gender, perempuan dan budaya berhutang

Post on 29-Oct-2015

63 Views

Category:

Documents

0 Downloads

Preview:

Click to see full reader

TRANSCRIPT

Gender, Perempuan dan Budaya Berhutang

Oleh. Anggoro Budi P...........

Gali lobang tutup lobangPinjam uang bayar hutang

Gali lobang tutup lobangPinjam uang bayar hutang

.........(Salah satu bait penggalan lagu Rhoma Irama yang berjudul “Gali Lubang Tutup Lubang)

Pendahuluan

Isi lirik lagu di atas cukup menggelitik, karena kondisi yang digambarkan dalam lagu

tersebut merupakan fenomena keseharian dalam kehidupan masyarakat kita. Pada masa

sekarang ini trend perilaku berhutang sudah membudaya di masyarakat. Baik melalui sistem

yang bersifat tradisional maupun modern. Sebagian besar orang pasti pernah terlilit hutang,

termasuk perempuan. Tanpa memandang latar belakang pekerjaan, apakah petani, nelayan,

pedagang, bahkan pekerja swasta dan juga Pegawai Negeri Sipil (PNS) termasuk guru juga

pernah berhutang.

Terkait dengan budaya berhutang, kita harus mengurainya terlebih dahulu. Apakah

yang dimaksud dengan budaya berhutang tersebut? Ada dua suku kata dasar yaitu budaya dan

hutang. Definisi budaya banyak dituliskan oleh beberapa tokoh dan ahli dengan ruang

lingkup yang beragam. Dalam hal ini definisi budaya yang dipakai mengutip dari Wikipedia

yaitu suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang

dan diwariskan dari generasi ke generasi dengan banyak faktor dan unsur yang

membentuknya. Sementara definisi hutang menurut Kamus Bahasa Indonesia (2008) adalah

uang yang dipinjam dari orang lain; kewajiban membayar kembali apa yang sudah diterima.

Sehingga budaya berhutang secara sederhana dapat diartikan sebagai suatu cara hidup

mempunyai hutang yang berkembang dan dimiliki oleh mayarakat.

Mengapa dalam kehidupan keseharian masyarakat, berbicara mengenai persoalan

berhutang lebih identik dengan kegiatan perempuan. Bahkan perilaku berhutang ini sudah

menjadi budaya di masyarakat. Tentu saja semua itu tidak terjadi dengan sendirinya, namun

melalui sebuah proses sehingga kondisi tersebut terjadi.

Mengapa gender dan perempuan?

Saat ini istilah gender sudah semakin sering didengar, meskipun pemahaman sebagian

orang masih salah. Mereka mengidentikkan bahwa gender adalah sama dengan perempuan.

Sehingga segala sesuatu yang terkait gender pastilah perempuan. Padahal sebenarnya tidak

demikian. Untuk memahami tentang konsep gender maka harus membedakan kata gender

dengan jenis kelamin (sex). Mengutip Mansour Fakih (1996), gender adalah suatu sifat yang

melekat pada kaum lelaki maupun perempuan yang dikontruksi secara sosial maupun budaya.

Misalnya, perempuan itu dikenal lemah lembut, cantik, emosional, keibuan, dan luwes.

Sementara lelaki dianggap lebih rasional, kuat, jantan, perkasa dan kaku. Ada beberapa

karakter dari sifat tersebut yang dapat dipertukarkan dan berubah dari waktu ke waktu serta

berdasarkan kelas tertentu akan berbeda pula.

Sedangkan jenis kelamin merupakan pensifatan atau pembagian dua jenis kelamin

manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu. Secara

permanen tidak berubah dan merupakan ketentuan biologi atau sering dikatakan sebagai

ketentuan Tuhan atau kodrat. Misal laki-laki dan perempuan mempunyai alat reproduksi yang

berbeda baik bentuk maupun fungsinya. Laki-laki punya jakun, penis dan memproduksi

sperma. Sementara perempuan mempunyai rahim, vagina dan memproduksi sel telur.

Sebenarnya perbedaan gender tidak menjadi masalah, sepanjang tidak menimbulkan

ketidakadilan gender. Akan tetapi yang menjadi persoalan, ternyata perbedaan gender telah

melahirkan ketidakadilan baik bagi laki-laki maupun perempuan. Ketidakadilan gender

merupakan sistem dan struktur dimana baik laki-laki dan perempuan menjadi korbannya. Dan

termanifestasi dalam bentuk marjinalisasi, stereotype, subordinasi, diskriminasi dan

kekerasan.

Pada kenyataannya, dalam kehidupan sehari-hari perempuanlah yang banyak

mengalami ketidakadilan gender. Hal tersebut dikarenakan masih kentalnya budaya patriarkhi

yang berkembang di masyarakat dan didukung oleh aspek-aspek lainnya seperti agama,

budaya, tingkat pendidikan dan kesejahteraan masyarakat. Dan hal itu sudah berlangsung

selama kurun waktu yang cukup lama. Sehingga cukup sulit untuk membedakan mana yang

merupakan kodrat dan mana yang merupakan konstruksi sosial budaya di masyarakat.

Seringkali kondisi perempuan yang merupakan konstruksi sosial budaya di masyarakat

dianggap sebagai kodrat dari Tuhan. Seperti ungkapan bahwa kodrat perempuan itu di sumur,

dapur dan kasur atau lebih sering diasosiasikan dengan wilayah domestik atau rumah tangga.

Hubungan gender, perempuan dan budaya berhutang

Sebagaimana telah dituliskan diawal, berkaitan dengan persoalan hutang selalu

diidentikkan dengan perempuan. Semua itu tidak terlepas dari peran gender perempuan.

Selama ini perempuan dikonstruksikan bersifat luwes dan juga berperan di wilayah domestik.

Sementara laki-laki mempunyai peran di wilayah publik dan sekaligus sebagai kepala rumah

tangga. Sehingga urusan yang terkait dengan persoalan hutang, dianggap perempuanlah yang

paling luwes. Karena akan sangat memalukan apabila laki-laki yang harus memberi nafkah

keluarga kemudian berhutang untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Akan tetapi berbeda

apabila seorang perempuan yang berhutang, karena dianggap sebagai suatu hal yang sudah

biasa. Dan hal ini ternyata hampir berlaku di semua tempat sehingga sudah dianggap sebagai

budaya dari masyarakat. Sebagai contoh ketika ada pertemuan kelompok perempuan di

pedesaan, ada seorang ibu yang berhutang ke kelompok karena disuruh suaminya. Suaminya

membutuhkan uang, akan tetapi malu kalau harus “nyebrak” (meminjam sementara tanpa

bunga dan dikembalikan dalam tempo singkat).

Demikian pula di dalam kegiatan kelompok perempuan seperti PKK, dasawisma,

arisan dan lain-lain akan ada satu kegiatan simpan pinjam yang dilakukan. Hal ini sama saja

dengan berhutang, meskipun ada yang harus disimpan terlebih dahulu. Kegiatan tersebut

merupakan salah satu upaya pemberdayaan bagi perempuan terkait dengan peningkatan

ekonomi atau taraf hidup masyarakat. Pada beberapa program pemberdayaan perempuan

yang dilakukan pemerintah juga memunculkan kegiatan simpan pinjam, salah satunya yaitu

Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Perdesaan dengan Simpan Pinjam

Perempuan (SPP). Dalam draft laporan penelitian yang dilakukan oleh lembaga Penelitian

Smeru (2011), kegiatan tersebut dianggap bermanfaat untuk mengembangkan usaha

penerima, menambah kapasitas keuangan keluarga, dan juga untuk menggeser keberadaan

rentenir. Program serupa juga banyak dilakukan oleh lembaga swadaya masyarakat dalam

program pemberdayaannya.

Dalam artikelnya, Rita Setiawati mengatakan bahwa program pemberdayaan yang

dilakukan oleh pemerintah maupun lembaga swadaya masyarakat memberikan akses yang

besar kepada perempuan untuk peningkatan ekonomi. Namun di sisi lain, pemberdayaan

tersebut menjadikan perempuan manja dalam berhutang. Hal itu dikarenakan banyaknya

program dan bantuan dalam bentuk pinjaman yang diberikan kepada perempuan selama ini,

menjadikan perempuan di atas awan sementara waktu. Namun tanpa disadari ketika mereka

mengambil pinjaman tersebut, membuat mereka terlilit dan terbelit hutang. Bahkan karena itu

juga dapat menjadikan percekcokan dalam rumah tangga hingga berujung kehancuran.

Perempuan menjadi terlilit dan terbelit hutang karena tidak merencanakan dengan

baik dan bijaksana untuk apa pinjamannya tersebut. Seringkali mereka tergiur akan

keinginan-keinginan yang bersifat sekunder, konsumerisme dan konsumtif, bukan suatu

kebutuhan primer yang memang seharusnya mereka penuhi. Pembelian barang-barang untuk

memenuhi gaya hidup modern adalah salah satu cotohnya. Untuk memenuhi keinginan itu,

pola gali lobang tutup lobang seperti lirik lagunya Rhoma Irama seringkali dilakukan. Di

samping itu ada beberapa pinjaman yang memberlakukan bunga cukup tinggi dan mencekik

seperti yang dilakukan oleh rentenir. Inilah yang menjadikan pandangan masyarakat menjadi

negatif terhadap budaya berhutang.

Padahal seandainya pemanfaatannya secara benar dan bijaksana serta untuk

memenuhi kebutuhan yang tepat maka berhutang menjadi suatu solusi positif bagi

peningkatan ekonomi. Sebagai contoh, perempuan melakukan pinjaman untuk menambah

modal usahanya agar dapat meningkatkan produksi dan memperluas pemasarannya. Di sisi

lain, ternyata hutang dalam suatu kegiatan kelompok perempuan harus dilakukan untuk

meningkatkan SHU. Sebab kalau tidak ada yang berhutang, maka dana yang ada tidak akan

berkembang. Perkembangan dana tersebut sebagian dari bunga atas hutang yang dilakukan

anggotanya. Dan biasanya ada kesepakatan dalam kelompok berapa bunga pinjaman yang

dibayarkan agar tidak memberatkan anggotanya.

Kesimpulan

Budaya berhutang merupakan salah satu cara hidup yang berkembang di masyarakat,

dan diidentikan dengan perempuan karena peran gender yang selama ini berlaku. Pandangan

masyarakat terhadap budaya berhutang ini cenderung negatif karena pemanfaatannya yang

tidak bijaksana. Namun sesungguhnya ada dampak positif yang didapatkan dari budaya

berhutang ini, asalkan pemanfaatannya benar dan bijaksana. Selain itu harus memperhatikan

bunga atas hutang yang dilakukan, agar tidak terjerat dalam belitan hutang yang tidak

berkesudahan.

Daftar Pustaka

Fakih, Mansour. 1996. Menggeser Konsepsi Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta:

Pustaka Pelajar.

Setiawati, Rita. tt. Perempuan dan Budaya Berhutang. dalam

http://www.ccde.or.id/index.php?

option=com_content&view=article&id=468:perempuan-dan-budaya-

berhutang&catid=3:bingkai&Itemid=4, diakses tanggal 28 Juni 2013

Tim Penyusun. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa.

Tim Peneliti. 2011. Draft Laporan Penelitian Studi Kualitatif Dampak PNPM-Perdesaan

tahun 2010 di Jawa Timur, Sumatera Barat, dan Sulawesi Tenggara. Jakarta: Lembaga

Penelitian SMERU.

http://id.wikipedia.org/wiki/Budaya, diakses tanggal 28 Juni 2013.

top related