama yang disebut sebagai penganut doktrin seins-
clair yang menyatakan bahwa penemuan hukum oleh hakim hanyadibutuhkan ketika : 1) tidak ditemukan peraturan untuk suatu kasus yang
konkrit, dan 2) peraturan yang ada belum/tidak jelas. Pendapat kedua
menyatakan bahwa hakim selalu dan tidak pernah tidak melakukan
penemuan hukum. Dalam menghadapi setiap kasus yang diajukannya,
hakim selalu melakukan penemuan hukum dengan menerapkan hukum
yang bersifat abstrak ke dalam peristiwa konkrit.
Ahmad Ali (2002:154) membedakan antara penemuan hukum
dengan metode interpretasi dan penemuan hukum dengan metode
konstruksi. Pada metode interpretasi penafsiran yang dilakukan hakim
masih berpegang kepada teks undang-undang, sedangkan pada metode
konstruksi hakim menggunakan penalaran logisnya untuk
mengembangkan lebih lanjut suatu teks undang-undang, di mana hakim
-
8/3/2019 Hakim Dan Keadilan Masyarakat
18/23
18
tidak lagi berpegang kepada bunyi teks, tetapi dengan syarat hakim tidak
mengabaikan hukum sebagai suatu sistem.
Terdapat berbagai jenis metode penemuan hukum yang dapatdirangkum sebagai berikut :
a. Metode subsumtif yaitu interpretasi terhadap teks undang-undangdengan sekedar menerapkan sillogisme. Terhadap intepretasi model ini
Sudikno mengemukakan bahwa dalam sistem ini hakim berpikir secara
deduktif, hakim harus mengabstraktir peristiwanya, sebaliknya
peraturannya dikonkritisirnya. Ciri khas cara berfikir sistem subsumtif
ini adalah memasukkan peristiwanya dalam peraturan perundang-
undangan.
b. Interpretasi formal atau disebut juga interpretasi Otentik yaknipenjelasan resmi yang diberikan undang-undang dan terdapat pada
teks undang-undang tersebut.
c. Interpretasi gramatikal, yaitu menafsirkan kata-kata dalam undang-undang sesuai kaidah bahasa dan kaidah hukum tata bahasa. Pitlo
berpendapat, dengan metode ini hakim berusaha menemukan makna
kata dengan menelusuri kata mana yang oleh pembuat undang-undang
digunakan dalam mengatur peristiwa sejenis dan sekaligus menelusuri
di tempat mana lainnya dan dalam hubungan apa pembentuk undang-
undang menggunakan kata yang sama.
d. Interpretasi historis, yakni dengan melihat sejarah dan latar belakangpembentukan undang-undang agar diketahui secara pasti tujuan
dibentuknya peratuiran. Houwing mengatakan People will not look
forward to posterity who never look back ward to their ancestors
(barang siapa yang tidak pernah menengok ke belakang, tidak akan
mampu melihat ke depan).
e. Interpretasi sistematis, yaitu metode yang menafsirkan undang-undangatau peraturan sebagai bagian dari keseluruhan sistem perundang-
undangan yang terkait. Hakim harus memahami seluruh bagian dari
suatu peraturan yang mengatur terhadap suatu peristiwa yang terkait,
-
8/3/2019 Hakim Dan Keadilan Masyarakat
19/23
19
dan tidak boleh memisah-misahkannya. Demikian juga antara undang-
undang yang satu dengan undang-undang yang lain yang mempunyai
hubungan yang sama dan atau sejenis.f. Interpretasi sosiologis atau teleologis. Penafsiran ini merupakan
penyesuaian antara peraturan hukum dengan keadaan baru yang
dibutuhkan dalam masyarakat.
g. Interpretasi Komparatif, membandingkan antara dua atau lebih aturanhukum terhadap suatu peristiwa tertentu untuk diambil salah satu di
antaranya yang lebih memenuhi rasa keadilan, serta berkemanfaatan,
dan berkepastian hukum.
h. Interpretasi futuris atau disebut juga Interpretasi Antisipatif yaitupemecahan yang dilakukan dengan menggunakan peraturan-peraturan
yang belum berlaku yang sedang dalam proses pengundangan
(Rancangan Undang-Undang)
i. Interpretasi restriktif, yaitu metode yang sifatnya membatasi, artinyaperaturan perundang-undangan itu tidak bisa diperluas karena sifatnya
yang mutlak dan terbatas.
j. Interpretasi ektensif yaitu kebalikan dari metode restriktif yaitupenafsiran yang bersifat meluas, artinya apa yang disebut dalam
undang-undang itu diperluas maksudnya.
Metode penemuan hukum sebagaimana disebutkan di atas oleh
Ahmad Ali digolongkan ke dalam penemuan hukum dengan interpretasi,
karena masih berpegang kepada teks undang-undang. Sedangkan yang
termasuk dalam konstruksi hukum yang dilakukan hakim dalam
menghadapi kekosongan atau ketidaksempurnaan undang-undang dapat
dilakukan melalui beberapa instrumen sebagai berikut :a. Argumentum peranalogian, yaitu metode berfikir analogi.
Peristiwa yang terajdi tidak selamanya telah diatur dalam suatu
peraturan, sehingga perlu dicarikan dasar hukumnya. Terhadap
peristiwa yang memiliki karakteristik serupa atau sejenis dapat
-
8/3/2019 Hakim Dan Keadilan Masyarakat
20/23
20
diterapkan metode ini. (dalam ilmu ushul fiqih disebut mafhum
muwafaqah)
b.Argumentum a qontrario.Apabila undang-undang menetapkan hal tertentu untuk suatu peristiwa
tertentu, maka peraturan itu terbatas pada peristiwa tersebut. Namun
demikian tidak berarti bahwa apabila terjadi sebaliknya kemudian
dinyatakan tidak ada hukumnya. Dalam menghadapi peristiwa ini
hakim dapat melakukan interpretasi secara a qontrario dengan
menerapkan hukum kebalikannya (dalam ilmu ushul fiqih disebut
mafhum mukhalafah).
c. Rechtsverfinding (penyempitan hukum).Kadang-kadang ruang ligkup suatu peraturan perundang-undangan
dipandang terlalu umum atau terlalu luas sehingga perlu dilakukan
penafsiran penyempitan hukum yang oleh Ahmad Ali disebut
pengkonkritan hukum atau ada juga yang menyebut penghalusan
hukum atau penyulingan hukum.
d. Fiksi hukum, yaitu menciptakan sesuatu yang belum ada atau belumnyata, tetapi untuk kepentingan hukum perlu diadakan atau dianggap
ada.
Putusan hakim yang ideal tercermin dari alur pemikiran (legal
reasoning) yang dilakukan hakim dalam pertimbangan hukumnya sesuai
dengan rasa keadilan masyarakat. Oleh karena itu penemuan hukum
bukan semata-mata hanya penerapan hukum terhadap peristiwa konkrit
tetapi sekaligus juga penciptaan hukum dan pembentukan hukum.
(Sudikno, 1992:25).
Hukum secara empirik bukan merupakan hal yang statis, tetapi selalu
dinamis mengikuti perkembangan masyarakat. Dengan demikian, maka
hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, memahami
dan mengikuti nilai-nilai hukum yang berkembang sehingga putusannya
selalu dirasakan adil oleh masyarakat. Dalam mengadili setiap perkara
yang diajukannya hakim harus menjatuhkan putusan-putusan yang
-
8/3/2019 Hakim Dan Keadilan Masyarakat
21/23
21
membumi, dalam arti sesuai kondisi masyarakat setempat sehingga
putusannya memiliki nilai manfaat serta berorientasi pada nilai-nilai
keadilan.Dalam hukum Islam (ushul fiqih) nilai-nilai yang hidup dalam
masyarakat dikenal dengan sebutan urf (kebiasaan). Penggunaan urf
sebagai salah satu sumber hukum (penemuan hukum) harus dipenuhi dua
syarat yaitu, tidak bertentangan dengan syariat, dan membawa
kemaslahatan ummat.
Kemaslahatan umat di samping merupakan tujuan syary juga
mempunyai arti khusus sebagai salah satu metode ijtihad. Apabila suatu
peristiwa hukum tidak diatur secara jelas dalam Al-Quran maupun sunnah
Rasul, sedangkan penggunaan metode ijtihad yang lain (qiyas, istihsan,
istishab) tidak dimungkinkan, maka mayoritas ahli ushul fiqih kecuali
madzhab Dzahiri menerima mashlahah mursalah (kemaslahatan umat)
sebagai penemuan hukum.
Syarat mashalihul mursalah sebagai salah satu sumber hukum antara
lain :
1) Peristiwa hukum semata-mata berkenaan dengan muamalah, bukanibadah
2) Kemaslahatan yang dicari sejalan dengan dasar dan jiwa syariat3) Kemaslahatan itu harus terdiri dari persoalan-persoalan dalam kategori
darurat atau yang mutlak diperlukan, buka yang bersifat komplementer
kesempurnaan dan kelengkapan. (A.Hanafi, 1972 : 34)
IV.PENUTUPHakim sebagai penegak hukum senantiasa harus memperhatikan
dan mengikuti dinamika masyarakat, sebab dalam kenyataannya hukum
yang tertuang dalam peraturan perundang-undangan sering tidak mampu
menjangkau kebutuhan yang ada. Oleh karena itu hakim dituntut mampu
menguasai sistem hukum dalam penerapannya terhadap persoalan-
persoalan yang timbul dalam masyarakat (law in action).
-
8/3/2019 Hakim Dan Keadilan Masyarakat
22/23
22
Setiap putusan hakim harus berorientasi kepada rasa keadilan
masyarakat sehingga masyarakat akan merasa terpelihara dan terlindungi
kepentingannya, dan pada gilirannya lembaga peradilan mendapat simpatimasyarakat serta diletakkan dalam kedudukan yang sangat terhormat.
Apabila kondisi demikian ini dapat terwujud, maka masyarakat dengan
sendirinya akan menyadari bahwa hukum lahir untuk mengatur.
Paling utama yang harus disadari oleh seorang hakim adalah
menghindarkan sikap apatis dalam menemukan hukum. Peranan Hakim
bukan semata-mata sebagai corong undang-undang yang memutus
perkara hanya mendasarkan kepada pertimbangan tekstual sebuah
peraturan, melainkan harus mengutamakan rasa keadilan mastarakat.
Apabila menurut penilaian hakim suatu peraturan perundang-undangan
sudah tidak memenuhi keadilan masyarakat, atau peraturan yang ada
tidak menjangkau problema hukum yang dihadapi, maka wajib baginya
menemukan hukum melalui penafsiran peraturan maupun dengan
menggali nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Disinilah hakim
berperan sebagai pembentuk hukum.
Putusan hakim harus didasarkan kepada suatu keyakinan yang
jernih berdasarkan suara hati nurani. Oleh karena itu dalam
pertimbangannya senantiasa harus memperhatikan aspek filosofis maupun
sosiologis agar putusannya menyentuh rasa keadilan masyarakat.
V. DAFTAR PUSTAKAAli, Ahmad, 1998, Menjalajahi Kajian Empiris Hukum, Jakarta,, 2002, Menyimak Tabir Hukum, Gunung Agung, JakartaAli, Muhammad Daud, 1999, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan
Tata Hukum Islam di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta.Apeldoorn, Van, 1958, Inleiding tot de Studie van Het Nederlandse Recht,
Terjemahan M. Oetarid Sadino, Pengantar Ilmu Hukum,Noordhoff-Koff, Jakarta.
As-Shiddiqie, T.M. Hasby, 1974, Pengantar Ilmu Fiqh, Bulan Bintang,Jakarta.
. ., 1974, Ushul Fiqh, Bulan Bintang, Jakarta,..., 1972, Elastisitas Hukum Islam, IAIN Sunan Kalijaga,
Yogyakarta,
-
8/3/2019 Hakim Dan Keadilan Masyarakat
23/23
23
Az-Zuhaily, Wahbah, 1995, Ushul Fiqh, Darul Fikri, Beirut.Basyir, Ahmad Azhar, 1998, Corak Lokal Dalam Hukum Positif, Sebuah
Tinjauan Filosofis, Cik Hasan Basri, Hukum Islam Dalam Tatanan
Masyarakat Indonesia, Logos Wacana Ilmu, Jakarta.Hamid, Zahri, 1977, Filsafat Hukum Islam, IAIN Sunan Kalijaga,Yogyakarta.
Hanafi, 1972, Ushul Fiqih, , Bulan Bintang, JakartaMahmashony, Subhy, tanpa tahun, Tasyri Islamy, Darul Fikri, Beirut,Mertokusumo, Sudikno, 1992, Bab-bab Tentang Penemuan Hukum, Citra
Aditya, Jakarta, 2002, PMengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty,
Yogyakarta., 2004, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Liberty,
YogyakartaPurbacaraka, Purnadi, 1982 dan Soerjono Soekanto, Sendi-sendi Ilmu
Hukum, Alumni, Bandung.Prodjodikoro, Wirjono, 1974, Bunga Rampai Hukum, Ikhtiar Baru, Jakarta,Rasjidi, Lili, dan Rasjidi, Ira Thania, 2004, Dasar-dasar Filsafat dan teori
Hukum, Citra Aditya Baakti, Bandung.Syahrani, Riduan, 1999, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Citra Aditya
Bakti, Bandung,Soekanto, Soeryono, 1991, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Rajawali Pers,
Jakarta., 1993, Faktor-Faktor yang mempengaruhi Penegakan Hukum,
Rajawali Pers, Jakarta.Utrecht, 1957, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Ikhtisar, Jakarta,
top related