bab iv konflik kemanusiaan di rohingnya dan …...masyarakat rohingnya melarikan diri ke negara lain...
Post on 12-Nov-2020
2 Views
Preview:
TRANSCRIPT
29
BAB IV
Konflik Kemanusiaan di Rohingnya dan Penanganannya
4.1 Sejarah Rohingnya di Myanmar
Rakhine dulu disebut sebagai Arakan yang merupakan salah satu negara bagian
Myanmar. Jika dilihat berdasarkan geografisnya, Rakhine memiliki tanah pegunungan,
hutan lebat dan sungai. Banyak lahan di Rakhine yang digunakan untuk menanam padi
sehingga pada jaman dahulu Rakhine telah mengekspor berasnya hingga ke
Chittagong, Calcutta, Madarras, Colombo dan Kochin. Selain itu, Rakhine juga
terkenal dengan perkebunan karet, perkebunan teh, pohon bambu, pohon jati, hasil
perikanan dan udang. Kekayaan sumber daya alam ini mendorong perdagangan
masyarakat setempat. Rakhine juga kaya akan sumber daya mineralnya, namun belum
dimanfaatkan hingga sekarang.
Gambar 1.1 Peta Myanmar
Sumber: Netz.id
Menurut a History of Arakan, Rakhine memiliki dua komunitas utama yaitu
Rohingnya yang mayoritas beragama islam dan Maghs (Rakhaings) yang mayoritas
30
beragama Buddha. Rohingnya berasal dari kata Rohai atau Roshangee yang memiliki
istilah untuk menunjukan orang – orang muslim di Rakhine. Dilihat dari postur tubuh,
masyarakat Rohingnya tidak memiliki kesamaan dengan masyarakat India maupun
Myanmar. Mereka lebih cenderung memiliki tampilan dan gaya seperti orang Arab.
Jika dilihat dari bahasanya, bahasa yang digunakan Rohingnya merupakan campuran
dari Persia, Bengali, Arab dan Rakhaing. Akan tetapi bahasa Rohingnya ini telah sirna
seiring adanya masa kolonialisme.
Pada 1404, Raja Rakhine yang bernama Naramekhla melarikan diri ke Bengal.
Daerah kesultanan Bengal mencakup wilayah negara Bangladesh, India bagian Timur
dan Myanmar bagian Barat. Sultan Bengal yang bernama Giyathuddin Azam Shah
menerima Naramekhla dengan baik. Namun, raja Giyathuddin meninggal dunia dan
menurunkan tahtanya ke Raja Ganesh. Raja Ganesh yang beragama Hindhu
digulingkan oleh putranya Jalauddin Mohammed Shah yang telah berganti agama.
Oleh karena itu, Naramekhla belajar banyak hal mengenai politik karena dekat dengan
para raja Bengal. Selama 24 tahun Naramekhla yang beragama Budha mulai belajar
mengenai Islam. Ia pun berganti nama menjadi Solaiman Shah.
Raja Jalauddin memberikan takhtanya di Arakan ke Solaiman Shah. Pada tahun
1430, Arakan memproklamirkan kemerdekaannya sebagai kerajaan Islam. Solaiman
membangun masjid dan mendirikan pengadilan yang memadukan budaya antara Budha
dengan Islam. Ia juga mendirikan sebuah kota yang bernama Mrauk-U sebagai kota
yang terpenting di wilayah itu. Soleaiman membawa orang – orang Bengali untuk
mengurus administrasi pemerintahannya. Kerajaan Islam Arakan itu bertahan hingga
lebih dari 350 tahun.
Akan tetapi pada tahun 1784, Arakan dikuasai oleh Raja Myanmar yang
bernama Bodawpaya. Ia sangat kejam terhadap masyarakat Rakhine dengan
menjadikannya sebagai buruh dan menerapkan sistem pajak yang tinggi. Banyak
masyarakat Rakhine yang dihukum mati hingga mengungsi di Bengal karena tidak
31
sanggup menghadapi kekejaman dari pemerintah Myanmar. Hal ini didukung pula
dengan jatuhnya Mrauk-U sebagai pusat kota pemerintahan Rakhine.
Situasi itu semakin memburuk saat Myanmar dikuasai oleh Inggris. Selama
1824 hingga 1942, Arakan diizinkan oleh Inggris untuk memiliki otonomi sendiri.
Selain itu, Inggris juga mendatangkan kembali orang – orang Rakhine yang telah
mengungsi itu karena membutuhkan tenaga kerja untuk membangun infrastruktur.
Kemajuan yang terjadi di Rakhine ini menimbulkan kecemburuan bagi masyarakat asli
Myanmar. Oleh karena itu, terjadilah perampasan harta, pengusiran dan pembakaran
tempat tinggal.
Pada tahun 1942, pasukan Jepang melakukan invansi ke Myanmar yang saat itu
disebut Burma. Hal ini menjadi kesempatan bagi warga asli Myanmar untuk
melakukan provokasi antara umat Budha dan Islam di Rakhine. Oleh karena itu,
terjadilah ketegangan di antara masyarakat Rakhine hingga membagi wilayahnya
menjadi dua bagian yaitu selatan untuk masyarakat Budha Rakhine dan utara untuk
masyarakat Islam Rohingnya.
Inggris merasa terdesak dengan kedatangan Jepang dan ditambah lagi adanya
ketegangan masyarakat setempat. Inggris pun merencanakan adanya perang gerilya
untuk merebut kembali kekuasaanya dari Jepang dengan melatih orang Rohingnya
untuk menjadi tentara. Keberhasilan Inggris ini menuntut kemerdekaan wilayah
Maungdaw di Rakhine untuk masyarakat Rohingnya yang telah membantu dalam
perang. Para pengungsi Rohingnya kembali ke Rakhine dan mengamankan
kekuasaanya dengan tidak memberikan jabatan pada masyarakat Budha setempat.
Akan tetapi, hasil konferensi London menyerahkan kekuasaan Inggris ke tangan
Myanmar pada 4 Januari 1948 yang sekaligus menjadi momen bagi kemerdekaan
Myanmar. Perjanjian tersebut memaksa Rohingnya untuk menyerahkan kekuasaannya
terhadap Myanmar karena wilayahnya masih dalam kekuasaan Inggris. Adanya
32
kemerdekaan ini pula membawa angin buruk bagi masyarakat Rohingnya karena
keberadaanya tidak diakui oleh pemerintah Myanmar.
Myanmar mempunyai 8 etnis utama, yaitu: Burman, Shan, Kachin, Karen,
Kayah, Mon, Chin dan Rakhaing yang dibagi lagi menjadi 135 etnis turunan dari ras
Mongolia. Pemerintah Myanmar tidak mengakui Rohingnya sebagai salah satu bagian
dari etnisnya. Hal ini mengakibatkan masyarakat Rohingnya diperlakukan seperti
orang asing sejak dulu. Banyak masyarakat Rohingnya yang tidak diberikan
kewarganegaraan, dibunuh, diperkosa dan tempat tinggalnya dibakar. Oleh karena itu,
masyarakat Rohingnya melarikan diri ke negara lain untuk mengungsi agar
mendapatkan perlindungan dari negara lain.
Pemerintah Myanmar telah menetapkan Undang – Undang (UU) Kewarganegaraan
pada tahun 1982. Dalam UU tersebut Myanmar mengklasifikasikan warganya menjadi
3 (Verma, Rishi Raj, 1961) yaitu:
1. Warga Negara: masyarakat yang memperoleh keturunan didasarkan pada garis
keturunan warga yang tinggal di Myanmar sebelum 1823 atau lahir dari orang
tua yang sudah menjadi warga negara
2. Warga Negara Asosiasi: masyarakat yang memperoleh kewarganegaraan
melalui “Union Citizenship Act 1948”. Ketentuan ini disahkan pada 15 Oktober
1982.
3. Warga Negara Naturalisasi: masyarakat yang bukan merupakan warga negara
dan tidak memperoleh kewarganegaraan melalui “Union Citizenship Act
1948”dapat mengajukan permohonan kewarganegaraan. Akan tetapi, perolehan
status warga negara naturalisasi ini harus melalui pertimbangan hukum dan
disahkan oleh Dewan Negara.
Namun Pemerintah Myanmar dengan jelas menegaskan status Rohingnya melalui
UU Kewarganegaraan Myanmar 1982 pasal 4, sebagai berikut:
33
“...The 1982 citizenship law defines citizen as member of ethnic groups
that have settled in Burma before 1823, the start of British Colonial rule
in Burma. The Rohingya do not feature among the 135 national races
listed by goverment and therefore rendered stateless.”
Hukum ini membuat masyarakat Rohingnya tidak mendapatkan
kewarganegaraan Myanmar. Status “stateless” masyarakat Rohingnya ini menutup
aksesnya untuk terlibat dalam pemerintahan, pendidikan, kesehatan dan layanan
masyarakat lainnya. Menurut hukum hak asasi manusia secara internasional, perlakuan
Myanmar ini telah melanggar hak – hak dasar kebangsaan dan norma – norma
mengenai diskriminasi. Setiap orang berhak atas hak dan kebebasaan tanpa adanya
pembedaan jenis apapun. Hal ini berlaku pula terhadap anak- anak.
Setelah adanya UU tersebut, kekejaman terhadap Rohingnya terus berlanjut.
Masjid – masjid banyak yang dibakar dan digantikan dengan pagoda serta biara Budha.
Mulailah muncul gerakan perlawanan yang mengatasnamakan Rohingnya seperti
Rohingnya Solidarity Organization (RSO). Hal ini diperparah lagi dengan adanya
kelompok – kelompok anti pemerintah yang membuat keadaan di Myanmar semakin
menegangkan.
Konflik yang ada di Myanmar ini telah mengakibatkan permasalahan
kemanusiaan di Rohingnya. Berbagai konflik muncul tanpa adanya penyelesaian yang
pasti dari pemerintah Myanmar. Hal ini tentunya mengakibatkan konflik semakin
parah, mulai dari adanya undang – undang kewarganegaraan hingga munculnya
berbagai gerakan perlawanan dari masyarakat Rohingnya. Permasalahan yang terjadi
di Rohingnya meluas hingga kesejahteraan masyarakat, kesehatan dan pendidikan.
Pemerintah Myanmar kurang memperhatikan masalah ini dan seolah tidak ingin
campur tangan meskipun sudah dibawa ke pertemuan regional maupun internasional.
Berbagai serangan besar yang ada di Rohingnya menarik perhatian internasional yaitu
konflik pada tahun 1978, 2012, 2016 dan 2017.
34
4.2 Konflik 1978
Setelah masa kemerdekaan, Myanmar terus berusaha untuk menyingkirkan
masyarakat Rohingnya. Pada Maret 1978, Myanmar melakukan Operasi Naga Min
yang bertujuan untuk mengintimidasi Rohingnya dan memaksa mereka untuk
meninggalkan Rakhine. Operasi ini dimulai dari perkampungan muslim Sakkifara di
Akyab yang kemudian menyebar keseluruh wilayah di Rakhine. Hal ini menyebabkan
Buthidaung menjadi kota yang paling banyak terkena dampaknya (Jonassohn, Kurt,
1997). Banyak warga Rohingnya yang ditangkap kemudian ada yang diperkosa, disiksa
hingga dibunuh. Kekejaman ini membuat Rohingnya takut dan meninggalkan tempat
tinggalnya dengan berjalan menyusuri perbatasan Bangladesh. Selama perjalanan pun
mereka masih merasakan kekejaman karena uang mereka dirampok. Rumah yang
mereka tinggalkan pun dirampok dan diambil ternaknya kemudian dibakar.
Gambar 1.2 Pengungsi Rohingnya
Sumber: Sindonews
Peristiwa ini mengakibatkan lebih dari 300.000 orang Rohingnya yang
mengungsi ke negara lain (Cheah, Joseph, 2011). Bangladesh menjadi tempat orang –
orang Rohingnya untuk berlindung. Disana mereka mendirikan kamp – kamp untuk
tempat tinggal. Pemerintah Bangladesh berusaha pula untuk membantu warga
Rohingnya dengan melakukan perundingan ke pemerintah Myanmar. Akan tetapi,
35
Myanmar tidak mengakui perbuatannya dan menyatakan bahwa Rohingnya adalah
imigran ilegal yang meninggalkan Myanmar karena takut adanya pemeriksaan sensus.
United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) adalah badan
Perserikatan Bangsa – Bangsa (PBB) yang mengurusi masalah pengungsi merasa
bingung harus memasukan status Rohingnya di Bangladesh sebagai pengungsi atau
tidak. Berkat bantuan dari jurnalis bernama Francois Haughter, UNHCR mengakui
keberadaan Rohingnya sebagai pengungsi. Dalam laporan saksi mata yang diperoleh
Francois menyatakan bahwa mereka dipaksa pemerintah Myanmar untuk keluar dari
wilayahnya dengan cara ditembaki. Oleh karena itu, UNHCR mulai memberikan
bantuan ke Rohingnya. Akhirnya pada tahun 1979, terdapat perjanjian bilateral antara
Bangladesh dan Myanmar. Menurut laporan UNHCR, 200.000 orang Rohingnya
dikembalikan ke rumah sementara 40.000 telah meninggal selama di kamp dan sisanya
telah menyebar di Bangladesh (UNHCR, 1999). Namun, perjanjian tersebut tidak
memuat kepastian mengenai Rohignya setelah dipulangkan ke Myanmar. Hal ini
menyebabkan konflik yang terus berkembang pada tahun – tahun berikutnya.
4.3 Konflik 2012
Konflik besar terhadap warga Rohingnya terjadi kembali pada 28 Mei 2012.
Hal ini dipicu ketika ada perempuan muda Rakhine bernama Ma Thida Htwe berusia
27 tahun diperkosa dan dibunuh. Pelakunya adalah Htet Htet (a) Rawshi bin U Kyaw
Thaung (Bengali/Muslim), Rawphi bin Sweyuk tamauk (Bengali/Muslim) dan Khochi
bin Akwechay (Bengali/Muslim). Dua diantara dijatuhi hukuman mati dan yang satu
melakukan bunuh diri. Berdasarkan berita dari The New Light of Myanmar, telah
beredar foto hasil penyelidikan tim forensik dimana korban digorok tenggorokannya,
dada dan organ kewanitaanya ditikam serta tubuhnya dimutilasi menggunakan pisau.
Setelah itu adapula serangan terhadap bus yang ditumpangi warga muslim yang
mengakibatkan sepuluh orang meninggal. Saat mendoakan korban yang meninggal
36
tersebut, diikuti oleh aksi yang meneriakan “Strength to the Muslims! Death to the
Rakhine!” Serangan balasan pun terjadi di rumah warga Budha yang menyebabkan
tindakan saling serang. Konflik ini mengakibatkan lebih dari 70 orang meninggal, lebih
dari 3.000 bangunan rusak dan 60.000 orang kehilangan tempat tinggal sehingga
mengungsi ke negara lain. Bangladesh sebagai negara terdekat Myanmar merasa
keberatan dengan banyaknya pengungsi yang semakin bertambah.
Indonesia melalui lembaga – lembaga kemanusiaan (Palang Merah Indonesia,
Aksi Cepat Tanggap dan lain sebagainya), partai politik dan institusi lain bergerak aktif
dalam membantu Myanmar. Pada 4 Agustus 2012, Presiden Indonesia saat itu Susilo
Bambang Yudhoyo (SBY) juga ikut menanggapi masalah ini dan mengapresiasi
tindakan masyarakat Indonesia yang telah memberikan bantuan kemanusiaan.
Lembaga kemanusiaan Indonesia telah mengirimkan para relawan untuk diturunkan
langsung ke Myanmar. Mereka membawa bantuan berupa makanan dan obat – obatan.
Indonesia juga memberikan bantuan dana untuk membangun sekolah. Pemerintah
Indonesia menyumbanngkan US $ 1 juta untuk proses rehabilitasi, rekonstruksi dan
rekonsiliasi. Presiden SBY juga mendorong Badan Umum Milik Negara (BUMN)
untuk melakukan investasi guna mendukung pertumbuhan ekonomi di Myanmar
(Nurhandayani, 2013).
Dalam kebijakan luar negerinya, SBY melakukan diplomasi bilateral dengan
pemerintah Myanmar dan membawa isu ini ke dalam forum internasional seperti
Organisasi Kerjasama Islam (OKI) dan ASEAN. Pada tahun 2009 lalu, ASEAN
bekerjasama dengan UNHCR mengadakan forum di Bali selama 2 hari untuk
membahas proses penyelesaian kasus Rohingnya. Akan tetapi, forum ini gagal karena
pemerintah Myanmar dengan tegas menolak status Rohingnya sebagai
warganegaranya. ASEAN pun tetap rutin membawa masalah Myanmar ini di setiap
forumnya namun belum menemui titik terangnya. Indonesia berinisiatif untuk
mengajak PBB dan Myanmar untuk mengangkat kasus ini ke OKI pada tahun 2013.
OKI juga gagal membawa masalah Rohingnya ini karena mayoritas negara lebih
37
memilih untuk menyelesaikan secara bilateral maupun multilateral. Hal ini
mengakibatkan kekerasan yang terjadi di Myanmar belum dapat terselesaikan secara
maksimal dan masih banyak serangan – serangan yang terjadi di tahun berikutnya.
4.4 Konflik 2016
Kelompok militan dari Arakan Rohingnya Salvation Army (ARSA) untuk
pertama kalinya menyerang 30 pos polisi dan sebuah kamp miiter pada Agustus 2016.
ARSA sudah dilatih di luar Myanmar sejak tahun 2013 sebagai bentuk respon serangan
pada tahun sebelumnya. Pemerintah Myanamr menganggap ARSA sebagai kelompok
terorisme. Namun ARSA menolak dikaitkan dengan jihad dan mengatakan bahwa
adanya ARSA bertujuan untuk membela, menyelamatkan dan melindungi kelompok
Rohingnya dari penindasan negara. Kelompok mereka ini mempunyai prinsip yang
sejalan dengan pertahanan diri. Jumlah anggota ARSA mencapai 200 orang lebih.
Mereka melakukan penyerangan dengan menggunakan tongkat, kayu dan besi.
Pemerintahan baru Myanmar yang dipimpin oleh Aung San Suu Kyi dipilih
secara demokratis. Suu Kyi membentuk komisi penasihat untuk menyelesaikan
masalah Rohingnya dibawah pimpinan Kofi Annan. Masa kerja dari komisi tersebut
selama satu tahun hingga Agustus 2017. Komisi penasihat menyatakan bahwa telah
terjadi krisis pembangunan, kemiskinan kronis dan pelanggaran HAM. Pemerintah
Myanmar diminta berhati – hati dalam menyikapi masalah ini agar tidak memunculkan
konflik yang lebih besar. Jika pemerintah Myanmar salah dalam bertindak dan
menggunakan kekerasan dapat menimbulkan adanya radikalisme baik dari umat Islam
maupun Budha.
Akan tetapi, rekomendasi dari Komisi Penasihat tidak dilaksanakan. Hal ini
dikarenakan adanya penolakan dan unjuk rasa besar di Myanmar. Aung San Suu Kyi
dianggap telah gagal dalam melaksanakan tugasnya ini dan dianggap terlalu
menyederhanakan arti dari rekonsiliasi nasional. Menurutnya, rekonsiliasi itu hanya
38
ada antara militer dan partainya saja. Sehingga dapat dilihat bahwa masih kuatnya
pengaruh militer dalam pemerintahan Myanmar.
Pada 9 Oktober 2016, terjadi lagi serangan oleh ARSA di 3 pos polisi penjaga
perbatasan Maungdaw. Dalam aksinya, mereka merebut senjata dan amunisi yang ada
dalam pos polisi. Peristiwa ini mengakibatkan meninggalnya 9 anggota pasukan
keamanan (BBC, 2016). Oleh karena itu, terjadilah operasi militer kontraterorisme.
Pada hari berikutnya, pemerintah Myanmar menghentikan bantuan kemanusiaan untuk
daerah sekitar konflik. Berbagai media yang ada di Myanmar dilarang untuk
melaporkan keadaan Rohingnya. Hal ini dipicu karena Fiona MacGregor jurnalis
Myanmar Times asal Skotlandia telah melaporkan dokumen puluhan kasus
penyerangan militer Myanmar terhadap wanita Rohingnya yang disiksa dan diperkosa.
Gambar 1.3 Indonesia mengirim bantuan ke Rohignya
Sumber: CNN Indonesia
Kekerasan terus memuncak pada tanggal 12 November, Militer Myanmar
mengerahkan helikopter tempur untuk menyerang desa di Maungdaw. Terjadi tindakan
saling serang yang menewaskan 69 gerilyawan dan 17 pasukan keamanan (Hrw, 2016)
. Konflik pada tahun 2016 ini telah mengakibatkan 7.422 rumah hancur dan 140.000
orang mengungsi. Sehingga pada 8 Desember, Indonesia mengadakan pertemuan
dengan Kofi Annan terkait penyelesaian krisis kemanusiaan di Rohingnya. Di akhir
tahun, Indonesia mengirimkan bantuan sebanyak 10 kontainer yang berisi mi instan,
makanan bayi dan sarung (kompas, 2016).
39
4.5 Konflik 2017
Permasalahan yang terjadi di Rohingnya kembali memuncak pada 25 Agustus
2017. Hal ini dipicu karena adanya serangan dari ARSA terhadap lebih dari 20 pos
keamanan Myanmar dan sebuah pangkalan militer. Serangan yang dilakukan ARSA
ini lebih besar dari tahun 2016 lalu. Peristiwa ini menewaskan 12 orang aparat
keamanan sehingga memicu adanya serangan balik. Akan tetapi, serangan tersebut
dilakukan tidak hanya bagi anggota ARSA melainkan seluruh rakyat Rohingnya.
Menurut laporan PBB pada tanggal 8 September 2017, permasalahan di Rohingnya ini
telah menewaskan lebih dari 1.000 orang korban jiwa dan menyebabkan 313.000 orang
Rohingnya mengungsi ke negara lain. Banyaknya warga Rohingnya yang mengungsi
ini disebabkan oleh adanya serangan brutal dari militer Myanmar yang telah membakar
tempat tinggalnya dan telah melakukan tindakan kekerasan.
Perhatian dunia internasional kembali tertuju pada Rohingnya sejak adanya
serangan pada 25 Agustus 2017. Berbagai negara melakukan kebijakan dengan cara
diplomasi maupun intervensi kemanusiaan. Diplomasi mengedepankan dialog dengan
pemerintah Myanmar untuk mencari solusi terbaik dalam menangani kasus Rohingnya.
Sedangkan intervensi kemanusiaan dilakukan dengan alasan suatu negara telah gagal
dalam menjalankan kewajiban untuk melindungi warga negaranya dan adanya
pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Maka dari itu, konflik Rohingnya
membutuhkan peran dari dunia internasional dalam menangani permasalah
kemanusiaan di Rohingya.
Sejalan dengan prinsip ASEAN mengenai non intervensi, maka penyelesaian
masalah Rohingnya diselesaikan melalui konsultasi, konsensus dan pendekatan
konstruktif. Indonesia sebagai negara yang masih berada dalam satu kawasan regional
dengan Myanmar tergerak untuk menyelesaikan permasalahan kemanusiaan di
40
Rohingnya. Diplomasi yang dilakukan Indonesia berhasil menciptakan situasi yang
kondusif dan direspon positif oleh pemerintah Myanmar.
Presiden Joko Widodo memberikat pernyataannya terkait aksi kekerasan dan
krisis di Rakhine pada 3 September (PresidenRI.go.id, 2017), yaitu:
1. Presiden Jokowi dan seluruh rakyat Indonesia menyesalkan aksi kekerasan yang
terjadi di Rakhine State, Myanmar.
2. Perlu sebuah aksi nyata bukan hanya pernyataan kecaman-kecaman. Pemerintah
Indonesia berkomitmen terus untuk membantu mengatasi krisis kemanusiaan,
bersinergi dengan kekuatan masyarakat sipil di Indonesia dan juga masyarakat
internasional.
3. Presiden Jokowi telah menugaskan Menteri Luar Negeri Republik Indonesia
menjalin komunikasi intensif dengan berbagai pihak termasuk Sekretaris Jenderal
PBB Bapak Antonio Guterres dan Komisi Penasihat Khusus Untuk Rakhine State,
Bapak Kofi Annan.
4. Menteri Luar Negeri telah berangkat ke Myanmar untuk meminta pemerintah
Myanmar agar menghentikan dan mencegah kekerasan, agar memberikan
perlindungan kepada semua warga termasuk muslim di Myanmar dan agar
memberikan akses bantuan kemanusiaan.
5. Dalam menangani kemanusiaan aspek konflik tersebut, pemerintah telah mengirim
bantuan makanan dan obat-obatan pada bulan Januari dan Februari sebanyak 10
kontainer.
6. Pemerintah Indonesia juga telah membangun sekolah di Rakhine State dan akan
segera membangun rumah sakit yang akan dimulai pada bulan Oktober yang akan
datang di Rakhine State.
7. Indonesia juga telah menampung pengungsi dan memberikan bantuan yang
terbaik.
8. Presiden Jokowi menugaskan Menteri Luar Negeri untuk terbang ke Dhaka, di
Bangladesh, dalam rangka menyiapkan bantuan kemanusiaan yang diperlukan
41
pengungsi-pengungsi yang berada di Bangladesh. Kita harapkan minggu ini kita
akan mengirim lagi bantuan makanan dan obat-obatan.
9. Presiden menyampaikan bahwa kekerasan, krisis kemanusiaan di Rohingnya harus
segera dihentikan.
Gambar 1.4 Retno L. Marsudi bertemu dengan Aung San Suu Kyi
Sumber: Kemlu.go.id
Pada tanggal 4 September 2017, Retno Marsudi Menteri Luar Negeri Indonesia
telah bertemu dengan Aung San Suu Kyi Konseler Negara Myanmar sebagai
perwakilan Indonesia yang peduli terhadap permasalahan di Rohingnya. Dalam
pertemuan itu, Indonesia menyampaikan usulan berupa Formula 4 + 1, yaitu:
1. Mengembalikan stabilitas dan keamanan
2. Menahan diri secara maksimal dan tidak menggunakan kekerasan
3. Perlindungan kepada semua orang yang berada di Rakhine State, tanpa
memandang suku dan agama
4. Pentingnya segera dibuka akses untuk bantuan keamanan
Empat elemen tersebut merupakan elemen utama yang harus segera
dilaksanakan untuk mengatasi permasalahan di Rohingnya agar keadaannya tidak
semakin memburuk. Ada pula satu elemen tambahan adalah pentingnya agar
rekomendasi Laporan Komisi Penasihat untuk Negara Bagian Rakhine yang dipimpin
oleh Kofi Annan dapat segera diimplementasikan.
42
Hubungan baik antara Indonesia dan Myanmar sudah terjalin sejak sebelum
kemerdekaan Indonesia. Myanmar menjadi negara pertama yang menyewa pesawat
Indonesia saat terjadi Agresi Militer Belanda. Myanmar juga menjadi salah satu negra
pelopor kemerdekaan Indonesia. Indonesia dan Myanmar telah menjalin kerjasama,
salah satunya adalah bidang pendidikan. Indonesia mendirikan sekolah internasional di
Myanmar bernama Indonesia Internasional School In Yangoon. Sekolah tersebut
merupakan salah satu sekolah pilihan yang ada di Myanmar. Hal inilah yang menjadi
faktor pendorong Indonesia membantu Myanmar dalam mengatasi permasalahan
kemanusiaan di Rohingnya.
Serangan terhadap Rohingnya pada 25 Agustus 2017 membawa sejarah
panjang mengenai permasalahan kemanusiaan. Adanya pergantian pemerintahan di
Myanmar tidak memberikan dampak signifikan bagi terciptanya perdamaian di
Rohingnya. Organisasi internasional dan negara lain terus berusaha membantu
menyelesaikan masalah yang ada dengan berbagai macam hambatan dan permasalahan
yang terus berkembang. Presiden Indonesia yang kini sedang menjabat yaitu Joko
Widodo, memberikan upayanya melalui Formula 4+1. Adanya diplomasi yang
menghasilkan Formula 4+1 ini diharapkan dapat mencapai hasil maksimal dan tidak
memperparah konflik pada tahun – tahun berikutnya. Maka dari itu, dalam penulisan
ini akan dibahas mengenai implementasai Formula 4+1 dari Pemerintah Indonesia
untuk Rakhine State.
top related