bahan ajar ilmu wilayah
Post on 26-Oct-2015
400 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
BAHAN AJAR ILMU WILAYAH
KONSEP WILAYAH DAN PERWILAYAHAN
BAGIAN – 1
Mangapa Kajian Wilayah
a. Pandangan Teoritis1. Perubahan paradigma keilmuan, dari mono disiplin menjadi multidisiplin
ilmu 2. Sulitnya menyelesaikan masalah hanya dengan satu pandangan disiplin
ilmu3. Ilmu wilayah adalah ilmu yang memadukan berbagai dimensi keilmuan,
khususnya sosial dan lingkungan (fisik)
b. Pandangan Praktis (aplikasi untuk pembangunan)1. Pertumbuhan dan pemerataan pembangunan (growth with equity)
diseluruh wilayah2. Menyeimbangkan pertumbuhan3. Mengurangi kesenjangan4. Mengarahkan kegiatan pembangunan sesuai potensi, permasalahan, dan
prioritasnya5. Mengembangkan keterkaitan sosial ekonomi antar wilayah (pusat-
pinggiran, desa-kota)6. Mengelola sumberdaya local7. Partisipasi masyarakat dalam pembangunan8. Pengembangan wilayah khusus (wilayah tertinggal, rawan bencana,
terisolir, perbatasan, dll)9. Konfigurasi geografis Indonesia
ILMU WILAYAH
Ilmu yang mempelajari tentang wilayah (region) dengan pendekatan sistem
( integrated dan comprehensif) serta bekerja dengan interdisipliner.
Ilmu wilayah memberikan pola dan kerangka spasial kepada ilmu-ilmu sosial
dan fisik yang telah ada guna mengusahakan tercapainya keseimbangan sosio
spasial (spatial equilibrium) di wilayah yang bersangkutan dengan
memperhitungkan dimensi waktu (dinamik).
Sifat ilmu wilayah: Multidimensional (sektoral dan regional), integrated
(terpadu), komprehensif (menyeluruh), interdisipliner.
LINGKUP KAJIAN ILMU WILAYAH
Mengkaji variasi wilayah dengan fokus sumberdaya dan hasil-hasil
pembangunan. Contoh: dikotomi wilayah (kota-desa, industri-pertanian, pusat-
pinggiran, wilayah maju-terkebelakang), kesenjangan wilayah.
a. Lingkup Substantif
1. Ekonomi, mengkaji faktor-faktor ekonomi yang mempengaruhi
perkembangan suatu wilayah (pendayagunaan resource, investasi, dan
lain-lain).
2. Social dan cultur, mengkaji tentang partisipasi, institusi, pemerataan,
kesejahteraan, dan lain-lain.
3. Resource Manajement, berkaitan dengan isu pengelolaan lingkungan
dan sumberdaya, seperti: carrying capacity dan sustainable
development.
4. Spatial Organization, berhubungan dengan perspektif keruangan
dalam mengkaji wilayah, seperti tata ruang kegiatan, proses, dan
dinamika struktur ruang.
b. Lingkup Wilayah (Spasial), unit entitas sub nasional, mulai dengan unit
propinsi, kabupaten hingga kecamatan. Selain itu juga wilayah dalam
pengertian sistem ekologis, seperti DAS dan kawasan fungsional lainnya.
c. Lingkup Waktu, mempertimbangkan perkembangan antar waktu (dinamika
wilayah) dan prediktif.
KEDUDUKAN ILMU WILAYAH DALAM GEOGRAFI
Geografi the study of the earth’s surface as the space within which the
human population lives (Johnston, 1981).
Ada kesamaan objek (fokus) kajian antara geografi dan ilmu wilayah.
Ilmu wilayah menggunakan 3 pendekatan geografi, yaitu analisis
keruangan, analisis ekologi, dan analisis komplek wilayah.
Selengkapnya dapat dilihat pada diagram berikut.
Gambar 2. Geografi dan Kajian Dinamika Wilayah
GEOGRAFIThe study of the earth’s
surface as the space within
which the human
population lives
(Johnston, 1987)
ORGANISASI KERUANGAN
HUBUNGAN MANUSIALINGKUNGAN
TEKNIK atau ALAT DASAR (Basic tools) : Kartografi Penginderaan jauh Lain-lain :
Statistik Modelling
KEGIATAN MANUSIA (ekonomi, sosial, budaya, politik,dll)
LINGKUNGAN ALAM (tanah, batuan,air, udara, flora dan fauna)
ANALISA KERUANGAN(lokasi, jarak,ruang, aksesibilitas, dan interaksi keruangan)
ANALISA EKOLOGI (ekosistem)
ANALISA KOMPLEKS WILAYAH (analisa intra-regional)
STUDI DINAMIKA WILAYAH
Sistem informasi geografi.Pengelolaan DAS.Pengembangan sumberdaya terpadu.Bencana (baik alam maupun non alam).Kerjasama regional.Lokasi kegiatan (industri,pariwisata,pertokoan,perkantoran,dsb).Perencanaan pengembangan wilayah,perkotaan,perdesaa,dll.
WILAYAH (REGION)
Pandangan Terhadap Wilayah
a. Pandangan Subjektif. Wilayah merupakan sarana untuk mencapai tujuan;
hanya berupa buah pikiran; suatu model untuk membantu mempelajari
(bagian) permukaan bumi.
………. Regions are a simple generalization of the human mind (Lzard)
b. Pandangan Objektif. Wilayah adalah nyata ada, merujuk pada bagian
permukaan bumi; wilayah alamiah (natural regions).
Apa itu Wilayah ?
Wilayah : Ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait
padanya, yang dibatasi oleh lingkup pengamatan tertentu.
Ruang : wadah yang meliputi ruang daratan, ruang lautan, dan ruang udara
sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk hidup lainnya
hidup dan melakukan kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya.
Kesatuan Geografis : dimensi geometri (ukuran) dan referensi geografis,
dengan mengacu kepada wujud fisik wilayah.
Unsur Terkait : unsur-unsur di dalam wilayah meliputi komponen alam (fisik
dan biotik), komponen manusia (sosial, ekonomi, budaya), komponen buatan
(hasil cipta manusia, teknologi). Wilayah sebagai sistem, dengan subsistem di
dalamnya (Socio System dan Natural System/ecosystem).
Dibatasi oleh lingkup pengamatan tertentu : 1.Homogenitas,
2.Heterogenitas, 3.Administrasi/Politik
Kawasan : wilayah dengan fungsi tertentu
Daearah : wilayah dalam batas kewenangan pemerintah
Wilayah terkait dengan pembangunan dan kepentingan administrasi. Oleh
karena itu wilayah didefinisikan Sub Nasional (propinsi, kabupaten, kecamatan,
desa), di atas rumah tangga (komunitas). Tergantung Hirarki (Tingkatan).
PENDEKATAN MENGENAL WILAYAH
A. Pendekatan Landscape
Natural Landscape
Cultural Landscpe
B. Pendekatan Lingkungan
Lingkungan Alam (Biogeofisik)
Lingkungan Sosial
Lingkungan Binaan
C. Pendekatan Sumberdaya
Sumberdaya Alam
Sumberdaya Manusia
Sumberdaya Buatan (Teknologi)
WILAYAH SEBAGAI SISTEM
Pendekatan sistem sangat tepat dalam mengkaji wilayah, dengan segala
komponen di dalamnya. Menuju Spatial Equilibrium.
Pendekatan sistem terdiri dari :
1. Sistem Input, Proses, dan Output
2. Terdiri dari beberapa subsistem yang terhubungkan secara intergratif.
Dua subsistem utama adalah subsistem social (Social System) dan
Ekosistem, sebagai dwi tunggal.
Dalam Social system terdiri dari ekonomi, politik, Sosial, dan kultur.
3. Integrated dan Komprehensif.
Kajian Wilayah
……..examination of a thing’s parts to find out their essential features’ spatial
/regional analysis (Bruce Mitchell, 1998) :
Location and distribution of phenomena interaction of phenomena between places
and regions spatial / regional structure arragement, and organization spatial processes.
Gambar lewatPIRAMIDA LANDSCAPE WILAYAH
(KUNCI PEMAHAMAN)
KONSEPSI WILAYAH
NO TIPOLOGI KONSEPSI WILAYAH
JENIS DEFINISI - KRITERIA KETERANGAN/CONTOH
1 Berdasarkan Tipe
1.Homogenoitas(Homogeneous region / formal region / uniform region
Keseragaman dari properti (unsur/kriteria) yang ada dalam wilayah baik sendiri maupun gabungan
Identifikasi batas terluar, dengan mengenali core region (memiliki derajad deferensiasi yang tertinggi)
2.Heterogenitas (Functional region/organic region/nodal region)
Pola interaksi dan interdependensi antar sub sistem (sub area), dengan tekanan pada kegiatan manusia
Ide sentralitas dan fungsional (ada wilayah inti =nodal dan hinterlandnya.
2 Berdasarkan Rank / Hirarki
Klasifikasi wilayah berdasarkan urutan atau orde wilayah yang membentuk satu kesatuan
Pertimbangan : size (ukuran), form (bentuk), function (fungsi)Contoh : RT,RW, Dusun, Desa,Kec, Kab, Prop.
3 Berdasarkan Kategori (jumlah kriteria)
1.Single Topic Region (Wilayah bertopik tunggal)
Wilayah yang eksistensinya didasarkan pada satu macam topik/kriteria saja
Wilayah curah hujanWilayah geologi
2.Combined Topic Region (Wilayah bertopik gabungan)
Wilayah yang eksistensinya didasarkan pada gabungan (lebih dari satu) macam kriteria (topik masih sama)
Wilayah iklim (gabungan dari cuarah hujan, temperatur, tekanan udara, angin)
3.Multiple Topic Region (Wilayah bertopik banyak)
Wilayah yang eksistensinya mendasarkan pada beberapa topik yang berbeda satu sama lain
Wilayah pertanian (gabungan dari topik fisik = tanah, hidrologi dan topik tanaman)Wilayah ekonomi
4.Total Region (wilayah total)
Delimitasi wilayah menggunakan semua unsur wilayah. Bersifat klasik, kesatuan politik, (administrasi) sebagai dasar
Contoh : wilayah administrasi desa, kecamatan, kabupaten, propinsi
5.Compage Region Tidak mendasarkan pada banyak sedikitnya topik, tetapi aktivitas manusia yang menonjol
Semacam wilayah perencanaan, Misalnya wilayah miskin, wilayah bencana,dll
Keterangan : Pemanfaatan konsep-konsep tersebut, dapat tunggal dan kombinasi, tergantung kepada
jenis kegiatan, lingkup usaha, masalah, cakupan wilayah, dan tujuan program yang dirancang.
PEWILAYAHAN
Usaha untuk membagi-bagi permukaan bumi atau bagian permukaan bumi
tertentu untuk tujuan tertentu pula. Pembagiannya dapat mendasarkan pada
kriteria-kriteria tertentu, seperti administrasi, fisik, ekonomi, sosial, geografis
dan sebagainya.
Secara teknik, berkaitan dengan proses penentuan batas daerah yang
bentuknya tergantung pada tujuan pengelompokan, kriteria yang digunakan
dan ketersediaan data.
Tujuan umum pewilayahan untuk mempermudah penganalisaan serta
memberikan jawaban terhadap persoalan-persoalan yang ada pada kelompok-
kelompok wilayah tersebut.
Terkait dengan pembangunan, tujuan pewilayahan di Indonesia adalah :
1. Menyebarkan pembangunan dan menghindari pemusatan
pembangunan yang berlebihan pada wilayah tertentu.
2. Keserasian dan koordinasi antar kegiatan pembangunan (sektoral di
daerah)
3. Arahan kegiatan pembangunan (prioritas wilayah)
METODE PEWILAYAHAN
1. Penyamarataan Wilayah (Regional Generalization)
Usaha menggolongkan wilayah kedalam bagian-bagian tertentu, dengan cara
menonjolkan karakter-karakter tertentu.
Unsur-unsur yang kurang/tidak penting dan tidak relevan dihilangkan.
Tujuannya menonjolkan sifat tertentu yang dominan dari suatu wilayah.
Memperhatikan skala peta dan tujuan pewilayahan.
Dapat menggunakan cara-cara delimitasi kuantitatif dan kualitatif.
Sebagian besar menggunakan metode kualitatif
2. Klasifikasi Wilayah (Regional Classification)
Usaha menggolongkan wilayah secara sistematis ke dalam bagian-bagian
tertentu (klasifikasi) berdasarkan kriteria-kriteria tertentu.
Semua unsur, kriteria, individu diperhitungkan dalam proses klasifikasi.
Tujuannya mencari deferensiasi (perbedaan) antar bagian-bagian wilayah.
Dapat menggunakan cara-cara delimitasi kuantitatif dan kualitatif.
Sebagian besar menggunakan metode kuantitatif (statistik).
VARIABEL PEWILAYAHAN
Berdasarkan Jumlah Variabel / Kriteria
1. Single Variable (variable tunggal)
2. Multiple Variabel (variable banyak)…….Lihat bagian kategori wilayah
Berdasarkan Teknik Penentuan Batas (delimitasi)
1. Kualitatif (deskriptif,interpretasi foto udara)
2. Kuantitatif (Thiesen polygon, Railly’s law = Law of retail gravitation,
computer, statistik)
Penentuan Batas
Tidak ada satupun daerah yang memiliki karakteristik yang sama identik.
Sehingga sulit ada batas yang tegas antar wilayah.
Yang terpenting adalah wilayah inti (core region) yang memiliki deferensiasi
tinggi, sedangkan batas antar wilayah, lebih kepada zone peralihan (zone
transition) dimana deferensiasinya paling rendah.
PLANNING REGION AND PROGRAMME REGION
KRITERIA ANALISIS PERENCANAAN
Interdependensi Functional Region
Nodal Region
Polarized Region
Planning Region
Similarity (Kesamaan) Uniform Region
Formal Region
Homogeneous Region
Zonal Region
Programme Region
SWP (SUB WILAYAH PEMBANGUNAN)
Prinsip
Menciptakan integrasi, melalui keterkaitan dan ketergantungan
Tujuan
1. Memperkuat kesatuan atau integrasi (ekonomi) negara atau wilayah secara
utuh
2. Efisiensi pertumbuhan (prinsip growth centers)
3. Menyebaratakan pembangunan dan menghindarkan pemusatan kegiatan
(kesenjangan)
4. Menjamin keserasian dan koordinasi antar berbagai kegiatan pembangunan
Komponen
1. Model Sistem Integrasi
2. Inti (pusat) wilayah dan wilayah pengaruhnya (hinterland)
3. Penentuan batas SWP
4. Basis Ekonomi SWP
PENENTUAN SWP
1. Deskripsikan Sistem Keterkaitan, Ketergantungan, dan Pola Pergerakan
Dalam Suatu Wilayah
………Wilayah Homogen (Variabel Fisik Wilayah) Dapat Dijadikan Dasar
2. Tetapkan Inti / Pusat Wilayah Dan Wilayah Pengaruhnya
3. Penentuan Batas
4. Penilaian Basis Ekonomi
Instrumen : Pemetaan / Gis
GAMBAR LEWAT
SPATIAL LINKAGE ANALYSIS
PATTERNS OF PHYSICAL, ECONOMIC, SOCIAL AND
ORGANIZATIONAL INTERACTIONS AMONG SETTLEMENTS
AND RURAL AREAS SURROUNDING THEM
MAJOR LINKAGES IN SPATIAL DEVELOPMENT :
1. PHYSICAL LINKAGES : ROAD, RIVER TRANSPORT,
RAILROAD, ECOLOGICAL INTERDEPENDENCES
2. ECONOMIC LINKAGES : MARKETT PATTERNS, FLOWS OF
RAW MATERIALS, PRODUCTION LINKAGES, CONSUMPTION
AND SHOPPING PATTERNS, INCOME FLOWS
3. POPULATION MOVEMENT : TEMPORAL AND PERMANENT
MOVEMENT (MIGRATION)
4. TECHNOLOGICAL LINKAGES : TECHNOLOGY
INTERDEPENDENCY, IRRIGATION SYSTEM,
TELECOMMUNICATION SYSTEM
5. SOCIAL INTERACTION LINKAGES : VISITING PATTERN,
RITUAL AND RELIGIUS ACTIVITIES
6. SERVICE DELIVERY LINKAGES : ENERGY FLOWS AND
NETWORKS, CREDIT AND FINANCIAL NETWORKS,
EDUCATION HEALTH SERVICE DELIVERY SYSTEMS
7. POLITICAL, ADMINISTRATIVE AND ORGANIZATIONAL
LINKAGES : GOVERNMENT BUDGET FLOWS AND
STRUCTURAL RELATIONSHIPS
GAMBAR LEWAT
BAHAN AJAR ILMU WILAYAH
PENDEKATAN WILAYAH DALAM PEMBANGUNAN
BAGIAN – II
PENDEKATAN PENGEMBANGAN WILAYAH
PENDAHULUAN
Mekanisme perencanaan pembangunan nasional berjalan melalui dua
pendekatan utama, yaitu pembangunan sektoral dan regional. Hasil dua pendekatan
tersebut diharapkan dapat menciptakan landasan yang kuat bagi bangsa Indonesia
untuk tumbuh dan berkembang atas dasar kekuatan sendiri dan mewujudkan
masyarakat adil makmur berdasarkan pancasila. Kenyataannya, upaya menciptakan
keselarasan dan keserasian dua strategi tersebut merupakan hal pelik, bahkan
terkadang cenderung kontradiktif dan dikotomis.
Dalam perkembangannya pendekatan pertama (sektoral) nampak lebih
menonjol dan semakin menguat dibanding pendekatan kedua (regional), hal ini dapat
dilihat dari orientasi pembangunan yang secara tegas meletakkan aspek pertumbuhan
ekonomi (economic growth) sektoral sebagai cara untuk mencapai tujuan
pembangunan. Disamping telah memberikan hasil yang memuaskan (dilihat dari
indikator ekonomi) seperti pertumbuhan ekonomi tinggi, pendapatan perkapita naik,
namun orientasi tersebut ternyata telah menimbulkan beberapa masalah, salah satu
diantaranya adalah tidak meratanya distribusi kegiatan dan hasil pembangunan,
sehingga beberapa agenda permasalahan pembangunan, seperti kemiskinan,
kesenjangan sosial-ekonomi, ketimpangan antar wilayah (kota – desa, pusat –
daerah), sering digunakan sebagai contoh produk model pembangunan (sektoral)
yang lebih berorientasi pada pertumbuhan ekonomi.
Hal tersebut dapat dimengerti karena untuk mengejar pertumbuhan yang
tinggi serta efisiensi, pembangunan diutamakan pada kegiatan-kegiatan yang paling
produktif, terutama kegiatan ekspor produksi primer seperti pertambangan,
kehutanan, dan perkebunan. Sementara itu untuk mengadakan barang-barang
konsumsi dan mengurangi ketergantungan impor, dikembangkan industry substitusi
impor, yang dikembangkan di kota-kota besar. Akibatnya tingkat pembangunan
ekonomi yang tinggi hanya terjadi pada wilayah-wilayah yang memiliki kekayaan
sumber alam serta kota-kota besar. Dari sinilah persoalan ketimpangan wilayah
sebagai agenda utama pembangunan regional berawal dan terus berkembang.
Gunawan Sumodiningrat (1995) mencatat tiga bentuk ketimpangan
pembangunan, yaitu ketidakmerataan antar golongan penduduk, ketidakmerataan
antar sektor dan ketidakmerataan antar wilayah. Ketidakmerataan antar golongan
penduduk terlihat dari masih banyaknya penduduk miskin, baik di perkotaan maupun
perdesaan, meskipun relatif menurun, namun penurunan tertsebut tidak sebanding
dengan peningkatan hasil pembangunan yang dinikmati oleh golongan masyarakat
yang tidak miskin. Spektrum ketimpangan antar golongan penduduk juga meluas
pada dimensi pribumi dan non pribumi. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi
tampaknya hanya dapat dinikmati oleh sebagian kecil lapisan masyarakat Indonesia,
sedangkan sebagian besar masyarakat masih hidup dalam suasana ‘kemiskinan’.
Ketidakmerataan pembangunan antar sektor dan antar wilayah muncul secara
nyata dalam beberapa bentuk dualisme, yaitu antara sektor pertanian yang semakin
menurun peran dan produktivitasnya, namun menampung tenaga kerja yang cukup
banyak dan sektor industri yang cenderung capital intensive dengan daya serap tenaga
kerja rendah namun kontribusinya semakin meningkat. Demikian pula halnya dengan
sektor jasa dan perdagangan yang semakin jauh meninggalkan sektor pertanian. Lebih
lanjut ketidakmerataan aspek demografis dan sumberdaya alam serta kebijakan
pemerintah telah memberikan andil yang cukup besar dalam ketimpanagan wilayah.
Dikotomi Jawa (pusat) dan luar Jawa (pinggiran), Kawasan Timur Indonesia (KTI)
dan Kawasan Barat Indonesia (KBI), antara perdesaan dan perkotaan adalah kasus
nyata pembangunan wilayah Indonesia. Fakta-fakta tersebut merupakan suatu contoh
adanya masalah pembangunan dilihat dalam dimensi ruang (wilayah).
Strategi pembangunan yang hanya mendasarkan pertumbuhan ekonomi tanpa
memperhatikan aspek distribusi (pemerataan), perluasan kesempatan kerja,
penghapusan kemiskinan serta aspek wilayah, walaupun pada tahap awalnya berhasil
meningkatkan pertumbuhan ekonomi, namun akhirnya akan mengalami berbagai
masalah tersebut.
Untuk mengatasi masalah tersebut tentunya diperlukan kebijaksanaan yang
menangani masalah ruang, dalam hal ini adalah kebijaksanaan pengembangan
wilayah. Kebijaksanaan ini berkenaan dengan lokasi di mana pembangunan ekonomi
dilakukan. Wilayah nasional tidak homogen, dan kegiatan pembangunan tidak terjadi
pada tiap bagian wilayah dengan merata. Peranan perencanaan wilayah adalah untuk
menghubungkan kegiatan yang terpisah-pisah untuk mencapai tujuan pembangunan
nasional (Friedmann, 1966 : 5).
PERENCANAAN PENGEMBANGAN WILAYAH DAN PERANANNYA
Pengembangan wilayah berkenaan dengan dimensi spasial (ruang) dari
kegiatan pembangunan. Didasari pemikiran bahwa kegiatan ekonomi terdistribusi
dalam ruang yang tidak homogen, oleh karena lokasi mempunyai potensi dan nilai
relatif terhadap lokasi lainnya, maka kegiatan yang bertujuan ekonomi maupun sosial
akan tersebar sesuai dengan potensi dan relatif lokasi yang mendukungnya (Luthfi,
1994).
Begitu pula kesejahteraan penduduk akan tergantung pada sumberdaya dan
aksesibilitasnya terhadap suatu lokasi, dimana ekonomi terikat (Richardson, 1981 :
270). Usaha-usaha untuk mengkaitkan kegiatan ekonomi sektor industri dengan
sektor pertanian, atau pengkaitan beberapa jenis industri akan sulit tercapai tanpa
memperhatikan aspek ruang, karena masing-masing terpisah oleh jarak geografis.
Oleh karena itu arti pembangunan juga perlu diberi perspektif baru sebagai upaya
pengorganisasian ruang (Luthfi, 1994). Untuk tujuan ini maka pendekatan
pengembangan wilayah yang menyangkut aspek tata ruang mendapatkan peranannya.
Pendekatan melalui pengembangan wilayah ini mempunyai beberapa
keuntungan, Pertama, akan didasari pengenalan yang lebih baik atas penduduk dan
budaya pada berbagai wilayah, serta pengenalan atas potensi unik daerah. Sehingga
memudahkan untuk melaksanakan pembangunan daerah yang sesuai dengan potensi,
kapasitas serta problem khusus daerah tersebut. Dengan pengembangan wilayah ini
dapat diharapkan kemungkinan lebih baik untuk memperbaiki keseimbangan sosial
ekonomi antar wilayah (Friedmann, 1979 : 38).
Alasan politis diterapkannya perencanaan pengembangan wilayah antara lain
adalah bahwa pembangunan nasional yang terlalu bersifat sektoral dan tidak
mempertimbangkan faktor-faktor lokasi, atau bagaimana penjalaran pertumbuhan
tersebut dalam ruang ekonomi. Tindakan mengabaikan dimensi tata ruang, ditambah
dengan hanya menekankan pemikiran jangka pendek, akan memberikan kontribusi
tetrhadap semakin tajamnya kesenjangan antar wilayah (Miller, 1989 : 8).
Pengembangan wilayah merupakan perangkat yang melengkapi atau bagian
integral dari pembangunan nasional. Pembangunan wilayah diarahkan untuk
mengembangkan daerah dan menyerasikan laju pertumbuhan antar daerah, antar desa
dan kota, antar sektor serta pembukaan dan percepatan pembangunan Kawasan Timur
Indonesia, daerah terpencil, daerah minus, daerah kritis, daerah perbatasan, dan
daerah terbelakang lainnya, yang disesuaikan dengan prioritas dan potensi daerah
bersangkutan sehingga terwujud pola pembangunan yang merupakan perwujudan
Wawasan Nusantara (GBHN, 1993). Selanjutnya tujuan dan prinsip pendekatan
dalam pengembangan wilayah juga tidak terlepas dari tujuan dan prinsip
pembangunan nasional.
Hal ini berarti setiap kegiatan pembangunan di daerah harus
mempertimbangkan kondisi dan situasi regional (aspek kewilayahan) disamping
pertimbangan-pertimbangan yang bersifat sektoral. Kebijaksanaan pembangunan
regional di Indonesia paling tidak mempunyai empat tujuan utama (Tojiman S, 1981)
yaitu :
1. Meningkatkan kseimbangan dan keserasian antara pembangunan antar
sektoral dan pembangunan regional, dengan meletakkan berbagai
pembangunan sektoral pada wilayah-wilayah tertentu sesuai dengan potensi
dan prioritasnya.
2. Meningkatkan keseimbangan dan keharmonisan serta pemerataan
pertumbuhan antar wilayah.
3. Meningkatkan partisipasi masyarakat local dalam pembangunan.
4. Meningkatkan keserasian hubungan antara pusat-pusat wilayah dengan
hinterlandnya dan antara kota dan desa.
Pada dua dasawarsa terakhir, perencanaan regional di Indonesia semakin
menunjukkan aura respectability (pancaran kehormatan), seiring semakin
kompleksnya tantangan dan masalah pembangunan dan adanya keyakinan bahwa
pendekatan kewilayahan merupakan jawaban yang paling tepat untuk mengatasi
ketimpangan hasil-hasil pelaksanaan pembangunan, khususnya ketimpangan antar
wilayah. Dengan demikian pembangunan regional diharapkan dapat muncul sebagai
salah satu alternatif paradigma pembangunan yang berfungsi sebagai balance
terhadap penarapan pola kebijaksanaan pertumbuhan ekonomi yang dianut oleh para
pemegang kebijakan ekonomi orde baru. Pada dasawarsa ini pula kebijakan regional
menunjukkan perannya, hal ini didukung oleh semakin maraknya kebijakan yang
berorientasi pada wilayah semacam otonomi wilayah, desentralisasi, regionalisasi,
penyusunan tata ruang wilayah, pembangunan kawasan terpadu dan lain-lain.
ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN REGIONAL
Pada hakekatnya daerah merupakan bagian integral yang tak terpisahkan dari
pembangunan nasional, oleh karena itu dalam rangka menjamin agar pelaksanaan
pembangunan nasional dapat berjalan serasi dan seimbang, maka perlu diusahakan
keselarasan antara pembangunan sektoral dan pembangunan daerah. Hal ini berarti
setiap kegiatan pembangunan di daerah harus mempertimbangkan kondisi dan situasi
regional (aspek kewilayahan) disamping pertimbangan-pertimbangan yang bersifat
sektoral.
Kebijaksanaan pembangunan regional di Indonesia paling tidak mempunyai
empat tujuan utama (Bappenas, 1993) yaitu :
1. Meningkatkan keseimbangan dan keserasian antara pembangunan sektoral
dan pembangunan regional, dengan meletakkan berbagai pembangunan
sektoral pada wilayah-wilayah tertentu sesuai dengan potensi dan prioritasnya.
2. Meningkatkan keseimbangan dan keharmonisan serta pemerataan
pertumbuhan antar wilayah.
3. Meningkatkan partisipasi masyarakat lokal dalam pembangunan.
4. Meningkatkan keserasian hubungan antara pusat-pusat wilayah dengan
hinterlandnya dan antara kota dan desa.
Pertanyaan yang tentunya menarik untuk dikedepankan adalah bagaimana
problematika pembangunan dipahami dalam kontek atau pendekatan pembangunan
wilayah (regional development) dan sejauh mana model pembangunan wilayah di
Indonesia mampu mengatasinya. Selanjutnya analisis teoritis dan fakta digunakan
untuk menjelaskannya.
Untuk memahami pelaksanaan pembangunan regional di Indonesia maka
perlu dipahami dasar pemikiran dan konsep yang digunakan, khususnya konsep
pusat-pusat pertumbuhan (growth centers) serta bagaimana wujud pelaksanaannya.
Dalam konsep pembangunan wilayah (regional development) yang selama ini
kita terapkan, tampak jelas bahwa strategi pembangunan nasional lebih menganut
model Growth centers yang lebih cenderung berorientasi pada pertumbuhan ekonomi.
Asumsi dasar adalah terjadinya mekanisme trickle down effect, yaitu adanya proses
difusi atau proses penebaran hasil dan proses pembangunan ke pusat-pusat
pertumbuhan yang lebih rendah dan wilayah hinterlandnya.
Dalam model growth centers, pembangunan berlangsung dalam suatu
equilibrium matrix lokasi yang terdiri dari beberapa pusat-pusat pertumbuhan (growth
centers) dan daerah penyangga-pinggiran (hinterland). Langkah awal dimulai dengan
membangun pusat atau kutub pertumbuhan lebih dahulu (dengan industrialisasi).
Pertumbuhan ekonomi dimulai dan mencapai puncaknya pada sejumlah pusat-pusat.
Apabila langkah ini berhasil, maka tindakan kedua adalah proses penjalaran atau
penetesan keberhasilan itu ke wilayah-wilayah hinterland di sekitarnya. Mekanisme
efek tebar berjalan melalui proses membangun keterkaitan (linkages development)
leading industries pada pusat-pusat pertumbuhan, baik keterkaitan ke depan (forward
linkages) dan ke belakang (backward linkages).
Model seperti inilah yang oleh Dean K. Forbes (1986) disebut sebagai model
pembangunan non-marxis. Pada model seperti ini pada kenyataannya tidak jelas
mekanisme penetesannya bahkan cenderung mengakselerasikan proses industrialisasi
dan urbanisasi serta telah menimbulkan terkonsentrasinya pembangunan di pusat-
pusat pertumbuhan (dalam kasus Indonesia : Jawa, Sumatera, Bali = Kawasan Barat
Indonesia). Dengan demikian bukan trickle down effect yang terjadi, melainkan
keadaan sebaliknya yaitu backwash and polarization effect, dimana terjadi
penyedotan (aliran) potensi sumberdaya wilayah hinterland oleh pusat-pusat
pertumbuhan ; sehingga pada akhirnya akan semakin memperluas kesenjangan
dengan wilayah-wilayah pinggiran.
Studi yang dilakukan M.J. Titus tentang arus migrasi (1978) dan Mubyarto
(1989) tentang pengaliran modal menyebutkan bahwa ciri model pembangunan
tersebut di dunia, ketiga adalah terciptanya mekanisme penyedotan sumberdaya
(capital dan tenaga kerja) dari wilayah pinggiran menuju wilayah pusat. Selanjutnya
dengan jelas disebutkan bahwa ketimpangan pembangunan antar wilayah Indonesia
terjadi bukan hanya karena faktor kemiskinan sumberdaya wilayah, tetapi juga akibat
pola hubungan yang tidak seimbang antara pusat kota dan daerah.
Kegagalan untuk mewujudkan efek tetesan, oleh Friedman (1975) disinyalir
akibat tidak bekerjasamanya mekanisme pasar secara proporsional, oleh karena itu
timbullah upaya untuk merencanakan pusat-pusat pertumbuhan di dalam kerangka
pengembangan wilayah yang terkendali.
Meskipun terlalu dini untuk mengatakan kebijaksanaan pembangunan
regional di Indonesia ‘gagal’, namun analisis fakta menunjukkan bahwa pendekatan
seperti ini kurang berhasil diterapkan di Indonesia. Kesenjangan antar wilayah
nyatanya tetap menyolok, meski intervensi pemerintah sudah banyak dilakukan. Ini
terutama terjadi akibat modal (kapital) yang diharapkan bisa mengalir ke pinggiran,
lebih banyak tertahan di pusat atau wilayah lain yang secara ekonomi lebih
menguntungkan, bahkan seringkali mengalir ke pusat.
Beberapa hasil studi berikut menngambarkan belum berhasilnya kebijakan
pembangunan regional yang diterapkan di Indonesia, diantaranya ditandai dengan
semakin exist-nya problem ketimpangan wilayah (regional inequity) dalam tingkat
pertumbuhan dan perkembangan antar daerah dan dalam tingkat pendapatan dan
kemakmuran, terjadi pula sistem keruangan yang benar-benar terkutub dengan pusat
kota mendominasi suatu jaringan perkotaan yang terbelakang.
Hendra Asmara (1975) menggarisbawahi bahwa ada periode 1988-1971
terdapat ketimpangan antar wilayah di Indonesia, terutama dalam kaitannya dengan
sumberdaya alam, tingkat produktivitas perkapita, kualitas tenaga kerja dan efisiensi
penggunaan sumberdaya dan organisasi. Pratilla (1981) menunjukkan adanya
konsentrasi aset-aset pembangunan pada WPU-B, baik dalam aspek sumberdaya
manusia, Produk Domestik Regional Bruto (PDBR) maupun PDBR per kapita,
dimana wilayah ini memberikan sumbangan lebih dari 40% dari pendapatan nasional.
Moeljarto Tjokrowinoto (1995) mengungkapkan bahwa hal ini merupakan
konsekuensi logis orientasi pertumbuhan yang cenderung mengarahkan alokasi
sumberdaya pada wilayah-wilayah pusat pertumbuhan maka disamping keberhasilan
pembangunan maka tampak adanya regional inequity atau ketimpangan regional yang
cukup memprihatinkan. Selanjutnya hal ini tercermin dari timpangnya pembiayaan
pembangunan (dana INPRES, DAU, dan DAK), produk domestik regional bruto
(PRDB), pendapatan perkapita, proporsi penduduk miskin, indeks mutu hidup (IMH),
atau physical quality of life index (PQLI) antar propinsi (Biro Pusat Statistik dan
Budhy Tjahjati Soegijoko, (1992). Selain itu juga terjadi kesenjangan sektoral
(dicerminkan oleh tidak seimbangnya indek nilai tukar) antara sektor pertanian dan
nonpertanian dan antara daerah perdesaan dan perkotaan. Dengan demikian secara
tidak sadar telah terjadi proses pengkutuban hasil-hasil pembangunan (polarized
development process) pada wilayah tertentu dan marginalisasi di wilayah lain.
Dengan menggunakan indikator kesenjangan pendapatan per kapita,
penyebaran dan konsentrasi industri, investasi, kemiskinan dan pendidikan, Cornelis
Lay (1993) dengan jelas mengemukakan bahwa keterbelakangan dan ketimpangan
antar wilayah exist di Indonesia. Bahkan beberapa indikator mengkonfirmasikan
adanya kecenderungan untuk terus memburuk. Lebih lanjut, perbandingan antar
wilayah menunjukkan bahwa secara umum daerah-daerah di Kawasan Barat
Indonesia (KBI) memiliki penampilan yang lebih meyakinkan dalam hal tingkat
kemajuannya, sementara wilayah-wilayah di Kawasan Timur Indonesia (KTI) lebih
mewakili performance keterbelakangan. Perbandingan antara kedua wilayah tersebut
mengindikasikan terjadinya kesenjangan yang cukup tajam. Bahkan, ketimpangan
yang sama juga terjadi dalam satu wilayah yang sama.
Menguatnya terminology pembangunan KBI (sebagian wilayah yang
diuntungkan) dan KTI (wilayah yang kurang beruntung) akhir-akhir ini menjadi
indikator penjelas adanya ketimpangan antar wilayah. Apabila tidak segera
diantisipasi dengan cepat maka tidak hanya akan menimbulkan kerawanan sosial dan
ekonomi tetapi juga politik, terutama pada aspek integrasi nasional dan hamkamnas.
Dalam konteks situasi seperti ini beberapa program pembangunan yang
berdimensi pemerataan akan sulit diharapkan keberhasilannya selama orientasi
(model) pembangunan dan faktor serta mekanisme ketimpangan itu tidak diubah.
Artinya harus ada perubahan atau penyesuaian pembangunan pada tingkat makro.
Jika selama ini pengembangan wilayah-wilayah pusat terus dilaksanakan, sudah
saatnya pengembangan wilayah pinggiran dengan lebih serius. Adanya kenyataan
diatas mendorong upaya-upaya untuk mencari paradigma pengembangan kawasan
alternatif yang lebih fungsional dan mampu merespon pertumbuhan ekonomi dan
mewujudkan pemerataan.
Ditetapkannya Undang-Undang No 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang
(UUPR) yang menjadi dasar bagi perumusan Strategi Nasional Pembangunan Tata
Ruang Nasional (SNPTR) dan Perencanaan Tata Ruang Wilayah pada tingkat yang
lebih rendah belum memberikan hasil yang optimal, hal ini nampak dari banyaknya
konflik kepentingan terhadap ruang yang terjadi. Meskipun demikian dukungan aspek
kelembagaan atau perundang-undangan dan beberapa kebijakan lain yang bernuansa
regional semacam Program Pengembangan Wilayah (PPW) atau Provincial
Development Programme (PDP), Program Pengembangan Kawasan Terpadu (PKT),
diharapkan akan semakin mampu menyentuh akar permasalahan.
RESTRUKTURISASI STRATEGI PEMBANGUNAN
Masa depan pembangunan nasional maupun regional dalam pembangunan
Indonesia dalam konteks otonomi daerah tergantung tidak saja pada tekad politik dan
keberanian pemerintah tapi juga pemahaman yang tepat terhadap pembangunan
regional. Pelaksanaan pembangunan regional akan tersendat tanpa restrukturisasi
kebijakan dan strategi pembangunan. Hal ini dilaksanakan untuk menangkal berbagai
macam kesenjangan dan ketidakmerataan yang muncul sebagai akibat pelaksanaan
pembangunan, langkah-langkah restrukturisasi penting antara lain (Muta’ali, 1997) :
1. Restrukturisasi Alokasi Dana Pembangunan
Baik dana APBN maupun APBD ataupun dana swasta lainnya secara
proporsional. Anggaran DAU dan DAK yang sering memunculkan kontroversi dan
tidakpuasan bagi daerah terus diperbaiki dan harus tetap ditingkatkan sebagai
keputusan politik dalam alokasi anggaran dan pemerataan pembangunan, khususnya
lebih diutamakan untuk mengatasi daerah-daerah hinterland yang miskin dan sulit
berkembang serta mengeliminir kesenjangan wilayah. Hal ini juga harus diimbangi
pola perimbangan keuangan pusat dan daerah yang lebih baik.
2. Restrukturisasi Spasial
Kebijaksanaan penting yang harus dilakukan guna meningkatkan efektifitas
pembangunan regional dan mengurangi kesenjangan antar wilayah adalah
diberikannya penekanan pada mekanisme penyebaran modal atau aset pembangunan
secara geografis dan proporsional. Selain itu fokus kebijaksanaan diarahkan pada
upaya-upaya mengkoordinasikan berbagai kegiatan perencanaan pembangunan lokal
pada sejumlah daerah terpilih sesuai dengan potensi dan permasalahan.
Dalam konteks pembangunan regional Indonesia, perlu diciptakan pola
hubungan antar wilayah yang seimbang dan menekankan aspek pemerataan dan
keseimbangan terutama pada KTI dan KBI, antara Jawa dan luar Jawa, Perkotaan dan
Perdesaan, Pusat dan Pinggiran dan seterusnya, serta berpihak kepada daerah-daerah
miskin. Beberapa policy tentang pengembangan kawasan andalan, pengembangan
segitiga pertumbuhan, pengembangan prasarana dan kebijakan insentif di beberapa
daerah terbelakang perlu direalisasikan lebih nyata. Selain itu juga perlu membangun
jalinan keterkaitan antar wilayah (Rondinelli, 1983).
3. Restrukturisasi Sektoral
Dilakukan terutama untuk mengatasi berbagai kemungkinan berkembangnya
kesenjangan sektoral, terutama antara industri dan pertanian, antara sektor formal-
modern dan sektor informal-tradisional, dan seterusnya sehingga benar-benar mampu
diciptakan keserasian dan keseimbangan antar sektor. Kebijakan dapat ditempuh baik
dalam aspek perimbangan keuangan, investasi, program dan proyek pembangunan,
kelembagaan, maupun aspek politis yang lain.
4. Restrukturisasi Kelembagaan
Perlunya aspek perundang-undangan yang mengatur tentang pola hubungan
dan tata kerja serta perimbangan pembangunan antar wilayah, baik dalam
perencanaan maupun pelaksanaan. Selain itu perlu ditunjang adanya institusi
perencanaan wilayah yang memadai baik secara kuantitas maupun kualitas.
Perencanaan yang bersifat keruangan dan pembangunan wilayah perlu
dilakukan karena kedua hal tersebut merupakan suatu cara untuk memecahkan
permasalahan pembangunan yang mendasar. Permasalahan ini adalah bagaimana
mengembangkan pertumbuhan ekonomi secara luas yang mengijinkan sebagian besar
penduduk pedesaan dan wilayah-wilayah tertinggal untuk berpartisipasi lebih efektif
dalam kegiatan produktif dan untuk mencapai keuntungan yang lebih besar dari
proses pembangunan (Rondinelli, 1985). Namun langkah-langkah ini tidak akan
sepenuhnya bermanfaat apabila tidak didukung oleh political will yang sungguh-
sungguh dari semua pihak yang terkait untuk mengatasi kesenjangan wilayah.
PENUTUP
Menguatnya otonomi daerah dan pendekatan wilayah dalam pembangunan
merupakan tantangan yang menarik bagi geograf, untuk mengerahkan seluruh
kemampuannya bagi pengkajian yang lebih mendalam dan bermanfaat bagi ilmu dan
masyarakat. Menurut Fawcett, penerapan ilmu geografik secara sistematik kepada
kondisi-kondisi yang ada, memungkinkan kajian wilayah dapat dilakukan secara
komprehensif dan memuaskan. Dengan kata lain kajian geografis akan turut
menentukan keberhasilan suatu daerah dalam menjalankan pembangunan (otonomi)
daerah dan masyarakatnya.
BAHAN AJAR ILMU WILAYAH
ANALISIS WILAYAHBAGIAN - III
SCOPE OF SPATIAL / REGIONAL ANALYSIS
(bruce mitchell, 1998)
Location and distribution of phenomena
Interaction of phenomena between places and regions
Spatial / regional structure arragement, and organization
Spatial processes
Gambar : Faktor – faktor pembentuk struktur wilayah
STRUKTUR WILAYAH ADALAH HASIL KENAMPAKKAN INTERAKSI
MULTI FAKTOR
Kenampakan : struktur ekonomi,struktur sosial,struktur pemanfaatan ruang.
Economic SocialCulturePoliticgeographic
Human process created reg.structure
Spatial/Regional Sructure (pattern of economic Activity)
Reciprocal relationship spatial form/regional structure influence a human process
KERANGKA DASAR ANALISIS WILAYAH
TIPE WILAYAH : HOMOGEN DAN FUNGSIONAL
1. Wilayah Homogen
Perbedaan dengan wilayah lain lebih penting daripada perbedaan di dalam
wilayah
Perbedaannya cukup signifikan
Perbedaan dapat diuji secara empiris
Kriteria untuk deleniasi sangat tergantung ‘kepentingan’ dan
‘tujuan’ analisis.
Teknik analisis : single variabel atau\
Analisis faktor & indexing/scoring multi variabel
2. Wilayah fungsi
- Dicirikan dengan perbedaan-perbedaan di dalam wilayah dan hubungan-
hubungan fungsional, yang sering diekspresikan dengan adanya aliran (flows),
seperti transportasi, komunikasi,dst.
Manusia membutuhkan ruang untuk aktivitasnya
Lokasi
Transportasi dan komunikasi
Spesialisasi
Pusat/node/center
Teknik analisis :
Gravity models % flow models
STRUKTUR WILAYAH
(PEMAHAMAN MAKNA DASAR)
A. Komposisi
Didasarkan pada kesamaan kriteria (intra region)
Ekonomi
Sosial
Fisik (Pemanfaatan Ruang)
B. Jaringan
Didasarkan pada keterkaitan antar wilayah (inter region)
Center – Pherypery
Hirarki
Keterkaitan
Fungsional (struktur ruang)
ANALISIS REGIONAL
ANALISIS INTER-REGIONAL
Setiap satuan wilayah dianggap sebagai ‘agregat’ utuh
Analisis unsur-unsur wilayah dan bagian-bagian di dalam setiap wilayah,
bukan ‘the main concern’
Analisis lebih ditekankan pada interaksi dan interdependensi antar wilayah
ANALISIS INTRA-REGIONAL
Disagregasi ruang dan unsur-unsur di dalam wilayah
Analisis unsur-unsur wilayah dan bagian-bagian wilayah (sub-wilayah),
merupakan ‘the main concern’
Analisis interaksi dan interdependensi antar wilayah, hanya bersifat
komplementer
GEOGRAPHIC DATA MATRIX
DAERAH DALAM ANGKA
SISTEM INFORMASI GEOGRAFI
HINCO Approach :
1. HUMAN aspect
2. INSTITUTIONAL aspect
3. NATURAL aspect
4. CAPITAL aspect
5. OTHER aspect
HINCO approach (Avrom Bendavid-Val, 1991)
Analytical Rubric Table Subjects
1. Human aspect Population size and demographic characteristic;education;work experience,skills;income and wages;expenditure patterns;employment,unemployment,labor force participation;health;population subsets (e.g.minorities,rural,urban);productivity;housing;commutation;labor market areas.
2. Institutional aspect Regional and local governments;public revenue and expenditure patterns;social and municipal services;labor-to-capital ratios;business barriers, business institutions;institutional coordination;institutional participation,trade and labor organizations;cooperatives;economic activity mix characteristics;land ownership patterns.
3. Natural aspect Land use patterns,mineral resources,soil types,water resources;topographic features;recreation assets;scenic assets,locational characteristics;historicsites;other heritage-related fentures;environmentally sensitive zones;hazard-prone zone.
4. Capital aspect Infrastructure;land use potentials;transportation and communication;public investment;private investment;saving rate;external capital sources;housing stock;unutilized/under utilized structures;firm size;concentration ratio;gross product;capital-to-output ratios;public-capital construction.
5. Other aspect Development plans and planning at higher and lower level trade areas;special relationship with other areas,special information on major economic activities,problems, or potentials;results of surveys designed to obtain the views of the leadership or general public on development problems,potential, or desired directions;energy resources.
AgrasisIndustridll
ProduksiDistribusiPertukaran
VARIABLE KOMPONEN WILAYAH (by Sunardi Djojosuharto)
ANALISIS INTRA-REGIONAL :
C
I
R
I
W
I
L
A
Y
A
H
POTENSI
IKLIM
SOSBUD
KEMAMPUAN LAHAN
S
D
M
A
N
U
S
I
A
S
D
L
A
H
A
N AIR
DEMOGRAFI
SOSEK
Lereng, kedalaman,erosi,tekstur,permeabilitas
Pertanian;pertambangan,industri,jasa,dst.
Jumlah:kepadatan,jenis kelamin,usiakerja,mata pencaharian,dst
Kelembagaan;kesenian,agama,pendidikan
Air permukaan:curah hujan,evaporasi,transpirasui,infiltrasi.
Airtanah:infiltrasi,perkolasi,storage,base flow.
FUNGSI & SIFAT
FUNGSI & SIFAT
SIFATSIFAT
FUNGSIFUNGSI
Disagregasi ruang dan unsur-unsur di dalam wilayah
Analisis unsur-unsur wilayah dan bagian-bagian wilayah (sub-wilayah),
merupakan ‘the main concern’
Analisis interaksi dan interdependensi antar wilayah, hanya bersifat
komplementer
Ecological Complex Analysis
Pendekatan ekologi, memandang wilayah sebagai organism (relasi, tumbuh dan
berkembang). Komponen dan sistem interaksi :
1. POPULATION
2. ENVIRONMENT
3. TECHNOLOGY
4. PATTERN OF CULTURE
5. ORGANIZATION
Homoginity Analysis
Perwilayahan Dengan Prinsip Homogenitas (Kesamaan Kriteria)
Teknik Analisis :
1. KUALITATIF
2. KUANTITATIF (STATISTIK)
3. PEMETAAN (GIS)
4. CLUSTER ANALYSIS
GAMBAR TEKNIK ANALISIS INTRAREGIONAL DAN INTERREGIONAL
TABEL 2
ANALISIS INTER-REGIONAL
Setiap satuan wilayah dianggap sebagai ‘agregat’ utuh
Analisis unsur-unsur wilayah dan bagian-bagian di dalam setiap wilayah,
bukan ‘the main concern’
Analisis lebih ditekankan pada interaksi dan interdependensi antar wilayah
Functionality Analysis
Untuk Penentuan Wilayah Pusat Dan Hinterlandnya
Diidentifikasikan Dengan Jumlah Fungsi (Pelayanan)
1. Ekonomi
2. Sosial
3. Administrasi
4. Umum
Menunjukkan Hirarki atau Tingkatan Wilayah
Semakin Banyak Jumlah Fungsi, Semakin Tinggi Hirarki, Menjadi Pusat dan Radius
Pengaruhnya Semakin Luas.
Teknik Analisis :
1. Skalogram
2. Bisection
3. Sosiogram
Settlement Typology Analysis
Untuk Mengidentifikasi Spesialisasi Fungsi Lingkungan Permukiman (Bisa Kota).
Dicari Karakteristik Yang Dominan, Unik, Spesifik
Variabel yang digunakan :
1. Struktur Ruang Kegiatan
2. Struktur Pekerjaan
Settlement Juga Dapat Dianalisa Patternnya (Mengelompok-Menyebar)…
Pembangunan Infrastruktur
Rank – Size Analysis
Untuk Menentukan Sistem Kota-Kota (HIrarki) Termasuk Sebaran Indek Keutamaan
(Index Of Primacy) Dari Kota-Kota (Kesenjangan)
Variabel Yang Digunakan :
1. Jumlah Penduduk
2. PDRB (Modifikasi Menarik)
Network Analysis
Aspek Fungsional, Keterkaitan Antar Wilayah
Konsep Aksesibilitas Dan Konektifitas
Konsep Aksesibilitas – Kemudahan (Jarak Fisik (Km), Cost,Time, Dan Sarana
Prasarana).
Konsep Konektifitas
Rute Atau Links
Posisi Strategis
Spatial Interaction Analysis
Menunjukkan Relasi Interdependensi Antar Lokasi Dalam Hal Pergerakan Penduduk,
Barang, Komoditas, Informasi, Dll.
Teknik Analisis :
1. Analisis Gravitasi
2. Analisis Titik Henti
Variabel Yang Digunakan :
1. Variabel Massa (Pergerakan), Penduduk, Barang, Komoditas, Ekonomi,
Kesempatan Kerja,dll.
2. Variabel Jarak
Regional Economic Analysis
1. Basis Ekonomi (Location Quotient=Lq)
Menentukan Basis Ekonomi Dan Efek Pengganda Sektor Basis
2. Shift – Share Analysis
Economic Composition Analysis
Menilai Kinerja Ekonomi Wilayah (Dinamik)
3. Input – Output Regional
Keterkaitan Produk, Forward Dan Backward Linkages, Multiplier Effect
4. Income And Product Account
Kesenjangan Sosial Dan Regional
Kesenjangan Sosial Antar Strata Masyarakat
Indek Gini
Kurva Lorenz
Kesenjangan Regional
Indek Wiliamson
Economic Distance
Kurva Lorenz
Statistic Compendium
Pemanfaatan Teknik Statistik Untuk Analisis Regional
Misalnya : Statistik Multivariate Analysis Untuk Menentukan Daya Saing Regional
Tergantung Struktur Datanya
Cross-Section Maupun Time-Series
Table 1
BAHAN AJAR ILMU WILAYAH
DINAMIKA DAN TAHAPAN PERKEMBANGAN WILAYAH
BAGIAN – IV
DINAMIKA WILAYAH DALAM PERSPEKTIF GEOGRAFIS
oleh :
Djarot S. Widyatmoko
PENDAHULUAN
(Geography is about local variability within a general context – R.J. Johnston, 1984)
Dalam kurun waktu tiga dasawarsa belakangan ini kita menjadi saksi
perubahan-perubahan yang begitu cepat di dunia ini. Kekhususan sifat suatu daerah
atau tempat yang telah menjadi trademark selama berpuluh-puluh tahun banyak yang
telah hilang atau paling tidak telah berubah bentuk. Pulau Bali yang saya tahu
sekarang, sangat jauh berbeda dengan keadaan ketika saya melaksanakan KKL I dua
puluh tahun yang lalu. Riau kepulauan yang dikenal dengan daerah penampungan
‘manusia perahu’ dari Vietnam, kini merupakan kawasan unggulan bagi
pengembangan industri dan pariwisata nasional. Lebih dekat lagi, seperti Desa
Kasongan di Kabupaten Bantul : kini terkenal dengan industri kerajinan gerabahnya,
daerah di sekitar Jalan Kaliurang, Condongcatur, Caturtunggal sudah berubah
menjadi kawasan permukiman padat penduduk dan pelayanan yang mungkin lebih
padat daripada beberapa daerah Kotamadya Yogyakarta sendiri. Dan tentunya masih
banyak lagi. Pada ‘kawasan tumbuh-cepat’, seperti koridor Merak-Jakarta-Bandung
atau koridor Surabaya-Malang, kecepatan perubahannya (the speed of change)
mungkin tidak dihitung dalam tahun, melainkan dalam bulan.
Perubahan-perubahan yang terjadi seperti yang ditunjukkan dalam contoh-
contoh di atas menunjukkam bahwa wilayah permukaan bumi merupakan organisme
yang dinamis. Bentuk, sifat, dan kecepatan dari dinamikanya merupakan fungsi dari
kekuatan-kekuatan yang bekerja baik yang berasal dari luar dan dari dalam wilayah
itu sendiri, maupun yang berasal dari perpaduan kekuatan-kekuatan yang bersifat
khas (unique) setempat dan yang bersifat umum (general). Dinamika wilayah
memang proses in-situ atau setempat namun keberadaan proses merupakan hasil
perpaduan dari dua kekuatan tersebut. Fenomena industri kerajinan gerabah adalah
ciri khas Kasongan, yang merupakan perpaduan dari inovasi lokal dalam teknik dan
gaya gerabah yang disesuaikan dengan selera pasar (baik regional, nasional, maupun
internasional). Namun, surut-berkembangnya indusri gerabah Kasongan tergantung
pada elastisitas kemampuan pengrajin lokal terhadap inovasi baru akibat (perubahan)
peningkatan mutu, selera, dan jumlah permintaan pasar. Perubahan permintaan pasar
ini pada dasarnya merupakan respon terhadap perubahan-perubahan umum yang
bersifat global, seperti perubahan perilaku ekonomi dunia, kemajuan teknologi,
keterbukaan negara, dan sebagainya. Jadi, dinamika suatu tempat tidak dapat
dipisahkan atau merupakan bagian integral dari dinamika yang terjadi di tempat lain.
Bentuk saling ketergantungan antar tempat atau ruang ini (interdependencies of
places atau spatial interdependence) merupakan fenomena geografi yang kini banyak
diminati geografiwan, terutama untuk menjawab perubahan-perubahan pola
keruangan kegiatan manusia akibat kuatnya pengaruh arus globalisasi dan
internasional. Seperti yang diungkapkan oleh Knox dan Marston (1998) :
By studyng spatial interdependence, geographers are able to address diversity within
the framework of a broader relationship ; to see the uniqueness of individual places
and regions within the contexs of other places and regions (and, indeed, the whole
globe); and to see how general relationships play out within particular setting.
MEMAHAMI DINAMIKA WILAYAH
Konsep ‘region’ atau wilayah memang masih merupakan perdebatan yang
panjang dalam dunia akademisi, namun dalam konteks perkembangan wilayah
(regional development) tampak terdapat konsesus yang menganggap wilayah sebagai
bagian permukaan bumi dalam lingkup sub-nasional. Walaupun demikian,
diskonsesus masih tetap saja muncul bila dikaitkan dengan persoalan perwilayahan
(regionalization). Pada satu sisi wilayah diekspresikan melalui azas-azas persamaan
(homogenity) dan di sisi lain disusun atas dasar azas-azas fungsionalitas
(functionality). Artikel ini tidak akan membahas perbedaan-perbedaan tersebut,
namun cukup dikatakan di sini bahwa kombinasi dari kedua azas tersebut bila
diterapkan pada bagian permukaan bumi sub-nasional yang cukup luas akan
melahirkan variasi keruangan (spatial variation). Variasi keruangan akan
menimbulkan berbagai bentuk interaksi keruangan (spatial interaction) antar
masing-masing tempat (individual places) dan tentunya interaksi keruangan
menghasilkan bentuk-bentuk saling ketergantungan antar tempat (interdependency of
places). Dengan analogi semacam ini jelas bahwa spatial interdependency merupakan
pencerminan dari azas-azas geografi (khususnya spatial analysis) : location, distance,
space, accessibility, dan spatial interaction.
Pertanyaannya sekarang adalah apakah dinamika wilayah itu? Dan mengapa
terjadi dinamika? Gambar 1 di bawah ini mungkin dapat digunakan sebagai landasan
untuk menjawab kedua pertanyaan tersebut. Wujud kompak dari suatu wilayah dapat
berupa perkotaan, perdesaan, DAS (daerah aliran sungai), dan ad hock region (dapat
berupa wilayah perencanaan, atau wilayah-wilayah khusus lainnya). Dinamika
wilayah tentunya tidak diekspresikan dalam bentuk perpindahan lokasi suatu wilayah
dari lokasi yang satu ke lokasi yang lain namun lebih merujuk pada perubahan unsur-
unsur wilayah (HINCO : Human-Institution-Natural-Capital-Other) yang disebabkan
oleh adanya ‘intervensi’ dari agen perubahan (agents of change) baik yang bersifat
alami maupun buatan manusia, atau bahkan kombinasi keduanya. Seperti yang
tampak dalam gambar 1 dinamika wilayah dibentuk oleh serangkaian perubahan yang
saling kait mengait antara perubahan-perubahan baik yang alami maupun bukan :
iklim, bencana alam, ekonomi, demografi, politik, budaya, teknologi, sosial, baik
dalam skala makro maupun mikro. Dampak pengaruh dari agen-agen perubahan tidak
berarti akan menghasilkan respon yang sama terhadap semua wilayah namun oleh
faktor-faktor lokal (local factors) suatu wilayah pengaruh tersebut dimodifikasi. Di
samping itu, kekuatan pengaruh masing-masing agen perubahan juga tidak sama kuat
dan kombinasi dari beberapa agen perubahan juga menghasilkan pengaruh yang
berbeda pula. Kompleksitas hubungan dan pengaruh agen-agen perubahan ini
tercermin dalam variasi dinamika yang dihasilkan. Sifat dari pengaruh agen
perubahan terhadap wilayah tidak selalu searah, karena perubahan yang dihasilkan
akan menimbulkan umpan balik terhadap dinamika wilayah itu sendiri (lihat gambar
1). Sehingga gerakan pengaruh-mempengaruhi ini bak spiral yang terus berputar baik
ke atas maupun ke bawah. Ke atas berarti perubahan-perubahan yang terjadi dianggap
membawa ‘kemajuan’, sedangkan ke bawah berarti sebaliknya.
Memang tidak ada hal yang baru dalam analysis dinamika wilayah ini. Namun
yang perlu mendapatkan perhatian kita adalah kecepatan dan skala perubahan yang
terjadi akhir-akhir ini (terutama dalam dua dasawarsa terakhir) yang di luar
kemampuan kita untuk mengantisipasinya. Saya tidak pernah mengira kalau kenaikan
harga temped an tahu di pasar Demangan menjadi duakali lipat dipicu oleh
pengambangan (floating) nilai mata uang Baht di Thailand sana. Tidak hanya skala,
namun juga ‘rentetan’ pengaruhnya. Siapa sangka kalau kemacetan impor jagung
akan berpengaruh terhadap runtuhnya industri makanan jadi dan juga menurunkan
derajat ‘diet’ masyarakat. Kejadian yang saling kait-mengait dengan melibatkan
variasi skala geografis dan skala pengambilan keputusan yang lebar menyebabkan
analisis saling ketergantungan keruangan menjadi lebih cepat daripada sebelumnya.
Walaupun tidak ada yang baru, namun entry point dari momentum analisis
dinamika wilayah ini dipicu oleh teori sistem-dunia (world-system) karya Emmanuel
Wallerstein (1979). Dalam teori ini permukaan bumi tidak lagi dibagi menjadi dua
wilayah dikotomi tetapi tiga wilayah yang saling berkaitan, yakni core, semi-
periphery, dan periphery. Dengan mengikutsertakan wilayah semi-periphery ke
dalam sistem dunia, Wallerstein ingin menjelaskan sifat kedinamisan wilayah, yaitu
tidak selamanya suatu wilayah terpaku pada satu posisi. Sejarah telah memberikan
bukti timbul tenggelamnya peradaban manusia di suatu wilayah. Eropa Barat,
Amerika Utara, dan Jepang adalah wilayah core dunia sekarang ini dan sebagian
besar wilayah Afrika,Timur Tengah, dan Asia Tenggara adalah periphery, sedang
negara-negara industri baru, seperti Korea, Taiwan, Hongkong, dan Singapura adalah
wilayah semi-periphery. Namun sejarah juga mengatakan bahwa wilayah-wilayah
periphery sekarang ini ‘dahulu pernah’ sebagai core dunia dan sebaliknya wilayah
core yang sekarang ada, ‘dahulu’ adalah periphery. Menurut Wallerstein, hubungan
antara core-semi periphery-periphery adalah hubungan yang dinamis dalam arti
bahwa masing-masing saling membutuhkan dan masing-masing ingin memperkuat
posisi atau statusnya dengan memperkuat efektivitas wilayahnya dalam
meningkatkan daya saing kemampuan domestik (Knox, 1994).
Dalam menerangkan dinamika wilayah, teori sistem-dunia ternyata bukan
satu-satunya pisau analisa. Di antaranya adalah globalisasi dan perubahan teknologi.
Globalisasi adalah semakin meningkatnya ketertautan (interconnectedness) wilayah-
wilayah permukaan bumi melalui proses-proses perubahan baik ekonomi,
lingkungan, politik, maupun budaya (Knox dan Marston, 1998). Gejala globalisasi
dan internasionalisasi (ekonomi) akhir abad ke-20 ditandai dengan munculnya tiga
wilayah yang mendominasi produksi dan perdagangan dunia : Amerika Utara,
Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE), serta Asia Timur dan Asia Tenggara (menguasai
hampir 80 % ekspor dunia dan lebih dari 60 % produksi manufaktur dunia);
deregulasi sistem keuangan dunia : mempermudah pergerakan investasi ke seluruh
pelosok bumi (terutama di tiga wilayah di atas) baik melalui subtitusi-impor maupun
foreign direct investment-FDI ; dan internasionalisasi ‘proses produksi’, terutama
perusahaan multi nasional (transnasional Corporation-TNCs) : menyebabkan tata
pembagian tenaga-kerja internasional baru (the new international division of labor-
NIDL).
Penganut teori gelombang-panjang (long-wave theory) mempercayai adanya
pengaruh daur inovasi teknologi terhadap perkembangan ekonomi global. Sejak tahun
1780, telah terselesaikan empat gelombang-K (K-waves : K adalah inisial dari
Kondratiev, seorang ekonom Rusia pencetus teori ini pada tahun 1920) dimana
masing-masing gelombang memakan waktu sekitar 50 tahun. Setiap gelombang-K
selalu berkaitan dengan difusi inovasi teknologi pokok dan hal tersebut berpengaruh
pada bentuk dan sifat produksi, distribusi, dan organisasi (Golledge dan Stimson,
1997). Kita sekarang sedang berada pada era gelombang-K kelima yang baru pada
tahap awal : ‘era teknologi informasi’ – TI, yang ditandai dengan kemajuan pesat
pada teknologi transportasi dan telekomunikasi. Dampak utama dari gelombang
terakhir ini adalah pengkerutan jarak (the shrinking of distance) geografis, berarti
pula aliran (barang, orang, informasi) dan perubahan (baik produksi, distribusi, dan
organisasi) menjadi ‘lebih cepat’.
Proses globalisasi (ekonomi) dan perubahan teknologi (terutama di bidang
transportasi dan telekomunikasi) lebih memperkuat dan membesar jaringan kota-kota
di dunia (terutama kota-kota besar / metropolitan), dan yang lebih penting, terutama
bagi geografiwan, adalah semakin kuatnya peranan kota sebagai agen perubahan
wilayah. Namun, sifat hubungan antar kota ini tidak seimbang dan cenderung
ekspoilatif, yaitu menguntungkan kota-kota dengan kekuatan kontrol yang besar.
Sistem kota-kota dunia sekarang ini didominasi oleh kota dunia (world cities). Kota
dunia adalah kota yang menjadi pusat kendali bisnis dunia, termasuk di dalamnya
adalah pusat kekuatan ekonomi, budaya, dan politik yang menentukan bentuk dan
arah globalisasi ekonomi dan budaya (Knox, 1997). Dewasa ini diyakini ada empat
tingkat kota dunia. Paling atas terdapat tiga kota dunia, yang semuanya terdapat di
wilayah core , yaitu New York, London, dan Tokyo. Di bawahnya adalah kota-kota
dengan kekuatan dengan kontrol skala regional. Untuk wilayah Asia Timur dan
Tenggara adalah Singapura, yang kemudian disusul oleh Hongkong dan Seoul,
Osaka, dan Taipei di tingkat tiga. Untuk kota dunia tingkat ke-empat adalah ibukota-
ibukota negara namun telah mempunyai pengaruh pada skala regional (Jakarta
termasuk dalam kategori ini). Dengan struktur hirarki dan jaringan kota-kota
semacam ini, maka sudah sewajarnya wilayah-wilayah yang mendapat kesempatan
berkembang terlebih dahulu adalah wilayah-wilayah yang memiliki keterkaitan
dengan kota-kota dunia. Dicken (1992) mengidentifikasikan wilayah yang paling
dinamis di dunia pada saat ini terpusat di tiga kutub, yaitu wilayah MEE, Amerika
Utara, dan wilayah Asia Timur dan Tenggara. Kerjasama-kerjasama regional yang
menjadi ‘trend’ perkembangan saat ini, seperti kerjasama segitiga antara Indonesia-
Malaysia-Singapura, Indonesia-Malaysia-Thailand, dst. Sebenarnya merupakan
implikasi dari perkembangan (ekonomi) global yang ditimbulkan oleh dinamika kota-
kota dunia. Segitiga pertumbuhan SIJORI : Singapura-Johor-Riau merupakan contoh
nyata kerjasama regional yang mengangkat wilayah sekitar negara-kota Singapura
masuk ke dalam jaringan global dengan Singapura sebagai ‘jangkar’ dan ‘motor
penggerak’ nya.
Pada tingkat nasional, wilayah-wilayah yang ‘aktif berkembang’ sudah pasti
dengan mudah dapat kita kenali, yaitu wilayah-wilayah di sekitar kota besar di
Indonesia. Pada tingkat pertama, sudah pasti berada di wilayah sekitar Jakarta :
JABOTABEK, bahkan telah meluas meliputi hampir separoh wilayah propinsi Jawa
Barat, dengan koridor-koridor yang aktif berkembang, seperti Jakarta-Cirebon,
Jakarta-Merak / Anyer, Jakarta-Bandung-Cianjur. Tingkat kedua adalah wilayah di
sekitar Surabaya : GERBANGKERTOSUSILA, ditambah dengan koridor Surabaya-
Malang. Pada tingkat ketiga mungkin ditempati oleh wilayah di sekitar Medan dan
Ujung Pandang, oleh karena kota-kota ini pusat perniagaan regional dan mempunyai
jaringan internasional yang cukup kuat.
Lalu, bagaimana dengan JOGLOSEMAR : Jogjakarta, Solo, dan Semarang ?
JOGLOSEMAR : WILAYAH APA ?
Sesuai dengan keinginan kita untuk ‘menggarap’ wilayah JOGLOSEMAR ini
setelah penelitian terpadu di DAS Progo dianggap selesai, maka timbul dalam benak
saya pertanyaan di atas. Tentunya pertanyaan ini hanya merupakan ‘bagian kecil dari
tugas kita’ untuk menjawabnya dalam penelitian-penelitian yang akan dilakukan
nantinya.
Akronim JOGLOSEMAR sebenarnya dengan jelas menunjuk pada tiga kota
besar (bahkan dapat disebut tiga kota terbesar) di wilayah bagian tengah Pulau Jawa :
Jogjakarta (atau Yogyakarta), Solo, dan Semarang. Oleh karena kedudukan geografis
ketiga kota tersebut ‘agak’ berdekatan dan berbentuk segitiga, maka orang sering
mengidentitfikasikan wilayah di sekitar tiga kota ini sebagai Segitiga Pertumbuhan
JOGLOSEMAR atau disingkat SP JOGLOSEMAR. Istilah SP ini memang marak
digunakan dalam kurun lima tahun belakangan ini yang umumnya merujuk pada
aspek pengembangan ekonomi wilayah yang ditimbulkan oleh ‘linkages’ tiga kota
utamanya. Kentalnya muatan ekonomi dalam memandang SP ini disebabkan
kerjasama-kerjasama ekonomi sering dijadikan landasan pembentukan SP (Muta’ali,
1997). Dalam artikel ini saya tidak akan membahas lebih jauh mengenai SP (karena
sudah menjadi bagiannya Sdr. Lutfi Muta’ali dan Sdr. Baiquini), namun cukup bagi
saya untuk mengatakan bahwa konsep SP ini membawa konsekuensi yang berat
namun sekaligus menarik bagi geografiwan untuk terlibat di dalamnya.
Setidaknya ada tiga aspek yang menjadi tantangan geografiwan, yaitu
konseptualisasi, deleniasi, dan kontribusi analisis. Sebagai konsep yang masih relatif
baru, pengertian SP ini masih ‘labil’ sehingga diperlukan ‘manuver-manuver’
geografiwan untuk memperoleh klarifikasikan konsep yang ‘applicable’. Aspek
kedua mungkin bagian yang paling sulit : bagaimana SP ini diberi batas
keruangannya. Sebagaimana halnya dengan diskonsensus persoalan regionalization,
deliniasi SP membutuhkan argumen-argumen yang secara teoritis dan praktis dapat
dipertanggung-jawabkan. Dan untuk aspek yang terakhir diperlukan konsolidasi
pemikiran-pemikiran geografis untuk menjawab tantangan ‘baru’, yang mungkin
relevan dengan pertanyaan : apa bentuk kontribusi geografiwan ?
PENUTUP : KONTRIBUSI ANALISIS GEOGRAFIS
Immanuel Kant (1724-1804) membagi ilmu pengetahuan menjadi dua :
khusus dan umum. Khusus berarti mempelajari disiplin-disiplin tertentu, seperti
fisika, kimia, biologi, dan sebagainya; sedang untuk yang umum hanya ada dua :
mempelajari sesuatu dalam waktu adalah ilmu sejarah dan mempelajari sesuatu dalam
ruang adalah ilmu geografi (Knox dan Marston, 1998). Jadi, memang sudah sejak
lama pengertian tentang ruang mengakar dalam studi-studi geografis, bahkan secara
ekstrim disebutkan bahwa ‘kajian tentang ruang’ adalah domain ilmu geografi. Jika
ruang geografis secara sempit dapat diartikan sebagai wilayah permukaan bumi, maka
sudah sewajarnya bila geografiwan sangat berkepentingan dengan kajian dinamika
wilayah. Lalu, bagaimana bentuk kontribusinya ?
Sebagai ilmu pengetahuan yang bersifat umum geografi tidak mempunyai
objek material khusus (Hinderink, 1981). Bahkan Johnston (1981) menyebutkannya
sebagai “the study of the earth’s suface as the space within which the human
population lives”. Konsekuensinya adalah bahwa segala fenomena yang ada dan atau
terjadi di dalam wilayah dapat dijadikan objek kajian geografis. Sehingga tidak
terlalu keliru bila ada yang beranggapan bahwa geography is what geographers do.
Namun demikian, tidak berarti bahwa ilmu geografi tidak berciri. Seperti yang
tampak dalam gambar 2 studi-studi geografis dikenal sebagai studi yang menaruh
perhatian pada organisasi keruangan (spatial organization) baik lingkungan alamiah
(natural environment) maupun kegiatan-kegiatan manusia (human activities). Di
samping itu, studi-studi geografis juga sangat concern terhadap fenomena yang
ditimbulkan oleh atau proses-proses yang berkaitan dengan hubungan antara manusia
dengan lingkungannya (human – environment relationship). Last but not least, studi
geografi selalu dikenal dengan ‘petanya’ baik sebagai alat analisis maupun sebagai
hasil kajiannya. Kemajuan teknologi fotografi dan kedirgantaraan telah membawa
studi geografi berkembang lebih jauh dengan menggunakan citra penginderaan jauh
dalam mengkaji fenomena di permukaan bumi ini. Bahkan dalam era teknologi
informasi, geografiwan telah berhasil menyumbangkan karya emasnya bagi kemajuan
ilmu pengetahuan dan pembangunan dunia lewat geographic information system atau
GIS.
Dengan ciri-ciri di atas kontribusi nyata geografi terhadap studi dinamika
wilayah, menurut hemat saya, terletak pada pendekatan-pendekatan atau hampiran-
hampirannnya (approaches) terhadap persoalan-persoalan wilayah (baik teoritis
maupun terapan). Ada tiga pendekatan atau hampiran yang digunakan dalam studi
geografis, yaitu keruangan, ekologi, dan kompleks wilayah (Bintarto dan Surastopo,
1979 ; Hinderink, 1981). Analisa keruangan (baik pola maupun distribusi keruangan)
merupakan pencerminan dari concern studi geografi terhadap organisasi keruangan.
Dalam gambar 2 ditunjukkan bahwa ada lima konsep dasar yang digunakan dalam
analisis keruangan, yakni lokasi, jarak, ruang, aksesibilitas, dan interaksi keruangan
(Knox dan Marston, 1998). Analisa ekologi merupakan pencerminan concern studi
geografi terhadap hubungan manusia dengan lingkungannya. Dalam analisa ekologi
ini, teori ekosistem memegang peranan yang penting (Bintarto dan Surastopo, 1979).
Sedangkan analisa kompleks wilayah yang merupakan paduan dari dua analisa
tersebut sebelumnya sebenarnya merupakan kulminasi studi geografi terhadap
persoalan-persoalan wilayah. Wilayah tidak lagi dilihat dan dihampiri secara
sepenggal-sepenggal, namun sebagai entitas yang utuh, satu kesatuan. Analisa
kompleks wilayah menjadi lebih penting kegunaannya dalam intra-regional analysis
(Bendavid-Val, 1991).
Dengan ketiga pendekatan di atas, respon geografiwan terhadap studi
dinamika wilayah dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu studi yang bersifat
teoritis (theoretical) dan studi yang bersifat terapan (applied). Teoritis berarti
berhubungan dengan pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya pengembangan
teori-teori dalam ilmu geografi ; terapan berarti menjawab persoalan-persoalan di
dalam wilayah untuk kegunaan-kegunaan praktis. Seperti yang tampak dalam gambar
1 bahwa persoalan-persoalan wilayah muncul ke permukaan sebagai akibat lanjutan
dari perubahan-perubahan yang terjadi pada unsur-unsur wilayah. Penanganan
persoalan-persoalan wilayah melalui pengembangan kebijakan-kebijakan dan
perencanaan akan menimbulkan persoalan-persoalan baru baik yang diharapkan
maupun yang tidak, yang pada akhirnya akan mempengaruhi kembali dinamika
wilayah. Begitu seterusnya, sehingga sesungguhnya peranan geografiwan dalam
mengkaji dinamika wilayah tak ada putusnya : selalu ada persoalan-persoalan baru
yang membutuhkan kontribusi analisis geografis. Timbul pertanyaan : lalu,
bagaimana prakteknya ?
Ada dua hal pokok, menurut hemat saya, yang harus diperhatikan, yaitu
lingkup kajian dan prosedur. Untuk menentukan lingkup kajian dinamika wilayah,
saya merujuk pendapat Bendavid-Val (1991) seperti yang tercantum dalam Tabel 1
dan Tabel 2. Beliau mengembangkan suatu kerangka analisa dalam studi
intraregional yang didasari oleh dua kajian pokok (lihat Tabel 1), yaitu kajian tentang
“economics characteristics of places and the interactions among them” dan “the
overall environment in regional subareas”, yang kemudian dijabarkan ke dalam lima
belas butir analisis (lihat table 2) : (1) Basic statistical compendium; (2) incomes
measures; (3) social accounts; (4) economic composition analysis; (5) natural
resource assassement; (6) linkage investigations; (7) flow studies; (8) friction
analysis; (9) extended commodity trade systems analysis; (10) economic base and
accrual analysis; (11) input-output analysis; (12) rural-urban exchange analysis;
(13) access studies; (14) functional analysis; (15) market center studies. Sedang
untuk prosedur, saya merujuk pendapat Nossin (1982) seperti yang tercantum dalam
Gambar 3. Walaupun sebenarnya gambar tersebut untuk menerangkan langkah-
langkah yang perlu dalam suatu survey / penelitian untuk pembangunan, namun ke-
enam langkah tersebut sesuai dengan kebutuhan dan bentuk penelitian geografis
dalam studi dinamika wilayah. Ke – enam langkah tersebut, menurut hemat saya,
dapat dikelompokkan ke dalam tiga kelompok studi yang sifat ‘sequential’, yaitu :
pertama, kelompok studi yang berkaitan dengan pembentukan bank data yang
bersifat komprehensif. Pada tahap ini, segala usaha dan perhatian dari masing-masing
‘interest’ harus dicurahkan pada pembentukan ‘sistem informasi wilayah’ yang
terintegrasi. Dengan demikian, kedudukan dan peranan GIS dalam kajian dinamika
wilayah dapat sebagai ‘alat’ sekaligus ‘tujuan’ analisis. Pada tahap kedua adalah
pemanfaatan sistem informasi wilayah untuk menganalisis persoalan-persoalan
wilayah. Pada tahap ini tidak diperlukan integrasi masing-masing interest : mengkaji
paling tidak lima belas topik penelitian seperti yang diusulkan oleh Avrom Bendavid-
Val. Dan tahap terakhir adalah keikutsertaan geografiwan dalam menjawab
persoalan-persoalan wilayah, terutama dalam ‘intervensi’ kebijakan dan perencanaan.
Pada tahap ini perlu adanya seleksi persoalan-persoalan wilayah : dipilih persoalan-
persoalan yang benar-benar ‘aktual’ dan ‘krusial’ dan mempunyai ‘dampak penting’
bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pengembangan wilayah yang dikaji.
Usulan tiga tahapan tersebut menyiratkan bahwa penelitian dinamika wilayah
sebaiknya dilakukan terpadu dengan melibatkan banyak minat. Di samping itu,
penelitian dinamika wilayah tampaknya juga membutuhkan waktu cukup panjang,
dan disertai dengan perencanaan yang cukup matang agar sasaran dapat dicapai
secara efektif dan efisien.
Bagaimana dengan SP-JOGLOSEMAR ? tentunya perlu kita pikirkan bersama.
REFERENSI
Bendavid –Val, A.1991. Regional and Local Economic Analysis For Practitioners.
New York : Preager.
Bintarto, R. dan Surastopo H. 1997. Metode Analisa Geografi. Jakarta : LP3ES.
Golledge, R.G. dan Stimson, R.J. 1997. Spatial Behaviour : A Geographic
Perspective. New York : The Guilford Press.
Hinderink, J. 1981. Geography and the Study of Development. The Indonesian
Journal of Geography. Vol. 11 (42) : 9-18.
Johnston, R.J. (eds). 1981. The Dictionary of Human Geography. Oxford : Blackwell.
Johnston, R.J. 1984. The World is Our Oyster. Transactions, Institute of British
Geographers. Vol. 9 : 443-459.
Knox, P.L. 1995. The World Cities and the Organization of Global Space. Dalam
Johnston, R.J. et al. (editors). Geographies of Global Change : Remapping the
world in the late twentieth century. Oxford : Blackwell.
Knox, P.L. dan Agnew J. 1994. The Geography of The World Economy : An
Introduction to Ekonomic Geography. Edisi kedua. London : Edward Arnold.
Knox, P.L. dan Marston, S. A. 1998. Places and Regions in Global Context : Human
Geography. New Jersey : Prentice Hall.
Muta’ali, Lutfhi. 1997. Tinjauan Geografis Segitiga Pertumbuhan Dalam
Pembangunan Wilayah. BEM Fakultas Geografi-UGM, Yogyakarta.
Gambar 1.Proses Dinamika Wilayah
AGEN PERUBAHAN
Alam (iklim,bencana,
PENGAMBILAN KEPUTUSAN(politik,sosial,ekonomi:publik,perusahaan,kelompok, perorangan)
TAHAPAN PERKEMBANGAN WILAYAH
Pada dasarnya perkembangan wilayah tidak akan berlangsung secara serentak
dan bersamaan dengan intensitas yang sama, namun melalui tahapan-tahapan atau
gradasi. Teori tahapan ini pada dasarnya adalah kelanjutan dari pertumbuhan wilayah.
Disamping dikaji faktor-faktor penentu perkembangan wilayah, kemajuan suatu
wilayah juga dapat diidentifikasi dari tahapan perkembangan. Teori tahapan ini sering
juga disebut teori transformasi sektor, hal ini disebabkan perkembangan wilayah
biasanya memiliki keterkaitan yang erat dengan perubahan atau pergeseran sektor.
Berikut penjelasannya.
1. Teori Pentahapan Perspektif Klasik
Pertumbuhan ekonomi wilayah selalu diikuti relokasi sumberdaya dan
transformasi ekonomi. Hal ini bisa dilihat dari variabel struktur ekonomi, tenaga
kerja, dan pergeseran sektoral. James Stuart dan Adam Smith menjelaskan 3
tahapan, yaitu :
1) Tahap dominasi pertanian, yang menentukan perkembangan dan
distribusi penduduk, memunculkan sektor pendukung
2) Kegiatan ekonomi beragam, khususnya jasa dan perdagangan, yang
mendukung pertanian
3) Industrialisasi, untuk peningkatan produktivitas dan memenuhi
kebutuhan. Khusus sektor perdagangan Smith, menekankan adanya
inter dan intra region. Dalam bahasa sekarang, hal di atas sering
disebut Transformasi Sektoral.
Friedrich List (1844), mengungkap tentang lima tahap perkembangan wilayah
(masyarakat) yaitu :
1) Kehidupan masyarakat primitif
2) Perkebunan
3) Pertanian
4) Pertanian dan manufaktur
5) Pertanian dan perdagangan
Hildebrand (1864) berdasarkan hubungan pertukaran ada (1) barter, (2)
ekonomi uang, (3) ekonomi kredit. Bucker (1893) berdasarkan transaksi
ekonomi: ekonomi rumah tangga (konsumsi dan produksi terbatas), ekonomi
kota (produksi umum), dan ekonomi nasional (produksi dan distribusi). Gras
(1922) mendasarkan pada ekonomi spasial, mengelompokkan dalam lima
tahapan, yaitu (1) ekonomi nomaden, (2) ekonomi perdesaan, (3) ekonomi
perkotaan, (4) ekonomi nasional, (5) ekonomi global. Sebelumnya tokoh sosialis
terkemuka Karl Marx, membagi tiga lembaga ekonomi, yaitu feodalisme,
kapitalisme, dan sosialisme.
Secara sederhana berdasarkan beberapa tahapan tersebut di atas, suatu
wilayah dapat dinilai tingkat perkembangannya, tentunya dengan mendasarkan
variabel penilainya. Intinya apakah masih pada tahap awal perkembangan,
proses, atau tahapan lanjutan.
2. Teori Tahap Tinggal Landas
Perlu dijelaskan tersendiri karena Indonesia beberapa periode yang lalu kental
dengan pentahapan ini (mafia Barkeley, wijojo Nitisastro Cs arsitek
pembangunan Indonesia). Pencetusnya adalah WW Rostow (1960), yang
mengelompokkan tahapan pembangunan dalam lima tahap:
1) Masyarakat Tradisional, berciri statis dan didominasi kegiatan pertanian
(subsistem).
2) Masa Persiapan, dicirikan adanya perubahan kekakuan tradisional dimana
telah terjadi mobilitas sosial, geografi, pekerjaan. Selain itu fungsi
produksi pertanian dan industri telah berkembang meskipun lambat.
3) Masa Tinggal Landas, dicirikan adanya investasi mencapai 10 % dari
pendapatan wilayah, muncul kegiatan manufaktur “leading and propulsive
industry”, butuh modal skala besar, ada kerangka kerja yang jelas (sosial,
politik, kelembagaan).
4) Masa Pendewasaan, dicirikan investasi meningkat hingga 20 % dari
pendapatan wilayah, efisiensi sektor unggulan (spesialisasi), penduduk
dan pendapatan perkapita meningkat.
5) Konsumsi Masyarakat Tinggi, dicirikan sektor unggulan bergerak ke
barang konsumsi dan jasa, pola konsumsi dan produk non basic
membesar, pendapatan tinggi.
Perkembangan tidak mesti sulit, tetapi bis ameloncat.
3. Teori Transformasi Sektoral
Dikemukakan pertama kali oleh Alan Fisher dengan mengenalkan sektor
primer, sekunder, dan tersier. Menurutnya terdapat hubungan yang erat antara
pertumbuhan ekonomi wilayah dengan perubahan sektoral dan transformasi
penduduk (secara spasial). Perkembangan wilayah akan selalu diiringi (ditandai)
dengan pergeseran peran atau dominasi dari (1) sektor primer, pertanian dan
pertambangan, (2) sektor sekunder, manufaktur dan konstruksi, (3) sektor tersier,
seperti perdagangan dan jasa. Perubahan ini tidak hanya dari struktur pendapatan
regional, tetapi juga perubahan struktur tenaga kerja.
Sebagai contoh pada tahapan industrialisasi (modifikasi dari Rostow), (1) non
industrialisasi, jika sumbangan PDB sektor industri terhadap pendapatan nasional
atau wilayah < 10%; (2) menuju industrialisasi, antara 10-20%; (3) semi
industrialisasi, antara 20-30%, dan (4) industrialisasi penuh, jika PDB sektor
industri mencapai lebih dari 30%.
Kuznet, berdasarkan perubahan sektoral menemukan perkembangan wilayah
melalui tahap :
1) Ekonomi subsistem yang swasembada
2) Spesialisasi pada kegiatan primer dan perdagangan antar wilayah
3) Introduksi kegiatan industri
4) Diversifikasi industrialisasi
5) Spesialisasi industri jasa
Selain itu dikemukakan, wilayah disebut maju jika tingkat pengeluaran dan
pendapatan tinggi, produktivitas tinggi, transformasi struktur ekonomi cepat,
kecenderungan ekspor.
4. Teori Transformasi Spasial (Tinjauan Geografi)
Aspek spasial atau keruangan, yang menjadi penciri geografi adalah wujud
spasial dari ekonomi wilayah. Dengan kata lain transformasi sektoral akan
berakibat kepada transformasi spasial. Transformasi spasial dapat dilihat dari
perubahan landuse (konversi lahan), ciri-ciri kekotaan (kepadatan, kawasan
terbangun, fasilitas, proporsi pekerja non pertanian), serta sistem kota-kota,
dimana ada perubahan dari kota kecil-menengah-besar-metropolitan-mega urban.
Kota besar (metropolitan), kota menengah (secondary city) dan kota kecil
(small city). Atau core-semi perypheri-perypheri.
Dari berbagai uraian di atas, belum terjelaskan tentang ttransformasi spasial
(geografi) yang terjadi. Apakah perlu muncul tersendiri ataukah cukup implisit
dalam uraian di atas. Sebagai misal teori pentahapan geografis. Berikan
penjelasan, tentang Tahapan Perkembangan Wilayah dalam Perspektif
Geografis!
BAHAN AJAR ILMU WILAYAH
PERTUMBUHAN WILAYAHBAGIAN – V
TEORI PERTUMBUHAN WILAYAH
Perencanaan pengembangan wilayah berkaitan erat dengan upaya
peningkatan kinerja (intra regional) wilayah dan keseimbangan perkembangan antar
wilayah (interregional). Untuk memahami secara lebih baik terhadap dua topik
tersebut perlu diperbincangkan teori tentang pertumbuhan wilayah. Hakekat
pembangunan nasional termasuk pengembangan wilayah adalah bagaimana memacu
pertumbuhan wilayah, dan menyebarkannya (growth with equity) secara lebih merata
sehingga dapat mensejahterakan masyarakat yang ada di dalamnya. Berikut akan
dijelaskan beberapa teori pertumbuhan wilayah.
1. Teori Resources Endowment atau Resource Base
Teori ini dikemukakan oleh Harver Perloff dan Lowdon Wingo, Jr. (1961)
dalam tulisannya Natural resources Endowment and regional economic growth.
Menerangkan perkembangan wilayah di Amerika yang berlangsung 3 tahap,
yaitu : (1) tahap perkembangan pertanian (- 1840), daerah berkembang adalah
wilayah pertanian dan pelabuhan (pusat); (2) tahap perkembangan pertambangan
(1840-1950), besi dan batubara, memiliki forward linkages yang lebih luas dari
sektor pertanian; (3) tahap perkembangan amenity resource atau service.
Pertumbuhan wilayah sangat dipengaruhi oleh ketersediaan sumberdaya dan
kemampuannya untuk memproduksinya, untuk keperluan ekonomi nasional dan
ekspor. Dengan kata lain wilayah memiliki Comparative Advantages terhadap
wilayah lain (spesialisasi). Kegiatan ekspor akan memperluas permintaan dan
efek multiplier yang berpengaruh pada dinamika wilayah. Sumberdaya yang baik
adalah : (1) mensupport produksi nasional, (2) memiliki efek backward and
forward linkages yang luas, (3) efek multiplier, yaitu kemampuan meningkatkan
permintaan produksi barang dan jasa wilayah. Permintaan merupakan fungsi dari
jumlah penduduk, pendapatan, struktur produksi, pola perdagangan, dll.
2. Teori Export Base atau Economic Base
Teori ini dikemukakan Douglass C. North tahun 1964, merupakan perluasan
dari teori resources endowment. Teori ini mengatakan bahwa sektor ekspor
berperan penting dalam pertumbuhan wilayah, karena sektor impor dapat
memberikan kontribusi yang penting, tidak hanya kepada ekonomi wilayah tapi
juga ekonomi nasional. Kalau teori pertama lebih berorientasi pada inward
looking (strategi ke dalam), maka teori ekspor base mengandalkan pada kekuatan
permintaan eksternal (outward looking). Wilayah dengan tingkat permintaan
yang tinggi akan menarik investasi (modal) dan tenaga kerja.
Kegiatan ekspor akan mempengaruhi keterkaitan ekonomi ke belakang
(kegiatan produksi) dan ke depan pada sektor pelayanan (service). Dengan kata
lain, kegiatan ekspor secara langsung meningkatkan pendapatan faktor-faktor
produksi dan pendapatan wilayah. Syarat utama bagi pengembangan teori ini
adalah sistem wilayah terbuka, ada aliran barang, modal, teknologi antar wilayah,
dan antara wilayah dengan negara lain.
3. Teori Pertumbuhan Neoklasik
Teori ini dikembangkan dan banyak dianut oleh ekonom regional dengan
mengembangkan asumsi Neoklasik. Tokohnya adalah Harry W. Richradson
(1973) dalam bukunya Regional Economic Growth. Teori ini mengatakan bahwa
pertumbuhan wilayah tergantung tiga faktor yaitu tenaga kerja, ketersediaan
modal (investasi), dan kemajuan teknologi (eksogen, terlepas dari faktor investasi
dan tenaga kerja). Semakin besar kemampuan wilayah dalam penyediaan 3 faktor
tersebut, semakin cepat pertumbuhan wilayah.
Selain tiga faktor di atas, teori ini menekankan pentingnya perpindahan
(mobilitas) faktor produksi, terutama tenaga kerja dan modal (investasi) antar
wilayah, dan antar negara. Pola pergerakan ini memungkinkan terciptanya
keseimbangan pertumbuhan antarwilayah (ingat paradigma keseimbangan
regional-red).
Sebagai entitesis dari teori Neoklasik-yang percaya adanya keseimbangan
wilayah muncul teori ketidakseimbangan pertumbuhan wilayah, yang intinya
“tidak percaya pada mekanisme pasar, karena akan semakin memperburuk
ketimpangan wilayah” (ingat paradigma ketidakseimbangan regional-red).
Mryrdall adalah tokohnya, melalui Teori Penyebab Kumulatif atau Cummulative
Caution Theory yang mengungkapkan 2 kekuatan yang bekerja pada proses
pertumbuhan wilayah, yaitu efek sebar (spread effect) yang bersifat positif, dan
efek balik yang negatif (backwash effect). Efek kedua lebih besar disbanding
yang pertama.
Pertumbuhan output wilayah ditentukan oleh peningkatan produktifitas
(merupakan output dari 3 faktor Neoklasik). Kuncinya adalah produktifitas,
selanjutnya berpengaruh terhadap ekspor wilayah. Semakin tinggi produktivitas
semakin berkembang, sehingga wilayah lain akan sulit bersaing. Pentingnya
produktifitas ini juga digunakan untuk menjelaskan siklus kemiskinan, yang
berawal dari (1) produktifitas rendah, (2) kemiskinan, (3) pendapatan rendah, (4)
tabungan, (5) kekurangan modal (investasi), kembali ke no (1), dan seterusnya.
4. Teori Baru Pertumbuhan Wilayah
Teori ini percaya pada kekuatan teknologi (sebagai faktor endogen) dan
inovasi sebagai faktor dominan pertumbuhan wilayah (untuk meningkatkan
produktifitas). Kuncinya adalah investasi dalam pengembangan sumberdaya
manusia dan research and development. Teknologi tinggi dan inovasi yang
didukung oleh sumberdaya manusia yang berkualitas dan riset dan pengembangan
adalah syarat meningkatkan pertumbuhan wilayah. Pengalaman di negara lain
(maju) menunjukkan bahwa semakin tinggi faktor di atas, maka perkembangan
wilayah semakin cepat.
Termasuk dalam lingkup teori ini adalah dimasukkannya variabel-variabel
non ekonomi dalam Model Ekonomi Makro (baca : Sadono Sukirno, 1989),
dimana dijelaskan bahwa :
Output Regional = f (K, L, Q, Tr, T, So), dimana K adalah
Kapital/Modal/Investasi, L=Tenaga Kerja, Q=Tanah (sumberdaya),
Tr=Transportasi, T=Teknologi, So=Sosial Politik.
Dari berbagai faktor di atas, dimanakah posisi variabel geografis, seperti
lokasi, lokasi, jarak, ruang, aksesibilitas, site, situation, dan interaksi. Kenapa
variabel ini tidak muncul secara eksplisit. Berikan penjelasan, tentang Variabel
Geografis dan Perkembangan Wilayah ! (tugas).
5. Teori Pertumbuhan Wilayah Perspektif Geografi
Pertumbuhan wilayah dipengaruhi oleh faktor internal wilayah (sumberdaya)
dan faktor eksternal, khususnya hubungan wilayah tersebut dengan wilayah-
wilayah lain.
a. Unsur Internal (Intarregional) in situ, terdiri dari unsur sumberdaya
(alam, manusia, buatan), Historis, Lokasi (letak) site and situation, agen
perubahan, pengambilan keputusan.
b. Unsur Exsternal (Interregional) ex situ, terdiri dari interrelasi dengan
wilayah lain (interaksi, interdependensi), posisi wilayah tersebut terhadap
wilayah lain.
BAHAN AJAR ILMU WILAYAH
MODEL PEMBANGUNAN WILAYAH
BAGIAN – VI
THREE MODELS OF REGIONAL DEVELOPMENT
1. Growth Poles
Exchange Economy
Development Through Concentrated investment
Export From Growth Poles
Aglomeration In Urban Center
2. Functional Integration
Exchange Economy
Development Through Dispersed Investment
Linkages To Other Region
Hirarki Dan Fungsi Pusat-pusat Sekunder
3. Decentalized Territoral
Use Economy
Development From Locally Dispersed Investment
Selective Closure
Gambar
tabel
MODEL PEMBANGUNAN WILAYAH
Dalam perspektif doktrin pengembangan wilayah muncul beberapa alternatif
strategi. Dalam tulisan ini dibahas empat strategi, yaitu : (1) strategi kutub
pertumbuhan (sebagai pendalaman pendekatan pembangunan dari atas “development
from above”); (2) strategi agropolitan (sebagai pendalaman pendekatan pembangunan
dari bawah “development from below”); (3) strategi pengembangan ruang terintegrasi,
yang memadukan sektor perkotaan dan perdesaan; dan (4) strategi pengembangan
kota-kota kecil (dalam perspektif dekonsentrasi planologis). Empat alternatif strategi
tersebut mewakili beberapa aspek perdebatan pembangunan wilayah yang secara
umum mengalir dalam lima pokok perdebatan dikotomis, antara lain : (1) perkotaan-
perdesaan; (2) industri pertanian; (3) sentralisasi-desentralisasi sampai otonomi; (4)
pembangunan atas bawah; sampai (5) strategi pertumbuhan dan pemerataan. Secara
lebih detil keempat strategi tersebut diuraikan pada bagian berikutnya.
1. MODEL KUTUB PERTUMBUHAN
Growth poles atau kutub pertumbuhan pertama kali dipergunakan oleh
Francois Perroux (1950). Dengan tesisnya : “…..Pertumbuhan tidak terjadi di
sembarang tempat dan juga tidak terjadi secara serentak, tetapi pertumbuhan
terjadi pada titik-titik atau kutub-kutub pertumbuhan dengan intensitas yang
berubah-ubah, lalu pertumbuhan itu menyebar sepanjang saluran yang beraneka
ragam dan dengan pengaruh yang dinamis terhadap perekonomian wilayah”.
Pengertian kutub pertumbuhan yang dikemukakan oleh Perroux ini
merupakan suatu konsep ekonomi, sehingga tidak memiliki dimensi ruang.
Untuk menjelaskan pengertian tersebut, Perroux menciptakan suatu “ruang
abstrak” atau ruang dalam pengertian ekonomi, ruang sebagai suatu kumpulan
kekuatan ekonomi.
Pengertian Growth Pole yang terkait dengan ruang sebagai suatu kumpulan
kekuatan ekonomi, yang didefinisikan oleh Perroux sebagai pusat (Focii)
memiliki gaya sentrifugal yang memiliki kekuatan untuk ‘mendorong’ dan gaya
sentripetal yang memiliki kekuatan untuk ‘menarik’. Setiap pusat mempunyai
daya tarik dan daya tolak dalam suatu medan daya tarik dan daya dorong
bersama dengan pusat-pusat lainnya. Dengan pengertian ini berarti suatu Growth
poles akan berperan memacu (menarik dan mendorong) perkembangan ekonomi
di wilayah pengaruhnya.
Dalam konteks pertumbuhan, Perroux menyatakan bahwa yang menjadi
medan magnet adalah kegiatan industri. Menurutnya, untuk mencapai
pertumbuhan yang mantap dan berimbang diperlukan konsentrasi investasi pada
sektor-sektor tertentu yang unggul (leading sectors). Dalam perkembangan
selanjutnya akan terjadi suatu proses seleksi alam sehingga suatu sektor akan
makin penting, sementara sektor lainnya justru menghilang. Proses seleksi ini
terkait dengan mekanisme pasar dan inovasi wirausahawan yang sangat penting
dalam proses pembangunan (Hansen, 1981 : 19). Industri- industri dan kegiatan-
kegiatan yang akan berkembang dan membentuk kutub pertumbuhan tersebut
memiliki beberapa ciri sebagai Leading Industries dan Propulsive Industries,
antara lain :
Karakteristik Leading Industries :
1. Relatif baru, dinamis, dan mempunyai tingkat teknologi maju yang
menginjeksikan iklim pertumbuhan ke dalam suatu daerah.
2. Permintaan terhadap produknya memiliki elastisitas pendapatan yang
tinggi, produk tersebut biasanya dijual ke pasar-pasar nasional.
3. Mempunyai berbagai kaitan antar industri yang kuat dengan sektor-sektor
lainnya (input dan output). Kaitan-kaitan ini dapat bersifat forward
maupun backward.
Karasteristik Propulsive Industries :
1. Relatif besar.
2. Tingkat dominasinya tinggi, yaitu kebalikan dari tingkat ketergantungan
industri lain terhadap industri tersebut.
3. Menimbulkan dorongan-dorongan yang nyata kepada lingkungannya.
4. Mempunyai kemampuan berinovasi yang tinggi. Termasuk dalam suatu
industri yang sedang bertumbuh dengan cepat.
Implikasi spasial dari konsep kutub pertumbuhan diperkenalkan oleh
Boudeville (1966) yang mendefinisikan kutub pertumbuhan regional sebagai
aglomerasi geografis ‘sekelompok’ industri propulsive yang mengalami
ekspansi yang berlokasi di suatu daerah perkotaan dan mendorong
perkembangan kegiatan ekonomi lebih lanjut ke seluruh wilayah pengaruhnya.
Melalui efek kumulatif. Kemampuan suatu industri untuk menyebarkan
pertumbuhan tersebut tergantung pada ‘multiplier effect’ yang berhubungan
dengan faktor-faktor input-output antar industri, misalnya efek ganda dari tenaga
kerja dan output pendapatan.
Dalam kutub pertumbuhan terdapat kecenderungan terkonsentrasinya kegiatan
ekonomi pada titik tertentu karena adanya faktor saling keterkaitan dan
ketergantungan aglomerasi (Munir, 1984 : 38). Konsentrasi dan
kesalingketerkaitan merupakan faktor penting dalam setiap pusat pertumbuhan
karena melalui faktor ini ongkos produksi, termasuk transportasi pada kegiatan-
kegiatan industri dapat diturunkan (aspek kesamaan bahan dan pasar). Ada tiga
keuntungan aglomerasi, yaitu : Skala ekonomi (scale economies), Localization
economies dan Urbanization economies. Hal ini berarti bahwa jika kegiatan
ekonomi (industri) yang saling berkaitan dikonsentrasikan pada suatu tempat
tertentu, maka pertumbuhan ekonomi dari daerah yang bersangkutan akan dapat
ditingkatkan dibandingkan kalau industri tersebar dan terpencar ke seluruh
pelosok wilayah.
Pengembangan wilayah melalui konsep ini secara nyata akan terlihat dari
perkembangan kota-kota sebagai kutub pertumbuhan-kutub pertumbuhan suatu
wilayah. Kota-kota pusat pertumbuhan tersebut memiliki tingkat kemajuan
berbeda dan saling berinteraksi sehingga pada kondisi ideal dapat membentuk
suatu pola kota yang hirarkis. Dari hirarki kota ini diharapkan dapat terjadi
proses penyebaran kemajuan antar kota di wilayah tersebut yang pada dasarnya
berlangsung dalam beberapa cara, yaitu (Munir, 1984 : 39) :
1. Perluasan kegiatan ekonomi ke wilayah pasar yang baru yaitu dari pusat
terbesar kepada yang kecil;
2. Perpindahan kegiatan berupa rendah dari pusat yang besar ke pusat yang
lebih kecil karena meningkatnya upah di kota (pusat) yang lebih besar;
3. Memberikan alternatif lokasi yang lebih baik untuk kegiatan industri yang
mempunyai wilayah pasar dan kebutuhan prasarana yang berbeda sehingga
operasinya lebih efisien;
4. Dorongan investasi dari wirausahawan yang disebarkan melalui hirarki.
Friedman memperkaya konsep Growth Poles ini dengan mengemukakan
konsep Center -Periphery (pusat-pinggiran). Pengembangan wilayah menurut
konsep Friedman akan melahirkan kota utama dan wilayah sekitarnya yang
menjadi inti (Core) dari sistem kota-kota nasional dan pinggiran (periphery)
yang berada di luar serta bergantung pada inti. Perkembangan disebarkan dari
inti ke pinggiran melalui pertukaran penduduk, barang, dan jasa. Kota sebagai
inti berpengaruh atas wilayah pinggirannya.
Hubungan antara core atau pusat pertumbuhan dengan Periphery dilukiskan
dengan dua efek. Menurut, Myrdall (1957), pertama efek sebar ‘Spread Effect’
dan efek serap balik ‘Backwash Effect’.
Spread Effect terjadi apabila ekspansi kegiatan ekonomi pada Core
membutuhkan input bahan baku dari daerah sekitarnya (mekanisme input-
output). Sebaliknya ‘Backwash Effect’ terjadi jika industri propulsive tertentu,
cenderung hanya akan menarik modal dari daerah sekitarnya sehingga output
akan lebih tinggi. Menurutnya, Backwash Effect akan menjadi lebih kuat dari
Spread Effect yang ditandai dengan adannya penyerapan ekonomi wilayah
sekitarnya ke pusat-pusat pertumbuhan wilayah tersebut, yang berakibat
kesenjangan wilayah.
Hirscman (1958) mengungkapkan pertumbuhan ekonomi pada pusat
pertumbuhan akan berpengaruh pada daerah belakangnya melalui efek polarisasi
atau ‘polarization Effect’ dan efek penetasan ke bawah (Trickling Down Effect).
Polarization effect tersebut diperkuat dengan adanya pemusatan investasi pada
pusat pertumbuhan, sedangkan Trickling Down Effect dapat tumbuh dengan cara
meningkatnya daya tarik wilayah sekitarnya. Hirschman lebih optimis, sehingga
Trickling Down Effect lebih besar disbanding Polarization Effect. Kuncinya
adalah komplementaritas.
POSITIP : GROWTH POLE
1. Konsep kutub pertumbuhan memmberikan peluang untuk mendekatkan dua
cabang penting dalam analisis regional yaitu analisis mengenai pertumbuhan
ekonomi regional dan analisis struktur ruang regional.
2. Konsep kutub pertumbuhan memberikan kemungkinan pemakaian dan
pengembangan teknik-teknik analisis seperti analisis input-output, analisis
aglomerasi, dan sebagainya.
3. Konsep kutub pertumbuhan ini dapat digunakan sebagai alat strategi
intervensi oleh pemerintah dalam menetapkan kebijaksanaan-kebijaksanaan
investasi bagi pembangunan daerah.
NEGATIP : GROWTH POLE
1. Kerangka permasalahan dikembangkan dalam setting masyarakat industri dan
cenderung tidak melihat problem spesifik wilayah, khususnya wilayah
perdesaan yang didominasi sektor pertanian.
2. Dalam hubungan pusat-pinggiran, efek balik (backwash effect) sering bekerja
lebih cepat daripada efek pemancaran (spread effect), sehingga kesenjangan
wilayah semakin melebar. Kondisi ini terjadi karena (a) kurang jelasnya
hirarki kota-kota; (b) wilayah pinggiran tidak memiliki kekuasaan untuk
mengendalikan sumberdayanya (Firman, 1989 : 14-18).
3. Rendahnya kapasitas penyerapan tenaga kerja karena industri yang
dikembangkan di pusat-pusat pertumbuhan merupakan industri padat modal,
sehingga kenaikan dalam kapasitas produksi tidak menciptakan kesempatan
kerja yang seimbang.
4. Konsep ini tidak mempertimbangkan hubungan dualisme sektoral, antara
sektor informal-formal atau perkotaan-perdesaan dalam pengembangan
wilayah.
2. MODEL DECENTRALIZED TERRITORIAL (Strategi Agropolitan) :
Muncul sebagai respon kegagalan development from above, seperti kutub
pertumbuhan. Menurut strategi ini pengertian pembangunan tidak hanya kemajuan
ekonomi yang sentralistik, tetapi memberikan kesempatan bagi individu-individu,
kelompok-kelompok sosial dan organisasi masyarakat untuk ‘memobilisasi’
kemampuan dan sumberdaya lokal bagi kemajuannya. Pendekatan ini
menitikberatkan pada upaya untuk menciptakan dorongan bagi pembangunan
dinamis di wilayah-wilayah (pedesaan) yang relative terbelakang. Dengan
demikian strategi ini lebih berpihak kepada daerah perdesaan. Pembangunan di
suatu wilayah harus berdasarkan pada mobilisasi sumberdaya alam,
sumberdaya manusia, dan institusi lokal yang berkembang di wilayah
tersebut.
Alas an munculnya strategi agropolitan atau tipe-tipe pembangunan dari
bawah antara lain :
Kegagalan startegi development from above, yang berakibat pada
ketimpangan wilayah, karena terkonsentrasi pada program pembangunan
skala besar (large scale);
Kondisi fisik dan sosial ekonomi internal merupakan kunci sukses
penerapan strategi pembangunan.
Konsep pembangunan hendaknya berasal dari masyarakat itu sendiri
dengan mempertimbangkan sumberdaya lokal dan partisipasi.
Sistem ekonomi lokal harus berperan dalam memnbentuk pola interaksi
ekonomi antar wilayah. Sehingga dapat meningkatkan nilai tambah (value
added).
Agropolitan merupakan pendekatan pengembangan wilayah yang
menitikberatkan pada upaya untuk menciptakan dorongan bagi pembangunan
dinamis di wilayah-wilayah pedesaan dan wilayah ynag relatif terbelakang. Dalam
pendekatan agropolitan upaya untuk memercepat pembangunan di perdesaan
dlakukan dengan memasukkan kegiatan non primer seperti industri, perdagangan,
jasa dan lain-lain, yang menunjang perkembangan sektor pertanian. Hal ini berarti
bahwa agropolitan adalah suatu wilayah pertanian yang struktur perekonomiannya
tidak hanya bertumpu pada sektor pertanian. Sektor non pertanian yang
dikembangkan ialah sektor industri yang memliki linkages secara langsung, yaitu
menghasilkan alat pertanian dan mengolah hasil pertanian (agroindustri). Untuk
menunjang pemasaran, dikembangkan pula pemasaran, dikembangkan pula sektor
perdagangan dan jasa. Dalam konteks ruang (Friedmann, 1976 : 37), perlu
ditentukan satuan-satuan ruang yang lebih besar dari unit desa sebagai dasar bagi
pembangunan desa yang progresif. Dan menata perencanaan dan pembangunan
atas dasar wilayah (territorial).
TUJUAN AGROPOLITAN
1. Mengubah wilayah perdesaan dengan memperkenalkan kegiatan-kegiatan non
primer dan gaya hidup kota (urbanism life) yang telah disesuaikan dengan
lingkungan pedesaan. Mobilitas penduduk ke kota menjadi berkurang dan terjadi
akumulasi modal di pedesaan.
2. Membentuk ruang sosial-ekonomi dan politik antar desa sehingga membentuk
kesatuan ruang yang lebih luas yang dinamakan distrik agropolitan (agropolitan
district);
3. Menyeimbangkan pendapatan desa dan kota dengan memperbanyak kesempatan
kerja produktif dan memadukan kegiatan-kegiatan pertanian dengan kegiatan non
pertanian;
4. Menggunakan tenaga kerja secara efektif dengan memanfaatkan sumberdaya
alam termasuk peningkatan hasil pertanian, peningkatan industri yang berkaitan
dengan pertanian (agroindustri), memperluas pemberian jasa-jasa untuk perdesaan
dan pembangunan sarana dan prasarana;
5. Merangkai distrik agropolitan menjadi jaringan regional, dengan cara membangun
dan memperbaiki sarana untuk menciptakan hubungan antar wilayah agropolitan
dan antara wilayah agropolitan dengan kota-kota yang lebih besar;
6. Memberikan otonomi pada aparat pemerintah di wilayah agropolitan sehingga
mereka dapat merencanakan pembangunan berdasarkan sumberdaya wilayahnya
sendiri.
7. Memperbaiki sistem keuangan termasuk memperbaiki nilai tukar barang-barang
antara desa dan kota sehingga tercipta kesesuaian harga yang saling
menguntungkan.
KUNCI STRATEGI AGROPOLITAN
1. Wilayah agropolitan tersebut harus merupakan wilayah tertutup. Hal ini terkait
dengan kebijaksanaan untuk memanfaatkan sumberdaya lokal dan melawan
sistem perdagangan bebas dan mekanisme pasar yang eksploitatif. Melalui
perusahaan-perusahaan multinasional. Ekspresi kemampuan masyarakat untuk
mengembangkan wilayah dengan kemampuannya sendiri (self reliance);
2. Mengarahkan pemanfaatan sumberdaya untuk kepentingan wilayah tersebut
sehingga terjadi akumulasi perkembangan di dalam wilayah itu sendiri;
3. Aksesibilitas penduduk yang sama terhadap kekuatan sosial dan faktor produksi.
Basis untuk akumulasi kekuatan sosial ini diantaranya ialah aset produktif dari
faktor produksi seperti tanah, air, dan alat produksi lainnya, sumberdaya finansial,
informasi, pengetahuan dan keterampilan, organisasi sosial-politik.
Pemerintah memainkan beberapa peranan yang penting. Pertama, bertindak
sebagai pelindung terhadap kekuatan-kekuatan ekonomi dari luar wilayah yang
bersifat ‘menghisap’ kekayaan ekonomi wilayah yang bersangkutan (local economic).
Kedua, berperan di dalam mengkoordinasikan kebijaksanaan-kebijaksanaan nasional
untuk pertumbuhan struktural dan pertumbuhan, dan mengembangkan proyek-
proyek yang bermanfaat untuk meningkatkan kemampuan ekonomi wilayah
agropolitan. Ketiga, mendukung wilayah agropolitan untuk merealisasikan proyek-
proyek pembangunan berdasarkan sumberdayanya. Keempat, menjaga supaya
perubahan-perubahan kemajuan tidak merusak sistem sosial yang ada di masyarakat
wilayah agropolitan. Kelima, menyebarkan kemajuan dengan mengalirkan kelebihan
sumberdaya di suatu bagian wilayah ke bagian wilayah lainnya yang relatif
kekurangan (Friedmann, 1979 : 203).
KRITIK STRATEGI AGROPOLITAN
Pemutusan hubungan antara sektor perkotaan dengan perdesaan, karena khawatir
akan terjadinya eksploitasi (tidak melihat segi positif perkotaan).
Sistem wilayah tertutup hampir mustahil dilakukan.
Dikaitkan dengan kewenangan daerah, pendekatan ini menyarankan otonomi
daerah yang seluas-luasnya oleh masyarakat setempat sulit diterapkan.
3. MODEL INTEGRASI SPASIAL (FUNCTIONAL SPATIAL
INTEGRATION)
Strategi integrasi spasial merupakan jalan tengah antara pendekatan
sentralisasi yang menekankan pertumbuhan pada wilayah perkotaan
(metropolitan) dan desentralisasi yang menekankan penyebaran investasi dan
sumberdaya pembangunan pada kota-kota kecil dan pedesaan. Dengan argument
ini Rondinelli menganjurkan pembentukan sistem spasial yang mengintegrasikan
pembangunan perkotaan dan pedesaan. Hal ini dilakukan dengan menciptakan
suatu jaringan produksi, distribusi dan pertukaran yang mantap mulai dari desa-
kota kecil-kota menengah-kota besar (metropolitan).
Pendekatan alternatif ini didasari pemikiran bahwa dengan adanya integrasi
sistem pusat-pusat pertumbuhan yang berjenjang dan berbeda karakteristik
fungsionalnya, maka pusat-pusat tersebut akan dapat memacu penyebaran
pembangunan wilayah (Rondinelli, 1983 : 4). Pendekatannya adalah memacu
perkembangan sektor pertanian yang diintegrasikan dengan sektor industri
pendukungnya. Berdasarkan asumsi tersebut, sasaran dari strategi ini adalah
meningkatkan produksi pertanian, memperluas lapangan kerja dan meningkatkan
pendapatan bagi sebagian besar penduduk, terutama penduduk yang berada di
bawah garis kemiskinan.
Dengan perhatian utama pada sektor pertanian, maka pendekatan ini juga
menjelaskan pentingnya transformasi pola pertanian subsistem menjadi pertanian
komersialisasi dalam pengembangan wilayah. Peningkatan produktivitas harus
diikuti oleh pengembangan sektor industri yang seimbang sehingga kelebihan
tenaga kerja sektor pertanian dapat tertampung. Aktivitas pengolahan dan
distribusi produk pertanian harus mantap dan industri harus dikembangkan untuk
menghasilkan input-output produksi yang berharga murah bagi petani. Pada tahap
selanjutnya dikembangkan berbagai prasarana dan sarana untuk memenuhi
kebutuhan dasar (basic needs) penduduk pedesaan seperti sarana kesehatan dan
pendidikan.
Untuk mendukung perkembangan pertanian sehingga nilai komersial produk
pertanian meningkat di pedesaan, maka permukiman-permukiman harus
membentuk suatu sistem yang terintegrasi sehingga pelayanan sarana dan
prasarana dapat berlokasi secara efisien dan penduduk perdesaan memiliki akses
yang baik terhadap sarana tersebut, sehingga mampu diakses oleh semua lapisan
masyarakat perdesaan. Tanpa akses terhadap pusat-pusat pasar, yang terintegrasi
maka penduduk pedesaan (petani) akan mengalami kesulitan di dalam pemasaran
hasil pertanian, sulit mendapatkan input-output produksi, modernisasi pola-pola
pertanian, penyesuaian produk terhadap selera pasar (konsumen) dan
mendapatkan pelayanan-pelayanan yang dibutuhkan untuk meningkatkan kualitas
hidup di pedesaan (Rondinelli, 1983 : 5).
SISTEM PERMUKIMAN YANG TERINTEGRASI DAN HIRARKIS
Menurut Brian Berry dalam Rondinelli (1983) seiring dengan pertumbuhan
ekonomi suatu wilayah maka pusat-pusat (central places yaitu permukiman-
permukiman yang juga melayani penduduk di sekitarnya) akan menyebar dan
membentuk suatu sistem yang terintegrasi. Pusat-pusat yang diarahkan berdasarkan
pendekatan ini haruslah merupakan pusat-pusat yang terintegrasi secara hirarki.
Dengan demikian perlu diciptakan suatu sistem yang dapat mengintegrasikan pusat-
pusat pelayanan, perdagangan dan produksi yang berhirarki. Adanya integrasi ini
akan memberikan berbagai manfaat baik bagi pemerintah maupun bagi penduduk di
sekitar pusat tersebut. Fisher dan Rusthon (dalam Rondinelli, 1983 : 5-6)
mengemukakan barbagai manfaat tersebut yaitu :
1. Efisien bagi konsumen karena berbagai kebutuhan dapat dipenuhi dalam satu kali
pepergian (trip) keluar dari desanya.
2. Mengurangi jumlah transportasi yang dibutuhkan untuk melayani pergerakan
antar desa karena masyarakat sudah mengenal berbagai alternatif jalur hubungan
(link) sehingga dapat diketahui jalur hubungan yang paling penting dan
kemampuan pemenuhan kebutuhan fasilitas transportasi yang terbatas dapat
dimanfaatkan secara optimal;
3. Mengurangi panjang jalan yang memerlukan peningkatan karena jalur yang
paling penting bagi setiap desa diketahui sehingga dapat ditentukan prioritas
pengembangan jaringan jalan;
4. Dengan keuntungan aglomerasi, biaya penyediaan berbagai kebutuhan pelayanan
bagi fasilitas-fasilitas akan dapat dikurangi karena biaya tersebut akan ditanggung
secara bersama;
5. Karena berbagai fasilitas tersebut berada di lokasi yang sama maka upaya untuk
memonitoring berbagai aktifitas di pusat tersebut menjadi lebih mudah;
6. Memudahkan interaksi antar individu termasuk pertukaran informasi yang akan
berguna dalam proses modernisasi;
7. Lokasi-lokasi yang memiliki keunggulan akan dapat berkembang secara spontan
sebagai respon terhadap kebutuhan wilayah belakangnya (hinterland).
Dalam aktualisasinya pengembangan pusat-pusat tersebut merupakan
pengembangan sistem permukiman, sehingga pendekatan ini memberikan perhatian
utama pada penataan sistem permukiman sehingga terintegrasi dalam ruang.
Suatu sistem permukiman yang terintegrasi akan memberikan akses yang potensial
bagi penduduk di seluruh wilayah terhadap pasar yang beragam, berbagai fasilitas
perkotaan dan input yang berguna bagi pengembangan pertanian. Penyebaran
konsentrasi investasi di permukiman yang mempunyai ukuran dan karakteristik yang
berbeda merupakan salah satu elemen penting dalam pendekatan ini. Penyebaran
investasi di permukiman-permukiman yang berjenjang ini menurut Rondinelli dan
Ruddle akan memberikan manfaat yakni (Rondinelli, 1983 : 7-8) :
1. Dengan adanya efek pemancaran (speed effect) dan skala ekonomi (economic of
scale), pusat-pusat diharapkan dapat berperan dalam menyebarkan kemajuan bagi
penduduk di sekitarnya (daerah hinterland);
2. Menata ekonomi pedesaan melalui mekanisme ekonomi (penawaran dan
permintaan), sistem administrasi, dan sistem pelayanan sehingga kesempatan
kerja dapat tercipta dan semakin beragam;
3. Menciptakan iklim yang kondusif bagi lahirnya individu-individu yang kreatif
dan inovatif;
4. Investasi yang sudah ada dapat dimanfaatkan untuk tujuan wilayah dan
menciptakan keunggulan komparatif lokasi dari pusat-pusat;
5. Meningkatkan permintaan berbagai fasilitas pelayanan dan infrastruktur baru
sehingga pertumbuhan wilayah dapat terus dipacu.
6. Menciptakan interaksi (fisik-ekonomi) antar berbagai permukiman dan antara
permukiman dengan wilayah belakangnya yang akan meningkatkan aksesibilitas
tempat pusat;
7. Menarik aktivitas sosial-ekonomi yang berhubungan sehingga dapat membentuk
pasar baru bagi berbagai komoditi wilayah.
Dengan adanya hirarki dan spesialisasi fungsi masing-masing sistem
permukiman di atas maka diharapkan terjadi keterkaitan yang dapat mendorong
pertumbuhan sektor-sektor ekonomi dan pembukaan lapangan kerja terutama di
sektor non pertanian. Dengan demikian arahan pengembangan pusat-pusat
permukiman harus berada dalam kerangka pengembangan kegiatan sosial-ekonomi
yang akan dikembangkan (berkembang) di suatu wilayah. Karena sektor ekonomi
utama di daerah pedesaan adalah sektor pertanian, maka arahan pengembangan pusat-
pusat permukiman harus terkait dengan upaya pengembangan sektor pertanian dan
sektor-sektor pendukung lainnya, seperti sektor industri.
MEMBANGUN POLA KETERKAITAN SPASIAL
Seperti yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya keterkaitan spasial
merupakan elemen kunci dari pendekatan integrasi spasial. Selain itu perkembangan
pada suatu wilayah dipengaruhi oleh perkembangan dan perbedaan fungsi
permukiman serta keterkaitan antar permukiman maupun antara wilayah pengaruhnya
(pelayanannya). Kenyataan memperlihatkan bahwa suatu wilayah bukan hanya
dibentuk oleh sistem permukiman yang terpisah dengan fungsi masing-masing,
namun juga oleh jaringan dan interaksi sosial, ekonomi, dan fisik. Proses interaksi
tersebut dimungkinkan oleh adanya keterkaitan antar permukiman.
Dengan adanya keterkaitan spasial ini penduduk yang tinggal di wilayah
pedesaan memiliki aksesibilitas terhadap berbagai pelayanan, fasilitas, infrastruktur,
dan kegiatan perekonomian yang berlokasi di pusat-pusat desa, kota pasar
(kecamatan), maupun pusat wilayah (regional). Melalui hubungan keterkaitan ini
pula, diharapkan penduduk pedesaan dapat memperoleh input yang dibutuhkannya
untuk meningkatkan produktifitas pertanian dan mendukung kegiatan pemasaran dari
berbagai produk yang dihasilkan, terutama produk pertanian dan industri skala kecil
(rumah tangga).
Rondinelli, membedakan menjadi 7 keterkaitan (spatial linkages), yaitu :
1) Keterkaitan fisik (jaringan transportasi).
2) Keterkaitan ekonomi, keterkaitan produksi ke depan (forward linkages) dan
ke belakang (backward linkages).
3) Keterkaitan penduduk (migrasi) dan tenaga kerja.
4) Keterkaitan teknologi.
5) Keterkaitan sosial.
6) Keterkaitan pelayanan sosial.
7) Keterkaitan administrasi, politik, dan kelembagaan.
KUNCI DALAM STRATEGI INTEGRASI SPASIAL
1. Adanya hirarki dan keterkaitan (linkages) antar kelompok masyarakat atau
organisasi yang berlokasi pada komunitas yang tersebar.
2. Terciptanya transformasi struktur tata ruang, organisasi, tingkah laku,
kelembagaan sosial- ekonomi dan kultur sehingga elemen-elemen tersebut
menjadi suatu instrument yang produktif dalam proses pertumbuhan dan
perubahan.
3. Perbaikan sistem administrasi dan kepemihakan dari pemerintah terutama bagi
wilayah-wilayah yang belum berkembang, serta koordinasi antar lembaga.
KRITIK DAN KEGAGALAN STARTEGI INTEGRASI SPASIAL
Pendekatan ini terlalu ideal sehingga jauh dari kenyataan. Pengembangan
sektor secara serentak pada kenyataannya sulit dilakukan karena keterbatasan
sumberdaya.
Disamping kritik tersebut, sistem permukiman sebagai pembentuk integrasi
spasial sering tidak dapat berjalan sebagaimana yang diinginkan. Kegagalan
permukiman untuk mendukung terbentuknya integrasi spasial ini diantaranya
disebabkan :
1. Jumlah pusat-pusat dan permukiman yang skalanya lebih kecil tidak
memadai sehingga tidak terbentuk hirarki permukiman. Keadaan ini
disebabkan oleh dua kondisi, yakni :
a) Jumlah penduduk terlalu sedikit sehingga penyediaan prasarana
menjadi tidak efisien;
b) Secara spasial letak (lokasi) permukiman-permukiman tersebut
berjauhan sehingga tidak dapat membentuk suatu sistem
pelayanan.
2. Distribusi fasilitas dan pelayanan diantara permukiman-permukiman
tidak memadai, bahkan untuk fasilitas pelayanan dan infrastruktur
‘dasar’ seperti kesehatan dan pendidikan.
3. Tidak terdapat keterkaitan (interaksi) antar pusat pemukiman maupun
antar permukiman dengan wilayah pelayanannya.
Untuk menciptakan suatu sistem permukiman (sistem keruangan) yang
terintegrasi, terdapat berbagai instrument intervensi yang dapat dilakukan, antara lain:
Pertama, pengembangan kapasitas pelayanan (fasilitas) dari pusat-pusat permukiman
yang ada; kedua, pembentukan dan penguatan keterkaitan spasial antar pusat
permukiman dan antara pusat permukiman tersebut dengan wilayah pelayanannya
(belakang); ketiga, pengembangan wilayah belakang.
4. MODEL PENGEMBANGAN KOTA-KOTA KECIL (DEKONSENTRASI
PLANOLOGIS)
Strategi ini didasarkan anggapan bahwa di negara berkembang pengembangan
dari atas, yang menitikberatkan pembangunan industri di kota besar (metropolitan),
tidak akan dapat dijalarkan ke seluruh wilayah. Kota-kota ukuran sedang atau
menengah tidak mampu menciptakan eksternal ekonomi yang dibutuhkan untuk
menjalarkan pertumbuhan dari kota-kota besar (Hansen, 1981:318). Hal ini didukung
fakta bahwa pertumbuhan kota-kota kecil dan sedang (20.000-100.000 jiwa) rendah,
sebaliknya kota-kota besar makin tumbuh sehingga cenderung membentuk pola
primate.
Disamping itu pemusatan dan pembauran berbagai fungsi dan kegiatan
perkotaan, baik fungsi primer maupun sekunder di pusat kota (kota induk) telah
menyebabkan timbulnya berbagai macam permasalahan, diantaranya terjadi
pemusatan (tekanan) penduduk terutama akibat derasnya arus migrasi penduduk yang
datang ke pusat kota. Dalam konteks ini pusat kota cenderung berkembang meluas
menjadi metropolitan atau mega urban yang meraksasa dan seolah-olah meraup
sumberdaya daerah di sekitarnya.
Pengembangan kota-kota kecil dan kota sekunder adalah salah satu upaya
dekonsentrasi planologis, yaitu mengembangkan pusat-pusat baru di dalam suatu
wilayah kota besar atau metropolitan, dengan tujuan untuk meratakan perkembangan
di dalam wilayah tersebut. Selanjutnya strategi ini tidak hanya berorientasi kepada
pembangunan perdesaan saja tetapi juga menjalarkan inovasi dan pelayanan bagi
aliran produksi pertanian dan industri ringan dari pedesaan ke kota kecil dan kota
yang lebih besar, sehingga perluasan sistem kota-kota dikaitkan langsung dengan
peningkatan kesejahteraan penduduk perdesaan sejak awal proses pembangunan.
Secara teoritis bentuk pengembangan tersebut adalah upaya mengembangkan pusat-
pusat pertumbuhan baru dalam ruang. Konsep ini pada dasarnya merupakan
pengembangan lebih lanjut daripada konsep ‘Growth Poles’.
Dalam pengembangan kota-kota kecil dan pusat-pusat pertumbuhan yang baru
terjadi proses integrasi antara sektor pertanian dan industri. Strategi ini diharapkan
mampu mengembangkan kesempatan kerja yang luas (60-80%) untuk menahan
penduduknya sendiri maupun penduduk di daerah belakangnya (hinterland) sehingga
mereka tidak bermigrasi ke kota utama (urbanisasi dari bawah). Oleh karena itu
pusat-pusat pertumbuhan baru paling tidak harus mempunyai unsur-unsur (entitas)
yang mampu mempengaruhi perkembangan kawasan ekonomi pengaruhnya.
Umumnya unsur ini adalah kegiatan industri pendorong (Propulsive Industry) yang
dapat membangkitkan tumbuhnya berbagai kegiatan lain, seperti industri pelayanan,
perdagangan, jasa dan sebagainya.
Pengembangan dekonsentrasi planologis ada dua macam, yaitu
pengembangan kota-kota baru dan pusat-pusat pertumbuhan baru. Pada prinsipnya,
kedua macam pengembangan dekonsentrasi tersebut mempunyai tugas dan peranan
yang sama, yaitu mengurangi beban kota utama. Pengembangan kota baru dibangun
selengkapnya pada lahan yang masih kosong, sedangkan pengembangan pusat-pusat
pertumbuhan baru adalah pengembangan pusat-pusat yang sudah ada di sekitar kota
utama (Hansen, 1972). Dalam konteks pembangunan wilayah kota sebagai suatu
sistem wilayah, pengembangan kota-kota kecil di sekitar kota utama merupakan
bentuk pengembangan pusat-pusat pertumbuhan baru dalam rangka memenuhi
tingkat kebutuhan penduduknya dan mengurangi beban kota utama.
Secara pragmatis, dekonsentrasi planologis dapat dikatakan sebagai upaya
penyebaran satu atau beberapa fungsi dari kota inti ke kota-kota kecil di sekitarnya.
Beberapa fungsi penting kota utama sengaja dipindah atau dikeluarkan serta
ditempatkan di beberapa kota kecil di sekitarnya, misalnya relokasi industri ke daerah
pinggiran kota. Selain itu ada beberapa tujuan yang ingin dicapai dari strategi
dekonsentrasi planologis, antara lain :
1. Memberikan kesempatan pertumbuhan bagi kota kecil
2. Mendorong lingkungan kehidupan kekotaan (urbanized) secara lebih merata
3. Mengurangi beban masalah kota besar
4. Menahan laju pertumbuhan-pertumbuhan kota-kota besar yang tidak terkendali
5. Menciptakan hubungan fungsional kota-kota yang lebih baik dalam sistem
perkotaan.
Untuk melaksanakan strategi ini, selain dilakukan pengembangan fasilitas
pada kota kecil tersebut lebih penting lagi adalah pengembangan berbagai prasarana
yang akan mendukung pengembangan pertanian, serta kebijaksanaan lain yang
menguntungkan petani, seperti kebijaksanaan harga, pajak, bantuan kredit, dan
sebagainya. Kebijaksanaan lain yang diperlukan adalah desentralisasi kewenangan
yang memadai untuk pengambilan keputusan sesuai dengan kondisi dan kebutuhan
lokal.
Lebih lanjut strategi dekonsentrasi planologis ini bisa dijabarkan dan diperluas
dalam bentuk counter magnet strategy, kota kecil, kota baru, kota satelit, dormitory
town, dan sebagainya. Pada dasarnya konsep counter magnet asal mulanya diilhami
oleh rencana pengembangan garden city.
Counter magnet strategy adalah pengembangan kota-kota kecil dan menengah
untuk dapat menandingi perkembangan dari kota utama (primate city) agar lebih
dapat mendifusikan aspek-aspek kota secara keruangan (Townroe, 1982). Strategi ini
dalam operasionalnya di dukung oleh teori pengembangan wilayah seperti Konsep
Kutub Pertumbuhan (The Conceps of Growth Poles). Teori Ajang Pusat (The Theory
of Central Places) dan lain sebagainya. Selain aspek spasial, strategi ini juga
memiliki fokus pada pemecahan masalah-masalah pokok non spasial seperti
kemiskinan, pengangguran, dan ketidakmerataan (inequality).
KESIMPULAN DAN KOMPARASI
ANALISIS KESESUAIAN PENDEKATAN PENGEMBANGAN WILAYAH TERHADAP
KEBIJAKSANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL
NO
KEBIJAKSANAAN
PEMBANGUNAN NASIONAL
PENGEMBANGAN KUTUB
PERTUMBUHAN
PENGEMBANGAN
AGROPOLITAN
PENGEMBANGAN RUANG
TERINTEGRASI
PENGEMBANGAN KOTA-
KOTA KECIL
1. Menitikberatkan pembangunan ekonomi dan terpenuhinya kebutuhan pokok
Pembangunan ekonomi
Pembangunan sosial
Pembangunan ekonomi
Pembangunan ekonomi, terpenuhinya kebutuhan pokok
2. Pemerataan dengan pertumbuhan
Pertumbuhan dahulu
Pemerataan, dan tujuan sosial lain
Pertumbuhan dengan pemerataan
Pemerataan dahulu, baru pertumbuhan
3. Keseimbangan dan kesesuaian hubungan kota-desa
Menitikberatkan pembangunan di kota
Pembangunan perdesaan
Integrasi pembangunan kota dan desa
Keseimbangan kota-desa
4. Integrasi sistem ekonomi nasional
Integrasi Ketertutupan, keberdikarian distrik
Integrasi Mengarah kepada integrasi
5. Keseimbangan sektor Industri dan Pertanian
Titik berat pada industri
Titik berat pada pertanian
Keseimbangan industri dan pertanian
Pertanian dan Industri kecil
6. Keterkaitan sektor modern dan tradisional sejak mula
Titik berat pada sektor modern
Titik berat pada pertanian
Kaitan sektor modern dan tradisional
Titik berat sektor tradisional, lokal
7. Pembangunan ‘dari atas’ dan ‘dari bawah’
Dari atas Dari bawah Dari atas dan dari bawah
Dari bawah
8. Terbuka terhadap sistem pasar dunia, dan mengurangi ketergantungan secara bertahap
Secara tidak langsung mensyaratkan keterbukaan, ketergantungan yang besar
Pemutusan ketergantungan, dengan ketertutupan atau berdikari
Tidak mensyaratkan
Tidak mensyaratkan
top related