bbm dan keadilan

Post on 10-Sep-2015

221 Views

Category:

Documents

6 Downloads

Preview:

Click to see full reader

DESCRIPTION

Ekonomi Politik

TRANSCRIPT

BBM dan Keadilan: Apakah Kenaikan Harga BBM Bersubsidi itu Adil?

23 November 2014 at 19:25

Pengantar

Pertanyaan apakah naiknya harga BBM bersubsidi harus diterima atau ditolak terlalu sering dipahami dalam kerangka berpikir yang amat teknis. Untuk menjawab pertanyaan itu, kita biasanya menghitung berapa produksi minyak kita, berapa defisit anggaran nasional kita, berapa cadangan minyak kita, hingga berapa harga minyak dunia saat ini. Bukan berarti bahwa cara berpikir yang demikian itu salahbagaimanapun juga, kita harus mempertimbangkan hal-hal teknis semacam itu untuk membuat kebijakan atau sekadar menentukan sikap. Akan tetapi, cara berpikir semacam itu akan jadi kurang tepat jika kemudian kita menilai kebijakan hanya berdasar pertimbangan teknis itu saja.

Dalam kehidupan sehari-hari, kita tidak menambal gigi kita karena gigi kita berlubang; melainkan karena gigi kita yang berlubang itu membuat kita tak nyaman. Kita tidak mengganti cat kamar kita jadi ungu karena cat sebelumnya berwarna hitam; kita menggantinya karena warna ungu mungkin bisa membuat kita merasa lebih bersemangat dibanding hitam. Kita tak menikahi seseorang karena kita jatuh cinta padanya; melainkan karena, misalnya, kita berpikir bahwa hidup bersama dengan orang yang kita cintai akan membuat kita bahagia. Ringkasnya: di balik tindakan kita, kita selalu ingin mencapai sesuatu yang kita anggap bernilai, baik, atau ideal. Pandangan manusia terhadap apa yang baik inilah yang kemudian menentukan apa yang kita anggap sebagai masalah dan apa yang bukan.

Logika serupa bisa kita terapkan untuk melihat kenaikan harga BBM: Negara tidak menaikkan harga BBM karena, katakanlah, anggaran subsidi membengkak. Negara menaikkan harga BBM karena negara mengejar sesuatu yang dianggap baik olehnya. Bengkaknya anggaran cuma hal sampingan. Diskusi kita semestinya diarahkan untuk menilai motif negara ini: Apakah nilai, keyakinan atau gagasan ideal negara yang kemudian berusaha diaplikasikan lewat kebijakan? Apakah motif itu betul-betul baik? Ataukah jangan-jangan negara hanya menerapkan sesuatu yang baik bagi segelintir masyarakat? Dan, apabila motif negara itu baik, apakah kebijakan negara kemudian mencerminkan kebaikan itu?Mari kita mulai telaah kita dengan bertanya: apa yang dianggap baik oleh negara?

Pidato Jokowi

Landasan berpikir negara dapat kita tilik lewat pidato Jokowi dan argumen menteri-menterinya. Dalam pidato pengumuman kenaikan harga BBM, Jokowi menyatakan bahwa naiknya harga BBM diperlukan untuk menghadirkan anggaran belanja yang lebih bermanfaat bagi masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Selama ini, anggaran belanja yang demikian sukar diwujudkan karena, mengutip Jokowi, anggaran yang ada dihamburkan untuk subsidi BBM.

Pidato Jokowi ini diperjelas oleh berbagai keterangan Sudirman Said, Menteri ESDM. Dalam salah satu wawancara di televisi swasta, Said menekankan bahwa kebijakan ini bukanlah kebijakan menaikkan harga BBM melainkan mengalihkan subsidi BBM. Motivasi utama negara, ujar Said, adalah membuat dana subsidi BBM itu menjadi lebih berpihak pada rakyat. Dana yang selama ini melekat pada BBM___dan mayoritas dinikmati oleh kelas menengah___diusahakan agar digunakan untuk kepentingan masyarakat kelas bawah; baik dalam bentuk jaminan sosial (KIP, KIS, KKS) dan program jangka panjang seperti pembangunan infrastruktur, listrik, rumah sakit, dan sekolah.

Nah, dari uraian singkat di atas, sebenarnya nampak bahwa negara berangkat dari posisi moral tertentu. Menurut Jokowi dan Said, negara berkewajiban untuk menjamin kehidupan masyarakat kelas bawah; baik lewat program jangka pendek maupun panjang. Selama ini, mengikuti Jokowi dan Said, kewajiban negara untuk menjamin kehidupan masyarakat kelas bawah sukar untuk dilakukan karena tidak ada dana yang cukup tersedia. Dana itu tidak tersedia karena dana itu banyak digunakan untuk menyubsidi kelas menengah. Ringkasnya, Jokowi di sini berusaha membuat kondisi menjadi lebih adil bagi kelas bawah dengan cara mendistribusikan sumber daya lebih banyak ke kelas tersebut.

Permasalahannya kemudian adalah: apakah adil yang berusaha diwujudkan Jokowi sungguh-sungguh merupakan keadilan? Atau setidaknya: apakah dengan menaikkan harga BBM, maka kondisi akan menjadi lebih adil bagi kelas bawah? Atau kondisi saat ini berpotensi membuat segalanya jadi lebih tidak adil walaupun negara menggunakan argumen keadilan? Argumen untuk Keadilan

Secara sederhana, gagasan teori keadilan dapat dipisahkan menjadi dua tradisi besar, yaitu tradisi berpikir yang (1) mengidentikkan keadilan dengan fairness dan (2) mengidentikkan keadilan dengan equality. Jika kita mengidentikkan keadilan dengan fairness, maka keadaan sudah dapat disebut adil ketika Hamid dan Sunyoto sama-sama memperoleh kesempatan untuk, katakanlah, bersekolah. Namun, keadaan demikian belum adil di mata tradisi keadilan sebagai equality karena Hamid dan Sunyoto bisa jadi punya latar belakang sosial yang berbeda. Jika Hamid adalah orang miskin dan berasal dari etnis yang didiskriminasi sementara Sunyoto adalah kelas menengah perkotaan yang hobi nyinyir di Facebook via wifi kafe, maka Hamid akan lebih sulit mengakses pendidikan dibanding Sunyoto. Keadaan baru akan disebut adil ketika Hamid diberi bantuan sedemikian rupa untuk mengkompensasi kekurangannya sehingga Hamid dan Sunyoto sama-sama bisa bersekolah. Dalam kondisi ini, Hamid dan Sunyoto setara sehingga kondisi ini disebut adil.

Tradisi yang menyamakan keadilan dengan fairness memperoleh banyak kritik karena melupakan keadaan seseorang. Percuma kita mengakui hak seseorang untuk hidup jika rupanya ia tak memiliki, katakanlah, uang untuk membeli makan dan berobat ke dokter. Pada akhirnya, meskipun punya hak hidup, seseorang belum tentu bisa benar-benar hidup. Di samping itu, tradisi ini juga kurang peka terhadap perbedaan titik mulai tiap manusia. Manusia seolah diasumsikan berangkat dari titik yang sama. Padahal, kita tahu, ada orang yang terlahir dengan kemampuan finansial kuat sementara ada yang tidak; ada yang dilengkapi bakat tertentu dan ada yang tidak. Walau keduanya sama-sama bekerja keras dalam hidup mereka, si A yang lebih beruntung sejak awal akan berada jauh di depan si B yang terlahir dalam keadaan kurang beruntung. Alasannya, sedari mula, mereka memulai lomba lari dari garis start yang berbeda meskipun berusaha dalam level yang sama.

Mari ambil contoh lain. Sentot, Albert, Zulkifli dan Iriani pergi berkemah. Mereka berempat sama-sama ingin memperoleh kesenangan di akhir pekan. Namun, Sentot tidak tahan dingin dan Zulkifli mudah sekali lapar karena menderita penyakit aneh. Dari perspektif keadilan sebagai equality, maka Sentot diperbolehkan untuk menggunakan selimut lebih banyak dan Zulkifli diperkenankan makan lebih banyak dibanding yang lain. Dengan begitu, keempatnya___sebagai satu kelompok___akan sama-sama memperoleh kesenangan. Adalah tidak adil jika Albert bersenang-senang sementara Sentot meringkuk di dalam dome karena kedinginan. Tidak adil pula jika Iriani makan seluruh mi instan jatahnya hingga ia kenyang ketika di sisi lain Zulkifli merasa sangat lapar walaupun seluruh jatahnya telah ia habiskan. Dengan kata lain, adil adalah ketika kemanfaatan yang ada di dalam masyarakat dibagi secara merata. Agar itu bisa diwujudkan, aturan dan institusi harus dirancang untuk memenuhi keadilan sementara tiap individu juga harus berusaha untuk bertindak berdasar prinsip-prinsip keadilan.

Adilkah?

Nah, subsidi BBM sebenarnya bergerak dengan logika di atas. Subsidi diberikan untuk mengkompensasi kelemahan-kelemahan yang dimiliki kelompok sosial tertentu sehingga kelompok sosial tersebut bisa mengakses BBM. Harapannya, dengan terbukanya akses terhadap BBM, kelompok sosial yang tidak beruntung akan bisa mengakses hal-hal lain dan akhirnya menikmati kemanfaatan yang lebih baik. Sayangnya, menurut negara, di kemudian hari, distribusi ini menjadi salah sasaran. Kelompok sosial yang tidak memiliki kelemahan untuk dikompensasi justru menerima sebagian besar bantuan. Oleh karena itu, negara kemudian mengurangi subsidi BBM, menaikkan harga BBM, dan, konon, mengalihkannya untuk hal-hal yang memberikan manfaat bagi masyarakat Indonesia secara keseluruhan dan membuat negara lebih berpihak pada kelas sosial bawah. Negara berusaha meningkatkan kapasitasnya untuk mengkompensasi kelemahan-kelemahan kelas sosial tak beruntung. Ringkasnya: negara berusaha mewujudkan keadilan bagi kelas sosial tak beruntung. Sepintas, logika ini kelihatannya cukup bagus. Tapi, sebenarnya, ada sejumlah kelemahan.

Pertama-tama, kita harus memikirkan ulang pandangan kita terhadap sistem sosial. Biasanya kita melihat bahwa suatu masyarakat terbagi menjadi kelas atas, kelas bawah, dan, dalam beberapa kasus, juga kelas menengah. Walau terbagi menjadi kelas-kelas seperti itu, bukan berarti bahwa kelas-kelas ini hidup terpisah. Sebaliknya, mereka hidup dalam satu sistem. Dalam masyarakat modern, seringkali kelas atas memegang posisi yang amat menentukan karena mereka memiliki alat produksi atau setidaknya akses terhadapnya. Kelas-kelas lain kemudian menjadi pendukung dari usaha produksi itu. Kita sebenarnya diam-diam mengakui pandangan di atas dalam kehidupan sehari-hari ketika kita bilang bahwa: untuk menyejahterakan masyarakat luas, maka diperlukan investasi agar lapangan kerja terbuka. Lewat pandangan semacam itu, kita sebenarnya ingin bilang bahwa kelas bawahyang tak punya alat produksimemerlukan kelas atasyang punya modal dan alat produksi. Artinya, ada hubungan antara kelas-kelas dalam masyarakat. Kelas-kelas itu tidak hidup sendiri-sendiri.

Sketsa teoritis sederhana di atas akan membantu kita untuk meneliti aspek keadilan dari kenaikan harga BBM. Jika kita ingat, keadilan berarti menyetarakan kemanfaatan yang diperoleh orang-orang. Orang yang lemah harus memperoleh kompensasi atas kelemahannya sehingga ia bisa memiliki performa yang sama seperti mereka yang tak lemah. Ketika negara memberi subsidi bagi kelas atas dan bawah, maka negara tengah mengkompensasi kelemahan kelas bawah. Tapi, di saat yang sama, negara juga tengah mengkompensasi kelas yang tidak memiliki kelemahan. Hal ini akhirnya menyebabkan kelas atas dan bawah tidak merasakan kemanfaatan yang sama. Dengan kompensasi, kelas bawah dapat menutupi kelemahannya sehingga dapat menikmati hidup yang lebih baik. Tetapi, di saat yang sama, kelas atas dapat menikmati hidup yang jauh lebih baik karena mereka juga menerima kompensasi. Oleh karena itu, kami sepakat: kondisi ini tidak adil.

Maka, tugas kita selanjutnya adalah: bagaimana membuat ini lebih adil? Negara menjawabnya dengan cara (1) mengurangi kompensasi berupa subsidi BBM terhadap kelas bawah hingga atas (2) memberi kompensasi khusus kepada kelas bawah dalam bentuk jaminan sosial, kesehatan dan pendidikan dan (3) mengalihkan dana untuk membangun infrastruktur. Poin (3) ini perlu kita teliti secara khusus nanti. Saat ini, mari kita bahas dulu poin (1) dan (2).

Mengurangi subsidi bagi kelas menengah hingga atas merupakan sesuatu yang dapat diterima (sejauh kita mengasumsikan mereka bukan kelas yang punya kelemahan tertentu untuk dikompensasi). Akan tetapi, mengurangi subsidi bagi kelas bawah agak sukar diterima. Mari kita asumsikan bahwa tiap orang, entah untuk tujuan apa, berhak atas BBM. Maka, dengan mempertimbangkan bahwa kelas bawah memiliki kelemahan ekonomi, kita dapat dengan mudah menyatakan bahwa menaikkan harga secara pukul rata adalah ketidakadilan. Sebabnya, meskipun sama-sama berhak membeli BBMtidak ada larangan bagi siapapun untuk membeli BBM___tiap kelas merasakan kesulitan yang berbeda untuk secara konkret membelinya.

Imbasnya, akan lebih mudah bagi kelas tertentu untuk memperoleh BBM dibandingkan dengan kelas lainnya walaupun bisa jadi seluruh kelas sama-sama membutuhkannya. Ada yang butuh dan kesulitan mengakses. Ada pula yang butuh dan mudah mengakses. Di samping itu, jika pengurangan subsidi BBM didasari oleh argumen anggaran subsidi kita bengkak, maka kita bisa semakin yakin bahwa kondisi ini tidak adil. Mengapa demikian? Seperti yang sudah diulang-ulang di berbagai tempat, subsidi BBM mayoritas dinikmati oleh kelas menengah. Artinya, bengkaknya anggaran subsidi___dan kenaikan harga BBM yang mengikutinya___adalah konsekuensi dari tindakan kelas menengah yang melakukan konsumsi secara masif. Oleh karena itu, adalah tidak adil jika kemudian kelas bawah harus menerima konsekuensi dari tindakan yang sebenarnya dilakukan oleh kelas lain.

Dalam konteks ini, yang tidak adil sebenarnya bukanlah menaikkan harga, melainkan menaikkan harga secara pukul rata. Akan lebih adil (hanya lebih adil dan bukan sepenuhnya adil) apabila, seandainya, harga BBM dibeda-bedakan berdasarkan kelas sosial atau kemampuan ekonomi seseorang. Bagi mereka yang tak memiliki kelemahan, negara tidak akan memberikan kemudahan memperoleh BBM lewat subsidi. Sebaliknya, bagi mereka yang lemah, negara bisa memberi kemudahan via subsidi. Sistem ini mungkin cukup rumit. Tapi, kita ingat, Jokowi memenangkan pemilu salah satunya karena dia mengucap kata sistem ratusan kali dalam kampanyenya. Semestinya, jika kehebatan Jokowi setara dengan ketekunannya mengucapkan kata sistem, hal semacam ini seharusnya tak akan terlalu pelik baginya.

Mengapa menaikkan harga tidak bisa dengan serta merta dikategorikan sebagai ketidakadilan? Alasannya cukup jelas: di samping mengambil kompensasi yang tidak perlu dari kelas beruntung, hal ini juga memberi ruang bagi kompensasi yang lebih baik bagi kelas sosial yang tak beruntung. Artinya, menaikkan harga BBM bisa menyokong kesetaraan yang lebih. Meski demikian, menaikkan harga juga tak bisa langsung dilihat sebagai keadilan. Pertama, seperti yang sudah ditulis di atas, jika kenaikan harga itu diberlakukan secara pukul rata, maka kenaikan itu tidaklah adil. Kedua, adil tidaknya kenaikan harga akan sangat bergantung pada untuk apa dana pengalihan subsidi BBM itu nantinya digunakan.

Sejauh yang dapat kita ketahui, dana pengalihan ini dipakai untuk setidaknya dua hal. Pertama, dana digunakan untuk memberi jaminan sosial dan perbaikan pendidikan maupun kesehatan. Kedua, dana digunakan untuk membangun infrastruktur. Poin pertama, bagaimanapun, harus kita akui mampu membuat keadilan jadi lebih dekat meskipun tidak mudah untuk menentukan seberapa jauh kebijakan itu mampu mendorong keadilan. Jaminan sosial umumnya memang dipandang sebagai salah satu kebijakan yang mampu mengkompensasi kelemahan.

Poin kedua lebih problematik. Poin kedua inilah yang sering dipandang sebagai solusi jangka panjang. Jokowi berencana menggunakan dana dari pengalihan subsidi BBM untuk membangun berbagai infrastruktur seperti jalan tol, pelabuhan, rel kereta api hingga bandara. Bagi negara, hal ini diperlukan agar modal lebih banyak masuk ke Indonesia sehingga lapangan kerja terbuka dan hajat hidup masyarakat membaik. Logika ini diulang-ulang perwakilan negara di berbagai kesempatan dan sudah terkesan normal. Tetapi, kita harus lebih teliti di sini: kelas sosial manakah yang sebenarnya paling diuntungkan?

Logika di atas diam-diam mengasumsikan bahwa agar kelas sosial bawah bisa sejahtera diperlukan kelas sosial atas. Kelas sosial yang memiliki modal dan alat produksi akan menjadi kelas yang membimbing perubahan bagi kelas sosial bawah. Dengan kata lain: kelas bawah hanya bisa diuntungkan jika, pertama-tama, kelas atas harus diuntungkan lebih dahulu hingga derajat tertentu. Tulisan ini tidak berkepentingan meneliti apakah logika semacam itu selaras dengan kenyataankita perlu lakukan itu di lain kesempatan. Tetapi, kita tahu, logika inilah yang melandasi kebijakan negara tempo hari. Dan logika ini punya implikasi serius bagi keadilan.

Kita ingat: kebijakan ini dibuat, konon, untuk memberi keadilan yang lebih besar bagi kelas bawah. Secara teoritik, hal itu harus dilakukan dengan cara mendistribusikan kemanfaatan dan keuntungan lebih besar kepada kelas bawah. Kemanfaatan yang dahulu dinikmati oleh kelas atas, lewat kenaikan harga BBM, berusaha diambil dan diberikan pada kelas bawah. Distribusi kemanfaatan yang dahulu timpang berusaha dibuat menjadi lebih setara.

Di sinilah letak paradoksnya. Di satu sisi, negara berusaha membuat kemanfaatan lebih setara dengan mengambil keuntungan yang dulu diberikan negara pada kelompok beruntung untuk kemudian diberikan pada kelompok tak beruntung. Di lain sisi, ironisnya, untuk membuat kemanfaatan kelompok tak beruntung membesar, negara justru, pertama-tama memperbesar kemanfaatan yang diterima oleh kelompok beruntung. Jika keadilan adalah kemanfaatan yang merata, maka kita bisa dengan cukup aman menyatakan bahwa dalam konteks ini ketidakadilan-lah yang terjadi [1]. Pada akhirnya, argumen bahwa kenaikan diperlukan untuk menguntungkan kelas bawah jadi sukar terbukti karena, dalam nalar kita (juga sistem sosial kita), kemanfaatan bagi kelas bawah selalu mensyaratkan kemanfaatan bagi kelas atas lebih dahulu.

Penutup

Diskusi di atas menunjukkan bahwa kebijakan menaikkan harga BBM punya dimensi keadilan yang sangat kompleks. Ada bagian yang bisa kita sebut adil. Ada pula yang tidak. Tulisan ini sepakat bahwa kondisi sebelum kenaikan harga BBM___dimana subsidi mayoritas dinikmati oleh kelas menengah dan atas___adalah tidak adil. Kelas bawah seharusnya menerima kompensasi yang lebih besar atas kelemahan mereka. Meski demikian, keputusan menaikkan harga BBM dan mengalihkan dana subsidi untuk keperluan lain tidak lantas membuat keadaan jadi lebih adil. Pertama, harga BBM dinaikkan secara pukul rata. Padahal, tiap orang punya hak atas BBM. Akibatnya, tiap kelompok jadi menghadapi kesulitan yang tak sama untuk memperoleh BBM.

Opsi yang lebih adil sebenarnya adalah menyesuaikan harga BBM berdasarkan kelas sosial seseorang. Namun, di sisi lain, lewat kenaikan harga-lah suatu kondisi yang berpotensi lebih adil bisa dibuat. Sebab, lewat itulah dana untuk mengkompensasi kelemahan kelas bawah bisa diperoleh. Kedua, dana subsidi yang dialihkan dari subsidi BBM untuk kemudian diarahkan pada jaminan sosial dan segala sesuatu yang secara langsung menarget kelompok marjinal dapat dikategorikan sebagai lebih adil dari sebelumnya. Lewat itu, kelemahan masyarakat tak beruntung dapat lebih dikompensasi. Meski demikian, perlu ditekankan bahwa tak mudah untuk mengukur sejauh mana jaminan sosial itu bisa mengkompensasi kelemahan kelas bawah. Ketiga, dana subsidi yang diarahkan untuk membangun infrastruktur sangat problematik. Alasannya, jika infrastruktur itu dibuat untuk menarik investasi dan akhirnya menolong kelas bawah, maka kemanfaatan tak akan didistribusikan merata. Dana subsidi justru dipakai untuk memberi kemanfaatan yang besar pada kelas atas lebih dulu hingga pada titik tertentu kemanfaatan baru bisa turun ke bawah.

Tiga poin di atas menunjukkan bahwa kebijakan negara kali ini punya dimensi yang rumit. Dan nampaknya, gerakan mahasiswa belum bisa cukup kreatif untuk menyiasati kerumitan ini. Kami punya sejumlah kritik.

Pertama, kita nampaknya hanya sering menjadikan rakyat atau kelas bawah sebagai kata pemanis tetapi tak membawanya ke dalam analisis. Akibatnya, seringkali, kita memberikan pandangan yang bias kelas. Pandangan macam beli rokok sanggup, beli BBM non-subsidi gak kuat atau karena BBM naik, mari kita hemat energi dengan cara jogging tiap Sabtu adalah pandangan kelas menengah yang tidak relevan untuk diaplikasikan ke kelas sosial lain. Kita seringkali merancukan pandangan kita untuk kelas sosial kita; dengan pandangan kita untuk kelas sosial lain. Pandangan di atas tentu cocok sekali untuk kelas menengah dan atas. Tetapi, bagi kelas sosial yang tak beruntung, pandangan di atas tidak relevan sama sekali. Ketika kita bilang bahwa suatu kebijakan itu baik, tepat atau adil, kita harus melangkah lebih jauh untuk mencari tahu: baik buat siapa? tepat bagi siapa? adil untuk siapa? Jangan karena kebijakan itu adil untuk Anda, maka Anda menyatakan kebijakan itu adil bagi semuanya. Kita butuh logika yang lebih.

Kedua, begitu Jokowi mengumumkan kebijakan ini, berbagai lembaga mahasiswa dengan segera menyatakan sikapnya untuk entah menolak atau menerima kebijakan ini. Tetapi, terlepas dari itu, yang lebih memprihatinkan adalah kecenderungan kita untuk memaksakan diri memilih opsi menolak atau menerima. Mereka yang berdiri di antara keduanya kemudian dipandang sebagai tidak tegas dan tidak kompeten. Logika ini tentu ngawur: jika menolak kebijakan ini adalah tidak rasional, sementara menerima kebijakan ini adalah tidak rasional, lantas mengapa kita perlu memaksakan diri untuk mengambil salah satu dari keduanya? Jangan lupa: Kita di sini sedang menghadapi hidup manusia dan bukan soal ujian pilihan ganda. Seperti yang telah ditunjukkan tulisan ini, menolak sepenuhnya kenaikan harga BBM akan mempertahankan kondisi ketidakadilan. Sementara menerima sepenuhnya kenaikan harga BBM akan membuat kita menciptakan ketidakadilan baru. Opsi yang lebih adil justru ada di tengah-tengah kedua pilihan itu. Kami tidak berpendapat bahwa membuat pernyataan sikap untuk menolak atau menerima adalah hal pentingtoh, itu tidak punya efek apapun. Negara tak akan membatalkan kenaikan harga jika Anda menolak. Negara pun tak akan lebih bahagia jika Anda menyatakan menerima kebijakan.

Tulisan ini pun tak dirancang sebagai pernyataan sikap dalam artian konvensional__jika kami dipaksa menyatakan sikap, kami akan menjawab: kami memihak keadilan. Sebaliknya, tulisan ini adalah aksi untuk menantang perspektif yang saat ini menghegemoni wacana kenaikan BBM. Kita tak tahu akankah tulisan macam ini berhasil. Akan tetapi, kita harus mencoba.**

Departemen Kajian Strategis, Dewan Mahasiswa FISIPOL UGM

[1] Kami harus mengakui bahwa hal ini disebut ketidakadilan jika kita mengikuti tradisi justice as equality G.A. Cohen. Jika kita mengikuti tradisi John Rawls, maka kondisi ini masih bisa diperdebatkan. Di bawah difference principle, Rawls memperkenankan ketimpangan semacam itu terjadi jika lewat ketimpangan itu kelompok yang paling tidak beruntung memperoleh keuntungan. Bagi Cohen,difference principle ini tidak tepat karena, secara etis, selalu ada pilihan untuk memberi keuntungan bagi kelompok marjinal tanpa harus menormalkan ketimpangan. Misalnya, dalam prinsip Rawls, sekelompok dokter yang menolak bekerja kecuali gaji mereka dinaikkan harus disikapi dengan menaikkan gaji dokter itu. Sebab, dengan demikian, kelompok yang tak beruntung di masyarakat akan masih diuntungkan dengan layanan dokter. Bagi Cohen, hal ini belum tentu diperkenankan karena selalu ada opsi dokter tetap melayani tanpa meminta kenaikan gaji.

top related