daftar isi - forda-mof.org · tahapan ini sering disebut sere (odum, 1964). setiap sere akan selalu...
Post on 15-Jan-2020
8 Views
Preview:
TRANSCRIPT
Daftar Isi
Daftar Isi.............................................................................................................................................................. ii
Dari Redaksi ........................................................................................................................................................ 1
Kontak Pembaca.................................................................................................................................................. 1
Susunan Redaksi.................................................................................................................................................. 1
Pengembangan Ekspor Produk Hasil Hutan Bukan Kayu Berbasis Tanaman Hutan ......................................... 2
HHBK Minyak Lemak, Potensi yang Perlu Dikembangkan............................................................................... 7
Beberapa Catatan Mengenai Hasil Hutan dalam Sistem Agroforestry .............................................................. 18
Mengenal Tumbuhan KRATOM ( Korth.) .......................................................................... 2
Pengawetan Kayu dalam Mengatasi Deforestasi ................................................................................................ 24
Pengukuran Warna Kayu dengan Sistem Cielab ................................................................................................. 28
Standar Kayu Lapis Indonesia............................................................................................................................. 32
Apakah SNI Perlu Banyak? (Kasus Sektor Kehutanan) ..................................................................................... 34
Uji Penetrasi Boron secara Sederhana................................................................................................................. 36
D. Martono & Djeni Hendra
Ari Widiyanto & M. Siarudin
Ari Widiyanto
Mitragyna speciosa 2Freddy J. Hutapea
M. Iqbal
Krisdianto
Paribotro Sutigno
Paribotro Sutigno
Didik Ahmad Sudika
FORProVol. 2, No. 1 Edisi 2013Juni �ii
Redaksi menerima tulisan, artikel disertai foto yang relevan. Tulisan merupakan
artikel, hasil penelitian, opini, ulasan, peristiwa/ pengalaman terkait bidang keteknikan
kehutanan dan pengolahan hasil hutan. Tulisan maksimal 8 halaman, ukuran kertas A4, jenis
font Arial 12, berikut gambar dan foto dengan kualitas fixel tinggi, disertai . Redaksi
berhak menyunting tulisan tanpa merubah substansinya. Tulisan/artikel dikirim ke alamat
Redaksi , atau melalui e-mail: publikasi@pustekolah org
FORPRO
FORPRO
soft file
.
Cover depan: Buah Nyamplung ( )Calophyllum inophyllum
iiiFORPro� Vol. 2, No. 1 Edisi Juni 2013
Dari Redaksi
Pembaca yang budiman,
Keanekaragaman jenis sumberdaya hutan selain kayu padahutan tropis Indonesia sangat banyak jenisnya yang dapatdijadikan sebagai komoditi untuk bahan industri maupun dalamrangka memenuhi kebutuhan dan meningkatkan pendapatanmasyarakat sekitar hutan. Komoditas tersebut seperti getah, akar,umbut, kulit, daun dan fauna yang lazim disebut hasil hutan bukankayu (HHBK). Dalam rangka peningkatan nilai tambah industriHHBK sangat diperlukan inovasi dan sentuhan teknologisehingga menjadikan komoditas HHBK tersebut nilai danmanfaatnya menjadi lebih meningkat dan menjadi sumber devisabagi negara.
PUSTEKOLAH sebagai lembaga riset senantiasa mencariinovasi dan solusi untuk peningkatan nilai HHBK tersebutmelalui berbagai kegiatan percobaan penelitian dan pengkajian.Beberapa informasi IPTEK tentang HHBK dikemas dalam bentuknaskah/artikel dan kami sampaikan ke hadapan pembaca sepertiapa yang tertuang pada FORPRO terbitan edisi Vol 2, No 1 tahun2013. Kali ini menyajikan beberapa artikel yaitu: 1.Pengembangan Ekspor HHBK; 2. HHBK Minyak lemak, Potensiyang perlu dikembangkan; 3. Beberapa Catatan Mengenai HasilHutan dalam Sistim Agroforestry; dan 4. Mengenal TumbuhanKratom. Selain itu kami sisipkan pula beberapa artikel tentang;Pengawetan kayu, SNI, Pengukuran warna kayu dan uji penetrasiBoron secara sederhana.
Pemuatan naskah/artikel pada edisi terbitan kali ini semogadapat bermanfaat dan menjadi inspirasi bagi pembaca yang akandan sedang melakukan kegiatan yang serupa, sehinggamendapatkan hasil sesuai yang di-harapkan, ataupun sebagaitambahan informasi yang berharga bagi pembaca secara umum.
Pada tahun 2013 ini tidak terasa setahun sudah usia majalahFORPRO ini lahir dan hadir dihadapan pembaca. Menginjak padausia tahun kedua ini Redaksi FORPRO berusaha untuk tetapmenyajikan IPTEK tentang keteknikan kehutanan danpengolahan hasil hutan, dan mempertahankan apa yang sudahbaik serta memperbaiki segala yang masih kurang berdasarkansaran dan masukan pembaca.
Masukan dan saran pembaca terhadap terbitan edisi kali inisangat diharapkan guna perbaikan dan kesempurnaan terbitanMajalah FORPO edisi berikutnya.
Selamat membaca.
Bogor, Juni 2013Redaksi Forpro
Pelindung
Dewan Redaksi
Editor
Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan
Pengolahan Hasil Hutan
Ketua : Ir. Jamal Balfas, M.Sc.
Narasumber : 1. Prof. Dr. Ir. R. Sudradjat, M.Sc
2. Prof. Ir. Dulsalam, MM
3. Prof. Dr. Gustan Pari, M.Si
4. Prof. Dr. Drs. Adi Santoso, M.Si
1. Dr. Ir. Putera Parthama, M.Sc
2. Dr. Drs. Djarwanto, M.Si
3. Drs. M. Muslich, M.Sc
4. Dra. Jasni, M.Si
5. Dr. Krisdianto, S.Hut, M.Sc
6. Dra. Gusmailina, M.Si
7. Sujarwo Sujatmoko, S.Hut, M.Sc
8. Setyani Budhi Lestari. Ah.T
Ketua : Kepala Bidang Pengembangan Data dan Tindak
Lanjut Penelitian
Anggota : 1. Ayit T. Hidayat, S.Hut T, M.Sc.
2. Drs. Juli Jajuli
3. Deden Nurhayadi, S.Hut.
4. Sophia Pujiastuti
Sekretariat Redaksi
Yth.: Redaksi Majalah FORPROFORPRO, sebagai majalah kehutanan semi ilmiah/populer
yang penerbitannya baru menginjak 1 tahun, kehadirannyadiharapkan dapat “dinikmati” oleh masyarakat pembaca dari semuakalangan. Berikut saran yang saya coba sampaikan demi kemajuanmajalah FORPRO.
Setiap tampilan untuk cover depan, FORPROmemiliki warna dasar (back ground) tertentu yang khas sehinggadapat mencirikan kehadirannya. Foto cover sebaiknya cukupmensiratkan satu tema yang menggambarkan sajian artikel utamadan tidak menampilkan banyak foto. Dalam cover depan tidak jugaperlu menampilkan semua judul maupun ulasan singkatartikel/tajuk, karena hal ini bisa dilihat pada daftar isi. Singkatnya,cover depan dapat dibuat semenarik mungkin dengan tampilanyang khas, sederhana (sedikit foto/gambar) dengan menampilkaninformasi artikel utama yang sedang hangat, menarik dan mudahuntuk dibaca. Penempatan artikel/tajuk utama memerlukankesepakatan dan penilaian oleh dewan redaksi.
Isi, substansi tajuk utama hanya satu saja dan merupakan“issue” utama bahasan dalam setiap kali terbitan, selebihnya bisaberupa artikel-artikel dan rubrik-rubrik seperti pedoman/petunjukringanyang terkait dengan informasipengelolaanhasil hutan.
Agar pembaca tetap tertarik dan setia menunggu, Forpro dapatmelakukan dengan cara membuka rubrik tanya jawab seputarinformasi pengolahan hasil hutan, dan sebagai penghargaan ataskontribusinya terhadap keberlangsungan FORPRO, sebaiknyapenulis tetap mendapatkan reward atas karyatulisnya.
Demikian... semoga segenap pengurus tetap enerjik danbersemangat sehingga FORPRO bertambah informatif, menarik,mudah dan layak dibaca oleh semua kalangan.
Bogor, Juni 2013Salam,ANDIANTO, S. Hut, M.Si-----------------------------------------------------------------------------------------
Yth. Pak Andianto,Terima kasih pak Andianto atas segala kritikan dan sarannya
yang membangun, tentu akan kami coba dan dipertimbangkan demipeningkatan kualitas terbitan majalah Forpro yang lebih baik danenak dibaca oleh semua kalangan.
Untuk pemberian reward kepada penulis tentunya wajar-wajarsaja, selama tersedia anggaran dan Redaksi akan memberikansesuai haknya. Akan tetapi ke depan tidak tersedia lagianggaran penulisan mohon tetap untuk tidak mengurangi semangatmenulis dan mengirimkan naskah ke Redaksi Forpro, sebagaiupaya kita untuk berkontribusi dalam penyebarluasan IPTEKsebagai wujud “ilmu amaliah dan beramal ilmiah” dan turut sertamembangkitkan industri kehutanan kita yang lebih kompetitif. Amin
Salam,Redaksi Forpro
sebaiknya
jika
DARI REDAKSI;
Susunan Redaksi
Kontak PEMBACA
Tajuk Utama
BERBASIS
TANAMAN HUTAN
HASIL HUTAN BUKAN KAYU
PENGEMBANGAN EKSPOR PRODUK
I. PENDAHULUAN
Hutan adalah suatu ekosistem tumbuhan dan hewan
yang tumbuh dan hidup berkembang pada suatu lahan,
dimana flora dan fauna yang berada di tempat itu saling
berinteraksi secara alami tanpa ada unsur campur tangan
manusia, sehingga membentuk suatu kestabilan formasi,
biodiversitasnya dan produktivitasnya. Pada setiap
tahapan waktu secara alami sering mengalami perubahan
yang selalu berkembang dalam keseimbangan, pada setiap
tahapan ini sering disebut sere (Odum, 1964). Setiap sere
akan selalu berkembang mencapai puncaknya yang stabil
dalam perkembangan suksesinya. Pemanfaatan tanaman,
bagian tanaman, hewan atau satwa pengisi formasi hutan
oleh manusia sebagai penyangga kebutuhan natura dan
kehidupan, maka setiap waktu itu pula mengalami
d i n a m i ka p e r u b a h a n fo r m a s i m e n u j u s u at u
kesetimbangan ekologisnya. Jika frekuensi perubahan itu
dalam waktu singkat sudah tinggi akan terjadi penurunan
formasi dan nilai biodiversitasnya, tentu akan terjadi
perubahan yang sangat drastis, bukan lagi di sebut sebagai
ekosistem hutan. Oleh karenanya dalam pengelolaan
hutan yang terkait dalam pemanfaatannya, pemerintah
menetapkan suatu kebijakan pengaturan pemanfaatannya
terutama dalam hal pemungutan material dari dalam
hutan, diatur dalam Undang-Undang No. 41 tahun 1999
tentang Kehutanan.
Minyak atsiri, resin, minyak lemak, getah getahan,
madu, kulit-kulit kayu, serta rempah merupakan hasil
hutan bukan kayu (HHBK) pada awal kehidupan manusia
juga berasal dari hutan, dalam perkembangannya untuk
memudahkan pemungutan dan meningkatkan
produktivitas karena memberikan nilai komersial, oleh
masyarakat dibudidayakan yang semula dalam skala kecil
di pekarangan, kebun dan meluas menjadi suatu areal
pertanaman perkebunan yang luas. Minyak atsiri, madu,
resin, rotan dan bambu merupakan salah satu unggulan
sebagai hasil hutan bukan kayu.
Potensi hasil hutan bukan kayu di Indonesia sangat
besar sekali baik volume maupun ragam jenisnya. Secara
umum hasil hutan bukan kayu dikelompokkan menjadi 8
(delapan) kelompok komo-
ditas sesuai Permenhut No.
35/2007 yaitu :
1. Kelompok Resin
2. Kelompok Minyak Atsiri
3. Kelompok Minyak Lemak, Pati dan Buah-
buahan
4. Kelompok Tanin, Bahan Pewarna dan Getah
5. Kelompok Tumbuhan Obat dan Tanaman Hias
6. Kelompok Palma dan bambu (rotan, bambu dan
lainnya)
7. Kelompok Alkaloid
8. Kelompok Lainnya.
Peranan hasil hutan bukan kayu dalam pengelolaan
hutan secara lestari sangat besar terutama dalam upaya
pembangunan masyarakat sekitar hutan dan konservasi
sumberdaya alam secara bersamaan. Arnold dan Ruiz
Perez (1998) menyatakan bahwa :
a. Hasil hutan bukan kayu akan lebih banyak memberi
manfaat dan keuntungan bagi masyarakat khususnya
yang tinggal di sekitar hutan, karena hutan mampu
menyediakan berbagai keperluan kehidupan seperti
sumber makanan, obat-obatan, bahan sandang dan
perkakas rumah tangga. Di samping itu akan
mendorong partisipasi masyarakat untuk menjaga
kelestariannya.
b. Dalam pemanenan hasil hutan bukan kayu relatif lebih
kecil dampaknya bila dibandingkan dengan kegiatan
pembalakan kayu ( ).
Berawal dari pengertian dan pandangan ini berbagai
pihak memberi perhatian dan melakukan berbagai
kegiatan pengembangan maupun juga penelitian yang
bertujuan untuk pengembangan dan pemanfaatannya
untuk pengusahaan hasil hutan kayu. Kenyataannya hasil
yang diperoleh atau direkomendasikan, jika dilakukan
secara meluas sering terjadi kontradiktif yang justru
menimbulkan dampak yang merugikan, bahkan
menurunkan kualitas hutannya sendiri. Hal tersebut
terjadi karena setiap kegiatan yang dilakukan dengan
metodologi yang beragam (Ruiz Perez and Byron, 1999).
logging
DOMINICUS MARTONO
& DJENI HENDRA
Pustekolah-Bogor
FORProVol. 2, No. 1 Edisi 2013Juni �2
-
et al.,
Kegiatan-kegiatan pengusahaan hasil hutan bukan
kayu dan pengembangannya secara umum memiliki
keterbatasan karena tanpa memperhitungkan karak
teristik biofisik lokasi kegiatan serta faktor-faktor yang
sangat mungkin mempengaruhi dalam mencapai
keberhasilan pengusahaan hasil hutan bukan kayu
tersebut (Godoy 1993).
Dengan keterbatasan sifat hasil hutan kayu tersebut di
atas, saran, kesimpulan ataupun rekomendasi dari hasil
suatu penelitian umumnya bersifat spesifik pada lokasi
dan keadaan di tempat penelitian itu dilakukan dan sering
berbeda jika di aplikasikan secara meluas. Pengembangan
pengusahaan hasil hutan bukan kayu, sebenarnya masalah
pelestarian masih belum sepenuhnya dipahami. Jika
pengusahaan dilakukan terus secara kontinyu, belum
tentu memberi nilai tambah dan manfaat bagi masyarakat
di tempat itu (Martono, 2010). Untuk itu masih diperlukan
suatu pendekatan lagi yang dipadukan dengan suatu
kegiatan secara holistik menyeluruh segala aspek perlu
dikaji yang lebih mendalam.
Permasalahan dalam pengusahaan hasil hutan bukan
kayu diantaranya yaitu :
1. Regulasi dalam pemanfaatan hasil hutan bukan kayu
masih terbatas, belum dapat menjangkau untuk setiap
komoditas yang akan diatur dalam regulasinya karena
keterbatasan sumber informasi penyebaran, potensi,
dan teknologi tepat guna dalam pemanfaatannya.
2. Informasi potensi dan kelayakan usaha belum
memadai, belum cukup data pendukung untuk
regulasi. Jaringan pasar komersial untuk menyerap
hasil produksi belum tersedia dan pelaku usaha masih
tidak jelas selalu berubah.
II. KONDISI PENGUSAHAAN HASIL HUTAN BUKAN KAYU
SAAT INI
3. Belum optimalnya peran kelembagaan untuk men-
dorong pemanfaatan hasil hutan bukan kayu.
4. Dukungan teknologi pengolahan, teknik budidaya dan
rantai pemasaran hasil hutan bukan kayu belum
memadai serta keterbatasan sumber daya manusia
yang mengelolanya.
5. Standarisasi produk masih belum memadai, teknologi
pada setiap komoditas bervariasi sehingga peningkat-
an kualitas untuk setiap komoditas perlakuannya ber-
beda yang menyulitkan tenaga pembinaan lapangan
pada industri primernya.
6. Dalam meningkatkan pengembangan usaha komoditas
hasil hutan bukan kayu akses permodalan yang sulit,
tingkat teknologi pengolahan di lokasi yang terpencil
sering kesulitan mendapatkan sarana penunjang
dalam penerapan teknologinya, untuk membantu
akses pemasaran dan pembinaan pada daerah yang
menyebar luas dan terpisah pisah karena kondisi
geografis sulit dilakukan.
Berbagai tipologi pengusahaan hasil hutan bukan kayu
selalu berbeda sehingga penerapan regulasi, pembinaan,
akses bantuan kelembagaan sering terkendala masalah
geografis dukungan sarana tranportasi yang masih sangat
minim menyebabkan tersendatnya untuk mengembag-
kan. Unggulan komoditas hasil hutan bukan kayu dari
suatu daerah belum tentu akan berhasil jika diterapkan
pengusahaan untuk daerah lain, hal ini sangat terkait
masalah dukungan berbagai faktor yang juga mem-
pengaruhi selain sumber daya manusianya sendiri.
Demikian juga sarana transportasi untuk aktifitas produksi
dan pemasarannya.
Pada setiap komoditas hasil hutan bukan kayu sistem
produksinya mempunyai karakter yang berbeda diantara
jenis hasil hutan bukan kayu (misal masoi, kulit kulilawan,
pakanangi, damar mata kucing, nilam, kenanga, madu)
sehingga penetapan regulasi serta pembinaannya juga
tidak sama, hal ini sering masyarakat melihatnya bahwa
aturannya tidak jelas atau berubah-ubah yang menyebab-
kan lambatnya pengembangan. Pada komoditas per-
tanaman yang menghasilkan resin, minyak atsiri, rempah-
rempah, minyak lemak keadaannya juga sama, pengaturan
penerapan perizinan pemungutan terutama yang berasal
dari hutan perlu dikaji untuk setiap daerah (Martono,
2010).
Kondisi sosial ekonomi suatu daerah yang terkait
dengan budaya adat setempat dalam penerapan untuk
pengusahaan hasil hutan bukan kayu, regulasi dan
pembinaannya tidak dapat disamakan secara merata sama
(general), hal tersebut sering menimbulkan kasus yang
hubungan antar masyarakat menjadi tidak sinergis. Kondisi
ini dalam penetapan kebijakan harus perlu dikaji untuk
mendapatkan solusi yang lebih baik, sebagai contoh
pengusahaan pemungutan damar mata kucing di daerah
Krui Lampung tidak sama dalam penerapan di Sumatera
Utara atau Kalimantan Barat, karena di Krui kelembagaan
antar pemangku kegiatan sudah tertata dan rantai
3FORPro� Vol. 2, No. 1 Edisi Juni 2013
pemasaran stabil. Keadaan tersebut pada beberapa aspek
secara umum untuk setiap komoditas hasil hutan bukan
kayu mempunyai karakteristik yang berbeda, menjadikan
hambatan dalam pengembangan. Nilai tambah dalam
pengusahaan hasil hutan bukan kayu masih rendah karena
masyarakat hanya memungut atau memproduksi masih
bersifat bahan mentah, belum mengalami pengolahan
lanjutan yang dapat langsung diperlukan konsumen akhir.
Hal ini terlihat seolah-olah tidak memberi kontribusi
masyarakat yang mengusahakan untuk meningkatkan
pendapatan.
Dalam pengusahaan hasil hutan bukan kayu telah
diatur dalam Undang-Undang No 41 Tahun 1999, secara
tertulis bahwa pengusahaannya jelas dalam pengaturan
pemungutan, baik pada berbagai kondisi dan tipe hutan
sumber penghasil hasil hutan baukan kayu yaitu tertuang
pada :
1. Pasal 26 ayat 2 : berisi tata aturan dalam perijinan
pemungutan hasil hutan bukan kayu yang berasal dari
dalam kawasan hutan lindung, langkah dan pengaturan
pemanfaatan yang dijinkan.
2. Pasal 27 : berisi tata aturan ijin pemungutan hasil hutan
bukan kayu dapat diberikan kepada perorangan
ataupun dalam koperasi.
3. Pasal 28 ayat 2 : berisi tata aturan dalam perijinan
usaha pemanfaatan dan pemungutan hasil hutan
bukan kayu dapat juga dilakukan pada kawasan hutan
produksi selain pemanfaatan kayunya.
Dari aturan-aturan tersebut dalam pelaksanaan secara
rinci diatur dalam Peraturan Pemerintah N0 6 Tahun 2007
yang secara rinci menyebutkan :
a. Peraturan Pemerintah No 6 /2007 pada pasal 26 yaitu
pemungutan hasil hutan bukan kayu pada hutan
lindung,. Sedangkan pada pasal 43 pengaturan
pemanfaatan hasil hutan bukan kayu pada hutan alam
produksi dan pasal 44 pemanfaatan hasil hutan bukan
kayu pada kawasan hutan tanaman yang dikelola.
b. Peraturan Pemerintah No 6 /2007 pada pasal 117 - 120
: berisi mengatur pengendalian dan pemasaran hasil
hutan melalui penataan hasil hutan secara umum.
Untuk penetapan jenis serta pengukuran volume
ataupun berat dan jumlah dilakukan oleh petugas yang
berwenang yaitu aparat kehutanan setempat yang
ditunjuk dan diserahi kewenangan setelah mendapat
sertifikasi sebagai penguji. Pengeluaran dokumen yang
menerangkan dalam
SKSHH) untuk mengiringi dalam dokumen
pengangkutan material fisik atas dasar kesesuaian dari
hasil pengukuran dan pengujian aparat yang ditunjuk.
c. Peraturan Pemerintah No 6 /2007 pada pasal 121 :
berisi mengatur, membina dan mengembangkan
III. KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PEMANFAATAN HASIL
HUTAN BUKAN KAYU
Surat Keterangan tentang Sahnya
Hasil Hutan (
pemasaran hasil hutan baukan kayu
yang belum diolah ke pasar dalam
negeri sebagai bahan baku untuk
komoditi yang bersifat komersial.
d. Peraturan Pemerintah No 59 / 1998 :
bahwa pengenaan tarif untuk hasil
hutan bukan kayu dimasukkan sebagai
Pendapatan Negara Bukan Pajak pada Departemen
Kehutanan dan Perkebunan, sedangkan besarnya
patokan Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) diatur pada
Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag No. 08/
M-DAG/PER/2/2007).
Dalam pelaksanaan agar efektif pelayanannya, maka
kepada Pemerintah Daerah diberi kewenangan mengatur,
membina dan mengembangkannya.
Dalam ijin usaha yang dimaksud pada Permenhut No
35/2008 (P.35/Menhut-II/2008) pengertian ijin usaha
industri primer hasil hutan bukan kayu, adalah ijin untuk
mengolah hasil hutan bukan kayu, menjadi satu atau
beberapa jenis produk pada satu lokasi tertentu yang
diberikan kepada satu pemegang ijin oleh pejabat yang
berwenang. Atas dasar tenaga kerja yang terlibat dalam
usaha ini dikelompokkan atas dasar skala usaha yaitu :
Skala industri primer hasil hutan bukan kayu skala kecil jika
tenaga kerja kurang dari 50 orang.
Skala industri primer hasil hutan bukan kayu skala
menengah jika tenaga kerja 50 s/d 100 orang
Skala industri primer hasil hutan bukan kayu skala besar
jika tenaga kerja lebih dari 100 orang.
Dalam pelaksanaan berusaha setiap pemegang ijin
harus mempunyai Tanda Daftar Industri (TDI) yang
penerbitannya di lakukan oleh pihak Pemerintah Daerah
(Bupati/Walikota), mekanismenya diserahkan pengaturan
pihak pemerintah daerah setempat. Upaya pemberian ijin
usaha sebagai pelaksanaan pemberdayaan masyarakat
sekitar hutan, dalam pemberdayaan dan mensejahtera-
kan, tumbuhkan kesadaran menyangkut untuk pemeli-
haraan kawasan hutan yang berada disekitar tempat
tinggal. Selain itu, meningkatkan devisa dan terciptanya
lapangan kerja, pemanfaatan hasil hutan kayu dilakukan
secara optimal didukung kemajuannya agar pengembang-
an daerah juga sejalan dengan perkembangan usaha di
tingkat pusat. Dalam kaitan pengembangan usaha hasil
hutan bukan kayu yang berbasis tanaman hutan, tentunya
perlu kejelasan pertelaan jenis-jenis tanaman hutan
sebagai penghasil produk tersebut, agar dicapai ke-
sepakatan bagi aparat di daerah dalam pemberian ijin
usaha.
Adapun jenis-jenis tanaman penghasil minyak atsiri
disajikan pada tabel 1.
Pada hakekatnya, pemanfaatan produk hasil hutan
bukan kayu lain, misalnya kulit gemor untuk obat nyamuk,
FORProVol. 2, No. 1 Edisi 2013Juni �4
No Nama Indonesia Nama Latin Produk
1. Akar wangi Andropogon aciculatus Minyak akar wangi
2. Cantigi Gaulsharia fragantisisima Minyak gandapura
3. Cendana Santalum album Minyak cendana
4. Cendana semut Exocarpus latifolia Minyak cendana
5. Ekaliptus Eucalyptus spp Minyak ekaliptus
6 Gaharu Aquilaria spp ; Gyrinops spp ; Gonystilus
spp; Enkleia spp ; Actoxylon spp;
Wkstromia spp
Minyak gaharu
7 Kamper Cinnamomum camphora Minyak kamper
8. Kayu manis Cinnamomum burmanii ; C zeylanicum Minyak kayu manis
9. Kayu putih Melaleuca cayuputi Minyak kayu putih
10. Kembang mas Asclepias curassava Minyak kembang mas
11. Kenanga Cananga odoratum Minyak kenanga
12. Keruing Dipterocarpus sp Minyak keruing
13. Kilemo Litsea cubeba Minyak kilemo
14. Lawang Cinnamomum cullilawan Minyak lawang
15. Masohi Cryptocarya masoi Minyak masohi
16. Pakanangi Cinnamomum Minyak pangi
17. Sintok Cinnamomum sintok Minyak sintok
18. Trawas, krangean Litsea odorifera Minyak trawas
19. Tusam Pinus merkusii Terpentin
20. Ylang-ylang Cananga latifolia Minyak ylang-ylang
Tabel 1. Kelompok Tanaman Penghasil Minyak Atsiri (berdasar Permenhut 35)
getah penambal lambung perahu kayu, minyak lemak,
minyak atsiri yang berasal dari tanaman hutan masih
banyak lagi namun belum tergali dan teridentifikasi serta
diperdagangkan secara luas, sehingga dalam pengem-
bangan minyak atsiri selama ini terbatas dari usaha yang
telah dilakukan oleh masyarakat adat ataupun oleh masya-
rakat sekitar hutan, demikian juga madu serta minyak kayu
putih, minyak lemak kemiri, minyak krangean lokal daerah.
Sehingga pihak aparatur pemerintah hanya memfasilitasi
serta mengarahkan untuk pengaturan kelestarian sumber
daya alam agar tetap lestari. Sedangkan yang bersifat
eksploratif masih dikembangkan, namun sejauh ini hanya
terbatas pada kegiatan penelitian, belum dapat dilepas
sebagai komoditas perdagangan bebas. Demikian juga
potensi dan keragaman jenis masih banyak belum tergali
secara optimal, karena keterbatasan sumber daya manusia
yang menekuni bidang hasil hutan bukan kayu, hanya
sedikit dan tersebar di beberapa daerah di propinsi.
Sehingga jalinan komunikasi untuk saling berinteraksi dan
tukar informasi terkendala, untuk saling memajukan
kegiatan pengembangan di bidang hasil hutan bukan kayu.
Untuk mengembangkan hasil hutan bukan kayu
mengingat jenis komoditas sangat banyak mencapai ± 565
komoditas berdasar Permenhut P.35 /Menhut-II/2007,
maka ditetapkan fokus pada jenis unggulan setiap daerah,
penetapan jenis unggulan ini tentu didasari pertimbangan
dan sumber informasi mengenai potensi, peluang untuk
pengembangan serta pelaku usaha pada komoditas
tersebut. Penetapan indikator ini didasarkan atas indikator
dan kriteria yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri
Kehutanan No. P 21/Menhut-II/2009 yaitu berupa :
1. Aspek yang dinilai mencakup kriteria : ekonomi, kondisi
biofisik dan lingkungan, kelembagaan, sosial dan tek-
nologi yang tercurah dalam pengusahaannya, setiap
kriteria diberi pembobotan, pembobotan meliputi :
IV. PENETAPAN HASIL HUTAN BUKAN KAYU UNGGULAN
5FORPro� Vol. 2, No. 1 Edisi Juni 2013
2. Kriteria ekonomi diberi pembobotan cukup tinggi yaitu
35 %, mencakup nilai perdagangan ekspor, nilai
perdagangan lokal, telah tersedia pasar internasional,
sehingga berbagai kebijakan yang mendukungnya akan
berdampak pada pemasukan devisa tinggi, maupun
peningkatan perekonomian yang mencakup wilayah
serta tenaga kerja dan pelaku usaha tersebar luas.
3. Pembobotan kriteria biofisik dan lingkungan sebesar
15%, meliputi jika komoditas ini diusahakan jaminan
kelestarian biofisik terjaga dan lingkungan yang ada
tetap mendukung jika nilai pembobotan ini rendah
maka pemulihan ekosistemnya masih dapat teratasi.
Terbaik jika masyarakat telah menbudidayakan diluar
areal kawasan hutan.
4. Kriteria kelembagaan sebesar 20%, pembobotannya
meliputi apakah alur tataniaga dan pelaku usahanya
tetap, teridentifikasi secara jelas, sebagai bentuk
badan usaha yang tetap sehingga dalam pembinaan ke
pelaku usaha dapat berjalan lancar dan baik.
5. Pembobotan kriteria sosial 15%, mencakup bagaimana
peranannya dalam tata kehidupan masyarakat
memberi pengaruh terhadap lapangan pekerjaan,
tidak mengganggu kehidupan sosial masyarakat serta
tidak bertentangan dengan adat setempat .
6. Pembobotan kriteria teknologi 15%, mencakup nilai
kegiatan untuk mengusahakan komoditas tersebut,
teknologi yang tercurah dalam proses pengolahannya
masih dapat terjangkau bagi pelaku usaha, baik
kemampuan sumberdaya manusia maupun modal
yang digunakan secara keseluruhan tidak lebih dari
nilai 15%, artinya tidak mempengaruhi proses secara
keseluruhan.
7. Atas dasar nilai-nilai pembobotan tersebut untuk
setiap komoditas, diberikan nilai skoring, sehingga
dapat ditetapkan jenis komoditas unggulan pada setiap
provinsi, kabupaten / kota dan lokasi.
Dalam pengembangannya sesuatu jenis komoditas
dapat menjadi sentra jika unggulan ini memberikan
manfaat dan peningkatan kemajuan perekonomian pada
lokasi daerah penghasil hasil hutan kayu unggulan. Untuk
pengembangan hasil hutan bukan kayu unggulan,
dibentuk klaster-klaster agar pengembangan sarana dan
infra struktur dan pembinaan lebih mudah dan terpantau
terus. Pembentukan klaster ini oleh Kementerian
Kehutanan telah ditetapkan sedikitnya memerlukan waktu
5 (lima ) tahun, dengan pengertian pada tahap I (3 tahun
pertama) persiapan infra struktur, tahap II (tahun ke 4)
tahapan produksi masal sesuatu komoditas di tempat
tersebut dan tahap III (tahun ke 5) kegiatan pengembangan
produksi dan inovasi-inovasi kemajuan produksi.
Pembentukan klaster ini akan terbentuk sentra produksi,
sehingga dapat dikembangkan
( , misal sentra madu lebah di Sumbawa, sentra
rotan di Katingan dan sentra bambu di Bangli serta sentra
gaharu di Bangka Belitung. Dalam kaitan inilah
peningkatan produksi dan kualitas dapat terfokus pada
sentra tersebut.
one village one products
OVOP)
V. STRATEGI PENGEMBANGAN PRODUK HASIL HUTAN
BUKAN KAYU UNTUK EKSPOR
Pengembangan pertanaman yang menghasilkan
minyak atsiri, resin, kulit kayu, getah maupun produk
lainnya yang berasal dari tanaman hutan, tidak terlepas
dengan program penetapan unggulan yaitu terkait dengan
kriteria, agar segala program dapat saling terkait dan
mendukung pengembangan Sumber Daya Manusia,
kelembagaan yang terkait dengan penerapan teknologi
dan kelancaran berproduksi. Hal tersebut perlu didukung
permodalan, sehingga nilai ekonomi yang telah ditetapkan
dapat memberikan hasil dan dapat meningkatkan
kesejahteraan sosial bagi masyarakat ditempat penghasil.
Akhirnya akan mampu berdaya saing, baik tingkat nasional
maupun internasional (Martono, 2010). Selain itu, juga
tidak terlepas keseimbangan dalam pemanfaatan hasil
hutan bukan kayu agar tetap lestari dan tetap memberikan
nilai tambah. Peningkatkan diversifikasi produk lanjutan
agar tidak hanya menjadi penyedia bahan mentah saja.
Namun sudah menjadi bahan antara atau dapat dipakai
oleh konsumen, sehingga perlu memacu pengembangan
variasi produk dari jenis unggulan. Kestabilan harga pasar
agar lestari perlu menyeimbangkan pasokan dan
kebutuhan. Mengingat selama ini produk hasil hutan
bukan kayu yang berbasis tanaman hutan, jika
pemungutan berlebih akan menurunkan harga jual.
Pemikiran selama ini, secara umum ketersediaan di
lapangan, orang beranggapan tinggal memungut, maka
pihak aparat pemerintah setempatlah yang mengatur ijin
pemungutan, peredaran dan pemasarannya. Dengan
demikian, pemungutan akan terkendali, diikuti
peningkatan dan fasilitasi budidaya, sehingga dibentuklah
program pelatihan teknik budidaya, pelatihan pengolahan
bahan baku yang lebih efisien dan tetap sesuai standar
produk yang telah ditetapkan dalam Standard Nasional
Indonesia (SNI), misal standar gaharu, standar
gondorukem (terpentin), standar minyak kayu putih,
standar madu, standar minyak gandapura dan lainnya.
Pengembangan hasil hutan bukan kayu yang bebasis
tanaman hutan, telah ditetapkan sesuai pengembangan
kehutanan secara umum, yaitu landasan hukumnya
mengikuti Peraturan Pemerintah No 6 tahun 2007,
mengatur legalitas perhutanan sosial dalam kawasan
hutan negara sebagai upaya pemberdayaan masyarakat
dapat dilakukan melalui Hutan Kemasyarakatn (HKm),
Hutan Desa (HD) dan pola Kemitraan. Adapun kegiatan
yang berkaitan dengan Hutan Kemasyarakatn mengikuti
Peraturan Menteri Kehutanan No P.37/Menhut -II/2007
serta Peraturan Menteri Kehutanan pada Permenhut
No.P.18/Menhut-II/2009 dan Permenhut No. P 13/
Menhut-II/2010 yaitu dapat dilakukan pada kawasan
hutan dan diluar kawasan, baik pada kawasan hutan
produksi mapun kawasan yang dicadangkan sebagai zona
penyangga.Pada kawasan taman nasional maupun pada
kawasan hutan lindung, pemanfaatan untuk mengusaha-
kan lahan yang diatur oleh pihak pemerintah daerah
dengan tetap sesuai program dari pusat, yaitu tetap
FORProVol. 2, No. 1 Edisi 2013Juni �6
menjaga fungsi, tidak berubah dari fungsi sebelumnya,
dan ttap memperhatikan keterkaitan dengan masyarakat
sekitar hutan tersebut. Sebagai pelaku usaha dapat
membentuk koperasi maupun kelompok atau gabungan
dari beberapa kelompok tani, yang mengusahakan
diantara pertanaman pohon hutan (dapat berupa
tumpang sari) asalkan pada areal tersebut belum
terbebani izin pemanfaatan lain atau izin pengelolaan lain.
Selain itu dapat dikembangkan sebagai Hutan Desa yaitu
pada kawasan hutan yang kondisinya rusak tetapi dapat
dimanfaatkan untuk pertanaman usaha budidaya
tanaman penghasil hasil hutan bukan kayu, justru bagi
kelompok inilah yang diberi bantuan permodalan berupa
kredit ringan dengan pengembalian berjangka sesuai lama
pengusahaan. Hingga saat ini pihak pemerintah
(Kementerian Kehutanan) telah mentargetkan sebesar
400.000 hektar namun baru terealisasi, setelah di evaluasi
dan diverifikasi tahun 2010 seluas 203.573,18 Ha, pada 17
Provinsi, 46 kabupaten. Hingga tahun 2010 perluasan
tanaman hutan rakyat dan hutan kemasyarakatan telah
ditetapkan berdasar SK Menhut seluas 31.879,36 ha
meliputi 88 unit pada 11 kabupaten (Ditjen RLPS, 2010).
Hal tersebut pada hakekatnya sebagai upaya
pelaksanaan program komitmen RI di tingkat
internasional, yaitu penurunan emisi sebesar 26% dan
pihak Kementerian Kehutanan sebesar 14%, dalam bentuk
pembangunan hutan Kemasyarakatan dan Hutan Desa,
hingga tahun 2014 target 2,5 juta hektar (Renstra
Kementerian Kehutanan). Untuk pembangunan kegiatan
ini telah ditetapkan dalam peraturan Direktorat Jenderal
Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial, yaitu Perdirjen
RLPS P.01/2010. Untuk mendukung program ini telah
ditetapkan juga kebun bibit rakyat 50 ribu hektar dengan
target tahun 2010 sebanyak 8.000 desa untuk dapat
melaksanakan kegiatan tersebut. Diharapkan dengan
strategi tersebut pengembangan pertanaman penghasil
hasil hutan bukan kayu berbasis tanaman hutan juga
memacu pengembangan kehutanan secara umum dalam
pengurangan emisi nasional.
DAFTAR PUSTAKA
Arnold, J.E. and M, Ruiz Perez. 1998. The role of Non
Timber Forest Products in conservation and
development pp. 17-41 in Income from the forest
Wolenberg, E. and A. Ingles (eds) CIFOR/IUCN Bogor
Indonesia.
Badan Pusat Statistik, 2004.
1999-2003. Jakarta.
Bina Produksi Kehutanan, 2009. Kebijakan pemungutan
hasil hutan bukan kayu. Seminar Sosialisasi
Pengusahaan Hasil Hutan Kayu. Direktorat Pengolahan
dan Pemasaran. Swiss Bell Hotel, Palu Juni 2009.
Departemen Pertanian, 1999.
1998-2000, Jakarta.
Godoy, R. R.Lubowski and A.Markandya. 1993. A Method
for the economic valuation of Non Timber Forest
products. Econ.Bot.47 (3)220-233.
Gunther, E. 1952. , Vol. IV, Van Nastrand
co, Inc. New York.
Kementerian Kehutanan, 2010. Peraturan Menteri
Kehutanan No. P.48 .tentang Pembentukan Hutan
Desa.
Lembaran Negara, 2007. Peraturan Menteri Kehutanan
No. P. 35. tentang penetapan jenis-jenis hasil hutan
bukan kayu yang dapat diusahakan.
Lembaran Negara, 2007. Peraturan Pemerintah No. 6
Tahun 2007. tentang Legalitas Pehutanan Sosial dalam
Kawasan Hutan Negara.
Lembaran Negara, 2007. Peraturan Menteri Kehutanan
No. 37 tentang Pembentukan Hutan Kemasyarakatan.
Martono,D. 2010. Pengembangan Industri Minyak Atsiri
Berbasis Tanaman Hutan. Prosiding Konferensi
Nasional Atsiri. Dewan Atsiri Indonesia, 21-24 Oktober
2010, Bandung.
Odum, E.P. 1971.Fundamental of Ecology, 3'd
Ed.W.B.Saunders Company San Fransisco pp. 128-137,
145-195.
Rohadi, D. B. Belcher, M, Ruis Perez dan R, Achdiawan.
1999. Studi perbandingan kasus-kasus pengusahaan
hasil hutan bukan kayu di Indonesia. Seminar Ekspose
Hasil-hasil Penelitian Kerja sama Luar Negeri. Badan
Litbang kehutanan dan Perkebunan, Jakarta, 24-25
Nopember 1999.
Perkembangan ekspor minyak
atsiri Indonesia
Statistik Perkebunan
Indonesia
The Essential Oils
7FORPro� Vol. 2, No. 1 Edisi Juni 2013
Tajuk Utama
engan makin terbatasnya jumlah dan izin eksploitasi
kayu, maka produk-produk non kayu terus coba di-
kembangkan, baik oleh pemerintah maupun sektor
swasta. Dalam perkembangannya, beberapa produk-
produk non kayu, atau lebih dikenal sebagai Hasil Hutan
Bukan Kayu (HHBK) termyata memiliki nilai ekonomis yang
cukup tinggi. Diantaranya adalah gaharu, damar, rotan,
tengkawang, kemiri, kluwek (picung) dan nyamplung.
Keluanya Peraturan Menteri Kehutanan nomor
P.35/Menhut-II/2007 tentang Hasil Hutan Bukan Kayu
(HHBK) telah menjadi payung dalam kegiatan penelitian
dan pengembangan HHBK di Indonesia. Mengacu pada
Peraturan Menteri Kehutanan tersebut, HHBK didefinisi-
kan sebagai hasil hutan hayati baik nabati maupun hewani
beserta produk turunan dan budidaya kecuali kayu yang
berasal dari hutan.
Salah satu HHBK yang potensial untuk dikembangkan
berdasarkan Kepmenhut tersebut adalah HHBK minyak
lemak. Secara keseluruahn ada 19 produk hasil hutan
hutan yang menghasil minyak lemak dalam Kepmenhut
tersebut dengan berbagai fungsinya. Secara garis besar,
pemanfaatan minyak lemak tersebut terbagi menjadi lima
kategori utama, yaitu sebagai bahan makanan, obat,
energi, kosmetik dan material lainnya. Berdasarkan
bagian tumbuhan yang diambil, terdiri dari tiga bagian
utama, yaitu biji, buah dan daun. Berikut adalah 19 jenis
HHBK penghasil minyak lemak beserta kegunaannya.
Balam adalah jenis tumbuhan langka asli Indonesia
yang tersebar di semenanjung Malaysia, Sumatera, dan
Kalimantan Timur. Jenis ini dikenal dengan banyak nama,
yaitu Balam, Suntai, Balam Putih, dan Balam Suntai.
Tumbuhan ini di Pulau Kalimantan dikenal sebagai Beitis,
Margetahan, Nyato, Nyatoh, Nyatoh Jangkar. Nama
Nyatoh juga digunakan untuk menyebut jenis ini di
Malaysia.
Balam adalah salah satu jenis langka yang dilindungi
sejak tahun 1972 (berdasarkan Surat Keputusan Menteri
Pertanian Nomor: 54/Kpts/Um/2/1972). Jenis yang
:
1. BALAM ( ), Famili:
Sapotaceae
Palaquium walsurifolium
Ary Widiyanto dan Mohamad Siarudin
Oleh:
Balai Penelitian Teknologi Agroforestry, Jl Raya Ciamis-Banjar KM 4, Ciamis
Email: ary_301080@yahoo.co.id
HHBK Minyak Lemak,
Potensi Yang Perlu DIKEMBANGKAN
memiliki kayu bernilai ekonomi tinggi ini belum dibudi-
dayakan oleh masyarakat, dan tidak termasuk dalam jenis
yang dikembangkan melalui hutan tanaman.
Biji balam mengandung minyak lemak 30-45 % ter-
gantung dari teknik pengolahannya. Lemak dari biji balam
memiliki rasa pahit sehingga tidak digunakan untuk
makanan. Masyarakat tradisional di Bengkalis memanfaat-
kan lemak ini sebagai bahan bakar obor.
Pemanfaatan lain dari jenis balam adalah sebagai
bahan baku kayu pertukangan. Kayu balam termasuk jenis
komersil yang memiliki kualitas yang baik dengan kelas
awet IV dan kelas kuat II
Bintaro tersebar secara alami di daerah tropis Indo
Pasifik, mulai dari Seychelles hingga Polinesia Perancis.
Jenis ini memiliki beberapa nama ilmiah lain selain
yaitu
(L.) Raf. Sylva Telluriana.
Di Indonesia, bintaro tersebar di berbagai daerah mulai
dari Sumatera, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi dan
Maluku Jenis ini juga dikenal dengan berbagai nama
daerah antara lain Kanyeri Putih (Bali), Bilutasi (Timor),
Wabo (Ambon), Goro-goro guwae (Ternate), Madangkapo
(Minangkabau), Bintan (Melayu), Lambuto (Makasar) dan
Goro-goro (Manado).
2. BINTARO ( ). Famili: ApocynaceaeCerbera manghas
Cerbera
manghas, Cerbera venenifera, Tanghinia venenifera,
dan Odollamia manghas
.
.
BALAM
D
FORProVol. 2, No. 1 Edisi 2013Juni �8
Biji bintaro mengandung minyak dengan kadar yang
cukup tinggi yaitu mencapai 54,33%. Kandungan minyak
tersebut merupakan potensi yang cukup baik untuk
dikembangan sebagai bahan biodiesel. Setiap 1 kg minyak
Bintaro dapat dihasilkan dari 2,9 kg biji bintaro yang
didapat dari 36,4 kg buah bintaro tua.
Selain itu, cangkang pada buah bintaro juga dapat
dikembangkan sebagai briket arang. Cangkang pada buah
bintaro yang dapat dimanfaatkan sebagai briket arang ini
dapat berasal dari buah muda maupun tua. Setelah
cangkang di jemur, kemudian dikarbonisasi serta ditumbuk
agar menjadi serbuk. Serbuk arang ini dikompaksi untuk
menjadi briket dengan menambahkan perekat.
Buah bintaro tidak dapat dimanfaatkan sebagai
makanan karena mangandung racun. Nama pada
nama latin jenis ini berkaitan dengan kandungan
pada daun, bunga dan buahnya, yaitu suatu glikosida yang
merupakan racun yang mempengaruhi kinerja jantung dan
bahkan menyebabkan kematian. Oleh karenanya buah
bintaro sering digunakan secara tradisional sebagai bahan
racun untuk berburu.
Pemanfaatan buah bintaro disarankan untuk dilakukan
pada buah tua untuk mengurangi efek racun dari getahnya.
Pohon bintaro yang sudah dewasa dapat menghasilkan
300 kg buah setiap tahun. Berat biji bintaro sekitar 79,7
gram dari setiap kilogram buah bintaro tua. Sejauh ini
pemanfaatan buah bintaro masih dalam pengembangan
dan belum diketahui potensi produksi buah bintaro di
Indonesia.
Buah merah dikenal sebagai tanaman yang banyak
tersebar di Papua dan Papua Nugini. Persebarannya di
Papua meliputi daerah Baliem Wamena, Talikora,
Pegunungan Bintang, Yahukimo, Jayapura, Sorong dan
Manokwari. Tanaman ini di Wamena dikenal dengan nama
Sauk Eken atau Kuansu dan di Lembah Baliem disebut Tawi.
Buah merah saat ini telah dikembangkan di beberapa
cerberra
cerberin
3. BUAH MERAH ( , Famili:
Pandanaceae
Pandanus conoideus)
wilayah di Maluku, Sulawesi, Kalimantan, Jawa dan
Sumatera.
Bagian daging biji buah merah dapat menghasilkan
minyak lemak hingga 51% per berat kering kernel. Pada 3
jenis buah merah yang unggul, yaitu Mbarugum, Maler
dan Magari, ekstrak minyak yang dihasilkan cukup tinggi
dengan rata-rata 120 ml/kg buah atau rendemen minyak
15%. Berdasarkan produktifitasnya, ketiga jenis buah
merah unggul ini dapat memproduksi 5-10 butir buah per
rumpun, dengan ukuran buah cukup besar yaitu diameter
10-15 cm dan panjang 60-110 cm. Buah merah dapat
memproduksi buah mulai 3-5 tahun dengan umur buah
sampai panen 3-4 bulan.
Ekstrak buah merah dapat dimanfaatkan sebagai obat,
makanan suplemen dan bahan material. Hasil penelitian
yang dilakukan oleh beberapa ahli kesehatan dan gizi
menunjukkan bahwa ekstrak buah merah mengandung
antioksidan dan senyawa lain penangkal terbentuknya
radikal bebas dalam tubuh. Minyak buah merah terbukti
secara medis dapat mengobati beberapa penyakit seperti
kanker, HIV, malaria, kolesterol dan diabetes. Selain itu
minyak buah merah juga dapat dimanfaatkan sebagai
penyedap masakan yang bernilai gizi tinggi (mengandung
beta-karoten), serta dapat dimanfaatkan sebagai pewarna
alami yang tidak mengandung logam berat dan
mikoroorganisme yang berbahaya.
Ekstraksi minyak pada buah merah dapat dilakukan
dengan teknik sederhana, yaitu dengan menumbuk biji
atau menggunakan alat tekan. Sebelumnya biji buah
merah dipisahkan dari empulurnya. Bagian daging biji
buah merah inilah yang mengandung minyak. Daging biji
buah merah setelah ditumbuk diberi air secukupnya
kemudian disaring dan dimasak. Selama proses
pemasakan, dilakukan pengadukan dan penambahan air.
Minyak akan terbentuk setelah air mendidih, selanjutnya
dilakukan penyaringan 3-4 kali hingga didapatkan minyak
yang bersih.
Croton merupakan salah satu tanaman yang dikenal di
wilayah bagian barat Indonesia. Di pulau Jawa, jenis ini
umumnya ditemukan di daerah pegunungan rendah.
Croton juga dikenal dengan beberapa nama daerah seperti
“Jarakan” (Banjarmasin), “Kayu Bulan” (Palembang), “Ki
Jahe”, “Calik Angin” (Sunda), “Prakosa”, “Tapen”, “Walik
Angin” (Jawa), dan “Pas-kapasan” (Madura).
4. CROTON ( ), Famili: EuphorbiaceaeCroton argyratus
BINTARO
BU
AH
ME
RA
H
KELOR
KEMIRIKENARI
KETAPANG
9FORPro� Vol. 2, No. 1 Edisi 2013Juni
Masyarakat Banten pada jaman dulu menggunakan biji
croton untuk minyak lampu. Kayu croton memiliki kualitas
yang rendah, tetapi masyarakat kadang menggunakan
untuk kontruksi ringan pada bangunan rumah.
Kelor merupakan tanaman yang disebut berhabitat asli
di bagian barat Himalaya. Tanaman ini banyak
dibudidayakan di daerah-daerah panas di seluruh dunia.
Di Indonesia, tanaman ini banyak dijumpai di Aceh,
Kalimantan, Ujung Pandang dan Kupang.
Pohon kelor mulai berbuah pada umur 1 tahun setalh
penanaman. Pohon yang berumur 3 tahun dapat
menghasilkan 400-600 polong setiap tahunnya. Pohon
dewasa dapat menghasilkan 1600 polong per tahun.
Sementara itu beberapa hasil penelitian menunjukkan
bahwa kadar minyak yang dihasilkan biji kelor mencapai
lebih dari 35 %.
Minyak lemak kelor memiliki potensi sebagai bahan
bakar nabati. Rendemen minyak kelor berkisar antara
21,38% sampai dengan 35,83%. Analisis pada minyak biji
kelor ini menunjukkan berat jenis sebesar 0,89-0,91 gr/ml,
kandungan asam lemak bebas (%FFA) 2,07-4,78%, nilai
angka penyabunan 8,56-107,54 mgKOH/g, bilangan asam
0,040-0,095 mgKOH/g, dan viskositas 29,36-54,99 cst.
Manfaat lain dari biji kelor adalah sebagai bahan
penjernih air. Biji kelor yang ditumbuk menjadi serbuk
dapat dimanfaatkan untuk koagulan alami dalam
pengolahan air bersih. Biji kelor dengan dosis 6 biji/Liter
dapat menurunkan kekeruhan hingga 90,46 % dan
menurunkan jumlah bakteri Coliform hingga 87,65%.
Sementara itu bagian akar, batang, buah dan daun
dikenal memiliki gizi tinggi dan menjadi sumber pangan
alternatif. Daun kelor adalah salah satu bagian tanaman
yang biasa dikonsumsi masyarakat sebagai lalapan. Setiap
100 gram daun kelor mengandung 3390 SI vitamin A (2 kali
lebih tinggi dari kandungan vitamin A pada bayam, dan 30
kali lebih tinggi dari buncis). Daun kelor juga mengandung
kalsium 440mg/100g dan fosfor 70mg/100g.
Kemiri merupakan tanaman yang secara alami tersebar
di Asia Tenggara, Polinesia, Asia Selatan dan Brazil. Di
Indonesia tanaman ini tersebar hamper di seluruh daerah
mulai Sumatera, Jawa, Bali, Kalimantan, Maluku, Nusa
tenggara Timur, dan Papua. Nama Kemiri dikenal untuk
5. KELOR ( ), Famili: Moringaceae
6. KEMIRI ( ), Famili: Euphorbiaceae
Moringa oleifera
Aleurites moluccana
menyebut tanaman ini oleh masyarakat suku Jawa dan
Melayu, yang kemudian sebutan ini lebih banyak
digunakan secara nasional. Namun demikian, tanaman ini
memiliki beberapa nama lokal seperti Kameri (Bali), Anoi
(Papua), Keminting (Kalimantan), Engas (Ambon), Sakete
(Ternate), Hagi (Buru), Kereh (Aceh), Hambiri (Batak),
Kemling (Lampung), Buah Koreh (Minangkabau) dan Sapiri
(Makasar).
Inti biji kemiri mengandung minyak dengan kadar
mencapai 60%. Setiap pohon kemiri dapat memproduksi
30-80 kg biji kemiri. Minyak biji kemiri ini dikenal sebagai
dalam perdagangan internasional. Minyak
kemiri dapat dimanfaatkan untuk mengawetkan kayu,
bahan cat dan pernis, pelapis kertas, dan bahan sabun.
Selain potensi minyak lemak, pohon kemiri yang
memiliki umur produktif mencapai 25-40 tahun ini
mempunyai beragam kegunaan pada hampir semua
bagian pohonnya. Kayunya yang cukup ringan, berserat
halus dan berwarna putih dapat dimanfaatkan sebagai
bahan bakar, bahan baku pembuatan , peti kemas,
korek api dan pulp. Daunnya digunakan oleh masyarakat di
Sumatera untuk obat sakit kepala dan
Masyarakat Ambon dan Jawa menggunakan korteknya
(bagian tumbuhan yang terletak antara kulit luar dengan
silinder pusat) sebagai obat anti tumor, diare, sariawan dan
desentri. Buah kemiri dimanfaatkan oleh masyarakat luas
sebagai bumbu masak yang memiliki kandungan gizi dan
minyak yang tinggi. Daging biji, daun dan akar kemiri
mengandung saponin, flavonida dan polifenol.
Kenari merupakan tanaman buah tropis yang tumbuh
di wilayah Asia Tenggara terutama Indonesia, Malaysia dan
Philipina. Di Indonesia, pohon kenari banyak terdapat di
Maluku, juga di beberapa daerah lain seperti Kangean,
Bawean, Flores, Timor, Wetar, Tanimbar, Sulawesi. Kenari
terdapat juga di beberapa kota seperti Bogor, Medan dan
Mataram yang ditanam sebagai pohon peneduh di pinggir
jalan.
Satu pohon kenari dewasa dapat menghasilkan 50 kg
biji per tahun. Biji kenari pada umumnya mengandung 60-
70% minyak, tergantung pada varietas, tempat tumbuh
dan pemeliharaan yang dilakukan. Keping biji (kotiledon)
kenari sekitar 4,1 - 16,66% dari berat buah utuh. Kotiledon
tersebut selain mengandung 60-70% lemak, juga
mengandung sekitar 8 % karbohidrat dan 11,5-13,9%
candlenut oil
plywood
gonnorhea.
7. KENARI ( ), Famili: BurseraceaeCanarium odoratum
LEN
A
MAKADAMIA
NYAMPLUNG
NYATOH
PICUNG DAUN BIJI SA
GA
PO
HO
N
FORProVol. 2, No. 1 Edisi 2013Juni �10
protein.
Pohon kenari mempunyai beragam kegunaan. Kayunya
yang memiliki berat jenis 0,55 dan termasuk dalam kelas
kekuatan III dan kelas keawetan IV dapat digunakan untuk
papan, bahan bangunan, kayu lapis, mebel, lantai dan
papan dinding. Kulit batangnya mengeluarkan getah/resin
seperti damar jika diiris. Getah berwarna putih pada
awalnya, kemudian seperti lilin yang berwarna kuning
pucat dan bertekstur lunak. Minyak resin beraroma wangi
dan dapat dimanfaatkan untuk industri parfum atau
pewangi sabun meskipun hingga saat ini belum dilakukan
dalam skala luas. Minyak resin juga dapat dimanfaatkan
untuk pembersih rambut, bahan pembuatan dupa, serta
obat gosok untuk mengobati gatal-gatal. Pemanfaatan
getah/gum kenari yang lebih dikenal adalah untuk bahan
plaster farmasi daan salep serta memberikan sifat mantap
dalam vanish.
Manfaat lain yang cukup potensial dari jenis kenari
adalah pada bagian biji. Biji kenari mengandung asam
(ALA) yang merupakan salah satu tipe asam
lemak omega 3. Kandungan ALA dalam kenari lebih tinggi
dibanding sumber yang lainnya seperti kedelai, biji rami,
ikan laut dan beberapa sayuran hijau. Selain itu, biji kenari
juga mengandung zat anti peradangan (polifenol) yang
lebih tinggi daripada anggur merah, serta kaya protein
dbandingkan protein yang dikandung daging ayam.
Mengkonsumsi biji kenari diyakini dapat mencegah kanker
prostat, memperlambat dan menghentikan pertumbuhan
tumor, meningkatkan kinerja arteri, mengurangi kolesterol
buruk, meningkatkan pertumbuhan otot dan imunitas
tubuh, serta mengoptimalkan fungsi sel-sel otak.
Ketapang dikenal sebagai tumbuhan asli Asia Tenggara
termasuk Indonesia, namun tanaman ini telah
dikembangkan di Australia Utara, Polinesia, Pakistan,
India, Afrika Timur dan Barat, Madagaskar dan dataran
rendah Amerika Selatan dan Tengah. Di Indonesia,
tanaman ini tersebar hampir diseluruh wilayah Indonesia
kecuali di beberapa daerah di Sumatra dan Kalimantan
yang jarang ditemukan di alam. Beberapa nama lokal
tanaman ini yang dikenal antara lain Hatapang (Batak),
Katafa (Nias), Katapieng (Minangkabau), Lahapang
(Simeulue), Ketapas (Timor), Atapan (Bugis), Talisei,
Tarisei, Salrise (Sulawesi Utara), Tiliso, Tiliho, Ngusu
(Maluku Utara), Sarisa, Sirisa, Sirisal, Sarisalo (Maluku),
Lisa (Rote), dan Kalis, Kris (Papua).
Biji ketapang dapat mengandung minyak dan dapat
dimakan. Biji ketapang memiliki rasa yang mirip dengan biji
almond dan berpotensi untuk mengganti biji almond
untuk bahan makanan kue. Biji ketapang mengandung
minyak sekitar 50% dari bobot biji kering. Minyak dari biji
ketapang berwarna kuning, mengandung asam-asam
lemak seperti palmitat (55,5%), asam oleat (23,3%), asam
linoleat, asam stearat, asam miristat, serta berbagai
macam asam amino.
alpha-linolenic
8. K E TA PA N G ( ) , Fa m i l i :
Combretaceae
Te r m i n a l i a ca ta p p a
Bagian lain dari pohon ketapang juga memiliki manfaat
yang beragam. Kayunya keras dan ulet, ringan sampai
sedang dengan berat jenis berkisar antara 0,47-0,68 dan
sering dimanfaatkan sebagai bahan lantai atau vinir. Di
Indonesia, kayu ketapang digunakan oleh masyarakat
pesisir sebagai bahan pembuatan perahu. Kulit batang dan
daun ketapang dapat dimanfaatkan sebagai penyamak
kulit dan pewarna alami. Daunnya dapat digunakan
sebagai obat rematik. Kulit batang dan daun mengandung
tannin yang dapat dimanfaatkan sebagai astrigen pada
disentri dan sariawan, sebagai diuretic dan kardiotonik dan
juga sebagai obat luar pada erupsi kulit.
Ketiau tumbuh secara alami di Malaysia dan Indonesia.
Di Malaysia jenis ini disebut Nyatoh Katiau, sedang di
Indonesia disebut Ketiau. Di Indonesia, setidaknya ketiau
telah dikenal keberadaannya di bagian Barat Nusantara,
terutama di Pulau Sumatera dan Kalimantan.
Biji ketiau dengan berat rata-rata 0,34 g terdiri dari
68% inti dan mengandung minyak 51,3%. Minyak ketiau
ini memiliki aroma yang kuat dan memiliki rasa seperti
mentega dan telah lama dimanfaatkan masyarakat
Banjarmasin sebagai bahan makanan
Ketiau yang berasal dari Banjarmasin telah dikenal
produk getahnya dalam perdagangan Internasional sejak
tahun 1910. Getah ketiau yang berasal dari Banjarmasin
dilaporkan mengandung 16,27% gutta, 75,43% damar dan
8,3% air. Pohon ketiau setinggi 20 m dengan diameter
batang 55 cm dapat menghasilkan getah sekitar 2 kg, yang
diambil pada bagian kulitnya. Di Hutan-hutan pedalaman
Kalimantan, khususnya Kalimantan Tengah, getah ini
dikenal dengan istilah “getah nyatu”, yang merupakan
bahan baku berbagai kerajinan.
Kayu ketiau berwarna coklat kekuningan atau
kemerahan, dengan serat kasar tapi mudah dikerjakan.
Masyarakat biasanya memanfaatkan kayu ketiau sebagai
bahan bangunan yang terlindung di bawah atap.
Lena tumbuh di daerah tropis seluruh dunia dan daerah
lain seperti Lautan Tengah, negara-negara bagian Amerika
Serikat sebelah selatan dan di Mansyuria. Di Indonesia,
jenis ini telah diperdagangkan sejak lama di daerah Jawa,
Madura, dan Sulawesi Selatan. Tanaman ini lebih dikenal
sebagai tanaman Wijen dalam perdagangan.
Tanaman lena dikenal sebagai penghasil biji wijen yang
dapat dipanen setelah kira-kira berumur 5 bulan. Produksi
biji wijen dilaporkan beragam dengan rata-rata sekitar 7
pikul per bahu (1 bahu = 7000 m ). Pengembangan varietas
unggul jenis wijen terus dilakukan untuk meningkatkan
produktifitasnya. Sebagai gambaran, salah satu varietas
unggul wijen (Sumberrejo I) memiliki potensi produksi 1-
1,6 ton/ha dengan kadar minyak 56,10% dan didapat pada
umur panen 90-110 hari.
Biji wijen dari tanaman lena paling banyak
dimanfaatkan sebagai bahan makanan. Jenis ini dikenal
9. KETIAU ( ), Famili: Sapotaceae
10. LENA ( ), Famili: Pedaliaceae
Ganua motleyana
Sasanum orientale
2
.
11FORPro� Vol. 2, No. 1 Edisi 2013Juni
sebagai sumber minyak nabati dengan kandungan minyak
35-63%, protein 20%, 7 jenis asam amino, lemak jenuh
14%, lemak tak jenuh 85,8%, fosfor, kalium, kalsium,
natrium, besi, vitamin B dan E, antioksidan dan alanin atau
lignin. Biji wijen ini dipercaya dapat memulihkan stamina
badan yang lemah setelah sakit. Selain itu masyarakat juga
memanfaatkan rebusan biji wijen untuk mengobati sakit
batuk. Sementara itu bagian daun dapat dimanfaatkan
untuk obat sakit kepala dan demam dengan cara digiling
dan ditempelkan pada dahi.
Minyak yang dihasilkan dari biji wijen dapat di-
manfaatkan untuk minyak salada, minyak goreng, dan
minyak rambut (setelah dicampur dengan minyak
aromatic), minyak lampu dan bahan pembuatan sabun.
Minyak wijen juga dapat dimanfaatkan untuk obat gosok
untuk menyembuhkan encok. Selain itu, minyak wijen
dimanfaatkan sebagai bahan baku untuk industri plastik,
margarin, sabun, kosmetik dan pestisida.
Makadamia ( sp.) berasal dari Australia,
Kaledonia Baru dan Indonesia. Di Australia ditemukan
lima spesies yaitu
dan tiga spesies berasal dari
kaledonia baru (
serta satu spesies dari Indonesia, yaitu Di
Indonesia, makadamia banya terdapat di daerah Sulawesi
Tengah danSumatera Utara, dan dikenal sebagai “buah
tahan api”. Di Sulawesi, makadamia dikenal dengan banyak
nama yaitu kayu dan kanjole.
Dalam keadaan baik, pohon dewasa dapat
menghasilkan 136,36 kg biji/tahun dan dalam keadaan
kurang,, misalnya akibat cuaca berangin sehingga banyak
bunga yang rusak hanya dapat menghasilkan antara 22,73 -
90,91 kg biji/tahun. Minyak makadamia merupakan bahan
makanan yang banyak digunakan dalam industri makanan
karena memiliki nilai gizi yang baik dengan kadar protein
tinggi. Berkat rasanya yang manis, lembut dan berlemak,
makadamia biasa dimanfaatkan sebagai campuran sajian
penutup ( ). Minyak makadamia juga digunakan
secara langsung dengan cara memercikkannya di atas
hidangan ikan atau sayuran.
Kacang makadamia mempunyai kandungan lemak
sehat 70% dan protein 8%. Kacang makadamia
mengandung pati, kalsium, zat besi, fosfor, magenesium,
dan tiamin. Minyak makadamia sering digunakan sebagai
penunjang terapi alami pemulihan kacanduan alkohol,
pemulihan gangguan hati/liver, mengatasi gangguan
anemia dan membersihkan saluran pembuluh nadi
jantung. Hasil studi menunjukan, mengonsumsi sekitar
40 gr kacang makadamia (setara 305 kalori), dapat me-
nurunkan kolesterol jahat (LDL) hingga 9% dalam waktu
5 minggu.
Mimba tumbuh alami di berbagai
daerah di Indonesia dan telah dibudidayakan, khususnya di
11. MAKADAMIA ( sp.), Famili: Proteaceae
12. MIMBA ( ), Famili: Meliaceae
Macadamia
Azadirachta indica
Macadamia
M. hejana, M. whalani, M. ternifolia, M.
tetraphylla M. pracalta,
M. rousellii, M. vinilardii dan M. francii)
M. hildebrandii.
perande, tinapu, balomatoa,
dessert
(Azadirachta indica)
FORProVol. 2, No. 1 Edisi 2013Juni �12
MIMBA
Jawa dan Bali. Mimba memiliki nama, yaitu:
(jawa), (madura),
(bali). Di Inggris dan Belanda, mimba dikenal dengan nama
Pada pembuahan pertama, tanaman menghasilkan
9 kg buah/pohon, kemudian tahun-tahun berikutnya
meningkat menjadi 30 - 50 kg buah/pohon. Dari 30 kg
buah mimba, dapat diperoleh 6 kg minyak mimba dan
24 kg bahan kering, atau rendemen minyak sebesar 20%.
Di India, dari sekitar 14 miliar pohon mimba dapat
dihasilkan 3.000 ton minyak mimba dan 330.000 ton bahan
kering per tahun.
Minyak dari biji mimba bisa digunakan sebagai obat
penyakit kulit. Jumlah minyak dari biji mimba diperkirakan
separuh dari berat bijinya. Minyak yang dihasilkan berupa
cairan yang tidak mengering berwarna kuning tua, berbau
kurang enak seperti bawang putih dan berasa pahit dan di
eropa dikenal sebagai minyak . Minyak ini jika
didiamkan agak lama akan terpisah sedikit lemak padat.
Kegunaan minyak ekstrak dari biji mimba adalah sebagai
obat luar untuk mengobati penyakit kulit, juga sebagai
salah satu bahan baku pembuatan sabun kesehatan,
karena minyak ini mengandung kadar belerang sebesar
0,4%. Meskipun demikian jarang digunakan dalam industri
sabun karena proses ekstraksinya yang cukup lama,
disamping bau yang ditimbulkan tidak enak sehingga
dikhawatirkan akan menimbulkan polusi udara.
Pohon mimba mempunyai beragam kegunaan.
Kayunya yang keras diolah menjadi komponen bahan
bangunan dan perabot rumah tangga. Rebusan kulit
batangnya menjadii obat demam. Getah dari kulit mimba,
yang berbentuk gumpalan-gumpalan bening berwarna
coklat muda berfungsi sebagai obat penyakit lambung dan
banyak digunakan sebagai perekat.
Daunnya sangat pahit tapi bisa digunakan sebagai
makan ternak. Selain itu rebusan daun mimba ini dapat
digunakan sebagai pembangkit selera makan dan obat
malaria dan jika dimasak bersama beras dapat diolah
menjadi bubur yang menyehatkan Ekstrak daun mimba
biasa digunakan sebagai campuran pestisida alami untuk
mengawetkan kayu.
Pohon nyamplung tumbuh di Asia Tenggara, India,
Afrika, Australia Utara, Quessland Utara dan negara
lainnya. Di Indonesia pohon nyamplung tumbuh alami di
Sumatera Barat, Riau, Jambi, Sumatera, Selatan, Lampung,
Jawa, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Sulawesi,
Maluku, Nusa Tenggara Timur dan Papua. Pohon ini
mimba
membha, mempheuh mimba, intharan
Margosier, margosa tree.
margosa
13. NYAMPLUNG ( ), Famili:
Guttiferaceae
Calophyllum inophyllum
memiliki banyak nama daerah, yaitu:
(Sumatera), (Jawa),
(Kalimantan), (Sulawesi), (Maluku),
(NTT).
Biji Nyamplung segar mengandung minyak sekitar 40 -
55%, sedang pada biji kering kandungan minyaknya 70 -
73%. Bahan aktif yang terkandung pada biji adalah
Inophylum A-E, Calophylloide dan Asid calophynic.
Kandungan lain dalam jumlah kecil antara lain, 7-
beksahidro-1, 6 dimetil-4 (1-metilletil) naftalin, cubebene,
selinene, calerene, farnesene, scadinene, bourbonene,
zingiberene, copaene, murelene, sesquiphellandrene,
octadecanal, heksadecane, farmesol. Berat jenis 0,941 -
0,945; angka iodium 82 - 98; angka penyabunan 192 - 202,
titik leleh 8°C. Komposisi asam lemak (%-b) : oleat 48 - 53,
linoleat 15 - 24, palmitat 5 - 18, stearat 6 - 12.
Minyak nyamplung berwarna hijau gelap atau kuning
kebiru-biruan. Minyak Nyamplung dinamakan juga minyak
tamanu (Tahiti), minyak undi (India), minyak domba
(Afrika). Minyak nyamplung mentah mengandung
komponen yang aktif mempercepat kesembuhan luka atau
pertumbuhan kulit ( ) dan obat kurap. Selain
itu, minyak sangat potensial untuk dikembangkan sebagai
bahan bakar alami atau .
Pemanfaatan lain dari pohon nyamplung adalah
kayunya yang termasuk kayu komersial yang dapat
digunakan untuk perkapalan, balok, tiang, papan lantai
dan papan pada bangunan perumahan dan bahan
kontruksi ringan.
Nyatoh ( ) merupakan tanaman yang
tumbuh di banyak tempat di Indonesia. Nyatoh ditanam
oleh masyarakat di berbagai daerah, khususnya Jawa,
Kalimantan dan Bali. Pohon ini memiliki nama, yaitu;
(jawa), (madura), (bali).
Minyak nyatoh bisa digunakan untuk berbagai
keperluan seperti memasak dan bahan bakar lampu
minyak untuk penerangan. Pohon nyatoh mempunyai
beragam kegunaan. Kayunya yang cukup keras banyak
bintangur
nyamplung, soulatri bentangur
bintula pataule, bitaur
bentango, samplong
cicatrization
biodiesel
Palaquium javense
kawang, nyatu nyatoh klesi
14. NYATOH ( ), Famili: SapotaceaePalaquium javense
digunakan sebagai bahan pembuat gamelan dan perkakas
rumah tangga yang cukup bagus. Bijinya bisa menghasilkan
m i nya k ya n g d a p a t d i p e ro l e h d e n ga n c a ra
memasak/merebus bijinya.
Picung ( ) adalah tanaman buah yang
tumbuh di banyak negara tropis khususnya Malaysia dan
Indonesia. Nama lain picung adalah (Indonesia)
dan (Malaysia). Di Indonesia, picung ditanam oleh
masyarakat di berbagai daerah mulai dari Sumatera, Jawa,
Kalimantan, Sulawesi dan Maluku. Nama daerah untuk
tanaman ini adalah: (Sumut),
(Jakarta),
(Sumbar), (Lampung),
(Jabar), (Jatim/Jateng), (Madura),
Bali), (NTB/Sulsel).
Pohon ini baru berbuah setelah berumur 15 tahun dan
jatuh pada awal musim hujan dengan jumlah rata-rata
diatas 300 buah/pohon. Biji picung dapat mengeluarkan
minyak, dengan cara direbus dalam air selama 2-3 jam
kemudian dikupas dan dibuang noda-noda hitam yang ada
di bagian inti biji. Kemudian initi biji yang sudah bersih
direndam dalam air selam 24 jam. Setelah jemur inti biji
sampai mengeluarkan minyak jika dipijit. Jika kondisi sudah
seperi ini maka minyak bisa diekstrak dengan cara
dikempa/tekan.
Minyak dari biji picung mengandung asam sianida
dengan dosis tinggi, yang dapat berfungsi sebagai
antiseptik, pemusnah hama dan pencegah parasit yang
baik. Minyak biji picung bisa dipakai sebagai pengganti
minyak kelapa. Minyak ini juga bisa dipakai untuk berbagai
penggunaan, seperti menggoreng, memasak, penerangan
pada lampu minyak, pengobatan beberapa penyakit,
khususnya encok dan penyakit kulit. Penyimpanan yang
baik pada botol tang tertutup rapat akan memperpanjang
keawetan minyak dan mencegak minyak berbau tengik,
seperti pada minyak kelapa.
Pohon picung juga mempunyai beragam kegunaan.
Kayunya yang kurang awet, sehingga hanya digunakan
untuk keperluan yang tidak memerlukan keawetan seperti
pembuatan korek api. Kulit kayu dan daun pohon picung
juga bisa dipakai sebagai racun/tuba ikan yang dipakai
dengan cara meremas dan menaburkannya. Daunnya juga
bisa dipakai sebagai pestisida nabati yang cukup efektif
dan tidak meninggalkan bau atau rasa apapun setelah
dilakukan perlakuan. Pada luka, untuk mencegah infeksi
dari organisme-organisme dan bakteri maka ekstrak daun
ini bisa dibalurkan, baik untuk manusia maupun binatang.
Daunnya juga berfungsi sebagai pengawet. Di beberapa
daerah digunakan untuk mengawetkan daging, dengan
cara membungkus daging dengan daun ini.
Biji picung bisa digunakan sebagai bahan pengawet
ikan. Caranya, cincang biji picung sampai halus dan dijemur
selama 2-3 hari, kemudian ikan yang akan diawetkan
dibersihkan bagian perutnya dan rongga perutnya diisi
dengan cincangan biji picung tadi. Hal ini berguna
15. PICUNG ( ), Famili: FlacourtiaceaePangium edule
Pangium edule
kepayang
pangi
pangi, hapesong pucung
kapayang, kapeunceung, kapecong, simaung
kayu tuba buah pacung, picung
pakem, pucung pakem
pangi ( kalowa
SUNTAI POHON
13FORPro� Vol. 2, No. 1 Edisi 2013Juni
terutama jika ikan tersebut akan dikirim/dijual ke tempat
lain yang cukup jauh. Caranya, ikan yang akan diangkut
ditata didalam keranjang dengan urutan selapis ikan,
selapis cincangan biji picung dan seterusnya.
Saga pohon ( ) adalah tanaman
yang tumbuh di berbagai daerah di Indonesia, di India dan
beberapa negara koloni Perancis. Di Indonesia tanaman ini
banyak ditemui pantai utara pulau Jawa. Di Indonesia, saga
pohon dikenal dengan nama Saga utan (Bangka), Ki toke
laut (Sunda), Segawe sabrang (Jawa), Ghak saghakan
(Madura), Sagha nal (Kangean) dan Bibilaka (Alor). Di India
saga pohon dikenal dengan nama
dan
Minyak biji Saga pohon mengandung lemak yang cukup
tinggi, yaitu sebesar 35%. Minyak yang dihasilkan bisa
digunakan sebagai bahan makanan, yaitu untuk memasak
dan menggoreng. Selain itu. biji saga pohon memiliki
banyak manfaat, diantaranya sebagai pembersih/pemurni
dan mematri emas, yaitu dengan cara menghancurkannya
sampai didapat tepung ( ), kemudian dicampur dengan
bahan patri. Selain itu juga bisa digunakan sebagai bahan
makanan, yaitu dengan cara mengambil daging bijinya.
Kemudian daging bijinya dipanggang dan ditumbuk dan
langsung dapat dimakan sebagai lauk. Banyak yang
mengatakan bahwa rasa daging biji saga pohon seperti
kedelai.
Kayunya banyak digunakan sebagai bahan bangunan
dan perkakas rumah tangga. Kulitnya (baik yang masih
segar maupun sudah kering) bisa digunakan untuk
membersihkan rambut dan mencuci pakaian. Ini
dikarenakan kulit kayu Saga pohon mengandung ,
zat kimia yang banyak digunakan sebagai pembersih
meskipun tidak terlalu banyak buih/busa.
Seminai ( ) merupakan tanaman yang
tumbuh di banyak negara Asia Tenggara khususnya
Malaysia dan Indonesia yaitu di Sumatra Timur meliputi
Kampar-kiri, pelawan dan Tapungs (Siak).
16. SAGA POHON ( ), Famili:
Leguminosae
17. SEMINAI ( ) , Famili: Sapotaceae
Adenanthera povinina
Madhuca utilis
Adenanthera povinina
Koraalboom, Bois de
corail, Condori commun, Koral lenbaum, Bead tree
Coral pea tree.
aci
saponin
Madhuca utilis
Minyak dari pohon ini banyak digunakan dalam
kegiatan memasak sebagai pengganti minyak kelapa.
Pohon seminai mempunyai beragam kegunaan,
diantaranya kayunya banyak digunakan sebagai perabotan
rumah.
Suntai ( ) merupakan tanaman yang
hanya dijumpai Indonesia, khususnya daerah sumatra
timur yang meliputi daerang Bengkalis dan pulau Karimun
(Riau).
Salah satu kegunaan utama dari tanaman ini adalah
bijinya yang menghasilkan minyak. Biji diperoleh dengan
dua cara, yaitu dikupas seperti biasa dengan menggunakan
pisau dan cara kedua adalah dengan menumbuknya. Se-
lanjutnya buah dikeringkan dengan cara dijemur. Untuk
mendapatkan minyak, biji dibakar di atas api dan se-
lanjutnya digiling. Tepung atau hasil gilingan yang diper-
oleh kemudian disaring, jika ada yang masih kasar maka
digiling kembali. Selanjutnya setelah halus tepung ini
direbus dan ditungkan kedalam plat/cetakan besi dan
diberi tekanan ( ) samapai keluar cairan lemak.
Minyak lemak ini kemudian ditampung dalam cetakan/
wadah kayu dan siap untuk digunakan atau dijual. Minyak
dari biji ini bisa digunakan sebagai bahan memasak,
sebagai pengganti minyak kelapa.
Kayunya yang keras dan padat banyak digunakan
sebagai bahan pembuat perahu. Buahnya bisa dimakan
dan bisa menjadi sumber persediaan pangan khususnya di
masa lalu.
18. SUNTAI ( ), Famili: SapotaceaePalaquium burckii
Palaquium burckii
pressing
FORProVol. 2, No. 1 Edisi 2013Juni �14
SEMINAI DAUN BIJI
SUNTAI
farmasi dan kosmetika. Pada masa lalu tengkawang juga
dipakai dalam pembuatan lilin, sabun, margarin, pelumas
dan sebagainya. Minyak tengkawang juga dikenal sebagai
.
Minyak tengkawang juga cocok digunakan pada
industri margarine, coklat, sabun, lipstik dan obat-obatan;
karena memiliki keistimewaan, yaitu titik lelehnya yang
tinggi berkisar antara 34 - 39°C. Selain untuk pangan,
prospek yang baik dari minyak tengkawang yang dikenal
dengan nama atau , dapat dipakai
sebagai minyak pelumas mesin, pembuatan sabun, peti kemas,
bahan baku pembuatan lilin, , dan .
Nilai gizi yang tinggi serta sifat titik cairnya yang juga
tinggi bukan saja cocok sebagai pengganti minyak cokelat,
tetapi juga sebagai penambah campuran minyak coklat
agar mutunya menjadi lebih baik dan tahan disimpan pada
suhu panas . Ekstrak lemak tengkawang memberi nilai
tambah yang sangat tinggi yaitu mencapai 200%. Setiap
tahun harga minyak tengkawang selalu meningkat, pada
tahun 1994 bernilai US$ 1,85 per kg dan pada tahun 1998
bernilai US$ 2,87 per kg. Sejak tahun 1996 tidak tercatat
ekspor biji tengkawang, kemungkinan besar terserap habis
untuk memproduksi lemak tengkawang.
Pemanfaatan lemak tengkawang saat ini sebagian
besar hanya dalam industri coklat, yang ditujukan untuk
meningkatkan titik leleh lemak coklat terutama lemak
coklat yang berasal dari Amerika Latin. Minyak
tengkawang dalam industri makanan dikenal dengan nama
, yang digunakan sebagai pengganti
minyak coklat. Pada industri farmasi dan kosmetika dikenal
dengan nama yang dapat digunakan sebagai
bahan baku kosmetik dan obat-obatan.
Kayu shorea termasuk jenis kayu keras dan cukup kuat,
sehingga sering digunakan sebagai bahan bangunan,
perabot rumah tangga vinir dan bahan baku lantai kayu.
Damar yang dihasilkan dari getah shorea dapat digunakan
sebagai bahan campuran pembuatan obat dan kosmetik.
Buah tengkawang dikenal enak. Jenis meranti penghasil
Tengkawang merupakan pohon khas Kalimantan penghasil
kayu pertukangan, juga buahnya bernilai komersil tinggi
yang digunakan sebagai bahan baku nabati pengganti
minyak coklat, bahan lipstik, minyak makan dan juga dapat
digunakan bahan obat-obatan.
green butter
vegetable thallow illip nut
stearine palmitat
cacao butter substitute
oleum shorea
19. TENGKAWANG ( )
Famili: Dipterocarpaceae
Shorea seminis; S. pinanga; S.sp
Tengkawang ( ) merupakan tanaman khas
Indonesia dan tersebar diseluruh wilayah Kalimantan serta
di beberapa wilayah Sumatera seperti Palembang
(Sumatera Selatan) dan Minangkabau (Sumatera Barat).
Nama lain tanaman ini yang sering digunakan adalah
(Palembang),
(Minangkabau),
(Kalbar),
(Kalsel),
(Kaltim).
Pohon tengkawang yang baru berbuah akan meng-
hasilkan 50 - 100 kg biji tengkawang kering. Hasil rata-rata
pohon tengkawang pada panen raya berkisar antara 250 -
800 kg biji tengkawang kering. Pohon tengkawang pada
tahun-tahun diluar panen raya hanya menghasilkan sekitar
50 - 100 kg biji. Minyak tengkawang diperoleh dari biji
tengkawang yang telah dijemur atau disalai hingga kering,
yang kemudian ditumbuk dan dikempa. Secara tradisional,
minyak tengkawang ini dimanfaatkan untuk memasak,
sebagai penyedap makanan dan untuk ramuan obat-
obatan. Dalam dunia industri, minyak tengkawang
digunakan sebagai bahan pengganti lemak coklat, bahan
Shorea spp
Melebekan maranti beras, maranti jawi
tengkawang majau, t.salungsung,
t.sungkasuwu kalang tanggui, kalapis danum,
kalepek danum, kekawang, majau, mengkabang,
tengkawang asu, t.pasir, t.tanggui kenuar,
lampong meranti, menkabang, mesap
Sumber gambar:
balam : kabarmingguan.blogspot.com
bintaro : fobi.web.id
buah merah : indonesiaprofile-s.blogspot.com
croton : www.flickr.com
kelor : www.zimbio.com
kemiri : heart-waterlily.blogspot.com
kenari : organicfarm.net
ketapang : fbaugm.wordpress.com
ketiau : www.asianplant.net
lena : vegetablegardendjp.blogspot.com
macadamia : www.macadamia.net.au/
mimba : blogsumberinformasigratis.blogspot.com/
nyamplung : kebumen.aribicara.com/
nyatoh : www.flickr.com/
picung : floranegeriku.blogspot.com/
saga : matoa.org/
seminai : www.kcpremierroofing.com/
suntai : fr.wikipedia.org
suntai : http://eol.org
tengkawang : http://massurono.com/
15FORPro� Vol. 2, No. 1 Edisi 2013Juni
TENGKAWANG DAUN
Lampiran 1. Tabel Jenis HHBK Minyak Lemak Beserta Kegunaannya
No JenisPemanfaatan (non-kayu)
yang sudah dikenal
Pemanfaatan
minyak
Bagian yang
mengandung
minyak
Perkiraam
rendemen
1 BALAM (Palaquium
walsurifolium)
Minyak lemak dipakai untuk obor,
Penghasil buah,
Material Biji 30% - 45 %
2 BINTARO (Cerbera
manghas)
Minyak berpotensi sebagai biodiesel
(biji/buah), Penghijauan kota; racun
berburu (buah);
Energi Biji dan Buah 54,33 %
3 BUAH MERAH
(Pandanus
conoideus)
obat menghambat sel kanker, malaria
dan penurun gula darah(buah)
Obat Buah 0,094 % (94,2 mg
lipid/100 gram
buah)
4 CROTON (Croton
argyratus)
Lampu penerang Energi Biji 15 %
5 KELOR (Moringa
oleifera)
pembersih air (biji); biodiesel (biji);
makanan (daun)
Energi Biji dan Daun 35,83 %
6 KEMIRI (Aleurites
mollucana)
minyak dan rempah/bumbu (biji);
campuran bahan cat (biji); bahan
penyubur rambut (biji); penyembuh
diare (biji); obat kanker dan
ISPA/pernafasan pada anak (biji);
obat disentri dan diare (kulit batang);
penurun gula darah (kulit batang);
sakit gigi (getah daun); biodiesel (biji)
Obat ,
Makanan,
Kosmetik,
Energi, Material
Biji 15-20 %
7 KENARI (Canarium
odoratum)
penghijauan kota; bahan
kerajinan/sovenir (buah);
mengandung omega 3 dan ALA (alfa
linolenik) yang dapat memperbaiki
profil kolesterol (biji); mencegah dan
memperlambat pertumbuhan tumor
dan kanker (biji); pewangi sabun
(gum/getah kulit batang); bahan
plaster dan salep (gum);
Obat ,
Makanan,
Kosmetik,
Material
Biji 65 - 70 % (dari
kernal/inti
buah/biji)
8 KETAPANG
(Terminalia
catappa)
pohon peneduh; pengganti biji almon
dalam kue-kue (biji); bahan penyamak
kulit (pegagan dan daun); bahan tinta
dan pewarna hitam (pegagan dan
daun); menyembuhkan lepra, kudis
dan penyakit kulit yang lain (daun);
menyembuhkan rematik pada sendi
(daun) astringen pada disentri dan
sariawan, juga sebagai diuretik,
kardiotonik dan dipakai sebagai obat
luar pada erupsi kulit (tanin pada
pegagan dan daun)
Obat ,
Makanan,
Kosmetik,
Energi, Material
Biji 50% dari berat
kering biji
9 KETIAU (Ganua
motleyana)
Penghasil getah “nyatu” yang dipakai
untuk kerajinan
Material Biji 51,3 % dari berat
biji
FORProVol. 2, No. 1 Edisi 2013Juni �16
No JenisPemanfaatan (non-kayu)
yang sudah dikenal
Pemanfaatan
minyak
Bagian yang
mengandung
minyak
Perkiraam
rendemen
10 LENA (Sasanum
orientale)
penghasil biji/minyak wijen; minyak
goreng, minyak rambut, minyak
lampu, bahan sabun (minyak biji);
makanan (biji); obat batuk (biji); obat
sakit kepala (daun)
Obat, Makanan,
Kosmetik,
Energi, Material
Biji Tidak ada data
11 MAKADAMIA
(Macadamia sp.)
Penghasil buah, bahan makanan,
penghijauan kota
Makanan,
Kosmetik,
Energi, Material
Biji Tidak ada data
12 MIMBA
(Azadirachta
indica)
Obat penyakit kulit dan lambung,
penambah nafsu makan, campuran
pestisida alami, campuran lem
Obat, Material Biji 20 %
13 NYAMPLUNG
(Callophyllum
inophyllum)
Obat penyakit kulit dan bahan
biodiesel
Obat, Energi Biji biji segar
mengandung 40-
55% sedangkan biji
kering 70-73%
14 NYATOH
(Palaquium
javense)
Memasak dan bahan bakar untuk
penerangan
Energi Biji Tidak ada data
15 PICUNG (Pangium
edule)
Antiseptik, pemusnah hama dan
pencegah parasit, memasak,
pengawet makanan, kulit dan daun
bisa sebagai racun untuk menangkap
ikan, bahan penerangan, obat
penyakit kulit dan encok
Obat, Material Biji Tidak ada data
16 SAGA POHON
(Adenanthera
povinina)
Memasak, bahan makanan (buah),
pembersih baju, pembersih rambut,
bahan campuran mematri
Makanan.
Kosmetik
Biji Tidak ada data
17 SEMINAI (Madhuca
utilis)
Memasak Makanan Biji Tidak ada data
18 SUNTAI (Palaquium
burekii)
Memasak Makanan Biji Tidak ada data
19 TENGKAWANG
(Shorea seminis; S.
pinanga; S.
macrophylla; S.
splendid)
Makanan, minyak coklat, memasak,
bahan pembuat lipstik, obat-obatan,
lilin, sabun, margarin, pelumas mesin,
margarin
Obat, Makanan,
Kosmetik,
Material
Biji Tidak ada data
Lampiran 1. Lanjutan
17FORPro� Vol. 2, No. 1 Edisi Juni 2013
dalam Sistem
Ary Widiyanto
Balai Penelitian Teknologi Agroforestry
Jl Raya Ciamis-Banjar Km 4, PO BOX 5 Ciamis
Email: ary301080_yahoo.co.id
AgroforestryAgroforestry
DEFINISI AGROFORESTRY
Agroforestry
perennial
agroforestry
agroforestry
agroforestry
dalam
dalam
agroforestry
dalam
agroforestry
merupakan suatu sistem pengelolaan
tanaman hutan ( ) yang dikombinasikan dengan
pertanian atau disebut juga sistem wanatani. Sebenarnya
banyak definisi mengenai , yang satu sama lain
tidak berbeda secara substansi. Banyak definisi dari
yang sering digunakan dalam dunia
pengetahuan. ICRAF mendefinisikan sebagai
suatu sistem pengelolaan lahan yang berasaskan
kelestarian, untuk meningkatkan hasil lahan secara
keseluruhan, melalui kombinasi produksi (termasuk
tanaman pohon-pohonan) dan tanaman hutan dan atau
hewan secara bersamaan atau berurutan pada unit lahan
yanag sama, dan menerapkan cara-cara pengelolaan yang
sesuai dengan kebudayaan penduduk setempat (King dan
Chandler (1978) Rauf (2004).
Masih Rauf (2004), Lundgren dan Raintree
mendifinisikan adalah suatu nama kolektif
untuk sistem-sistem penggunaan lahan & teknologi, di
mana tanaman keras berkayu (pohon-pohonan, perdu,
jenis-jenis palm, bambu, dan sebagainya) ditanam
bersamaan dengan tanaman pertanian, dan atau hewan,
dengan suatu tujuan tertentu dalam suatu bentuk
pengaturan spasial atau urutan temporal, dan di dalamnya
terdapat interaksi-interaksi ekologi dan ekonomi di antara
berbagai komponen yang bersangkutan. Mac Dicken dan
Vergara (1990) Padmowijoto (2006) mendifinisikan
sebagai manajemen lahan berkelanjutan
yang meningkatkan produksi total dengan kombinasi
tanaman pangan, pohon (holtikultura/tegakan hutan) dan
atau ternak secara simultan sesuai budaya lokal.
AGROFORESTRY DI INDONESIA
Di Indonesia, dilakukan di berbagai
wilayah tanah air dengan berbagai istilah lokal. Di Jawa
dikenal istilah yang diartikan sebagai bercocok
tanam sambil berternak dan berkebun, bisa berupa
holtikultura atau tegakan hutan di halaman rumah dan
atau pekarangan (Sumitro, 2001). Di propinsi Maluku
dikenal istilah yang menurut Kaya (2003)
Salampessy (2010) adalah sistem pengelolaan
sumberdaya alam dalam suatu bentang lahan milik dengan
mengkombinasikan komoditas pertanian, kehutanan dan
peternakan. Pada awalnya status adalah sebagai
kebun warisan keluarga secara turun menurun,
pengelolaannya terbatas pada kebutuhan subsisten tapi
sejalan perkembangan jaman maka keberadaan
berubah menjadi alat produksi yang bernilai ekologis,
ekonomi dan sosial budaya.
Di Sumatera (propinsi Lampung), dikenal istilah
yang dapat didefinisikan sebagai sebidang lahan kering
yang ditanami berbagai tanaman produktif, umumnya
tanaman tahunan ( ) seperti damar, jengkol,
durian, petai, tangkil, manggis dan aneka-ragam
tumbuhan liar yang dibiarkan hidup, dan disebut
karena pohon damar yang paling men-dominasi
dalam setiap bidang lahan (Lubis, 1997 Bintoro,
2010).
Sementara itu di Sumatera Utara terdapat suatu sistem
yang disebut Secara harfiah
berarti rumah ladang, atau ladang masyarakat yang
mudah dijangkau dari rumah pemiliknya (Affandi, 2010).
Masih menurut Affandi (2010), tanaman pada
agroforestry
mratani
Dusung dalam
dusung
dusung
Repong
perennial crops
repong
damar
dalam
agroforestry Reba Juma. reba
juma
reba juma
Tajuk Utama
Beberapa Catatan Mengenai Hasil Hutan
FORProVol. 2, No. 1 Edisi 2013Juni �18
didominasi oleh tanaman berkayu seperti
duku, durian, rambutan, manggis dan bambu, yang di-
kombinasikan dengan tanaman pertanian/perkebunan
seperti coklat, pisang, nenas, kunyit, jagung dan lain-lain.
Sistem ini dipraktekkan di atas tanah milik
yang pada awalnya merupakan tanah adat, di mana pem-
bagian dan penguasaan lahannya dilaksanakan berdasar-
kan sistem kekerabatan adat setempat. Di Kalimantan
Barat juga ditemukan sistem tradisional yang
disebut , yang dibentuk ketika petani akan
melakukan perladangan berpindah untuk mencari lokasi
lain yang lebih subur. Pada lahan yang ditinggalkan,
mereka menanaminya dengan berbagai tanaman buah-
buahan yang akan menjadi kebun (Roslinda, 2010).
Masyarakat desa Sungai Telang, Kabupaten Bungotebo,
Jambi secara tidak langsung telah melakukan konservasi
keanekaragaman ekosistem melalui kegiatan .
Penggunaan lahan seperti sawah, ladang, kebun (hutan
sekunder muda), belukar (hutan sekunder tua) di desa
tersebut diolah dan dimanfaatkan melalui pembuatan
campuran, sedangkan hutan hanya di-
manfaatkan hasil hutan non kayunya saja. Pengembangan
tumbuhan obat di daerah penyangga Taman
Nasional Meru Betiri di Kabupaten Jember, Propinsi Jawa
Timur telah memberikan kontribusi pendapatan sebesar
23% dari hasil pendapatannya, dan frekuensi petani masuk
hutan menurun 48%. Di samping itu terjadi peningkatan
dan lain-lain
agroforestry
agroforestry
Tembawang
agroforesty
agroforestry
agroforestry
partisipasi masyarakat dalam kegiatan konservasi, baik
konservasi tumbuhan secara maupun Dari
segi ekologi, program telah mengubah semak
belukar dan lahan kritis menjadi hutan tanaman yang
didominasi
dan Bismark dan R.
Sawitri, 2006).
Perkembangan hasil hutan dalam dunia kehutanan
Indonesia telah lama mengalami perubahan paradigma.
Jika sejak awal kemerdekaan hingga tahun 1990-an hasil
hutan selalu dikonotasikan dengan kayu, maka sejak
dekade 1990-an tersebut telah terbentuk paradigma baru
mengenai hasil hutan. Hutan tidak hanya dipandang
sebagai pengasil kayu, tetapi hutan juga dianggap sangat
penting dalam menjaga tata air suatu kawasan, sebagai
sumber oksigen dan juga penghasil hasil hutan bukan kayu
(HHBK), dengan nilai ekonomis yang diperkirakan tidak
lebih kecil dibanding kayu.
Dalam suatu sistem , pengolahan hasil
hutan merupakan bagian yang terintegrasi dalam sistem
agoforeresty secara keseluruhan. Sistem akan
menghasilkan dua kategori hasil, yaitu hasil hutan, yang
terdiri dari kayu dan non kayu serta hasil pertanian. Untuk
lebih jelasnya, posisi pengolahan hasil hutan dalam sistem
bisa dijelaskan dalam Gambar 1.
eks-situ in-situ.
agroforestry
Parkia roxburghii, Pythecelobium saman,
Pangium edule, Aleurites moluccana. (
agroforestry
agroforestry
agroforestry
HASIL HUTAN DALAM SISTEM AGROFORESTRY
Penanaman Pemeliharaan Pemanenan
Hasil
Pengolahan
Hasil
Pemasaran
Aspek Sosial Aspek Lingkungan
Gambar 1. Satu Siklus Produksi Hasil Hutan dalam Sistem Agroforestry
19FORPro� Vol. 2, No. 1 Edisi Juni 2013
Dari Gambar 1 terlihat bahwa pengolahan hasil (baik
hasil hutan maupun pertanian) merupakan bagian penting
dalam sistem secara keseluruhan. Bagian ini
sangat menentukan terhadap nilai produk
yng akan dijual/dipasarkan. Pengolahan hasil yang bisa
memberikan nilai tambah terhadap produk secara
otomatis akan meningkatkan nilai jual produk tersebut.
Untuk itu diperlukan input teknologi yang tepat, sistem
pengolahan yang lebih baik dan efisien serta diversifikasi
produk sehingga terjadi optimalisasi pemanfaatan produk
hasil hutan.
Dalam konteks kehutanan, fokus utama pengolahan
hasil dalam agroforestry adalah hasil hutan kayu dan
bukan kayu, yang berasal dari tanaman kayu. Untuk kayu,
jenis yang paling banyak digunakan oleh masyarakat
adalah jenis Sengon ( atau
). Meskipun demikian, belakangan
juga ditanam jenis lain, yang dianggap memiliki prospek
pasar yang baik oleh masyarakat, seperti Jabon
( Miq), Manglid (
) dan Gmelina ( ). Umumnya
pertimbangan masyarakat adalah tanaman dari jenis cepat
tumbuh ( ).
Untuk sengon dan gmelina, penelitian mengenai sifat
fisis-mekanis kedua jenis kayu tersebut sudah cukup
banyak dilakukan. Jabon juga sudah cukup banyak,
meskipun tidak sebanyak sengon dan gmelina. Dengan
demikian, salah satu peluang yang cukup terbuka untuk
digali adalah mengenai kualitas kayu manglid. Kayu
manglid, meskipun siklus produksinya tidak secepat
sengon dan jabon, tetapi cukup banyak dibudidayakan
masyarakat karena harga jualnya yang lebih tinggi dari
jabon dan sengon.
Peluang terbesar dalam penelitian hasil hutan dalam
sistem adalah pada hasil hutan bukan kayu
(HHBK). Praktek agroforestry yang banyak dilakukan oleh
masyarakat Indonesia adalah sistem
tradisional, yang pada lahan mereka, ditanami lebih dari
satu jenis kombinasi tanaman pada beberapa strata. Dari
sinilah muncul banyak tanaman penghasil HHBK yang
masih berpeluang untuk dikembangkan dan diteliti, baik
sifat-sifat dasarnya maupun teknologi untuk meningkat-
kan nilai tambahnya.
agroforestry
agroforestry
Paraserianthes falcataria
Falcataria molluccana
Anthocephalus cadamba Manglietia
glauca Gmelina arborea
fast growing species
agroforestry
agroforestry
Mengacu pada Peraturan Menteri Kehutanan nomor
P.35 / Menhut-II/2007, maka HHBK didefinisikan sebagai
hasil hutan hayati baik nabati maupun hewani beserta
produk turunan dan budidaya kecuali kayu yang berasal
dari hutan. Selanjutnya dalam Permenhut tersebut juga
disebut-kan jenis-jenis HHBK yang menjadi “urusan”
Kementerian Kehutanan, yang terbagi menjadi dua
kelompok besar HHBK yaitu jenis tumbuhan dan tanaman
serta jenis hewan.
Untuk jenis tumbuhan, terbagi menjadi beberapa sub
kelompok, yaitu:
1. Kelompok resin
2. Kelompok minyak atsiri
3. Kelompok minyak lemak, pati dan buah-buahan
4. Kelompok tannin, bahan pewarna dan getah
5. Kelompok tumbuhan obat dan tanaman hias
6. Kelompok palma dan bambu
7. Alkaloid
8. Kelompok lainnya
Dari delapan kelompok di atas, banyak di antaranya
yang sebenarnya sudah digunakan oleh masyarakat dalam
praktek agroforestry, dan perlu dikembangkan lagi.
Misalnya dari kelompok resin, terdapat damar yang telah
dimanfaatkan cukup lama, misalnya oleh masyarakat
Lampung dan dikenal dengan sistem “
Demikian pula dengan jenis lain seperti agathis, gaharu,
kapur, kemenyan, kesambi, tusam dan rotan.
Jenis HHBK dari kelompok lain yang potensial untuk
dikembangkan dalam sistem di antaranya dari
kelompok atsiri meliputi akar wangi, minyak gaharu,
kamper, lawang, kayu manis dan kayu putih. Untuk
tanaman kayu putih, Pabrik Pengolahan Minyak Kayu Putih
(PMKP) Jatimunggul, yang masuk dalam wilayah
administratif KPH Indramayu telah menanamnya
ditumpangsarikan dengan padi yang ditanam oleh
masyarakat.
Untuk kelompok minyak lemak, pati dan buah-buahan
terdapat di antaranya nyamplung, lena (wijen), kelor,
macadamia, kemiri dan picung. Picung atau lebih dikenal
sebagai keluwek juga sudah banyak ditanam oleh
:
repong damar”.
agroforestry
Vol. 2, No. 1 Edisi Juni 2013 �20 FORPro
masyarakat, khususnya di Jawa bersama jenis tanaman
lain, seperti tanaman kayu dan buah-buahan. Penghasil
karbohidrat (pati), juga terdiri dari jenis-jenis yang sudah
banyak ditanam dan dikonsumsi oleh masyarakat seperti
aren, sagu, suweg, iles-iles, jamur dan gadung. Demikian
pula dengan buah-buahan, karena ada 36 jenis buah-
buahan yang masuk kategori HHBK dan perlu
dikembangkan, khususnya pengolahan paska panennya.
Dari kelompok tannin, bahan pewarna dan getah
terdapat beberapa jenis yang cukup potensial seperti
akasia, gambir, kesambi, ketapang, pinang,
angsana, jati, jernang, mahoni, kesumba, secang dan
suren. Juga beberapa penghasil getah seperti jelutung,
balam, pulai dan karet hutan.
Beberapa tumbuhan atau tanaman obat yang potensial
dikembangkan pada sistem agroforestry
antara lain jenis akar-akaran, brotowali, duwet, jarak, jati
belanda, kayu putih, kayu manis, kepuh, kemiri, mimba
dan sebagainya. Kelompok palma dan bambu terdiri dari
semua jenis rotan dan bambu. Sedangkan untuk alkaloid
dan kelompok lainnya meliputi kina serta ganitri.
Dari gambaran di atas terlihat bahwa banyak jenis
HHBK yang telah dikembangkan oleh masyarakat maupun
tumbuh di alam, yang berpotensi dikembangkan dalam
sistem agoforestry berbasis pangan (wanatani), berbasis
obat-obatan (wanafarma) maupun agroforestry
campuran.
Sebagai sebuah sistem, agroforestry tersusun atas
proses-proses yang satu dengan yang lain sangat
berkaitan. Pengolahan hasil dalam sistem
merupakan bagian penting yang sangat menentukan nilai
produk yang akan dijual/dipasarkan.
Penelitian dan pengembangan hasil hutan bukan kayu
dalam sistem lebih berpotensi untuk
dikembangkan, karena jumlahnya yang relatif banyak serta
belum banyak dari HHBK tersebut yang telah diteliti secara
mendalam. Selain itu, siklus pemanenan HHBK yang lebih
cepat dibandingkan kayu akan lebiih menarik bagi
masyarakat untuk mengembangkannya, karena lebih
menarik secara ekonomi.
rizhopora,
wanafarma
agroforestry
agroforestry
agroforestry
PENUTUP
REFERENSI
Affandi, O. 2010. : Kelestarian Praktek
Agroforestri Lokal pada Masyarakat Karo, Propinsi
Sumatera Utara. Prosiding Agroforestri Tradisional
di Indonesia. Bandar Lampung. Hal 123-136.
Bintoro. 2010. Repong Damar Prototipe Hutan Rakyat Yang
Ideal. Prosiding Agroforestri Tradisional di
Indonesia. Bandar Lampung. Hal 87-98.
Bismark, M dan R. Sawitri. 2006. Pengembangan dan
Pengeloaan Daerah Penyangga Kawasan
Konservasi. Makalah Utama pada Ekspose Hasil-
hasil Penelitian : Konservasi dan Rehabilitasi
Sumberdaya Hutan. Padang, 20 September 2006.
Padmowijoto, S. 2006. Integrasi Legume dengan Tanaman
Pangan dan Ternak Kambing dalam Sistem.
Prospect Tahun 2 Nomor 2, Pebruari 2006. Hal 1-4.
Peraturan Menteri Kehutanan No P.35 / Menhut-II/2007
tanggal 28 Agustus 2007 tentang Hasil Hutan Bukan
Kayu.
Rauf, A. 2004. Agroforestri dan Mitigasi Perubahan
Lingkungan. Maklah Falsafah Sains Sekolah Pasca
Sarjana IPB.
Roslinda. 2010. Strategi Pengelolaan Tembawang Oleh
Masyarakat. Prosiding Agroforestri Tradisional di
Indonesia. Bandar Lampung. Hal 159-166.
Salampessy, M.L. 2010. Performansi Dusung Sebagai Salah
Satu Sistem Agroforestri Tradisional (Studi Kasus
pada Desa Urinesibf dan Desa Amahusu Kota
Ambon Propinsi Maluku). Prosiding Agroforestri
Tradisional di Indonesia. Bandar Lampung. Hal 51-
60.
Soemitro, P.W. 2001. Peranan Hijauan - dan Ternak
dalam Pertanian Berkelanjutan. Pidato Pengukuhan
Sebagai Guru Besar Fakultas Peternakan UGM.
Reba Juma
Mratani
Legume
21FORPro� Vol. 2, No. 1 Edisi 2013Juni
Mengenal Tumbuhan
Tajuk Utama
Freddy Jontara HutapeaBalai Penelitian Kehutanan Manokwari
I. PENDAHULUAN
Indonesia memiliki hutan yang sangat luas dengan
keragaman jenis yang sangat tinggi, diantaranya 27.500
jenis tumbuhan berbunga. Dari seluruh jenis tumbuhan
berbunga di dunia, 10% didominasi oleh hutan tropis
basah. Keanekaragaman jenis yang sangat tinggi ini
menyebabkan masih banyak jenis-jenis yang belum
dimanfaatkan secara optimal akibat kurangnya informasi
mengenai penyebaran jenis, manfaat, dan potensi jenis
tumbuhan tersebut (Suhartrislakhdi, 2007
Nugroho, 2010).
Kratom ( ) merupakan salah satu
jenis tumbuhan yang terdapat dalam wilayah hutan
Indonesia. Kratom merupakan tanaman potensial yang
dapat ditingkatkan nilai kegunaannya, karena sejak dahulu
kratom sudah dimanfaatkan secara tradisional. Daun
kratom telah lama dimanfaatkan sebagai obat herba untuk
melancarkan peredaran darah, mengobati diabetes, dan
menurunkan kadar gula dalam darah (Anonim, 2009).
Selain bermanfaat, kratom memiliki dampak negatif
yaitu apabila dikonsumsi terlalu banyak sehingga
menimbulkan efek ketagihan akibat kandungan
mitragynin yang terdapat pada tanaman tersebut
(Wikipedia, 2011a). Tulisan ini bertujuan untuk
mengenalkan kratom sebagai salah satu jenis potensial
dikembangkan, sehingga dapat menjadi informasi dasar
bagi penelitian selanjutnya.
dalam
Mitragyna speciosa
II. DESKRIPSI KRATOM ( )M. speciosa
M. speciosa
M.
speciosa
rain forest
M. speciosa
Kratom ( ) merupakan tumbuhan asli yang
tumbuh di Asia Tenggara. Tumbuhan ini didokumentasikan
pertama kali oleh ahli botani Belanda Pieter Khortals.
Kratom memiliki hubungan kedekatan botani dengan
Corynanthe, Cinchona, dan Uncaria (KratomSeller.com,
2011).
Murple (2006) mengemukakan bahwa kratom (
) merupakan tumbuhan yang berasal dari Asia
Tenggara. Tumbuh liar di Malaysia, Indonesia, Papua New
Guinea dan Thailand khususnya di bagian tengah dan
selatan, dan jarang terdapat di bagian utara.
Kratom dan Mitragyna Asia lainnya tumbuh di hutan
hujan ( ), lahan basah, tanah yang kaya humus,
pada area dengan intensitas sinar matahari medium dan
terlindungi dari angin kencang, sementara Mitragyna
Afrika biasanya ditemukan di rawa-rawa (Kratom Devotee,
2009).
Di Thailand, kratom dikenal dengan nama kakuam,
ithang, atau Thom, sedangkan di Amerika Serikat
dikenal dengan nama kratom (Anonim, 2009). Kratom juga
dikenal sebagai ketum, dan biak (Prmob, 2012a).
Masyarakat Dabra (Mamberamo) Papua mengenal kratom
sebagai bika. Klasifikasi botani kratom ( ) adalah
sebagai berikut:
KRATOM ( Korth.)Mitragyna speciosaKRATOM ( Korth.)Mitragyna speciosaKRATOM ( Korth.)Mitragyna speciosa
Gambar 1. Buah dan daun kratom (foto: The Iamshaman shop dan Oflchen)
FORProVol. 2, No. 1 Edisi 2013Juni �22
Divisi : Magniliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Ordo : Gentianales
Famili : Rubiaceae
Genus : Mitragyna
Species: (Kratom Devotee, 2009).M. Speciosa
Kratom merupakan tumbuhan yang memiliki tinggi
mencapai 50 kaki (± 15 m) dengan cabang menyebar lebih
dari 15 kaki (± 4,5 m), memiliki batang yang lurus dan
bercabang, dengan bunga kuning dan dalam kelompok
berbentuk bulat ( ). Tumbuhan ini
merupakan tumbuhan yang selalu hijau. Daun kratom
berwarna hijau gelap mengkilap, halus, berbentuk bulat
telur melancip ( ) dan berlawanan dalam
pola pertumbuhan. Daun kratom dapat tumbuh dengan
panjang melebihi 7 inchi (± 18 cm) dan lebar 4 inchi (± 10
cm). Daun terlepas dan digantikan secara konstan, namun
ada beberapa kuasi musim ( ) dimana
daunnya rontok karena kondisi lingkungan. Selama musim
kering setiap tahun daun yang gugur lebih banyak dan
daun yang baru akan tumbuh lebih banyak pada musim
hujan. Bila tanaman ini tumbuh di luar habitat aslinya,
maka musim gugur daun akan terjadi saat suhu dingin
sekitar 4 C (Murple, 2006).
ball-shaped clusters
ovate-acuminate
quasi-seasonal
0
III. POTENSI PEMANFAATAN KRATOM
A. Komponen Kimia
Lebih dari 25 jenis alkaloid telah diisolasi dari kratom
dimana salah satunya adalah mitraginin. Mitraginin
merupakan alkaloid paling dominan yang ditemukan
dalam tumbuhan ini. Mitraginin diisolasi pertama kali dari
daun kratom oleh David Hooper pada tahun 1907, dan
diisolasi kembali oleh E. Field pada tahun 1921 dan
memberi nama alkaloid.
Mitraginin (9-methoxy-corynantheidine) memiliki
rumus molekul C H N 0 dengan berat molekul 398,49,
berwarna putih, bubuk, dengan titik leleh 102-106 C, dan
titik didih 230-240 C. Larut dalam alkohol, chloroform, dan
asam asetat. Apabila dikonsumsi dalam dosis kecil,
mitraginin akan menjadi seperti stimulan, sementara jika
dikonsumsi dalam dosis besar, akan menjadi seperti opium
(Wikipedia, 2011).
23 30 2 4
0
0
B. Pemanfaatan Kratom
Tumbuhan ini sudah lama digunakan karena memiliki
beberapa manfaat untuk kesehatan, diantaranya:
mengatasi kecanduan narkoba, mengatasi diare,
meningkatkan daya tahan tubuh, menurunkan tekanan
darah, meningkatkan energi, mengatasi nyeri otot,
mengatasi depresi, stimulan seksual, dan mengontrol
kadar gula darah (Shvoong.com, 2012).
Bagian yang dimanfaatkan dari tumbuhan ini adalah
daunnya. Biasanya masyarakat memanfaatkan daunnya
dengan cara mengunyah langsung, atau diseduh dalam air
panas atau dengan kopi. Daun tumbuhan ini bisa juga
dibuat menjadi rokok (Prmob, 2012b). Bila digunakan
dalam kadar yang sesuai, maka akan memberikan manfaat
dan efek yang baik bagi kesehatan, sebaliknya bila
digunakan secara berlebihan, akan berdampak negatif.
Anonim. 2009. Herba Penawar Diabetes Paling Mujarab -
Daun Ketum. http://ubatdiabetes.blogspot.com/
2009/05/herba-penawar-diabetes-paling-mujarab.
html. Diakses Tanggal 27 Juni 2011.
Kratom Devotee. 2009. Kratom
Botany. http://www.kratom.net/content.php?38-
Mitragyna-speciosa-kratom-botany. Diakses Tanggal 5
Juli 2011.
KratomSeller.com. 2011. Kratom ( ).
http://kratomseller.com/kratom-mitragyna-speciosa.
html. Diakses Tanggal 12 Agustus 2011.
Murple. 2006. Kratom. http://www.murple.net/ yachay/
index.php/kratom. Diakses Tanggal 12 Agustus 2011.
Nugroho, A. Y. 2010. Tinjauan Keragaman Genetik dan
Implikasi Konservasi Pulai ( (L). R. B).
Mitra Hutan Tanaman 5(2): 51-55. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Hutan Tanaman. Bogor.
Prmob. 2012a. Kratom Daun, .
http://id.prmob.net/thailand/malaysia/indonesia-
115760.html. Diakses Tanggal 30 Januari 2013.
......... 2012b. Apakah Kratom?. http://id.prmob.net/
thailand/kratom/rubiaceae-560420.html. Diakses
Tanggal 7 Januari 2012.
Shvoong.com, 2012. Manfaat Kesehatan dari Bubuk
Kratom. http://id.shvoong.com/medicine-and-health/
comparative medicine/2334602-manfaat-kesehatan-
dari-bubuk-kratom/. Diakses Tanggal 7 Januari 2013.
Wikipedia. 2011a. Pokok Ketum. http://ms.wikipedia.org/
wiki/pokok_ketum. Diakses Tanggal 27 Juni 2011.
........... 2011b. Mitragynin. (http://en.wikipedia.org/
wiki/Mitragynine). Diakses tanggal 30 Juni 2011.
IV. DAFTAR PUSTAKA
Mitragyna speciosa
Mitragyna speciosa
Alstonia scholaris
Mitragyna speciosa
23FORPro� Vol. 2, No. 1 Edisi Juni 2013
Tajuk Utama
A. Perkembangan Pemukiman di Indonesia
Perkembangan pemukiman di Indonesia dari tahun ke
tahun semakin meningkat, hal ini dapat dilihat dari
semakin banyaknya komplek perumahan di perkotaan
terutama kota-kota yang padat penduduk. Menurut data
BPS, jumlah rumah di Indonesia mencapai angka 49,3 juta
unit, dan jumlah ini akan semakin bertambah setiap
tahunnya (Anonim, 2012). Hal ini terasa wajar mengingat
jumlah penduduk Indonesia dari tahun ke tahun
mengalami peningkatan. Berdasarkan hasil sensus Badan
Pusat Statistik (BPS) tahun 2010, jumlah penduduk
Indonesia sebanyak 237,64 juta jiwa, dengan laju
pertumbuhan sebesar 1,49% per tahun. Semakin
bertambahnya penduduk, maka semakin banyak pula
kebutuhan akan sumberdaya hutan, khususnya kayu.
Kayu merupakan bahan yang masih diandalkan dalam
proses pembangunan rumah sebagai tempat bermukim.
Namun permintaan kayu yang semakin meningkat tidak
diikuti dengan ketersediaannya. Walaupun Indonesia
merupakan salah satu negara pemilik hutan terbesar
ketiga setelah Brazil dan Zaire yang memiliki luas kawasan
hutan sebesar 131,279 juta ha (Kementerian Kehutanan,
2012), akan tetapi saat ini kawasan hutan Indonesia
mengalami kerusakan yang cukup serius. Berdasarkan data
dari Kementerian Kehutanan periode 2009/2010, laju
kerusakan hutan (deforestasi) Indonesia sebesar
832.126,9 ha/tahun (Kementerian Kehutanan, 2012).
Tingginya deforestasi di Indonesia berakibat pada
penurunan pasokan kayu terutama untuk jenis-jenis kayu
komersil produksi hutan alam belum bisa digantikan oleh
kayu produksi hutan tanaman.
Kurangnya produksi kayu dari hutan tanaman
mengakibatkan pasokan kayu beralih dari jenis komersil ke
jenis non komersil atau jenis kayu kurang dikenal (
) dari hutan alam atau hutan sekunder atau
kayu yang ditanam oleh rakyat. Keterbatasan pasokan kayu
akan berdampak pada harga kayu semakin mahal karena
permintaan kayu semakin tinggi, seiring dengan
kebutuhan bangunan perumahan dan mebel.
Menurut Barly dan Subarudi (2010), ada beberapa
upaya yang sudah dilakukan oleh industri kayu dalam
mengefisiensikan penggunaan bahan bakunya, salah
satunya dengan mengawetkan produk kayu sehingga lebih
Lesser
known species
tahan lama dalam pemakaian. Pengawetan kayu sangat
diperlukan, dan diharapkan mampu menjawab berbagai
permasalahan yang dihadapi pemerintah, swasta, maupun
masyarakat terkait kelestarian hutan serta efisiensi dalam
penggunaan kayu kedepan.
Sebagian besar masyarakat sudah mengetahui bahwa
kayu merupakan hasil hutan yang memiliki peran penting
dalam memenuhi berbagai kebutuhan hidup manusia.
Selain mudah diperoleh, keunggulan lain kayu adalah
mudah dalam pengerjaannya dan relatif murah bila
dibandingkan dengan beton dan baja. Kayu dapat
dipergunakan untuk berbagai keperluan seperti bahan
konstruksi bangunan perumahan, industri, mebel, dan
bahan bakar. Meski saat ini telah banyak bahan sintetik
yang dapat mensubstitusi kayu, namun minat masyarakat
untuk menggunakan produk-produk olahan kayu tetap
tinggi.
Meningkatnya penggunaan kayu sebagai bahan
bangunan dan mebel pada saat ini maupun di masa yang
akan datang, maka perlu diimbangi dengan peningkatan
umur pakai ( ) kayu yang memadai. Menurut
Barly (2012), Indonesia memiliki keawetan tinggi dalam
kelas awet I dan II yang relatif sedikit, yaitu sekitar 600 dari
4000 jenis kayu yang dapat mencapai diameter 40 cm,
sedangkan sisanya memiliki tingkat keawetan rendah.
Kayu dengan tingkat keawetan rendah rentan terhadap
serangan organisme perusak kayu yang menyebabkan
keropos atau lapuk dan berdampak terhadap ketahanan
suatu bangunan sehingga usia pakainya pendek. Apabila
ini terjadi, maka dapat meningkatkan laju konsumsi kayu,
sehingga dapat mempercepat laju penebangan hutan
pada satuan waktu tertentu. Oleh karena itu, perlu adanya
suatu langkah strategis untuk memperpanjang umur pakai
kayu, antara lain dengan perlakuan pengawetan agar
dalam pemanfaatan sumberdaya hutan berupa kayu
tersebut dapat lebih hemat dan efisien.
Pengawetan kayu merupakan suatu cara untuk
meningkatkan umur pakai ( ) kayu dengan
memasukkan bahan kimia yang cocok ke dalam kayu agar
B. Peran Kayu dan Permasalahannya
C. Pengawetan Kayu?
service life
service life
PENGAWETAN KAYU
DALAM MENGATASI DEFORESTASIMohamad IqbalPustekolah - BogorJl. Gunung Batu No. 5. Telp./Fax: 8633413, 8633378
FORProVol. 2, No. 1 Edisi Juni 2013 �24
terhindar dari serangan organisme perusak. Berbicara
mengenai pengawetan maka tidak terlepas dari
penggunaan bahan kimia pengawet di dalamnya. Suatu
bahan kimia dikatakan baik apabila beracun bagi
organisme perusak kayu, mudah masuk ke dalam kayu,
tidak mudah tercuci atau menguap, tidak mudah terbakar,
tidak berbau, tidak mahal, dan lain sebagainya (Nuryawan,
2008).
Menurut Dumanauw (1990) klasifikasi bahan kimia
pengawet yang dipakai di Indonesia, digolongkan menjadi
tiga kelompok yaitu bahan pengawet larut air, bahan
pengawet larut minyak, dan bahan pengawet berupa
minyak. Adapun beberapa contoh bahan kimia yang
dianggap mampu mengawetkan kayu, antara lain MBT 100
g/l (2-4%), MBT 109,9 g/l (1-3%), MBT 48 g/l (2-4%),
Azakonazol 200 g/l (1-2%); Sipermetrin 50 g/l (0,25%),
Deltametrin 25 g/l (0,125%), Permetrin 200 g/l (0,25%),
CKB (Tembaga-Khrom-Boron) dengan merk dagang
Diffusol CB 100 PA, dan lain sebagainya (Komisi Pestisida,
2003).
Sejauh ini pemerintah sangat mendukung adanya
teknologi pengawetan kayu. Hal ini dapat dilihat dari
terbitnya beberapa standar tentang pengawetan kayu,
diantaranya: Standar Kehutanan Indonesia No. SKI-c-m-
001:1987 yang kemudian diubah menjadi SNI 03-5010.1-
1999 tentang “Pengawetan Kayu Perumahan dan
Gedung”, SNI-03-3233-1998 tentang “Tata Cara
Pengawetan Kayu Bangunan Rumah dan Gedung”, SKBI
4.3.53.1988 tentang “Spesifikasi Kayu Awet untuk
Perumahan dan Gedung”, serta SNI 01-7205-2006 tentang
“Cara Uji Bahan Pengawet pada Kayu dan Produk Kayu”.
Dengan adanya standar ini diharapkan dapat digunakan
sebagai pedoman dalam menekan tingkat deforestasi di
Indonesia, sehingga tujuan dari konservasi sumberdaya
hutan akan terpenuhi.
Semakin meningkatnya kebutuhan masyarakat
terhadap penggunaan kayu bangunan dan mebel
terutama terhadap kayu yang diawetkan menunjukkan
bahwa masyarakat menginginkan bangunan dan mebel
yang terjamin keamanannya dan dapat bertahan lama.
Namun kelangkaan kayu untuk bangunan dan mebel di
pasaran seringkali dimanfaatkan oleh pengembang untuk
menggantikannya dengan kayu yang tidak memenuhi
standar, baik dimensi maupun mutu kekuatan. Kayu yang
digunakan pengembang perumahan dan mebel, baik jenis,
ukuran dimensi, maupun kekuatan dan mutunya tidak
dapat memenuhi kriteria seperti yang dijanjikan kepada
konsumen. Hal tersebut menyebabkan kerugian di pihak
konsumen, baik terhadap umur pakai bangunan dan mebel
maupun keamanan penghuninya. Oleh karena itu, perlu
adanya suatu upaya untuk memenuhi keinginan
masyarakat yang begitu besar terhadap kualitas bangunan
perumahan, pemukiman, dan permebelan.
Pengawetan kayu dianggap menjadi solusi untuk
menjawab keinginan dari masyarakat, karena berperan
dalam meningkatkan kualitas kayu suatu bangunan dan
mebel serta memperpanjang umur pakainya. Menurut
Batubara (2006), pengawetan kayu bangunan ditinjau dari
kepentingan makro, memiliki peranan penting dalam
perlindungan terhadap aset nasional berupa perumahan
dan peningkatan efisiensi pemanfaatan sumberdaya hutan
yang semakin menurun. Sedangkan bila ditinjau dari pihak
masyarakat pemakai bangunan, pengawetan kayu
bangunan dapat meningkatkan kualitas suatu bangunan
dalam jangka panjang.
Gambar 1. Rumah contoh yang belum direnovasi di
Perumahan Yasmin, Bogor
25FORPro� Vol. 2, No. 1 Edisi Juni 2013
Pengawetan yang dilakukan dengan baik terhadap jenis
kayu yang kurang atau tidak awet dapat meningkatkan
umur pakai kayu tersebut 5 sampai 10 kali lipat
(Martawijaya dan Barly, 2010). Sebagai contoh kayu
sengon ( ) yang telah diawetkan
pada bangunan rumah yang dibuat tahun 1963 oleh Pusat
Litbang Keteknikan Hutan dan Pengolahan Hasil Hutan
Bogor hingga saat ini masih utuh (berumur 50 tahun),
padahal jika tidak diawetkan diperkirakan hanya akan
berumur sekitar 5 tahun saja karena kelas awet sengon
termasuk rendah, yaitu kelas awet IV/V (Basri, dkk. 2012).
Paraserianthes falcataria
D. Pengawetan Kayu untuk Konservasi Sumberdaya
Hutan
DAFTAR PUSTAKA
Purwanto (2007) Barly dan Subarudi (2010)
menyatakan jika 10% diasumsikan sebagai persentase
tebangan hutan untuk mengganti konstruksi karena
pelapukan, maka untuk realisasi pasokan kayu per tahun
sebesar 36,36 juta m akan menghasilkan 3,636 juta m
kayu rusak karena lapuk. Apabila harga kayu dolok rata-
rata Rp 500.000/m , maka akan menimbulkan kerugian
sebesar Rp 1,816 Triliun per tahun atau setara 363.600 ha
hutan dengan potensi 100 m /ha. Hal ini akan berbeda
apabila kayu tersebut diawetkan dimana kayu dapat
bertahan hingga 15 tahun, misalnya kebutuhan kayu untuk
membangun rumah sederhana sebesar 18 juta m /tahun
untuk 5,9 juta unit rumah (Anonim, 2007), dengan asumsi
kayu tidak awet sebesar 80% dari seluruh kayu bahan
perumahan, maka setiap tahun terdapat 14,4 juta m kayu
tidak awet untuk perumahan.
Pasokan kayu yang dibutuhkan pada saat 15 tahun
pertama untuk membangun dan mengganti rumah yang
lapuk (tidak diawetkan) sebesar 432 juta m , sedangkan
pasokan kayu yang diawetkan untuk membangun saja
hanya sebesar 216 juta m . Hal ini menunjukkan, dalam
jangka waktu 15 tahun pertama kayu yang diawetkan
dapat menghemat sebesar 14,4 juta m /tahun. Jumlah
tersebut sama dengan 28,8 juta m kayu bulat yang bila
dikonversi setara dengan 192.000 ha dengan asumsi
potensi kayu per hektar 150 m .
Dari hasil ini dapat diketahui bahwa dengan
pengawetan kayu perumahan, dapat mengkonservasi
hutan alam kurang lebih 192.000 ha setiap tahunnya. Hal
ini tentu saja membawa angin segar bagi pemerintah
dalam upaya menekan laju deforestasi yang saat ini
mencapai 832.126,9 ha/tahun (Kementerian Kehutanan,
2012).
Anonim. 2012. Sebelum seabad Indonesia merdeka,
seluruh rakyat punya rumah. http://www.properti.
kompas.com/read/2012/02/16/15511697/Sebelum.
Seabad. Indonesia. Merdeka. Seluruh. Rakyat. Punya.
Rumah, [Diakses pada tanggal 4 April 2013].
Anonim, 2006.
. D 3507.
, Philadelphia.
Barly. 2012. Pengawetan kayu : belum membudaya meski
manfaatnya nyata. Majalah Forpro, Vol. 1 No. 1 : 3-5.
ISBN: 2301-8682.
dalam
ASTM Standards on wood, wood
preservatives and related materials American
Society for Testing Materials
3 3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
Gambar 2. Contoh kusen yang terserang rayap
FORProVol. 2, No. 1 Edisi Juni 2013 �26
Barly dan Subarudi. 2010. Kajian industri dan kebijakan
pengawetan kayu: sebagai upaya mengurangi tekanan
terhadap hutan. Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan.
Vol.7 No.1 : 63-80.
Basri, E., N. Hadjib, Abdurachman, Jasni, dan M. Iqbal.
2012. Efisiensi pemanfaatan kayu untuk perumahan
sederhana melalui penerapan teknologi tepat guna.
Laporan Akhir Insentif Peningkatan Kemampuan
Peneliti dan Perekayasa Kementerian Riset dan
Teknologi. [Tidak dipublikasikan].
Batubara, R. 2006. Teknologi pengawetan kayu perumahan
dan gedung dalam upaya pelestarian hutan. e-USU
Repository @ 2006. Universitas Sumatera Utara.
[Diakses pada tanggal 1 April 2013].
BPS. 2010. Penduduk Indonesia menurut provinsi.
sub/view.php?kat=1&tabel
=1&daftar=1&idsubyek=12¬ab=1, [Diakses pada
tanggal 1 April 2013].
Dumanauw, J. F. 1990. Mengenal Kayu. Penerbit Kanisius.
Yogyakarta. ISBN: 979-413-313-2.
Kementerian Kehutanan, 2012. Statistik Kehutanan
Indonesia 2011. Kementerian Kehutanan. Jakarta.
ISBN: 979-606-073-6.
Komisi Pestisida. 2003. Pestisida Pertanian dan Kehutanan.
Direktorat Jendral Pupuk dan Pestisida. Departemen
Pertanian. Jakarta.
http://www/bps.go.id/tab
Martawijaya, A dan Barly. 2010. Pedoman Pengawetan
Kayu untuk Mengatasi Jamur dan Rayap pada
Bangunan Rumah dan Gedung IPB Press. ISBN: 978-
979-493-288-9.
Nuryawan, A. 2008. Pengawetan Kayu. e-USU Repository
@ 2008. Universitas Sumatera Utara. [Diakses pada
tanggal 1 April 2013].
Purwanto, B.E. 2007. Alokasi bahan baku kayu untuk
keperluan domestik. Prosiding Seminar Hasil
Penelitian Hasil Hutan. Bogor, 25 Oktober 2007. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor : hal.
7-15.
SKBI 4.3.53. 1988. Spesifikasi kayu awet untuk perumahan
dan gedung. BSN, Jakarta.
SKI.C-m-001. 1987. Pengawetan kayu untuk perumahan
dan gedung. BSN, Jakarta.
SNI 01-7205. 2006. Cara uji bahan pengawet pada kayu dan
produk kayu. BSN, Jakarta.
SNI 03-5010.1.1999. Pengawetan kayu untuk bangunan
perumahan. BSN, Jakarta.
SNI 03.3233. 1998. Tata cara pengawetan kayu bangunan
rumah dan gedung. BSN, Jakarta.
.
27FORPro� Vol. 2, No. 1 Edisi Juni 2013
artikel
A. Pendahuluan
Penentuan warna merupakan suatu hal yang tidak
mudah karena melibatkan persepsi psikologis manusia
terhadap stimulasi gelombang cahaya yang diterima oleh
indera penglihatan. Spektrum gelombang cahaya yang
berasal dari pantulan suatu obyek benda memberikan
persepsi warna benda kepada otak manusia. Kepekaan
retina mata menerima gelombang cahaya menentukan
persepsi warna suatu benda (Tilley, 1999). Pada dasarnya
terdapat tiga komponen yang menentukan persepsi
manusia terhadap warna benda, yaitu sumber cahaya
seperti sinar matahari dan lampu, kemampuan benda
memantulkan cahaya dan mata manusia yang menerima
gelombang cahaya dan meneruskan ke otak untuk
membuat persepsi warna. Hubungan ketiga komponen
tersebut disebut sistem dan digunakan dalam alat
pengukur warna secara digital (Boardman 1992).
Penentuan warna kayu alami juga bervariasi menurut
persepsi mata yang melihatnya. Warna kayu alami sangat
diperlukan dalam membantu proses identifikasi jenis kayu,
karena setiap jenis kayu memiliki warna kayu alami yang
spesifik (Broadman 1992). Warna kayu yang spesifik
juga dikenal sebagai sebutan dagang suatu jenis kayu,
seperti kayu 'hitam' merupakan sebutan untuk jenis kayu
eboni yang sudah lama dikenal dalam perdagangan dunia
sebagai kayu tropis yang berwarna hitam dan berasal dari
Sulawesi. Sebutan 'eboni' telah dikenal oleh dunia
mengarah pada kehitaman warna kayu yang digunakan
untuk memberikan penanda warna hitam pada produk lain
seperti warna cat mobil ' '.
Selain warna hitam, variasi warna kayu lain juga telah
menjadi sebutan yang telah dikenal untuk produk tertentu,
seperti kayu mahoni yang berwarna kemerahan. Kayu
mahoni yang sudah dikenal memiliki warna merah
memiliki nama dagang ' ' dengan persepsi
warna kayu kemerahan. Warna kayu mahoni ini telah
dikenal juga dalam pemberian istilah warna terhadap
produk lain, seperti untuk warna cat tembok '
' memiliki persepsi warna cat tembok
kemerahan seperti warna kayu mahoni. Selain warna
triplet
et al.,
et al.,
dark ebony
red mahagony
red
mahagony
Krisdianto
merah dan hitam, beberapa kayu telah dikenal secara luas
memiliki karakteristik warna khas coklat kekuningan
seperti pinus, sungkai dan pulai (Krisdianto, 2007).
Untuk keperluan identifikasi kayu, Jugo Illic (1990)
telah mengelompokkan warna kayu dalam 10 warna
sebagai indikator warna utama, yaitu warna jerami
( ), kuning kecoklatan ( ), coklat ( ),
oranye kecoklatan ( ), merah muda
kecoklatan ( ), merah kecoklatan (
), coklat gelap ( ), hijau kecoklatan
( ), warna lembayung ( ) dan kuning
cerah ( ). Standar identifikasi yang digunakan
dalam identifikasi kayu saat ini juga menyertakan deskripsi
warna kayu seperti telah dikelompokkan oleh Jugo Illic
dengan beberapa tambahan seperti warna zaitun, abu-abu
dan abu-abu kehijauan. Namun demikian, deskripsi warna
alami kayu tersebut kurang informatif dan masih
berdasarkan persepsi warna kayu yang ditetapkan oleh
manusia berdasar persepsinya terhadap stimulasi panjang
gelombang cahaya yang diterima oleh retina.
Seperti telah disebutkan sebelumnya, bahwa alat
pengukur warna memiliki konsep yaitu sumber
cahaya buatan yang telah distandarisasi, benda yang
memantulkan warna dengan bidang yang telah ditentukan
dan otak manusia yang digantikan oleh sensor digital yang
menilai suatu warna. Adopsi sistem ini bertujuan
agar pengukuran warna sedekat mungkin dengan persepsi
manusia. Beberapa alat untuk pengukuran warna benda
solid adalah Microflash-200, Colourimeter CR-300, CR-400
dan CR-410 dan beberapa pengembangan alat spectro-
fotometer. Alat pengukur warna tersebut disyaratkan
mengacu pada salah satu model pengukuran warna, stabil,
akurat, fleksibel (mobilitas tinggi) dan mudah dilakukan.
Salah satu contoh alat pengukur Minolta CR-300
ditampilkan dalam Gambar 1.
Sejak tahun 1960, beberapa pustaka telah
mendiskusikan tentang kuantifikasi warna benda agar
mudah dideskripsikan (Bourgois , 1991; Nishino ,
straw yellow brown brown
orange brown
pinkish brown red-
brown chocolate-brown
green-brown mauve-tint
bright yellow
triplet
triplet
et al. et al.
B. Alat Pengukur Warna Digital
Dengan
Sistem CielabDengan
Sistem Cielab
Pengukuran Warna KayuPengukuran Warna Kayu
FORProVol. 2, No. 1 Edisi Juni 2013 �28
Pustekolah - Bogor
Gambar 1. Minolta CR-300 chromameter
Keterangan :
A. Minolta CR-300 chromameter data prosessor
B. Pengukur warna dengan bidang ukur 8 mm
C. Keramik putih sebagai kalibrasi
A
B C
1998). Pada tahun 1976, komisi pengukuran warna
internasional (CIE,
) mengumumkan standar pengukuran warna
CIELAB atau CIEL*a*b* untuk benda yang tidak
memancarkan cahaya ( ) seperti tekstil,
cat dan produk dari plastik. Sejak saat itu, sistem
pengukuran warna CIELAB telah terbukti mampu
membantu standarifikasi pengukuran warna dalam
industri, terutama membantu pembuatan nota
kesepakatan atau kespahaman antara penjual dan pembeli
tekstil, yaitu pencantuman nilai warna berdasarkan nilai
L*, a* dan b* dan toleransi yang diperbolehkan (McLaren,
1976; Agoston, 1979).
Sistem pengukuran CIELAB juga telah dilakukan untuk
produk kayu, seperti kuantifikasi warna alami kayu pinus
dan ekaliptus (Krisdianto, 2007), pengukuran warna alami
komponen kayu (Nishino
1991). Dalam sistem
pengukuran CIELAB, nilai warna disajikan dalam tiga titik
koordinat yaitu dan . Koordinat pertama
merupakan kecerahan ( ) yang berskala dari '0'
sampai '100'. Nilai kecerahan 'nol' berarti benda hitam
mutlak, sedangkan kecerahan '100' berarti refleksi
kecerahan putih sempurna. Nilai adalah nilai
kemerahan ( ) yang berskala positif 120 (+120) dan
Commission International de l'
Eclairage
non-self-luminous
et al.,
et al.,
L*, a* b* L*
lightness
a*
redness
1998), menentukan
serangan jamur pelapuk (Katuščák dan Katuščákoá,1987) dan perhitungan perubahan warna akibatperlakuan panas (Burgois
negatif 120 (-120). Nilai positif 120 (+120) adalah nilai
merah sempurna dan negatif 120 (-120) adalah warna
hijau sempurna. Nilai adalah nilai koordinat kekuningan
( ) yang berskala positif 120 (+120) untuk kuning
sempurna dan negatif 120 (-120) untuk biru sempurna
(McLaren, 1976).
Perbedaan warna suatu benda dapat dinilai
berdasarkan tiga hal, yaitu perbedaan warna (Δ ), sudut
warna ( ) dan kroma (C* ). Perbedaan warna
(Δ ) merupakan rerata perbedaan jarak dari nilai
dan dalam tiga titik koordinat, sedangkan perbedaan
sudut warna adalah perbedaan sudut warna dalam atlas
warna yang berbentuk bundar. Perbedaan kroma adalah
perbedaan tinggi rendahnya kroma berdasarkan
perhitungan Hunter (1987). Perhitungan perbedaan warna
yang paling sering dan mudah digunakan adalah
perbedaan warna (Δ ) (Rumus Perhitungan 1).
Perbedaan warna akan tampak oleh mata manusia pada
umumnya jika nilai Δ lebih dari 1,5 (Horváth dan Halász-
Fekete, 2005).
Rumus perhitungan 1.
b*
yellowness
E*
hue angle, h°
E* L*, a*
b*
E*
E*
ab ab
Dimana Δ , Δ Δ adalah perbedaan nilai awal ( )
L*, a* dan b* dengan nilai akhirnya ( ). Nilai Δ adalah
nilai total perbedaan warnanya.
L* a* dan b* i
f E*
29FORPro� Vol. 2, No. 1 Edisi Juni 2013
C. Warna Alami Kayu
Warna alami kayu adalah warna yang dimiliki oleh
suatu jenis kayu tanpa mendapatkan perlakuan tertentu.
Karakteristik warna kayu disebabkan oleh kandungan zat
ekstraktif dalam kayu yang bervariasi dari 1% sampai 20%
untuk kayu-kayu tropis. Zat ekstraktif yang memberikan
warna kayu bervariasi dari tanin, flavonoid, stilbena,
polifenol, fenol dan antosianin (Achmadi, 1990; Uprichard,
1993; Sjostrom, 1993). Variasi kandungan zat ekstraktif
tersebut dipengaruhi oleh kondisi pertumbuhan pohon
penghasil kayu, sehingga kondisi geografis yang
berhubungan dengan kondisi dan jenis tanah
mempengaruhi perbedaan warna satu jenis kayu. Kayu jati
yang tumbuh di daerah pegunungan berkapur misalnya
memiliki kayu yang berwarna coklat lebih tajam dari kayu
jati yang tumbuh di tanah tidak berkapur dan tidak jauh
dari sumber air.
Dalam satu pohon, warna alami kayu bervariasi
bergantung posisinya dalam pohon. Kayu dari bagian gubal
umumnya lebih pucat warnanya dari bagian teras yang
berwarna lebih kuat. Selain itu dalam satu lingkaran
pertumbuhan, warna kayu awal yang berada di awal
lingkaran pertumbuhan berbeda dengan kayu akhir yang
berada di bagian akhir lingkaran pertumbuhan. Perbedaan
warna dalam suatu pohon juga disebabkan karena struktur
anatomi kayu yang membentuk corak kayu yang khas,
seperti bidang perbedaan warna penampang tangensial
yang berbeda dengan penampang radialnya yang bercorak
garis jari-jari kayu. Untuk keperluan identifikasi kayu,
penentuan warna kayu umumnya dilakukan dari
penampang tangensial potongan kayu terasnya.
Sebagai bahan berlignoselulosa, warna alami kayu
berubah sesuai dengan perubahan kadar air dan perlakuan
yang dialaminya. Kayu segar dengan kadar air sekitar
100%, memiliki warna coklat umumnya yang lebih kuat
daripada kayu yang sudah dikeringkan dengan kadar air
dibawah 30%. Hal ini disebabkan perubahan suhu dan
kelembaban menyebabkan air menguap dari dalam kayu
disertai perubahan kandungan ekstraktif yang berperan
dalam warna kayu. Selain itu, terjadi proses oksidasi per-
mukaan kayu yang menyebabkan permukaan kayu terbuka
menjadi lebih pucat (Tsoumis, 1991). Penurunan kadar air
tidak hanya menjadikan layu lebih pucat, namun pada
beberapa jenis kayu menjadikan warna coklatnya lebih
kuat, seperti kayu merbau. Hal ini disebabkan pada proses
pengeringan alaminya zat warna ikut terbawa keluar dan
mengendap di permukaan kayu. Perubahan warna kayu
yang nyata adalah akibat pencuacaan (weathering),
dimana kayu menjadi lebih pucat akibat radiasi ultraviolet
dari sinar matahari dan pencucian oleh air hujan yang
diikuti dengan perubahan suhu dan kelembaban.
Seperti telah disebutkan sebelumnya untuk identifikasi
kayu, warna kayu sebaiknya di ukur pada bagian terasnya.
Pengukuran sebaiknya dilakukan pada papan yang sudah
diserut halus pada penampang tangensialnya untuk
menghindari corak bergaris karena adanya parenkima jari-
jari dari bagian radialnya. Untuk menghindari bias
pengukuran pada suatu papan, pengukuran warna
sebaiknya dilakukan pada kondisi kayu kering alami atau
sudah dalam kondisi EMC (Equilibrium Moisture Content)
atau seimbang dengan kondisi atmosfer di sekelililngnya.
Pengukuran warna kayu dilakukan sebanyak mungkin ( 30
pengukuran) agar diperoleh rerata yang cukup mewakili
nilai warna kayu alaminya. Contoh hasil pengukuran
beberapa warna kayu pinus dan eucalyptus dengan
Microflash 200 disajikan dalam Tabel 1.
Penentuan warna kayu adalah bagian penentuan
warna berdasarkan persepsi otak manusia berdasarkan
gelombang cahaya yang diterima oleh retina. Persepsi
suatu warna kayu dapat dikuantifikasi dalam nilai
berdasarkan sistem pengukuran warna CIELAB. Variasi
karakteristik kayu dalam suatu pohon menghasilkan
kesepakatan pengukuran warna kayu yang direkomendasi-
kan, yaitu pengukuran dari bagian kayu teras, pada
permukaan tangensial dan dilakukan pada kayu yang telah
kering udara. Pengukuran dilakukan sebanyak mungkin
agar nilai warna seluruh permukaan kayu terwakili.
+
-
D. Pengukuran Warna Kayu
E. Penutup
FORProVol. 2, No. 1 Edisi Juni 2013 �30
No. Jenis kayuNilai warna
L* a* b*
1. Pinus palustris 56,464 25,660 41,810
2. Pinus resinosa 71,984 20,068 43,380
3. Pinus halepensis 72,464 19,168 43,108
4. Pinus canariensis 76,248 18,282 45,022
5. Pinus radiata 71,064 19,356 42,736
6. Pinus sylvestris 72,094 20,306 45,554
7. Pinus strobes 77.802 17,554 38,370
8. Pinus echinata 69,172 21,242 46,502
9. Pinus taeda 69,310 21,388 45,670
10. Pinus pinnaster 71,112 19,328 41,720
11. Eucalyptus muelleriana 53,643 13,969 27,275
12. Eucalyptus grandis 61,642 22,496 31,436
13. Eucalyptus microcorys 61,902 13,594 29,836
14. Eucalyptus propinqua 45,374 23,918 30,000
15. Eucalyptus dives 50,462 18,362 27,736
16. Eucalyptus obliqua 55,096 17,152 32,342
17. Eucalyptus maculata 53,600 19,220 33,444
18. Eucalyptus viminalis 65,098 19,038 30,334
19. Eucalyptus gummifera 37,360 22,506 23,350
20. Eucalyptus crebra 39,798 20,862 24,996
Tabel 1. Hasil pengukuran warna kayu pinus dan eucalyptus dengan Microflash - 200
Daftar Pustaka
Achmadi, S.S. 1990. Pusat Antar Universitas.
Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Agoston A. 1979.
. Heidelberg. P.286.
Boardman B.E., Senft, G.P. McCabe dan Ladisch, C.M. 1992.
Colorimetric analysis in grading black walnut veneer.
24:99-107.
Bourgois J., Janin G dan Guyonner, R. 1991. The colour
measurement afast method to study and to optimize
the chemical transformations undergone thermically
treated wood. 45(5):377-382.
Horváth H.Z. dan Halász-Fekete M. 2005. Instrumental
colour measurement of Paprika grist in
Faculty of Engineering
Hunedora. Pp. 101-107.
Illic, J. 1990. The CSIRO Macro key for hardwood
Identification. Division of Forestry and Forest Products,
CSIRO, Melbourne, Australia. P. 125.
Katuščák S. dan Katuščákoá G. 1987. Means of objective
identification of Spruce wood decay.
41(5):315-320.
Kimia Kayu.
Color Theory and Its Application in Art
and Design
Wood and Fiber Science
Holzforschung
Annals of the
Faculty of Engineering.
Holzforschung
Krisdianto, 2007. Colour differences of pine and eucalyptus
. 4(2):83-91.
McLaren, J. 1976. The development of the CIE 1976
(L*a*b*) uniform colour-space and colour difference
formula.
92(9):338-341.
Nishino Y. Janin G. Chanson, B. Detienne, P. Grill, J. dan
Thibaut B. 1998. Colourimetry of wood specimen from
French Guiana. 44(1):3-8.
Sjostrom, E. 1993.
. Edisi 2 (terjemahan) Gadjah Mada Univ.
Press. UGM, Yogyakarta.
Tilley, R. 1999. Colour and the optical properties of
materials. An exploration of relationship between light,
the optical properties of material and colour. Cardiff
University, John Willey and Son Ltd. London. P.342.
Tsoumis, G. 1991.
. Van Nostrand
Reinhold, New York.
Uprichard, J.M. 1993. Wood extractives. Walker,
J.C.F. Primary Wood Processing: principle and Practice.
Chapman and Hall, London.
Journal of Forestry Research
Journal of the Society of Dryers and Colourists
Journal of Wood Science
Kimia Kayu Dasar-dasar dan
Penggunaan
Science and Technology of Wood:
Structure, Properties and Utilization
Dalam
31FORPro� Vol. 2, No. 1 Edisi Juni 2013
artikel
Pada tahun 1968 mulai ada pabrik yang membuat kayu
lapis berukuran 2,44 m x 1,22 m sehingga disebut panel.
Kayu lapis yang dibuat berupa tripleks yang digunakan
untuk bahan peti teh, bahan bangunan dan bahan mebel.
Sebelum tahun 1968 yang dibuat adalah tripleks
berukuran panjang kurang dari satu meter dan lebar
kurang dari setengah meter yang digunakan untuk peti teh
dan barang kerajinan. Pada tahun 1970-an berdiri
beberapa pabrik kayu lapis yang membuat tripleks dan
multipleks berukuran 2,44 m x 1,22 m serta mulai ada yang
diekspor, sehingga mendorong pemerintah untuk
membuat standar kayu lapis. Pada tahun 1981 mulai
dibuat standar kayu lapis. Berdasarkan lembaga
pemerintah yang membuatnya, disebut
SKI), SII)
dan SP). Materinya sama, yaitu
berasal dari Standar Amerika. Pada standar ini ada 2
macam mutu perekatan yaitu tipe I (eksterior) dan tipe II
(interior) serta 4 macam mutu lapisan muka, yaitu A, B, C
dan D. Pada pengujian mutu perekatan, selain nilai geser
tarik, diperhatikan juga kerusakan kayu. Pada Standar
Amerika ada dua macam mutu perekatan yaitu tipe I dan
tipe II serta ada 4 macam mutu lapisan muka yaitu BB, CC,
OVL (Overlay) dan UTY (Utility).
Standar bersifat sukarela sehingga pasar yang
menentukan standar yang digunakan oleh produsen untuk
ekspor ke negara tertentu. Standar Inggris dipakai untuk
ekspor kayu lapis ke Eropa yang mempunyai 4 macam
mutu perekatan, yaitu INT),
MR), BR) yang kemudian berubah
menjadi CBR) dan
WBP). Bila dibandingkan dengan Standar Amerika,
MR setara dengan tipe II dan WBP setara dengan tipe I.
Mutu perekatan ditentukan oleh nilai geser tarik dan
kerusakan kayu. Mutu lapisan muka tidak mengacu ke
Standar Inggris (3 macam) tetapi ke Standar Amerika (4
macam) dengan istilah BB, CC, OVL dan UTY.
Pada tahun 1980-an ekspor kayu lapis ke Jepang
meningkat dan standar yang dipakai adalah Standar
Jepang. Pada standar ini dikenal 4 macam mutu perekatan,
yaitu tipe III, tipe II, tipe I dan tipe khusus. Dibandingkan
dengan Standar Inggris, tipe III lebih rendah dari INT karena
tipe III diuji dalam keadaan kering sedangkan INT diuji
setelah direndam dalam air dingin. Tipe II setara dengan
MR, tipe I setara dengan CBR dan tipe khusus setara
dengan WBP. Mutu perekatan ditentukan oleh nilai geser
Standar
Kehutanan Indonesia ( Standar Industri Indonesia (
Standar Perdagangan (
Interior ( Moisture Resistance
( Boil Resistance (
Cyclic Boil Resistance ( Weather and Boil
Proof (
tarik, nisbah tebal lapisan inti dengan lapisan muka (tebal
rata-rata lapisan muka+lapisan belakang) dan jenis kayu
atau kelompok jenis kayu. Mutu lapisan muka tidak
mengacu ke Standar Jepang (3 macam), tetapi ke Standar
Amerika (4 macam) dengan istilah BB, CC, OVL, UTY.
Berdasarkan pengalaman melaksanakan Standar
Jepang dengan volume kayu lapis yang besar maka standar
kayu lapis Indonesia yang semula hanya mengenal 2
macam mutu perekatan pada tahun 1992 diubah menjadi
4 macam yaitu tipe eksterior I yang setara dengan tipe
khusus, tipe eksterior II yang setara dengan tipe I, tipe
interior I yang setara dengan tipe II dan tipe interior II yang
setara dengan tipe III. Cara pengujian dan persyaratan
mutu perekatannya mengikuti Standar Jepang, yaitu 7
kg/cm setelah diperhitungkan dengan nisbah tebal
lapisan inti dengan lapisan muka. Tipe interior II diuji dalam
keadaan kering sehingga sesuai dengan industri kecil.
Mutu lapisan muka 4 macam, yaitu A, B. C dan D mengikuti
Standar Amerika disesuaikan dengan keadaan di Indonesia
(modifikasi), sedangkan mutu lapisan belakang hanya satu
macam berupa persyaratan minimal.
Pembentukan DSN)
pada tahun 1989 disusul dengan penyusunan
SSN) 1992 dan peresmian SNI
(Standar Nasional Indonesia) sehingga tidak ada lagi
standar sektoral yang dikeluarkan oleh suatu kementerian.
Sebagai contoh dalam hal kayu lapis dikenal ada SNI Kayu
lapis penggunaan umum dengan 4 macam mutu perekatan
dan 4 macam mutu lapisan luar seperti dikemukakan di
atas. Selain itu ada SNI Kayu lapis struktural dan SNI Kayu
lapis indah jati. Pada tahun 1997 DSN berubah menjadi
BSN) disusul dengan
penyusunan SSN 2001 sebagai penyempurnaan SSN 1992.
Panitia Teknis (PT) dibentuk di setiap lembaga teknis misal
kementerian untuk menyusun Rancangan SNI, yang
ketentuannya tercantum dalam SSN 1992 dan SSN 2001.
Pada tahun 2005 BSN mengadakan penyeragaman
pembentukan PT berdasarkan
ICS) lengkap dengan contoh Standar
ISO terkait. Sebagai contoh ICS 79 Teknologi kayu
meliputi antara lain kayu bundar, kayu gergajian, kayu
2
Dewan Standardisasi Nasional (
Sistem
Standardisasi Nasional (
Badan Standardisasi Nasional (
International Classification
for Standards (
STANDAR KAYU LAPISI N D O N E S I A
Paribotro Sutigno
FORProVol. 2, No. 1 Edisi 2013Juni �32
lapis, papan partikel dan papan serat. Berdasarkan ICS ini
dibentuk PT 79 Hasil Hutan Kayu. Dalam perdagangan
sudah lama dikenal penyeragaman semacam itu, yang
dikenal dengan HS.
Penyusunan standar dapat dilakukan berdasarkan (1)
adopsi standar negara lain atau standar internasional atau
(2) berdasarkan penelitian. Dalam hal adopsi dapat
dilakukan secara identik atau modifikasi. Penyusunan
standar kayu lapis sebelum dan setelah SNI seperti telah
dikemukakan di atas dilakukan berdasarkan adopsi
modifikasi dari standar negara lain, yang berarti ada
penyesuaian dengan keadaan di Indonesia. Format
standar disesuaikan dengan format yang dipakai di
Indonesia, isi standar disesuaikan dengan pengalaman
industri di Indonesia dalam membuat dan memasarkan
produk.
BSN menerapkan adopsi identik (IDT) Standar ISO
secara bertahap, minimal format SNI maksimal format dan
isi SNI. Mengenai isi berarti menerjemahkan Standar ISO.
Bila tidak dapat dilakukan adopsi identik, dilakukan adopsi
modifikasi (MOD), yaitu ada bagian yang disesuaikan
dengan keadaan di Indonesia. Dalam hal kayu lapis
kebanyakan dilakukan adopsi identik meliputi format dan
isi.
1 SNI ISO 2074:2008 Kayu lapis - Istilah dan definisi (ISO
2074:2007, IDT)
2 SNI ISO 1096:2010 Kayu lapis - Klasifikasi (ISO
1096:1999, IDT)
3 SNI ISO 2426-1:2008 Kayu lapis - Klasifikasi
berdasarkan penampilan permukaan - Bagian 1: Umum
(ISO 2426-1:2000, IDT)
4 SNI ISO 2426-2:2008 Kayu lapis - Klasifikasi
berdasarkan penampilan permukaan - Bagian 2 : Kayu
daun lebar (ISO 2426-2:2000, IDT)
5 SNI ISO 2426-3:2008 Kayu lapis - Klasifikasi
berdasarkan penampilan - Bagian 3 : Kayu daun jarum
(ISO 2426-3:2000, IDT)
6 SNI ISO 12466-1:2010 Kayu lapis - Mutu perekatan
Bagian - 1 : Cara uji (ISO 12466-1:2007, IDT)
7 SNI ISO 12466-2:2010 Kayu lapis - Mutu perekatan
Bagian - 2 : Persyaratan (ISO 12466-2:2007, IDT)
8 SNI 7630:2011 Kayu lapis - Toleransi ukuran (ISO
1954:1999, MOD)
Selain itu karena kayu lapis termasuk panel kayu perlu
dilihat pula SNI ISO 9426:2008 Panel kayu - Penentuan
dimensi panel (ISO 9426:2003, IDT), SNI ISO 16979:2008
Panel kayu - Penentuan kadar air (ISO 16979:2003, IDT).
Berdasarkan uraian di atas dapat dikemukakan
beberapa hal sebagai berikut:
1 Selama ini kita mengenal standar kayu lapis merupakan
satu kesatuan (tidak dipecah menjadi beberapa
standar), seperti pada SNI 01 - 5008.2 - 2000 kayu lapis
penggunaan umum, pada Standar Amerika (IHPA) dan
Standar Inggris (BS).
2 Mutu perekatan dibagi menjadi 3 kelas, yaitu untuk
penggunaan dalam keadaan kering, untuk penggunaan
dalam keadaan lembab dan untuk penggunaan dalam
keadaan eksterior. Walau untuk penggunaan dalam
keadaan kering tetapi pengujiannya dilakukan setelah
peredaman 24 jam dalam air dingin. Hal ini berarti lebih
tinggi dari SNI Kayu lapis penggunaan umum untuk tipe
interior II yang pengujiannya dilakukan dalam keadaan
kering. Kelas untuk penggunaan dalam keadaan
lembab setara dengan tipe eksterior II dan kelas untuk
penggunaan dalam keadaan eksterior setara dengan
type eksterior I pada SNI Kayu lapis penggunaaan
umum.
3 Persyaratan mutu perekatan ditetapkan berdasarkan
nilai geser tarik dengan memperhatikan kerusakan
kayu.
4 Penampilan permukaan dibagi menjadi 5 kelas, yaitu E,
I, II, III dan IV berdasarkan cacat (ciri) alami dan
berdasarkan cacat teknis (proses pembuatan). Pada
kelas E penampilan permukaan tanpa cacat, baik cacat
alami maupun cacat teknis. Penampilan permukaan
tersebut dibedakan antara kayu daun lebar dan kayu
daun jarum.
Berhubung SNI ISO Kayu lapis tidak merupakan satu
kesatuan, perlu dibuat rangkuman sehingga merupakan
satu kesatuan dan lebih mudah dipahami. Rangkuman ini
ada 3 macam, yaitu berupa buku berjudul Pengujian Kayu
Lapis, berupa brosur berjudul Mengenal Kayu Lapis dan
berupa abstrak berjudul Standar Kayu Lapis. Buku
berukuran kuarto, sedangkan brosur dan abstrak
berukuran setengah kuarto. Isi buku lebih lengkap
daripada isi brosur sehingga dapat digunakan dalam
pelatihan Penguji Kayu Lapis dan dapat digunakan sebagai
petunjuk teknis oleh pihak yang melakukan pengujian kayu
lapis. Isi brosur lebih sederhana, meliputi pengertian,
macam, sifat, kegunaan dan mutu kayu lapis sehingga
dapat digunakan untuk promosi kayu lapis dan SNI nya,
pelatihan penyuluh, rujukan bagi karyawan lembaga yang
ditugasi melakukan pengadaan barang, pelatihan
karyawan perusahaan yang membuat dan menjual kayu
lapis, untuk produsen dalam membuat selebaran promosi
kayu lapis yang dibuatnya disertai data hasil uji mutunya
serta sebagai penyeimbang dari selebaran yang dibuat
oleh produsen. Selama ini pihak produsen sudah biasa
membuat selebaran untuk promosi produknya yang
seharusnya diimbangi oleh pemerintah dengan membuat
selebaran atau brosur untuk promosi produk dan SNI nya.
Isi abstrak lebih ringkas daripada isi selebaran dan dipakai
untuk keperluan kartu pustaka, website, dan buku abstrak.
Hal ini sesuai dengan program pemasyarakatan SNI dan
program penggunaan produk Indonesia.
FORPro 33� Vol. 2, No. 1 Edisi Juni 2013
OPINI
emua pihak mengakui bahwa standar merupakan hal
yang penting, baik standar formal maupun standar
informal. Mengingat hal ini wajar ada semboyan “Standar
bukan segala-galanya, tetapi segala-galanya tanpa standar
bukan berarti apa-apa”.
Walaupun demikian ada yang berpendapat standar
nasional perlu banyak, tetapi ada yang berpendapat
standar nasional tidak perlu banyak. Standar yang
dikeluarkan oleh suatu negara termasuk standar formal
seperti Standar Nasional Indonesia (SNI). Jumlah SNI pada
saat ini sekitar 7.000-an, sehingga Indonesia merupakan
negara ASEAN yang mempunyai standar terbanyak.
Berdasarkan katalog SNI Bidang Kehutanan sampai
dengan tahun 2012 ada 134 SNI yang dibagi menjadi 3
kelompok sesuai dengan Panitia Teknis (PT), yaitu:
(1) Panitia Teknis 79-01, Hasil hutan kayu.
Ada 3 kelompok, yaitu Kayu bundar 10 SNI, Produk kayu
olahan 66 SNI, Pendukung 16 SNI. Jumlah 92 SNI.
(2) Panitia Teknis 65-01, Pengelolaan hutan.
Ada 4 kelompok, yaitu Pengelolaan hutan 8 SNI,
Pembenihan 13 SNI, Bibit 8 SNI, Bibit 8 SNI, Pendukung
8 SNI. Jumlah 37 SNI .
(3) Panitia Teknis 65-02, Hasil hutan bukan kayu.
Tidak dibagi menjadi kelompok, 13 SNI.
SNI mengenai kayu bundar termasuk sedikit karena
hanya dibedakan ke dalam kayu bundar jati, kayu bundar
rimba, kayu bundar daun lebar, kayu bundar daun jarum.
Semula SNI kayu bundar rimba dibedakan menjadi
sortimen Kayu Bundar Besar (KBB) dan Kayu Bundar
Sedang (KBS). Selain itu ada SNI Kayu bundar sungkai,
merbau, perupuk, dan , eboni,
kuku, sengon dan jabon, mahoni, rasamala, sonokeling
dan sonokembang serta seratus jenis kayu bundar rimba
yang semuanya termasuk kayu daun lebar. Dalam hal kayu
daun jarum semula ada SNI Kayu bundar tusam, agatis.
Kalau tidak ada program penyederhanaan jumlah standar,
mungkin akan ada SNI mengenai kayu bundar kayu daun
jarum yang lain, seperti ,
.
SNI mengenai produk kayu olahan termasuk banyak
(61 buah) karena meliputi beberapa macam kelompok
produk dan kelompok pendukung. Sebagai contoh
kelompok produk adalah kayu gergajian, kayu bentukan,
Panitia Teknis 79-01. Hasil hutan kayu.
Gmelina Acacia mangium
Podocarpus Dacrydium,
Araucaria
kayu lapis dan lantai kayu. Contoh kelompok pendukung
adalah cara uji emisi formaldehida, pengemasan dan
penandaan.
SNI kayu lapis termasuk papan blok ada beberapa
macam seperti kayu lapis penggunaan umum, kayu lapis
struktural, kayu lapis alas peti kemas, kayu lapis bermuka
film, kayu lapis indah jati, kayu lapis indah dan papan blok
indah. Mulai tahun 2008 ada program penyusunan SNI
berdasarkan adopsi identik dari Standar ISO. Format
standar ini tidak terpadu seperti yang selama ini dikenal
(satu produk meliputi semua aspek) tetapi satu produk
dipecah menjadi beberapa bagian atau beberapa standar.
Sebagai contoh SNI ISO 2074:2008. Kayu lapis - Istilah dan
definisi, SNI ISO 1096: 2010 Kayu lapis - Klasifikasi, SNI ISO
12466-1:2010 Kayu lapis - Mutu perekatan - Bagian 1: Cara
uji dan SNI ISO 12466-2:2010 Kayu lapis - Mutu Perekatan
Bagian 2: Persyaratan.
SNI mengenai pengelolaan hutan (nama kelompok)
meliputi pengelolaan dan pengusahaan hutan. SNI
mengenai perbenihan meliputi penanganan dan uji benih.
Dalam hal uji benih ada yang berhubungan dengan jenis
pohon seperti jati dan cendana. SNI mengenai pendukung
meliputi sumber benih, persemaian, inokulasi dan
pengumpulan buah tanaman kehutanan.
SNI mengenai produk ini berhubungan dengan macam
hasil hutan bukan kayu, seperti getah tusam, gondorukem,
terpentin, damar, kopal, biji tengkawang, gambir, minyak
kayu putih dan madu. Ada produk yang merupakan bahan
baku seperti getah tusam, damar dan kopal serta ada yang
merupakan hasil olahan seperti godorukem, terpentin dan
minyak kayu putih.
Setiap kebijakan ada positif dan ada negatifnya,
demikian juga kebijakan SNI banyak atau SNI sedikit. Aspek
positif SNI banyak adalah cakupan luas sedangkan aspek
negatifnya adalah memerlukan biaya yang besar, seperti
biaya penyusunan dan pemeliharaannya (antara lain kaji
ulang). Aspek positif SNI sedikit adalah biayanya tidak
banyak sedangkan aspek negatifnya adalah cakupannya
tidak banyak.
Panitia Teknis 65-01. Pengelolaan hutan
Panitia Teknis 65-02. Hasil hutan bukan kayu
Pembahasan
Paribotro Sutigno
Apakah Perlu Banyak?SNI(Kasus Sektor Kehutanan)
Apakah Perlu Banyak?SNI(Kasus Sektor Kehutanan)
S
FORProVol. 2, No. 1 Edisi 2013Juni �34
Contoh kebijakan SNI sedikit adalah program
penyederhanaan jumlah SNI seperti dalam hal SNI
mengenai kayu bundar yang telah dikemukakan di atas. SNI
kayu bundar daun lebar dan SNI kayu bundar daun jarum.
Contoh lain adalah pada hasil kaji ulang SNI tahun 2012
ada penyederhanaan jumlah SNI mengenai benih dan bibit
dari 8 menjadi 5 buah serta tidak lagi menyebut jenis
pohon.
Bila sudah diputuskan akan menganut kebijakan SNI
sedikit, beberapa program yang dapat dibuat antara lain:
(1) SNI disusun untuk hal yang penting saja seperti
menyangkut penggunaan yang luas dan merupakan
“payung standar” sehingga dapat dijabarkan menjadi
beberapa peraturan teknis. Ruang lingkup tiap PT
dilengkapi dengan SNI yang sudah ada dan belum ada
sehingga diketahui SNI yang perlu dibuat dan
prioritasnya serta kemungkinan penjabarannya
menjadi peraturan teknis (seperti spesifikasi teknis
yang dikenal di kalangan industri). Ada pabrik mebel
yang sepakat dengan pemasok kayu untuk membuat
spesifikasi teknis kayu bundar mindi. Contoh SNI 01-
2025-1996 Kayu lapis indah dan papan blok indah
dapat dijadikan payung standar bagi semua macam
kayu lapis indah dan papan blok indah (kalau perlu
setelah direvisi) dari berbagi jenis kayu indah seperti
jati, mahoni dan sonokeling. “Standar” produk ini yang
berbeda karena jenis kayunya cukup dibuat berupa
peraturan teknis.
(2) Penggabungan beberapa SNI yang sudah ada seperti
contoh pada SNI mengenai kayu bundar tersebut di
atas. SNI mengenai papan sambung dan bilah sambung
dapat dibuat untuk menggabungkan SNI 01-6020-1999
Mutu dan cara uji papan sambung dekoratif, SNI 01-
6243-2000 Papan sambung dan bilah sambung untuk
kusen daun jendela dan daun pintu, SNI 01-6243-2-
2000 Papan sambung dan bilah sambung untuk meja.
(3) Perluasan SNI yang ada melalui revisi seperti SNI 01-
5508-3-2000 Venir sayat jati menjadi Venir sayat yang
dapat menjadi “payung standar” bagi peraturan teknis
venir sayat dari berbagai jenis kayu. Hal serupa berlaku
juga bagi SNI mengenai venir kupas yang merupakan
“payung standar” bagi peraturan teknis venir kupas
dan berbagai jenis kayu. Penyusunan peraturan teknis
akan lebih cepat dan lebih murah daripada
penyusunan SNI.
(4) Tidak semua Standar ISO harus diadopsi (identik atau
modifikasi). Contoh: Standar ISO mengenai kayu-
penentuan kekuatan maksimum pada lentur statis
(kemudian menjadi SNI No 3133:2010). Bila standar
ISO itu tidak diadopsi, tidak akan mempengaruhi
perdagangan kayu. Lembaga penelitian sebagai
pengguna standar semacam itu mengetahui standar
yang dipakai seperti ASTM.
Sebagaimana dikemukakan di atas ruang lingkup tiap
PT perlu dilengkapi dengan SNI yang sudah ada dan yang
akan dibuat serta prioritasnya. Hal ini berarti membuat
rincian ruang lingkup utama dari standardisasi sektor
kehutanan. Dengan demikian dapat diketahui berapa
banyak SNI sektor kehutanan yang akan dibuat dan dalam
jangka waktu berapa lama akan selesai. Standar
kompetensi kerja merupakan suatu macam standar. Ada
info bahwa di Australia sebelum menyusun standar ini
dibuat ruang lingkupnya dulu secara rinci dan
penyusunannya selesai dalam 10 tahun. Sesuai dengan
kebijakan SNI sedikit, maka tidak semua “standar” menjadi
SNI, tetapi sebagian berupa peraturan teknis yang
berinduk pada “payung standar” SNI. Hal itu berarti tidak
semua produk standar harus berupa SNI, seperti juga tidak
semua produk hukum harus berupa undang-undang.
Pelaksanaan kebijakan SNI sedikit berarti menghemat
biaya, menghemat waktu dan menghemat tenaga. Hal ini
berarti tersedia biaya, waktu dan tenaga untuk kegiatan
standardisasi lain yang bermanfaat seperti pembuatan
brosur dan selebaran dalam rangka pemasyarakatan SNI.
Manfaat brosur dan selebaran bagi masyarakat antara lain
mengenal SNI, mengenal produk sehingga tidak salah pilih
dan tidak salah pakai, misal produk berupa kayu lapis.
Brosur dan selebaran itu dibagikan kepada produsen dan
konsumen disertai penjelasan dan dikaitkan dengan
kegiatan lain, seperti pameran, pelatihan, pendidikan dan
penyuluhan. Pengertian konsumen dalam arti yang luas,
termasuk antara lain pedagang dan lembaga pemerintah
(agar dalam pengadaan barang dan jasa untuk pemerintah
sesuai dengan SNI).
Pembuatan brosur dan selebaran sudah biasa
dilakukan oleh produsen dalam rangka promosiproduknya
(barang dan jasa). Beberapa produsen mencantumkan
data hasil pengujian barang disertai standar yang
digunakan. Dengan demikian brosur dan selebaran yang
dibuat pemerintah dalam rangka pemasyarakatan SNI
merupakan pembanding atau penyeimbang dari yang
dibuat produsen. Contoh sederhana dari selebaran adalah
mengenai macam dan ukuran kayu gergajian yang
merupakan bagian dari SNI mengenai kayu gergajian.
Selebaran ini merupakan awal dari seri selebaran
mengenai kayu gergajian dengan judul tetap yaitu “Kayu
gergajian”, sub judul “Macam dan ukuran”. Pada seri
kedua, sub judul berubah tergantung pada aspek yang
dibahas, sedangkan judul tetap.Bila hal ini berhasil
kemudian diterapkan pada yang lain, misal “Kayu lapis”
(judul), “Macam dan ukuran” (sub judul).
Standar merupakan hal yang penting karena
bermanfaat dalam berbagai macam kegiatan. Dalam hal
standar nasional ada dua pendapat, yaitu standar nasional
perlu banyak dan standar nasional tidak perlu banyak. SNI
merupakan contoh dari standar nasional. Bila dianut
kebijakan SNI sedikit maka perlu diikuti dengan membuat
peraturan teknis sebagai turunan dari SNI. Hal ini berarti
SNI sebagai “payung standar”.
Penutup
FORPro 35� Vol. 2, No. 1 Edisi Juni 2013
ARTIKEL
A. PENDAHULUAN
B. BAHAN DAN ALAT PEMBUATAN PEREAKSI
Keberhasilan proses pengawetan kayu ditentukan oleh
dua syarat yang harus dipenuhi, yaitu retensi dan
penetrasi. Retensi adalah sejumlah bahan pengawet
kering yang masuk atau diserap selama dalam proses
pengawetan ke dalam kayu yang dinyatakan dalam satuan
kg/m³. Sedangkan penetrasi adalah kedalaman
penembusan bahan pengawet ke dalam kayu yang
dinyatakan dalam satuan milimeter (mm) atau prosentase
(%) terhadap luasan pada bidang permukaan kayu yang
telah diawetkan.
Pengamatan penetrasi boron dilakukan setelah kayu
selesai diawetkan. Kegiatan pengujian penetrasi dapat
dilakukan oleh produsen (pengusaha pengawetan)
maupun konsumen sebagai pemakai jasa pengawetan.
Banyak unsur garam yang dikandung bahan pengawet,
salah satu kandungan garam di antaranya boron. Apabila
pengawetan kayu memakai unsur boron untuk
mengetahui adanya boron di dalam kayu, dilakukan
pengujian/pengetesan dengan mengggunakan pereaksi
campuran ekstrak kurkuma, alkohol asam klorida pekat
dan asam salisilat.
Bahan untuk pembuatan pereaksi boron tersebut saat
ini harganya relatif mahal dan sukar didapat, sehingga
banyak dikeluhkan oleh produsen pengawetan kayu dan
pemakai kayu yang diawetkan. Untuk mengatasi hal
tersebut di atas dapat dipakai dengan cara dan bahan lain
yang sederhana dan harganya relatif murah dan mudah
didapat yaitu dengan serbuk kunyit, spirtus bening dan air
keras sebagai pengganti ekstrak kurkuma, alkohol dan
asam klorida pekat.
Dalam tulisan ini diuraikan cara membuat peraksi
boron dan perkiraan biaya pembuatannya dibandingkan
dengan pereaksi yang biasa digunakan.
1. Bahan
Serbuk kunyit�
Spirtus bening
Air keras (nama dagang untuk asam klorida)
Asam salisilat
�
�
�
2. Peralatan
3. Larutan pereaksi terdiri dari dua macam, yaitu
pereaksi A dan Pereaksi B
a. Cara pembuatan pereaksi A 500 mL:
b. Cara pembuatan peraksi B 500 mL:
Pereaksi A hasil rekayasa bahan, semprotkan pada
salah satu bidang potong contoh uji penetrasi dan diamkan
beberapa detik, kemudian semprotkan pereaksi B. Biarkan
beberapa menit, sampai timbul warna merah untuk
contoh uji yang mengandung boron. Bagian yang tidak
mengandung boron berwarna kuning. Untuk
mempercepat timbulnya warna merah, dapat juga
potongan contoh uji penetrasi yang telah disemprot kedua
pereaksi, dijemur. Hasil uji penetrasi dengan penampakan
warna merah hasil spotes pereaksi rekayasa dibanding
hasil uji penetrasi dari pereaksi dari toko tidak ada
perbedaan penampakan warna.
Timbangan
Gelas pengukur larutan
Pengaduk
Corong plastik
Handsprayer, tempat menyimpan larutan
Timbang 50 gram serbuk kunyit
Tambahkan spirtus bening hingga 500 mL
Aduk dan diamkan beberapa saat hingga
serbuk kunyit mengendap
Tuangkan larutan ke dalam handsprayer
yang telah diberi label
Takar 400 mL spirtus bening
Tambahkan 100 mL air keras, lalu diaduk
Tambahkan asam salisilat sambil terus
diaduk, sehingga tidak melarut lagi
(diperkirakan 65 gram asam salisilat)
Tuangkan larutan ke dalam handsprayer
yang telah diberi label
Perbandingan biaya bahan untuk pembuatan 500 mL
pereaksi yang biasa digunakan dengan memakai bahan
dari kimia murni dibanding dengan pemakaian peraksi
hasil pembuatan dari bahan secara sederhana tercantum
pada Tabel 1.
�
�
�
�
�
�
�
�
�
�
�
�
�
C. PENGUJIAN PENETRASI BORON
D. BIAYA PEMBUATAN PEREAKSI
Didik Ahmad Sudika
UJI PENETRASI BORON
SEDERHANA
FORProVol. 2, No. 1 Edisi 2013Juni �36
Foto 1.
Potongan melintang contoh kayu
Foto 2.
Setelah disemprot dengan pereaksi A
Foto 3.
Warna merah adalah Penetrasi setelah
disemprot dengan pereaksi A dan B
Tabel 1. Perbandingan biaya pembuatan 500 ml pereaksi uji boron
Pereaksi yang biasa digunakan di laboratorium Pereaksi secara sederhana
Bahan Harga (Rp) * Bahan Harga (Rp)*
Pereaksi A
- 5 gr ekstrak kurkuma (pa)
- 500 ml alkohol 96 % (teknis)
Pereaksi B
- 100 ml asam khlorida pekat
- 400 ml alkohol 96 %
- 65 gr asam salisilat
482.720**
26.000
32.720
20.800
45.903
- 50 gr serbuk kunyit
- 500 ml spirtus bening
- 100 ml airkeras
- 400 ml spirtus bening
- 65 gr asam salisilat teknis
2.000
5 000
2.000 **
4.000
9.750
Jumlah 608. 143 22.750
BAHAN BACAAN
Anonim, 1994.,Standard methods for determining of
preservatives And fire retardants. American-wood
Preservers Association. Wodstock.
Barly dan Sasa Abdurrohim, 1996, Petunjuk teknis
pengawetan kayu untuk bangunan hunian dan bukan
hunian. Badan Litbang Kehutanan. Jakarta.
Marianto, A. 1996.,Studi penetrasi dan retensi berbagai
bahan pengawet pada kayu perumahan. Skripsi
Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam. Universitas Pakuan Bogor (tidak
diterbitkan).
FORPro 37� Vol. 2, No. 1 Edisi Juni 2013
top related