desentralisasi fiskal
Post on 23-Dec-2015
36 Views
Preview:
TRANSCRIPT
SEKOLAH TINGGI AKUNTANSI NEGARA
DESENTRALISASI FISKAL
[Seminar Keuangan Publik]
Dyah Agustina Murtafiah (8)
Kelas VII B, Prodip IV Akuntansi Khusus, STAN, Tangerang Selatan
DESENTRALISASI FISKAL
Dyah Agustina Murtafiah
Kelas VII B, Prodip IV Akuntansi Khusus, STAN, Tangerang Selatan
Abstrak- Kebijakan otonomi daerah bertujuan mendorong pemerintah daerah dalam menciptakan pelayanan
publik yang dekat kepada masyarakat daerah secara lebih berkualitas dengan memaksimalkan peran serta dan
inisiatif seluruh komponen masyarakat setempat. Kebijakan ini memiliki konsekuensi logis adanya penyerahan
sebagian kewenangan pemerintah pusat ke daerah diikuti dengan penyerahan pendanaan pusat ke daerah
berupa kebijakan desentralisasi fiskal dalam kerangka hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan
daerah.
Kata Kunci: otonomi daerah, desentralisasi, fiskal
1. PENDAHULUAN
Reformasi yang digulirkan di negeri ini
memberikan arah perubahan yang cukup besar
terhadap tatanan pemerintahan di Indonesia. Salah
satu perubahan tersebut adalah lahirnya kebijakan
otonomi daerah yang mengatur hubungan
pemerintah pusat dengan pemerintah daerah.
Otonomi daerah memberikan pelimpahan
kewenangan dari pemerintah pusat kepada
pemerintah daerah untuk mengatur urusan
pelayanan dan pelaksanaan pembangunan sesuai
dengan peraturan perundangan yang berlaku.
Kebijakan ini memberikan ruang bagi pemerintah
daerah dalam membangun dan mengembangkan
daerahnya secara mandiri. Lahirnya Undang-
undang Nomor 22 Tahun 1999 dan kemudian
diganti dengan Undang- undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah merupakan
kebijakan yang mengatur tentang otonomi daerah.
Otonomi daerah merupakan salah satu instrumen
yang dinilai efektif dalam pelaksanaan pemerataan
pembangunan di tiap daerah, dimana diharapkan
dapat terjadi efisiensi dan keefektifan dalam
pelaksanaan pemerintahan di daerah serta mampu
menjadi solusi atas ketimpangan antar daerah yang
dianggap sebagai dampak dari sistem sentralistik
yang kurang adil.
Pada prinsipnya kebijakan otonomi daerah ini
adalah untuk mendukung pembangunan nasional
di negeri ini demi tercapainya pemerataan
kapasitas daerah dari berbagai aspek. Pemerintah
daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan
yang menjadi kewenangannya dalam menjalankan
otonomi seluas-luasnya berdasarkan asas otonomi
dan tugas pembantuan. Hubungan antara
pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan
pemerintah kabupaten kota saling terkait,
tergantung dan sinergis sebagai suatu sistem
pemerintahan. Salah satu wujud pelaksanaan
otonomi daerah ini adalah dengan adanya otonomi
dalam aspek pengelolaan keuangan daerah yang
disebut otonomi fiskal atau desentralisasi fiskal.
Pemerintah daerah diberikan sumber- sumber
keuangan untuk menyelenggarakan urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangan
pemerintah daerah. Desentralisasi fiskal
memberikan kewenangan kepada daerah untuk
mengelola keuangan daerahnya. Daerah diberikan
kewenangan dalam menggali sumber- sumber
penerimaan sesuai dengan potensi yang dimiliki.
Kebijakan tersebut mengatur kewenangan daerah
dalam menggali pendapatan asli daerah dan dana
transfer dari pemerintah pusat. Prinsip dari
desentralisasi fiskal tersebut adalah money follow
functions, dimana pemerintah daerah mendapat
kewenangan dalam melaksanakan fungsi
pelayanan dan pembangunan di daerahnya.
Pemerintah pusat memberikan dukungan dengan
menyerahkan sumber- sumber penerimaan kepada
daerah untuk dikelola secara optimal agar mampu
membiayai daerahnya dalam melaksanakan tugas
dan fungsinya. Disamping itu pemerintah pusat
juga memberikan dana transfer yang dapat dikelola
daerah dalam pembiayaan penyelenggaraan
pemerintahan daerah. Tujuannya adalah untuk
mengatasi ketimpangan fiskal dengan pemerintah
pusat dan antar pemerintah daerah lainnya. Untuk
meminimalisir ketergantungan Pemerintah Daerah
kepada Pemerintah Pusat melalui dana transfer
tersebut, daerah dituntut dapat mengoptimalkan
kemampuannya dalam menggali potensi
pendapatannya. Sumber-sumber pendapatan asli
daerah tersebut berupa: pajak daerah, retribusi
daerah, laba usaha milik daerah dan pendapatan
lain yang sah. Undang- undang No. 33 tahun 2004
tentang Perimbangan Keuangan Antara
Pemerintah Pusat Dengan Daerah mengamanatkan
bahwa daerah boleh meningkatkan pendapatan asli
daerahnya sesuai dengan peraturan perundangan
yang berlaku.
Pada prinsipnya kebijakan desentralisasi fiskal
mengharapkan ketergantungan daerah terhadap
pusat berkurang, sehingga mampu mencapai
kemandirian daerah sebagaimana tercapainya
tujuan otonomi itu sendiri. Ketergantungan kepada
bantuan pusat harus seminimal mungkin, sehingga
Pendapatan Asli Daerah (PAD) harus menjadi
sumber keuangan terbesar yang didukung oleh
kebijakan perimbangan keuangan pusat dan
daerah. Dengan demikian Pendapatan Asli Daerah
(PAD) memiliki peran yang sangat sentral dalam
membiayai pelaksanaan pemerintahan daerah.
Dalam UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan Antara Pusat Daerah
disebutkan bahwa PAD bertujuan memberikan
kewenangan kepada pemerintah Daerah untuk
mendanai pelaksanaan otonomi daerah sesuai
dengan potensi daerah sebagai perwujudan
desentralisasi.
2. LANDASAN TEORI
Dalam sistem pemerintah yang tersentralisasi
seluruh keputusan dibuat oleh pemerintah pusat.
Dengan demikian, akan muncul gap atau jurang
antara pemerintah pusat dengan rakyatnya, di
mana rakyat adalah pihak yang paling akhir
menerima dan menikmati barang dan jasa yang
disediakan oleh pemerintah. Sebagai akibatnya,
pemerintah kurang sensitif terhadap kebutuhan
rakyat dan barang serta pelayanan yang disediakan
oleh pemerintah tidak dapat memenuhi keinginan
dan preferensi seluruh masyarakat. Pemerintah
Pusat sering hanya menyediakan pelayanan standar
untuk seluruh wilayah nasional dan akhirnya
pemerintahan yang tersentralisasi hanya akan
mengakomodasi kebutuhan kota-kota besar, tetapi
tidak dapat menyediakan pelayanan publik yang
benar-benar dibutuhkan oleh masyarakat secara
keseluruhan.Sebagai jawaban atas kondisi tersebut
di atas, maka Negara harus mendistribusikan
kekuasaan Negara secara teritorial, pemencaran
kekuasaan negara tersebut yang kemudian
melahirkan kebijakan desentralisasi.
World Bank mendefinisikan desentralisasi sebagai
“the transfer of authority and responsibility for
public functions from the central government to
intermediate and local governments or quasi-
independent government organizations and/or the
private sector”. World Bank mengklasifikasikan
desentralisasi menjadi tiga yaitu Desentralisasi
Politik, Desentralisasi Administrasi, dan
Desentralisasi Fiskal.
Pengertian desentralisasi menurut Undang-undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah pada pasal 1 ayat 7 adalah penyerahan
wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada
daerah otonom untuk mengatur dan mengurus
urusan pemerintahan dalam sistem Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Wewenang yang
diberikan kepada pemerintah daerah adalah
menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk
mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas
pembantuan, kecuali untuk urusan-urusan yang
meliputi urusan politik luar negeri, pertahanan,
keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional,
dan agama. Penyerahan kewenangan dari
Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah dalam
melaksanakan urusannya harus diiringi dengan
dana untuk melaksanakan urusan tersebut,
sehingga keluarlah Undang-Undang No 33 Tahun
2004 tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Pembentukan Undang-Undang tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat
dan Pemerintahan Daerah dimaksudkan untuk
mendukung pendanaan atas penyerahan urusan
kepada Pemerintahan Daerah. Pendanaan tersebut
menganut prinsip money follow functions, yang
mengandung makna bahwa pendanaan mengikuti
fungsi pemerintahan yang menjadi kewajiban dan
tanggung jawab masing-masing tingkat
pemerintahan. Berdasarkan pengertian diatas,
desentralisasi fiskal didefinisikan sebagai suatu
proses distribusi anggaran dari tingkat
pemerintahan yang lebih tinggi kepada
pemerintahan yang lebih rendah, untuk
mendukung fungsi atau tugas pemerintahan dan
pelayanan publik sesuai dengan banyaknya
kewenangan pemerintahan yang dilimpahkan.
Kerangka pelaksanaan kebijakan desentralisasi
fiskal dimulai dari Undang-Undang Dasar 1945
yang mengamanatkan bahwa Negara Kesatuan
Republik Indonesia dibagi atas provinsi-provinsi
yang lebih lanjut dibagi atas kabupaten dan kota.
Setiap daerah tersebut mempunyai hak dan
kewajiban untuk mengatur dan melaksanakan
urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangannya sesuai dengan kemampuan
keuangan yang dimilikinya. Dalam rangka
pelaksanaan otonomi daerah menuju pengelolaan
keuangan negara yang efisien, dan sebagian urusan
pemerintahan. Penyerahan urusan pemerintahan
tersebut sebelumnya menjadi kewenangan
pemerintah pusat telah diserahkan kepada daerah
yang diikuti dengan pemberian kewenangan
kepada daerah untuk mengelola sumber daya
keuangan melalui kebijakan desentralisasi fiskal.
Pelaksanaan desentralisasi fiskal akan berjalan
dengan baik kalau didukung faktor-faktor berikut:
a) Pemerintah Pusat yang mampu melakukan
pengawasan dan enforcement;
b) SDM yang kuat pada Pemda guna
menggantikan peran Pemerintah Pusat;
c) Keseimbangan dan kejelasan dalam pembagian
tanggung jawab dan kewenangan dalam
melakukan pungutan pajak dan retribusi
daerah.
3. PEMBAHASAN
Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan,
Undang-Undang Dasar 1945 telah mengamanatkan
bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi
atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi
yang terdiri atas daerah-daerah kabupaten dan
kota. Tiap-tiap daerah tersebut mempunyai hak
dan kewajiban dalam mengatur dan mengurus
urusan pemerintahannya sendiri, untuk
meningkatkan efisiensi dan efektivitas
penyelenggaraan pemerintahan serta pelayanan
kepada masyarakat.
Untuk melaksanakan urusan pemerintahan yang
menjadi kewenangan daerah, sumber-sumber
pendanaan yang dapat dikelola oleh Pemerintah
Daerah terdiri dari Pendapatan Asli Daerah (PAD),
Dana Perimbangan, Pinjaman Daerah, dan Lain-
lain Pendapatan Yang Sah.Pendapatan Asli Daerah
bersumber dari hasil Pajak Daerah, hasil Retribusi
Daerah, hasil pengelolaan Kekayaan Daerah yang
dipisahkan, dan Lain-lain Pendapatan Asli Daerah
yang sah, yang digali dari daerah yang
bersangkutan berdasarkan asas desentralisasi.
1. Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
Kewenangan daerah untuk memungut pajak
dan retribusi diatur dengan Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak dan
Retribusi Daerah.Pajak daerah dan retribusi
daerah, yang merupakan komponen utama
PAD, seharusnya merupakan sumber
penerimaan penting bagi daerah dalam jangka
panjang. Ketergantungan daerah kepada
Pemerintah, berupa dana perimbangan,
diharapkan semakin lama semakin berkurang,
dan pada gilirannya daerah diharapkan akan
memiliki kemandirian pendanaan dan dedikasi
yang tinggi kepada masyarakat dalam
memberikan pelayanan dan peningkatan
kesejahteraan. Pengertian pajak daerah
berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun
2009 yaitu kontribusi wajib kepada daerah
yang terutang oleh orang pribadi atau badan
yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-
Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan
secara langsung dan digunakan untuk
keperluaan daerah bagi sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat.
Jenis pajak provinsi terdiri atas:
a) Pajak Kendaraan Bermotor : pajak atas
kepemilikan dan/atau penguasaan
kendaraan bermotor.
b) Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor :
pajak atas penyerahan hak milik kendaraan
bermotor sebagai akibatperjanjian dua
pihak atau perbuatan sepihak atau keadaan
yang terjadi karena jual beli, tukar
menukar, hibah,warisan, atau pemasukan ke
dalam badan usaha.
c) Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor :
pajak atas penggunaan bahan bakar
kendaraan bermotor
d) Pajak Air Permukaan : pajak atas
pengambilandan/atau pemanfaatan air
permukaan.
e) Pajak Rokok : pungutan atas cukai rokok
yangdipungut oleh Pemerintah.
Jenis pajak kabupaten/kota terdiri atas:
a) Pajak Hotel : pajak atas pelayanan yang
disediakanoleh hotel.
b) Pajak Restoran : pajak atas pelayanan
yangdisediakan oleh restoran.
c) Pajak Hiburan : pajak atas penyelenggaraan
hiburan
d) Pajak Reklame : pajak atas
penyelenggaraan reklame
e) Pajak Penerangan Jalan : pajak atas
penggunaan tenaga listrik, baik yang
dihasilkan sendiri maupun diperoleh dari
sumber lain.
f) Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan :
pajak atas kegiatan pengambilan mineral
bukan logam dan batuan,baik dari sumber
alam di dalam dan/atau permukaanbumi
untuk dimanfaatkan.
g) Pajak Parkir : pajak atas penyelenggaraan
tempatparkir di luar badan jalan, baik yang
disediakan berkaitandengan pokok usaha
maupun yang disediakan sebagaisuatu
usaha, termasuk penyediaan tempat
penitipankendaraan bermotor.
h) Pajak Air Tanah : pajak atas pengambilan
dan/atau pemanfaatan air tanah.
i) Pajak Sarang Burung Walet : pajak atas
kegiatan pengambilan dan/atau
pengusahaan sarang burung walet
j) Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan
Perkotaan : pajak atas bumi dan/atau
bangunan yang dimiliki,dikuasai, dan/atau
dimanfaatkan oleh orang pribadi
atauBadan, kecuali kawasan yang
digunakan untuk kegiatanusaha
perkebunan, perhutanan, dan pertambangan
k) Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan : pajak atas perolehan hak atas
tanah dan/atau bangunan.
Jenis-jenis pajak tersebut di atas dapat tidak
dipungut apabila potensinya kurang memadai
dan/atau disesuaikan dengan kebijakan Daerah
yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah.Daerah
dilarang memungut pajak selain jenis-jenis pajak
sebagaimana tersebut di atas. Khusus untuk
Daerah yang setingkat dengan daerah provinsi,
tetapi tidak terbagi dalam daerah kabupaten/kota
otonom, seperti Daerah Khusus Ibukota Jakarta,
jenis pajak yang dapat dipungut merupakan
gabungan dari pajak untuk daerah provinsi dan
pajak untuk daerah kabupaten/kota. Pajak daerah
ditetapkan dengan Peraturan Daerah dengan
memperhatikan ketentuan dalam Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 2009.
Sementara itu, pengertian Retribusi Daerah
berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun
2009 yaitu pungutan Daerah sebagai pembayaran
atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus
disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah
Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau
Badan.
Retribusi daerah ditetapkan dengan Peraturan
Daerah dengan memperhatikan ketentuan dalam
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009.Retribusi
daerah dibagi menjadi tiga jenis yaitu Retribusi
Jasa Umum, Retribusi Jasa Usaha, dan Retribusi
Perizinan Tertentu.
a. Retribusi Jasa Umum
Objek Retribusi Jasa Umum adalah pelayanan
yang disediakanatau diberikan Pemerintah Daerah
untuk tujuan kepentingandan kemanfaatan umum
serta dapat dinikmati oleh orangpribadi atau
Badan.
Jenis Retribusi Jasa Umum adalah:
Retribusi Pelayanan Kesehatan;
Retribusi Pelayanan Persampahan/Kebersihan;
Retribusi Penggantian Biaya Cetak Kartu
TandaPenduduk dan Akta Catatan Sipil;
Retribusi Pelayanan Pemakaman dan
PengabuanMayat;
Retribusi Pelayanan Parkir di Tepi Jalan
Umum;
Retribusi Pelayanan Pasar;
Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor;
Retribusi Pemeriksaan Alat Pemadam
Kebakaran;
Retribusi Penggantian Biaya Cetak Peta;
Retribusi Penyediaan dan/atau Penyedotan
Kakus;
Retribusi Pengolahan Limbah Cair;
Retribusi Pelayanan Tera/Tera Ulang;
Retribusi Pelayanan Pendidikan; dan
Retribusi Pengendalian Menara
Telekomunikasi.
b. Retribusi Jasa Usaha
Objek Retribusi Jasa Usaha adalah pelayanan yang
disediakanoleh Pemerintah Daerah dengan
menganut prinsip komersial yang meliputi:
1) pelayanan dengan menggunakan/
memanfaatkan kekayaan Daerah yang belum
dimanfaatkan secara optimal; dan/atau
2) pelayanan oleh Pemerintah Daerah sepanjang
belum disediakan secara memadai oleh pihak
swasta.
Jenis Retribusi Jasa Usaha adalah:
Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah;
Retribusi Pasar Grosir dan/atau Pertokoan;
Retribusi Tempat Pelelangan;
Retribusi Terminal;
Retribusi Tempat Khusus Parkir;
Retribusi Tempat Penginapan/Pesanggrahan/
Villa;
Retribusi Rumah Potong Hewan;
Retribusi Pelayanan Kepelabuhanan;
Retribusi Tempat Rekreasi dan Olahraga;
Retribusi Penyeberangan di Air; dan
Retribusi Penjualan Produksi Usaha Daerah.
c. Retribusi Perizinan Tertentu
Objek Retribusi Perizinan Tertentu adalah
pelayanan perizinan tertentu oleh Pemerintah
Daerah kepada orang pribadi atau Badan yang
dimaksudkan untuk pengaturan dan pengawasan
atas kegiatan pemanfaatan ruang, penggunaan
sumber daya alam, barang, prasarana, sarana, atau
fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan
umum dan menjaga kelestarian lingkungan.
Jenis Retribusi Perizinan Tertentu adalah:
Retribusi Izin Mendirikan Bangunan;
Retribusi Izin Tempat Penjualan Minuman
Beralkohol;
Retribusi Izin Gangguan;
Retribusi Izin Trayek; dan
Retribusi Izin Usaha Perikanan.
Berdasarkan data yang diperoleh dari website
Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan, dapat
diketahui bahwa nominal penerimaan pajak dan
retribusi daerah terbesar pada tahun 2013 dan 2014
diperoleh oleh Provinsi DKI Jakarta dengan
nominal sebesar Rp 23,4 triliun rupiah untuk tahun
2013 dan Rp 34,2 triliun rupiah untuk tahun 2014.
Sementara nominal pendapatan pajak dan retribusi
daerah terkecil diperoleh oleh Provinsi Kalimantan
Utara yang belum memiliki penerimaan dari pajak
dan retribusi daerah (provinsi baru). Setelah
Provinsi Kalimantan Utara, provinsi lainnya yang
menerima pendapatan pajak dan retribusi daerah
terkecil yaitu Provinsi Papua Barat dengan
nominal sebesar Rp117,9 miliar rupiah untuk
tahun 2013 dan Rp 166,7 miliar rupiah untuk tahun
2014.Berdasarkan data tersebut dapat diketahui
pula bahwa terjadi peningkatan nominal
pendapatan pajak dan retribusi daerah di seluruh
provinsi di Indonesia, selain Provinsi Kalimantan
Utara, dengan persentase peningkatan terbesar
diperoleh oleh Provinsi Papua sebesar 91,51%
yaitu dari Rp 338,2 miliar pada tahun 2013
menjadi Rp 647,7 miliar pada tahun 2014.
Sementara persentase peningkatan terkecil
diperoleh oleh Provinsi Bengkulu yaitu sebesar
2,12%.
Sementara itu, proporsi pendapatan pajak dan
retribusi daerah terhadap total pendapatan daerah
yang paling besar diperoleh oleh Provinsi Banten
yaitu sebesar 60,62 % untuk tahun 2013 dan
66,02% untuk tahun 2014. Sementara itu, proporsi
terkecil diperoleh oleh Provinsi Kalimantan Utara
yang belum memiliki penerimaan dari pajak dan
retribusi daerah (provinsi baru). Setelah Provinsi
Kalimantan Utara, provinsi lainnya yang menerima
proporsi pendapatan pajak dan retribusi daerah
terhadap total pendapatan daerah, terkecil yaitu
Provinsi Papua Barat dengan persentase sebesar
2,77% untuk tahun 2013 dan 3,16% untuk tahun
2014.Secara umum, dapat terlihat bahwa proporsi
pendapatan pajak dan retribusi daerah terhadap
total pendapatan daerah mengalami peningkatan
dari tahun 2013 ke tahun 2014. Hal ini
menunjukkan bahwa peranan pajak dan retribusi
daerah sebagai salah satu sumber pendanaan dalam
pelayanan barang dan jasa publik semakin
meningkat.
2. Transfer Daerah
Dana Perimbangan
Sesuai dengan amanah Undang-Undang Nomor 33
Tahun 2004 (UU 33/2004) tentang Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintahan Daerah, Pemerintah Pusat
mengalokasi dana transfer ke daerah berupa dana
perimbangan untuk mengatasi kesenjangan fiskal
horizontal (horizontal fiscal imbalance) dan
kesenjangan fiskal vertikal (vertical fiscal
imbalance). Ketimpangan tersebut terjadi akibat
dari pembagian kewenangan antara tingkat
pemerintahan, Pemerintah Pusat, Provinsi, dan
Kabupaten/Kota. Instrumen dalam mengatasi
ketimpangan fiskal tersebut adalah Dana Bagi
Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), dan
Dana Alokasi Khusus (DAK).
a) DBH
DBH adalah dana yang bersumber dari pendapatan
APBN yang dialokasikan kepada daerah
berdasarkan angka persentase tertentu untuk
mendanai kebutuhan daerah dalam rangka
pelaksanaan desentralisasi. DBH dialokasikan
berdasarkan prinsip by origin, dimana daerah
penghasil penerimaan negara mendapatkan bagian
(persentase) yang lebih besar dan daerah lainnya
dalam satu provinsi mendapatkan bagian
(persentase) berdasarkan pemerataan. Sedangkan
penyaluran DBH dilakukan berdasarkan prinsip by
actual, dimana besarnya DBH yang disalurkan
kepada daerah, baik daerah penghasil maupun
yang mendapat alokasi pemerataan didasarkan atas
realisasi penyetoran Penerimaan Negara Pajak
(PNP) dan PNBP tahun anggaran berjalan.
DBH terdiri dari DBH Pajak dan DBH SDA. DBH
Pajak meliputi DBH Pajak Bumi dan Bangunan
(PBB), DBH Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25
dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam
Negeri (PPh Pasal 25/29 WP OPDN) dan PPh
Pasal 21, dan DBH Cukai Hasil Tembakau (CHT).
DBH SDA berasal dari kehutanan, pertambangan
umum, perikanan, pertambangan minyak bumi,
pertambangan gas bumi, dan pertambangan panas
bumi.
b) DAU
DAU adalah dana yang bersumber dari pendapatan
dalam negeri yang ditetapkan dalam Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang
dialokasikan kepada daerah dengan tujuan untuk
pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk
mendanai kebutuhan daerah dalam rangka
pelaksanaan desentralisasi. DAU merupakan
instrumen transfer yang dimaksudkan untuk
meminimumkan ketimpangan fiskal antar daerah
(horizontal imbalances), sekaligus memeratakan
kemampuan antar daerah (equalization grant).
Besaran pagu DAU nasional berdasarkan amanat UU
33/2004 ditetapkan sekurangkurangnya 26% dari
Pendapatan Dalam Negeri (PDN) Neto. PDN Neto
adalah penerimaan negara yang berasal dari pajak dan
bukan pajak setelah dikurangi dengan penerimaan
negara yang dibagihasilkan kepada daerah (DBH).
Proporsi DAU untuk provinsi ditetapkan sebesar 10%
dan untuk kabupaten/kota ditetapkan 90% dari besaran
DAU secara nasional.
Penyaluran DAU kepada daerah dilaksanakan setiap
bulan masing-masing sebesar 1/12 dari besaran
alokasi masing-masing daerah. Dalam rangka
penyaluran tersebut, Jenderal Perimbangan Keuangan
(Dirjen PK) atau pejabat yang ditunjuk menerbitkan
Surat Perintah Membayar (SPM) setiap bulan dan
menyampaikannya kepada Kuasa Bendahara Umum
Negara (BUN)-Kantor Pelayanan Perbendaharaan
Negara (KPPN) Jakarta II – Direktorat Jenderal
Perbendaharaan (DJPb).
c) DAK
DAK merupakan dana yang bersumber dari
Pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah
tertentu untuk membantu mendanai kegiatan khusus
yang merupakan urusan daerah sesuai prioritas
nasional. Kegiatan khusus yang didanai DAK adalah
penyediaan/perbaikan sarana dan prasarana pelayanan
dasar masyarakat serta kegiatan yang dapat
mendorong percepatan pembangunan daerah dan
pencapaian sasaran prioritas nasional.
Adapun kebijakan umum pengalokasian DAK adalah
sebagai berikut:
1) mendukung pencapaian prioritas nasional,
termasuk program-program prioritas nasional yang
bersifat lintas sektor/kewilayahan sesuai dengan
kerangka pengeluaran jangka menengah (medium
term expenditure framework) dan penganggaran
berbasis kinerja (performance based budgeting).
2) membantu daerah-daerah yang memiliki
kemampuan keuangan relatif rendah dalam
membiayai pelayanan publik dalam rangka
pemerataan pelayanan dasar dan mendorong
pencapaian SPM.
3) meningkatkan kualitas perhitungan alokasi DAK,
serta mempercepat penyusunan petunjuk teknis
penggunaan DAK yang ditujukan untuk
mendorong penyusunan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD) yang efektif, efisien, dan
tepat waktu.
4) meningkatkan koordinasi pengelolaan DAK secara
utuh dan terpadu di pusat dan daerah sehingga
terwujud sinkronisasi kegiatan DAK dengan
kegiatan lain yang didanai dari sumber-sumber
pendanaan lainnya.
5) meningkatkan penyediaan data-data teknis yang
lebih akurat sebagai basis kebijakan kementerian
dan lembaga dalam rangka meningkatkan
keserasian dan menghindari duplikasi kegiatan
antar Bidang DAK.
6) mendorong penggunaan kinerja pelaporan sebagai
salah satu pertimbangan dalam penyusunan kriteria
pengalokasian DAK.
Dana Otonomi Khusus (Otsus) dan Penyesuaian
Dana Otonomi Khusus (Dana Otsus) adalah dana yang
bersumber dari pendapatan APBN yang diberikan
kepada daerah yang telah ditetapkan sebagai daerah
otonomi khusus berdasarkan UU Otsus. Ada dua UU
yang mengatur Otsus, yaitu UU Nomor 21 Tahun
2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua jo.
UU Nomor 35 Tahun 2008 dan UU Nomor 11 Tahun
2006 tentang Pemerintahan Aceh. Alokasi Dana otsus
bagi Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat
besarnya setara 2% dari Pagu DAU Nasional, dengan
pembagian 70% untuk Provinsi Papua dan 30% untuk
Provinsi Papua Barat yang ditujukan untuk
pembiayaan pendidikan dan kesehatan. Dalam rangka
otsus pula Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat
juga mendapatkan alokasi Dana Tambahan
Infrastruktur (DTI) yang besarnya disesuaikan dengan
kemampuan keuangan negara dan tambahan porsi
DBH SDA Minyak Bumi dan DBH SDA Gas Bumi
masing-masing sebesar 55% dan 40%.
Pendanaan Otsus Provinsi Papua dan Papua Barat oleh
Pemerintah Pusat menurut UU 21/2001 harus disertai
dengan terbitnya Perda Khusus (Perdasus) yang
mengatur diantaranya mengenai alokasi dana kepada
daerah provinsi, kabupaten, dan kota di lingkungan
Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat.
Dana Otsus Provinsi Aceh berlaku untuk jangka waktu
20 tahun sejak 2008, yang alokasinya dibedakan
menjadi dua, yakni:
1) untuk tahun pertama s.d. tahun kelimabelas,
besarnya setara dengan 2% plafon DAU Nasional,
dan
2) untuk tahun keenambelas s.d. tahun keduapuluh,
besarnya setara dengan 1% plafon DAU Nasional.
Arah penggunaan Otsus Aceh ditujukan untuk
membiayai pembangunan terutama pembangunan dan
pemeliharaan infrastruktur, pemberdayaan ekonomi
rakyat, pengentasan kemiskinan, serta pendanaan
pendidikan, sosial, dan kesehatan (Pasal 183, ayat 1
UU 11/2006).
Dana Tambahan Infrastruktur (DTI)
a. Dana tambahan dalam rangka pelaksanaan Otsus
yang besarnya ditetapkan antara Pemerintah Pusat
dan DPR berdasarkan usulan Provinsi pada setiap
tahun anggaran yang terutama ditujukan untuk
pembiayaan pembangunan infrastruktur.
b. Pembangunan infrastruktur dimaksudkan agar
sekurang-kurangnya dalam 25 tahun seluruh kota-
kota Provinsi, Kabupaten/Kota, Distrik atau pusat-
pusat penduduk lainnya terhubungkan dengan
transportasi darat, laut, dan udara yang berkualitas,
sehingga Provinsi Papua dapat melakukan aktivitas
ekonominya secara baik dan menguntungkan
sebagai bagian dari sistem perekonomian nasional
dan global.
Dana Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta
(DIY)
Dana keistimewaan DIY merupakan dana yang
berasal dari APBN dalam rangka pelaksanaan
kewenangan Keistimewaan DIY yang diperuntukkan
bagi dan dikelola oleh Pemerintah Provinsi DIY yang
pengalokasian dan penyalurannya melalui mekanisme
transfer ke daerah sesuai dengan kebutuhan Provinsi
DIY dan kemampuan keuangan negara.
Pemerintah menyediakan pendanaan dalam rangka
penyelenggaraan urusan keistimewaan DIY dalam
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sesuai
dengan kebutuhan Provinsi DIY dan kemampuan
keuangan negara. Dana dalam rangka pelaksanaan
Keistimewaan DIY tersebut dibahas dan ditetapkan
oleh Pemerintah Pusat berdasarkan pengajuan
Pemerintah Provinsi DIY. Dana keistimewaan yang
diperuntukkan bagi dan dikelola oleh Pemerintah
Provinsi DIY yang pengalokasian dan penyalurannya
melalui mekanisme transfer ke daerah dari Rekening
Kas Umum Negara (RKUN) ke Rekening Kas Umum
Daerah (RKUD). Mekanisme pengalokasian dan
penyaluran dana keistimewaan tersebut diatur dalam
Peraturan Menteri Keuangan Nomor
103/PMK.07/2013 tentang Tata Cara Pengalokasian
dan Penyaluran Dana Keistimewaan DIY.
Dalam rangka pelaporan, Pemprov DIY wajib
menyampaikan Laporan Akhir Realisasi Penggunaan
Dana Keistimewaan kepada KPA Dana Keistimewaan
DIY dan Laporan Akhir Pencapaian Kinerja
Penggunaan Dana Keistimewaan kepada
menteri/pimpinan lembaga pemerintah non-
kementerian terkait. Menteri/pimpinan lembaga
pemerintah nonkementerian terkait melakukan
verifikasi atas laporan pencapaian kinerja.
Guna pemantauan dan evaluasi atas penggunaan Dana
Keistimewaan DIY, Menkeu melakukan pemantauan
dan evaluasi atas penyaluran dana keistimewaan DIY.
Sementara itu, menteri/pimpinan lembaga pemerintah
non-kementerian terkait melakukan pemantauan dan
evaluasi atas kinerja teknis dan pencapaian output.
Dana Tunjangan Profesi Guru (TPG) PNSD dan Dana
Tambahan Penghasilan (Tamsil) Guru PNSD
UU Nomor 14 Tahun 2005 (UU 14/2005) tentang
Guru dan Dosen, mendudukkan Guru sebagai tenaga
profesional pada jenjang pendidikan dasar, menengah,
dan pendidikan usia dini. Sebagai pendidik
profesional, guru diwajibkan memiliki kualitas
akademik, kompetensi, sertifikat pendidik serta
kemampuan untuk mewujudkan tujuan nasional
sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945.
Pasal 16 ayat (2) UU 14/2005 mengamanatkan bahwa
guru yang telah memiliki sertifikat pendidik yang
diangkat oleh penyelenggara pendidikan dan/atau
satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh
masyarakat serta memenuhi persyaratan lainnya
berhak mendapatkan tunjangan profesi guru setara 1
(satu) kali gaji pokok. Sejak tahun 2007, Guru PNSD
maupun non PNSD yang sudah bersertifikasi
menerima TPG PNSD yang langsung dibayarkan oleh
Pemerintah Pusat melalui Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan (Kemendikbud), sementara untuk
Guru PNSD yang belum bersertifikat mendapatkan
tunjangan kemaslahatan berupa dana Tamsil Guru
PNSD yang jumlahnya tetap setiap tahun berdasarkan
Peraturan Presiden Nomor 52 Tahun 2009 tentang
Tambahan Penghasilan Bagi Guru Pegawai Negeri
Sipil.
Berkenaan dengan penyelarasan prinsip-prinsip
otonomi daerah, di mana kewenangan atas pegawai
daerah termasuk Guru PNSD merupakan kewenangan
Pemda, sejak tahun 2009 pembayaran Tamsil Guru
PNSD yang semula dilakukan oleh Pemerintah Pusat
(Kemendikbud) ke Guru yang bersangkutan, diubah
mekanismenya melalui Transfer ke Daerah, sementara
untuk TPG PNSD diubah mekanisme penyalurannya
sejak tahun 2010.
Kebijakan pengalihan pengelolaan TPG PNSD dan
dana Tamsil Guru PNSD dari Pemerintah Pusat
(Kemendikbud) kepada pemerintah Kabupaten/Kota
merupakan wujud pelaksanaan desentralisasi dalam
pembagian urusan pemerintahan antara pemerintah
pusat dan Pemda. Hal tersebut sejalan dengan amanat
Pasal 6 dan 7 PP Nomor 38 Tahun 2007, bahwa
pendidikan termasuk salah satu urusan pemerintahan
yang wajib diselenggarakan oleh pemerintahan daerah
provinsi dan pemerintahan daerah kabupaten/kota,
berkaitan dengan pelayanan dasar. Pemerintah Pusat
(Kemenkeu) melakukan pemindahbukuan dari RKUN
ke RKUD masing-masing Pemda yang selanjutnya
dibayarkan kepada masing-masing guru yang berhak.
Alokasi TPG PNSD dan Dana Tamsil Guru PNSD per
Daerah merupakan usulan dari Kemendikbud yang
disampaikan kepada Kemenkeu setiap tahun
berdasarkan hasil rekonsiliasi data Guru PNSD.
Berdasarkan usulan tersebut, Kemenkeu menerbitkan
PMK yang menjadi dasar hukum penyaluran dari
RKUN ke RKUD masing-masing Pemda.
Tunjangan Profesi Guru PNSD dimaksudkan untuk
meningkatkan mutu guru PNSD sebagai amanat UU
Nomor 14 Tahun 2005. Tunjangan Profesi Guru
PNSD yang disalurkan melalui mekanisme Transfer
ke Daerah adalah tunjangan profesi yang diberikan
kepada seluruh guru PNSD yang telah memiliki
sertifikat pendidik kecuali guru pendidikan agama.
Sementara itu, untuk Guru belum menerima tunjangan
profesi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan, diberikan dana Tambahan Penghasilan
Guru PNSD yang besarnya Rp250.000,00 per bulan
(sebanyak 12 bulan). Dana Tambahan Penghasilan
Guru PNSD mulai diberikan tanggal 1 Januari 2009
sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 52 Tahun
2009 tentang Tambahan Penghasilan Bagi Guru
Pegawai Negeri Sipil. Tambahan Penghasilan Guru
PNSD diberhentikan pembayarannya apabila guru
yang bersangkutan diangkat dalam jabatan struktural
atau jabatan fungsional lain atau sudah menerima
tunjangan profesi atau karena hal lain sesuai ketentuan
peraturan perundangundangan.
Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS)
BOS adalah dana yang digunakan terutama untuk
biaya non personalia bagi satuan pendidikan dasar
sebagai pelaksana program wajib belajar, dan dapat
dimungkinkan untuk mendanai beberapa kegiatan lain
sesuai petunjuk teknis Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan. Pemberian dana BOS bertujuan untuk
membebaskan biaya pendidikan bagi siswa tidak
mampu dan meringankan beban biaya bagi siswa yang
lain sehingga memperoleh layanan pendidikan yang
lebih bermutu dalam rangka penuntasan Wajib Belajar
Sembilan Tahun. Dana BOS merupakan stimulus bagi
daerah dan bukan pengganti (substitusi) dari
kewajiban daerah untuk menyediakan anggaran
pendidikan. Sehubungan dengan itu pemberian dana
BOS akan diikuti dengan perkuatan monitoring dan
evaluasi untuk menghindari terjadinya penyimpangan
sekaligus memastikan bahwa daerah tidak mengurangi
alokasi anggaran untuk penyelenggaraan BOS Daerah
(BOS DA). BOS akan dikelola oleh Tim Pusat, Tim
Provinsi, dan Tim Kabupaten/Kota yang berkoordinasi
secara teratur untuk menjamin agar pelaksanaan BOS
mulai dari perencanaan, penganggaran, pengalokasian,
penyaluran, pelaporan, monitoring dan evaluasi
berjalan lancar dan dapat meminimalkan
permasalahan.
Dana Darurat
Dana Darurat merupakan dana yang berasal dari
APBN yang dialokasikan kepada daerah yang
mengalami bencana nasional dan/atau peristiwa luar
biasa sebagaimana yang diamanatkan dalam ketentuan
Pasal 48 UU 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan
antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
Dana Darurat digunakan untuk keperluan mendesak
yang tidak dapat ditanggulangi oleh Daerah dengan
menggunakan pendanaan yang bersumber dari APBD.
Keadaan yang dapat digolongkan sebagai bencana
nasional dan/peristiwa luar biasa tersebut ditetapkan
oleh Presiden, sehingga hanya daerah yang terkena
bencana dan telah mendapat penetapan sebagai
bencana nasional oleh Presiden yang dapat
mengajukan dana darurat kepada Pemerintah Pusat.
Terkait dengan Dana Penanggulangan Bencana yang
didanai APBN, terdapat tiga tahap dalam
penanggulangan bencana, yaitu Tahap Pra-bencana,
Tahap Tanggap Darurat dan Tahap Pasca-bencana.
Berdasarkan PP Nomor 44 Tahun 2012 tentang Dana
Darurat, Dana Darurat digunakan untuk mendanai
kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi pada tahap
pascabencana yang menjadi kewenangan daerah
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang mengatur kewenangan daerah. Batas
waktu rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana
ditetapkan oleh Presiden. Dengan demikian, Dana
Darurat tersebut merupakan bagian dari dana
desentralisasi yang digunakan untuk mendanai
kewenangan daerah dalam penanggulangan bencana
pada tahap pasca bencana. Sementara itu, pendanaan
pada tahap prabencana, tanggap darurat, dan tahap
pasca bencana yang menjadi urusan Pemerintah Pusat
menjadi kewenangan Badan Nasional Penanggulangan
Bencana (BNPB).
Pengelolaan Dana Darurat diatur dalam PMK Nomor
81/PMK.07/2013 (PMK 81/2013) tentang Tata Cara
Pengelolaan Dana Darurat. Dalam proses
penganggaran Dana Darurat, Pemda mengajukan
permintaan Dana Darurat kepada Menkeu dengan
melampirkan kerangka acuan kegiatan. Menkeu
bersama Kepala BNPB dan/atau menteri/pimpinan
lembaga pemerintah non kementerian terkait
melakukan verifikasi dan evaluasi terhadap
permintaan Dana Darurat. Selanjutnya, Menkeu
menetapkan alokasi Dana Darurat berdasarkan
mekanisme APBN. Penyaluran Dana Darurat
dilakukan melalui tata cara pemindahbukuan dari
RKUN ke RKUD. Dana Darurat tersebut disalurkan
secara bertahap sesuai dengan pencapaian kinerja.
Menkeu, Kepala BNPB, dan menteri/pimpinan
lembaga pemerintahan non kementerian terkait
melakukan pemantauan dan evaluasi atas penyaluran
dan penggunaan Dana Darurat. Dalam rangka
pertanggungjawaban pelaksanaan anggaran Dana
Darurat, Pemda wajib menyampaikan laporan realisasi
penggunaan Dana Darurat kepada Menkeu dan
laporan akhir pencapaian kinerja Dana Darurat kepada
Kepala BNPB dan menteri/pimpinan lembaga
pemerintah non kementerian terkait.
Kebijakan Hibah Daerah
Hibah Daerah adalah pemberian dengan pengalihan
hak atas sesuatu dari Pemerintah Pusat atau pihak lain
kepada Pemda atau sebaliknya yang secara spesifik
telah ditetapkan peruntukannya dan dilakukan melalui
perjanjian. Kebijakan hibah daerah merupakan bagian
yang tidak dapat dipisahkan dari penyelenggaraan asas
desentralisasi dan otonomi daerah. Pemberian hibah
oleh Pemerintah Pusat kepada Pemda atau sebaliknya
merupakan wujud pelaksanaan hubungan keuangan
antara Pemerintah Pusat dan Pemda.
Dasar hukum yang mengatur mengenai pemberian dan
penggunaan hibah kepada pemerintah daerah tersebut
telah diatur dalam PP Nomor 57 Tahun 2005 tentang
Hibah Kepada Daerah. Sebagai pelaksanaannya, telah
diterbitkan pula PMK Nomor 168/PMK.07/2008
tentang Hibah Daerah dan PMK Nomor
169/PMK.07/2008 Tentang Tata Cara Penyaluran
Hibah Kepada Pemerintah Daerah. Sebagai upaya
perbaikan dalam peningkatan akuntabilitas dan
transparansi pelaksanaan hibah daerah, pada tahun
2012 telah diterbitkan PP Nomor 2 Tahun 2012
tentang Hibah Daerah sebagai pengganti PP Nomor 57
Tahun 2005. Sebagai peraturan pelaksanaannya telah
ditetapkan PMK Nomor 188/PMK.07/2012 tentang
Hibah dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah
Daerah.
Beberapa ketentuan yang diatur dalam PP 2/2012
antara lain:
a. Penegasan bahwa hibah dari Pemerintah Pusat
kepada Pemda atau sebaliknya dilaksanakan
melalui mekanisme APBN dan APBD.
b. Pengaturan mengenai perencanaan hibah, baik
yang bersumber dari luar negeri maupun
penerimaan dalam negeri yang diberikan
berdasarkan kriteria tertentu dan kewenangan
pihak-pihak yang terkait pemberian atau penerusan
hibah.
c. Pengakuan terhadap variasi metode penyaluran
hibah dalam bentuk uang untuk Pemdaguna
menampung berbagai bentuk metode penyaluran
untuk pemberian dan/atau penerusan hibah yang
selama ini telah dikenal oleh pemberi
pinjaman/hibah luar negeri dan telah diatur dalam
PP 10/2011 tentang Tata Cara Pengadaan
Pinjaman Luar Negeri dan Penerimaan Hibah.
d. Pengaturan bahwa penyaluran hibah kepada
Pemda dapat disalurkan secara bertahap sesuai
dengan capaian kinerja dan dilakukan setelah
mendapat pertimbangan terlebih dahulu dari
kementerian negara/lembaga pemerintah non
kementerian.
e. Penerapan asas fleksibilitas dalam penerimaan,
penganggaran, dan pelaksanaan hibah kepada
daerah terutama yang bersumber dari hibah luar
negeri.
3. Pembiayaan Daerah
Dalam rangka meningkatkan efektivitas dan efisiensi
pengelolaan pinjaman daerah serta menyesuaikan
dengan perkembangan kebutuhan dalam rangka
pelaksanaan hubungan keuangan antara Pemerintah
Pusat dan Pemerintahan Daerah, dilakukan revisi PP
Nomor 54 Tahun 2005 tentang Pinjaman Daerah
menjadi PP Nomor 30 Tahun 2011 tentang Pinjaman
Daerah. Revisi PP ini dilakukan sejalan dengan
dilakukannya revisi PP Nomor 2 Tahun 2006 tentang
Tata Cara Pengadaan Pinjaman dan/atau Penerimaan
Hibah Serta Penerusan Pinjaman dan/atau Hibah Luar
Negeri menjadi PP Nomor 10 Tahun 2011 tentang
Tata Cara Pengadaan Pinjaman Luar Negeri dan
Penerimaan Hibah.
4. KESIMPULAN DAN SARAN
Dengan kebijakan desentralisasi fiskal sesuai prinsip
money follows function, pemerintah pusat telah
mengalokasikan dana transfer ke daerah dalam
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)
setiap tahun kepada daerah. Dana transfer ke daerah
merupakan salah satu sumber pendapatan bagi daerah
dalam melaksanakan pemerintahan dan pembangunan
daerah. Namun demikian, pada kenyataannya dana
transfer tersebut lebih banyak tersedot untuk belanja
pegawai, sehingga anggaran untuk membiayai
pembangunan daerah sangat minim.
Dalam rangka penyelenggaraan pelayanan publik
tidak dapat dilepaskan dengan ketersediaan dana yang
dimiliki oleh masing-masing pemda. Dapat dikatakan
hampir semua penyelenggaraan pelayanan publik
mengalami keterbatasan anggaran yang menyebabkan
tidak optimalnya pelayanan publik yang diberikan
kepada masyarakat.
Untuk menambah sumber Pendapatan Asli Daerah
(PAD), maka daerah diberikan kewenangan yang lebih
besar di bidang perpajakan dan retribusi daerah (local
taxing empowerment). Dengan kebijakan tersebut
diharapkan daerah dapat menyediakan anggaran yang
lebih untuk memenuhi kebutuhan dana dalam
penyelenggaraan pelayanan publik. Namun demikian,
Pemda juga harus bijak dalam membelanjakan
uangnya dengan memprioritaskan untuk belanja
publik sesuai dengan apa yang paling dibutuhkan oleh
masyarakatnya. Belanja publik tersebut harus
harmonis antara pusat dan daerah agar
penyelenggaraan pelayanan publik menjadi efektif dan
efisien. Jangan sampai terjadi pendanaan ganda untuk
jenis pelayanan publik yang sama, baik yang dibiayai
melalui pendanaan dari Kementerian dan Lembaga
(K/L) ataupun melalui Dana Alokasi Khusus.
Saran yang disampaikan adalah Pemerintah
diharapkan lebih meningkatkan Pendapatan Asli
Daerah sebagai sumber pendanaan APBD. Kebijakan
Desentralisasi Fiskal di Indonesia jangan sampai
hanya sebagai pendelegasian/pendistribusian tanggung
jawab pengeluaran (the assignment of expenditure
responsibility) dan transfer dari pemerintah pusat ke
pemerintah daerah (inter-governmental fiscal transfer)
saja namun juga harus memaksimalkan dari dimensi
pendistribusian sumber perpajakan (assignment of tax
resources) guna meningkatkan stabilitas makro
ekonomi.Selain itu, hendaknya pemerintah daerah
menggunakan sumber pendanaan secara lebih efisien
dalam penyediaan barang dan jasa publik.
Selain itu, Pemerintah Daerah harus mencoba
memperkuat kapasitas kelembagaan dan sumber daya
manusia dalam pengelolaan dana otonomi khusus.
DAFTAR REFERENSI
[1] Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang
Keuangan Negara
[2] Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010
tentang Standar Akuntansi Pemerintahan
[3] Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2006
tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi
Pemerintah
[4] http://accountingarea.blogspot.com/2012/07/
laporan-keuangan-konsolidasian.html
(diakses tanggal 29 Januari 2015)
[5] http://staff.ui.ac.id/system/files/users/martani/
material/
psap11konsolidasitotksapcompatibilitymode.pdf
(diakses tanggal 29 Januari 2015)
top related