bab ii tinjauan pustaka a. tinjauan tentang efektivitas
Post on 26-Mar-2022
8 Views
Preview:
TRANSCRIPT
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Tentang Efektivitas
Efektif adalah sesuatu yang dilakukan berhasil dengan baik atau memiliki hasil.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa efektifitas adalah hasil tepat
guna, hasil guna, atau hasil yang menunjang tujuan yang diharapkan. Menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia, kata efektif berarti dapat membuahkan hasil, mulai berlaku,
ada pengaruh/akibat/efeknya. Efektifitas bisa juga diartikan sebagai pengukuran
keberhasilan dalam pencapaian tujuan-tujuan.1
Menurut Harbani Pasalong efektifitas pada dasrnya berasa l dari kata “efek” dan
digunakan istilah ini sebagi hubungan sebab akibat. Efektifitas dapat dipandang
sebagai suatu sebab dari variable lain. Efektifitas berarti bahwa tujuan yang telah
direncanakan sebelumnya dapat tercapai atau dengan kata lain sasaran tercapai karena
adanya suatu kegiatan.2 Adapun pengertian lain dari efektifitas adalah tingkat tujuan
yang diwujudkan suatu organisasi.3
Apabila kita hendak melihat suatu efektivitas dari segi hukum, Achmad Ali
berpendapat, “bahwa ketika kita ingin mengetahui sejauh mana efektivitas dari
hukum, maka pertama-tama kita harusa dapat mengukur sejauh mana aturan hukum
1 Sulkan Yasin dan Sunarto Hapsoyo, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Praktis, Populer, dan Kosa
Kata Baru, Surabaya: Mekar, 2008, hlm. 132. 2 Harbani Pasalong, Teori Administrasi Publik, Bandung: Alfabeta, 2007, hlm. 4.
3 Richard H. Hall, Implementasi Manajemen Stratejik Kebijakan dan Proses , terjemahan
Nganam Maksensius, Yogyakarta: Amara Books, 2006, hlm. 270.
11
itu ditaati atau tidak ditaati.”4 Achmad Ali juga mengemukakan pada umumnya
faktor yang mempengaruhi suatu efektivitas hukum adalah professional dan optimal
pelaksanaan suatu peran, wewenang dan fungsi dari para penegak hukum baik dalam
menjalankan tugas yang dibebankan pada mereka maupun dalam usaha penegakkan
suatu peraturan perundang-undangan.
Soerjono Soekanto5 mengemukakan tentang teori efektivitas hukum dapat dilihat
dari 5 (lima) faktor, faktor- faktor tersebebut adalah :
1. Faktor hukumnya (undang-undang)
2. Faktor penegak hukum, faktor yang dimaksud ialah pihak yang memiliki
wewenang dalam membentuk hukum maupun menerapkan hukum
3. Faktor sarana yang merupakan fasilitas yang digunakan dalam penegakan
hukum
4. Faktor masyarakat, merupakan tempat dimana hukum itu berlaku atau
diterapkan
5. Faktor kebudayaan, merupakan suatu hasil karya, cipta rasa yang berdasar
pada karsa tiap manusia di lingkungan dan pergaulannya.
Faktor-faktor itulah yang menjadi esensi dari penegakan hukum, sehingga saling
berkaitan satu dengan yang lainnya. Selain itu, kelima faktor ini merupakan tolak
4 Achmad Ali, Menguak Teori Hukum dan Teori Peradilan Vol.1, Jakarta: Kencana, 2010, hlm.
375. 5 Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum , Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2008, hlm. 8.
12
ukur dari penegakan hukum. Faktor pertama ini dapat dikatakan berfungsi atau tidak
dapat dilihat dari aturan hukum itu sendiri.
Menurut Soerjono Soekanto6 faktor pertama dapat diukur dari:
1. Peraturan yang ada mengenai bidang-bidang kehidupan tertentu sudah
cukup sistematis
2. Peraturan yang ada mengenai bidang-bidang tertentu sudah cukup sinkron,
secara hierarki dan horizontal tidak ada pertentangan
3. Secara kualitatif dan kuantitatif peraturan-peraturan yang mengatur
bidang-bidang kehidupan tertentu sudah mencukupi
4. Penerbitan peraturan-peraturan tertentu sudah sesuai peraturan yuridis
yang ada.
Faktor yang kedua menentukan efektif atau tidaknya peraturan hukum tertulis itu
tergantung pada aparat penegak hukum. Dalam hal ini hendaknya aparat merupakan
seseorang yang handal, meliputi keterampilan professional dan memiliki mental yang
baik agar tugas yang dilaksanakannya juga memberikan hasil yang baik.
Menurut Soerjono Soekanto faktor yang kedua dapat diditinjau dari segi aparat
akan tergantung pada hal berikut:
1. Sampai sejauh mana petugas terikat dengan peraturan-peraturan yang ada
2. Sampai batas mana petugas diperkenankan memberikan kebijaksanaan
3. Teladan macam apa yang sebaiknya diberikan oleh petugas kepada
masyarakat
6 Soerjono Soekanto, Penegakan Hukum, Bandung: Bina Cipta, 1983, hlm. 80.
13
4. Sampai sejauh mana derajat sinkronisasi penugasan-penugasan yang
diberikan kepada petugas sehingga memberikan batas-batas yang tegas pada
wewenangnya.
Faktor ketiga berhubungan dengan adanya sarana dan prasarana bagi aparat pelaksana
untuk melakukan tugasnya. Sarana dan prasarana yang dimaksud merupakan suatu
fasilitas yang digunakan sebagai alas untuk mencapai efektivitas hukum. Soer jono
Soekanto7 telah memprediksi patokan efektivitas elemen-elemen tertentu dari
prasarana, dimana prasarana itu dapat memberikan kejelasan dan kepastian bahwa
merupakan sesuatu yang dapat menunjang kelanccaran aparat-aparat dalam
melaksanakan tugasnya. Adapun faktor yang ketiga adalah sebagai berikut:
1. Prasarana yang telah ada apakah telah terpelihara dengan baik
2. Prasarana yang telah ada perlu diadakan dengan memperhitungkan waktu
pengadaannya
3. Prasarana yang kurang perlu dilengkapi
4. Prasarana yang rusak perlu segera diperbaiki
5. Prasarana yang macet perlu dilancarkan fungsinya
6. Prasarana yang mengalami kemundurun fungsi perlu ditingkatkan lagi
fungsinya
Ada pula faktor pengukur efektivitas yang berasal dari kondisi masyarakat, yaitu:
1. Faktor yang menyebabkan masyarakat mengabaikan suatu aturan, meskipun
peraturan yang dibuat sudah baik
7 Soerjono Soekkanto, Penegakan Hukum, Bandung: Bina Cipta, 1983, hlm. 82
14
2. Faktor yang menyebabkan masyarakat mengabaikan peraturan meskipun
peraturan itu sangat baik dan aparat-aparatnya berwibawa
3. Faktor yang menyebabkan masyarakat mengabaikan peraturan baik, petugas
berwibawa serta fasilitas mencukupi.
Teori yang dikemukakan oleh Soerjono Soekanto relevan dengan teori yang
dikemukakan oleh Romli Atmasasmita8 yaitu, “bahwa faktor-faktor yang
menghambat efektivitas penegakan hukum tidak hanya terletak pada sikap mental
aparatur penegak hukum (hakim, jaksa, polisi dan penasihat hukum) akan tetapi juga
terletak pada sosialisasi hukum yang sering diabaikan.”
Menurut Soerjono Soekanto9 efektif adalah “taraf sejauh mana suatu kelompok
dapat mencapai tujuannya. Hukum dapat dikatakan efektif apabila terdapat dampak
hukum yang positif, pada saat itu hukum mencapai sasarannya dalam membimbing
atau merubah perilaku manusia sehingga menjadi suatu perilaku hukum.”
Efektivitas hukum juga dapat dikaitkan dengan adanya penyelewengan-
penyelewengan yang terjadi di masyarakat. Berlakunya sebuah produk hukum dapat
dilihat dari berbagai perspektif, seperti perspektif yuridis normatif, sosiologis dan
filosofis. Teori Stufenbau dari Hans Kelsen menyebutkan bahwa perspektif yuridis
normatif merupakan ketentuan hukum yang berlaku apabila telah sesuai dengan
8 Romli Atmasasmita, Reformasi Hukum, Hak Asasi Manusia & Penegakan Hukum, Bandung:
Mandar Maju, 2001, hlm. 55 9 Soerjono Soekanto, Efektivitas Hukum dan Penerapan Sanksi, Bandung: CV. Ramadja Karya,
1988, hlm. 80
15
kaedah atau aturan yang lebih tinggi dan terbentuknya sesuai dengan cara-cara yang
telah ditetapkan.
Teori efektivitas menurut Lawrence M. Friedman bahwa efektif dan berhasil atau
tidaknya suatu penegakan hukum atau peraturan hukum tergantung pada 3 (tiga)
unsur sistem hukum, dimana ketiga unsur tersebut adalah struktur hukum, subtansi
hukum, dan budaya hukum. Struktur hukum berkaitan dengan aparat penegak hukum,
substansi hukum berkaitan dengan substansi hukum yang meliputi perangkat dan
peraturan perundang-undangan dan budaya hukum meliputi hukum yang hidup
(living law) yang dianut dalam kehidupan masyarakat.
Struktur hukum adalah pola yang menunjukkan bagaimana suatu aturan hukum
dilaksanakan dan dijalankan sesuai dengan ketentuan atau aturan formal. Struktur
hukum juga menunjukkan pengadilan, pembuat hukum, badan dan segala bentuk
proses yang berjalan atau dijalankan dalam hukum. Di Indonesia misalnya apabila
kita berbicara tentang struktur atau sistem hukum Indonesia, berarti termasuk struktur
institusi- institusi penegak hukum yang ada didalamnya seperti kepolisian, kejaksaan
dan pengadilan.
Aspek yang lain dari sistem hukum adalah tentang substansi hukumnya. Substansi
yang dimaksud adalah suatu aturan, norma serta pola manusia dalam berperilaku. Jadi
substansi hukum menyangkut peraturan perundang-undangan yang berlaku dan
memiliki kekuatan yang mengikat dan dapat menjadi pedoman bagi aparat penegak
hukum.
16
Kultur hukum atau budaya hukum Friedman berpendapat, bahwa budaya hukum
yang merupakan sikap manusia (termasuk budaya hukum aparat penegak hukumnya)
terhadap hukum dan sistem hukum. Sebaik-baiknya penataan struktur hukum yang
digunakan untuk menjalankan aturan hukum yang telah ditetapkan dan sebaik-
baiknya kualitas substansi hukum yang telah dibuat tidak akan bisa berjalan efektif
tanpa adanya suatu dukungan budaya hukum oleh orang yang terlibat dalam sistem
dam masyarakat.
Efektivitas hukum menjadi relevan dengan adanya teori aksi (action teori). Max
Weber memperkenalkan sebuah teori yang disebut teori aksi dan dikembangkan oleh
Talcot Parson. Teori aksi dari Max Weber dan Parson, relevan dengan pendapat
Soerjono Soekanto tentang efektivitas hukum, beliau menyatakan ada empat faktor
yang menyebabkan seseorang berprilaku tertentu yaitu :
1. Memperhatikan untung rugi
2. Menjaga hubungan baik dengan sesamanya atau penguasa
3. Sesuai dengan hati nuraninya dan
4. Ada tekanan – tekanan tertentu.10
10
Lili Rasjidi, dan Ira Rasjidi, 2001, Dasar-dasar Filsafat dan Teori Hukum, Citra Aditya Bakti,
Bandung. hlm. 78
17
B. Tinjauan Tentang Peraturan Daerah
Pengertian Peraturan Daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
ialah11 : Peraturan Daerah yang selanjutnya disebut Perda atau yang disebut dengan
nama lain adalah Perda provinsi dan Perda Kabupaten/Kota. Pengertian lain
berdasarkan Undang-Undang republic Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 ialah12 :
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota adalah peraturan Perundang-Undangan yang
dibentuk oleh Dewan Perwakilan rakyat Daerah Kabupaten/Kota dengan persetujuan
bersama Bupati/Walikota. Yang melaksanakan peraturan Daerah adalah Pemerintah
Daerah. Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintah Daerah
pasal 1 ayat (2) dan (3) menyebutkan bahwa13 :
Pemerintah Daerah adalah penyelenggara urusan pemerintah oleh pemerintah
daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah menurut asa otonomi dan tugas
pembantuan dengan prinsip otonomi seluas- luasnya dalam sistem dan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
Pemerintah Daerah ialah kepala daerah sebagai unsurpenyelenggara Pemerintahan
Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan
daerah otonom. Pemerintah Daerah memiliki peran dalam pembuatan kebijakan di
daerah yang disebut peraturan daerah.
11
UU RI Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah 12
UU RI Nomor 12 Tahun 2010 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan 13
UU RI Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah
18
C. Tinjauan Tentang Perizinan
Tidak mudah memberikan definisi apa itu izin. Seperti halnya pendapat dari
Sjachran Basah. 14 pendapat yang dikatakan beliau sepertinya sama dengan yang
berlaku di Belanda, seperti apa yang dikemukakan oleh van der Pot, “Het is uiterst
moelijk voor begrip vergunning een definitie te vinden (sangat sukar membuat
definisi untuk menyatakan pemgertian izin itu).”15
Utrecht memberikan pengertian vergunning sebagai berikut:
Bilamana pembuat peraturan tidak umumnya melarang suatu perbuatan, tetapi
masih juga memperkenankannya asal saja diadakan secara yang ditentukan
untuk masing-masing hal konkret, maka perbuatan administrasi negara yang
memperkenankan perbuatan tersebut bersifat suatu izin (vergunning)
Izin (vergunning) merupakan suatu kesepakatan atau persetujuan yang diberikan
oleh penguasa dan didasarkan undang-undang atau peraturan pemerintah yang
digunakan dalam keadaan tertentu dan menyimpang dari ketentuan larangan
peraturan perundang-undangan. Izin dapat juga diartikan sebagai dispensasi atau
pelepasan/pembebasan dari suatu larangan.
Perizinan adalah salah satu bentuk dilaksanakannya suatu fungsi pengaturan yang
bersifat pengendalian pemerintah dan digunakan untuk pelaksanaan fungsi
pengaturan yang bersifat pengendalian yang dimiliki oleh pemerintah terhadap
kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat. Perizinan dapat berbentuk
14
Sjach Basah, Pencabutan Izin Salah Satu Sanksi Hukum Administrasi, Makalah pada Penataran Hukum Administrasi dan Lingkungan di Fakultas Hukum Unair, Surabaya, 1995, hlm. 1 -2.
15 E. Utrecht, Pengantar dalam Hukum Indonesia, (Jakarta: Ichtiar 1957), hlm. 187.
19
pendaftaran, rekomendasi, sertifikasi, penentuan kuota dan izin untuk melakukan
suatu usaha yang biasanya harus dimiliki atau diperoleh suatu organisasi perusahaan
atau seseorang sebelum yang bersangkutan dapat melakukan suatu kegiatan atau
tindakan.
Hal pokok pada suatu izin, bahwa suatu tindakan dilarang kecuali diperbolehkan
dan tentu dengan tujuan supaya tetap dalam ketentuan yang bersangkutan dilakukan
dengan cara-cara tertentu. Penolakan izin terjadi apabila ada kriteria-kriteria yang
telah ditetapkan oleh penguasa tidak dipenuhi. Misalnya tentang ini adalah, dilarang
mendirikan suatu cafe, kecuali ada izin tertulis dan pejabat yang berwenang dengan
ketentuan mematuhi persyaratan-persyaratan.
Dengan demikian, perizinan adalah suatu upaya yang dilakukan untuk mengatur
kegiatan yang dapat menimbulkan gangguan bagi kepentingan umum. Mekanisme
perizinan melalui penerapan prosedur yang ketat dan ketentuan yang harus dipenuhi
untuk melakukan suatu pemanfaatan lahan. Perizinan merupakan salah satu bentuk
pelaksanaan fungsi pengaturan dan bersifat pengendalian yang dimiliki pemerintah,
merupakan mekanisme pengendalian administratif terhadap kegiatan yang dilakukan
oleh masyarakat.
1. Elemen Pokok Izin
Izin merupakan suatu tindakan atau perbuatan pemerintah yang
bersegi satu berdasarkan suatu peraturan perundang-undangan yang
diterapkan dalam peristiwa konkret sesuai dengan prosedur dan persyaratan
20
tertentu. Dari pengertian ini ada bebrapa unsur dalam perizinan, yaitu sebagai
berikut:16
a. Wewenang
Wetmatigheid van bestuur yaitu pemerintahan yang berdasarkan peraturan
perundang-undangan merupakan salah satu prinsip dalam Negara hukum. Artinya
setiap tindakan hokum pemerintah, baik dalam menjalankan fungsi pengaturan
dan juga fungsi pelayanan, harus berdasar pada wewenang yang telah diberikan
oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Om positief recht ten kunnen
vasstellen en handhaven is een bevoegdheid noozakelijk. Zonder bevoegdheid
kennen geen juridisch concrete besluiten genomen worden,17 (untuk dapat
melaksanakan dan menegakkan ketentuan hukum positif perlu wewenang. Tanpa
wewenang tidak dapat dibuat keputusan yuridis yang bersifat konkret).
b. Izin sebagai Bentuk Ketetapan
Di Negara hukum yang modern ini, tugas dan kewenangan pemerintah yang
ada bukan hanya menjaga ketertiban dan keamanan saja, namun juga melakukan
suatu uapaya bagi kesejahteraan umum (bestuurszorg). Menjaga ketertiban dan
kemanan merupakan tugas pemerintah yang terlalu klasik dan sampai kini masih
tetap dipertahankan. Pemerintah diberikan wewenang dalam bidang pengaturan,
16
Ridwan, H.R., Hukum Administrasi Negara, ( Jakarta: Rajagrafindo, 2006), hlm. 210-217. 17
F.A.M. Stroink en J.G. Steenbeek, Inleiding in het Staats-en Administratief Recht. (Alphen aan den Rijn: Samson H.D. Tjeenk Willink, 1985), hlm. 26.
21
yang berasal dari fungsi pengaturan ini muncul beberapa instrument yuridis yang
digunakan untuk menghadapi peristiwa individual yang konkret dalam bentuk
ketetapan dalam rangka melaksanakan tugasnya. Berdasarkan sifatnya yang
individual dan konkret, ketetapan yangada ini adalah sebagai ujung tombak dari
suatu instrument hukum penyelenggaraan pemerintahan, 18 juga sebagai suatu
norma yang berfungsi sebagai norma penutup dalam rangkaian norma hukum.19
Salah satu wujud dari ketetapan ini adalah izin.
Dari beberapa jenis ketetapan, izin termasuk sebagai ketetapan yang bersifat
konstitutif, yaitu menjadi ketetapan yang menimbulkan hak baru yang
sebelumnya tidak dimiliki oleh seseorang yang namanya tercantum dalam
ketetapan itu, atau beschikkingen welke iets toestaan wat tevoren niet geoorloofd
was,20(ketetapan yang memperkenankan sesuatu yang sebelumnya tidak
dibolehkan). Dengan demikian, izin merupakan instrument yuridis dalam bentuk
ketetapan yang bersifat konstitutif dan yang digunakan oleh pemerintah untuk
menghadapi atau menetapkan peristiwa konkret. Sebagai ketetapan, izin itu dibuat
dengan ketentuan dan persyaratan yang berlaku pada ketetapan pada umumnya,
sebagaimana yang telah disebutkan diatas.21
18
Opcit., Sjahran Basah, hlm. 2. 19
Philipus M. Hadjon et. Al., Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1998, hlm. 125).
20 C.J.N. Versteden, Inleiding Algemeen Bestuursrecht, Samson H.D. Tjeenk Will ink, Alphen aan
den Rij, 1984, hlm. 69. 21
Ridwan, H.R., Hukum Administrasi Negara, (Jakarta: Rajagrafindo, 2006), hlm. 211-212.
22
Beberapa aspek dalam regulasi perizinan akan selalu memuat dari berbagai
pendapat pakar, dapat disarikan sebagai berikut: (1) persyaratan, (2) hak dan
kewajiban, (3) tata cara, (4) jangka waktu keberlakuan, (5) waktu pelayanan, (6)
biaya, (7) mekanisme complain dan penyelesaian sengketa, dan (8) sanksi
c. Lembaga Pemerintahan
Lembaga secara teoritis merupakan suatu rule of the game yang berfungsi
untuk mengatur perbuatan dan menentukan apakah organisasi dapat berjalan
dengan baik dan efektif.22
Dengan demikian, tata kelembagaan dapat menjadi pendorong (enabling)
pencapaian keberhasilan dan sekaligus juga bila tidak tepat dalam menata, maka
dapat menjadi penghambat (constraint) tugas-tugas termasuk tugas
menyelenggarakan izin.
Lembaga pemerintah ialah lembaga yang mengururs urusan pemerintahan,
baik ditingkat pusat maupun tingkat daerah. Menurut Sjachran Basah, dari
berbagai ketentuan penyelenggaraan pemerintahan, dapat diketahui bahwa dari
administrasi negara yang paling tinggi (presiden) sampai administrasi paling
rendah (lurah) memeliki kewenangan untuk memberi izin. Artinya terdapat
banyak ragam dari administrasi negara (termasuk instansinya) yang berhak
22
North, 1990, dalam Lembaga Administrasi Negara, Standar Pelayanan Publik, Cetakan Pertama, Juli 2009, hlm. 49.
23
memberikan izin, dan berdasarkan pada jabatan yang dijabatnya ditingkat pusat
maupun daerah.23
Pemerintah dan masyarakat memiliki suatu hubungan timbal balik, yaitu pada
satu masyarakat memberikan pengaruh pada pemerintah dalam menjalankan
tugasnya, dan disisi lainnya pemerintah memberikan pengaruh tertentu pada
masyarakat melalui tugas mengurus dan mengatur.
Melalui tugas mengurusnya, pemerintah memberikan pengaruh pada
masyarakat dalam bidang kesejahteraan sosial dan ekonomi, dan juga
pemeliharaan kesehatan secara aktif menyediakan sarana, prasarana, finansial dan
juga personal. Adapaun pengaruh pemerintah terhadap masyarakat melalui tugas
mengatur memiliki makna bahwa pemerintah terlibat dalam penertiban dan
pelaksanaan peraturan perundang-undangan termasuk melahirkan sistem-sistem
perizinan. Melalui instrument pengaturan tersebut, pemerintah melakukan
pengendalian pada masyarakat dalam bentuk peraturan termasuk izin, dimana izin
tersebut mengandung larangan dan kewajiban.
Izin merupakan salah satu instrument yang mengatur paling banyak
digunakan oleh pemerintah dalam melakukan pengendalian pada masyarakat.
Maka, izin sebagai salah satu instrument pemerintahan memiliki fungsi
23
Sjachran Basah, “Sistem Perizinan Sebagai Instrumen Pengendali Lingkungan” . Makalah pada Seminar Hukum Lingkungan, diselenggarakan oleh KLH bekerja sama dengan Legal Mandate Compliance end Enforcement Program dari BAPEDAL 2-3 Mei 1996, Jakarta, hlm. 3.
24
mengendalikan tingkah laku masyarakat agar sesuai dengan tujuan yang
ditetapkan.24
Terlepas dari beragamnya lembaga pemerintahan atau administrasi yang
mengeluarkan izin, yang pasti adalah bahwa izin hanya boleh dikeluarkan oleh
lembaga pemerintahan. Menurut N.M. Spelt dan J.B.M. ten Berge, keputusan
yang memberikan izin harus diambil oleh lembaga yang berwenang, dan hampir
selalu yang terkait adalah lembaga- lembaga pemerintahan atau administrasi
negara. Dalam hal ini lembaga- lembaga pada tingkat penguasa nasional (seorang
menteri) atau tingkat penguasa-penguasa daerah.25
Banyaknya lembaga pemerintahan yang memiliki kewenangan untuk memberi
izin dapat menimbulkan tujuan dari kegiatan yang membutuhkan suatu izin
tertentu dapat menjasi terhambat, bahkan bisa jadi tidak mencapai sasaran. Ini
berarti bahwa campur tangan pemerintah dalam regulasi perizinan memberikan
kejenuhan bagi pelaku kegiatan yang perlu adanya izin, apalagi bagi kegiatan
usaha yang memerlukan pelayanan yang cepat dan efisien.
Menurut Soehardjo, pada tingkat tertentu regulasi ini menimbulkan kejenuhan
dan timbul gagasan yang mendorong untuk menyederhanakan pengaturan,
prosedur, dan birokrasi. Keputusan pejabat biasanya membutuhkan waktu lama,
misalnya penerbitan izin membutuhkan waktu lebih dari satu bulan, sedangkan
dalam dunia usaha membutuhkan waktu yang cepat, dan terlalu banyaknya mata
24
Ridwan, H.R., Hukum Administrasi Negara, (Jakarta: Rajagrafindo, 2006), hlm. 213-215. 25
Op. cit., N.M. Spelt dan J.B.J.M. ten Berge.
25
rantai dalam prosedur perizinan banyak membuang waktu dan biaya. 26 Oleh
karena itu dalam perizinan biasanya dilakukan deregulasi, yang memiliki arti
peniadaan berbagai peraturan perundang-undangan yang dipandang berlebihan.
Hal ini disebabkan karena peraturan yang berlebihan biasanya berkenaan dengan
adanya campur tangan pemerintah atau negara dalam bermasyarakat tertutama
dalam bidang ekonomi, jadi deregulasi itu ujungnya memiliki makna
debirikratisasi.27 Walau deregulasi dan debirokratisasi ini biasa digunakan dalam
bidang perizinan dan hampir selalu dipraktikkan dalam pemerintahan tapi dalam
suatu negara hukum harus ada batasan atau rambu-rambu yang ditentukan oleh
hukum.
d. Peristiwa Konkret
Izin merupakan instrument yuridis yang memiliki bentuk ketetapan, dimana
pemerintah menggunakannya dalam peristiwa konkret dan individual. Yang
dimaksud dengann peristiwa konkret disini ialah suatu peristiwa yang terjadi pada
suatu waktu tertentu dan terdapat fakta hukum dalam peristiwa tersebut.
Beragamnya peristiwa ini juga sejalan dengan keberagaman yang ada pada
masyarakat, begitu pula dengan izin juga memiliki keberagaman. Izin yang
jenisnya beragam itu dibuat dalam proses yang cara prosedurnya tergantung dan
26
Soehardjo, Hukum Administrasi Negara Pokok-Pokok Pengertian serta Perkembangannya di
Indonesia, (Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1991), hlm. 25. 27
Bagir Manan, Bentuk-Bentuk Perbuatan Keperdataan yang Dapat Dilakukan oleh Pemerintah Daerah, majalah Ilmiah Universitas Padjadjaran, No. 3 Volume 14, 1996, hlm. 33.
26
kewenangan pemberi izin, macam izin, dan struktur organisasi instansi yang
menerbitkannya. Banyaknya jenis izin yang dikeluarkann oleh instansi pembei
izin juga dapat berubah dengan adanya perubahan kebijakan peraturan perundang-
undangan yang terkait dengan izin tersebut. Walaupun begit, izin akan tetap
digunakan dalam setiap penyelenggaraan pemerintahan dan kemasyarakatan. 28
e. Proses dan Prosedur
Proses dan prosedur perizinan dapat meliputi prosedur pelayanan perizinan,
proses penyelesaian perizinan yang merupakan proses internal yang dilakukan
oleh aparat/petugas.dalam setiap tahapan pekerjaan tersebut, masing-masing
pegawai dapat mengetahui peran masing-masing dalam proses penyelesaian
perizinan.
Suatu permohonan izin harus menempuh beberapa prosedur tertentu yang
ditentukan oleh pemerintah, selaku pemberi izin. Di samping harus menempuh
prosedur tertentu, pemohon izin juga wajib untuk memenuhi syarat-syarat yang
telah ditentukan oleh pemberi izin. Prosedur dan persyaratan perizinan itu
berbeda-beda tergantung pada jenis izin, tujuan izin, dan instansi pemberi izin.
Dalam hal pelaksanaan perizinan, lack of competencies sangat mudah untuk
dijelaskan. Pertama, dalam proses perizinan dibutuhkan adanya pengetahuan,
bukan hanya sebatas pada aspek legal dari proses perizinan saja, tetapi lebih jauh
dari aspek tersebut. Misalnya, untuk memberikan izin pihak pelaksana juga harus
28
Ridwan, H.R., Hukum Administrasi Negara, (Jakarta: Rajagrafindo, 2006), hlm. 215-216
27
mempertimbangkan dampak yang akan ditimbulkan dari izin tersebut baik dalam
jangka pendek maupun jangka panjang. Seseorang yang dapat memperkirakan
dampak yang bersifat multidimensi memerlukan pengetahuan yang luas baik dari
segi konsepsional maupun hal-hal teknis. Dalam beberapa kasus, sangat sering
ditemui aparatur pelaksana yang tidak memiliki syarat pengetahuan yang
dimaksud. Alhasil, izin yang diberikan bisa jadi akan menimbulkan dampak yang
buruk dimasa depan.
Kedua, perlunya dukungan keahlian dari aparatur yang bukan hanya dalam
mengikuti tata urutan prosedurnya, tapi hal lain yang juga dapat mendukung
kelancaran proses perizinan. Pengoptimalan penggunaan teknologi informasi,
misalnya dianggap menjadi solusi yang sangat tepat untuk mengefisienkan
prosedur perizinan. Dengan demikian, hampir disemua sector perizinan dituntut
untuk menggunakan sistem komputerisasi dan aparat yang tidak memiliki
keahlian untuk mengoperasikan teknologi tersebut akan menjadi ganjalan. Aparat
yang demikian masih sangat banyak ditemui di lapangan.
Ketiga, proses perizinan tidak terlapas dari interaksi antara pemohon dengan
pemberi izin. Dalam interaksi tersebut terkadang muncul perilaku yang
menyimpang baik yang dilakukan oleh aparatur maupun yang dipicu oleh
kepentingan bisnis pelaku usaha, sehingga aparatur pelaksana perizinan dituntut
untuk memiliki perilaku yang positif dengan tidak memanfaatkan situasi demi
kepntingan pribadi. Masih sangat sering dijumpai praktik-praktik yang tercela
dalam proses perizinan seperti suap dan sebagainya. Di samping itu, masalah
28
perilaku juga menjadi persoalan manakala prinsip good governance dituntut
untuk dilakukan dalam pelayanan perizinan. Sebab masih jarang ditemukan
aparatur pelayanan yang memiliki sikap professionalism dan mengedepankan
prinsip customer relationship manakala berhubungan dengan pihak yang diberi
layanan.
f. Persyaratan
Persyaratan merupakan hal yang harus dipenuhi oleh pemohon untuk
memperoleh izin yang dimohonkan. Persyaratan perizinan tersebut berupa
dokumen kelengkapan atau surat-surat.
Menurut Soehino, “syarat-syarat dalam izin itu bersifat konstitutif dan
kondisional. Bersifat konstitutif, karena ditentukan suatu perbuatan atau tingkah
laku tertentu yang harus (terlebih dahulu) dipenuhi, artinya dalam hal pemberian
izin itu ditentukan suatu perbuatan konkret, dan bila tidak dipenuhi dapat dikenai
sanksi. Bersifat kondisional, karena penilaian tersebut baru ada dan dapat dilihat
serta dinilai setelah perbuatan atau tingkah laku yang disyaratkan itu
terjadi.”29Penentuan prosedur dan persyaratan perizinan dilakukan secara sepihak
oleh pemerintah. Namun pemerintah tidak dapat membuat ataupun menentukan
prosedur dan persyaratan menurut kehendaknya sendiri secara arbiter (sewenang-
wenang), tapi juga harus sejalan dengan peraturan perundang-undangan yang
telah menjadi dasar dari perizinan itu. Dengan kata lain, pemerintah tidak boleh
29
Soehino, Asas-Asas Hukum Tata Pemerintahan, (Yogyakarta: Liberty, 1984), hlm. 97.
29
menentukan syarat yang melampaui batas tujuan yang hendak dicapai oleh
peraturan hukum yang menjadi dasar perizinan bersangkutan.30
g. Waktu Penyelesaian Izin
Waktu penyelesaian izin ditentukan oleh instansi yang bersangkutan. Waktu
penyelesaian ditentukan sejak saat permohonan diajukan sampai dengan
penyelesaian pelayanan. Dimensi waktu selalu melekat pada proses perizinan
karena adanya tata cara dan prosedur yang harus ditempuh seseorang dalam
mengurus perizinan tersebut. Dengan demikian regulasi dan deregulasi harus
memenuhi kriteria berikut:
1) Disebutkan dengan jelas
2) Waktu yang ditetapkan sesingkat mungkin
3) Diinformasikan secara luas bersama-sama dengan prosedur dan
persyaratan
h. Biaya Perizinan
Biaya/tariff pelayanan termasuk rinciannya yang ditetapkan dalam proses
pemberian izin. Penetapan besaran biaya pelayanan perizinan perlu
memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1) Rincian biaya harus jelas dalam tiap perizinan, khususnya yang memerlukan
tindakan seperti penelitian, pemeriksaan, pengukuran dan pengajuan
30
Ridwan, H.R., Hukum Administrasi Negara, (Jakarta: Rajagrafindo, 2006), hlm. 217.
30
2) Ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan atau dan memperhatikan
prosedur sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan
Pembiayaan menjadi hal mendasar dari pengurusan perizinan. Namun,
perizinan sebagai bagian dari kebijakan pemerintah untuk mengatur aktivitas
masyarakat sudah seharusnya memenuhi sifat-sifat sebagai public
goods.31Dengan demikian, meskipun terdapat pembiayaan sesungguhnya bukan
untuk sebagai alat budgetaire negara. Oleh karena itu, harus memenuhi syarat-
syarat sebagai berikut:
1) Disebutkan dengan jelas
2) Terdapat (mengikuti) standar nasional
3) Tidak ada pengenaan biaya lebih dari sekali untuk setiap objek (syarat)
tertentu
4) Perhitungan didasarkan pada tingkat real coast (biaya yang sebenarnya)
5) Besarnya biaya diinformasikan secara luas
i. Pengawasan Penyelenggaraan Izin
Saat sekarang kinerja pelayanan perizinan yang dilaksanakan oleh pemerintah
dituntut untuk lebih baik. Dalam banyak hal memang harus diakui bahwa kinerja
pelayanan perizinan pemerintah masih buruk. Hal ini disebabkan oleh: Pertama,
tidak ada sistem isentif untuk melakukan perbaikan. Kedua, buruknya tingkat
pengambilan inisiatif dalam pelayanan perizinan, yang ditandai dengan tingkat
31
Adrian Sutedi, Perizinan dalam Sektor Pelayanan Publik, Sinar Grafika, Jakarta, 2015, hlm. 87
31
ketergantungan yang tinggi pada aturan formal (rule driven) dan petunjuk
pimpinan dalam melakukan tugas pelayanan.
Pelayanan perizinan yang dilaksanakan oleh birokrasi pemerintah digerakkan
oleh peraturan dan anggaran bukan digerakkan oleh misi. Dampaknya adalah
pelayanan menjadi kaku, tidak kreatif dan tidak inovatif, sehingga tidak dapat
mengakomodasi kepantingan masyarakat yang selalu berkembang. Ketiga, budaya
aparatur yang masih kurang disiplin dan sering melanggar aturan. Keempat,
budaya paternalistic yang tinggi, artinya aparat menempatkan pimpinan sebagai
prioritas utama, bukan kepentingan masyarakat.
Masalah pelayanan masyarakat yang diberikan oleh aparat birokrasi
pemerintah merupakan satu masalah penting bahkan seringkali variable ini
dijadikan alat ukur menilai keberhasilan pelaksanaan tugas-tugas pokok
pemerintah. Begitu juga halnya di daerah masalah pelayanan peizinan sudah
menjadi program pemerintah yang harus secara terus-menerus ditingkatkan
pelaksanaannya.
Adanya pembuatan metode atau sistem pelayanan perizinan ternyata tidak
otomatis mengatasi masalah yang terjadi, sebab dari hari ke hari keluhan
masyarakat bukannya berkurang bahkan semakin sumbang terdengar. Hal ini
menunjukkan bahwa misi pemerintah, yaitu sebagai public services32masih belum
memenuhi harapan masyarakat. Sudah mulei sekaranglah seharusnya pemerintah
32
Ibid, hlm. 89.
32
memberikan perhatian yang serius dalam uapaya peningkatan dan perbaikan mutu
pelayanan.
Antisipasi terhadap tuntutan pelayanan yang baik membawa suatu konsekuensi
logis bagi pemerintah untuk memberikan perubahan-perubahan terhadap pola
budaya kerja aparatur pemerintah. Sebagai upaya melakukan perubahan tersebut
telah lahir Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik yang
dalam pasal 39 ayat (3) yang berbunyi, masyarakat dapat membentuk lembaga
pengawasan pelayanan publik. Ini berarti bahwa pemerintah mengamanatkan agar
masyarakat dilibatkan dalam pengawasan pelayanan publik. Namun, tata cara
pengikutsertaan masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik diatur lebih
lanjut dalam peraturan pemerintah, hal ini disebutkan dalam pasal 39 ayat (4) yang
berbunyi, tata cara pengikutsertaan masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan
publik diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah.
Dalam Keputusan Menpan Nomor 63 Tahun 2003 tentang Pedoman Umum
Penyelenggaraan Pelayanan Publik dikemukakan bahwa pengawasan pelayanan
publik dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas penyelenggaraan pelayanan
perizinan oleh aparatur pemerintah diberikan arahan mengenai prinsip-prinsip
pelayanan perizinan yaitu antar lain prinsip kesederhanaan, kejelasan, kepastian
waktu, akurasi, keamanan, dan tanggung jawab serta kedisiplinan.
Namun, suatu kebijakan tidak begitu saja dapat diimplementasikan dengan
baik. Di sisi lain, kenyataan menunjukkan bahwa tuntutan masyarakat terhadap
kualitas pelayanan perizinan terus meningkat seiring dengan meningkatnya
33
dinamika masyarakat itu sendiri. Apabila tidak diimbangi dengan konsistensi
pelaksanaan kebijakan atau berapa banyak kebijakan yang telah diambil oleh
pemerintah, maka hasilnya tetap saja dirasakan kurang memuaskan.
j. Penyelesaian Pengaduan dan Sengketa
1) Pengaduan
Setiap pimpinan unit penyelenggara pelayanan perizinan wajib menyelesaikan
setiap pengaduan masyarakat mengenai ketidak puasan dalam pemberian
pelayanan izin sesuai kewenangannya. Untuk menampung pengaduan masyarakat
tersebut, unit pelayanan perizinan harus menyediakan loket/kotak pengaduan dan
berbagai sarana pengaduan lainnya dalam menyelesaikan pengaduan masyarakat.
Dalam hal pengaduan tidak dapat diselesaikan oleh unit pemberi izin yang
bersangkutan dan terjadi sengketa, maka penyelesaiannya dapat dilakukan melalui
mekanisme penanganan pengaduan oleh instansi atau unit kerja yang memberikan
pelayanan perizinan.
Mekanisme pengaduan merupakan mekanisme yang dapat ditemouh oleh
pemohon izin atau pihak yang dirugikan akibat dikeluarkannya izin. Mekanisme
pengaduan merupakan hal yang sangat penting untuk memperbaiki kualitas
pelayanan terus-menerus.
Untuk dapat menjadikan pengaduan sebagai sumber perbaikan pelayanan
perizinan, meka pengaduan itu sendiri harus dikelola dengan baim dan benar.
Mekanisme penanganan pengaduan yang baik dan benar harus memenuhi unsur-
34
unsur antara lain: 1) penentuan prioritas pengaduan yang masuk ke loket atau
kotak pengaduan dan berbagai sarana pengaduan lainnya, 2) adanya prosedur
penyelesaian pengaduan, 3) adanya pejabat/petugas yang secara khusus
bertanggung jawab atas pengaduan, 4) adanya standar waktu penyelesaian
pengaduan.
2) Sengketa
Apabila penyelesaian pengaduan tersebut oleh pemohon atau pihak yang
dirugikan akibat dikeluarkannya izin, maka dapat menyelesaikan melalui jalur
hukum, yakni melalui mediasi, Obsman, atau ke pengadilan untuk menyelesaikan
sengketa hukum penyelesaian tersebut.
Regulasi dan deregulasi perizinan di Indonesia kedepan yang menjunjung
tinggi good governance, harus diwujudkan dengan adanya mekanisme complain
dan penyelesaian sengketa karena adanya berbagai pihak yang terlibat. Berikut ini
yang harus diperhatikan dalam hal tersebut:
a) Prosedur sederhana dibuka (dapat diakses) secara luas
b) Menjagga kerahasiaan pihak yang melakukan complain
c) Menggunakan berbagai media
d) Dilakukan penyelesaian sesegera mungkin
e) Membuka akses penyelesaian sengketa melalui jalur pengadilan atau
nonpengadilan.
35
k. Sanksi
Sebagai produk kebijakan publik, regulasi dan deregulasi perizinan di
Indonesia kedepan perlu memperhatikan materi sanksi dengan kriteris berikut:
a) Disebutkan secara jelas terkait dengan unsur-unsur yang dapat diberi sanksi
dan sanksi apa yang akan diberikan
b) Jangka waktu pengenaan sanksi disebutkan
c) Mekanisme pengguguran sanksi
l. Hak dan Kewajiban
Hak dan kewajiban antara pemohon dan instansi pemberi izin harus tertuang
dalam regulasi dan deregulasi perizinan di Indonesia. Dalam hal ini juga harus
diperhatikan hal-hal berikut:
1) Tertulis dengan jelas
2) Seimbang antara para pihak
3) Wajib dipenuhi oleh para pihak
Di dalam undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik
juga dikemukakan hak dan kewajiban masyarakat (yang memohon izin) dan
instansi pemberi layanan perizinan. Hak-hak masyarakat yaitu:
1) Mendapatkan pelayanan perizinan yang berkualitas sesuai dengan asas dan
tujuan pelayanan
2) Mengetahui sistem, mekanisme, dan prosedur pelayanan
3) Mendapat tanggapan atas keluhan yang diajukan secara layak
36
4) Mendapatkan advokasi, perlindungan, dan pemenuhan pelayanan
Adapun kewajiban masyarakat adalah:
1) Mengawasi dan memberitahukan kepada instansi pemberi layanan perizinan
untuk memperbaiki pelayanannya apabila pelayanan yang diberikan tidak
sesuai dengan standar peelayanan yang berlaku
2) Melaporkan penyimpangan pelaksanaan pelayanan kepada Ombudsman
apabila penyelenggara tidak memperbaiki pelayanan seperti dalam angka 1
diatas
3) Mematuhi dan memenuhi persyaratan, sistem, dan mekanisme prosedur
pelayanan perizinan
4) Menjaga dan turut memelihara berbagai sarana dan prasaranan pelayanan
umum
5) Berpartisipasi aktif dan mematuhi segala keputusan Penyelenggara.
2. Fungsi Izin
Segala ketentuan dalam perizinan mempunyai fungsi yaitu sebagi funfsi
penertib dan pengatur. Sebagai fungsi penertib, diharap setiap izin atau tempat-
tempat usaha, bangunan dan bentuk kegiatan masyarakat lainnya tidak
bertentangan satu sama lain, sehingga ketertiban dari setiap segi masyarakat dapat
terwujud.
37
Sebagai fungsi mengatur dimaksudkan agar perizinan yang ada dapat
dilaksanakan sesuai dengan peruntukkannya sehingga tidak terdapat
penyalahgunaan izin yang telah diberikan, dengan kata lain, fungsi pengaturan ini
dapat disebut juga sebagai fungsi yang dimiliki oleh pemerintah. Dalam hal Izin
Mendirikan Bangunan, fungsi dari izin bangunan dapat dilihat dalam beberapa hal.
a. Segi Teknis Perkotaan
Pemberian izin mendirikan bangunan sangat penting artinya bagi pemerintah
daerah guna mengatur, menetapkan, dan merencanakan pembangunan perumahan
wilayahnya sesuai dengan potensial dan prioritas kota yang dituangkan dalam
Master Plan Kota. Untuk mendapatkan pola pembangunan kota yang terencana
dan terkontrol tersebut, pelaksanaan pembangunan di atas wilayah suatu kota
diwajibkan memeliki izin mendirikan bangunan dan penggunaannya sesuai
dengan yang disetuji oleh Dinas Perizinan dan Pengawasan Pembangunan Kota
(DP3K).
Dengan adanya pengaturan pembangunan perumahan melalui izin ini,
pemerintah di daerah dapat merencanakan pelaksanaan pembangunan berbagai
sarana serta unsur kota dengan berbagai instansi yang berkepentingan. Hal ini
penting artinya agar wajah perkotaan dapat ditata dengan rapi serta menjamin
keterpaduan pelaksanaan pekerjaan pembangunan perkotaan. Penyesuainan
pemberian izin mendirikan bangunan dengan Master Plan Kota akan
38
memungkinkan adanya koordinasi antara berbagai departemen teknis dalam
melaksanakan pembangunan kota.
b. Segi Kepastian Hukum
Izin Mendirikan Bangunan penting artinya sebagi pengawasan dan
pengendalian. Mendirikan bangunan dapat menjadi acuan atau titik tolak dalam
pengaturan suatu bangunan. Bagi masyarakat, pentinga izin mendirikan bangunan
ini adalah untuk mendapatkan kepastian hukum terdapat hak bangunan yang
dilakukan, sehingga tidak ada gangguan atau hal-hal yang merugikan pihak lain
dan akan merugikan keamanan dan ketentraman dalam melakukan usaha atau
pekerjaan.
Selain itu, izin mendirikan bangunan tersebut bagi pemiliknya dapat berfungsi
antara lain sebagi berikut:
1) Bukti milik bangunan yang sah
2) Kekuatan hukum terhadap tuntutan ganti rugi dalam hal berikut:
a) Terjadinya hak milik untuk keperluan pembangunan yang bersifat untuk
kepentingan hukum
b) Bentuk-bentuk kerugian yang diderita pemilik bangunan lainnya yang
berasal dari kebijaksanaan dan kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah
c) Segi pendapatan daerah, dalam hal ini pendapatan daerah, maka izin
mendirikan bangunan merupakan salah satu sektor pemasukan yang tidak
39
dapat diabaikan begitu saja. Memalui pemberian izin ini dapat dipungut
retribusi izin mendirikan bangunan. Retribusi atas izin mendirikan
bangunan itu ditetapkan berdasarkan presentase dari taksiran biaya
bangunan yang dibedakan menurut fungsi bangunan tersebut. retribusi izin
mendirikan dibebankan kepada setian orang atau badan hukum yang
namanya tercantum dalam surat izin yang dikeluarkan itu.
Hukum perizinan adalah bagian dari Hukum Administrasi Negara.
Adapun yang dimaksud dengan perizinan adalah melakukan perbuatan atau
usaha yang sifatnya sepihak yang berda di bidang Hukum Publik yang
berdasarkan wewenang tertentu yang berupa penetan dari permohonan
seseorang maupun Badan Hukum terhadap masalah yang dimohonkan.
Sebagai suatu instrument, izin berfungsi selaku ujung tombak instrument
hukum sebagai suatu pengarah, perekayasa, dan peranncang masyarakat yang
adil dan makmur. Hal ini berarti lewat izin dapat diketahui bagaimana
gambaran masyarakat adil dan makmur itu terwujud. Ini bararti persyaratan-
persyaratan yang terkandung dalam izin merupakan pengendali dalam
memfungsikan izin itu sendiri.33apabila dikatakan bahwa suatu izin itu dapat
difungsikan sebagai instrument pengendali dan instrument untuk mewujudkan
masyarakat yang adil dan makmur, sebagaimna yang diamantkan dalam alinea
keempat Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia 1945, penataan dan
33
Opcit., Sjachran Basah, hlm. 2.
40
pengaturan izin sudah semstinya harus dilakukan dengan sebaik-baiknya.
Menurut Prajudi Atmosudirdjo,34 berkenaan dengan fungsi- fungsi hukum
modern, izin dapat diletakkan dalam fungsi menertibkan masyarakat.
D. Tinjauan Tentang Pengawasan
1. Pengertian Pengawasan
Pengawasan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berasal dari kata “awas”
yang artinya melihat atau memperhatikan dengan seksama atau dengan baik-baik.
Pengawasan juga sering disebut dengan control. 35 Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia menjelaskan arti control sendiri adalah pengawasan, pemeriksaan,
mengontrol adalah memeriksa dan mengawasi. Soekarno K mendefinidikan
tentang pengawasan yaitu, suatu proses yang menentukan tentang apa yang harus
dikerjakan, agar apa yang dilaksanakan sejalan dengan rencana”.36 Beberapa ahli
lain memiliki pendapat tentang apa yang dimaksud dengan pengawasan, pendapat
tersebut antara lain :
Prayudi : Pengawasan merupakan suatu proses untuk menetapkan pekerjaan
apa yang dilaksanakan, di jalankan atau diselenggarakan itu dengan apa yang
dikehendaki, direncanakan dan diperhatikan.37
34
Prajudi Atmosudirdjo, Hukum Administrasi Negara, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1981) hlm. 23. 35
Hadari Nawawi, Pengawasan Melekat Di Lingkungan Aparatur Pemerintah, Erlangga, Jakarta, 1989, hlm. 4.
36 Sujamto, beberapa Pengertian di Bidang Pengawasan, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1986, hlm.
17. 37
Prayudi, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1981, hlm. 80.
41
Saiful Anwar : pengawasan atau control terhadap tindakan aparatue
pemerintah diperlukan agar pelaksanaan tugas yang telah ditetapkan dapat
mencapai tujuan dan terhindar dari penyimpangan-penyimpangan.38
Harold Koonz,dkk yang dikutip oleh John Salinderho : pengawasan adalah
pengukuran dan pembetulan terhadap kegiatan para bawahan untuk menjamin
bahwa apa yang terlaksana itu cocok dengan rencana. Sehingga apa yang
dimaksud pengawasan itu merupakan kegiatan mengukur pelaksanaan
dibandingkan dengan cita-cita dan rencana, memperlihatkan dimana ada
penyimpangan yang negative dan dengan menggerakkan tindakan-tindakan untuk
memperbaiki penyimpangan-penyimpangan, dan membantu tercapainya suatu
rencana.39
2. Bentuk Pengawasan
Bentuk pengawasan dibagi menjadi 4 (empat) yaitu :
a. Pengawasan ditinjau dari kedudukan organ/badan yang melaksanakan
pengawasan :
Pengawasan dapat dibedakan menjadi 2 (dua) kelompok besar yaitu :
1) Pengawasan yang dilakukan oleh aparatur pemerintah yang ada dalam bidang
pengawasan membantu Presiden sebagai Administrator Pemerintahan yang
tertinggi dalam mengendalikan administrasi negara. Fungsi pengawasan ini
38
Saiful Anwar, Sendi-Sendi Hukum Administrasi Negara, Glora Madani Press, 2004, hlm. 127. 39
John Salindeho, Tata Laksana Dalam Manajemen, Sinar Grafika, Jakarta, 1998, hlm. 39.
42
dilaksanakan oleh organisasi/badan/unit kerja yang beban kerja dan volume
atau tugas pokok dibidang pengawasan. Pengawasan yang dilakukan oleh
organisasi/badan/unit kerja terhadap aparatur pemerintah dalam melaksanakan
tugas-tugas pemerintahan dan tugas pembangunan, disebut sebagai
pengawasan dari luar (ekstern).
2) Fungsi pengawasan yang dilakukan oleh setiap atasan langsung kepada
bawahannya dalam mewujudkan manajemen yang sehat dan baik
dilingkungan organisasi/badan/unit kerja masing-masing. Pengawasan yang
ini disebut dengan pengawasan atasan langsung sebagai pelaksanaan fungsi
yang melekat (pengawasan intern).40 Pengawasan ini dapat menjadi efektif
untuk mengendalikan pemerintah, jadi akan menciptakan aparatur pemerintah
yang sehat, bersih dan berwibawa.
Pengawasan melekat ini memiliki tiga sifat yaitu bersifat tepat, bersifat cepat
dan bersifat murah. Bersifat tepat, karena aparat pengawas mengetahui benar
lingkup tugas dan kewajiban aparat yang diawasi. Bersifat cepat karena
pengawasan melekat ini tidak perlu adanya procedural. Bersifat murah, karena
pengawasan ini merupakan “built in control”, jadi tidak memerlukan
anggaran biaya sendiri.41
40
Hadari Nawawi, Pengawasan Melekat Di Lingkungan Aparatur Pemerintah, Erlangga, Jakarta,
1989, hlm. 4. 41
Muchsan, sistem Pengawasan Terhadap Perbuatan Aparat Pemerintah dan Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 2007, hlm 41.
43
b. Pengawasan dari segi waktu dilaksankannya
1) Pengawasan Preventif
Pengawasan preventif ialah pengawasan yang dilakukannya sebelum
dikeluarkannya suatu keputusan/ketentuan/ketetapan pemerintah. Pengawasan
ini disebut juga dengan pengawasan dalam hal pencegahan atau pengawasan
priori.
2) Pengawasan Represif
Pengawasan represif ialah pengawasan yang dilakukan sesudah
dikeluarkannya suatu keputusan/ketentuan/ketetapan pemerintah. Pengawasan
represif memiliki fungsi sebagai pengoreksi atau pemulihan jika terjadi suatu
tindakan yang dianggap salah.
c. Pengawasan ditinjau dari aspek yang diawasi
1) Pengawasan Segi Hukum
Pengawasan segi hukum yaitu pengawasan yang dimaksudkan untuk menilai
segi-segi hukum saja (rechtmatigheid).
2) Pengawasan Segi Kemanfaatan
Pengawasan segi kemanfaatan yaitu pengawasan yang dilakukan bertujuan
untuk menilai dari sisikemanfaatannya dalam kehidupan bermasyarakat.
d. Pengawasan Lintas Sektoral
Pengawasan lintas setoral ialah pengawasan yang dilakukan secara bersama
oleh dua atau lebih perangkat pengawasan terhadap program-program dan
kegiatan pembangunan yang bersifat multi sektoral yang menjadi
44
tanggungjawab semua lembaga yang terlibat dalam program atau kegiatan
tersebut. contoh dari pengawasan ini adalah program bimas, program impress
bantuan daerah, impress sarana kesehatan, proyek perizinan.
top related