buku panduan - widyasari press
Post on 26-Oct-2021
4 Views
Preview:
TRANSCRIPT
BUKU PANDUAN
PERTUMBUHAN IMAJINASI BERPIKIR
MATEMATIS MAHASISWA PENDIDIKAN MATEMATIKA
MELALUI KEGIATAN ECT DALAM MENCIPTAKAN ALAT
PERAGA BAGI SISWA ABK DI SLB
Disusun oleh:
Sugiman
Prof. Dr. Hardi Suyitno, M.Pd
Dr. Dwijanto, M.S
Dr. IwanJunaedi, M.Pd
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
TAHUN 2021
[i]
Buku Panduan
PERTUMBUHAN IMAJINASI BERPIKIR MATEMATIS
MAHASISWA PENDIDIKAN MATEMATIKA MELALUI
KEGIATAN ECT DALAM MENCIPTAKAN ALAT PERAGA
BAGI SISWA ABK DI SLB.
Hak Cipta@ Sugiman, 2021
Penulis
Sugiman
Prof. Dr. Hardi Suyitno, M.Pd
Dr. Dwijanto, M.S
Dr. IwanJunaedi, M.Pd
Cetakan 1, Edisi I, April 2021
ISBN 978-602-6977-92-2
[ii]
PRAKATA
Dengan mengucap rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa,
maka Buku Panduan dengan judul: “PERTUMBUHAN IMAJINASI
BERPIKIR MATEMATIS MAHASISWA PENDIDIKAN
MATEMATIKA MELALUI KEGIATAN ECT DALAM
MENCIPTAKAN ALAT PERAGA BAGI SISWA ABK DI SLB” ini
telah selesai dibuat. Pelaksanaan kegiatan penyusunan Buku Panduan
ini tidak dapat terlaksana tanpa bantuan dari berbagai pihak. Oleh
karena itu, maka pada kesempatan ini, kami ingin mengucapkan rasa
terima kasih kepada:
1. Rektor Universitas Negeri Semarang,
2. Direktur Pascasarjana Universitas Negeri Semarang,
3. Koordinator Program Studi S3 Pendidikan Matematika
Pascasarjana UNNES,
4. Dekan FMIPA UNNES,
5. Ketua Jurusan Matematika FMIPA UNNES,
6. Promotor dan Kopromotor Disertasi, dan
7. Semua pihak yang telah membantu suksesnya penyusunan buku
ini.
Atas semua bantuan dan perhatiannya, semoga Tuhan Yang
Maha Kuasa berkenan melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya.
Semarang, 4 April 2021
Penulis,
[iii]
DAFTAR ISI
PRAKATA ………………………………………………………… iii
DAFTAR ISI …..................................................................................iv
DAFTAR TABEL ............................................................................... v
DAFTAR GAMBAR ........................................................................ vi
BAB I Pendahuluan .............................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ................................................................................ 1
1.2 Identifikasi Permasalahan di SLB ................................................. 6
1.3 Cakupan Masalah ........................................................................... 7
1.4 Pertanyaan Terkait Pertumbuhan Imajinasi Berpikir Matematis .... 8
BAB II Kajian teoritik tentang pertumbuhan imajinasi mahasiswa .. 10
2.1 Imajinasi Berpikir ......................................................................... 10
2.2 Manfaat Teoretis Imajinasi Berpikir Matematis ........................... 62
BAB III Kegiatan extra-curriculum training (ect) ............................. 63
3.1 Tujuan Kegiatan ECT ................................................................... 63
3.2 Manfaat Kegiatan ECT ................................................................. 64
3.3 Pembentukan, Materi, dan Jadwal Kegiatan ECT ........................ 65
BAB IV Pertumbuhan imajinasi berpikir matematis mahasiswa ....... 71
4.1 Pola Pertumbuhan Imajinasi Berpikir Matematis Mahasiswa ...... 71
4.2 Dukungan lembaga seameo-sen dan oleh guru slb di
malaysia...............................................................................................87
BAB V Penutup .................................................................................. 90
5.1 Simpulan .... ..................................................................................90
5.2 Saran yang Direkomendasikan ..................................................... 91
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................... 92
[iv]
DAFTAR TABEL
Table 4.1. Tabel Kategori Pertumbuhan IBM ............................... 73
Table 4.2. Tabel Rekapitulasi Penilaian oleh Dosen ..................... 74
Table 4.3. Tabel Kompetensi Dasar Matematika Kelas VI SMPLB
Tunarungu ………………………………………………………
Error! Bookmark not defined.82
[v]
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1 Skema Pola Pikir Peneliti ................................................. 5
Gambar 2.1 Abakus Bilangan Untuk Anak Awas ............................ 18
Gambar 2.2 Abakus bilangan untuk tunanetra ...................................18
Gambar 2.3 Pemanfaatan Abakus Bilangan bagi siswa Tunagrahita . 19
Gambar 2.4 Melalui Kerja Kelompok, Siswa Melakukan Kegiatan
Hand on Activity ................................................................................ 47
Gambar 2.5 Kubus dan Jaring-jaringnya ............................................ 48
Gambar 3.1 peserta ECT mendengarkan penjelasan pelatih ..............69
Gambar 3.2 peserta ECT praktik membaca Braile .............................69
Gambar 3.3 produk peserta ECT dipraktikan di SLB ........................69
Gambar 4.1 Alat Peraga Abanetra buatan mhs 1 ...............................74
Gambar 4.2 Menunjukan Angka 0 .....................................................80
Gambar 4.3 Menunjukan Angka 2 .....................................................80
Gambar 4.4 Menunjukan Angka -2 ....................................................80
Gambar 4.5 Menunjukan 2 + 3 = 5 ....................................................80
Gambar 4.6 Penjumlahan 2 - 3 = -1 ...................................................80
Gambar 4.7 Desain Alat Peraga Abanetra Penjumlahan &
Pengurangan Bilangan Bulat ..............................................................81
Gambar 4.8 Alat Peraga Dipraktikan dalam Pembelajaran Di SLB...81
Gambar 4.9 Wawancara Terbuka Dengan Siswa Tunanetra dalam
Suasana yang Akrab ..........................................................................85
Gambar 4.10 Wawancara Terbuka Dengan Siswa Tunagrahita ........85
Gambar 4.11 Video Pembelajaran Diisi Bahasa Isyarat ....................86
Gambar 4.12 Penulis Mewawancarai Guru Sambil Mengamati Siswa
SLB Menggunakan Alat Peraga Dalam Latihan Mengerjakan soal -
soal .....................................................................................................87
[vi]
[1]
BAB
I
1.1 Latar Belakang
Mahasiswa Program Studi Pendidikan Matematika perlu
ditumbuhkan kompetensi Imajinasi Berpikir Matematisnya.
Dengan tumbuhnya Imajinasi Berpikir Matematis pada diri
mahasiswa Pendidikan Matematika, maka diharapkan akan
muncul ide-ide baru yang bermanfaat untuk meningkatkan
kualitas Pendidikan di bidang matematika sekolah. Tumbuhnya
kompetensi Imajinasi Berpikir Matematis dipandang sangat
penting. Tidak mungkin tercipta Candi Borobudur tanpa melalui
Imajinasi Berpikir terlebih dahulu. Etnomatematika bisa muncul
juga pasti didahului dengan tumbuhnya kompetensi Imajinasi
Berpikir Matematis pada diri penemunya.
Tumbuhnya kompetensi Imajinasi Berpikir Matematis bisa
dilakukan dengan berbagai cara. Imajinasi Berpikir Matematis
juga dapat diungkap melalui hasil produk berupa alat peraga yang
dihasilkan secara mandiri. Pada Buku Panduan ini, dikaji cara
untuk menumbuhkan kompetensi Imajinasi Berpikir Matematis
pada mahasiswa Pendidikan Matematika melalui cara yang belum
ditemukan oleh peneliti-peneliti lainnya. Cara yang diujicobakan,
dimulai dengan pembuatan suatu produk yang justru sama sekali
asing untuk dilakukan seorang mahasiswa yang kuliah di Jurusan
Matematika. Mahasiswa Program Studi Pendidikan Matematika
disiapkan untuk menjadi guru pelajaran matematika di SMP,
SMA, atau SMK reguler. Dalam perkuliahan pada Program Studi
Pendidikan Matematika, mahasiswa tidak pernah dikenalkan pola
pendidikan untuk siswa yang berkebutuhan khusus yang sekolah
di SLB (Sekolah Luar Biasa). Oleh karena itu, kegiatan ini perlu
diawali dengan kegiatan Extra-Curriculum Training (ECT) yang
PENDAHULUAN
[2]
salah satu konten kegiatannya dilakukan dengan memberikan
pengantar tentang karakteristik Anak Berkebutuhan Khusus
(ABK) dan pembelajarannya di SLB.
Selanjutnya, kajian dalam Buku Panduan ini mencoba
untuk menemukan tumbuhnya kompetensi Imajinasi Berpikir
Matematis mahasiswa Program Studi Pendidikan Matematika
melalui uji kemampuan mahasiswa untuk dapat
mengkristalisasikan Imajinasi Berpikir Matematisnya dalam
menemukan suatu alat peraga matematis yang bermanfaat bagi
siswa/anak berkebutuhan khusus. Banyak ahli berpendapat bahwa
suatu alat peraga matematis dikatakan bermanfaat, jika dimaknai
bahwa penerapan karya cipta seseorang atau mahasiswa Program
Studi Pendidikan Matematika dalam membuat alat peraga
matematis, bila penerapan alat peraga matematis tersebut di SLB
cocok dengan Kompetensi Dasar (KD) yang berlaku di SLB,
mampu mempercepat daya serap siswa/anak berkebutuhan khusus
dalam mengikuti pelajaran matematika, dan mampu
menumbuhkan suasana pembelajaran yang cocok dan
menyenangkan (Joyful Learning) bagi siswa.
Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) memiliki hak yang
sama dengan anak-anak normal untuk mendapatkan pendidikan
yang standar, efektif, dan berkelanjutan. Pemerintah dan pihak
swasta juga sudah menyelenggarakan Sekolah Luar Biasa (SLB),
dari SDLB, SMPLB, SMALB, maupun Sekolah Inklusi yang satu
atau lebih, ada siswanya yang merupakan ABK.
Idealnya, ABK harus dapat melanjutkan pendidikannya
sampai jenjang SMA, bahkan ke perguruan tinggi. Kenyataannya,
hampir di semua SLB belum siap dengan pengadaan guru mata
pelajaran umum seperti Matematika, Kimia, atau pelajaran yang
lain, yang berbasis SLB terutama pada jenjang sekolah menengah
pertama dan menengah atas. Mahasiswa Pendidikan Matematika
Universitas Negeri Semarang sebenarnya cukup banyak yang
[3]
berminat untuk menjadi guru matematika di SLB pada jenjang
SMP atau SMA. Namun, fasilitas, prasarana, sarana, dan
regulasinya belum memungkinkan untuk menghasilkan guru-guru
matematika untuk ABK.
Dengan demikian, ada gap/jurang pemisah antara
kebutuhan nyata di lapangan dengan fakta yang ada di perguruan
tinggi. SLB membutuhkan guru-guru matematika yang
profesional di bidang materi pelajarannya, tapi juga menguasai
kebutuhan dan karakteristik ABK dalam pembelajarannya. Di lain
pihak, perguruan tinggi khususnya Pendidikan Matematika
FMIPA UNNES belum ada regulasi untuk menghasilkan guru
matematika yang siap mengajar di SLB atau sekolah inklusif
dengan segala konsekuensinya.
Unsur kebaruan yang ditemukan melalui uraian pada
Buku Panduan ini ini adalah menemukan cara untuk
memunculkan dan menumbuhkan kompetensi Imajinasi Berpikir
Matematis bagi mahasiswa Pendidikan Matematika dalam
menciptakan Alat Peraga bagi ABK ke arah Joyful Learning
(pembelajaran yang menjadi tampak mudah dan menyenangkan),
melalui perancangan, pembuatan, dan penerapan alat peraga di
SLB dalam wadah ECT. Berdasarkan studi pendahuluan di SLB,
jenis alat peraga matematis yang dibutuhkan sangat banyak, salah
satunya adalah model alat peraga matematis berupa visual-auditif
multi fungsi.
Siswa di SLB perlu dan harus memberdayakan diri
potensi nalarnya dan daya serapnya dalam mempelajari
matematika. Guru di SLB wajib menjadi pendamping yang
mampu membawa siswanya dari berpikir mengingat sampai
memahami, serta memecahkan permasalahan yang komprehensif.
Kemampuan berpikir komprehensif akan menjadikan siswa SLB
terbiasa menghadapi sesuatu/masalah yang kompleks.
Menghadapi sesuatu/masalah yang kompleks ini membutuhkan
[4]
kemampuan berpikir komprehensif (Comprehensive Thinking
Skill). Siswa SLB yang mampu berpikir komprehensif diharapkan
akan dapat bersaing di dunia kerja yang kompetitif. Di era disrupsi
atau dikenal pula dengan era industri 4.0 seperti saat ini, mampu
berpikir saja tidak cukup melainkan harus mampu berpikir
komprehensif dalam menghadapi permasalahan sehari-hari yang
kompleks.
Mental kebergantungan siswa SLB yang lahir dari
ketidakmampuan berpikir komprehensif dalam menghadapi
realitas perlu dihilangkan. Semakin tumpul pikiran seseorang
akan semakin sulit menghadapi hidup. Sulit beradaptasi, sulit
mencari alternatif, dan buntu dalam melangkah merupakan
tantangan siswa SLB yang perlu dihilangkan. Guru SLB perlu
memanfaatkan alat peraga matematis, termasuk alat peraga
Visual-Auditif dan mengondisikan suasana pembelajaran yang
komprehensif dan agar pembelajaran menjadi bernuansa joyful
learning. Kemampuan mahasiswa Pendidikan Matematika untuk
menciptakan alat peraga matematis yang berupa visual-auditif
multi fungsi inilah yang dipakai sebagai alat pengungkap
tumbuhnya kompetensi Imajinatif Berpikir Matematis
Mahasiswa.
Kurikulum yang saat ini berlaku, memang menghendaki
agar siswa, tidak terkecuali siswa di SLB untuk mampu berpikir
komprehensif. Kemampuan berpikir komprehensif yang
diperkenalkan sejak dini di bangku SDLB akan berdampak positif
di kelak kemudian hari.
Hubungan antara pertumbuhan Imajinasi Berpikir
Matematis Mahasiswa dalam menciptakan Alat Peraga bagi ABK
agar siswa SLB Berpikir Komprehensif melalui Joyful Learning
berbasis Extra-Curriculum Training, digambarkan dalam Gambar
1.1. Skema pola pikir yang dikaji dalam Buku Panduan ini seperti
gambar berikut ini.
[5]
Penjelasan Skema:
1) Sasaran yang dituju adalah Pertumbuhan Imajinasi Berpikir
Matematis Mahasiswa dalam Menciptakan Alat Peraga bagi
ABK yang Spesifik, Visual-Auditif, Multi Fungsi agar
terbukti ABK mampu Berpikir Komprehensif.
2) Sarana dan prasarananya adalah diselenggarakannya Extra-
Curriculum Training tentang karakteristik pembelajaran
matematika di SLB, penulisan dan pembacaan kalimat dalam
huruf Braille dan Sistem Isyarat Bahasa Indonesia
(SIBI/BISINDO), lengkap dengan alat Riglet dan penunjang
lainnya.
3) Perlu pemodelan tentang pembelajaran di SLB dengan
memanfaatkan Alat Peraga yang sesuai dengan sifat ketunaan
siswanya. Bukan Alat Peraga Reguler yang diperuntukkan
bagi siswa-siswa normal.
4) Indikasi tumbuhnya Imajinasi Berpikir Matematis
Mahasiswa dalam menciptakan Alat Peraga bagi ABK, wajib
ditandai dengan:
[6]
a. terciptanya Alat Peraga bagi ABK oleh mahasiswa yang
alat peraganya harus Spesifik, Visual-Auditif, dan Multi
Fungsi bagi ABK yang bersekolah di SLB;
b. alat peraga harus applycable, yang terbukti bahwa alat
peraga yang dihasilkan mahasiswa benar-benar mampu
membuat siswa SLB Berpikir Komprehensif, melalui
pembelajaran yang tampak mudah dan menyenangkan
(Joyful Learning).
Pengalaman memecahkan masalah dalam kehidupan
memerlukan berpikir komprehensif kini menjadi sebuah
keharusan. Kecerdasan berpikir komprehensif kini menjadi
sebuah modal bagi siswa SLB dalam menghadapi kehidupan yang
jauh lebih kompleks pada masa depan. Berpikir komprehensif
adalah ciri manusia berkualitas karena ia berada pada puncak
kesadaran. Guru SLB, dapat memanfatkan penggunaan alat
peraga Visual-Auditif multi fungsi yang berbasis Joyful Learning.
Buku Pandu aini menguraikan pertumbuhan Imajinasi Berpikir
Matematis Mahasiswa melalui terciptanya Alat Peraga bagi ABK
agar Berpikir Komprehensif melalui Joyful Learning berbasis
Extra-Curriculum Training. Dengan demikian, penggunaan alat
peraga matematis karya produk imajinasi berpikir matematis
mahasiswa dalam menciptakan alat peraga Visual-Auditif multi
fungsi berbasis Joyful Learning wajib diterapkan di SLB dan perlu
dianalisis kemanfaatannya dalam untuk menumbuhkan berpikir
komprehensif bagi siswa SLB.
1.2 Identifikasi Permasalahan di SLB
Berdasarkan uraian pada Latar Belakang di atas, maka
identifikasi masalah yang dapat dihimpun adalah sebagai berikut.
1.2.1 Apakah mahasiswa Pendidikan Matematika dapat
menciptakan Alat Peraga Matematis bagi siswa SLB?
[7]
1.2.2 Bagaimana menumbuhkan Imajinasi Berpikir Matematis
mahasiswa Pendidikan Matematika dalam menciptakan
Alat Peraga bagi ABK yang mampu diterapkan di SLB
untuk menciptakan Joyful Learning?
1.2.3 Apakah mahasiswa Pendidikan Matematika dapat
melaksanakan kegiatan berbasis Extra-Curriculum
Training untuk memperkenalkan karakterisktik ABK dan
pembelajaran joyful learning di SLB, sehingga
mahasiswa mampu untuk menciptakan Alat Peraga bagi
ABK?
1.2.4 Bagaimana pola pertumbuhan Imajinasi dalam berpikir
matematis mahasiswa Pendidikan Matematika dalam
menciptakan Alat Peraga bagi ABK melalui kegiatan
berbasis Extra-Curriculum Training untuk pembelajaran
joyful learning di SLB?
1.2.5 Bagaimana dampak pola berpikir komprehensif
(Comprehensive Thinking Skill) siswa SLB pada mata
pelajaran matematika dengan Joyful Learning?
1.2.6 Bagaimana analisis dan pola berpikir komprehensif
mahasiswa yang berbasis pada kemampuannya dalam
menciptakan alat peraga bagi ABK untuk pembelajaran
matematika yang Joyful Learning?
1.3 Cakupan Masalah
Cakupan masalah terkait dengan kajian dalam Buku Panduan ini
adalah sebagai berikut.
1) Untuk menelusuri pola pertumbuhan Imajinasi Berpikir
Matematis Mahasiswa dalam menciptakan Alat Peraga
Matematis bagi ABK, maka cakupan masalah yang dikaji
secara teoretis meliputi kajian tentang pengertian imajinasi,
imajinasi berpikir matematis, dan indikator-indikator
pertumbuhannya.
[8]
2) Kajian teoretis tentang karakteristik ABK dan pembelajaran
di SLB juga menjadi lingkup kajian untuk dibahas secara
mendalam.
3) Selanjutnya, ruang lingkup materi untuk berpikir
Komprehensif agar ada kesamaan persepsi, maka
pembahasan tentang berpikir komprehensif juga dikaji secara
teoretis. Cakupan masalah yang terkait dengan berpikir
komprehensif inipun juga merupakan tolok ukur
kebermanfaatan suatu alat peraga matematis yang dihasilkan
oleh mahasiswa.
4) Lingkup bahasan berikutnya adalah kajian tentang Alat
Peraga dan Alat Peraga Matematis, khususnya yang
digunakan dalam pembelajaran di SLB. Cakupan masalahnya
meliputi karakteristik alat peraga bagi ABK yang sekolah di
SLB yang jelas berbeda dengan alat peraga yang digunakan
untuk sekolah reguler.
5) Cakupan masalah tentang Joyful Learning, bidang kajiannya
mencakup pengamatan dan menganalisis proses tumbuhnya
Joyful Learning. Tumbuhnya Joyful Learning dalam proses
pembelajaran pada saat menerapkan Alat Peraga Matematis
ciptaan mahasiswa sebagai perwujudan tumbuhnya Imajinasi
Berpikir Matematis Mahasiswa inipun, juga merupakan tolok
ukur kebermanfaatan suatu alat peraga matematis yang
dihasilkan mahasiswa.
1.4 Pertanyaan Terkait Pertumbuhan Imajinasi Berpikir
Matematis
Berdasarkan latar belakang masalah dan skema hubungan
antara pertumbuhan Imajinasi Berpikir Matematis Mahasiswa
dalam menciptakan Alat Peraga bagi ABK agar Berpikir
Komprehensif melalui Joyful Learning berbasis Extra-
Curriculum Training yang sudah diuraikan di atas, maka
[9]
pertanyaan yang perlu dijawab, dijabarkan secara terperinci
seperti yang diuraikan berikut ini.
1.4.1 Bagaimana pola pertumbuhan Imajinasi berpikir
matematis mahasiswa Pendidikan Matematika dalam
menciptakan Alat Peraga bagi ABK melalui kegiatan
berbasis Extra-Curriculum Training untuk pembelajaran
joyful learning di SLB?
1.4.2 Bagaimana pola berpikir komprehensif (Comprehensive
Thinking Skill) siswa SLB pada mata pelajaran
matematika dengan Joyful Learning?
1.4.3 Bagaimana analisis dan pola berpikir komprehensif
mahasiswa yang berbasis pada kemampuannya dalam
menciptakan alat peraga bagi ABK untuk pembelajaran
matematika yang Joyful Learning?
[10]
Berikut ini, diuraikan kajian-kajian teori yang mendasari
pemikiran pada Buku Panduan ini. Teori yang dikaji antara lain
tentang Imajinasi Berpikir Matematis pada mahasiswa, berpikir
komprehensif bagi mahasiswa, kajian tentang ABK dan
karakteristiknya, kajian tentang SLB dan pembelajarannya, kajian
tentang Alat Peraga Matematis secara umum, kajian tentang Alat
Peraga Matematis yang dapat diterapkan di SLB, dan berpikir
komprehensif bagi siswa SLB.
2.1 Imajinasi Berpikir
2.1.1 Imajinasi Berpikir Matematis Mahasiswa
Imajinasi Berpikir Matematis perlu ditumbuhkan di
kalangan mahasiswa, khususnya mahasiswa pada Program Studi
Pendidikan Matematka. Menurut para ahli, tanpa imajinasi
berpikir matematis sulit untuk mengonseptualisasikan geometri,
pembelajaran matematika, pendesainan dan pembuatan Alat
Peraga Matematis, atau mengaitkan terapan-terapan matematika
dalam ilmu pengetahuan yang lain. Tanpa imajinasi itu sangat
memegang peranan penting dalam konteks pembangunan budaya
suatu bangsa. Dikatakannya bahwa, bangsa Mesir tidak akan dapat
membangun piramida tanpa didahului dengan munculnya
imajinasi.
Dengan imajinasi, orang-orang seperti Bill Gates dan
Steve Jobs, yang mampu membayangkan bahwa suatu hari nanti
terdapat komputer/laptop di setiap rumah, dan kini telah terwujud
yang tak terbayangkan oleh umumnya orang pada waktu itu. Jelas,
imajinasi dan pengetahuan tidak dapat dipisahkan. Demikian juga
dengan Imajinasi Berpikir Matematis.
BAB II
KAJIAN TEORETIK TENTANG
PERTUMBUHAN IMAJINASI BERPIKIR
MATEMATIS MAHASISWA
[11]
Berikut ini, disajikan pengertian imajinasi berpikir dari
beberapa ahli yang mengupas pengertian imajinasi berpikir.
2.1.1.1 Imajinasi berpikir adalah daya pikir untuk
membayangkan (dalam angan-angan) atau dalam
menciptakan karya (bisa berbentuk lukisan, karangan,
bentuk matematis, dan sebagainya) berdasarkan
kenyataan yang ada atau berdasarkan pengalaman
seseorang secara umum.
2.1.1.2 Imajinasi berpikir adalah hasil ciptaan seseorang yang
bersifat individu yang menyangkut refleksi diri,
perasaan, dan pikiran sendiri. Dengan demikian,
imajinasi berpikir ini merupakan pikiran kreatif atau
kekuatan pikiran seseorang untuk menemukan. Temuan
bisa berupa karya bahasa, matematis, atau karya real
berupa lukisan atau lainnya.
2.1.1.3 Imajinasi berpikir adalah proses kognitif matematis dan
non-matematis, abstrak maupun real yang merupakan
kegiatan mental yang kompleks di mana unsur-unsur
dalam kegiatan mental tersebut lepas dari sensasi
indrawi. Imajinasi berpikir melibatkan secara terpadu
aspek-aspek dari ingatan, kenangan, atau pengalaman
menjadi suatu konstruksi mental yang berbeda dari masa
lalu dan menjadi realitas baru di masa sekarang, atau
bahkan antisipasi realitas di masa yang akan datang.
Berdasarkan pendapat-pendapat ahli di atas, maka
penulis dapat menarik kesimpulan bahwa imajinasi berpikir
umumnya dianggap sebagai salah satu dari fungsi mental yang
lebih tinggi untuk menemukan hal yang baru. Imajinasi berpikir
dapat diasosiasikan juga sebagai fantasi, angan-angan, ide tentang
produk, atau bentuk pemecahan masalah secara orisinal yang
kreatif dan berbeda dari biasanya.
[12]
Bila imajinasi berpikir ini dikaitkan dengan pemikiran
yang bersifat matematika, maka imajinasi berpikir ini disebut
sebagai Imajinasi Berpikir Matematis. Ada kata-kata yang
terkenal dari Albert Einstein seorang ahli pikir bidang Matematika
dan Fisika. Menurut Eistein, Thinking Imagination is more
important than knowledge. For knowledge is limited to all we now
know and understand, while imagination embraces the entire
world, and all there ever will be to know and understand.
Pendapat penulis ini sesuai pula dengan ahli lainnya
yang menulis bahwa munculnya imajinasi berpikir matematis
memerlukan kreativitas. Imajinasi dan kreativitas sangat
dibutuhkan di masa depan. Perlu dikuasai mahasiswa calon guru.
Guru pelajaran matematika di masa depan dituntut untuk memiliki
Imajinasi Berpikir Matematis untuk meningkatkan kualitas
pembelajarannya.
Berikut ini, disajikan indikator-indikator tumbuhnya
kompetensi Imajinasi Berpikir Matematis yang dikemukakan oleh
beberapa pendapat ahli yang mengupasnya. Di antaranya adalah
sebagai berikut.
2.1.1.4 Ada ahli yang menulis bahwa untuk memunculkan
Imajinasi Berpikir Matematis, indikatornya perlu
produk yang bersifat: (1) fluency, yaitu kemampuan
untuk menghasilkan produk matematis yang
mengilhami banyak gagasan; (2) fleksibility, yaitu
kemampuan untuk menghasilkan produk guna
menyelesaikan masalah matematis dengan berbagai
macam cara atau pendekatan; (3) originality, yaitu
kemampuan mengemukakan gagasan dari dirinya
sendiri dan dengan caranya sendiri; (4)
elaboration (lengkap), yaitu produk matematis yang
dihasilkan memiliki manfaat untuk diterapkan guna
[13]
membantu menjelaskan sesuatu secara detail; (5)
redefinition, yaitu produk yang dihasilkan dapat
digunakan untuk melihat suatu masalah matematis
berdasarkan sudut pandang yang berbeda dengan apa
yang sudah ditemukan orang lain.
2.1.1.5 Ahli lain menulis bahwa untuk memunculkan imajinasi
berpikir matematis, indikatornya perlu produk yang
bersifat: (1) flexibility, artinya produk imajinasi
matematisnya mampu diterapkan guna membantu
dalam menyelesaikan suatu masalah matematis yang
memiliki banyak strategi berbeda dalam
penyelesaiannya, (2) fluency, artinya produk imajinasi
matematisnya mampu diterapkan guna menghasilkan
jawaban benar yang berbeda, (3) novelty, yakni
memiliki karya matematis yang bersifat baru.
2.1.1.6 Ada ahli lain yang menulis bahwa untuk memunculkan
imajinasi berpikir matematis, indikatornya perlu
produk yang bersifat: (1) transformation, pola pikir
secara analogi dalam soal matematika atau
pembelajarannya, misalnya dimulai dari melihat model
suatu Alat Peraga Matematis dan kemudian
mengembangkannya; (2) crystallization, merupakan
representasi dari kemampuan individu secara
asli/orisinal; (3) elaborasi, produk matematis yang
dihasilkan dari pemikirannya utuh, lengkap, dan dapat
diterapkan. (4) exploration, menggali temuan-temuan
baru, (5) intuition, menggunakan intuisi menuju ke
target matematis; (6) novelty,ada unsur kebaruan; (7)
production, ada produk matematis yang dihasilkan; (8)
sensibility, yang prosesnya dikerjakan dengan cara
yang beda dari cara biasa yang standar.
[14]
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis memilih
menggunakan gabungan dari teori para ahli di atas, yakni perlu
produk berupa Alat Peraga Matematis yang original, fluency,
flexibility, novelty, elaboration, dan sesuai dengan kebutuhan
siswa SLB. Penulis juga memiliki pemikiran bahwa untuk
menumbuhkan Imajinasi Berpikir Matematis, ada banyak jalan
yang bisa ditempuh. Untuk pengungkap tumbuhnya Imajinasi
Berpikir Matematis mahasiswa Pendidikan Matematika, penulis
sebagai dosen di Program Studi Pendidikan Matematika memilih
munculnya produk berupa Alat Peraga Matematis bagi siswa SLB,
yang dibuat oleh mahasiswa berdasarkan imajinasi berpikir
matematisnya. Mahasiswa Pendidikan Matematika yang dijadikan
Subjek Pengamatan penulis ini, sebelumnya tidak mengenal
karakteristik ABK dan pembelajaran matematika di SLB. Jadi,
keberadaan Alat Peraga Matematis yang dibuat, diduga benar-
benar muncul karena didahului dengan tumbuhnya Imajinasi
Berpikir Matematis dari para mahasiswa. Hasil pengamatan
penulis ini diharapkan mampu membuktikannya. Pertumbuhan
Imajinasi Berpikir Matematis mahasiswa dicermati dan diamati
melalui tahapan sebagai berikut.
2.1.1.1 Mahasiswa yang berminat dengan pembelajaran di SLB,
diajak untuk mengikuti kegiatan pelatihan berbasis
Extra-Curriculum Training (ECT) yang konten
utamanya memuat materi tentang karakteristik ABK dan
pembelajarannya, pembelajaran yang Joyful Learning
bagi siswa SLB, Latihan Dasar penulisan Braile dan
Bahasa Isyarat, serta latihan pengenalan Alat Peraga
Matematis bagi siswa di SLB.
2.1.1.2 Ada produk Alat Peraga Matematis yang perlu dihasilkan
mahasiswa peserta ECT. Untuk menumbuhkan Imajinasi
Berpikir Matematis pada mahasiswa Pendidikan
Matematika, peneliti meminta agar mahasiswa mampu
[15]
menghasilkan karya orisinal sebagai perwujudan
Imajinasi Berpikir Matematisnya berupa Alat Peraga
Matematis bagi siswa SLB. Alat Peraga Matematis
yang dihasilkan tidak hanya sekedar Alat Peraga
Matematis seperti Alat Peraga yang pada umumnya
dipakai pada sekolah-sekolah reguler, melainkan alat
peraga yang memiliki peran bermakna/signifikan bagi
ABK yang sekolah di SLB, yang menunjukkan
pemikiran menyeluruh atau komprehensif dari seorang
mahasiswa yang telah tumbuh Imajinasi Berpikir
Matematisnya.
2.1.1.3 Wujud kebermaknaan Alat Peraga Matematis bagi siswa
SLB yang dihasilkan mahasiswa Pendidikan Matematika
peserta ECT yang menunjukkan pemikiran
komprehensifnya ini, ditandai dengan aspek-aspek
berikut:
2.1.1.3.1 Alat Peraga Matematis yang dihasilkan
sesuai dengan Kompetensi Dasar yang ada
pada Kurikulum SLB yang berlaku, yaitu
Kurikulum 2013 revisi terakhir.
2.1.1.3.2 Alat Peraga Matematis bagi siswa SLB
yang dihasilkan mampu menumbuhkan
suasana Joyful Learning jika diterapkan di
SLB.
2.1.1.3.3 Alat Peraga Matematis bagi siswa SLB
yang dihasilkan mampu meningkatkan
daya serap siswa SLB dalam belajar
matematika.
2.1.1.3.4 Alat Peraga Matematis bagi siswa SLB
yang dihasilkan bisa digunakan oleh guru
dan siswa di SLB, sesuai dengan
karakteristik ketunaannya. Ini berarti,
[16]
penggunaan Braile atau Bahasa Isyarat
menjadi pendukung penting bagi
penerapan Alat Peraganya itu sendiri.
2.1.1.3.5 Alat Peraga Matematis ini mampu
mengajak siswa SLB berpikir
komprehensif pula yang ditandai dengan:
(1) setelah siswa SLB djelaskan guru
tentang penggunaan Alat Peraganya, siswa
bisa menggunakannya tanpa bantuan guru
lagi, (2) siswa bisa menggunakan Alat
Peragannya untuk mengerjakan soal-soal
sendiri yang sejenis, dan (3) siswa
akhirnya mampu menyelesaikan soal-soal
yang sejenis, tanpa bantuan guru dan tanpa
bantuan Alat Peraganya lagi.
Untuk memunculkan Imajinasi Berpikir Matematis
melalui karya dengan menciptakan alat peraga bagi ABK yang
didahului dengan kegiatan Extra-Curriculum Training ini, maka
indikatornya:
(1) Alat Peraga yang dihasilkan merupakan Alat Peraga yang
baik dan memenuhi persyaratan sebagai Alat Peraga
Pembelajaran.
(2) Alat Peraga yang dihasilkan merupakan Alat Peraga yang
dapat menunjang pada pencapaian Kompetensi Dasar (KD)
pada Kurikulum yang berlaku, yaitu Kurikulum 2013 edisi
revisi.
(3) Novelty, yaitu munculnya imajinasi atau ide/angan yang
ditandai dengan dihasilkannya alat peraga yang berbeda
dengan apa yang sudah ditemukan orang lain, yakni
gabungan antara exploration, redefinition, dan sensibility.
[17]
(4) Fluency pada Alat Peraga, yaitu jika alat peraga yang
dihasilkan mahasiswa memiliki manfaat yang dapat
digunakan untuk menjelaskan beberapa materi yang berbeda.
(5) Flexibility pada Alat Peraga, yaitu jika beberapa alat peraga
yang dihasilkan mahasiswa dapat dimanfaatkan untuk
menjelaskan sebuah materi.
(6) Originality, yaitu mahasiswa memiliki kemampuan untuk
menghasilkan alat peraga sebagai karya sendiri yang mandiri,
yakni gabungan dari transformation dan crystallization.
(7) Alat peraga yang dihasilkan mampu menumbuhkan Joyful
Learning bila diterapkan di SLB.
(8) Alat peraga yang dihasilkan mampu menumbuhkan berpikir
komprehensif siswa SLB bila Alat Peraga tersebut diterapkan
di SLB. Artinya, di tahap berikutnya siswa ABK mampu
mengerjakan soal yang sejenis tanpa menggunakan bantuan
alat peraga lagi.
2.1.2 Model Alat Peraga Matematika yang Cocok bagi
ABK
Berikut ini disajikan contoh produk alat peraga matematis
bagi ABK yang diharapkan dapat menjadi pemodelan bagi alat
peraga ciptaan dan buatan mahasiswa. Pembuatan dan
pemanfaatan Alat Peraga ini dilatihkan secara tatap muka melalui
kegiatan berbasis Extra-Curriculum Training yang dilaksanakan
jauh sebelum ada Pandemi Covid-19.
[18]
Perhatikan Gambar 2.1 dan Gambar 2.2 di atas.
Abakus Bilangan
Nama Alat Kegunaan Sasaran
Abakus
Bilangan
1. Menjelaskan konsep
bilangan
1. Tuna grahita
2. Tuna rungu
3. Tuna daksa
4. Autis
5. Tuna netra
2. Penjumlahan
bilangan buat
1. Tuna grahita
2. Tuna rungu
3. Tuna daksa
4. Autis
5. Tuna netra
Penerapannya pada anak Tunanetra di SLB tampak pada Gambar 2.3 di
bawah ini.
[19]
Gambar 2.3: Pemanfaatan Abakus Bilangan bagi siswa Tunagrahita
2.1.3 Kegiatan Extra-Curriculum Training bagi
Mahasiswa
Kegiatan Extra-Curriculum Training bagi mahasiswa
adalah suatu kegiatan semi perkuliahan yang dilaksanakan di luar
kegiatan perkuliahan formal terjadwal. Karena pelaksanaannya di
luar kegiatan perkuliahan formal terjadwal, maka kegiatan ini
dapat disebut sebagai pelatihan ekstra-kurikuler (Extra-
Curriculum Training). Kegiatan belajar dari sumber informal
yang terjadi dalam pelatihan ekstra-kurikuler atau di lingkungan
out-of-study telah terbukti efektif dan mampu memotivasi
pesertanya.
Selanjutnya, out-of-study membuat lingkungan belajar
akan berguna terutama untuk mahasiswa, baik karena pendekatan
manipulasi alat praktik-berorientasi dan dikontekstualisasikan
penalaran. Bukan dikaitkan dengan pemikiran semata atau sekedar
simbol manipulasi.
Ada ahli yang mengatakan bahwa pelatihan sangat
diperlukan agar guru atau calon guru memiliki kemampuan untuk
mengembangkan profesi dan memiliki kualitas tinggi dalam
proses pembelajaran yang diperlukan bagi siswa. Sedangkan ahli
lainnya menyatakan bahwa materi pelatihan sebaiknya yang
[20]
sangat bermanfaat bagi guru dan siswa yang dihadapi serta harus
sesuai dengan kebutuhan terkini. Jika yang dihadapi adaah ABK
maka materi yang terkait dengan pembelajaran ABK layak untuk
dipelajari dan dilatihkan.
Dalam penelitian ini, kegiatan pelatihan berupa Extra-
Curriculum Training diisi dengan pemberian materi dan latihan
intensif tentang karakteristik ABK yang bersekolah di SLB dan
pembelajarannya, cara membuat dan cara membaca huruf serta
angka Braille, pengenalan Bahasa Isyarat, mengajarkan
matematika di SLB dengan menggunakan lambang Braille,
menciptakan dan membuat alat peraga matematis yang akan
digunakan untuk ABK yang sekolah di SLB atau di sekolah
inklusi, kajian tentang Joyful Learning di SLB, dan peran guru di
SLB. Dengan alat peraga matematis buatan mahasiswa sebagai
produk wujud Imajinasi Berpikir Matematis ini, diharapkan
materi pelajaran matematika menjadi tampak mudah dan
menyenangkan (Joyful Learning) bagi ABK.
Terkait dengan Joyful Learning, Joy, menurut Kamus
Oxford English, digambarkan sebagai emosi atau perasaan
senang. Kata sifat sukacita adalah menyenangkan yang juga
menggambarkan semacam perasaan, mengekspresikan dan
menyebabkan rasa senang. Ini berarti, proses pembelajaran
matematika bagi ABK yang memanfaatkan alat peraga terjadi
"dalam suasana yang menyenangkan dan matematika menjadi
tampak mudah". Proses belajar atau pengalaman belajar bisa
membuat siswa SLB atau di sekolah inklusi merasa senang.
Sebuah persepsi pembelajaran yang menyenangkan ternyata
memiliki pengaruh positif terhadap motivasi belajar siswa.
2.1.4 Pertumbuhan Berpikir Komprehensif Mahasiswa
2.1.4.1 Pengertian Berpikir Komprehensif
Berpikir Komprehensif adalah suatu
pemikiran lanjutan yang bersifat menyeluruh
[21]
kepada semua aspek yang mungkin terkait
dengan pemikiran utamanya. Contoh pemikiran
komprehensif, misalnya seorang guru akan
mengajar, maka pemikiran utamanya tentang
akan mengajar perlu dikaitkan juga dengan
aspek-aspek yang terkait dengan kegiatan
mengajarnya, seperti perlunya memikirkan
apakah RPP sudah dibuat, apakah materi ajarnya
sudah dipelajari, apakah yang akan ditanyakan
kepada siswanya, kapankah siswa akan
diberikan ulangan, dan sebagainya.
2.1.4.2 Penanda Adanya Pemikiran Komprehensif
Mahasiswa
Pada Buku Panduan ini, fokus utamanya
adalah menganalisis pertumbuhan Imajinasi
Berpikir Matematis mahasiswa melalui
kemampuan mahasiswa untuk mewujudkan
imajinasinya dalam merancang dan membuat
Alat Peraga Matematis bagi ABK yang
bersekolah di SLB. Namun, Alat Peraga
Matematis yang dihasilkannya, haruslah
memiliki kebermaknaan. Kemampuan
mahasiswa untuk memikirkan kebermaknaan
Alat Peraga Matematis yang dibuatnya, berarti
mahasiswa telah berpikir secara komprehensif
tentang Alat Peraga Matematis yang dibuatnya.
Wujud kebermaknaan Alat Peraga
Matematis bagi siswa SLB yang dihasilkan
mahasiswa Pendidikan Matematika peserta ECT
yang menunjukkan pemikiran komprehensifnya
ini, ditandai dengan aspek-aspek berikut:
[22]
1) Alat Peraga Matematis yang dihasilkan
harus memiliki kecocokan atau kesesuaian
dengan Kompetensi Dasar yang ada pada
Kurikulum SLB yang berlaku, yaitu
Kurikulum 2013 yang sudah direvisi.
2) Alat Peraga Matematis bagi siswa SLB hasil
Imajinasi Berpikir Matematis yang
dihasilkan harus mampu menumbuhkan
suasana Joyful Learning jika diterapkan di
SLB.
3) Alat Peraga Matematis bagi siswa SLB hasil
Imajinasi Berpikir Matematis yang
dihasilkan harus mampu meningkatkan daya
serap siswa SLB dalam belajar matematika.
4) Alat Peraga Matematis bagi siswa SLB hasil
Imajinasi Berpikir Matematis yang
dihasilkan harus bisa digunakan oleh guru
dan siswa di SLB, sesuai dengan
karakteristik ketunaannya.
5) Jika Alat Peraga Matematis ini diterapkan di
SLB, harus mampu mengajak siswa SLB
berpikir komprehensif pula. Kajian tentang
berpikir komprehensif bagi siswa SLB
dibahas pada uraian berikutnya.
2.1.5 Sekolah Luar Biasa dan Pendidikan Inklusif
Pada saat ini perkembangan dunia pendidikan telah
berkembang dengan pesat, hal ini dapat dilihat dari paradigma
pendidikan yang berubah. Perubahan paradigma ini ditandai
dengan adanya perubahan kurikulum pendidikan. Perubahan ini
juga berdampak pada pelayanan pendidikan bagi Anak
Berkebutuhan Khusus (ABK). Hal ini sesuai dengan Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang
[23]
Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), Bab IV Pasal 5 Ayat (1)
yang menyatakan bahwa setiap warga negara mempunyai hak
yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. Dengan
demikian seluruh warga negara memiliki hak yang sama, tidak
membedakan fisik, suku, agama, dan lain-lain untuk memperoleh
pendidikan yang bermutu. Jadi, bagi anak-anak yang mengalami
kelainan fisik, mental, emosi, dan sosial (anak-anak berkebutuhan
khusus), berhak untuk memperoleh pendidikan yang bermutu.
Tercantum pula pada Pasal 32 Ayat 1 UU RI Nomor 20 Tahun
2003, yang menyatakan bahwa Pendidikan Khusus merupakan
pendidikan bagi siswa yang memiliki tingkat kesulitan dalam
mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional,
mental, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat
istimewa.
Sistem layanan pendidikan bagi ABK dapat dilakukan
secara segregasi dan integrasi/terpadu. Sistem pendidikan
segregasi adalah sistem pendidikan yang terpisah dari sistem
pendidikan anak normal. Pendidikan ABK melalui sistem
segregasi maksudnya adalah penyelenggaraan pendidikan yang
dilaksanakan secara khusus dan terpisah dari
penyelenggaraan pendidikan untuk anak normal. Dengan kata
lain anak berkebutuhan khusus diberikan layanan pendidikan pada
lembaga pendidikan khusus untuk anak berkebutuhan khusus,
seperti Sekolah Luar Biasa (SLB) dalam jenjang Sekolah Dasar
Luar Biasa (SDLB), Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa
(SMPLB), dan Sekolah Menengah Atas Luar Biasa (SMALB).
Bentuk layanan pendidikan integrasi/terpadu adalah sistem
pendidikan yang memberikan kesempatan kepada anak
berkebutuhan khusus untuk belajar bersama-sama dengan anak
normal belajar dalam satu atap yang dikenal dengan Pendidikan
Inklusif. RPP dan Kurikulum pada pendidikan Inklusif juga sama
dengan yang dikenakan pada sekolah reguler biasa. Sistem
[24]
pendidikan integrasi disebut juga sistem pendidikan terpadu yakni
sistem pendidikan yang membawa anak berkebutuhan khusus
kepada suasana keterpaduan dengan anak normal. Keterpaduan
tersebut dapat bersifat menyeluruh, sebagian, atau keterpaduan
dalam rangka sosialisasi. Pada sistem keterpaduan secara penuh
atau sebagian, jumlah anak berkebutuhan khusus dalam satu kelas
maksimal 10% dari jumlah siswa keseluruhan. Selain itu dalam
satu kelas hanya satu jenis ketunaan. Hal ini untuk menjaga agar
beban guru kelas tidak terlalu berat, dibanding jika guru harus
melayani berbagai macam ketunaan.
Pelajaran matematika sering disebut pelajaran yang sukar,
apalagi bagi anak-anak berkebutuhan khusus. Oleh karena itu,
penulis sebagai dosen di Program Studi Pendidikan Matematika
UNNES tertarik melakukan kajian tentang cara memunculkan
imajinasi dalam berpikir matematis bagi mahasiswa Pendidikan
Matematika dalam menciptakan Alat Peraga bagi ABK melalui
kegiatan berbasis Extra-Curriculum Training.
Dengan demikian, kegiatan pelatihan dan pendampingan
untuk menciptakan alat-alat peraga bagi ABK melalui kegiatan
berbasis Extra-Curriculum Training kepada mahasiswa
Pendidikan Matematika FMIPA UNNES ini perlu dilaksanakan.
Selanjutnya, produk imajinasi dalam berpikir matematis bagi
mahasiswa Pendidikan Matematika dalam menciptakan Alat
Peraga bagi ABK melalui kegiatan berbasis Extra-Curriculum
Training akan diteliti untuk pengungkap tumbuhnya Imajinasi
Berpikir Matematis.
2.1.6 Sekilas Sejarah SLB di Indonesia
Sekolah Luar Biasa di Indonesia dapat ditelusuri sampai
dengan awal abad XX. Sekolah Luar Biasa dimulai atas inisiatif
Dr. C.H.A. Westhoff, yang pada tahun 1901 membuka sebuah
lembaga untuk penyandang tuna netra yang pertama di Indonesia,
bertempat di Kota Bandung. Layanan yang diberikan, khususnya
[25]
kepada penyandang tunanetra yaitu masih berupa penampungan
dan latihan kerja dalam bentuk sheltered workshop (bengkel kerja
terbimbing).
Realisasinya, pada tanggal 6 Agustus 1901 didirikan
Yayasan Perbaikan Nasib orang-orang buta (Rumah Buta). Dr.
C.H.A. Westhoff adalah seorang dokter mata berkebangsaan
Belanda. Di tengah kesibukannya, Dr. C.H.A. Westhoff berusaha
menyampaikan gagasannya ke berbagai pihak. Saat itu, yakni
pada tahun 1901, jumlah penyandang tunanetra di Hindia Belanda
(Indonesia) sangat besar. Vereniging tot Vernetering van het lot
der Blinden in Nederlandsch Oost1Indie (Yayasan Perbaikan
Nasib Orang Buta di Nusantara) ini mendapatkan izin dari
pemerintah Belanda pada saat itu dengan keluarnya Surat
Keputusan Pemerintah Nomor 9 tanggal 6 Agustus 1901 oleh
Gubernur Jendral W.Roosemboom. Realisasi kegiatannya di
mulai sejak 16 September 1901 dengan dibukanya Bandoengsch
Blinden Instituut di bawah pimpinan J.W. Van der Zanden.
Kegiatannya di mulai di Tjitjendoweg (Jalan. Cicendo) dengan
dua orang siswa yang bernama Johana Everdina dan Albert
Bogehof van der Berg. Ternyata siswa-siswanya, semakin
bertambah, sehingga pada bulan Mei 1902, tempat kegiatannya
dipindahkan ke tempat yang lebih luas di Bragaweg (Jalan Braga).
Dengan tujuan memberi bekal pengetahuan dan keterampilan
untuk mengurangi ketergantungannya, kemudian dibuka bengkel
(Workshop). Sementara para pengurusnya aktif melakukan
kampanye dan penyuluhan mengenai pencegahan kebutaan.
Berkat kesungguhan usaha para pengurusnya, bantuan-bantuan
mulai berdatangan. Bantuan diterima dari negeri Belanda, Raja
Muangthai (Thailand), dan pemerintah jajahan. Usaha dr.
Wosthoff memerangi kebutaan dan penyantunan para penyandang
tuna netra kian berhasil. Dengan bantuan dari pemerintah
kemudian didirikan Koningin Wilhelmina-Ooglijder Gasthuis
[26]
yang merupakan cikal bakal dari rumah sakit mata Cicendo. Pada
tahun 1912, Dr. C. H. A. Westhoff meninggal dalam perjalanan
laut.
Selanjutnya, sekolah bagi anak Tunagrahita yang pertama
juga didirikan di kota Bandung pada tahun 1927. Pendiri sekolah
ini adalah Vereniging Bijzonder Onderwijs dengan promotornya
bernama Folker, sehingga sekolah ini diberi nama Folker School.
Pada tahun 1942, nama sekolah ini diganti menjadi Perkumpulan
Pengajaran Luar Biasa.
Sedangkan sekolah bagi anak tuna rungu-wicara yang
pertama juga dibuka di Bandung pada tahun 1930, berdasarkan
Surat keputusan Nomor 34 Tahun 1930 sebagai tambahan Berita
Negara 1930-09. Pendiri sekolah ini adalah Ny. C.M. Roelfsema,
isteri seorang dokter ahli THT. Sekolah bagi anak tuna rungu-
wicara ini bernama Vereniging Voor Ondervijs an Doofstomme
Kinderen in Indonesia.
Pada saat yang hampir sama, sebuah sekolah khusus bagi
anak tuna rungu-wicara putri juga didirikan di kota Wonosobo
Jawa Tengah. Nama sekolah ini adalah Werk Voor Misdeelde
Kinderen in Nederlands host Indie yang pada tahun 1958 diubah
menjadi Yayasan Dana Uphakara. Sedangkan bagi anak tuna
rungu-wicara putra didirikan Bruder Karitae yang kemudian
diganti menjadi Yayasan Karya Bakti.
Perkumpulan Penyelenggaraan Pengajaran kepada anak-
anak Bisu-Tuli di Indonesia didirikan pada tanggal 3 Januari 1930
atas inisiatif Ny. CM Roelfsema Wesselink istri Dokter H.L
Roelfsema, seorang ahli THT di Indonesia. Pada waktu itu, di
kediaman Ny. CM Roelfsema Wesselink di Jln. Riau No. 20
Bandung didirikan sekolah dan asrama yang pertama dengan
jumlah siswa 6 orang. Kemudian pindah ke Oude Hosfitalweg No.
27 Bandung. Tidak lama kemudian didatangkan 2 orang guru ahli
[27]
dari Nederland yaitu D.W. Bloemink dan Nona E. Gudberg, yang
kemudian D.W. Bloemink diangkat menjadi Direktur.
Pada tahun 1942-1945 gedung sekolah dan asrama
dipergunakan oleh tentara Jepang (selama peperangan Jepang)
dan setelah peperangan Jepang berakhir, lembaga pendidikan
sekolah dan asrama dipergunakan untuk klinik bersalin. Namun,
kemudian pada tanggal 1 Juni 1949 gedung sekolah dan asrama
dikembalikan kepada perkumpulan, sehingga sekolah dan asrama
bisa diselenggarakan sebagaimana mestinya dan kemudian
Kementrian Pendidikan dan Pengajaran saat itu mendatangkan
guru ahli dari Nederland yaitu Jivan Dooran dan disusul oleh Van
Derbeek pada tahun 1949. Jivan Doorn diangkat menjadi Direktur
Lembaga LPATB (Lembaga Pendidikan Anak Tuli Bisu) pada
tahun 1950.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1950 yang
kemudian menjadi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1954,
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
menetapkan lembaga pendidikan untuk para penyandang cacat di
Indonesia, dengan nama Sekolah Luar Biasa (SLB). Selanjutnya,
SLB mulai berkembang hingga saat ini.
2.1.7 Lembaga Pemerintah yang Membawahi Pembinaan
SLB
Di Indonesia masih ditemukan Anak Berkebutuhan
Khusus dan Anak Penyandang Disabilitas. Pemerintah saat ini
membuka Sekolah Luar Biasa (SLB) dan Sekolah Inklusif, yang
pembinaannya di bawah Kemendikbud. Kenyataannya, Anak
Berkebutuhan Khusus dan Anak Penyandang Disabilitas banyak
yang ditolak di sekolah umum maupun sekolah Inklusif. Berbagai
pemasalahan-permasalahan yang melatarbelakangi antara lain
karena tenaga pendidik dan tenaga kependidikan yang belum
[28]
ramah anak, guru pendamping yang kurang, pembiayaan yang
mahal untuk penyediaan guru pendamping, Anak Penyandang
Disabilitas rentan mendapat bully dan lainnya. Anak
Berkebutuhan Khusus (ABK) dan para penyandang disabilitas
merupakan sosok pribadi yang spesial. Di balik kelemahan fisik,
mereka memiliki kelebihan yang luar biasa namun sering
menerima dampak dari kondisi sosial budaya dan kebijakan yang
belum ramah ABK/Disabilitas. Berbagai persoalan yang muncul
di permukaan antara lain masalah diskriminasi kebijakan,
diskriminasi perlakuan masyarakat, deharmonisasi keluarga,
bullying, eksploitasi, dan perlakuan salah lainnya.
Menurut Deputi Perlindungan Perempuan dan Anak
Kemenko PMK, perhatian masyarakat masih rendah terhadap
disabilitas. Anak disabilitas di Indonesia menurut data tahun 2020
lebih dari 14,5%. Banyaknya anak-anak down syndrome yang
tidak sekolah menjadi perhatian masyarakat semua. Ada 11,5%
dari total tersebut masih bisa dididik tetapi 3% dari anak-anak ini
tidak bisa dilatih atau dididik. Pemerintah saat ini concern
terhadap masalah disabilitas ini. Salah satunya dengan melatih
keluarga agar dapat turut melatih anak-anak yang terkena down
syndrome. Lebih lanjutnya, anak-anak disabilitas ini telah
dilindungi oleh UU 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak; UU
35 Tahun 2014, UU 8 Tahun 2016 tentang Penyandang
Disabilitas; Prinsip SDG’s “No One will be left Behind” dan ini
merupakan tanggung jawab Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah. Saat ini perhatian Pemerintah adalah bagaimana ketika
keluarganya sudah tiada. Pemerintah Pusat dan Daerah serta
masyarakat termasuk LSM harus bekerjasama supaya mendorong
mereka mandiri.
Berdasarkan peraturan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 9 tahun 2020 tentang
perubahan atas peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
[29]
Nomor 45 tahun 2019 tentang organisasi dan tata kerja
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, maka Kemdikbud,
memiliki Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini,
Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah yang terdiri atas:
a. Sekretariat Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini,
Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah;
b. Direktorat Pendidikan Anak Usia Dini;
c. Direktorat Sekolah Dasar;
d. Direktorat Sekolah Menengah Pertama;
e. Direktorat Sekolah Menengah Atas; dan
f. Direktorat Pendidikan Masyarakat dan Pendidikan Khusus,
yang memiliki kewenangan dalam tugas Pembinaan pada
SLB dan Sekolah Inklusif.
Direktorat Pendidikan Masyarakat dan Pendidikan Khusus
merupakan unit organisasi Direktorat Jenderal Pendidikan Anak
Usia Dini, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah di bidang
Pendidikan Keaksaraan, Pendidikan Kesetaraan, dan Pendidikan
Khusus. Direktorat Pendidikan Masyarakat dan Pendidikan
Khusus dipimpin oleh Direktur yang berada di bawah dan
bertanggung jawab kepada Direktur Jenderal.
Direktorat Pendidikan Masyarakat dan Pendidikan Khusus
mempunyai tugas melaksanakan perumusan kebijakan dan
standar, pelaksanaan kebijakan penjaminan mutu, penyusunan
norma, standar, prosedur, dan kriteria, fasilitasi penyelenggaraan,
pemberian bimbingan teknis dan supervisi, pemantauan, evaluasi,
dan pelaporan di bidang peserta didik, sarana prasarana, tata
kelola, dan penilaian pada pendidikan keaksaraan, pendidikan
kesetaraan, pendidikan khusus, pendidikan layanan khusus pada
Pendidikan Khusus (SLB), pendidikan inklusif, dan unit layanan
disabilitas pendidikan serta penyiapan pemberian izin
[30]
penyelenggaraan satuan pendidikan khusus yang diselenggarakan
perwakilan negara asing atau lembaga asing dan urusan
ketatausahaan Direktorat.
2.1.8 Kondisi Pembelajaran Matematika di SLB Masa
Kini
Proses pembelajaran matematika yang tematik, yang hanya
mengandalkan buku paket dan guru sebagai satu-satunya sumber
utama merupakan pengalaman yang sudah kurang sesuai dengan
perkembangan sekarang. Pemanfaatan big data sebagai sumber
belajar menjadi keniscayaan pembelajaran abad 21 sekarang ini,
termasuk pembelajaran di SLB. Pembelajaran yang berfokus
kepada materi penting, tetapi fokus kepada pengembangan
keterampilan belajar menjadi lebih penting. Hal ini merupakan
perubahan paradigma dalam pembelajaran, dari guru memberi
tahu, sekarang berubah guru mengajari mencari tahu. Siswa SLB
dalam belajar matematika harus dilatih agar mampu belajar
dengan cara melacak, menganalisis, mensintesis, mengubah,
mendekontruksi bahkan menciptakan, lalu membagikan
pengetahuan kepada orang lain, seperti siswa reguler. Fokus guru
SLB sebenarnya memberikan kesempatan siswa untuk
menghubungkan materi yang dipelajari dengan dunia nyata. Salah
satu pengaruh signifikan teknologi terhadap pembelajaran abad 21
sekarang ini adalah adanya kemudahan akses atau aksesibilitas
terhadap sumber belajar digital untuk memenuhi beragam
kebutuhan siswa.
Saat ini Indonesia dan dunia sedang terkena dampak
pandemi Covid-19. Hal ini berdampak pada sistem pembelajaran
matematika di sekolah termasuk SLB yang harus menggunakan
pembelajaran Daring. Sebenarnya, tidak ada pandemi Covid-19
pun, perubahan yang menonjol pada pembelajaran abad 21 di
antaranya adalah pembelajaran daring (dalam jaringan) atau
pembelajaran online dan pemanfaatan data sebagai sumber
[31]
belajar. Hal ini memberi konsekuensi pada fungsi dan peran guru
sebagai bagian dari merdeka belajar dan guru penggerak. Alat
peraga pembelajaran di SLB pun harus didesain agar dapat
disajikan dalam bentuk pembelajaran Daring/Online.
Fenomena perubahan pembelajaran abad 21 di era
Generasi Z ini yakni generasi yang lahir mulai tahun 1995, antara
lain pada setting ruang kelas. Dahulu saat duduk di bangku TK,
SD, SMP, maupun SMA, setting ruang kelas konvensional berisi
meja atau bangku, kursi, dan papan tulis yang terpampang di
depan kelas dengan sekotak kapur dan sebuah penghapus.
Perkembangan berikutnya hadir ruang kelas mungkin
menggunakan whiteboard dan spidol untuk menggantikan papan
tulis dan kapur. Alat peraga matematis manual, kini perlu didesain
ulang agar mampu disajikan guru SLB dalam pembelajaran
Daring. Berikutnya lagi bahwa setting ruang kelas sudah
menggunakan projektor LCD didukung laptop atau komputer
yang terhubung dengan jaringan internet, atau ruang-ruang kelas
multimedia yang dilengkapi papan tulis elektrik, komputer tablet,
smartphone, dan perangkat canggih lainnya yang dilengkapi pula
denan jaringan internet berkecepatan tinggi. Selanjutnya siswa
SLB secara bertahap perlu dilatih agar mampu hadir di kelas
virtual, yaitu pembelajaran jarak jauh berbasis online, yang
disebut kelas daring. Sekarang ini yang namanya kelas tidak harus
dibatasi tembok, adanya meja, kursi, papan tulis, dan lainnya.
Dalam pembelajaran matematika, menuntut guru SLB pada saat
ini untuk mengajarkannya secara kreatif, inovatif, dan tidak
gagap-teknologi dalam menyiapkan rancangan pembelajarannya.
2.1.9 Karakteristik Pembelajaran dengan Memanfaatkan
Alat Peraga
Fenomena lain di abad 21 ini, adalah adanya pergeseran
kebutuhan Sumber Daya Manusia (SDM) yang menggeser SDM
[32]
berketerampilan tingkat rendah (pekerjaan tangan) dengan
pekerjaan SDM berdaya kreativitas tinggi. Kreativitas adalah satu-
satunya kemungkinan bagi negara berkembang seperti Indonesia
untuk tumbuh sehingga, selaku guru SLB pada pembelajaran abad
21 perlu mengorientasikan pembelajaran untuk menghasilkan
siswa lulusan SLB yang juga berdaya kreativitas tinggi. Hal ini
lebih cepat tercapai manakala proses siswa SLB menjadi subjek
aktif mengonstruksi pengalaman belajar, berlatih berpikir tingkat
tinggi (HOTS), dan mengembangkan kebiasaaan mencipta (habit
creation). Orientasi-orientasi pembelajaran abad 21 harus
diwujudkan dalam bentuk berbagai keterampilan yang penting
dikuasai siswa, agar menjadi warga negara dan insan yang kreatif
dan produktif di abad 21.
Rancangan dan pelaksanaan pembelajaran yang
memanfaatkan Alat Peraga Matematis sehingga siswa SLB
merasa nyaman dan senang (Joyful Learning) dalam belajarnya
harus berorientasi pada keterampilan abad 21yang dikenal dengan
kompetensi 6C, yaitu kompetensi critical thinking, creativity,
collaboration, communication, citizenship, dan character. Untuk
menunjang keberhasilan tersebut, maka diperlukan ketersediaan
Alat Peraga Matematis bagi siswa SLB yang diharapkan
menjadikan siswa SLB memiliki kemampuan-kemampuan seperti
berikut.
1. Berpikir kritis dalam penyelesaian masalah (critical thinking
in problem solving). Alat peraga matematis diharapkan
mampu dalam menciptakan anak SLB berpikir kritis. Berpikir
kritis merupakan keterampilan yang diperlukan siswa SLB
untuk menghadapi kompleksitas tantangan sekarang dan yang
akan datang. Berpikir kritis merupakan proses berpikir siswa
yang meliputi kegiatan menganalisis, mensintesis
permasalahan untuk mendapatkan pemecahannya dan
menyimpulkan sesuai dengan ketunaannya.
[33]
Untuk memperoleh kemampuan seperti itu tentunya dalam
pembelajarannya guru SLB tidak sekedar menyampaikan
pengetahuan dan pemahaman saja, sudah seharusnya
memperhatikan pembelajaran berbantuan alat peraga
matematis yang menggunakan berpikir tinggi atau dikenal
dengan HOTS (Higher Order Thinking Skill). Pendekatan
Saintifik pada Kurikulum 2013 membiasakan siswa SLB
bertanya atau mempertanyakan sesuatu yang dipelajari.
2. Kreativitas dan inovasi (creativity and innovation). Kurikulum
2013 SLB memiliki tujuan mempersiapkan siswa SLB agar
memiliki kemampuan hidup sebagai pribadi yang beriman,
produktif, kreatif, inovatif, dan afektif (memiliki rasa kasih
sayang). Dalam implementasinya guru SLB dapat
menggunakan model-model pembelajaran dan Alat Peraga
Matematis yang dapat menguatkan saintifik. Misalnya model
pembelajaran berbasis masalah, model pembelajaran berbasis
penemuan, model pembelajaran berbasis projek, atau model
pembelajaran yang mengaitkan dengan Science, pendekatan
Technology, Engineering, Art, Mathematics (STEAM) yang
berbantuan alat peraga. Model-model tersebut dapat
mengembangkan kreativitas guru dan siswa. Kreativitas akan
melahirkan daya tahan hidup dan menciptakan nilai tambah
bagi siswa SLB sehingga mengurangi kebiasaan untuk
mengeksploitasi sumber daya alam, namun berusaha
menciptakan ekonomi kreatif berbasis pengetahuan dan
warisan budaya.
3. Keterampilan bekerjasama dan berkomunikasi dengan baik
atau sering dikenal dengan collaboration dan
communication. Kerja sama dan komunikasi merupakan dua
kompetensi yang sangat erat hubungannya, apalagi di era
globalisasi atau era tanpa batas sekarang ini. Untuk bisa
bekerjasama diperlukan berkomunikasi dengan baik. Maksud
[34]
dari komunikasi di sini adalah kemampuan berinteraksi
dengan seluruh manusia di mana pun, karena Abad 21 tidak
ada lagi sekat negara yang memisahkan. Jadi, setiap siswa SLB
harus mampu berbahasa Internasional dalam menghadapi
Abad 21. Guru harus mampu memfasilitasi siswa-siswa SLB
melalui kegiatan yang bersifat kolaboratif, kontekstual, dan
terintegrasi dengan masyarakat.
4. Kemampuan dan keterampilan pada Komputer dan Teknologi
Informasi dan Komunikasi (Computing and ICT) perlu
diberikan kepada siswa SLB. Dalam TIK mengandung
kemampuan untuk memformulasikan pengetahuan,
mengekpresikan diri secara kreatif dan tepat, serta
menciptakan dan menghasilkan informasi bukan sekedar
memahami informasi. Memiliki kemampuan TIK bagi siswa
SLB memiliki cakupan lebih luas dari sekedar tahu komputer.
Perubahan paradigma dari guru “memberi tahu” menjadi
“mencari tahu” diperlukan keterampilan guru dan siswa SLB
untuk menggunakan teknologi internet untuk mengakses
berbagai sumber belajar termasuk penggunaan Alat Peraga
Matematis. Kemampuan dan keterampilan guru dan siswa
SLB untuk dapat menggunakan informasi dari berbagai
sumber yang dikenal dengan digital literacy. Dengan
kemampuan digital literacy ini, siswa SLB tidak sekedar
memiliki kemampuan mengoperasikan tetapi diharapkan akan
memiliki kemampuan keterampilan komunikasi, literasi
matematis, dan media literasi. Ini sebuah tantangan.
Keterampilan komunikasi dimaksudkan agar siswa SLB dapat
menjalin hubungan dan menyampaikan gagasan dengan baik
secara lisan, tulisan, maupun non verbal. Literasi matematis
dimaksudkan agar siswa SLB dapat mempergunakan internet
secara efektif yakni memahami matematika, bagaimana cara
[35]
mengidentifikasi, bagaimana cara membuktikan, dan
menyelesaikan masalah matematis. Literasi media
dimaksudkan siswa SLB mampu memahami, menganalisis,
dan adanya dekonstruksi pencitraan media, ada kesadaran cara
media dibuat dan diakses sehingga tidak menelan mentah-
mentah berita dari media. Dengan demikian, diperlukan juga
Alat Peraga Matematis yang dikaitkan penggunaannya dengan
suatu aplikasi program komputer, sehingga siswa SLB mulai
terbiasa dengan penggunaan TIK saat mereka belajar.
5. Kemampuan dan keterampilan beradaptasi (adaptability).
Salah satu kemampuan dan tantangan siswa SLB abad 21 yang
penting adalah kemampuan beradaptasi (adaptability).
Perkembangan TIK yang pesat, memerlukan penyesuaian
peran dan peningkatan kompetensi guru dan siswa. Banyak
negara melakukan reformasi terhadap tujuan dan praktik
pendidikan akibat pengaruh perkembangan TIK dalam
berbagai bentuk inovasi pendidikan. Harapan terbesar dari
inovasi adalah kemauan guru dan siswa di semua jenjang
untuk secara sadar mau meningkatkan profesionalisme diri
secara berkelanjutan sehingga semakin mempertinggi mutu
pengalaman belajar siswa, khususnya siswa SLB. Guru
memiliki peran utama bukan sekedar melaksanakan reformasi
pendidikan, namun harus terlibat dalam merumuskan konsep
dan desain reformasi pendidikan yang diperlukan. Guru abad
21 perlu bertindak akademis dan mampu mengambil
keputusan-keputusan pedagogis saat melaksanakan tugas
utama. Kemampuan guru dan calon guru ini harus terus
dipelihara dan berkembang secara akumulatif memanfaatkan
pengalaman sebelumnya.
6. Kemampuan dan keterampilan citizenship, merupakan
kemampuan dan keterampilan guru SLB maupun calon-calon
guru SLB dalam menumbuhkan dan meningkatkan rasa
[36]
nasionalisme siswanya. Kemajuan TIK di abad 21 selain
berdampak positif ada dampak pengiring yang kurang baik,
misalnya turunnya rasa nasionalisme, muncul rasa
individualisme, turunnya sopan-santun, dan lain-lain. Oleh
karena itu, guru SLB dan calon guru SLB harus memiliki
keterampilan dalam mendoktrin kepada siswanya menjadi
warga negara yang baik dan bertanggungjawab, dengan cara
berkontribusi membangun watak siswanya agar tetap memiliki
jiwa nasionalisme yang tinggi dan merasa ikut memiliki masa
depan negara RI. Pada saatnya, mampu untuk ikut serta dalam
mensejahterakan masyarakat di negara ini. Apa yang terkadi
jika suatu negara terjadi krisis nasionalismenya? Maka banyak
masalah yang akan muncul dan akan merepotkan negara itu
sendiri.
7. Memiliki karakter/perwatakan (character) yang baik untuk
menjalani kehidupan dan karir (life and career skill) bagi siswa
SLB. Guru SLB harus mampu memahami karakter dan potensi
setiap siswa dan mengembangkan potensi dan karakter yang
baik tersebut dalam karir dan kehidupan. Setiap siswa SLB
mempunyai potensi yang berbeda–beda, guru SLB harus
mampu meningkatkan rasa percaya diri kepada siswa dalam
mengembangkan potensinya. Siswa SLB harus bisa dilatih
untuk berkarya dan berkarir di masyarakat di mana dunia kerja
memerlukan orang-orang yang mandiri, suka mengambil
inisiatif, pandai mengelola waktu, dan berjiwa kepemimpinan.
Siswa SLB perlu memahami tentang pengembangan karir dan
bagaimana karir seharusnya diperoleh melalui karakter untuk
kerja keras dan sikap jujur.
2.1.10 Karakteristik Pembelajaran Matematika di SLB
Agar mahasiswa Program Studi Matematika mampu
mendesain Alat Peraga Matematis bagi siswa SLB sebagai wujud
tumbuhnya Imaginasi Berpikir Matematisnya, maka mahasiswa
[37]
perlu mampu untuk mengidentifikasi dan mengakomodasi
kebutuhan belajar siswa SLB. Mahasiswa juga penting untuk
menemukenali karakteristik siswa SLB melalui ECT. Setelah
mahasiswa menemukenali karakteristik siswa SLB, maka
diharapkan dapat menciptakan alat peraga matematis yang sesuai
dengan karakteristik pembelajaran matematika ABK. Berkaitan
dengan hal tersebut, maka dalam merancang alat peraga
pembelajaran matematika, mahasiswa perlu memikirkan juga
pendekatan, strategi, metode, dan teknik pembelajaran yang sesuai
dengan alat peraga yang dibuatnya.
Perbedaan karakteristik pembelajaran di sekolah reguler dan
pembelajaran bagi ABK adalah setting pembelajaran yang harus
adaptif untuk semua ketunaan siswa SLB. Variabel adaptasi
sangat bergantung dari jenis dan tingkat karakteristik siswa SLB
khususnya berdasarkan ketunaan yang disandang, baik kelainan
fisik, emosi, sosial, dan intelektual. Adaptasi tersebut memiliki
empat tahap sebagai berikut:
1. Melakukan duplikasi/plagiasi alat peraga, artinya
mengambil seluruh bentuk dan model alat peraga dan
strategi pembelajaran pada anak ”normal” ke dalam
pembelajaran pada anak berkebutuhan khusus tanpa
melakukan perubahan, penambahan, dan pengurangan apa
pun. Untuk menumbuhkan Imajinasi Berpikir Matematis
mahasiswa, melakukan plagiasi seperti ini sangat tidak
dianjurkan.
2. Melakukan modifikasi, artinya melakukan adaptasi terhadap
bentuk dan model alat peraga matematis yang akan
digunakan untuk ABK. Sebagian atau keseluruhan bentuk
dan model alat peraga yang dipergunakan pada pembelajaran
anak “normal” diadaptasi sedemikian rupa sehingga baik
materi, medianya, dan strategi pembelajarannya sesuai
dengan karakteristik anak di SLB.
[38]
3. Melakukan substitusi, artinya mengganti bentuk dan model
alat peraga matematis yang berlaku pada pembelajaran anak
“normal”, agar dapat digunakan pada pembelajaran ABK di
SLB.
4. Melakukan omisi, artinya melakukan penghilangan bentuk
dan model alat peraga matematis tertentu yang berlaku pada
pembelajaran anak “normal” bagi ABK. Hal tersebut
dilakukan apabila ketiga prinsip di atas sudah tidak dapat
dilakukan, misalnya meniadakan warna, atau suara pada
alat peraga matematis tertentu, dan lain sebagainya.
2.1.11 Alat Peraga Matematis Berdasarkan pada
Ketunaannya
Berikut ini dikaji karakteristik alat peraga matematis
berdasarkan pada jenis ketunaan yang dialami siswa SLB. Pada
kajian ini didahului dengan kajian tentang siswa tunanetra,
tunagrahita, dan tunarungu. Karakteristik siswa di SLB berbeda-
beda, bergantung pada jenis ketunaannya.
Karakteristik Siswa Tunanetra
Siswa Tunanetra adalah individu siswa yang memiliki
hambatan dalam penglihatan. Tunanetra dapat diklasifikasikan ke
dalam dua golongan yaitu: buta total (Blind) dan Low Vision.
Definisi Tunanetra adalah individu yang memiliki lemah
penglihatan atau akurasi penglihatan kurang dari 6/60 setelah
dikoreksi atau tidak lagi memiliki penglihatan. Karena siswa
tunanetra memiliki keterbatasan dalam indra penglihatan maka
penggunaan Alat Peraga Matematis dalam proses
pembelajarannya menekankan pada alat indra yang lain yaitu
indra peraba dan indra pendengaran. Oleh karena itu, prinsip yang
harus diperhatikan dalam memberikan materi pembelajaran
berbantuan alat peraga matematis kepada individu Tunanetra
adalah alat peraga yang digunakan harus bersifat fisik dan
bersuara, contohnya adalah penggunaan tulisan Braille, gambar
[39]
timbul, benda model, atau benda nyata. Sedangkan alat peraga
matematis yang bersuara misalnya video pembelajaran.
Prinsip pembelajaran dengan menggunakan alat peraga
matematis untuk siswa Tunanetra agak berbeda
dengan pembelajaran untuk ketunaan yang lain. Bagi anak
tunanetra, untuk mengerti dunia sekelilingnya harus bekerja
dengan alat peraga berupa benda-benda konkret yang dapat diraba
atau yang dapat dimanipulasikan. Melalui observasi perabaan
benda-benda nyata, dalam tempatnya yang alamiah, mereka dapat
memahami bentuk, ukuran, berat, kekerasan, sifat-sifat
permukaan, kelenturan, suhu, dan sebagainya. Dengan menyadari
kondisi seperti ini, maka dalam proses pembelajaran yang
memanfaatkan alat peraga matematis, guru SLB perlu
semaksimal mungkin dapat menggunakan Alat Peraga Matematis
benda-benda konkret sebagai alat bantu atau media dan sumber
belajar untuk mencapai tujuan pembelajarannya.
Siswa Tunanetra menuntut penjelasan dan penjelajahan
secara langsung di lingkungan nyata. Prinsip ini menuntut guru
agar dalam proses pembelajaran tidak hanya bersifat informatif
akan tetapi semaksimal mungkin anak diajak ke dalam situasi
nyata sesuai dengan tuntutan tujuan yang ingin dicapai dan bahan
yang diajarkannya.
Karakteristik Siswa Tunagrahita
Anak tunagrahita adalah anak yang mengalami kelainan
dalam segi intelektual, sehingga inteligensi mereka di bawah rata-
rata. Akibatnya, dalam tugas-tugas akademik yang menggunakan
intelektual, mereka sering mengalami kesulitan. Dalam kegiatan
pembelajaran matematika berbantuan alat peraga, anak
tunagrahita membutuhkan kasih sayang yang tulus dari guru.
Guru yang mengajar pada siswa Tunagrahita hendaknya
berbahasa yang lembut, sabar, rela berkorban, dan memberi
contoh penggunaan alat peraga dengan baik, ramah, dan supel,
[40]
sehingga tumbuh kepercayaan dari siswa tunagrahita, yang pada
akhirnya mereka memiliki semangat untuk melakukan kegiatan
dan menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan guru.
Karakteristik Siswa Tunarungu
Karena memiliki hambatan dalam pendengaran individu
Tunarungu memiliki hambatan dalam berbicara sehingga mereka
biasa disebut Tunawicara. Cara berkomunikasi dengan individu
menggunakan bahasa isyarat, untuk abjad jari telah dipatenkan
secara internasional sedangkan untuk isyarat bahasa berbeda-beda
di setiap negara. Di Indonesia dikembangkan Sistem Isyarat
Bahasa Indonesia (SIBI), selain BISINDO. Saat ini di beberapa
sekolah sedang dikembangkan komunikasi total yaitu cara
berkomunikasi dengan melibatkan bahasa verbal, bahasa isyarat,
dan bahasa tubuh. Individu Tunarungu cenderung kesulitan dalam
memahami konsep dari sesuatu yang abstrak.
2.1.12 Persyaratan Umum Suatu Alat Peraga Matematika
2.1.12.1 Pengertian Alat Peraga Matematika
Tidak semua siswa SLB khususnya pada jenjang
pendidikan dasar memiliki bakat yang baik di bidang
matematika. Tetapi, pelajaran matematika harus diberikan di
semua jenjang pendidikan pada SLB. Agar siswa-siswa yang
kurang berbakat di bidang matematika memiliki daya serap
yang baik tentang matematika yang diterimanya, maka guru
pada saat memberikan pelajaran matematika harus
meningkatkan daya kreativitasnya agar siswa dapat meningkat
daya serapnya. Salah satu cara agar daya serap siswa SLB,
dapat ditumbuhkembangkan adalah melalui pembelajaran
matematika berbantuan alat peraga yang dikemas melalui
Joyful Learning.
Namun, tidak semua guru mampu memikirkan dan
menemukan cara bagaimana memanfaatkan alat peraga yang
[41]
harus dioperasikan melalui kegiatan yang dapat dilakukan oleh
siswa sendiri atau hand on activity yang juga sering disebut
dengan alat peraga manipulatif, sampai konsep atau materi
yang diajarkan guru dapat diterima dan diserap dengan baik
oleh para siswa SLB. Oleh karena itu, jika guru dan calon guru
mampu memikirkan dan menemukan cara memanfaatkan alat
peraga yang dapat dioperasikan melalui kegiatan yang harus
dikerjakan oleh siswa SLB sendiri; sampai konsep atau materi
yang diajarkan guru dapat diterima dengan baik oleh para
siswa maka seharusnya daya serap siswa akan semakin baik.
Harapannya, alat peraga tidak sekedar dibawa guru,
didemonstrasikan guru, para siswa hanya mengangguk-
angguk, mencatat, dan guru menganggap bahwa siswa telah
tahu. Alat peraga manipulatif resikonya memang mungkin ada,
seperti tambahnya biaya, lamanya waktu, perlunya peralatan
tambahan, atau belum munculnya ide dari guru.
Para siswa di jenjang pendidikan SLB, pada umumnya
masih berada pada tahap berpikir konkret. Jika ada siswa SLB
sudah mampu menjadi juara dalam lomba matematika tingkat
nasional untuk siswa SLB, itu hanya sebagian kecil atau amat
kecil dari seluruh siswa SLB. Anak-anak SLB yang ”khusus”
yang memiliki kecerdasan amat sangat istimewa tersebut tidak
dibahas dalam uraian ini. Yang dikaji adalah anak-anak SLB
standar, atau anak-anak dengan kepandaian biasa/normal
untuk ukuran SLB. Siswa-siswa seperti ini, tampaknya
memang perlu alat peraga untuk mempercepat daya serapnya
dalam menerima materi pelajaran, khususnya matematika.
Dalam pembelajaran, media pembelajaran diartikan sebagai
semua benda yang menjadi perantara dalam terjadinya
pembelajaran. Berdasarkan fungsinya media dapat berbentuk
alat peraga dan sarana.
[42]
Jadi, pengertian Alat Peraga dalam pembelajaran
matematika merupakan bagian dari media pembelajaran
matematika agar materi atau soal-soal matematika yang
dibahas menjadi lebih mudah untuk dipahami dan diserap
siswa. Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 Pasal 42
(1) menyatakan bahwa setiap satuan pendidikan termasuk SLB
wajib memiliki sarana yang meliputi perabot, peralatan
pendidikan, media pendidikan, buku dan sumber lainnya,
bahan-bahan habis pakai, serta perlengkapan lain yang
diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran yang teratur
dan berkelanjutan. Jelas bahwa alat peraga yang merupakan
salah satu bentuk dari media pendidikan adalah bagian dari
sarana yang wajib dimiliki oleh setiap satuan pendidikan
khususnya di SLB. Media adalah berbagai jenis komponen
dalam lingkungan siswa yang dapat dipakai guru untuk
memotivasi dan memperjelas bagi siswa dalam belajarnya.
Sedangkan kedudukan alat peraga terkait dengan komponen
metode mengajar, merupakan salah satu upaya untuk
mempertinggi proses interaksi guru dengan siswa di
lingkungan belajarnya. Kegiatan pembelajaran yang
menggunakan alat peraga sangat besar artinya bagi
keberhasilan belajar siswa. Diharapkan dengan menggunakan
alat peraga, siswa SLB dapat melihat atau meraba meraba,
mengungkapkan dengan memikirkan secara langsung objek
yang sedang mereka pelajari. Dengan demikian, konsep
abstrak yang sedang dipelajari dapat mengendap, melekat, dan
tahan lama di benak pikiran siswa SLB. Penggunaan alat
peraga dapat dikaitkan dengan aspek penanaman konsep,
pemahaman konsep serta pembinaan keterampilan, dan juga
meningkatkan motivasi siswa.
Dalam buku guru Kurikulum 2013 juga tertulis secara
eksplisit bahwa guru disarankan memperhatikan hal-hal
[43]
berikut: Dianjurkan menggunakan media atau sumber belajar
alternatif yang tersedia di lingkungan sekolah dan media atau
sumber belajar alternatif tersebut dapat berupa orang, material,
atau peristiwa.
2.1.13 Fungsi dan Peran Alat Peraga Matematika
Secara umum, fungsi dan peran alat peraga
pembelajaran matematika antara lain untuk:
1. mengatasi perbedaan pengalaman pribadi siswa;
2. mengatasi keterbatasan ruang, waktu, dan daya indera;
3. membuat konkret konsep matematika yang abstrak;
4. memperjelas penyajian pesan, agar tidak terlalu verbal;
5. melengkapi dan memperkaya informasi dalam kegiatan
pembelajaran;
6. meletakkan dasar-dasar yang penting untuk
perkembangan belajar, oleh karena itu dapat membuat
pelajaran lebih mantap;
7. memberikan pengalaman nyata yang dapat
menumbuhkan kegiatan berusaha sendiri di kalangan
siswa SLB;
8. mengganti objek yang berbahaya atau sukar didapat di
dalam lingkungan belajar;
9. memungkinkan siswa berinteraksi langsung dengan
lingkungannya;
10. memungkinkan keseragaman pengamatan dan persepsi
pengalaman belajar siswa;
11. membangkitkan minat/motivasi belajar;
12. memberi kesan perhatian individual untuk seluruh
anggota kelompok;
13. mengontrol arah maupun kecepatan belajar siswa;
14. meningkatkan efektivitas dan efisiensi dalam
penyampaian pesan (pelajaran);
[44]
15. menambah variasi dalam penyajian dan atau
penyampaian pesan (pelajaran);
16. memberi kesamaan/kesatuan dalam pengamatan
terhadap sesuatu yang pada awal pengamatan siswa
mungkin berbeda-beda.
Dalam pemilihan alat peraga matematika untuk SLB,
terdapat syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh sebuah alat
peraga agar dapat digunakan sesuai dengan kebutuhan
pembelajaran matematika di SLB. Alat peraga yang didesain,
dibuat, atau akan digunakan oleh seorang guru atau calon
guru, hendaknya menjadi sebuah alat bantu yang
mempermudah siswa untuk memahami suatu materi,
menemukan sebuah pembuktian rumus, atau mampu
membantu siswa SLB dalam latihan soal dalam suasana
pembelajaran yang menyenangkan.
2.1.14 Beberapa Persyaratan sebagai Indikator Alat
Peraga Matematis yang Cocok untuk Siswa SLB
Berikut ini dijelaskan persyaratan yang merupakan
indikator Alat Peraga Matematis yang cocok untuk siswa
SLB. Alat Peraga Matematis yang cocok untuk siswa SLB
adalah sebagai berikut.
1. Dibuat dari bahan yang kuat agar awet dan tidak
membahayakan siswa SLB.
2. Bentuk alat peraganya yang menarik dan enak untuk
dilihat, didengar, atau diraba.
3. Sederhana, mudah dibawa, dan mudah pemakaiannya.
4. Ukurannya sesuai dengan siswa SLB yang memakainya.
5. Dapat menyajikan suatu konsep matematika baik dalam
bentuk abstrak, gambar, atau diagram sesuai dengan
ketunaan siswanya.
6. Sesuai dengan konsep matematika yang sedang
diajarkan.
[45]
7. Dapat memperjelas konsep matematika dan bukan
sebaliknya.
8. Pemanfaatan alat peraga itu diharapkan menjadi dasar
bagi tumbuhnya konsep berpikir abstrak bagi siswa SLB.
9. Menjadikan siswa belajar aktif dan mandiri dengan
memanipulasi alat peraganya (Hand-on Activity).
10. Alat peraga tersebut dapat berfaedah untuk mengerjakan
soal-soal.
2.1.15 Kriteria Penggunaan Alat Peraga di SLB
Ada beberapa kriteria penggunaan Alat Peraga
Matematis di SLB. Kriteria ini terkait dengan tujuan, materi,
strategi pembelajaran yang dipilih, kondisi sekolah, dan siswanya
itu sendiri.
1. Tujuan. Pemilihan kriteria penggunaan alat peraga yang tepat
dapat mempengaruhi tujuan pembelajaran yang akan dicapai
apakah alat peraga tersebut mampu meningkatkan domain
kognitif, afektif, dan psikomotor yang merupakan tujuan
sebuah pembelajaran di SLB.
2. Materi pelajaran. Alat peraga yang dipilih biasanya dipakai
untuk membantu siswa memahami suatu konsep dasar dan
prinsip dalam materi pembelajaran matematika sehingga
memudahkan siswa untuk memahami materi dalam ruang
lingkup dan kesukaran yang lebih tinggi. Peragaan untuk
konsep dasar digunakan untuk mempermudah pemahaman
konsep selanjutnya.
3. Strategi pembelajaran. Dengan menggunakan alat peraga
maka akan mempermudah guru di dalam menerapkan
strategi pembelajarannya. Jadi kriteria penggunaan alat
peraga merupakan strategi pembelajaran dalam menerapkan
metode penemuan atau metode demonstrasi.
4. Kondisi sekolah dan manajemennya. Kriteria penggunaan
alat peraga juga perlu mempertimbangkan kondisi sekolah
[46]
dan manajemennya. Ada Alat Peraga yang perlu dibeli dan
keberadaan Alat Peraga bergantung pula pada kondisi
keuangan SLB dan kebijakan manajemen di SLB yang
bersangkutan. Alat peraga membantu guru SLB pada situasi
tertentu misalnya saja pada kelas Tunagrahita yang kurang
dapat fokus memperhatikan saat guru menjelaskan materi,
kelas Tunanetra yang perlu Alat Peraga yang dapat diraba,
dan sebagainya. Alat Peraga memang sangat dibutuhkan
siswa di SLB, namun keberadaannya perlu
mempertimbangkan dengan melihat kondisi keuangan
sekolah.
5. Siswa. Kriteria pemilihan alat peraga perlu disesuaikan
dengan apa yang disukai dan diperlukan oleh siswa SLB
sesuai dengan karakteristik ketunaannya. Misalnya saja
diperlukan alat peraga yang berupa permainan matematis,
namun hal tersebut tentunya tidak terlepas dari tujuan
pembelajarannya.
2.1.16 Hand-on Activity untuk Alat Peraga Matematis di
SLB
2.1.16.1 Pengertian Hand-on Activity
Alat peraga yang penggunaanya dapat dilakukan sendiri
oleh siswa SLB bahkan dapat dimodifikasi oleh siswa, sering
disebut sebagai alat peraga manipulatif. Kegiatan untuk
menerapkan pemakaian alat peraga manipulatif ini, disebut
Hand-on Activity (HoA). HoA, adalah suatu kegiatan
pembelajaran yang melibatkan para siswa khususnya di SLB
untuk melakukan kegiatan yang melibatkan panca indera yang
ada, aktivitas phisik, dan alat-alat pendukungnya. Para siswa
terlibat dalam kegiatan memikir, mengamati atau mendengarkan,
meraba, menanya, mengumpulkan segala informasi, mengukur,
menalar, menggambar, menggunting (disesuaikan dengan jenis
ketunaannya), melipat, atau menempelkan hasil karyanya, dan
[47]
akhirnya siswa diharapkan dapat mengomunikasikan idenya
kepada teman-temannya. Dalam kegiatan pembelajaran HoA ini,
kadang-kadang diperlukan sarana dan sedikit biaya tambahan
untuk pendukungnya, misalnya perlunya ketersediaan kertas
HVS, kertas manila, penggaris, gunting, lem, dan sejenisnya.
Foto di bawah ini menggambarkan, para siswa yang sedang
dilatih gurunya untuk menemukan sendiri jaring-jaring kubus
melalui kegiatan pembelajaran Hand-on Activity pada alat peraga
yang dapat dimanipulasi.
2.1.17 Pembelajaran Matematika di SLB Berbantuan Alat
Peraga dengan HoA
Misalnya pada Siswa Tunanetra:
Misalnya, seorang guru SLB akan membahas jaring-jaring
kubus. Rangkaian kegiatan HoA yang dapat dilakukan adalah
sebagai berikut. Pendahuluan: (1) Guru SLB Kelas IV akan
menjelaskan 11 jaring-jaring kubus yang berbeda. (2) Guru
memutuskan untuk hanya memberikan contoh sebuah jaring-
jaring kubus saja dengan memanfaatkan alat peraga. (3) Guru
memiliki sebuah ide untuk menyampaikan 10 jenis jaring-jaring
kubus yang berbeda lainnya melalui HoA. Berikut ini akan
diuraikan langkah-langkah operasional jika seorang guru di SLB
mengajarkan materi jaring-jaring kubus tersebut (Kelas IV SDLB
atau Kelas VIII SMPLB) melalui serangkaian HoA.
[48]
Tahap persiapan sebelum mengajar:
1. Guru perlu menyiapkan alat peraga manipulatif berupa
sebuah model bangun kubus yang dibuat dari kertas
tebal/manila. Guru juga menyiapkan 11 jaring-jaring kubus
yang benar dan 4 jaring-jaring bukan kubus yang mirip
dengan jaring-jaring kubus.
2. Siswa Tunanetra bekerja secara kelompok (umumnya hanya
ada 1 kelompok). Kemudian 1 kelompok siswa tersebut
diberikan 1 model kubus dan 1 model jaring-jaring kubus
yang benar.
3. Kemudian, siswa diberikan 15 potongan-potongan kertas di
mana ada 11 potongan kertas yang merupakan jaring-jaring
kubus dan 4 lainnya bukan jaring-jaring kubus. Siswa
Tunanetra, dengan indra perabaan diminta untuk memilih
dan menetapkan 11 jaring-jaring kubus yang benar dari 15
potongan-potongan kertas tersebut. Diharapkan, kelompok
siswa Tunanetra dapat menemukan sendiri ke-11 jaring-
jaring kubus yang berbeda.
[49]
4. Selanjutnya, guru menjelaskan bahwa ada 11 jaring-jaring
kubus yang berbeda. Penjelasan guru dipandang sebagai
penarikan kesimpulan bahwa ada 11 jaring-jaring kubus
yang berbeda.
2.1.18 Meningkatkan Daya Kreativitas Mahasiswa dalam
Pembuatan Alat Peraga yang Berdayaguna.
Mahasiswa Pendidikan Matematika diharapkan menjadi
guru Matematika setelah mereka lulus. Sebagai calon guru
Matematika di jenjang Pendidikan Dasar bahkan Pendidikan
Menengah, mereka harus berani berkreativitas untuk melakukan
perubahan dalam proses pembelajarannya kelak dengan
melakukan terobosan-terobosan atau memilih cara pembelajaan
yang mutakhir dan baru bagi guru. Tentu saja, penerapan cara baru
pembelajaran yang inovatif harus dilaksanakan dengan penuh
dedikasi dan tanggung jawab sebagai pendidik, khususnya sebagai
guru di jenjang pendidikan dasar dalam mengajarkan matematika
di kelas reguler maupun mungkin kelak mengajar di SLB yang
seharusnya masih berbantuan Alat Peraga Matematis.
[50]
Untuk meningkatkan daya kreativitas mahasiswa sehingga
dapat merancang, membuat, dan menggunakan alat peraga
pembelajaran matematika maka mahasiswa calon guru perlu: (1)
selalu memikirkan melalui imajinasinya, menindaklanjuti hasil
pemikirannya, dan melaksanakan ide dan imajinasinya tersebut
dalam mencari cara agar materi pembelajaran dapat diserap oleh
para siswanya dengan baik; (2) berusaha mencari cara
baru/inovatif agar dalam memanfaatkan alat peraga matematis
dapat dikemas/disajikan melalui Hand-on Activity; (3) dengan alat
peraga matematis, pembelajaran di kelas bisa menyenangkan bagi
siswa dan matematika terlihat mudah (Joyful Learning); (4) selalu
berusaha mengembangkan idenya agar alat peraga matematis
tidak hanya dibawa ke depan kelas, hanya ditunjukkan ke siswa,
didemonstrasikan ke siswa atau menyuruh 1 siswa untuk
mencobanya, siswa lainnya hanya duduk manis, dan akhirnya para
siswa hanya mencatat jika diperlukan atau disuruh guru.
Selain hal tersebut di atas, agar daya serap siswa dalam
belajar matematika dapat tumbuh dan berkembang, maka sikap
guru (yang sebaiknya perlu pula diketahui calon guru) adalah: (1)
bersedia mendengarkan pendapat, pertanyaan, atau bahkan
komplen dari siswa; (2) bersedia menghargai pendapat siswa,
walaupun pendapat itu salah; (3) memupuk dan mengembangkan
rasa percaya diri siswa; (4) siap dan mau memberikan tantangan
kepada siswa; (5) mendorong siswa untuk berani mengungkapkan
gagasan; (6) berani menciptakan rasa tidak takut salah pada diri
siswa. Ini sangat diperlukan oleh siswa, karena jika siswa di
jenjang pendidikan dasar takut salah, maka siswa tidak akan
berani mencoba hal-hal baru, yang artinya daya serap siswa
terhadap materi yang diajarkan guru masih belum optimal.
Berkaitan dengan hal di atas, jika mahasiswa Pendidikan
Matematika kelak bisa menjadi guru di jenjang pendidikan dasar
yang mampu meningkatkan daya serap siswanya dalam
[51]
pembelajaran matematika, maka perlu mencari strategi
pembelajaran yang mampu: (1) mengaktifkan cara belajar siswa,
salah satunya melalui HoA, (2) mendorong siswa untuk berani
mengungkap gagasan/temuannya sendiri, (3) mendorong siswa
untuk berpikir dengan cara lain atau berpikir alternatif, (4) siswa
merasa senang dalam belajar matematika (Joyful Learning), dan
(5) meningkatkan kerja sama di antara para siswa melalui cara-
cara yang santun dalam berperilaku. Cara guru dalam mendesain
dan membuat Alat Peraga Matematis untuk meningkatkan daya
serap siswanya dalam pembelajaran matematika yang
menyenangkan, sangat perlu diketahui dan dipelajari oleh
mahasiswa Pendidikan Matematika.
2.1.19 Alat Peraga untuk Meningkatkan Daya Serap Siswa
SLB
Dalam pembelajaran, perlu Student Oriented. Penekanan
kegiatan pembelajaran difokuskan ke siswa. Kegiatan
pembelajaran yang difokuskan ke siswa, dikenal sebagai
Pembelajaran Aktif. Pembelajaran Aktif adalah strategi
pembelajaran yang menuntut guru/pendidik untuk mampu
melibatkan siswa dalam proses pembelajaran. Siswa SLB tidak
boleh lagi hanya mendengar, mencatat, bahkan hanya bermain.
Tetapi siswa SLB juga harus mulai dilibatkan dalam diskusi,
belajar menjelaskan untuk idenya (misalnya melalui latihan
presentasi), dan juga harus mampu melakukannya sendiri. Ada
pandangan yang menganggap bahwa belajar adalah proses
membangun makna/pemahaman oleh si pembelajar (siswa)
terhadap pengalaman dan informasi yang disaring dengan
persepsi, pikiran, pengetahuan yang dimiliki, serta perasaan. Di
lain pihak juga ada pandangan yang menganggap bahwa guru
dalam mengajar perlu turut berperan serta dengan si pembelajar
(siswa) dalam membangun makna dengan cara: (1)
[52]
mempertanyakan kejelasan, (2) bersikap kritis, dan (3) melakukan
pembenaran/ justifikasi yang diperlukan.
Daya serap siswa SLB yang tinggi dalam belajar, dapat
dimaknai bahwa siswa SLB mampu memperoleh nilai yang tinggi,
mampu menemukan, merancang, mengalami sendiri atau bermain
peran, dan ikut mengamati kejadian langsung atau tiruannya. Agar
pembelajaran menjadi efektif, yakni adanya peningkatan hasil
belajar, siswa SLB perlu dilatih untuk bekerja secara mandiri
(berdialog dengan diri sendiri) maupun bekerja dengan teman
dalam kelompoknya (berdialog dengan orang/teman lain) dalam
suasana yang santun dan menyenangkan. Guru dan siswa SLB
perlu melakukan inovasi pembelajaran melalui pemanfaatan Alat
Peraga Matematis yang cocok dengan siswa SLB. Inovasi
diartikan sebagai pembaharuan, yang artinya berbeda dari apa
yang sudah dilaksanakan guru dan siswa SLB selama ini.
Untuk meningkatkan daya serap siswa SLB dalam
mempelajari matematika, maka yang perlu dilakukan siswa SLB
pada saat ada proses penerapan Alat Peraga Matematis, antara
lain:
1. memperhatikan, mengamati dengan sungguh-sungguh, dan
berani menanyakan contoh atau model yang diberikan guru;
2. mencari dan mengumpulkan informasi sendiri atau bersama
dengan anggota kelompoknya, mengolahnya (menalar), dan
berlatih dengan bimbingan guru untuk menemukan contoh
atau model lain yang berbeda dengan yang diberikan guru;
3. melaksanakan tugas Hand-on Activity dengan sungguh-
sungguh;
4. berani mengomunikasikan idenya atau temuannya di depan
kelas.
Kegiatan tersebut di atas, dalam implementasi Kurikulum 2013
dikenal dengan nama: Pendekatan Saintifik.
[53]
2.1.20 Pembelajaran yang Joyful Learning di SLB
2.1.20.1 Pengertian Joyful Learning dan Penerapannya di
SLB
Joyful Learning berasal dari kata joyful yang berarti
menyenangkan sedangkan learning adalah pembelajaran. Belajar
menyenangkan (joyful learning) adalah sistem pembelajaran
yang berusaha untuk membangkitkan minat, adanya keterlibatan
penuh, dan terciptanya makna, pemahaman, nilai yang
membahagiakan pada diri siswa.
Joyful Learning adalah pembelajaran yang di dalamnya
tidak ada lagi tekanan, baik tekanan fisik maupun psikologis.
Sebab, tekanan apa pun namanya hanya akan mengerdilkan
pikiran siswa khususnya di SLB. Sedangkan kebebasan apa pun
wujudnya akan dapat mendorong terciptanya iklim pembelajaran
(learning climate) yang kondusif.
Joyful Learning membuat suasana kelas jadi
menyenangkan dan tidak monoton. Selain itu, Joyful Learning
merupakan pendekatan yang dapat membuat siswa memiliki
motivasi untuk terus mencari tahu, untuk terus belajar.
Karena itu, joyful learning di SLB adalah pendekatan
yang dapat digunakan oleh guru SLB dalam hal ini adalah guru
yang dapat membuat siswa lebih dapat menerima materi yang
disampaikan yang dikarenakan suasana yang menyenangkan dan
tanpa ketegangan dalam menciptakan rasa senang. Penciptaan rasa
senang berkait dengan kondisi jiwa bukanlah proses pembelajaran
tersebut menciptakan suasana ribut dan hura-hura. Menyenangkan
atau mengasyikkan dalam belajar di kelas bukan berarti
menciptakan suasana huru-hara dalam belajar di kelas, namun
kegembiraan di sini berarti mampu membangkitkan minat, adanya
keterlibatan penuh serta terciptanya makna, pemahaman yakni
[54]
penguasaan atas materi yang dipelajari dan nilai yang
membahagiakan siswa SLB.
Pembelajaran yang menyenangkan (Joyful Learning) di
SLB bukan semata-mata pembelajaran yang mengharuskan siswa-
siswa untuk tertawa lepas, melainkan sebuah pembelajaran yang
di dalamnya terdapat kohesi yang kuat antara guru dan siswa SLB
dalam suasana yang sama sekali tidak ada tekanan. Yang ada
hanyalah jalinan komunikasi yang saling mendukung.
Belajar sendiri pun menurut para ahli berbeda-beda
dalam mengemukakan definisinya. Namun, tampaknya ada
semacam kesepakatan di antara para ahli yang menyatakan bahwa
perbuatan belajar mengandung perubahan dalam diri seseorang
yang telah melakukan perbuatan belajar. Perbuatan tersebut
bersifat general, positif, aktif, dan efektif fungsional.
Sifat general berarti perubahan itu terjadi karena
pengalaman atau praktik yang dilakukan siswa dengan sengaja
dan disadari, bukan kebetulan. Sifat positif berarti perubahan itu
bermanfaat sesuai dengan harapan siswa, di samping itu
menghasilkan sesuatu yang lebih baik dibandingkan yang telah
ada sebelumnya. Sifat aktif di sini berarti perubahan yang
membangun suasana yang mengembangjkan inisiatif dan
tanggung jawab belajar siswa SLB sehingga berkeinginan terus
untuk belajar selama hidupnya dan tidak bergantung pada guru.
Sifat efektif berarti perubahan yang memberikan pengaruh dan
manfaat bagi pelajar. Adapun sifat fungsional berarti perubahan
itu relatif tetap serta dapat direproduksikan atau dimanfaatkan
setiap kali dibutuhkan.
2.1.20.2 Tujuan Joyful Learning di SLB.
Tujuan Joyful Learning di SLB, agar siswa semakin
terdorong untuk terus belajar jika pembelajaran diselenggarakan
secara nyaman dan menyenangkan, sehingga siswa terlibat secara
[55]
fisik dan psikis. Pada pembelajaran Matematika, guru SLB perlu
menciptakan kondisi pembelajaran dan Alat Peraga Matematis
yang sesuai dengan minat dan kecerdasan siswa. Guru juga perlu
memberikan penghargaan bagi siswa yang berpartisipasi.
Penghargaan dapat bersifat material dan penghargaan, nilai,
penghargaan applaus.
Sedangkan tujuan pembelajaran yang menyenangkan
sendiri di SLB adalah menggugah sepenuhnya kemampuan
belajar dari siswa, membuat belajar menyenangkan dan
memuaskan bagi mereka, dan memberikan sumbangan
sepenuhnya pada kebahagiaan, kecerdasan, kompetensi, dan
keberhasilan mereka sebagai manusia. Proses pembelajaran yang
menyenangkan di sini bisa dilakukan dengan cara seperti berikut.
(1) Menata ruangan kelas yang menarik yaitu dengan memenuhi
unsur kesehatan, misalnya dengan pengaturan cahaya, ventilasi
serta memenuhi unsur keindahan dengan dipasang karya siswa.
(2) Melalui pengelolaan pembelajaran yang hidup dan bervariasi
yakni dengan menggunakan pola dan model pembelajaran,
media/alat peraga, dan sumber pembelajran yang relevan serta
gerakan-gerakan guru yang mampu membangkitkan motivasi
belajar siswa.
Belajar di SLB itu haruslah mengasyikkan dan
berlangsung dalam suasana gembira sehingga pintu masuk untuk
informasi baru akan lebih lebar dan terekan dengan baik. Dengan
adanya pembelajaran menyenangkan (joyfull learning) ini maka
siswa tidak hanya dikurung di dalam ruang kelas belajar saja,
tetapi juga belajar di luar ruang terbuka atau Auditorium dengan
arena bermain edukatif. Menjadikan pelajaran matematika yang
selama ini abstrak menjadi tampak konkret dan relevan dengan
kehidupan sehari-hari.
[56]
2.1.20.3 Penerapan Joyful Learning di SLB
Joyfull Learning dapat dilakukan dengan memotivasi
tumbuhnya harga diri yang positif kepada siswa SLB dan
memberikan lingkungan dan kondisi yang tepat untuk semua
siswa. Dengan kata lain, semua siswa perlu merasakan kondisi
seperti berikut:
1. Kontribusi mereka sekecil apa pun merasa dihargai.
2. Mereka merasa aman (fisik dan psikis) dalam lingkungan
belajarnya.
3. Gagasan mereka dihargai.
Dengan kata lain anak harus dihargai apa adanya.
Mereka harus merasa aman, bisa mengekspresikan pendapatnya,
dan sukses dalam belajarnya. Keramahan inilah yang membantu
anak-anak menikmati belajar dan guru bisa memperkuat rasa
senang ini melalui penciptaan kelas yang lebih “menyenangkan”.
Indikator atau ciri-ciri tumbuhnya joyful learning adalah
sebagai berikut.
(1) Siswa berkehendak untuk belajar.
(2) Siswa tampak antusias mengikuti proses pembelajaran.
(3) Siswa tampak bergembira mengikuti proses pembelajaran.
(4) Siswa tampak berani bertanya dan berpikir selama proses
pembelajaran berlangsung.
(5) Siswa tampak aktif dalam mengikuti proses pembelajaran.
Oleh karena itu guru diharapkan untuk tidak membatasi
argumen siswa, karena dengan mendengarkan argumen siswa
merasa lebih diperhatikan dan merasa nyaman berada di kelas.
Selain itu penataan kelas juga bisa membuat siswa merasa
nyaman dan senang berada di dalam kelas.
Tahapan joyful learning di SLB yang diterapkan di
sekolah dapat dipilih ke dalam empat tahap. Tahap pertama
persiapan, kedua tahap penyampaian, ketiga tahap pelatihan,
keempat tahap penutup. Adapun penjelasannya sebagai berikut.
[57]
Tahap persiapan:
Tahap persiapan berkaitan dengan persiapan siswa SLB untuk
belajar. Tanpa itu siswa akan lambat dan bahkan bisa berhenti
begitu saja. Tujuan dari persiapan menuju Joyful Learning adalah
untuk mengajak siswa SLB dengan 6 hal berikut.
1. Mengajak siswa keluar dari keadaan mental yang awalnya
mungkin pasif.
2. Menyingkirkan rintangan belajar.
3. Merangsang minat dan rasa ingin tahu siswa.
4. Memberi siswa perasaan positif terhadap topik pelajaran.
5. Menjadikan siswa aktif yang tergugah untuk berpikir,
belajar, menciptakan, dan tumbuh.
6. Mengajak siswa keluar dari keterasingan dan masuk kedalam
komunitas belajar.
Dengan 6 hal tersebut, akan berdampak secara psikis
kepercayaan diri untuk bisa memperoleh apa yang menjadi
tujuan yang ia inginkan.
Tahap Penyampaian
Tahap penyampaikan dalam pembelajaran, khususnya
pada pembelajaran matematika dimaksudkan untuk
mempertemukan pembelajaran dengan materi belajar yang
mengawali proses belajar secara positif dan menarik melalui
penggunaan Alat Peraga Matematis. Adapun cara mengajak siswa
agar terlibat penuh dalam proses belajar antara lain perlu ramah,
menghindari diri dari kemarahan, menguasai materi, dan terampil
dalam menerapkan Alat Peraga Matematisnya.T
Tahap Pelatihan
Pada tahap pelatihan inilah pembelajaran pada diri siswa
berlangsung sebenarnya. Apa yang dipikirkan, dikatakan, dan
dilakukan, siswalah yang menciptakan pembelajaran, dan bukan
apa yang dipikirkan, dikatakan, dan dilakukan oleh guru. Pada
tahap ini dapat dilakukan dengan meminta siswa berulang-ulang
[58]
mempraktikkan suatu keterampilan atau kemampuan yang sudah
diperolehnya, untuk mendapatkan umpan balik segera, dan
mempraktikkan keterampilannya itu lagi. Guru perlu meminta
siswa membicarakan apa yang mereka alami, perasaan mereka,
dan apa lagi yang mereka butuhkan untuk meningkatkan
prestasinya.
Tahap Penutup
Dalam menyampaikan pelajaran, misalnya pada akhir jam
pelajaran guru memaksakan agar materinya selesai. Namun
dengan demikian, justru akan tidak efektif. Yang seharusnya
dilakukan guru adalah pada pemahaman guru bahwa joyful
learning hendaknya memberi penguatan kepada materi yang telah
diterima oleh siswa dengan memusatkan perhatian. Hal itu
merupakan peluang agar siswa mampu mengingat dengan baik
tentang materi yang telah dipelajarinya.
2.1.21 Pertumbuhan Berpikir Komprehensif Siswa di SLB
2.1.22 Pengertian Berpikir Komprehensif Siswa SLB
SLB merupakan sekolah yang khusus diperuntukkan bagi
Anak-anak Penyandang Disabilitas (APD). Meskipun harus pelan-
pelan sesuai dengan tingkat ketunaan siswa, namun upaya
pemerintah untuk meningkatkan kualitas pembelajaran yang
komprehensif di SLB perlu didukung. Kurikulum yang berlaku
saat ini, menekankan pada keterampilan berpikir komprehensif,
artinya keterampilan berpikir yang dibingkai oleh peningkatan
kognitif, sikap, berketuhanan, dan nilai-nilai sosial yang
terintegrasi dalam proses pembelajaran. Keterampilan berpikir
komprehensif siswa merupakan kemampuan berpikir dan bernalar
untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang kompleks dan atau
untuk memecahkan suatu kasus atau masalah.
Guru SLB perlu punya tanggung jawab untuk melatih para
siswanya dengan latihan berpikir komprehensif, walaupun diawali
dengan bantuan penggunaan Alat Peraga. Sebab, hanya dengan
[59]
kemampuan berpikir komprehensiflah yang nantinya dapat
digunakan para siswa SLB untuk menjalani hidupnya setelah
menyelesaikan pendidikan. Berpikir tingkat rendah/sederhana
hanya bermanfaat untuk menjawab soal-soal ulangan sederhana
atau soal-soal ujian yang belum tentu dapat digunakan dalam
kehidupan nyata setelah lulus dari SLB.
Berpikir komprehensif bagi siswa SLB, tidak hanya di
pendidikan lanjutan. Sejak kelas satu SDLB, seorang siswa dapat
dilatih berpikir komprehensif. Pertanyaan 4 + 6 = ... hanya melatih
siswa berpikir tingkat rendah. Sedangkan pertanyaan 10 = ... + ...
dapat melatih siswa berpikir komprehensif. Siswa sudah dilatih
untuk berpikir seluruh pasangan bilangan secara koprehensif yang
jika dijumlahkan, hasilnya harus diperoleh bilangan 10. Jadi, pada
permasalahan yang sama, bila disampaikan dengan cara berbeda
dapat mengubah dari latihan berpikir tingkat rendah menjadi
latihan berpikir komprehensif. Kemampuan para guru untuk dalam
membuat pertanyaan dan dalam menyusun Rencana Pelaksanaan
Pembelajaran (RPP) yang mengandung unsur keterampilan
berpikir komprehensif merupakan sesuatu yang mutlak harus
dimiliki. Guru yang terampil membuat pertanyaan dan terampil
dalam membuat RPP yang mengandung keterampilan berpikir
komprehensif akan dapat menghantarkan para siswanya mampu
memecahkan permasalahan dalam kehidupannya setelah mereka
menyelesaikan pendidikannya di SLB.
2.1.23 Indikator Tumbuhnya Berpikir Komprehensif
Siswa SLB
Indikator tumbuhnya Berpikir Komprehensif Siswa SLB,
yang terkait dengan penggunaan Alat Peraga Matematis yang
dibuat mahasiswa Pendidikan Matematika di SLB, dipilih dan
ditetapkan sebagai berikut.
[60]
1) Setelah siswa SLB djelaskan guru tentang penggunaan Alat
Peraganya, siswa bisa mempraktikkannya dengan bantuan
guru secara proporsional.
2) Setelah siswa SLB didampingi guru tentang praktik
penggunaan Alat Peraganya, siswa bisa menggunakannya
tanpa bantuan guru lagi.
3) Siswa bisa menggunakan Alat Peragannya untuk
mengerjakan soal-soal sendiri yang sejenis.
4) Siswa akhirnya mampu menyelesaikan soal-soal yang
sejenis, tanpa bantuan guru dan tanpa bantuan Alat Peraganya
lagi.
2.1.24 Pemikiran Penggunaan Alat Peraga Visual-Auditif
di SLB
Pelajaran matematika sering disebut pelajaran yang sukar,
apalagi bagi anak-anak penyandang disabilitas. Oleh karena itu,
peneliti sebagai Ketua Pusat Studi Pembelajaran bagi ABK -
FMIPA UNNES semakin terdorong untuk melakukan penelitian
disertasi tentang cara menumbuhkan keterampilan berpikir
komprehensif matematis bagi siswa SLB melalui implementasi
Alat Peraga untuk ABK di SLB yang Visual-Auditif berbasis
Joyful Learning. Alat peraga Visual-Auditif adalah alat peraga
yang dapat diraba, dimanipulasi, dibuat animasinya, dapat dibuat
dalam bentuk video, PPt, atau dapat diberi suara agar alat peraga
tersebut semakin bermanfaat dan membuat pembelajaran jadi
menyenangkan (Joyful Learning) bagi siswa. Penggunaan
Information Communication and Technologi (ICT) dalam praktik
pembuatan alat peraga sangat dimungkinkan, apalagi di era digital
saat ini.
Selanjutnya, tumbuhnya keterampilan berpikir
komprehensif dalam berpikir matematis bagi siswa SLB perlu
dianalisis tingkat pertumbuhannya. Keterampilan berpikir
komprehensif merupakan kemahiran atau kemampuan kognitif
[61]
siswa dalam berpikir secara menyeluruh atau komprehensif dan
memerlukan kreativitas. Kreativitas bagi anak lulusan SLB sangat
dibutuhkan di masa depan, termasuk permintaan tenaga kerja.
Untuk memunculkan keterampilan berpikir komprehensif dalam
berpikir matematis siswa SLB ini, diperlukan alat peraga Visual-
Auditif multi fungsi untuk memancing daya kreativitas siswa
secara menyeluruh.
Peranan ICT dalam dunia pendidikan sangatlah besar,
tidak hanya di kalangan perguruan tinggi semata namun juga pada
pendidikan di SLB. Pada Amandemen Undang-Undang Dasar
1945, dinyatakan bahwa setiap anak berhak mengembangkan diri
melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapatkan
pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan
teknologi (komputer/internet), seni dan budaya, demi
meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat
manusia (Pasal 28 c Ayat 2).
Dalam rangka mengembangkan diri anak SLB, sekarang
banyak didapati berbagai layanan pendidikan baik formal maupun
non-formal. Dalam perkembangan kognitif menuju keterampilan
berpikir komprehensif, anak SLB perlu dibekali dengan
pemahaman tentang matematika dasar seperti bentuk, ukuran,
pola, memecahkan masalah, bilangan, dan berhitung. Menguasai
keterampilan matematika dasar sangat penting karena hal tersebut
terdapat dalam kehidupan nyata sehari-hari anak. Berbagai media
seperti ICT dapat digunakan. ICT dapat dimanfaatkan untuk
memvisualisasikan tubuh anak sendiri seperti jari tangan dan kaki,
pakaian, juga peralatan makan warna-warni dan berbagai ukuran,
balok-balok, bahkan tumbuhan dan berbagai hewan lengkap
dengan suara dan animasinya (visual-auditif). Sekarang banyak
didapati CD/VCD pembelajaran matematika dasar yang dikemas
menarik dan dijual bebas di pasaran. Tinggal bagaimana sebagai
[62]
pendidik memilih yang sesuai kebutuhan dan ramah bagi anak-
anak SLB.
2.2 Manfaat Teoretis Imajinasi Berpikir Matematis
Secara teoretis, imajinasi dalam berpikir sangat
menentukan keberhasilan seseorang dalam menemukan sesuatu
yang baru. Karena itu, Imajinasi Berpikir Matematis perlu
ditumbuhkan pada diri mahasiswa Pendidikan Matematika, agar
kualitas pengetahuannya berhasil tumbuh semakin baik. Selain itu,
Imajinasi Berpikir dapat tumbuh melalui berbagai kegiatan seperti
lewat percobaan, pembuatan karya seperti Alat Praga, dan juga bisa
tumbuh karena bakat. Oleh karena itu maka pada penelitian ini,
Imajinasi Berpikir Matematis dicermati melalui karya mahasiswa
dalam membuat Alat Peraga Matematis yang diperuntukkan basi
para siswa di SLB.
Melalui pelatihan, Imajinasi dalam berpikir juga dapat
ditumbuhkan. Dengan melakukan pelatihan maka Imajinasi
Berpikir dapat ditumbuhkembangkan untuk berbagai keperluan.
Melalui imajinasi maka berbagai produk seperti Alat Peraga
Matematis dapat dikembangkan sehingga Alat Peraga yang dibuat
bisa menjadi multi-fungsi dan pembelajaran menjadi Joyful
Learning.
Berdasarkan teori-teori yang dikemukakan juga oleh para
ahli di bidang Pendidikan, pertumbuhan Imajinasi Berpikir
Matematis mahasiswa dapat dilihat pula dari karyanya dalam
membuat Alat Peraga bagi siswa SLB, pada saat mahasiswa ada
kegiatan pelatihan dan Alat Peraga Matematis yang dihasilkan ini
dapat diterapkan di SLB melalui pembelajaran yang Joyful
Learning.
[63]
BAB
III
3.1 Tujuan Kegiatan ECT
Berdasarkan kajian pada Bab I dan Bab II sebelumnya,
maka tujuan kegiatan Extra-Curriculum Training (ECT) ini
adalah sebagai berikut.
3.1.1 Sebagai wadah kegiatan mahasiswa peminat pembelajaran
siswa disabilitas di SLB dalam menumbuhkan Imajinasi
Berpikir Matematis mahasiswa Pendidikan Matematika
melalui upaya untuk menciptakan Alat Peraga bagi ABK
melalui kegiatan di Extra-Curriculum Training untuk
membuat pembelajaran Joyful Learning di SLB.
3.1.2 Sebagai wadah kegiatan mahasiswa dalam mempelajari
karakteristik siswa disabilitas di SLB, pembelajaran yang
Joyful Learning di SLB, dan cara mengajarkan
matematika di SLB.
3.1.3 Sebagai wadah kegiatan mahasiswa dalam mempelajari
Bahasa Isyarat yang diperlukan di SLB, pengenalan cara
menulis dan membaca huruf Braile, dan memperkenalkan
cara menumbuhkan Imajinasi Berpikir Matematis dalam
menciptakan, mendesain, dan membuat alat peraga
matematis yang diharapkan mampu membuat suasana
pembelajaran di SLB menjadi Joyful Learning.
KEGIATAN EXTRA-CURRICULUM
TRAINING (ECT)
[64]
3.2 Manfaat Kegiatan ECT
3.2.1 Manfaat Praktis
Manfaat praktis yang sangat diharapkan dari kegiatan ECT
ini adalah sebagai berikut.
1) Untuk menutup kesenjangan antara kebutuhan dan realita di
lapangan. Di SLB dibutuhkan guru-guru matematika yang
menguasai matematika sekolah, tapi juga menguasai
kebutuhan ABK dalam pembelajarannya. Di lain pihak,
perguruan tinggi khususnya Program Studi Pendidikan
Matematika di suatu Perguruan Tinggi belum ada regulasi
untuk menghasilkan guru matematika yang siap mengajar di
SLB atau sekolah inklusif dengan segala konsekuensinya.
Kini dengan adanya ECT, akan dihasilkan cukup banyak
mahasiswa calon guru yang mengenal dengan baik
pembelajaran matematika di SLB melalui kegiatan ECT ini.
2) Ditemukannya pola tahap-tahap pelatihan bagi mahasiswa
agar dapat diciptakan Alat-alat Peraga terkini bagi ABK
melalui kegiatan berbasis Extra-Curriculum Training.
3) Tercipta Alat-alat Peraga bagi ABK melalui kegiatan berbasis
Extra-Curriculum Training ke arah pembelajaran yang Joyful
Learning.
4) Untuk menutup kesenjangan antara siswa-siswa reguler dan
dan siswa-siswa SLB. Di SLB perlu dimulai adanya guru-
guru matematika yang mampu menumbuhkan keterampilan
berpikir komprehensif pada siswa di SLB.
5) Bisa ditemukan deskripsi berbagai model Alat Peraga yang
lain, seperti Visual-Auditif matematis berbasis pada Joyful
Learning yang cocok bagi siswa SLB agar dapat
menumbuhkan berpikir yang komprehensif.
6) Tercipta Alat-alat Peraga Visual-Auditif multi fungsi
matematis yang tetap berbasis pada Joyful Learning.
[65]
3.1.2 Manfaat Teoretis
Manfaat teoretis yang sangat diharapkan dari hasil kegiatan
ECT ini adalah sebagai berikut.
1) Buku Panduan tentang kegiatan ECT ini dapat digunakan
sebagai bacaan ilmiah yang melengkapi kepustakaan di
Perpustakaan S3 Pendidikan Matematika UNNES,
Perpustakaan S2 Pendidikan Matematika UNNES, dan
Perpustakaan S1 Jurusan Matematika FMIPA UNNES.
2) Buku Panduan tentang kegiatan ECT ini dapat digunakan
sebagai panduan dalam menyusun kajian terkait dengan cara
menumbuhkan kompetensi Imajinasi Berpikir Matematis.
3) Ditemukan teori tentang pola tahap-tahap pelatihan bagi
mahasiswa agar dapat diciptakan Alat-alat Peraga Matematis
terkini bagi ABK melalui kegiatan berbasis Extra-
Curriculum Training.
4) Ditemukan teori yang mengkaji deskripsi model Alat Peraga
Visual-Auditif Matematis berbasis pada Joyful Learning yang
cocok bagi siswa SLB agar dapat menumbuhkan berpikir
yang komprehensif.
3.3 Pembentukan, Materi, dan Jadwal Kegiatan ECT
Berikut ini diuraikan Pembentukan, Materi, dan Jadwal
Kegiatan ECT, agar dapat menjadi panduan bagi pembaca atau
peminat pembelajaran matematika di SLB.
3.3.1 Pembentukan
1) Dosen-dosen Inisiator mencari mahasiswa-
mahasiswa Pendidikan Matematika yang berminat
untuk mempelajari pembelajaran di SLB dan
berkeinginan/tertantang untuk membuat Alat Peraga
Matematis bagi siswa ABK di SLB.
[66]
2) Dibentuk wadah kegiatan mahasiswa berupa Extra-
Curriculum Training (ECT) dengan seijin Ketua
Jurusan Matematika.
3) Dosen-dosen Inisiator menyediakan peralatan
pelatihan yang dibutuhkan, sesuai dengan banyaknya
mahasiswa yang tertarik ikut dalam kegiatan ECT.
4) Mahasiswa yang berminat seperti disebutkan di atas,
diberitahu kegiatan yang nantinya ada di ECT yaitu
adanya kegiatan pelatihan tentang karakteristik ABK
dan pembelajarannya, pembelajaran yang Joyful
Learning bagi siswa SLB, latihan dasar penulisan
Braile dan Bahasa Isyarat, serta pengenalan Alat
Peraga Matematis bagi siswa di SLB, dan teknik
dasar pembuatan Alat Peraga Matematis yang sesuai
dengan karakteristik siswa SLB.
3.3.2 Materi Pelatihan dalam kegiatan ECT
Materi diberikan oleh: (1) Dosen-dosen yang tahu
dan mengenal tentang pembelajaran siswa Disabilitas di
SLB. (2) Tenaga Ahli dari luar kampus yang menguasai
Bahasa Isyarat, baik Sistem Isyarat Bahasa Indonesia
(SIBI) atau Bahasa Isyarat Indonesia (BISINDO). (3)
Dosen yang menguasai teknik pembuatan Alat Peraga
Matematis.
Materi Utama dalam kegiatan Extra-Curriculum
Training (ECT) adalah sebagai berikut:
1) Diberikan pelatihan tentang makna Imajinasi
Berpikir Matematis dan alat ukurnya, yang akan
diukur melalui karya orisinal mahasiswa dalam
mendesain, merancang, dan membuat Alat Peraga
Matematis bagi siswa SLB.
[67]
2) Diberikan pembekalan tentang karakteristik siswa
berkebutuhan khusus dan aspek-aspek
pembelajarannya.
3) Diberikan pembekalan penulisan dan pembacaan
huruf maupun angka Braile, Bahasa Isyarat SIBI,
BISINDO (Bahasa Isyarat Indonesia), serta
pemanfaatannya dalam pembelajaran matematika.
4) Diberikan pemodelan Alat Peraga Matematika yang
cocok bagi ABK.
5) Dalam kegiatan Extra-Curriculum Training
diberikan teknik dasar pembuatan alat-alat peraga
matematis bagi siswa berkebutuhan khusus, yang
diharapkan mahasiswa dapat menciptakan suatu Alat
Peraga untuk pembelajaran matematika yang cocok
untuk diterapkan bagi siswa SLB, dan menyenangkan
bagi siswa SLB, sehingga tercipta Joyful Learning.
6) Puncak kegiatan ECT, mahasiswa diminta untuk
mengembangkan Imajinasi Berpikir Matematisnya
dalam merancang, mendesain, dan mewujudkan
suatu Alat Peraga Matematis bagi ABK yang
original, yang diharapkan mampu membuat siswa
SLB menjadi bisa menyerap materi pelajaran
matematika dengan cepat, bisa berpikir
komprehensif, dan suasana pembelajarannya bisa
Joyful Learning.
7) Pihak Jurusan menyediakan sarana dan prasarana
pembuatan Alat Peraga Matematis yang akan dibuat
oleh mahasiswa.
8) Dosen Pengampu memeriksa, menilai, dan
memberikan saran serta masukan atas Produk Asli
karya mahasiswa peserta ECT dalam membuat alat
peraga matematis untuk siswa SLB.
[68]
9) Dosen Pengampu memilih beberapa alat peraga
matematis untuk siswa SLB produk mahasiswa
peserta ECT yang menurut penilaian Dosen
Pengampu, alat peraga buatan mahasiswa tersebut
layak dan baik.
10) Dosen Pengampu membantu memberikan fasilitas
agar alat peraga buatan mahasiswa yang layak dan
baik tersebut dapat dipraktikkan dalam suatu
kegiatan pembelajaran di SLB, sesuai dengan
kecocokan jenis ketunaan siswa di SLB.
11) Alat Peraga Matematis dikatakan mampu
menunjukkan tumbuhnya Imajinasi Berpikir
Matematis seorang mahasiswa Pendidikan
Matematika, jika Alat Peraga Matematis yang
dibuatnya:
(1) Sesuai dengan isi Kurikulum yang berlaku untuk
SLB.
(2) Asli dari ide dan rancangan mahasiswa sendiri
(original).
(3) Cocok dan sesuai untuk diterapkan di SLB.
(4) Mampu menumbuhkan suasana pembelajaran
yang Joyful Learning.
(5) Penggunaan Alat Peraga Matematis mampu
meningkatkan daya serap siswa SLB dalam
belajar matematika.
(6) Setelah siswa SLB menggunakan Alat Peraga
Matematisnya, akhirnya siswa dapat
mengerjakan soal-soal matematika pada pokok
materi yang terkait, tanpa lagi menggunakan alat
peraganya (siswa SLB bisa berpikir secara
komprehensif).
[69]
3.3.3 Jadwal Kegiatan ECT
Berdasarkan pengalaman penulis, kegiatan ECT
dapat dilaksanakan dengan Jadwal Kegiatan sebagai
berikut.
1) Dilaksanakan secara rutin satu pekan, satu tatap
muka.
[70]
2) Dilaksanakan di sore hari, misalnya pk 15.30 – 17.30.
3) ECT dilaksanakan dalam rentang waktu 3 bulan (12
kali tatap muka).
4) Pelaksanaan ujicoba Alat Peraga di SLB, disesuaikan
berdasarkan kesepakatan antara pihak SLB dan
Dosen Pengampu.
Berikutnya, dalam Bab IV akan dibahas penerapan Alat
Peraga Matematis buatan mahasiswa peserta ECT di SLB, untuk
mengungkap pertumbuhan Imajinasi Berpikir Matematis
mahasiswa Pendidikan Matematika melalui kegiatan ECT.
[71]
BAB
IV
Uraian pada Bab IV ini, mengupas tindak lanjut pemanfaatan
Extra-Curriculum Training (ECT), setelah mahasiswa berhasil
menciptakan, mendesain, dan mewujutkan sebuah Alat Peraga
Matematis saat para mahasiswa mengikuti kegiatan di ECT. Oleh dosen
pengampu training, Alat Peraga Matematis yang sudah jadi, dipilih
yang baik, menarik, kuat, dan yang dipandang memenuhi syarat untuk
dapat diterapkan di SLB. Jadi, dalam Bab IV ini dibahas cara penilaian
dosen, penerapan Alat Peraga Matematis buatan mahasiswa peserta
ECT di SLB, yang kemudian dianalisis untuk mengungkap
pertumbuhan Imajinasi Berpikir Matematis mahasiswa Pendidikan
Matematika melalui kegiatan ECT.
4.1 Pola Pertumbuhan Imajinasi Berpikir Matematis Mahasiswa
4.1.1 Tahap Persiapan Pertumbuhan Imajinasi Berpikir
Matematis
Kegiatan ECT untuk menemukan pola pertumbuhan
Imajinasi Berpikir Matematis mahasiswa Pendidikan
Matematika, dilakukan dengan tahapan persiapan sebagai
berikut:
4.1.1.1 Setelah mahasiswa mengikuti serangkaian
pelatihan di ECT, secara individual, mahasiswa
Pendidikan Matematika peserta ECT, diminta untuk
membuat Alat Peraga Matematis bagi ABK yang
bersekolah di SLB.
4.1.1.2 Alat Peraga Matematis bagi ABK yang bersekolah
di SLB, yang dibuat oleh mahasiswa harus
memenuhi persyaratan:
PERTUMBUHAN IMAJINASI
BERPIKIR MATEMATIS
MAHASISWA MELALUI KEGIATAN
ECT
[72]
1) Pemakaian alat peraga wajib sesuai dengan
tuntutan Kompetensi Dasar (KD) pada isi
Kurikulum yang berlaku untuk SLB.
2) Asli dari ide dan rancangan mahasiswa sendiri
(original). Ada Panduan yang operasional
tentang cara pembuatan Alat Peraga Matematis
dan penggunaannya saat diterapkan di SLB.
3) Cocok dan sesuai untuk diterapkan di SLB,
artinya Alat Peraga yang dibuat tidak
membahayakan siswa SLB, ringan, praktis, dan
bermanfaat.
4) Diharapkan mampu menumbuhkan suasana
pembelajaran yang Joyful Learning, artinya
bahwa dengan penerapan Alat Peraga
Matematis buatan mahasiswa ini, para siswa
SLB merasa senang, cocok, dan materi
matematika jadi terasa mudah bagi siswa-siswa
SLB.
5) Penggunaan Alat Peraga Matematis mampu
meningkatkan daya serap siswa SLB dalam
belajar matematika.
6) Penggunaan Alat Peraga Matematis buatan
mahasiswa harus bisa membuat siswa SLB
berpikir secara komprehensif. Artinya, setelah
siswa SLB menggunakan Alat Peraga
Matematisnya, akhirnya siswa dapat
mengerjakan soal-soal matematika pada pokok
materi yang terkait, tanpa lagi menggunakan
alat peraganya.
4.1.1.3 Untuk pengujian butir nomor 1) sampai dengan
nomor 3), Alat Peraga Matematis buatan mahasiswa
dinilai oleh dosen pengampu kegiatan ECT. Dosen
[73]
pengampu kegiatan ECT bisa mengamati secara
langsung produk Alat Peraga Matematis yang
dihasilkan mahasiswa, membaca panduan
pemakaian Alat Peraga yang dibuat mahasiswa
yang bersangkutan, mengamati saat mahasiswa
presentasi penggunaan Alat Peraga, dan
mewawancarai mahasiswa. Untuk pengujian butir
nomor 4) sampai dengan nomor 6), Alat Peraga
Matematis buatan mahasiswa perlu dipraktikkan di
SLB, diamati dan dinilai oleh dosen pengampu
kegiatan ECT dan guru SLB.
4.1.1.4 Kriteria pertumbuhan Imajinasi Berpikir Matematis
mahasiswa Pendidikan Matematika, adalah sebagai
berikut:
Tabel 4.1 Kategori Pertumbuhan IBM
Memenuhi
Persyaratan
Butir:
Kategori Pertumbuhan
Imajinasi Berpikir
Matematis mahasiswa
Pendidikan Matematika
1, 2, 3, 4 ,5, dan 6 Sangat Baik
1, 2, 3, 4, dan 5 Baik
1, 2, 3, dan 4 Sedang
1, 2, dan 3 Kurang
1 dan 2 Sangat Kurang
4.1.2 Contoh Penilaian Dosen Pengampu Kegiatan ECT
Berikut ini diuraikan contoh cara Dosen Pengampu
Kegiatan ECT dalam menilai produk alat peraga matematis
yang telah dibuat mahasiswa Pendidikan Matematika,
sebagai tolok ukur pertumbuhan Imajinasi Berpikir
[74]
Matematis Mahasiswa. Sebagai ilustrasi dalam Buku
Panduan ini, penilaian hanya dilakukan pada satu produk
Alat Peraga Matematis buatan mahasiswa. Pembaca dapat
mengembangkannya sendiri cara penilaiannya.
Subjek Pengamatan 1 (misalnya mahasiswa dengan
Kode: Mhs 1)
Penelusuran Melalui : Pengamatan Alat Peraga dan
Wawancara
Nama Alat Peraga: Abanetra.
Tampak pada Gambar 4.1 di bawah ini.
Berikut ini, tabel 4.2 menunjukkan Tabel Rekapitulasi
Penilaian oleh Dosen yang perlu dibuat dan diisi oleh dosen
pengampu ECT.
Tabel 4.2: Tabel Rekapitulasi Penilaian oleh Dosen
No
.
Dilaksanaka
n pada:
Tujuan yang
Ingin Dicapai:
Pengamatan/Wawanca
ra Diperoleh:
1. Tahap 1 Mengidentifika
si kesesuaian
“Alat Peraga
Matematis bagi
siswa SLB
yang dibuat”
dengan tuntutan
KD pada
Hasil dan Catatan
Peneliti:
Alat Peraga Matematis
bagi siswa SLB yang
dibuat telah sesuai
dengan tuntutan KD
[75]
Kurikulum
2013.
pada Kurikulum 2013
untuk siswa SLB.
2a. Tahap 2a Menelusuri
bahwa Alat
Peraga
Matematis yang
dibuat
mahasiswa
peserta Extra-
Curriculum
Training
memiliki unsur
novelty.
Hasil dan Catatan
Peneliti:
Alat Peraga Matematis
yang dibuat mahasiswa
peserta Extra-
Curriculum Training
memiliki unsur novelty
karena Alat Peraga
Matematis tersebut
belum ada sebelumnya.
2b. Tahap 2b Menelusuri
bahwa Alat
Peraga
Matematis yang
dibuat
mahasiswa
peserta Extra-
Curriculum
Training
memiliki unsur
originality dan
pengujian
terhadap
Panduannya.
Hasil dan Catatan
Peneliti:
Alat Peraga Matematis
yang dibuat mahasiswa
peserta Extra-
Curriculum Training
memiliki unsur
originality karena Alat
Peraga Matematis
tersebut dibuat asli ide
dari mahasiswa secara
mandiri sebelum
diperiksa dan diberikan
masukan oleh peneliti.
Panduan yang dibuat
juga cocok dengan
pembuatan dan
pemakaian Alat
Peraganya.
2c. Tahap 2c Menelusuri
bahwa Alat
Peraga
Matematis yang
dibuat
mahasiswa
Hasil dan Catatan
Peneliti:
Alat Peraga Matematis
yang dibuat mahasiswa
peserta Extra-
Curriculum Training
[76]
peserta Extra-
Curriculum
Training
memiliki unsur
fluency.
memiliki unsur fluency
karena Alat Peraga yang
dihasilkan mampu untuk
dimanfaatkan dalam
menjelaskan beberapa
materi.
2d. Tahap 2d Menelusuri
bahwa Alat
Peraga
Matematis yang
dibuat
mahasiswa
peserta Extra-
Curriculum
Training
memiliki unsur
flexibility.
Hasil dan Catatan
Peneliti:
Alat Peraga Matematis
yang dibuat mahasiswa
peserta Extra-
Curriculum Training
memiliki unsur
flexibility, karena
keberadaan alat peraga
semacam ini tidak
tunggal.
3. Tahap 3 Menganalisis
pemikiran
mendasar
bahwa Alat
Peraga
Matematis yang
dibuat
mahasiswa
peserta Extra-
Curriculum
Training dapat
diterapkan di
SLB pada mata
pelajaran
matematika.
Hasil dan Catatan
Peneliti:
Alat Peraga Matematis
yang dibuat mahasiswa
peserta Extra-
Curriculum Training
jelas dapat diterapkan di
SLB pada mata
pelajaran matematika,
tidak membahayakan
siswa SLB, ringan,
praktis, dan bermanfaat.
4. Tahap 4 Menganalisis
pemikiran
mendasar
bahwa Alat
Peraga
Matematis yang
Hasil dan Catatan
Peneliti:
Suasana Joyful Learning
dapat ditumbuhkan di
SLB pada mata
pelajaran matematika
[77]
dibuat
mahasiswa
peserta Extra-
Curriculum
Training dapat
diterapkan di
SLB pada mata
pelajaran
matematika
dalam suasana
Joyful
Learning.
melalui penerapan Alat
Peraga Matematis yang
dibuat mahasiswa
peserta Extra-
Curriculum Training.
Dengan Joyful Learning
maka pelajaran
matematika menjadi
tampak mudah dan
menyenangkan bagi
siswa.
5. Tahap 5 Menganalisis
pemikiran
mendasar
bahwa Alat
Peraga
Matematis yang
dibuat
mahasiswa
peserta Extra-
Curriculum
Training dapat
dipakai untuk
membantu
siswa SLB saat
menyelesaikan
latihan soal
matematika.
Hasil dan Catatan
Peneliti:
Siswa SLB dapat
menyelesaikan latihan
soal matematika dengan
memanfaatkan Alat
Peraga Matematis yang
dibuat mahasiswa
peserta Extra-
Curriculum Training
sebagai media bantunya.
6. Tahap 6 Menganalisis
pemikiran
mendasar
bahwa Alat
Peraga
Matematis yang
dibuat
mahasiswa
peserta Extra-
Curriculum
Training dapat
Hasil dan Catatan
Peneliti:
Alat Peraga Matematis
yang dibuat mahasiswa
peserta Extra-
Curriculum Training
dapat diterapkan di SLB
pada mata pelajaran
matematika sehingga
siswa SLB mampu
[78]
diterapkan di
SLB pada mata
pelajaran
matematika
sehingga siswa
SLB
diharapkan
mampu berpikir
komprehensif.
berpikir komprehensif,
yakni siswa SLB tidak
sekedar terpaku pada
penggunaan Alat Peraga,
melainkan pada akhirnya
siswa SLB dapat
menyerap materi ajarnya
dan dapat mengerjakan
soal dengan tidak lagi
mengandalkan Alat
Peraganya.
Catatan:
Pengisian Tabel 4.2 untuk tahap 4, 5 dan 6 dilakukan setelah
Alat Peraga Matematisnya dipraktikkan di SLB.
Kategori pertumbuhan Imajinasi Berpikir Matematis
mahasiswa dengan kode Mhs 1 adalah Sangat Bagus.
Hasil Pengamatan Fisik Alat Peraga Matematis Karya
Mhs 1.
Nama Alat Peraga: Abanetra Penjumlahan & Pengurangan
Bilangan Bulat.
Kegunaan: Untuk menanamkan konsep penjumlahan dan
pengurangan bilangan Bulat.
Sasaran Umum: Siswa SLB Penyandang Tunanetra dan
Tunagrahita.
Panduan Alat Peraga Matematis yang Dibuat Mhs 1:
Latar Belakang Munculnya Alat Peraga ini:
Penyandang tunanetra adalah mereka yang
mengalami kelainan atau kekurangan dalam penglihatan,
sehingga ia tidak dapat menggunakan penglihatannya
sebagai saluran utama dalam menerima informasi dari
lingkungan. Adanya kelainan penglihatan ini penyandang
tunanetra mempengaruhi perkembangan kognitif mereka.
Matematika dianggap sulit oleh siswa karena identik dengan
[79]
rumus-rumus dan perhitungan yang rumit. Bahkan untuk
siswa berkebutuhan khusus seperti siswa tunanetra,
matematika akan dirasakan semakin sulit karena
keterbatasan penglihatan. Akibat dari ketunanetraan, maka
pengenalan atau pengertian terhadap dunia luar anak, tidak
dapat diperoleh secara lengkap dan utuh. Akibatnya,
perkembangan kognitif anak tunanetra cenderung terhambat
dibandingkan dengan anak-anak normal pada umumnya. Hal
ini disebabkan perkembangan kognitif tidak saja erat
kaintannya dengan kecerdasan atau kemampuan
inteligensinya, tetapi juga dengan kemampuan indera
penglihatannya.
Sedangkan anak tunagrahita adalah mereka yang
kecerdasannya jelas berada di bawah rata-rata. Mereka
mengalami keterbelakangan dalam menyesuaikan diri
dengan lingkungan. Mereka kurang cakap dalam
memikirkan hal-hal yang abstrak, yang sulit-sulit, dan yang
berbelit-belit. Mereka mengalami kesulitan dalam pelajaran
seperti: mengarang, menyimpulkan isi bacaan,
menggunakan simbol-simbol, berhitung, dan dalam semua
pelajaran yang bersifat teoritis.
Anak tunanetra dan tunagrahita sangat memerlukan
benda konkret untuk memahami konsep dan simbol Bilangan
Bulat serta operasi penjumlahan dan pengurangan. Abanetra
Penjumlahan dan Pengurangan Bilangan Bulat adalah alat
peraga matematika abakus bagi tunanetra. Mahasiswa (Mhs
1) memberi nama Abanetra, yang merupakan singkatan dari
kata Abakus dan tunanetra, dimaksudkan sebagai alat peraga
matematika bagi penyandang tunanetra. Alat peraga ini
berfungsi untuk menanamkan konsep penjumlahan dan
pengurangan bilangan bulat secara nyata.
[80]
Penggunaan Abanetra Penjumlahan dan Pengurangan
Beberapa kesepakatan dalam menggunakan “Abanetra
Penjumlahan dan Pengurangan Bilangan Bulat adalah
sebagai berikut. Lihat Gambar 4.2, sampai Gambar 4.4.
Penjumlahan dan Pengurangan Bilangan Bulat
Kegunaan: Untuk menanamkan konsep Penjumlahan
Bilangan Bulat.
Contoh 1:
Contoh 2:
[81]
Bentuk dan Bagian-Bagiannya
No Nama Bagian Bahan Fungsi
1 Papan hitung Kayu
Tempat untuk
menghitung
2
Kartu Bilangan Kertas
Tempat untuk
menuliskan/
menempelkan lambang
bilangan
3 Biji hitung Kayu/plastic
Menyatakan banyak
benda
4 Poros hitung Kawat
Tempat menggeser biji
hitung
Penggunaan dalam Pembelajaran
Perhatikan gambar 4.8 di bawah ini.
[82]
Dalam perencanaannya, mahasiswa Mhs 1 memiliki
pemikiran bahwa Abanetra Penjumlahan & Pengurangan
Bilangan Bulat ini dapat dikembangkan untuk anak
berkebutuhan khusus tunagrahita, tunarungu dengan
membuat video pembelajarannya yang dilengkapi petunjuk
bahasa isyaratnya.
Kompetensi Dasar Matematika Kelas VII SMPLB
Tunarungu Berdasarkan Lampiran 1 Perdirjen Pendidikan
Dasar dan Menengah No. 10 Tahun 2017 disajikan pada
table 4.3.
Tabel 4.3 KD dan Indikator Matematika Kelas VII SMPLB
Tunarungu
Kompetensi Dasar Indikator
3.4 Memahami faktor dan
kelipatan
Bilangan serta faktor prima
suatu
bilangan.
3.4.1 Menentukan
fakor dari
bilangan
3.4.2 Menentukan
kelipatan
daribilangan
3.4.3 Menentukan
faktor prima
dari bilangan
4.4 Melakukan operasi
perkalian dan pembagian
sampai 10
4.4.1 Melakukan
perkalian dua
bilangan yang
hasilnya kurang
dari atau sama
dengan 10
4.4.2 Melakukan
pembagian dua
bilangan yang
hasilnya kurang
dari atau sama
dengan 10
[83]
3.5 Memahami kelipatan
persekutuan dua
buah bilangan dan
menentukan
kelipatan persekutuan
terkecil (KPK).
3.5.1 Dapat
menentukan
kelipatan
persekutuan dua
bilangan
3.5.2 Dapat
menentukan
KPK dua
bilangan
4.5 Menentukan kelipatan
persekutuan dua buah
bilangan dan menentukan
kelipatan persekutuan
terkecil (KPK) dan
menyelesaikan masalah
berkaitan dengan KPK.
4.5.1 Menentukan
KPK dari dua
bilangan
4.5.2 Menyelesaikan
soal cerita yang
berkaitan
dengan KPK
dari dua
bilangan
3.6 Memahami faktor
persekutuan dua buah
bilangan dan faktor
persekutuan terbesar (FPB).
3.6.1 menentukan
FPB dari dua
bilangan
4.6 Menentukan faktor
persekutuan dua buah
bilangan dan faktor
persekutuan terbesar (FPB)
dan menyelesaikan masalah
berkaitan dengan FPB.
4.6.1 Menentukan
FPBdari dua
bilangan.
4.6.2 Menyelesaikan
soal cerita yang
berkaitan
dengan FPB
dari dua
bilangan
[84]
4.1.3 Hasil Pengamatan Pendekatan Kualitatif pada Siswa ABK
Berikut ini contoh hasil pengamatan penulis berdasarkan
hasil wawancara, kunjungan kelas yang diteruskan dengan reduksi
data, paparan data, triangulasi, dan interpretasi data. Hasilnya
adalah sebagai berikut.
1. Siswa SLB merasa terbantu dalam memahami materi
pelajaran matematika dengan adanya berbagai alat peraga
matematis yang dibuat oleh para mahasiswa Pendidikan
Matematika. Daya serap siswa SLB meningkat.
2. Dengan adanya alat peraga matematis baru yang diterapkan
dalam pembelajaran matematika di SLB, siswa merasa
nyaman, senang, dan siswa menjadi tidak terbebani dengan
pelajaran matematika. Justru para siswa seolah saling
berlomba untuk mempraktikan alat peraga matematisnya.
Terjadi proses belajar sambil bermain (Joyful Learning).
3. Minat siswa SLB dalam belajar semakin meningkat. Hal ini
dapat ditunjukkan dengan dua bukti: (1) Siswa mulai suka
mengerjakan soal-soal matematika tanpa menggunakan lagi
alat peraga matematisnya (siswa mampu berpikir secara
komprehensif). (2) Siswa mulai gemar menyelesaikan soal-
soal matematika.
4. Siswa SLB sangat berharap, ada lagi alat peraga matematis
lainnya untuk materi-materi pokok matematika yang lain.
Gambar 4.9 dan 4.10 di bawah ini, adalah foto wawancara penulis
dengan siswa SLB Tunanetra dan Tunagrahita yang harus
dilakukan dengan pendekatan yang disesuaikan dengan
karakteristik siswanya.
[85]
Gambar 4.9 Wawancara terbuka degan siswa Tunanetra dalam
suasana yang akrab
Gambar 4.10 Wawancara terbuka dengan siswa Tunagrahita
4.1.4 Dukungan Penguat dari Guru SLB
Berikut ini adalah contoh hasil wawancara dengan guru
SLB, kunjungan kelas yang diteruskan dengan reduksi data,
paparan data, triangulasi, dan interpretasi data. Hasilnya adalah
sebagai berikut.
1. Guru merasa senang dengan adanya berbagai alat peraga
matematis yang dibuat oleh para mahasiswa Pendidikan
Matematika.
2. Alat peraga matematis yang dibuat dapat dan layak untuk
diterapkan di SLB, sangat cocok dengan kebutuhan siswa
SLB, yang berarti juga sudah sesuai dengan tuntutan
Kurikulum 2013 untuk SLB.
3. Dengan adanya alat peraga matematis baru yang diterapkan
dalam pembelajaran matematika di SLB, semua siswa merasa
nyaman, senang, dan siswa menjadi tidak terbebani dengan
pelajaran matematka. Justru para siswa seolah saling
[86]
berlomba untuk mempraktikan alat peraga matematisnya.
Terjadi proses belajar sambil bermain (Joyful Learning).
4. Daya serap siswa SLB semakin meningkat. Hal ini dapat
ditunjukkan dengan tiga bukti: (1) Siswa mulai dapat
mengerjakan soal-soal matematika tanpa lagi menggunakan
alat peraga matematisnya (siswa mampu berpikir secara
komprehensif). (2) Siswa mulai gemar menyelesaikan soal-
soal matematika. (3) Berdasarkan catatan harian guru, ada
peningkatan nilai terhadap hasil ulangan harian siswa.
5. Guru SLB sangat berharap, mahasiswa dapat lagi mendesain
dan membuat prototip-prototip alat peraga matematis untuk
materi-materi pokok yang lainnya.
6. Guru SLB juga sangat memberikan apresiasi yang tinggi
terhadap adanya penerapan alat peraga matematis yang
penerapannya disajikan melalui video yang berisi uraian
guru/calon guru, serta pada video tersebut juga diisi dengan
Bahasa Isyarat BISINDO. Dengan demikian, video
pembelajaran matematis yang dihasilkan menjadi multi-guna.
Bisa digunakan untuk siswa Tunarungu, Tunagrahita, maupun
Tunanetra. Perhatikan gambar 4.11.
Gambar 4.11: Video Pembelajaan diisi Bahasa Isyarat
Pada gambar 4.12 berikut ini adalah salah satu foto
dokumentasi pada saat penulis mewawancarai guru SLBN
Salatiga.
[87]
Gambar 4.12: Penulis mewawancarai guru sambil mengamati
siswa SLB menggunakan
alat peraga dalam latihan mengerjakan soal-soal
4.2 Dukungan Lembaga Seameo-Sen dan oleh Guru SLB di
Malaysia
Untuk lebih meyakinkan manfaat dan signifikansi
Alat Peraga Matematis buatan mahasiswa Pendidikan
Matematika, yang dibuat selama mahasiswa mengikuti
kegiatan ECT, maka penulis telah menghubungi Direktur
Southeast Asian Ministers of Education Organisation –
Regional Centre for Special Education (Seameo-Sen).
Selain itu juga pada seorang guru SLB dari Malaysia untuk
ikut memvalidasi kemanfaatan penerapan Alat Peraga
Matematis buatan mahasiswa ini.
Latar belakang kerjasama antara Direktur
Southeast Asian Ministers of Education Organisation –
Regional Centre for Special Education (Seameo-Sen) yang
berkantor di Melaka Malaysia, kepada penulis diawali
dengan pertemuan antara penulis dengan Direktur Seameo-
Sen dalam kegiatan Seminar Internasional. Selanjutnya,
penulis mengajukan permohonan agar Direktur Seameo-
Sen dapat membantu menganalisis pemanfaatan Alat
Peraga Matematis buatan mahasiswa dalam meningkatkan
[88]
Daya Serap di kalangan siswa SLB. Penulis memilih salah
satu Alat Peraga Matematis yang sudah dimodifikasi dalam
bentuk video yang diisi dengan narasi mahasiswa dan diisi
pula dengan Bahasa Isyaratnya. Video ini menjadi Multi-
Function Video untuk dianalisis. Ajakan yang sama, juga
diajukan ke seorang guru SLB di Malaysia. Kenyataannya,
siswa di SLB di mana pun berada, harus memberdayakan
diri pada potensi nalarnya. Daya serap siswa terhadap
pelajaran matematika dan pelajaran yang lain dapat
meningkat, hal ini akan menjadikan siswa SLB terbiasa
menghadapi suatu persoalan termasuk dalam meneruskan
pendidikannya di jenjang yang lebih tinggi.
Kerjasama ini telah mendapatkan hasil analisis
tambahan (opsional) yang mengungkap pemanfaatan Alat
Peraga Matematis berupa Multi-Function Video untuk
peningkatan Daya Serap siswa SLB. Hasil analisis direktur
Seameo-Sen: (1) Alat Peraga Matematis buatan mahasiswa
sudah layak pakai di SLB, (2) Alat Peraga Matematis
buatan mahasiswa ini mampu dimanfaatkan dalam suatu
kegiatan pembelajaran yang bersifat Joyful Learning. (3)
Guru perlu menguasai penggunaan Alat Peraga Matematis
Multi-Function Video. (4) Siswa SLB perlu memiliki atau
memegang/praktik Alat Peraga Matematis Multi-Function
Video.
Penulis juga telah mendapatkan masukan dari
pihak Guru SLB di Malaysia tentang penggunaan Alat
Peraga Matematis berupa Multi-Function Video untuk
peningkatan Daya Serap siswa SLB. Hasilnya: (1) Alat
Peraga Matematis buatan mahasiswa ini sudah layak
dimiliki dan dipakai di SLB, (2) Kegiatan pembelajaran
yang bersifat Joyful Learning dapat diciptakan melalui
pemanfaatan Alat Peraga Matematis buatan mahasiswa. (3)
[89]
Guru perlu menguasai materi yang terkait dengan
penggunaan Alat Peraga Matematis berupa Multi-Function
Video ini. (4) Siswa perlu dilatih agar bisa praktik Alat
Peraga Matematis berupa Multi-Function Video.
[90]
BAB
V
5.1 Simpulan
Berikut ini disimpulkan pokok-pokok isi Buku Panduan
tentang pelaksanaan ECT yang dimanfaatkan sebagai wahana
dalam menumbuhkan Imajinasi Berpikir Matematis Mahasiswa
Pendidikan Matematika melalui pembuatan Alat Peraga
Matematis.
5.1.1 Extra-Curriculum Training (ECT) layak diadakan di suatu
Perguruan Tinggi pada Jurusan Matematika, yang dapat
dimanfaatkan sebagai wahana untuk menumbuhkan
kompetensi mahasiswa, sesuai minatnya. Saah satunya
untuk menumbuhkan Imajinasi Berpikir Matematis
Mahasiswa Pendidikan Matematika melalui pembuatan
Alat Peraga Matematis bagi siswa ABK yang sekolah di
SLB.
5.1.2 Pertumbuhan Imajinasi Berpikir Matematis
Mahasiswa
Imajinasi Berpikir Matematis mahasiswa Pendidikan
Matematika melalui kegiatan Extra-Curriculum Training
(ECT) dalam menciptakan Alat Peraga bagi ABK di SLB,
berhasil ditumbuhkan. Mahasiswa peserta ECT telah
mampu menciptakan dan membuat Alat Peraga Matematis
yang memenuhi syarat yang ditentukan, yakni:
1. Mahasiswa Pendidikan Matematika telah mampu
membuat “Alat Peraga Matematis bagi siswa SLB”
sesuai dengan tuntutan pertumbuhan Imajinasi
Berpikir Matematis yang ditetapkan.
2. Alat peraga matematis yang dibuat mahasiswa peserta
Extra-Curriculum Training bisa dikembangkan dan
PENUTUP
[91]
dipakai oleh siswa Tunagrahita, Tunanetra dengan
memberi keterangan dengan huruf Braile, dan ada
yang dibuat video yang selain ada narasi penjelasan
guru tentang materinya, juga diisi pula dengan Bahasa
isyarat BISINDO sehingga dapat digunakan untuk
siswa Tunarungu.
5.2 Saran yang Direkomendasikan
Saran yang direkomendasikan berdasarkan pengalaman penulis,
adalah sebagai berikut.
1. Mahasiswa Pendidikan Matematika ternyata dapat
ditumbuhkembangkan Imajinasi Berpikir Matematisnya,
melalui karya-karya mereka dalam menemukan ide,
merancang, dan membuat Alat-alat Peraga Matematis bagi
siswa-siswa SLB. Oleh karena itu, maka kegiatan tambahan
di luar tatap muka perkuliahan, berupa kegiatan Extra-
Curriculum Training perlu untuk tetap diadakan secara
terencana, terstruktur, dan berkelanjutan.
2. Alat-alat peraga matematis, semuanya sebaiknya dibuatkan
video pembelajarannya dengan pola yang benar-benar mirip
dengan cara guru menyampaikan materi penbelajaran di
kelas SLB, lengkap dengan narasi atau penjelasan guru,
disertai dengan Bahasa Isyaratnya. Tujuannya agar ada
kesamaan cara dalam penyampaian materi ajar berbasis alat
peraga matematis, dan alat peraga matematis ini bisa
dimanfaatkan untuk para siswa yang Tunagrahita,
Tunanetra, atau Tunarungu. Selain itu juga dapat dipakai
guru sebagai panduan dalam mengajarkan materi dalam
suasana yang Joyful Learning. Video dapat diulang berkali-
kali, dan guru dapat berkonsentrasi untuk para siswa SLB
yang benar-benar sangat membutuhkan bantuan.
[92]
DAFTAR PUSTAKA
Adebisi, R. O., Liman, N. A., & Longpoe, P. K. (2015). “Using
Assistive Technology in Teaching Children with Learning
Disabilities in the 21st Century”. Journal of Education and
Practice, 6(24): 14-20.
Akakandelwa, A., & Munsanje, J. (2012). Provision of learning and
teaching materials for pupils with visual impairment:
Results from a national survey in Zambia. British Journal
of Visual Impairment, 30(1), 42-49.
Alcock, S. (2010). “Young children’s playfully complex
communication: Distributed imagination”. European Early
Childhood Education Research Journal, 18(2): 215-228.
Aly, H. S., & Abdulhakeem, H. D. (2016). Assessment of Training
Programs for Elementary Mathematics Teachers on
Developed Curricula and Attitudes towards Teaching in
Najran-Saudi Arabia. Journal of Education and
Practice, 7(12), 1-6.
Andrée, M., & Lager-Nyqvist, L. (2013). Spontaneous play and
imagination in everyday science classroom practice. Research
in science education, 43(5), 1735-1750.
Aosi, G., (2019). STEM Based Learning to Create Joyful Investigating
Pumpkins for Mathematical Learning on Primary
School. INVOTEK: Jurnal Inovasi Vokasional dan
Teknologi, 19(1), 113-120.
Bakker, M., van den Heuvel‐Panhuizen, M. & Robitzsch, A., (2016).
Effects of mathematics computer games on special
education students' multiplicative reasoning ability. British
Journal of Educational Technology, 47(4), 633-648.
Beal, C. R., & Rosenblum, L. P. (2018). Evaluation of the effectiveness
of a tablet computer application (App) in helping students
with visual impairments solve mathematics
problems. Journal of visual impairment &
blindness, 112(1), 5-19.
Black, J. E., & Barnes, J. L. (2017). Measuring the unimaginable:
Imaginative resistance to fiction and related
constructs. Personality and Individual Differences, 111, 71-
79.
[93]
Burns, M. (2011). Distance education for teacher training: Modes,
models and methods. Washington, DC: Education
Development Center.
Caiman, C., & Lundegård, I. (2018). Young children’s imagination in
science education and education for sustainability. Cultural
Studies of Science Education, 13(3), 687-705.
Conklin, H. G. (2014). Toward more joyful learning: integrating play
into frameworks of middle grades teaching. American
Educational Research Journal, 51(6), 1227-1255.
Crespi, B., Leach, E., Dinsdale, N., Mokkonen, M., & Hurd, P. (2016).
Imagination in human social cognition, autism, and psychotic-
affective conditions. Cognition, 150, 181-199.
Dwijanto. 2007. Pengaruh Pembelajaran Berbasis Masalah Berbantuan
Komputer terhadap Pencapaian Kemampuan Pemecahan
Masalah dan Berpikir Kreatif Matematika Mahasiswa.
Disertasi. Bandung: Program Pascasarjana Pendidikan
Matematika – Universitas Pendidikan Indonesia.
Fleming, J., Gibson, R., Anderson, M., Martin, A. J., & Sudmalis, D.
(2015). Cultivating imaginative thinking: teacher strategies
used in high-performing arts education classrooms.
Cambridge Journal of Education, 46(4), 435–453.
Ho, H.-C., Wang, C.-C., & Cheng, Y.-Y. (2013). Analysis of the
Scientific Imagination Process. Thinking Skills and Creativity,
10, 68–78.
Hudson, M. E., Zambone, A., & Brickhouse, J. (2015). Teaching Early
Numeracy Skills Using Single Switch Voice-Output Devices
to Students with Severe Multiple Disabilities. Journal of
Developmental and Physical Disabilities, 28(1), 153–175.
Hudson, ME., Rivera, CJ., & Grady, M. (2018). Research on
Mathematics Instruction with Students with Significant
Cognitive Disabilities: Has Anything Changed?. Research and
Practice for Persons with Severe Disabilities. 43(1), 38 –53
Junaedi, Iwan et al. (2015). Disclosure Causes of Students Error in
Resolving Discrete Mathematics Problems Based on NEA as
A Means of Enhancing Creativity. International Journal of
Education. Macrothink Institute. 7(4), ISSN 1948-5476.
Kwon, J., Kim, H., & Kim, J. (2015). The Meaning and Educational
Value of Imagination Through Dewey’s Concept of
[94]
Experience. Procedia - Social and Behavioral Sciences,
174, 1994–1996.
Lane, J. D., Ronfard, S., Francioli, S. P., & Harris, P. L. (2016).
Children’s imagination and belief: Prone to flights of fancy
or grounded in reality? Cognition, 152, 127–140.
Lersilp, T. (2016). Assistive Technology and Educational Services for
Undergraduate Students with Disabilities at Universities in
the Northern Thailand. Procedia Environmental Sciences
36. 61 – 64.
Liang, Chaoyun, Chang, Ch-Cheng, Chang, Yuhsuan, & Lin, Li-Jhong.
(2012). The Exploration of Indicators of Imagination. The
Turkish online Journal of Educational Technology. 11(3),
366-374.
Liang, C., & Chang, C.-C. (2014). Predicting scientific imagination
from the joint influences of intrinsic motivation, self-
efficacy, agreeableness, and extraversion. Learning and
Individual Differences, 31, 36–42.
Liang, C., Chang, C.-C., Liang, C.-T., & Liu, Y.-C. (2017). Imagining
future success: Imaginative capacity on the perceived
performance of potential agrisocio entrepreneurs. Thinking
Skills and Creativity, 23, 161–174.
Magid, R. W., Sheskin, M., & Schulz, L. E. (2015). Imagination and
the generation of new ideas. Cognitive Development, 34,
99–110.
Obradoviü, et al. (2015). Creative Teaching with ICT Support for
Students with Specific Learning Disabilities. Procedia -
Social and Behavioral Sciences 203, 291–296.
Ownby, R. L., Acevedo, A., Waldrop-Valverde, D., Jacobs, R. J., &
Caballero, J. (2014). Abilities, skills and knowledge in
measures of health literacy. Patient Education and
Counseling, 95(2), 211–217.
Räty, et al. (2016). Teaching Children with Intellectual Disabilities:
Analysis of Research-Based Recommendations. Journal of
Education and Learning; 5(2), 318-336.
Satsangi, R, Hammer, R, & Evmenova, AS. (2018). Teaching
Multistep Equations with Virtual Manipulatives to
Secondary Students with Learning Disabilities. Learning
Disabilities Research & Practice, 33(2), 99–111.
[95]
Shen, T. (2012). Inspiring the Creativity and Imagination of University
Students During Creative Curriculum by Teaching Design.
Procedia - Social and Behavioral Sciences, 45, 615–620.
Stapleton, A. J. (2018). Imagery, intuition and imagination in quantum
physics education. Cultural Studies of Science Education,
13(1), 227–233.
Sugiman, Sugiharti, E. & Kurniawati, N.F., (2018), March. Growing of
the mathematical thinking imaginative to students in
designing of the teaching aids for CWD towards to joyful
learning. In Journal of Physics: Conference Series, 983(1),
p. 012079). IOP Publishing.
Sugiman, Suyitno, H, & Junaedi, I., (2019), October. Utilization of
manipulative teaching aids to grow the numerical ability of
students with disabilities. In Journal of Physics:
Conference Series, 1321(2), p. 022097. IOP Publishing.
Suyitno, Hardi. (2008). Hubungan antara Bahasa dengan Logika dan
Matematika Menurut Pemikiran Wittgenstein. Humaniora.
Jurnal Budaya, Sastra, dan Bahasa. Fakultas Ilmu Budaya
UGM. Vol. 20 Nomor 1. ISSN: 0852-0801.
Tan, P & Kastberg, S. (2017). Calling for Research Collaborations
and the Use of Disability Studies in Mathematics
Education. Journal of Urban Mathematics Education.
10(2), 25-38
Van Garderen, D., Scheuermann, A. & Poch, A.L., (2019). Special
Education Teachers’ Perceptions of Students’ With
Disabilities Ability, Judge, S. and Watson, S.M., (2011).
Longitudinal outcomes for mathematics achievement for
students with learning disabilities. The Journal of
Educational Research, 104(3),147-157.
Wang, C.-C., Ho, H.-C., & Cheng, Y.-Y. (2015). Building a learning
progression for scientific imagination: A measurement
approach. Thinking Skills and Creativity, 17, 1–14.
Wang, C.-C., Niemi, H., Cheng, C.-L., & Cheng, Y.-Y. (2017).
Validation of learning progression in scientific imagination
using data from Taiwanese and Finnish elementary school
students. Thinking Skills and Creativity, 24, 73–85.
Wei C.W et al. (2011). A Joyful Classroom Learning System with
Robot Learning Companion for Children to Learn
Mathematics Multiplication. TOJET: The Turkish Online
Journal of Educational Technology – April 2011, 10(2).
[96]
Wibowo, T., Sutawidjaja, A., As’ari, A. R., & Sulandra, I. M. (2017).
The Stages of Student Mathematical Imagination in
Solving Mathematical Problems. International Education
Studies, 10(7), 48.
Wong, L., Manson, G. A., Tremblay, L., & Welsh, T. N. (2013). On the
relationship between the execution, perception, and
imagination of action. Behavioural Brain Research, 257,
242–252.
top related