dialektika gerakan ekonomi islam (studi pada …
Post on 09-Nov-2021
7 Views
Preview:
TRANSCRIPT
DIALEKTIKA GERAKAN EKONOMI ISLAM
(Studi Pada Komunitas Bisnis Islami di Kota Malang)
JURNAL ILMIAH
Disusun oleh :
Azhar Syahida
145020500111011
JURUSAN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2018
LEMBAR PENGESAHAN PENULISAN ARTIKEL JURNAL
Artikel Jurnal dengan judul:
DIALEKTIKA GERAKAN EKONOMI ISLAM
(Studi Pada Komunitas Bisnis Islami di Kota Malang)
Yang disusun oleh:
Nama : Azhar Syahida
NIM : 145020500111011
Fakultas : Ekonomi dan Bisnis
Jurusan : S1 Ilmu Ekonomi
Bahwa artikel Jurnal tersebut dibuat sebagai persyaratan ujian skripsi yang dipertahankan di
depan Dewan Penguji pada tanggal 30 Mei 2018.
Malang, 30 Mei 2018
Dosen Pembimbing,
Arif Hoetoro, SE., MT., Ph.D
NIP. 19700920 199512 1 001
DIALEKTIKA GERAKAN EKONOMI ISLAM
(Studi Pada Komunitas Bisnis Islami di Kota Malang) Azhar Syahida
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya
Email: azharsyhd@gmail.com
ABSTRAK
Penelitian ini berfokus untuk mengelaborasi tujuan, fungsi, dan proses bisnis yang dijalankan oleh komunitas,
termasuk pula gagasan-gagasan bisnis yang dicanangkan oleh tiga komunitas, yaitu Komunitas Tanpa Riba (KTR),
Komunitas Pengusaha Muslim Indonesia (KPMI), dan Vigur Organik. Menggunakan paradigma kualitatif-interpretif,
penelitian ini menemukan beberapa poin orisinil. Pertama, dengan latar belakang sejarah yang beragam, komunitas
tengah berjuang mewujudkan ekonomi umat yang lebih maju dan dari ketiganya, hanya Vigur Organik yang mampu
membangun mentalitas wirausahawan. Kedua, komunitas sepakat bahwa “tauhid” adalah landasan utama kegiatan
ekonomi yang kemudian berkembang menjadi konsep “bisnis organik” dan “ekonomi kejujuran”, masing-masing
pada KTR dan Vigur Organik. Ketiga, keberhasilan bisnis dipengaruhi oleh etos kerja dan gejolak pasar, adapun
kepatuhan pada larangan riba, gharar, maisir, dan zalim hanya mendorong ketenangan batin semata. Dan terakhir,
keempat, hanya Vigur Organik yang diprediksi mampu mengejar target bisnis, sementara KTR dan KPMI belum,
sebab pergeseran paradigma dari gerakan bisnis ke gerakan sosial dan kinerja organisasi yang lemah.
Kata kunci: Bisnis Islami, KTR, KPMI, Vigur Organik
A. PENDAHULUAN
Harus diakui, kemunculan ekonomi Islam merupakan antitesis ekonomi mainstream yang menghegemoni ekonomi
dunia. Ekonomi Islam mengkritik ekonomi konvensional yang dianggap menafikan eksistensi manusia sebagai
makhluk ciptaan Tuhan. Dalam hal ini ekonomi Islam hadir sebagai bentuk pengakuan manusia atas keberadaan Tuhan
(Asy’arie, 2015:65). Ekonomi Islam mengakui pelaku ekonomi sebagai individu teomorfik yang tidak hanya
mementingkan kepentingan dunia namun berorientasi pada kehidupan ukhrawi (falah) [Naqvi, 2003:1; Hoetoro,
2017:189].
Hoetoro (2017:260) berkomentar dengan tegas bahwa kelahiran ekonomi Islam dipandang sebagai bentuk evaluasi
kritis terhadap ilmu ekonomi modern. Gagasan ekonomi konvensional yang mendikotomi keterlibatan agama dalam
perilaku ekonomi, membuat Shadr (2008:144) juga mengkritik keras tindakan tersebut, dengan menyebut doktrin
ekonomi Islam sama sekali berbeda dengan ekonomi kapitalis dan sosialis. Prawiranegara (2011:57) pun begitu,
merasa risau dan mengkritik aksi eksploitasi manusia ekonomi (homo economicus) ala Barat yang tidak punya batas
kemanusiaan.
Maksimasi utilitas dan pemenuhan kepentingan diri (self-interest) yang tidak didasari konsep spiritualitas,
membuat posisi ekonomi modern vis a vis dengan wacana ekonomi Islam. Konsep kosmik dalam area Tuhan yang
menjadi wadah kegiatan ekonomi dinafikan oleh pelaku ekonomi modern dengan mengabaikan kepentingan orang
banyak. Rasa altruistik menjadi hilang sebab ketiadaan agama dalam tindakan ekonomi (Asy’arie, 2015). Inilah
kemudian yang menjadikan ekonomi Islam bersifat dialektis dengan ekonomi modern, saling berbenturan dan terjalin
komunikasi yang resiprokal.
Dalam bentuknya yang paling pragmatis, ekonomi Islam menyembul sebagai gerakan ekonomi (economic
movement). Gerakan ini terdiri dari bisnis nonribawi dan keuangan Islam. Berbentuk keuangan Islam misalnya diawali
pada tahun 1940-an, Malaysia dan Pakistan merintis penerapan sistem profit dan loss-sharing atas pengelolaan dana
jamaah haji (Antonio, 2001:18). Sementara bisnis non-ribawi kerapkali muncul dalam bentuk komunitas pengusaha
Muslim.
Rahardjo (2004:XVI) menilai, didahuluinya gerakan ekonomi dalam wacana ekonomi Islam, lebih disebabkan
doktrin Tuhan yang paling menonjol dalam Quran dan sunnah adalah soal transaksi nonribawi. Hal ini kemudian
menginspirasi banyak pemikir Muslim untuk mengonseptualisasikan doktrin Tuhan tersebut menjadi sebuah gerakan
ekonomi.
Di Indonesia, wacana ekonomi Islam didahului oleh gerakan komunitas pengusaha sebagai implikasi atas
keresahan pada praktik ekonomi kolonial dan Cina yang melemahkan umat Islam. Fakta sejarah mencatat munculnya
beberapa komunitas atau perhimpunan pedagang Muslim yang menjadikan Islam sebagai basis ideologi, antara lain,
Sarekat Dagang Islam (SDI) bentukan Haji Samanhoeddhi (1905) yang kemudian bereinkarnasi menjadi Sarekat
Dagang Islam Indonesia (SDII) di tahun 2001, Perhimpunan Usahawan Muslimin Indonesia (HUSAMI) prakarsa
Sjafruddin Prawiranegara (1967), dan Nahdathul Tujjar, Kebangkitan Pedagang (1918) [Rahardjo, 2015:319;
Lombard, 2005:119].
Secara kasuistik, kemunculan SDI di Solo pada 16 Oktober 1905 “pada mulanya diarahkan untuk melawan para
pedagang Cina yang semakin banyak memperoleh posisi kunci dalam ekonomi Indonesia” (Djaelani, 2017:31). Noer
(1996:115-116) menambahkan unsur sikap para bangsawan pribumi yang menekan gerakan bisnis para pedagang
pribumi. Faktor lain yang juga cukup signifikan adalah persentuhan Haji Samanhoeddhi dengan tafsir progresif teks-
teks Islam sepulang dari ibadah haji pada tahun 1904 (Djaelani, 2017:30). Atas eviden ini, kemunculan SDI
menunjukkan nuansa ideologi Islam yang sangat kental dalam nafas ekonomi.
Sementara itu, HUSAMI yang dibentuk oleh Sjafruddin Prawiranegara tahun 1967 adalah wujud kebangkitan
kaum santri setelah runtuhnya rezim Soekarno (Lombard, 2005:119). Sjafruddin Prawiranegara (2011:283)
menyatakan bahwa berdirinya HUSAMI didasarkan atas dua pesan Tuhan dalam Quran, pertama, Q.S. Al-Hujurat
ayat 13: “Wahai Manusia! Sungguh, kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan,
kemudian kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal”, dan kedua, QS. Al-
Baqarah: 148: “…Maka berlomba-lombalah dalam kebaikan…”.
Lombard (2005:119), “Nusa Jawa: Silang Budaya”, menyebutkan bahwa tujuan dari HUSAMI adalah untuk
“mempelajari dan menerapkan asas-asas Islam di bidang ekonomi dan keuangan, serta meningkatkan keikutsertaan
golongan masyarakat Muslim pada usaha pembangunan yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia”. Di luar tujuan
itu, Prawiranegara (2011:288) menambahkan dengan menyebut tujuan yang lebih esensial dari HUSAMI, yaitu “untuk
mengajar dan melaksanakan kembali fair trade practices, kebiasaan-kebiasaan dagang baik dalam melakukan
kegiatan dan perjanjian-perjanjian dagang”. Adapun secara bisnis, HUSAMI memiliki beberapa usaha ekonomi
bersama anggotanya, salah satunya adalah perjalanan carteran Haji ke Mekkah (Lombard, 2005:120). Usaha carteran
penerbangan haji ke Mekkah dengan biaya yang murah ini kemudian hari mengalami kebangkrutan karena harus
berhadapan dengan kekuasaan yang mendukung monopoli (Rosidi, 1986:10). Sungguh disayangkan, karena carteran
perjalanan haji ke Mekkah dengan biaya murah adalah salah satu peran terbesar HUSAMI pada perekonomian
pribumi.
HUSAMI yang baru berdiri pada 1967, di luar carteran murah ibadah haji, juga berperan penting sebagai komunitas
penggerak kolektifitas kaum santri dalam mengkritik ekonomi kapitalis-liberal dan sosialis-komunis yang eksploitatif
(Rahardjo, 2011:151). Tindakan ini sekaligus mengutuk kebiasaan praktik riba yang berlipat ganda, sebagaimana
Sjafruddin Prawiranegara mendasarkan pada Q.S. Ali-Imran: 130: “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung” (Quran Terjemah,
2011:66).
Gerakan kedua komunitas di atas, kemudian hari disusul oleh semangat para cendikiawan Muslim Indonesia untuk
membahas ekonomi Islam sebagai sebuah Ilmu. Dalam hal ini adalah munculnya wacana integralisasi ilmu
pengetahuan umum dengan Islam (Kuntowijoyo, 2017:339). Wacana ini berikutnya mendorong berdirinya Bank
Muamalat Indonesia (BMI) pada tahun 1991 (Rahardjo, 2004:XIX). Pendirian BMI ternyata memicu semangat
kolektif umat Islam Indonesia, sehingga muncul berjibun praktik bisnis nonribawi dalam bentuk komunitas bisnis.
Maka kemudian tidak mengherankan bilamana belakangan ini banyak bermunculan reinkarnasi perkumpulan
pedagang Muslim dalam bentuk komunitas bisnis Islami, tentu saja, dengan tidak memungkiri keberadaan bisnis
Islami yang non-komunitas. Dalam konteks komunitas, tujuan komunitas bisnis Islami sedikit mengalami pergeseran.
Jika SDI dan HUSAMI bertujuan melawan praktik hegemoni ekonomi Cina dan pemerintah yang tidak memihak pada
umat Islam, maka sekarang, komunitas lebih sebagai wadah dan upaya serangan balik atas praktek bisnis ribawi,
termasuk membangun kesadaran beragama para pebisnis Muslim. Meskipun nuansa Islam sebagai ideologi masih
sangat kental, tetapi ketiadaan politik yang despotik agaknya menjadi pembeda utama antara gerakan komunitas bisnis
Islami yang sekarang dengan yang dahulu.
Nuansa internal komunitas juga mengalami perbedaan. Bilamana dahulu komunitas pedagang Muslim—SDI dan
HUSAMI—tidak menjadikan anti riba sebagai kampanye utama dan bertujuan untuk memajukan ekonomi pribumi.
Maka sekarang nuansa itu sudah lain, dalam mana cenderung memusatkan kemajuan internal umat Islam ketimbang
perekonomian Indonesia. Berbagai perbedaan ini tentu akibat dari perbedaan lingkungan sosial-politik yang memang
acapkali berpengaruh pada perilaku dan aktivitas agen ekonomi.
Beberapa komunitas bisnis yang menyebut dirinya kelompok bisnis Islami dan cukup menarik untuk diamati
adalah: Komunitas Pengusaha Muslim Indonesia (KPMI), Vigur Organik, dan Komunitas Tanpa Riba (KTR).
Ketiganya punya semangat yang sama, yaitu membangun bisnis yang sesuai dengan ajaran Islam. Ketiganya berlokasi
di Kota Malang, dua di antaranya komunitas asli Kota Malang; Vigur Organik dan KTR. Sementara KPMI merupakan
percabangan dari Komunitas Pengusaha Muslim Indonesia di tingkat nasional.
Adapun pemilihan Kota Malang sebagaimana lokasi keberadaan ketiga komunitas dimaksudkan untuk
menspesifikkan penelitian agar terfokus pada satu kelompok studi kasus tertentu. Di Kota Malang yang kebetulan
tumbuh subur komunitas bisnis Islami, mewartakan potensi penggalian infomasi secara mendalam dengan konstruksi
akademis yang baik agar menjadi informasi ilmiah yang dapat dipertimbangkan.
Ketiga komunitas dimungkinkan memiliki konsep dan genre strategi bisnis yang unik. Kampanye utamanya yang
anti riba dan anti perbankan, mewartakan distingsi bisnis komunitas. Termasuk, atensi beberapa anggota yang tinggi
dalam berbisnis, rasa berbagi, sikap kepedulian; tolong menolong, dan pengaturan tata kelola bisnis yang menuju aras
profesional, menjadi modal kuat komunitas untuk menyeimbangi ombak besar ekonomi konvensional.
Untuk itu, kiranya sangat menarik untuk melihat, menggali makna, dan menakar ketangguhan gagasan ketiga
komunitas dalam menyeimbangi ekonomi konvensional yang dianggap ribawi, termasuk menelusuri upayanya dalam
mendorong kemakmuran dan kesejahteraan umat Islam. Di luar daripada itu, penelitian pada gerakan wirausaha
komunitas ini akan menjadi salah satu peluang untuk menunjukkan ekonomi Islam sebagai kajian yang positif; nilai-
nilai Islam akan ditunjukkan sebagai unsur instrumental yang melekat dan membudaya dalam bisnis masyarakat.
Oleh karena itu, penelitian ini difokuskan untuk menjawab tiga rumusan penelitian berikut: (1) Bagaimana tujuan
dan fungsi komunitas bisnis Islami? (2) Bagaimana proses bisnis Islami yang dijalankan oleh komunitas?
B. PARADIGMA TRANSFORMATIF EKONOMI ISLAM
Ekonomi Islam: Sebuah Upaya Konter Hegemoni Ekonomi Modern Rahardjo (1989:15), kemunculan ekonomi Islam di kancah internasional dimulai sejak bergulirnya konferensi
internasional tentang ekonomi Islam di Mekkah pada tahun 1976. Meski baru muncul pada tahun itu, bukan berarti
pembahasan ekonomi Islam belum menyembul pada tahun-tahun sebelumnya. Karena sejatinya sejak tahun 1950-an
sudah muncul beberapa karya intelektual Muslim yang mengarah pada pembahasan ekonomi Islam. Rahardjo
(1989:16) misalnya menyebut karya Dr. Kaharudin Yunus, “Sistem Ekonomi Kemakmuran Bersama (Bersamaisme)”.
Karya ini terbit pada 1956, yang membahas tentang Ekonomi Islam yang lekat dengan koperasi (Rahardjo, 1989:16).
Sekitar empat tahun sebelumnya, muncul karya Mr. Sjafruddin Prawiranegara, “Motif dan Prinsip Ekonomi Diukur
Menurut Hukum-Hukum Islam”. Menurut Rahardjo (2010:149), karya Sjafruddin Prawiranegara yang satu ini pertama
kali terbit di Suara Partai Masyumi pada tahun 1951. Pada karya ini, Sjafruddin Prawiranegara, sangat resah melihat
perilaku ekonomi Umat Islam tidak mencerminkan ekonomi yang berlandaskan agama (Prawiranegara, 2011:56-70).
Prawiranegara (2011:62) berkomentar, Muslim harusnya mendasarkan motif ekonomi pada ketakwaan pada Allah.
Dalam hal ini, dua karya di atas menjadi pembuka pembahasan ekonomi Islam. Baru kemudian muncul karya lain
dari cendikiawan Muslim Internasional. Dari kalangan Sunni muncul Abdul Mannan dan dari kalangan Syiah muncul
Muhammad Baqr Ash Shadr. Kemunculan dua tokoh ini selanjutnya disusul cendikiawan Muslim lainnya seperti
Umer Capra, Khurshid Ahmad, Syaed Nawab Haedar Naqvi, dan Nejjatullah Siddiqi, AM. Saefuddin, Dawam
Rahardjo, dan Muhammad Syafii Antonio.
Keseluruhan pemikir ekonomi Islam tersebut memiliki visi sama, yaitu menggagas ekonomi yang sesuai dengan
risalah Islam. Meskipun dalam praktiknya tafsir ekonomi Islam sangat beragam, tetapi poros tekan kesemuanya
mengkritik ekonomi global yang jauh dari nilai-nilai etika kemanusiaan. Shadr (2008) misalnya, sangat keras
mengkritik kapitalisme dan sosialisme yang dianggapnya mensubordinasi negara-negara dunia ketiga—yang
kebanyakan negara Muslim. Shadr (2008) juga tegas menyebutkan bahwa ekonomi Islam berbeda dengan ekonomi
Barat sebab keterlibatan wahyu Tuhan yang sangat kental dalam ekonomi Islam. Tidak juah beda, Naqvi (2003:37-
46) menyebut ekonomi Islam jelas berbeda dengan ekonomi konvensional. Titik tekan kritiknya pada aspek etika
(Naqvi, 2003). Menariknya, Ia merumuskan aksioma yang bisa dikembangkan menjadi nilai-nilai instrumental.
Setidaknya ada empat aksioma diusulkan, meliputi: kesatuan, keseimbangan/kesejajaran, kehendak bebas, dan
tanggung jawab (Naqvi, 2003:37).
Lebih lanjut, Naqvi (2003:35) menandaskan fungsi keempat aksioma tersebut adalah membentuk etika Islam yang
secara substantif berisi “kebebasan manusia untuk bertindak dan bertanggung jawab karena kepercayaannya terhadap
kemahakuasaan Tuhan”. Aras ini Naqvi (2003:35) memberi tekanan bahwa manusia adalah wakil Tuhan
(khalifahtullah) di bumi (Al-An’am: 165). Allah memberikan kebebasan kepada manusia untuk menjadi makhluk
kreatif di muka bumi. Dan karenanya, justru manusia dituntut sikap tanggungjawab, tanggung jawab atas pilihan-
pilihan yang diambilnya (Naqvi, 2003:35).
Sedikit berbeda dengan Naqvi, Rahardjo (2015:157-184) mengelaborasi berbagai kumpulan moral yang disusun
menjadi bangunan ekonomi Islam. Dalam mana Rahardjo (2015:175) mengamini pernyataan pendapat ahli ekonomi
Islam dari Turki, Mehmed Austy, yang menyebut ekonomi Islam sejatinya tidak identik dengan ekonomi syariah
dalam arti sempit, yaitu ilmu hukum dan keuangan, melainkan lebih jauh sebagai ekonomi moral dan ekonomi sosial.
Maka kemudian, Rahardjo (2015:173) berujar sebagai berikut:
“Sebagai ekonomi sosial, ekonomi Islam mirip dengan ekonomi pasar sosial (social market economy) yang
dianut Jerman. Namun, sebenarnya perbedaan antara keduanya. Jika sistem ekonomi pasar sosial
memposisikan hukum untuk melindungi pasar, dalam Islam pasar didasarkan pada nilai-nilai moral
sehingga berdaya (self-regulating) ke arah keseimbangan. Selain itu hukum juga berfungsi melindungi
moral. Dengan demikian, sistem ekonomi Islam dapat dirumuskan sebagai sistem ekonomi pasar moral
(moral market economy) atau sistem ekonomi moral sosial.”
Melalui pemaknaan ekonomi Islam sebagai ekonomi moral, sebagaimana juga dijelaskan oleh Syed Nawab Haedar
Naqvi, ekonomi Islam akan berimplikasi pada pesan ‘memotivasi’ daripada ‘pengaturan’, sebagaimana bila ekonomi
Islam dimaknai sebagai ekonomi hukum (legal economics) [Rahardjo, 1990:119]. Secara terperinci, Rahardjo
(2015:175) menyebutkan nilai-nilai yang terkandung dalam ekonomi moral sosial dan ekonomi moral pasar. Lihat
tabel 2.2
Tabel 1. Tabulasi Nilai-Nilai Aliran Moral Sosial dan Aliran Moral Pasar
Aliran Moral Sosial Aliran Moral Pasar
Keadilan dan kebaikan (al-‘adl wa al-ihsan)
Kerjasama (al-ta’awun)
Persaudaraan dan solidaritas (al-ukhuwah)
Musyawarah (al-syura)
Saling percaya (al-amanah)
Saling menghargai (al-ta’aruf)
Pertengahan (al-wasath)
Keseimbangan (al-mizan)
Kedaulatan manusia (al-khilafah)
Kedaulatan manusia (al-khilafah)
Saling percaya (al-amanah)
Saling menghargai (al-ta’aruf)
Musyawarah (al-syura)
Persaudaraan dan solidaritas (al-ukhuwah)
Kerjasama (al-ta’awun)
Keseimbangan (al-mizan)
Pertengahan (al-wasath)
Keadilan dan kebaikan (al-‘adl wa al-ihsan)
Sumber: Rahardjo, 2015:175
Konsekuensi dari gagasan Rahardjo (2015:173) yang memaknai ekonomi Islam sebagai ekonomi moral pasar
sosial akan memberikan kecenderungan asas liberal atau kebebasan pasar pada ekonomi pasar moral dan
kencenderungan sosial pada ekonomi moral sosial. Asas kebebasan tercermin dari fungsi manusia sebagai Khalifah,
sementara asas sosial menitikberatkan pada nilai keadilan (al-‘adl) dan kebaikan (al-ihsan) [Rahardjo, 2015:175].
Meski begitu, secara keseluruhan ia tetap berpegang pada perspektif ekonomi moral dalam menjelaskan ekonomi
Islam.
Melalui konstruksi ini, Rahardjo (2015:168-172) selain ingin menunjukkan perbedaan ekonomi Islam yang
mengakomodasi wahyu ilahi sebagai sumber primer, juga ingin menunjukkan kata “Islam” dalam konteks ekonomi
Islam, bisa dimaknai dalam aras yang generik. Ia mendefinisikan islam sebagai “kesejahteraan”, berbeda dengan
Nurcholish Majid, yang ia kutip, Islam dimaknai sebagai “kedamaian” atau “perdamaian”. Lewat konstruksi bangunan
ini, ia berusaha membangun transformasi nilai moral fundamental menjadi nilai instrumental yang diharapkan mampu
membudaya dalam ekonomi masyarakat.
Sementara itu, Asy’arie (2015) memandang ekonomi Islam dari sudut kacamata filsafat Islam, sehingga ekonomi
Islam memiliki trilogi yang menunjukkan perbedaannya yang sangat jelas dengan ekonomi konvensional (Asy’arie,
2015:61-79). Trilogi ini adalah teologi ekonomi Islam, kosmologi ekonomi Islam, dan antropologi ekonomi Islam.
Teologi ekonomi Islam, pada dasarnya berbicara tentang nilai-nilai ketuhanan yang merasuk ke dalam kegiatan
ekonomi seorang Muslim (Asy’arie, 2015:65). Seorang Muslim yang mengakui bahwa dirinya adalah makhluk ciptaan
Tuhan, dengan sendirinya akan meyakini bahwa Tuhan adalah sang penjamin kehidupan (QS. 2:60).
Tinggi rendahnya rezeki juga menjadi keyakinan bahwa Tuhan yang mengaturnya (Q.S. 16:71). Asy’arie
(2015:69) menandaskan tinggi rendahnya rezeki ditentukan oleh kualitas seorang individu dan seberapa besar
perbuatan baik yang diperbuat. Dalam hal ini ekonomi Islam sangat menganjurkan perbuatan baik yang berkelanjutan.
Kedua, kosmologi ekonomi Islam, Asy’ari (2015:73) menjelaskan pada aspek ini ekonomi Islam diarahkan menjaga
alam semesta. Artinya, menjauhi eksploitasi sumberdaya alam.
Selain itu, kosmologi ekonomi Islam ingin menunjukkan peran negara sebagai sarana menuju kesejahteraan
bersama (Asy’arie, 2015:74). Termasuk, yang jauh lebih esensial, kosmologi ekonomi Islam ingin menyatakan bahwa
ekonomi hidup dalam area Tuhan, seluruh alam diciptakan oleh Tuhan dan ekonomi tidak mampu bekerja diluar
ekistensi kosmik, menunjukkan entitas ekonomi haruslah bertuhan (Asy’arie, 2015). Ketiga, antropologi ekonomi,
bermakna manusia tidak dapat hidup dalam lingkungan individualistik. Asy’arie (2015:107) menyatakan, “dalam
antropologi, ekonomi Islam melihat kegiatan ekonomi sebagai bagian dari kebudayaan yang menyangkut lapangan
kehidupan yang amat luas, sifatnya dinamis dan beraneka ragam bentuk dan kegiatannya”. Selain itu, terdapat pula
apa yang disebut sebagai monodualisme dan monopluralisme (Asy’arie, 2015:106).
Monodualisme meniscayakan manusia memiliki unsur jasmani dan rohani, jasmani bagian dari kosmos sedangkan
rohani bagian dari teos. Teos menunjukkan unsur ketuhanan sangat melekat dalam kegiatan ekonomi Islam (Asy’arie,
2015:107). Sementara monopluralisme meniscayakan tentang multidimensionalitas dalam kegiatan ekonomi.
Ekonomi tidak hanya menyangkut soal keuangan dan perdagangan, melainkan bagian dari kebudayaan manusia yang
begitu kompleks dan membutuhkan metode yang beragam.
Sampai aras ini, predikat ekonomi Islam sebagai konter atas ekonomi konvensional agaknya sudah mulai kentara,
terutama tentang sumber dalam merumuskan konstruksi bangunan ilmunya, yang dalam keterangan Hoetoro
(2017:260) tidak hanya dari realitas empiris (realitas eksternal) melainkan juga dari konsep-konsep normatif (syariat)
yang ada pada wahyu Tuhan. Konsep tentang hakikat manusia itu sendiri juga menunjukkan perbedaan. Bila Naqvi
(2003:) menyebutkan manusia secara individu dalam ekonomi Islam adalah makhluk teomorfik, maka Hoetoro
(2017:187) menyebutnya dalam tiga tingkatan nafs, dalam mana menjadi bagian dari rumusan homo Islamicus yang
sangat relevan digunakan untuk menunjukkan perbedaan ekonomi Islam.
Hoetoro (2017:186) menjelaskan bahwa konsep manusia yang hanya berhenti pada dimensi material, membuat
banyak ekonom Muslim tidak puas dengan konsep homo economicus. Konsep yang meniadakan aspek non-material
dan ketuhanan, agaknya memang mempersempit konsep manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Dalam hal ini
konsep homo islamicus mengacu pada perilaku manusia ekonomi yang dibimbing oleh ketentuan syariat Islam
(Hoetoro, 2017:186). Homo islamicus mendekonstruksi sekaligus merekonstruksi konsep self-interest yang digagas
oleh Adam Smith. Konsep self-interest yang tidak berbatas, menjadikan manusia tidak terkontrol dan eksploitatif
dalam memenuhi nafsu ekonomi. Islam meredam itu melalui tiga konsep tingkatan diri (nafs). Hoetoro (2017:187)
menyebutnya tiga tingkatan self-interest islamicus. Dari yang tertinggi tingkatanya, yaitu: (1) al-nafs al muthmainnah;
(2) al-nafs al-lawamah; (3) al-nafs al-ammarah.
Al-nafs al-ammarah menjadi tingkatan yang terendah, Hoetoro (2017:188) menunjukkan tingkatan itu tercermin
pada kisah Yusuf dan istri pembesar Mesir: (QS. 12: 53). Dalam konteks ekonomi, Hoetoro (2017:188) menyebut,
“al-nafs al-ammarah sebagai motif ekonomi yang condong kepada pemerolehan kesenangan dan pemuasan nilai guna
(utility) yang bersifat kebendaan”. Lebih lanjut, ia menyebut aras ini seorang manusia baru sampai pada kesadaran
semu (Hoetoro, 2017:188). Kedua, tingkatan al-nafs al-lawwamah, Hoetoro (2017:188) merujuk pada pernyataan
wahyu Tuhan (Q.S. 75:2). Asad (2017:1173) menjelaskan yang dimaksud “al-nafs al-lawwamah” sebagai
“pengetahuan bawah sadar manusia akan kelemahan dan kekurangannya sendiri”. Dalam penjelasan Hoetoro
(2017:188), tingkatan al-nafs al-lawwamah menjadi tingkatan tertinggi yang bisa digapai oleh konsep self-interest
ekonomi modern karena dominasi kesadaran material (Hoetoro, 2017:188-189).
Ketiga, al-nafs al-Muthmainnah, (QS.89: 27-28). Hoetoro (2017:189), manusia yang mencapai al-nafs al-
muthmainnah telah mencapai kesadaran tauhid yang menunjukkan kesempurnaan diri. Das sollen dan das sein tidak
lagi terjadi terdikotomi, melainkan menyatu sehingga tindakan ekonomi tidak dimaknai sebagai aktivitas pemuas
duniawi, tetapi diarahkan pada pencapaian falah (Hoetoro, 2017:189). Lebih lanjut, Hoetoro (2017:189) juga
menyebut logika-logika ekonomi modern tidak lagi mendominasi upaya maksimasi keuntungan dan maksimasi
utilitas, tetapi bersanding dengan cara kerja syariat.
Perbedaan konsep diri (self) dalam ekonomi Islam, menunjukkan pergumulan ekonomi Islam dalam kancah
ekonomi global berada pada posisi vis a vis. Rentetan sejarah ekonomi global yang dimulai dari Merkantilis (kapitalis
merkantilis), fisiokrat, klasik, neo-klasik, Keynisian, Neo-Keynisian, hingga sampai pada institusionalis tidak ada
yang menunjukkan perbedaan. Logika dasar yang dipakai tetap sama; dikotomi antara agama dan ekonomi. Inilah
mengapa kemudian ekonomi Islam dipahami berada pada posisi vis a vis dengan ekonomi modern.
Orientasi Fikih Muamalah Pada Ekonomi Islam
Ekonomi Islam yang begitu kompleks, belakangan ini banyak dimaknai secara simplistik sebagai keuangan Islam
atau fikih muamalah. Menurut Hoetoro (2017:266), hal ini terjadi karena analisis teori-teori ekonomi Islam cenderung
bersifat fiqhiyah ketimbang ekonomi. Sementara Rahardjo (2004) menyebut hal itu lebih karena perintah Tuhan dalam
Quran terkait ekonomi Islam banyak mengarah pada transaksi non-ribawi.
Ketergesaan pemahaman ekonomi Islam sebagai fikih muamalah agaknya akan berimplikasi pada perkembangan
ekonomi Islam secara ilmu. Munculnya berbagai kajian fikih ekonomi Islam dan justifikasi oleh beberapa ahli fikih,
menunjukkan simplifikasi atas pemaknaan ekonomi Islam. Walau begitu, Hoetoro (2017) tetap menyebut kajian fikih
muamalah masih dibutuhkan sebagai kajian perumusan bangunan teori ekonomi Islam. Prawiranegara (2011)
menguatkan, bahwa untuk membangun struktur ekonomi Islam yang mapan, dibutuhkan tiga ahli sekaligus;
pengusaha, ekonom, dan ahli fikih.
Orientasi Bisnis Ala Rasulullah صلى الله عليه وسلم
Selain dimaknai sebagai gerakan fikih mualamah (legal economics), ekonomi Islam sering kali dimaknai sebagai
konsep ekonomi ala Rasulullah Muhammad صلى الله عليه وسلم. Antonio (2015:138) menyebut, setidaknya ada beberapa ciri-ciri bisnis
ala Rasulullah: pertama, uang bukan segala-galanya, modal kepercayaan (trust) adalah yang utama; kedua, jujur dan
dapat dipercaya; ketiga, memiliki wawasan luas tentang seluk beluk perekonomian dan perdagangan; keempat,
memiliki kemampuan teknis bisnis. Dan kelima, tidak riba, tidak gharar, dan tidak maisir. Sepanjang ± 25 tahun,
Rasulullah صلى الله عليه وسلم menerapkan dan mengelaborasi prinsip-prinsip bisnisnya (Antonio, 2015:111), yang kemudian hari
banyak kalangan meyakini sebagai konsep ekonomi Islam.
Ketiadaan bisnis instan adalah penjelasan yang paling komprehensif atas konsep bisnis Ala Rasulullah صلى الله عليه وسلم (Antonio,
2015:115-128). Lebih lanjut, Antonio (2015:115-128) menjelaskan konsep bisnis nabi memiliki fase jejak
perdagangan. Fase pertama, disebut sebagai fase intership; magang usaha dan dagang (Antonio, 2015:115). Fase
kedua, Rasulullah sebagai business manager. Fase Ketiga, Rasulullah صلى الله عليه وسلم menjadi investment manager. Investment
manager adalah kala pemilik modal Mekkah mempercayakan pengelolaan perdagangan atau bisnis mereka kepada
Rasulullah صلى الله عليه وسلم (Antonio, 2015:124). Dan terakhir, fase keempat, Rasulullah صلى الله عليه وسلم menjadi business owner, yaitu ketika
Rasulullah صلى الله عليه وسلم menjadi istri Khadijah dan mengelola bisnisnya (Antonio, 2015:124).
Empat fase utama yang dilalui tersebut menunjukkan suatu bisnis tidak bisa dilakukan secara instan, melainkan
pelan-pelan (gradually) dengan etos kerja tinggi. Di samping itu juga konsep pertama yang dijalankan oleh Rasulullah
dalam membangun bisnis, yaitu bermula dari membangun kepercayaan (trust). Namun demikian, pemaknaan صلى الله عليه وسلم
ekonomi Islam yang ‘hanya’ didekatkan pada konsep bisnis ala Rasulullah صلى الله عليه وسلم juga mengalami simplifikasi yang terlalu
dini.
Komunitas dan Gerakan Collective Action: Jalan Menggempur Hegemoni Bisnis Ribawi Menurut Oxford Dictionary (2018), komunitas (community) bermakna “A group of people living in the same place
or having a particular characteristic in common”. Definisi ini menyiratkan bahwa komunitas/kelompok mensyaratkan
kepemilikan kesamaan ciri khas bagi anggota-anggotanya. Sementara itu, Arthur Bentley, menyebut tidak ada grup
atau kelompok yang tanpa kepentingan (Olson, 2002:8). Raymond Cattel, seorang ahli psikologi sosial juga menyebut,
“setiap grup memiliki kepentingan” (every group has its interest) [Olson, 2002]. Harold Laski tidak kalah ketinggalan,
ia menekankan, “organisasi ada untuk meraih tujuan atau kepentingan dalam mana sekelompok orang punya
kesamaan” (Olson, 2002:7). Menurut Olson (2002:7), ini persis dengan yang pernah disampaikan oleh Aristoteles:
“asosiasi politik diciptakan dan dipertahankan karena kepentingan umum yang mereka bawa”. Prinsipnya, setiap
kelompok pasti memiliki kepentingan (Olson, 2002:8).
Sementara itu, dalam kajian psikologi sosial, Cattel (1951) mengartikan kelompok sebagai “kumpulan organisme
yang bereksistensi dalam keseluruhan konstelasi (mereka saling menerima relationship) yang berguna untuk
pemenuhan kebutuhan masing-masing individu” (Yusuf, 1989:19). Bass (1960), memaknai kelompok sebagai
“kumpulan individu-individu yang bereksistensi sebagai kumpulan yang mendorong dan memberi ganjaran pada
masing-masing individu” (Yusuf, 1989:19).
Dua penjelasan itu, agaknya bersifat esensial-substantif, yang menunjukkan hakikat keberadaan komunitas. Lain
lagi, Reitz mendefinisikan kelompok melalui empat kriteria yang menjadi prasyarat suatu objek disebut sebagai
kelompok (Yusuf, 1989:17). Empat kriteria tersebut adalah: (1) suatu kelompok tediri dari dua orang atau lebih; (2)
yang berinteraksi satu sama lain; (3) yang saling membagi beberapa tujuan yang sama; (4) dan melihat dirinya sebagai
sebuah kelompok.
Soekanto (1986:6), juga mengungkapkan ciri esensial suatu kelompok, bahwa anggota-anggota kelompok
mempunyai sesuatu yang dianggap sebagai milik bersama. Anggota-anggota kelompok menyadari bahwa yang
dimiliki bersama itu, mengakibatkan adanya perbedaan dengan kelompok lain (Soekanto, 1986:6). Perbedaan antara
satu kelompok dengan kelompok yang lain, meniscayakan interaksi yang kuat dalam internal kelompok. Hal ini
menguatkan pendapat Olson (2002), bahwa kelompok niscaya membangun tujuan bersama (common interest).
Sebagai penjelasan lebih lanjut tentang kelompok, perlu melihat posisi kelompok di antara posisi individu dan
masyarakat. Merujuk pada penjelasan Yusuf (1989:22), kelompok (group) berkaitan erat dengan kelembagaan
(institutions) atau pranata, sementara masyarakat mengacu pada hukum, norma moral atau adat istiadat, dan individu
mengacu pada norma. Dalam pada ini, aspek kelembagaan menjadi pengikat anggota-anggota anggota kelompok,
tentu saja, kelembagaan ini dikonstruksi secara mandiri di bawah kesepakatan seluruh agen yang ada dalam kelompok.
Melalui keterangan itu, menunjukkan kelompok memiliki kesepakatan kelembagaan yang dibangun dengan sadar
dan sukarela. Demikian selanjutnya meniscayakan apa yang disebut Marvin e Shaw sebagai ‘daya ikat’ dan ‘daya
tarik’ (Yusuf, 1989:23). Daya ikat dan daya tarik inilah yang selanjutnya membuahkan pola interaksi dalam internal
kelompok. Yusuf (1989:23) memberikan gambaran pola interaksi dalam kelompok yang dimungkinkan terdapat
empat tipe interaksi, yaitu cooperation, competition, conflict, dan accommodation. Lebih lanjut, masing-masing tipe
interaksi itu selanjutnya membentuk tipe kelompok, yaitu kelompok kooperatif, kelompok kompetitif, kelompok
konflik, dan kelompok akomodasi. Yusuf (1989:24) menandaskan keempat tipe kelompok itu tidak ada yang
dikategorikan sebagai kelompok yang paling ideal atau sempurna, dalam artian, hanya menunjukkan pengkategorian
dalam konteks akademis.
Gerakan komunitas bisnis Islami yang mengindikasikan gerakan kolektif kelompok ataupun komunitas, pada
perspektif teoritis menunjukkan adanya keterlekatan yang sangat kuat. Damsar dan Indrayani (2009:139) menjelaskan
makna keterlekatan menurut Granovetter (1985) sebagai “tindakan ekonomi yang disituasikan pada konteks sosial
sekaligus melekat dalam jaringan sosial personal yang sedang berlangsung di antara para aktor”. Definisi ini,
menunjukkan keterlekatan memberikan pandangan baru bahwa ekonomi berjalan dalam konteks masyarakat komunal.
Damsar dan Indrayani (2009:139) menjelaskan bahwa konteks keterlekatan tidak hanya menyembul pada perilaku
atau tindakan si agen ekonomi, melainkan juga dalam konteks yang lebih luas, misalnya penetapan harga dan institusi-
institusi ekonomi yang kesemuanya terpendam dalam jaringan hubungan sosial. Dalam hal ini, konsep keterlekatan
adalah wahana untuk memahami perilaku ekonomi dari sudut pandang sosial (Damsar dan Indrayani, 2009:139).
Perilaku ekonomi yang beragam dari masing-masing konstruksi sosial, menyembulkan kadar keterlekatan yang
berbeda. Damsar dan Indrayani (2009:144) menjelaskan pandangan Granovetter yang menyatakan adanya konsep
keterlekatan kuat dan lemah. Konsep keterlekatan kuat dan lemah ini, tentu saja, secara implisit menjelaskan bahwa
setiap perilaku ekonomi memiliki konteks sosialnya, tidak mungkin berjalan tanpa bersentuhan dengan realitas sosial
(Damsar dan Indrayani, 2009:142).
Keterlekatan kuat (embedded) yang ditunjukkan oleh interaksi yang berjalan dengan timbal balik dan terjadi terus
menerus, menunjukkan suatu kelompok, dalam kajian sosiologi ekonomi, mengandung tujuan bersama (common
interest) berupa collective action. Yustika (2012:86) menyebut, collective action berfungsi untuk menyelesaikan
persoalan ekonomi berupa penunggang bebas (free rider). Namun, dalam situasi lain, collective action dijalankan
sebagai wahana untuk mengantisipasi perubahan sosial semacam revolusi (Opp, 1989 dalam Yustika, 2012:88).
Modal Sosial sebagai “Modal” Perekat Gerakan Komunitas Para teoritisi ilmu ekonomi dan ilmu sosiologi sepakat pencetus awal teori modal sosial adalah Bourdie dan James
Coleman yang kemudian disempurnakan oleh Putnam (Richards dan Reed, 2013:5). Melalui publikasi Bourdieu yang
ditulis dalam bahasa Prancis, bertajuk “Le Capital Social: Notes Provisoires” Yustika (2012:138) meyakinkan
Bourdie-lah tokoh pertama yang memberikan dasar pembahasan tentang modal sosial. Baru kemudian Coleman
(1988) memperjelas pembahasan itu melalui sebuah artikel berbahasa inggris, “Social Capital in the Creation of
Human Capital”. Terlepas daripada itu, pembahasan modal sosial yang dimasukkan dalam pergumulan ilmu ekonomi,
menunjukkan satu eviden tentang atensi ilmuwan ekonomi yang lebih terbuka sekaligus menunjukkan pergeseran
paradigma ilmu ekonomi.
Secara teoritis, modal sosial (social capital) memiliki banyak definisi. Damsar dan Indrayani (2009:209)
menyebutkan makna modal sosial menurut Bourdieu sebagai:
“Sumberdaya aktual dan potensial yang dimiliki oleh seseorang berasal dari jaringan sosial yang terlembaga
serta berlangsung terus-menerus dalam bentuk pengakuan dan perkenalan timbal balik (dengan kata lain,
keanggotaan dalam kelompok sosial) yang memberikan kepada anggotanya berbagai bentuk dukungan
kolektif”.
Dalam diksi yang berbeda, Yustika (2012:139) menjelaskan makna modal sosial menurut Bourdieu: “agregat
sumberdaya aktual ataupun potensial yang diikat untuk mewujudkan jaringan yang awet (durable) sehingga
menginstitusionalisasikan hubungan persahabatan (acquaintance) yang saling menguntungkan”. Lebih lanjut, melalui
pemaknaan tersebut, Yustika (2012:139) meyakini modal sosial bukan sesuatu yang alami, melainkan sesuatu yang
dikonstruksi melalui hubungan kelompok sebagai sumber utama dalam meraih keuntungan. Sementara itu, Richards
dan Reed (2013:5) menyebut definisi modal sosial menurut Bourdieu sebagai konsep nilai (as a concept of value).
Kemudian tokoh kedua yang juga peletak dasar teori modal sosial, seorang sosiolog Amerika, James Coleman,
mendefinisikan modal sosial dari arah fungsinya, yang berarti bahwa modal sosial bukanlah entitas tunggal, melainkan
entitas majemuk yang mengandung dua instrumen, yaitu: (1) mencakup beberapa aspek dalam struktur sosial; dan (2)
modal sosial memfasilitasi tindakan tertentu dari pelaku (Yustika, 2012:139). Dalam konteks ini, modal sosial laiknya
konsep modal lainnya, bersifat produktif dan jika tidak eksis maka tidak akan mampu untuk produktif (Yustika,
2012:139). Sementara itu, Damsar dan Indrayani (2009:209-210) memberikan batasan modal sosial menurut
keterangan Coleman sebagai “aspek dari struktur sosial serta memfasilitasi tindakan individu dalam struktur sosial”.
Seorang ahli ilmu politik, Robert Putnam, mendefinisikan modal sosial, sebagai “jaringan-jaringan, nilai-nilai, dan
kepercayaan yang timbul di antara para anggota perkumpulan, yang memfasilitasi koordinasi dan kerjasama untuk
manfaat bersama” (Damsar dan Indrayani, 2009:210). Dalam bahasa yang lebih mudah dipahami, Yustika (2012:140)
mendefinisikan modal sosial menurut Robert Putnam sebagai “gambaran organisasi sosial seperti jaringan, norma,
dan kepercayaan sosial yang memfasilitasi koordinasi dan kerjasama yang saling menguntungkan”. Wallis dan
Killerby (2004:241), mendefinisikan modal sosial menurut Putman sebagai “fitur organisasi sosial yang terdiri dari
kepercayaan, norma, dan jaringan yang mampu meningkatkan efisiensi masyarakat dengan memfasilitasi tindakan
yang terkoordinasi”. Berdasarkan definisi itu, Intisari modal sosial menurut Robert Putnam adalah sebuah norma dan
jejaring kerjasama sosial (as norms and networks of social cooperation) [Richards dan Reed, 2013:5].
Ada juga sosiolog Indonesia yang serius melahap pembahasan modal sosial, Robert M.Z. Lawang, yang menurut
keterangan Damsar dan Indrayani (2009:210) mendefinisikan modal sosial berupa kekuatan sosial yang
dikonstruksikan individu atau kelompok yang mengacu pada konstruksi sosial, dalam mana, diyakini mampu
mencapai tujuan individu/kelompok secara efektif dan efisien. Sementara itu, muncul juga definisi modal sosial
sebagai “investasi” dalam konteks sosial. Definisi ini muncul dari pemikiran Nan Lin, Profesor Sosiologi dari Duke
University, sebagaimana penjelasan Damsar dan Indrayani (2009:210).
Melalui berbagai definisi modal sosial yang bertebaran di berbagai literatur tersebut, Damsar (2009:211) secara
mandiri mendefinisikan modal sosial sebagai “investasi sosial, yang meliputi sumber daya sosial seperti jaringan,
kepercayaan, nilai dan norma sosial serta kekuatan menggerakkan, dalam struktur hubungan sosial untuk mencapai
tujuan individual dan/atau kelompok secara efisien dan efektif dengan kapital lainnya”. Definisi ini menyiratkan
bahwa modal sosial, menurut Damsar, diartikan sebagai sebuah “sarana” dan “daya” untuk mencapai tujuan yang
“efektif dan efisien”.
Yustika (2012:140) lain, ia tidak kemudian mencoba mendefinisikan modal sosial, tetapi justru memberikan kata
kunci penjelasan atas tiga tokoh utama teori modal sosial; Bourdieu, Coleman, dan Putnam. Yustika (2012:140)
mengomentari definisi modal sosial menurut Bourdieu yang lebih fokus sebagai sarana penghasil sumber daya
ekonomi, Coleman yang lebih fokus sebagai struktur hubungan sosial, dan Putnam yang lebih menekankan pada
hubungan kerja sama. Kesemua penjelasan yang sudah disebutkan, rupanya menunjukkan bahwa modal sosial
merujuk pada suatu hal yang tidak mungkin muncul dalam ruang tanpa interaksi, ia akan muncul dalam petak realitas
sosial yang meniscayakan keberadaan aktor yang lebih dari satu.
Lantas kemudian, muncul pertanyaan tentang bentuk daripada modal sosial: “Manakah yang disebut modal
sosial?” Coleman (1998) dalam Yustika (2012:141) menyebut, modal sosial memiliki setidaknya tiga bentuk, yaitu:
pertama, struktur kewajiban (obligations), ekspektasi (expectations), kepercayaan (trustworthiness); kedua, jaringan
informasi (information channels); dan ketiga, norma dan sanksi yang efektif (norms and effective sanctions).
Sementara Pratikno, et.al (2001) yang disitir oleh Damsar dan Indrayani (2009:211), menyebutkan modal sosial terdiri
dari simpati, rasa berkewajiban, rasa percaya, resiprositas dan pengakuan timbal balik.
Sungguhpun begitu, Alejandro Portes, seorang sosiolog kenamaan Amerika, menyebut bentuk-bentuk modal sosial
yang sudah disebutkan di atas bukanlah modal sosial. Menurutnya, sebagaimana ditegaskan oleh Damsar dan
Indrayani (2009:2011), “modal sosial merujuk pada suatu kemampuan individu untuk memobilisasi sumber-sumber
langka terhadap permintaan”. Dalam hal ini, Damsar dan Indrayani (2009:211) dengan sangat jelas menunjukkan
ketegasan Portes yang menyebut bentuk-bentuk modal sosial yang sudah disebutkan sebelumnya bukanlah modal
sosial, melainkan “sumber” modal sosial.
Damsar dan Indrayani (2009:212) menyebut, Portes mengajukan sedikitnya empat sumber modal sosial, yaitu
nilai, solidaritas, resiprositas, dan kepercayaan. Sementara itu, Damsar dan Indrayani (2009:214) secara mandiri
menyebutkan sumber modal sosial terdiri dari jaringan, kepercayaan, nilai, dan norma. Secara spesifik, Damsar dan
Indrayani (2009:215) menunjukkan sumber modal sosial yang paling relevan untuk dibahas dalam konteks sosiologi
ekonomi hanyalah tiga, yaitu kepercayaan, resiprositas, dan tanggungjawab.
Pada aras ini, Damsar dan Indrayani (2009:212) rupanya mengambil posisi yang lebih luas, dengan
menggabungkan antara definisi Coleman dan Pratikno dkk., dengan menyebut modal sosial sebagai investasi (sarana)
dan kekuatan menggerakkan (daya). Itulah kontroversi pendefinisian modal sosial, yang dalam perspektif intelektual,
justru memperkaya khazanah keilmuan. Dalam pada ini, posisi peneliti mengambil perspektif yang digunakan oleh
Damsar dan Indrayani (2009) dalam memahami konsep modal sosial. Demikian dilakukan untuk melihat berbagai
temuan di lapangan yang pastinya belum bisa diprediksi dan sangat heterogen.
Lantas, muncul pula pertanyaan tentang bagaimana modal sosial mampu mendorong pembangunan ekonomi.
Tentu sebelum melangkah jauh pada pembahasan modal sosial dan pembangunan ekonomi, agaknya harus dijelaskan
konsep pertukaran ekonomi dan pertukaran sosial. Kedua konsep ini akan menjadi jembatan konstruksi berfikir
hubungan modal sosial dan pembangunan ekonomi. Yustika (2012:153) menjelaskan konsep pertukaran ekonomi dan
pertukaran sosial dari apa yang dinyatakan oleh Lin (2001-154-155). Konsep pertukaran ekonomi atau rasionalitas
transaksional, menurut Lin seperti diutarakan Yustika (2012:153) bertujuan untuk mendapatkan modal ekonomi
(sumber daya melalui transaksi) yang dimediasi oleh harga dan uang. Lebih jauh, Yustika (2012:153) menjelaskan
kegunaan dari pertukaran ini semata-mata untuk memperoleh keuntungan transaksional, sementara “pilihan rasional
didasarkan pada analisis hubungan-hubungan alternatif yang memproduksi beragam keuntungan dan biaya transaksi”.
Bila hubungan dengan agen diprediksi memperoleh keuntungan, maka transaksi akan dilanjutkan, apabila tidak, maka
akan mencari beberapa alternatif lainnya (Yustika, 2012:153). Kesimpulannya, rasionalitas transaksional
mengindikasikan ekspektasi profitabilitas.
Kedua, rasionalitas relasional atau pertukaran sosial. Pada pokoknya, rasionalitas relasional menunjukkan unsur
yang kuat tentang konsep pengakuan (recognition). Sebagaimana Yustika (2012:153) menandaskan, motivasi utama
rasionalitas relasional adalah untuk memperoleh reputasi dari pengakuan kelompok atau jaringan. Persis seperti
pertukaran ekonomi, pertukaran sosial juga akan dilanjutkan bila menawarkan aspek pengakuan yang kuat, bila aspek
perluasan pengakuan lemah, makan pelaku pertukaran akan mencari alternatif lainnya yang menawarkan perluasan
pengakuan yang lebih kuat (Yustika, 2012:153). Sampai aras ini, dapat disimpulkan bahwa modal sosial dalam
aktivitas transaksi mampu menjadi basis sumber daya ekonomi (Yustika, 2012:153).
Dalam lingkup yang lebih luas, modal sosial mampu menjadi alternatif penyelesaian transaksi ekonomi bila pasar
tidak sanggup menyelesaikannya (Yustika, 2012:154). Dalam hal ini posisi modal sosial menjadi instrumen penantang
dalam pergumulan ekonomi neo-klasik vis a vis ekonomi institusional yang lebih multidisipliner. Putnam (1999),
seperti diutarakan oleh Yustika (2012:154) sampai pada kesimpulan bahwa modal sosial mampu menjadi sarana yang
mengurusi secara sukarela barang publik (common good). Artinya, modal sosial memiliki peran yang signifikan dalam
perekonomian.
Modal sosial sebagai wujud gerakan komunitas akan memicu paradigma baru gerakan ekonomi Islam. Paradigma
baru yang dikonstruksi dengan konsep ekonomi yang khas, pada waktunya, akan menjadi kekuatan besar sekaligus
sebagai perwujudan konstruksi ekonomi Islam dalam skala mikro.
C. METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan paradigma kualitatif-interpretif dengan metode studi kasus. Pemilihan paradigma
penelitian, disesuaikan dengan tujuan penelitian yang ingin menggali noesis dibalik proses bisnis yang dijalankan oleh
komunitas. Sebagaimana penjelasan Manzilati (2017:21), bahwa penelitian kualitatif “dilakukan tidak hanya
bertumpu kepada realitas yang tampak (gejala) tetapi juga hakikat persoalan sebenarnya dari gejala yang tertangkap”.
Sementara itu, Martono (2015:191) menambahkan, bahwa pendekatan interpretif lebih memandang bagaimana
manusia memaknai suatu fenomena yang berkembang. Artinya, tugas peneliti hanya mengungkap pemahaman
individu atas fenoma di balik KTR, KPMI, dan Vigur Organik.
Adapun metode yang digunakan adalah studi kasus (case study). Manzilati (2017:57) menyebut studi kasus sebagai
salah satu teknik dalam penelitian kualitatif yang fokus menggali secara mendalam pengalaman spesifik manusia.
Lebih lanjut, Manzilati (2017:57) juga menyebut metode ini dapat digunakan pada seseorang, group, atau situasi
spesifik. Martono (2015:295) menyebut metode studi kasus sebagai teknik kualitatif yang mampu menggambarkan
kasus-kasus; ide, konsep, aktivitas, dll, sehingga dapat dianalisis dan ditemukan temuan-temuan baru. Adapun metode
analisis yang digunakan adalah metode interaktif, Miles dan Huberman (1994:10-12), yang dimulai dari data
reduction, kemudian data display, dan conclusions drawing/verifying.
D. HASIL DAN PEMBAHASAN
Aspek Kesejarahan Komunitas
Secara umum ketiga komunitas memiliki latar belakang sejarah yang berbeda-beda. Dimulai dari Vigur Organik
yang sejatinya Kelompok Tani Wanita (KTW) berdasarkan tiga alasan, kemudian dikelompokkan sebagai salah satu
komunitas bisnis Islami. Alasan itu antara lain: (1) Vigur Organik mengharuskan anggotanya berasal dari Muslim; (2)
Vigur Organik berusaha mengangkat derajat kaum Muslim yang berada di taraf ekonomi dan pendidikan lemah; (3)
Vigur Organik enggan bersentuhan dengan riba (Wawancara, 12/05/2017).
Embrio Vigur Organik lahir dari Kelompok Tani Wanita (KTW) yang bernama Vigur Asri. Kelahiran Vigur Asri
didasari oleh keprihatinan atas kondisi keluarga Muslim yang tidak mampu mencukupi kesehatan jasmani keluarganya
dan keprihatinan atas penipisan lahan pertanian (Wawancara, 12/05/2017). Selain faktor kesehatan dan keprihatinan
konversi lahan pertanian, pada tahun 2007, belum adanya program di Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) di
RT 1 RW 7, Kelurahan Cemoro Kandang, sehingga diusulkanlah program penghijauan (Wawancara, 12/05/2017).
Upaya penghijauan dengan menanam tanaman organik, dimulai sejak Mei 2007 (Wawancara, 12/05/2017).
Menurut catatan dokumen Vigur Organik (2018), makna “Vigur” sendiri adalah akronim dari “Villa Gunung Buring”
Semenara itu, pada tahun 2009, Titiek Widayati, Ketua Vigur Asri, dituntut oleh Dinas Pertanian untuk
mengembangkan kelompok tani baru. Pun juga, karena ada keinginan Titiek Widayati untuk mengembangkan
perekonomian masyarakat lemah, akhirnya memacu Titiek Widayati untuk membentuk sebuah kelompok tani baru.
Kemudian terealisasi pada tahun 2010 dengan terbentuknya Kelompok Tani Wanita yang bernama “Vigur Organik”
(Wawancara, 05/12/2017). Melalui berdirinya Vigur Organik pada tahun 2010, dimulailah babak baru pemberdayaan
ekonomi lemah melalui gerakan bisnis di sektor pertanian. Terkait keanggotaan Vigur Organik, pada awal-awal berdiri
di tahun 2010, Vigur Organik terdiri dari 10 anggota, lantas berkembang menjadi 22 orang di tahun 2014. Kemudian
menyusut kembali karena beberapa faktor, hingga di tahun 2018 anggota Vigur Organik terdiri dari 12 orang.
Adapun sejarah Komunitas Pengusaha Muslim Indonesia (KPMI), berasal dari grup mailing list:
pengusahamuslim@yahoogroups.com. Grup ini berisi perbagai pengusaha Muslim dari berbagai wilayah di Indonesia
dan diasuh oleh beberapa ustad, yang isinya membahas tentang fatwa-fatwa tentang bisnis (Wawancara, 11/12/2017).
KPMI nasional berdiri pada tahun 2010, lantas diikuti KPMI Malang Raya karena kesamaan asal geografis anggota
grup mailing list (Wawancara, 11/12/2017).
Kemudian, sejarah Komunitas Tanpa Riba (KTR), berdiri pada akhir-akhir tahun 2015 (Wawancara, 20/02/2018).
Komunitas ini berawal dari keresahan para pengusaha yang berhutang di perbankan dengan beban bunga (interest)
yang tinggi. Menganggap akibat beban bunga yang tinggi inilah, para pengusaha itu dirugikan dan/atau bangkrut.
Sebelum menjadi KTR, Nama komunitas ini adalah Pengusaha Tanpa Riba (PTR), yang mana para pendiri PTR
berasal dari para pengusaha. Namun, seiring dengan perkembangan waktu dan banyaknya jumlah anggota yang mulai
bervariatif, maka per 30 Maret 2016 PTR resmi dirubah menjadi KTR (Soemintorro, Wawancara, 20/02/2018). Saat
ini, KTR secara komunal, mengalami pergeseran cakupan keanggotaan. Ketika awal berdiri saja, terdiri dari 20’an
anggota, sekarang sudah berkembang hingga mencapai 46 ribu anggota di Facebook dan memiliki 12 grup Whatsapp
dengan varian anggota yang tidak hanya terdiri dari pengusaha (Soemintorro, Wawancara, 20/02/2018).
Tujuan dan Fungsi Komunitas
Setali tiga uang dengan aspek kesejarahan, tujuan ketiga komunitas juga menunjukkan hal yang beragam. Temuan
di lapangan menunjukkan bahwa tujuan Vigur Organik adalah mengangkat derajat ekonomi lemah, terutama bagi
keluarga Muslim (Wawancara, 19/02/2018). Diawali dengan menggerakkan ibu-ibu rumah tangga untuk melakukan
produksi tanaman organik di pekaran-pekarangan rumah. Kesemua aspek produksi yang dikerjakan oleh ibu-ibu ini,
oleh Rahardjo (2010) kemudian disebut sebagai ‘genderisasi ekonomi’. Sejak awal, Vigur Organik memang ditujukan
untuk membangun jiwa wirausaha bagi ibu rumah tangga melalui sektor pertanian organik (Wawancara, 05/12/2017).
Artinya, secara universal, Vigur Organik ditujukan untuk membangun kemakmuran dan kesejahteraan. Tidak hanya
kesejahteraan ekonomi, melainkan juga kesejahteraan jasmani dan kesejahteraan hati, yaitu ketenangan dengan
hubungannya kepada Tuhan (Wawancara, 19/02/2018).
Lebih jauh, Vigur Organik rupanya menjadi rumah dalam rangka membangun kemakmuran bagi keluarga kecil
Muslim (Wawancara, 19/02/2018). Dalam pemikiran Yunus (2010), yang dilakukan oleh Vigur Organik ini disebut
sebagai ‘Kewirausahaan Sosial’. Di satu sisi, Vigur Organik ternyata juga sangat kuat mendorong anggota-anggotanya
untuk menjadi seorang wirausahawan (Wawancara, 23/02/2018). Dengan menggunakan metode ‘sosialisasi
persuasif’, komunitas mendorong anggotanya berbisnis dan bekerja keras (Wawancara, 23/02/2018). Sebab, menurut
Vigur Organik, itulah cara untuk keluar dari jeratan kemiskinan.
Kedua, tujuan dan fungsi KPMI. Secara sederhana, tujuan KPMI adalah menarik para pebisnis Muslim untuk
mengaji tentang agama:
“Kalau kita ngajak pengusaha itu ngaji, jadi kita tekankan di sisi muamalahnya, bagaimana sih bisnis ini
sesuai dengan syariat. Dan kenyataannya di lapangan kan masih banyak teman-teman yang belum ngerti
gitu. Oh ini tidak boleh ternyata, oh ini riba…” (Wawancara, 11/12/2017).
Ungkapan di atas, seolah menunjukkan bahwa KPMI adalah rumah pendidikan keagamaan bagi para pengusaha
Muslim. Dalam bahasa Ketua KPMI, disebut sebagai ‘pendidikan mindset’. Dalam mana bisnis itu harus sesuai dengan
syariat Islam dengan setidaknya empat hal yang harus dihindari, yaitu riba, zalim, gharar, dan maisir (Wawancara,
28/02/2018). Keempat hal yang dianggap harus dihindari tersebut, menurut keterangan Sunan Nur Huda hanya bisa
diselesaikan dan betul-betul dihindari jika mindset ketuhanannya sudah benar. Pemahaman tauhid, mengesakan Allah
dengan segala bentuk konsekuensinya, menghindari penyekutuan Dia dengan makhluk yang lainnya termasuk
ekonomi (materi), sehingga bisnisnya berlandaskan basis ketauhidan yang kuat.
Secara teknis, KPMI menyediakan pengajian-pengajian keagamaan yang bertemakan fikih muamalah untuk
memberikan asupan pengetahuan kepada pebisnis Muslim (Wawancara, 18/02/2018). Namun begitu, sampai
penelitian ini dilaksanakan, kegiatan tersebut tengah berhenti, sehingga praktis, komunitas juga terjadi kevakuman
kegiatan secara formal. Termasuk juga, training bisnis dan pendampingan bisnis kepada anggota juga tengah berhenti.
Hal ini lebih disebabkan karena para pengurus masih sibuk dengan kegiatan masing-masing (Wawancara,
28/02/2018).
Ketiga, tujuan dan Fungsi KTR. Visi KTR adalah “Melaksanakan amanah Allah untuk menegakkan Islam
sebagaimana yang disyariatkan di dalam Surat Asy-Syura ayat 13.” Sedangkan Misinya adalah “Berkontribusi dalam
upaya membangun ekonomi umat yang diridai Allah ta’ala dengan sosialisasi tobat dari riba dalam berbagai
bentuknya, serta mengupayakan sinergi dan pemberdayaan potensi umat sesuai syariah” (Rano Tamtomo,
Wawancara, 21/02/2018). Dari visi dan misi KTR tersebut, jelas tergambar bahwa KTR adalah komunitas yang
mengkampanyekan bahaya riba. Menurut keterangan Ryan Gahara Putra, ketua KTR, hakikat komunitas ini adalah
sebagai rumah untuk berkumpul para saudara-saudara Muslim yang punya persoalan yang sama, terutama berkaitan
dengan bisnis:
“Bagi kami, hakikat komunitas itu adalah tempat berkumpulnya saudara-saudara seiman, yang sama-sama
mempunyai persamaan sisi atau permasalahan yang sama, di mana di dalam komunitas itu semua bisa saling
berbagi, dalam hal ini berbagi kebaikan, entah itu menguatkan, entah itu memberi solusi secara pikiran
bahkan secara fisik atau finansial.” (Wawancara, 12/12/2018).
Sampai saat ini, KTR, secara sistematis belum mampu membangun mentalitas bisnis ataupun pendampingan yang
simultan bagi bisnis yang dijalankan oleh anggota. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh KTR lebih banyak terfokus
pada persoalan edukasi bahaya riba, kajian fikih muamalah, dan juga kajian tauhid. Sementara itu, terkait sumbangsih
pendidikan mindset KTR untuk bisnis anggota, belum sepenuhnya berjalan secara sistematis, menunjukkan fungsi
KTR baru sebatas gerakan dakwah anti riba, belum mewujud sebagai gerakan bisnis yang sistematis. Apalagi, KTR
memproduksi pandangan bahwa pendidikan mindset bertauhid harus dibenahi dahulu, karena tauhid adalah hal yang
utama. Ini tentu sejalan dengan apa yang dilakukan oleh KPMI, bahwa pendidikan mindset bertuhan adalah hal utama
dan pertama yang harus dikuatkan. Pendidikan mindset melalui serangkaian kajian tauhid, menjadi dasar pijakan untuk
menggelorakan dakwah anti riba yang memang menjadi konsentrasi komunitas (Wawancara, 20/02/2018).
“Target yang bisa kita tuju, bagaimana umat Muslim ini membangun sebuah bisnis tidak dengan modal
hutang. Tapi lebih dengan modal skill lebih dahulu. Caranya bagaimana, ya harus belajar, begitu, jadi tidak
dimulai dengan mindset berhutang dulu baru berbisnis, tapi itu bisa dipelajari bagaimana berbisnis tanpa
hutang itu bisa dipelajari.” (Ryan Gahara Putra, Wawancara, 19/02/2018).
Artinya, target gerakan ekonomi yang selama ini dicanangkan oleh KTR baru berjalan dalam arena dakwah, belum
masuk dalam aras praktik bisnis. Memang, secara individual, beberapa pengurus inti KTR memiliki pengalaman dan
sedang menjalankan bisnis, namun, gerakan bisnis yang diinisasi oleh komunitas untuk membangun mentalitas
pengusaha belum sepenuhnya muncul dalam bentuk ruang realitas nyata, artinya baru sekedar keinginan dan angan-
angan yang sifatnya normatif.
Tentu saja, interpretasi bahwa fungsi KTR baru sebatas gerakan dakwah-sosial dan belum gerakan bisnis,
dijustifkasi oleh program kerja yang sudah berjalan selama ini, sebatas gerakan sosial: sedekah subuh, kajian rutin,
dan seminar (Wawancara, 20/02/2018). Di satu sisi, adanya perluasan keanggotaan yang tidak hanya terdiri dari
pengusaha dan kini lebih banyak bergerak ke arah sosial, membuat fungsi KTR lebih kental narasi sosial ketimbang
gebrakan bisnis tanpa hutang yang sebelumnya sudah dikampayekan. Ini menunjukkan bahwa sejatinya kegiatan KTR
lebih berbasis dakwah dengan derivasinya aktivitas bisnis. Belum lagi keinginan KTR untuk meniru gerakan wakaf
Muhammadiyah, padahal berbagai literature menyebut Muhammadiayah adalah gerakan sosial-keagamaan (Rahardjo,
1999; Kuntowijoyo, 2017; Fuad, 2015). Lantas muncul pertanyaan, apakah kemudian komunitas ini mampu
mengangkat derajat perekonomian dengan menciptakan banyak pengusaha Muslim di hari depan? Tentu tergantung
seberapa kuat komunitas mengarahkan gerakan sosialnya ke arah gerakan ekonomi (Latief, 2017). Sebab, Ketua KTR
menyebut bahwa, hari ini KTR masih sebagai wadah entry level untuk peduli tentang bahaya riba, belajar tauhid, dan
muamalah, barulah kemudian bergerak di Yayasan Asy-Syafaat dengan gerakan wakafnya (Wawancara, 19/02/2018).
Konsep Bisnis Islami Komunitas: “Tauhid” sebagai Konsepsi Dasar Berekonomi
Konsep bisnis yang dilakukan tiga Komunitas; Vigur Organik, KPMI, dan KTR, sedikit banyak merujuk pada satu
pemahaman bersama bahwa “Iman” kepada Allah adalah titik kisar segala aktivisme bisnis. Iman kepada Allah
menjadi landasan fundamental mengembangkan arah gerakan bisnis. Menjadi batasan-batasan terhadap hal yang tidak
boleh, sekaligus mendorong ihwal yang diperbolehkan, bahkan dianjurkan. Dalam mana ketiga komunitas menjadikan
iman memiliki fungsi sosial, persis seperti yang disampaikan oleh Mulkhan (2000:40), “Ekonomi tidak sekedar
hubungan produksi, tetapi fungsi realitas metafisis amal saleh, sehingga harta pribadi yang ditransendensi memiliki
hak sosial dalam perspektif iman (tauhid)”.
Secara empiris, bukti paling menonjol bahwa tauhid dijadikan landasan berbisnis adalah soal persyaratan menjadi
anggota komunitas. Bahwa untuk menjadi anggota ketiga komunitas, para pengurus komunitas mensyaratkan seorang
yang beragama Islam (Muslim). Salah seorang pengurus Vigur Organik, yang tinggal di kawasan Sawojajar Kota
Malang, menyebutkan alasan keharusan Muslim yang menjadi anggota adalah supaya jika dalam berbisnis terjadi
ketidaksamaan pandangan, dapat diselesaikan dengan mudah, termasuk membangun ekonomi yang sevisi juga akan
lebih mudah karena dasarnya sudah takut kepada Allah (Wawancara, 05/12/2017). KPMI pun begitu, karena dari
nama komunitas saja sudah terpampang diksi “Pengusaha Muslim”, sehingga otomatis wajib bagi anggotanya
beragama Islam (Wawancara, 28/02/2018). KTR setali tiga uang, dengan berbasiskan gerakan dakwah muamalah,
mereka mensyaratkan anggotanya beragama Islam. Eviden ini, menunjukkan lingkungan sosial komunitas cukup
kental nuansa simbolik keagamaan atau kespiritualan, namun, tetap dengan ciri khas yang berbeda satu sama lain.
Tentang tauhid sebagai landasan dasar berbisnis, Rahardjo (2015:348) menempatkan tauhid pada bagian ontologi
yang menduduki strata pertama, rumusan “Kode Etik Pengusaha Muslim”. Dengan mendudukkan tauhid sebagai basis
ontologi kode etik pengusaha Muslim, Rahardjo (Rahardjo, 2015:348) ingin menyatakan bahwa idealita para
pengusaha Muslim adalah percaya bahwa Tuhan sebagai sumber rejeki, tetapi tetap, rejeki harus dicari dengan bekerja.
Dalam hal ini, KPMI dan KTR memiliki kesamaan konsep dalam menjadikan tauhid sebagai landasan berekonomi.
Kedua komunitas ini menyebut bahwa tauhid (aqidah yang lurus) adalah modal utama untuk menjalankan bisnis.
Mereka menyebutnya dengan istilah “mindset”. Secara teknis, hal utama yang ingin diperbaiki oleh KPMI dan KTR
adalah soal perbaikan “mindset” atau aqidah yang betul, sehingga ilmu syariah atau muamalah termasuk strategi bisnis
dalam menghadapi dinamika pasar menyusul secara otomatis. Penempaan mindset aqidah yang benar, dilakukan
melalui kajian-kajian keagamaan. Menurut pengurus KPMI, korelasi antara penempaan tauhid dengan bisnis terletak
pada niat (Wawancara, 19/02/2018). Jadi, bagaimana niat bisa mempengaruhi mentalitas pengusaha terutama tentang
konsepsi rejeki yang berkaitan dengan kinerja bisnis. Jika terjadi gulung tikar, melalui konsep aqidah yang benar,
pengusaha tersebut tidak terlalu meratapi kerugian yang dideritanya, karena misalnya, sudah meyakini bahwa rejeki
itu yang mengatur adalah Allah, sudah ada takaran sendiri untuk masing-masing individu (Wawancara, 11/12/2017).
Prawiranegara (1986:99), menyebutnya sebagai homo-religious, bahwa ketika terjadi guncangan ekonomi, tetap
tenang, terus bekerja dan bersadar pada Tuhan.
Mindset aqidah yang benar juga dianggap memberikan batasan bagi pebisnis dalam melakukan pilihan-pilihan
operasional bisnis; terutama berkaitan dengan pemenuhan modal finansial. Jadi, aqidah yang lurus selain memberikan
konfigurasi pada niat pengusaha juga berpengaruh pada persoalan operasional bisnis.
“…Urusan nafkah itu Allah yang menjamin, jadi tidak ragu untuk berkarya. Membangun bisnis itu begitu,
tidak usah ragu dalam hidup ini, Allah itu pasti menjamin hidup kita sejahtera, asal kita punya kemauan
dan memenuhi apa yang diinginkan Allah itu seperti apa. Ngalir aja kok itu, tapi kita harus bekerja terus,
jangan diam gitu, kita berfikir berusaha mencari apa yang harus kita harapkan, gitu” (Sugiantoro,
Wawancara, 19/02/2018).
Mengacu pada statemen tersebut, menggambarkan adanya sikap penyandaran diri pada Tuhan yang begitu tinggi.
Segala aktivitas bisnis, mulai dari proses produksi, pengepakan barang, hingga pendistribusian, dilakukan atas dasar
ketaatan kepada Allah. Menurut Rahardjo (1999:266), kepercayaan adanya kehidupan setelah mati, sebagai bagian
dari bentuk ketransendentalan, memang mampu membuat pribadi-pribadi semakin bertanggungjawab, bahkan sampai
mampu membangun solidaritas sosial berdasarkan ketataan pada Tuhan. Ketua Vigur Organik menandaskan sebagai
berikut:
“Kalau di tempat kami memang Islam itu nomor satu, Islam itu nomor satu, tidak ada yang bisa kita bedakan
dengan yang lainnya. Memang ini menjadi acuan. Acuannya ngenten, yang gampangannya saja menjadi
salah satu rem, kalau kita mau melakukan salah, itu sudah ketakutan dengan sendirinya, seluruh teman saya
seperti itu.” (Wawancara, 23/02/2018).
Inti ajaran tauhid yang merupakan dasar dari ajaran agama Islam, menjadi sumber semangat dan kekuatan kontrol
dari aktivitas bisnis. Sikap ketaatan dan ketakutan yang tinggi kepada Allah, tidak justru menjadikan komunitas lemah
secara ekonomi, melainkan justru bisnis yang dijalankan semakin tenang dan harmonis (Wawancara, 23/02/2018).
Rahardjo (1999:266) menunjukkan bahwa kepercayaan yang tinggi pada Tuhan memang justru menjadi sumber “etos
kerja” yang semakin tinggi (Surat Hud: 61), sebagaimana yang ditemukan oleh Max Weber dalam “Etika Protestan”.
Pada aras ini, konsep tauhid yang menyatu dalam aktivitas bisnis menjadi pembeda konsepsi bisnis komunitas dengan
bisnis kapitalis yang umumnya berjalan. Unsur teomorfik yang menyembul, sebagaimana diungkapkan oleh Naqvi
(1981), dimaksudkan bahwa manusia sebagai makhluk ilahiah; dia (manusia) adalah “makhluk tetapi akhlaknya harus
meniru akhlak Tuhan” (Kuntowijoyo, 1997:136).
Bisnis Organik dan Ekonomi Kejujuran
Hasil temuan di lapangan, ternyata juga mendapati bahwa komunitas memiliki konsep bisnis sendiri. Konsep bisnis
ini ditemui pada KTR dan Vigur Organik. Di KTR, Komunitas menggaungkan konsep bisnis ‘organik’. Yaitu, konsep
bisnis yang diawali dengan kapasitas dan kepercayaan, dan bukan dari modal finansial (Wawancara, 12/12/2018).
Maksudnya adalah bahwa suatu bisnis harus dibangun dengan cara yang pelan-pelan (gradually), dimulai dengan
membangun kepercayaan (trust) dengan menunjukkan sikap amanah, membangun kapasitas sumberdaya manusia
yang ada, sehingga membentuk sistem kelembagaan yang baik dalam manajemen bisnisnya (Wawancara,
19/02/2018).
Sementara di Vigur Organik, berkembang konsep bisnis yang sangat mengedepankan etika kejujuran, dalam mana,
peneliti kemudian menyebutnya sebagai ‘Ekonomi Kejujuran’. Konsep gerakan ekonomi kejujuran sejatinya sejalan
dengan konsep transendensi dalam bisnis islami. Yaitu, bagaimana sebuah perilaku ketaatan kepada Tuhan menjadi
simbol bahwa yang jujur adalah mereka yang dekat kepada Tuhan (Wawancara, 05/12/2017). Pada pendulum lain,
selain berkaitan dengan konsep transendensi, secara universal, konsep “kejujuran” merupakan bagian dari bangunan
besar sistem etika dalam ekonomi Islam. Sebab, Kuntowijoyo (1997:135) menyebutkan bahwa ekonomi Islam
sejujurnya dibangun atas “kesadaran tentang etika, sebuah ethical economy”, pun demikian yang dikatakan oleh
Prawiranegara (2011), ekonomi Islam adalah kumpulan moral dalam ekonomi dan Naqvi (1981), ekonomi Islam
adalah kumpulan aksioma—nilai-nilai etis. Sungguhpun begitu, etika kejujuran yang muncul dalam praktik bisnis
Vigur Organik, dijadikan pembahasan terpisah karena memiliki bobot informasi yang berbeda, sehingga layak untuk
disebut sebagai konsep tersendiri. Karena bagaimanapun, bisnis pertanian organik sangat mengedepankan kejujuran:
“siapa yang tahu jika tanaman yang kita tanam itu tidak disemprot pestisida” (Wawancara, 26/02/2018).
Ekonomi Moral dan Ekonomi Hukum
Realitas di lapangan menunjukkan kegiatan KPMI dan KTR sangat kental nuansa ekonomi Islam menyembul
sebagai praktik fikih muamalah. Kencenderungan ini terlihat dari berbagai program kajian keagamaan yang dilakukan
oleh kedua komunitas. Dalam mana kajian yang digalakkan, selain bertumpu pada persoalan mindset ketuhanan dan
fikih muamalah. Bahkan, porsi kajian muamalah menempati bagian yang terbesar setelah kajian pola pikir ketuhanan
yang sampai 80% dari total persentase tema kajian (Wawancara, 12/12/2017). Tema-tema fikih muamalah, selanjutnya
dielaborasi setelah mindset tauhid (Wawancara, 19/02/2018).
Tendensi diskursus bisnis yan banyak menggunakan kacamata fikih muamalah, membuat komunitas cenderung
lekat pada ekonomi hukum (Rahardjo, 2015:161). Aras ini memunculkan pemahaman bahwa aktivitas ekonomi yang
benar adalah suatu kegiatan ekonomi yang didasarkan pada konsep muamalah. Namun begitu, diskursus fikih
muamalah yang begitu menonjol, menyebabkan beberapa pesan Tuhan dalam teks Quran kurang begitu diperhatikan.
Misalnya pesan Tuhan tentang manusia sebagai khalifah, makhluk kreatif untuk memakmurkan bumi (Asy’arie,
2015). Walau begitu, KPMI tetap menunjukkan kecenderungan adanya praktik ekonomi Islam sebagai ekonomi moral.
Terlihat dari interpretasi proses produksi dalam Islam, bahwa produksi harus menggunakan bahan yang kualitasnya
terukur, bisa dipertanggungjawabkan kehalalannya (Wawancara, 28/02/2018). Upaya menjaga kualitas bahan baku
produksi adalah wujud usaha pengusaha KPMI yang “termotivasi” narasi agama tentang perlunya menjaga kepuasan
konsumen melalui penjagaan kualitas produksi.
“… (Dalam) produksi, bahwa apa yang kamu tidak disukai jangan lakukan pada orang lain…kan saya
memproduksi tepung, dalam kebersihan dalam proses produksi itu tidak terjaga, saya coba untuk merasakan
sendiri, apakah saya mau membeli produk yang seperti itu, saya jawab sendiri tidak, oh kalau gitu saya
mengerjakannya dengan hati-hati agar hasilnya bersih seperti itu. Jadi agama itu menjadi pijakan dalam
mengambil keputusan bisnis. Itu sangat penting.” (Wawancara, 19/02/2018).
KPMI dan KTR Vigur Organik
Ajaran Agama
Persolaan
Ekonomi
Mengatur Memotivasi
Moral
Economics
Legal
Economics
Komunitas Bisnis
Sementara itu, Vigur Organik, yang dalam praktiknya tidak pernah melakukan kajian keagamaan, memaknai
ajaran agama sebagai sumber “motivasi”. Teks-teks Quran yang mengajarkan etos kerja, kreativitas, dan keharusan
inovasi menjadi landasan berbisnis, menjadi landasan semangat bekerja. Walau begitu, Vigur Organik tetap berpegang
teguh pada ajaran agama yang mengontrol aktivitas bisnis, misal larangan riba dan zalim.
“…Etos kerja itulah yang kami tanamkan, makanya saya tidak mau orang hutang. Jangan hutang, Kerja
saja gitu. Kerja saja, kerja itu ada hasilnya. Tapi kalau hutang, apalagi tidak kerja, mau dapat darimana gitu.
Harus kerja…saya mengajarinya kerja, kerja, dan kerja. Kalau kerja pasti ada hasilnya. Kalau tidak kerja,
mau menghasilkan apa.” (Titiek Widayati, Wawancara, 23/02/2018).
Ungkapan ini menyuratkan adanya satu prinsip yang dipegang oleh Vigur Organik, bahwa bekerja dengan giat
adalah perintah Tuhan. Dengan meyakini Tuhan sebagai tempat bersandar, sebagaimana nilai-nilai spiritual yang kuat,
tercermin dari keyakinan rejeki yang datang dari Allah (Wawancara, 19/02/2018), juga perilaku ekonomi yang terus
berusaha untuk berlaku profesional, jujur, disiplin dan adil, menunjukkan Vigur Organik mengelobari prinsip moral
dan etos kerja dalam berekonomi.
Gambar 1. Pemaknaan Ekonomi Islam dalam Komunitas
Sumber: Ilustrasi Peneliti, 2018
Dengan demikian, dari uraian ini, kegiatan ekonomi yang dijalankan oleh ketiga komunitas, pada dasarnya
menjadikan Quran dan Sunnah sebagai sumber rujukan utama. Tetapi, dalam praktiknya, KTR dan KPMI lebih dekat
pada diskursus muamalah. Namun, konsep moralitas dalam ajaran agama tetap ada walau tidak mendapatkan tempat
yang longgar. Di sisi lain, Vigur Organik, lebih kuat memaknai ajaran agama sebagai sumber motivasi berekonomi.
Karena itu, Vigur Organik disimpulkan memaknai ekonomi Islam sebagai ekonomi moral yang berdimensi pasar dan
sosial. Dalam hal ini, ekonomi moral, menjadikan moral sebagai pengontrol pasar (Rahardjo, 2015:173). Pasar tidak
bebas sebagaimana konsep invisible hand Adam Smith, tetapi dikontrol oleh moral yang bersumber dari ajaran agama.
Sementara legal economics, ajaran agama muncul sebagai aturan yang mengikat dan membatasi kontrak-kontrak
ekonomi, sehingga ekonomi moral dan ekonomi hukum sama-sama menjadikan ajaran agama sebagai pengontrol,
tetapi dengan narasi yang berbeda, yaitu mengatur dan memotivasi.
Etos Kerja sebagai Akar Ekspansi Bisnis
Penelitian ini menemukan ada beberapa spirit bisnis yang dihayati oleh pelaku bisnis Islami di tiga komunitas
bersumber dari ajaran Islam. Sikap kerja keras berkelindan dengan kekuatan iman pada Tuhan, menunjukkan
hubungan ajaran Islam dengan kegiatan ekonomi. Misalnya semangat untuk terus bekerja, bersisihan dengan
kepasrahan pada Allah sang maha pemberi rejeki. Ketua Vigur Organik menandaskan: “Saya kira kalau kita mau
minta dan serius pada Allah itu akan cepat dikasih…” (Wawancara, 23/02/2018). Melalui kepasrahan kepada Allah
yang begitu tinggi, komunitas menganggap kerja keras, menjadi satu-satunya jalan untuk meningkatkan taraf hidup.
Oleh Kuntowijoyo (1997:123) disebut kepercayaan pada sunnatullah atas pembagian Allah (QS. An-Nahl: 71).
Etos Kerja
Ajaran Agama
Larangan riba, gharar, maisyr,
dan zalim
Pasar
Kinerja Bisnis Ketenangan Hati
“Jadi, mereka yang tetap eksis sebagai anggota itulah orang-orang yang berhasil. Dan orang yang sudah
mengundurkan diri itu, kelihatan orang-orang yang tidak serius. Ingin mendapatkan hasil banyak tapi tidak
bekerja. Mereka yang punya kemauan dan kemampuan untuk bekerja, rajinlah begitu, ya sampai sekarang
meningkat status ekonominya, walaupun tidak banyak, tetapi status keluarga mereka menjadi meningkat.”
(Sugiantoro, Wawancara, 19/02/2018).
Merujuk pada keterangan di atas, budaya kerja keras yang sudah menjadi habitus rupanya ditanamkan melalui
penyadaran yang serius. Melalui pemberian berbagai ilustrasi kebermanfaatan budaya etos kerja dan kepasrahan
kepada Allah (Wawancara, 23/02/2018). Semangat kerja yang tinggi juga menjadi solusi preventif pinjam meminjam
berbasis riba. Dalam hal ini Vigur Organik mendorong budaya etos kerja dengan membuka berbagai akses jaringan
bisnis yang lebih baik bagi anggota untuk menghindari pinjaman riba. Contohnya, akses pelatihan bisnis di lembaga
pemerintahan, menjadi narasumber kunjungan antarkomunitas tanaman organik, dan mendorong inovasi produk
anggota dengan target setiap tahun meluncurkan produk baru (Wawancara, 26/02/2018). KPMI pun demikian,
mengelaborasi kepatuhan kepada Tuhan dengan semangat kerja dan perilaku disiplin dalam berbisnis (Wawancara,
28/02/2018). Karakter disiplin dalam bisnis, misalnya berkaitan manajemen keuangan bisnis; aliran modal, membagi
prioritas pengeluaran dari yang paling dibutuhkan hingga yang bisa ditunda, dan memisahkan antara keinginan pribadi
dan keberlangsungan bisnis (Wawancara, 28/02/2018). Selain itu, KTR meskipun muncul sebagai gerakan dakwah,
juga berpandangan bahwa mengikuti trend pasar adalah cara untuk berhasil dalam bisnis (Wawancara, 20/02/2018).
Ungkapan ini juga menunjukkan seberapa seringpun kajian muamalah dilakukan, inti kegiatan bisnis tetaplah pada
praktik dan inovasi. Hal ini, selaras Rahardjo (1990:117) bahwa inti aktivitas wiraswasta adalah inovasi, di samping
seorang pebisnis juga diasosiasikan dengan kepribadian yang berani mengambil resiko, ulet, hemat, berperhitungan,
inovatif, optimis, pencipta strategi baru, dan pekerja keras (Raharjo, 1990:117; Hoque et.al, 2013:132-138; Fozia,
et.al, 2016:27-34). Konteks ini Rahardjo (1990:123-128) ingin menunjukkan bahwa sejatinya dalam ajaran Islam
terdapat doktrin-doktrin tertentu yang mendorong atau memotivasi pengikutnya untuk giat bekerja, berkompetisi, dan
berinovasi.
Gambar 2. Faktor yang Mempengaruhi Kinerja Bisnis
Sumber: Ilustrasi Peneliti, 2018
Disamping etos kerja yang menyembul di kegiatan ekonomi komunitas, penelitian ini juga menemukan bahwa
ternyata etos kerja adalah kunci kinerja bisnis, selain pengaruh oleh gejolak pasar. Sementara itu, larangan riba,
gharar, maisir, dan zalim hanya menuntun pada ketenangan batin semata (Wawancara, 19/02/2018). Dalam hal ini,
akumulasi etos kerja dikonstruksi oleh komunitas dan menjadi habitus yang terus dilakukan, lantas secara bertahap
berubah menjadi strategi-strategi bisnis yang lebih teknis dan instrumental. Perubahan ini menjadi landasan bagaimana
komunitas membangun kekuatan finansial bisnis, strategi produksi, strategi distribusi, dan strategi pemasaran.
Kekuatan finansial misalnya, dibangun oleh komunitas dengan metode syirkah atau kerjasama, bagi risiko dan bagi
keuntungan. Sedang terkait strategi produksi, distribusi dan pemasaran, berlangsung sebagaimana teknis bisnis secara
umum. Ranah ajaran Islam hanya menyentuh persoalan “etis” yang mempengaruhi pilihan-pilihan strategi yang akan
diambil.
Perihal syirkah yang dilakukan komunitas—KTR dan KPMI—hanya berhasil sebesar 20%-30% saja (Wawancara,
19/02/2018). Hal ini, lebih disebabkan karena human error dan wanprestasi (Wawancara, 28/02/2018). Persoalan ini
berarti berkaitan dengan belum baiknya sumberdaya manusia di tubuh umat Islam sendiri. Sementara itu, Ketua KTR,
menganggap hal ini karena lemahnya pola pikir tauhid para pelaku bisnis. Sungguhpun begitu, alasan ini agaknya
terlalu jauh sebagai penyebab gagalnya syirkah, karena Damsar (2009) jelas menyebut, bahwa ekonomi berkelindan
dengan masyarakat, pun juga temuan Bahramitash (2003:551), bahwa kinerja ekonomi perempuan di Iran alih-alih
dipengaruhi oleh faktor keagamaan (religiosity), justru gejolak sosial-politiklah yang paling banyak mempengaruhi.
Menyebut kegagalan syirkah sebab lemahnya aqidah, Rahardjo (2015:327) menyebutnya sebagai gejala metamorfosa
aqidah ke instrumen ekonomi syariah. Dalam hal ini, persoalan aqidah menjadi sasaran poros kegiatan bisnis KTR
dan KPMI, sedang dalam kondisi lain ekonomi disebabkan oleh berbagai faktor pasar.
Pada pendulum lain, metode pembangunan modal finasial lain yang juga dilakukan oleh komunitas adalah
menggunakan modal pribadi, umumnya dengan menjual asset yang dimiliki (Wawancara, 19/02/2018). Namun begitu,
pemenuhan modal bisnis yang seperti ini tidak mencerminkan fungsi komunitas sebagai kelembagaan yang menaungi
anggota, karena sifatnya sangat individual dan tidak terikat oleh pengajaran komunitas. Sementara itu, Vigur Organik
yang lebih banyak membangun modal bisnis dari perputaran omzet, bantuan pemerintah, dan pelatihan tanaman
organik, menunjukkan distingsi dari KPMI dan KTR. Lebih lanjut, KPMI juga melakukan pembangunan modal
dengan cara memutar omzet bisnis, sebagaimana Vigur Organik. Secara teknis ketua KPMI menyebutkan bahwa untuk
bermain dalam perputaran omzet bisnis, bisa menggunakan dua strategi, yaitu menaruh fokus pada margin harga atau
bermain pada volume penjualan (Wawancara, 28/02/2018). Lebih lanjut, ketua KPMI yang saat ini tengah berbisnis
kuliner tersebut, memilih untuk mengatur modal dengan perputaran omzet melalui volume penjualan, margin yang
diambil kecil tetapi memperbanyak jumlah produk yang dijual.
Sementara itu, terkait kinerja bisnis masing-masing komunitas, menunjukkan data yang beragam, terutama pada
KTR yang lebih banyak bergerak sebagai entitas dakwah ketimbang bisnis, menjadi bias untuk ditelisik dan
diinterpretasi kinerja bisnis yang dilakukan. Sedang KPMI yang fokus pada persoalan bisnis yang Islami, terlihat jelas
bahwa kinerja bisnis anggota-anggotanya juga beragam. Yang perlu dicatat adalah bahwa KTR dan KPMI, aktivitas
bisnisnya tidak terikat oleh komunitas, sementara Vigur Organik, karena sejatinya kelompok tani perempuan, sehingga
mengharuskan keterikatan bisnis anggota pada komunitas (Wawancara, 19/02/2018).
Misalnya bisnis ketua KPMI, berawal dari omzet Rp 3 juta per-bulan di tahun 2014 menjadi 25 juta per-bulan di
tahun 2017 (Wawancara, 28/02/2018). Lebih lanjut, salah seorang pengurus KPMI lainnya, menyebut rata-rata omzet
anggota KPMI per-bulan masih di bawah Rp 100 juta, karena mayoritas adalah start up (pemula) [Wawancara,
19/02/2018]. Menurut salah seorang pengurus KPMI, penggunaan konsep bisnis ala Rasulullah, maksudnya yang
sesuai dengan syariah, lebih membawa pada persoalan ketenangan batin dan hati, dan tidak berpengaruh sama sekali
pada kinerja bisnis (Wawancara, 19/02/2018) [Lihat Gambar 2]. Adapun kinerja bisnis KTR secara kelembagaan
komunitas yang tidak mencerminkan gerakan bisnis, secara kasuistik bisnis pengurus dan anggota yang berjalan juga
beragam, tetapi secara umum ada beberapa yang menunjukkan tren positif. Ketua KTR menandaskan, kinerja bisnis
anggota banyak yang turun, apalagi setelah menutup penggunaan modal dari perbankan (Wawancara, 19/02/2018).
Tetapi, setelah terjadi penurunan, kembali terjadi kenaikan yang perlahan-lahan. Lebih lanjut, Ketua KTR menyatakan
tentang tren bisnis anggota:
“Banyak sebetulnya, cuman tidak semua terdata dengan baik. Naik itu, dalam hal begini, misalnya dulu dia
mempunyai beban cicilan misalnya 10 juta, omzetnya 100 juta, sekarang omzet 100 juta tapi tidak punya
cicilan, itu naik apa tidak?...seperti itu” (Wawancara, 19/02/2018).
Di sisi lain, kinerja bisnis yang ditunjukkan oleh anggota-anggota KTR—seperti Ayam Nelongso, Mie Aceh, dan
Abah Dawam—yang sudah sukses menjadi pengusaha menengah, mayoritas tidak hanya bergabung dalam KTR,
melainkan juga bergabung dengan berbagai komunitas bisnis lainnya. Artinya, keberhasilan bisnis anggota tidak
banyak dipengaruhi oleh program-program yang dilakukan oleh KTR. Misalnya saja Ayam Nelongso, yang menurut
salah seorang pengurus KTR adalah contoh sukses anggota KTR, ternyata justru banyak belajar tentang strategi bisnis
kepada Coach Dr. Fahmi, salah seorang trainer bisnis ternama yang juga membawahi Magistra Group Utama
(Wawancara, 15/03/2018).
Adapun kinerja bisnis Vigur Organik, selalu mengalami eskalasi dengan inovasi produk olahan, antara lain:
Kecap Manis, Kecap Pedas, Kecap Autis, Kecap Asin, Krupuk Puli, Saos Tomat, Manisan Kencur, dan Manisan Jahe.
Belum lagi berbagai varian sayuran dan buah-buahan organik juga menjadi komoditas utama yang diperjual-belikan
oleh Vigur Organik. Dua komoditas pertanian unggulan, sayuran organik dan beras organik, secara produksi
mengalami fluktuasi. Beras, berawal dari 2,5 ton di Januari 2017 dan dipungkas per-Desember 2017 mencapai 3,7
ton. Sedang produksi sayuran hanya berkutat di angka 170 kilogram hingga 340 kilogram. Rendahnya produksi
sayuran disebabkan hama dan penipisan lahan garap (Wawancara, 19/02/2018). Adapun mozet Vigur Organik
bermula dari pendapatan sebesar Rp 80.000 per-hari (tahun 2010), kini mampu memperoleh omzet di atas Rp 57 juta
(2018). Kenaikan ini, menurut Ketua Vigur Organik belum menunjukkan kinerja bisnis yang maksimal, walaupun
terus terjadi eskalasi, tetapi tren itu berjalan lambat (Wawancara, 23/02/2018). Meskipun berjalan lambat, di sepanjang
tahun 2017, omzet per bulan yang di dapatkan Vigur Organik sudah mencapai mencapai angka Rp 30 juta ke atas,
meskipun di beberapa bulan tertentu terjadi penurunan omzet, misalnya penurunan cukup drastis terjadi di bulan
September 2017 yang memang disebabkan oleh hama dan banyaknya lahan yang harus diberi jeda tanam (Wawancara,
23/02/2018). Walau sudah mencapai omzet yang tinggi, Vigur Organik juga tetap memperhatikan pesan Tuhan tentang
aspek sosial, yang dalam hal ini, menunjukkan adanya konsep manusia “altruistik” dan “nafs-al Muthmainnah” di
lingkungan Vigur Organik (Asy’arie, 2015; Hoetoro, 2017:189).
Jika melihat kinerja bisnis yang sudah berlangsung, dalam mana KTR belum memiliki data yang lengkap tentang
anggotanya, KPMI pun demikian, belum memiliki data yang komplit, serta hanya Vigur Organik saja yang memiliki
data yang lengkap terkait tren bisnis, tentu akan sangat mempengaruhi pilihan program dan strategi yang akan
dikembangkan. Vigur Organik misalkan, kini sedang mengejar pangsa pasar internasional dengan berusaha
melengkapi lisensi nutrition fact (Wawancara, 23/02/2018). Target untuk menguasai pasar organik nasional, salah
satunya adalah dengan membangun jaringan-jaringan antar-pengusaha organik, menjaga kualitas produk, dan menjaga
lisensi organik (Wawancara, 23/02/2018). Artinya, strategi-strategi bisnis untuk mencapai target bisnis, dilakukan
secara sistematis.
Berbeda dengan Vigur Organik, KTR dengan target bisnis menguasai pasar fashion, kuliner, dan property
(Wawancara, 19/02/2018), sepertinya akan mengalami banyak kendala. Bagaimanapun, secara kelembagaan KTR
belum kokoh, dibuktikan dengan belum adanya praksis-praksis bisnis yang simultan dan sustainable, pun juga,
pergeseran paradigma dari bisnis anti-bank menjadi gerakan sosial justru menyebabkan munculnya resisten utama
bagi KTR. Artinya, agaknya akan sulit bagi KTR untuk mencapai target bisnis yang sudah dicanangkan, karena yang
dibangun adalah gerakan sosial melalui wakaf dan sedekah. Adapun KPMI, target bisnis yang ingin dicapai justru
belum terlihat konkret. KPMI hanya fokus menarik pengusaha belajar agama, sehingga target bisnis dikembalikan
kepada masing-masing individu baik pengurus ataupun anggota sebagai pelaku bisnis. Ini tentu terlihat kontradiktif
dengan narasi-narasi normatif KPMI yang ingin mendorong perekonomian Indonesia.
Pembangunan Jaringan Bisnis, Mentalitas Bisnis, dan Impian menjadi saudagar Besar
Manning (2010:254), dalam kajian akademisnya tegas menyatakan bahwa modal sosial menjadi anasir paling
signifikan yang dielaborasi dalam kajian sosial-ekonomi. Ini menunjukkan semakin semaraknya temuan dan kaitan
antara modal sosial dan kegiatan ekonomi. Dalam kaitan ini, peneliti mendapati ketiga komunitas memiliki genre
sendiri-sendiri dalam membangun jaringan bisnis, yang terbentuk dari modal sosial. Damsar dan Indrayani (2009:173)
menyebut teori jaringan secara praktis bisa digunakan sebagai sarana membangun ekspansi bisnis:
“Ketika ditanyakan pada para pebisnis yang ingin mengembangkan (ekspansi) usaha mereka di daerah yang
sama sekali baru bagi pebisnis tersebut, maka salah satu strategi yang dilakukannya adalah menemukan
jaringan sosial yang mungkin miliki misalnya menelusuri pebisnis-pebisnis daerah bersangkutan yang
berlatarbelakang suku bangsa, daerah, alumni, atau agama yang sama dengan diri mereka. Penelusuran
tersebut menunjukkan bagaimana jaringan sosial dimanfaatkan dalam melakukan ekspansi bisnis”.
Secara umum, penelitian ini mendapati bahwa komunitas mampu memberikan relasi-relasi bisnis yang cukup baik.
Relasi-relasi bisnis yang diberikan, umumnya bersifat informatif tentang akses sumberdaya yang menghubungkan
antarpengusaha dengan pengusaha yang lain. Walau begitu, secara teknis ketiganya menjalankan prinsip yang
beragam. Vigur Organik misalnya, membangun jaringan bisnis melalui kegiatan pameran, kompetisi produk olahan
organik, dan membangun kedekatan dengan pemerintah (Wawancara, 23/02/2018). Bahkan, berkat banyak mengikuti
pameran dan kompetisi di luar wilayah Malang, Vigur Organik hari ini sudah mampu menasional dengan mengirim
produknya ke beberapa kota, antara lain: Jakarta, Semarang, Yogyakarta, Tulungagung, dan Surabaya (Wawancara,
26/02/2018) Terbaru, Vigur Organik membangun jaringan bisnis eksternal melalui media online dan reseller
(Wawancara, 26/02/2018). Dalam pada ini, membangun kedekatan dengan pemerintah ini dilakukan untuk
memperoleh akses kepercayaan, sebagai simpul dari jaringan (Damsar dan Indrayani, 2009:182-283). Sementara itu,
KPMI dan KTR, membangun jaringan eskternal, melalui perkumpulan baru yang disebut sebagai “Hijrah Iku Mbois”,
yang di dalamnya berserikat beberapa komunitas yang mengkampanyekan anti riba (Wawancara, 19/02/2018).
Jaringan-jaringan bisnis yang dilakukan komunitas ini, dalam kajian modal sosial disebut sebagai jaringan makro
(Damsar dan Indrayani, 2009:165).
Adapun pembangunan jaringan meso, atau jaringan antaranggota komunitas, dengan menjadikan anggota
komunitas sebagai bentuk “simpul” dan proses interaksi sebagai “ikatan”—sebagaimana definisi jaringan menurut
Lawang—(Damsar dan Indrayani, 2009:162), hanya Vigur Organik yang mampu mewadahi pola interaksi yang
sistematis, dengan sistem kelembagaan yang mumpuni. Dibuktikan dengan strategi penjualan dan distribusi produk
yang dilakukan setiap Sabtu dan Selasa, kemudian pertemuan kelompok rutin satu bulan sekali (Wawancara,
23/02/2018). Sedangkan KPMI dan KTR, hanya mewadahi interaksi melalui jejaring ‘whatsapp’ yang sifatnya
sporadis. Walaupun, di setiap akhir pekan ada kesempatan untuk mempromosikan bisnisnya, disebut sebagai “saling
Sabu Ahad” (Wawancara, 20/02/2018), tetapi hal itu belum bisa mencandrakan sebagai interaksi sosial yang masif.
Sungguhpun begitu, di KPMI, meskipun tampak sporadis, ada juga yang berhasil membangun jaringan bisnis melalui
sarana grup ‘whatsapp’ tersebut (Wawancara, 28/02/2018).
Di lain sisi, secara personal, beberapa pengurus komunitas, ada juga yang membangun jaringan bisnis dengan
menggunakan pendekatan “personality”, yakni melakukan pendekatan secara individual, setelah memperoleh
informasi dari komunitas (Wawancara, 28/02/2018). Hal ini mencandrakan bahwa komunitas ini tetap menjadi wadah
yang mengantarkan para anggota untuk bisa mengakses jaringan yang berisikan informasi sumberdaya yang dimiliki
oleh berbagai komunitas sejenis, sehingga disebut memiliki modal sosial yang tinggi (Yustika, 2012:142).
Dengan demikian, penelitian ini mengambil satu pandangan umum bahwa ketiga komunitas, sukses menjadi
wadah pembangun jaringan bisnis. Secara individual, menjadi perekat jaringan meso dan antarkomunitas—yang juga
menguntungkan anggota—membentuk jaringan makro. Namun begitu, jaringan-jaringan yang dibentuk hanya bisa
dimanfaatkan jika anggota komunitas memiliki etos kerja yang tinggi, yaitu menggali jaringan bisnis secara masif.
Karena bagaimanapun, untuk KTR dan KPMI interaksi antaranggota tidak berjalan dengan baik, artinya tidak
sistematis dengan pendampingan yang lemah. Hal ini berbeda dengan Vigur Organik yang rutin melakukan pertemuan
setiap satu bulan sekali dan juga waktu penjualan yang rutin, sehingga modal sosial terjalin cukup kuat yang kemudian
menginkat dalam bentuk jaringan meso yang juga kuat. Sementara dari sudut keterlekatan, Vigur Organik tergolong
keterlekatan kuat (embedded) dan keterlekatan struktural, Karena interaksi bisnis antaranggota terjalin sangat intens,
resiprokal, dan organisatoris (Damsar dan Indrayani, 2009:139). Sementara KTR dan KPMI masuk ke dalam
keterlekatan lemah karena interaksi bisnis antaranggota jarang terjalin secara langsung dan lebih banyak melalui media
sosial yang sifatnya sporadis. Tentu, ini menjadi gejala yang kontradiktif, bahwa untuk mewujudkan suatu bisnis
Islami yang riil, diperlukan masifikasi praktik wirausaha dan memotivasi pengusaha-pengusaha muda untuk lebih giat
berdagang dan berinovasi.
Pada pendulum lain, komunitas juga menggalakkan pembangunan mentalitas bisnis, dan hal ini, rupanya hanya
dilakukan dengan sangat baik oleh Vigur Organik. Sementara KTR dan KPMI rupanya belum mampu melakukan hal
tersebut. Didasarkan pada program-program strategis Vigur Organik, yang kini tengah mengejar label internasional
(nutrition fact) guna merambah pasar internasional (Wawancara, 23/02/2018). Sementara KTR dan KPMI belum
memiliki fungsi strategis untuk mengembangkan program ke arah itu. Hal ini, lebih disebabkan oleh kesibukan
pengurus KPMI dan pergeseran paradigma (shifting paradigm) ke arah gerakan sosial yang mewujud di KTR. Padahal,
program-program strategis untuk memberikan insight baru sangat dibutuhkan untuk mewujdukan seorang saudagar
besar (Wawancara, 15/03/2018). Pun juga, praktik bisnis yang professional adalah kuncinya (Rahardjo, 1990; Hamim,
2017:195). Dengan demikian, impian untuk mewujudkan saudagar Muslim berkaliber global, agaknya akan sulit
dicapai oleh KPMI dan KTR, namun, secercah harapan agaknya menyembul pada Vigur Organik, asalkan konsisten
dengan program-program strategisnya dan tentunya tergantung pula pada kondisi pasar, sosial, dan politik.
E. KESIMPULAN
Reinkarnasi komunitas bisnis Islami seolah akhir-akhir ini mewartakan sebagai varian baru gerakan ekonomi
Islam. Konsepsi bisnis yang dibangun menunjukkan distingsi yang unik, seolah mencandrakan gejala yang vis a vis
antara ekonomi Islam dengan ekonomi konvensional. Gerakan ekonomi konvensional yang dianggap sudah menjauh
dari syariat Islam, ingin dirubah melalui konsep bisnis Islami yang digagas oleh komunitas bisnis Islami. Namun
begitu, komunitas bisnis Islami rupanya tidak mudah untuk menemukan posisi yang kokoh dalam merobohkan
bangunan ekonomi konvensional yang memang sudah menjarah ke segala sisi. Karena itu, mendasarkan pada fokusan
rumusan masalah, penelitian ini mengambil dua poin kesimpulan sebagai berikut:
1. Ketiga komunitas, yaitu Vigur Organik, Komunitas Pengusaha Muslim Indonesia (KPMI) dan Komunitas Tanpa
Riba (KTR) memiliki latar belakang sejarah yang berbeda satu sama lain. Ketiganya juga memiliki tujuan yang
yang beragam. Tetapi, secara umum, ketiganya bertujuan untuk membangun ekonomi umat yang lebih maju, di
samping, KPMI misalnya, juga berfokus sebagai wadah untuk menarik pebisnis belajar ilmu muamalah. Kedua,
rupanya hanya Vigur Organik saja yang diprediksi mampu membangun mental wirausahawan, adapun KPMI
dan KTR belum mampu melakukan hal yang demikian. Sungguh pun para pengurus KPMI dan KTR tetap
memiliki bisnis secara mandiri yang tidak terikat secara kelembagaan dengan komunitas.
2. Terdapat kesepahaman bersama bahwa ketiga komunitas menjadikan tauhid sebagai poros kegiatan ekonomi,
yang dalam komunitas Vigur Organik kemudian berkembang menjadi konsep “ekonomi kejujuran” dan di KTR
bertransformasi menjadi konsep “bisnis organik”. Kedua, KPMI dan KTR cenderung memaknai ekonomi Islam
sebagai “ekonomi hukum” sementara Vigur Organik justru cenderung memaknai ekonomi Islam sebagai
“ekonomi moral”. Ketiga, kinerja bisnis dipengaruhi oleh seberapa besar etos kerja seorang pengusaha dalam
menjalankan bisnis, kondisi pasar yang berkaitan dengan supply dan demand, serta kondisi sosial-politik yang
berkembang. Adapun konsepsi larangan riba, zalim, gharar, maisyr hanya menuntun ketaatan kepada Tuhan
yang diharapkan mendorong ketenangan batin. Kemudian para pengusaha yang berkecimpung di ketiga
komunitas, masih tergolong pengusaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), karena omzet yang berhasil
digulung masih tergolong klasifikasi UMKM. Keempat, komunitas berhasil menjadi pangkal para pengusaha
untuk membangun jaringan bisnis. Dan terakhir, kelima, KTR dan KPMI diprediksi kesulitan mengejar target
bisnis yang dicanangkan sebab pergeseran paradigma yang terjadi di KTR dan terhambatnya pelaksanaan
program di KPMI yang mengakibatkan pelemahan gerakan komunitas sebagai wadah penguat mental bisnis
anggota.
UCAPAN TERIMAKASIH
Pada kesempatan ini, peneliti haturkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh pihak yang telah
membantu dalam proses penyelesaian penelitian ini. Tentu, upaya menggali aktivitas ekonomi Islam tidak akan pernah
berhenti, karena sejatinya, pengembaraan intelektual tidak akan pernah menemukan ujung. Oleh karena itu, secara
khusus, peneliti ingin mengucapkan terimakasih kepada dosen pembimbing, Bapak Arif Hoetoro, SE., MT., Ph.D
yang telah memberikan banyak wawasan baru. Pun juga, tak lupa, kedua orang tua yang selalu memberikan dorongan
dan doa yang kemuliaannya tiada tara. Akhirnya, kepada semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu, peneliti
haturkan salam takzim.
DAFTAR PUSTAKA
Antonio, M Syafii. 2001. Bank Syariah: Dari Teori Ke Praktek. Jakarta: Gema Insani Press.
Antonio, Muhammad Syafii. 2015. Muhammad The Super Leader Super Manager. Jakarta: Tazkia Publishing
Ash Shadr, Muhammad Baqir. 2008. Buku Induk Ekonomi Islam: Iqtishaduna. Jakarta: Zahra
Asad, Muhammad. 2017. The Message of the Quran: Tafsir Al-Quran Bagi Orang-Orang yang Berfikir. Jakarta:
Mizan
Asy’rie, Musa. 2015. Filsafat Ekonomi Islam. Yogyakarta: LESFI
Bahramitash, Roksana. 2003. Islamic Fundamentalism and Women’s Economic Role: The Case of Iran. International
Journal of Politics, Culture and Society, Vol. 16, No. 4
Damsar dan Indrayani. 2009. Pengantar Sosiologi Ekonomi. Jakarta: Kencana
Djaelani, Anton Timur. 2017. Gerakan Sarekat Islam: Kontribusinya pada Nasionalisme Indonesia. Jakarta: LP3ES
Fozia, Maryam, et.al., 2016. Entrepreneurship and Leadership: An Islamic Perspective. International Journal of
Economics, Management and Accounting 24, No. 1 (2016): 15-47 by International Islamic University Malaysia
Hamim, Abdul Wadud Kasyful. 2017. Jejak Bisnis Sahabat Nabi: Sejarah Kesuksesan yang Terlupakan. Jakarta:
Qalam
Hoetoro, Arif. 2017. Ekonomi Islam: Perspektif Historis dan Metodologis. Malang: Empatdua
Hoque, Nazamul, et.al., 2013. Dynamics and Traits of Entrepreneurship: An Islamic Approach. World Journal of
Entrepreneurship, Management and Sustainable Development, Vol. 10, No. 2, 2014 pp. 128-142 by Emerald
Group Publishing Limited 2042-5961
Kementerian Agama RI. 2011. Al-Quran dan Terjemahnya. Jakarta: Khazanah
Komunitas Pengusaha Muslim Indonesia. Visi dan Misi. http://kpmi.or.id/. [diakses pada tanggal 14 Mei 2018]
Kuntowijoyo. 1997. Identitas Politik Umat Islam. Jakarta: Mizan
Kuntowijoyo. 2017. Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi. Yogyakarta: Tiara Wacana
Latief, Hilman. 2017. Melayani Umat: Filantropi Islam dan Ideologi Kesejahteraan Kaum Modernis. Yogyakarta:
Suara Muhammadiyah
Lombard, Denys. 2005. Nusa Jawa: Silang Budaya, Edisi Dua Jaringan Asia. Jakarta: Gramedia
Martono, Nanang. 2015. Metode Penelitian Sosial: Konsep-Konsep Kunci. Jakarta: Rajawali Press
Manzilati, Asfi. 2017. Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma, Metode, dan Aplikasi. Malang: UB Press
Miles, Matthew B. & Huberman, A. Michael. 1994. An Expanded Sourcebook: Qualitative Data Analysis. Second
Edition. London: Sage Publication
Mulkhan, A. Munir. 2000. Moral Kenabian: Paradigma Intelektual Pembangunan. [Dalam] Meretas Jalan Baru
Ekonomi Muhammadiyah. Yogyakarta: Tiara Wacana
Naqvi, Syed Nawad Haedar. 1981. Etika dan Ilmu Ekonomi: Suatu Sintesis Islamisasi. Jakarta: Mizan
Naqvi, Syed Nawab Haedar. 2003. Menggagas Ilmu Ekonomi Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Noer, Deliar. 1996. Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942. Jakarta: LP3ES
Olson, Mancur. 2002. (20th Printing). The Logic of Collective Action: Public Goods and the Theory of Groups.
Harvard University Press. USA
Oxford English Dictionary. https://en.oxforddictionaries.com/definition/community Diakses pada 23 Januari 2018
Prawiranegara, Sjafruddin. 2011. Ekonomi dan Keuangan: Makna Ekonomi Islam (Kumpulan Karangan Terpilih Jilid
2). Jakarta: Pustaka Jaya
Prawiranegara, Sjafruddin. 1986. Islam Sebagai Pedoman Hidup (Kumpulan Karangan Terpilih Jilid 1). Jakarta: Inti
Idayu Press
Rahardjo, Dawam. 1989. Perspektif Deklarasi Mekkah: Menuju Ekonomi Islam. Jakarta: Mizan
Rahardjo, Dawam. 1990. Etika Ekonomi dan Manajemen. Yogyakarta: Tiara Wacana
Rahardjo, Dawam. Islam dan Transformasi Sosial-Ekonomi. Jakarta: Lembaga Studi Agama dan Filsafat
Rahardjo, Dawam. 2015. Arsitektur Ekonomi Islam: Menuju Kesejahteraan Sosial. Jakarta: Mizan
Rahardjo, Dawam. 2004. “Kata Pengantar” dalam Karim, Adiwarman. 2004. Bank Islam: Analisis Fiqih dan
Keuangan. Jakarta: RajaGrafindo Persada
Richards, Adam and Reed, John. 2013. Social Capital’s Role in the Development of Volunteer-led Cooperatives.
Social Enterprise Journal, Vol. 11 Issue: 1, pp.4-23
Rosidi, Ajib. 1986. “Kata Pengantar” dalam Prawiranegara, Sjafruddin. 2011. Ekonomi dan Keuangan: Makna
Ekonomi Islam (Kumpulan Karangan Terpilih Jilid 2). Jakarta: Pustaka Jaya
Soekanto, Soerjono. 1986. Pengantar Sosiologi kelompok. Bandung: Penerbit Remadja Karya
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008. “Usaha, Mikro, Kecil, dan Menengah”. https://www.bi.go.id/id/tentang-
bi/uu bi/Documents/UU20Tahun2008UMKM. pdf [diakses pada tanggal 14 Mei 2018]
Wallis, Joe and Killerby, Paul. 2004. Social Economics and Social Capital. International Journal of Social Economics,
Vol. 31 Issue: 3, pp.235-258
Yunus, Muhammad. 2010. Bisnis Sosial: Sistem Kapitalisme Baru yang Memihak Kaum Miskin. Jakarta: PT Gramedia
Yusuf, Yusmar. 1989. Dinamika Kelompok: Kerangka Studi dalam Perspektif Psikologi Sosial. Bandung: Armico
Yustika, Ahmad Erani. 2012. Ekonomi Kelembagaan: Paradigma, Teori, dan Kebijakan. Jakarta: Erlangga
top related