efisiensi dan nilai keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di
Post on 14-Jan-2017
281 Views
Preview:
TRANSCRIPT
EFISIENSI DAN NILAI KEBERLANJUTAN USAHATANI SAYURAN DATARAN TINGGI
DI PROVINSI JAWA BARAT
WINI NAHRAENI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012
SURAT PERNYATAAN
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam
disertasi saya ini yang berjudul:
EFISIENSI DAN NILAI KEBERLANJUTAN
USAHATANI SAYURAN DATARAN TINGGI
DI PROVINSI JAWA BARAT
Merupakan gagasan atau hasil penelitian disertasi saya sendiri, dengan bimbingan
dan arahan komisi pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan
rujukannya. Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada
program sejenis di perguruan tinggi lain. Semua data dan informasi yang
digunakan telah dinyatakan jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor, Agustus 2012
Wini Nahraeni NRP. H.363070081
ABSTRACT
WINI NAHRAENI. Efficiency and Sustainable Value of Highland Vegetables in West Java. (SRI HARTOYO, as a Chairman, YUSMAN SYAUKAT, and KUNTJORO, as Members of The Advisory Committee).
The goals of this research are to estimate technical, allocation, and economic efficiencies of highland potatoes and cabbage, to identify the factors affecting those efficiencies, and to estimate the sustainable values of those crops. The research is conducted in Bandung and Garut district by doing a survey to 200 selected farmers. The data are then analyzed using Frontier 4.1. program. The result of this study indicated that (1) land area is the most important resource, land slope significantly affect productivities of both potatoes and cabbage while chemical fertilizers (N, P, and K), pesticide, and labor do not significantly affect productivities of both potatoes and cabbage, (2) efficiencies of both crops are significantly affected by farmers age, experience, group membership, frequencies of extention, access to credit, land ownership status and planting system, (3) sustainable value of the farms are significantly affected by the land slope and types of planting system. The farmers efficiencies could be improved by providing training programs to improve their managerial capability and to control land degradation (erosion) Key words: production, efficiency, sustainability
RINGKASAN
WINI NAHRAENI. Efisiensi dan Nilai Keberlanjutan Usahatani Sayuran Dataran Tinggi di Provinsi Jawa Barat (Di bawah bimbingan SRI HARTOYO, sebagai Ketua, YUSMAN SYAUKAT dan KUNTJORO sebagai Anggota).
Sektor pertanian memegang peranan yang cukup penting. Pada tahun 2011, perekonomian nasional tumbuh sebesar 6.5 persen dibandingkan dengan tahun 2010 (BPS, 2012a) yang didukung oleh pertumbuhan sektor pertanian sebesar 3.6 persen dan sektor pertanian menyumbang 14.7 persen terhadap PDB nasional. Rata-rata sumbangan sektor pertanian sejak tahun 2009-2011 meningkat sebesar 15.1 persen (BPS, 2012a). Berdasarkan data BPS (2012b) sekitar 41,2 juta masyarakat Indonesia terlibat dalam berbagai bentuk kegiatan pertanian dan sektor pertanian masih menjadi penyumbang terbesar penyerapan tenaga kerja di Indonesia dngan peningkatan sebesar 1,9 juta orang (4,75 persen) dibandingkan dengan tahun 2011.
Hortikultura merupakan salah satu sub sektor pertanian yang strategis dan penting karena perannya sebagai komponen utama Pola Pangan Harapan. Sayuran merupakan salah satu komoditas hortikultura yang mempunyai potensi besar untuk dikembangkan di Indonesia dan mempunyai nilai ekonomi tinggi. Peningkatan produksi sayuran selama kurun waktu tahun 2006-2010 rata-rata 2.7 persen. Di sisi lain, data BPS (2009) menunjukkan tingkat konsumsi masyarakat Indonesia masih rendah (43.5kg/kapita/tahun) dibandingkan dengan konsumsi yang direkomendasikan oleh FAO (75 kg /kapita /tahun). Hal ini menjadi peluang yang besar untuk mengembangkan sayuran.
Usahatani sayuran dataran tinggi diusahakan di lahan kering yang tersebar dengan kondisi kemiringan lereng yang bervariasi. Hal ini menyebabkan produksi kentang dan kubis bervariasi. Penerapan teknik konservasi tanah pada usahatani sayuran dataran tinggi masih rendah. Pada saat ini, pertanian sayuran di lahan pegunungan dihadapkan pada masalah pemberian pupuk dan pestisida yang berlebihan sehingga menyebabkan usahatani relatif tidak efisien. Tekanan populasi berakibat pada intensifikasi pada tanaman sayuran dan meningkatkan degradasi lingkungan. Hal lainnya adalah kecilnya kepemilikan lahan usahatani dan status kepemilikan, serta keterbatasan modal sehingga sayuran yang dihasilkan menjadi tidak optimal. Selain lahan, faktor sumber daya manusia khususnya dikaitkan dengan kapabilitas manajerial petani juga menyebabkan inefisiensi produksi. Kapabilitas manajerial petani ini akan menentukan rasionalitas petani dalam mengambil keputusan dalam pengelolaan usahataninya.
Selanjutnya masalah yang terjadi adalah degradasi lahan dan erosi yang berlangsung terus. Katharina (2007) memprediksi besarnya erosi dalam jangka panjang di daerah Pangalengan berdasarkan sistem penanaman. Besarnya erosi yang terjadi pada penanaman searah lereng, searah kontur, dan teras bangku berturut-turut sebesar 13 – 17 ton/ha/tahun, 9.6 – 12.6 ton/ha/tahun, dan 4.9 – 6.7 ton/ha/tahun. Akibat langsung dari besarnya erosi adalah produktivitas lahan rendah di wilayah ini, hal ini ditunjukkan oleh rendahnya produksi beberapa jenis tanaman dominan seperti kentang, kubis, cabe dan lainnya (Dinas Pertanian Tanaman Pangan Jawa Barat, 2010) padahal produksi tersebut masih dapat
ditingkatkan. Kondisi ini disebabkan masih kurangnya pengetahuan petani terhadap pertanian berkelanjutan.
Secara umum penelitian ini bertujuan mengestimasi tingkat efisiensi usahatani sayuran dataran tinggi dan mengetahui kontribusi petani terhadap keberlanjutan sayuran dataran tinggi. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk: mengestimasi tingkat efisiensi teknik, alokatif dan ekonomi dari usahatani sayuran dataran tinggi di Jawa Barat, mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi inefisiensi teknis, alokatif, dan ekonomis, menganalisis pengaruh kemiringan lereng dan sistem penanaman /konservasi terhadap efisiensi teknik, alokatif dan ekonomi, mengestimasi tingkat kontribusi petani terhadap keberlanjutan usahatani sayuran sebagai indikator kinerja keberlanjutan, dan merumuskan alternatif kebijakan dalam upaya meningkatkan produktivitas, efisiensi dan keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di Jawa Barat Penelitian ini dilakukan di dua kabupaten yaitu Kabupaten Bandung dan Garut. Pemilihan daerah penelitian dilakukan secara purposive dengan alasan kedua daerah tersebut merupakan sentra produksi kentang dan kubis di Provinsi Jawa Barat. Dengan demikian terpilih 4 kecamatan dan 12 desa yang menjadi sentra produksi kentang dan kubis. Data yang dikumpulkan adalah data usahatani selama tiga musim tanam mulai MK II tahun 2010 sampai MK I MT 2011. Untuk mengestimasi dan mengukur efisiensi teknik digunakan pendekatan Stochastic Frontier dengan fungsi produksi Cobb Douglas dan untuk menganalisis keberlanjutan usahatani digunakan metode sustainable value dan return to cost (efisiensi keberlanjutan) dari Figge dan Hahn. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh variabel luas lahan, jumlah benih yang digunakan, penggunaan pupuk kandang secara nyata dapat meningkatkan produksi kentang dan kubis dataran tinggi, sedangkan kemiringan lereng bertanda negatif menunjukkan bahwa semakin tinggi kemiringan lereng maka produksi semakin kecil. Jumlah pupuk anorganik, jumlah pestisida dan tenaga kerja secara positif meningkatkan produksi tetapi tidak berbeda nyata dengan nol. Baik pada tanaman kentang maupun kubis, luas lahan mempunyai elastisitas yang terbesar sehingga lahan merupakan faktor dominan yang mempengaruhi produksi, diikuti oleh jumlah benih dan jumlah pupuk kandang yang digunakan. Benih merupakan faktor penting lainnya dengan besaran elastisitas kedua setelah lahan (0.13) diikuti pupuk kandang (0.11). Seperti diketahui saat ini benih menjadi pembatas dalam produksi kentang. Setelah impor benih dilarang oleh pemerintah, maka petani membeli benih kepada penangkar sekitar lokasi atau membeli benih kentang yang tidak bersertifikat kepada petani lain.
Usahatani kentang dan kubis belum efisien, namun meskipun efisiensi berbeda-beda untuk setiap petani secara umum efisiensi teknik cukup tinggi. Rata-rata efisiensi untuk kentang dan kubis baru mencapai 84 persen dan 73 persen, artinya masih terdapat ruang untuk meningkatkan efisiensi teknik pada tingkat teknologi sekarang untuk mencapai produksi maksimal. Ra-rata efisiensi alokatif untuk kentang masih rendah baru mencapai 47 persen, sementara untuk kubis relatif cukup tinggi mencapai 77 persen. Artinya pada tingkat harga input dan output, masih terdapat potensi yang cukup besar untuk petani kentang dalam mengalokasikan inputnya pada tingkat biaya minimal.
Faktor-faktor yang menjadi sumber penyebab inefisiensi teknis pada tanaman kentang adalah umur, pengalaman, keanggotaan dalam kelompok, frekuensi penyuluhan, status kepemilikan lahan, dan sistem penanaman. Selanjutnya faktor-faktor yang berepengaruh signifikan terhadap efisiensi teknis kubis adalah keangotaan dalam kelompok, frekuensi penyuluhan, akses terhadap kredit, dan sistem penanaman. Pengalaman tidak mempunyai pengaruh yang nyata terhadap efisiensi teknis kubis, dilain pihak keanggotaan dalam kelompok berpengaruh nyata, hal ini berimplikasi bahwa untuk meningkatkan efisiensi teknik peningkatan human capital dapat dilakukan melalui kelembagaan penyuluhan .
Pengalaman berusahatani tidak berpengaruh nyata terhadap efisiensi teknik komoditas kubis, di sisi lain keanggotaan dalam kelompok dan frekuensi penyuluhan dapat meningkatkan efisiensi. Dengan demikian diperlukan kebijakan yang dapat mendorong faktor ini seperti kelembagaan penyuluhan sebagai wadah untuk transfer teknologi, informasi, perencanaan produksi, penentuan pola tanam, memperbaiki posisi tawar di pasar output terutama kubis, dan peningkatan teknologi konservasi. Upaya ini dilakukan agar terjadi sinergi antara efisiensi teknik dengan efisiensi alokatif untuk meningkatkan pendapatan petani.
Pada teknologi sekarang dan pada tingkat harga faktor produksi yang tetap, maka upaya peningkatan produksi diarahkan pada kelompok petani sasaran melalui peningkatan faktor produksi yang masih underuse atau mengurangi penggunaan factor produksi yang sudah berlebih, seperti pupuk anorganik (Urea, ZA, TSP, KCl, dan NPK) dan pestisida. Berdasarkan hasil penelitian lahan merupakan faktor dominan, artinya luas lahan merupakan jaminan untuk meningkatkan efisiensi tetapi peningkatan luas lahan tanpa diikuti oleh peningkatan kualitas lahan terutama pada lahan dengan kemiringan tinggi dengan erosi tinggi dan tanpa konservasi akan menurunkan baik efisiensi teknik maupun alokatif.
Secara rata-rata nilai keberlanjutan (sustainable value) di daerah penelitian masih negatif, hal ini menunjukkan sumberdaya yang digunakan oleh petani masih kurang produktif dibandingkan bila sumberdaya tersebut digunakan oleh benchmark-nya. Untuk keberlanjutan usahatani maka diperlukan manajemen sumberdaya yang diarahkan dapat menurunkan degradasi lahan. Dengan demikian kebijakan langsung adalah mengawasi degradasi lahan diikuti oleh peningkatan kapasitas manajerial (human capital) melalui training akan meningkatkan efisiensi.
Penelitian empiris usahatani berkelanjutan masih terbatas. Metode pengukuran nilai keberlanjutan masih lebih banyak dalam teori daripada aplikasi di lapangan melalui penelitian empiris untuk menggambarkan, mengukur, menganalisis, menerangkan dan menilai kontribusi terhadap keberlanjutan. Untuk penelitian lanjutan disarankan untuk menggunakan variabel yang lebih relevan, misalnya untuk faktor lingkungan dan sosial dapat digunakan indikator kualitas tanah. Data yang dikumpulkan akan lebih baik lagi jika menggunakan data time series untuk melihat evolusi dari keberlanjutan usahatani..
Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, Tahun 2012 Hak cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumber. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan
karya ilmia, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya
tulis dalam bentuk apapun tanpa seizin IPB.
EFISIENSI DAN NILAI KEBERLANJUTAN USAHATANI SAYURAN DATARAN TINGGI
DI PROVINSI JAWA BARAT
WINI NAHRAENI
Disertasi Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar
Doktor pada
Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012
Penguji Luar Komisi Ujian Tertutup :
1. Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS Staf Pengajar Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor
2. Dr. Ir. Harianto, MS
Staf Pengajar Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor
Penguji Luar Komisi Ujian Terbuka:
1. Prof (R ) Dr. Ir. I Wayan Rusastra, MS Profesor Riset Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Kementrian RI
2. Dr. Ir. Saptana, M.Si
Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Kementrian RI
Judul Disertasi : Efisiensi dan Nilai Keberlanjutan Usahatani
Sayuran Dataran Tinggi di Provinsi Jawa Barat Nama Mahasiswa : Wini Nahraeni Nomor Pokok : H.363070081 Mayor : Ilmu Ekonomi Pertanian
Menyetujui,
1. Komisi Pembimbing :
Dr. Ir. Sri Hartoyo, MS. Ketua
Dr. Ir.Yusman Syaukat, MEc Prof. Dr. Ir. Kuntjoro Anggota Anggota
Mengetahui,
2. Koordinator Mayor 3. Dekan Sekolah Pascasarjana, Ilmu Ekonomi Pertanian, Dr. Ir. Sri Hartoyo,MS. Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr Tanggal Ujian : 27 Juli 2012 Tanggal lulus :
akhirnya tercapailah harapan persembahan kecil untuk:
guru-guruku kang dede sahabat hatiku
syifa dan luthfi permata hatiku kedua orang tua dan mertua tercinta
kakak-kakak dan adik-adikku
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena
atas rahmat dan hidayah-Nya disertasi ini dapat diselesaikan. Disertasi yang
berjudul ‘Efisiensi dan Nilai Keberlanjutan Usahatani Sayuran Dataran Tinggi di
Provinsi Jawa Barat’ diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor pada Program Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian (EPN), Institut Pertanian
Bogor.
Hortikultura merupakan salah satu sub sektor pertanian yang strategis dan
penting karena perannya sebagai komponen utama Pola Pangan Harapan, namun
data menunjukkan bahwa produktivitas sayuran terutama kentang dan kubis di
Jawa Barat mengalami penurunan. Peningkatan produktivitas menjadi penting
untuk memenuhi permintaan yang semakin meningkat seiring dengan peningkatan
jumlah penduduk Indonesia. Efisiensi petani sayuran dapat meningkatkan
ketersediaan sayuran berkelanjutan. Penggunaan input dan pencapaian efisiensi
teknik merupakan kunci penentu untuk mempercepat pertumbuhan sektor
pertanian dan merupakan langkah penting untuk usahatani berkelanjutan.
Keberlanjutan merupakan sebuah elemen kunci kearah keuntungan jangka
panjang, sehingga diperlukan sebuah pendekatan yang terintergrasi dalam
menyiapkan keputusan untuk pembuat kebijakan. Disertasi ini merupakan kajian
sustainability terhadap usahatani sayuran dataran tinggi di Jawa Barat.
Disertasi ini terselesaikan atas bantuan dan dukungan banyak pihak. Oleh
karena itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih dan
penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:
1. Dr. Ir. Sri Hartoyo, MS., selaku ketua komisi pembimbing, yang tidak pernah
henti memberikan banyak ilmu, bimbingan, dan arahan baik dalam substansi
materi, teori, sistematika berpikir, hingga redaksional. Terima kasih atas
motivasi serta dukungan semangat untuk tidak berputus asa dan terus melaju
menyelesaikan studi yang bagi penulis sangat berat ini, sehingga pada
akhirnya disertasi ini dapat diselesaikan.
2. Dr. Ir.Yusman Syaukat, M.Ec selaku anggota komisi pembimbing, terima
kasih telah memberikan banyak ilmu, materi, bimbingan, arahan sistematika
berfikir, perhatian, motivasi dan dukungan semangat untuk terus dan tidak
berhenti menyelesaikan disertasi ini.
3. Prof. Dr. Ir. Kuntjoro selaku anggota komisi pembimbing, terima kasih telah
memberikan bimbingan dan arahan serta sistematika berfikir yang sangat
berguna bagi penulis.
4. Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS, Dr. Ir. Anna Fariyanti, MS, dan Dr. Ir. Ratna
Winandi, MS sebagai dosen penguji pada ujian prakualifikasi atas masukan
dan sarannya yang sangat berharga untuk penyempurnaan proposal penelitian.
5. Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS, Dr. Ir. Harianto, MS selaku penguji luar komisi
pada ujian tertutup, Muhammad. Firdaus, M.Si, Ph.D selaku penguji dan
pimpinan sidang ujian tertutup dan ujian terbuka, dan Prof Dr. Ir. Bonar M.
Sinaga, MS selaku penguji wakil program studi atas pertanyaan, saran, dan
masukan yang sangat berharga.
6. Prof (R). Dr. Ir. I Wayan Rusastra, MS dan Dr. Ir. Saptana, M.Si selaku
penguji luar komisi pada ujian terbuka, terima kasih atas pertanyaan,
masukan dan saran yang diberikan untuk menyempurnakan disertasi ini.
7. Pimpinan, seluruh Staf Pengajar, dan Staf Administrasi (terutama mbak Yani)
di Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian atas dorongan, motivasi dan
perhatian yang diberikan.
8. Rektor Universitas Djuanda, Dekan Fakultas Agribisnis dan Teknologi
Pangan atas ijin dan kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk
melanjutkan studi S3 di IPB.
9. Direktorat Pendidikan Tinggi (DIKTI) Kementrian Pendidikan dan
Kebudayaan yang telah memberikan beasiswa pendidikan (BPPS) yang
sangat membantu dan bermanfaat selama penulis menyelesaikan kuliah.
10. Ir. Dwi Rachmina, MS sebagai tim dalam pengumpulan data di lapang, Ir.
Netti Tinaprila, MM, Ir. Gatoet Sroe Hardono, M.Si, Feryanto, SP.,M.Si,
dan Maryono, SP., MSc yang telah membantu pengumpulan data di lapang.
11. Dr. Ir. Neneng Laela Nurida, Dr. Ir. Umi Haryati, terima kasih atas waktu
yang diluangkan untuk berdiskusi dan masukan erosi dan konservasinya,
Rahmah J. Yustika, SP terima kasih telah meluangkan waktu mengajarkan
pengolahan Splash dalam perhitungan prediksi erosi.
12. Teman-teman satu angkatan EPN 2007, Ir. Dwi Rachmina, M.Si, Ir. Netti
Tinaprila, MM, Ir. Gatoet Sroe Hardono, M.Si, Rizal Taufiqurahman, SPt,
M.Si, Ir. Abdullah Usman, MSc, Ir. Eko Prasetianto Putro, MSi, Ir.Lilis
Imamah, MM, Yannizar, SE.,MSi, Ir. Ita Novita, MS, Ir. Dewi Sahara, MS,
Ir. Sugiyono, M.Si, Drs.Gatot Subroto, M.Si dan Elinur, SP, M.Si atas
kerjasama, dorongan semangat, kebersamaan selama kuliah, persiapan ujian
prakualifikasi sampai pada penyusunan disertasi
13. Rekan-rekan sejawat di Fakultas Agribisnis dan Teknologi Pangan
Universitas Djuanda Bogor, terutama Dr. Ir. Arifah Rahayu, M.Si, Dr.Ir.
Elis Dihansih, atas persahabatan yang tulus dan dorongan semangat untuk
terus melaju meyelesaikan disertasi ini , Dr. Ir. Dede Kardaya, atas diskusi
dan terjemahannya, Dr.Ir Deden Sudrajat, Ir. Nur Rohman atas dorongan
semangat dan diskusi yang dilakukan. Arti Yusdiarti, SP., MM yang selalu
siap mem ‘back-up’ perkuliahan.
14. Dinda Asyifa Devi, Vera Verisa, Bunga Prahari, Hermud Farhan, Septian
Riski Sitompul, Ichfani Listiawati, SE yang telah banyak membantu penulis
dalam pengumpulan data di lapang dan entri data
15. Para petugas penyuluh lapang; Bpk. Oji, Bpk Yadi, Bpk Burhanudin, Bpk.
Idan Saehudin, Ibu Tati Kartini; terima kasih atas waktu yang diberikan dan
atas bantuannya dalam pencarian informasi di lapangan.
16. Ungkapan terima kasih tak terhingga penulis sampaikan kepada para ketua
kelompok tani Bpk Amang Tarya, Bpk Ahmad Fahas, Bpk Saefurrohman,
Bpk Iwa Kartiwa, Ibu Eneng, para informan kunci, para petani yang menjadi
responden, atas waktu yang diluangkan untuk wawancara dan memberikan
informasi serta data lapangan yang sangat berharga untuk penulisan disertasi
17. Kedua orang tua tercinta Bpk R. Ropendi (alm), terima kasih bapak, semoga
Engkau di alam sana menyaksikan ananda telah menunaikan keinginan dan
harapan bapak agar anaknya dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan
tertinggi, dan Hj. Min Aminah, ibu yang selalu mengalirkan doa dalam setiap
detik waktu yang tiada putus untuk keberhasilan anaknya. Kedua mertua
Bpk Endus Sutisna (alm) dan Hj. Lendramaya atas doa yang tiada henti
18. Kakak-kakak dan adik-adik serta seluruh ipar, terima kasih atas doa yang
terus mengalir, dukungan, dan dorongan semangat dan perhatiannya.
19. Penghargaan khusus dan tulus penulis sampaikan kepada suami Drs. Entang
Sutarsa, MPd, atas ijin melanjutkan studi S3 yang diberikan kepada penulis
dan dukungan serta dorongan semangat yang sangat berarti sejak penulis
kuliah hingga penyelesaian disertasi ini, anak-anakku Dinda Asyifa Devi
yang telah membantu mamah sejak pengumpulan data di lapangan, entri data,
hingga pengumpulan disertasi,terima kasih ‘nak’ atas semuanya, dan
Luthfiansyah Dwiantara atas pengertian dan kesabarannya demi kelanjutan
studi ibunya.
20. Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah
memberikan kontribusi dalam penyusunan disertasi ini
Disertasi ini masih jauh dari sempurna, namun besar harapan penulis
semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu
pengetahuan dan pihak yang memerlukannya.
Bogor, Agustus 2012
Penulis
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Garut pada tanggal 18 Desember 1962, putri dari
pasangan R. Rofendi dan Hj. Mien Aminah. Penulis adalah anak ketiga dari tujuh
bersaudara.
Penulis menyelesaikan pendidikan dasar dari SDN Kiansantang Garut, lulus
tahun 1975, Sekolah Menengah Pertama di SMPN 2 Garut lulus tahun 1978/1979,
dan pendidikan SLTA ditempuh di SMA Negeri I Garut dan lulus pada tahun
1982. Pada tahun yang sama melalui Jalur Proyek Perintis II (PP II) penulis
berhasil diterima di Tingkat Persiapan Bersama (TPB) dan selanjutnya pada
tahun kedua diterima di Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian
Institut Pertanian Bogor dan lulus pada tahun 1987. Pada tahun 1996 penulis
menempuh pendidikan di Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian Program
Pascasarjana (S2) di IPB melalui beasiswa dari Tim Penyelenggaraan Program
Doktor (TMPD) dan lulus tahun 2000. Pada tahun 2007 penulis memperoleh
Beasiswa Pendidikan Pascasarjana (BPPS) untuk melanjutkan pendidikan
program doktor pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian Sekolah
Pascasarjana IPB.
Sejak tahun 1988 sampai sekarang penulis bekerja sebagai Staf Pengajar
Kopertis Wilayah IV Jawa Barat, yang dipekerjakan di Fakultas Pertanian,
Universitas Djuanda Bogor. Sejak disatukannya Fakultas Pertanian dan Fakultas
Teknologi Pertanian menjadi Fakultas Agribisnis dan Teknologi Pangan pada
tahun 2007, maka sejak tahun 2007 hingga sekarang penulis menjadi staf
pengajar di Jurusan Agribisnis, Fakultas Agribisnis dan Teknologi Pangan
Universitas Djuanda. Pada tahun 1990 – 1999 penulis menjabat sebagai
Sekretaris Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian, dan pada tahun
2000- 2009 menjabat sebagai Ketua Jurusan Agribisnis. Selain sebagai staf
pengajar, penulis juga aktif di beberapa lembaga penelitian sebagai peneliti senior.
Penulis menikah dengan Drs. Entang Sutarsa, MPd pada tahun 1987, dan
telah dikaruniai dua orang anak, seorang putri, Dinda Asyifa Devi, serta seorang
putra Luthfiansyah Dwiantara Sutarsa.
i
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL …………………………………………………. ix
DAFTAR GAMBAR ……………………………………………… x
DAFTAR LAMPIRAN ……………………………………………. xi
I. PENDAHULUAN ……………..………………………….……….. 1
1.1. Latar Belakang ……………………………………...……... 1
1.2. Perumusan Masalah …… ………………………...………… 8
1.3. Tujuan Penelitian …………………………………...……… 11
1.4. Kegunaan Penelitian …………………………………........... 11
1.5. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian ………………... 12
1.6. Kebaruan Penelitian ……………...…………………............ 13
II. TINJAUAN PUSTAKA ………………………………………….... 15
2.1. Konsep Fungsi Produksi dan Fungsi Produksi Frontier …….. 15
2.2. Konsep Produktivitas dan Efisiensi ………………...………. 17
2.2.1. Pengukuran Efisiensi Berorientasi Input …………….. 20
2.2.2. Pengukuran Efisiensi Berorientasi Output …………… 22
2.3. Pendekatan Pengukuran Efisiensi …………………………… 23
2.3.1. Pendekatan Fungsi Produksi …………………………. 23
2.3.2. Pendekatan Fungsi Produksi Frontier ………………… 23
2.3.3. Pendekatan Parametrik ……………………………... 24
2.3.3.1. Pendekatan Parametrik Deterministik Frontier …… 25
2.3.3.2.Pendekatan Parametrik Stohastic Frontier ................... 26
2.4. Faktor yang Mempengaruhi Inefisiensi Teknis ……………… 28
2.5. Pembangunan Berkelanjutan…………………………………. 31
2.6. Pembangunan Pertanian Berkelanjutan ……………………... 33
2.7. Pengukuran Indikator Pertanian Berkelanjutan ……………... 33
2.8. Konsep Pendekatan Nilai Keberlanjutan (Sustainable Value Added) ………………………………………………………..
34
2.9. Keterkaitan Antara Efisiensi dan Nilai Keberlanjutan ………. 41
2.10. Penelitian Efisiensi pada Berbagai Usahatani Komoditas Pertanian …………………………………………………….
42
ii
Halaman
2.11. Penelitian Pengukuran Kinerja Usahatani Keberlanjutan ….. 53
2.12. Penelitian Usahatani Berkelanjutan dengan Pendekatan Efisiensi ……………………………………………………...
56
2.13. Penelitian Pendekatan Nilai Keberlanjutan (Sustainable Value Added) …………………………………………………
60
III. KERANGKA PEMIKIRAN …………………………….…………. 63
3.1. Pendekatan Stochastic Frontier dan Pengukuran Efisiensi Teknik …..……………………………………………………
63
3.2. Model Efek Inefisiensi Teknis Produksi Stokastik Frontier .... 66
3.3. Efisiensi Alokatif dan Efisiensi Ekonomis ……………..…… 67
3.4. Perhitungan Nilai Keberlanjutan …………………………….. 69
3.5. Pengukuran Nilai Keberlanjutan dengan Menggunakan pendekatan Efisiensi ……………………………………..…..
72
3.5.1. Formulasi dari Benchmark ……………………………. 72
3.5.2. Formulasi Nilai Keberlanjutan dengan Mengggunakan Fungsi Produksi Cobb Douglas ………………………
73
3.6. Kerangka Pemikiran Konsepsional ………………………….. 75
3.7. Hipotesis ……………………………………………………... 77
IV. METODE PENELITIAN ………………………………..……...….. 79
4.1. Penentuan Lokasi Penelitian …………...………………..….. 79
4.2. Metode Pengambilan Sampel dan Pengumpulan Data ……… 83
4.3. Metode Analisis …………………………………..………… 85
4.3.1. Spesifikasi Model Fungsi Produksi Stochastic Frontier 85
4.3.2. Analisis Efisiensi Alokatif dan Efisiensi Ekonomis ….. 88
4.3.3. Pendugaan Faktor yang Mempengaruhi Inefisiensi Teknis, Alokatif, dan Ekonomi ………………………..
90
4.3.4. Metode untuk Mengukur Kontribusi Petani terhadap Keberlanjutan …………………………………………
90
4.4. Definisi Operasional …………………………………………. 94
V. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN …….……………. 97
5.1. Gambaran Lokasi Penelitian ..……………………………….. 97
5.2. Karakteristik Rumah Tangga Petani Sampel ………………... 100
iii
Halaman
5.2.1. Struktur Umur Kepala Keluarga dan Anggota Keluarga Petani Sayuran Kentang dan Kubis ………………...…
100
5.2.2. Tingkat Pendidikan Kepala Rumah Tangga ………….. 102
5.2.3. Pengalaman Berusahatani Kentang dan Kubis ……….. 103
5.2.4. Kegiatan Kerja Anggota Keluarga Rumah Tangga Petani Sayuran Kentang dan Kubis di Jawa Barat, 2011
104
5.2.5. Keanggotaan dalam Kelompok Tani ………………….. 105
5.2.6. Penguasaan Lahan Usahatani …………………………. 107
5.2.7. Pola Tanam Usahatani Sayuran Kentang dan Kubis ….. 112
5.2.8. Sistem Penanaman dan Konservasi ………………….... 112
5.3. Keragaan Usahatani Sayuran Kentang dan Kubis …………... 114
5.4. Analisis Biaya, Penerimaan dan Pendapatan Usahatani Kentang dan Kubis di Jawa Barat, 2011 ……………………..
121
5.5. Keberlanjutan Usahatani Kentang dan Kubis ………….......... 123
VI. ANALISIS FUNGSI PRODUKSI DAN EFISIENSI USAHATANI
SAYURAN DATARAN TINGGI DI JAWA BARAT ………….
127
6.1. Analisis Fungsi Produksi Stochastic Frontier Sayuran Kentang Dataran Tinggi di Jawa Barat ….………...…………
127
6.2. Analisis Efisiensi Teknis (TE) Usahatani Kentang ...……….. 134
6.2.1. Sebaran Efisiensi Teknis Usahatani Kentang ..……… 134
6.2.2. Produksi Potensial dan Kehilangan Produksi Usahatani Kentang ………………………………………………..
136
6.2.3. Faktor yang Mempengaruhi Inefisiensi Usahatani Kentang………………………………………………...
137
6.3. Analisis Efisiensi Alokasi dan Ekonomi Usahatani Kentang .. 145
6.3.1. Faktor yang Mempengaruhi Inefisiensi Alokatif dan Ekonomi Usahatni Kentang …………………………...
150
6.4. Analisis Fungsi Produksi Stochastic Frontier Sayuran Kubis Dataran Tinggi di Jawa Barat …...…………………………...
152
6.5. Analisis Efisiensi Teknis Usahatani Kubis ………………….. 155
6.6 Produksi Potensial dan Kehilangan Produksi Usahatani Kubis 156
6.7. Efisiensi Alokatif (AE) dan Efisiensi Ekonomis (EE) Usahatani Kubis ……………………………...………………
158
6.8. Faktor yang Mempengaruhi Inefisiensi Usahatani Kubis …… 160
iv
Halaman
6.9. Sumber Inefisiensi Teknik, Alokatif dan Ekonomis Usahatani Kubis ……………………………………….………………...
164
6.10. Pengaruh Perbedaan Kemiringan Lahan terhadap Sebaran Efisiensi Teknik, Efisiensi Alokatif dan Efisiensi Ekonomi Usahatani Kentang …………………………………………...
167
6.11. Pengaruh Kemiringan Lahan dan Sistem Konservasi terhadap Efisiensi Teknik, Efisiensi Alokatif dan Efisiensi Ekonomi Usahatani Kubis ……………………………………………...
169
VII. PENGUKURAN NILAI KEBERLANJUTAN USAHATANI SAYURAN DATARAN TINGGI DI JAWA BARAT ….………….
171
7.1. Nilai Kontribusi, Nilai Keberlanjutan, dan Efisiensi
Keberlanjutan ……………………………………...
172
7.2. Pengukuran Nilai Keberlanjutan dengan Menggunakan Pendekatan Efisiensi …………………………………………
179
7.2.1. Fungsi Cobb-Douglas sebagai Benchmark …………. 172
7.3. Perbedaan dalam Keberlanjutan Usahatani Sayuran Dataran Tinggi 185
VIII. KESIMPULAN DAN SARAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 189
8.1. Kesimpulan ……………………………………..…………… 189
8.2. Saran dan Implikasi Kebijakan ……………………………… 190
8.3. Saran Penelitian Lanjutan …………………………………… 192
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………….. 193
LAMPIRAN ………………………………………………………… 211
7
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1. Ringkasan Beberapa Studi Empiris Efisiensi Teknik untuk Pertanian ......................................................................................... 44
2. Nilai Tengah Rata-rata Efisiensi Teknik (AMTE) berdasarkan Karakteristik Metodologi ................................................................ 46
3. Studi Empiris Faktor-faktor yang Menentukan Inefisiensi Teknis dengan Pendekatan Stochastic Frontier .......................................... 51
4. Luas Panen, Produksi Kentang dan Kubis di Jawa Barat, 2009 ..... 79
5. Luas Panen, Produksi Kentang dan Kubis di Kabupaten Garut, 2009 ................................................................................................ 80
6. Pemilihan Desa Berdasarkan Kriteria yang Ditetapkan Usahatani Sayuran Dataran Tinggi di Jawa Barat, 2011 ................................. 82
7. Variabel yang Dikumpulkan dan Ukurannya Usahatani Kentang dan Kubis di Provinsi Jawa Barat, 2011…………………………. 84
8. Karakteristik Petani dan Anggota Keluarga Petani Sayuran Kentang dan Kubis di Jawa Barat, 2011…………………………. 101
9. Sebaran Umur Petani Sayuran Kentang dan Kubis di Jawa Barat, 2011 ................................................................................................ 101
10. Tingkat Pendidikan Kepala Keluarga Petani Sayuran Kentang dan Kubis di Jawa Barat, 2011 ……………………...……………....... 103
11. Pengalaman Bertani Petani Kentang dan Kubis di Jawa Barat, 2011..........................................................................................…... 104
12. Keanggotaan Dalam Kelompok Petani Kentang dan Kubis di Jawa Barat, 2011 ………………………………………………… 105
13. Frekuensi Keikutsertaan dalam Penyuluhan Petani Sayuran Kentang dan Kubis di Jawa Barat, 2011 …………………………. 107
14. Luas Lahan Garapan Petani Sayuran Kentang dan Kubis di Jawa Barat, 2011…………...…………………………………….....…... 107
15. Jumlah Petani Sayuran Kentang dan Kubis Berdasarkan Status Kepemilikan Lahan di Jawa Barat, 2011 ……………………….... 108
16. Kemiringan Lahan Petani Sayuran Kentang dan Kubis di Dua Kabupaten Jawa Barat, 2011 …………………………………….. 109
17. Akses Terhadap Kredit Petani Sayuran Kentang dan Kubis di Jawa Barat, 2011 ……………………………………………….. 111
8
Nomor Halaman
18. Sistem Penanaman Petani Sayuran Kentang dan Kubis di Jawa Barat, 2011 ………………………………………………………..
113
19. Struktur Penerimaan, Biaya, dan Pendapatan Usahatani Kentang dan Kubis di Jawa Barat, 2011……………………………………
122
20. Parameter Dugaan Fungsi Produksi Stochastic Frontier Usahatani Kentang Dataran Tinggi di Jawa Barat, 2011 …………………….
128
21. Distribusi Frekuensi Efisiensi Teknik (TE), Petani Kentang di Jawa Barat, 2011 ………………………………….…………..…..
134
22. Produksi Potensial dan Kehilangan Produksi Usahatani Kentang pada Berbagai Tingkat Efisiensi di Jawa Barat, 2011 ……………
137
23. Hasil Estimasi Parameter Model Efek Inefisiensi Teknis Produksi Stokastik Frontier Usahatani Kentang di Jawa Barat, 2011 ….…..
138
24. Efisiensi Alokatif (AE) dan Ekonomi (EE) Petani Kentang di Jawa Barat, 2011 …………………………………………………
146
25. Faktor yang Mempengaruhi Inefisiensi Teknik (TI), Inefisiensi Alokatif (AI) dan Inefisiensi Ekonomi (EI) Sayuran Kentang di Jawa Barat, 2011 …………………………………………………
150
26 Parameter Dugaan Fungsi Produksi Stochastic Frontier untuk Komoditas Kubis Hasil Pendugaan dengan Metode MLE ………
154
27. Distribusi Frekuensi Efisiensi Teknik (TE) Petani Kubis di Jawa Barat, 2011 ………………………………………………………..
156
28. Produksi Potensial dan Kehilangan Produksi Usahatani Kubis pada Berbagai Tingkat Efisiensi di Jawa Barat, 2011 …………...
157
29. Efisiensi Alokatif (AE) dan Efisiensi Ekonomis (EE) Usahatani Kubis di Jawa Barat, 2011 ………………………………………..
158
30. Estimasi Parameter Model Efek Inefisiensi Teknis Produksi Stokastik Frontier Usahatani Kubis di Jawa Barat, 2011 …….…..
160
31. Ringkasan faktor-faktor yang mempengaruhi Produksi dan Inefisiensi Kentang dan Kubis di Jawa Barat, 2011 ……………...
164
32. Faktor yang Mempengaruhi Inefisiensi Teknik (TI), Inefisiensi Alokatif (AI) dan Inefisiensi Ekonomi (EI) Usahatani Kubis di Jawa Barat, 2011 ………………………………………………….
165
33. Hubungan Kemiringan Lahan dengan Efisiensi teknik (TE), Efisiensi Alokatif (AE) dan Efisiensi Ekonomi (EE) pada Usahatani Kentang di Jawa Barat, 2011 ………………………….
167
9
Nomor Halaman
34. Pengaruh Sistem Konservasi terhadap Efisiensi Teknik, Alokatif
dan Ekonomi Usahatani Kentang Dataran Tinggi di Jawa Barat, 2011………………………………………………………………
169
35. Hubungan Kemiringan Lahan dengan Efisiensi teknik (TE), Efisiensi Alokatif (AE) dan Efisiensi Ekonomi (EE) pada Usahatani Kubis di Jawa Barat, 2011 …………………………….
170
36. Pengaruh Sistem Konservasi terhadap Efisiensi Teknik, Alokatif dan Ekonomi Usahatani Kubis Dataran Tinggi di Jawa Barat, 2011……………………………………………………………….
170
37. Contoh Perhitungan Nilai Keberlanjutan dari Seorang Petani Sampel di Jawa Barat, 2011 (untuk Menghasilkan Rata-rata Penerimaan Rp 81.2 juta per musim dan value added = Rp 135 juta) …………………………………………………………….
173
38. Distribusi Frekuensi Nilai Keberlanjutan (SV) Usahatani Kentang dengan Benchmark Rata-rata Sampel di Jawa Barat, 2011 ……………………………………………………………..
174
39. Distribusi Frekuensi Return to Cost (Efisiensi Keberlanjutan) Usahatani Kentang di Jawa Barat, 2011 ……………………….
178
40. Hasil Pendugaan Fungsi Produksi Frontier Cobb Douglas untuk Keberlanjutan Usahatani Kentang di Jawa Barat, 2011.
180
41. Hasil Pendugaan Fungsi Produksi Frontier CobbDouglas.Usahatani Kubis di Jawa Barat, 2011 …………...
181
42. Rata-rata Nilai Kontribusi Sumberdaya terhadap Keberlanjutan Relatif terhadap Benchmark di Jawa Barat, 2011 ………………
182
43. Nilai Keberlanjutan Usahatani Kentang dan Kubis di Jawa Barat, 2011……………………………………………………………….
182
44. Distribusi Frekuensi Efisiensi Keberlanjutan (RtC) Usahatani Kentang di Jawa Barat, 2011 …………………………………….
183
45. Distribusi Frekuensi Efisiensi Keberlanjutan (RtC) Usahatani Kubis di Jawa Barat, 2011 ………………………………………
184
46. Deskripsi Statistik Seluruh Observasi, Observasi Terbaik, dan Observasi Terendah Usahatani Kentang di Jawa Barat, 2011 ……
186
7
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1. Isoquant, Isocost, dan Kondisi Biaya Minimum ……………. 19
2. Isocost, Efisiensi Teknis (TE), Efisensi Alokatif (AE) dan Efisiensi Ekonomis (EE) dengan Pendekatan Input ………….
21
3. Efisiensi Teknik dan Alokatif dengan Pendekatan Output ….. 22
4. Pendekatan Pengukuran Efisiensi ……………………………. 24
5. Fungsi Produksi Frontier dan Efisiensi ……………………… 28
6. Faktor yang Mempengaruhi Efisiensi ………………………... 29
7. Tiga Pilar Pembangunan Berkelanjutan (Munasinghe, 1995) .. 32
8. Langkah untuk Mengevaluasi Nilai tambah Lingkungan dan Sosial (Sumber: Figge dan Hahn, 2002) ………………..….
36
9. Grafik yang menggambarkan Dampak Lingkungan Perusahaan Sampel (Sumber : Figge dan Hahn, 2004) ..……
37
10. Kerangka Operasional Studi Efisiensi dan Nilai Keberlanjutan Usahatani Sayuran Dataran TInggi di Provinsi Jawa Barat, 2011……………………………………………………………
78
11. Metode Sampling Pengambilan Data Primer ………………… 81
12. Histogram dari TE, AE dan EE usahatani Kentang di Jawa Barat, 2011 ……………………………………………………
147
13. Kondisi Produksi yang Efisien secara Teknis dan Inefisiens Alokatif .....................................................................................
149
14. Histogram dari TE, AE dan EE Usahatani Kubis di Jawa Barat, 2011 ……………………………………………………
159
15. Hubungan Kemiringan Lahan dengan Efisiensi teknik (TE), Efisiensi Alokatif (AE) dan Efisiensi Ekonomi (EE) pada Usahatani Kentang di Jawa Barat, 2011 ……………………
168
16. Distribusi Frekuensi Nilai Keberlanjutan Usahatani Kentang di Jawa Barat, 2011 …………………………………
174
17. Distribusi Frekuensi Efisiensi Keberlanjutan Usahatani Kkentang di Jawa Barat, 2011 ………………………………
179
18. Distribusi Frekuensi Efisiensi Keberlanjutan Usahatani Kentang di Jawa Barat, 2011 …………………………………
184
19. Distribusi Frekuensi Efisiensi Keberlanjutan Usahatani Kubis di Jawa Barat, 2011 …………………………………………...
185
8
Nomor Halaman
20. Hubungan efisiensi Teknik dengan Efisiensi Keberlanjutan Usahatani Kentang dengan menggunakan Pendekatan Fungsi produksi Cobb Douglas ………………………………………
187
21. Hubungan efisiensi Teknik dengan Efisiensi Keberlanjutan Usahatani Kubis dengan menggunakan Pendekatan Fungsi produksi Cobb Douglas ………………………………………
187
7
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Struktur PDB Menurut Lapangan Usaha Tahun 2009—2011 ......................................................................................................... 213
2. Pertumbuhan Produk Domestik Bruto Indonesia menurut Sektor Ekonomi Tahun 2005 – 2010 ........................................................ 213
3. Perkembangan Luas Lahan, Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Kentang, Kubis, dan Total Sayuran di Jawa Barat Tahun 2005 - 2010........................................................................... 214
4. Penurunan Fungsi Biaya Dual dari Fungsi Produksi Cobb Douglas ………...…………………………................................... 215
5. Hasil Estimasi Fungsi Produksi dan Inefisiensi Teknik Usahatani Kentang di Jawa Barat, 2011 …………………………………… 218
6. Hasil Estimasi Fungsi Produksi dan Inefisiensi Teknik Usahatani Kubis di Jawa Barat, 2011 ……………………………………… 219
7. Hasil Estimasi Sumber-sumber Inefisiensi Alokatif Usahatani Kentang di Jawa Barat, 2011…………... …………………….…. 220
8. Hasil Estimasi Sumber-sumber Inefisiensi Ekonomi Usahatani Kentang di Jawa Barat, 2011 …..………....................................... 221
9. Hasil Estimasi Sumber-sumber Inefisiensi Alokatif Usahatani Kubis di Jawa Barat, 2011………………………….……………. 222
10. Hasil Estimasi Sumber-sumber Inefisiensi Ekonomi Usahatani Kubis di Jawa Barat, 2011 ……………………….……………… 223
11 Hasil Estimasi fisiensi Teknik (TE), Efisiensi Alokatif (AE) dan Efisiensi Ekonomi (EE) Usahatani Kentang di Jawa Barat, 2011 224
12 Hasil Estimasi Efisiensi Teknik (TE), Efisiensi Alokatif (AE) dan Efisiensi Ekonomi (EE) Usahatani Kubis di Jawa Barat, 2011 ……………………………………………………………... 227
13 Penurunan Sumberdaya Efisien untuk menghitung Benchmark ………………………………………………………………………. 229
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sektor pertanian memegang peranan yang cukup penting dalam
pembangunan karena merupakan penyedia kebutuhan pangan bagi rakyat
Indonesia yang terus bertambah, penyedia bahan baku industri, penyumbang
devisa, penyerap tenaga kerja sebagai jaminan pendapatan bagi sebagian besar
penduduk, serta penunjang utama kelestarian lingkungan hidup. Pada tahun
2011, perekonomian nasional tumbuh sebesar 6.5 persen dibandingkan dengan
tahun 2010 (BPS, 2012a) yang didukung oleh pertumbuhan sektor pertanian
sebesar 3.6 persen (Badan Kebijakan Fiskal Kementrian Keuangan RI, 2011).
Dilihat dari sumbangannya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), maka pada
tahun 2011 sektor pertanian menyumbang 14.7 persen terhadap PDB nasional.
Rata-rata sumbangan sektor pertanian sejak tahun 2009-2011 meningkat sebesar
15.1 persen (BPS, 2012a). Data selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 1 dan
Lampiran 2.
Sektor pertanian berkaitan erat dengan wilayah perdesaan. Berdasarkan
data BPS (2012b) sekitar 41,2 juta masyarakat Indonesia terlibat dalam berbagai
bentuk kegiatan pertanian seperti pertanian tanaman pangan, non pangan,
peternakan, dan perikanan air tawar sebagai pekerjaan utama. Sektor pertanian
masih menjadi penyumbang terbesar penyerapan tenaga kerja di Indonesia. Pada
tahun 2012 jumlah penduduk Indonesia yang bekerja di sektor pertanian
meningkat sebesar 1,9 juta orang (4,75 persen) dibandingkan dengan tahun 2011.
Hortikultura merupakan salah satu sub sektor pertanian yang strategis dan
penting karena perannya sebagai komponen utama Pola Pangan Harapan.
Komoditas ini meliputi sayuran, buah-buahan, tanaman obat (biofarmaka) dan
tanaman hias. Komoditas hortikultura khususnya sayuran dan buah-buahan
memegang bagian terpenting dari keseimbangan pangan yang dikonsumsi,
sehingga harus tersedia setiap saat dalam jumlah yang cukup, mutu yang baik,
aman dikonsumsi, harga yang terjangkau, serta dapat diakses oleh seluruh lapisan
masyarakat (Direktorat Jenderal Hortikultura, 2010).
2
Sayuran merupakan salah satu komoditas hortikultura yang mempunyai
potensi besar untuk dikembangkan di Indonesia dan mempunyai nilai ekonomi
tinggi. Hal ini dicirikan oleh besarnya keuntungan yang diperoleh dari usahatani
sayuran. Menurut data dari Direktorat Jenderal Hortikultura (2010), dari 22
komoditas sayuran yang diusahakan, selama kurun waktu tahun 2006-2010 rata-
rata peningkatan 2.7 persen. Di sisi lain, data BPS (2009) menunjukkan tingkat
konsumsi masyarakat Indonesia masih rendah (43.5kg/kapita/tahun) dibandingkan
dengan konsumsi yang direkomendasikan oleh FAO (75 kg /kapita /tahun). Hal
ini menjadi peluang yang besar untuk mengembangkan sayuran.
Jawa Barat merupakan salah satu provinsi penghasil komoditas sayuran
terbesar di Indonesia. Pada tahun 2009, produksi sayuran di Jawa Barat mencapai
3 028 721 ton dengan 26 jenis sayuran dan luas panen sebesar 176 654 hektar
(Dinas Pertanian Tanaman Pangan Jawa Barat, 2010). Jenis sayuran unggulan di
Jawa Barat meliputi cabe merah, kentang, kubis, dan tomat. Berdasarkan luas
tanam per tahun, Kabupaten Bandung merupakan daerah sentra produksi untuk
kentang dan kubis diikuti oleh Kabupaten Garut (Dinas Pertanian Tanaman
Pangan Jawa Barat, 2010). Namun walaupun sangat menguntungkan,
produktivitas sayuran terutama kentang dan kubis di Jawa Barat telah mengalami
penurunan.
Data BPS Jawa Barat (2010) menyebutkan bahwa di Jawa Barat selama
kurun waktu 2005- 2010, luas tanam, luas panen, dan produksi kentang
mengalami penurunan masing-masing 4.75 persen, 4.86 persen, dan 4.84 persen
per tahun sedangkan produktivitas kentang hanya meningkat 0.04 persen per
tahun. Hal ini menunjukkan bahwa produktivitas kentang di Jawa Barat sudah
mengalami stagnasi bahkan cenderung menurun. Lain halnya dengan kubis,
produktivitas kubis sudah mengalami penurunan sebesar 3.65 persen per tahun
selama kurun waktu tahun 2005 -2010. Data selengkapnya dapat dilihat pada
Lampiran 3. Penyebab penurunan ini diduga adanya penurunan luas tanam dan
faktor lainnya seperti cuaca, perubahan iklim, dan tingkat efisiensi faktor produksi
yang masih kurang efisien serta tingginya degradasi lingkungan.
3
Dari gambaran di atas, pertanyaan yang muncul adalah bagaimana
meningkatkan produksi sayuran? Terdapat beberapa cara yang dapat dilakukan
untuk meningkatkan produksi sayuran antara lain:
1. mengalokasikan lahan yang lebih luas untuk memproduksi sayuran
2. mengembangkan dan mengadopsi teknologi baru untuk meningkatkan
produktivitas
3. mengelola sumberdaya yang tersedia lebih efisien.
Cara pertama untuk meningkatkan produksi sayuran melalui peningkatan
areal lahan di Jawa Barat sepertinya sangat sulit karena lahan sudah semakin
terbatas. Lebih jauh ketersediaan air terutama di musim kemarau menjadi
pembatas untuk tanaman kentang dan kubis. Cara kedua untuk meningkatkan
produksi adalah mengembangkan dan adopsi teknologi baru. Teknologi biologi,
mekanik, budidaya dan kimia merupakan teknologi yang tersedia. Teknologi
biologi (misalnya varietas) dapat dilakukan melalui teknologi /introduksi benih
atau varietas baru, dan teknologi mekanik dapat dilakukan melalui adopsi sistem
penanaman (konservasi). Namun penelitian Katharina (2007) menyatakan bahwa
di daerah Pangalengan Jawa Barat adopsi konservasi relatif sulit dilakukan petani
dengan berbagai alasan yaitu biaya mahal dan sulit dalam pengerjaannya .
Cara ketiga untuk meningkatkan produktivitas adalah melalui peningkatan
efisiensi. Cara ini menjadi hal yang relevan untuk kondisi saat ini. Produksi
sayuran dapat ditingkatkan melalui peningkatan produktivitas. Hal ini disebabkan
perluasan areal dan adopsi teknologi relatif sulit dilakukan dalam jangka pendek.
Peningkatan produktivitas menjadi penting untuk keberlanjutan di masa datang
guna memenuhi permintaan sayuran yang semakin meningkat, seiring dengan
peningkatan penduduk Indonesia (Kementrian Pertanian, 2009). Dengan
demikian pencapaian efisiensi petani sayuran yang tinggi dapat meningkatkan
ketersediaan sayuran berkelanjutan.
Efisiensi petani kentang dan kubis dapat meningkatkan pendapatan petani.
Dalam mengelola usahataninya, petani menghadapi inefisiensi teknis dan alokatif.
Jika petani sayuran mengelola usahataninya sudah efisien, kemudian mengadopsi
teknologi baru maka akan menggeser produksi frontiernya ke atas sehingga
produktivitas meningkat. Sebaliknya jika petani sayuran mempunyai peluang
4
yang signifikan untuk meningkatkan produktivitas melalui penggunaan input yang
lebih efisien pada teknologi yang ada, infrastruktur yang lebih baik, penyuluhan,
pelayanan jasa manajemen, dan peningkatan keterampilan petani maka menjadi
sangat penting meningkatkan efisiensi teknik penggunaan sumberdaya di tingkat
usahatani (Ali & Chaudry, 1990) dan jika inefisensi alokatif yang menonjol, maka
instrument kebijakan dibutuhkan untuk menstabilkan harga input dan output.
Beberapa penelitian menemukan bahwa petani di negara berkembang
belum sepenuhnya mencapai efisiensi teknik (Kalirajan & Shand 1986; Ali and
Chaudry, 1990; Bravo-Ureta & Pinheiro, 1997; Ahmad et al., 2002; Asadullah &
Rahman, 2005; Bravo-Ureta, et al., 2007; Solis et al., 2009). Bravo-Ureta and
Pinheiro (1997) menyatakan bahwa rata-rata efisiensi teknik yang dicapai petani
di negara berkembang baru mencapai 66 - 70 persen atau inefisiensi teknik
berkisar antara 30-34 persen. Penggunaan input dan pencapaian efisiensi teknik
merupakan kunci penentu untuk mempercepat pertumbuhan sektor pertanian.
Efisiensi teknik dan alokatif merupakan dua elemen penting dari efisiensi
produksi.
Efisiensi teknik menggambarkan unit produksi potensial untuk mencapai
output maksimum pada tingkat input tertentu, sedangkan efisiensi alokatif
merupakan kapasitas produksi pada tingkat penggunaan input optimum pada
tingkat biaya minimum. Efisiensi ekonomi dihitung dengan cara menghitung
kombinasi efisiensi teknik dan efisiensi alokatif. Efisiensi merupakan langkah
penting untuk usahatani berkelanjutan.
Beberapa kendala yang dihadapi dalam usahatani sayuran dataran tinggi
adalah penguasaan lahan yang kecil (<0.5ha), pengusahaan lahan dengan
kemiringan > 30 persen, penggunaan benih bermutu rendah, intensitas OPT
tinggi, akses ke lembaga permodalan rendah dan keterbatasan infrastruktur.
Karena sayuran banyak ditanam pada lahan berlereng, maka akan banyak
menimbulkan erosi yang pada akhirnya akan menyebabkan penurunan
produktivitas. Di Kabupaten Bandung dan Garut, kebanyakan petani
mengarahkan penggunaan lahan di lahan berlereng untuk menanam tanaman
semusim seperti kentang dan kubis, walaupun kedua tanaman tersebut tidak
direkomendasikan karena dapat menimbulkan erosi. Hal ini juga ditunjang oleh
5
curah hujan yang tinggi, bentuk permukaan tanah yang cenderung menyebabkan
erosi tanah, kerusakan tanah dan kerusakan sumberdaya air. Katharina (2007)
menyatakan bahwa permasalahan utama pada lahan kering dataran tinggi adalah
keberlanjutan dalam produktivitasnya di masa datang yang akhir-akhir ini
menurun atau mengalami stagnasi pada tingkat input yang tinggi. Di sisi lain
karena tingginya biaya konservasi, banyak petani yang tidak mengadopsi
teknologi konservasi.
Komoditas sayuran membutuhkan bahan organik tanah yang tinggi,
sehingga petani selalu menambahkan pupuk kandang untuk setiap kali tanam.
Namun adanya erosi menyebabkan pupuk kandang yang diberikan lebih banyak
yang hanyut karena erosi daripada dimanfaatkan oleh tanaman (Sudirman et al.,
2000, Haryati et al., 2000, Suganda et al., 1997). Berdasarkan data Dinas
Kehutanan Provinsi Jawa Barat (2010), dari 26 kabupaten/kota di Jawa Barat,
Kabupaten Bandung (Ciwidey, Pangalengan) merupakan kabupaten dengan luas
lahan kritis tertinggi (31.1 persen) kemudian disusul Kabupaten Garut dengan
luas lahan kritis sebesar 20.7 persen dari keseluruhan luas lahan kritis di Jawa
Barat. Hal ini menunjukkan berkurangnya keberlanjutan dilihat dari sisi ekologi.
Setelah revolusi hijau, aplikasi penggunaan pupuk dan pestisida dapat
meningkatkan produksi. Namun peningkatan penggunaan varietas bermutu
tinggi/HYVs, pupuk kimia, pestisida, mempunyai dampak yang serius terhadap
penurunan kualitas lahan pertanian. Penggunaan pupuk dan pestisida yang
irrasional, menyebabkan input yang berlebihan, polusi air, polusi tanah, dan
akumulasi residu dalam produk. Ketidakcukupan pengetahuan dan dukungan
teknologi dari pemerintah serta pengetahuan yang rendah dari petani merupakan
faktor yang mempengaruhi keberlanjutan di lahan pertanian. Penggunaan pupuk
dan pestisida pada komoditas sayuran lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman
pangan seperti padi dan palawija. Di dalam usahatani sayuran, penggunaan pupuk
dan pestisida yang berlebihan merupakan perhatian penting karena sangat
mempengaruhi keberlanjutan usahatani.
Banyak penelitian sebelumnya memusatkan perhatian pada adopsi
teknologi baru dalam meningkatkan produktivitas usahatani dan pendapatan.
Namun pada dekade selanjutnya ditemukan bahwa peningkatan produktivitas
6
muncul dari penggunaan teknologi yang lebih efisien (Bravo-Ureta, 1997). Hal
ini berarti bahwa output dapat ditingkatkan tanpa menambah penggunaan input
atau tanpa menggunakan teknologi baru. Perbedaan variasi produksi disebabkan
oleh perbedaan kapabilitas manajerial dan manajemen petani, ketidaksamaan
dalam manajemen ini merupakan sumber inefisiensi. Dengan demikian maka
mengukur efisiensi menjadi penting dalam rangka menentukan tingkat
keuntungan yang dapat dicapai oleh peningkatan kinerja produksi pertanian
dengan tingkat teknologi tertentu. Hal ini berimplikasi pada bagaimana
meminimalkan biaya untuk mencapai peningkatan output atau pendapatan melalui
peningkatan efisiensi.
Suatu usahatani disebut berkelanjutan apabila sistem usahatani tersebut
memproduksi pada tingkat produksi yang optimal dan kebutuhan sosial dari lahan
usahatani tanpa menguras sumberdaya pada jangka panjang. Hal ini dapat
diartikan bahwa pengembangan ditekankan untuk mempertahankan dan
meningkatkan tingkat produksi yang sudah dicapai. Dengan demikian penelitian
usahatani sayuran dataran tinggi di Jawa Barat menjadi penelitian yang sangat
relevan. Sesuai dengan tujuan pembangunan pertanian di Indonesia yang
mengarah pada pertanian berkelanjutan, maka diperlukan konsep keberlanjutan
untuk mengukur dan mengevaluasi keefektifan dari keberlanjutan sistem
usahatani.
Produksi sayuran yang berkelanjutan dapat diukur dengan efisiensi teknik
pada tingkat usahatani, mengidentifikasi faktor kunci yang dihubungkan dengan
sistem produksi yang efisien, meningkatkan penggunaan input untuk
meningkatkan produksi merupakan upaya pertumbuhan output melalui
peningkatan efisiensi teknik (Sharma and Leung, 2000). Peningkatan penerimaan
dari peningkatan efisiensi teknik menunjukkan bahwa peningkatan produksi dapat
memberikan tambahan penerimaan kepada petani dengan keterbatasan
sumberdaya yang ada.
Penelitian pertanian berkelanjutan sangat penting karena dapat
meningkatkan keuntungan dan efisiensi produksi dengan menitikberatkan pada
integrasi manajemen usahatani dan konservasi tanah, air, dan sumberdaya biologi
serta sumberdaya produktif lainnya. Hal ini akan meningkatkan sistem
7
manajemen sumberdaya pertanian. Demikian juga pertanian berkelanjutan dapat
meminimalkan biaya variabel dalam penggunaan input luar. Dari sisi sosial, hal
itu dapat meningkatkan kemandirian (self reliance) petani dan masyarakat
perdesaan melalui penggunaan yang lebih baik dari pengetahuan dan keterampilan
petani.
Keberlanjutan merupakan sebuah elemen kunci kearah keuntungan jangka
panjang untuk suatu usahatani. Untuk memenuhi tantangan keberlanjutan, sebuah
pendekatan yang terintergrasi dari usahatani perlu digunakan dalam menyiapkan
keputusan yang baik untuk pembuat kebijakan. Penggunaan dan perkembangan
indikator keberlanjutan merupakan sebuah jalan yang efektif untuk membuat
konsep operasional pertanian berkelanjutan (Rigby et al., 2001; Van Calker etal.,
2005; Zhen & Routray, 2003). Investasi masyarakat untuk meningkatkan
keberlanjutan usahatani membutuhkan penilaian yang tepat dari efisiensi petani
dan mengidentifikasi sumberdaya yang tidak efisien dalam rangka
mengembangkan kebijakan dan mengembangkan inovasi untuk meminimalkan
inefisiensi (Sherlund et al., 2002). Karenanya sangat penting untuk mengukur
dan menilai usahatani berkelanjutan.
Keberlanjutan produksi sayuran dapat dibuat dengan mengukur efisiensi
pada tingkat usahatani, mengidentifikasi faktor-faktor yang berkaitan dengan
efisiensi produksi dan merumuskan kebijakan untuk masa yang akan datang.
Sebagai sebuah alternatif peningkatan output untuk meningkatkan produksi, upaya
dapat dilakukan kearah peningkatan produktivitas melalui peningkatan efisiensi
teknik. Melalui efisiensi teknik artinya berproduksi dengan menggunakan
sumberdaya lebih efisien (Sharma & Leung, 2000).
Lebih jauh peningkatan pendapatan melalui peningkatan efisiensi akan
memberikan gambaran bahwa petani dapat meningkatkan pendapatan dengan
keterbatasan sumberdaya yang ada. Melalui penelitian ini keberlanjutan usahatani
selain diukur dalam terminologi efisensi teknis, juga diukur dalam terminologi
“nilai keberlanjutan (sustainable value)” dan “efisiensi keberlanjutan (return to
cost)” yang pada akhirnya dapat diketahui mengapa setiap petani berbeda dalam
keberlangsungan keberlanjutannya dan bagaimana kontribusi petani terhadap
keberlanjutan usahataninya.
8
1.2. Perumusan Masalah
Sayuran merupakan komoditas yang mempunyai nilai ekonomi tinggi.
Hal ini dicirikan oleh besarnya keuntungan yang diperoleh dari usahatani sayuran.
Namun walaupun sangat menguntungkan, produktivitas sayuran terutama kubis di
Jawa Barat mengalami penurunan, sedangkankan produktivitas kentang sudah
mengalami stagnasi. Data BPS Jawa Barat (2010) menyebutkan bahwa di Jawa
Barat selama kurun waktu 2005- 2010, luas tanam, luas panen, dan produksi
kentang mengalami penurunan masing-masing 4.75 persen, 4.86 persen, dan 4.84
persen per tahun, sedangkan produktivitas kentang hanya meningkat 0.04 persen
per tahun. Hal ini menunjukkan bahwa produktivitas kentang di Jawa Barat sudah
mengalami stagnasi bahkan cenderung menurun. Lain halnya dengan kubis,
produktivitas kubis sudah mengalami penurunan sebesar 3.65 persen per tahun
selama kurun waktu tahun 2005 -2010. Penurunan produktivitas ini salah satunya
disebabkan oleh adanya inefisiensi teknis dalam pengelolaan usahatani sayuran.
Disamping itu penyebab utama penurunan areal panen adalah kebijakan Pemda
Jawa Barat yang tidak lagi memberikan ijin penggunaan lahan milik Perhutani
untuk ditanami tanaman semusim termasuk kentang dan kubis dan dialihkan
untuk tanaman tahunan atau kayu-kayuan untuk konservasi lahan
Usahatani sayuran dataran tinggi diusahakan di lahan kering yang tersebar
dengan kondisi kemiringan lereng yang bervariasi. Hal ini menyebabkan produksi
kentang dan kubis bervariasi. Sekitar tiga persen tanah di Indonesia adalah
Andisols. Sifat-sifat tanah tersebut cukup baik, namun karena terletak pada lereng
yang curam, disertai curah hujan yang tinggi (>2000 mm/th) dan pengusahaan
yang intensif, maka kepekaan tanahnya terhadap erosi sangat tinggi (Suganda et
al., 1999). Walaupun tanah ini relatif peka terhadap erosi, namun di Kabupaten
Bandung, sebagian besar petani belum menerapkan praktek konservasi tanah.
Rendahnya penerapan teknik konservasi tanah pada usahatani sayuran
dataran tinggi disebabkan berbagai alasan seperti kekhawatiran akan
terganggunya drainase tanah sehingga mengganggu pertumbuhan tanaman
(Sumarna dan Kusbandriani, 1992), sulit dalam pengerjaannya dan memerlukan
9
waktu yang lama (Kurnia, 2000), mengurangi populasi tanaman (Haryati et al.,
2000), penerapannya sangat berat dan berpengaruh buruk terhadap tanaman
karena tanah selalu lembab (Suganda et al, 1999).
Praktek pemupukan di tingkat petani sangat bervariasi mulai dari input
rendah sampai sangat tinggi. Untuk sistem dengan input tinggi, pupuk N
diberikan untuk tanaman sayuran sampai lebih dari 500 kg urea/ha/tahun Pupuk
kandang adalah sumber lain dari unsur hara N dan unsur hara lainnya yang juga
diberikan petani dalam jumlah tinggi bisa lebih dari 50 ton/ ha/tahun. Sering kali
suatu jenis unsur diberikan secara berlebihan sedangkan unsur lain diberikan
kurang dari yang semestinya sehingga efisiensi penggunaan pupuk menjadi
rendah (Nurida dan Dariah, 2006). Pemberian satu atau dua unsur yang
berlebihan sering disebabkan oleh pemberian pupuk yang hanya berdasarkan
kebiasaan atau berdasarkan rekomendasi dari produsen pupuk.
Pada saat ini, pertanian sayuran di lahan pegunungan dihadapkan pada
masalah pemberian pupuk dan pestisida yang berlebihan sehingga menyebabkan
usahatani relatif tidak efisien. Pemberian pupuk dan pestisida yang berlebihan ini
akan menyebabkan produktivitas lahan menurun dan menambah biaya yang harus
dikeluarkan. Tekanan populasi berakibat pada intensifikasi pada tanaman sayuran
dan meningkatkan degradasi lingkungan yang terjadi melalui hilangnya aliran
permukaan setelah hujan deras. Bagi para petani yang lahannya tidak mempunyai
kapasitas untuk menyimpan air, kesuburan lahan menjadi berkurang. Hal ini
dianggap penyebab menurunnya dan hilangnya organik tanah dan mengakibatkan
inefisensi produksi.
Hal lainnya adalah kecilnya kepemilikan lahan usahatani dan status
kepemilikan, petani dihadapkan pada keterbatasan modal sehingga sayuran yang
dihasilkan menjadi tidak optimal. Selain lahan, faktor sumber daya manusia
khususnya dikaitkan dengan kapabilitas manajerial petani juga menyebabkan
inefisiensi produksi. Kapabilitas manajerial petani ini akan menentukan
rasionalitas petani dalam mengambil keputusan dalam pengelolaan usahataninya.
Selanjutnya masalah yang terjadi adalah degradasi lahan dan erosi yang
berlangsung terus. Katharina (2007) memprediksi besarnya erosi dalam jangka
panjang di daerah Pangalengan berdasarkan sistem penanaman. Besarnya erosi
10
yang terjadi pada penanaman searah lereng, searah kontur, dan teras bangku
berturut-turut sebesar 13 – 17 ton/ha/tahun, 9.6 – 12.6 ton/ha/tahun, dan 4.9 – 6.7
ton/ha/tahun. Akibat langsung dari besarnya erosi adalah produktivitas lahan
rendah di wilayah ini, hal ini ditunjukkan oleh rendahnya produksi beberapa jenis
tanaman dominan seperti kentang, kubis, cabe dan lainnya (Dinas Pertanian
Tanaman Pangan Jawa Barat, 2010) padahal produksi tersebut masih dapat
ditingkatkan. Akibat rendahnya produktivitas lahan menyebabkan pendapatan
berkurang dan usahatani sayuran tidak berkelanjutan. Kondisi ini disebabkan
masih kurangnya pengetahuan petani terhadap pertanian berkelanjutan. Oleh
karena itu diperlukan penelitian efisiensi dan usahatani sayuran berkelanjutan
dilihat dari dimensi ekonomi, sosial dan ekologi.
Di dalam usahatani sayuran, penggunaan pupuk dan pestisida yang
berlebihan merupakan perhatian penting karena sangat mempengaruhi
keberlanjutan usahatani. Penggunaan lahan, pupuk dan pestisida yang tidak
efisien menyebabkan lingkungan yang berbahaya. Dalam penelitian ini kinerja
ekonomi dan keberlanjutan diukur dalam terminologi efisiensi. Efisiensi
mengukur penggunaan input tertentu untuk mencapai hasil yang maksimal.
Meskipun pendekatan efisiensi tidak cukup untuk mengukur keberlanjutan,
namun peningkatan efisiensi dapat dilihat sebagai sebuah keharusan kearah
keberlanjutan yang lebih tinggi (Tyteca, 1998).
Setiap usahatani mempunyai kontribusi yang berbeda terhadap
keberlanjutan. Efisiensi teknik digunakan untuk melihat perbedaan kinerja
usahatani yang diukur dengan perbedaan dari aspek lingkungan dan sosial,
beberapa karakteristik manajerial dan struktural. Selanjutnya aspek lingkungan
dan sosial diintegrasikan ke dalam perhitungan keberlanjutan, yang diukur dalam
terminologi “nilai keberlanjutan (sustainable value)”. Kemudian metodologi
“nilai keberlanjutan” digunakan untuk mengukur usahatani berkelanjutan
dikombinasikan dengan analisis efisiensi untuk membangun tolok ukur
(benchmark) yang dibutuhkan (Van Passel, 2008, 2009).
Berdasarkan uraian di atas, dapat dirumuskan beberapa permasalahan
sebagai berikut:
11
1. Bagaimana tingkat efisiensi usahatani dan faktor penyebab inefsiensi teknis
dan alokatif usahatani sayuran kentang dan kubis?
2. Bagaimana organisasi produksi untuk meningkatkan produksi dan efisiensi
usahatani sayuran kentang dan kubis?
3. Bagaimana pengaruh kemiringan lahan dan sistem penanaman terhadap
efisiensi teknik, alokatif, dan ekonomi?
4. Bagaimana kontribusi petani terhadap keberlanjutan usahatani sayuran
dataran tinggi di Jawa Barat?
5. Upaya-upaya apa yang dilakukan supaya petani sayuran dataran tinggi dapat
berkelanjutan?
1.3. Tujuan Penelitian
Secara umum penelitian ini bertujuan melihat tingkat efisiensi usahatani
sayuran dataran tinggi dan mengetahui kontribusi petani terhadap keberlanjutan
sayuran dataran tinggi. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk
1. Mengestimasi tingkat efisiensi teknik, alokatif dan ekonomi dari usahatani
sayuran dataran tinggi di Jawa Barat
2. Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi inefisiensi teknis,
alokatif, dan ekonomis.
3. Menganalisis pengaruh kemiringan lereng dan sistem penanaman
/konservasi terhadap efisiensi teknik, alokatif dan ekonomi
4. Mengestimasi tingkat kontribusi petani terhadap keberlanjutan usahatani
sayuran sebagai indikator kinerja keberlanjutan.
5. Merumuskan alternatif kebijakan dalam upaya meningkatkan produktivitas,
efisiensi dan keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di Jawa Barat
1.4. Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan berguna sebagai : (1) sumbangan pemikiran dan
bahan pertimbangan bagi pemerintah daerah untuk menetapkan strategi yang tepat
dalam mendorong petani dalam mengadopsi pertanian berkelanjutan, (2) bagi
petani sayuran lahan dataran tinggi, sebagai pertimbangan untuk menentukan apa
yang sebaiknya dilakukan untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi, dan
keberlanjutan usahatani, (3) sumbangan pemikiran bagi penelitian lanjutan.
12
1.5. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian
1. Petani yang dijadikan contoh dalam penelitian ini terbatas petani kentang
dan kubis sebagai komoditas yang banyak ditanam di daerah penelitian
2. Struktur input-output, analisis usahatani, dan analisis fungsi produksi
digali dalam periode satu tahun (tiga musim tanam), sehingga
dimungkinkan satu orang petani masuk dalam dua unit analisis.
3. Penelitian ini difokuskan pada aspek produksi di tingkat petani melalui
pendekatan efisiensi teknis dengan memasukkan faktor inefisiensi. Untuk
mengukur efisiensi ekonomi digunakan fungsi biaya dual yang
diturunkan dari fungsi produksi. Hal ini dilakukan karena untuk data
cross section relatif tidak ada variasi harga, jika harga berbeda antar
petani hanya disebabkan oleh perbedaan biaya transportasi.
4. Keterbatasan yang dijumpai di lapangan adalah tersebarnya lahan petani.
Pemilihan petani sampel didasarkan pada lokasi yang telah dipilih, tetapi
ternyata lokasi lahan petani tidak sama dengan tempat domisili sehingga
beberapa lahan mempunyai kemiringan yang relatif kurang sesuai dengan
kerangka sampling.
5. Pada saat penelitian ini dilakukan sedang terjadi musim kemarau,
sehingga para petani lebih banyak bermukim di lokasi lahan untuk
mengatur air, terutama untuk kentang. Akibatnya wawancara dilakukan
pada sore bahkan malam hari setelah petani pulang dari lahannya dan
beberapa petani diwawancara dalam keadaan lelah sehingga
menyebabkan beberapa data kurang akurat.
6. Data yang digunakan adalah data cross section sehingga tidak dapat
menangkap fenomena antar waktu, terutama untuk analisis keberlanjutan.
7. Keterbatasan lainnya adalah pendekatan yang digunakan dalam
penelitian ini hanya menggunakan fungsi produksi stochastic frontier
dengan model produksi frontier Cobb-Douglas. Pendekatan lainnya
seperti model translog ataupun pendekatan DEA, Total Factor
Productivity tidak dijadikan pilihan dalam penelitian ini.
8. Pengukuran keberlanjutan usahatani hanya didekati dengan ukuran
sustainable value approach dengan pendekatan efisiensi. Hasil estimasi
13
fungsi Cobb-Douglas dijadikan bahan untuk mengukur penggunaan
sumberdaya yang efisien yang akan dijadikan benchmark.
1.6. Kebaruan Penelitian
Beberapa penelitian efisiensi suatu komoditas telah banyak diteliti,
sebagian besar penelitian menjelaskan efisiensi dan faktor-faktor penyebabnya.
Namun penelitian efisiensi dengan memasukkan variabel kemiringan lahan dan
sistem penanaman/ konservasi serta mengkaitkannya dengan efisiensi alokatif dan
ekonomi relatif terbatas. Penelitian empiris mengenai pertanian berkelanjutan
telah banyak dilakukan di Indonesia, namun dengan menggunakan indikator
yang berbeda-beda. Kebanyakan penelitian pertanian berkelanjutan menggunakan
index dan status keberlanjutan. Penelitian ini berbeda dengan penelitian yang
telah ada karena menggunakan pendekatan nilai keberlanjutan (sustainable value)
dikaitkan dengan efisiensi. Penelitian mengenai nilai keberlanjutan yang
dikaitkan dengan efisiensi masih terbatas bahkan di Indonesia belum ada yang
melakukan penelitian ini.
Dengan demikian kebaruan penelitian ini adalah selain mengkaitkan
pengaruh kemiringan lahan dan sistem penanaman terhadap efisiensi teknik,
efisiensi alokatif dan efisiensi ekonomi, juga mengukur kontribusi petani terhadap
keberlanjutan usahatani kentang dan kubis dengan menggunakan pendekatan nilai
keberlanjutan (sustainable value approach) dikaitkan dengan efisiensi teknik.
Dua metodologi dibangun untuk melihat dan menilai keberlanjutan yaitu
mengkombinasikan pendekatan nilai keberlanjutan dengan tolok ukurnya
(benchmark) dan efisiensi keberlanjutan (return to cost). Benchmark dalam
penelitian ini diperoleh dari estimasi fungsi produksi frontier Cobb-Douglas.
II. TINJAUAN PUSTAKA
Estimasi efisiensi produksi banyak dianalisis di negara berkembang
maupun negara sedang berkembang. Hal ini penting terutama di negara sedang
berkembang dimana berpotensi untuk meningkatkan produksi pertanian melalui
peningkatan dan pengembangan area dan adopsi teknologi baru yang terbatas.
Banyak studi dilakukan untuk meningkatkan produksi melalui peningkatan
tingkat efisiensi pada tingkat usahatani dengan berdasarkan pada tingkat
sumberdaya dan tingkat teknologi yang ada. Sejumlah aplikasi empiris dilakukan
untuk mengukur efisiensi pertanian di banyak negara.
2.1. Konsep Fungsi Produksi dan Fungsi Produksi Frontier
Konsep utama dalam penelaahan ekonomi produksi adalah fungsi
produksi. Produksi adalah proses penggabungan masukan dan mengubahnya
menjadi keluaran. Sejumlah masukan diperlukan untuk memproduksi sejumlah
output. Meskipun produsen bervariasi ukurannya, tetapi semuanya mengambil
masukan dan mengubahnya menjadi segala sesuatu yang berguna yang disebut
keluaran (produk). Fungsi produksi merupakan hubungan teknis antara input
yang digunakan dengan output yang dihasilkan (Doll dan Orazem, 1984).
Betty and Taylor (1985) mendefinisikan fungsi produksi sebagai output
maksimum yang dapat dicapai dari penggunaan sejumlah input dan teknologi
tertentu. Beberapa asumsi yang digunakan dalam fungsi produksi adalah: Doll
&Orazem, 1984; Beattie & Taylor, 1985)
1. Proses produksi merupakan proses monoperiodik, artinya bahwa aktivitas
produksi dalam satu periode waktu benar-benar terpisah atau independent
terhadap periode rangkaiannya.
2. Seluruh input dan output dalam proses produksi adalah homogen, artinya
tidak ada perbedaan kualitas input maupun output dalam berbagai
tingkatan.
3. Fungsi produksi merupakan fungsi yang “twice continuously
differentiable”
4. Hubungan fungsi produksi dengan produk dan input dianggap pasti
16
5. Akses dan ketersediaan input tidak terbatas, hal ini menunjukkan bahwa
anggaran yang tersedia untuk pembelian input tidak terbatas.
6. Tujuan perusahaan adalah memaksimalkan keuntungan.
Beberapa konsep yang sering digunakan dalam penelaahan ekonomi
produksi antara lain elastisitas input, elastisitas produksi, dan skala usaha.
Elastisitas produksi didefinisikan sebagai persentase perubahan output yang
disebabkan oleh persentase perubahan masukan (input) yang digunakan.
Elastisitas input (ei) mengambarkan perubahan output yang disebabkan oleh
perubahan input ke i. Elastisitas produksi (Ep) merupakan penjumlahan semua
elatisitas input ( Σ ei) dan menggambarkan skala usaha (return to scale).
Penganalisis ekonomi memberi batasan efisiensi sebagai ‘alat pengukur’
untuk menilai pilihan-pilihan yang dilakukan produsen. Berdasarkan literatur,
konsep efisiensi merupakan suatu ukuran relatif dari input yang digunakan untuk
menghasilkan produk tertentu. Suatu metoda produksi dikatakan efisien secara
teknis, jika untuk menghasilkan jumlah produk tertentu digunakan input
minimum atau untuk menghasilkan jumlah output maksimum digunakan input
yang jumlahnya tertentu.
Untuk mencapai efisiensi ekonomi harus dipenuhi dua syarat, yaitu (1)
syarat keharusan (necessary condition) dan (2) syarat kecukupan (sufficient
condition). Dalam proses produksi, syarat keharusan akan terpenuhi bila (Doll
and Orazem, 1984): (1) dengan faktor produksi yang sama, produsen tidak
mempunyai kemungkinan lagi untuk menghasilkan jumlah produk yang lebih
tinggi dan (2) dengan faktor produksi yang lebih kecil, produsen tidak mungkin
menghasilkan jumlah produk yang sama. Syarat kecukupan (sufficient
condition) merupakan indikator pilihan (choice indicator) berupa rasio harga
input dengan harga output.
Fungsi produksi frontier (frontier production function) memiliki definisi
yang hampir sama dengan fungsi produksi klasik dalam menjelaskan konsep
efisiensi. Fungsi produksi frontier dipakai untuk mengukur bagaimana fungsi
yang sebenarnya terhadap posisi frontiernya. Fungsi ini menjelaskan output
maksimal yang dapat dicapai (Coelli, 1998). Doll dan Orazem (1984)
menjelaskan fungsi produksi frontier merupakan fungsi produksi maksimal yang
17
dapat diperoleh dari sejumlah kombinasi faktor produksi pada tingkat teknologi
tertentu. Dengan demikian fungsi produksi frontier menggambarkan hubungan
fisik antara faktor produksi dengan output yang posisinya terletak pada isoquant.
Farrel (1957) menyatakan bahwa produksi frontier sebagai “best practice
frontier”
Fungsi produksi frontier telah banyak diaplikasikan dalam studi empiris
bidang pertanian. Salah satu keunggulan fungsi produksi frontier dengan fungsi
produksi lainnya adalah kemampuannya untuk menganalisis keefisienan dan
ketidakefisienan teknik suatu proses produksi. Hal ini bisa terjadi karena ke
dalam model dimasukkan suatu kesalahan baku yang mempresentasikan efisiensi
teknik ke dalam suatu model yang telah ada kesalahan bakunya.
2.2. Konsep Produktivitas dan Efisiensi
Produktivitas dan efisiensi merupakan konsep yang sering digunakan
namun berbeda arti. Produktivitas merupakan konsep absolut yang diukur dari
rasio output dengan input, sementara efisiensi sebuah konsep relatif yang diukur
dengan membandingkan rasio aktual dari output dengan input terhadap rasio
output dengan input pada kondisi optimal.
Produktivitas mengukur produk dalam jumlah fisik dan merupakan
kemampuan faktor produksi dalam menghasilkan output. Jadi produktivitas
adalah rasio antara output (nilai tambah, penerimaan) dengan input yang
digunakan. Jika hanya satu input yang digunakan disebut dengan produktivitas
parsial, dan bila seluruh input digunakan, disebut dengan produktivitas total (total
factor productivity). Produktivitas sama dengan jumlah output total dibagi
dengan jumlah input yang digunakan. Contohnya produktivitas lahan,
produktivitas tenaga kerja, dan lainnya.
Efisiensi digunakan untuk mengukur kinerja ekonomi dari sebuah
perusahaan atau usahatani. Pengukuran efisiensi dimulai dengan konsep yang
dikemukakan oleh Farrel (1957) yang mendefinisikan efisiensi sebagai
kemampuan perusahaan untuk menghasilkan output maksimal dengan
penggunaan sejumlah input tertentu. Produksi potensial maksimal (juga dikenal
dengan “best practice frontier”) didifinisikan oleh produksi frontier. Pengukuran
18 efisiensi menyangkut pengukuran jarak dari titik data yang diobservasi terhadap
frontiernya.
Efisiensi merupakan konsep penting dalam mengukur kinerja ekonomi
suatu proses produksi. Efisiensi dalam produksi disebut dengan efisiensi
ekonomi atau efisiensi produktif. Hal ini menggambarkan keberhasilan dalam
produksi mencapai output maksimum dari penggunaan sejumlah input tertentu.
Efisiensi dalam usahatani terdiri atas efisiensi teknik dan alokatif. Efisiensi teknik
(TE) menyangkut kemampuan perusahaan untuk mencapai output tertentu dengan
penggunaan input minimal atau kemampuan perusahaan untuk mencapai output
maksimal dengan penggunaan sejumlah input tertentu
Farrell (1957) memperkenalkan perbedaan antara efisiensi teknik dengan
efisiensi alokatif. Inefisiensi teknik terjadi output yang dicapai lebih kecil dari
output maksimum dengan menggunakan sejumlah input tertentu dan itu muncul
ada kesalahan dalam pengelolaan (mismanagement) metode aplikasi input yang
digunakan untuk memproduksi output. Kegagalan untuk mencapai output
maksimal dengan sejumlah input tertentu disebut dengan inefisiensi. Inefisiensi
dapat disebabkan oleh keterbatasan akses terhadap teknologi, pasar, kredit,
penyuluhan, skala produksi yang tidak sesuai, dan alokasi input yang tidak
optimal (Wadud, 1999). Inefisiensi alokatif muncul ketika rasio dari produk
marjinal tidak sama dengan rasio harga input. Usahatani akan mengkombinasikan
input dan outputnya secara alokatif efisien jika harga pasar dari input tetap.
Kumbhakar dan Lovell (2000), mengukur efisiensi sebagai tingkat
keberhasilan seorang manajer dalam mengalokasikan input dan output yang
tersedia dalam mencapai tujuan dan mencapai tingkat efisiensi yang paling tinggi
dalam biaya, penerimaan dan keuntungan. Selanjutnya Doll dan Orazem (1984),
Lipsey (1987), Debertin (1986) mendefinisikan efisiensi sebagai jumlah output
maksimal yang dapat dicapai dengan penggunaan sejumlah input tertentu atau
untuk menghasilkan jumlah output tertentu digunakan input yang sekecil-
kecilnya. Sebuah fungsi produksi frontier (batas) merujuk pada jumlah output
maksimal yang dapat dicapai pada penggunaan input tertentu dan teknologi yang
tersedia.
19
Efisiensi teknik adalah penggunaan input minimal untuk mencapai output
tertentu atau output maksimal yang dapat dicapai dengan penggunaan input
tertentu (Farrel (1957), Doll dan Orazem (1984), Lipsey (1987), Debertin (1986).
Jika produksi aktual lebih kecil dari produksi maksimal yang bisa dicapai, maka
produksi berada di bawah frontier dan jarak dari output aktual di bawah frontier
dengan produksi frontiernya disebut dengan inefisensi perusahaan. Farrel (1957)
dan Greene (1993) mendefinisikan efisiensi sebagai produktivitas aktual
dibandingkan dengan produktivitas maksimal yang dapat dicapai.
. Efisiensi alokatif (AE) menyangkut kemampuan perusahaan untuk
mengkombinasikan inputnya pada tingkat biaya minimum dan pada rasio harga
input tertentu. Penggunaan input secara alokatif efisien bila nilai produk marjinal
sama dengan harga input. Kondisi biaya minimum dapat dilihat pada Gambar 1.
Berdasarkan Gambar 1, diasumsikan produsen berproduksi pada tingkat output
tertentu (Yo) dan tingkat harga input yang tertentu pula (p1 dan p2). Kombinasi
input yang meminimalkan biaya tercapai pada saat kemiringan garis isokuan sama
dengan kemiringan garis isocost yaitu di titik G.
Gambar 1. Isoquant, Isocost, dan Titik Kombinasi Biaya Minimal
⁄ / Garis isocost:
, Isoquant
21
11 1
A
0 B
G
20
Menurut Lovell (1993) sebuah perusahaan akan bekerja secara alokatif
efisien bila dapat mengkombinasikan input dan outputnya dalam proporsi yang
optimal pada tingkat harga yang tetap. Inefisiensi alokatif terjadi bila faktor
produksi digunakan dalam proporsi yang tidak meminimalkan biaya pada tingkat
output tertentu. Dengan kata lain, inefisiensi alokatif muncul ketika rasio nilai
produk marjinal tidak sama dengan harga input. Seluruh kinerja tersebut
mengukur efisiensi ekonomi (TE x AE). Efisiensi ekonomi tercapai bila usahatani
mencapai efisiensi teknik dan alokatif. Usahatani yang mencapai efisien secara
teknik dan alokatif maka secara ekonomi juga efisien.
2.2.1. Pengukuran Efisiensi Berorientasi Input
Model Fungsi Frontier pertama kali diperkenalkan oleh Farrel (1957)
dengan menggunakan kurva isokuan untuk menggambarkan efisiensi teknik,
alokatif dan ekonomi (Gambar 2.). Efisiensi teknik (TE) didefinisikan sebagai
kemampuan perusahaan untuk menghasilkan output maksimal dengan
penggunaan sejumlah input tertentu. Efisiensi alokatif (AE) mengukur kombinasi
input pada tingkat biaya minimal (least cost combination) dalam menghasilkan
output tertentu. Efisiensi alokatif akan tercapai bila rasio produk marjinal untuk
masing-masing input sama dengan rasio harga dari input tersebut. Dalam
kerangka Farrel, efisiensi ekonomi (EE) mengukur seluruh kinerja dan sama
dengan TE x AE atau EE = TE x AE.
Farrel (1957) menyatakan bahwa efisiensi teknik dapat diukur melalui
pendekatan input dan output. Gambar 2 mengilustrasikan konsep efisiensi teknik,
alokatif, dan ekonomi dengan pendekatan input. Pada Gambar 2 isokuan K dapat
digunakan untuk mengilustrasikan hubungan antara dua input pada tingkat output
tertentu. Input X1 dan X2 digunakan untuk menghasilkan sejumlah output yang
sama (Y). Setiap observasi pada isokuan mencapai efisiensi teknik (TE),
sedangkan observasi di atas frontier adalah inefisiensi teknis. Dari Gambar 2
terlihat bahwa pada observasi ‘a’ untuk memproduksi output sebesar Y digunakan
input X1 dan X2 yang lebih besar dibandingkan pada observasi ‘b’. Dengan kata
lain, efisiensi teknis dari observasi ‘a’ adalah 0b/0a.
TE =Ob/Oa = 1 – ba/oa =1 – inefisiensi teknik (0 TE 1)
21
�
Efisiensi ekonomis
a-b : inefisiensi teknis b-c : inefisiensi alokatif
Efisiensi Teknis
Sumber: Farrel, 1957; Coelli, 1998; Bravo-Ureta, 1997. Gambar 2. Isokuan, Isocost, Efisiensi Teknis (TE), Efisensi Alokatif (AE) dan Efisiensi Ekonomis (EE) dengan Pendekatan Input
Jika informasi dari harga diketahui, dan beberapa perilaku asumsi (seperti
minimisasi biaya) sesuai, maka efisiensi alokatif (AE) dapat dihitung. Efsiensi
alokatif adalah kombinasi X1 dan X2 yang meminimalkan biaya. Pada Gambar 2.
terlihat seluruh observasi pada isocost ‘L’ adalah efisiensi alokatif. Observasi ‘b’
secara teknis efisien, tetapi mempunyai AE yang lebih kecil dari 1. Efisiensi
Alokatif didefinisikan sebagai:
AE = 0c/0b.
Kombinasi TE dan AE menghasilkan sebuah ukuran efisiensi ekonomi
(EE). Hanya observasi ‘d’ secara ekonomis efisien, pada saat itu isokuan akan
bersinggungan dengan isocost. Dengan demikian efisensi ekonomi
EE = TE x AE
EE = 0b/0a x 0c/0b
EE = 0c/0a.
Nilai efisiensi ekonomi berkisar antara 0 dan 1. Nilai 1 menunjukkan usahatani
secara penuh mencapai efisiensi ekonomi, sedangkan EE < 1 menunjukkan secara
ekonomi inefisien. Lebih dari tiga dekade, metodologi Farrel sudah diaplikasikan
secara luas. Beberapa studi telah dilakukan oleh: Aigner and Chu (1968), Aigner,
L
K
c
TE=0b/0a AE=0c/0b EE=TE*AE=0c/0a
X2/Y
X1/Y 0
b
d
a
22 Lovell and Schmidt (1977), Meeusen and van den Broeck (1977), kemudian
dimodifikasi oleh Bravo-Ureta (1997).
2.2.2. Pengukuran Efisiensi Berorientasi Output
Pengukuran efisiensi berorientasi output terfokus pada perubahan output
dari sebuah usahatani yang dapat dicapai ketika menggunakan jumlah input yang
sama. Gambar 3 menyajikan ilustrasi efisiensi dengan metode pendekatan output.
Pada pendekatan input terdapat pertanyaan yang muncul adalah berapa banyak
input dapat dikurangi tanpa mengubah output yang diproduksi? Atau berapa
banyak output dapat ditingkatkan tanpa mengubah penggunaan input?
Sumber: Coelli, et al., 1998 Gambar 3. Efisiensi Teknik dan Alokatif dengan Pendekatan Output
Diagram pada Gambar 3 menggambarkan fungsi produksi dengan dua
output (y1 dan y2) dengan satu input (x). Pada tingkat teknologi tertentu kurva
kemungkinan produksi digambarkan dengan garis ZZ’, kurva isorevenue
digambarkan dengan garis DD’. Titik A adalah titik yang menggambarkan
kondisi inefisien karena berproduksi di bawah output maksimum yang dapat
dicapai (Coelli, et al., 1998). Mangacu pada Farrel (1957) jarak AB
menunjukkan kondisi inefisiensi teknik, sehingga:
Jika informasi harga diketahui, maka garis isorevenue DD’ dapat diperoleh.
Efisiensi alokatif dapat diukur dengan :
y2/x1
y2/x2
Z΄ 0
Z
C
B
D
D΄
B΄ A
23
Selanjutnya efisiensi ekonomi dapat diukur dengan :
Dengan : 0 < EE < 1
2.3 Pendekatan Pengukuran Efisiensi
2.3.1. Pendekatan Fungsi Produksi
Pengukuran tingkat efisiensi dan penggunaan input optimum secara
konvensional sering dilakukan dengan menggunakan pendekatan fungsi produksi.
Pendekatan fungsi produksi menyangkut estimasi rata-rata dari fungsi produksi.
Penggunaan input akan optimum atau efisien bila Nilai Produk Marjinal
(Marginal Value Product =MVP) untuk masing-masing input sama dengan biaya
input marjinal (Marginal Factor Cost). Dalam pasar persaingan sempurna MFC =
harga input. Bila NVP MFC, menunjukkan penggunaan input tidak efisien.
Pendekatan fungsi produksi rata-rata telah banyak digunakan secara luas
dalam penelaahan ekonomi produksi pada dekade yang lalu untuk mengukur
efisiensi alokatif. Namun demikian Lau and Yotopoulus (1971) menyatakan
bahwa pendekatan fungsi produksi rata-rata mempunyai masalah persamaan
simultan yang bias dan mudah terjadi multikolinier. Upton (1979) menyatakan
bahwa petani beroperasi pada kondisi yang dinamis dan kompleks, karenanya
fungsi produksi secara tunggal tidak dapat digunakan untuk menerangkan kondisi
tersebut. Sejumlah petani merupakan “risk averse” dan menguji perilaku
maksimisasi keuntungan menjadi tidak realistis.
2.3.2. Pendekatan Fungsi Produksi Frontier
Pendekatan fungsi produksi frontier dilakukan untuk mengestimasi
frontier dan bukan fungsi produksi rata-rata. Metodologi frontier pertama kali
diperkenalkan oleh Farrel (1957) dan telah berkembang secara luas digunakan
dalam aplikasi analisis produksi. Menurut Farrel (1957) pengukuran efisiensi
dapat diklasifikasikan menjadi dua katagori yaitu parametrik frontier dan non
parametrik frontier. Model parametrik dibagi ke dalam model stokastik
(Stochastic Frontier Analysis) dan deterministik ( deterministic frontier )(Coelli et
al., 1998, Bravo-Ureta, 2007, Wadud, 1999). Pendekatan yang digunakan
disajikan pada Gambar 4.
24
Sumber : Wadud, 1999. Gambar 4. Pendekatan Pengukuran Efisiensi.
Pendekatan non parametrik menggunakan model DEA (Development
Envelopment Analysis) yang didasarkan pada teknik program matematika.
Pengukuran efisiensi melalui pendekatan DEA meliputi penggunaan Linear
Programming dalam menghitungkan efisiensi. Beberapa studi dengan
menggunakan model non parametrik telah dilakukan antara lain oleh Abay
(2004), de Koeijer (2002), Sherlund (2002), Wadud (2000). Gambar 4
memperlihatkan diagram pengukuran efisiensi.
2.3.3. Pendekatan Parametrik
Pendekatan parametrik dapat dibedakan menjadi pendekatan
parametrik deterministik dan stokastik (Bravo-Ureta and Pinheiro (1993),
Murillo-Zamorano (2004). Battesse (1992) dan Coelli et al. (1998) sudah
meninjau kembali perkembangan dalam produksi fungsi frontier ekonometrik.
Pendekatan deterministik disebut juga model ”full frontier” karena untuk seluruh
observasi, jarak antara produksi yang diobservasi dengan produksi frontier pada
tingkat teknologi yang tersedia dinyatakan sebagai inefisiensi teknik. Kritik
utama dari model deterministic frontier adalah bahwa tidak terdapat kemungkinan
pengaruh dari kesalahan pengukuran dan gangguan lain terhadap frontier. Semua
deviasi dari frontier dianggap sebagai hasil dari inefisiensi teknis (Kopp and
Diewert, 1982).
Pengukuran Efisiensi
Stochastic Frontier
Non Parametrik/Program Matematika
(Data Envelopment Analysis) Parametrik
Deterministic Frontier
Orientasi Output
Orientasi Input
Efisiensi
25
Model deterministik mengasumsikan bahwa deviasi dari frontier
disebabkan oleh inefisiensi sementara dalam model stokastik, error disebabkan
oleh gangguan statistik yang berasal dari gangguan diluar kontrol produksi dan
berasal dari efek inefisiensi. Karenanya masalah utama dalam model
deterministik dan stokastik adalah dalam pengukuran error (Greene, 1993).
2.3.3.1. Pendekatan Parametrik Deterministik Frontier
Pendekatan Frontier Deterministik dikembangkan lagi oleh Aigner et al
(1977), Meeusen van den Broeck (1977) dan dikembangkan lagi oleh Jondrow et
al (1982). Beberapa studi sebelumnya dengan menggunakan pendekatan model
deterministik telah dilakukan oleh Ahmad (1996), Ekanayake (1987), Hallam
(1996). Dalam kerangka fungsi produksi cross-sectional, parametrik frontier
Aigner and Chu (1968) menspesifikan fungsi deterministik frontier sebagai:
, . exp ; 0 ....................................................... (1)
dimana :
i = petani ke-i
= output petani ke-i (output yang diobservasi)
, = ouput /fungsi produksi frontier
= vektor input petani ke-i
β = parameter yang akan diukur
= inefisiensi teknik petani ke-i,
Aigner and Chu (1968) adalah orang pertama yang mengestimasi fungsi
produksi deterministik frontier menggunakan fungsi produksi Cobb Douglas.
Argumentasi yang dikemukakan adalah pada industri tertentu, perusahaan akan
berbeda dengan perusahaan lain dalam hal proses produksi, disebabkan oleh
parameter teknik dalam industri, perbedaan skala operasi, dan struktur organisasi.
Dengan menggunakan fungsi produksi Cobb-Douglas persamaan (1) menjadi :
ln ln ; 0 .
… … … … … … … … … … … …. 2
Dari persamaan (2) diperoleh: , sehingga 0, dan
TE = exp (-ui), 0 TEi 1 ...................................................................................... (3)
26
Afriat (1972) membuat model yang hampir sama dengan aigner and Chu
(1968) dengan hanya berbeda bahwa ui mempunyai sebuah distibusi gamma dan
parameter dari model diestimasi dengan menggunakan prosedur Maximum
Likelihood (ML). Richmond (1974) menemukan bahwa parameter dari Afriat
(1972) dapat diestimasi dengan menggunakan metode Corrected Ordinary Least
Square (COLS), dan mudah diaplikasikan karena tidak ada asumsi spesial tentang
error term (Daryanto, 2000). Metode COLS adalah prosedur dua tahap, pertama
model diestimasi dengan menggunakan OLS kemudian intersep dikoreksi dengan
menggeser ke atas selama tidak ada residual yang positif dan nol. Residual yang
terkoreksi kemudian digunakan untuk mengestiamsi efisiensi teknik (Daryanto,
2000).
Pendekatan deterministik frontier tidak lepas dari kelemahan yaitu
mengasumsikan bahwa seluruh deviasi dari frontier berasal dari efek inefisiensi,
(Russel and Young, 1983) dan bukan berasal dari pengaruh kesalahan
pengukuran, gangguan statistik lain, dan gangguan random di luar kontrol
perusahaan/usahatani. Seperti diketahui, kinerja usahatani dipengaruhi oleh
faktor di luar kontrol petani dan di bawah kontrol petani. Faktor di luar kontrol
petani meliputi iklim, cuaca, kegagalan pasar dan pengukuran error. Faktor yang
dapat dikontrol petani meliputi karakteristik sosial ekonomi dan manajemen
praktis. Karenanya fungsi produksi parametrik frontier dikembangkan dengan
memasukkan pengaruh variabel ini seperti telah dikembangkan oleh Aigner et al.,
(1977) dan Meeusen Van den Broeck (1977).
Lebih dari dua dekade model ini telah banyak digunakan dan pada dekade
tahun 1970-an model produksi frontier deterministik diperluas oleh Afriat (1972)
dan lebih sistematik oleh Aigner, Lovell dan Schmidt (1977), Meeusen dan van
den Broeck (1977) dan Batesse dan Corra (1977) yang secara simultan
mengembangkan Model Stochastic Frontier (SFM).
2.3.3.2. Pendekatan Parametrik Stochastic Frontier
Seperti telah dikemukakan di atas, model fungsi produksi deterministik
mengasumsikan bahwa seluruh sampel mempunyai frontier yang sama dan
seluruh deviasi dari frontier berasal dari efek inefisiensi. Asumsi ini telah banyak
dkritisi, karena pada kenyataannya produksi dipengaruhi oleh faktor diluar kontrol
27
petani (cuaca, iklim, dan pengukuran (error) yang muncul dari usahatani) dan
inefisiensi teknis yang disebabkan oleh variasi faktor manajemen di bawah
kontrol petani.
Pendekatan stokastik frontier menggunakan metode ekonometrika. Model
stokastik frontier dan pengukuran efisiensi ini sudah banyak dibahas antara lain
oleh Schmidt (1976), Schmidt (1986), Battese (1992), Greene (1993), Coelli et
al., (2005), Bravo-Ureta et al. (2007), Sukiyono (2005), Msuya et al (2008), Solis
et al (2009), Saptana (2011).
Coelli et al., (2005) secara terpisah dan cukup terinci mengemukakan
konsep tentang fungsi produksi stokastik frontier. Ide penting dibalik model
frontier stokastik adalah bahwa kesalahan digabung ke dalam dua bagian.
Komponen simetrik mengizinkan variasi random dari frontier antar perusahaan,
dan menangkap pengaruh kesalahan pengukuran, gangguan statistik lain, dan
gangguan random di luar kontrol perusahaan. Komponen satu-sisi menangkap
pengaruh inefisiensi relatif terhadap frontier statistik. Model frontier stochastic
dikembangkan oleh Aigner and Chu (1977) dan Meeusen Van den Broeck (1977)
dan ditulis sebagai:
( ) ( )ittiitit UVXfY −+= β , i=1,...,N, ..................................... (4)
Gambar 5. memperlihatkan fungsi produksi stochastic frontier untuk
kegiatan dua usahatani i dan j seperti yang dilustrasikan oleh Coelli et al (2005).
Penggunaan input digambarkan oleh garis horizontal dan output oleh garis
vertikal. Dalam Gambar 5. tersebut juga diperlihatkan output frontier, output
yang diobservasi dan fungsi produksi. Output deterministik dari model frontier
adalah Y = f(Xi,β). Usahatani i menggunakan input xi untuk memproduksi
output yi dengan output frontier Yi*. Nilai input-output yang diobservasi
ditunjukkan dengan tanda x. Nilai output stochastic frontier Y* = exp (xiβ + vi)
diberi tanda . Pada kondisi ini output Y*> output deterministik f(f(xi,β) karena
aktivitas usahataninya dipengaruhi oleh kondisi yang menguntungkan (vi > 0).
Usahatani j menggunakan input xj untuk memproduksi output sebesar Yj.
Output stochastic frontiernya lebih kecil dari output deterministik f(xi,β) karena
aktivitasnya dipengaruhi oleh kondisi yang tidak menguntungkan dan vi < 0.
28
Sumber: Coelli et al., 1998, 2005. Gambar 5. Fungsi Produksi Frontier dan Efisiensi
Untuk kedua usahatani output yang diobservasi lebih kecil dari output
frontiernya. Output aktual (yang diobservasi) dapat lebih besar dari output
deterministik frontier bila random error (vi) lebih besar dari inefisiensi teknis
(ui).
Keunggulan pendekatan frontier stokastik adalah dilibatkannya disturbance
term yang mewakili gangguan, kesalahan pengukuran dan kejutan eksogen yang
berada di luar kontrol unit produksi. Sementara itu, beberapa kelemahan dari
pendekatan ini adalah: (1) teknologi yang dianalisis harus digambarkan oleh
struktur yang cukup rumit/besar, (2) distribusi dari simpangan satu-sisi harus
dispesifikasi sebelum mengestimasi model, (3) struktur tambahan harus
dikenakan terhadap distribusi inefisiensi teknis, dan (4) sulit diterapkan untuk
usahatani yang memiliki lebih dari satu output (Adiyoga, 1999).
2.4. Faktor yang Mempengaruhi Inefisiensi Teknis
Inefisiensi teknis dalam usahatani dapat disebabkan oleh beberapa faktor
seperti perbedaan besarnya usahatani, manajemen, faktor institusi, dan aspek
lingkungan. Beberapa variabel yang sering digunakan untuk menganalisis
efisiensi teknik antara lain sumberdaya rumah tangga petani yang berupa lahan,
tenaga kerja, modal, agregasi dari semua input yang dibeli, dan sekumpulan
0 xjxi
Ouput frontier Exp (xiβ +vi), jika vi > 0
Fungsi produksi y = exp (xβ)
Ouput frontier Exp (xjβ +vj), jika vj < 0 yj
yi
y
x
29
peubah lingkungan, misalnya jenis tanah dan curah hujan. Gambar 6
memperlihatkan faktor karakteristik manajerial dan struktural yang mempengaruhi
efisiensi usahatani. Faktor agen adalah karakteristik manajerial dari usahatani
seperti umur, tingkat pendidikan, pengalaman, training, penyuluhan, pelatihan,
jender dan lainnya.
Faktor struktural diklasifikasikan ke dalam faktor on farm dan off farm.
Contoh on farm adalah ukuran lahan, tipe usahatani (spesialisasi, diversifikasi),
tipe organisasi (sewa, bagi hasil, kepemilikan), lokasi, dan faktor struktural
lainnya adalah karakteristik lingkungan (seperti kualitas tanah, vegetasi,
ketinggian tempat, , iklim, temperatur, kemiringan lahan, dan curah hujan), faktor
keuangan, dan teknologi. Intervensi pemerintah adalah salah satu contoh faktor
off farm. Beberapa studi telah dilakukan untuk melihat mengapa kinerja usahatani
bervariasi khususnya efisiensi teknik. Efisiensi teknik dipengaruhi oleh luas
lahan, tipe organisasi, dan faktor agen. Beberapa studi juga membuat definisi
yang berbeda-beda untuk efisiensi teknik (Batesse and Coelli, 1995), Liu and
Zhuang (2000), Kalirajan (1990). Selain definisi yang berbeda, pendekatan yang
dilakukan juga berbeda.
Sumber: Van Passel, et al., 2006a
Gambar 6. Faktor yang Mempengaruhi Efisiensi
Contohnya: Kebijakan pemerintah
EFISIENSI USAHATANI
Faktor structural
Faktor Agen
Faktor On-farm
Faktor Off-farm
Contohnya: Pendidikan, umur, pengalaman, training,penyuluhan
Contohnya: Lokasi, tipe usahatani, luas lahan, kualitas tanah, ketinggian,
30
Thirtle and Holding (2003) menemukan bahwa usahatani dengan lahan
luas lebih efisien dibandingkan lahan sempit. Herdt and Mandac (1981)
menemukan hubungan yang negatif antara luas lahan dengan efisiensi. Beberapa
peneliti menyatakan bahwa hubungan lahan dengan efisiensi tidak berlaku umum
karena selain dipengaruhi oleh luas lahan, kualitas dan sistem pengelolaan juga
mempengaruhi efisiensi. Struktur dan penguasaan lahan, sewa, bagi hasil,
mempunyai bentuk yang berbeda antar usahatani. Thiele and Brodersen (1999)
menemukan bahwa status kepemilikan lahan tidak dapat menerangkan perbedaan
efisiensi di usahatani Jerman. Namun Reddy (2002) menemukan bahwa petani
penyewa kurang efisien dibandingkan dengan petani pemilik.
Perbedaan dalam efisiensi juga dapat diterangkan oleh perbedaan
lingkungan seperti iklim, kualitas lahan, vegetasi, ketinggian tempat, dan
temperatur (van Passel, 2006). O’Neil et al (2001) menemukan bahwa terdapat
perbedaan efisiensi di Irlandia Timur dengan di Irlandia Barat. Selanjutnya
Thirtle dan Holding (2003) menyatakan petani pemilik lebih efisien dibandingkan
penyewa dan penggarap. Struktur off farm juga mempengaruhi efisiensi.
Efisiensi akan meningkat sejalan dengan adopsi teknologi dan akses terhadap
kredit. Agen faktor yang mempengaruhi efisiensi antara lain umur, pengalaman,
pendidikan, struktur manajemen. Battesse dan Coelli (1995) menguji pengaruh
umur tehadap efisiensi, dan menemukan bahwa petani tua lebih tidak efisien
dibandingkan petani muda. Parikh et al (1995) juga melaporkan hal yang sama,
petani tua kurang respon terhadap adopsi inovasi.
Banyak studi telah mengkaitkan umur petani, pendidikan, akses terhadap
penyuluhan, akses terhadap kredit, agro-ekologi, luas lahan, jumlah plot yang
dimiliki, jumlah tanggungan keluarga, jender, akses ke pasar, akses pada
teknologi pemupukan,kebijakan intervensi pemerintah dengan efisiensi teknik.
Variabel tersebut mempunyai pengaruh positif terhadap efisiensi (Amos 2007;
Ahmad et al 2002; Kibaara 2005; Tchale 2007; dan Basnayake and Gunaratne
2002). Bravo-Ureta and Pinheiro 91993) menemukan keterkaitan antara efisiensi
teknis dengan variabel sosial ekonomi seperti umur, tingkat pendidikan, ukuran
lahan, akses terhadap kredit, dan akses terhadap penyuluhan.
31
2.5 Pembangunan Berkelanjutan
Konsep pembangunan berkelanjutan diperkenalkan dalam World
Conservation Strategy (Strategi Konservasi Dunia) yang diterbitkan oleh United
Nations Environment Programme (UNEP), International Union for the
Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN), dan World Wide Fund for
Nature (WWF) pada 1980.
Konsep pertama Pembangunan Berkelanjutan dirumuskan dalam
Bruntland Report yang merupakan hasil kongres Komisi Dunia Mengenai
Lingkungan dan Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Pada tahun 1987
World Comission on Environment and Development (WCED) mempublikasikan
formulasi Brundtland dalam “Our Common Future” yang menghubungkan
dimensi ekonomi, sosial dan lingkungan. Bruntland Report mendefinisikan:
“sustainable development as development which meets the needs of current
generations without compromising the ability of future generations to meet their
own needs “ (WCED, 1987).
Banyak definisi yang telah dikemukakan mengenai pembangunan
berkelanjutan. Munasinghe (2004) menyatakan bahwa pembangunan
berkelanjutan mempunyai tiga tujuan utama, yaitu: tujuan ekonomi (economic
objective), tujuan ekologi (ecological objective) dan tujuan sosial (social
objective). Tujuan ekonomi terkait dengan masalah efisiensi (efficiency) dan
pertumbuhan (growth); tujuan ekologi terkait dengan masalah konservasi
sumberdaya alam (natural resources conservation); dan tujuan sosial terkait
dengan masalah pengurangan kemiskinan (poverty) dan pemerataan (equity).
Dengan demikian, tujuan pembangunan berkelanjutan pada dasarnya terletak pada
adanya harmonisasi antara tujuan ekonomi, tujuan ekologi dan tujuan sosial,
seperti yang digambarkan dalam Gambar 7.
Gambar 7 memperlihatkan tiga tujuan yang berkaitan, sinergis dan
terintegrasi. Dimensi ekonomi berkaitan dengan konsep maksimisasi aliran
pendapatan yang dapat diperoleh dengan setidaknya mempertahankan asset
produktif yang menjadi basis dalam memperoleh pendapatan tersebut. Indikator
utama dimensi ekonomi ini ialah tingkat efisiensi, dan daya saing, besaran dan
pertumbuhan nilai tambah (termasuk laba), dan stabilitas ekonomi. Dimensi
32 ekonomi menekankan aspek pemenuhan kebutuhan ekonomi (material) manusia
baik untuk generasi sekarang maupun generasi mendatang.
• Intra-generationalequity - valuation/internalisation • Basic needs/livelihood - insidence of impacts
• Intergenerational equity • Values/culture
Sumber: Munasinghe, 2004
Gambar 7. Tiga Pilar Pembangunan Berkelanjutan
Dimensi sosial adalah orientasi kerakyatan, berkaitan dengan kebutuhan
akan kesejahteraan sosial yang dicerminkan oleh kehidupan sosial yang harmonis
(termasuk tercegahnya konflik sosial), preservasi keragaman budaya dan modal
sosio-kebudayaan, termasuk perlindungan terhadap suku minoritas. Untuk itu,
pengentasan kemiskinan, pemerataan kesempatan berusaha dan pendapatan,
partisipasi sosial politik dan stabilitas sosial-budaya merupakan indikator-
indikator penting yang perlu dipertimbangkan dalam pelaksanaan pembangunan.
Dengan demikian pembangunan berkelanjutan dapat diwujudkan melalui
keterkaitan yang tepat antara sumberdaya alam, kondisi ekonomi, dan sosial.
Nurmalina (2007) menyatakan bahwa pembangunan berkelanjutan bukanlah
situasi harmoni yang sifatnya statis, namun merupakan suatu proses perubahan
yang eksploitasi sumberdaya alamnya, orientasi perkembangan teknologi, dan
pengembangan kelembagaan konsisten dengan pemenuhan kebutuhan pada saat
ini dan masa depan.
• Growth • Efficiency • Stability
ECONOMIC
SOCIAL • Enpowerment • Inclusion/consultation • Institution/governance
ENVIRONMENTAL • Resilience/biodiversity • Natural resources • pollution
• Poverty • Equity • Sustainability • Climate
33
2.5.1. Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Pertanian berkelanjutan atau usahatani berkelanjutan sudah dirangkum
sebagai sebuah isu luas yang meliputi peran usahatani dalam masyarakat
pedesaan, kebutuhan untuk melindungi dan melestarikan lingkungan, penggunaan
lahan pedesaan, ternak, pembangunan pasar pangan lokal, dan kebutuhan
pertanian untuk mendorong sektor lainnya misalnya kepariwisataan. Empat pilar
diartikan sebagai (1) secara ekonomi fisibel (economically feasible) untuk
membentuk sistem produksi jangka panjang, merujuk pada perbaikan
produktivitas tanaman dan, (2) penggunaan teknologi yang sepadan
(technologically appropriate), (3) secara lingkungan tidak merusak dan
berkelanjutan dan merujuk pada pelestarian peningkatan sumberdaya lingkungan,
(environmentally sound and sustainable), (4) secara`sosial dan budaya dapat
diterima dan merujuk pada keadilan, dan peningkatan kualitas hidup ( socially and
culturally acceptable) (Munasinghe, 2004; Zhen, 2003).
Suryana (2005) menyatakan bahwa konsep keberlanjutan mengandung
pengertian pengembangan produksi pertanian harus tetap memelihara kelestarian
sumberdaya alam dan lingkungan hidup. Untuk menjaga pertanian berkelanjutan
dalam jangka panjang lintas generasi antara lain mengembangkan sistem
usahatani konservasi, pengendalian hama terpadu dan AMDAL. Pertanian
berkelanjutan dapat merespon perubahan pasar, inovasi teknologi terus menerus,
teknologi ramah lingkungan, dan pelestarian sumberdaya alam. Salah satu
strategi adalah penggunaan LEISA.
2.5.2. Pengukuran Indikator Pertanian Keberlanjutan
Untuk menilai keberlanjutan diperlukan beberapa indikator, namun
indikator keberlanjutan yang terdiri atas banyak aspek masih beragam. Beberapa
indikator yang telah dikenal dikemukakan oleh Smith dan McDonald (1998),
Ceyhan (2010) dan lainnya. Secara umum, indikator dijabarkan dari tiga pilar
pembangunan berkelanjutan yaitu dimensi ekonomi, sosial dan lingkungan,
sebagai aspek multidimensi dari keberlanjutan. Beberapa analisis indikator yang
telah digunakan antara lain RISE ( Response-Inducing Sustainability Evaluation),
AMOEBA serta analisis multi-dimensi. Kesulitan menilai keberlanjutan
menggunakan pendekatan multidimensi adalah unit yang diukur dan skala yang
34 sesuai untuk pengukuran yang berbeda antar dimensi keberlanjutan (Rigby, 2001).
Beberapa kerangka kerja indikator yang digunakan dalam pertanian dapat
ditemukan dalam Smith dan McDonald (1998), Meul et al, (2009), Zhen &
Routray (2003) dan Ceyhan (2010).
Beberapa peneliti membuat komponen atau indikator pertanian
berkelanjutan yang berbeda. Rao dan Rogers (2006), menyatakan bahwa
pertanian berkelanjutan menyangkut faktor agronomi, ekologi, ekonomi, sosial,
dan etika. Pada dasarnya peneliti menyatakan bahwa sistem usahatani
berkelanjutan harus berkelanjutan secara ekonomi, sosial, dan lingkungan dan
harus terintegrasi secara menyeluruh(Zhen & Routray, 2003; Ceyhan,2010).
Dalam Assessing the Sustainability of Agriculture at the Planning Stage,
Smith dan Mc Donald (1998) mengusulkan beberapa indikator penting untuk
menilai keberlanjutan usahatani di Australia. Mereka berargumentasi bahwa dari
sisi ekonomi, keuntungan seperti produksi total dan pendapatan bersih usahatani
merupakan indikator penting dari pertanian berkelanjutan. Dari sisi lingkungan,
difokuskan pada kecenderungan penggunaan lahan dan air karena pengaruhnya
pada produksi jangka panjang. Peningkatan efisiensi penggunaan air, perbaikan
hara, perbaikan biodiversitas, pengurangan kehilangan tanah dipandang sebagai
indikator keberlanjutan yang potensial.
2.6. Konsep Pendekatan Nilai Keberlanjutan (Sustainable Value Added)
Konsep pembangunan berkelanjutan sudah banyak dikembangkan sejak
tahun 1980-an terutama pada level makro. Callens dan Tyteca (1999)
mengembangkan konsep pembangunan berkelanjutan pada level mikro yaitu pada
tingkat perusahaan/usahatani. Namun penemuan pengukuran yang berkaitan
dengan keberlanjutan perusahaan dalam ukuran absolut sering dianggap tidak
penting (Figge dan Hahn, 2002). Atkinson (2000) mengembangkan sebuah
ukuran keberlanjutan pada level mikroekonomi dalam terminology “corporate
contribution to sustainability”. Hal ini membawa konsekuensi ukuran
keberlanjutan dipertimbangkan dalam kinerja ekonomi, sosial dan lingkungan.
Callens and Tyteca (1999) menyatakan bahwa efisiensi ekonomi, sosial,
dan lingkungan merupakan sebuah syarat keharusan tetapi bukan syarat
kecukupan ke arah keberlanjutan. Selanjutnya Templet (2001) menyatakan
35
bahwa keberlanjutan dapat ditingkatkan melalui strategi yang mempromosikan
penggunaan sumberdaya yang efisien dalam sistem ekonomi.
Seperti telah disebutkan sebelumnya, konsep produktivitas, efisiensi, dan
eco-efficiency merupakan konsep penting untuk menilai keberlanjutan.
Produktivitas adalah output dibagi dengan input. Farrel (1957) mendefinisikan
efisiensi sebagai produktivitas aktual usahatani dibandingkan dengan
produktivitas maksimum yang dapat dicapai. Di samping kedua konsep tersebut,
satu lagi ukuran keberlanjutan adalah eco-efficiency. OECD (1998)
mendefinisikan efisiensi sebagai manajemen ekonomi terbaik dengan tekanan
lingkungan terbaik, dan sekarang dikenal dengan pendekatan keberlanjutan (Van
Passel, 2009). Meskipun terdapat bermacam-macam definisi eco-efficiency, tetapi
sebuah definisi yang terkenal adalah rasio dari nilai yang diciptakan per unit
dampak lingkungan, atau disebut pula produktivitas lingkungan.
Salah satu cara untuk menilai kontribusi perusahaan terhadap keberlanjutan
adalah mengurangi biaya dari keuntungan yang dapat diciptakan. Untuk tujuan
tersebut harus dipertimbangkan biaya internal dan eksternal (Figge dan Hahn,
2002). Jika keuntungan (benefit) lebih besar dari biaya internal dan eksternal
maka disebut net value added. Atkinson (2000) menyebutnya “Green value
added”. Selain ukuran absolut, ukuran relatif menggambarkan kontribusi
perusahaan sebagai keuntungan per unit dampak lingkungan dan sosial, dan
disebut “eco-efficiency”. Eco-efficiency merupakan sebuah rasio dari nilai yang
diciptakan dengan dampak lingkungan yang ditimbulkan, atau menggambarkan
tingkat penggunaan sumberdaya lingkungan terhadap aktivitas ekonomi Callens
dan Tyteca, 1999). Lebih lanjut dinyatakan bahwa peningkatan dalam eco-
efficiency akan meningkatkan kontribusi perusahaan terhadap keberlanjutan.
Suatu perusahaan akan membandingkan penerimaan dari penggunaan investasi
(sumberdaya) dengan alternatif penggunaan yang lain dari investasi (sumberdaya)
yang sama. Alternatif investasi (sumberdaya) disebut dengan benchmark.
Nilai tambah lingkungan (the environmental value added) berkaitan
dengan nilai ekonomi yang diciptakan oleh eco-efficiency perusahaan diatas eco-
effiency benchmark (Figge and Hahn, 2002). Lebih lanjut dikatakan bahwa eco-
efficiency sama dengan economic value added. Nilai tambah lingkungan dihitung
36 melalui empat langkah. Langkah perhitungan nilai tambah lingkungan dapat
dilihat pada Gambar 8.
1. Langkah pertama adalah menghitung eco-efficiency dari perusahaan.
Terdapat beberapa rasio yang dapat digunakan tetapi yang sering digunakan
adalah rasio value added dibagi dengan environmental impact added.
Sumber: Figge and Hahn, 2002 Gambar 8. Langkah untuk Mengevaluasi Nilai Tambah Lingkungan dan nilai Tambah Sosial 2. Langkah kedua, menghitung eco-efficiency dari benchmark. Pemilihan
benchmark tergantung pada signifikansi yang diinginkan (Figge and Hahn,
2002) dapat perusahaan yang sama, sektor, atau ekonomi terbaik. Eco-
efficiency dari benchmark sama dengan value added benchmark dibagi
dengan environmental impact added benchmark.
3. Langkah ketiga menghitung value spread. Value spread membandingkan
eco-efficiency dari perusahaan dengan eco-efficiency dari benchmark. yaitu
eco-efficiency dari perusahaan dikurangi eco-efficiency dari benchmark.
4. Terakhir, menghitung Nilai Kontribusi (Environmental Value Added) yaitu:
……………………………………… (5)
Dengan:
3
4
Perusahaan Benchmark
Value Added Impact Added Value Added Impact Added
Eco- or Social-Efficiency
Eco- or Social-Efficiency
Impact Added Value Spread
Environmental or Social Value
Added
: : 21
37
Nilai Kontribusi (Environmental Value Added) dapat dilihat pada Gambar 9.
Sumber : Figge dan Hahn, 2004) Gambar 9. Grafik yang menggambarkan Dampak Lingkungan Perusahaan Sampel
Eco-efficiency dari menunjukkan bagaimana efisiensi dari
aktivitas ekonomi yang dijadikan menggunakan sumberdaya
lingkungan yang terbatas. Untuk menjadi lebih berkelanjutan setingkat
benchmark, sumberdaya perusahaan dapat dialokasikan lebih eco-efficiency.
Figge dan Hahn (2005) menyatakan bahwa pada kenyataannya suatu sumberdaya
yang mempunyai produktivitas tinggi dapat mengkompensasi penggunaan
sumberdaya lain yang produktivitasnya rendah. Namun ketika menilai perbedaan
sumberdaya, akan muncul masalah agregasi sumberdaya. Oleh karena itu untuk
memecahkan masalah yang ada, sebuah konversi dari dampak seluruh
sumberdaya lingkungan kedalam sebuah dampak dari penggunaan sumberdaya
perlu dipertimbangkan.
Berkaitan dengan konsep-konsep di atas, selanjutnya dari nilai kontribusi
dapat dihitung nilai keberlanjutan (Sustainable Value Added). Nilai ini didasarkan
pada fakta bahwa sumberdaya ekonomi, lingkungan, sosial diintegrasikan secara
B
Impact Added Eb Ec Environmental
C
Val
ue
a A
Add
ed
Eco-efficiency (Company)
Environmental Value Added
Eco-efficiency (Benchmark)
c b
38 berbeda. Untuk menilai penggunaan sumberdaya maka digunakan pendekatan
opportunity cost, artinya nilai diciptakan jika sumberdaya digunakan secara lebih
efisien dibandingkan alternatif penggunaan untuk sumberdaya yang sama.
Berdasarkan konsep ini suatu perusahaan akan menciptakan nilai yang
berkelanjutan bila menggunakan sumberdaya ekonomi, lingkungan, dan sosial
lebih efisien dibandingkan dengan benchmarknya. Nilai diciptakan bila
pengembalian dari investasi lebih besar dari biaya investasi. Benchmark juga
dapat didefinisikan sebagai biaya kapital (ADVANCE, 2006).
Seperti telah dikemukakan di depan, beberapa pendekatan untuk menilai
pembangunan berkelanjutan telah banyak dilakukan, salah satunya adalah
perhitungan nilai keberlanjutan (sustainable value = SVA) yang diperkenalkan
oleh Figge dan Hahn (2004), (2005). Nilai keberlanjutan (sustainable value)
adalah sebuah metode untuk mengukur kontribusi dari sebuah perusahaan,
usahatani atau sektor pertanian keseluruhan kearah keberlanjutan (sustainable
development) dari sebuah wilayah, negara atau dalam skala global. Sebuah
perusahaan berkontribusi terhadap keberlanjutan apabila benefit (keuntungan)
yang diciptakan lebih besar dari biaya ekonomi, social, dan lingkungan (Figge and
Hahn, 2004, hal.175).
Figge dan Hahn (2004) mencoba mengintegrasikan duality antara
keefektifan dengan efisiensi melalui pendekatan sustainable value. Berdasarkan
konsep opportunity cost, sumberdaya akan menciptakan nilai hanya ketika tidak
ada alternatif penggunaan yang menghasilkan nilai yang lebih besar dari
sumberdaya yang sama. Teori opportunity cost membandingkan keuntungan yang
diperoleh dari alokasi sumberdaya pada suatu proyek terhadap alokasi
sumberdaya pada alternative yang lain. Biaya sumberdaya merupakan
keuntungan yang diterima bila sumberdaya dialokasikan pada penggunaan yang
lain. Dengan cara yang sama Figge and Hahn (2004) mengaplikasikan teori ini
pada kapital lingkungan dan sosial. Nilai Keberlanjutan (Sustainable Value
Added = SVA) merupakan suatu pendekatan yang didasarkan pada opportunity
cost dari penggunaan sumberdaya yang digunakan suatu usahatani dibandingkan
dengan penggunaan sumberdaya dari tolok ukur (digambarkan oleh kumpulan
petani atau tujuan keberlanjutan). SVA merupakan sebuah alat untuk
39
menentukan dimana usahatani menggunakan sumberdaya dalam rangka mencapai
kontribusi tertinggi terhadap keberlanjutan (Merante et al, 2008).
Ruff (2008) menyatakan bila Perusahaan A memproduksikan atau
menghasilkan keuntungan dari penggunaan kapital lingkungan dan sosial,
kemudian perusahaan B juga menggunakan sumberdaya yang sama dan
menghasilkan investasi yang lebih baik untuk masyarakat (pemilik kapital
lingkungan dan sosial) maka opportunity cost adalah keuntungan yang dapat
dicapai dalam alternatif investasi dengan menggunakan kapital yang sama.
Penggunaan konsep opportunity cost untuk mengevaluasi kapital lingkungan dan
sosial secara total merupakan kontribusi yang penting pada nilai keberlanjutan.
Kemudian metode tradisional juga digunakan untuk mengevaluasi nilai kontribusi
perusahaan terhadap keberlanjutan misalnya perbedaan antara keuntungan
perusahaan dengan opportunity cost dari sumberdaya kapital ekonomi, lingkungan
dan sosial.
Kualitas model dari keberlanjutan tergantung pada tiga hal yaitu pilihan
benchmark, sumberdaya yang diikutkan pada model, dan return yang akan
diterima (van Passel, 2009, Erhman, 2008, Illge (2008), Ruff (2008). Pilihan
benchmark akan menentukan biaya peluang. Dalam beberapa studi benchmark
ditentukan berdasarkan nilai terbaik dari ekonomi nasional (ADVANCE, 2006),
rata-rata dari perusahaan (Erhman, 2008, Illge (2008), rata-rata usahatani terbaik
dan juga rata-rata usahatani terbobot (Van Passel, 2009). Efisiensi benchmark
menggambarkann rata-rata kinerja dari alternatif penggunaan sumberdaya. Pilihan
benchmark bergantung pada tujuan penelitian. Figge dan Hahn (2005)
menggunakan ekonomi UK sebagai tolok ukur. Van Passel et al (2009)
menggunakan rata-rata penerimaan/keuntungan dalam sebuah sampel besar di
peternakan untuk menjelaskan perbedaan dalam keberlanjutan peternakan.
Erhman (2008) menggunakan tolok ukur rata-rata terbobot dari seluruh usahatani.
Keluaran penting dari SV adalah dapat meranking usahatani atau perbedaan
sistem produksi dari penggunaan sumberdaya yang efisien.
Pendekatan nilai keberlanjutan dapat dilihat sebagai sebuah penilaian
dampak “value-oriented”. Pendekatan “value oriented” mengintegrasikan apek
ekonomi, sosial, dan lingkungan dengan keterkaitan pada opportunity cost, dan
40 menganalisis berapa nilai yang hilang ketika sebuah bundel sumberdaya
digunakan. Dengan kata lain, pendekatan “value-oriented” mengusulkan dimana
sumberdaya dapat dialokasikan, artinya berapa banyak nilai yang akan diciptakan
dengan set sumberdaya jika sudah digunakan oleh perusahaan yang lebih efisien
(van Passel, 2009). Nilai SVA yang positif menunjukkan bahwa usahatani
berkelanjutan sementara SVA yang negatif menunjukkan bahwa usahatani lain
(benchmark) mempunyai nilai yang lebih tinggi dengan menggunakan
sumberdaya yang sama (Figge dan Hahn, 2004).
Pendekatan SVA menyediakan ukuran keuangan dari kontribusi
perusahaan terhadap keberlanjutan. Penilaian dilakukan dengan membandingkan
penggunaan sumberdaya perusahaan dengan penggunaan sumberdaya dari
benchmark. Meskipun Figge dan Hahn (2005) menyatakan bahwa SVA tidak
menunjukkan apakah perusahaan berkelanjutan, mereka menamai perusahaan
dalam terminologi berkontribusi pada keberlanjutan, secara implisit
mengasumsikan penggunaan sumberdaya yang efisien sebagai ‘berkelanjutan’.
Suatu perusahaan berkontribusi lebih berkelanjutan apabila return to capital lebih
besar dari rata-rata return on resource dari benchmark, dan sebaliknya.
Sebuah nilai keberlanjutan yang positif menunjukkan sumberdaya
digunakan lebih efisien dibandingkan dengan tolok ukurnya (benchmark). Nilai
ini memperlihatkan kelebihan penerimaan yang diciptakan atau kehilangan
penggunaan sumberdaya ekonomi, lingkungan, dan sosial relatif terhadap tolok
ukurnya (Illge et al, 2008). Menurut Figge dan Hahn (2004), SVA tidak
menunjukkan bahwa usahatani/perusahaan berkelanjutan tetapi hanya
menunjukkan berapa banyak usahatani sudah berkontribusi untuk lebih
keberlanjutan. Kontribusi ini dapat digambarkan dalam terminologi ekonomi,
sosial dan lingkungan, dan merupakan ukuran kinerja usahatani dibandingkan
dengan benchmark. ADVANCE (2006) menyatakan SVA membandingkan
penggunaan sumberdaya dari perusahaan dibandingkan dengan benchmark dan
menentukan biaya untuk masing-masing sumberdaya melalui opportunity cost.
Merante et al (2008) menyatakan nilai keberlanjutan (SVA) merupakan
suatu pendekatan yang didasarkan pada opportunity cost dari penggunaan
sumberdaya yang digunakan usahatani dibandingkan dengan penggunaan
41
sumberdaya dari benchmark. Figge dan Hahn (2004, 2005) menyatakan bahwa
SVA menentukan bagaimana sumberdaya perusahaan digunakan dalam rangka
mencapai kontribusi tertinggi pada keberlanjutan. Nilai ini tidak memperlihatkan
penggunaan sumberdaya perusahaan berkelanjutan, tetapi hanya menyatakan
apakah perusahaan lebih berkelanjutan atau tidak dibandingkan dengan
perusahaan lainnya atau dibandingkan dengan benchmark.
Van Passel (2009) menyatakan terdapat beberapa keunggulan dari
pendekatan nilai keberlanjutan antara lain: (1) pendekatan ini dapat
mengintegrasikan keberlanjutan ekonomi, sosial, dan lingkungan dan (2)
merupakan metode pertama yang memungkinkan sebuah integrasi dari
sumberdaya yang berbeda dan dapat membandingkan keberlanjutan antar sistem.
Namun demikian terdapat kelemahan dalam pendekatan ini yaitu (1) pendekatan
nilai keberlanjutan tidak menunjukkan apakah seluruh sumberdaya yang
digunakan berkelanjutan atau tidak tetapi hanya menunjukkan berapa perusahaan
berkontribusi untuk lebih berkelanjutan dari input yang digunakan dibandingkan
dengan benchmark, (2) ketidakmampuan dari metodologi dibatasi oleh data yang
tersedia dari penggunaan sumberdaya dan opportunity cost dari sumberdaya yang
berbeda (Figge and Hahn, 2005), dan (3) pendekatan ini tidak memasukkan
aspek kualitatif dari keberlanjutan.
2.7. Keterkaitan Antara Efisiensi dan Nilai Keberlanjutan
Callens dan Tyteca (1999) menyatakan bahwa efisiensi ekonomi, sosial
dan lingkungan merupakan suatu langkah keharusan (tetapi bukan kecukupan)
kearah keberlanjutan. Peningkatan efisiensi penting menuju kearah keberlanjutan
karena dapat mentolelir pertentangan atau konflik tujuan ekonomi, sosial, dan
lingkungan yang dapat dicapai secara simultan. Peningkatan output per unit input
tidak hanya mengurangi dampak lingkungan yang merugikan tetapi juga dapat
meningkatkan pendapatan dengan cara mengurangi biaya atau meningkatkan
output (de Koeijer, 2002). Selanjutnya de Koeijer et al (2002) menyatakan bahwa
peningkatan efisiensi dapat mendukung keberlanjutan. Efisiensi merupakan
syarat keharusan tetapi bukan kecukupan untuk keberlanjutan.
Lebih jauh peningkatan sumberdaya yang efisien merupakan suatu hal yang
harus dilakukan untuk sumberdaya yang dapat diperbaharui maupun tidak dapat
42 diperbaharui (Van Passel, 2009). Tetapi efisiensi bukan syarat perlu untuk
keberlanjutan. Efisiensi menempatkan masyarakat pada kemungkinan utilitas
frontier, tetapi juga mengandung arti mendistribusikan kekayaan antar generasi
(Howarth and Norgaard, 1990). Keberlanjutan tidak hanya tentang kesamaan
intergenerasi, tetapi juga meliputi elemen efisiensi dan kesamaan distribusi
(Stavins et al, 2002). Dengan demikian peningkatan efisiensi dapat dilihat sebagai
sebuah langkah penting dan syarat keharusan kearah keberlanjutan yang lebih
tinggi.
Salah satu pengukuran kinerja ekonomi suatu usahatani adalah mengukur
efisiensi. Beberapa karakteristik struktural dan manajerial dapat menerangkan
perbedaan dalam efisiensi. Untuk analisis yang lebih mendalam, maka variabel
lingkungan dan sosial dapat diintegrasikan ke dalam perhitungan kinerja
pertanian, dan sebagai aplikasinya dapat diukur dalam terminologi “nilai
keberlanjutan”. Nilai ini dapat digunakan untuk mengukur usahatani
berkelanjutan.
Untuk menilai keberlanjutan usahatani dapat dilakukan dengan dua
pendekatan. Pertama, menilai atau menganalisis kinerja ekonomi usahatani yaitu
mengukur efisiensi teknis sebagai determinan kinerja ekonomi dan kedua
mengintegrasikan penggunaan sumberdaya lingkungan ke dalam analisis ekonomi
untuk menilai keberlanjutan usahatani. Integrasi lingkungan ke dalam
perhitungan kinerja usahatani merupakan penelitian yang penting oleh karena itu
konsep dari nilai keberlanjutan untuk mengukur kontribusi kearah keberlanjutan.
Akhirnya pendekatan nilai keberlanjutan dikombinasikan dengan metode frontier
(analisis efisiensi) digunakan untuk membangun benchmark. Analisis empiris
memperlihatkan bahwa karakteristik struktural dan manajerial dapat menerangkan
perbedaan dalam kinerja usahatani. Keberadaan dan kelayakan dari perbedaan
dalam efisiensi antar usahatani penting untuk menerangkan perubahan struktur di
pertanian. Dalam jalan ini, teori produksi melalui analisis efisiensi memperkaya
‘pendekatan nilai keberlanjutan”
43
2.8. Penelitian Efisiensi dan Nilai Keberlanjutan pada Berbagai Usahatani Komoditas Pertanian
Penelitian tentang efisiensi sudah banyak dilakukan. Seperti telah dibahas
sebelumnya, efisiensi teknis merupakan sebuah ukuran relatif dari kemampuan
manajerial petani pada tingkat teknologi yang ada. Hal ini berarti efisiensi teknis
terjadi karena adanya perbaikan keterampilan teknis dan kemampuan manajerial
dari petani. Menurut Van Passel (2006) kapabilitas manajerial berhubungan
dengan umur, pendidikan baik formal maupun non formal, pengalaman, akses
terhadap penyuluhan, kredit, dan pasar.
Pengukuran efisiensi dengan menggunakan model frontier sudah banyak
dilakukan baik menggunakan pendekatan ekonometrik maupun pendekatan
matematika. Pendekatan ekonometrik menggunakan pendekatan deterministik
dan stokastik. Pendekatan deterministik diklasifikasikan menjadi parametrik dan
non parametrik, sedangkan pendekatan matematika menggunakan pendekatan
linear programming dan model yang digunakan adalah DEA. Berkaitan dengan
studi dengan menggunakan pendekatan deterministik frontier telah dilakukan
antara lain oleh: Bravo-Ureta et al (1990), Ali dan Chaudry (1990), Ekanayake
and Jayasuriya (1987 ), Bakhshoodeh (2001). Berkaitan dengan studi Stochastic
Production Frontier telah dilakukan antara lain oleh Abedullah et al., (2006),
Kalirajan dan Shand (1986), Battesse dan Coelli (1992), Wadud and White
(2000), Bravo-Ureta (1997), Coelli (2004). Studi empiris mengenai penelitian
Efisiensi teknik dapat dilihat pada Tabel 1.
Studi yang dilakukan oleh Bravo Ureta and Pinheiro (1993) di 14 negara
yang berbeda menemukan bahwa dari 30 studi yang dilakukan padi menempati
urutan pertama untuk analisis efisiensi dan negara yang banyak mengkaji adalah
India. Dalam studinya yang dilakukan pada tahun 2007, Bravo-Ureta et al.
menggunakan data yang dipublikasikan antara tahun 1979 sampai tahun 2005
diperoleh 167 studi efisiensi. Komoditas yang paling banyak dianalisis adalah
padi, diikuti oleh peternakan sapi perah, dan usahatani keseluruhan. Dalam studi
tersebut penelitian hortikultura relatif terbatas hanya sekitar 2 persen dari
keseluruhan penelitian.
44 Tabel 1. Ringkasan Beberapa Studi Empiris Efisiensi Teknik untuk Pertanian
Penulis Tahun Negara Produk Jumlah
Observasi Rata-
rata TE I. Non Parametrik Abay 2004 Turki Other crops 300 45.6 Chavas 1993 USA Seluruh pertanian 545 96.4 De Koeijer 2002 Belanda OthercCrops 467 63.0 De Koeijer 2003 Belanda Usahatani keseluruhan 57 55.0 Sherlund 2002 Cote d’Ivoire Padi 464 35.0 Wadud 2000 Jerman Padi 150 85.6 II. Parametrik Deterministik Frontier Ahmad 1996 USA Peternakan sapi perah 1072 76.5 Alvarez 2004 Spanyol Peternakan sapi perah 196 70.0 Bakhshoodeh 2001 Iran Gandum 164 92.0 Bravo-Ureta 1986 USA Peternakan sapi perah 222 82.2 Bravo-Ureta 1990 USA Peternakan sapi perah 404 63.3 Dawson 1991 Philipina Padi 22 59.0 Ekanayake 1987 Sri Lanka Padi 62 51.5 Hallam 1996 Portugal Peternakan sapi perah 340 62.5 Stochastic frontier Abdulai 2001 Nicaragua Jagung 120 72.0 Ahmad 1996 USA Peternakan sapi perah 1 072 81.0 Ali 1994 Pakistan Panen 436 24.0 Bakhshoodeh 2001 Iran Other grains 164 33.0 Battese 1992 India Padi 129 89.1 Battese 1996 Pakistan Gandum 400 68.0 Binam 2004 Kamerun Other crops 150 75.0 Bravo-Ureta 1997 Republik
Dominika Jagung, padi, potato dll
60 70.0
Coelli 2004 Papua New Guinea
Other crops 72 78.0
Ekanayake 1987 Sri Lanka Padi 62 75.0 Iraizoz 2003
Spanyol Tomat dan Asparagus 46
80.0 dan 89.0
Kaalirajan 2001 India Padi 500 67.5 Kumbhakar 1994 India Padi 227 75.5 Parikh 1995 Pakistan Other crops 436 88.5 Reinhard 1999
Belanda Peternakan sapi perah 1 545 89,4
Reinhard 2000 Belanda Peternakan sapi perah 1 535 89.5 Seyoum 1998 Ethiopia Jagung 20 86.6 Sherlund 2002 Cote d’Ivoire Padi 464 43.0
45
Tabel 1. Lanjutan
Penulis Tahun Negara Produk Jumlah Observasi
Rata-rata TE
Wadud 2000 Bangladesh Padi 150 79.1 Wilson 1998 UK Potato 140 89.5 Msuya et al.* 2008 Tanzania Jagung 233 60.6 Solis,D et al.* 2009 Amerika
Tengah Cash crop 465 78.0
Omonona et al.*
2010 Nigeria Cowpea 120 87.0
Obare et al.* 2010 Kenya Kentang 127 57.0 (AE)
Hasan* 2010 Bangladesh Gandum 293 84.0 Ahmed* 2011 Bangladesh Crops 80 0.69 Sukiyono* 2005 Indonesia Cabe merah 60 64.9 Udoh* 2005 Nigeria Sayuran 320 65.1 Abedullah, Baksh&Ahmad*
2006 Pakistan Kentang 100 84.0
Nwuru, J.C., 2011 Nigeria Kentang 120 77.0 Kibaara Tchale dan Sauer 2007
Bakhsh and Hassan 2008 Pakistan Wortel 100 0.75
Manganga* 2012 Malawi Kentang 200 83.0 Saptana* 2011
Indonesia Cabe merah besar dan keriting 296
90.0 dan 93.0
Sinaga* 2011
Indonesia Tomat dan kentang 125
70.0 dan 44.0
Sumber : Bravo-Ureta et al., 2007 (hanya sebagian diadaptasi) Tanda* menunjukkan data dan informasi terbaru
Sebuah survey komprehensif dilakukan oleh Bravo-Ureta (2007). Hasil
beberapa penelitian sebelumnya mengenai besaran efisiensi teknik dapat dilihat
pada Tabel 2. Dari 167 studi total yang dianalisis, 68 studi menggunakan
pendekatan deterministic dan 117 studi menggunakan pendekatan stochastic.
Secara keseluruhan pendekatan parametrik, penggunaan data panel, dan fungsi
produksi Cobb Douglas banyak digunakan dalam studi sebelumnya.
Banyak studi sudah mengkaitkan umur petani, pendidikan, akses terhadap
penyuluhan, akses pada kredit, agro-ekologi, luas lahan yang diusahakan, jumlah
persil yang dimiliki, jumlah tanggungan keluarga, gender, sewa, akses ke pasar,
46 akses pada teknologi (pupuk, pestisida, traktor, benih, intervensi pemerintah)
mempunyai pengaruh positif terhadap efisiensi teknik (Ahmad et al., 2002;
Basnayake and Gunaratne, 2002, Tchale dan Sauer, 2007 ).
Battesse and Coelli (1995), Bravo-Ureta dan Pinheiro (1993)
mengidentifikasi sejumlah variabel yang mempengaruhi efisiensi teknik di
pertanian. Gorton dan Davidova (2004) menyatakan bahwa variabel-variabel itu
dapat diklasifikasikan dalam dua katagori yaitu : human capital dan faktor
struktural. Human capital meliputi pendidikan formal dan informal, pengalaman,
training, dan umur. Faktor struktural meliputi: pendapatan keluarga, jumlah
tanggungan, akses terhadap kredit, status kepemilikan, jender, pendapatan diluar
usahatani, dan variabel lingkungan.
Tabel 2. Nilai Tengah Rata-rata Efisiensi Teknik (AMTE) berdasarkan Karakteristik Metodologi
Kategori Jml. Studi
Deterministik Stochastik AMTE Rata-rata Max. Min. Rata-rata Max. Min. Pendekatan: a.Parametrik 482 70.2 95.5 26.0 77.3 100.0 17.0 76.3 b. Non- Parametrik 87 78.3 100.0 35.0 - - - 78.3 c. Data Panel 340 77.5 96.0 35.0 78.4 96.0 43.0 78.2 d. Cross sectional 229 72.8 100.0 26.0 75.2 100.0 17.0 74.2 Functional forma a.Cobb- Douglas 308 72.6 95.5 41.0 76.3 100.0 17.0 75.7 b.Translog 146 68.1 77.6 49.0 79.7 99.8 24.0 78.9 c. Lainnya 28 64.6 79.7 26.0 73.2 86.4 66.2 68.3 Representasi Teknologi a. Primal 478 75.5 100.0 26.0 77.0 100.0 33.0 76.5 b.Dual 91 67.7 86.7 49.0 79.0 96.0 17.0 76.9 AMTE 74.6 77.3 76.6 Jumlah studi 159 410 569 Jml Pene- litian 68 117 167 Sumber : Bravo-Ureta et al (2007)
Bozoglu and Ceyhan (2007) menilai efisiensi teknik dari produksi sayuran
di Turki dengan menggunakan pendekatan SFA. Data yang digunakan adalah
data cross-section dari 275 usahatani sayuran dan model yang digunakan adalah
47
model fungsi produksi stochastic frontiert Cobb-Douglas. Analisis data
didasarkan pada data output usahatani sayuran dan input meliputi: lahan, tenaga
kerja, modal (meliputi pengeluaran untuk pupuk, pestisida, pengolahan lahan, dan
panen). Determinan yang menentukan efisiensi teknik meliputi umur petani,
pengalaman, pendidikan, ukuran keluarga, dummy pendapatan di luar usahatani,
dummy kredit, dummy partisipasi wanita, dan skor informasi. Hasil
memperlihatkan bahwa rata-rata efisiensi teknik adalah 0.82. Sumber penyebab
inefisiensi yang positif dan berpengaruh secara nyata adalah umur petani. Namun
pengalaman, pendidikan, penggunaan kredit, partisipasi wanita, dan skor
informasi mempunyai tanda negatif dan berpengaruh nyata terhadap inefisiensi
teknik.
Iraizoz et al. (2003) melakukan studi efisiensi teknik tomat dan asparagus
di Spanyol menggunakan pendekatan DEA dan SFA. Data yang digunakan
adalah data cross section dari 46 petani sampel dan fungsi produksi yang
digunakan adalah fungsi produksi stochastic frontier Cobb-Douglas untuk
pendekatan SFA. Analisis data didasarkan pada data output tomat dan asparagus
dan input meliputi: lahan, tenaga kerja, modal dan pengeluaran (meliputi
pengeluaran untuk pupuk, pestisida, dan pengeluaran lainnya). Temuan untuk
rata-rata efisiensi dengan menggunakan SFA, CRS dan VRS untuk tomat
berturut-turut adalah 0.89, 0.81, and 0.89. Selanjutnya untuk asparagus SFA,
CRS dan VRS berturut-turut adalah 0.80, 0.75, and 0.80, Mereka menyimpulkan
bahwa perhitungan efisiensi dengan pendekatan SFA dan VRS menghasilkan
hasil yang sama.
Wadud and White (2000) melakukan studi efisiensi teknik usahatani padi
di Bangladesh dengan menggunakan pendekatan DEA dan SFA. Data yang
digunakan adalah data cross section dari 150 petani sampel dan untuk pendekatan
SFA digunakan fungsi produksi Translog. Analisis data didasarkan pada data
output padi dan kombinasi input (unit biaya) meliputi: lahan, tenaga kerja, irigasi,
pupuk, dan pestisida. Determinan yang menentukan efisiensi teknik meliputi
umur petani, plot, pendidikan, infrastruktur irigasi (dummy), dan degradasi
lingkungan (dummy). Temuan untuk rata-rata efisiensi dengan menggunakan
SFA, CRS dan VRS untuk padi berturut-turut adalah 00.79, 0.79, and 0.86. Hasil
48 regresi memperlihatkan sumber penyebab inefisiensi yang berpengaruh nyata dan
positif (berdampak negatif pada efsiiensi) adalah infrastruktur irigasi dan
degradasi lahan.
Udoh ( 2005) mengaplikasikan fungsi produksi stochastic frontier untuk
mengestimasi output-oriented efisiensi teknik dari waterleaf. Hasil empiris
diperoleh bahwa rata-rata inefisiensi teknik adalah 65 persen. Hal ini
memperlihatkan bahwa produksi dapat ditingkatkan sebesar 35 persen dari
teknologi sekarang. Hasil juga memperlihatkan keberadaan dari constan return to
scale dan produksi marjinal positif dari input yang digunakan.
Selanjutnya Abedullah, Bakhsh dan Ahmad (2006) menggunakan
pendekatan fungsi produksi stokastik frontier untuk mengestimasi inefisiensi
teknis pada produksi kentang. Berdasarkan hasil observasi, ditemukan petani
kentang 84 persen sudah mencapai efisiensi teknis. Hal ini menunjukkan bahwa
untuk mencapai produk potensial dapat ditingkatkan melalui peningkatan
penggunaan sumberdaya. Koefisien dari pupuk kimia dan irigasi negatif, tetapi
tidak signifikan berimplikasi bahwa kedua input digunakan secara berlebihan.
Penelitian yang akan datang harus difokuskan pada menentukan tingkat
penggunaan pupuk optimum untuk produksi kentang. Tetapi koefisien dari irigasi
bertanda negatif disebabkan oleh kualitas air tanah yang miskin. Studi ini juga
mengidentifikasi bahwa jasa penyuluhan tidak diseminasikan didalam studi
karena hanya 37 persen dari petani mempunyai kontak dengan penyuluh. Namun
hasil koefisien yang besar dari jasa penyuluhan menunjukkan bahwa peningkatan
dalam penyuluhan ini dapat secara signifikan meningkatkan efisiensi teknis dari
produksi kentang.
Msuya, et al (2008) melakukan penelitian yang bertujuan untuk
mengestimasi tingkat efisiensi teknik dari 233 petani jagung di Tanzania,
menggunakan fungsi produksi stochastic frontier, juga untuk melihat faktor
penentu yang mempengaruhi inefisiensi sehingga dapat ditemukan cara untuk
meningkatkan produksi dan produktivitas petani gandum berskala kecil di
Tanzania. Efisiensi teknik bervariasi antara 1.1 persen sampai 91 persen dengan
rata-rata TE = 60.6 persen. Faktor yang mempunyai pengaruh negatif terhadap
efisiensi teknik antara lain: pendidikan rendah, ketidakaksesan terhadap kredit,
49
keterbatasan kapital, fragmentasi lahan, ketidaktersediaan input, dan tingginya
harga input. Petani yang mempunyai pendapatan di luar usahatani ditemukan
lebih efisien, dan petani yang menggunakan pestisida kimia kurang efisien dalam
mengusahakan usahataninya.
Bakhsh dan Hassan (2008) melihat hubungan antara efisiensi teknik
dengan kemampuan manajerial. Dalam penelitiannya dianalisis hubungan
efisiensi teknik dengan kemampuan manajerial dari petani wortel. Tingkat
pendidikan dan keterbukaan pada jasa penyuluhan merupakan faktor penentu dari
kemampuan manajerial petani wortel. Dengan menggunakan fungsi stochastic
frontier, pendidikan dan penyuluhan mempunyai pengaruh yang signifikan
terhadap efisiensi teknik. Dengan demikian peningkatan pendidikan dan
perluasan penyuluhan dapat meningkatkan efisiensi teknik dan mengurangi
pengunaan sumberdaya yang berlebihan.
Solis et al. (2006), melakukan studi untuk melihat bagaimana efisiensi
teknik dihubungkan dengan aktivitas dari dua program manajemen sumberdaya
alam di Amerika Tengah. Data diambil dari 639 petani di El Salvador dan
Honduras untuk mengestimasi fungsi stochastic frontier dan efek inefisiensi
teknik secara simultan. Temuan penting dari penelitian ini adalah peningkatan
efisiensi teknik secara finansial menguntungkan dan juga berkontribusi pada
keberlanjutan lingkungan. Selanjutnya diperoleh hubungan positif antara
produktivitas dengan diversifikasi output dan hubungan positif antara efisiensi
teknik dengan pendapatan di luar usahatani, human capital, dan penyuluhan
pertanian. Erosi menyebabkan produkstivitas menurun sehingga kemiskinan
pedesaan dan degradasi lingkungan meningkat.
Lebih lanjut Solis et al. (2006) mengukur pengaruh investasi konservasi
lahan terhadap efisiensi teknik pada rumah tangga petani di El Salvador. Alat
analisis menggunakan regresi switching untuk mengestimasi fungsi produksi
frontier. Hasil penelitian membuktikan bahwa petani dengan investasi konservasi
tinggi mempunyai tingkat efisiensi teknik lebih tinggi dibandingkan dengan petani
yang tidak mengkonservasi lahannya. Selanjutnya akses terhadap kredit
merupakan sumber inefisiensi yang penting dalam penelitian ini.
50
Studi mengenai hubungan antara aktivitas di luar usahatani dengan
efisiensi menjadi isu yang menarik. O’Neill dan Matthews (2001) menyatakan
ada hubungan negatif antara pendapatan di luar usahatani dengan efisiensi.
Akses terhadap kredit juga berpengaruh terhadap efisiensi. Ekanayake and
Jayasuriya (1987) menemukan hubungan positif dan signifikan antara akses
terhadap kredit dengan efisiensi teknik pada petani padi di Sri langka. Tetapi
Deininger et al (2004) menyimpulkan bahwa ketersediaan kredit pada petani lokal
tidak berdampak pada petani di Colombia. Hasil yang sama dikemukakan oleh
Rios dan Shively (2006), Binam et al (2003) untuk sampel petani di Vietnam dan
Ivory Coast.
Dampak dari penyuluhan pertanian dan training pendidikan, pengalaman
petani terhadap efisiensi teknik telah banyak dilakukan dalam beberapa studi.
Stefanou dan Saxena (1988) menemukan pengaruh positif dan signifikan antar
pendidikan dan pengalaman terhadap efisiensi, dan dalam beberapa kasus kedua
variabel tersebut diperlakukan sebagai faktor yang menerangkan kinerja
usahatani. Selanjutnya O’Neill and Matthew (2001) mempelajari peran
penyuluhan pertanian pada efisiensi di Irlandia dan menemukan hubungan positif
diantara kedua variabel tersebut.
Obare, Nyagaka, Nguyo dan Mwakubo (2010) melakukan penelitian untuk
melihat tingkat efisiensi alokatif sumberdaya dari petani kentang dan melihat
faktor yang mempengaruhi efisiensi alokatif. Pendekatan yang digunakan adalah
fungsi dual stochastic frontier dan model two-limit tobit. Hasil menunjukkan
pengalaman, akses terhadap kredit, akses terhadap penyuluhan, keanggotaan
dalam kelompok berpengaruh positif dan signifikan mempengaruhi efisiensi
alokatif. Hasan dan Islam (2010) menggunakan data cross section dari tiga
daerah di Bangladesh dan pendekatan fungsi produksi Cobb Douglas
menyimpulkan bahwa pendidikan dan training mempunyai pengaruh yang
signifikan terhadap inefisiensi teknik. Studi empiris faktor-faktor yang
mempengaruhi efisiensi disarikan pada Tabel 3.
51
Tabel 3. Studi Empiris Faktor-faktor yang Menentukan Inefisiensi Teknis dengan Pendekatan Stochastic Frontier
Penulis Lokasi/Negara Faktor yang Mempengaruhi Inefisiensi Msuya et al, 2008 Tanzania Umur (-), tingkat pendidikan primer (-),
dummy pupuk (-), pendapatan luar ustan (-), jumlah tanggungan keluarga (-), hanhoe (-), benih tradisional (-), keanggotaan kelompok (-), gender (-), akses kredit(-), plot (+), Kontak penyuluhan (+),
Solis,D et al.,2009 Amerika Tengah Umur (+), pendidikan (-), jender (-), penyuluhan (-), akses kredit (-), kepemilikan (+), partisipasi (-), pelatihan (-).
Omonona et al.,2010
Nigeria Luas lahan (+), umur (-), penyuluhan (+), keanggotaan (+) dan pengalaman (+)
Obare et al., 2010 Kenya Faktor yang mempengaruhi efisiensi alokatif semuanya bertanda positif (+) yaitu: jender, umur, pendidikan, pengalaman, kontak penyuluhan, akses kredit, keanggotaan
Hasan, 2010 Bangladesh Luas lahan (+), umur (-), pendidikan (-), pengalaman (-), jumlah tanggungan (-), penyuluhan (+), pelatihan gandum (-)
Ahmed,2011 Bangladesh Fragmentasi lahan (-), pendidikan (-), kredit (-), jumlah tanggungan (+)
Sukiyono,2005 Indonesia Umur (-), pendidikan (+), pengalaman (-), luas lahan (+)
Udoh, 2005 Nigeria Pendidikan (-), umur (+), pengalaman (-) Abedullah, Baksh&Ahmad, 2006
Pakaistan Umur (-), pendidikan (-), status pemilik (+), konsultasi ke penyuluh (-), konsultasi ke dealer input (-), areal sayuran (-)
Sherlund et al, 2002
Coˆte d’Ivoire Afrika Barat
Varietas padi (-), pengalaman (-), jender (-), umur (+), pendidikan (+), plot (+), variabel manajetrial (+)
Saptana,2011 Indonesia Rasio pendapatan (-), luas lahan garapan (-),pendidikan (-), pengalaman (-)
Sinaga,2011 Indonesia Pendidikan (+), pengalaman (-), kepemilikan (-) dan akses terhadap kredit (+)
Reddy, 2002 Fiji Penyewa: umur (+), pendidikan (-), status lahan (-), kelas lahan (+), luas lahan (-) Pemilik : umur (+), pendidikan (-), status lahan (-), kelas lahan (+), luas lahan (-)
Fauziyah (2010) Indonesia Umur (+), pendidikan (-), pendapatan non pertanian (-), teknik budidaya (-), kelompok tani (-), penyuluhan pertanian (-)
Ahmad, Chaudry, and Iqbal, 2002
Pakistan Umur (+), pendidikan (-), pemilik (-), penyewa (-), penyuluhan (-), kredit (-), luas lahan (-)
Bakhsh, Khuda dan Sarfraz Hassan ,2008
Pakistan Umur (-), pendidikan (-), luas lahan (-), akses penyuluhan (-), distrik (-), dummy input (+)
52 Tabel 3. Lanjutan
Penulis Lokasi/Negara Faktor yang Mempengaruhi Inefisiensi Kalirajan dan Flinn, 1983
India Pendidikan (-), pengalaman (-), Pengetahuan (-), Kontak penyuluhan (-), penggarap bagi hasil (+)
Ekanayake, 1987 Srilanka Petani zona barat (-), kemampuan baca tulis (-), petani paruh waktu (+), kredit (-), petani terbelit utang (+), varietas berumur pendek yang mudah ditanam (-)
Ali dan Flinn, 1989
Pakistan Pendidikan (-), menyewa (-), pekerjaan off-farm (+), ketidaktersediaan kredit (+), ukuran lahan/usahatani (+), pemilikan sumur (-), penggunaan traktor (-), hambatan air/irigasi (+), tanam terlambat (+), terlambat memupuk (-)
Wilson et al., 1998
Inggris Proporsi lahan irigasi (-), keikutsertaan kelembagaan koperasi (-), rotasi tnaman(-)*
Nwuru, J.C., 2011 Nigeria Umur (-), jumlah tanggungan (+), luas lahan (-), pendidikan (-), akses kredit (+), keanggotaan (+), kunjungan penyuluh (+), jender (-).
Maganga et al, 2012
Malawi Pekerjaan di luar usahatani (+), pendidkan (-), kunjungan penyuluh (-), kredit (-), pengalaman (-), tingkat spesialisasi (-), umur (+), Ukuran keluarga (+), frekuensi penyaiangan gulma (-)
Sumber: diadaptasi dari berbagai sumber
Dari berbagai literatur sebelumnya, masih sedikit studi memperhatikan
hubungan antara keberlanjutan lingkungan dengan efisiensi usahatani. Salah
satu studi yang dilakukan oleh Pascual (2005) dengan menggunakan model
frontier tetapi dengan sedikit sampel, menyimpulkan bahwa peningkatan efisiensi
teknik dapat dilakukan melalui alokasi input yang lebih baik dan intensifikasi
lahan secara signifikan dapat mengurangi erosi lahan berkaitan dengan praktek
usahatani slash-and-burn di Meksiko. Wadud dan White (2000) juga menemukan
adanya hubungan positif antara degradasi lahan rendah dengan efisiensi teknik
untuk petani padi di Bangladesh. Otsuki et al (2002) menemukan bahwa
kebijakan publik dihubungkan dengan kepemilikan lahan dapat mengurangi
degradasi lingkungan dan dapat meningkatkan efisiensi teknik di Amazon Brazil.
Aplikasi model frontier untuk komoditas hortikultura masih jarang
ditemukan di Indonesia. Berdasarkan literatur sebelumnya dijumpai pada studi
Sukiyono (2005) pada usahatani cabai merah di Rejang-Lebong Bengkulu,
53
Saptana (2011) pada usahatani cabai merah di Jawa Tengah, dan Sinaga (2011)
pada usahatani tomat dan kentang di Sumatera Utara. Dalam penelitiannya
Saptana (2011) menggunakan model fungsi produksi stochastic frontier yang
memfokuskan pada pengaruh perilaku petani dalam menghadapi risiko produksi
terhadap alokasi input usahatani cabai merah besar dan cabai keriting.
Dalam penelitian ini tidak semua variabel penyebab inefisiensi
dimasukkan ke dalam model. Contohnya: akses ke dealer/kios sarana produksi,
irigasi, jumlah persil, tidak dimasukkan ke dalam model. Akses ke dealer/kios
sarana produksi tidak dimasukkan ke dalam model karena hampir semua petani
mempunyai akses ke kios/sarana produksi. Demikian halnya dengan akses ke
pasar input tidak dimasukkan ke dalam model karena hampir 90 persen petani
menjual ke pedagang pengumpul sehingga tidak dimungkinkan ada variasi data.
Demikian halnya sistem penanaman (konservasi) dimasukkan ke dalam model
efisiensi mewakili variabel lingkungan. Sementara itu, variabel kemiringan
lahan dimasukkan ke dalam model fungsi produksi karena produktivitas usahatani
kentang dan kubis dipengaruhi oleh kemiringan lahan dan dummy lokasi
mewakili agroekologi.
2.8.1. Penelitian Pengukuran Kinerja Usahatani Berkelanjutan
Pendekatan untuk menilai usahatani berkelanjutan sangat banyak dan
berbeda. Beberapa pendekatan antara lain: (i) laporan keuangan (ii) eco-effciency
(iii) pendekatan indikator, (iv) analisis multi-kriteria, (v) analisis efisiensi (vi)
life cycle analysis dan (vii) farm level modeling (Van Passel et al, 2009).
(1). Pendekatan Laporan Keuangan
Penelitian dalam menilai keberlanjutan usahatani melalui pendekatan
laporan keuangan telah dilakukan oleh Paccini et al. (2004) mengembangkan
sebuah kerangka kerja yang menyeluruh dan terintegrasi antara ekonomi-
lingkungan untuk mengevaluasi keberlanjutan usahatani dari tiga sistem
pertanian di tingkat usahatani, site-level, dan kawasan. Mereka menemukan
bahwa sistem organik yang ramah lingkungan lebih baik dari sistem
konvensional. Namun tidak berarti sistem ini berlanjut, ketika dibandingkan
dengan kapasitas dan resilience ekosistem tertentu.
(2). Pendekatan Eco-efficiency
54
Dalam menelaah usahatani berkelanjutan melalui pendekatan eco-
efficiency, sebuah definisi yang muncul dari konsep keberlanjutan adalah
“sustainable development is an example of increasing eco-efficiency (Lawn,
2006). Ukuran eco-efisiensi secara luas telah digunakan untuk mengukur
keberlanjutan usahatani, salah satunya digunakan oleh OECD (1998). Eco-
efficiency merujuk pada manajemen ekonomi yang lebih baik dengan tekanan
lingkungan yang lebih kecil. Definisi Eco-efficiency adalah rasio dari nilai yang
diciptakan/dihasilkan per unit dampak lingkungan (Figge dan Hahn, 2005).
Figge dan Hahn (2004) memperkenalkan sebuah konsep dari nilai
keberlanjutan, sebuah pendekatan baru untuk mengukur keberlanjutan,
berdasarkan pada penilaian dari nilai kapital /ekonomi kapital. Studi tersebut
dilakukan untuk meneliti hubungan antara nilai dan kapital, yang secara jelas
relevan dalam konteks analisis keberlanjutan intergenerasi. Peneliti
mengembangkan sebuah metode valuasi untuk menghitung biaya kapital
berkelanjutan dan nilai keberlanjutan yang diciptakan dari perusahaan. Metode
lainnya untuk mengembangkan analisis eco-efficiency adalah score keseimbangan
keberlanjutan (Figge et al, 2002). Aplikasi Eco-efficiency untuk pertanian
digunakan oleh Meul et al. (2007).
(3). Pendekatan Indikator
Rigby et al. (2000) mengembangkan indikator keberlanjutan tingkat
usahatani, berdasarkan pada pola penggunaan input untuk sampel 80 perusahaan
organik dan 157 produsen konvensional di UK. Indikator ini diturunkan dari
indikator yang digunakan oleh Taylor et al. (1993), dan Gomez et al. (1996).
Meskipun fokus penelitian ini pada isu lingkungan, namun analisis mereka
menyediakan beberapa konsep untuk mengukur keberlanjutan usahatani seperti
pembobotan, presentasi, dan validasi.
Nambiar (2008) dalam penelitiannya menggunakan ASI (Agricultural
Sustainability Index) untuk mengukur pertanian berkelanjutan sebagai fungsi dari
indikator biofisik, kimia, dan sosial ekonomi. Niyongabo (2004) melakukan
penelitian yang bertujuan untuk melihat bagaimana petani di Gikongoro Rwanda
dapat meningkatkan produktivitas tanaman pangan dengan mengaplikasikan
prinsip pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture). Studi ini mengekspos
55
faktor-faktor tekanan demografi, penebangan hutan, erosi tanah, dan degradasi
lahan yang diduga saling berhubungan dan saling mempengaruhi. Hasil
penelitiannya menyimpulkan bahwa faktor yang mempengaruhi rendahnya
produktivitas di Ruwanda adalah tekanan populasi, erosi tanah, kelangkaan lahan,
penggundulan hutan, penyuluhan konvensional, serta konservasi. Produktivitas
yang rendah mengakibatkan ketidakamanan pangan, banyaknya penduduk keluar
desa (migrasi), dan terjadinya penebangan hutan oleh penduduk setempat.
Pertanian dan lingkungan berkelanjutan didasarkan pada peningkatan human
asset, social asset, physical asset dan financial aset
Selanjutnya hasil studi menyatakan bahwa pertanian tradisional atau industri
pertanian tidak dapat memecahkan masalah ketidakamanan pangan dan dapat
meningkatkan degradasi lingkungan. Sebaliknya pertanian berkelanjutan dapat
meningkatkan/memperbaiki secara simultan produktivitas pertanian, keamanan
pangan, dan degradasi lingkungan walaupun membutuhkan biaya.
Zhen, et al. (2005) melakukan studi untuk menilai aspek ekonomi,
lingkungan dan sosial dari tanaman utama di NCP Cina berdasarkan pada seleksi
indikator spesifik lokasi serta menentukan/menetapkan ambang pembatas.
Informasi penting untuk studi ini diperoleh melalui survey 270 rumah tangga
usahatani untuk 4 desa di Kabupaten Ninggjin. Variabel yang digunakan adalah
analisis tanah, uji kimia dari konsentrasi nitrogen di dalam tanah dan tanaman,
observasi ladang dan diskusi dengan informan kunci. Hasil analisis diekspos
untuk seluruh sistem usahatani dalam area untuk keberlanjutan ekonomi. Biaya
yang riil dari degradasi lingkungan meningkat sejalan dengan penurunan air
tanah, salinitas tanah, pemadatan dan hilangnya lahan setiap tahun, kontaminasi
nitrogen dalam air tanah dan produk pertanian, serta kehilangan serangga dan
hama predator.
Hasil analisis sensitivitas memperlihatkan bahwa produksi tanaman sensitif
terhadap perubahan harga output dan biaya input, yang mengimplikasikan sebuah
situasi produksi yang tidak stabil pada periode panjang. Hanya sekitar 6 persen
dari usahatani yang disurvey mengaplikasikan rekomendasi penggunaan input
seimbang. Studi ini menekankan bahwa usahatani praktis, yang secara ekonomi
berlanjut, belum tentu berlanjut pada tingkat biaya dari lingkungan, selain itu
56 dapat menyebabkan kerusakan parah pada lingkungan dan kehilangan ekonomi
dalam jangka panjang.
De Prada et al. (2003) bertujuan untuk menganalisis sebuah fungsi
produksi yang dihubungkan dengan penggunaan lahan, land tenure, dan ukuran
lahan dengan nilai total dari output tanaman serta pertanian berkelanjutan. Isu
sustainability dibandingkan pada sistem usahatani yang berbeda. Isu
keberlanjutan dapat dilihat dari dua komponen langsung yaitu sistem usahatani
dan tillage. Petani dengan lahan kecil sangat melindungi produktivitas jangka
panjang dan sedikit kerusakan lingkungan. Dipandang dari sudut keberlanjutan,
teknologi tillage meningkatkana kondisi tanah jangka panjang, mengurangi erosi
tanah, dan mengurangi water runoff dibandingkan tillage tradisional. Hal ini
berarti usahatani kecil lebih confirm terhadap persepektif ekonomi dan
lingkungan. Usahatani kecil melindungi lahannya dengan mengadopsi sistem
konservasi, sedangkan usahatani besar melindungi lahannya dengan sistem
usahatani terintegrasi yaitu lebih banyak diversifikasi dan rotasi tanaman.
Ceyhan (2010), melakukan penelitian di Samsum Provinsi Turki untuk
menilai keberlanjutan, indikator dibagi ke dalam tiga komponen yaitu dimensi
ekonomi, sosial, dan ekologi/lingkungan. Data yang digunakan dalam penelitian
ini menggunakan survey dari 300 petani yang dipilih secara acak. Hasil
menyimpulkan bahwa tingkat pengembalian asset yang rendah dari investasi dan
kurangnya keinginan berinvestasi masa yang akan datang merupakan faktor
ekonomi penting yang menghambat keberlanjutan. Infrastruktur dan masalah
kepemilikan merupakan masalah sosial penting untuk keberlanjutan. Penggunaan
pupuk kimia yang berlebihan, cadangan lahan yang berkualitas tinggi untuk non
pertanian, kurangnya air irigasi, dan erosi adalah hambatan lain untuk
keberlanjutan.
2.8.2. Penelitian Usahatani Berkelanjutan dengan Pendekatan Efisiensi
Penelitian pertanian berkelanjutan dalam terminologi efisiensi telah
dilakukan oleh Tyteca (1998), Callens dan Tyteca (1999), Reinhard (1999,
2002), De Koeijer et al (2002), Abay (2004), Okike et al (2004), Sauer dan
Abdallah (2007), dan Van Passel et al (2009). Penelitian nilai keberlanjutan yang
57
dikaitkan dengan efisiensi melalui pendekatan stochastic frontir hanya dapat
ditemukan pada penelitian Van passel (2009).
Tyteca (1998) memperlihatkan bahwa prinsip ekonomi produksi dapat
digunakan untuk menjelaskan indikator keberlanjutan pada tingkat usahatani.
Callens dan Tyteca (1999) menggunakan indikator berdasarkan pada konsep cost-
benefit analysis dan prinsip efisiensi produktif. Selanjutnya Callens dan Tyteca
(1999) menyatakan bahwa efisensi merupakan sebuah syarat keharusan (tetapi
bukan kecukupan) kearah keberlanjutan. Mengembangkan efisiensi merupakan
langkah penting kearah lebih berkelanjutan karena hal tersebut dapat mentolelir
konflik tujuan ekonomi dan lingkungan yang dapat dicapai secara simultan.
Keberlanjutan dapat ditingkatkan oleh strategi yang mendorong penggunaan
sumberdaya yang efisien dalam sistem ekonomi (van Passel, 2009). Tepatnya,
efisiensi membentuk kunci kebijakan, perencanaan dan pendekatan bisnis untuk
pembangunan berkelanjutan.
Reinhard et al. (1999) mengestimasi efisiensi teknik dan lingkungan dari
sebuah usahatani peternakan di Belanda. Selanjutnya Reinhard et al. (1999),
mengestimasi efisiensi teknik dan lingkungan dengan menggunakan panel data
usahatani susu di Belanda. Kelebihan nitrogen muncul dari aplikasi jumlah
pemupukan dan pupuk kimia yang berlebihan, diperlakukan sebagai sebuah input
lingkungan yang tidak baik (berbahaya). Untuk mengestimasi efisiensi teknik
digunakan model translog produksi stokastik frontier. Efisiensi lingkungan
diestimasi sebagai efisiensi teknik input-oriented dari input single yaitu surplus
nitrogen dari masing-masing usahatani. Rataan dari efisiensi teknik output cukup
tinggi 0.894, tetapi rataan efisiensi lingkungan input hanya 0.441. Usahatani susu
yang intensif secara teknik dan aman bagi lingkungan lebih efisien daripada usaha
ekstensif.
Hasilnya menyatakan terdapat hubungan positif antara efisiensi
lingkungan dengan intensitas usahatani. Pengukuran efisiensi lingkungan dapat
mengidentifikasi usahatani seberapa besar pengurangan lingkungan yang aman
terhadap output maupun penggunaan input konvensional. Dalam model ini
diperlihatkan bahwa efisiensi lingkungan dapat diestimasi dengan model translog
58 stokastik frontier, dan ada hubungan positif antara efisiensi teknik dengan
efisiensi lingkungan.
Efisiensi lingkungan didefinisikan sebagai rasio minimal untuk
mengobservasi penggunaan input detrimental. Reinhard et al. (2002)
mengembangkan dan mengimplementasikan sebuah metodologi untuk
menganalisis sumber dari variasi dalam efisiensi lingkungan antar produsen pada
usahatani susu di Belanda. Peneliti memformulasikan dua tahap model. Tahap
pertama, digunakan analisis stochastic frontier untuk mengestimasi efisiensi
teknik dan efisiensi lingkungan. Tahap kedua, kembali mengggunakan stokastik
frontier untuk meregresikan estimasi skor efisiensi lingkungan pada variasi
teknologi, lingkungan fisik, dan variabel manajemen. Pada tahap ini dilakaukan
estimasi dampak dari masing-masing explanatory variable terhadap efisiensi
lingkungan, dan diturunkan estimasi kondisional efisiensi lingkungan dari
komponen one-side error. Hasil analisis menemukan bukti relatif rendahnya
tingkat efisiensi lingkungan, dan efisiensi lingkungan dapat ditingkatkan melalui
sejumlah kebijakan, meliputi provisi kepada petani dengan lebih banyak tanggap
terhadap keseimbangan nutrient dari usaha mereka.
De Koeijer et al. (2002) menggunakan kerangka kerja konseptual untuk
mengukur keberlanjutan usahatani berdasarkan basis teori efisiensi. Peneliti
mengkuantifikasi efisiensi keberlanjutan dan efisiensi teknik untuk sampel petani
sugar beet Belanda dan mereka menemukan sebuah korelasi positif antara
keberlanjutan dan efisiensi teknis. Lebih jauh perbedaan dalam efisiensi antar
petani kuat di dalam dan antar tahun. Selanjutnya De Koeijer et al (2002)
mengembangkan model konseptual perilaku produksi berkelanjutan, dan
menghadirkan sebuah teknik perhitungan untuk meneliti/menguji keberlanjutan,
mendemontrasikan pendekatan serta menilai apakah efisiensi teknik dan
keberlanjutan selaras atau tidak. Peneliti mengukur keberlanjutan berdasarkan
atribut sosial-ekonomi dan bio-ekologi. Peneliti menggunakan Model DEA untuk
mengukur kemampuan bertahan dari petani sugar bit di Belanda. Peneliti
mengasumsikan keberlanjutan sebagai efisiensi lingkungan ditambah kemampuan
ekonomi. Dalam hasilnya dinyatakan bahwa “jika petani meningkat efisiensi
tekniknya dari penggunaan input tercemar, mereka secara simultan mencapai
59
tujuan ekonomi dan lingkungan. Ini berarti bahwa peningkatan efisiensi teknik
dapat mendukung keberlanjutan.
Pendekatan lainnya digunakan oleh Van Calker et al. (2004). Peneliti
menggunakan model tingkat usahatani untuk melihat bagaimana penyesuaian
manajemen usahatani dan kebijakan lingkungan mempengaruhi keragaman
indikator keberlanjutan. Van Calker et al. (2006) menggunakan kombinasi multi
atribut dengan goal programming untuk mengembangkan fungsi keberlanjutan
keseluruhan untuk usahatani peternakan di Belanda. Disamping data pada tingkat
atribut, stakeholders, dan para ahli digunakan untuk menilai atribut baik subjektif
maupun objektif. Pacini et al (2004) mengembangkan sebuah model ekonomi-
ekologi untuk mengevaluasi trade off ekonomi-lingkungan pada tingkat usahatani
dan regional.
Sauer dan Abdallah (2007) melakukan studi produksi tembakau di
Tanzania. Peneliti mencari hubungan antara efisiensi, biodiversitas dan
penggunaan sumberdaya. Hasilnya menyatakan bahwa peningkatan efisiensi
produksi tembakau kondusif untuk keberlanjutan lingkungan di Tanzania. Hasil
menyatakan bahwa mayoritas petani sudah berhasil mengembangkan dengan baik
sistem produksi, dengan kata lain sebuah jaminan keberlanjutan. Tenaga kerja
menjadi faktor pembatas dalam keberlanjutan sosial ekonomi di Machadinho.
Hasil model memperlihatkan bahwa jumlah tenaga kerja tidak menjustifikasi
produksi padi, jagung, dan kopi. Tanaman kopi adalah labor intensif yang
menurunkan produksi dalam hubungannya dengan tanaman lainnya. Gabungan
dari tanaman tahunan merupakan dasar keberlanjutan usahatani jika ukuran
ekologi diadopsi.
Okike et al.(2004) memasukkan variabel ekologi dan sosial ekonomi
dalam modelnya. Intensifikasi pertanian menghasilkan interaksi yang kuat antara
crop-livestock dan integrasi ini sebagai strategi untuk meningkatkan produksi
pertanian dan produktivitas di Sub Sahara Afrika. Data yang digunakan di Afrika
Barat sebanyak 559 rumahtangga petani dari Sudan Savana dan Northern Guinea
Savanna, digunakan untuk studi faktor yang mempengaruhi efisiensi produksi
sebagai adanya perbedaan sosial ekonomi dengan pendekatan pada kepadatan
penduduk dan akses ke pasar.
60
Dengan mengontrol variabel lingkungan dan potensi pertanian, studi ini
memperlihatkan bahwa peningkatan infrastruktur dan fasilitas perbaikan/
distribusi input pertanian dan penjualan output akan meningkatkan produktivitas.
Tetapi kemampuan manajerial tidak mengikuti pola yang sama. Terutama di
Sudan, inefisiensi produksi dipengaruhi oleh pelayanan penyuluhan yang tidak
efisien dan pengiriman kredit.
Van Passel et al. ( 2009), mengembangkan suatu metodologi yang
dibangun untuk melihat dan menilai keberlanjutan dengan dua metodologi yaitu
mengkombinasikan pendekatan nilai keberlanjutan dengan tolok ukur efisiensi
frontier. Metodologi nilai keberlanjutan mencoba menghubungkan keragaan
usahatani/perusahaan pada penggunaan sumberdaya yang berbeda. Pendekatan
ini menilai kontribusi untuk keberlanjutan usahatani dengan membandingkan
produktivitas sumberdaya dengan produktivitas dari sumberdaya yang dijadikan
tolok ukur (benchmark). Efisiensi ini dihitung dengan mengestimasi fungsi
produksi frontier yang menunjukkan kemungkinan produksi maksimal. Pada
penelitian ini pendekatan nilai keberlanjutan dikombinasikan antara metode
analisis efisiensi dengan tolok ukur penilaian keberlanjutan
2.8.3. Penelitian Pendekatan Nilai Keberlanjutan (Sustainable Value)
Beberapa pendekatan untuk menilai keberlanjutan belum banyak
dilakukan, salah satunya adalah perhitungan nilai keberlanjutan (Sustainable value
= SV) yang diperkenalkan oleh Figge dan Hahn (2004), 2005). SV bertujuan
untuk menghitung biaya kapital untuk keberlanjutan dan nilai keberlanjutan yang
diciptakan oleh perusahaan dan membandingkannya dengan penggunaan
sumberdaya dari tolok ukur. Jadi SV menyediakan sebuah alat untuk menentukan
bagaimana sumberdaya perusahaan akan digunakan dalam mencapai kontribusi
tertinggi terhadap keberlanjutan.
Beberapa penelitian untuk mengevalusi usahatani berkelanjutan dengan
menggunakan pendekatan SV dapat dilihat pada: Figge dan Hahn ( 2002, 2004,
2005), Erhman dan Kleinhanss ( 2008), Illge et al., (2008), Molnar (2008), Jan et
al., (2008), Kuosmanen and Kuosmanen (2009a, 2009b), Van Passel et al., (2009).
Figge dan Hahn (2004) memperkenalkan sebuah konsep dari nilai
keberlanjutan, yang merupakan sebuah pendekatan baru untuk mengukur
61
keberlanjutan didasarkan pada penilaian dari nilai kapital /ekonomi kapital.
Mereka meneliti hubungan antara nilai dan kapital, yang secara jelas relevan
dalam konteks analisis keberlanjutan intergenerasi. Mereka mengembangkan
sebuah metode valuasi untuk menghitung biaya kapital berkelanjutan dan nilai
keberlanjutan yang diciptakan dari perusahaan. Metode lainnya untuk
mengembangkan analisis eco-efisiensi adalah score keseimbangan keberlanjutan
dapat dilihat pada (Figge et al, 2002) dan aplikasi eco-efisiensi untuk pertanian
digunakan oleh Meul et al. (2009).
Ehrmann and Kleinhanss (2008) menilai keberlanjutan melalui pendekatan
efisiensi dengan membandingkan pendekatan DEA dan SVA. Variabel yang
dimasukkan dalam analisis adalah variabel ekologi dan ekonomi. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa return to cost (RtC) pada usaha peternakan dengan
pemilikan sapi > 100 ekor mempunyai nilai RtC lebih besar dari 1, usaha
peternakan dengan hasil susu > 10000 kg/sapi/tahun dua kali lebih tinggi
daibandingkan dengan hasil susu 4000 kg/sapi/ha. Nilai SVA berkisar antara -
327.307€ - 987.575€. Rata-rata SVA negatif (-2.188) menunjukkan bahwa
kebanyakan usaha peternakan di Jerman mempunyai tingkat keberlanjutan < 0.79
persen usaha peternakan mempunyai nilai keberlanjutan antara -20 000€ - 20
000€ dan 49 persen usaha peternakan mempunyai nilai keberlanjutan antara -10
000€ sampai 10 000€.
Dengan membandingkan hasil pendekatan DEA dan SVA diperoleh hasil
bahwa dalam kebanyakan indikator memperlihatkan hasil yang sama. Nilai
keberlanjutan dengan DEA berkorelasi tinggi, dan berkorelasi rendah dengan
indikator ekologi. Hasil SV untuk indikator ekonomi berkebalikan dengan
indikator ekologi. Erhmann menyimpulkan bahwa perbedaan pendekatan dalam
mengukur keberlanjutan akan menghasilkan perbedaan ranking keberlanjutan.
Disarankan untuk penelitian selanjutnya perlu untuk membuktikan metode
aplikasi yang lebih andal (reliabel) untuk mengevaluasi keberlanjutan usahatani.
Jan et al. (2008) menggunakan pendekatan ‘Sustainable value’ untuk
menilai keberlanjutan usaha peternakan di Swiss. Data dikumpulkan dari 480
sampel peternakan susu sapi perah. Hasil menyatakan bahwa terdapat hubungan
positif antara kinerja keberlanjutan dengan kinerja usahatani. Intensitas
62 penggunaan konsumsi intertermediate merupakan faktor penentu dari efisiensi
keberlanjutan. Usahatani yang mempunyai nilai keberlanjutan tinggi ditemukan
menggunakan konsumsi intermediate lebih efisien, keuntungan kotor mempunyai
pengaruh negatif terhadap efisiensi keberlanjutan, sedangkan karakteristik kultural
dan karakteristik sosial dari petani mempunyai pengaruh yang kuat terhadap
efisiensi keberlanjutan.
Penelitian ini menggunakan pendekatan efisiensi teknik untuk mengukur
kontribusi petani terhadap keberlanjutan seperti yang dilakukan oleh Van Passel
(2009). Model yang digunakan adalah fungsi produksi Cobb Douglas Frontier
sebagai benchmark. Untuk melihat faktor-faktor yang mempengaruhi produksi
usahatani kentang dan kubis serta inefisensi digunakan pendekatan Fungsi
Produksi Stochastic Frontier Cobb Douglas, dan untuk mengukur efisiensi
alaokatif dan ekonomi digunakan model biaya dual yang diturunkan dari fungsi
produksi Cobb Douglas.
III. KERANGKA PEMIKIRAN
3.1. Pendekatan Stochastic Frontier dan Pengukuran Efisiensi Teknik
Aigner, Lovell dan Schmidt (1977), Meeusen dan van den Broeck (1977)
dan Batesse dan Corra (1977) secara simultan mengembangkan Model Stochastic
Frontier (SFM). Ide penting dibalik model frontier stokastik adalah bawa
kesalahan digabung ke dalam dua bagian. Komponen simetrik mengizinkan
variasi random dari frontier antar perusahaan, dan menangkap pengaruh kesalahan
pengukuran, gangguan statistik lain, dan gangguan random di luar kontrol
perusahaan. Komponen satu-sisi menangkap pengaruh inefisiensi relatif terhadap
frontier statistik. Model frontier produksi stokastik ditulis sebagai:
Y = f (Xi, β ) + i ............................................................................. (6)
Yi = produksi dari usahatani ke i;
Xi = vektor k×1 dari (transformasi) jumlah output usahatani ke-i.;
β = vektor dari parameter yang tidak diketahui;
i = ”composed error term”
Aigner, Lovell, dan Schmidt (1977) dan van den Broek (1977) mendefinisikan:
i = v – ui ............................................................................................ (7)
Sehingga persamaan (6) dapat ditulis :
( ) ( )ittiitit UVXfY −+= β , i=1,...,N, .......................................(8)
Vit adalah two-sided random error (-∞ < v < ∞) variabel random yang
diasumsikan iid (identically independenly distributed) (v~ N(0,σV2), yang
menangkap efek stochastic di luar kontrol petani (misalnya iklim, bencana alam
dan lainnya) dan gangguan statistik lainnya. Ui merupakan variabel random non-
negatif ( 0 ) yang diasumsikan disebabkan oleh inefisiensi teknis dalam
produksi dan juga sering diasumsikan sebagai iid, (u~N[0, ]).
Pada setiap model frontier, simpangan yang mewakili gangguan statistik
(statistical noise) diasumsikan independen dan identik dengan distribusi normal.
Distribusi yang paling sering diasumsikan adalah setengah-normal (half-normal).
64 Jika dua simpangan diasumsikan independen satu sama lain serta independen
terhadap input, dan dipasang asumsi distribusi spesifik (normal dan setengah-
normal secara berturut-turut), maka fungsi likelihood dapat didefinisikan dan
penduga maximum likelihood (maximum likelihood estimators) dapat dihitung.
Cara lain yang dapat digunakan adalah melalui estimasi model dengan
OLS dan mengkoreksi konstanta dengan menambahkan suatu penduga konsisten
dari E (ui) berdasarkan momen yang lebih tinggi (dalam kasus setengah-normal,
digunakan momen kedua dan ketiga) dari residual kuadratik terkecil. Setelah
model diestimasi, nilai-nilai (vi-ui) juga dapat diperoleh. Pada pengukuran
efisiensi, penduga untuk uj juga diperlukan. Sesuai saran Jondrow et al.(1982),
kemungkinan yang paling relevan adalah E(ui|vi-uj) yang dievaluasi berdasarkan
nilai-nilai (vi-ui) dan parameter-parameternya. Dalam makalah Jondrow et al.
(1982) juga dikemukakan formula E(u|v -u) untuk kasus normal dan setengah
normal (Greene, 1993)
Maksimum likelihood dari persamaan (8) mengestimasi output yang
konsisten untuk β, λ, dimana β = parameter yang tidak diketahui, λ = /
dan . Jondrow (1982) memperlihatkan efisiensi teknik adalah:
//
………………..……………… (9)
Dimana = , f* = fungsi standar normal, F* = fungsi distribusi
Untuk model Fungsi Produksi Cobb-Douglas dapat dituliskan:
ln ∑ ln ) .......................................... (10)
Efisiensi teknik dapat diukur dengan menggunakan formulasi:
TEi =
= = ……………………….… ( 11)
Dengan TEi = efisiensi petani ke-i. Nilai TE akan berkisar antara 0 < TE < 1.
Greene (1993) dan Zamorano (2004) menyatakan bahwa parameter dari
model stochastic dapat diestimasi dengan menggunakan metode Maximum
Likelihood (ML) atau Corrected Ordinary Least Square (COLS) . Selanjutnya
Coelli (2005) menyatakan bahwa estimasi dengan metode ML lebih efisien
dibandingkan dengan estimasi COLS. Greene (1993) menyatakan bahwa
efisiensi teknik dapat diestimasi dengan menggunakan software komputer
65
LIMDEP dan Coelli (1996) menggunakan paket komputer FRONTIER 4.1.
Program ini secara lebih luas banyak digunakan dalam penelitian efisiensi,
program komputer ini digunakan untuk mengestimasi parameter dari produksi
frontier stochastic dengan metode MLE.
Nilai efisiensi teknis akan berhubungan terbalik dengan nilai efek inefisiensi
teknis dan hanya digunakan untuk fungsi yang memiliki jumlah output dan input
tertentu (cross section data). Pengujian parameter stochastic frontier dan efek
inefisiensi dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama merupakan pendugaan
parameter αi dengan menggunakan metode OLS, sedangkan tahap dua dilakukan
pengujian menggunakan Maximum Likelihood Estimator (MLE) untuk
mengestimasi pendugaan seluruh parameter αi (kecuali α0) dan serta varians
dan vi.
Menurut Aigner and Chu (1968) dan Jondrow et al. (1982), hasil
pengolahan FRONTIER 4.1 akan memberikan perkiraan varians dalam bentuk
persamaan :
......................................................................................... (12)
……………………………………………………………... … (13)
di mana v merupakan standar deviasi dari kesalahan pengganggu dari v.
sedangkan v dan u adalah masing-masing sebagai varians populasi dan varians
dari u. Karena efisiensi-efisiensi teknis individu dari usahatani-usahatani contoh
dapat diprediksi, maka suatu penduga alternatif untuk rata-rata efisiensi teknis
adalah rata-rata aritmatik dari prediktor untuk efsiensi-efisiensi teknis individu
dari usahatani-usahatani contoh.
Parameter dari nilai nilai varians dapat menngestimasi nilai sehingga
nilai 0 1. Nilai merupakan kontribusi efisiensi teknis di dalam efek
residual total. Nilai parameter γ ini merupakan kontribusi dari efisiensi teknis
terhadap efek residual total. Persamaan inefisiensi teknis dari usahatani
diperlakukan sebagai suatu bentuk persamaan simultan dengan persamaan
efisiensi teknis. Estimasi ML dari model stokastik frontier diprogramkan di
dalam FRONTIER 4.1. dan disebut model 2 atau model efek efisiensi teknis (TE)
yang dianalisis secara simultan (satu tahap) (Adar, 2011)
66 Menurut Coelli et al. (1996) terdapat tiga tahap pekerjaan dalam program
FRONTIER 4.1. yaitu :
1. Menggunakan OLS untuk menghitung nilai β dan 2 dan yang keduanya
adalah estimator yang bersifat bias;
2. Fungsi log likelihood akan mengevaluasi besarnya nilai-nilai 0< γ < 1. Pada
perhitungan ini estimasi dengan metode OLS menghasilkan σ 2 dan β0 yang
bersifat adjusted. Estimasi OLS digunakan untuk menghitung nilai parameter
β untuk tiap-tiap input produksi.
3. Menggunakan nilai dari β, σ 2 dan γ dari langkah pertama dan kedua untuk
melakukan iterasi maksimisasi hingga nilainya konvergen. Metode iterasi yang
digunakan adalah Davidson Fletcher-Powell (DFP) yang akan menghasilkan
nilai likelihood paling maksimum
Setelah tahap 1, 2 dan 3 dilaksanakan, hasil estimasi parameter akan
diperoleh bersamaan dengan nilai tengah efisiensi teknis model tersebut.
Selanjutnya untuk menguji hipotesis bahwa semua petani telah mengelola
usahataninya dengan efisien perlu diuji. Uji hipotesis dilakukan dengan
menggunakan uji Likelihood Ratio Test sebagai berikut:
= 0
: 0
Hipotesis ini menyatakan:
0, berarti 0 dan ncdf = 0. Nilai LR-Test dapat dihitung dengan
rumus:
2 . …………………………………………………(14)
Selanjutnya nilai LR-Test dibandingkan dengan nilai kritis chi-square ( ).
3.2. Model Efek Inefisiensi Teknis Produksi Stochastic Frontier
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, efisiensi dalam usahatani terdiri atas
efisiensi teknik, alokatif dan ekonomis. Farrell (1957) mengembangkan literatur
untuk melakukan estimasi empiris untuk efisiensi teknis (tehcnical efficiency/TE),
efisiensi alokatif (alocative efficiency/AE), dan efisiensi ekonomi (economic
efficiency/EE). Berdasarkan pada persamaan (8) sebelumnya, untuk melihat
pengaruh karakteristik manajerial dan struktural terhadap efisiensi, ke dalam
67
model ditambahkan variabel manajerial dan struktural dan diestimasi secara
simultan (Batesse dan Coelli, 1995), sehingga persamaan menjadi :
, , v u ……………………… (15)
Variabel yang menunjukkan struktur usahatani adalah : jarak lokasi, tipe
usahatani (mono cropping atau tumpang sari), status kepemilikan lahan usahatani,
akses terhadap teknologi, akses terhadap pasar dan kredit, akses terhadap
penyuluhan dan pelatihan. Karakteristik manajerial usahatani meliputi umur,
tingkat pendidikan, pengalaman bertani sayuran, dan jumlah tanggungan keluarga
(Van Passel, 2006a).
Battese dan Coelli (1992), dan Coelli et al. (1998) menyatakan terdapat dua
pendekatan untuk menguji faktor-faktor determinan (sumber-sumber) efisiensi
teknis dan sekaligus inefisiensi teknis. Metode pertama adalah prosedur dua
tahap. Tahap pertama mengestimasi nilai efisiensi atau efek-efek inefisiensi untuk
usahatani individu setelah dilakukan estimasi terhadap fungsi produksi frontier.
Tahap kedua mengestimasi model regresi di mana nilai efisiensi (inefisiensi)
digambarkan sebagai suatu fungsi dari variabel-variabel sosial ekonomi yang
mempengaruhi inefisiensi teknis. Metode kedua adalah prosedur satu tahap
(simultan) di mana efek-efek inefisiensi di dalam model stokastik frontier
dimodelkan dengan menggunakan variabel-variabel yang relevan di dalam
menjelaskan inefisiensi produksi.
3.3. Efisiensi Alokatif dan Efisiensi Ekonomis
Menurut Debertin (1996), untuk mengukur efisiensi alokatif dan efisiensi
ekonomis dapat diturunkan dari fungsi biaya dual dari fungsi produksi Cobb
Douglas yang homogenous. Doll and Orazem (1984), Debertin (1986), Bravo
Ureta (1997), menyatakan bahwa dalam penelaahan ekonomi produksi, di dalam
suatu proses terdapat tiga input konvensional yaitu lahan, tenaga kerja, dan modal.
Asumsikan fungsi produksi Cobb Douglas dengan satu output (Y) dan
menggunakan tiga faktor produksi yaitu lahan (x1), tenaga kerja (x2) dan modal
(x3):
…………………………………………..………. (16)
68 Fungsi biaya dengan tiga input adalah :
+ …………………………..………………….. (17)
Bentuk fungsi biaya dual dapat diturunkan melalui minimisasi biaya dengan
kendala output Y = Y*
Fungsi Lagrange menjadi :
, ………. (18)
Untuk memperoleh nilai X1 dan X2 dan X3 yang meminimalkan biaya dapat
diturunkan sebagai berikut:
FOC :
… … … … … … … … … … … … … .. 19
… … … … … … … … … … …. 20
… … … … … … … … … … … … … 21
… … … … … … … … … … … … … … … … … … 22 Dari persamaan (19) dan (20), diperoleh:
.
. .
Dari persamaan (20) dan (21) diperoleh
.
. .
69
Substitusikan nilai x2 dan x3 kedalam persamaan (22), sehingga diperoleh
persamaan untuk penggunaan input yang efisien:
∏
∏ …………………………. (23)
∏
∏ ………………………….… (24)
∏
∏ ………………………….… (25)
Secara umum untuk input x ke – i dapat ditulis:
∏
∏ … … … … … … … … … … … … … . 26
Selanjutnya nilai xi* dimasukkan ke dalam fungsi biaya sehingga diperoleh
fungsi biaya dual :
∏
∏ ………………… (27)
Parameter merupakan hasil estimasi fungsi produksi frontier, Pxj
merupakan harga input ke-j. Penurunan fungsi biaya dual selengkapnya dapat
dilihat pada Lampiran 4. Jondrow et al. (1982) mendefinisikan efisiensi ekonomi
sebagai rasio antara biaya total minimum yang diobservasi (C*) dengan biaya
total produksi aktual ( C ), sehingga persamaan efisiensi ekonomi menjadi :
| ,Y ,P| ,Y ,P
. / …………….…… (28)
Dengan demikian persamaan efisiensi alokatif adalah :
; dengan 0 1 ……………..………………………. (29)
3.4. Perhitungan Nilai Keberlanjutan
ADVANCE (2006), Van Passel (2009) menyatakan sebelum
menghitung nilai keberlanjutan terdapat beberapa hal yang perlu dilakukan
seperti:
70
1. Memilih perusahaan/aktivitas ekonomi yang akan dianalisis.
2. Memilih benchmark; merupakan langkah penting dalam menghitung nilai
keberlanjutan, karena mencerminkan opportunity cost. Pilihan benchmark
dapat berbeda-beda. Figge dan Hahn (2004) menggunakan nilai dari
ekonomi nasional. Pilihan benchmark menggambarkan sebuh keputusan
normatif dan menentukan kekuatan dari hasil penilaian keberlanjutan.
3. Mendefinisikan sumberdaya yang akan digunakan. Sumberdaya yang
relevan, misalnya tenaga kerja dan lahan harus ditentukan. Secara teoritis,
pilihan akan meliputi sumberdaya yang kritis untuk keberlanjutan dari
perusahaan.
Perhitungan SVA didasarkan pada konsep opportunity cost, artinya nilai ini
diformulasikan ketika sebundel sumberdaya yang digunakan oleh perusahaan
lebih efisien dibandingkan dengan benchmarknya atau dengan kata lain SVA
terwujud ketika penerimaan yang dapat dicapai dari sebundel sumberdaya yang
digunakan lebih besar dari opportunity cost- nya ( Figge and Hahn, 2004, 2005,
Illge et al., 2008, Van Passel, 2009). Lebih lanjut Illge et al. (2008) menyatakan
bahwa secara teknik cara menghitung SV dapat berbeda tergantung pada fungsi
produksi atau asumsi benchmark yang digunakan untuk menghitung opportunity
cost.
Dengan demikian langkah yang dilakukan untuk menghitung nilai
keberlanjutan ADVANCE (2006), (Illge et al (2008), van Passel (2009) adalah:
1. Menghitung berapa banyak return/penerimaan yang dapat diciptakan dari
penggunaan sumberdaya perusahaan (eco-efficiency) = dan eco-efficiency
benchmark = ...........................................................................................(30)
2. Menghitung berapa banyak return/penerimaan yang dapat diciptakan oleh
benchmark bila menggunakan sumberdaya perusahaan untuk masing-masing
sumberdaya (opportunity cost) = …………………………. (31)
3. Menghitung (value spread) = …………………………………. (32)
4. Mengitung nilai kontribusi untuk masing-masing sumberdaya =
……………………………………………….……. (33)
71
Nilai ini memperlihatkan berapa banyak (lebih besar/kecil) nilai yang dapat
diciptakan perusahaan dari sumberdaya yang digunakan dibandingkan dengan
opportunity cost -nya.
5. Menghitung berapa banyak nilai keberlanjutan yang dapat diciptakan
perusahaan (sustainable value). Perhitungan Nilai keberlanjutan (SV):
.................................................................. (34)
∑ ……………………………….……………….. (35)
dengan :
SVir = nilai keberlanjutan dari usahatani yang diobservasi
r = jumlah sumberdaya yang digunakan usahatani yang diobservasi
Yi = value added dari perusahaan yang diobservasi
Xi = jumlah sumberdaya yang digunakan oleh usahatani yang
diobservasi
Y* = value added dari benchmark
X* = jumlah sumberdaya yang digunakan oleh benchmark
Nilai keberlanjutan (SVir) positif (> 0) menunjukkan bahwa perusahaan
telah menggunakan sumberdayanya lebih efisien dibandingkan dengan
benchmarknya. Nilai keberlanjutan negatif (< 0) menunjukkan bahwa perusahaan
telah menggunakan sumberdayanya kurang efisien dibandingkan dengan
benchmarknya
Untuk membandingkan return yang dihasilkan perusahaan dengan return
benchmark yang dapat diciptakan dari penggunaan sumberdaya perusahaan
(opportunity cost) diukur dengan return to cost ( RtC). Nilai ini sama dengan
konsep benefit- cost ratio. RtC dikenal pula sebagai efisiensi keberlanjutan
(sustainable efficiency).
… … … … … … … … . . 36
Nilai RtC > 1 menunjukkan bahwa penerimaan usahatani lebih besar dari
return/penerimaan per unit sumberdaya. Hal ini berarti perusahaan lebih efisien
dalam menggunakan sumberdaya dibandingkan dengan benchmarknya. ( Hahn et
al., 2006). Dengan kata lain value added yang diciptakan oleh
72 perusahaan/usahatani lebih besar dari opportunity cost dari sumberdaya yang
digunakan oleh benchmarknya.
Secara umum, benchmark dapat ditentukan dengan menggunakan: a) nilai
dari praktik terbaik perusahaan/ usahatani, b) rata-rata dari seluruh perusahaan/
usahatani atau c) nilai dari ekonomi nasional. Dalam studi ini bobot rata-rata dari
seluruh usahatani diambil untuk perhitungan tolok ukur (van Passel, 2008)
3.5. Pengukuran Nilai Keberlanjutan dengan Menggunakan Pendekatan Efisiensi
3.5.1. Formulasi dari Benchmark
Seperti telah dikemukakan sebelumnya, dua pendekatan yang digunakan
dalam analisis frontier adalah pendekatan parametrik dan non parametrik.
Pendekatan parametrik (seperti stochastic frontier) dapat mengukur error dan
gangguan lainnya seperti efek inefisiensi. Pada pendekatan keberlanjutan ini
digunakan pendekatan parametrik untuk mengestimasi fungsi produksi frontier
karena dapat menangkap efek efisiensi dan ganguan diluar kontrol petani (Coelli,
1998). Van Passel (2009) merumuskan fungsi produksi sebagai:
ln , ……………………………. (37)
Dimana Yit adalah output usahatani ke i pada tahun t, Xit adalah input
yang digunakan dalam proses produksi usahatani ke i pada tahun t, β adalah
vector dari parameter yang tidak diketahui, vit error term, uit inefisensi teknik.
Jumlah Xit yang efisien dapat digambarkan sebagai berikut :
, , … , , …….………………………………… (38)
Secara spesifik fungsi produksi stochastic frontier dengan memasukkan variabel
lingkungan dan sosial adalah:
ln , , …….……………………………... (39)
Untuk seluruh usahatani diindex dengan i; VAi adalah value added (nilai
tambah); Xi adalah vector dari input ekonomi konvensional, Zi adalah vector dari
asset lingkungan dan sosial. β adalah parameter yang tidak diketahui; vi random
error untuk menangkap kontrol dari manajer; ui non negative random error untuk
menangkap inefisiensi teknik. Jumlah xi dan zi yang efisien dapat digambarkan
sebagai :
73
, , … , , , … , , …………………………… (40)
, , … , , , ………………………………… (41)
Diasumsikan tidak ada perbedaan yang dibuat antara input ekonomis
konvensional (xi) dengan asset lingkungan dan sosial (zi). Dengan asumsi semua
input berkontribusi terhadap VA di dalam system keberlanjutan, maka
dimasukkan sumberdaya r yang meliputi bentuk capital ekonomi, lingkungan dan
sosial, sehingga :
, , … , , ) ………………………………………. (42)
Dengan demikian nilai keberlanjutan dari usahatani dengan n sumberdaya
yang berbeda dapat dihitung sebagai :
∑ …... (43)
Notasi r menyatakan sumberdaya capital (ekonomi, lingkungan, social) dari
usahatani ke-iI dan VAi adalah nilai tambah untuk usahatani ke i.
Dengan menggunakan analisis efisiensi, kemudian dihitung tolok ukur :
, ,…, ,
……….………………… (44)
Dengan memasukkan persamaan (44) ke persamaan (43) maka
perhitungan nilai keberlanjutan dari usahatani ke i dengan usahatani spesifik tolok
ukur dapat dihitung:
∑ ……….. (45)
3.5.2. Formulasi Nilai Keberlanjutan dengan Mengggunakan Fungsi Produksi Cobb Douglas Van Passel (2009) mengembangkan nilai keberlanjutan dengan
menggunakan pendekatan efisiensi dengan model Fungsi Produksi Frontier Cobb
Douglas. Pilihan model ini didasarkan pada elstisitas input yang konstan, skala
usaha yang konstan, dan elastisitas substitusi input sama dengan satu.
Diasumsikan bentuk fungsional dari Cobb Douglas dengan dua sumberdaya r1 dan
r2 untuk memproduksi Value Aded = VA (nilai tambah). Usahatani ke-i tidak
menggunakan input 100% efisien, sehingga ui berbeda dengan nol. Formulasi
yang dikemukakan oleh Figge dan Hahn (2005) dan Van Passel (2009) adalah:
Persamaan fungsi produksi frontier Cobb Douglas:
74
ln ln ln ……………………….. (46)
Untuk melakukan perhitungan, pertama harus membersihkan ukuran
output (VA) dari komponen gangguan ui sehingga dapat dikerjakan dalam
kerangka deterministik menjadi:
ln ln ln ln ;
ln ln ………………………………..……..... (47)
Selanjutnya dicari efisiensi teknik sumberdaya (refisien) pada tingkat
tertentu. Ini dapat diturunkan secara simultan dari persamaan (39) dan rasio
sumberdaya (r1/r2)=k. Pemecahan secara simultan diperoleh setelah parameter
dari fungsi Cobb Douglas sudah diestimasi dengan menggunakan metode
maksimum likelihood. Setelah diestimasi maka akan diperoleh persamaan:
ln ln ln
ln ln = ln …………………………..…… (48)
Notasi VAi adalah output frontier yang diprediksi, dan VA adalah output
yang diobservasi. Dengan demikian refisien adalah :
. exp . …............................................. (49
exp . .............................................. (50)
Perhitungan untuk lima variabel dapat dilihat pada Lampiran 5. Dengan
memasukkan persamaan (49 dan 50) ke persamaan (45), maka nilai keberlanjutan
dapat dicari. Nilai keberlanjutan dari usahatani i dengan hanya menggunakan dua
sumberdaya dengan asumsi menggunakan teknologi Cobb Douglas, maka nilai
keberlanjutan adalah:
.. .
..
…………... (51)
75
Karena Cobb Douglas mempunyai elastisitas substitusi konstan ( = 1) secara
sederhana perhitungan nilai keberlanjutan untuk usahatani sebagai berikut:
.. .
..
…………. (52)
Penurunan fungsi untuk mencari input (sumberdaya) yang efisien dengan lima
variabel dapat dilihat pada Lampiran 5.
Fungsi Produksi Cobb Douglas mempunayi nilai dual sendiri, maka fungsi
biaya dual dapat diturunkan sebagai :
, ; ……………………………………………...…...... (53)
Dimana ci adalah biaya minimum dari usahatani ke-i berkaitan dengan nilai
tambah ( ; wi = harga inputdari usahatani ke-i ; adalah parameter dugaan
dari fungsi produksi. Dengan menggunakan Sheppard Lemma maka X efisien
(permintaan input) pada kondisi biaya minimum adalah :
, ; ……………………………... (54)
3.6. Kerangka Pemikiran Konsepsional
Variabel yang diduga mempengaruhi variabilitas produksi kentang dan
kubis terdiri atas luas lahan, jumlah penggunaan input (benih, pupuk anorganik,
pupuk organik, pestisida), penggunaan tenaga kerja baik tenaga kerja keluarga
maupun tenaga kerja luar keluarga. Selain faktor tersebut kemiringan lahan juga
diduga mempengaruhi produksi karena sayuran dataran tinggi diusahakan pada
lahan dengan kemiringan yang bervariasi dari kemiringan datar (0 persen ) hingga
diusahakan pada kemiringan hampir 80 persen.
Efisiensi usahatani selain dipengaruhi oleh karakteristik struktural juga
dipengaruhi oleh karakteristik manajerial. Ini berhubungan dengan kemampuan
petani dalam mengelola usahataninya. Isu inefisiensi muncul karena petani dalam
menjalankan usahataninya belum 100 persen efisien. Saptana (2011) dalam
analisisnya pada cabe merah besar dan cabe merah kerinting menunjukkan
76 beberapa determinan sebagai sumber inefisiensi antara lain: umur kepala keluarga,
pendididkan, pengalaman, pangsa anggota rumahtangga terhadap total anggota
rumahtangga, keanggotaan dalam kelompok, pendapatan dan pangsa pendapatan,
rotasi tanaman, akses ke pasar output dan ketergantungan kepada pedagang
langganan, dan kemandirian permodalan.
Secara teoritis, keberlanjutan usahatani sayuran dipengaruhi oleh tiga
aspek yaitu aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan. Dari sisi lingkungan,
rumahtangga petani sayuran dataran tinggi dalam mengelola usahataninya
menghadapi masalah menurunnya kesuburan lahan yang diakibatkan oleh
tingginya erosi pada lahan berlereng. Akibatnya mereka menggunakan pupuk
tidak sesuai dengan anjuran. Penggunaan pupuk bervariasi dari penggunaan
rendah sampai berlebihan. Demikian halnya pemakaian pestisida. Penggunaan
pupuk Nitrogen dan Fosfor yang berlebihan dapat menjadi ancaman yang
berbahaya terhadap lingkungan, sehingga pertanian menjadi tidak berkelanjutan.
Di sisi lain, status kepemilikan lahan (bukan lahan milik) yang banyak
dijumpai di daerah penelitian, tingginya biaya untuk konservasi, rendahnya
tingkat pendidikan, rendahnya modal finansial, rendahnya tingkat pengetahuan,
akan mengakibatkan rendahnya adopsi konservasi lahan di lahan berlereng,
sehingga erosi terus berlanjut yang pada akhirnya dalam jangka panjang terjadi
penurunan produktivitas. Dengan demikian untuk mempertahankan
keberlanjutan usahatani, diperlukan penilaian bagaimana petani berkontribusi
pada keberlanjutan usahataninya.
Wilson et al. (1998) mengungkapkan hasil estimasi beberapa determinan
penyebab terjadinya inefisiensi teknis dalam usahatani kentang di Inggris, antara
lain : (1) Pengalaman petani mengusahakan komoditas kentang, (2) Keikutsertaan
petani dalam kelembagaan koperasi, (3) Rotasi tanaman kentang dengan tanaman
serealia, (4) Proporsi lahan usahatani kentang yang beririgasi, (5) Adanya tempat
atau gudang untuk penyimpanan sebelum dilakukan penjualan, (6) Jenis benih
atau bibit yang digunakan atau tercatat/tersertifikasi tidaknya bibit yang
digunakan, dan (7) Skala pengusahaan komoditas kentang. Determinan utama
inefisiensi teknis adalah proporsi luas usahatani kentang yang menggunakan
77
irigasi, keikutsertaan dalam kelembagaan koperasi, serta pola rotasi tanaman yang
melibatkan tanaman serealia.
Berdasarkan tinjauan teoritis dan kajian empiris maka beberapa faktor
yang mempengaruhi inefisiensi usahatani kentang dan kubis, antara lain adalah:
umur petani, pendidikan, pengalaman bertani, jumlah anggota rumah tangga,
keanggotaan dalam kelembagaan kelompok tani, akses terhadap kredit, status
kepemilikan, dan sistem penanaman searah lereng, searah kontur dan teras
bangku.
3.7. Hipotesis Berdasarkan kerangka pemikiran maka dapat disusun hipotresis penelitian:
1. Peningkatan luas lahan, penggunaan jumlah benih, pupuk, pestisida, dan
tenaga kerja dapat meningkatkan produksi kentang dan kubis. Kemiringan
lahan dan sistem penanaman akan mempengaruhi produksi, semakin tinggi
kemiringan lahan akan menurunkan produksi.
2. Faktor-faktor kapabilitas manajerial seperti umur, pendidikan, pengalaman,
keanggotaan dalam kelompok, penyuluhan, akan menurunkan inefisiensi
teknis, alokatif, dan ekonomi atau meningkatkan efisiensi teknis, alokatif, dan
ekonomi.
3. Semakin baik sistem pananaman akan menurunkan inefisiensi
4. Kontribusi petani terhadap keberlanjutan usahatani dan efisiensi
keberlanjutan petani kentang dan kubis masih lebih kecil dari benchmark,
Faktor Internal 1. Penggunaan
Sarana Produksi • Luas Lahan • Benih • Pupuk • Pestisida • Tenaga kerja
2. Sumber Inefisiensi • Karakteristik
Struktural • Karakteristik
manajerial • Status
Kepemilikan
Latar Belakang dan Permasalahan
Faktor Eksternal • Kemiringan Lahan • Tingkat Erosi
Faktor Usahatani Berkelanjutan • Keuntungan • Lahan • Tenaga Kerja • Modal • Biaya Sarana Produksi• Erosi
Stochastic Production Frontier
Sustainable Value Approach (SVA)
Implikasi • Sumber TE, AE • Mengurangi inefisiensi • Strategi Keberlanjutan
Fungsi Produksi Cobb-Douglas
SVA dikaitkan dengan Fungsi Produksi Frontier Cobb-Douglas
Penggunaan Input-input Produksi
Produksi Usahatani Kentang dan Kubis Serta Tingkat TE, AE,EE
Determinan faktor yang mempengaruhi inefisiensi
Pertanyaan 1. Faktor apa yang
mempengaruhi Produksi
2. Faktor apa yang mempengaruhi inefisiensi
3. Seberapa besar tk. TE, AE, dan EE
4. Seberapa besar tingkat kontribusi petani terhadap keberlanjutan
Tujuan Menjawab pertanyaan diatas
Hipotesis Pendekatan
Analisis
1. Faktor-faktor penentu produksi kentang dan kubis
2. Tingkat TE, AE, EE
3. Sumber-sumber Inefisiensi Teknis (IT), IA, dan IE
4. - Nilai Keberlanjutan (SV) - Efisiensi Keberlanjutan (Return to Cost)
Output dan Implikasi
Pengukuran/ PendugaanKerangka Konseptual
• Terjadi masalah inefisiensi ( IT, IA, IE) pada usahatani kentang dan kubis
• Kontribusi petani terhadap keberlanjutan dibawah “Tolok ukurnya”
Keberlanjutan Usahatani Sayuran
Pertanyaan dan Tujuan
Gambar10. Kerangka Operasional Studi Efisiensi dan Nilai Keberlanjutan Usahatani Sayuran Dataran TInggi di Provinsi Jawa Barat, 2011
IV. METODE PENELITIAN
Dalam metode penelitian ini diuraikan beberapa tahapan penelitian yaitu
penentuan lokasi penelitian, metode pengambilan sampel, metode pengumpulan
data, dan perumusan model.
4.1. Penentuan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Provinsi Jawa Barat dengan pertimbangan Jawa
Barat merupakan sentra produksi kentang dan kubis. Hal ini dapat dilihat dari
kontribusi luas panen dan produksi kentang dan kubis di Jawa Barat sebesar 20,3
persen dan 25,9 persen terhadap luas panen dan produksi nasional (BPS, 2011).
Secara spesifik penelitian dilakukan di dua kabupaten yaitu Kabupaten Bandung
dan Garut. Pemilihan lokasi dilakukan dengan sengaja (purposive) dengan
pertimbangan bahwa kedua kabupaten ini merupakan sentra produksi terbesar
sayuran kentang dan kubis di Provinsi Jawa Barat (Dinas Pertanian Jawa Barat,
2010). Lokasi ini juga merupakan daerah dengan kerentanan yang tinggi akibat
degradasi lahan (Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat, 2010).
Penentuan lokasi penelitian dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama
memilih kabupaten yang menjadi sentra produksi kentang dan kubis di Jawa
Barat. Data luas panen dan produksi kentang & kubis disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4. Luas Panen, Produksi Kentang dan Kubis di Jawa Barat, 2009
Kabupaten Kentang Kubis Luas Panen
(ha) Produksi (ton) Luas Panen
(ha) Produksi (ton)
Bandung 8 974 182 858 5 975 140 973Garut 5 126 118 175 4 617 112 388Majalengka 759 14 754 819 8 380Bandung Barat 291 4 389 233 11 584Sumedang 74 1 099 499 4 449Total* 15 337 323 543 13 162 298 525Sumber: Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat, 2010 Keterangan: *: Jumlah total dari 26 kabupaten/kota di Jawa Barat.
Berdasarkan data pada Tabel 4, Kabupaten Bandung dan Garut
menyumbang produksi kentang sebesar 45,5 persen dan 35,1 persen dan kubis
sebesar 47,2 persen dan 37,7 persen. Kontribusi luas panen kentang di Kabupaten
80
Bandung dan Garut sebesar 58,5 persen dan 33,4 persen. Sedangkan kontribusi
luas panen kubis di Kabupaten Bandung dan Garut sebesar 56,5 persen dan 36,5
persen. Dengan demikian terpilih Kabupaten Bandung dan Garut sebagai lokasi
penelitian.
Tahap kedua memilih kecamatan yang akan dijadikan lokasi penelitian.
Berdasarkan data Pemerintah Kabupaten Bandung (2011), daerah yang menjadi
sentra produksi kentang dan kubis di Kabupaten Bandung adalah Kecamatan
Pangalengan dan Kertasari. Sedangkan untuk Kabupaten Garut, kecamatan yang
menjadi sentra produksi kentang dan kubis adalah Kabupaten Cikajang dan
Pasirwangi (Tabel 5).
Tabel 5. Luas Panen, Produksi Kentang dan Kubis di Kabupaten Garut, 2009
Kabupaten Kentang Kubis Luas Panen
(ha) Produksi (ton) Luas Panen
(ha) Produksi (ton)
Garut Cikajang 1 407 30 710 830 19 237 Pasirwangi 1 042 20 976 625 14 723 Cisurupan 551 11 768 345 8 855 Samarang 338 9 403 330 0 Total** 4 895 110 018 4 192 84 160 Sumber: Sistem Informasi Kecamatan Kabupaten Garut, 2011 Keterangan: **: Jumlah total dari 26 kabupaten/kota di Jawa Barat.
Berdasarkan jarak ke ibukota kecamatan (jauh/dekat) dan keadaan
infrastruktur (baik/kurang baik) serta kemiringan lahan yang diusahakan, maka
terpilih 6 desa dari Kecamatan Pangalengan dan jumlah desa terpilih dari
Kecamatan Kertasari, Pasirwangi dan Cikajang masing-masing dua desa. Melalui
pemilihan berdasarkan kriteria di atas, diharapkan dapat menangkap fenomena
keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi di Provinsi Jawa Barat.
Gambar 11 meringkaskan metode pengambilan sampel, atau secara
ringkas langkah yang dilakukan dalam penentuan sampel adalah sebagai berikut:
1. Memilih Provinsi Jawa Barat, Kabupaten Bandung dan Garut secara purposif.
2. Memilih kecamatan dan desa berdasarkan kondisi infrastruktur, dan
kemiringan lahan.
81
Gambar 11. Metode Sampling Pengambilan Data Primer
Metode Sampling:
Purposif
Purposif
Langkah Satu
Dua Langkah:
Langkah Dua
Simple Random Sampling
Kerangka Populasi
Jawa Barat
Kab. Bandung Kab. Garut
Kec.Pangalengan Kec.Kertasari Kec.Cikajang Kec.Pasir Wangi
200 Petani/Usahatani Kentang dan Kubis
SukaluyuMargaluyu Margamekar
Pulosari MargamulyaMargamukti
Cibeureum Cikembang Barusari Padaawas Cikandang Margamulya
82 3. Membuat kerangka sampling petani sayuran yang terdapat di desa. Data
petani yang ikut dalam kelompok berasal dari Koordinator PPL dan data
petani yang tidak ikut dalam kelompok dikumpulkan dari kepala desa.
4. Menentukan jumlah sampel secara acak sederhana (simple random sampling)
Berdasarkan kriteria di atas, maka desa yang terpilih dari Kecamatan
Pangalengan adalah : Desa Margaluyu, Margamukti, Margamekar, Pulosari,
Margamulya, dan Sukaluyu. Dari Kecamatan Kertasari terpilih : Desa Cibeureum
dan Desa Cikembang. Dari Kecamatan Cikajang dan Pasirwangi masing-masing
Desa Cikandang dan Margamulya, Padaawas dan Barusari (Tabel 6).
Tabel 6. Pemilihan Desa Berdasarkan Kriteria yang Ditetapkan Usahatani Sayuran Dataran Tinggi di Jawa Barat, 2011
Kriteria
Desa
Kemiringan (o)
Ketinggian (dpl)
Infrastruktur
Jarak ke Pusat
kecamatan (Km)
Tanaman Utama*)
Margamulya 40 1200 baik 0.7 Jagung-kentang-kubis
Pulosari 32 1446 baik 3.0 Kentang-kubis-tomat
Margamekar 0 (datar) 1400 Kurang baik 3.2 Kentang-kubis-jagung
Margamukti 36 1485 baik 1.7 Kubis-kentang-tomat
Margaluyu 3.5 1550 baik 13 Kubis-kentang-tomat
Sukaluyu 41 1552 Kurang baik 10 Kentang-kubis-tomat
Cibeureum 5-10 500-1000 baik 0 Kentang-kubis-bawang daun
Cikembang 40 >1500 Kurang baik 10 Kentang-kubis-bawang daun
Cikandang 0 - > 40 >1000 baik 8 Kentang-kubis-tomat
Margamulya 2 - > 40 >1000 Kurang baik 9 Kentang-kubis-tomat
Padaawas 0 - > 40 500 - > 1000 baik 2 Kentang-kubis-
tomat
Barusari 2 - > 40 500 - > 1000 Kurang baik 3,5 Kentang-kubis-
tomat Sumber: Profil Kecamatan Pangalengan (2010), Monografi Kecamatan Kertasari (2010) dan Profil Garut per kecamatan (2012) Keterangan *: Urutan komoditas berdasarkan luas lahan yang diusahakan (urutan
pertama menunjukkan tanaman utama)
83
4.2. Metode Pengambilan Sampel dan Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan petani sampel adalah
rumahtangga petani sayuran kentang dan kubis sebagai unit analisis.
Pengambilan sampel dilakukan secara acak (random sampling method) sehingga
setiap petani di desa-desa tersebut mempunyai peluang yang sama untuk dipilih
sebagai sampel. Jumlah sampel yang dipilih sebanyak 200 petani dengan
katagori petani yang mengusahakan lahan pada kemiringan dan ketinggian yang
berbeda serta infrastruktur yang berbeda pula. Jumlah sampel untuk setiap desa
dipilih sebanyak 20 orang.
Data primer dikumpulkan untuk tiga musim tanam dalam setahun yaitu
pada MT 2010/2011, mulai MK II (Juni 2010- MH – MK I tahun 2011). Data
dikumpulkan melalui wawancara dengan menggunakan kuesioner yang telah
disiapkan dan pengamatan langsung di lapangan. Selain itu dilakukan pula
wawancara dengan orang yang menjadi informan kunci baik untuk usahatani
maupun pemasarannya. Orang yang dijadikan informan kunci adalah Ketua
Kelompok Tani/Gapoktan, Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL), Koordinator
PPL, Penangkar Benih, Perusahaan Hikmah Farm, dan Vendor. Pertanyaan lebih
bersifat “deep information” untuk menangkap keadaan dan informasi umum di
wilayah penelitian.
Peneliti melakukan pengamatan dan pencatatan yang sistematik terhadap
subjek, melalui wawancara langsung dengan petani dan nara sumber lainnya. Data
primer bersumber dari petani sayuran kentang dan kubis sebagai sampel. Data
primer yang dikumpulkan meliputi karakteristik rumahtangga petani (umur,
pendidikan, formal, pendidikan non formal, pengalaman bertani, jumlah anggota
keluarga), penguasaan lahan usahatani, pola tanam, input dan output usahatani,
aktivitas kerja, pendapatan, pengeluaran rumahtangga, serta permasalahan yang
dihadapi petani. Selanjutnya data sekunder dikumpulkan dari Badan Pusat
Statistik (BPS), Dinas Pertanian Kabupaten Bandung dan Garut serta Dinas
Pertanian Provinsi Jawa Barat dan instansi terkait lainnya. Data yang
dikumpulkan selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 7.
84 Tabel 7. Variabel yang Dikumpulkan dan Ukurannya Usahatani Kentang dan
Kubis di Provinsi Jawa Barat, 2011 Variabel Satuan 1. Output a. Produksi per hektar Kilogram
b. Harga produk per kg Rupiah c. Penerimaan Rupiah
2. Lahan a. Luas lahan total yang diusahakan Hektar b. Harga lahan per ha atau sewa lahan Rupiah c. Nilai lahan Rupiah d. Luas lahan milik Ha e. Luas lahan sewa, garap, gadai dll Ha f. Kemiringan lahan Persen g. Jarak lahan ke rumah Km h. Jarak lahan ke sumber air Km i. Jarak lahan ke pusat kecamatan Km j. Jumlah persil Unit/ha
3. Benih a. Jumlah Benih yang digunakan kg b. Harga Benih c. Biaya benih
Rupiah
4. Pupuk a. Jumlah pupuk anorganik yang diaplikasikan per ha (Urea, TSP, ZA, KCl, NPK)
Kg
b. Jumlah pupuk organik (pupuk kandang) yang diaplikasikan
Kg
c. Harga pupuk Rupiah d. Biaya total pupuk (anorganik dan
organik) Rupiah
5. Pestisida a. Jumlah pestisida yang digunakan (insektisida, fungisida, herbisida, perekat)
Gram, liter
b. Harga (insektisida, fungisida, herbisida) per liter atau per kg
Rupiah
c. Biaya pestisida per ha Rupiah 6. Tenaga kerja a. Jumlah tenaga kerja (pria dan wanita)
setara pria per ha mulai pengolahan tanah sampai panen)
Hkp
b. Upah tenaga kerja per HKP Rupiah c. Biaya tenaga kerja per ha
7. Faktor yang berhubungan dengan inefisiensi
Umur petani, pendidikan, pengalaman, jumlah tanggungan keluarga, keanggotaan dalam kelompok frekuensi penyuluhan akses terhadap kredit konservasi
Tahun Tahun Tahun Orang Dummy Dummy Dummy Dummy
8. Penerimaan dari Off farm dan Non farm
Penerimaan dari komoditas selain kentang dan kubis seta pekerjaan lainnya
Rupiah
9. Data lainnya Nama, alamat, sifat usahatani sayuran, pemilikan asset, pengeluaran rumah tangga, pemilikan aset non lahan, teknologi dan kelembagaan,konservasi.
85
4. 3. Metode Analisis
Untuk menganalisis kinerja usahatani sayuran kentang dan kubis ini
digunakan dua pendekatan. Pendekatan pertama dianalisis kinerja ekonomi dari
usahatani sayuran, determinan dari kinerja ini diukur dengan efisiensi teknik,
efisiensi alokatif, dan efisiensi ekonomi. Langkah kedua mengintegrasikan
sumberdaya lingkungan dan sosial ke dalam analisis ekonomi untuk menilai
kinerja keberlanjutan usahatani. Pada pendekatan ini diperkenalkan konsep
“Sustainable Value Approach” (SVA) untuk megukur kontribusi usahatani kearah
keberlanjutan. Pengukuran keberlanjutan usahatani (the sustainable value
approach) dikombinasikan dengan metode efisiensi frontier. Metode ini
digunakan untuk membangun “tolok ukur” (benchmark).
4.3.1. Spesifikasi Model Fungsi Produksi Stochastic Frontier
Untuk menganalisis efisiensi teknik, alokatif, dan ekonomi, digunakan
model Stochastic Frontier Analysis (SFA). Model ini digunakan untuk
mengestimasi fungsi produksi frontier. Penggunaan analisis stochastic frontier
berimplikasi pada pilihan bentuk fungsional. Analisis fungsi produksi stochastic
frontier dapat digunakan untuk mengukur dan mengestimasi efisiensi teknis dari
usahatani sayuran dari sisi input serta faktor- faktor yang mempengaruhinya.
Untuk menganalisis efisiensi alokatif dan ekonomis digunakan fungsi biaya dual
frontier.
Analisis efisiensi teknik dalam penelitian ini menggunakan model fungsi
produksi Stochastic Frontier Cobb Douglas. Beberapa alasan menggunakan
fungsi ini antara lain: a) bersifat homogen sehingga dapat digunakan untuk
menurunkan fungsi biaya dual dan fungsi produksi, b) lebih sederhana, dan c)
jarang menimbulkan masalah. Selanjutnya fungsi produksi frontier Cobb Douglas
juga telah secara luas digunakan di negara maju dan berkembang untuk
mengestimasi model frontier (Bravo-Ureta (1997). Namun fungsi ini mempunyai
kelemahan diantaranya elastisitas input dan return to scale yang konstan.
Fungsi produksi adalah hubungan teknis antara input yang digunakan
dengan output yang dihasilkan. Dengan demikian fungsi produksi kentang dan
kubis diduga secara langsung dipengaruhi oleh luas lahan yang digunakan, jumlah
86 pupuk organik dan anorganik, jumlah pestisida, jumlah tenaga kerja, kemiringan
lahan, musim tanam (musim hujan dan musim kemarau) serta dummy lokasi.
Dengan demikian ke dalam model frontier dimasukkan 10 peubah bebas.
Spesifikasi dari model yang digunakan adalah :
Ln Yi = βo + β1ln X1 + β2 ln X2 + β3 ln X3 + β 4 ln X4 + β 5 ln X5 + β 6 ln X6
+ β 7 ln X7 + β 8 ln X8 + β 9 ln X9 + β 10 ln X10 + vi - ui ……… (55)
Dengan :
Yi = produksi total kentang atau kubis (usahatani ke i ) (kg)
X1 = luas lahan yang digunakan untuk usahatani kentang atau kubis ke i (ha)
X2 = jumlah benih (kg) untuk usahatani kentang atau kubis ke i
X3 = jumlah pestisida (liter) untuk usahatani kentang atau kubis ke i
X4 = jumlah pupuk K ( kg) yang digunakan usahatani kentang ke i ; atau
= jumlah pupuk N (kg) yang digunakan usahatani kubis ke-i
X5 = jumlah N+P (kg) yang digunakan usahatani kentang ke i atau
= jumlah pupuk P+K yang digunakan usahatani kubis ke-i
X6 = jumlah pupuk kandang (kg) untuk usahatani kentang atau kubis ke i
X7 = jumlah tenaga kerja (HKP) untuk usahatani kentang atau kubis ke i
X8 = kemiringan lahan (%) untuk usahatani kentang atau kubis ke i
X9 = musim tanam (dummy); D=1 musim hujan, D=0 musim kemarau
X10 = lokasi (dummy) D=1 Kabupaten Bandung; D=0 Kabupaten Garut
vit = Vi adalah variabel random yang diasumsikan iid (identically
independenly distributed)
uit
α1, ..
= Ui yang merupakan variabel random non-negatif random yang
diasumsikan disebabkan oleh inefisiensi teknis dalam produksi dan
juga sering diasumsikan sebagai iid
..α11 = parameter fungsi yang diduga
Nilai kopefisien yang diharapkan: β1, β2, β3, β4, β5, β6, β7, > 0, dan β8 < 0,
0 < β9, β10 < 0. Nilai koefisien positif artinya semakin tinggi penggunaan input
tersebut diharapkan dapat meningkatkan produksi sayuran.
Langkah selanjutnya adalah menghitung efisiensi teknik (TE) yang diukur
dengan:
87
TEi =
= = …...………………………… (56)
Variabel yang menunjukkan struktur usahatani dan karakteristik
manajerial adalah: umur, tingkat pendidikan, pengalaman bertani sayuran,
keanggotaan dalam kelompok, frekuensi penyuluhan, akses terhadap pasar dan
kredit, status kepemilikan, dan sistem penanaman . Secara sfesifik efek inefisiensi
teknis usahatani kentang maupun kubis pada penelitian ini adalah
=
+ wt ............…………………………………………………. (57)
Dengan :
Z1 = umur petani (tahun)
Z2 = pendidikan petani (tahun)
Z3 = pengalaman bertani (tahun)
Z4 = keanggotaan dalam kelompok (dummy)
Z5 = Frekuensi penyuluhan
Z6 = dummy akses terhadap kredit (D=1 bila petani mempunyai akses,
D=0 bila tidak
Z7 = dummy status kepemilikan lahan (D= 1 bila lahan milik; D = 0
lainnya (lahan sewa, garap)
Z8 = sistem penanaman (1 =penanaman searah lereng, 2 = penanaman
searah kontur; 3 = penanaman teras bangku
Koefisen yang diharapkan : 0; , ...... < 0, 0 , < 0
Untuk melihat pengaruh karakteristik struktural dan manajerial terhadap
efisiensi teknis, ke dalam model ditambahkan variabel yang ada dalam persamaan
(53) dan (55), sehingga persamaan yang dimasukkan ke dalam fungsi produksi
dan efek inefisiensi menjadi :
Y = αo + β1ln X1 + β2 ln X2 + β3 ln X3 + β 4 ln X4 + β 5 ln X5 + β 6 ln X6 +
β 7 ln X7 + β 8 ln X8 + β 9 ln X9 + β 10 ln X10 +
vi - ui ……………. (58)
Pendugaan parameter fungsi produksi dan fungsi inefisiensi teknis baik
untuk usahatani kentang maupun kubis pada (persamaan (53), (55) dan
88 persamaaan (56) dilakukan secara simultan menggunakan program Frontier 4.1.
(Coelli, 1996). Pengujian parameter stochastic frontier dan efek inefisiensi
dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama merupakan pendugaan parameter αi
dengan menggunakan metode OLS, sedangkan tahap dua dilakukan pengujian
menggunakan Maximum Likelihood Estimator (MLE) untuk mengestimasi
pendugaan seluruh parameter αi (kecuali α0) dan serta varians dan vi.
Parameter dari nilai nilai varians dapat menngestimasi nilai sehingga nilai 0
1. Nilai merupakan kontribusi efisiensi teknis di dalam efek residual total.
4.3.2. Analisis Efisiensi Alokatif dan Efisiensi Ekonomis
Menurut Debertin (1986), untuk mengukur efisiensi alokatif dan efisiensi
ekonomis dapat diturunkan dari fungsi biaya dual dari fungsi produksi Cobb
Douglas yang homogenous. Dengan menggunakan 10 variabel bebas seperti pada
persamaan (68), maka jumlah input (X*i) optimum pada kondisi biaya minimum
dapat diketahui dengan persamaan:
∏
∏ … … … … … … … … … … … … … . 59
Nilai x1, x2 …..x7 pang efisien dapat diperoleh dengan menjabarkan persamaan
57.
1
… . 60
1
… 61
Dengan cara yang sama, x3*, x4*, x5*, x6*, dan x7* dapat dicari. Secara ringkas, x7* adalah
1
… 62
89
Selanjutnya nilai Xi* dimasukkan ke dalam fungsi biaya sehingga diperoleh
fungsi biaya dual :
∏
∏ ……………………… (63)
1
… … … … … … … … 64
Penurunan fungsi biaya dual secara rinci dapat dilihat pada Lampiran 4.
Dengan:
C* = jumlah biaya minimum usahatani kentang atau kubis petani ke-i (Rp)
y = jumlah ouput kentang atau kubis (kg)
β0 = konstanta dari parameter estimasi fungsi produksi frontier Cobb Douglas
dari usahatani kentang maupun kubis
βi = parameter estimasi fungsi produksi frontier Cobb Douglas usahatani
kentang atau kubis ke-i. (i= 1,2, ……..7; berturut-turut β1, β2, …. β7
adalah luas lahan, benih, pestisida, pupuk K (untuk kentang) dan N
(untuk kubis), pupuk N+P (untuk kentang) dan P+K untuk kubis, pupuk
kandang, dan jumlah tenaga kerja
pi = harga input ke i ( I = 1,2,……7) ,
p1 = sewa lahan (Rp)
p2 = harga benih per kg (Rp)
p3 = harga pestisida setara daconil per liter untuk kentang (Rp) dan setara
demolish untuk kubis
p4 = harga pupuk K per kg untuk kentang dan harga pupuk N untuk kubis
(Rp)
p5 = harga pupuk N+P per kg untuk kentang dan harga pupuk P+K untuk
kubis (Rp)
p6 = harga pupuk kandang per kg (Rp)
p7 = harga /upah tenaga kerja per HKP (Rp)
90
Efisiensi Ekonomi (EE) dihitung dengan menbandingkan biaya optimum
dengan biaya aktual dengan rumus EE = C*/C.
| ,Y ,P| ,Y ,P
. / …………….… (65)
dengan: C = biaya aktual total usahatani kentang atau kubis ke-i (Rp)
Dengan demikian persamaan efisiensi alokatif ( AE) adalah :
; dengan 0 1 …………..…………….…………. (66)
4.3.3. Pendugaan Faktor yang Mempengaruhi Inefisiensi Teknis, Alokatif dan Ekonomi
Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi efisiensi teknis
dianalisis dari fungsi produksi frontier dan efek inefisiensi, selanjutnya untuk
melihat faktor-faktor yang mempengaruhi inefsiensi alokatif dan ekonomi,
variabel pada persamaan (55) dimasukkan ke dalam model dengan dependent
variabel tingkat inefsiensi alokatif dan ekonomi setiap petani. Dengan demikian
persamaannya adalah:
IA =
+ ε …………………………………………………………(67)
IE =
+ ε …………………………………………………………(68)
dengan:
IA = inefisiensi alokatif untuk kentang atau kubis, dihitung dengan
IA = 1 – AE
IE = inefisiensi ekonomi untuk kentang atau kubis, dihitung dengan
IE = 1- EE
Pendugaan faktror-faktor yang mempengaruhi inefisiensi alokatif dan
ekonomi pada persamaan (60) dan (61) dilakuakn dengan program SPSS 16.
4.3.4. Metode untuk Mengukur Kontribusi Petani terhadap Keberlanjutan
Untuk menghitung nilai keberlanjutan, langkahnya sebagai berikut:
1. Menghitung opportunity cost (eco-efficiency) = …….. ……….(69)
dan opportunity cost benchmark (tolok ukur) = ……………… (70)
91
2. Menghitung Value spread = …………………………… (71)
3. Nilai kontribusi = ……………………….. (72)
4. Menghitun Nilai keberlanjutan (SV):
……………………………… (73)
5. Menghitung efisiensi keberlanjutan (RtC) = … … … … … … . 74
Dengan :
SVir = nilai keberlanjutan usahatani kentang atau kubis
N = jumlah sumberdaya yang digunakan ( n =1,2,3,4,5) Yi = value added
( penerimaan) dari kentang atau kubis (Rp)
Xi = sumberdaya yang digunakan oleh usahatani kentang atau kubis yaitu
lahan, tenaga kerja, kapital, pengeluaran sarana produksi dan tingkat
erosi
Y* = value added dari benchmark (tolok ukur)
X* = jumlah sumberdaya yang digunakan oleh benchmark yaitu lahan, tenaga
kerja, kapital, pengeluaran sarana produksi dan tingkat erosi
Dalam rangka menghitung konrtribusi petani terhadap keberlanjutan,
digunakan pendekatan stochastic frontier. Model yang digunakan adalah model
Cobb Douglas Frontier. Fungsi ini mengasumsikan elastisitas input dan elastisitas
produksi konstan, dan elastisitas substitusi sama dengan satu. Pada penelitian ini
digunakan formulasi yang dikemukakan oleh Figge dan Hahn (2005) dan Van
Passel (2009).
Persamaan fungsi produksi frontier Cobb Douglas:
ln ln ln ln ln ln
……………………………………………………………... (75)
Dengan:
VA = value added = penerimaan (rupiah)
r1 = luas lahan yang digunakan (ha)
r2 = jumlah tenaga kerja (HKP)
r3 = jumlah working capital (rupiah)
92 r4 = pengeluaran benih, pupuk anorganik, pestisida, dan pupuk kandang
(rupiah)
r5 = tingkat erosi (ton/ha)
Pemecahan secara simultan diperoleh setelah parameter dari fungsi Cobb
Douglas sudah diestimasi dengan menggunakan metode maksimum likelihood.
Setelah diestimasi maka akan diperoleh persamaan :
ln ln ln ln ln ln
ln ln = ln ………………………………. (76)
Notasi VAi adalah output frontier yang diprediksi, dan VAi adalah output
yang diobservasi. Dengan demikian refisien adalah :
exp . ..................................... (77)
exp . .......................... ……….(78)
exp . \ ……………………. (79)
exp . ……………………… (80)
exp . ……………………….. (81)
Dengan memasukkan persamaan (75) sampai persamaann (79) ke
persamaan (71), maka nilai keberlanjutan dapat dicari dari usahatani i dengan
menggunakan lima sumberdaya dan dengan asumsi teknologi Cobb Douglas, nilai
keberlanjutan adalah:
..
..
93
..
..
..
………….. ……….. (82)
Tingkat erosi mewakili variabel lingkungan dalam penelaahan keberlanjutan
usahatani ini. Besarnya erosi dalam penelitian ini tidak diukur langsung tetapi
menggunakan prediksi erosi USLE. Rumus yang digunakan untuk memprediksi
besarnya erosi adalah :
A = K.R.L.S.C.P. ……………………………………………………(83)
A = Tingkat erosi (ton/ha)
K = Faktor erodibilitas tanah
R = Curah hujan dan aliran permukaan
L = Panjang lereng
S = Kecuraman lereng
C = Vegetasi penutup tanah dan pengelolaan tanaman
P = Tindakan-tindakan khusus konservasi tanah (Arsyad, 2000)
Pada penelitian ini data K diambil dari basis data penelitian terdahulu,
data R diperoleh dari curah hujan selama satu tahun dari stasiun Malabar yang ada
di Pangalengan dan Pamegatan yang ada di Kecamatan Cikajang. Data L dan S
diperoleh dari hasil wawancara dengan petani kemudian perhitungan LS
mengunakan rumus dari Arsyad (2000). Karena data untuk nilai C (vegetasi)
untuk tanaman berurutan kentang dengan tanaman lain atau nilai C untuk tanaman
tumpangsari kentang dengan tanaman lain tidak tersedia, maka nilai C diambil
94 dari nilai C monokultur kentang. Prediksi erosi dihitung dengan menggunakan
program Splash dari Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat (Puslittanak).
Setelah parameter dari persamaan (67) diperoleh, maka langkah
selanjutnya mencari efisiensi teknik sumberdaya (refisien) pada tingkat
tertentu, perhitungan dapt dicari dengan menggunakan persamaan (61) dan (62).
Nilai sumberdaya (r ) yang efisien inilah yang akan dijadikan benchmark.
Figge dan Hahn (2005) menggunakan konsep opportunity cost untuk
mentransfer dampak ke dalam ekuivalent nilai. Yang dimaksud dengan
opportunity cost dari sebuah sumberdaya adalah biaya dari kesempatan yang
hilang (dan benefit yang dapat diterima dari kesempatan itu). Setelah nilai
sumberdaya yang efisien diketahui dan dijadikan benchmark, maka langkah
selanjutnya adalah menghitung opportunity cost (eco-efficiency (persamaan 43),
opportunity cost benchmark (persamaan 44), value spread (persamaan 45), nilai
kontribusi (persamaan 46), dan perhitungan nilai keberlanjutan (SVA)
menggunakan persamaan (47) dan efisiensi keberlanjutan menggunakan
persamaan (49).
4.4. Definisi Operasional
1. Produk (Y) adalah jumlah produksi kentang atau kubis yang dihasilkan
dalam proses produksi, diukur dalam kilogram (kg)
2. Harga produk (Py) adalah harga kentang atau kubis di tingkat petani, diukur
dalam rupiah/kg
3. Penerimaan adalah jumlah uang yang dihasilkan dari penjualan produk, atau
jumlah produk yang dihasilkan dilkalikan harganya, diukur dalam rupiah
4. Luas lahan (X1) adalah luas lahan total yang ditanami kentang atau kubis per
musim tanam diukur dalam hektar (ha)
5. Sewa lahan adalah besarnya uang sewa yang berlaku di daerah penelitian
yang besannya bervariasi untuk setiap tingkat kemiringan lahan, diukur
dalam rupiah
6. Benih adalah jumlah benih yang digunakan petani dalam proses produksi
diukur dalam satuan kilogram. Benih yang digunakan adalah benih
bersertifikat G2 – G4. Harga benih adalah harga benih yang berlaku umum
95
di daerah penelitian ditambah dengan biaya transport sampai lokasi lahan
dihitung dalam satuan rupiah.
7. Pupuk anorganik adalah jumlah pupuk Urea, ZA, TSP/SP36, KCl, dan NPK
yang diukur dalam kandungan hara N, P, dan K. Kandungan N dalam
pupuk Urea adalah 46 persen, ZA 21 persen, dan NPK 15 persen.
Kandungan P dalam SP36 sebesar 36 persen, dan kandungan K dalam KCl
sebesar 60 persen. Diukur dalam kilogram.
8. Pupuk organik adalah jumlah pupuk kandang (terbuat dari kotoran ayam)
diukur dalam satuan kilogram. Harga pupuk kandang adalah harga yang
berlaku di daerah penelitian ditambah dengan biaya transport dan biaya
angkut diukur dalam rupiah.
9. Pestisida adalah jumlah penggunaan pestisida baik cair maupun padat.
Dalam penelitian ini digunakan jumlah pestsida yang terbanyak digunakan
oleh petani. Jumlah pestsida setara Daconil digunakan untuk usahatani
kentang dan setara Demolish untuk usahatani kubis, dan diukur dalam liter
Harga pertisida adalah harga Daconil dan Demolish yang berlaku di daerah
penelitian ditambah dengan biaya transportasi diukur dalam rupiah.
10. Tenaga kerja adalah jumlah total tenaga kerja meliputi tenaga kerja dalam
dan luar keluarga diukur dalam hari kerja setara pria (HKP). Harga tenaga
kerja adalah upah yang berlaku di daerah penelitian diukur dalam rupiah.
11. Kemiringan lahan adalah persen kelerengan lahan yang ditanami kentang
dan kubis diukur dalam persen
12. Musim tanam adalah musim pada waktu proses penanaman kentang dan
kubis dilakukan, terbagi ke dalam musim hujan dan musim kemarau dan
merupakan variabel dummy.
13. Umur petani adalah umur petani sampai wawancara dilakukan diukur dalam
tahun.
14. Pendidikan adalah waktu yang ditempuh petani untuk menyelesaikan
pendidikan formal mulai dari SD, SMP, SMA, DIPLOMA, dan strata satu.
Diukur dalam tahun
15. Pengalaman adalah lamanya waktu yang dilalui petani mulai bertanam
sayuran sampai saat wawancara dilakukan, diukur dalam tahun.
96 16. Keanggotaan dalam kelompok adalah petani tersebut masuk dalam
kelompok tani dan merupakan variabel dummy.
17. Frekuensi Penyuluhan adalah jumlah kunjungan penyuluh ke kelompok,
diukur dalam unit.
18. Akses terhadap kredit adalah kemampuan petani untuk akses terhadap
tambahan modal baik dari lembaga formal maupun informal, merupakan
variabel dummy.
19. Status kepemilikan lahan adalah adalah status petani sebagai pemilik,
penggarap, atau penyewa, merupakan variabel dummy.
20. Konservasi adalah sistem penanaman yang dilakukan petani meliputi sistem
penanaman searah lereng (tidak dikatagorikan konservasi), searah kontur,
dan teras bangku. Kedua sistem penanaman ini dikatagorikan ke dalam
sistem konservasi.
21. Tingkat erosi adalah besarnya erosi yang terjadi. Dihitung dengan
menggunakan prediksi erosi.
V. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN
5.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Jawa Barat merupakan daerah beriklim tropis dan curah hujan tinggi
dengan banyak jumlah hari hujan. Kondisi tersebut didukung oleh lahan yang
subur yang berasal dari endapan vulkanis dan banyaknya aliran sungai sehingga
cocok untuk dijadikan lahan pertanian. Kondisi topografi utara Jawa Barat
merupakan dataran rendah dan daerah selatan merupakan daerah berbukit-bukit
dengan sedikit pantai serta dataran tinggi bergunung di daerah tengah (Bappeda
Jawa Barat, 2010). Dengan demikian Jawa Barat merupakan daerah yang cocok
untuk tanaman hortikultura.
Penelitian ini dilakukan di Provinsi Jawa Barat. Kabupaten yang dijadikan
daerah penelitian yaitu Kabupaten Bandung dan Garut, kedua daerah tersebut
merupakan sentra produksi kentang terbesar di Jawa Barat. Kabupaten Bandung
terdiri atas 31 kecamatan, yang dibagi lagi menjadi 277 desa dan kelurahan
(pasca-pemekaran). Pusat pemerintahan terletak di Kecamatan Soreang. Batas
wilayah administrasi pemerintahan Kabupaten Bandung adalah:
- Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Bandung Barat, Kota Bandung,
dan Kabupaten Sumedang;
- Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Sumedang dan Kabupaten Garut;
- Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Garut dan Kabupaten Cianjur;
- Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Bandung Barat, Kota Bandung
dan Kota Cimahi
Kabupaten Bandung memiliki luas wilayah 176 239 Ha. Berada pada
koordinat 107°22’ - 108°5’ BT dan 6°41’ - 7°19’ LS, di ketinggian 110 – 2 429 m
dpl, sehingga memiliki wilayah yang datar/landai, kaki bukit, dan pegunungan
dengan kemiringan lereng beragam antara 0-8 persen, 8-15 persen hingga di atas
45 persen. Kabupaten Bandung beriklim tropis yang dipengaruhi oleh iklim
muson dengan curah hujan rata-rata antara 1 500 mm sampai dengan 4 000 mm
per tahun. Suhu udara berkisar antara 120 C sampai 240 C dengan kelembaban
antara 78 persen pada musim hujan dan 70 persen pada musim kemarau (Bappeda
Kabupaten Bandung, 2010)
98
Daerah sentra produksi komoditas hortikultura di Kabupaten Bandung,
terutama sayuran dan tanaman hias, umumnya terdapat di kawasan dataran tinggi
yang memiliki jenis tanah andosol yang cukup subur. Komoditas yang paling
banyak diusahakan meliputi; kentang, kubis, wortel, seledri, bawang merah, cabe,
bloom kol, tomat. selada, sawi putih, ceisin, terung, dan sekarang strowberry.
Penelitian di Kabupaten Bandung dilakukan di dua kecamatan yaitu
Kecamatan Pangalengan dan Kecamatan Kertasari sebagai daerah sentra produksi
kentang dan kubis. Kecamatan Pangalengan terdiri atas 13 desa yaitu Desa
Pangalengan, Margaluyu, Warnasari, Sukamanah, Lamajang, Margamukti,
Margamulya, Banjarsari, Sukaluyu, Tribaktimulya, Pulosari, Wanasuka, dan
Margamekar. Dari tiga belas desa tersebut dipilih enam desa yang dijadikan
sampel daerah penelitian.
Jarak dari Kecamatan Pangalengan ke ibukota kabupaten 36 km dan jarak
ke ibukota provinsi 42 km, jarak ke ibukota negara 220 km. Berdasarkan data
pada tahun 2010 curah hujan rata-rata di Kecamatan Pangalengan adalah 2 114
mm dengan jumlah bulan hujan 6 bulan., kelembaban 2, dengan ketinggian antara
983 dpl - 1564 dpl. Kecamatan Pangalengan mempunyai warna tanah hitam
dengan tekstur lampungan, pasir, dan debuan.
Berdasarkan tingkat kemiringan lahan, tingkat kemiringan lahan antara 2
persen sampai lebih dari 45 persen. Karena tanah di Pangalengan mempunyai
tingkat kemiringan yang curam, maka berdasarkan luas tanah yang tererosi, 16
persen lahan termasuk ke dalam erosi ringan, 19 persen erosi sedang, 21 persen
erosi berat dan 44 persen tak tererosi. Berdasarkan luas wilayah menurut
penggunaannya, perkebunan mempunyai luas terbesar diikuti oleh pesawahan
dan pemukiman (Monografi Kecamatan Pangalengan, 2010)
Kecamatan Kertasari terletak 45 km dari ibukota Kabupaten Bandung dan
55 km dari ibukota provinsi. Kecamatan ini terdiri atas tujuh desa, yaitu Desa
Sukapura, Cibeureum, Santosa, Tarumajaya, Neglawangi, Cihawuk, dan
Cikembang dengan luas wilayah 14 178 ha dari tujuh desa, terpilih dua desa
sebagai desa sampel penelitian yaitu Desa Cikembang dan Desa Cibeureum.
Berdasarkan data Kecamatan Kertasari tahun 2010, Kecamatan Kertasari
mempunyai ketinggian 1700 m dpl, dengan suhu berkisar antara 18o – 25o.
99
Bentuk wilayah datar berombak (10 persen), berombak sampai berbukit (15
persen) dan berbukit sampai bergunung (75 persen). Komoditas yang banyak
diusahakan di Kecamatan Kertasari adalah sayuran (3 479 hektar), diikuti oleh
padi (180 hektar), jagung (125 hektar), dan ketela pohon (45 hektar).
Kabupaten Garut terletak di Provinsi Jawa Barat bagian selatan pada
koordinat 6º56'49'' - 7º45'00'' Lintang Selatan dan 107º25'8'' - 108º7'30'' Bujur
Timur. Kabupaten Garut memiliki luas wilayah administratif sebesar 306 519 Ha
(3 065.19 km²) dengan batas-batas sebagai berikut :
Utara : Kabupaten Bandung dan Kabupaten Sumedang
Timur : Kabupaten Tasikmalaya
Selatan : Samudera Indonesia
Barat : Kabupaten Bandung dan Kabupaten Cianjur
Hingga tahun 2009 Kabupaten Garut memiliki 42 Kecamatan, 21
Kelurahan dan 403 Desa. Berdasarkan jenis tanah dan medan topografi di
Kabupaten Garut, wilayah Kabupaten Garut mempunyai kemiringan antara 0
persen sampai lebih dari 40 persen, dan 77 persen wilayah Kabupaten Garut
mempunyai kemiringan 15 persen sampai di atas 40 persen. Penggunaan lahan
secara umum di Garut Utara digunakan untuk persawahan dan Garut Selatan
didominasi oleh perkebunan dan hutan.
Kecamatan Cikajang terletak 26 km dari ibukota Kebupaten Garut.
Memiliki luas wilayah 12 495 Ha dengan penggunaan terbesar untuk perkebunan
(37 persen). Kemiringan lereng di Kecamatan Cikajang bervariasi antara 0 – 2
persen, 2 – 5 persen, 15 – 40 persen, hingga lebih dari 40 persen. Secara
administratif Kecamatan Cikajang terdiri atas 11 desa yang berbatasan dengan
Cisurupan, Cigedung, Banjarwangi, Pamulihan, Pakenjeng, Cisompet, dan
Cihurip. Pada sektor pertanian, komoditas unggulan yang ditanam yaitu kentang,
kubis, wortel, cabe besar, dan tomat.
Kecamatan Pasirwangi merupakan pemekaran dari Kecamatan Samarang
yang diresmikan pada 20 Januari 2001, terletak 27 km sebelah barat dari ibu kota
Kabupaten Garut dan 80 km sebelah selatan dari ibukota provinsi (Bandung).
Secara geografis, kecamatan ini terletak pada 7010’-7015’ Lintang Selatan dan
107041’ – 107050’ Bujur Timur. Secara administratif Kecamatan Pasirwangi
100
terdiri dari 12 desa yaitu Desa Pasirwangi, Karyamekar, Padaasih, Padamulya,
Padaawas, Padasuka, Pasirkiamis, Sarimukti, Talaga, Barusari, Padamukti, dan
Sirnajaya.
Luas wilayah Kecamatan Pasirwangi adalah 5 002.888 Ha. Kecamatan ini
berada pada ketinggian antara 900 – 1400 m diatas permukaan laut dengan
bentuk wilayah, 23 persen datar sampai berombak, 57 persen berombak sampai
berbukit, dan 20 persen berbukit sampai bergunung. Jenis tanah didominasi oleh
jenis asosiasi andosol (60 persen), dan podsolik (40 persen) dengan derajat
keasaman (PH) tanah umumnya berkisar 4.5 – 6.5. Suhu udara berkisar antara
200C- 340C dengan curah hujan rata-rata adalah 1 592.7 mm per tahun (132.7 mm
per bulan). Bulan basah terjadi selama 6.3 bulan, yaitu periode Oktober sampai
dengan April, bulan Kering 4.3 bulan, yaitu periode Mei sampai dengan
September. Kondisi ini membuat Kecamatan Pasirwangi merupakan salah satu
wilayah potensial penghasil sayur-sayuran terutama kembang kol, labu siam,
kubis, dan kentang.
5.2. Karakteristik Rumahtangga Petani Sampel
5.2.1. Struktur Umur Kepala Keluarga dan Anggota Keluarga Petani Sayuran Kentang dan Kubis Rumah tangga yang dijadikan sampel adalah rumah tangga petani yang
melakukan usahatani kentang dan atau kubis. Dari pengamatan tiga musim tanam
dalam setahun, berdasarkan hasil wawancara dengan petani sampel diperoleh
karakteristik petani di wilayah penelitian yang relatif beragam dalam hal umur,
tingkat pendidikan, pengalaman bertani, penguasan lahan, status kepemilikan dan
sistem penanaman baik untuk kentang maupun kubis. Beberapa karakteristik
petani dan keluarganya disajikan pada Tabel 8.
Rata-rata umur kepala keluarga petani sayuran baik untuk kentang maupun
kubis relatif sama sekitar 46 tahun. Demikian halnya umur istri petani relatif
sama sekitar 40 tahun. Struktur umur ini menunjukkan di daerah penelitian petani
sayuran maupun istri petani masih tergolong usia produktif. Jumlah tanggungan
keluarga rata-rata 3 orang, dan ini dikatagorikan sebagai keluarga kecil.
101
Tabel 8. Karakteristik Petani dan Anggota Keluarga Petani Sayuran Kentang dan Kubis di Jawa Barat, 2011
Uraian Kentang Kubis Rata-rata Std Rata-rata Std
Umur Kepala keluarga (tahun) 45.9 11.8 45.8 12.5Pendidikan kepala keluarga (tahun) 7.7 3.3 7.8 3.6Pengalaman Usahatani (tahun) 18.7 12.5 16.7 12.1Umur Istri (tahun) 40.1 11.5 40.6 11.7Pendidikan istri (tahun) 7.5 2.9 7.0 3.0Jumlah tanggungan Keluarga (orang) 3.2 1.6 3.0 1.31Keterangan: Std = Standar Deviasi
Jika dilihat berdasarkan struktur umur, berdasarkan hasil wawancara
terhadap 203 petani kentang dan 166 petani kubis, sebagian besar umur KK
rumahtangga petani berada pada usia produktif dengan persentase untuk petani
kentang sebesar 67.2 persen dan petani kubis 67.4 persen. Yang menarik adalah
sebanyak 64 orang (31 persen) petani kentang dan 58 orang petani kubis (34
persen) berada pada umur muda yaitu 31-40 tahun (Tabel 9)
Tabel 9. Sebaran Umur Petani Sayuran Kentang dan Kubis di Jawa Barat, 2011
Kentang Kubis
Interval Jumlah Petani(orang)
Persentase (%)
Jumlah Petani (orang)
Persentase (%)
< 30 Thn 16 7.8 17 10.2 31 – 40 64 31.6 58 34.9 41 – 50 57 28.1 37 22.3 51 – 60 40 19.7 30 18.1 > 60 26 12.8 24 14.5 Total 203 100.0 166 100.0 Sumber: data primer diolah
Bila dikaitkan dengan umur produktif (sampai umur 50 tahun) maka baik
petani kentang maupun petani kubis sekitar 67 persen berada pada kisaran umur
tersebut. Hal ini menunjukkan di daerah penelitian penduduk usia muda masih
tertarik dan berminat menjadi petani sayuran atau masih mau bekerja sebagai
petani dibandingkan beralih ke komoditas lain serta memiliki keinginan yang
tinggi untuk mempelajari dan menerapkan teknologi. Karena kentang dan kubis
ditanam pada lahan berlereng, maka dalam pengelolaannya memerlukan tenaga
fisik yang kuat. Seperti diketahui, usahatani sayuran masih memberikan
pendapatan per hektar yang lebih tinggi dibandingkan komoditas lainnya. Data
102
Dirjen Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat (2009) menunjukkan bahwa tanaman
kentang mampu memberikan R/C sebesar 1.05 dan kubis 1.33. Penelitian
Katharina (2007) menyebutkan tanaman kentang yang ditanam serarah lereng
memberikan R/C lebih tinggi yaitu sebesar 1.73, sementara data Kabupaten Garut
menyebutkan R/C untuk tanaman kentang sebesar 1.73.
5.2.2. Tingkat Pendidikan Kepala Rumah Tangga
Pendidikan dapat dibedakan menjadi pendidikan formal, non formal, dan
pendidikan informal. Pendidikan formal menyediakan pengetahuan spesifik atau
keterampilan umum yang berkontribusi pada produktivitas usahatani. Pendidikan
non formal menyediakan informasi spesifik tentang teknologi baru atau praktik
yang sesuai. Pendidikan informal membentuk sikap, kepercayaan, dan kebiasaan
Weir dan Knight (2004). Seluruh jenis pendidikan tersebut sangat penting dalam
difusi inovasi dan menciptakan eksternalitas pendidikan.
Tingkat pendidikan diukur dari lamanya tahun pendidikan formal yang
diselesaikan. Berdasarkan pada data Tabel 10, rata-rata pendidikan kepala
keluarga antara 7 tahun sampai dengan 8 tahun atau setara Sekolah Menengah
Pertama. Tabel 8. memperlihatkan tingkat pendidikan yang ditempuh petani
contoh. Jika dilihat dari jenjang pendidikan, maka dari pendidikan yang
diselesaikan sebagian petani sampel baik petani kentang (43.3 persen) maupun
petani kubis (41 persen) adalah lulusan SD. Namun demikian masih ada (>10
persen) petani yang tidak tamat SD. Dari hasil wawancara dengan petani,
umumnya mereka beranggapan untuk menjadi petani tidak perlu pendidikan tinggi
tetapi yang penting adalah keterlibatan dan keaktifan mereka untuk memperoleh
informasi dari sesama petani. Sekitar 4 persen petani kentang dan 5 persen petani
kubis mengenyam pendidikan di perguruan tinggi, dan 18-21 persen petani
kentang dan kubis mengenyam pendidikan sampai SMA. Berdasarkan hasil
wawancara, sebenarnya petani sayuran sangat memperhatikan pendidikan anggota
keluarganya, terbukti beberapa sampel petani berhasil menyekolahkan anak-
anaknya minimal SMA bahkan sampai perguruan tinggi.
103
Tabel 10. Tingkat Pendidikan Kepala Keluarga Petani Sayuran Kentang dan Kubis di Jawa Barat, 2011
Kentang Kubis Jumlah Petani
(orang) Persentase
(%) Jumlah Petani
(orang) Persentase
(%) TL SD 23 11.3 20 12.0SD 88 43.4 68 41.0SMP 48 23.7 34 20.5SMA 36 17.7 36 21.7PT 8 3.9 8 4.8Total 203 100 166 100Sumber: data primer diolah
Meskipun tingkat pendidikan formal rata-rata hanya 8 tahun, namun para
petani terus menerus belajar untuk menambah pengalaman bertaninya. Lebih dari
90 persen petani pernah mengikuti pendidikan non formal. Adapun pendidikan
non formal yang pernah diikuti berupa Sekolah Lapang yang diselenggarakan
oleh ACIAR, pelatihan budidaya sayuran, pengendalian hama terpadu yang
diselenggarakan oleh pemerintah maupun perusahaan swasta seperti PT Indagro
Sygenta dan Buyer, pembuatan pupuk bokasi, bahkan beberapa petani pernah
mengikuti pelatihan penagkaran benih kentang dan pemasaran. Bentuk kegiatan
penyuluhan yang diikuti antara lain pembinaan di lapangan secara berkelompok.
5.2.3. Pengalaman Berusahatani Kentang dan Kubis
Dilihat dari pengalaman bertani (Tabel 11), diperoleh rata-rata pengalaman
bertani kepala keluarga (menjadi petani mandiri) adalah 19 tahun untuk petani
kentang dan 17 tahun untuk petani kubis. Berdasarkan hasil wawancara,
berusahatani kentang sudah menjadi mata pencaharian pokok dan merupakan
usahatani yang turun temurun. Kegiatan ini sudah dilakukan oleh petani sejak
mereka masih sekolah dengan membantu orangtuanya maupun sebelum menikah,
bahkan empat orang petani sampel ditemukan belum menikah dan masih berusia
sekitar 25 tahun. Ke empat petani tersebut mengatakan bahwa sebelumnya
mereka bekerja sebagai pegawai di salah satu petani kentang dengan skala besar,
kemudia mereka memutuskan untuk berusahatani sendiri dengan jalan menyewa
lahan perkebunan dan tanah desa serta memanfaatkan tanah warisan orang tua
untuk dikelola.
104
Berdasarkan pengalaman pengusahaan sayuran selama 5 tahun terakhir,
petani mempersepsikan karakteristik tertentu untuk beberapa sayuran utama.
kentang dipersepsikan sebagai komoditas sayuran dengan teknik budidaya paling
dikuasai serta paling dapat diandalkan/menguntungkan. Tomat dan kubis
dikategorikan sebagai jenis sayuran yang memiliki risiko produksi paling tinggi
(terutama dikaitkan dengan risiko kehilangan hasil panen akibat serangan hama
penyakit). Komoditas sayuran yang di satu sisi fluktuasi harganya seringkali
bersifat ekstrim sehingga berpotensi tinggi menimbulkan kerugian, tetapi di sisi
lain membutuhkan biaya produksi paling tinggi adalah cabai (Adiyoga et al,
2004).
Sebagian besar petani kentang dan kubis (kurang lebih 60 persen)
mempunyai pengalaman berusahatani kurang dari 20 tahun dengan rata-rata
pengalaman 17 – 18 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa petani telah cukup lama
mengenal budidaya sayuran. Pengalaman bertani dapat mempengaruhi petani
dalam menentukan waktu tanam, pola tanam, atau jenis tanaman yang akan
ditanam berdasarkan pada musim. Selain itu pengalaman juga memungkinkan
petani untuk dapat mengalokasikan penggunaan input lebih efisien baik efisiensi
teknis maupun alokatif.
Tabel 11. Pengalaman Bertani Petani Kentang dan Kubis di Jawa Barat, 2011
Kentang Kubis
Interval Jumlah Petani (orang)
Persentase (%)
Jumlah Petani (orang)
Persentase (%)
< 20 122 60.1 103 62.1 21 – 30 43 21.2 41 24.7 31 – 40 25 12.3 14 8.4 41 – 50 11 5.4 8 4.8 > 51 2 1.0 0 0 Total 203 100 166 100 Sumber: data primer diolah
5.2.4. Kegiatan Kerja Anggota Keluarga Petani Sayuran Kentang dan Kubis di Jawa Barat, 2011 Di daerah penelitian, bertanam sayuran kentang dan kubis merupakan
pekerjaan utama. Petani dan keluarganya tidak hanya melakukan pekerjaan di
dalam usahatani (on farm) tetapi juga melakukan kegiatan berburuh tani (off farm)
dan kegiatan di luar usahatani (non farm). Kegiatan on farm yang dilakukan
105
selain mengusahakan sayuran mereka juga melakukan kegiatan beternak sapi dan
domba. Sebagian besar petani sampel mempunyai pekerjaan diluar usahataninya
(kegiatan non farm) seperti berdagang, tukang ojeg, dan ada pula yang menjadi
PNS, karyawan PTPN VIII dan karyawan KPPBS. Kegiatan off farm yang
dilakukan adalah menjadi buruh tani. Berdasarkan wawancara dengan petani
sampel pada umumnya istri terlibat dalam pengelolaan usahatani sayuran kentang
dan kubis, hanya sekitar kurang dari 15 persen anggota keluarga tidak terlibat
dalam usahatani sayuran.
5.2.5. Keanggotaan dalam Kelompok Tani
Dilihat dari keanggotaan kelompok tani, baik untuk petani kentang
maupun kubis hanya sekitar 50 persen ikut dalam kelompok tani yang ada di
desanya. Sisanya tidak ikut dalam kelompok (Tabel 12). Beberapa alasan yang
dikemukakan adalah lahan usahatani yang diusahakan sempit, lokasi ke tempat
pertemuan jauh, atau sebagian dari petani belum merasakan manfaat dari
berkelompok. Petani beranggapan pertemuan seringkali penyuluhan digunakan
oleh distributor pestisida untuk mempromosikan produknya sehingga informasi
mengenai budidaya, permasalahan hama penyakit, dan permasalahan pertanian
relatif kurang dibahas. Di samping itu informasi yang tidak menyeluruh
sehubungan dengan kegiatan kelompok menjadi alasan petani tidak ikut
berkelompok.
Tabel 12. Keanggotaan Dalam Kelompok Petani Kentang dan Kubis di Jawa Barat, 2011
Kentang Kubis Jumlah Petani (orang)
Persentase (%)
Jumlah Petani (orang)
Persentase (%)
Tidak ikut dalam keanggotaan 98 48.3 80 48.2Ikut dalam keanggotaan 105 51.7 86 51.8Total 203 100 166 100Sumber: data primer diolah
Berdasarkan hasil wawancara dengan petani sampel, sekitar 64 persen
petani merasakan manfaat yang besar dengan berkelompok, karena dapat
menambah wawasan, namun 36 persen petani menyatakan tidak ikut berkelompok
106
karena kurang berfungsi, dan kebanyakan pertemuan sering digunakan untuk
menjual produk. Selanjutnya dikatakan oleh hampir 100 persen petani bahwa
informasi mengenai teknik budidaya sering mereka dapatkan dari teman sesama
petani baik dalam satu desa maupun di luar desa, PPL, dan kelompok tani.
Informasi pemasaran sering mereka dapatkan dari pedagang sarana produksi baik
yang ada di desa maupun di luar desa, dan pedagang hasil produksi.
Frekuensi pertemuan dengan penyuluh relatif kurang. Berdasarkan hasil
wawancara dengan koordinator PPL, diakui bahwa bahwa dalam melaksanakan
tugasnya hampir 75 persen waktunya habis untuk rapat, membuat laporan dan
kegiatan administrasi lainnya sehingga waktu untuk memberikan penyuluhan
berkurang. Pada umumnya kelembagaan penyuluhan yang ada di daerah
penelitian sudah terbentuk dengan baik. Namun kelemahan yang ada, selain pada
materi penyuluhan, juga jumlah penyuluh di lapangan yang relatif kurang. Para
penyuluh yang ada sekarang sebagian besar mendekati umur pensiun, dan para
penyuluh Tenaga Harian Lepas (THL) yang pada umumnya relatif masih muda.
Digabungkannya para penyuluh dalam satu badan yaitu Badan
Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan( BP3K) membuat para penyuluh
menghadapi kendala dalam memberikan penyuluhan, karena tidak jarang
penyuluh kehutanan atau perikanan harus memberikan penyuluhan tentang
komoditas hortikultura. Akibatnya ada rasa kurang percaya diri dari penyuluh.
Frekuensi pertemuan dengan penyuluh relatif sama untuk petani kentang dan
kubis. Sekitar 40 persen petani menyatakan tidak pernah bertemu penyuluh dalam
satu tahun terakhir ini. Namun demikian sebagian besar petani menyatakan
mereka bertemu penyuluh antara 2 – 5 kali dalam setahun, bahkan beberapa orang
petani menyatakan lebih dari enam kali bertemu dengan penyuluh. Mereka adalah
ketua kelompok tani yang kadang-kadang ikut dalam pertemuan di luar desa.
107
Tabel 13. Frekuensi Keikutsertaan dalam Penyuluhan Petani Sayuran Kentang dan Kubis di Jawa Barat, 2011
Kentang Kubis
Interval Jumlah Petani (orang)
Persentase (%)
Jumlah Petani (orang)
Persentase (%)
0 84 41.4 66 39.8 1 sd 2 41 20.2 40 24.1 3 sd 4 58 28.6 47 28.3 5 sd 6 18 8.8 10 6.0 > 6 2 1.0 3 1.8 Total 203 100 166 100 Sumber: data primer diolah
5.2.6. Penguasaan Lahan Usahatani
Lahan merupakan sumberdaya alam yang paling penting dalam usaha
budidaya pertanian. Potensi Lahan di Kabupaten Bandung, terdiri atas lahan
sawah seluas 36 212 hektar atau 20.55 persen dari luas wilayah Kabupaten
Bandung (176.239 Ha), lahan kering seluas 140 027 hektar (79.45 persen) yang
terdiri atas lahan kering pertanian seluas 74 778 Ha (42.43 persen) dan lahan
kering bukan pertanian 65 249 Ha (37.02 persen). Di Kabupaten Garut, lahan
kering yang digunakan untuk sayuran sebesar 16 persen atau seluas 51 146 ha.
Berdasarkan pembagian lahan tersebut, maka 100 persen petani mengusahakan
sayuran di lahan kering. Hal ini sesuai dengan kondisi di lapangan bahwa daerah
penelitian mempunyai ketinggian 983 – 1564 meter dpl dan dikatagorikan lahan
dataran tinggi. Tabel 14. menyajikan sebaran luas lahan garapan petani kentang
dan kubis.
Tabel 14. Luas Lahan Garapan Petani Sayuran Kentang dan Kubis di Jawa Barat, 2011
Kentang Kubis
Interval Jumlah Petani (orang)
Persentase (%)
Jumlah Petani (orang)
Persentase (%)
< 0.5 ha 156 76.8 134 80.7 0.51 – 1 ha 26 12.9 21 12.7 > 1.1 ha 21 10.3 11 6.6 Total 203 100 166 100 Sumber: data primer diolah
108
Berdasarkan luas penguasaan lahan, di daerah penelitian luas lahan yang
diusahakan untuk tanaman sayuran berkisar antara 0.035 hektar sampai 8 ha untuk
kentang dan kubis berkisar 0.04 hektar sampai 6 hektar. Di daerah penelitian,
luas lahan yang digarap rata-rata 0.54 hektar. Sebagian besar petani kentang (76
persen) dan 81 persen petani kubis mengusahakan lahannya kurang dari 0.5
hektar. Sebanyak 12 persen petani kentang dan petani kubis mengusahakan
lahannya pada kisaran 0.5 – 1 hektar dan hanya sebagian kecil petani yang
mengusahakan lahannya lebih dari 1 hektar. Dari petani contoh yang
diwawancarai, 76.8 persen petani kentang mengusahakan sayuran di tanahnya
sendiri, 23.2 persen sebagai penyewa atau penggarap. Sedangkan bagi petani
kubis 75.3 persen mengusahakan lahan sebagai pemilik dan 24.7 persen sebagai
penyewa atau penggarap.
Berdasarkan hasil wawancara, mayoritas petani menggarap lahan dengan
kemiringan lebih dari 10 persen, yaitu sebanyak 55.2 persen untuk penanaman
kentang dan 58.4 persen untuk penanaman kubis (Tabel 15).
Tabel 15. Jumlah Petani Sayuran Kentang dan Kubis Berdasarkan Status Kepemilikan Lahan di Jawa Barat, 2011
Uraian Kentang Kubis
Jumlah Petani (orang) Persen
Jumlah Petani (orang)
Persen
1.Lahan Milik a. Memiliki lahan 156 76.8 125 75.3 b. Tidak Memiliki 47 23.2 41 24.7
Jumlah 203 100.0 166 100.0 2.Lahan bukan milik a. Menguasai 145 71.4 125 75.3 b. Tidak menguasai 58 28.6 41 24.7 Jumlah 203 100.0 166 100.0 3.Satus Penguasaan lahan a. Pemilik saja 59 29.1 49 29.5 b. Pemilik-penyewa 98 48.3 76 45.8 c. Penyewa saja 46 22.6 41 24.7
Jumlah 203 100.0 166 100.0 Sumber: data primer diolah
Selain itu, berdasarkan sistem penanaman yang dilakukan oleh petani
kentang maupun kubis, mayoritas adalah sistem penanaman searah kontur,
masing-masing sebanyak 47.3 persen dan 41. 6 persen (Tabel 16).
109
Tabel 16. Kemiringan Lahan Petani Sayuran Kentang dan Kubis di Jawa Barat, 2011
Kemiringan (%) Kentang Kubis
Jumlah Petani (orang)
Persentase (%)
Jumlah Petani (orang)
Persentase (%)
< 10 91 44.8 69 41.6 11 – 20 44 21.7 34 20.5 21 – 30 27 13.3 31 18.7 31 – 40 21 10.3 14 8.4 > 40 20 9.9 18 10.8 Total 203 100 166 100 Sumber: data primer diolah
Selain mengusahakan sayuran di lahanya sendiri banyak petani
memperluas lahan usahataninya dengan menyewa lahan milik orang lain. Namun
tidak sedikit petani yang mengarahkan lahannya untuk menanam kentang atau
kubis pada lahan berlereng. Hal ini disebabkan oleh terbatasnya lahan milik yang
dikuasai petani. Para petani menyewa lahan pribadi, lahan carik desa, lahan
perkebunan PTPN VIII, lahan PLN, dan lahan perhutani/kehutanan. Berdasarkan
informasi yang diperoleh dari beberapa petani sampel, pada awalnya lahan dengan
kemiringan >30 persen merupakan lahan kehutanan dan lahan perkebunan yang
ditanami oleh tanaman tahunan/tanaman keras, namun karena terdesak kebutuhan
lahan yang semakin meningkat, sedangkan lahan untuk sayuran terbatas, maka
kebanyakan petani membuka hutan dan menggarapnya untuk ditanami sayuran.
Ketika membuka lahan para petani mengeluarkan biaya yang cukup besar yaitu
sekitar Rp 5 juta /hektar sehingga sekarang mereka menganggap lahan tersebut
seolah-olah sudah menjadi miliknya.
Dilain pihak, untuk daerah Panglengan kepemilikan lahan terdiri atas
lahan milik masyarakat dan lahan milik negara yang berupa kawasan hutan dan
lahan milik PT Indonesia Power (Anak perusahaan PLN) (Arini, 2010). Selama
ini sebagian besar lahan milik PT Indonesia Power (PT IP) digarap oleh
masyarakat dengan didominasi oleh tanaman sayuran yang rentan terhadap erosi.
Namun sejak tahun 2007 oleh pihak PT IP dilakukan upaya perubahan pola tanam
bersama masyarakat menjadi usahatani konservasi lahan dengan system
agroforestri. Pada sistem ini, petani menanam berbagai jenis sayuran dan
dikombinasikan dengan tanaman kopi. Selain itu, sejak tahun 2001 Perum
110
Perhutani pun bersama masyarakat melakukan agroforestri dengan menanam kopi
bersama tanaman kehutanan dan telah panen sejak tahun 2004. Namun, karena
petani lebih mengandalkan hasil dari tanaman sayuran yang lebih cepat didapat
daripada hasil dari tanaman kopi, lambat laun petani justru menebang tanaman
keras yang telah ditanam karena menaungi sayuran tersebut dan dianggap
mengganggu pertumbuhan sayuran. Selain itu, tanaman kopi dianggap
mengurangi luasan lahan yang dapat digunakan untuk menanam sayuran sehingga
pendapatan yang diterima menurun.
Sebagian petani menggarap lahan kehutanan atau lahan perkebunan
dengan besarnya sewa tidak ditentukan. Selama ini Perum Perhutani belum
memberlakukan ketentuan berapa sewa lahan secara tertulis, tetapi yang terjadi
adalah tidak ada batas waktu kapan sewa berakhir. Pada umumnya petani
membayar sewa ke Perhutani berupa hasil kentang yang jumlahnya juga tidak
ditentukan. Hasil wawancara dengan Koordinator Penyuluh di Pangalengan,
menyatakan bahwa di daerah Pangalengan baru ada satu desa yang mempunyai
perjanjian tertulis (KSO) antara masyarakat dengan PTPN VIII yaitu di Desa
Margamukti, dengan sewa lahan yang telah ditetapkan yaitu sekitar Rp 3 juta –
3.5 juta rupiah per hektar per tahun. Di daerah lainnya harga sewa lahan
didasarkan pada kualitas lahan, jarak ke pusat desa dan kemiringan lahan.
Semakin datar harga sewa semakin mahal. Pada umumnya sewa lahan berkisar
antara Rp 500 000 – Rp 350 000/patok (Rp 6 750 000/hektar/tahun).
Berkaitan dengan akses terhadap kredit di daerah penelitian terdapat
lembaga perkreditan formal yang menyalurkan kreditnya kepada peminjam uang
yang diatur oleh undang-undang dan diatur juga oleh pemerintah. Lembaga-
lembaga tersebut adalah bank swasta, bank negara, dan koperasi yang terdaftar.
Lembaga perkreditan non-formal umumnya tidak diawasi oleh pemerintah dan
meliputi antara lain pelepas uang, pedagang, sahabat, keluarga, dan toko sarana
produksi pertanian. Untuk mengakses kredit dari lembaga keuangan formal
mengharuskan adanya agunan, sedangkan jika mengakses kredit dari lembaga
keuangan non formal tidak mengharuskan adanya agunan, melainkan didasarkan
lebih kepada kepercayaan antara peminjam dan pemilik uang yang meminjamkan.
111
Pilihan petani terhadap salah satu sumber kredit berhubungan erat dengan
karakteristik, sikap dan nilai dari petani serta lingkungan hidupnya maupun
karakteristik dari lembaga perkreditan. Karakteristik dari petani meliputi total luas
lahan, jenis usahatani, pendapatan diluar usahatani, umur petani, tingkat
pendidikan dan lamanya berusahatani (Sinaga, 2011). Karakteristik lembaga
perkreditan meliputi tingkat suku bunga, agunan, dan tingkat kemudahan dalam
memberikan kredit baik yang menyangkut prosedur maupun waktu. Bagi petani,
tinggi rendahnya bunga bukan merupakan faktor penentu. Prosedur yang terlalu
panjang serta proses pengambilan kredit yang terlalu lama akan meningkatkan
biaya-biaya yang dikeluarkan sehingga total biaya kredit akan semakin tinggi.
Murah atau mahalnya kredit tidak hanya ditentukan oleh besarnya bunga nominal,
tetapi juga oleh biaya transaksi yang harus dibayar oleh peminjam. Semakin tinggi
biaya transaksi akan menyebabkan biaya kredit secara total akan semakin tinggi
(Sinaga, 2011).
Berdasarkan hasil wawancara 36.9 persen petani kentang, dan 36.1 persen
petani kubis memiliki akses terhadap kredit (Tabel 17), artinya mereka memiliki
akses terhadap lembaga keuangan formal maupun non-formal (penyedia sarana
produksi, maupun tengkulak). Di daerah penelitian, sebagian besar petani
meminjam modal untuk pembelian sarana produksi pada tengkulak yang nantinya
akan dibayar setelah panen. Di lain pihak, petani yang memiliki akses kepada
lembaga keuangan formal (bank) relatif sedikit, hal ini disebabkan pinjaman ke
bank memerlukan agunan dan prosedur yang lebih rumit menurut pandangan
petani, disamping itu dengan meminjam ke bank, petani harus membayar cicilan
setiap bulan, padahal mereka memperoleh hasil 100 hari kemudian.
Tabel 17. Akses Terhadap Kredit Petani Sayuran Kentang dan Kubis di Jawa Barat, 2011
Aksesibilitas Kentang Kubis
Jumlah Petani (orang)
Persentase (%)
Jumlah Petani (orang)
Persentase (%)
Tidak akses 128 63.1 106 63.9 Akses 75 36.9 60 36.1 Total 203 100 166 100 Sumber: data primer diolah
112
5.2.7. Pola Tanam Usahatani Sayuran Kentang dan Kubis
Kecamatan Pangalengan, Kertasari, Pasirwangi, dan Cikajang merupakan
sentra produksi kentang dan kubis di Jawa Barat. Komoditas lainnya yang banyak
ditanam di daerah tersebut adalah wortel, petsay, bawang daun, kacang, tomat,
jagung, kembang kol, dan cabe. Semua komoditas tersebut sudah turun temurun
diusahakan. Intensitas penggunaan lahan di daerah penelitian tergolong tinggi.
Intensitas penggunaan lahan selama satu tahun mencapai 300 persen. Artinya
selama satu tahun petani menggunakan lahannya untuk tiga kali tanam yaitu pada
musim kemarau I (MKI), musim hujan (MH) dan musim kemarau II (MKII).
Pada umumnya petani melakukan rotasi untuk sayuran yang ditanam. Pola tanam
di daerah penelitian sangat beragam, namun setiap petani tetap mengusahakan
tanaman kentang dan kubis untuk setiap kegiatan usahataninya. Kentang dan
kubis ditanam secara monokultur.
Pada umumnya lahan petani lebih dari satu persil, sehingga bisa saja petani
mengusahakan kentang dan kubis pada waktu yang sama tetapi pada persil yang
berbeda. Berdasarkan wawancara dengan Koordinator PPL dan informan kunci,
pada umumnya lahan yang telah ditanami kentang sebaiknya tidak ditanami
kentang lagi, tetapi diganti dengan tanaman lain. Hal ini dimaksudkan untuk
memutus rantai hama dan penyakit. Secara umum pola tanam setahun adalah
kentang-kubis-kentang, kubis-kentang-kubis, kentang-kubis-wortel/ cabe/ kacang/
jagung. Berdasarkan hasil wawancara, petani sampel dalam satu tahun menanam
kentang dua kali diselingi oleh kubis atau tanaman lainnya seprti tomat, wortel,
petsay, bawang daun, atau jagung.
5.2.8. Sistem Penanaman dan Konservasi
Di daerah penelitian terdapat tiga bentuk sistem penanaman yang biasa
dilakukan oleh petani yaitu penanaman pada guludan searah lereng, penanaman
pada guludan searah kontur, dan sistem penanaman dengan teras bangku. Menurut
Arsyad (2000), sistem penanaman searah lereng tidak dikatagorikan sebagai suatu
sistem konservasi pertanian. Adapun yang termasuk sistem konservasi adalah
penanaman searah kontur dan teras bangku, penggunaan mulsa, dan penanaman
tanaman sela. Pada umumnya petani menggunakan satu sistem penanaman dalam
113
mengelola usahataninya, namun hasil wawancara menunjukkan bahwa terdapat 5
orang petani yang menggunakan dua sistem penanaman yang berbeda tergantung
musim pada saat tanam. Pada musim hujan petani menanam pada guludan searah
lereng dengan alasan agar tanamannya tidak terbawa air, dan pada musim
kemarau digunakan penanaman searah kontur dengan tujuan agar dapat menahan
air lebih lama.
Petani melakukan penanaman searah lereng dengan alasan kebiasaan,
mudah dalam perawatannya, air bisa langsung mengalir sehingga guludan tidak
tergenang, sebab kalau tergenang mudah menimbulkan penyakit busuk akar.
Selanjutnya petani menanam dengan sistem penanaman dengan guludan searah
kontur disebabkan oleh beberapa alasan yaitu: menghindari erosi/longsor,
instruksi dari dinas pertanian, dapat menahan air, dan produksi lebih tinggi
dibandingkan dengan penanaman searah lereng.
Arsyad (2000) menyatakan bahwa sistem penanaman serah kontur dan
teras bangku termasuk ke dalam sistem konservasi pertanian. Berkaitan dengan
sistem konservasi, para petani mendapatkan informasi teknologi konservasi dari
penyuluh (45.6 persen) dan dari sesama petani (54.4 persen). Petani sampel
menyatakan bahwa konservasi bermanfaat karena dapat meningkatkan produksi,
melindungi sumberdaya lahan, kualitas lingkungan membaik, dan dapat
menghemat tenaga kerja. Tabel 18 menyajikan sistem penanaman di daerah
sampel
Tabel 18. Sistem Penanaman Petani Sayuran Kentang dan Kubis di Jawa Barat, 2011
Sistem Penanaman
Kentang Kubis Jumlah Petani (orang)
Persentase (%)
Jumlah Petani (orang)
Persentase (%)
Searah Lereng (tanpa konservasi) 96 47.3 69 41.6 Searah Kontur (konservasi) 61 30.0 63 37.9 Teras Bangku (konservasi) 46 22.7 34 20.5 Total 203 100 166 100 Sumber: data primer diolah
Dalam kaitannya dengan kemiringan lahan, yang banyak menjadi masalah
adalah erosi dan degradasi lahan. Oleh karena itu perlu upaya konservasi untuk
114
mencegah timbulnya erosi yang lebih tinggi. Metode konservasi tanah yang
banyak digunakan petani adalah pengolahan tanah searah kontur, guludan, dan
teras bangku. Pada pengolahan tanah menurut kontur, pencangkulan dilakukan
memotong lereng sehingga terbentuk jalur tumpukan atau alur yang melintang
lereng. Menurut Arsyad (2000) pengolahan tanah dengan cara ini akan efektif
bila diikuti oleh penenaman searah kontur juga. Teras bangku berfungsi untuk
mengurangi panjang lereng agar dapat mengurangi erosi. Teras bangku cocok
untuk lereng 20 – 30 persen atau lebih. Pada umumnya petani di daerah penelitian
jarang menggunakan sistem konservasi ini karena selain mahal, mereka
beranggapan bahwa teras bangku akan mengurangi luasan lahan dan disamping
itu biaya untuk sistem ini relatih mahal. Hasil wawancara dengan Koordinator
PPL menyatakan bahwa biaya pembuatan teras bangku sebesar Rp 30 juta per
hektar.
5.3. Keragaan Usahatani Sayuran Kentang dan Kubis
Kentang dan kubis di daerah penelitian ditanam pada lahan dengan
ketinggian > 1000 m dpl. Hamparan lahan mulai 0 persen sampai 80 persen. Pola
tanam yang dilakukan bervariasi, namun pada umumnya petani kentang dan kubis
menggunakan lahannya secara intensif dua sampai tiga kali dalam setahun.
Kepemilikan lahan usahatani bervariasi, mulai dari 0.04 hektar sampai 8 hektar,
dengan rata-rata 0.54 hektar untuk kentang dan 0.5 ha untuk kubis. Untuk
memperluas lahannya, pada umumnya petani menyewa lahan baik dari penduduk
sekitar maupun menyewa pada lahan perkebunan atau lahan kehutanan.
Penggunaan benih di lokasi penelitain berasal dari benih sebelumnya yang
mereka beli dari petani lain atau petani melakukan pembenihan sendiri dengan
kelas benih yang kurang jelas. Petani juga menggunakan benih bersertifikat yang
mereka beli dari penangkar benih. Pada umumnya petani jarang membeli dari
toko pertanian, karena sejak impor benih dilarang pemerintah, maka toko sarana
produksi tidak menyediakan benih kentang. Di daerah penelitian harga benih
bervariasi mulai Rp 10000 /kg sampai Rp 18000/kg. Penggunaan benih per
hektar rata-rata sebesar 1 1382 kilogram untuk kentang dan 26 500 pohon per
hektar.
115
Varietas yang digunakan petani di daerah penelitian adalah Granola.
Varietas ini mempunyai hasil yang tinngi, berumur pendek (90 hari) dan memiliki
daya adaptasi yang luas, serta toleran terhadap serangan layu bakteri (Ridwan,
2010). Varietas lainnya yang ditanam petani adalah varietas atlantik.
Berdasarkan wawancara dengan petani sampel 90 persen petani menggunakan
varietas granola, dan sisanya 10 persen menggunakan varietas atlantik (ditanam
oleh petani yang bermitra dengan PT Indofood). Selanjutnya untuk tanaman
kubis varietas yang paling banyak ditanam petani adalah greenova dengan
penggunaan benih sekitar 26500 pohon bibit per hektar.
Sejak impor benih kentang dari Belanda dan Australia dilarang, petani di
Pangalengan, Kertasari, Pasirwangi, dan Cikajang sering mengeluhkan kurangnya
ketersediaan benih kentang, terutama benih bersertifikat. Pangalengan sebagai
sentra produksi kentang Jawa Barat masih dihadapkan pada kurangnya jumlah
penangkar, sehingga benih yang dihasilkan masih belum dapat memenuhi
kebutuhan benih kentang yang ada. Disisi lain, benih yang digunakan petani di
Kertasari, Pasirwangi, dan Cikajang mengandalkan ketersediaan benih yang
berasal dari Pangalengan, karena kurangnya jumlah penangkar di kecamatan
tersebut. Hal ini menyebabkan tingginya ongkos yang dikeluarkan petani untuk
pembelian benih. Akibat keterbatasan tersebut, akhirnya petani lebih banyak
menggunakan benih kentang dari hasil produksi sebelumnya baik dari produksi
sendiri, maupun produksi petani lain. Hal ini mengakibatkan kualitas maupun
kuantitas kentang yang dihasilkan kurang maksimal.
Berbeda dengan kentang, ketersediaan benih kubis di daerah penelitian
tidak mengalami kendala yang berarti. Pada umumnya benih dapat dibeli di kios
produksi untuk disemaikan. Namun, petani lebih memilih membeli bibit dari
petani lain karena berbagai alasan. Pertama, dengan menanam benih yang sudah
menjadi bibit, petani sudah dapat memperkirakan daya tumbuh dari bibit tersebut.
Kedua, adanya efisiensi waktu dan tenaga kerja yang digunakan.
Pengolahan tanah bertujuan untuk menyiapkan tempat tumbuh yang baik
untuk tanaman, menekan pertumbuhan gulma, dan memperbaiki sifat fisik, kimia,
dan biolagi tanah. Kegiatan olah tanah yang dilakukan oleh petani menggunakan
sistem cangkul, yaitu sistem olah tanah yang tergantung pada bekas lahan
116
penanaman sebelumnya. Di daerah penelitian petani mengolah lahan dengan cara
mencangkulnya dengan kedalaman 30 cm. Kemudian dibuat garitan dengan jarak
antar garitan 70-80 cm. Bedengan dibuat dengan panjang 6 - 7 m dan lebar 70
cm. Jarak antar bedengan dibuat seukuran dengan lebar cangkul lebih kurang 25
cm sampai 30 cm. Bedengan dibuat dengan tujuan untuk melindungi kerusakan
akar tanaman kentang terhadap genangan air karena akar mudah busuk. Arah
bedengan disesuaikan dengan topografi lahan.
Pada lahan yang memiliki topografi datar, arah bedengan dapat ke segala
arah diusahakan searah dengan saluran irigasi sedangkan lahan yang bertoporafi
lereng, arah bedengan idealnya dibuat searah kontur (memotong lereng). Lereng
yang semakin curam akan meningkatkan kecepatan aliran permukaan sehingga
kekuatan mengangkut dan erosi akan meningkat pula. Lereng yang semakin
panjang akan menyebabkan volume air yang mengalir menjadi meningkat
(Dariah, 2005). Hampir 60 persen petani menggunakan teknik penanaman searah
lereng. Berdasarkan hasil wawancara petani menerapkan sistem membuat
guludan searah lereng karena kalau musim hujan mencegah genangan air,
menghindari pembusukan akar tanaman, dan satu alasan lagi adalah sulit dalam
pengerjaannya sehingga memerlukan waktu yang lebih lama untuk mengolah
lahan.
Pupuk yang digunakan petani di Pangalengan, Kertasari, Pasirwangi, dan
Cikajang adalah Urea, ZA, KCl, TSP/SP-36, dan pupuk majemuk NPK. Dalam
penelitian ini untuk estimasi fungsi produksi pupuk tidak didefinisikan dalam
bentuk agregatnya namun dihitung dalam bentuk unsur hara utama yang
dikandungnya yaitu N, P2O5, dan K2O. Kandungan tersebut dapat terlihat dari
kemasan yang dibeli petani. Unsur hara N berasal dari pupuk Urea sebanyak 46
persen, dari NPK sebanyak 15 persen dan dari ZA sebanyak 21 persen. Unsur
hara P berasal dari pupuk SP 36 sebesar 36 persen dan dari NPK 15 persen.
Unsur hara K2O berasal dari NPK 15 dan KCl 60 persen.
Baik pada budidaya kentang maupun kubis, pupuk yang digunakan adalah
pupuk anorganik (Urea, ZA, TSP/KCl, NPK serta pupuk organik atau pupuk
kandang. Penggunaan pupuk ini sangat bervariasi, pada tanaman kentang, rata-
rata penggunaan pupuk Urea + ZA sebesar 580 kg/ha, TSP 461 kg/ha, NPK 710
117
kg/ha, dan KCl 112 kg/ha. Sementara itu penggunaan pupuk pada kubis adalah :
Urea + ZA 536.5 kg/ha, TSP 280 kg/ha, NPK 648 kg/ha, dan KCl 261 kg/ha.
Petani kentang hampir 84 persen menggunakan pupuk majemuk, selebihnya
pupuk tunggal, sedangkan pada petani kubis hanya 78 persen yang menggunakan
pupuk majemuk NPK.
Pupuk organik (pupuk kandang) berfungsi untuk mengikat air tanah yang
lebih besar sehingga pupuk yang terlarut masih ada. Pupuk kandang dapat
meningkatkan agregasi tanah, pori-pori tanah dan air tanah. Semua petani
kentang dan kubis menggunakan pupuk kandang dalam usahataninya. Pupuk
kandang berasal dari kotoran sapi, domba, atau ayam. Rata-rata penggunaan
pupuk kandang adalah 18.9 ton/ha untuk kentang dan 12.7 ton untuk kubis. Para
petani di daerah penelitian mendapatkan pupuk kandang pada umumnya dari luar
kota, seperti dari Sukabumi dan Tangerang. Yang perlu dicermati adalah
kontinuitas ketersediaan pupuk ini sehubungan dengan tingginya penggunaan.
Barangkali perlu difikirkan bagaimana supaya ketersediaan ini terus berlanjut.
Berbagai faktor yang mempengaruhi penggunaan pupuk antara lain: petani
masih belum memahami kebutuhan pupuk maupun berbagai jenis hara makro
(baik hara makro maupun mikro) dan kegunaan masing-masing unsur hara
tersebut untuk pertumbuhan tanaman, sehingga pemakaian pupuk ini berlebihan.
Faktor kebiasaan juga menjadi penyebab penggunaan pupuk yang berlebihan. Di
lain pihak ada petani yang menggunakan pupuk di bawah anjuran, karena
keterbatasan modal, petani tidak bisa membeli pupuk karena pupuk relatif mahal.
Sehingga tidak mampu membeli pupuk sesuai dengan kebutuhan tanaman.
Pada umumnya petani menggunakan pestisida untuk mencegah terjadinya
serangan hama dan penyakit. Petani kentang dan kubis menggunakan merek
pestisida (fungisida padat/cair, herbisida padat/cair dan insektisida pada/cair).
Berdasarkan wawancara dengan petani dan pedagang sarana produksi, lebih dari
30 merek pestisida yang beredar di masyarakat. Fungisida adalah zat kimia yang
digunakan untuk mengendalikan cendawan. Jenis fungisida yang biasa digunakan
para petani yaitu: sistemik misalnya Aminil, Antracol, Acrobat, Revus, dan
Thrivicur, serta kontak misalnya Amcozeb. Insektisida adalah zat kimia yang
118
digunakan untuk membunuh serangga pengganggu. Jenis insektisida antara lain:
Winder, Ramvage, Alika, dan Prevathon.
Berdasarkan jumlah penggunaan pestisida maka dalam penelitian ini
jumlah pestisida yang digunakan disetarakan dengan jumlah merek pestisida yang
paling banyak digunakan oleh petani. Untuk tanaman kentang pestisida yang
paling banyak adalah Daconil, sehingga penggunaannya disetarakan dengan
Daconil (konversi ke fungisida Daconil) untuk kentang, dan setara Demolish
untuk kubis (konversi ke fungisida Demolish). Pada umumnya petani
menyemprot 2 -3 kali dalam seminggu pada saat musim hujan,dan menyemprot 4-
5 hari sekali pada saat musim kemarau. Secara rata-rata penyemprotan berkisar
antara 4 – 20 kali. Namun banyak petani yang menyatakan mereka menyemprot
ada atau tidak ada serangan sehingga penggunaan pestisida menjadi berlebihan.
Berdasarkan hasil wawancara petani kentang lebih intensif dalam mengendalikan
OPT. Hampir 90 persen petani menyatakan bahwa penyemprotan dengan
frekuensi tinggi dilakukan untuk antisipasi atau pencegahan sebelum hama
nmenyerang sebab kalau sudah terserang sulit dihindari, alasan lainnya adalah
menghindari gagal panen.
Hasil wawancara dengan para petani ditemukan bahwa sebagian besar
petani menggunakan dosis yang berlebihan dan frekuensi aplikasi yang terlalu
sering bahkan sebelum hama/penyakit menyerang. Perilaku ini tentu saja
merupakan suatu pemborosan karena bertambahnya biaya selain biaya pestisida
juga biaya tenaga kerja untuk menyemprot. Penggunaan pestisida yang
berlebihan ini akan menyebabkan residu pestisida.
Sebagian besar petani menyatakan tanaman kentangnya pernah terkena
serangan hama penyakit, yang sering menyerang adalah hama ulat grayak, hama
kutu daun, dan hama ulat tanah serta hama trip. Penyakit yang sering menyerang
tanaman kentang adalah penyakit busuk daun, layu bakteri, dan bercak kering.
Hal ini menyebabkan para petani menyemprot tanaman kentangnya ada atau tidak
ada serangan. Hal ini pula yang menyebabkan petani jarang menanam kentang
searah kontur, karena mereka beranggapan penanaman searah kontur dapat dapat
menyebabkan air hujan tertahan sehingga menyebabkan serangan penyakit.
Aryad (2000) menyatakan bahwa penanaman searah kontur dapat menghambat
119
aliran permukaan sehingga terjadi penyerapan air dan mencegah terangkutnya
tanah.
Tenaga kerja yang digunakan dalam usahatani kentang dan kubis berasal
dari tenaga kerja keluarga dan tenaga kerja luar keluarga atau tenaga kerja upahan.
Biasanya petani lebih banyak menggunakan tenaga kerja luar keluarga pada saat
pengolahan lahan dan panen. Banyaknya tenaga kerja upahan ini tergantung pada
luas lahan yang dikelola. Pekerjaan seperti mengolah lahan, mengangkut sarana
produksi dan hasil produksi, menyemprot, lebih banyak digunakan tenaga kerja
pria sedangkan wanita lebih banyak mengerjakan menyiram, memupuk, atau
panen. Berbeda dengan tanaman pangan terutama padi, pada tanaman sayuran
pengolahan lahan juga banyak dikerjakan kaum wanita. Namun demikian karena
kentang dan kubis ditanam pada lahan berlereng, apalagi pada musim kemarau
pekerjaan menyiram lebih banyak dilakukan oleh tenaga kerja pria. Secara umum
kegiatan pengolahan tanah dan pemeliharaan tanaman memerlukan tenaga kerja
lebih banyak dibandingkan kegiatan lainnya. Adanya penggunaan tenaga kerja
harian untuk jaga malam setelah tanaman berumur kurang lebih 70 hari, sampai
100 hari (sampai panen) terutama untuk tanaman kentang menyebabkan
kebutuhan tenaga kerja menjadi lebih banyak.
Berdasarkan hasil wawancara dengan petani sampel, kentang dipanen rata-
rata setelah berumur 100 hari, sedangkan kubis dipanen setelah berumur 90 hari.
Jumlah produksi kentang di daerah penelitian rata-rata mencapai 18.84 ton.
Kentang yang dihasilkan diklasifikasikan pada Grade AL, ABC, DN dan ARS.
Pengkelasan dilakukan berdasarkan jumlah umbi per kg atau berat umbi dalam
gram. Untuk grade AL jumlah umbi per kg sebanyak 2-5, grade ABC 10-12 per
kg, DN 20-30 umbi per kg dan ARES lebih dari 30 umbi per kg. Untuk kubis,
panen dilakukan pada umur 90 -120 hari. Berbeda dengan kentang tidak ada
pengkelasan dalam kubis dan pda umumnya panen kubis dilakukan secara
borongan. Rata-rata produksi kubis di daerah penelitian adalah 23.6 ton per ha
Pemasaran kentang di daerah penelitian dilakukan melalui tiga jalur
pemasaran yaitu pasar tradisional, pasar modern, dan industri pengolahan.
Namun untuk petani sampel, pemasaran banyak dilakukan ke pasar tradisional,
baik pasar lokal maupun pasar induk yang ada di Jakarta, Bandung, Tangerang,
120
dan Bogori. Pasar tradisional yang menjadi tujuan pemasaran adalah Pasar Garut,
Pasar Pangalengan, Pasar Caringin Bandung, Pasar Induk Kramat Jati Jakarta dan
Pasar Kemang Bogor. Pada saat penelitian harga kentang konsumsi di pasaran
berkisar anatar Rp 2500 – Rp 6000 per kilogram. Adapun jalur pemasaran yang
dilalui adalah:
Petani pedagang pengumpul pedagang besar pedagang pasar lokal/pasar
induk.
Pada saat panen biasanya petani sudah memisahkan ukuran kentang
(grading). Bila transaksi penjualan dilakukan di kebun, maka akan terjadi
kesepakatan antara penjual dengan pembeli siapa yang akan membiayai biaya
sortasi dan grading, namun pada umumnya untuk kentang biaya ini ditanggung
oleh petani. Sebaliknya untuk kubis karena kebanyakan penjualan menggunakan
sistem tebas maka biaya angkut dan lainnya ditanggung oleh pedagang
pengumpul. Jenis kentang yang dipasarkan adalah varietas granola. Harga
ditentukan berdasarkan ukuran atau keseragaman dan kondisi kulit serta
kebersihan umbi.
Pada saat dilakukan wawancara dengan pedagang pengumpul, biasanya
mereka sudah mendapat informasi mengenai harga kentang di pasar induk baik di
Bandung, Bogor, Tangerang, maupun Jakarta. Namun demikian tidak dapat
dipungkiri bahwa sekarang petani pun sudah bisa mendapat informasi mengenai
harga kentang di pasaran sejalan dengan berkembangnya teknologi informasi
handphone yang sudah sampai ke pelosok perdesaan. Dengan demikian posisi
tawar petani meningkat, karena apabila tidak sepakat dengan harga petani dapat
menyimpannya beberapa hari sampai harga dianggap bagus. Tidak demikian
dengan kubis. Pemasaran kubis umumnya dilakukan secara langsung sesaat
setelah panenke pedagang pengumpul karena kubis termasuk tanaman yang
mudah busuk.
Berdasarkan hasil wawancara dengan pedagang pengumpul dan pedagang
besar, biasanya para pedagang membawa kentang atau kubis ditambah dengan
komoditas lainnya seperti wortel, tomat, bawang daun, seledri, sawi putih, dan
lainnya. Kendaraan yang digunakan adalah truk dengan kapasitas 7 – 8 ton dan
ongkos angkut dari Pangalengan dan Kertasari sebesar Rp 1,2 juta sampai di
121
Pasar Induk Kramat jati atau Tangerang. Pemasaran ke industri pengolahan
dilakukan ke PT Indofood terutama oleh petani mitra dengan kualitas yang telah
ditentukan, dan varietas yang ditanam adalah Atlantik. Biasanya kemitraan
dilakukan melalui Kelompok tani.
5.4. Analisis Biaya, Penerimaan dan Pendapatan Usahatani Kentang dan Kubis di Jawa Barat, 2011
Pada penelitian ini, biaya pembelian input (benih, pupuk, pestisida, pupuk
kandang) dihitung berdasarkan harga di tingkat petani. Harga tersebut dihitung
sebagai harga pembelian ditambah dengan ongkos/biaya transportasi ke lokasi.
Semakin jauh ke lokasi biaya transportasi semakin mahal. Untuk menganggkut
pupuk ke lokasi lahan yang berlereng curam, biaya transportasi pupuk biasanya
dihitung per karung (kurang lebih 50 kg), ongkos motor/ojeg berkisar antara Rp
7000 – Rp 15 000 per karung tergantung pada jarak yang ditempuh. Biaya tenaga
kerja dihitung berdasarkan upah yang berlaku ditambah dengan pengeluaran
lainnya seperti pengeluaran untuk rokok, makan, dan minum.
Harga output baik kentang maupun kubis, dihitung berdasarkan harga
yang berlaku di tingkat petani. Harga kentang dihitung sebagai harga yang
berlaku dikurangi dengan biaya angkut dari lokasi sampai pinggir jalan besar.
Besarnya biaya angkut berkisar antara Rp 50- Rp 100 per kg. Khusus komoditas
kentang harga yang berlaku didasarkan pada grade dari kentang yaitu garade AL,
ABC, DN, dan ARES. Harga kentang pada saat penelitian dilakukan berkisar
antara Rp 2500 – Rp 6000. Grade AL mempunyai harga tertinggi dan grade
ARES mempunyai harga yang paling rendah. Di daerah penelitian, sebagian
petani kentang juga melakukan kemitraan dengan PT Indofood, harga kemitraan
relatif stabil pada harga Rp 4.800/kg. Menurut para petani mitra salah satu
keuntungan dari kemitraan ini adalah adanya kepastian harga yang relatif stabil.
Namun kerugiannya adalah pada saat harga naik, harga kentang petani mitra tidak
ikut naik.
Panen kubis dilakukan oleh hampir 100 persen petani menggunakan
sistem tebas, sehingga tidak ada biaya angkut (biaya angkut ditanggung para
pedagang atau tengkulak). Sistem ini sudah menjadi kebiasaan di daerah
penelitian baik di Kabupaten Bandung maupun Garut. Akibatnya para petani
122
kadang-kadang tidak tahu berapa sebenarnya produksi yang dihasilkan, karena
hanya didasarkan pada tawar menawar antara petani dengan tengkulak. Biasanya
produksi untuk luasan tertentu sudah bisa ditaksir berdasarkan pengalaman.
Analisis pendapatan untuk usahatani kentang dan kubis disajikan pada Tabel 19.
Tabel 19. Struktur Penerimaan, Biaya, dan Pendapatan Usahatani Kentang dan Kubis per Hektar di Jawa Barat, 2011
Kentang Kubis
Uraian Jumlah Harga (Rp000)
Total (Rp000) Jumlah Harga
(Rp000) Total
(Rp000) Produksi (kg) 18 841.20 23 604.3 Harga (Rp) 4.589 1,17 Penerimaan ( R ) 86 462 276.8 27 630.56 Biaya Variabel Benih (kg) 1 382.70 12.784 17 676.44 26 499.7* 0.061. 1 616.48 Pupuk buatan(Kg) Urea +ZA 579.70 1.736 1 006.36 536.5 1.736. 931.36 TSP 461.20 2.021 932.09 280.2 2.021. 566.28 KCl 112.60 2.435 274.18 261.2 2.435. 636.02 NPK 710.50 2.859 2 031.32 648.4 2.859. 1 853.78 Pupuk Kandang(kg) 18 877.20 0.364 6 871.31 12 674.4 0.396. 5 019.06 Pestisida (L) 44.30 13.722 6 078.85 12.0 143.783. 1 725.40 Tenaga kerja (HKP) 477.40 18.718 8 935.97 272.0 19.803. 5 386.42 Ajir 14 285.00 0. 050 714.25 - rafia/tali wuri 10.00 35.000 350.00 Biaya Variabel Total 44 870.75 Biaya Tetap: Sewa lahan 3 000.00 3 000.00 Penyusutan Alat 246.62 202.07 Biaya Tetap Total 3 246.62 3 202.07 Biaya Total ( C ) 48 117.37 20 590.62 Pendapatan (R-C) 38 344.90 7 039.94 R/C 1.8 1.3 Keterangan * = jumlah bibit dalam (pohon)
Dari Tabel 19 terlihat bahwa untuk kentang biaya benih merupakan
komponen biaya terbesar, diikuti oleh biaya tenaga kerja. Sedangka untuk kubis
biaya tenaga kerja merupakan komponen terbesar. Kentang merupakan tanaman
untama untuk petani sayuran di daerah penelitian. Meskipun biaya yang
dikeluarkan besar, namun pendapatan yang diperoleh juga besar dengan R/C 1.8.
Artinya usahatani kentang bisa mendatangkan keuntungan hampir dua kali biaya
123
yang dikeluarkan. Sebaliknya kubis, hanya mempunyai R/C sebesar 1.3. Salah
satu penyebab rendahnya R/C untuk kubis adalah fluktuasi harga yang sangat
besar. Di daerah penelitian harga tertinggi adalah Rp 3000/kg dan terendah Rp
200/kg. Pada saat penelitian dilakukan, hampir 10 persen petani tidak memanen
kubisnya karena harga jauh lebih kecil dari biaya angkut yang harus dikeluarkan,
sehingga petani membiarkan tanaman kubisnya tidak dipanen.
Yang menarik adalah meskipun kubis mempunyai RC lebih rendah dari
kentang, dan secara absolut tingkat keuntungan kubis hanya kurang lebih satu per
lima keuntungan kentang (Rp 7039940 : Rp 38344900) namun petani tetap
menanam kubis sebagai tanaman utama setelah atau sebelum kentang. Hal ini
disebabkan secara agronomis setelah menanam kentang perlu diselingi dulu
dengan tanaman lain untuk tujuan memotong siklus hama dan penyakit.
5.5. Keberlanjutan Usahatani Kentang dan Kubis
Pengelolaan usahatani sayuran terutama kentang dan kubis dihadapkan
pada tingginya risiko yang dihadapi petani seprti risiko produksi dan risiko harga
Indikasi adanya risiko produksi dicirikan oleh berfluktuasinya produksi (Fariyanti,
2008). Besarnya risiko ini akan berdampak pada efisiensi dan keberlanjutan
usahatani kentang dan kubis. Data produktivitas sayuran Provinsi Jawa Barat
(2010) menunjukkan kecenderungan yang menurun. Hal ini berdampak pada
penerimaan petani yang akhirnya berdampak pada keberlanjutan usahatani.
Dilihat dari rata-rata produktivitas yang dicapai petani sampel pada tahun
2010/2011 sebesar 18 874 kg per hektar untuk kentang. Besarnya produktivitas
ini menurun dibandingkan penelitian yang telah dilakukan oleh Fariyanti (2008)
di daerah Pangalengan. Fariyanti (2008) menemukan bahwa pada kondisi normal
produktivitas kentang pada tahun 2005/2006 untuk petani dengan lahan sempit,
sedang dan luas berturut-turut 19.38 ton, 20.9 ton, dan 20.1 ton. Ridwan (2010)
melaporkan bahwa produktivitas kentang di Pangalengan adalah 26.36 ton/ha.
Produktivitas kubis di daerah penelitian diperoleh sebesar 23.6 ton per
hektar dan hasil penelitian Fariyanti (2008) menyatakan produktivitas kubis
sebesar 25.96 ton/ha, 26.88 ton/ha, dan 26.59 ton/ha untuk lahan sempit, sedang,
dan luas. Bila dibandingkan dengan hasil penelitian ini maka produktivitas
124
kentang pada tahun 2010/2011 telah mengalami penurunan, dan ini akan
mengancam keberlanjutan usahatani kentang dan kubis.
Faktor lingkungan juga mempengaruhi keberlanjutan usahatani. Hampir
100 persen rumahtangga sayuran sampel menyatakan bahwa penggunaan input
terutama pupuk dan pestisida akan menyebabkan penurunan kualitas tanah,
tanaman menjadi kering sehingga banyak tanaman yang mati dan akhirnya
mengurangi produksi. Sebagian besar petani menyatakan bahwa lahan mereka
sudah mengalami penurunan kualitas dengan dicirikan menurunnya produktivitas.
Bila dikaitkan dengan intensitas penanaman, di daerah penelitian pemanfaatan
lahan sangat tinggi mencapai 300 persen artinya dalam setahun mereka rata-rata
menanam sayuran tiga kali atau terus menerus sepanjang tahun. Berdasarkan
hasil wawancara hanya 5 persen petani yang memberakan lahannya pada musim
ketiga. Intensitas tanam yang tinggi menyebabkan pengambila unsur hara yang
banyak dari dalam lahan, sehingga menghambat pertumbuhan tanaman dan pada
akhirnya menurunkan produktivitas.
Didaerah penelitian penggunaan pupuk kimia dan pupuk kandang
diberikan dalam jumlah banyak. Hasil penelitian Nurida dan Dariah ( 2006)
pupuk N diberikan dalam jumlah tinggi sampai 500 kg Urea, pupuk kandang juga
diberikan dalam jumlah tinggi sekitar 50 ton/ha /tahun hal ini akan menyebabkan
produktivitas lahan menurun.
Lereng atau kemiringan lahan merupakan salah satu faktor pemicu
terjadinya erosi dan longsor di lahan pegunungan. Peluang terjadinya erosi dan
longsor semakin besar dengan makin curamnya lereng karena volume dan
kecepatan aliran permukaan semakin besar. Selain kecuraman, panjang lereng
juga menentukan besarnya longsor dan erosi (Arsyad, 2000). Berkaitan dengan
kemiringan lahan, sekitar 70 persen petani sampel menyatakan bahwa kemiringan
lahan menjadi faktor penyebab erosi. Rumah tangga petani sampel menyatakan
bahwa dengan kemiringan diatas 25 persen produksi dapat menurun sebanyak 30
persen pada musim kemarau, bahkan dalam musim hujan penurunan bisa sampai
50 persen dari produksi normal. Untuk mengantisipasi penurunan produksi
biasanya petani menambah jumlah penggunaan pupuk kimia sampai 20 kg/ha.
Hal ini disebabkan pada lahan berlereng curam, pupuk mudah hanyut terbawa air.
125
Kondisi ini diperparah bila ada hujan pencucian nutrisi lebih cepat, pupuk
Nitrogen dan Phospor mudah larut dalam air.
Pada tahun 2006 pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Menteri
Pertanian (Permentan No 47/Permentan/OT.140/10/2006 tentang pedoman umum
budidaya pertanian pada lahan pegunungan. Dalam permentan tersebut
disebutkan bahwa pada kecuraman lereng 15-25 persen tanaman semusim yang
boleh ditanam maksimum 50 persen, pada kecuraman lereng 25-40 persen
maksimum 25 persen, dan kecuraman lereng > 40 persen tidak dianjurkan untuk
ditanami tanaman semusim. Larangan tersebut dimaksudkan untuk mencegah
timbulnya erosi yang lebih besar. Menurut Katharina (2007) tingkat erosi di
daerah penelitian (Pangalengan) untuk sistem penanam serah lereng, serah kontur
dan teras bangku pada tahun pertama berturut-turut adalah 16.1 ton/ha, 12.1
ton/ha, dan 6.7 ton/ha. Unsur hara N dan P yang hilang adalah 47.96 kg/ha/tahun,
7.57 kg/ha/tahun untuk penanaman searah lereng. Pengamatan di lapangan
menunjukkan bahwa petani yang menanam sayuran kentang dan kubis di
kemiringan lahan lebih dari 15 persen sebanyak 55.2 persen. Di Pangalengan,
Kertasari, dan Pasirwangi lahan diatas 40 persen semuanya diusahakan untuk
ditanami sayuran. Berdasarkan wawancara dengan Koordinator PPL dan para
informan kunci, sulit mencegah petani untuk tidak menanam sayuran pada tingkat
kemiringan diatas 40 persen karena berkaitan dengan masalah ekonomi dan sosial.
Masalah ekonomi yang timbul adalah kehilangan pendapatan yang akan
berdampak pada masalah sosial berupa tindakan kriminal dan kemiskinan yang
berkelanjutan.
Katharina (2007) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa konservasi
adalah keputusan yang masih selaras dengan keuntungan usahatani. Hasil
penelitian membuktikan bahwa usahatani kentang yang menerapkan sistem
pertanian konservasi dalam satu musim tanam memberikan pendapatan yang lebih
kecil dibandingkan usahatani yang tidak melakukan konservasi, namun dalam
jangka panjang (20 tahun) usahatani kentang yang menerapkan sistem konservasi
memberikan keuntungan yang lebih tinggi dibandingkan petani yang tidak
mengadopsi teknik konservasi. Selanjutnya dikatakan bahwa menerapkan
126
konservasi merupakan investasi jangka panjang yang memberikan penerimaan
kumulatif lebih tinggi daripada biaya yang ditimbulkan.
Konservasi tanah memiliki peran penting dalam menentukan keberlanjutan
sektor pertanian. Di Indonesia lahan kering kebanyakan berada pada daerah
berlereng > 3 persen dengan bentuk wilayah berombak, bergelombang, berbukit
dan bergunung (Dariah et al, 2005) sehingga menyebabkan banyaknya erosi
akibat curah hujan yang tinggi, dan ini menyebabkan degradasi lahan di
Indonesia. Dilain pihak penelitian konservasi tanah juga telah banyak dilakukan
antara lain oleh Arsyad (2000), menurutnya usaha konservasi ditujukan untuk (1)
mencegah kerusakan tanah dan erosi (2) memperbaiki tanah yang rusak (3)
memelihara serta meningkatkan produktivitas tanah agar dapat digunakan secara
lestari.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa beberapa faktor yang
menjadi penyebab ketidakberlanjutan usahatani tanaman kentang dan kubis
adalah: kondisi iklim yang tidak menentu, serangan hama dan penyakit, air yang
sulit diperoleh terutama pada musim kemarau, penggunaan bibit yang tidak
berkualitas/tidak bersertifikat, dan tingkat kesuburan lahan yang mulai menurun.
Hal ini menyebabkan produktivitas turun yang pada akhirnya akan menurunkan
tingkat pendapatan dan menurunkan keberlanjutan usahatani kentang dan kubis. .
VI. ANALISIS FUNGSI PRODUKSI DAN EFISIENSI USAHATANI
SAYURAN DATARAN TINGGI DI JAWA BARAT
6.1. Analisis Fungsi Produksi Stochastic Frontier Sayuran Kentang Dataran Tinggi di Jawa Barat
Pada bab ini pembahasan dibagi menjadi dua sub bagian meliputi analisis
fungsi produksi dan analisis efisiensi teknik, alokatif, dan ekonomi serta sumber-
sumber inefisiensi. Sebagaimana telah disebutkan di metode penelitian, dalam
penelitian ini digunakan model Fungsi Produksi Stochastic Frontier Cobb
Douglas. Model ini digunakan karena mempunyai self dual untuk menurunkan
fungsi biaya yang akan digunakan untuk perhitungan efisiensi alokatif dan
ekonomi. Variabel penjelas dalam model produksi komoditas kentang dataran
tinggi ini antara lain: luas lahan, jumlah benih, jumlah pestisida, jumlah pupuk
anorganik yang diukur dalam bentuk jumlah hara makro Nitrogen (N), Phosfor
(P2O5), dan Kalium (K2O) unsur hara tersebut berasal dari pupuk Urea, TSP/SP-
36, ZA, KCl, dan NPK) , jumlah pupuk kandang (organik), jumlah tenaga kerja,
kemiringan lahan, dan dua variable dummy yaitu musim tanam dan lokasi .
Inefisiensi dipengaruhi oleh karakteristik struktural dan manajerial.
Kemampuan manajerial petani dapat dipengaruhi oleh umur, pendidikan,
pengalaman bertani, keanggotaan dalam kelompok, frekuensi penyuluhan, akses
terhadap kredit (baik kredit ke lembaga keuangan formal maupun penyedia jasa
saprodi). Kemampuan manajerial meningkat dengan tingkat pendidikan, akses
penyuluhan dan pengalaman, yang pada akhirnya menghasilkan tingkat produksi
yang tinggi. Sistem penanaman (searah lereng, searah kontur, dan teras bangku),
dan status kepemilikan lahan apakah lahan milik, lahan sewa, atau lahan garap
merupakan sumber inefisiensi
Penelitian ini menggunakan model stochastic frontier dengan metode
pendugaan Maximum Likelihood Estimator (MLE) yang dilakukan melalui proses
pendugaan dua tahap. Tahap pertama menggunakan Ordinary Least Square
(OLS) dan tahap kedua menggunakan metode MLE untuk menduga parameter
secara keseluruhan (βi), intersep (β0), dan varians dari komponen kesalahan vi
dan ui (σv2 dan σu
2). Estimasi MLE untuk parameter fungsi produksi Cobb
128
Douglas dan model efek inefisiensi teknis dilakukan secara simultan dengan
menggunakan paket komputer Program Frontier 4.1 dari Coelli (1996).
Dengan menggunakan persamaan (56) dengan variabel terikat (Y) =
produksi kentang (kilogram), hasil pendugaan parameter MLE fungsi produksi
Cobb Douglas Frontier disajikan pada Tabel 20. Hasil yang disajikan pada
Tabel 20 merupakan model terbaik. Pada model ini variabel pupuk N dan P
digabungkan karena ada multikolinier ganda antara pupuk N dan P secara sendiri-
sendiri. Pupuk K tidak digabungkan karena pupuk K ini merupakan hara penting
untuk tanaman umbi-umbian sehingga diharapkan dapat dilihat pengaruh
langsung terhadap produksi kentang. Hasil estimasi selengkapnya dapat dilihat
pada Lampiran 5.
Tabel 20. Parameter Dugaan Fungsi Produksi Stochastic Frontier Usahatani Kentang Dataran Tinggi di Jawa Barat, 2011
Koefisien standar-error t-rasio Konstanta 7.7953 0.6659 11.7065 Luas lahan (X1) 0.6686*** 0.0894 7.4758 Benih (X2) 0.1262** 0.0691 1.8258 Pestisida (X3) 0.0447 0.0372 1.2023 Pupuk K (X4) 0.0012 0.0068 0.1700 Pupuk N+P (X5) 0.0014 0.0135 0.1038 Pupuk Kandang (X6) 0.1097*** 0.0445 2.4677 Tenaga Kerja (X7) 0.0066 0.0669 0.0984 Kemiringan (X8) -0.0079*** -0.0018 -4.3659 Dummy Musim Tanam(X9) -0.0640 0.0631 -1.0134 Dummy Lokasi (X10) 0.1420** 0.0613 2.3149 Varians dan nilai gamma σ2= σv
2 + σu2 0.7100*** 0.3312 2.1439
γ = σv2/ σu
2 0.8401*** 0.0765 10.9830 L-R test 21.87 Sumber: data primer diolah Keterangan: *** = nyata pada taraf α= 0.01; ** = nyata pada taraf α= 0.05; * = nyata pada taraf α= 0.1;
Berdasarkan hasil pendugaan pada Tabel 20. terlihat bahwa nilai rasio
generalized-likelihood (LR) lebih besar dari nilai tabel artinya secara statistik
nyata pada taraf α = 0.05 (diperoleh dari tabel distribusi X Chi Square). Hal ini
mempunyai arti nilai LR test secara kuat menolak hipotesis bahwa tidak ada efek
129
inefisiensi. Artinya hampir semua variasi dalam keluaran dari fungsi produksi
frontier dapat dianggap sebagai pencapaian efisiensi teknis berkaitan dengan
persoalan manajerial dalam pengelolaan usahatani. Pengaruh bersama dari
usahatani individu secara sfesifik diterangkan oleh nilai LR test yang juga
menolak Ho. Hal ini mengindikasikan bahwa fungsi ini dapat menerangkan
keberadaan efisiensi dan inefisiensi teknis petani di dalam proses produksi
kentang, atau dengan kata lain aktivitas usahatani kentang dipengaruhi oleh
efisiensi teknik.
Pengaruh inefisiensi dalam model stochastic frontier ditunjukkan oleh nilai
σ2 dan α. Parameter γ dugaan merupakan rasio dari varians efisiensi teknis (ui)
terhadap varians total (εi). Hasil perhitungan dapat dilihat pada Tabel 18.
Koefisien dugaan dari σ2 adalah 0.71 dan γ sebesar 0.84 dan keduanya tidak
berbeda nyata dengan nol atau nyata berpengaruh pada taraf α = 0.01. Angka ini
menunjukkan bahwa 84 persen dari variasi hasil diantara petani sampel
disebabkan oleh perbedaan efisiensi teknis dan sisanya sebesar 16 persen
disebabkan oleh pengaruh eksternal seperti iklim, serangan hama penyakit, dan
kesalahan dalam pemodelan. Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh inefisiensi
teknik merupakan faktor yang berpengaruh nyata di dalam variabilitas output.
Di daerah penelitian, pada saat dilakukan penelitian terjadi perubahan
iklim yang tidak menentu, pada bulan-bulan MK II yang seharusnya sudah musim
kemarau, tetapi saat itu hujan masih ada dengan curah hujan yang tinggi (hujan
hampir terjadi sepanjang tahun 2011 (selama 11 bulan)). Data dari stasiun
Malabar Pangalengan menunjukkan angka curah hujan rata-rata sebesar 136 mm,
dan merupakan curah hujan tertinggi. Faktor ini diduga mempengaruhi faktor
eksternal dalam model.
Berdasarkan hasil pada Tabel 20, terlihat bahwa semua parameter dugaan
mempunyai tanda sesuai dengan harapan. Tanda koefisien β semuanya positif,
kecuali untuk kemiringan lahan dan dummy musim tanam. Beberapa variabel
berpengaruh pada α= 0.01 dan α= 0.05 yaitu lahan, penggunaan benih, pupuk
kandang, sedangkan penggunaan pestisida, penggunaan pupuk Kalium, Nitrogen,
Phosfor dan tenaga kerja tidak berpengaruh nyata pada taraf α= 0.1. Kemiringan
lahan, dan dummy lokasi juga berpengaruh nyata terhadap produksi batas
130
(frontier), sedangkan dummy musim tanam (MH dan MK) tidak berpengaruh
nyata pada taraf α= 0.1. Hal ini mempunyai arti secara statistik produksi tidak
berbeda baik pada musim kemarau maupun musim hujan.
Secara umum nilai elastisitas pada data rata-rata geometrik lahan, benih,
dan pupuk kandang mempunyai kontribusi yang besar terhadap produksi kentang.
Msuya et al., (2008), Obare (2010) melaporkan hasil yang positif dan signifikan
pengaruh lahan terhadap produksi petani kecil dan sebaliknya tidak ada pengaruh
nyata luas lahan terhadap produksi yang dilaporkan oleh Wadud dan White
(2000), Ahmad dan Bravo (1995).
Parameter dugaan pada fungsi produksi Cobb Douglas menyatakan
besarnya elastisitas input. Seluruh input inelastis, artinya penambahan input 1
persen akan meningkatkan produk lebih kecil dari 1 persen. Besaran elastisitas
untuk lahan sebesar 0.67. Artinya apabila lahan ditambah 10 persen maka
produksi kentang akan bertambah 6.7 persen. Angka ini menunjukkan bahwa
produksi kentang sangat responsif terhadap luas lahan, atau dengan kata lain lahan
merupakan faktor dominan dari produksi kentang di Jawa Barat. Mengingat
tingkat produktivitas sayuran masih relatif rendah, maka hasil ini perlu dikaji
lebih mendalam karena sumberdaya lahan secara keseluruhan cenderung semakin
menurun.
Hasil ini juga konsisten dengan adanya kelangkaan lahan, terutama untuk
sentra produksi Kabupaten Bandung dan Garut. Pada tahun 2010 di Kabupaten
Bandung terjadi penurunan produksi total untuk kentang, salah satu penyebab
menurunnya produksi adalah berkurangnya luas lahan kering untuk tanaman
kentang sehingga sulit untuk memperluas areal tanam dan kebanyakan petani
menyewa lahan atau menggarap lahan perkebunan dan kehutanan pada
kemiringan lahan yang tinggi. Besarnya kontribusi lahan pada produksi juga
tercermin dari harga sewa lahan baik di Bandung maupun Garut. Harga sewa
lahan berkisar antara Rp 75 000 – Rp 350 000 per patok (400 m2) per musim
tergantung pada kualitas lahan, jarak, dan kemiringan lahan.
Gejala kelangkaan lahan dalam jangka panjang perlu disikapi dengan
cermat dan bijaksana oleh pengambil kebijakan mengingat semakin banyaknya
fenomena alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian, sementara kebutuhan
131
sayuran semakin meningkat sejalan dengan pertambahan penduduk. Dengan
demikian karena perluasan lahan relatif sulit dilakukan maka alternatif lain adalah
melalui intensitas pertanaman tiga kali dalam setahun atau diversifikasi pola
tanam. Oleh karena itu upaya-upaya untuk meningkatkan produktivitas perlu
ditekankan oleh pengambil kebijakan.
Benih merupakan faktor penting lainnya dengan besaran elastisitas kedua
setelah lahan (0.13) diikuti pupuk kandang (0.11). Seperti diketahui saat ini benih
menjadi pembatas dalam produksi kentang. Setelah impor benih dilarang oleh
pemerintah, maka petani membeli benih kepada penangkar sekitar lokasi atau
membeli benih kentang yang tidak bersertifikat kepada petani lain. Berdasarkan
hasil wawancara, sebagian besar petani Garut juga kesulitan mendapatkan benih
bersertifikat karena kurangnya penangkar yang berada di Garut (hanya 5 orang
penangkar benih). Petani seringkali harus membeli benih dari penangkar di
Pangalengan.
Berdasarkan hasil wawancara, ketersediaan benih bersertifikat dalam
jumlah yang cukup belum tersedia. Di samping itu harga benih relatif mahal,
sehingga banyak petani menggunakan benih hasil panen sebelumnya. Dengan
demikian ketersediaan dan distribusi benih unggul sangat penting difasilitasi oleh
pemerintah karena petani masih menghadapi permasalahan baik ketersediaan,
maupun kualitas benih kentang. Balai Benih Induk (BBI) yang ada di
Pangalengan agar lebih difasilitasi terutama untuk benih dasar (G2) dan benih
sumber (G3). Pengawasan kepada para penangkar yang ada sekarang perlu
ditingkatkan mengingat masih adanya benih campuran/oplosan antara benih
berlabel dengan benih konsumsi.
Pupuk kandang yang digunakan mempunyai tanda positif dan berpengaruh
pada taraf α= 0.01 serta mempunyai nilai elastisitas ketiga setelah lahan dan
benih, dengan elstisitas produksi sebesar 0.12. Pupuk kandang berfungsi untuk
mengikat air tanah yang lebih besar sehingga pupuk yang terlarut masih tersedia
dalam tanah, pupuk kandang juga dapat meningkatkan agregasi tanah, pori-pori
tanah dan air tanah. Di daerah penelitian hampir 100 persen petani menggunakan
pupuk kandang. Rata-rata penggunaan pupuk kandang adalah 17 ton/ha untuk
kentang. Para petani di daerah penelitian mendapatkan pupuk kandang pada
132
umumnya dari luar kota, seperti dari Sukabumi dan Tangerang. Perlu dicermati
adalah kontinuitas ketersediaan pupuk ini sehubungan dengan tingginya
penggunaan pupuk kandang. Barangkali perlu difikirkan supaya ketersediaan ini
terus berlanjut. Salah satu alternatif yang dapat dilakukan adalah integrasi
sayuran dengan ternak sapi, mengingat di kedua daerah penelitian cocok untuk
peternakan sapi perah atau atau pedaging.
Pestisida mempunyai dampak yang positif terhadap produksi kentang,
namun tidak berpengaruh nyata pada α= 0.1. Selanjutnya pupuk anorganik (K,
N, P) serta tenaga kerja mempunyai pengaruh yang kecil terhadap produksi dan
tidak berpengaruh nyata. Dengan kata lain penggunaan pestisida dan pupuk
anorganik sudah berlebihan (overuse). Hasil ini konsisten dengan temuan Saptana
(2011) pada usahatani cabai merah, Obare (2010) pada tanaman kentang di
Kenya, Sukiyono (2005), namun kontradiktif dengan temuan Abedullah (2006),
Udoh (2005), Reddy (2002).
Seperti diketahui pada tanaman kentang, pupuk K berfungsi sebagai
pengatur tekanan osmotik dan cofaktor enzim yang sangat diperlukan untuk
tanaman umbi-umbian. Kekurangan K akan menyebabkan daun menguning mulai
pinggiran daun sampai pada daun tua. Sebaliknya kelebihan pupuk K tidak
menunjukkan gejala dan disebut konsumsi mewah. Seperti telah dibahas pada bab
sebelumnya, di daerah penelitian penggunaan pupuk Urea dan ZA sudah melebihi
dosis yang dianjurkan (579.7 kg/ha). Demikian halnya dengan pupuk TSP dosis
penggunaan di daerah penelitian rata-rata sebesar 461 kg/ha. Dosis penggunaan
pupuk anorganik ini sudah melebihi dosis yang dianjurkan Penggunaan yaitu
sebesar 217 kg Urea dan 416 kg TSP.
Walaupun penggunaan pupuk sudah berlebihan namun kentang banyak
ditanam di lahan berlereng dengan kemiringan yang tinggi (> 20 persen). Kondisi
ini dapat menyebabkan pencucian nutrisi yang lebih cepat bila kena hujan,
disamping itu pupuk Nitrogen dan Phosfor mudah larut dalam air. Kondisi ini
menyebabkan tidak berpengaruh nyatanya peubah pestisida dan pupuk anorganik.
Kemiringan lahan sangat berpengaruh nyata pada α= 0.01. Koefisiennya
yang negatif mengindikasikan bahwa semakin tinggi ketinggian lahan, semakin
kecil produksi kentang yang dihasilkan. Temuan ini sejalan dengan Solis et al.
133
(2009). Dummy musim tanam tidak berpengaruh nyata, yang berarti bahwa
produksi kentang tidak berbeda pada musim hujan dan kemarau. Hasil ini tidak
sesuai dengan yang diharapkan, karena berdasarkan hasil wawancara dengan
beberapa petani sampel pada musim hujan produksi di lahan miring lebih tinggi
dibandingkan di lahan datar. Hal ini dapat dimengerti bila hujan datang, air
langsung mengalir (terutama pada sistem penanaman searah lereng) tidak
menggenangi guludan. Sebaliknya pada musim kemarau produksi kentang di
lahan datar lebih tinggi hasilnya, hal ini terkait dengan ketersediaan air. Pada
musim kemarau air sulit diperoleh di lahan yang mempunyai kelerengan tinggi,
padahal kentang adalah tanaman yang memerlukan banyak air dalam
pertumbuhannya. Dengan demikian pada musim kemarau produksi kentang lebih
baik pada lahan datar dibandingkan pada lahan berlereng dan sebaliknya. Dummy
lokasi menunjukkan tanda positif dan berpengaruh nyata, hal ini mempunyai arti
produksi kentang berbeda di kedua lokasi.
Berdasarkan hasil estimasi parameter di atas, bahwa benih dan pupuk
kandang (organik) mempunyai pengaruh yang relatif besar terhadap produksi
kentang. Demikian halnya dengan kemiringan lahan. Hal ini dapat dikatakan
benih sebagai dan pupuk organik merupakan input produksi penggeser fungsi
produksi kearah frontiernya. Implikasinya adalah diperlukan teknologi benih baru
(misalnya HYV) yang lebih adaptif supaya mendorong produksi lebih tinggi lagi.
Selanjutnya memperbanyak penangkar benih agar petani dapat memperoleh benih
yang lebih bermutu (bersertifikat) sebagai jaminan untuk berproduksi lebih
tinggi. Kemudian dilihat dari aspek keberlanjutan pupuk kandang diduga dapat
memperbaiki kesuburan lahan dengan cara menahan air lebih lama di dalam
tanah, pupuk kandang berfungsi untuk mengikat air tanah yang lebih besar
sehingga pupuk yang terlarut masih tersedia dalam tanah, pupuk kandang juga
dapat meningkatkan agregasi tanah, pori-pori tanah dan air tanah.
Penjumlahan elstisitas input menunjukkan skala usaha (return to scale)
Jumlah elastisitas produksi sama dengan 0.9584 menunjukkan skala usaha yang
menurun (decreasing return to scale). Artinya apabila input secara bersama-sama
ditingkatkan sebesar 1 persen maka produksi kentang akan meningkat sebesar
0.96 persen.
134
6.2. Analisis Efisiensi Teknis (TE) Usahatani Kentang
6.2.1. Sebaran Efisiensi Teknis Usahatani Kentang
Efisiensi teknis dihitung dengan menggunakan persamaan TE= exp(-ui).
Dalam penelitian ini efisiensi teknik diperoleh dari hasil pendugaan persamaan
(68), error (ei =vi, ui) dan dievaluasi menggunakan parameter estimasi yang telah
disajikan pada Tabel 20 dari fungsi produksi stochastic frontier Cobb Douglas.
Efisiensi teknis dihitung untuk masing-masing usahatani, selanjutnya analisis
diteruskan dengan menganalisis efisiensi teknis berdasarkan kemiringan lahan dan
sistem penanaman (searah lereng, serah kontur dan teras bangku).
Sebaran efisiensi teknis dapat dilihat pada Tabel 21. dan sebaran efisiensi
teknis per individu petani sampel dapat dilihat pada Lampiran 11. Berdasarkan
nilai sebaran pada Tabel 21, terlihat bahwa efisiensi teknik (TE) berkisar antara 21
– 95 persen, dengan rata-rata efisiensi teknik sebesar 84 persen. Hal ini
menunjukkan bahwa dalam jangka pendek, produksi kentang masih dapat
ditingkatkan sebesar 16 persen melalui penggunaan teknologi terbaik. Secara
rata-rata 16 persen dari produksi hilang karena inefisiensi.
Tabel 21. Distribusi Frekuensi Efisiensi Teknik (TE) Petani Kentang di Jawa Barat, 2011
Sebaran Efisiensi (%)
Jumlah petani (orang)
Persentase (%)
0-10 - - 11.-20 - - 21-30 2.00 1.0 31-40 1.00 0.5 41-50 3.00 1.5 51-60 1.00 0.5 61-70 6.00 3.0 71-80 25.00 12.3 81-90 129.00 63.5
91-100 36.00 17.7 Jumlah 203.00 100.0 Minimum : 21 Maksimum: 95 Rata-rata: 84 Sumber: data primer diolah
135
Hasil ini konsisten dengan penemuan Bravo-Ureta et al (2007) dalam
analisis meta regresi dari TE di pertanian, yang menemukan rata-rata TE sebesar
78 persen di Amerika Latin. Saptana menemukan hasil rata-rata TE sebesar 90
persen untuk cabe merah besar di Jawa Tengah, Abedullah (2006) menemukan
rata-rata efisiensi teknik untuk kentang sebesar 84 persen dan Obare (2010)
menemukan efisiensi teknik untuk kentang sebesar 57.3 persen. Bravo-Ureta
(2007) menyatakan suatu usahatani dikatakan telah efisien secara teknik apabila
rata-rata TE sebesar 70 persen.
Berdasarkan hasil perhitungan TE terlihat bahwa sebanyak 93.5 persen
petani kentang mencapai efisiensi teknik lebih besar dari 70 persen, dan sebanyak
6.5 persen masih berada pada kondisi tidak efisien atau masih mengalami
inefisiensi teknis dalam usahataninya. Bravo, Ureta dan Pinheiro (1993)
melakukan studi review pada tingkat usahatani di 14 negara berkembang yang
berbeda. Dari 30 studi frontier, ditemukan tingkat efisiensi teknik berkisar antara
17 persen sampai 100 persen dengan rata-rata 72 persen. Selanjutnya dilaporkan
efisiensi alokatif lebih rendah lagi yaitu antara 43 sampai 89 persen dengan rata-
rata 68 persen. Efisiensi ekonomi berkisar antara 13-69 persen dengan rata-rata
43 persen. Selanjutnya Bravo-Ureta et al (2007) melakukan analisis meta frontier
menemukan bahwa dari 167 studi efisiensi, dengan menggunakan pendekatan
stochastic frontier rata-rata efisiensi yang dicapai oleh petani berkisar 75.2 persen
sampai 78.4 persen.
Berdasarkan hasil analisis pada Tabel 21 terlihat bahwa usahatani kentang di
Jawa Barat sudah mencapai efisiensi teknik rata-rata 84 persen, ini menunjukkan
secara rata-rata petani sampel masih mempunyai peluang untuk memperoleh hasil
potensial yang maksimum seperti yang diperoleh petani paling efisien secara
teknis. Efisiensi teknik masih dapat ditingkatkan dengan menggunakan teknologi
sekarang. Hal ini berimplikasi produktivitas kentang dapat ditingkatkan dengan
menggunakan manajemen teknik terbaik. Jika petani mencapai efisiensi rata-rata
dan ingin mencapai efisiensi maksimum maka peluang untuk meningkatkan
produksi adalah sebesar 11.6 persen (1- 84/95). Perhitungan yang sama jika
136
petani yang tidak efisien ingin mencapai efisiensi maksimum, maka peluang
peningkatan produksi sebesar 77.9 persen (1-21/95).
Di daerah penelitian, secara rata-rata petani kentang telah mencapai
efisiensi teknis yang relatif tinggi. Beberapa faktor penyebabnya adalah petani
mempunyai keterampilan teknis yang tinggi berkaitan dengan pengelolaan yang
tepat waktu, ketepatan waktu tanam, jumlah penggunaan input yang tepat dan
keterampilan teknis lainnya. Namun demikian produksi masih dapat ditingkatkan
sampai mencapai produksi maksimum. Salah satu cara yang dapat dilakukan
adalah penggunaan benih bersertifikat dan mengembangkan teknologi biologi
yang dapat menghasilkan High Yield Variety (HYV), optimalisasi penggunaan
pupuk kandang, dan melakukan penanaman yang direkomendasikan sesuai
dengan kemiringan lahan.
6.2.2. Produksi Potensial dan Kehilangan Produksi Usahatani Kentang
Produksi potensial dihitung untuk masing-masing usahatani dan hasilnya
disajikan pada Tabel 22. Produksi potensial (frontier) dihitung dengan
menggunakan rumus :
Produksi potensial = 100/TE * produksi aktual
Kehilangan produksi yang disebabkan oleh inefisensi teknik dihitung sebagai
selisih antara rata-rata produksi aktual dengan produksi frontiernya jika petani
mencapai 100 persen efisien. Nilai kehilangan dihitung dengan mengalikan
jumlah produksi yang hilang dengan harga kentang per kg sebesar Rp 4589. Dari
Tabel 22 terlihat bahwa semakin kecil efisiensi teknik petani semakin besar
kehilangan produksinya.
Tabel 22 baris 3 memperlihatkan bahwa bagi petani yang mencapai
efisiensi teknik hanya 25 persen (kolom 3) dengan produksi aktual sebesar 6.9 ton
/ha (kolom 4), petani tersebut akan mencapai produksi tertinggi sebesar 26.6
ton/ha apabila mengelola usahataninya pada kondisi 100 persen efisien, maka
petani tersebut akan kehilangan produksi sebesar 19.8 ton/ha (kolom 6). Dengan
demikian untuk mencapai efisiensi penuh (100 persen), petani dengan tingkat
efisiensi yang paling kecil (25.8 persen) dapat meningkatkan produksinya sebesar
288.1 persen dan sebaliknya petani yang efisiensinya tinggi (91.9 persen) untuk
mencapai efiensi penuh 100 persen dapat meningkatkan produksi sebesar 8.8
137
persen. Bila dikaitkan dengan nilai ekonomi, maka petani yang mencapai
efisiensi terendah akan kehilangan penerimaan sebesar 90.7 juta rupiah per ha.
Tabel 22. Produksi Potensial dan Kehilangan Produksi Usahatani Kentang pada Berbagai Tingkat Efisiensi di Jawa Barat, 2011
Sebaran Efisiensi
(%)
Jumlah Usaha-
tani
Rata-rata Efisiensi
(%)
Produksi Aktual (Kg/ha)
Produksi Potensial (Frontier) (Kg/ha)
Kehilangan
Produksi (kg/ha)
Persentase (%)
Nilai (juta Rp)
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) 0-10 0 - - - -
11-20 0 - - - - 21-30 2 25.8 6 857 26 611 19 754 288.1 90.7 31-40 1 38.0 8 750 23 026 14 276 163.2 65.5 41-50 3 48.3 9 144 18 936 9 792 107.1 44.9 51-60 1 59.3 5 714 9 628 3 914 68.5 18.0 61-70 6 65.6 10 572 16 122 5 551 52.5 25.5 71-80 25 76.4 14 584 19 091 4 508 30.9 20.7 81-90 129 86.3 18 704 21 665 2 961 15.8 13.6
91-100 36 91.9 27 557 29 992 2 435 8.8 11.2 Jumlah 203
Sumber: data primer diolah. Kolom (5) = kolom (4)/kolom (3); kolom 6 = kolom (5) – kolom (4)
Salah satu penyebab kehilangan produksi berkaitan dengan keterampilan
teknis petani tersebut seperti ketepatan dalam waktu tanam, jumlah pupuk, benih,
dan ketepatan penggunaan aplikasi pestisida. Hal lain yang menjadi penyebab
adalah tingkat kemiringan lahan dan sistem penanaman. Perhitungan produksi
potensial juga dihitung oleh Kibaara (2005) yang menyimpulkan bahwa
peningkatan ke arah produksi potensial dapat dilakukan melalui peningkatan
efisiensi.
6.2.3. Faktor yang Mempengaruhi Inefisiensi Usahatani Kentang
Sejauh ini analisis difokuskan pada model Cobb Douglas. Bagian ini
akan membahas sumber inefisiensi yang juga diestimasi dari model Cobb Douglas
secara simultan. Tanda negatif pada parameter inefisiensi menunjukkan bahwa
veriabel tersebut menurunkan inefisiensi teknik atau meningkatkan efisiensi
teknik dan sebaliknya tanda positif menunjukkan bahwa peningkatan variabel
tersebut akan meningkatkan inefisiensi teknik atau menurunkan efisiensi teknik.
Perbedaan dalam efisiensi dapat disebabkan oleh berbagai faktor yang
berbeda antara petani. Faktor sosial ekonomi, infrastruktur dan faktor lingkungan
138
dapat mempengaruhi efisiensi. Inefisiensi dihipotesakan dipengaruhi oleh ketiga
faktor tersebut. Terdapat delapan variabel yang dihipotesakan menjadi sumber
inefisiensi usahatani kentang. Kedelapan variabel tersebut adalah umur (z1),
pendidikan formal yang diselesaikan (z2), pengalaman bertani (z3), keanggotaan
dalam kelompok (dummy) (z4), frekuensi penyuluhan (z5), akses terhadap kredit
(z6), status kepemilikan (dummy) (z7), dan sistem penanaman (z8).
Faktor yang mempengaruhi efisiensi teknis setiap petani sampel dianalisis
secara simultan dengan model efek inefisiensi teknis menggunakan model fungsi
produksi stochastic frontier seperti dalam persamaan (56). Dengan menggunakan
program Frontier 4.1. Tujuh variabel ditemukan berpengaruh nyata terhadap
efisiensi teknik. Hasil pendugaan faktor yang mempengaruhi inefisiensi teknis
disajikan pada Tabel 23.
Table 23. Hasil Estimasi Parameter Model Efek Inefisiensi Teknis Produksi Stokastik Frontier Usahatani Kentang di Jawa Barat, 2011
Koefisien standard-error t-ratio
Konstanta -3.8679 3.6601 -1.0568 Umur (δ
1) 0.0726** 0.0452 1.6069
Pendidikan (δ2) -0. 0154 0.0346 -0.4447
Pengalaman(δ3) -0.0228** 0.0168 -1.3527
Anggota kelompok (D) (δ4) -1.2373** 0.6673 -1.8541
Frekuensi penyuluhan (δ5) -0.1599** 0.1215 -1.3167
Akses Kredit (D) (δ6) 0.5882* 0.5478 1.0737
Status Kepemilikan (D) (δ7) 1.4497* 1.1414 1.2702
Sistem Penanaman (D) (δ8) -0.5367*** 0.2807 -1.9121
Sumber: data primer diolah Keterangan: *** = nyata pada taraf α= 0.01; ** = nyata pada taraf α= 0.05;
* = nyata pada taraf α= 0.1;
Tanda dan besaran koefisien hasil estimasi di dalam model efek inefisiensi
umur, akses terhadap kredit, status kepemilikan lahan bertanda positif, artinya
semakin tinggi ketiga varabel tersebut akan menurunkan efisiensi teknik. Tanda
ini tidak sesuai dengan yang diharapkan. Sedangkan pendidikan, pengalaman,
keanggotaan dalam kelompok, frekuensi penyuluhan, dan sistem penanaman
139
/konservasi bertanda negatif, dan karenanya mengurangi inefisiensi teknis atau
meningkatkan efisiensi teknik, dan tanda ini sesuai dengan harapan.
Berdasarkan kriteria statistik, terlihat bahwa umur, pengalaman,
keanggotaan dalam kelompok, frekuensi penyuluhan, akses terhadap kredit, status
kepemilikan, dan sistem penanaman berpengaruh nyata pada taraf α = 0.05 dan
0.1 persen. Hal ini menunjukkan semua variabel tersebut merupakan faktor
penentu ketidakefisienan dalam berusahatani sayuran kentang. Sedangkan
variabel pendidikan tidak berpengaruh nyata terhadap efek inefisiensi.
Umur. Umur merupakan sebuah indikator untuk pengalaman usahatani.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa umur bertanda positif dan nyata
mempengaruhi efisiensi teknik usahatani sayuran. Artinya bahwa semakin tua
umur seseorang maka inefisiensi teknis akan meningkat atau dengan kata lain
semakin muda umur petani semakin efisien secara teknik. Hal ini sesuai dengan
anggapan bahwa semakin tua umur petani maka kemampuan kerjanya dan
kemampuan teknisnya semakin menurun dan berdampak negatif terhadap efisiensi
teknik.
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa kentang ditanam di lahan
berlereng yang memerlukan kekuatan fisik untuk pergi ke lahannya. Seorang
petani yang umurnya tua kemungkinan mempunyai pengalaman dan keterampilan
yang semakin tinggi, namun secara fisik semakin melemah. Sebaliknya petani
muda masih energik dan mempunyai kekuatan fisik yang tinggi untuk mengelola
usahataninya di lahan yang berlereng tinggi. Tanda positif ini juga kemungkinan
berkaitan dengan umur rata-rata petani kentang di daerah penelitian adalah 46
tahun yang merupakan umur produktif, memiliki kemampuan kerja yang tinggi
sehingga produksi semakin tinggi pula. dan akhirnya berdampak pada
meningkatnya efisiensi teknik
Hasil ini sesuai dengan hasil penelitian Battesse and Coelli 1995;
Fauziyah 2010; Saptana 2011; Bakhsh and Hassan 2005, Solis et al., 2009; Udoh,
2005; O’Neil, 2001, Sherlund, 2002; Reddy, 2002, Ahmad, 2002, dan Maganga et
al., 2012. Namun hasil ini tidak sesuai dengan hasil temuan (Msuya et al 2008;
Amos 2007; Kibaara 2005; Tchale and Sauer 2007; Liu and Zhuan, 2000;
140
Basnayake and Gunaratne 2002; Kalirajan and Flin 1983; Omonona, 2010;
Sukiyono, 2005, Abedullah et al., 2008, dan Nwaru2011.
Pengujian untuk melihat pengaruh umur terhadap efisiensi telah
dilakukan oleh Battesee dan Coelli (1995) yang menyatakan bahwa petani tua
kurang efisien dibandingkan dengan petani yang masih muda. Thirtle and Holding
(2003), Herdt and Mandact (1981), Parikh et al. (1995) menemukan bahwa petani
tua kurang mengadopsi teknologi. Hubungan positif antara umur dan efisiensi
teknik ditemukan di UK (O’Neil 2001), Liu dan Zhuan (2000) menyatakan
efisiensi teknis meningkat sebelum petani mencapai umur 40 tahun. Petani
menjadi lebih trampil sejalan dengan bertambahnya umur, namun learning by
doing menurun sampai petani mencapai umur 40 an.
Pendidikan. Hasil penelitian menunjukkan variabel pendidikan bertanda
negatif namun tidak berpengaruh nyata. Tanda negatif ini menunjukkan bahwa
peningkatan pendidikan petani dapat menurunkan inefisiensi teknis atau
meningkatkan efisiensi teknis, namun karena tidak berpengaruh nyata maka
pendidikan formal tidak berpengaruh dalam meningkatkan efisensi teknis.
Penemuan ini konsisten dengan hasil penelitian Ali and Flin 2003; Kalirajan
2004; Batesse and Coelli 2005; Solis et al, 2009; Hasan, 2010; Ahmed, 2011;
udoh, 2005; Abedullah, Baksh, and ahmad, 2006; Saptana, 2011, Fauziyah 2010,
Awudu et al (2001), Msuya 2008, Bakhsh and Hassan 2005. Namun tidak sesuai
dengan hasil temuan Sherlund et al, 2002; Obare, 2010; dan Sukiyono, 2005.
Awudu et al (2001) yang menyatakan bahwa pendidikan meningkatkan
efisiensi teknis, sementara itu Solis et al (2009) menyatakan bahwa pendidikan
dan penyuluhan berpengaruh positif terhadap efisiensi teknik. Hasil ini
mendukung pernyataan bahwa peningkatan human capital di rumahtangga
perdesaan dapat meningkatkan pengelolaan usahatani dan akhirnya dapat
mencapai produktivitas yang tinggi.
Secara teoritis, investasi untuk pendidikan dapat dilihat sebagai sebuah
strategi untuk meningkatkan produktivitas pertanian melalui hubungan
komplementer dengan penggunaan pupuk, pestisida, irigasi, varietas unggul, dan
penelitian, dan penyuluhan (Lockehed et al, 1980 dalam Van Passel 2009). Petani
dengan pendidikan tinggi dapat mencapai efisiensi teknik yang tinggi pula. Hasil
141
penelitian di Pennsylvania pada peternakan sapi, Stevanou dan Saxena (1988)
menemukan bahwa pendidikan dan pengalaman memainkan peranan penting
terhadap efisiensi. Selanjutnya pendidikan berpengaruh positif terhadap
kemampuan (skill) petani sehingga dapat mengelola usahataninya lebih efisien
(Kalirajan, 1990, Batesse dan Coelli (1993), Parikh et al (1995), Liu dan Zhuang
(2000). Pendidikan juga berpengaruh positif terhadap lingkungan dalam pertanian
modern dibandingkan dengan pertanian konvensional.
Namun ternyata dalam penelitian ini pendidikan tidak berpengaruh nyata
artinya ketidakefisienan usahatani kentang bukan karena pengaruh tinggi
rendahnya pendidikan tetapi lebih pada pengalaman petani dalam mengelola
usahataninya. Petani dengan pendidikan yang lebih rendah tetapi mempunyai
ketekunan yang tinggi dalam mengelola usahatani kentang akan lebih efisien
dibandingkan petani yang berpendidikan tinggi tetapi kurang tekun. Liu and
Zhuang (2000), menyimpulkan bahwa petani jagung tidak membutuhkan
pendidikan tinggi untuk mengaplikasikan pupuk dan benih dengan benar
Pengalaman berusahatani. Hasil penelitian menunjukkan variabel
pengalaman bertanda negatif dan berpengaruh nyata, artinya semakin tinggi
pengalaman maka petani dapat mengelola usahataninya lebih efisien. Hal ini
menunujukkan bahwa inefisiensi teknis yang tinggi terjadi pada petani yang
mempunyai pengalaman relatif rendah dalam berusahatani kentang. Hasil ini
konsisten dengan temuan Wilson, 2001; Sukiyono, 2005; Sherlund et al, 2002;
Sinaga, 2011; Kalirajan and Flin, 1983; Maganga, 2012. Namun tidak konsisten
dengan penemuan Omonona, 2010. (Wilson (2001) menyatakan petani gandum
yang berpengalaman lebih efisien. Stevanou dan Saxena (1988) menemukan
bahwa pendidikan dan pengalaman memainkan perana penting terhadap efisiensi.
Dari sisi teori, kesimpulan ini sesuai dengan yang dihipotesakan. Petani
yang lebih berpengalaman mempunyai kemampuan dan adopsi teknologi yang
lebih baik sehingga mampu menghindari kecenderungan turunnya produktivitas
sebagai akibat turunnya degradasi sumberdaya (Saptana, 2011). Petani yang
berpengalaman juga mempunyai kapabilitas manajerial yang lebih baik karena
mereka belajar dari pengelolaan usahataninya tahun-tahun sebelumnya. Nwaru et
142
al (2011) menyatakan petani yang berpengalaman lebih efisien dalam membuat
keputusan dan lebih dapat menghindari risiko berkaitan dengan adopsi inovasi.
Keanggotaan dalam kelompok dan Frekuensi penyuluhan. Hasil
penelitian menunjukkan variabel keanggotaan dalam kelompok dan frekuensi
penyuluhan bertanda negatif dan berpengaruh nyata, artinya petani yang ikut
dalam anggota kelompok tani dan menerima kunjungan penyuluhan lebih banyak
dapat mengelola usahataninya lebih efisien. Hal ini sesuai dengan harapan.
Temuan ini konsisten dengan hasil penemuan Msuya, 2008; Abedullah et al,
2006; fauziyah, 2010; Ahmad and Chaudry, 2002; dan Maganga, 2012. Namun
tidak sesuai dengan penemuan Omonona, 2010; Hasan, 2010; dan Nwuru, 2011.
Kalirajan (1991,1984) dan Kalirajan (1991) menggunakan data panel
untuk periode 1983 -1986 pada 30 petani padi di India menemukan pengaruh
keanggotaan dan kunjungan penyuluh berpengaruh positif terhadap efisiensi
teknik pada petani padi di India dan Philipina dan menjadi faktor dominan dari
efisiensi teknik. Dengan demikian petani yang mempunyai akses terhadap
penyuluhan mempunyai posisi yang lebih baik menggunakan sumberdaya yang
tersedia dengan menggunakan pengetahuan mereka. Hasil ini membuktikan
bahwa ketersediaan informasi berkontribusi terhadap peningkatan efisiensi teknik.
Solis et al (2009) menyatakan bahwa penyuluhan berpengaruh positif terhadap
efisiensi teknik.
Akses terhadap Kredit. Koefisien akses terhadap kredit positif dan
signifikan pada α = 0.2. Hasil ini tidak sesuai dengan hipotesis sebelumnya.
Hasil ini konsisten dengan penemuan Sinaga, 2011 dan Nwuru, 2011 namun tidak
konsisten dengan temuan Ayaz et al., 2010, Munir, 2002; Obare, 2010; Solis et
al., 2009, Msuya et al, 2008; dan Ahmed, 2011. Kredit memainkan peranan
penting agar usahatani lebih produktif dan efisien. Kekurangan ketersediaan
kredit atau keterbatasan kapital yang dihadapi oleh petani merupakan salah satu
masalah penting dalam perbaikan efisiensi di sektor pertanian. Berdasarkan hasil
penelitian ternyata kredit berpengaruh positif terhadap efisiensi artinya petani
yang mempunyai akses ke lembaga keuangan formal mempunyai efisiensi teknik
yang lebih kecil dibandingkan dengan petani yang mempunyai akses ke lembaga
keuangan non formal. Hal ini disebabkan oleh keterikatan petani terhadap sumber
143
kredit informal antara lain pedagang sarana produksi dengan tingkat bunga 5
persen, pedagang pengumpul, dan pedagang produk.
Ketergantungan ini berdampak pada meningkatnya inefisiensi teknis
usahatani kentang. Ini mengindikasikan pentingnya kelembagaan keuangan mikro
pada daerah sentra produksi kentang. Faktor lainnya yang menjadi penyebab
tanda parameter akses kredit tidak sesuai adalah adanya kelemahan dalam
menggunakan variable yang hanya menggunakan dummy ya dan tidak
menunjukkan besaran. Di daerah penelitian besarnya kredit yang diambil petani
berkisar antara Rp 500 000 sampai Rp 50 juta, hal ini menyebabkan perilaku
petani akan berbeda antara petani yang mengambil kredit dengan jumlah kecil
dengan petani yang mengambil kredit dengan jumlah besar.
Status Kepemilikan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa status
kepemilikan bertanda positif terhadap inefisensi dan berpengaruh nyata, hal ini
tidak sesuai dengan yang diharapkan. Ini menunjukkan bahwa petani dengan
status lahan milik kurang efisien dibandingkan dengan petani penyewa atau
penggarap. Hasil ini sesuai dengan penemuan Kalirajan and Flin, 1983;
Abedullah et al, 2006; Namun kontradiktif dengan beberapa studi empiris yang
dilakukan oleh Byiringiro and Reardon (1996); Binam et al (2003), Deininger et al
(2004); dan Khuda (2006) yang menemukan hubungan negatif antara status
kepemilikan dengan inefisiensi atau hubungan positif antara status kepemilikan
dengan efisiensi. Reddy (2002); Sinaga, 2011 dan Solis et al (2009) menemukan
bahwa petani non pemilik mempunyai efisiensi yang lebih tinggi dibandingkan
dengan petani pemilik. .
Secara teori temuan ini kontradiktif dengan pemikiran yang ada yang
menyatakan bahwa petani pemilik dapat mengurangi risiko dan akibatnya dapat
meningkatkan penerimaan yang diharapkan dan mendorong untuk berinvestasi
pada teknologi yang lebih produktif. Namun demikian temuan ini konsisten
dengan fakta di lapangan bahwa penyewa mempunyai tambahan biaya sebagai
kewajiban untuk membayar sewa lahan dan itu menjadi insentif untuk berproduksi
lebih efisien.
Penyewa dan penggarap mempunyai keterbatasan sumberdaya. Petani
di kedua kabupaten memperluas usahanya dengan menyewa lahan. Dari 203
144
petani sampel, 40 persen petani lahannya berstatus sewa. Petani dapat menyewa
lahan dalam satu atau dua musim. Fenomena yang terjadi sekarang adalah petani
memperluas lahan garapan ke lahan kehutanan dengan kecuraman yang tinggi,
dan pembayaran sewa yang tidak ditentukan. Dinas kehutanan memperbolehkan
petani menggarap lahan kehutanan dengan syarat petani menanam tanaman
tahunan seperti kopi dan kayu-kayuan dengan tujuan selain meningkatkan
pendapatan petani, juga untuk mengurangi erosi. Tetapi yang terjadi adalah
karena dianggap mengurangi produksi kentang maka akhirnya tanaman tahunan
tersebut ditebang sehingga luasan tanam untuk sayuran bertambah. Berdasarkan
fakta di lapangan, dapat disimpulkan bahwa status sewa menyebabkan petani
memaksimalkan lahannya untuk berproduksi maksimum, karena mempunyai
tambahan kebutuhan uang tunai untuk membayar sewa lahan.
Reddy (2002) dalam penelitiannya mengenai pengaruh petani penyewa
terhadap produktivitas dan efisiensi menemukan bahwa petani pemilik lebih
produktif dan efisien dibandingkan dengan petani penyewa. Namun penelitian
Khuda (2006) melaporkan hal yang sebaliknya, status penyewa lebih efisien
dibandingkan pemilik. Hal ini disebabkan oleh petani penyewa benar-benar
mengusahakan lahannya untuk memperoleh produksi tinggi karena memang
tujuan mereka menyewa lahan adalah untuk menghasilkan produksi maksimum.
Sistem penanaman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konservasi
bertanda negatif dan berpengaruh nyata. Hal ini mengindikasikan bahwa petani
yang melakukan sistem penanaman searah kontur dan teras bangku lebih efisien
dibandingkan dengan petani yang melakukan sistem penanaman searah lereng.
Hasil ini konsiten dengan penemuan Solis (2009) yang mendukung hipotesis
bahwa adopsi konservasi lahan tidak hanya bertujuan untuk mengontrol degradasi
lingkungan tetapi juga berkaitan dengan efisiensi yang tinggi. Penemuan penting
dari penelitian Solis (2009) adalah keberlanjutan ekonomi dan lingkungan
merupakan tujuan yang berkomplemen daripada tujuan yang saling berkompetirif.
Peningkatan TE tidak hanya menguntungkan secara financial, tetapi juga dapat
berkontribusi terhadap keberlanjutan lingkungan.
Seperti diketahui di daerah penelitian kentang ditanam pada lahan
berlereng. Hal ini dapat menimbulkan degradasi lingkungan dilihat dari
145
konservasi yang dilakukan maupun erosi yang ditimbulkan. Sistem penanaman
yang dilakukan searah kontur dapat menekan laju erosi dibandingkan dengan
sistem penanaman searah lereng (tanpa konservasi) sehingga produksi relatif
lebih tinggi. Hasil ini juga sesuai dengan estimasi fungsi produksi yang juga
menghasilkan variabel kemiringan yang negatif dan signifikan.
Studi review literatur dengan menggunkan SFA yang dilakukan oleh
Bravo, Ureta, dan Pinheiro (1993) di 14 negara berkembang telah memasukkan
varabel pendidikan, pengalaman, kontak penyuluhan, akses terhadap kredit dan
ukuran lahan mengarah pada hubungan positif terhadap efisiensi teknik. Secara
umum penemuan tersebut konsisten dengan penelitian non frontier yang dilakukan
oleh Jamison dan Feder (1988). Hal ini menunjukkan bahwa human capital
memainkan peranan penting dalam meningkatkan produktivitas di negara
berkembang. Berdasarkan hasil temuan penelitian ini, tampaknya kelembagaan
penyuluhan maupun kelembagaan benih agar ditingkatkan lagi perannya untuk
meningkatkan efisiensi yang pada akhirnya dapat meningkatkan produksi.
6.3. Analisis Efisiensi Alokatif dan Ekonomi Usahatani Kentang
Efisiensi alokatif dan efisiensi ekonomi diukur dengan menggunakan dual
cost frontier yang secara analitis diturunkan dari fungsi stochastic frontier.
Penurunan fungsi dual didasarkan pada hasil dari persamaan (56) kemudian
diturunkan dengan menggunakan persamaan (62). Penurunan selengkapnya
dapat dilihat pada Lampiran (4). Hasil analisis fungsi biaya dual diperoleh
persamaan biaya minimum:
ln C exp 0.0007 1.043 ln 0.6976 ln 10.1317 ln 2 0.0467 ln 3
0.0012 ln 4 0.0015 ln 5 0.1145 ln 6 0.0069 ln 7
Berdasarkan persamaan biaya minimum di atas, kemudian dihitung nilai
efisiensi ekonomi dengan persamaan:
dan efisiensi alokatif
Sebaran efisiensi alokatif dan efisiensi ekonomi disajikan pada Tabel 24.
146
Tabel 24. Efisiensi Alokatif (AE) dan Ekonomi (EE) Petani Kentang di Jawa Barat, 2011
Tingkat Efisiensi (%)
Efisiensi Alokatif (AE) Efisiensi Ekonomi (EE) Jml Petani Persentase Jumlah Petani Persentase
0-10 - - - - 11.-20 3 1.5 6 3.0 21-30 28 13.8 55 27.1 31-40 56 27.6 70 34.5 41-50 50 24.6 41 20.2 51-60 27 13.3 20 9.9 61-70 20 9.9 3 1.5 71-80 6 3.0 7 3.4 81-90 7 3.4 1 0.5 91-100 6 3.0 - - Jumlah 203 100.0 203 100.0
Minimum 0.19 0.15Maksimum 0.99 0.85Rata-rata 0.47 0.38
Sumber : data primer, diolah
Pada penelitian ini perhitungan efisiensi ekonomi menggunakan harga
yang berbeda untuk setiap kemiringan lahan, terutama sewa lahan yang bervariasi
antar kemiringan lahan. Harga (sewa) lahan rata-rata berkisar antara Rp. 6 750
000 ( untuk lahan datar) dan Rp. 500 000 untuk lahan di atas kemiringan 40
persen. Adapun harga rata-rata untuk benih kentang adalah Rp 12 784, harga
pupuk anorganik (Urea Rp 1736, TSP Rp 2012, KCl Rp 2 435, dan harga pupuk
NPK Rp 2859) kemudian harga pupuk tersebut dikonversi ke harga hara N,P, dan
K. Adapun rata-rata harga pupuk kandang adalah Rp 364/kg, dan upah tenaga
kerja Rp18 718 per HKP. Gambar 12 menyajikan histogram dari TE, AE dan
EE usahatani kentang di Jawa Barat, 2011.
Berdasarkan Tabel 24 terlihat bahwa efisiensi alokatif (AE) berkisar antara
19 – 99 persen dan efisiensi ekonomi (EE) berkisar antara 15 – 85 persen. Rata-
rata AE dan EE sebesar 47 persen dan 38 persen. Temuan ini sesuai dengan hasil
peneluan Bravo-Ureta et al., (1997) dan Wadud (1999). Angka-angka ini
menunjukkan bahwa pada usahatani kentang di Jawa Barat tingkat efisiensi masih
rendah. Hasil ini menjadi dasar untuk meningkatkan pendapatan dan
kesejahteraan petani kentang.
147
Gambar 12. Histogram dari TE, AE dan EE usahatani Kentang di Jawa
Barat, 2011
Efisiensi ekonomi berkisar antara 15 – 85 persen, dengan rataan sebesar 38
persen. Berdasarkan hasil perhitungan EE terlihat bahwa sebanyak 96 persen
petani mencapai efisiensi ekonomi pada kisaran 11 – 70 persen, dan hanya 4
persen petani mencapai efisiensi ekonomi di atas 70 persen. Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa petani yang mempunyai nilai efisiensi alokatif dan
ekonomi kurang dari 70 persen cukup besar yaitu di atas 90 persen.
Bravo, Ureta dan Pinheiro (1993) melakukan studi review pada tingkat
usahatani dari 14 negara berkembang yang berbeda terdapat 30 studi frontier,
menemukan tingkat efisiensi teknik berkisar antara 17 persen sampai 100 persen
dengan rata-rata 72 persen. Selanjutnya dilaporkan efisiensi alokatif lebih rendah
lagi yaitu antara 43 sampai 89 persen dengan rata-rata 68 persen. Efisiensi
ekonomi berkisar antara 13-69 persen dengan rata-rata 43 persen. Catatan yang
perlu digarisbawahi dari studi mereka adalah penelitian di negara berkembang
lebih banyak terfokus pada efisiensi teknik dengan perhatian utama bagaimana
mencapai produksi maksimum, belum melihat bagaimana dampak efisiensi
alokatif dan ekonomi pada kinerja usahatani. Studi lainnya yang dilakukan
Bravo-Ureta dan Pinheiro (1997) di Negara Dominika menemukan rata-rata
TE,AE, dan EE adalah 77 persen, 41persen dan 31 persen. Kisaran tingkat TE
(42-85 persen), AE (9.5 – 84 persen) dan EE (5.3 – 62 persen).
0
20
40
60
80
100
120
140
0 ‐ 10 11 ‐ 2021 ‐ 30 31 ‐ 40 41 ‐ 50 51 ‐ 60 61 ‐ 70 71 ‐ 80 81 ‐ 90 91 ‐100
FREK
UEN
SI
INDEKS EFISIENSI (%)
TE
AE
EE
148
Rendahnya efisiensi alokatif yang dicapai petani memungkinkan petani
untuk mengoptimalkan kobinasi input yang dipakainya pada tingkat teknologi
yang tersedia dan pada tingkat harga yang ada. Untuk itu perlunya petani
meperoleh informasi pasar yang berkaitan dengan harga input dan harga output.
Di daerah penelitian sebenarnya akses terhadap informasi pasar cukup baik,
terbukti para petani telah dapat memanfaatkan teknologi komunikasi untuk
berinteraksi dengan pedagang output maupun input, sehingga informasi harga
relatif cepat diperoleh. Pada umumnya petani telah memperoleh informasi yang
cukup baik terutama untuk informasi harga input seperti harga pupuk dan
pestisida, yang berasal dari took /kios sarana produksi. Informasi harga output
diperoleh dari pedagang di pasar Cibitung dan Pasar Kramat Jati. Akibatnya
pedagang pengumpul ataupun tengkulak kekuatannya kurang karena informasi
sudah sampai ke petani.
Efisiensi teknik dan alokatif menyediakan sebuah ukuran untuk mengukur
efisensi ekonomi. Ukuran efisiensi teknik dan alokatif dapat memberikan
gambaran tentang keberhasilan relatif suatu usahatani. Hal ini dapat dilihat
melalui empat cara : (1) usahatani secara teknis dan alokatif efisien, (2) usahatani
secara teknis efisien tetapi secara alokatif tidak efisien, (3) usahatani secara teknis
tidak efisien tetapi secara alokatif efisien, dan (4) usahatani secara teknis dan
alokatif tidak efisien (Wadud, 1999).
Seperti telah dibahas sebelumnya, rata-rata efisiensi alokatif untuk petani
sampel adalah 47 persen dengan kisaran 19 – 99 persen. Efek kombinasi efisiensi
teknik dan alokatif memperlihatkan bahwa efisiensi ekonomi mempunyai rata-rata
38 persen dengan kisaran 15 – 85 persen. Gambaran ini menunjukkan bila petani
sampel mempunyai rata-rata EE (38 persen) dan ingin mencapai efisiensi ekonomi
maksimum maka petani dapat merealisasikannya dengan penghematan biaya
sebesar 55.3 persen (1-38/85) sedangkan pada petani yang tidak efisien (15
persen) dan ingin mencapai EE maksimum mereka dapat menghemat biaya
sebesar 82.3 persen (1-15/85). Berdasarkan temuan di atas, efisiensi ekonomi
masih dapat ditingkatkan, dan inefisiensi alokatif merupakan masalah yang serius
dibandingkan dengan inefisiensi teknik karena rata-rata AE lebih kecil dari rata-
rata TE. Hal ini menggambarkan kemampuan petani dalam mengkombinasikan
149
input pada tingkat biaya minimal relatif lebih rendah dibandingkan dengan
kemampuan teknis manajerial untuk meningkatkan efisiensi teknis.
Kondisi efisiensi teknik yang tinggi namun efisiensi alokatif yang rendah
dapat dijelaskan pada Gambar 13. Titik A dan B adalah dua kondisi yang sama-
sama berada pada produksi frontier, sehingga titik A dan B telah mencapai
produksi maksimum. Di titik A telah tercapai efisiensi alokatif karena pada titik
itu terjadi persinggungan produk frontier dengan rasio harga input dan output.
Sebaliknya di titik B belum efisien secara alokatif karenanya untuk mencapai
efisiensi alokatif penggunaan input harus dikurangi dari X2 ke X1.
Salah satu penyebab inefisiensi alokatif adalah penggunaan pupuk Urea,
TSP, dan KCl yang berlebihan. Hal ini menyebabkan variabel pupuk N, P, K
tidak berpengaruh nyata terhadap produksi kentang. Penggunaan pupuk N, P, K
Y F(x, β) B A Px/Py 0 X1 X2 X
Gambar 13. Kondisi Produksi yang Efisien secara Teknis dan Inefisien Alokatif
yang berlebihan ini menyebabkan biaya menjadi lebih tinggi. Di daerah
penelitian, rata-rata penggunaan Urea per hektar sebesar 579 kg, 461 kg SP36 dan
112 kg KCl. Penggunaan ini lebih tinggi dari yang direkomendasikan yaitu
sebesar 217 kg Urea, 416 kg TSP, dan 166-250 kg KCl. Demikian halnya
penggunaan pestisida kebanyakan petani melakukan penyemprotan walaupun
tidak ada hama/penyakit menyerang sehingga penggunaannya sudah berlebihan.
150
6.3.1. Faktor yang Mempengaruhi Inefisensi Alokatif dan Inefisiensi Ekonomi Usahatani Kentang Selanjutnya untuk melihat faktor struktural dan manajerial petani
terhadap inefisiensi alokatif dan ekonomi dilakukan estimasi lebih lanjut dengan
menggunakan persamaan regresi berganda. Pengolahan dilakukan dengan SPSS
16. Inefisiensi alokatif (AI) dan Inefisiensi Ekonomi (EI) dimasukkan ke dalam
model sebagai variabel terikat dan umur, pendidikan, pengalaman, keanggotaan,
frekuensi penyuluhan, akses terhadap kredit, kepemilikan dan sistem penanaman
dimasukkan sebagai variabel bebas. Hasil selengkapnya dapat dilihat pada
Lampiran 7 dan Lampiran 8.
Berdasarkan hasil pada Tabel 25, untuk efisiensi alokatif, umur,
pendidikan, akses terhadap kredit, status kepemilikan, dan sistem penanaman
(disebut konservasi untuk penanaman searah kontur dan teras bangku (Arsyad,
2000; Khatarina, 2007) mempunyai tanda negatif, namun hanya umur dan status
kepemilikan yang berpengaruh nyata terhadap efisiensi. Artinya menjadi petani
pemilik dapat meningkatkan efisiensi alokatif maupun efisiensi ekonomi.
Tabel 25. Faktor yang Mempengaruhi Inefisiensi Alokatif (IA) dan Inefisiensi Ekonomi (IE) Sayuran Kentang di Jawa Barat, 2011
IA IE Koefisien Sig Koefisien Sig Konstanta 0.687 0.000 0.713 0.000 Umur -0.003*** 0.024 0.00006 0.950 Pendidikan -0.005 0.196 -0.006** 0.064 Pengalaman 0.001 0.617 0.000 0.415 DKeanggKel 0.028 0.281 -0.008 0.676 FrekPenyul 0.009 0.155 0.003 0.604 DaksKredit -0.019 0.448 0.007 0.735 DKepemilikan -0.099**** 0.000 -0.054*** 0.005 DKonservasi -0.009 0.571 -0.002 0.849
R2 0.126 0.067 Sumber: data primer diolah Keterangan : **** = nyata pada taraf α= 0.01; *** = nyata pada taraf α= 0.05; ** = nyata pada taraf α= 0.1;
Obare (2010) dalam penelitiannya menemukan bahwa umur, pendidikan,
pengalaman, kontak kepada penyuluh, akses terhadap kredit, dan keanggotaan
dalam kelompok berpengaruh positif terhadap efisiensi alokatif. Dalam penelitian
151
ini, ditemukan bahwa pendidikan mempunyai tanda negatif untuk kedua efisiensi,
namun tidak berpengaruh nyata. Hal ini memperlihatkan bahwa petani dengan
pendidikan lebih tinggi dapat meningkatkan efisiensi alokatif dan ekonomi,
Penemuan ini konsisten dengan penemuan Obare (2010). Petani yang
berpendidikan tinggi secara alokatif, dan ekonomi lebih efisien dibandingkan
dengan petani yang pendidikannya rendah. Petani dengan pendidikan tinggi dapat
merespon lebih cepat dalam mengkombinasikan penggunaan input apabila terjadi
perubahan harga karena mereka dapat lebih cepat memperoleh informasi berkaitan
dengan harga.
Variabel pengalaman bertanda positif untuk IA dan IE, namun variabel
ini tidak signifikan, artinya bahwa pengalaman bukan merupakan faktor yang
mempengaruhi efisiensi alokatif dan ekonomi. Pengalaman tidak cukup nyata
bagi petani untuk mencapai efisiensi alokatif tertinggi jika petani tidak dapat
mengalokasikan inputnya pada tingkat biaya minimal. Secara teoritis, petani
dengan pengalaman yang tinggi akan lebih efisien dalam mengalokasikan
inputnya dan lebih efisien dalam membuat keputusan untuk menghindari risiko
berkaitan dengan adopsi inovasi.
Koefisien estimasi keanggotaan dalam kelompok untuk kedua inefisiensi
adalah negatif artinya petani yang menjadi anggota kelompok tani dapat
mengelola usahataninya lebih efisien, namun koefisien ini tidak berpengaruh
nyata. Kinerja yang lebih baik antar petani ditunjukkan oleh aplikasi yang baik
dari teknologi seperti pemupukan, aplikasi pestisida, dan penggunaan benih
bermutu.
Dummy akses terhadap kredit menunjukkan semakin petani mempunyai
akses terhadap kredit semakin efisien secara alokatif namun tidak berpengaruh
nyata untuk kedua inefisiensi. Hal ini menunjukkan akses terhadap kredit bukan
faktor penentu inefisiensi. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa sedikit petani
yang mempunyai akses ke lembaga keuangan formal seperti bank. Dalam
mengelola usahataninya petani yang kekurangan modal lebih senang meminjam
sarana produksi ke para tengkulak yang akan dibayar setelah panen, karena
prosedurnya mudah dan tidak perlu agunan.
152
Konsisten dengan penemuan Kalirajan (1981), Binam (2004), Nwuru
(2010), Gbigbi (2011) akses terhadap kredit akan meningkatkan efisiensi
ekonomi. Ketersediaan kredit akan menggeser keterbatasan modal ke kanan dan
meningkatkan kemampuan petani untuk membeli input yang tidak dapat
disediakan oleh petani. Kredit akan membuat petani untuk lebih dapat
mengkombinasikan input yang dibelinya pada tingkat biaya minimum. Nwuru et
al (2011) menyatakan bahwa kredit dapat meningkatkan efisiensi ekonomi (AE)
melalui peningkatan kemampuan petani untuk menanggung risiko. Hazanka and
Alwang (2003), menyatakan petani yang akses terhadap kredit sanggup untuk
menerima risiko tetapi potensial untuk meningkatkan keuntungan teknologi atau
dapat merencanakan untuk menanam tanaman yang mempunyai nilai ekonomi
tinggi walaupun cenderung kekeringan.
Status kepemilikan meliputi status lahan milik, sewa dan garap. Dummy
(D)=1 untuk lahan milik, dan D=0 untuk lainnya. Hasil penelitian menunjukkan
koefisien dugaan bertanda negatif untuk IA dan IE dan berpengaruh nyata untuk
kedua efisiensi. Hal ini menunjukkan bahwa petani pemilik lebih efisien dalam
mengelola usahataninya dan juga lebih mampu mengkombinasikan inputnya pada
tingkat biaya minimum jika terjadi perubahan harga dan mereka lebih mendekati
pada produksi frontiernya.
Dummy konservasi menunjukkan tanda yang negatif untuk IA dan IE
dan sesuai dengan yang diharapkan. Hal ini menunjukkan pengaruh sistem
penanaman yang positif terhadap efisiensi. Artinya petani yang menggunakan
sistem penanaman yang searah kontur dan teras bangku lebih efisien secara
teknis. Namun variabel ini tidak mempengaruhi petani untuk mengalokasikan
inputnya pada tingkat biaya minimal.
6.4. Analisis Fungsi Produksi Stochastic Frontier Sayuran Kubis
Seperti halnya kentang, ke dalam model kubis dimasukkan variabel luas
lahan, benih, pestisida, pupuk an organik, Urea, TSP/SP-36), ZA, KCl, dan NPK
(yang dihitung dengan menggunakan hara makro N, P, dan K), pupuk kandang
(organik) dan tenaga kerja. Selanjutnya dimasukkan pula variabel kemiringan,
musim tanam dan dummy lokasi yang diduga mempengaruhi variasi produksi
kubis. Karakteristik struktural dan manajerial yang mempengaruhi inefisensi
153
usahatani kubis meliputi umur, pendidikan, pengalaman bertani, keanggotaan
dalam kelompok, frekuensi penyuluhan, akses terhadap kredit (baik kredit
lembaga keuangan formal maupun penyedia jasa saprodi), sistem penanaman
searah lereng, searah kontur, dan teras bangku, serta status kepemilikan lahan
apakah lahan milik atau lahan sewa. Tabel 26. menyajikan hasil pendugaan
parameter MLE Fungsi Produksi Frontier Cobb Douglas.
Berdasarkan Tabel 26 menunjukkan hasil pendugaan bahwa nilai rasio
generalized-likelihood (LR) lebih besar dari nilai tabel artinya secara statistik
berpengaruh nyata pada taraf α = 5 persen yang diperoleh dari tabel distribusi X
Chi Square. Ini berarti Nilai LR test secara kuat menolak hipotesis bahwa tidak
ada efek inefisiensi. Pengaruh bersama dari usahatani individu secara sfesifik
diterangkan oleh nilai LR test yang juga menolak Ho. Hal ini mengindikasikan
bahwa fungsi ini dapat menerangkan keberadaan efisiensi dan inefisiensi teknis
petani di dalam proses produksi kubis, atau dengan kata lain aktivitas usahatani
kubis dipengaruhi oleh efisiensi teknik.
Table 26. Parameter Dugaan Fungsi Produksi Stochastic Frontier untuk Komoditas Kubis dengan Metode MLE di Jawa Barat, 2011
Koefisien standard-error t-ratio Konstanta 4.4473 1.1727 3.7925 LLahan 0.3532**** 0.1094 3.2292 Benih 0.3334**** 0.0980 3.4031 Pestisida 0.0271*** 0.0204 1.3275 PpkN 0.0093 0.0524 0.1766 PpkPK 0.0022 0.0104 0.2089 PpkKandang 0.2449**** 0.0729 3.3581 TKerja 0.0489 0.0726 0.6739 Kemiringan -0.0070**** 0.0023 -3.0669 DMT 0.0510 0.0745 0.6847 Dlokasi -0.0168 0.0820 -0.2045 Sigma squared 0.4601 0.2338 1.9682 Gamma 0.7534 0.1765 4.2691 LR-Test 17.05 Sumber: data primer diolah Keterangan: **** = nyata pada taraf α= 0.01; ** = nyata pada taraf α= 0.1; *** = nyata pada taraf α= 0.05; * = nyata pada taraf α= 0.02;
154
Koefisien dugaan dari 2 =0.46 dan � = 0.75 dan keduanya signifikan
pada taraf α= 0.05. Angka ini menunjukkan bahwa 75 persen dari variasi hasil
diantara petani sampel disebabkan oleh perbedaan efisiensi teknis dan sisanya
sebesar 25 persen disebabkan oleh pengaruh eksternal seperti iklim, serangan
hama penyakit, dan kesalahan dalam pemodelan. Ini menunjukkan bahwa
pengaruh inefisiensi teknik merupakan faktor yang berpengaruh nyata di dalam
variabilitas output komoditas kubis.
Berdasarkan hasil pada Tabel 26 terlihat bahwa semua koefisien dugaan
mempunyai tanda sesuai dengan harapan. Tanda koefisien β semuanya positif,
kecuali untuk kemiringan lahan dan dummy lokasi. Beberapa variabel signifikan
yaitu lahan, penggunaan benih, penggunaan pestisida, dan pupuk kandang,
sedangkan pupuk N, P+K, dan tenaga kerja tidak berpengaruh nyata pada taraf
α= 0.1. Kemiringan lahan, berpengaruh nyata terhadap produksi batas (frontier).
Berbeda dengan kentang, dummy lokasi dan dummy musim tanam tidak berbeda
nyata pada taraf α= 0.1.
Lahan mempunyai nilai koefisien dugaan bertanda positif dan berpengaruh
nyata pada taraf α= 0.01. lahan juga mempunyai nilai elastisitas produksi yang
paling tinggi sebesar 0.35, artinya apabila lahan ditambah 1 persen maka produksi
kubis akan bertambah 0.35 persen. Angka ini menunjukkan bahwa produksi kubis
sangat responsif terhadap luas lahan, atau dengan kata lain lahan merupakan
faktor dominan dari produksi kubis di Jawa Barat. Hasil ini konsisten dengan
adanya kelangkaan lahan. Variabel benih mempunyai tanda positif dan nyata pada
taraf α= 0.05. Benih mempunyai nilai elastisitas sebesar 0.33 kedua setelah
lahan. Artinya apabila benih ditambah 1 persen maka produksi akan meningkat
0.33 persen. Angka ini menunjukkan bahwa semakin tinggi jumlah benih yang
digunakan produksi akan meningkat.
Pupuk kandang yang digunakan mempunyai tanda positif dan berpengaruh
nyata pada taraf α= 0.01 serta mempunyai nilai elastisitas ketiga setelah lahan dan
benih, dengan elstisitas produksi sebesar 0.25. Pestisida mempunyai pengaruh
yang relatif kecil terhadap produksi dan nyata pada taraf α= 0.1, namun peubah ini
mempunyai tanda positif. Hal ini berarti penambahan pestisida akan
meningkatkan produksi kubis. Tenaga kerja, pupuk anorganik (N,P,K)
155
mempunyai pengaruh yang sangat kecil terhadap produksi kubis, artinya produksi
relatif kurang responsif terhadap ketiga variabel ini.
Tidak nyatanya variabel pupuk anorganik dapat dijelaskan bahwa kubis
kebanyakan ditanam pada lahan yang berlereng, yang dapat menyebabkan
pencucian nutrisi yang lebih cepat bila kena hujan, disamping N + P mudah larut
dalam air. Sebaliknya pupuk kandang menunjukkan pengaruh yang signifikan,
karena pupuk kandang berfungsi untuk mengikat air tanah yang lebih besar
sehingga pupuk yang terlarut masih ada. Pupuk kandang dapat meningkatkan
agregasi tanah, pori-pori tanah dan air tanah.
Kemiringan lahan dan dummy musim tanam mempunyai tanda negatif dan
berpengaruh nyata pada taraf taraf α= 0.01. Ini menunjukkan bahwa semakin
tinggi kemiringan lahan, produksi semakin kecil. Skala usaha menunjukkan
constant return to scale, yang ditunjukkan oleh nilai elstisitas sebesar 1.01.
6.5. Analisis Efisiensi Teknis Usahatani Kubis
Efisiensi teknik dihitung dengan menggunakan persamaan TE= exp(-ui).
Dalam penelitian ini efisiensi teknik diperoleh dari dugaan persamaan (56), dan
dievaluasi menggunakan parameter estimasi seperti yang telah yang disajikan
pada Tabel 27 dari fungsi produksi stochastic frontier Cobb Douglas. Efisiensi
teknis dihitung untuk masing-masing usahatani, selanjutnya analisis diteruskan
dengan menganalisis efisiensi teknis berdasarkan kemiringan lahan dan sistem
penanaman (searah lereng, serah kontur dan teras bangku).
Sebaran efisiensi teknis dapat dilihat pada Tabel 27. dan sebaran efisiensi
teknis per individu petani kubis sampel dapat dilihat pada Lampiran 12.
Berdasarkan nilai sebaran pada Tabel 27, terlihat bahwa efisiensi teknik (TE)
berkisar antara 28 – 99 persen, dengan rata-rata efisiensi teknik sebesar 73 persen.
Hal ini menunjukkan bahwa dalam jangka pendek, produksi kentang masih dapat
ditingkatkan sebesar 27 persen melalui penggunaan teknologi terbaik. Secara
rata-rata 27 persen dari produksi hilang karena inefisiensi.
156
Tabel 27. Distribusi Frekuensi Efisiensi Teknik (TE) Petani Kubis di Jawa Barat, 2011
Indeks Efisiesnsi (%) Jumlah Petani Persen Petani 0 – 10 0 0 11 – 20 0 0 21 – 30 2 1.2 31 – 40 6 3.6 41 -50 11 6.6 51 – 60 10 6.0 61 – 70 19 11.5 71 – 80 47 28.3 81 – 90 71 42.8 91 – 100 0 0
Jumlah 166 100 Minimum : 28 maksimum : 91 Rataan : 73 Sumber: data primer diolah
Hasil penelitian terdahulu (Kumbakar, 2001; Bakhsh, 2006) menunjukkan
bahwa nilai indeks efisiensi hasil analisis dikategorikan cukup efisien jika lebih
besar dari 0.70. Berdasarkan hasil perhitungan TE terlihat bahwa sebanyak 71
persen petani kubis mencapai efisiensi teknik pada lebih besar dari 70 persen, dan
sebanyak 19 persen masih berada pada kondisi tidak efisien atau masih
mengalami inefisiensi teknis dalam usahataninya.
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan rata-rata efisiensi teknis untuk
kubis adalah 73 persen, dan petani yang mencapai efisiensi teknis lebih besar dari
80 persen ada sekitar 43 persen. Hal ini menunjukkan masih ada ruang untuk
meningkatkan efisiensi teknis melalui peningkatan manajemen usahatani.
6.6. Produksi Potensial dan Kehilangan Produksi Usahatani Kubis
Produksi potensial dihitung untuk masing-masing usahatani dan hasilnya
disajikan pada Tabel 28. Produksi potensial (frontier) dihitung dengan
menggunakan rumus
Produksi potensial = 100/TE * produksi aktual
Kehilangan produksi yang disebabkan oleh inefisensi teknik dihitung sebagai
selisih antara rata-rata produksi aktual dengan produksi frontiernya jika petani
157
mencapai 100 persen efisien. Nilai kehilangan dihitung dengan mengalikan
jumlah produksi yang hilang dengan harga kubis per kg sebesar Rp 1170. Dari
Tabel 28 terlihat bahwa semakin kecil efisiensi teknik petani semakin besar
kehilangan produksinya.
Tabel 28. Produksi Potensial dan Kehilangan Produksi Usahatani Kubis pada Berbagai Tingkat Efisiensi di Jawa Barat, 2011
Sebaran Efisiensi
(%)
Jumlah Usaha-
tani
Rata-rata
Efisiensi (%)
Produksi Aktual (Kg/ha)
Produksi Potensial (Frontier) (Kg/ha)
Kehilangan
Produksi (kg/ha)
Persentase (%)
Nilai (juta Rp)
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) 0-10 0 - - - -
11.-20 0 - - - - 21-30 2 28.5 9 881 34 624 24 743 250.4 28.95 31-40 6 37.9 10 675 28 199 17 523 164.1 20.50 41-50 11 46.3 11 844 25 587 13 744 116.0 16.08 51-60 11 56.0 13 139 23 464 10 325 78.6 12.08 61-70 19 65.7 16 506 25 114 8 608 52.2 10.07 71-80 51 76.1 21 629 28 422 6 793 31.4 7.95 81-90 64 84.8 31 720 37 409 5 689 17.9 6.66 91-100 2 91.0 33 538 36 857 3 319 9.9 3.89 Jumlah 166 Sumber: data primer diolah. Kolom (5) = kolom (4)/kolom (3);
kolom 6 = kolom (5) – kolom (4)
Tabel 28 baris 3 memperlihatkan bahwa bagi petani yang mencapai
efisiensi teknik hanya 28.3 persen (kolom 3) dengan produksi aktual sebesar 9.8
ton /ha (kolom 4), petani tersebut akan mencapai produksi tertinggi sebesar 34.6
ton/ha apabila mengelola usahataninya pada kondisi 100 persen efisien, maka
petani tersebut akan kehilangan produksi sebesar 24.7 ton/ha (kolom 6). Dengan
demikian untuk mencapai efisiensi penuh (100 persen), petani dengan tingkat
efisiensi yang paling kecil (28.3 persen) dapat meningkatkan produksinya sebesar
250.4 persen dan sebaliknya petani yang efisiensinya tinggi (91.0 persen) untuk
mencapai efisiensi penuh 100 persen dapat meningkatkan produksi sebesar 9.9
persen. Bila dikaitkan dengan nilai ekonomi, maka petani yang mencapai
efisiensi terendah akan kehilangan penerimaan sebesar 28.95 juta rupiah per ha.
Salah satu penyebab kehilangan produksi berkaitan dengan keterampilan teknis
petani tersebut seperti ketepatan dalam waktu tanam, jumlah pupuk, benih, dan
158
ketepatan penggunaan aplikasi pestisida. Hal lain yang menjadi penyebab adalah
tingkat kemiringan lahan dan sistem penanaman. Perhitungan produksi potensial
juga dihitung oleh Kibaara (2005) yang menyimpulkan bahwa peningkatan ke
arah produksi potensial dapat dilakukan melalui peningkatan efisiensi
6.7. Efisiensi Alokatif (AE) dan Efisiensi Ekonomis (EE) Usahatani Kubis
Efisiensi alokatif dan ekonomi diukur dengan menggunakan dual cost
frontier secara analitis diturunkan dari fungsi stochastic frontier. Penurunan
selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 4.
exp 3,8758 0,9813 ln 0,3466 ln 0,3272 ln
0,0266 ln 0,0091 ln 0,0021 ln 0,2483 ln
0,0480 ln
Distribusi frekuensi dan ringkasan deskripsi statistik dari alokatif
disajikan pada Tabel 29 dan Gambar 11 yang menyajikan histogram dari TE,
AE dan EE usahatani kubis.
Tabel 29. Efisiensi Alokatif (AE) dan Efisiensi Ekonomis (EE) Usahatani Kubis di Jawa Barat, 2011
Tingkat Efisiensi (%)
Efisiensi Alokatif (AE) Efisiensi Ekonomi (EE)
Jumlah petani (orang)
Persentase (%)
Jumlah petani(orang)
Persentase (%)
0-10 0 - 0 - 11.-20 0 - 1 0.6 21-30 1 0.6 7 4.2 31-40 4 2.4 22 13.3 41-50 9 5.4 27 16.3 51-60 13 7.8 46 27.7 61-70 22 13.3 37 22.3 71-80 34 20.5 24 14.5 81-90 44 26.5 2 1.2 91-100 39 23.5 0 -
166 100.0 166 100.0 Maksimum 99 83 Minimum 23 18 Rata-rata 77 56 Sumber : Data primer, diolah
Efi
ekonomi (
persen d
kubis di J
dasar untu
telah diba
77 persen
alokatif m
dengan ki
dalam sam
merealisas
sedangkan
78.3 pers
ditingkatk
dibanding
Gambar 1
Sumber : D
Ef
efisensi e
gambaran
melalui em
0102030405060708090100
FREK
UEN
SI
fisiensi alok
(EE) berkis
dan 56 pers
Jawa Barat
uk meningk
ahas sebelum
n dengan ki
memperlihatk
isaran 18 -
mpel dapat
sikannya de
n pada peta
en (1-18/8
kan, dan
gkan dengan
14. Histogr2011
Data primer
fisiensi tekn
ekonomi.
tentang k
mpat cara :
00000000000
0 ‐ 10 11 ‐
katif (AE)
sar antara 1
sen. Angka
tingkat ef
katkan pend
mnya, rata-r
isaran 23-9
kan bahwa
83 persen.
mencapai
engan peng
ani yang tid
3). Berdasa
inefisiensi
n inefisiensi
ram dari TE
r, diolah
nik dan alok
Ukuran ef
keberhasilan
(1) usahatan
‐ 2021 ‐ 30 31
berkisar a
8 – 83 pers
a-angka ini
fisiensi mas
dapatan dan
rata efisien
99 persen.
efisiensi ek
Gambaran
efisiensi ek
ghematan b
ak efisien m
arkan temu
alokatif
teknik.
E, AE dan E
katif menye
fisiensi tek
n relatif sua
ni secara te
1 ‐ 40 41 ‐ 50 5
INDEKS EFIS
antara 23 –
sen. Rata-r
i menunjuk
sih rendah,
n kesejahte
nsi alokatif u
Efek kom
konomi mem
n ini menun
konomi mak
biaya sebes
mereka dapa
uan di atas
merupaka
EE Usahatan
ediakan sebu
knik dan a
atu usahata
knis dan alo
51 ‐ 60 61 ‐ 70
SIENSI (%)
– 99 perse
rata AE dan
kkan bahwa
terutama E
eraan petani
untuk petan
mbinasi efisi
mpunyai rat
njukkan bila
ksimum ma
sar 32.5 p
at menghem
s, efisiensi
an masalah
ni Kubis di
uah ukuran
alokatif dap
ani. Hal i
okatif efisie
0 71 ‐ 80 81 ‐ 9
en dan efis
n EE sebes
a pada usah
EE. Ini me
i kubis. Se
ni sampel a
iensi teknik
ta-rata 56 p
a petani rata
aka petani
persen (1-5
mat biaya se
ekonomi
h yang s
Jawa Barat,
untuk meng
pat membe
ini dapat d
en, (2) usah
90 91 ‐100
159
siensi
sar 77
hatani
enjadi
eperti
adalah
k dan
persen
a-rata
dapat
56/83)
ebesar
dapat
serius
,
gukur
erikan
dilihat
hatani
TE
AE
EE
160
secara teknis efisien tetapi secara alokatif tidak efisien, (3) usahatani secara teknis
tidak efisien tetapi secara alokatif efisien, dan (4) usahatani secara teknis dan
alokatif .
6.8. Faktor yang Mempengaruhi Inefisiensi Usahatani Kubis
Seperti halnya kentang ke dalam model inefisiensi kubis dimasukkan 8
variabel penjelas. Tanda dan besaran koefisien hasil estimasi di dalam model
efek inefisiensi umur, pendidikan, keanggotaan dalam kelompok, frekuensi
penyuluhan, akses terhadap kredit, dan konservasi yang digunakan bertanda
negatif sesuai dengan yang diharapkan, sedangkan pengalaman dan status
kepemilikan bertanda positif. Koefisien estimasi yang bertanda positif
menunjukkan efek yang negatif terhadap efisiensi teknis. Penambahan variabel
tersebut akan menurunkan efisiensi teknik usahatani kubis. Sebaliknya koefisien
estimasi yang bertanda negatif menunjukkan efek yang positif terhadap efisiensi
teknis. Penambahan variabel tersebut akan meningkatkan efisiensi teknik
usahatani kubis. Hasil pendugaan faktor-faktor yang mempengaruhi produksi
kubis telah disajikan pada Tabel 26, dan hasil pendugaan faktor yang
mempengaruhi inefisiensi teknis disajikan pada Tabel 29.
Tabel 30. Estimasi Parameter Model Efek Inefisiensi Teknis Produksi Stokastik Frontier Usahatani Kubis di Jawa Barat, 2011
Coefficient standard-error t-ratio Konstanta (δ
0)
2.3321 1.5473 1.5072 Umur (δ
1)
-0.0079 0.0114 -0.6891 Pendidikan (δ
2) -0.0093 0.0333 -0.2788
Pengalaman(δ3) 0.0106 0.0134 0.7913
Anggota kelompok (D) (δ4) -0.8950* 0.8914 -1.0040
Frekuensi penyuluhan (δ5) -0.1761* 0.1608 -1.0950
Akses Kredit (D) (δ6) -0.6427* 0.6746 -0.9527
Status Kepemilikan (D) (δ7) 0.1036 0.2483 0.4171
Konservasi (D) (δ8) -0.4137* 0.4280 -0.9666
Sumber: data primer diolah Keterangan: * = nyata pada taraf α >= 0.1;
Berdasarkan kriteria statistik, terlihat bahwa keanggotaan dalam
kelompok, frekuensi penyuluhan, akses terhadap kredit, dan sistem penanaman
161
berpengaruh nyata pada taraf α = 0.2 persen. Hal ini menunjukkan semua
variabel tersebut merupakan faktor penentu ketidakefisienan dalam berusahatani
sayuran kubis. Sebaliknya variabel pengalaman berusahatani tidak berpengaruh
nyata terhadap efek inefisiensi.
Umur KK rumah tangga petani dan pendidikan formal KK rumah tangga
petani mempunyai tanda negatif terhadap inefisiensi teknis tetapi tidak
berpengaruh nyata. Artinya semakin tua umur petani semakin efisien. Hasil ini
tidak sesuai dengan yang dihipotesakan. Hasil ini sesuai dengan hasil penelitian
Battesse and Coelli 1995; Fauziyah 2010; Saptana 2011; Bakhsh and Hassan
2005. Namun hasil ini tidak sesuai dengan hasil temuan (Msuya et al 2008;
Amos 2007; Ahmad et al 2002; Kibaara 2005; Tchale and Sauer 2007; Liu dan
Zhuan (2000) dan Basnayake and Gunaratne 2002; Kalirajan and Flin 1983;
Siregar dan Sumaryanto 2003; Sumaryanto 2003;
Hal ini terjadi karena di daerah penelitian petani kubis berada pada umur
produktif. Di daerah penelitian juga ditemukan petani yang berusia muda mulai
terjun dalam pengelolaan usahatani kubis, mereka masih kurang berpengalaman
dalam hal keterampilan teknis yang dimilikinya sehingga inefisiensi masih
tinggi. Hasil ini tidak sesuai dengan pengujian yang telah dilakukan oleh
Battesee dan Coelli (1995) yang menyatakan bahwa petani tua kurang efisien
dibandingkan dengan petani yang masih muda.
Thirtle and Holding (2003), Herdt and Mandact (1981), Parikh (1995)
menemukan bahwa petani tua kurang mengadopsi teknologi Hubungan positif
anatar umur dan efisiensi teknik ditemukan di UK (O’Neil 2001), Liu dan Zhuan
(2000) menyatakan efisiensi teknis meningkat sebelum petani mencapai umur
40 tahun. Petani menjadi lebih trampil sejalan dengan bertambahnya umur,
namun learning by doing menurun sampai petani mencapai umur 40 an.
Hasil penelitian menunjukkan nilai koefisien variabel pendidikan terhadap
inefisiensi teknis bertanda negatif namun tidak berpengaruh nyata. Artinya
semakin tinggi pendidikan maka petani dapat menurunkan inefisensi teknisnya
dalam mengelola usahataninya atau dengan kata lain lebih efisien. Hasil ini sesuai
dengan harapan. Penemuan ini konsisten dengan hasil penelitian Kalirajan and
Flin 2003; Kalirajan 2004; Batesse and Coelli 2005; Villano and Fleming 2005;
162
Fauziyah 2010, Awudu et al (2001), Msuya 2008, Bakhsh and Hassan 2005 dan
Solis et al 2009. Namun tidak sesuai dengan hasil temuan Saptana 2011; Dev dan
Hossain 1995. Awudu et al (2001) yang menyatakan bahwa pendidikan
meningkatkan efisiensi teknis, sementara itu Solis et al (2009) menyatakan bahwa
pendidikan dan penyuluhan berpengaruh positif terhadap efisiensi teknik. Hasil
ini mendukung pernyataan bahwa peningkatan human capital di rumahtangga
perdesaan dapat meningkatkan pengelolaan usahatani dan akhirnya dapat
mencapai produktivitas yang tinggi.
Investasi untuk pendidikan dapat dilihat sebagai sebuah strategi untuk
meningkatkan produktivitas pertanian melalui hubungan komplementer dengan
penggunaan pupuk, pestisida, irigasi, varietas unggul, dan penelitian, dan
penyuluhan (Lockehed et al, 1980 dalam Van Passel (2008). Petani dengan
pendidikan tinggi dapat mencapai efisiensi teknik yang tinggi pula. Selanjutnya
pendidikan berpengaruh positif terhadap kemampuan (skill) petani sehingga dapat
mengelola usahataninya lebih efisien (Kalirajan, 1990, Batesse dan Coelli (1993),
Parikh et al (1995). Pendidikan juga berpengaruh positif terhadap lingkungan
dalam pertanian modern dibandingkan dengan pertanian konvensional (Loched,
1980)
Pengalaman berusahatani. Hasil penelitian menunjukkan variabel
pengalaman bertanda positif namun tidak berpengaruh nyata. Tanda ini tidak
sesuai dengan yang diharapkan. Temuan ini konsisten dengan penemuan Obare
(2010), Abedullah (2006), dan Udoh (2005). Pengalaman tidak berpengaruh
nyata artinya pengalaman tidak cukup bagi petani untuk mencapai efisensi
tertinggi, jika petani tidak dapat menyusun kembali inputnya untuk mencapai
output maksimum pada teknologi sekarang. Wilson (2001) menyatakan bahwa
petani gandum yang berpengalaman akan lebih efisien. Stevanou dan Saxena
(1988) menemukan bahwa pendidikan dan pengalaman memainkan perana
penting terhadap efisiensi.
Keanggotaan dalam kelompok dan Frekuensi penyuluhan. Hasil
penelitian menunjukkan variabel keanggotaan dalam kelompok dan frekuensi
penyuluhan bertanda negatif dan berpengaruh nyata, artinya petani yang ikut
dalam anggota kelompok tani dan menerima kunjungan penyuluhan lebih banyak
163
dapat mengelola usahataninya lebih efisien. Hal ini sesuai dengan harapan.
Kalirajan (1991,1984) dan Kalirajan (1991) menggunakan data panel untuk
periode 1983-1986 pada 30 petani padi di India menemukan pengaruh
keanggotaan dan kunjungan penyuluh berpengaruh positif terhadap efisiensi
teknik pada petani padi di India dan Philipina dan menjadi faktor dominan dari
efisiensi teknik.
Akses terhadap Kredit. Konsisten dengan penemuan Kalirajan (1981)
dan Nwani (2011), akses terhadap kredit meningkatkan efisiensi teknis, ini terlihat
dari koefisiennya yang negatif. Variable ini juga berpengaruh nyata pada tingkat
α >= 0.1. Ketersediaan kredit akan menggeser keterbatasan modal ke kanan dan
meningkatkan kemampuan petani untuk menanggung risiko atau dapat menanam
tanaman yang benilai ekonomi tinggi meskipun cenderung kekeringan (Nwani,
2011). Karenanya peningkatan efisiensi produksi komoditas kubis dapat
mengikutkan kebijakan program untuk meningkatkan petani agar akses terhadap
fasilitas kredit. Di daerah penelitian, banyak petani menanam kubis sebelum
tanaman kentang, hal ini akan mengakibatkan pada saat tanam petani kubis
kekurangan modal untuk membeli input dan membayar tenaga kerja. Dengan
demikian bila petani akses terhadap kredit baik kredit lembaga formal maupun
kelembagaan kios sarana produksi akan meningkatkan efisiensi teknisnya
sehubungan dengan manajemen teknis yang lebih baik. Hal yang sebaliknya
terjadi bila kubis ditanam sesudah kentang maka petani kurang membutuhkan
biaya untuk membeli input, karena keuntungan yang besar dari kentang dapat
disisihkan untuk menanam kubis.
Status Kepemilikan memainkan peran penting dalam inefsiensi teknik
suatu usahatani. Hasil penelitian menunjukkan bahwa status kepemilikan
bertanda positif namun tidak signifikan. Ini menunjukkan bahwa petani dengan
status lahan milik lebih efisien dibandingkan dengan petani penyewa atau
penggarap. Tidak signifikannya variabel ini menunjukkan bahwa petani pemilik
atau penyewa tidak mempengaruhi efisiensi dalam pengelolaan usahatani kubis.
Sistem Penanaman Hasil penelitian menunjukkan bahwa sistem
penanaman bertanda negatif dan berpengaruh nyata. Hal ini mengindikasikan
bahwa petani yang melakukan konservasi teras bangku lebih efisien dibandingkan
164
dengan petani yang melakukan tanpa konservasi (penanaman searah lereng).
Seperti diketahui di daerah penelitian kubis ditanam pada lahan berlereng. Hal ini
dapat menimbulkan degradasi lingkungan dilihat dari konservasi yang dilakukan
maupun erosi yang ditimbulkan. Konservasi yang dilakukan serah kontur dapat
menekan laju erosi dibandingkan dengan yang searah lereng sehingga produksi
relatif lebih tinggi. Hasil ini juga sesuai dengan estimasi fungsi produksi yang
juga menghasilkan variabel kemiringan yang negatif dan signifikan. Tabel 30.
meringkas temuan faktor yang mempengaruhi produksi kentang dan kubis serta
faktor yang mempengaruhi efisiensi.
Tabel 31. Ringkasan faktor-faktor yang mempengaruhi Produksi dan Inefisiensi Kentang dan Kubis di Jawa Barat, 2011
Peubah Kentang Kubis Tanda Signifikansi Tanda Signifikansi
Konstanta + √ + √ Luas lahan (X1) + √ + √ Benih (X2) + √ + √ Pestisida (X3) + √ + √ Pupuk K (X4) + x + X Pupuk N+P (X5) + x + X Pupuk Kandang (X6) + √ + √ Tenaga Kerja (X7) + x + Kemiringan (X8) - √ - √ Dummy Musim Tanam(X9) - √ + X Dummy Lokasi (X10) + √ - X Umur + √ - X Pendidikan - √ - X Pengalaman - x + X Keanggotaan - √ - √ FrekPenyuluhan - √ - √ Akses kredit + √ - √ Status lahan + √ + X Sistem penanaman + √ - √ Sumber : data primer, diolah
6.9. Sumber Inefisiensi Teknik, Alokatif dan Ekonomis Usahatani Kubis
Tabel 32 menyajikan faktor yang menjadi sumber inefisiensi
teknik,alokatif dan ekonomi.
165
Tabel 32. Faktor yang Mempengaruhi Inefisiensi Alokatif (AI) dan Inefisiensi Ekonomi (EI) Usahatani Kubis di Jawa Barat, 2011
IA IE Koefisien Sig Koefisien Sig Konstanta -0.016 0.873 0.604 0.000 Umur 0.002 0.152 0.000 0.797 Pendidikan -0.002 0.697 -0.003 0.360 Pengalaman -0.001 0.187 0.000 0.855 DKeanggKel 0.053*** 0.055 -0.069**** 0.005 FrekPenyul 0.015*** 0.028 -0.007 0.271 DaksKredit 0.017 0.522 -0.059** 0.012 DKepemilikan -0.023 0.373 -0.005 0.821 DKonservasi 0.056**** 0.002 -0.005 0.741 Sumber: data primer diolah Keterangan: **** = nyata pada taraf α= 0.01; *** = nyata pada taraf α= 0.05;
** = nyata pada taraf α= 0.1;
Koefisien untuk umur adalah positif untuk kedua jenis efisiensi, tetapi
tidak signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa petani berumur muda lebih efisien
dibandingkan dengan petani berumur tua. Demikian halnya variable umur
mempunyai dampak positif pada AI dan EI namun tidak signifikan pada EI. Hal
ini menunjukkan bahwa petani muda lebih lebih mampu mengalokasikan inputnya
pada tingkat biaya minimum.
Koefisien untuk pendidikan bertanda negatif IA dan IE sesuai dengan
yang diharapkan dan berpengaruh nyata. Artinya bahwa petani dengan
pendidikan tinggi secara teknis dan alokatif lebih efisien dibandingkan dengan
petani yang pendidikannya rendah. Petani dengan penddikan tinggi dapat
merespon lebih cepat dalam mengkombinasikan penggunaan input apabila terjadi
perubahan harga, dan merspon lebih cepat menggunakan teknologi baru dan
memproduksi mendekati output frontiernya.
Pengalaman mempunyai koefisien dugaan bertanda negatif untuk AI,
namun variabel ini tidak signifikan, artinya bahwa pengalaman tidak cukup
signifikan bagi petani untuk mencapai efisiensi tertinggi, apabila petani tidak
dapat menyusun kembali inputnya untuk mencapai output maksimum pada
tingkat teknologi sekarang.
Koefisien estimasi keanggotaan dalam kelompok dan frekuensi
penyuluhan untuk inefisiensi alokatif adalah positif dan berpengaruh nyata,
artinya petani yang menjadi anggota kelompok tani mengelola usahataninya
166
kurang efisien. Untuk efisiensi ekonomi keduanya bertanda negatif artinya petani
kubis dapat meningkatkan efisiensi ekonomi untuk mendapat keuntungan
maksimum sejalan dengan peningkatan keanggotaan dan frekuensi penyuluhan.
Namun frekuensi penyuluhan tidak signifikan untuk EI. Kinerja yang lebih baik
antar petani ditunjukkan oleh aplikasi yang baik dari teknologi seperti
pemupukan, aplikasi pestisida, dan penggunaan benih bermutu. Petani yang
menjadi anggota kelompok lebih cepat memperoleh informasi pasar dan harga
output yang terjadi sehingga mereka lebih responsif dalam mengalokasikan
inputnya pada tingkat biaya minimum.
Dummy akses terhadap kredit bertanda negatif dan signifikan AI namun
tidak signifikan untuk EI. Hal ini menunjukkan bahwa petani yang mempunyai
akses ke lembaga keuangan lebih efisien dalam mengelola usahataninya. Fakta di
lapangan menunjukkan bahwa sedikit petani yang mempunyai akses ke lembaga
keuangan formal seperti bank. Dalam mengelola usahataninya petani yang
kekurangan modal lebih senang meminjam sarana produksi ke para tengkulak
yang akan dibayar setelah panen, karena prosedurnya mudah dan tidak perlu
agunan. Kredit usahatani ditujukan untuk meningkatkan produksi. Petani
membutuhkan biaya setelah periode panen untuk penanaman selanjutnya karena
keterbatasan modal yang dimiliki. Ketersediaan dan kemudahan akses terhadap
kredit secara langsung akan meningkatkan penggunaan input dan akhirnya
meningkatkan output sehingga pendapatan pun meningkat.
Status kepemilikan meliputi status lahan milik, sewa dan garap. Hasil
penelitian menunjukkan koefisien dugaan bertanda negatif untuk IA dan IE,
namun tidak signifikan untuk kedua efisiensi. Tanda negatif untuk IA
menujukkan bahwa petani pemilik lebih dapat meminimalkan biaya untuk
mencapai output pada teknologi sekarang. Dengan kata lain pemilik lebih mampu
mengkombinasikan inputnya pada tingkat biaya minimum jika terjadi perubahan
harga dan mereka lebih mendekati pada produksi frontiernya.
Dummy sistem penanaman menunjukkan tanda yang negatif untuk TI
dan EI sesuai dengan yang diharapkan dan positif dan signifikan untuk AI. Hal
ini berimplikasi bahwa petani yang menggunakan konservasi yang searah kontur
atau teras bangku dapat menurunkan inefisiensi teknisnya untuk mencapai
167
produksi frontiernya. Tanda positif untuk AI menunjukkan bahwa petani dengan
sistem penanaman searah kontur atau teras bangku dapat mencapai biaya
minimumnya.
6.10. Pengaruh Perbedaan Kemiringan Lahan terhadap Sebaran Efisiensi Teknik, Efisiensi Alokatif dan Efisiensi Ekonomi Usahatani Kentang Berdasarkan analisis sebelumnya, kentang banyak ditanam di lahan
berlereng dengan kemiringan yang tinggi. Dari hasil pendugaan fungsi produksi
sebelumnya terlihat bahwa kemiringan lahan mempunyai pengaruh yang nyata
terhadap produksi kentang di dataran tinggi. Dengan demikian analisis
dilanjutkan untuk melihat perbedaan efisiensi yang disebabkan oleh perbedaan
kemiringan lahan. Tabel 33 menggambarkan hubungan antara kemiringan lahan
(kelerengan) dengan efisiensi teknik, alokatif dan ekonomi. Tabel 33
memperlihatkan semakin tinggi kemiringan lahan tingkat efisiensi teknis, alokatif
maupun ekonomi secara umum semakin menurun. Hal
Tabel 33. Hubungan Kemiringan Lahan dengan Efisiensi teknik (TE), Efisiensi Alokatif (AE) dan Efisiensi Ekonomi (EE) pada Usahatani Kentang di Jawa Barat, 2011
Kemiringan (%) TE(%) AE(%) EE(%) 0-9 85 58 48
10-19 84 48 37 20-29 84 42 35 30-39 83 41 32 40-49 82 36 28 >50 72 31 24
Rataan 84 47 38 Sumber : data primer, diolah
ini dapat diterangkan bahwa dengan kemiringan lahan yang tinggi dan curam,
petani lebih sulit mengelola usahataninya. Lahan dengan kelerengan yang tinggi
rawan dengan erosi sehingga kualitas lahan semakin menurun. Penurunan
kualitas lahan ini diantisipasi petani dengan menambah jumlah pupuk anorganik,
namun sebagian petani terutama bila yang mengelola adalah buruh tani,
penggunaan sarana produksi seadanya karena terkait dengan risiko. Hal ini akan
berdampak pada efisiensi alokatif dan ekonomi.
Gambar 12. menunjukkan hubungan antara kemiringan dengan tingkat
efisiensi. Semakin tinggi kemiringan lahan, kecenderungan yang terjadi adalah
168
semakin menurunnya tingkan efisiensi, baik efisiensi teknis, alokatif, maupun
ekonomi.
Gambar 15. Hubungan Kemiringan Lahan dengan Efisiensi teknik (TE), Efisiensi
Alokatif (AE) dan Efisiensi Ekonomi (EE) pada Usahatani Kentang di Jawa Barat, 2011
Sumber : data primer, diolah
Selanjutnya dari Tabel 34. dapat dilihat bahwa sistem penanaman teras
bangku akan meningkatkan efisiensi teknik diikuti oleh penanaman searah kontur
dan searah lereng. Hal ini dapat dimengerti karena dengan konservasi teras
bangku produktivitas semakin baik. Namun sebaliknya semakin baik konservasi,
efisiensi alokatif dan ekonomi semakin menurun, hal ini diduga penggunaan input
pada lahan berlereng dikurangi oleh petani karena terkait dengan risiko, walaupun
pupuk kimia ditambah. Dengan demikian diduga semakin tinggi kelerengan
biaya yang dikeluarkan lebih rendah dan ini mendekati biaya minimalnya. Hasil
ini sesuai dengan hasil temuan Solis (2006) yang menyatakan bahwa petani
dengan investasi yang tinggi dalam konservasi lahan mempunyai rata-rata efisensi
lebih tinggi dibandingkan dengan tanpa konservasi.
0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
0.8
0.9
0 1 2 3 4 5 6 7
Besaran Efisiensi
KemiringanKet : 1 = 0‐9 2 = 10‐19 3 = 20‐29 4 = 30‐39 5 = 40‐49 6 = > 50
Hubungan Kemiringan dengan TE, AE, dan EE
TE
AE
EE
169
Tabel 34. Pengaruh Sistem Konservasi terhadap Efisiensi Teknik, Alokatif dan Ekonomi Usahatani Kentang Dataran Tinggi di Jawa Barat, 2011
Sistem Penanaman TE (%) AE(%) EE(%) searah lereng 81 51 39 searah kontur 85 46 38 teras bangku 85 46 39
Sumber : data primer, diolah
Dengan demikian bagi petani yang belum efisien secara teknis masih ada
peluang untuk dioptimalkan penggunaan faktor inputnya agar usahataninya lebih
efisien sampai mencapai produksi maksimum seperti yang dapat dicapai petani
paling efisien di daerah penelitian. Secara rata-rata di daerah penelitian petani
berpeluang meningkatkan produksinya sebesar 11.5 persen ( 1- 0.84/0.95) dengan
cara menerapkan teknik budidaya petani yang paling efisien.
6.11. Pengaruh Kemiringan Lahan dan Sistim Konservasi terhadap Efisiensi Teknik, Efisiensi Alokatif dan Efisiensi Ekonomi Usahatani Kubis Berdasarkan analisis sebelumnya, kubis banyak ditanam di lahan berlereng
dengan kemiringan yang tinggi. Dari hasil pendugaan fungsi produksi
sebelumnya terlihat bahwa kemiringan lahan mempunyai pengaruh yang nyata
terhadap produksi kentang di dataran tinggi. Tabel 35. menggambarkan hubungan
antara kemiringan lahan (kelerengan) dengan efisiensi teknik, alokatif dan
ekonomi. Tabel 35 memperlihatkan semakin tinggi kemiringan lahan tingkat
efisiensi teknis, alokatif maupun ekonomi secara umum semakin menurun. Hal
ini dapat diterangkan bahwa dengan kemiringan lahan yang tinggi dan curam,
ditambah dengan curah hujan tinggi maka erosi akan semakin besar. Hasil ini
sesuai dengan hasil temuan Solis (2006) yang menyatakan bahwa petani dengan
investasi yang tinggi dalam konservasi lahan mempunyai rata-rata efisensi lebih
tinggi dibandingkan dengan tanpa konservasi.
Selanjutnya dari Tabel 36 dapat dilihat bahwa sistem penanaman teras
bangku akan meningkatkan efisiensi teknik diikuti oleh penanaman serah kontur
dan searah lereng. Hal ini dapat dimengerti karena dengan konservasi teras
bangku produktivitas semakin baik. Namun sebaliknya semakin baik konservasi,
efisiensi alokatif dan ekonomi semakin menurun, hal ini diduga penggunaan input
pada lahan berlereng dikurangi oleh petani karena terkait dengan risiko.
170
Tabel 35. Hubungan Kemiringan Lahan dengan Efisiensi teknik (TE), Efisiensi Alokatif (AE) dan Efisiensi Ekonomi (EE) pada Usahatani Kubis di Jawa Barat, 2011
kemiringan (%) TE (%) AE(%) EE(%) 0 71 80 55 5 76 85 64 10 67 78 51 15 72 75 53 20 73 78 56 25 79 70 56 30 74 77 56 35 80 72 58 40 81 84 67 45 80 74 59
>50 70 58 40 Sumber : data primer, diolah
Dengan demikian diduga semakin tinggi kelerengan biaya yang
dikeluarkan lebih rendah dan ini mendekati biaya minimalnya.
Tabel 36. Pengaruh Sistem Konservasi terhadap Efisiensi Teknik, Alokatif dan Ekonomi Usahatani Kubis Dataran Tinggi di Jawa Barat, 2011
Sistem Konservasi TE AE EE searah lereng 0.72 0.81 0.57 searah kontur 0.72 0.76 0.54 teras bangku 0.79 0.72 0.57 Sumber : data primer, diolah
Hasil ini konsisten dengan penemuan Solis et al., 2006 yang menemukan
bahwa petani yang mengkonservasi lahannya lebih efisien dibandingkan dengan
yang tidak mengkonservasi. Wadud (1999) menemukan bahwa degradasi lahan
akan menurunkan efisiensi teknik. Selanjutnya
VII. PENGUKURAN NILAI KEBERLANJUTAN USAHATANI SAYURAN DATARAN TINGGI DI JAWA BARAT
Dalam rangka menilai keberlanjutan usahatani, sebuah pendekatan perlu
dilakukan sebagai petunjuk untuk pengambil keputusan. Pengembangan indikator
keberlanjutan dapat dipandang sebagai sebuah cara yang efektif untuk
mengoperasionalkan pertanian berkelanjutan (Rigby et al, 2001, van Calker et al
2006, van Passel 2009). Perusahaan berinvestasi untuk meningkatkan kinerja
usahatani. Kinerja ini memerlukan penilaian yang akurat dari efisiensi usahatani
dan mengidentifikasi sumber inefisiensi dalam merumuskan kebijakan untuk
meminimalkan inefisiensi (Sherlund et al, 2002). Karenanya penting untuk
mengukur keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi melalui pendekatan
“sustainable value” dan return to cost (sustainability efficiency). Untuk tujuan
itu, analisis dilanjutkan dengan menghubungkan antara produktivitas, eco-
efficiency, efisiensi teknik, dan efisiensi keberlanjutan. Selanjutnya pendekatan
dilakukan melalui model Stochastic Frontier dengan metode Cobb Douglas
Frontier.
Terdapat empat faktor penggerak dalam pembangunan pertanian ( dalam hal
ini usahatani kentang dan kubis) yaitu:
1. Sumberdaya alam dan lingkungan (lahan, air, ekologi) terkait dengan
kemiringan lahan dan tingkat erosi
2. Sumberdaya manusia (fisik dan kreativitas)
3. Teknologi (modal dan sarana produksi)
4. Organisasi petani/kelembagaan/sosial misalnya berpartisipasi dalam
kelompok
Dengan demikian dalam penelitian ini variabel yang relevan dimasukkan ke
dalam model adalah lahan, tenaga kerja, modal, pengeluaran sarana produksi
(benih, pupuk, pestisida, pupuk kandang), dan tingkat erosi. Lahan, tenaga kerja,
dan modal mewakili input konvensional atau sebagai input utama. Tenaga kerja
dapat dipandang sebagai indikator sosial dalam keberlanjutan (Illge et al, 2008).
Selanjutnya di daerah penelitian erosi merupakan faktor lingkungan yang penting
diperhatikan karena kentang dan kubis ditanam di lahan berlereng yang dapat
menyebabkan erosi yang tinggi, oleh karena itu tingkat erosi mewakili input
172
lingkungan. Pada penelitian ini tingkat erosi tidak diukur langsung di lapangan
tetapi menggunakan perhitungan prediksi erosi seperti yang dirumuskan oleh
Arsyad (2000). Pengolahan perhitungan menggunakan program Splash. Untuk
kelembagaan/aspek sosial seperti partisipasi dalam kelompok tidak dimasukkan
ke dalam model dan merupakan keterbatasan penelitian ini.
Benchmark merupakan sebuah alat yang penting untuk mengevaluasi
kinerja dan kebijakan usahatani (Figge and Hahn, 2002, 2004, 2005). Sebuah
usahatani berkontribusi lebih berkelanjutan ketika menggunakan sumberdaya
yang dimilikinya lebih produktif dibandingkan usahatani lainnya. Menurut Figge
dan Hahn (2005), untuk lebih berkontribusi terhadap keberlanjutan, maka value
added yang diciptakan harus lebih besar dari opportunity cost sumberdaya
tersebut. Dengan demikian dalam bab ini akan dianalisis nilai kontribusi, nilai
keberlanjutan, dan efisiensi keberlanjutan sebagai indikator untuk menganalisis
keberlanjutan usahatani. Kemudian dalam bab ini juga dibangun sebuah model
ekonometrika untuk menganalisis dampak beberapa karakteristik struktural dan
manajerial terhadap kinerja keberlanjutan.
7.1. Nilai kontribusi, Nilai Keberlanjutan, dan Efisiensi Keberlanjutan
Dengan menggunakan data 203 petani kentang dan 166 petani kubis, nilai
kontribusi (value contribution), nilai keberlanjutan (sustainable value), dan nilai
efisiensi keberlanjutan (return to cost) dapat dihitung, seperti disajikan pada Tabel
37. Menurut Van Passel (2009) salah satu cara mengukur benchmark adalah
menggunakan rata-rata penerimaan/keuntungan tidak dibobot, artinya benchmark
diukur dengan menjumlahkan seluruh penerimaan untuk seluruh petani sampel
dibagi dengan jumlah petani. Dengan demikian pada bahasan pertama ini
digunakan rata-rata penerimaan sampel sebagai benchmark. Tabel 37
memperlihatkan contoh perhitungan nilai keberlanjutan untuk seorang petani
sampel. Tingkat erosi dihitung dengan menggunakan persamaan (83) . Pada
kolom B terlihat petani tersebut menggunakan 2 hektar lahan, jumlah tenaga kerja
adalah 492 HKP, jumlah modal yang dimiliki Rp 5 780 000, pengeluaran sarana
produksi Rp 67 315 850 untuk 2 hektar, dan erosi 8.68 ton/ha/tahun. Penerimaan
untuk usahatani adalah Rp 135 000 000.
173
Pada perhitungan ini benchmark yang digunakan adalah rata-rata
penerimaan untuk seluruh sampel petani yaitu sebesar Rp 81 200 000. Dari Tabel
37 dapat dilihat jenis sumberdaya yang digunakan untuk setiap usahatani dan
benchmark ada pada kolom A. Kolom B dan C memperlihatkan penggunaan
Tabel 37. Contoh Perhitungan Nilai Keberlanjutan dari Seorang Petani Sampel di Jawa Barat, 2011 (untuk Menghasilkan Rata-rata Penerimaan Rp 81.2 juta per musim dan value added = Rp 135 juta)
Penggunaan Sumberdaya Eco efficiency (Rp) Nilai Kontribusi
(Rp) Jenis
Sumberdaya Usahatani
Sampel Benchmark Usahatani sampel Benchmark
(A) (B) (C ) (D) (E) (F) Lahan 2 ha 0.54 ha 67.5 juta 150.4 juta -165 740 741 Tenaga kerja 492 HKP 223.91 HKP 274 390 362 646 - 43 421 687 Kapital Rp 5,78 juta Rp 3. 66 juta 23 22.1 6 906 114 Sarana produksi Rp 67, 32 juta Rp14. 65 juta 2 6 -238 182 424
Erosi 8.68 ton/ha/th 10.95 ton/ha/th 15.55juta 7.42 juta 70 633 242 Nilai keberlanjutan (SV) -369 805 497
Keterangan: kolom D = Rp135 000 000/kolom B kolom E = Rp 81 200 000/kolom C kolom F = kolom B *(kolom D – kolom E) SV = penjumlahan nilai kontribusi seluruh sumberdaya sumberdaya yang digunakan oleh usahatani sampel dan benchmark. Kolom D
dan E adalah perhitungan produktivitas (eco efficiency) untuk usahatani sampel
dan benchmark. Kolom D dihitung dengan cara membagi nilai penerimaan (Rp
135 000 000 : kolom B) dan kolom E dihitung dengan cara membagi nilai
penerimaan (Rp 81200000: kolom C). Nilai kontribusi pada kolom F
menunjukkan bahwa sumberdaya digunakan oleh usahatani untuk menciptakan
nilai (penerimaan). Kemudian untuk melihat apakan sumberdaya telah digunakan
lebih produktif atau tidak dibandingkan dengan benchmark dihitung dengan nilai
keberlanjutan (SV), dengan cara menjumlahkan nilai kontribusi untuk seluruh
sumberdaya. Rumus perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada persamaan 69
sampai persamaan 74.
Tabel 38. dan Tabel dan Gambar 16. memperlihatkan hasil perhitungan
nilai keberlanjutan dan untuk 203 petani kentang dengan benchmark
menggunakan rata-rata seluruh sampel.
174
Tabel 38. Distribusi Frekuensi Nilai Keberlanjutan (SV) Usahatani Kentang dengan Benchmark Rata-rata Sampel di Jawa Barat, 2011
Nilai keberlanjutan ( Rp 000)
Kentang Kubis Jumlah petani
(orang)
Persentase (%)
Jumlah petani (orang)
Persentase (%)
< - 30 000 93 45.81 47 28.31
-30 001 – 0 94 46.31 107 64.46 1 – 30 000 13 6.40 0 0 30 001 – 60 000 2 0.99 12 6.63 > 60 001 1 0.49 1 0.60
Rata-rata : - 37 189 Jumlah 203 100 166 100
Gambar 16. Distribusi Frekuensi Nilai Keberlanjutan Usahatani Kentang di Jawa Barat, 2011.
Berdasarkan hasil Tabel 38 dan Gambar 16 terlihat bahwa hampir 92.12
persen petani kentang mempunyai nilai keberlanjutan negatif dengan rata-rata Rp
-37.189.000. Temuan ini konsisten dengan dengan hasil penelitian Van Passel
(2009), Figge dan Hahn (2005), Van Passel et al (2006), Merante et al (2008),
Ehrman (2008). Van passel (2009) dalam penelitiannya pada peternakan sapi
menemukan nilai keberlanjutan semua petani sampel masih negatif dan tidak
terdapat usahatani yang positif (super farm). Sementara itu Erhman (2008)
menemukan nilai keberlanjutan untuk petani sampai dengan 50 hektar masih
negatif dan petani dengan luas lahan lebih besar 50 hektar baru mencapai nilai
keberlanjutan positif. Demikian halnya Erhman (2008) menemukan kepemilikan
sapi di bawah 50 ekor masih mempunyai nilai keberlanjutan negatif. Nilai
93 94
132 1
45.81 46.31
6.4 0.99 0.490
20
40
60
80
100
< ‐ 30000.00 ‐ 30001 ‐ 0 1‐ 30000 30001 ‐60000
> 60001
Jumlah Pe
tani
Nilai Keberlanjutan (SV)
Frekuensi
175
keberlanjutan yang positif (negatif) menunjukkan usahatani menggunakan
sumberdayanya lebih besar (lebih kecil) dibandingkan dengan benchmark. Atau
dengan kata lain apakah nilai yang diciptakan usahatani melebihi opportunity cost
dari penggunaan sumberdaya tersebut.
Kondisi di lapangan memperlihatkan bahwa faktor yang mempengaruhi
keberlanjutan seperti lahan sudah mengalami kelangkaan sehubungan dengan alih
fungsi lahan pertanian. Oleh karena itu perluasan lahan sayuran tidak
memungkinkan dilakukan, kecuali petani memperluas lahan sewa ke arah lahan
dengan kemiringan lereng tinggi. Namun hal ini juga berdampak pada
sumberdaya lingkungan seperti tingkat erosi yang tinggi. Hasil perhitungan
prediksi erosi di wilayah penelitian menunjukkan angka rata-rata 11,56
ton/ha/tahun, meskipun masih d bawah toleransi erosi yang diperbolehkan (13
ton/ha/tahun) namun dalam jangka panjang dimugkinkan erosi dan kehilangan
hara akan semakin besar. Hasil penelitian Katharina (2007) di Pangalengan
menemukan bahwa erosi yang akan muncul 20 tahun yang akan datang berada
pada kisaran 13 – 16 ton/ha, angka ini melebihi Tolerable Soil Loss Pangalengan
yaitu 12,75 ton /ha.
Dari sisi permodalan, petani di daerah penelitian masih terjebak dengan
meminjam modal kepada para tengkulak atau toko sarana produksi, sehingga bila
panen para petani tidak mempunyai kekuatan mencari harga yang lebih tinggi
karena sudah terikat utang piutang. Akibatnya petani kentang dan juga kubis
mempunyai pendapatan yang tidak stabil, yang secara langsung akan berakibat
pada usahatani non konservasi. Hal ini akan memacu lebih cepat terjadinya erosi
dan kerusakan ligkungan yang lebih parah. Demkian halnya pembentukan modal
kapital di daerah penelitian masih rendah, selama 5 tahun peningkatan aset lahan
sangat rendah hanya 0.17 hektar namun nilainya bisa ratusan juta rupiah seiring
dengan peningkatan harga lahan yang signifikan karena lahan semakin langka.
Pada petani sempit peningkatan luas lahan dalam 5 tahun lebih kecil lagi yaitu
sekitar 0.04 M2.
Faktor lainnya yang menjadi penyebab kontribusi petani terhadap
keberlanjutan masih rendah adalah faktor kemiringan lahan. pada umumnya
petani kentang atau kubis menanam pada kemiringan lereng 0-65 persen. Hal ini
176
tidak sesuai dengan kaidah konservasi. Arsyad (2000) menyatakan bahwa lahan
dengan kemiringan >30 persen kurang cocok untuk tanaman semusim. Sebagian
besar petani menanam > 65 persen, sehingga apabila ingin diusahakan untuk
usahatani sayuran sebaiknya ditanami tanaman permanen (Katharina, 2007). Hal
ini diperparah dengan sistem penanaman searah lereng sehingga dapat dikatakan
petani belum menerapkan teknik konservasi. Data penelitian menunjukkan bahwa
hampir 50 persen petani menanam kentang atau kubis dengan sistem penanaman
searah lereng (lihat kembali gambaran umum Bab V). Tingginya intensitas
pertanaman di daerah penelitian (3 kali setahun bahkan lebih) akan mempercepat
kerusakan lingkungan, sehingga lahan kritis akan semakin besar dan ini akan
mengancam keberlanjutan usahatani.
Dalam hal penggunaan sarana produksi, keberlanjutan usahatani kentang
maupun kubis juga ditentukan oleh kualitas benih. Seperti telah dikemukakan
pada bab V dan VI, teknologi benih kentang masih rendah karena terbatasnya
penangkar benih yang menghasilkan benih bersertifikat. Penggunaan benih yang
tidak bersertifikat, atau maraknya benih oplosan menyebabkan produksi tidak
dapat mencapai maksimal, dan kalau terus dibiarkan tanpa ada perbaikan
produktivitas akan semakin menurun dan akan menurunkan keberlanjutan
usahatani kentang. Namun untuk benih kubis tidak jadi masalah karena benih
impor masih diperbolehkan dan petani dapat membelinya di kios pertanian
terdekat.
Seperti telah dikemukakan pada Bab V kontinuitas tanaman kentang di
daerah penelitian terjadi karena dukungan input luar yang relatif tinggi.
Tingginya penggunaan pupuk NPK ini akan menyebabkan biaya semakin tinggi
disamping itu akan menyebabkan kerusakan lingkungan. Rata-rata penggunaan
pupuk NPK per hektar di daerah penelitian sekitar 710 kg, 579 kg Urea, 461 kg
TSP dan 112 kg KCl untuk kentang sedangkan untuk kubis penggunaan NPK per
hektar sebesar 648 kg, Urea sebesar 537 kg, TSP 280 kg, dan KCl 261 kg.
Kebutuhan NPK ini sudah melebihi dosis anjuran Dinas Pertanian jawa Barat
sebesar 714 kg yang terdiri atas Urea 256 kg/ha, SP 36 sebesar 125 kg/ha, dan
KCl 333 kg/ha. Di lapangan yang terjadi adalah gejala penurunan produktivitas
dan stagnasi produksi pada tingkat penggunaan input yang lebih tinggi
177
Seperti dikemukakan sebelumnya, nilai keberlanjutan menunjukkan berapa
banyak value added yang dapat diciptakan dari sumberdaya yang tersedia
dibandingkan dengan benchmark, maka Return to cost (efisiensi keberlanjutan)
merupakan indikator untuk mengukur efisiensi dari penggunaan sumberdaya, dan
ukuran ini lebih konsisten dengan konsep efisiensi dan produktivitas. Efisiensi
keberlanjutan (return to cost) dapat dihitung dengan cara membagi nilai
penerimaan dengan biaya dari keberlanjutan kapital (ADVANCE, 2006; Figge
dan Hahn, 2005; dan Van Passel, 2009. Biaya dari nilai keberlanjutan kapital
sama dengan nilai value added dikurangi dengan nilai keberlanjutan (Van Passel,
2009).
Rumus efisiensi keberlanjutan (RtC) dapat dilihat pada persamaan (74).
Nilai efisiensi keberlanjutan =1 artinya nilai value added sama dengan biaya
untuk seluruh sumberdaya. Nilai efisiensi keberlanjutan > 1 menunjukkan bahwa
usahatani secara keseluruhan lebih produktif dibandingkan benchmarknya. Dalam
contoh di atas, efisiensi keberlanjutan = 0,26 (=135 000 000/(135 000 000-(-360
805 497). Angka ini menunjukkan bahwa sumberdaya ekonomi, sosial,
lingkungan belum dapat menutup biaya sumberdaya dibandingkan benchmarknya.
Efisiensi keberlanjutan lebih besar 1 menunjukkan bahwa penerimaan usahatani
lebih besar dari penerimaan per unit sumberdaya. Tabel 39. menyajikan nilai
efisiensi keberlanjutan dari usahatani kentang dan kubis. Hasil perhitungan
menunjukkan nilai maksimum dari efisensi keberlanjutan usahatani kentang
adalah 1.60 dan minimum 0.04 dengan rata-rata 0.49 Angka ini menunjukkan
petani mengelola usahataninya hanya 49 persen (atau hanya setengahnya)
produktif (kurang efisien) dibandingkan dengan kondisi kalau sumberdaya
tersebut digunakan oleh benchmark.
Bila dikaitkan dengan rata-rata nilai keberlanjutan Rp -37,19 juta (Tabel
38) maka hal ini berarti sumberdaya dapat dialokasikan dan masih dapat
ditingkatkan untuk mencapai produksi frontiernya. Dengan kata lain usahatani
dapat mengubah komposisi sumberdayanya, sumberdaya yang berlebihan dapat
digantikan dengan sumberdaya yang lebih efisien sehingga tambahan 37 juta
dapat diciptakan. Nilai efisiensi keberlanjutan untuk usahatani kubis lebih kecil
dibandingkan kentang. Hal ini menggambarkan pengelolaan sumberdaya untuk
178
kubis lebih kurang produktif dibandingkan dengan kentang. Bila dikaitkan
dengan pencapaian efisiensi teknik, fakta dilapangan menunjukan efisiensi teknik
untuk kubis lebih kecil dibandingkan dengan kentang.
Tabel 39. Distribusi Frekuensi Return to Cost (Efisiensi Keberlanjutan) Usahatani Kentang di Jawa Barat, 2011
Nilai
Efisiensi keberlanjutan (RtC)
Kentang Kubis Jumlah petani
(orang) Persentase
(%) Jumlah petani
(orang) Persentase
(%) < 0.4 92 45.3 107 64.5
0.41 - 0.8 80 39.4 37 22.3 0.81 - 1.2 23 11.3 13 7.8 1.21 - 1.6 7 3.5 2 1.2
> 1.61 1 0.5 7 4.2 Total 203 100 166 100 Minimum 0.04
1.60 0.49
0.01 2.89 0.42
Maksimum Rata-rata
Dari Tabel 39 terlihat bahwa 86.8 persen petani masih mempunyai
efisiensi keberlanjutan < 0.8. Usahatani ke-i lebih efisien jika value added dalam
hal ini penerimaan melebihi biaya dari keberlanjutan. nilai RtC =1 jika
penerimaan sama dengan nilai keberlanjutan dari usahatani, dan RtC > 1
menunjukkan bahwa usahatani secara keseluruhan lebih produktif dibandingkan
benchmarknya. Temuan ini konsisten dengan dengan hasil penelitian Figge dan
Hahn (2005), Van Passel et al (2006), Merante et al (2008), dan Ehrman (2008).
Namun hasil ini Van Passel (2009) menemukan bahwa pada peternakan sapi
tidak ditemukan petani yang mencapai efisiensi keberlanjutan =1, rata-rata di
bawah 1.
179
Gambar 17. Distribusi Frekuensi Efisiensi Keberlanjutan Usahatani Kentang di Jawa Barat, 2011. 7.2. Pengukuran Nilai Keberlanjutan dengan Menggunakan Pendekatan
Efisiensi 7.2.1. Fungsi Produksi Cobb Douglas sebagai Benchmark
Seperti dijelaskan pada uraian di atas, sumberdaya yang digunakan untuk
mengukur keberlanjutan dengan menggunakan Fungsi produksi Cobb Douglas
sebagai benchmark. variabel terikat yang dimasukkan adalah penerimaan dari
usahatani kentang dan kubis, yaitu hasil penjualan dikalikan dengan harganya. Ini
sesuai dengan yang dikemukakan oleh Van Passel (2009) yang memasukkan
variabel nilai tambah (VA) sebagai penerimaan. Variabel yang mempengaruhi
nilai tambah adalah adalah lahan, tenaga kerja, kapital, sarana produksi dan erosi.
Rumus perhitungan diadopsi dari persamaan (75) dengan :
ln exp ln
ln ln
Perhitungan erosi menggunakan persamaan 83. Hasil estimasi dengan
menggunakan metode Maximum Likelihood dapat dilihat pada Tabel 40. Dari
Tabel 40. terlihat bahwa semua variabel yang dimasukkan ke dalam model
keberlanjutan usahatani kentang mempunyai tanda sesuai dengan yang
diharapkan. Lahan, tenaga kerja, modal dan biaya sarana produksi berpengaruh
positif terhadap nilai tambah (penerimaan) usahatani kentang. Peubah erosi
memperlihatkan tanda yang negatif, menunjukkan bahwa semakin tinggi erosi,
92
80
23
71
45.3239.41
11.333.45 0.49
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
< 0.4 0.41 ‐ 0.8 0.81 ‐ 1.2 1.21 ‐ 1.6 > 1.61
Jumlah Pe
tani
Nilai Efisiensi keberlanjutan (RtC)
Frekuensi
Persen
180
nilai tambah atau penerimaan semakin kecil. Dari lima variabel yang dimasukkan
ke dalam model, tiga peubah berpengaruh nyata kecuali peubah modal dan biaya
sarana produksi. Koefisien dugaan dari σ2 adalah 0,68 dan γ sebesar 0,85 dan
keduanya berpengaruh nyata pada taraf α = 0,01. Angka ini menunjukkan bahwa
85 persen dari variasi hasil diantara petani sampel disebabkan oleh perbedaan
efisiensi teknis.
Tabel 40. Hasil Pendugaan Fungsi Produksi Frontier Cobb Douglas untuk Keberlanjutan Usahatani Kentang di Jawa Barat, 2011.
Koefisien Standar Error t-ratio Konstanta 8.82 1.29 6.83 Lahan 0.64 *** 0.12 5.25 Tenaga Kerja 0.12 ** 0.08 1.42 Modal 0.01 0.02 0.40 Sarana prod 0.22 ** 0.12 1.73 Tingkat erosi -0.01 0.03 - 0.47 sigma-s 0.68 0.10 6.83 gamma 0.85 0.05 16.36 Keterangan: *** nyata pada taraf α =0.001; ** α = 0.05 dan * α = 0.1
Tabel 41 menyajikan hasil estimasi keberlanjutan usahatani kubis. Sama
halnya dengan kentang, fungsi produksi frontier untuk keberlanjutan usahatani
kubis pun menunjukkan hal yang relatif sama. Namun yang menarik adalah
biaya sarana produksi mempunyai tanda negatif dan ini sesuai dengan yang
diharapkan. Variabel erosi mempunyai tanda positif namun tidak berpengaruh
nyata pada α= 10 persen. Tidak berpengaruhnya variabel modal disebabkan
modal adalah aset jangka panjang yang pemanfaatannya digunakan dalam waktu
yang panjang, sedangkan analisis ini hanya untuk tiga musim tanam. Ini juga
berkaitan dengan pemanfaatan aset yang belum optimal karena di daerah
penelitian pemanfaatan modal terutama untuk kubis tidak terlalu intensif
(underuse). Sarana produksi merupakan input yang yang sudah berlebih, ini
dilihat dari tanda parameter dugaan yang negatif. Berdasarkan data yang
dikumpulkan, di daerah penelitian penggunaan pupuk dan pestisida sudah
melebihi dosis yang direkomendasikan dan ini membuat biaya menjadi tinggi.
181
Tabel 41. Hasil Pendugaan Fungsi Produksi Frontier Cobb Douglas.Usahatani Kubis di Jawa Barat, 2011
Koefisien Standar Error t-ratio Konstanta 9.95 2.22 4.48 Lahan 0.66 *** 0.19 3.40 Tenaga Kerja 0.56 *** 0.23 2.49 Modal 0.01 0.06 0.26 Sarana prod -0.26 0.31 -0.83 Tingkat erosi 0.05 0.06 0.82 sigma-s 2.66 0.62 4.27 gamma 0.84 0.12 7.28 Sumber : Data primer, diolah Keterangan: *** nyata pada taraf α =0.001; ** α = 0.05
Selanjutnay untuk mengukur nilai keberlanjutan mengikuti langkah
sebagai berikut. Langkah pertama untuk mengukur tingkat kontribusi terhadap
keberlanjutan adalah peubah output dipisahkan dari komponen “noise” untuk
dapat bekerja dalam kerangka deterministic seperti pada persamaan (76).
Langkah kedua dihitung pengunaan input yang efisien (optimum) untuk setiap
sumberdaya yang dimasukkan kedalam model. Perhitungan ini menggunakan
koefisien estimasi yang diperoleh dari pengolahan persamaan 76. Kemudian
tingkat input yang efisien dihitung dengan menggunakan persamaan (77) sampai
(81). Langkah selanjutnya menghitung nilai keberlanjutan dengan menggunakan
nilai input optimum sebagai benchmark dengan menggunakan persamaan (82).
Usahatani dapat mengurangi penggunaan inputnya untuk memproduksi tingkat
output yang sama (Van Passel, 2009).
Selanjutnya dapat dihitung nilai kontribusi setiap sumberdaya terhadap
keberlanjutan. Nilai ini menunjukkan berapa besar sumberdaya berkontribusi
dalam menciptakan nilai tambah. Berdasarkan hasil penelitian dapat dilihat nilai
kontribusi pada Tabel 42. Analisis nilai kontribusi mengidentifikasi sumberdaya
mana yang mempunyai kontribusi tinggi atau rendah terhadap keberlanjutan.
Kapital merupakan sumberdaya kritis terhadap keberlanjutan baik pada tanaman
kentang maupun kubis. Hal ini terlihat dari nilai kapital yang mempunyai nilai
kontribusi negatif terbesar (Rp -77 492 000 dan Rp -77 292 000). Di daerah
penelitian, kapital merupakan sumberdaya yang relatif kecil dipunyai oleh petani
hanya sekitar Rp 2 juta , meliputi kapital untuk alat penyiram, penyemprot, atau
182
alat lain, karena modal terbesar petani tertanam pada lahan dengan nilai hampir
100 juta rata-rata per petani.
Tabel 42. Rata-rata Nilai Kontribusi Sumberdaya terhadap Keberlanjutan Relatif terhadap Benchmark di Jawa Barat, 2011
Komoditas Nilai Kontribusi Sumberdaya (Rp) Lahan Tkerja Modal Sprod Erosi
Kentang -28 032 300 6 429 877 -77 429 000 -33 682 100 -8 904 592 Kubis -15 725 000 -3 575 000 -77 292 000 -1 976 000 -2 755 000
Seperti dijelaskan di atas, untuk menghitung nilai keberlanjutan, parameter
dugaan fungsi Cobb Douglas dijadikan dasar untuk perhitungan penggunaan
sumberdaya yang efisien, yang nantinya akan dijadikan sebagai benchmark. Nilai
keberlanjutan untuk seluruh observasi dapat dihitung dengan menggunakan input
efisien sebagai benchmark. Prosedur perhitungan selengkapnya untuk
menghitung sumberdaya yang efisien dapat dilihat pada Lampiran 13. Hasil
perhitungan nilai keberlanjutan disajikan pada Tabel 43. Terlihat bahwa sebanyak
97 persen petani sampel mempunyai nilai keberlanjutan negatif dengan rata-rata -
164 133 873. Angka negatif mempunyai arti petani menggunakan inputnya
kurang produktif dibandingkan dengan benchmark atau dengan kata lain masih
kurang efisien. Ini berarti petani dapat meningkatkan nilai keberlanjutannya
dengan mengaplikasikan inputnya lebih produktif atau dengan kata lain bergerak
kearah produksi frontiernya.
Tabel 43. Nilai Keberlanjutan Usahatani Kentang dan Kubis di Jawa Barat, 2011
Kentang Kubis Nilai Keberlanjutan
(Rp 000)
Jumlah petani (orang)
Persentase (%)
Jumlah petani (orang)
Persentase (%)
< - 30 000 164 80.8 47 28.3 - 30 001 - 0 33 16.3 107 64.5 1 – 30 000 5 2.5 10 6.0 0 001 – 60 000 0 0 1 0.6 > 60 001 1 0.5 1 0.6 Rata-rata : -164 000
Jumlah 203 100 166 100
183
Sama halnya dengan kentang, petani kubis pun masih mempunyai nilai
keberlanjutan negatif. Hampir 92.8 persen petani masih mempunyai nilai
keberlanjutan negatif dan sebesar 8 persen petani sudah berkontribusi positif
kearah keberlanjutan, dalam arti usahatani sudah dapat mengelola usahataninya
lebih efisien dibandingkan dengan benchmarknya.
Return to cost (efisiensi keberlanjutan) merupakan indikator unruk
mengukur efisiensi dari penggunaan sumberdaya. Ukuran ini juga dgunakan
untuk membandingkan penerimaan petani dengan benchmarknya. Efisiensi
keberlanjutan lebih besar 1 menunjukkan bahwa penerimaan usahatani lebih besar
dari penerimaan per unit sumberdaya. Tabel 44 menyajikan nilai efisiensi
keberlanjutan dari usahatani kentang. Efisiensi keberlanjutan menghubungkan
nilai keberlanjutan dengan opportunity cost sumberdaya. Hasil perhitungan
dengan menggunakan fungsi produksi frontier Cobb Douglas menunjukkan nilai
maksimum dari efisensi keberlanjutan adalah 1,57 dan minimum 0,01 dengan
rata-rata 0.26 Angka ini menunjukkan petani mengelola usahataninya hanya 26
persen produktif (kurang efisien) dibandingkan dengan kondisi dimana
sumberdaya tersebut digunakan oleh benchmarkartinya . Kondisi ini
menggambarkan bahwa keberlanjutan uasahatani kentang masih dapat
ditingkatkan untuk mencapai produksi frontiernya. Dengan kata lain usahatani
dapat mengubah komposisi sumberdayanya yang berlebihan dapat digantikan
dengan sumberdaya yang lebih efisien.
Tabel 44. Distribusi Frekuensi Efisiensi Keberlanjutan (RtC) Usahatani Kentang di Jawa Barat, 2011
Nilai RtC Jumlah petani (orang) Persen < 0.4 162 79.8 0.41 - 0.8 28 13.8
0.81 -1.2 8 3.9 1.21 - 1.6 5 2.5
> 1.61 0 0 Minimum : 0.01 Maksimum : 1.57 Rata-rata : 0.26
Jumlah 203 100
184
Gambar 18. Distribusi Frekuensi Efisiensi Keberlanjutan Usahatani Kubis di
Jawa Barat, 2011
Berbeda dengan kentang, usahatani kubis memperlihatkan hasil yang lebih
baik. Nilai efisiensi keberlanjutan berkisar antara 0 – 2,47. Dengan rata –rata
0,34. Hal ini dapat diterangkan di daerah penelitian pengelolaan kubis kurang
intensif, penggunaan input pupuk maupun pestisida tidak terlalu besar
dibandingkan dengan kentang. Hasil perhitungan disajikanpada Tabel 45 dan
Gambar 24.
Tabel 45. Distribusi Frekuensi Efisiensi Keberlanjutan (RtC) Usahatani Kubis di Jawa Barat, 2011
Nilai RtC Jumlah petani (orang) Persen < 0.4 121 72.9
0.41 - 0.8 28 16.9 0.81-1.2 7 4.2 1.21 - 1.6 5 3.0
> 1.61 5 3.0 Total 166 100
Minimum : 0 Maksimum : 2.47 Rata-rata : 0.34
0
20
40
60
80
100
120
140
160
180
< 0.4 0.41 ‐ 0.8 0.81‐1.2 1.21 ‐ 1.6 > 1.61
Jumlah Pe
tani
Nilai Efisiensi keberlanjutan
Frekuensi
Persen
185
Gambar 19. Distribusi Frekuensi Efisiensi Keberlanjutan Usahatani Kubis di
Jawa Barat, 2011
7.3. Perbedaan dalam Keberlanjutan Usahatani Sayuran Dataran Tinggi85
Berdasarkan hasil analisis terhadap efisiensi keberlanjutan terlihat bahwa
nilainya bervariasi antar usahatani. Dari 203 petani kentang dan 166 petani kubis
dapat dilihat perbedaan kinerja keberlanjutan berdasarkan karakteristik manajerial
dan struktural. Untuk menganalisis perbedaan tersebut, dihitung beberapa
determinan untuk usahatani keseluruhan, 10 persen usahatani terbaik, dan 10
persen usahatani terendah dengan didasarkan pada nilai efisiensi keberlanjutan.
Hasilnya disajikan pada Tabel 46.
Berdasarkan hasil analisis pada Tabel 46 terlihat bahwa pada usahatani
kentang, usahatani terbaik dikelola oleh petani yang berumur muda dan
mempunyai pendidikan lebih tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa umur muda
dan pendidikan yang lebih tinggi mempengaruhi petani untuk berkontribusi dalam
keberlanjutan usahataninya. Namun pengalaman menunjukkan hal yang
sebaliknya. Bila dikaitkan dengan pembahasan sebelumnya, bahwa pengalaman
tidak mempengaruhi efisiensi teknik artinya petani yang berpengalaman belum
tentu mencapai efisiensi teknik tinggi tetapi yang mempengaruhi adalah
bagaimana petani tersebut berpartisipasi dalam kelompok untuk memperoleh
informasi. Kemungkinan hal ini juga menjadi salah satu faktor mengapa petani
0
20
40
60
80
100
120
140
< 0.4 0.41 ‐ 0.8 0.81‐1.2 1.21 ‐ 1.6 > 1.61
Jumlah PE
tani
Interval
Frekuensi
Persen
186
yang berpengalaman berkontribusi terhadap keberlanjutan lebih rendah
dibandingkan dengan petani yang pengalamannya lebih rendah.
Tabel 46. Deskripsi Statistik Seluruh Observasi, Observasi Terbaik, dan Observasi Terendah Usahatani Kentang di Jawa Barat, 2011
Seluruh 10 %usahatani 10% usahatani
usahatani terbaik terendah Kentang SV (Rp 000) -164,133.87 4266.07 -228,830.19 RtC 0.26 0.96 0.02 Umur tahun) 45.94 43.40 44.70 Pendidikan(tahun) 7.68 8.10 7.00 Pengalaman (tahun) 18.68 15.30 18.90 Luas lahan (ha) 0.54 1.11 0.13 Produksi (kg) 9 247.80 23 506.25 1 401.25
Kubis SV (Rp 000) -20264.51 16281.82 -31447.02 RtC 0.34 1.37 0.02 Umur tahun) 45.80 55.59 40.47 Pendidikan(tahun) 7.81 6.06 9.00 Pengalaman (tahun) 16.67 14.18 17.35 Luas lahan (ha) 0.50 1.11 0.25 Produksi (kg) 10 613.50 23 905.88 3 919.26 Sumber: data primer diolah.
Namun pola yang berbeda diperlihatkan oleh usahatani kubis.
Pengelolaan usahatani terbaik (RtC lebih tinggi) dikelola oleh petani yang
berumur lebih tua, berpendidikan lebih rendah dan pengalaman lebih rendah.
Hasil pada Tabel 46 juga memperlihatkan bahwa baik pada petani kentang
maupun kubis, petani yang mempunyai luas lahan lebih luas dan produksi yang
lebih tinggi mempunyai nilai keberlanjutan dan efsiensi keberlanjutan yang lebih
tinggi.
Bila dikaitkan dengan efisiensi teknik yang dicapai petani, dengan
menggunakan lima variabel di atas, tampak bahwa usahatani kentang dan kubis
belum efisien karena masih dibawah 70 persen (rata-rata efisiensi kentang 60
persen dan kubis hanya 40 persen). Namun bila dikaitkan antara efisiensi teknis
dengan efisiensi keberlanjutan tampak bahwa ada kecenderungan hubungan
positif antara efisiensi teknis dengan efisiensi keberlanjutan. Semakin tinggi
187
efisiensi teknis, efisiensi keberlanjutan cenderung meningkat. Gambar 25 dan 26
memperlihatkan bagaimana hubungan antara efisiensi teknis dengan efisiensi
keberlanjutan usahatani kentang dan kubis. Garis horizontal menunjukkan
besaran efisiensi teknis dan garis vertikal menunjukkan efisiensi keberlanjutan.
Dari Gambar tersebut dapat dilihat ada kecenderungan meningkat dari efissiensi
keberlanjutan, apabila efisensi teknik meningkat.
Gambar 20. Hubungan efisiensi Teknik dengan Efisiensi Keberlanjutan Usahatani Kentang dengan menggunakan Pendekatan Fungsi Produksi Cobb Douglas
Gambar 26. Hubungan efisiensi Teknik dengan Efisiensi Keberlanjutan Usahatani Kubis dengan menggunakan Pendekatan Fungsi Produksi Cobb Douglas
‐
0.50
1.00
1.50
2.00
2.50
3.00
3.50
4.00
‐ 0.20 0.40 0.60 0.80 1.00
Efisiensi Keb
erlanjutan
Efisiensi Teknik
‐
1.00
2.00
3.00
4.00
5.00
6.00
‐ 0.20 0.40 0.60 0.80 1.00
Efisiensi Keb
erlanjutan
Efisiensi Teknik
188
Pendekatan nilai keberlanjutan memperlihatkan bagaimana kelangkaan
sumberdaya dapat digunakan untuk mengelola penerimaan yang lebih tinggi.
Nilai keberlanjutan = 0 menunjukkan usahatanimenggunakan seluruh sumberdaya
dengan produktif. Usahatani dapat meningkatkan nilai keberlanjutan dengan
mengaplikasikan sumberdayanya lebih produktif atau dengan kata lain bergerak
kearah produksi frontier. Usahatani dapat meningkatkan nilai keberlanjutannya
dengan cara mengganti sumberdaya yang mempunyai nilai kontribusi kecil untuk
menciptakan nilai tambah yang lebih besar.
Akhirnya peningkatan dalam eco-eficiency (diukur dengan pendekatan
nilai keberlanjutan) sering menjadi cara untuk mengurangi tekanan lingkungan
(Kuosmanen and Kortelainen, 2005). Peningkatan efisiensi dapat dilihat sebagai
langkah awal yang penting kearah keberlanjutan. Pendekatan nilai keberlanjutan
tidak mengklaim bahwa penggunaan sumberdaya sekarang berkelanjutan (Van
Passel, 2009) tetapi hanya menunjukkan apakah sumberdaya yang digunakan
berkelanjutan dibandingkan dengan benchmark.
VIII. KESIMPULAN DAN SARAN IMPLIKASI KEBIJAKAN
8.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan
1. Beberapa faktor produksi masih berada pada di bawah kebutuhan tanaman
kentang atau kubis (under use) yaitu luas lahan, jumlah benih, pupuk organik
dan (kandang). Sementara itu jumlah pupuk an organik, pestisida, dan tenaga
kerja penggunaannya sudah melebihi kebutuhan tanaman (overuse).
Kemiringan lahan berpengaruh secara nyata terhadap produksi kentang dan
kubis. Semakin tinggi kemiringan lahan, produksi kentang dan kubis
semakin menurun. Produksi kentang maupun kubis sangat responsif
terhadap perubahan luas lahan, jumlah benih, dan penggunaan pupuk
organik.
2. Usahatani kentang dan kubis belum efisien, namun meskipun efisiensi
berbeda-beda untuk setiap petani secara umum efisiensi teknik cukup tinggi.
Rata-rata efisiensi untuk kentang dan kubis baru mencapai 84 persen dan 73
persen, artinya masih terdapat ruang untuk meningkatkan efisiensi teknik
pada tingkat teknologi sekarang untuk mencapai produksi maksimal. Ra-rata
efisiensi alokatif untuk kentang masih rendah baru mencapai 47 persen,
sementara untuk kubis relatif cukup tinggi mencapai 77 persen. Artinya pada
tingkat harga input dan output, masih terdapat potensi yang cukup besar
untuk petani kentang dalam mengalokasikan inputnya pada tingkat biaya
minimal.
3. Faktor-faktor yang menjadi sumber penyebab inefisiensi teknis pada tanaman
kentang adalah umur, pengalaman, keanggotaan dalam kelompok, frekuensi
penyuluhan, status kepemilikan lahan, dan sistem penanaman. Selanjutnya
faktor-faktor yang berepengaruh signifikan terhadap efisiensi teknis kubis
adalah keangotaan dalam kelompok, frekuensi penyuluhan, akses terhadap
kredit, dan sistem penanaman. Pengalaman tidak mempunyai pengaruh yang
nyata terhadap efisiensi teknis kubis, dilain pihak keanggotaan dalam
kelompok berpengaruh nyata, hal ini berimplikasi bahwa untuk meningkatkan
190
efisiensi teknik peningkatan human capital dapat dilakukan melalui
kelembagaan penyuluhan .
4. Secara rata-rata nilai keberlanjutan (sustainable value) di daerah penelitian
masih negatif, mempunyai arti sumberdaya yang digunakan oleh petani masih
kurang produktif dibandingkan bila sumberdaya tersebut digunakan oleh
benchmarknya.
8.2. Saran dan Implikasi Kebijakan
1. Pada teknologi sekarang dan pada tingkat harga faktor produksi yang
tetap, maka upaya peningkatan produksi diarahkan pada kelompok petani
sasaran melalui peningkatan faktor produksi yang masih underuse atau
mengurangi penggunaan factor produksi yang sudah berlebih, seperti
pupuk anorganik (Urea, ZA, TSP, KCl, dan NPK) dan pestisida.
Berdasarkan hasil penelitian lahan merupakan faktor dominan, artinya luas
lahan merupakan jaminan untuk meningkatkan efisiensi tetapi peningkatan
luas lahan tanpa diikuti oleh peningkatan kualitas lahan terutama pada
lahan dengan kemiringan tinggi dengan erosi tinggi dan tanpa konservasi
akan menurunkan baik efisiensi teknik maupun alokatif.
2. Masih terdapat ruang untuk meningkatkan efisiensi baik pada usahatani
kentang maupun kubis. Untuk mencapai produksi maksimum efisiensi
usahatani kentang dapat ditingkatkan sebesar 16 persen dan usahatani
kubis sebesar 27 persen. Peningkatan efisiensi teknis dapat diarahkan
kepada kelompok petani sasaran dengan efisiensi teknik yang masih
rendah (<70 persen). Peningkatan efisiensi ini dapat dilakukan melalui
peningkatan manajemen usahatani baik keterampilan teknis maupun
kapabilitas manajerial petani. Peningkatan keterampilan teknis dapat
dilakukan melalui ketepatan dalam penggunaan pupuk yang berimbang,
teknologi pengendalian OPT yang terpadu dengan prinsip pengemdalian
hama terpadu, dan penggunaan benih yang bersertifikat. Peningkatan
kapabilitas manajerial dapat difokuskan pada kemampuan mengakses
informasi, kredit, dan meningkatkan peran kelembagaan penyuluhan.
191
3. Di daerah penelitian, petani yang menanam sayuran pada kemiringan yang
tinggi mengantisipasi peningkatan produksi melalui peningkatan
penggunaan input kimia dan juga pupuk organik. Berdasarkan hasil studi
ditemukan bahwa pupuk kandang dan juga benih nyata mempengaruhi
efisiensi. Namun, dengan kebutuhan pupuk kandang yang tinggi,
ketersediaan pupuk kandang akan menjadi pembatas untuk peningkatan
produksi kentang dan kubis. Dengan demikian, diperlukan perencanaan
yang selaras dengan perencanaan input (pupuk organik) yang lebih baik.
Perlu integrasi usahatani sayuran dataran tinggi dengan ternak sapi
potong/sapi perah.
4. Ketersediaandan distribusi benih unggul bersertifikat perlu difasilitasi oleh
pemerintah karena petani masih menghadapi permasalahan ketersediaan
benih. Penambahan penangkar benih perlu dilakukan untuk menjamin
ketersediaan benih terutama benih induk (G2) dan benih sumber (G3).
Diperlukan pula pengawasan yang lebih baik untuk menghindari
pencampuran antara benih berlabel dengan benih konsumsi.
5. Analisis menunjukkan bahwa sistem penanaman konservasi akan
meningkatkan efisiensi artinya untuk keberlanjutan usahatani maka
manajemen sumberdaya diarahkan pada teknologi yang dapat menurunkan
degradasi lahan. Beberapa penelitian membuktikan bahwa penggunaan
lahan yang intensif dan input yang berlebihan menyebabkan degradasi
lahan yang diikuti oleh penurunan produktivitas. Dengan demikian
kebijakan langsung adalah mengontrol degradasi lahan diikuti oleh
peningkatan kapasitas manajerial (human capital) melalui training akan
meningkatkan efisiensi.
6. Pengalaman berusahatani tidak berpengaruh nyata terhadap efisiensi, di
sisi lain keanggotaan dalam kelompok dan frekuensi penyuluhan dapat
meningkatkan efisiensi. Dengan demikian diperlukan kebijakan yang
dapat mendorong kelembagaanpenyuluhan sebagai wadah untuk transfer
teknologi, informasi, perencanaan produksi, penentuan pola tanam,
memperbaiki posisi tawar di pasar output terutama kubis, dan peningkatan
teknologi konservasi. Upaya ini dilakukan agar terjadi sinergi antara
192
efisiensi teknik dengan efisiensi alokatif untuk meningkatkan pendapatan
petani.
8.3. Saran Penelitian Lanjutan
Penelitian empiris usahatani berkelanjutan masih terbatas. Metode
pengukuran nilai keberlanjutan masih lebih banyak dalam teori daripada aplikasi
di lapangan melalui penelitian empiris untuk menggambarkan, mengukur,
menganalisis, menerangkan dan menilai kontribusi terhadap keberlanjutan. Untuk
penelitian lanjutan disarankan untuk menggunakan variabel yang lebih relevan,
misalnya untuk faktor lingkungan dan sosial dapat digunakan indikator kualitas
tanah. Data yang dikumpulkan akan lebih baik lagi jika menggunakan data time
series untuk melihat evolusi dari keberlanjutan usahatani..
DAFTAR PUSTAKA Abay, C., Miran B., and Gunden,C. 2004. An Analysis of Input Use Efficiency in
Tobacco Production Respect to Sustainability. The Case Study of Turkey. Journal of Sustainable Agriculture 24(3), 123-143.
Abdurrachman, 2005. Rangkuman Bahasan Lahan Kering di Indonesia. Dalam
Teknologi Pengelolaan Lahan Kering Menuju Pertanian Produktif Ramah Lingkungan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Depatemen Pertanian. Bogor.
Abedullah, Khuda Bakhsh and Bashir Ahmad, 2006. Technical Efficiency and its
Determinants in Potato Production, Evidence from Punjab, Pakistan. The Lahore Journal of Economics 11 : 2 (Winter 2006) pp 1-22
Acharya, S.S. 2006. Sustainable Agriculture and Rural Livelihoods. Agricultural
Economics Research Review Vol. 19 July-December 2006 pp 205-217 Adar, D. 2011. keragaan Usahatani dan Efisiensi Produksi Jeruk Keprok Soe
Berdasarkan Zona Agroklimat di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Fakultas Pasca sarjana, Institut Pertanian Bogor. Disertasi tidak dipublikasikan.
Adiyoga, W. 1999. Beberapa Alternatif Pendekatan untuk Mengukur Efisiensi
atau In-Efisiensi dalam Usahatani. Informatika Pertanian Volume 8 (Desember 1999)
---------------, R. Suherman, N. Gunadi, dan A. Hidayat. 2004. Aspek Nonteknis
dan Indikator Efisiensi Sistem Pertanaman Tumpangsari Sayuran Dataran Tinggi. J. Hort. 14(3):217-227, 2004
ADVANCE. 2006. Sustainable Value of European Industry: a Value-based
Analysis of the Environmental Performance of European Manufacturing Companies. Technical report, Fullversion Report (http://www.advance-project.org).
Afriat, S. N. 1972. Efficiency Estimation of Production Function. Int. Economic
Review 13 (3). pp. 558-568. Ahmad, M.,Ghulam Mustafa Chaudhry, Mohammad Iqbal. 2002. Wheat
Productivity, Efficiency, and Sustainability: A Stocastic Production Frontier Analysis. The Pakistan Development Review 41:4 Part II (Winter, 2002) pp 643-663
Aigner, C. D., K. Lovell, and P. Schmidt. 1977. Formulation and Estimation
Stochastic Frontier Production Function Model. Journal of Economics 6. pp. 21 – 37.
194
, and S. F. Chu. 1968. On Estimation The Industry Production
Function. American Economics Review 58 (4). pp 826 – 839. Ali, M. and Flinn, J. Profit efficiency among basmati rice producers in Pakistan
Punjab. American Journal of Agricultural Economics, Vol. 71, (1987) pp. 303–310.
Ali, M. and Chaudhry, M.A. 1990. Inter-regional Farm Efficiency in Pakistan’s
Punjab: A Frontier Production Function Study. Journal of Agricultural Economics 41:62-74.
Alvarez, A., Carlos Arias. 2004. Technical Efficiency and Farm Size: A
Conditional Analysis. Agricultural Economics 30 (2004) 241- 250. Amaza, P. S, Y. Billa, and A. C. Iheanacho. 2006. Identification of Factors that
Influence Technical Efficiency of Food Crop Production in West Africa: Empirical Evidence from Borno State, Nigeria. Journal of Agriculture and Rural Development in the Tropics and Subtropics Volume 107, No. 2, 2006, pages 139 – 147.
Amos T.T. 2007. An Analysis of productivity and Technical Efficiency of
Smallholder Cocoa Farmers in Nigeria. Journal of Social Science, 15(2): 127-133
Arsyad, S. 2000. Konservasi Tanah dan Air. IPB Press. Bogor. Asadullah, M.N dan Sanzidur Rahman. 2005. Farm Productivity and Efficiency
in Rural Bangladesh: the role of Education revisited. CSAE WPS/2005-10 Atkinson, G. 2000, Measuring Corporate Sustainability. Journal of Environmental
Planning and Management 43(2), 235-252. Atkinson, G., Tannis Hett, Jodi Newcombe. 2000. Measuring ‘Corporate
Sustainability’. CSERGE Working Paper GEC 99-01. Ayaz, S., Zakir Hussain, Maq Bool Hussain Sial. 2010. Role of Credit on
Production Efficiency of Farming Sector in Pakistan (A. Data Employment Analysis). World Academy of Science Enginering and Technology 66, 240.
Badan Kebijakan Fiskal. 2011. Pertumbuhan PDB Menurut Sektor Ekonomi
2005-2010. Kementrian Keuangan RI, Jakarta. Badan Ketahanan Pangan (BKP) Kabupaten Garut. 2010. Programa Penyuluhan
Pertamiam BPP Kecamatan Pasirwangi Tahun 2010. Garut. Badan Pusat Statistik. 2011. Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Kentang,
2009-2010. Badan Pusat Statistik Republik Indonesia, Jakarta
195
Badan Pusat Statistik. 2012a. Pertumbuhan Ekonomi Indonesia. Berita Resmi Statistik No. 13/02/Th. XV, 6 Februari 2012. Jakarta Indonesia.
_______________ . 2012b. Keadaan Ketenagakerjaan Februari 2012. Berita Resmi Statistik No. 33/05/Th. XV, 7 Mei 2012. Jakarta Indonesia.
_______________ Jawa Barat. 2010. Jawa Barat dalam Angka 2010. Bandung Bakhsh, K.A, and Bashir Ahmad. 2006. Technical Efficiency and Its
Determinant in Potato Production, Evidence from Punjab, Pakistan. The Lahor Journal of Economics 11:2 (Winter 2006) pp 1-22.
Bakhsh, K., and Sarfraz Hassan. 2008. Relationship between Technical
Efficiency and Managerial Ability Evidence from Punjab, Pakistan. http://www.wbiconpro.com/Management/411-Bakhsh,L %20&%20 Hassan ,S. pdf
Bakhshoodesh, Mohammad, Kenneth J. Thomson. 2001. Input and Output
Technical Efficiencies of Wheat Production in Kerman, Iran. Agricultural Economics 24 (2001) 307 – 313.
Basit, Abdul. 1996. Analisis Ekonomi Penerapan Teknologi Usahatani
Konservasi pada Lahan Kering Berlereng di Wilayah Hulu DAS Jratunseluna Jawa Tengah. Program Pascasarjana IPB. Disertasi (tidak dipublikasikan).
Basnayake, B. M. J. K., and Gunaratne, L. H. P. 2002. ‘Estimation of Technical
Efficiency and It’s Determinants in the Tea Small Holding Sector in the Mid Country Wet Zone of Sri Lanka’, Sri Lanka Journal of Agricultural Economics 4: 137-150.
Battese, G. E. 1992. Frontier Production Function and Technical Efficiency: A
Survey of Empirical Applications in Agricultural Economics. Agricultural Economics, 7 (1992) 185-208. Elseiver Science Publishers B. V., Amsterdam.
____________ dan T. J. Coelli. 1993. A Stochastic Frontier Production Function
Incorporating A Model for Technical Inefficiency Effects. No. 69 – October 1993.
Battese, G. and Coelli, T. 1995. A Model for Technical Inefficiency Effects in a
Stochastic Frontier ProductionFfunction for Panel Data. Empirical Economics, Vol. 20, (1995) pp. 325–332.
196
Battesse, G.E., and G.S. Corra. 1977. Estimation on Production Frontier Model:With Application to the Pastoral Zone of Eastern Australia. Australian Journal of Agricultural Economics, 48(1977):169-179
Beattie, B.R., and C.Robert Taylor. 1994. Ekonomi Produksi (Terjemahan). Edisi 1. Gadjah Mada University Press. Jogjakarta Indonesia.
Becker, B. 1997. Sustainability Assessment: A Review of Values, Concept and
Methodological Approaches. Issues in Agricultural 10. The Consultative Group on International Agricultural research (CGIAR) Washington DC.
Binam, J., Sylla, K., Diarra, I., and Nyambi, G. 2003. Factors Affecting
Technical Efficiency among Coffee Farmers in Cote d’Ivoire: Evidence from the Centre West region. African Development Review, Vol. 15 (2003) pp.66-76
Binam J, Tonye J, Njankoua W, Nyambi G, Akoa M. 2004. Factors Affecting the
Technical Efficiency Among Smallholder Farmers in the Slash and Burn Agriculture Zone of Cameroon. Food Policy 29:531–545.
Bozoglu and Ceyhan, V. 2007. Measuring the Technical Efficiency and
Exploring the Inefficiency Determinant of Vegetable Farms in Samsung Province, Turkey. Agric. Syst. 94: 649-656
Bravo-Ureta, B, E. and Antonio E. Pinheiro. 1993. Efficiency Analysis of
Developing Country Agriculture: A Review of the Frontier Function Literature. Agricultural and Resource Economics Review, Vol. 22, (1993) pp. 88–101.
. 1997. Technical, Economic, and
Allocative Efficiency in Peasant Farming: Evidence from the Dominican Republic. The Developing Economies, XXXV-1 (March 1997): 48 – 67.
-------------------------, Solıs, D., Cocchi, H. and Quiroga, R., 2006. ‘The impact of
Soil Conservation and Output Diversification on Farm Income in Central American Hillside Farming’, Agricultural Economics, Vol. 35, (2006) pp. 267–276.
--------------------------., Solıs, D., Moreira, V., Maripani, J., Thiam, A. and Rivas,
T. ‘Technical Efficiency in Farming: A Meta-Regression Analysis’, Journal of Productivity Analysis, Vol. 27, (2007) pp. 57–72.
Byiringiro, F. and Reardon, T. ‘Farm Productivity in Rwanda: Effects of Farm
Size, Erosion, and Soil Conservation Investments’, Agricultural Economics, Vol. 15, (1996) pp. 127–136.
197
Callens, I., Daniel Tyteca. 1999. Methods Towards Indicator of Sustainable Development for Firms A Productive Efficiency Perspective. Ecological Economics 28 (1999) 41-53.
Ceyhan, V. 2010. Assessing the Agricultural Sustainability of Conventional
Farming System in Samsun Province of Turkey. African Journal of Agricultural Research Vol. 5(13), pp. 1572-1583, 4 July 2010. At http://www.academicjournals.org/AJAR
Chavas, J., Petrie, R. and Roth, M. 2005. Farm Household Production Inefficiency
in the Gambia: Resource constraints and market failures. American Journal of Agricultural Economics, Vol. 87, (2005) pp. 160–179.
Christensen, L., Jorgenson, D. and Lau, L. 1973. Transcendetal Logarithmic
Production Frontiers. Review of Economics and Statistics 55 (1), 28-45. Coelli, T., 1996. Frontier Version 4.1 : A Computer Program for Stochastic
Frontier Production and Cost Function Estimation. Working Paper 96/7, CEPA, Departemen of Econometrics University of New England, Armidale, Australia.
Coelli, T., D.S. Prasada Rao, and G. E. Battese. 1998. An Introduction to
Efficiency and Productivity Analysis. Kluwer Academic Publisher, Boston.
Coelli, T., D.S. Prasada Rao, C.J. O’Donnel, and G.E. Battese. 2005. An
Introduction to Efficiency and Productivity Analysis. Second Edition. Kluwer Academic Publisher, Boston.
Dantsis, T., Caterina Douma, Christina Giourga , Aggeliki Loumou , Eleni A.
Polychronaki . 2010. A Methodological Approach to Assess and Compare the Sustainability Level of Agricultural Plant Production Systems. Ecological Indicators 10 (2010) 256–263. Tersedia dalam www.elsevier.com/locate/ecolind
Dariah, Ai, Achmad Rachman, Undang Kurnia. 2005. Erosi dan Degradasi
Lahan di Indonesia. Puslittanak Bogor. Daryanto, H. K. S. 2000. Analysis of the Technical efficiency of Rice Production
in West Java Province, Indonesia: A Stochastic Frontier Production Function Approach. School of Economics, University of New England, Australia.
Debertin, David L., 1986. Agricultural Production Economics. Mcmillan
Publishing Company, New York.
198
Deininger, K., Castagnini, R. and Gonzalez, M. 2004. Comparing Land Reform and Land Markets in Colombia: Impacts on Equity and Efficiency (World Bank Working Papers No. 3258, Washington, DC, 2004).
De Koeijer, T.J., G. A. A. Wossink, P.C. Struik and J. A. Renkema . 2002.
Measuring Agricultural Sustainability in Terms of Efficiency: the Case of Dutch Sugar Beet Growers. Journal of Environmental Management (2002) 66, : 9-17.
De Koeijer, T.J., G. A. A. Wossink, Smit A, Jansssens S., J. A. Renkema, and
P.Struik. 2003. Assessment of the Quality of Farmers’Environment Management and Its Effects on Resource Use Efficiency: a Dutch Case Study. Agric.Syst 78: 85-103.
De Prada, Jorge D., Boris Bravo-Ureta, Frhed Shah. 2003. Agricultural
Productivity and Sustainability : Evidence from Low Input Farming in Argentina.
Dinas Kehutanan Prop. Jabar, 2010. Luas Lahan Kritis di Jawa Barat. Perum
Perhutani Unit III, Dinas Kehutanan Kab/Kota dan Balai Pengelola DAS Dinas Pertanian Tanaman Pangan Jawa Barat. 2010. Luas Panen, Produksi, dan
Produktivitas Sayuran. Bandung Jawa Barat Direktorat Jenderal Hortikultura, 2010. Pedoman Umum Pelaksanaan
Pengembangan Hortikultura tahun 2011. Kementrian Pertanian, Jakarta. Doll, John P. & Frank Orazem, 1984. Production Economics: Theory with
Applications. John Wiley & Sons, New York. Dumanski, J., Eugene Terry, Derek Byerlee, Christian Pieri. 1998. Performance
Indicators for Sustainable Agriculture (Discussion Note). The World Bank-Washinton DC
Ekanayake S.A.B., and S.K.W. Jayasuriya. 1987. Measurement of Farm Specific
Technical Efficiency: A Comparison of Methods. Journal of Agricultural Economics, 38 (1): 115-122.
Erhman, M., Werner Kleinhanss. 2008. Review of Concept for Evaluation of
Sustainable Agriculture in Germany and Comparison of Measurement Schemes for Farm Sustainability.
Fariyanti, Anna. 2008. Perilaku Ekonomi Rumah Tangga Petani Sayuran dalam
Menghadapi Risiko Produksi dan Harga Produk di Kecamatan Pangalengan Kabupaten Bandung. Disertasi Program Doktor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
199
Farrell, M. J. 1957. The Measurement of Productive Efficiency. Journal of The Royal Statistical Society. Series A (general), Vol. 120, No. 3, (1957), pp. 253 – 290. Blackwell Publishing for the Royal Statistical Society. http://www.jstor.org/stable/2343100.
Fauziyah, Elys. 2010. Pengaruh Perilaku Petani dalam Menghadapi Risiko
Produksi terhadap Alokasi Input Usahatani Tembakau: Pendekatan Fungsi Produksi Frontir Stokastik. Disertasi Program Doktor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Figge,F., Tobias Hahn. 2002. Methods Sustainable Value Added—Measuring
Corporate Sustainable Performance beyond Eco-Efficiency.2nd revised edition. Luneburg: Centre for Sustainability Management.
__________________. 2004. Sustainable Value Added—Measuring Corporate
Contributions to Sustainability Beyond Eco-efficiency. Ecological Economics 48 (2004) 173– 187
__________________. 2005. The Cost of Sustainability Capital and the Creation
of Sustainable Value by Companies. Journal of Industrial Ecology Volume 9, Number 4. http://mitpress.mit.edu/jie.
Forsund, F. R., and L. Hjalmarsson. 1979. Generalised Farell Measures of
Efficiency: An Application to Milk Processing in Swedish Dairy Plants. Economic Journal 89(3) : 294-315.
Gbigbi, Miebi Theophilus. 2011. Economic Efficiency of Smallholder Sweet
Potato Producers in Delta State, Nigeria: a Case Study of Ughelli South Local Government Area. Research Journal of Agriculture and Biological Sciences, 7(2): 163-168, 2011
Gomes, Eliane Gonçalves, Joao C. C. B.,Geraldo da Silva e Souza, Lidia A. M.,
Joao A. C. M. 2009. Efficiency and Sustainability Assessment for a Group of Farmers in the Brazilian Amazon. Ann Oper Res (2009) 169: 167–181. Diakses tanggal 9 Mei 2010.
Gorton, M. and Davidova, M. 2004. Farm Productivity and Efficiency in the CEE
Applicant Countries: a Synthesis of Results. Agricultural Economics 30(2004), 1:16.
Greene, W. H. 1993. The Econometric Approach to Efficiency Analysis, in H. O.
Fried, C. A. K. Lovell and S. S. Schidt (eds). The Measurement of Productive Efficiency: Techniques and Aplications. Oxford University Press, New York : 68-119.
Hallam, D. and F. Machado. 1996. Efficiency Analysis with Panel Data: a Study
of Portuguese Dairy Farm. European Review on Agricultural Economics, 12 (1) : 79-93.
200
Hartoyo, Sri. 2003. Sustainable Agricultural Development in Java. Paper 2.
International Workshop on Sustainable Agricultural Development in South Asia. Indonesia Institute of Science September 15-16, 2003. Jakarta Indonesia.
Haryati, U dan U. Kurnia. 2000. Pengaruh Teknik Konservasi Terhadap Erosi dan
Hasil Kentang (Sollanum Tuberosum pada Lahan Budidaya Sayuran). Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Pupuk halaman 207– 219. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Bogor. Buku 2.
Hasan, M. Kamrul, and S. M. Fakhrul Islam. 2010. Technical Ineficiency of
Wheat Production in some Selected Areas of Bangladesh. Bangladesh Journal Agril. Res. 35(1): 101-112, March 2010.
Herdt, R. and Mandac, A. 1981. Modern Technology and Economic Efficiency of
Philippine Rice Farmers. Economic Development and Cultural Change 29, 375 - 399.
Hitzhusen, F.J. Land Degradation ans Sustainability of Agricultural Growth:
Some Economic Concepts and Evidence from Selected Developing Countries. Agricultural Ecosystem and Environment, 46 (1993) 69-79. Elsevier Science Publishers B.V., Amsterdam
Howarth, R. B. and Norgaard, R. B. 1990. Intergenerational Resource Rights,
Efficiency and Social Optimality. Land Economics 66(1), 1-11. Illge L., Hahn T., and Figge, F. 2008. Applying and Extending the Sustainable
Value Method Related to Agriculture – an Overview . 12th Congress of the European Association of Agricultural Economists – EAAE 2008
Iraizoz, Belen, Manuel Rapu´n, Idoia Zabaleta. 2003. Assessing the Technical
Efficiency of Horticultural Production in Navarra, Spain. Agricultural Systems 78 (2003) 387–403
Irawan, Bambang, Pancar Simatupang, Sugiarto, Supadi, Nur K.Agustin, Julia F.
Sinuraya. 2006. Panel Petani nasional (PATANAS): Analisis Indikator Pembangunan Pertanian dan Pedesaan. Laporan Akhir Penelitian TA 2006. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan kebijakan Pertanian Badan penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian.
Jan P., Lips M., Roesch A., Lehmann B., Dumondel M. 2008. Sustainable Value:
an Application to Swiss Dairy Farms of the Mountainous Area. 12th Congress of the European Association of Agricultural Economists – EAAE 2008
Javed, M.I., Wasif Khurshid, Ishtiaq Hassan, Asghar Ali, and Nasir Nadeem. 2012. Impact of Instituonal Credit and Extension Service on Productive
201
Efficiency of Farms: Evidence from Irrigated Punjab, Pakistan. J.Agric. Res. 2012, 50(1). http://www.jar.com.pk/admin/upload/545__145p15.pdf
Jondrow, J., C.A Knox Lovell, Ivan S. Materov, dan Peter Schmidt. 1982. On
The Estimation of Technical Inefficiency in the Stochastic Frontier production Function Model. Journal of Econometrics 19 (1982), 233-238. North Holland Publishing Company.
Kalirajan, K. 1990. On Measuring Economic Efficiency. J Appl Economet 5:75–
85 Kalirajan, K. and Flin J. 1983. The Measurement of Farm-specific Technical
Efficiency. Pak J Applied Econ 2:167-180. Kalirajan, K. and Shand R. 1986. Estimating Location-specific and Firm-specific
Technical Efficiency: An Analysis of Malaysian Agriculture. J Econ Develop 11:147-160.
Kassie,M., Precious Zikhali, John Pender, and Gunnar Köhlin. 2009b.
Sustainable Agricultural Practices and Agricultural Productivity in Ethiopia Does Agroecology Matter? Environment for Development. Discussion Paper Series April 2009.
Katharina, Ratna. 2007. Adopsi Sistem Pertanian Konservasi Usahatani kentang
di Lahan Kering Dataran Tinggi Kecamatan Pangalengan Bandung. Sekolah Pasca Sarjana IPB. Disertasi tidak dipublikasikan.
Katharina, Ratna. 2007. Adopsi Konservasi sebagai Bentuk Investasi Usaha
Jangka Panjang (Studi Kasus Usahatani Kentang Lahan Kering Dataran Tinggi Pengalengan). Jurnal Manajemen dan Agribisnis Vol 4 No 1 Maret 2007
Kementrian Pertanian. 2009. Rancangan Rencana Strategis kementrian Pertanian
Tahun 2010 – 2014. Kibaara, B. W. 2005. Technical Efficiency in Kenyan’s Maize Production: An
application of the Stochastic Frontier Approach. Thesis Master of Science. Colorado State University. Fort Collins, Colorado
Kim, Jong Moo. 2001. Efficiency Analysis of Sustainable and Conventional
Farms in the Republic of Korea with Special Reference to the Data Envelopment Analysis (DEA). Journal of Sustainable Agriculture Vol 18 (4) 2001.
Koutsoyiannis, A. 1977. Theory of Econometrics : An Introductory Exposition of
Econometric Methods. Second Edition. The Macmillan Press Ltd, London.
202
Kopp, J. and Diewert, W. 1982. The Decomposition of Frontier Cost Function Deviations into Measures of Technical and Allocative Efficiency. Journal of Econometrics 19, 319-331.
Kumbhakar, S. and Lovell, C. 2000. Stochastic Frontier Analysis. Cambridge
University Press. Kuosmanen, T., Natalia Kuosmanen. 2009a. The Role of Benchmark
Technology in Sustainable Value Analysis an Application to Finnish Dairy Farms. Agricultural and Food Science Vol. 18 (2009): 302-316
Kuosmanen, T., Natalia Kuosmanen. 2009b. How not to Measure Sustainable
Value (and How One Might). Ecological Economics 69 (1999): 235 - 243 Kurnia, U. 2000. Penerapan Teknik Konservasi Tanah pada Lahan Usahatani
Dataran Tinggi. Hal 47-57. dalam A. Abdurachman et al. (Eds.). Prosiding Lokakarya Nasional Pembahasan Hasil Penelitian Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Bogor, 2-3 september 1999. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor.
Lapar, Ma.Lucila and Sushil Pandey. 1999. Adoption of Soil ConsErvation: the
Case of the Philippine Uplands. Agricultural Economics 21(1999) 241-256. Lau, L.J. and P.A. Yotopoulos. 1971. A test for relative efficiency and
applications to Indian Agriculture. American Economic Review.61:94-109. Lawn, P. 2006. Eco-efficiency Indicators Applied to Australia and Their Policy
Relevance In: Sustainable Development Indicators in Ecological Economics edited by Lawn P., Edward Elgar, chapter 16, pp. 344{375.
Lipsey, R.G. Peter O. Steiner, Douglas D. Purvis. 1987. Economics. Eight Edition.
Harper dan Row Publishers. New York. Liu, Z., and Zhuang, J. 2000. Determinants of Technical Efficiency in Post-
Collective Chinese Agricultue: Evidence from Farm-Level Data. Journal of Comparative Economics 28, 545-564.
Lopez, F. 2008. Technical Efficiency in Portuguese Dairy Farms. Departement
de Economia e Gestao, Universidade dos Aqores Portugal. Lopez-Ridaura, S. Masera, O. and Astier M. 2002. Evaluating the Sustainability
of Complex Socio-Environmental System. The MEMSIS Framework. Ecological Indicators 2, 135-148.
Lovell, C.A.K. 1993. Production frontiers and productive efficiency. The
measurement of productive efficiency: Techniques and applications. Fried, H.O., A.A.K. Lovell and S.S. Schmidt (Eds.) Oxford University Press, New York, 3-67.
203
Maganga, A.M. 2012. Technical Efficiency and its Determinants in Irish Potato
Production: Evidence from Dedza District, Central Malawi. American-Eurasian J. Agric. & Environ. Sci., 12 (2): 192-197, 2012
Meeusen, W., and J.V.D. Broeck. 1977. Efficiency Estimation from Cobb-
Douglas Production Function with Composed Error. International Economic Review, 18(June 1977) : 435-444.
Merante, P., Cesare Pacini, Steven Van Passel, Concetta Vazzana. 2008
Application of the Sustainable Value Concept to a Representative Dairy Farm of Florence Province, Tuscany, under a Modelling Perspective. 12th Congress of the European Association of Agricultural Economists – EAAE 2008
Meul. M., S. Van Passel. 2009. Sustainability of Flemish Farms: Advising
Farmers and Policymakers. AgSAP Conference 2009, Egmond aan Zee, The Netherlands
Molnar A. 2008. Applying Sustainable Value Methodology for Hungarian
Agriculture. 12th Congress of the European Association of Agricultural Economists – EAAE 2008
Monografi Kecamatan Pangalengan, 2010 Murillo-Zamurano, L. 2004. Economics Efficiency and Frontier Technique.
Journal of Economic Surveys Vol. 18 No 1 pp. 33-77. Munasinghe, M. 2004. Sustainomics: ATrans- Disciplanary Framework for
Making Development More Sustainable. Munasinghe Institute for Development,Colombo Srilangka. http://www.ecoeco.org/pdf/sustainomics. pdf
Msuya, EE. Hisano, S and Nariu, T. 2008. Explaining Productivity Variation
among Smallholder Maize Farmers in Tanzania. MPRA Paper No. 14626, posted 17. April 2009 / 15:03. Online at http://mpra.ub.uni-muenchen.de/14626/
Nambiar, K.K.M, A.P. Gupta, Qinglin Fu, S.Li. 2001. Biophysical, Chemical
and Socio-Economic Indicators for Assessing Agricultural Sustainability in the Chinese Coastal Zone. Agriculture, Ecosystems and Environment 87 (2001) 209–214
Niyongabo, J. 2004. Where Sustainable Agriculture Means Agricultural
productivity? The Case Study of Gikongoro in Southern Rwanda. Nurida. L. N., dan A. Dariah. 2006. Beberapa Tipe Penggunaan Lahan Kering:
Peranannnya sebagai Pendukung Ketahanan Pangan dan Pelestarian
204
Lingkungan (Studi Kasus di DAS Citarum Hulu dan DAS Kaligarang). Seminar Nasional Sumberdaya Lahan. Bogor. 18 – 19 September 2006. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Pertanian. Balai Litbang Pertanian.
Nurmalina, R. 2007. Model Neraca Ketersediaan Beras yang Berkelanjutan untuk
Mendukung Ketahanan Pangan Nasional. Sekolah pasca sarjana IPB. Disertasi tidak dipublikasikan.
Nwuru, J.C. 2011. Measurement and Determinants of Production Efficiency
among Small-Holder Sweet Potato (Ipomoea Batatas) Farmers in Imo State, Nigeria. European Journal of Scientific Research ISSN 1450-216X Vol.59 No.3 (2011), pp.307-317 © EuroJournals Publishing, Inc. 2011 http://www.eurojournals.com/ejsr.htm
Obare, A Gideon, Daniel O. Nyagaka, Wilson Nguyo, and Samuel M. Mwakubo.
2010. Are Kenyan smallholders allocatively efficient? Evidence from Irish potato producers in Nyandarua North district. Journal of Development and Agricultural Economics Vol. 2(3), pp. 078-085, March 2010. http://www.academicjournals.org/JDAE
OECD. 1998. Eco-efficiency, Organisation for Economic Co-operation and
Development, Paris. Okike, I., M.A. Jabbar., V.M. Manyong, J.W. Smith dan S.K. Ehui. 2004.
Factors Affecting Farm-specific Production Efficiency in Savanna Zones of West Africa. Journal of African Economics, 2004 Volume 13, Number 1, PP 134-165.
O’Neill, S., Leavy, A. and Mattews, A. 2001. Measuring Productivity Change and
Efficiency on Irish farm, Technical Report, Teagasc Rural Economy Centre.
Organisation for Economic Co-operation and Development. (OECD). 2001.
Environmental Indicators for Agriculture Methods and Results Otsuki, K., Hardie, I. and Reis, E. 2002. The Implication of Property Rights for
Joint Agriculture–Timber Productivity in the Brazilian Amazon. Environment and Development Economics, Vol. 7, (2002) pp. 299–323.
Pacini, C., G Giensen, A Wossink, L Omodei-Zorini and R Huirne. 2004. The
EU’s Agenda 2000 Reform and Sustainability of Organic Farming in Tuscany: Ecological-economic Modelling at Field and Farm Level. Agricultural Systems 80, 171-197.
Pemerintah Kabupaten Bandung. 2011. Petensi Pertanian dan Perkebunan.
http://www.bandungkab.go.id/arsip/2341/kawasan-sentra-produksi-komoditas-unggulan-kabupaten-bandung
205
Pemerintah Kabupaten . 2011. Sistem Informasi Kecamatan Kabupaten Garut.
garut.go.id. http://sikec.garutkab.go.id/gda/t_2_1_03list.php? cmd=resetall &thn =2009
P. Jan, Lips M, Roesch A, Lehmann B, & Dumondel M. 2008. Sustainable Value: An Application to the Swiss Dairy Farm of the Mountainious Area. 12th Congress of the European Association of Agricultural Economics – EAAE 2008.
Parikh, A., A Farman, and M. K. Shah. 1995. Measurement of Economic
Efficiency in Pakistani Agriculture. American Journal of Agricultural economics 77 (August 1995), 675-885.
Pascual, U. 2005. Land Use Intensification Potential in Slash-and-bum farming
Through Improvement in Technical Efficiency. Ecological Economics, Vol. 52, (2005) pp. 497 -511.
Pemerintah Kabupaten Bandung. 2011. Rancangan Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Bandung Tahun 2010-2015. Bandung.
Pender, J., Berhanu Gebremedhin, Samuel Benin, and Simeon Ehui. 2001.
Strategies for Sustainable Agricultural Development in the Ethiopian Highlands. Amer. J. Agr. Econ. 83 (Number 5, 2001): 1231–1240
________, Ephraim Nkonya, Pamela Jagger, Dick Sserunkuumab, Henry Ssalic.
2004. Strategies to Increase Agricultural Productivity and Reduce Land Degradation: Evidence from Uganda. Agricultural Economics 31 (2004) 181–195
Pretty, J, and Rachel Hine. 2001. Reducing Food Poverty with Sustainable
Agriculture: A Summary of New Evidence. Final report from “SAFE-WORLD”. UK Departement for international development Bread for the World, and Greenpeace (Germany)
________, 2007. Agricultural Sustainability: Concept, Principles, and Evidence.
Phil. Trans. R.Soc. B 2008. 363, 447 – 465. Doi: 10.1098/rstb.2007.2163. Profil Kecamatan Pangalengan 2010. Kecamatan Pangalengan Bandung BPS Kabupaten Garut. 2012. Profil Garut per Kecamatan 2012. Garut Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. 2005. Teknologi
Pengelolaan Lahan kering Menuju Pertanian Produktif dan Ramah lingkungan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian.
206
Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. 2003. Prosiding Seminar Nasional Multifungsi dan Konversi Lahan Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian, Bogor.
Rao, N. H., P.P. Rogers. 2006. Assessment of Agricultural Sustainability.
General Article. Current Science, Vol. 91, No. 4, 25 August 2006. Reddy, Mahendra. 2002. Implication of Tenancy Status on Productivity and
Efficiency: Evidence from Fiji. Sri Lanka Journal of Agricultural Economics. Volume 4. Part 1. Pp. 19 – 37.
Reinhard, S., C.A. Knox Lovell., and Geert Thijssen. 2002. Analysis of
Environmental Efficiency Variation. Amer. J. Agr. Econ. 84(4) November 2002: 1054-1065.
___________, C.A. Knox Lovell, dan Geert Thijssen. 1999. Econometric
Estimation of Technical and Environmental Efficiency: An Application to Dutch Dairy Farm. Amer. J. Agr. Econ. 81(February, 1999): 44-60.
Richmond, J. 1974. Estimating the efficiency of production. International Economic Review.15:515-521.
Ridaura, S. Lopez. 2005. Multi-Scale Sustainability Evaluation, A framework for
the Derivation and Quantification of Indicators for Natural Resource Management Systems. Thesis, Wageningen University.
Rigby, D., David Howlett, Phil Woodhouse. 2000. Sustainability Indicators for
Natural Resource Management & Policy. Working Paper 1. A Review of Indicators of Agricultural and Rural Livelihood Sustainability.
_________, et al. 2001. Constructing a farm level indicator of sustainable
agricultural practice. Ecological Economics 39 (2001) 463-478. www.elsevier.com/locate/ecolecon.
Rios, A., and Shively, G. 2006. Farm Size and Non Parametric Efficiency
Measurement for Coffee Farm in Vietnam. Forest, Tress, and Livelihood, Vol. 16, (2006) pp. 397- 412
Russel, N.P., and T.Young. 1983. Frontier Production Function and the
Measurement of Technical Efficiency. Journal of Agricultural Economics, 34:139-150.
Sauer, J., and Abdallah, J.M. 2007. Forest Diversity, Ttobacco Production and
Resource Management in Tanzania. Forest Policy and Economics, 9, 421-439. Doi:10.1016/j.forpol.2005.10.1007
Saptana. 2011. Efisiensi Produksi dan Perilaku Petani terhadap Risiko Produksi
Cabai Merah Besar dan Cabai Merah Keriting di Provinsi Jawa Tengah. Disertasi Program Doktor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
207
Schmidt, P. 1976. On the Statistical Estimation of Parametric Frontier Production
Function. The Review of Economics and Statistics, 37(2) : 355-374. --------------. 1986. Frontier Production Function. Econometric Review 4, 289-328.
Sharma , K.R. Pradhan, N.C. and Leung, P.S. 2000. Stochastic Frontier Approach to Measuring Irrigation Performance: An Application to Rice Production Under the Two Systems in the Tarai of Nepal Water Resources Research, VOL. 37, NO. 7, P. 2009, 2001. doi:10.1029/2000WR900407
Sherlund, M. S., Barret, C. B. & Adesina, A. A. 2002. Smallholder technical Efficiency Controlling for Environtment Production Condition. Journal of Development Economics 69 (2002), 85 – 101.
Sinaga, R. 2011. Analisis Akses Kredit dan Pengaruhnya Terhadap Usahatani
Tomat dan Kentang: Studi Kasus di Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor . Bogor. Tesis tidak Dipublikasikan.
Smith, C. S., and G. T. McDonald. 1998. Assessing the Sustainability of
Agriculture at the Planning Stage. Journal of Environmental Management (1998) 52, 15–37
Soekartawi. 1990. Teori Ekonomi Produksi dengan Pokok Bahasan Analisis
Fungsi Cobb Douglas. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta Solis, D., Boris E. Bravo-Ureta, dan Ricardo E. Quiroga. 2009. Technical
Efficiency among Peasant Farmers Participating in Natural Resource Management Programmes in Central America. Journal of Agricultural Economics, Vol.60, No. 1, 2009, 202-219. Doi:10.1111/j.1477-9552.2008.00173.x
-----------, Boris Bravo-Ureta, and Ricardo E. Quiroga. 2006. The Effect of Soil
Conservation on Technical Efficiency: Evidence from Central America. Selected Paper prepared for presentation at the American Agricultural Economics Association Annual Meeting, Long Beach, California, July 23-26, 2006
Stavins, R. N., Wagner, A. F. and Wagner, G. 2002. Interpreting Sustainability in
Economic Terms: Dynamic Efficiency Plus Intergenerational Equity. Resources for the Future, discussion paper .
Stefanou, S. and Saxena, S. 1988. Education, Experience and Allocative
Efficiency: A Dual Approach. American Journal of Agricultural Economics, Vol. 2, (1988) pp. 338–345.
208
Subedi, M. et al. 2009. Use of Farmer’s Indicators to Evaluate the Sustainability of Cropping System on Sloping Land in Yunnan Province, China. Pedosphere 19(3): 344-355, 2009. on www.elsevier.com/locate/pedosphere diakses tanggal
Sudirman, Abdul Muti K.S., M. Sodik Djunaedi dan Undang Kurnia. 2000.
Pengaruh Berbagai Jenis Pupuk Kandang dan Mulsa terhadap Kehilangan Bahan Organik dan Hara dalam Aliran Permukaan pada Lahan Sayuran Dataran Tinggi. Laporan Akhir Bagian Proyek Suberdaya Lahan dan Agroklimat. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat Bogor.
Suganda, H., M. Sodik Djunaedi, D Santoso dan S. Sukmana, 1997. Pengaruh
Cara Pengendalian Erosi terhadap Aliran Permukaan, Tanah Tererosi, dan Produksi Sayuran pada Andisols. Jurnal Tanah dan Pupuk No.15 tahun 1997. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat Bogor.
Suganda, H., H. Kusnadi dan U. Kurnia. 1999. Pengaruh Arah Barisan Tanaman
dan Bedengan dalam Pengendalian Erosi pada Budidaya Sayuran Dataran Tinggi. Jurnal Tanah dan Iklim. (17):55-64.
Sukiyono, Ketut. 2005. Faktor Penentu Tingkat Efisiensi Teknik Usahatani Cabai
Merah di Kecamatan Selupu Rejang, Kabupaten Rejang Lebong. Jurnal Agro Economi, Volume 23 No. 2, Oktober 2005 : 176 – 190.
Sumarna, A. dan Y. Kusandriani. 1992. Pengaruh Jumlah Pengairan Air tehadap
Pertumbuhan dan Hasil Cabe Paprika (Capsicum annum L. var groosum) Kultivar orion dan Yolo Wonder A. Buletin Penelitian Hortikultura XXIV (1):51-58
Suryana, Achmad. 2005. Pembangunan Pertanian Berkelanjutan Andalan Pembangunan Nasional. Makalah Seminar Sistem Pertanian Berkelanjutan untuk Mendukung Pembangunan Nasional tgl 15 Maret 2005. Universitas Sebelas Maret Solo.
Syaukat, Y., Sushil Pandey. The Future Perspective of Upland Rice farmer in
Indonesia in Era Globalization. IRRI. Taylor, D. C., Mohamed Z. A., Shamsudin M. N., mohayidin M. G. and Chiew E.
F. 1993. Creating a Farmer Sustainability Index: A Malaysian Case Study. American Journal of Alternative Agriculture 8(4), 175-183.
Tchale, Hardwick and Johannes Sauer . 2007. The efficiency of maize farming in
Malawi. A bootstrapped translog frontier Cahiers d'Economie et Sociologie Rurales, 2007, vol. 82-83, pages 33-56
Tchale, Hardwick and Johannes Sauer . 2009. The Efficiency of Smallholder
Agriculture in Malawi. AFJARE Vol 3 No 2 September 2009.
209
Templet, P.H. 1999. Energy, Diversity, and Development in Economic System:
an Empirical Analysis. Ecological Economic 30, 223-233. Thiele, H. and Brodersen, C. M. 1999. Difference in Farm Efficiency in Market
and Transition Economies: Empirical Evidence from West and East Germany. European Review of Agricultural Economics 26(3), 331- 347.
Thirtle, C. and Holding, J. 2003. Productivity of UK Agriculture: Causes and
Constraints, Technical Report, Department for Environment, Food and Rural Affairs.
Tyteca, D. 1998. Sustainability Indicators at The Firm Level, Pollution and
Resource Efficiency als a Necessary Condition Toward Sustainability. Journal of Industrial Ecology 2(4), 61-77.
Udoh, Ebet Joshua. 2005. Technical Inefficiency in Vegetable Farms of Humid
region: An Analysis of Dry Season Farming by Urban Woman in South Zone, Nigeria. Journal of Agriculture & Social Sciences 1813-2235/2005/01-2-80-85. http://www.ijabjass.org.
Upton, M. 1979. The unproductive production function. Journal of Agricultural
Economics. 30:179-194. Van Calker, K.J., 2005. Sustainability of Dutch dairy farming systems: A
modelling approach. PhD Thesis, Wageningen University, The Netherlands, 208 pp.
, K., P. Barentsen, I. de Boer, G. Giesen, and R. Huirne. 2004. An
LP-model to Analyse Economic and Ecological Sustainability on Dutch Dairy Farms: Model Presentation and Aplication for Experimental farm de Marke. Agricultural System 82, 139-160.
, C. Romero, G. Giesen, and R Huirne. 2006.
Development and Application of A Multi-attribute Sustainability Function for Dutch Dairy Farming Systems. Ecological Economics 57, 640-658
Van Passel, S., Lauwers, L., Guido Van Huylenbroeck. 2006a. Factors of Farm
Performance: an Empirical Analysis of Structural and Managerial Characteristics, In: Causes and Impact of Agricultural Structure. http://www.gapem.org/Text/VanPassel_etal-FactorsFarmPerformance-Ch.pdf
____________, Erik Mathijs, Guido Van Huylenbroeck. 2006b. Explaining Differences in Farm Sustainability: Evidence from Flemish Dairy Farms. Contributed paper prepared for presentation at the International Association of Agricultural Economists Conference, Gold Coast, Australia, August 12-18, 2006.
210
Van Passel, S. 2008. Assessing Farm Sustainability with Value Oriented Methods. 12th Congress of the European Association of Agricultural Economists – EAAE 2008.
___________ , Guido van Huylenbroeck, Ludwig Lauwers, Erik Mathijs. 2009.
Sustainable Value Assessment of Farm Using Frontier Efficiency Benchmarks. Journal of Environment Management 90 (2009) 3057 – 3069.
___________, and Marijke Meul. 2010. Multilevel Sustainability Assessment
of Farming System: a Practical Approach. 9th Europen IFSA Symposium, 4-7 July 2010. Vienna (Austria).
Wadud, M. D. A. 1999. Farm efficiency in Bangladesh. Thesis. Departemen of
Agricultural Economics and Food Marketing. New Castle University ----------------------- and White B (2000) Farm Household Efficiency in
Bangladesh: A Comparison of Stochastic Frontier and DEA Methods. Appl Econ 32:1665–1673
WCED (World Commission on Environment and Development). 1987. Our
Common Future. New York: Oxford University Press. Wilson P, Hadley D, Ramsden S, Kaltsas I. 1998. Measuring and Explaining
Technical Efficiency in UK Potato Production. Journal Agric Econ 49:294–305
Woodward, R.T., Richard G. Bishop. 1995. Analysis Efficiency, Sustainability,
and Global Warming. Ecological Economics 14 (1995) 101-111. Elsivier Science B.V.
Zamorano, L. R. M. 2004. Economic Efficiency and Frontier Techniques. Journal
of Economic Surveys Vol. 18, No. 1. 2004. Zhen, Lin, Jayant K. Routray. 2003. Operational Indicators for Measuring
Agricultural Sustainability in Developing Countries Environmental Management [Environ. Manage.]. Vol. 32, no. 1, pp. 34-46. Jul 2003. www.elsevier.com/locate/agree. DOI: 10.1007/ s00267-003-2881-1.
Zhen, Lin, Jayant K. Routray, Michael A. Zoebisch, Guibao Ched, Gaodi Xie,
Shengkui Cheng. 2005. Three dimensions of sustainability of farming practices in the North China Plain A case study from Ningjin County of Shandong Province, PR China. Agriculture, Ecosystems and Environment 105 (2005) 507–522. Tersedia dalam www.sciencedirect.com
LAMPIRAN
213
Lampiran 1. Struktur PDB Menurut Lapangan Usaha Tahun 2009—2011 (Persen)
Lapangan Usaha
2009
2010
2011 Rata-rata
1.Pertanian, Peternakan, Kehutanan, dan Perikanan
15,3 15,3 14,7 15,1
2. Pertambangan dan Penggalian 10,6 11,1 11,9 11,23. Industri Pengolahan 26,4 24,8 24,3 25,24. Listrik, Gas, dan Air Bersih 0,8 0,8 0,8 0,85. Konstruksi 9,9 10,3 10,2 10,16. Perdagangan, Hotel, dan Restoran 13,3 13,7 13,8 13,67. Pengangkutan dan Komunikasi 6,3 6,6 6,6 6,58. Keuangan, Real Estat, dan Jasa Perusahaan
7,2 7,2 7,2 7,2
9. Jasa-Jasa 10,2 10,2 10,5 10,3Produk Domestik Bruto (PDB) 100,0 100,0 100,0 PDB Tanpa Migas 91,7 92,2 91,5
Sumber: Berita Resmi Statistik No. 13/02/Th. XV, 6 Februari 2012 Lampiran 2. Pertumbuhan Produk Domestik Bruto Indonesia menurut Sektor
Ekonomi Tahun 2005 – 2010
Sektor Ekonomi Pertumbuhan PDB (%) 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Rata-rata
Pertanian 2,7 3,4 3,5 4,8 4,0 2,9 3,6Pertambangan 3,2 1,7 1,9 0,7 4,4 3,5 2,6Industri 4,6 4,6 4,7 3,7 2,2 4,5 4,1Listrik 6,3 5,8 10,3 10,9 14,3 5,3 8,8Konstruksi 7,5 8,3 8,5 7,6 7,1 7,0 7,7Perdagangan 8,3 6,4 8,9 6,9 1,3 8,7 6,8Transportasi 12,8 14,2 14,0 16,6 15,5 13,5 14,4Keuangan 6,7 5,5 8,0 8,2 5,1 5,7 6,5Jasa-jasa 5,2 6,2 6,4 6,2 6,4 6,0 6,1
Sumber : Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan RI, 2011
214
Lampiran 3. Perkembangan Luas Lahan, Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Kentang, Kubis, dan Total Sayuran di Jawa Barat Tahun 2005 - 2010
raian Tahun Laju 2005 2006 2007 2008 2009 2010 (%/th)
Luas Tanam (Ha) Kentang 17 969 17 323 16 135 14 358 13 261 13 972 -4.75Kubis 16 077 15 701 14 597 13 197 12 655 12 920 -4.19Total Sayuran 169 583 172 302 168 143 163 875 163 641 175 888 0.80
Luas Panen (Ha) Kentang 17 744 17 242 16 479 13 973 15 344 13 553 -4.86Kubis 16 755 14 399 15 414 12 596 13 604 12 811 -4.62Total Sayuran 183 543 181 779 178 478 170 215 173 297 183 417 0.05
Produksi (Ton) Kentang 359 892 349 157 337 369 294 564 323 543 275 100 -4.84Kubis 434 578 351 091 367 859 280 364 298 515 286 648 -7.14Total Sayuran 3 109 849 2 859 014 2 861 474 2 677 859 2 944 367 2 549 262 -3.57
Produktivitas (Ton/Ha) Kentang 20 20 20 21 21 20 0.04Kubis 26 24 24 22 22 22 -2.86Total Sayuran 17 16 16 16 17 14 -3.46
Suimber: Dinas Pertanian Tanaman Pangan, 2011
215
Lampiran 4. Penurunan Fungsi Biaya Dual (Dual Cost Function) dari Fungsi
Produksi Cobb Douglas
Subject to : , , , … . ,
0
0
,
λ = Lagrange multiplier
FOC :
… … … … … … . . 1
… … … … … … 2
3
4
Dari persamaan (1) dan (2) diperoleh:
.
. .
Dari persamaan (2) dan (3) diperoleh
.
216
Lampiran 4. Lanjutan
. .
Substitusikan nilai x2 dan x3 kedalam persamaan (4)
. . . .
. .
. . . .
1 1
1
1
1
1
1
∏
1
∏
1
∏
217
Lampiran 4. Lanjutan
1
∏
Masukkan ke dalam persamaan fungsi biaya
,
1
∏
1
∏
1
∏
1
∏
1
1
∏
Jadi
1
∏
218
Lampiran 5. Hasil Estimasi Fungsi Produksi dan Inefisiensi Teknik Usahatani Kentang di Jawa Barat, 2011 Output from the program FRONTIER (Version 4.1c) instruction file = terminal data file = potato.dat Tech. Eff. Effects Frontier (see B&C 1993) The model is a production function The dependent variable is logged the ols estimates are : coefficient standard-error t-ratio beta 0 0.73633945E+01 0.72808725E+00 0.10113341E+02 beta 1 0.62519954E+00 0.96704674E-01 0.64650395E+01 beta 2 0.14961526E+00 0.78459533E-01 0.19069099E+01 beta 3 0.56639068E-01 0.38324741E-01 0.14778722E+01 beta 4 0.17396156E-02 0.67911189E-02 0.25616038E+00 beta 5 0.35754317E-02 0.13596456E-01 0.26296791E+00 beta 6 0.93571980E-01 0.50980976E-01 0.18354294E+01 beta 7 0.47634820E-01 0.69305777E-01 0.68731385E+00 beta 8 -0.81066490E-02 0.19515652E-02 -0.41539218E+01 beta 9 -0.11865768E+00 0.66227454E-01 -0.17916691E+01 beta10 0.88511862E-01 0.63192645E-01 0.14006672E+01 sigma-squared 0.17822878E+00 the final mle estimates are : coefficient standard-error t-ratio beta 0 0.77952809E+01 0.66589276E+00 0.11706511E+02 beta 1 0.66860058E+00 0.89435647E-01 0.74757728E+01 beta 2 0.12621351E+00 0.69128647E-01 0.18257773E+01 beta 3 0.44732021E-01 0.37204997E-01 0.12023122E+01 beta 4 0.11531736E-02 0.67823788E-02 0.17002494E+00 beta 5 0.13976153E-02 0.13465264E-01 0.10379413E+00 beta 6 0.10971458E+00 0.44461132E-01 0.24676516E+01 beta 7 0.65810493E-02 0.66898278E-01 0.98373973E-01 beta 8 -0.78948827E-02 0.18082874E-02 -0.43659446E+01 beta 9 -0.63953927E-01 0.63105936E-01 -0.10134376E+01 beta10 0.14197620E+00 0.61332614E-01 0.23148565E+01 delta 0 -0.38679517E+01 0.36601273E+01 -0.10567806E+01 delta 1 0.72575161E-01 0.45163806E-01 0.16069319E+01 delta 2 -0.15404379E-01 0.34639361E-0 -0.44470737E+00 delta 3 -0.22773792E-01 0.16835471E-1 -0.13527268E+01 delta 4 -0.12373262E+01 0.66733058E+00 -0.18541429E+01 delta 5 -0.15995458E+00 0.12148477E+00 -0.13166636E+01 delta 6 0.58816353E+00 0.54780324E+00 0.10736766E+01 delta 7 0.14497252E+01 0.11413669E+01 0.12701658E+01 delta 8 -0.53674021E+00 0.28070992E+00 -0.19120813E+01 sigma-squared 0.71001080E+00 0.33118003E+00 0.21438817E+01 gamma 0.84008668E+00 0.76489883E-01 0.10982978E+02 log likelihood function = -0.96400931E+02 LR test of the one-sided error = 0.21866408E+02 with number of restrictions = * [note that this statistic has a mixed chi-square distribution] number of iterations = 36 (maximum number of iterations set at : 100) number of cross-sections = 203 number of time periods = 1 total number of observations = 203 thus there are: 0 obsns not in the panel
219
Lampiran 6. Hasil Estimasi Fungsi Produksi dan Inefisiensi Teknik Usahatani Kubis di Jawa Barat, 2011 Output from the program FRONTIER (Version 4.1c) instruction file = terminal data file = kubisf1.dat Tech. Eff. Effects Frontier (see B&C 1993) The model is a production function The dependent variable is logged the ols estimates are : coefficient standard-error t-ratio beta 0 0.50265220E+01 0.12110909E+01 0.41504084E+01 beta 1 0.42935090E+00 0.11772467E+00 0.36470767E+01 beta 2 0.24992245E+00 0.11273331E+00 0.22169353E+01 beta 3 0.22122892E-01 0.23127774E-01 0.95655086E+00 beta 4 0.11218986E-01 0.59256864E-01 0.18932805E+00 beta 5 0.54172035E-02 0.10933543E-01 0.49546641E+00 beta 6 0.23440680E+00 0.82506262E-01 0.28410789E+01 beta 7 0.37941022E-01 0.72892208E-01 0.52050861E+00 beta 8 -0.42291180E-02 0.24624874E-02 -0.17174171E+01 beta 9 0.23388378E-01 0.77788510E-01 0.30066623E+00 beta10 -0.60832067E-01 0.89463342E-01 -0.67996640E+00 sigma-squared 0.23023198E+00 the final mle estimates are : coefficient standard-error t-ratio beta 0 0.44472763E+01 0.11726594E+01 0.37924706E+01 beta 1 0.35320133E+00 0.10937786E+00 0.32291849E+01 beta 2 0.33343662E+00 0.97978852E-01 0.34031488E+01 beta 3 0.27115073E-01 0.20425160E-01 0.13275329E+01 beta 4 0.92630635E-02 0.52447521E-01 0.17661585E+00 beta 5 0.21725105E-02 0.10400847E-01 0.20887822E+00 beta 6 0.24490177E+00 0.72928707E-01 0.33580983E+01 beta 7 0.48947255E-01 0.72637510E-01 0.67385645E+00 beta 8 -0.69554415E-02 0.22678799E-02 -0.30669356E+01 beta 9 0.51005015E-01 0.74494097E-01 0.68468533E+00 beta10 -0.16779137E-01 0.82046252E-01 -0.20450827E+00 delta 0 0.23320975E+01 0.15472629E+01 0.15072407E+01 delta 1 -0.78709548E-02 0.11422692E-01 -0.68906304E+00 delta 2 -0.92893207E-02 0.33315359E-01 -0.27882998E+00 delta 3 0.10596535E-01 0.13391021E-01 0.79131642E+00 delta 4 -0.89495879E+00 0.89137923E+00 -0.10040158E+01 delta 5 -0.17606419E+00 0.16079276E+00 -0.10949759E+01 delta 6 -0.64271874E+00 0.67462274E+00 -0.95270838E+00 delta 7 0.10359090E+00 0.24833391E+00 0.41714359E+00 delta 8 -0.41372901E+00 0.42804267E+00 -0.96656021E+00 sigma-squared 0.46012183E+00 0.23377598E+00 0.19682169E+01 gamma 0.75337322E+00 0.17647207E+00 0.42690792E+01 log likelihood function = -0.99429826E+02 LR test of the one-sided error = 0.17047663E+02 with number of restrictions = * [note that this statistic has a mixed chi-square distribution] number of iterations = 39 (maximum number of iterations set at : 100) number of cross-sections = 166 number of time periods = 1 total number of observations = 166 thus there are: 0 obsns not in the panel
220
Lampiran 7. Hasil Estimasi Sumber-sumber Inefisiensi Alokatif Usahatani Kentang di Jawa Barat, 2011 REGRESSION /MISSING LISTWISE /STATISTICS COEFF OUTS R ANOVA /CRITERIA=PIN(.05) POUT(.10) /NOORIGIN /DEPENDENT IA /METHOD=ENTER Umur Pendidikan Pengalaman Keanggotaan Penyuluhan Kredit Statlahan Konservasi.
Regression
Model Summary
Model R R Square Adjusted R SquareStd. Error of the
Estimate
1 .357a .127 .091 .16676
a. Predictors: (Constant), Konservasi, Penyuluhan, Pendidikan, Kredit, Statlahan, Pengalaman, Keanggotaan, Umur
ANOVAb
Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.
1 Regression .786 8 .098 3.534 .001a
Residual 5.395 194 .028
Total 6.181 202
a. Predictors: (Constant), Konservasi, Penyuluhan, Pendidikan, Kredit, Statlahan, Pengalaman, Keanggotaan, Umur
b. Dependent Variable: IA
Coefficientsa
Model
Unstandardized Coefficients
Standardized Coefficients
t Sig. B Std. Error Beta
1 (Constant) .687 .098 7.032 .000
Umur -.003 .001 -.197 -2.280 .024
Pendidikan -.005 .004 -.098 -1.299 .196
Pengalaman .001 .001 .040 .501 .617
Keanggotaan .028 .026 .079 1.081 .281
Penyuluhan .009 .007 .105 1.427 .155
Kredit -.019 .025 -.053 -.761 .448
Statlahan -.099 .024 -.277 -4.051 .000
Konservasi .009 .017 .039 .568 .571
a. Dependent Variable: IA
221
Lampiran 8. Hasil Estimasi Sumber-sumber Inefisiensi Ekonomi Usahatani Kentang di Jawa Barat, 2011 REGRESSION /MISSING LISTWISE /STATISTICS COEFF OUTS R ANOVA /CRITERIA=PIN(.05) POUT(.10) /NOORIGIN /DEPENDENT IE /METHOD=ENTER Umur Pendidikan Pengalaman Keanggotaan Penyuluhan Kredit Statlahan Konservasi.
Regression
Model Summary
Model R R Square Adjusted R SquareStd. Error of the
Estimate
1 .259a .067 .029 .12811
a. Predictors: (Constant), Konservasi, Penyuluhan, Pendidikan, Kredit, Statlahan, Pengalaman, Keanggotaan, Umur
ANOVAb
Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.
1 Regression .229 8 .029 1.747 .090a
Residual 3.184 194 .016
Total 3.413 202
a. Predictors: (Constant), Konservasi, Penyuluhan, Pendidikan, Kredit, Statlahan, Pengalaman, Keanggotaan, Umur
b. Dependent Variable: IE
Coefficientsa
Model
Unstandardized Coefficients
Standardized Coefficients
t Sig. B Std. Error Beta
1 (Constant) .713 .075 9.489 .000
Umur 6.161E-5 .001 .006 .062 .950
Pendidikan -.006 .003 -.145 -1.863 .064
Pengalaman .000 .001 -.068 -.818 .415
Keanggotaan -.008 .020 -.032 -.419 .676
Penyuluhan .003 .005 .040 .519 .604
Kredit .007 .019 .024 .339 .735
Statlahan -.054 .019 -.203 -2.870 .005
Konservasi -.002 .013 -.014 -.191 .849
a. Dependent Variable: IE
222
Lampiran 9. Hasil Estimasi Sumber-sumber Inefisiensi Alokatif Usahatani Kubis di Jawa Barat, 2011 DATASET ACTIVATE DataSet1. DATASET CLOSE DataSet0. REGRESSION /MISSING LISTWISE /STATISTICS COEFF OUTS R ANOVA /CRITERIA=PIN(.05) POUT(.10) /NOORIGIN /DEPENDENT IAkubis /METHOD=ENTER Umur Pendidikan Pengalaman Keanggotaan Penyuluhan Kredit Statlahan Konservasi.
Regression Model Summary
Model R R Square Adjusted R SquareStd. Error of the
Estimate
1 .343a .117 .072 .15734
a. Predictors: (Constant), Konservasi, Kredit, Umur, Statlahan, Penyuluhan, Pengalaman, Keanggotaan, Pendidikan
ANOVAb
Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.
1 Regression .517 8 .065 2.612 .010a
Residual 3.887 157 .025
Total 4.404 165
a. Predictors: (Constant), Konservasi, Kredit, Umur, Statlahan, Penyuluhan, Pengalaman, Keanggotaan, Pendidikan
b. Dependent Variable: IAkubis
Coefficientsa
Model
Unstandardized Coefficients
Standardized Coefficients
t Sig. B Std. Error Beta
1 (Constant) -.016 .102 -.160 .873
Umur .002 .001 .132 1.439 .152
Pendidikan -.002 .004 -.035 -.391 .697
Pengalaman -.001 .001 -.109 -1.325 .187
Keanggotaan .053 .027 .163 1.935 .055
Penyuluhan .015 .007 .189 2.221 .028
Kredit .017 .026 .050 .641 .522
Statlahan -.023 .026 -.070 -.894 .373
Konservasi .056 .017 .254 3.202 .002
a. Dependent Variable: IAkubis
223
Lampiran 10. Hasil Estimasi Sumber-sumber Inefisiensi Ekonomi Usahatani Kubis di Jawa Barat, 2011 REGRESSION /MISSING LISTWISE /STATISTICS COEFF OUTS R ANOVA /CRITERIA=PIN(.05) POUT(.10) /NOORIGIN /DEPENDENT IEkubis /METHOD=ENTER Umur Pendidikan Pengalaman Keanggotaan Penyuluhan Kredit Statlahan Konservasi.
Regression
Model Summary
Model R R Square Adjusted R SquareStd. Error of the
Estimate
1 .293a .086 .039 .13733
a. Predictors: (Constant), Konservasi, Kredit, Umur, Statlahan, Penyuluhan, Pengalaman, Keanggotaan, Pendidikan
ANOVAb
Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.
1 Regression .278 8 .035 1.842 .073a
Residual 2.961 157 .019
Total 3.239 165
a. Predictors: (Constant), Konservasi, Kredit, Umur, Statlahan, Penyuluhan, Pengalaman, Keanggotaan, Pendidikan
b. Dependent Variable: IEkubis
Coefficientsa
Model
Unstandardized Coefficients
Standardized Coefficients
t Sig. B Std. Error Beta
1 (Constant) .604 .089 6.814 .000
Umur .000 .001 .024 .257 .797
Pendidikan -.003 .004 -.084 -.919 .360
Pengalaman .000 .001 .015 .183 .855
Keanggotaan -.069 .024 -.246 -2.869 .005
Penyuluhan -.007 .006 -.096 -1.105 .271
Kredit -.059 .023 -.202 -2.545 .012
Statlahan -.005 .022 -.018 -.227 .821
Konservasi -.005 .015 -.027 -.331 .741
a. Dependent Variable: IEkubis
224
Lampiran 11. Hasil Estimasi fisiensi Teknik (TE), Efisiensi Alokatif (AE) dan Efisiensi Ekonomi (EE) Usahatani Kentang di Jawa Barat, 2011 No Petani TE AE EE
1 0.84 0.70 0.59 2 0.85 0.69 0.59 3 0.91 0.52 0.47 4 0.84 0.51 0.43 5 0.91 0.42 0.38 6 0.81 0.54 0.44 7 0.92 0.45 0.41 8 0.82 0.38 0.31 9 0.86 0.47 0.41 10 0.80 0.67 0.53 11 0.82 0.89 0.73 12 0.91 0.46 0.42 13 0.86 0.28 0.24 14 0.83 0.49 0.41 15 0.83 0.64 0.53 16 0.93 0.45 0.42 17 0.80 0.65 0.52 18 0.80 0.61 0.49 19 0.87 0.49 0.42 20 0.82 0.45 0.37 21 0.77 0.73 0.56 22 0.68 0.70 0.48 23 0.88 0.44 0.39 24 0.87 0.74 0.64 25 0.71 0.79 0.56 26 0.88 0.42 0.37 27 0.92 0.58 0.40 28 0.88 0.68 0.60 29 0.86 0.69 0.59 30 0.78 0.63 0.49 31 0.82 0.88 0.73 32 0.81 0.94 0.76 33 0.89 0.95 0.85 34 0.87 0.66 0.57 35 0.84 0.42 0.35 36 0.89 0.63 0.56 37 0.83 0.38 0.31 38 0.88 0.59 0.53
No Petani TE AE EE 39 0.84 0.41 0.35 40 0.90 0.90 0.80 41 0.89 0.33 0.29 42 0.89 0.47 0.42 43 0.91 0.52 0.47 44 0.87 0.53 0.46 45 0.89 0.59 0.52 46 0.85 0.52 0.44 47 0.89 0.84 0.76 48 0.93 0.44 0.41 49 0.74 0.53 0.39 50 0.88 0.54 0.48 51 0.88 0.55 0.48 52 0.91 0.78 0.71 53 0.89 0.47 0.42 54 0.73 0.68 0.49 55 0.93 0.25 0.23 56 0.95 0.92 0.35 57 0.87 0.45 0.40 58 0.84 0.95 0.80 59 0.74 0.76 0.56 60 0.78 0.35 0.27 61 0.90 0.49 0.44 62 0.84 0.45 0.38 63 0.94 0.41 0.38 64 0.93 0.33 0.31 65 0.61 0.56 0.34 66 0.90 0.48 0.44 67 0.81 0.68 0.55 68 0.90 0.52 0.47 69 0.86 0.41 0.35 70 0.21 2.54 0.54 71 0.83 0.42 0.35 72 0.93 0.64 0.59 73 0.91 0.48 0.44 74 0.82 0.62 0.51 75 0.87 0.32 0.28 76 0.85 0.46 0.39
225
Lampiran 11. Lanjutan
No Petani TE AE EE 77 0.88 0.50 0.44 78 0.90 0.26 0.23 79 0.90 0.40 0.36 80 0.89 0.40 0.36 81 0.89 0.43 0.38 82 0.90 0.43 0.39 83 0.91 0.57 0.52 84 0.83 0.23 0.19 85 0.91 0.46 0.42 86 0.86 0.26 0.22 87 0.90 0.34 0.30 88 0.79 0.35 0.28 89 0.82 0.44 0.36 90 0.91 0.24 0.22 91 0.91 0.53 0.48 92 0.76 0.82 0.63 93 0.90 0.40 0.36 94 0.85 0.51 0.43 95 0.87 0.45 0.39 96 0.88 0.54 0.47 97 0.50 0.88 0.44 98 0.83 0.52 0.43 99 0.84 0.56 0.47 100 0.87 0.47 0.41 101 0.84 0.36 0.30 102 0.94 0.27 0.25 103 0.85 0.33 0.28 104 0.83 0.39 0.32 105 0.83 0.39 0.33 106 0.92 0.42 0.39 107 0.93 0.34 0.32 108 0.90 0.29 0.26 109 0.89 0.31 0.28 110 0.85 0.40 0.34 111 0.92 0.31 0.29 112 0.77 0.37 0.28 113 0.92 0.33 0.30 114 0.87 0.38 0.33 115 0.86 0.46 0.40 116 0.85 0.37 0.31
No Petani TE AE EE 117 0.75 0.64 0.48 118 0.90 0.36 0.32 119 0.89 0.50 0.44 120 0.86 0.36 0.31 121 0.88 0.36 0.32 122 0.76 0.47 0.36 123 0.82 0.70 0.57 124 0.92 0.34 0.31 125 0.85 0.33 0.28 126 0.83 0.41 0.34 127 0.89 0.41 0.37 128 0.88 0.40 0.35 129 0.89 0.36 0.32 130 0.73 0.46 0.34 131 0.81 0.33 0.26 132 0.77 0.53 0.40 133 0.87 0.40 0.34 134 0.85 0.35 0.30 135 0.92 0.36 0.33 136 0.91 0.39 0.35 137 0.75 0.39 0.29 138 0.82 0.49 0.40 139 0.90 0.30 0.27 140 0.85 0.41 0.35 141 0.90 0.40 0.36 142 0.90 0.42 0.38 143 0.69 0.42 0.39 144 0.86 0.31 0.26 145 0.88 0.31 0.27 146 0.49 0.61 0.30 147 0.77 0.59 0.45 148 0.88 0.36 0.32 149 0.91 0.36 0.32 150 0.89 0.26 0.24 151 0.87 0.36 0.31 152 0.92 0.29 0.26 153 0.86 0.41 0.35 154 0.86 0.45 0.39 155 0.89 0.54 0.48 156 0.90 0.31 0.28
226
Lampiran 11. Lanjutan
No Petani TE AE EE 157 0.85 0.31 0.26 158 0.85 0.58 0.49 159 0.92 0.36 0.33 160 0.92 0.43 0.40 161 0.87 0.42 0.37 162 0.81 0.51 0.41 163 0.30 1.03 0.31 164 0.87 0.24 0.21 165 0.87 0.24 0.21 166 0.91 0.30 0.27 167 0.88 0.30 0.26 168 0.87 0.35 0.30 169 0.67 0.63 0.42 170 0.88 0.30 0.26 171 0.93 0.35 0.32 172 0.86 0.28 0.25 173 0.46 0.83 0.38 174 0.83 0.33 0.28 175 0.87 0.24 0.21 176 0.87 0.72 0.63 177 0.67 0.34 0.23 178 0.62 0.34 0.21 179 0.84 0.26 0.22 180 0.93 0.23 0.21
No Petani TE AE EE 181 0.80 0.33 0.26 182 0.78 0.43 0.33 183 0.91 0.27 0.25 184 0.88 0.32 0.28 185 0.89 0.23 0.20 186 0.78 0.49 0.38 187 0.74 0.37 0.27 188 0.87 0.30 0.26 189 0.85 0.33 0.28 190 0.87 0.32 0.28 191 0.90 0.26 0.24 192 0.86 0.29 0.26 193 0.90 0.28 0.25 194 0.86 0.41 0.35 195 0.90 0.29 0.26 196 0.82 0.44 0.36 197 0.84 0.34 0.28 198 0.89 0.20 0.18 199 0.91 0.19 0.17 200 0.75 0.21 0.15 201 0.38 0.19 0.18 202 0.59 0.57 0.34 203 0.78 0.51 0.40
227
Lampiran 12. Hasil Estimasi Efisiensi Teknik (TE), Efisiensi Alokatif (AE) dan Efisiensi Ekonomi (EE) Usahatani Kubis di Jawa Barat, 2011 No resp TE AE EE
1 0.82 0.79 0.65 2 0.89 0.75 0.66 3 0.41 0.83 0.34 4 0.81 0.95 0.77 5 0.85 0.59 0.50 6 0.84 0.75 0.63 7 0.80 0.74 0.59 8 0.73 0.84 0.62 9 0.76 0.80 0.61 10 0.87 0.45 0.40 11 0.84 0.56 0.47 12 0.81 0.83 0.68 13 0.71 0.89 0.63 14 0.60 0.96 0.58 15 0.87 0.60 0.52 16 0.84 0.76 0.64 17 0.83 0.79 0.66 18 0.39 0.91 0.35 19 0.89 0.50 0.45 20 0.35 0.99 0.35 21 0.81 0.97 0.79 22 0.81 0.96 0.78 23 0.82 0.85 0.70 24 0.73 0.65 0.48 25 0.42 0.83 0.35 26 0.87 0.63 0.55 27 0.78 0.87 0.67 28 0.29 0.97 0.28 29 0.74 0.96 0.71 30 0.79 0.83 0.66 31 0.65 0.73 0.47 32 0.87 0.68 0.59 33 0.38 1.00 0.38 34 0.28 0.96 0.27 35 0.88 0.60 0.53 36 0.89 0.77 0.68 37 0.40 0.94 0.37 38 0.66 0.96 0.63 39 0.46 0.99 0.46 40 0.79 0.73 0.58
No resp TE AE EE 41 0.74 0.80 0.59 42 0.71 0.72 0.51 43 0.90 0.65 0.59 44 0.61 0.85 0.52 45 0.50 0.87 0.43 46 0.82 0.95 0.77 47 0.79 0.98 0.77 48 0.81 0.89 0.72 49 0.78 0.61 0.47 50 0.69 0.85 0.58 51 0.72 0.92 0.66 52 0.53 0.89 0.47 53 0.78 0.94 0.73 54 0.47 0.96 0.45 55 0.68 0.81 0.55 56 0.44 0.86 0.38 57 0.55 0.84 0.46 58 0.77 0.23 0.18 59 0.86 0.59 0.50 60 0.37 0.95 0.35 61 0.49 0.93 0.46 62 0.84 0.65 0.54 63 0.60 0.90 0.54 64 0.65 0.80 0.52 65 0.80 0.55 0.44 66 0.87 0.63 0.55 67 0.86 0.80 0.69 68 0.80 0.96 0.77 69 0.68 0.80 0.54 70 0.70 0.81 0.57 71 0.90 0.66 0.59 72 0.81 0.89 0.72 73 0.81 0.75 0.61 74 0.84 0.57 0.48 75 0.76 0.64 0.48 76 0.49 0.82 0.40 77 0.73 0.84 0.61 78 0.48 0.94 0.46 79 0.81 0.88 0.71 80 0.75 0.67 0.50
228
Lampiran 11. Lanjutan
No Petani TE AE EE 81 0.74 0.72 0.53 83 0.55 0.83 0.46 84 0.78 0.68 0.53 85 0.77 0.79 0.61 86 0.52 0.98 0.51 87 0.50 0.81 0.41 88 0.73 0.77 0.56 89 0.58 0.56 0.33 90 0.80 0.94 0.76 91 0.80 0.42 0.34 92 0.87 0.87 0.76 93 0.68 0.82 0.56 94 0.78 0.52 0.40 95 0.36 0.99 0.36 96 0.84 0.67 0.57 97 0.88 0.55 0.48 98 0.74 0.86 0.64 99 0.83 0.90 0.75 100 0.83 0.91 0.76 101 0.84 0.95 0.79 102 0.69 0.88 0.61 103 0.75 0.72 0.54 104 0.76 0.74 0.57 105 0.82 0.66 0.54 106 0.86 0.78 0.67 107 0.65 0.59 0.38 108 0.87 0.63 0.55 109 0.73 0.90 0.65 110 0.82 0.83 0.68 111 0.83 0.50 0.41 112 0.85 0.81 0.69 113 0.88 0.83 0.73 114 0.73 0.70 0.51 115 0.62 0.61 0.38 116 0.79 0.88 0.70 117 0.81 0.87 0.70 118 0.52 0.96 0.50 119 0.61 0.93 0.56 120 0.71 0.72 0.51 121 0.89 0.44 0.39 122 0.87 0.83 0.72 123 0.59 0.99 0.59 124 0.83 0.73 0.60
No Petani TE AE EE 125 0.80 0.71 0.57 126 0.84 0.37 0.31 127 0.91 0.66 0.60 128 0.76 0.65 0.49 129 0.77 0.87 0.67 130 0.77 0.95 0.73 131 0.55 0.97 0.53 132 0.76 0.94 0.72 133 0.42 0.97 0.41 134 0.80 0.35 0.28 135 0.89 0.83 0.74 136 0.84 0.34 0.28 137 0.83 0.67 0.55 138 0.84 0.96 0.81 139 0.77 0.78 0.60 140 0.78 0.88 0.69 141 0.67 0.58 0.39 142 0.88 0.81 0.71 143 0.88 0.66 0.58 144 0.78 0.85 0.66 145 0.82 0.83 0.68 146 0.61 0.97 0.59 147 0.84 0.99 0.83 148 0.85 0.78 0.66 149 0.89 0.79 0.70 150 0.90 0.50 0.45 151 0.81 0.79 0.65 152 0.81 0.97 0.79 153 0.86 0.72 0.61 154 0.91 0.84 0.77 155 0.74 0.76 0.56 156 0.67 0.50 0.34 157 0.77 0.87 0.67 158 0.71 0.43 0.30 159 0.78 0.76 0.59 160 0.75 0.92 0.69 161 0.75 0.73 0.55 162 0.81 0.73 0.60 163 0.69 0.53 0.36 164 0.77 0.38 0.30 165 0.57 0.61 0.35
166
0.64
0.64
0.41
229 Lampiran 13. Penurunan Sumberdaya Efisien untuk menghitung Benchmark
Diketahui Persamaan Nilai Tambah (VA):
exp
Dengan:
= nilai tambah (penerimaan)
Asumsikan usahatani menggunakan dua sumberdaya yaitu:
r1 = sumberdaya ke-1
r2 = sumberdaya ke-2
Maka penggunaan input yang efisien dapat diperoleh dengan menghitung:
exp 1
exp1
exp1
exp1
exp
exp
exp
exp
exp
exp
230 Lampiran 5. Lanjutan
Dengan cara yang sama penggunaan r2 yang efisien dapat diperoleh dengan:
1
exp1
exp1
exp
exp
exp
Untuk tiga variabel:
exp
1
exp1 1
exp1 1
exp
exp
exp
exp
Untuk memperoleh r2* maka:
231
1
exp1 1
exp1 1
exp
exp
exp
Untuk memperoleh r3* maka:
1
exp1 1
exp1 1
exp
exp
Dengan demikian untuk 5 variabel:
exp
exp
exp
232 Lampiran 5. Lanjutan
exp
exp
233
Lampiran 10a. Nilai Kontribusi Kubis
Interval
Nilai Kontribusi Lahan TKerja Modal Sprodi Erosi
Jumlah Petani (orang)
Persen Jumlah Petani (orang)
Persen Jumlah Petani (orang)
Persen Jumlah Petani (orang)
Persen Jumlah Petani
(orang)\ Persen
< -10000 74 44.58 27 16.27 127 76.51 22 13.25 53 31.93 min 10 001 sd 0 69 41.57 93 56.02 20 12.05 98 59.04 58 34.94
1 sd 10000 20 12.05 36 21.69 15 9.04 33 19.88 35 21.08 10 001 sd 20000 2 1.20 3 1.81 0 - 6 3.61 8 4.82
> 20 001 1 0.60 7 4.22 4 2.41 7 4.22 12 7.23 TOTAL 166 100 166 100 166 100 166 100 166 100
Lampiran 10b. Nilai Kontribusi Kentang
Interval
Nilai Kontribusi Lahan TKerja Modal Sprodi Erosi
Jumlah Petani (orang)
Persen Jumlah Petani (orang)
Persen Jumlah Petani (orang)
Persen Jumlah Petani (orang)
Persen Jumlah Petani
(orang)\ Persen
< - 10000 116 57.14 39 19.21 187 92.12 149 73.40 66 32.51 - 10 001 - 0 63 31.03 55 27.09 4 1.97 37 18.23 19 9.36 1 - 10000 13 6.40 46 22.66 8 3.94 7 3.45 35 17.24 10 001 - 20000 7 3.45 29 14.29 3 1.48 4 1.97 29 14.29 > 20 001 4 1.97 34 16.75 1 0.49 6 2.96 54 26.60
TOTAL 203 100.00 203 100.00 203 100.00 203 100.00 203 100.00
top related