evaluasi pembangunan perumahan rakyat tahun 2012 dan rekomendasi tahun 2013
Post on 04-Apr-2018
212 Views
Preview:
TRANSCRIPT
-
7/30/2019 Evaluasi Pembangunan Perumahan Rakyat Tahun 2012 dan Rekomendasi Tahun 2013
1/6
PERNYATAAN PERS
Evaluasi Pembangunan Perumahan Rakyat Tahun 2012
dan Rekomendasi untuk Tahun 2013
Lembaga Pengkajian Pengembangan Perumahan dan Perkotaan Indonesia (LP-P3I)/
Housing and Urban Development (HUD) Institute
Jakarta, 14 Januari 2013
1
Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 28-H telah mengamanatkan bahwa perumahan dan
permukiman adalah hak dasar manusia, dimana setiap orang berhak untuk hidup sejahtera lahir
dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Dimana
prinsip ini sudah diadopsi pula di dalam Undang-undang No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan
dan Kawasan Permukiman (PKP). Selanjutnya, di dalam Rencana Pembangunan Jangka
Panjang Nasional 2005-2025 (UU No. 17 Tahun 2007) ditetapkan bahwa sasaran pokok
pembangunan perumahan dan permukiman adalah terpenuhinya kebutuhan hunian yang
dilengkapi dengan sarana dan prasarana pendukungnya bagi seluruh masyarakat. Oleh karena
itu, untuk menjamin pemenuhan hak dasar tersebut, sudah menjadi kewajiban Pemerintah
sebagai penyelenggara negara untuk menghormati, melindungi dan sekaligus memenuhinya
dengan segera.
Namun perjalanan pembangunan perumahan rakyat dan permukiman di tanah air dalamsepuluh tahun terakhir ini semakin menunjukkan fakta bahwa kebutuhan perumahan dan
permukiman semakin jauh dari terpenuhi bagi seluruh rakyat secara layak dan bermartabat.
Data Sensus Tahun 2010 oleh Biro Pusat Statistik (BPS) menunjukkan angka kekurangan rumah
sebesar 13,6 juta rumah (housing backlog). Demikian pula dengan luas permukiman kumuh
yang semakin meningkat menjadi 59.000 Ha pada tahun 2009 (BPS).
Menyikapi situasi dan kondisi PKP di tanah air seperti ini, dengan dukungan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2011 tentang PKP pasal 131-133 terkait peran serta masyarakat, The HUD
Institute diharapkan mampu melakukan pengamatan dan pengkajian secara objektif untuk
kemudian mampu memberikan kritik dan masukan yang konstruktif kepada para pihak
pengambil kebijakan, dengan tetap menjaga independensi dan obyektifitas yang tinggi.
Sejak Kementerian Perumahan Rakyat (Kemenpera) dibentuk kembali pada tahun 2005 di masa
Kabinet Indonesia Bersatu (KBI) I, disepakati untuk menjalankan misi: (i) mengurangi backlog
rumah, (ii) mengurangi luasan kawasan kumuh, (iii) meningkatkan keterjangkauan (affordability)
kalangan Masyarakat Berpendapatan Rendah (MBR), (iv) meningkatkan peran Pemda dalam
bidang PKP, (v) meningkatkan kemitraan Pemerintah-Swasta-Masyarakat, dan (vi) meningkatkan
kapasitas fiskal pemda melalui pengelolaan aset. Namun semua misi ini belum menampakkan
hasilnya karena sejak Kongnas 2009 hingga tahun 2012, permasalahan bidang PKP yang
kompleks masih diselesaikan secara sangat sederhana melalui sistem peraturan yang saling
tidak sinkron dan tumpang tindih, melalui proyek-proyek pengadaan barang dan jasa tahunan
maupun melalui subsidi pembiayaan secara terus menerus. Padahal sudah diamanatkan untuk
segera memulai dibangunnya sistem kelembagaan dan tata kelola yang berkapasitas tinggi yang
-
7/30/2019 Evaluasi Pembangunan Perumahan Rakyat Tahun 2012 dan Rekomendasi Tahun 2013
2/6
HUD Institute, Wisma PKBI, Jakarta, 14 Januari 2013 2
menjamin berlangsungnya proses pemupukan sistem penyediaan (housing delivery system) dan
proses pemberdayaan sehingga terjadi peningkatan akses secara nyata. Di dalam situasi
absennya peran pemerintah dan ketiadaan sistem ini maka para pihak termasuk pemerintah
daerah lebih banyak mengambil sikap pasif (pembiaran). Keadaan yang tidak bersistem seperti
ini akhirnya menciptakan ekonomi biaya tinggi, anggaran pembangunan yang tidak
menghasilkan keluaran yang efektif dan menciptakan jurang yang dalam antara pemerintah danberbagai komponen masyarakat termasuk pemerintah daerah, masyarakat dan pihak
pengusaha swasta.
Dengan mengacu pada target-target Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) 2010-
2014 Bidang Perumahan Rakyat, beberapa program perlu mendapatkan evaluasi seperti
dipaparkan di bawah ini.
Bidang Perumahan Formal memiliki beberapa program utama seperti diuraikan sebagai berikut.
Program perumahan formal ditandai dengan pembangunan menara-menara Rumah Susun
Sederhana Sewa (Rusunawa) secara masif dengan satuan Twin-Block (TB). Meskipun
tampaknya target 2010-2014 sebanyak 380 TB hampir tercapai, yaitu hingga 2012 tercapai
sebanyak 266 TB (70%) namun pelaksanaan di lapangan menuai beragam masalah, karenapencapaian target hanya bertumpu pada penyebaran proyek-proyek konstruksi menara TB di
seluruh penjuru nusantara. Dalam kenyataannya kualitas rusunawa yang terbangun banyak
yang tidak memenuhi persyaratan minimal, akhirnya rusuna tidak terawat, berubah menjadi
kumuh karena tidak dihuni. Kondisi ini menjadi pemandangan nyata di kota-kota besar tanah air
yang menunjukkan wajah keterbelakangan bangsa ini. Program Fasilitasi Rumah Susun
Sederhana Milik (Rusunami) juga mengalami masalah kurangnya dukungan pemerintah daerah
dalam memberi Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) maupun penetapan harga maksimum. Masalah
ini muncul sebenarnya akibat Pemerintah Daerah memandang pengadaan rusunami masih
sebagai perumahan komersial dan belum berada di domain publik. Akhirnya program rusunami
juga menghadapi problem yang sama, yaitu salah sasaran. Untuk Fasilitasi Perumahan
Komersial, bisa dinilai bahwa praktek-praktek perumahan komersial tidak dikelola secara
terpadu, terjadi eksklusi penanganan perumahan komersial yang berakibat konflik di lapangan,
yaitu antara pengusaha, pejabat daerah dan masyarakat. Bagaimanapun, penyediaan
perumahan rakyat tidak bisa dilepaskan dari penanganan urusan perumahan komersial dan
bisnis properti secara utuh, yaitu seperti mengatur pola kepemilikan apartemen (strata title),
integrasi penataan kawasan permukiman skala besar, pengaturan hunian berimbang, hingga
kepemilikan apartemen oleh orang asing. Program Penataan Kali Ciliwung merupakan salah
satu program perumahan formal di tahun 2012 untuk menata permukiman dan penyediaan
perumahan warga di bantaran kali Ciliwung, Jakarta dengan anggaran hingga 600 milyar rupiah.
Ternyata proyek ini gagal dilaksanakan karena tidak diperolehnya persetujuan pemakaian tanah
di kawasan Beerland, ketidaksiapan pengorganisasian komunitas, penyiapan lokasi area baruyang tidak jelas hasilnya, hingga tidak disetujuinya oleh Kementerian Pekerjaan Umum
pembangunan Rusunawa di atas kali Ciliwung.
Bidang Pengembangan Kawasan Permukiman ditandai oleh 2 (dua) kegiatan utama, yaitu: (i)
Fasilitasi pembangunan PSU kawasan perumahan dan permukiman dengan satuan unit rumah,
dan (ii) Fasilitasi dan Stimulasi Penataan Lingkungan Permukiman Kumuh dengan satuan luasan
hektar. Berdasarkan target RPJMN 2010-2014, ditargetkan penyediaan PSU untuk 700.000 unit
rumah di seluruh tanah air. Pada tahun 2012 dari target 126.367 unit, tercapai 87.604 unit.
Sampai tahun 2012 telah terbangun PSU sebanyak 198.047 unit yang berarti 28,29 % dari target
700.000 unit. Terlepas dari mekanisme penyediaan yang masih perlu dikritisi, kinerja PSU hingga
2012 masih jauh dari target sehingga sangat membebani upaya pemenuhan 71,7% sisa target
pada dua tahun tersisa. Sedangkan penyediaan PSU untuk menangani permukiman kumuh,
berdasarkan target RPJMN 2010-2014, dari target penyediaan PSU untuk 655 hektar kumuh di
-
7/30/2019 Evaluasi Pembangunan Perumahan Rakyat Tahun 2012 dan Rekomendasi Tahun 2013
3/6
HUD Institute, Wisma PKBI, Jakarta, 14 Januari 2013 3
seluruh tanah air, total hingga tahun 2012 tercapai angka 373 ha yang berarti 56,95 % dari
target. Namun dengan pencapaian yang hanya sekitar 125 hektar per tahun, sementara pada
tahun 2025 telah dicanangkan Kota Tanpa Permukiman Kumuh, menjadi suatu pertanyaan bagi
kita semua bagaimana skema pemerintah menyelesaikan luasan kawasan kumuh yang telah
mencapai hampir 60.000 hektar dan pertambahan luasannya mencapai 1.000 hektar per tahun?
Lebih jauh, pencapaian 125 hektar per tahun itu pun masih sebatas penggelontoran proyek-proyek PSU dan sama sekali belum menjamin pengentasan kekumuhan secara berarti.
Bidang Pembiayaan Perumahan hanya bertumpu pada perguliran FLPP (Fasilitas Likuiditas
Pembiayaan Perumahan) yang juga masih jauh dari target pengucuran. Dari target pengucuran
untuk membiayai kredit sebanyak 1.350.000 unit RSH pada 2010-2014 baru terkucurkan
sebanyak 275.946 unit hingga tahun 2012. Pengucuran FLPP tahun 2012 adalah yang terendah,
yaitu hanya 73.923 unit. Pencapaian yang rendah ini terutama disebabkan oleh inkonsistensi
kebijakan Kemenpera yang berkali-kali telah melakukan kebijakan buka-tutup dan perubahan-
perubahan skema FLPP. Sebagai akibatnya, banyak pengembang perumahan sederhana dan
calon pembeli yang menghadapi kesulitan di lapangan. Program-program pembiayaan
perumahan lainnya masih belum dirampungkan oleh Kemenpera, baik pembiayaan perumahanumum, pembiayaan perumahan swadaya dan pembiayaan perumahan sosial, seperti Tabungan
Perumahan yang diharapkan dapat meredam masalah penyaluran FLPP selama ini yang menuai
banyak masalah administrasi keuangan dan pembiayaan dikarenakan masih bercampur dengan
bisnis bank komersial. Pembiayaan perumahan umum juga belum disentuh, baik untuk
pembiayaan pembangunan skala besar maupun untuk perumahan umum sewa, sebagai
pembiayaan pembangunan sektor publik (sovereign finance).
Bidang Perumahan Swadaya ditandai program bedah rumah yang dilakukan secara sangat
masif. Dari target membiayai pembangunan baru swadaya 50.000 unit untuk tahun 2010-2014,
telah tersalurkan total 32.512 unit hingga 2012 (65%). Dari target membiayai perbaikan
perumahan swadaya sebanyak 50.000 unit dari 2010-2014, ternyata pada tahun 2012 telah
terjadi lonjakan pelaksanaan yang luar biasa yaitu mencapai total 285.738 unit (571% !) karena
pada tahun 2012 melonjak luar biasa sebanyak 230.000 unit. Sedangkan dari target membiayai
prasarana (PSU) perumahan swadaya sebanyak 50.000 unit untuk tahun 2010-2014, tiba-tiba
telah mencapai total 48.988 unit hingga 2012 (98%). Dari kinerja yang cukup aneh di atas,
catatan pertama adalah terdapat kecenderungan pengukuran kinerja penyaluran yang bukan
diukur setelah selesai dilaksanakan pekerjaan perbaikan, melainkan diukur setelah dana
tersalurkan ke rekening penerima manfaat, bahkan hanya diukur setelah dana tersalurkan ke
rekening pemerintah daerah. Catatan kedua, pada dasarnya kegiatan bedah rumah
merupakan stimulasi teknis perumahan swadaya yang membutuhkan pendampingan dan bukan
kegiatan belas kasihan (charity) yang lebih bersifat bantuan sosial (bansos) seperti yang
dijalankan selama ini sehingga bisa mencapai angka-angka yang sangat fantastis! Untuk ituprogram perumahan swadaya ini sangat perlu mendapatkan inspeksi dan audit secara serius
dari berbagai lembaga pengawas terkait.
Kesimpulan. Dari uraian-uraian di atas kami menyimpulkan sebagai berikut:
1. Selain masalahakses ke sumberdaya tanah, infrastruktur dan pembiayaan, masalah yangsebenarnya lebih mendasar lagi adalah bagaimana mengatasi kendala kapasitas
pemahaman (cognitive constraint) yang berbeda-beda di kalangan pengambil kebijakan,
dimana dengan pemahaman bersama yang baik housing backlog bukan mustahil diatasi
melalui kebijakan dan strategi yang tepat.
2. Krisis perumahan dan permukiman ditunjukkan oleh lemahnya keberdayaan masyarakat,rendahnya kapasitas pemerintah dan kebingungan pelaku swasta dalam berinvestasi. Iniadalah indikasi ketiadaan sistem yang utuh sehingga diperlukan sebuah Reformasi Tata
-
7/30/2019 Evaluasi Pembangunan Perumahan Rakyat Tahun 2012 dan Rekomendasi Tahun 2013
4/6
HUD Institute, Wisma PKBI, Jakarta, 14 Januari 2013 4
Kelola Kepemerintahan dan Kepemimpinan Yang Baik (Good Governance and Leadership)
dalam bidang Housing and Urban Development.
3. Peran pemerintah sebagai regulator di dalam koordinasi kebijakan maupun sebagaioperator di dalam sinkronisasi pelaksanaan kebijakan PKP belum kunjung efektif.
Berbagai kegagalan kebijakan dan strategi pemenuhan perumahan adalah indikasi dari
belum adanya multi-sistem penyediaan perumahan yang mampu menggenjot angka
produksi rumah secara signifikan dan efektif mencapai kelompok sasaran.
4. Untuk menyediakan perumahan umum secara masif dalam rangka pengurangan backlog,diperlukan penguatan lembaga pelaksana, baik di tingkat nasional maupun daerah yang
diberi fungsi dan peran mulai dari pengadaan lahan, perencanaan, hingga pengelolaan
aset publik.
5. Meskipun pemerintah melalui Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentangPemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang
pembagian kewenangan antara pemerintah, pemerintah propinsi dan pemerinbtah
kabupaten/kota telah mendesentralisasikan urusan perumahan, namun urusan
perumahan rakyat masih jauh dari selesai karena belum adanya kebijakan dan strategiyang efektif. Sistem penyediaan yang terbangun lengkap dengan mekanisme-mekanisme
dan kapasitas organisasi dan sumberdaya manusia, masih jauh dari tersedia di daerah..
Rekomendasi. Sebagai rekomendasi dari HUD Institute, ada beberapa usulan langkah-langkah
yang perlu segera dilakukan pemerintah, yaitu sebagai berikut:
1. Reformasi Tata Kelola dan Pembagian Peran. Krisis perumahan dan permukiman yang
ditunjukkan oleh lemahnya keberdayaan masyarakat, rendahnya kapasitas pemerintah dan
kebingungan pelaku swasta dalam berinvestasi, adalah indikasi ketiadaan sistem penyediaan
perumahan yang utuh. Untuk itu, tidak bisa tidak, diperlukan sebuah Reformasi Tata Kelola
Kepemerintahan dan Kepemimpinan yang Baik (Good Governance and Leadership), menujusebuah tatanan yang bisa disebut sebagai Government Driven Housing and Urban Development
atau Public Sector Led Housing and Urban Development.
2. Mengembangkan Multi-Sistem Penyediaan Perumahan. Perlunya kehadiran multi-sistem
penyediaan perumahan sebagai kunci bagi kebijakan dan strategi yang efektif agar utilisasi
sumber-sumberdaya kunci PKP (tanah, infrastruktur dan pembiayaan) dapat dikelola secara
efisien dan efektif, baik untuk kebutuhan umum, sosial, komersial maupun swadaya. Pasal 21
UU Nomor 1 Tahun 2011 tentang PKP mengamanatkan untuk memberi perhatian sekaligus pada
rumah umum, rumah swadaya, rumah komersial, rumah khusus/sosial dan rumah negara.
Penafsirannya bukanlah menciptakan proyek-proyek konstruksi rumah-rumah dengan aneka
nama tersebut. Landasan undang-undang inilah yang perlu segera direspon denganmengembangkan multi-sistem penyediaan perumahan yang terpadu, yang meliputi sistem
penyediaan perumahan umum, sistem penyediaan perumahan sosial/khusus, sistem
penyediaan perumahan komersial dan sistem penyediaan perumahan swadaya.
3. Pengembangan Sistem Perumahan Umum. Di dalam sistem penyediaan perumahan umum
langkah pertama yang perlu menjadi perhatian adalah diperlukannya lembaga otoritas
perumahan umum di pusat maupun daerah, dengan kinerja tidak seperti organisasi proyek
semata. Kedua, di dalam mekanisme perumahan umum, Perumnas atau lembaga yang ditunjuk
harus diberi tugas untuk memenuhi kebutuhan perumahan seluruh rakyat, mengurangi housing
backlog dan pengembangan kawasan permukiman dan perkotaan, dengan diberi peran sebagai
operator yang memiliki otorita berdedikasi (dedicated authority). Ketiga, di dalam mekanisme
perumahan umum, pembangunan rusuna/rusunawa tidak akan menghadapi beragam masalah
karena tidak dilaksanakan melalui sistem proyek-proyek konstruksi tahunan.
-
7/30/2019 Evaluasi Pembangunan Perumahan Rakyat Tahun 2012 dan Rekomendasi Tahun 2013
5/6
HUD Institute, Wisma PKBI, Jakarta, 14 Januari 2013 5
4. Memperkuat Sistem Kelembagaan. Sistem kelembagaan yang mantap menjadi tulang
punggung multi-sistem penyediaan perumahan. Beberapa kelembagaan yang perlu segera
disiapkan peran dan kapasitasnya adalah sebagai berikut:
a. Badan Pelaksana Rumah Susun (berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011
tentang Rumah Susun) adalah sebuah Badan yang berwenang dan bertanggung-jawab
dalam penyediaan rumah-rumah susun berdasarkan mekanisme perumahan umum.
b. Penguatan Perumnas dan Perumda. Untuk mengatasi kesenjangan kekurangan tempat
tinggal (backlog) 13,6 juta unit, pemerintah perlu mengoptimalkan peran Perumnas,
karena berdasarkan UU No 1/2011 tentang PKP pemerintah mengemban tugas untuk
membangun rumah umum. Melalui pendekatan government drivenhousing and urban
development di dalam sistem ini, Perumnas dan Perumda perlu direvitalisasi menjadi
Housing and Urban Development Corporation (HUDC).
c. Baledaya Perumahan dan Perkotaan (Housing and Urban Resource Center) berwenang
dan bertanggung-jawab dalam penyediaan perumahan swadaya dalam perannya
sebagai simpul dari sistem penyediaan perumahan swadaya. Baledaya Perumahan dan
Perkotaan memfasilitasi dialog perumahan dan perkotaan melalui kegiatan forum yangdinamai Forum Perumahan dan Perkotaan.
d. Lembaga Dana Perumahan Rakyat yang beroperasional langsung untuk menghimpun
dana-dana dari masyarakat. Pasal 118 UU Nomor 1/2011 tentang PKP menyebutkan
bahwa pemerintah dan pemerintah daerah mendorong pemberdayaan sistem
pembiayaan perumahan rakyat untuk memastikan ketersediaan dana dan dana murah
jangka panjang yang berkelanjutan untuk pemenuhan kebutuhan rumah, perumahan,
permukiman, serta lingkungan hunian perkotaan dan perdesaan.
5. Membangun Sistem Melalui Pemanfaatan Peluang Desentralisasi. Pemerintah nasional
belum memiliki kebijakan dan strategi yang efektif dalam mendesentralisasikan urusan
perumahan. Salah satu peran pokok yang diemban pemerintah nasional adalah membina sistemRencana Pembangunan Perumahan dan Permukiman, baik untuk jangka menengah maupun
jangka panjang. Upaya untuk membina pemerintah daerah telah dilakukan oleh Kemenpera
melalui kegiatan Dekonsentrasi Lingkup Kemenpera sejak tahun 2010 sampai tahun 2011,
namun kemudian dihentikan pada tahun 2012. Seyogyanya kegiatan ini dapat terus
dikembangkan sebagai salah satu ujung tombak meningkatkan kapasitas pemerintah daerah
dalam penanganan perumahan rakyat.
6. Integrasi Pembangunan Perumahan dan Perkotaan (HUD, Housing and Urban Development).
Penyediaan perumahan dan penanganan permukiman kumuh perkotaan di tanah air selama ini
masih menggunakan pendekatan proyek konstruksi dan penanganan titik-titik kumuh.
Pendekatan lama ini sudah menunjukkan hasil yang kurang efektif. Kota-kota yang relatif
berhasil menyediakan perumahan bagi seluruh lapisan warganya dan berhasil menghilangkan
permukiman kumuh adalah bukti pengelolaan urbanisasi dan pembangunan kota yang
berkelanjutan karena sudah mencapai tahapan keseimbangan urbanisasi (urbanization
equilibrium). Menghadapi masalah penyediaan perumahan dan permukiman kumuh perkotaan
tersebut, tidak dapat lagi mengandalkan pendekatan yang sektoral, melainkan harus memakai
pendekatan pada skala kota atau City-wide Approach.
7. Pembelajaran Strategis. Selanjutnya, Indonesia perlu segera belajar dan mengadopsi secara
stratejik moda perumahan umum di Jepang, Korea Selatan, Hongkong atau Singapura yang
sudah dibangun sejak tahun 1960-an dan berakumulasi pada sistem penyediaan yang mantap.
Sebagai lembaga simpul, penyelenggaraannya dipimpin oleh badan otoritas bernama Urban
Renaissance (UR) di Jepang, Korean Land and Housing Corporation (KLHC) di Korea Selatan,Perbadanan Kemajuan Negeri Selangor (PKNS) di Malaysia, maupun Housing Development
-
7/30/2019 Evaluasi Pembangunan Perumahan Rakyat Tahun 2012 dan Rekomendasi Tahun 2013
6/6
HUD Institute, Wisma PKBI, Jakarta, 14 Januari 2013 6
Board (HDB) dan Urban Redevelopment Authority (URA) di Singapura. Selanjutnya, badan
otorita seperti ini menata kawasan-kawasan kota dan membangun kawasan-kawasan baru
sembari mengembangkan kapasitas bersama-sama dengan pemerintah daerah, kota maupun
distrik.
Sebagai kesimpulan akhir, melalui kerja keras dan upaya yang sungguh-sungguh untuk
memenuhi kebutuhan perumahan rakyat yang terus semakin meningkat, dan untuk
menjalankan langkah-langkah aksi yang diperlukan, niscaya target untuk mencapai rumah layak
untuk setiap orang serta menjadikan kota-kota yang berkelanjutan bebas kumuh bukanlah
sesuatu yang mustahil dapat diwujudkan. ***
top related