bab ii tinjauan pustaka 2.1 pembangunan pertanian...pertanian perkotaan sebagai suatu konsep yang...
Post on 30-Nov-2020
6 Views
Preview:
TRANSCRIPT
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pembangunan Pertanian
Pembangunan seringkali diartikan pada pertumbuhan dan perubahan.Jadi,
pembangunan pertanian yang berhasil dapat diartikan kalau terjadi pertumbuhan
sektor pertanian yang tinggi dan sekaligus terjadi perubahan masyarakat tani dari
kurang baik menjadi yang lebih baik.Seperti diketahui sektor pertanian di Indonesia
dianggap penting. Hal ini terlihat dari peranan sektor pertanian terhadap penyediaan
lapangan kerja, penyedia pangan, penyumbang devisa Negara melalui ekspor dan
sebagainya (Soekartawi, 1995).
Disisi lain, didalam negeri juga dihadapkan pada berbagai tantangan, seperti:
(1) Dinamika permintaan pangan dan bahan baku industri; (2) Kelangkaan dan
degradasi kualitas sumberdaya alam; dan (3) Manajemen pembangunan yang
mencakup: (a) otonomi, dimana pembangunan dilaksanakan sesuai dengan UU
nomor 32 Tahun 2004, tentang Pemerintahan Daerah, dan UU Nomor 33 Tahun 2004
tentang Pertimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah,
dan (b) partisipasi masyarakat, dimana pembangunan lebih diarahkan kepada
peningkatan sebesar-besarnya peran serta masyarakat, sementara pemerintah berperan
sebagai regulator, fasilitator, dan dinamisator.
Pembangunan pertanian pada hakekatnya adalah pendayagunaan secara
optimal sumberdaya pertanian dalam rangka pencapaian tujuan pembangunan, yaitu:
(1) membangun sumber daya manusia aparatur profesional, petani mandiri dan
12
kelembagaan pertanian yang kokoh; (2) meningkatkan pemanfaatan sumberdaya
pertanian secara berkelanjutan; (3) memantapkan ketahanan dan keamanan pangan;
(4) meningkatkan daya saing dan nilai tambah produk pertanian; (5) menumbuh
kembangkan usaha pertanian yang akan memacu aktivitas ekonomi perdesaan; dan
(6) membangun sistem manajemen pembangunan pertanian yang berpihak kepada
petani (Apriyanto, 2005).
Pembangunan pertanian adalah meningkatkan produksi hasil usahatani. Untuk
hasil-hasil ini perlu ada pasar serta harga yang cukup tinggi untuk menbayar kembali
biaya-biaya tunai dan tenaga yang dipakai petani sewaktu mengerjakan usahataninya,
untuk ini diperlukaan tiga hal, yaitu: (1) adanya tempat menjual hasil usahatani,
(2) adanya penyalur untuk menjual hasil usahatani, dan (3) kepercayaan petani pada
kelancaran sistem penjualan usahatani. (Mosher, 1965)
Posisi pertanian akan semakin strategis jika dilakukan perubahan pola pikir
masyarakat yang awalnya cenderung memandang pertanian hanya sebagai penghasil
(output) komoditas menjadi pola pikir yang melihat multi-fungsi dari pertanian,
seperti agribisnis. Sistem agribisnis mengedepankan sistem budaya, organisasi dan
manajemen yang rasional dan dirancang untuk memperoleh nilai tambah yang dapat
disebar dan dinikmati oleh seluruh pelaku ekonomi secara fair dari petani produsen,
pedagang dan konsumen.
Tsing (2010) mengatakan bahwa untuk mewujudkan ketahanan pangan dan
meningkatkan kemajuan petani dibutuhkan kerjasama dengan pengambil kebijakan
13
dalam hal meningkatkan pengetahuan petani agar mereka bisa mengembangkan hasil-
hasil pertaniannya.
2.2 Pertanian Perkotaan
Pertanian perkotaan, dalam bahasa Inggris memiliki beberapa pemahaman,
dapat disebut sebagai Urban farming maupun Urban Agriculture. Jika dalam bahasa
Indonesia, pertanian perkotaan berasal dari kata tani, dalam kamus bahasa Indonesia,
tani adalah mata pencaharian dalam bentuk bercocok tanam, sedangkan pertanian
adalah perihal bertani (mengusahakan tanah dengan tanam menanam). Secara singkat
pertanian perkotaan adalah kegiatan pertanian yang dilakukan di kota. Namun
pertanian perkotaan lebih dari sekedar kegiatan pertanian di kota.
Menurut Baikley et al. (2000) dalam from brownfields to greenfields producing
food in North American cities, yang dimaksud dengan pertanian perkotaan adalah
penumbuhan (pembuatan), pemrosesan dan distribusi makanan dan produk lainnya
melalui budidaya tanaman intensif dan peternakan di sekitar kota. Dalam pengertian
tersebut, disebutkan bahwa pertanian perkotaan tidak hanya dalam dimensi kegiatan
pertanian tanaman hortikultura saja, namun juga pada kegiatan peternakan.
Menurut Mazeereuw (2005), pertanian didalam kota mempengaruhi aspek
ekonomi, kesehatan, sosial dan lingkungan kota. Dengan demikian akan ada manfaat
meningkatnya kesejahteraan, keadilan, kebersamaan, kenyamanan, kualitas
kehidupan dan kelestarian lingkungan hidup.
14
Pertanian perkotaan didefinisikan sebagai aktifitas atau kegiatan bidang
pertanian yang dilakukan di dalam kota (intra-urban) dan pinggiran kota (peri-urban)
untuk memproduksi/memelihara, mengolah dan mendistribusikan beragam produk
pangan dan non pangan, dengan memanfaatkan atau menggunakan kembali
sumberdaya manusia, material, produk dan jasa di daerah perkotaan (Smith et al.,
1996; dan FAO, 1999).
Lembaga Internasional FAO (2003) memposisikan pertanian perkotaan
sebagai; (1) salah satu sumber pasokan sistem pangan dan opsi ketahanan pangan
rumah tangga perkotaan; (2) salah satu kegiatan produktif untuk memanfaatkan ruang
terbuka dan limbah perkotaan; dan (3) salah satu sumber pendapatan dan kesempatan
kerja penduduk perkotaan. Karena itu, pertanian perkotaan mempunyai peluang dan
prospek yang baik untuk pengembangan usahatani berbasis agribisnis dan
berwawasaan lingkungan.
Menurut CAST (Counsil for Agriculture Scince and Technology) (2003), yang
dimaksud dengan pertanian perkotaan adalah sistem yang kompleks yang meliputi
spektrum kepentingan, dari produksi, pengolahan, pemasaran, distribusi dan
konsumsi. Untuk manfaat lainnya dan jasa yang kurang diakui misalnya untuk
rekreasi dan bersantai, kesehatan individu, kesehatan masyarakat, pemandangan yang
indah serta pemulihan lingkungan.
Kaethler (2006), dalam Growing Space: The Potential for Urban Agriculture
in the City of Vancouver, membagi kegiatan pertanian kota menjadi dua jenis, yaitu:
(1) pertanian kota skala kecil, yakni kegiatan pertanian perkotaan yang memiliki luas
15
kurang dari 1.000 m2, (2) pertanian perkotaan skala besar yakni kegiatan pertanian
kota yang memiliki luas lebih dari 1.000 m2 atau 10 are.
Fenomena pertanian perkotaan dengan ciri luasan lahan yang terbatas akan
tumbuh di berbagai wilayah di Indonesia. Gejala tersebut ditunjukkan oleh kecepatan
rata-rata pertumbuhan petani gurem di Indonesia 2,6 % per tahun dan di Jawa 2,4%
per tahun (BPS, 2004). Di Wilayah perkotaan atau di perbatasan pemekaran kota,
seperti di Jabotabek, kegiatan usahatani lahan sempit mampu memberikan
kesempatan kerja dan pendapatan bagi kelangsungan kehidupan petani (Siregar dkk.,
2000). Meskipun Negara dalam kondisi krisis, tetapi petani dengan lahan sempit dan
di pinggir perkotaan tersebut tetap berusahatani (umumnya komoditas sayuran),
mampu menjaring konsumen di perkotaan, memiliki pasar yang relatif kontinyu, serta
memperoleh penghasilan kontinyu.
Dalam mengatasi persoalan ketahanan pangan, langkah yang dapat diterapkan
oleh kota adalah dengan mengaplikasikan Food Oriented Development (FOD).
Selama ini, pembangunan kota yang terjadi, pada umumnya belum
mempertimbangkan aspek ketahanan pangan bagi kota itu sendiri. FOD merupakan
konsep yang mencoba mempertimbangkan aspek ketahanan pangan dalam
pembangunan kota. Pertimbangan mengenai ketahanan pangan ini diharapkan dapat
mendukung pembangunan sektoral perkotaan yang berujung pada hasil pembangunan
yang berkelanjutan. Kegiatan pertanian kota termasuk dalam bagian dari FOD, karena
kegiatan pertanian kota merupakan kegiatan pertanian yang dilakukan di kawasan
perkotaan dengan tujuan untuk mengatasi persoalan pangan yang ada di kota tersebut.
16
Kegiatan pertanian kota dapat mendorong kota tersebut semakin mandiri dalam
penyediaan pangannya.
Selain tidak membutuhkan lahan banyak, tetapi juga hasil pertaniannya cukup
diminati masyarakat.Tantangan yang dihadapi untuk pengembangan pertanian di
wilayah perkotaan antara lain keterbatasan lahan, keterbatasan pengetahuan dan
teknologi, keterbatasan waktu yang bisa dicurahkan, dan yang tidak kalah pentingnya
adalah keterbatasan media tanam. Hal ini tentunya menjadi permasalahan yang
sangat besar, karena kita tahu bahwa masyarakat kota memerlukan pangan yang
besar, bagaimana menangani hal ini sementara lahan yang ada diperkotaan sangat
sempit, begitu juga lahan yang dimiliki oleh setiap individu yang ada diperkotaan
dapat dipastikan sempit juga, kemungkinan yang bisa dioptimalkan yakni lahan
pekarangan. Lahan pekarangan memiliki fungsi multiguna, karena dari lahan yang
relatif sempit ini, bisa menghasilkan bahan pangan seperti umbi-umbian, sayuran,
buah-buahan; bahan tanaman rempah dan obat, bahan kerajinan tangan; serta bahan
pangan hewani yang berasal dari unggas, ternak kecil maupun ikan. Manfaat yang
akan diperoleh dari pengelolaan pekarangan antara lain dapat : memenuhi kebutuhan
konsumsi dan gizi keluarga, menghemat pengeluaran, dan juga dapat memberikan
tambahan pendapatan bagi keluarga (Mustopa, 2011).
Aktivitas pertanian perkotaan menurut Mogout (2000) dan diperbaharui oleh
Smit et al (2001) berhubungan dengan tujuan, aktivitas ekonomi, lokasi, letak,
stakeholder, sistem produksi, ukuran, dan produk, dapat dilihat pada Gambar 2.1
17
Gambar 2.1
Kerangka konsep aktivitas urban farming menurut Mougeot (2000)
dan Smit et al ( 2001)
Menurut Enciety (2011), pertanian perkotaan adalah suatu aktivitas pertanian
di dalam atau sekitar perkotaan yang melibatkan keterampilan, keahlian dan inovasi
dalam budidaya dan pengolahan makanan. Definisi pertanian perkotaan sendiri
menurut Balkey M dalam www.berkebun-yuuk.blogspot.com (2011) adalah rantai
industri yang memproduksi, memproses dan menjual makanan dan energi untuk
memenuhi kebutuhan konsumen kota. Semua kegiatan dilakukan dengan metoda
using dan re-using sumber alam dan limbah perkotaan.
Menurut Wikipedia the free encyclopedia, pertanian perkotaan adalah praktek
pertanian (meliputi kegiatan tanaman pangan, peternakan, perikanan, kehutanan) di
dalam atau di pinggiran kota yang dilakukan di lahan pekarangan, balkon, atau atap-
Aktivitas Pertanian
Perkotaan
Tujuan
Letak
Aktivitas Ekonomi
Lokasi
Pengguna
Sistem Produksi
Ukuran
Produksi
18
atap bangunan, pinggiran jalan umum, atau tepi sungai dengan tujuan untuk
menambah pendapatan atau menghasilkan bahan pangan.
Sedangkan menurut UNDP (1996) pertanian perkotaan memiliki pengertian,
satu kesatuan aktivitas produksi, proses, dan pemasaran makanan dan produk lain, di
air dan di daratan yang dilakukan di dalam kota dan di pinggiran kota, menerapkan
metode-metode produksi yang intensif, dan daur ulang (reused) sumber alam dan sisa
sampah kota, untuk menghasilkan keaneka ragaman peternakan dan tanaman pangan.
Berdasarkan beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa pertanian
perkotaan mengandung arti suatu aktivitas pertanian yang dapat berupa kegiatan
bertani, beternak, perikanan, kehutanan, yang berlokasi di dalam kota atau
dipinggiran suatu kota dengan melakukan proses produksi (menghasilkan),
pengolahan, dan menjual serta mendistribusikan berbagai macam hasil produk
makanan dan non makanan dengan menggunakan sumber daya serta bertujuan untuk
menyediakan dan memenuhi konsumsi masyarakat yang tinggal di suatu kota.
Pertanian perkotaan sebagai suatu konsep yang sering disebut usaha pertanian
perkotaan yaitu sebagai peri urban agriculture adalah aktifitas/kegiatan yang
dilakukan di dalam kota dan pinggiran kota untuk memproduksi/memelihara,
mengolah dan mendistribusikan beragam produk pangan dan non pangan dengan
menggunakan atau menggunakan kembali sumberdaya manusia dan material, produk
serta jasa yang diperoleh dari dalam dan daerah urban.
19
2.3 Kawasan Perkotaan
Kawasan perkotaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan
pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan,
pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan
ekonomi.Kawasan perkotaan yang besar dengan jumlah penduduk di atas satu juta
orang dan berdekatan dengan kota satelit disebut sebagai metropolitan (Wikipedia
Indonesia). Definisi klasik kota menurut Zahnd (1999) adalah suatu permukiman
yang relatif besar, padat dan permanen, terdiri dari kelompok individu-individu yang
heterogen dari segi sosial. Dalam UU Penataan ruang No.26 tahun 2007, kawasan
perkotaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan
susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan
distribusi pelayanan pemerintahan, pelayanan sosial dan kegiatan ekonomi.
Pengembangan kota, membutuhkan lahan yang lokasi pengembangannya
seringkali ditempat subur yang seharusnya baik untuk lahan pertanian (Ehrlich, 1973)
Pada Tahun 2025, 2/3 populasi dunia akan terkonsentrasi di daerah perkotaan,
sehingga menambah pentingnya ketahanan pangan (MacRae et al, 2010). Menurut
Porter et al, (2010), saat ini 50% penduduk terkonsentrasi di perkotaan, pada tahun
2050 diperkirakan mencapai 80% populasi ada di daerah perkotaan. Salah satu cara
untuk mencapai ketahanan pangan adalah dengan melakukan kegiatan pertanian di
perkotaan (Grewal, 2012; Ayalon, 2014). Pertanian kota menyediakan suatu strategi
yang komplementer untuk mengurangi ketidak amanan pangan dan kemiskinan kota
serta meningkatkan manajemen lingkungan kota.
20
Dengan makin tumbuh dan berkembangnya kawasan perkotaan, kota-
kota besar terus berkembang ke arah kota metropolitan, daya tarik nilai ekonomi
dari kawasan perkotaan mulai dilirik dan diminati oleh para investor (penyandang
dana). Kebutuhan akan sarana-sarana kota yang makin meningkat terutama
untuk kegiatan bisnis berupa perdagangan dan jasa, semakin hari semakin
dibutuhkan dan sekaligus diminati para pengembang (developers). Karena itu dengan
meningkatnya pertumbuhan dan perkembangan kota, para pengembang kawasan
atau ‘developers’ makin tumbuh subur. Developer atau pengembang banyak yang
tidak mempedulikan lingkungan, dalam membangun, demikian juga yang terjadi di
Kota Denpasar. Banyak sawah produktif yang dijadikan perumahan dan tidak
dilengkapi dengan drainase yang bagus (Pos Bali 2015).
Peningkatan pertumbuhan dan perkembangan kawasan perkotaan ditengarai
sejak dekade 1990-an hingga diprediksi mendekati tahun 2025. Pertumbuhan dan
perkembangan kawasan perkotaan (urban areas) yang berkembang sangat pesat pada
era tersebut diatas adalah di kawasan Asia Timur, Asia Tenggara, Afrika Utara,
Eropa, Amerika Utara hingga Amerika Latin. Sebagai gambaran tentang
perbandingan antara luas kawasan perkotaan (urban areas) berbanding luas
kawasan pedesaan (rural areas) dari tahun ke tahun terlihat meningkat. Untuk era
1970 s/d 1980 perbandingannya adalah 39% : 61% , untuk era 1980 s/d 1990
perbandingannya adalah 49% : 51% sedangkan dalam era 2000-2010 perbanding-
annya adalah 57% : 43% . Bahkan kondisi ini terus meningkat mendekati tahun 2025
yang akan datang ( Hall et al, 2000). Penduduk perkotaan di Indonesia pada awal
21
abad 21 menunjukkan kecenderungan terus meningkat dan diperkirakan pada tahun
2020 penduduk Indonesia akan mencapai 257 juta, dimana 49,5 % nya merupakan
penduduk perkotaan. Diperkirakan sekitar 50 juta penduduk hidup diperkotaan,
berdasarkan data BPS, pada tahun 2015 diperkirakan 800 juta orang hidup di daerah
perkotaan dan memerlukan bahan makanan sebesar 6.600 ton yang dihasilkan dari
luar daerah tersebut.
Perkembangan kota-kota di Indonesia saat ini umumnya kurang terkelola
dengan baik dan cenderung tidak terkendali. Berbagai persoalan muncul sebagai
akibat pengelolaan yang kurang baik seperti kemacetan lalu lintas, kurangnya
pelayanan infrastruktur, kurangnya Ruang Terbuka Hijau (RTH), pemukiman kumuh,
dan alih fungsi lahan. Menurut Irawan (2005), konversi lahan pertanian pada
dasarnya terjadi akibat adanya persaingan dalam pemanfaatan lahan antara sektor
pertanian dan sektor non pertanian. Persaingan dalam pemanfaatan lahan tersebut
muncul akibat adanya fenomena ekonomi dan sosial, yaitu keterbatasan sumberdaya
lahan, pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan ekonomi.
Pemerintah Indonesia juga mengeluarkan definisi tentang ruang terbuka hijau
dengan istilah Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan atau RTHKP. Jika mengacu
pada Peraturan Mendagri No.1 tahun 2007 tentang penataan Ruang Terbuka Hijau
Kawasan Perkotaan ini, maka pengertian Ruang Terbuka Hijau adalah bagian dari
ruang terbuka suatu kawasan perkotaan yang diisi oleh tumbuhan dan tanaman guna
mendukung manfaat ekologi, sosial, budaya, ekonomi dan estetika.. Ruang terbuka
hijau itu sendiri terbagi atas dua jenis, yaitu RTHKP Publik dan RTHKP Privat.
22
RTHKP Publik adalah RTHKP yang penyediaan dan pemeliharaannya menjadi
tanggung jawab Pemerintah Kabupaten/Kota. Salah satu RTHKP publik adalah
Ruang Terbuka Hijau Lindung (RTHL) adalah ruang atau kawasan yang lebih luas,
baik dalam bentuk areal memanjang/jalur atau mengelompok, dimana penggunaannya
lebih bersifat terbuka/ umum, di dominasi oleh tanaman yang tumbuh secara alami
atau tanaman budi daya. Kawasan hijau lindung terdiri dari cagar alam di daratan dan
kepulauan, hutan lindung, hutan wisata, daerah pertanian, persawahan, hutan bakau,
dan sebagainya. Sementara RTHKP privat adalah RTHKP yang penyediaan dan
pemeliharaannya menjadi tanggungjawab pihak/lembaga swasta, perseorangan dan
masyarakat yang dikendalikan melalui izin pemanfaatan ruang oleh pemerintah
kabupaten/kota, kecuali Provinsi DKI Jakarta oleh pemerintah provinsi.
Suatu kota akan memiliki ketergantungan kepada wilayah perdesaan yang
berada disekitar kota tersebut, khususnya dalam penyediaan pangan. Pangan yang
berada di suatu kota, termasuk Kota Denpasar akan bergantung dari hasil pertanian
yang berasal dari wilayah perdesaan di sekitar kota, namun terjadi persoalan di
wilayah tersebut, yakni alih guna lahan pertanian karena tingginya kegiatan
pembangunan. Dengan semakin berkurangnya wilayah pertanian, secara tidak
langsung ketersediaan pangan di Kota Denpasar akan terus menurun, yang
mengakibatkan kota Denpasar terancam mengalami persoalan ketahanan pangan.
Kota Denpasar dengan kepadatan penduduk yang setiap tahunnya mengalami
peningkatan membawa dampak pada berkurangnya lahan pertanian yang sering
dipergunakan untuk pemukiman. Hal ini sangat sulit untuk diatasi, namun dibutuhkan
23
pemikiran bersama antara pemerintah dan petani dalam mencari solusi beserta upaya
apa yang harus dilakukan dalam menyikapi masalahan tersebut untuk meningkatkan
produksi pertanian yang membawa dampak pada kesejahteraan masyarakat.
Berdasarkan sensus penduduk tahun 2010, jumlah penduduk di Kota Denpasar
788.589 ribu jiwa, dan berdasarkan angka proyeksi, pada tahun 2015 diperkirakan
meningkat menjadi 880.600 ribu jiwa (BPS Prov. Bali, tahun 2010). Pengembangan
pertanian tidak hanya dibutuhkan oleh masyarakat yang tinggal di perdesaan, tetapi
juga oleh masyarakat yang bermukim di perkotaan sebagai bagian dari masyarakat
Indonesia.Sayangnya potensi pembinaan bagi masyarakat perkotaan lebih sering
diarahkan kepada pengembangan komoditas tanaman hias, karena konsumen tanaman
hias sebagian besar memang terdapat di perkotaan.
Sesungguhnya dikawasan perkotaan juga terdapat kelompok-kelompok tani
yang bisa dibina untuk pengembangan komoditas pertanian lainnya, antara lain
tanaman sayuran dan tanaman obat keluarga (biofarmaka), namun dalam
penerapannya perlu disesuaikan dengan kondisi masyarakat setempat.
2.4 Kebijakan Pertanian Perkotaan
Terjadinya perubahan penggunaan lahan di wilayah pinggiran kota dapat
disebabkan oleh faktor sosial ekonomi dan kebijakan pemerintah. Semakin tinggi
tingkat kemiskinan pada suatu wilayah, khususnya pedesaan maupun wilayah di
pinggiran kota maka semakin besar konversi lahan pertanian. Selain aspek sosial dan
ekonomi, aspek peraturan atau Undang-Undang yang mengatur tentang keberadaan
dan keberlanjutan lahan-lahan pertanian saat ini juga tidak mampu membendung
24
terjadinya konversi lahan pertanian ke non pertanian. Seperti yang termuat dalam UU
Nomor 41 tahun 2009 tentang perlindungan lahan pertanian berkelanjutan, yang
belum bisa dilaksanakan secara maksimal karena tidak diiringi dengan Peraturan
Pemerintah daerah. Meningkatnya lahan terbangun terutama lahan untuk permukiman
berdampak terhadap keberadaan lahan-lahan pertanian, dimana lahan-lahan pertanian
telah banyak yang berubah fungsi menjadi lahan-lahan permukiman, yang akan
berdampak pada berkurangnya kawasan resapan air.
Menurut Sostenis. S (2012), di dalam merumuskan kebijakan pengembangan
pertanian perkotaan perlu memperhatikan beberapa faktor penentu, yaitu: (1)
Keberadaan pekarangan; (2) Pengembangan tanaman produktif dengan penerapan
teknologi ramah lingkungan dengan peningkatan populasi tanaman pangan dan non-
pangan; (3) Peningkatan pembinaan petani oleh Pembina teknis instansi terkait
sehingga menjadi lebih efektif; (4) Pemberian insentif pelaku usaha tani dan
pembebasan pajak lahan pertanian.
Menurut Cabannes (2006) dalam Dubbeling et al (2010), secara garis besar ada tiga
perspektif kebijakan utama bagi pengembangan pertanian kota yaitu (1) perspektif
sosial sebagai bagian dari strategi penanganan rumah tangga berpenghasilan rendah
dengan fokus meningkatkan ketahanan pangan melalui produksi pangan dan tanaman
obat untuk konsumsi rumah tangga, (2) perspektif ekonomi dengan fokus
peningkatan pendapatan dan penciptaan lapangan kerja dan (3) perspektif ekologi
dengan fokus peran pertanian kota dalam manajemen lingkungan hidup
perkotaan. Pembedaan terhadap tiga perspektif kebijakan utama sangat bermanfaat
25
dalam merancang strategi bagi pengembangan pertanian kota secara berkelanjutan
(Dubbeling et al 2010).
Menurut Setiawan dan Rahmi (2014), kegiatan pertanian perkotaan, terutama
akses keuangan, keterampilan dan pengetahuan, kurang mendapat dukungan dari
pemerintah, dan tidak adanya bantuan bagi petani perkotaan. Manfaat dari pertanian
perkotaan tidak ada, karena tidak adanya, perencanaan dan kebijakan dari pemerintah.
Ini menunjukkan bahwa kebijakan harus dikembangkan untuk membantu pertanian
perkotaan agar dapat secara optimal berkontribusi dalam meningkatkan ketahanan
pangan, untuk menciptakan kesempatan kerja, dan untuk mendukung keberlanjutan
perkotaan. Kebijakan tersebut dapat mencakup: perencanaan penggunaan lahan,
akses kredit, pelatihan bagi petani perkotaan, dan membangun jaringan di kalangan
petani perkotaan.
2.5 Manfaat Sosial Pertanian Perkotaan
Dari penelitian Setiawan dan Rahmi (2014), aspek sosial, pertanian kota
mempunyai banyak keuntungan, antara lain: (1) meningkatkan persediaan pangan; (2)
meningkatkan nutrisi banyak kaum miskin kota; (3) meningkatkan kesehatan
masyarakat; (4) mengurangi pengangguran; (5) meningkatkan solidaritas komunitas;
dan (5) mengurangi kemungkinan konflik sosial. Khususnya ketika Indonesia
mengalami krisis ekonomi, berbagai keuntungan sosial sebagaimana disebutkan di
atas sangatlah dirasakan. Dengan meningkatnya jumlah masyarakat miskin kota,
pertanian kota menjadi alternatif bagi sumber bahan pangan yang terjangkau. Dalam
kaitan ini, pertanian kota juga secara tidak langsung membantu terwujudnya keadilan
26
sosial terutama dengan memberikan kesempatan pada masyarakat miskin kota untuk
memenuhi kebutuhan pangan serta meningkatkan nutrisi dan kesehatannya. Lebih
lanjut, apabila diusahakan secara bersama oleh komunitas, pertanian kota juga dapat
menjadi media bagi penguatan masyarakat lokal dan meningkatkan solidaritas warga
kota. Penguatan hubungan dan kerjasama warga miskin kota ini dalam jangka
panjang sangat membantu upaya-upaya pemberdayaan warga kota, terutama karena
berkembangnya modal sosial (social capital) masyarakat miskin yang selama ini
tidak terakomodasi.
Hasil penelitian Albayani dan Prabatmodjo (2015) dalam Keberlanjutan
Pertanian Perkotaan di Kawasan Metropolitan Jakarta menunjukkan bahwa kondisi
pertanian perkotaan di Kawasan Metropolitan Jakarta cukup berlanjut dan mampu
memberikan manfaat dalam aspek sosial, ekonomi dan lingkungan. Konversi lahan
pertanian akan berdampak luas. Dari aspek ekonomi akan mengurangi ketahanan
pangan bagi produksi pertanian. Bagi masyarakat petani akan kehilangan pekerjaan
sehingga daya beli menurun karena belum tentu petani dapat pekerjaan baru yang
lebih baik (Hariyanto, 2010).
Seiring perkembangan kota dan proses alih fungsi lahan pertanian
menjadi lahan terbangun untuk aktivitas non-pertanian, ada beberapa perubahan
yang terjadi dalam struktur sosial dalam masyarakat periurban. Perubahan ini terjadi
terutama pada area-area pengembangan . Biasanya pemilik lahan pertanian berada
dalam satu rumpun atau satu lokasi dalam suatu area tertentu yang kemudian
secara hampir bersamaan pula lahan pertanian mereka dijual. Kemudian karena
27
tidak adanya kelanjutan aktivitas ekonomi, mereka mencari kegiatan ekonominya
masing-masing secara berbeda. Oleh karena itu walaupun mereka masih dalam
satu lokasi, adanya perbedaan aktivitas ekonomi dan masuknnya penduduk
pendatang pada area mereka membuat kekerabatan antar warga menjadi memudar
(Dewi,N.K, dkk, 2013).
2.6 Kondisi Fisik Pertanian Perkotaan
Dari Studi di enam kota (Bandung, Surabaya, Yogyakarta, Cirebon, Salatiga
dan Pacitan), jenis-jenis atau kegiatan pertanian yang dipraktekan di enam kota
sangat beragam baik meliputi pertanian , perikanan maupun peternakan, namun tidak
terdapat perbedaan yang signifikan menyangkut jenis usaha tani dan kota-kota yang
di studi. Dapat dikatakan bahwa sebagian besar jenis usaha pertanian masih
merupakan jenis-jenis yang konvensional khususnya tanaman pangan dan sayuran
(Setiawan,B. dkk, 2014)
Menurut penelitian Noorsya, dkk, adanya alih fungsi lahan terutama lahan
pertanian di pinggiran Kota Semarang telah membawa perubahan pada area-area
tertentu, yaitu pada area dekat pusat kota, kawasan pendidikan, dan yang dekat pada
koridor jalan utama. Perubahan yang dapat secara nyata dirasakan oleh
penduduk asli adalah beralihnya sumber mata pencaharian mereka (transformasi
ekonomi), dari petani menjadi bukan petani. Petani yang mempunyai modal
lebih dan ketrampilan lebih dapat melangsungkan hidupnya dengan membuka
usaha atau berdagang seperti buka warung, buka kos-kosan, toko, dan lain-lain,
28
sehingga pendapatannya bertambah. Sedangkan petani yang kurang mempunyai
modal dan keterampilan biasanya menjadi buruh tani atau buruh serabutan.
Teknik dan sistem penanaman vertikal, pemanfaatan pekarangan atau lahan
sisa, roof garden, penanaman dalam pot, atau sistem tanam dengan media bukan
tanah seperti hidroponik atau aeroponik sudah dikenal, namun belum banyak
dilakukan. Tidak semua petani tertarik dengan sistem penanaman tersebut dengan
alasan tidak memiliki modal dan sulit melakukan adaptasi (38 %). Kelompok petani
ini cenderung tidak mau berubah dan menganggap sistem penanaman yang dilakukan
sekarang merupakan sistem penanaman terbaik, karena sudah dijalankan secara turun
temurun. Sebagian petani lainnya mengaku tertarik untuk mencoba sistem penanaman
baru, asalkan ada pemberian modal dan asuransi kerugian (21 %). Kelompok petani
lainnya merasa ragu-ragu dan tidak yakin terhadap sistem penanaman tersebut (41
%). Kondisi ini menjelaskan bahwa mayoritas dari petani di wilayah studi tidak
tertarik untuk melakukan perubahan. Hal ini terjadi karena kapasitas pendidikan para
petani sangat terbatas dan juga ada faktor resiko yang mungkin akan mempengaruhi
penghasilan petani yang sudah di bawah upah minimum. Padahal dengan semakin
terbatasnya sumber daya, pertanian perkotaan membutuhkan perubahan, khususnya
perubahan sistem penanaman, agar dapat menyesuaikan dengan kondisi alam dan
lingkungan perkotaan di masa depan.
Bentuk pemanfaatan lahan pertanian sangat dipengaruhi oleh komoditas
pertanian, namun tidak terlalu dipengaruhi oleh sistem penanaman dan luas lahan
pertanian, dan tidak dipengaruhi oleh status lahan pertanian, peruntukan lahan, atau
29
motivasi bertani. Bentuk pemanfaatan lahan 49 % berupa lahan sawah, 31 % berupa
lahan bukan sawah, dan 20 % merupakan kombinasi keduanya. Komoditas pertanian
yang ada di wilayah studi masih didominasi oleh tanaman pangan (53 %) dan
hortikultura (27 %). Pemilihan komoditas dilakukan berdasarkan kecocokan tanah
(31 %), keinginan pemilik lahan (16 %), mengikuti petani lain (15 %), mudah
ditanam ( 11 %), mudah dipasarkan (11 %), dan pemilihan pangan untuk dikonsumsi
sendiri (7 %)
2.7 Konsep Strategi Pengembangan
Pengertian pengembangan dalam hal ini pengembangan wilayah (Regional
Development) adalah upaya untuk memacu perkembangan sosial ekonomi,
mengurangi kesenjangan wilayah dan menjaga kelestarian lingkungan hidup. Zen
(2001) menggambarkan tentang pengembangan wilayah sebagai hubungan yang
harmonis antara sumber daya alam, manusia, dan teknologi dengan memperhitungkan
daya tampung lingkungan dalam memberdayakan masyarakat. Pengembangan
wilayah dalam jangka panjang lebih ditekankan pada pengenalan potensi sumber
daya alam dan potensi pengembangan lokal wilayah yang mampu mendukung
(menghasilkan) pertumbuhan ekonomi, dan kesejahteraan sosial masyarakat,
termasuk pengentasan kemiskinan, serta upaya mengatasi kendala pembangunan yang
ada di daerah dalam rangka mencapai tujuan pembangunan. Pengembangan wilayah
sangat dipengaruhi oleh komponen- komponen tertentu seperti: Sumber daya lokal,
pasar, tenaga kerja, investasi, kemampuan pemerintah, transportasi dan komunikasi
serta teknologi.
30
Pengembangan wilayah merupakan suatu upaya untuk mendorong terjadinya
perkembangan wilayah secara harmonis melalui pendekatan yang bersifat
komperhensif mencakup aspek fisik, ekonomi, sosial, dan budaya (Misra,1982). Pada
dasarnya pendekatan pengembangan wilayah digunakan untuk lebih
mengefisiensikan pembangunan dan konsepsi ini tersus berkembang disesuaikan
dengan tuntutan waktu, teknologi dan kondisi wilayahnya. Banyak cara untuk
mengembangkan wilayah mulai dari penggunaan konsep (alat) pembangunan
sektoral, ”bassic need approach”, ”development poles” (poles de croissance) yang
digagas oleh Perroux (1955), ”growth center” yang digagas oleh Friedman (1969)
sampai kepada pengaturan ruang secara terpadu melalui proses pemanfaatan sumber
daya alam (SDA) secara sinergi dengan pengembangan sumberdaya manusia dan
lingkungan hidup untuk mencapai pembangunan yang berkelanjutan.
Strategi adalah seni memadukan atau menginteraksikan antara faktor kunci
keberhasilan antar faktor kunci keberhasilan agar terjadi sinergi dalam mencapai
tujuan. Strategi merupakan sarana untuk mencapai tujuan. Manfaat strategi adalah
untuk mengoptimalkan sumberdaya unggulan dalam memaksimalkan pencapaian
sasaran kinerja. Dalam konsep manajemen cara terbaik untuk mencapai tujuan,
sasaran dan kinerja adalah dengan strategi memberdayakan sumber daya secara
efektif dan efesien (LAN-RI, 2008).
Glueek, dkk. (2008) mengemukakan ada empat strategi utama, yaitu langkah
yang dilakukan setelah menganalisa proses kondisi lingkungan internal dan eksternal
adalah menetapkan strategi yang sesuai, antara lain:
31
1. Stability Strategy. Industri yang menggunakan strategi stabilitas dapat melanjutkan
strategi yang sebelumnya dapat dikerjakan.Keputusan strategi utama difokuskan pada
penambahan perbaikan terhadap pelaksanaan fungsinya, alasannya karena industri
atau perusahaan telah berhasil dalam taraf kedewasaan, lingkungan relative stabil,
tidak terlalu berisiko.
2. Retrenchment Strategy. Strategi penciutan pada umumnya digunakan untuk
mengurangi produk pasar, alasannya karena industri atau perusahaan tidak berjalan
dengan baik, lingkungan semakin mengancam, mendapat tekanan dari konsumen
sehingga peluang tidak dimanfaatkan dengan baik.
3. Growth Strategy. Strategi pertumbuhan banyak dipertimbangkan untuk dapat
diterapkan pada industri dengan petimbangan bahwa keberhasilan industri adalah
industri yang selalu terus berkembang.Strategi pertumbuhan melalui ekspansi dengan
memperluas daerah pemasaran dan penjualan produk atau dapat berupa diversifikasi
produk.
4. Combination Strategy. Strategi ini tepat digunakan bila industri banyak
menghadapi perubahan lingkungan dengan kecepatan yang tidak sama, tidak
mempunyai potensi masa depan yang sama serta mempunyai arus kas negative.
Barney (1977) mengemukakan definisi kerja strategi adalah suatu pola alokasi
sumberdaya yang memampukan organisasi memelihara bahkan meningkatkan
kinerjanya.Strategi yang baik adalah suatu strategi yang menetralisir
ancaman/tantangan, dan merebut peluang-peluang yang ada dengan memanfaatkan
32
kekuatan yang tersedia serta meniadakan atau memperbaiki kelemahan-kelemahan
yang masih ada.
2.8 Model Pengembangan
Model dapat diartikan sebagai suatu disain yang disederhanakan dari suatu
sistem kegiatan dan dapat mewakili sistem yang sesungguhnya. Menurut Law dan
Kelton (2003), model didefinisikan sebagai representasi sebuah sistem, dimana ia
dipandang mewakili sistem yang sesungguhnya. Model pada hakekatnya merupakan
visualisasi atau kerangka konseptual yang digunakan sebagai pedoman dalam
melakukan kegiatan.
Menurut Komarudin (2005), model dapat dipahami sebagai; (1) suatu tipe
atau disain; (2) suatu deskripsi atau analogi yang dipergunakan untuk membantu
proses visualisasi sesuatu yang tidak dapat dengan langsung diamati; (3) suatu sistem
asumsi-asumsi, data-data, dan inferensi-inferensi yang dipakai untuk menggambarkan
secara matematis suatu obyek atau peristiwa; (4) suatu disain yang disederhanakan
dari suatu sistem kerja, suatu terjemahan realitas yang disederhanakan; (5) suatu
deskripsi dari suatu sistem yang mungkin atau imajiner; dan (6) penyajian yang
diperkecil agar dapat menjelaskan dan menunjukkan sifat bentuk aslinya. Salah satu
model operasional yang dikembangkan oleh Knowles (1981) terdiri dari lima
tahapan, yaitu: 1) definisi masalah, 2) pengumpulan informasi, 3) identifikasi
alternatif pemecahan masalah, 4) pembuatan keputusan, dan 5) implementasi
tindakan.
33
Menurut Kamus Besar Indonesia (1989), pengembangan adalah proses, cara,
perbuatan mengembangkan. Dan lebih dijelaskan lagi dalam Kamus Umum Bahasa
Indonesia (Poerwadarmita, 2002) pengembangan adalah perbuatan menjadikan
bertambah, berubah sempurna (pikiran, pengetahuan dan sebagainya). Kegiatan
pengembangan meliputi tahapan: perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi yang diikuti
dengan kegiatan penyempurnaan sehingga diperoleh bentuk yang dianggap memadai.
Flippo (2009) mendefinisikan pengembangan sebagai pendidikan yang
berhubungan dengan peningkatan pengetahuan umum dan pemahaman atas
lingkungan kita secara menyeluruh. Sedangkan Sikula (2009) mendefinisikan
pengembangan adalah suatu proses pendidikan jangka panjang yang menggunakan
suatu prosedur yang sistematis dan terorganisir.
Berdasarkan teori di atas dapat disimpulkan, model pengembangan adalah
kerangka konseptual yang digunakan sebagai pedoman atau acuan dalam melakukan
kegiatan dengan cara sistematis dalam mengidentifikasi, mengembangkan dan
mengevaluasi seperangkat materi dan strategi yang diarahkan untuk mencapai tujuan
tertentu.
2.9 Analisis SWOT
Analisis SWOT adalah instrument perencanaaan strategis yang klasik.
Dengan menggunakan kerangka kerja kekuatan dan kelemahan dan kesempatan
ekternal dan ancaman, instrument ini memberikan cara sederhana untuk
memperkirakan cara terbaik untuk melaksanakan sebuah strategi. Instrumen ini
34
menolong para perencana apa yang bias dicapai, dan hal-hal apa saja yang perlu
diperhatikan oleh mereka (Start et al, 2004)).
Analisis SWOT (Strength, Weakness, Opportunity, Threat) merupakan alat
analisis yang digunakan untuk mengidentifikasi berbagai faktor yang berpengaruh
dalam merumuskan strategi perusahaan (Lipinski, 2002; Rangkuti, 2006). Berbagai
faktor lingkungan eksternal yang mempengaruhi perusahaan dibandingkan dengan
faktor lingkungan internal yang dimiliki perusahaan untuk mendapatkan berbagai
alternatif strategi sesuai dengan hasil formulasi pada matriks SWOT (Rangkuti, 2003;
Dyson, 2004; Rangkuti, 2006).
Kerangka SWOT adalah sebuah matrix dua kali dua, sebaiknya dikerjakan
dalam suatu kelompok yang terdiri dari anggota kunci tim atau organisasi. Pertama,
penting untuk diketahui dengan jelas tentang apa tujuan perubahan kunci, dan
terhadap tim atau organisasi apa analisis SWOT akan dilakukan. Setelah pertanyaan-
pertanyaan ini dijelaskan dan disepakati, dimulai dengan brainstorming gagasan, dan
kemudian setelah itu dipertajam dan diperjelas dalam diskusi.Perkiraan mengenai
kapasitas internal dapat membantu mengidentifikasi dimana posisi sebuah proyek
atau organisasi saat ini: sumberdaya yang dapat segera dimanfaatkan dan masalah
yang belum juga dapat diselesaikan. Dengan melakukan hal ini kita dapat
mengidentifikasi dimana/kapan sumberdaya baru, keterampilan atau mitra baru akan
dibutuhkan. Bila berpikir tentang kekuatan, perlu memikirkan tentang contoh-contoh
keberhasilan yang nyata dan apa penjelasannya.
35
2.10 Analisis SEM dengan PLS
Teknik analisis yang digunakan adalah model persamaan struktural
(Structural Equation Modeling – SEM) berbasis variance atau Component based
SEM, yang terkenal disebut Partial Least Square (PLS). PLS merupakan metode
analisis yang powerfull, oleh karena tidak mengasumsikan data harus dengan
pengukuran skala tertentu, jumlah sampel kecil, dan juga dapat digunakan untuk
konfirmasi teori (Ghozali, 2008).
SEM menggunakan PLS hanya mengijinkan model hubungan antar variabel
yang recursif (searah) saja. Hal ini sama dengan model analisis jalur (path analysis)
tidak sama dengan SEM yang berbasis kovarian yang mengijinkan juga terjadinya
hubungan non-recursif (timbal-balik).
Data yang digunakan dalam PLS SEM tidak harus memenuhi
persyaratan asumsi normalitas data; dengan demikian PLS – SEM memberi
kelonggaran pada data yang tidak berdistribusi normal. Hal ini berbeda dengan SEM
yang berbasis kovarian yang selama ini dikenal banyak orang dimana normalitas data
menjadi suatu keharusan dalam prosedur tersebut. Dengan demikian PLS SEM
menjadi suatu prosedur alternatif selain SEM yang berbasis kovarian, karena dalam
praktik / kenyataan kita sering menemukan bahwa data yang akan kita olah tidak
berdistribusi normal. Oleh karena itu sebelum kita menggunakan prosedur ini,
sebaiknya kita melakukan pengujian terlebih dahulu seperti apa distribusi data kita.
Sekalipun demikian data yang berdistribusi normal juga dapat dipergunakan dalam
36
PLS SEM sebagaimana kita menggunakan data tersebut dalam SEM yang berbasis
kovarian.
Gambar 2.2
Model PLS SEM
2.11 Penelitian Terdahulu
Beberapa penelitian terdahulu yang berkaitan dengan pengembangan
pertanian perkotaan telah dilakukan. Hasil-hasil penelitian terdahulu tentu sangat
relevan sebagai referensi ataupun pembanding, walaupun dalam beberapa hal terdapat
perbedaan. Penggunaan hasil-hasil penelitian sebelumnya dimaksudkan untuk
memberikan gambaran yang lebih jelas dalam kerangka dan kajian penelitian ini.
37
Beberapa penelitian terdahulu yang menjadi acuan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut.
Tornyie (2011), menunjukkan bahwa pertanian perkotaan adalah fitur penting
dari sistem penggunaan lahan perkotaan. Sejak zaman kolonial, pertanian perkotaan
tetap berada di luar sistem tata guna lahan perkotaan.Terlepas dari kenyataan bahwa
itu tidak terintegrasi ke dalam sistem penggunaan lahan perkotaan, itu adalah fitur
penting dari ekonomi perkotaan, dalam membuka lapangan pekerjaan, menambah
pendapatan, dan suplai makanan. Ekonomi perkotaan sangat terbantu dari pertanian
perkotaan, jika semua instansi terkait serius menangani sector dalam pertanian
perkotaan.
Kebijakan oleh perencana perkotaan adalah kunci untuk realisasi ketahanan
pangan perkotaan dan pembangunan kota yang berkelanjutan. Dalam rangka
mewujudkan potensi dari pertanian perkotaan, ada kebutuhan untuk mengembangkan
kebijakan dan kerangka kelembagaan untuk sektor pertanian perkotaan. Hal ini akan
memungkinkan petani perkotaan mendapatkan dukungan teknis dan keuangan.
Lange (2011), menemukan bahwa tujuan utama dari pertanian perkotaan di
Amsterdam adalah bukan pada produksi pangan yang dihasilkan, tapi lebih untuk
pendidikan baik anak-anak maupun dewasa. Bahkan beberapa mengatakan harga
sayuran di supermarket lebih murah dari pada harga sayuran yang mereka hasilkan
dari kebun sendiri, ini mungkin disebabkan sebagian besar petani perkotaan di
Amsterdam memiliki sedikit pengalaman dalam bertani dan hampir tidak ada system
produksi yang intensif. Dalam penelitian ini juga dikatakan, Amsterdam adalah kota
38
yang mendukung aktif pertanian perkotaan, yang dilihat dari bantuan yang diberikan
oleh pemerintah pusat maupun distrik, dalam bentuk meningkatkan lingkungan untuk
pertanian kota mempromosikan produksi yang dihasilkan.
Secara ekonomi, hasil pangan dalam pertanian perkotaan di Amsterdam tidak
menarik masyarakat, karena dianggap tidak dapat diharapkan dalam memberikan
kontribusi yang besar terhadap sistem pangan lokal, kecuali keadaan ekonomi
berubah.
Di Amsterdam, pertanian perkotaan dipakai sebagai sarana “Ruang Hijau
Multifungsi” yang merupaan visi jangka panjang untuk kota, yang berfungsi sebagai
tempat pertemuan anggota masyarakat untuk bersosialisasi.
Peter de Lange, juga menemukan bahwa tujuan petani kota pada pertanian
perkotaan dalam beberapa kasus, produksi pangan bukan sebagai tujuan utama dalam
kegiatan bertani. Pertanian perkotaan direncanakan untuk memberikan fungsi sosial,
untuk tempat pertemuan bagi warga setempat dan menciptakan ruang terbuka hijau.
Dia juga menemukan, hampir seluruh responden petani perkotaan di Amsterdam
tidak tertarik dalam mengoptimalkan hasil, karena mereka lebih tertarik pada konsep
alami yaitu mereka hanya menggunakan pupuk organik. Di samping itu, konsep
pertanian perkotaan (kebun) juga di buat di sekolah-sekolah yang bertujuan murni
untuk pendidikan, mengajarkan anak-anak tentang makanan sehat dan tentang alam.
Dalam kebun sekolah ini ditanam berbagai jenis tanaman pangan dan bunga,
sehingga anak-anak mengenal berbagai jenis varietas yang berbeda.
39
Zeeuw (2004), mengidentifikasikan beberapa faktor yang dapat menghambat
perkembangan pertanian perkotaan, yang dikelompokkan menjadi empat yaitu: (1)
terbatasnya sumber daya alam (tanah yang produktif) dan kepemilikan lahan; (2)
lemahnya kebijakan dan peraturan perkotaan; (3) kurangnya dukungan dan teknologi
yang tepat; dan (4) kurangnya pengorganisasian di kalangan petani urban.
Beberapa alasan menurut Zeeuw (2004) mengapa pertanian perkotaan dapat
digunakan sebagai perencanaan kota sebagai berikut.
1. Meningkatkan peran intra urban dan peri urban dalam pemanfaatan pertanian
kota sebagai sarana rekreasi atau pendidikan bagi warga perkotaan
(agrowisata
2. Pertanian perkotaan dapat sebagai pemelihara keragaman hayati.
3. Pertanian perkotaan dapat digunakan sebagai sarana penyerapan air bawah
tanah..
Penelitian yang dilakukan oleh Sampeliling dkk.(2012), menyimpulkan,
dalam merumuskan kebijakan pengembangan pertanian perkotaan perlu
memperhatikan beberapa faktor penentu yaitu: (1) keberadaan pekarangan; (2)
pengembangan Tanaman produktif dengan penerapan teknologi ramah lingkungan
dengan meningkatkan populasi tanaman pangan dan non pangan; (3) peningkatan
pembinaan petani oleh Pembina teknis instansi terkait sehingga menjadi lebih efektif;
(4) pemberian insentif pelaku usaha tani dan pembebasan pajak lahan pertanian.
Manfaat yang diperoleh dari pertanian kota, selain memenuhi kebutuhan
konsumsi pangan warga kota juga memberikan manfaat keindahan dan kebersihan
40
lingkungan hidup di perkotaan yang banyak menggunakan bahan bakar. Peran
pertanian kota untuk keamanan dan keselamatan pangan terjadi melalui cara
meningkatkan jumlah makanan yang tersedia bagi masyarakat yang tinggal di kota
dan tersedianya buah-buahan dan sayuran segar untuk konsumen masyarakat kota.
Iftisan (2012), menyimpulkan bahwa keterlibatan masyarakat dalam
menjalankan program pertanian perkotaan dimulai dari perencanaan, pelaksanaan
serta pengolahan dimana masyarakat dilibatkan dalam menentukan rencana kerja
dalam program tersebut. Di samping itu juga ditemukan, bahwa belum semua
masyarakat terlibat dalam program, karena masih belum memahami program dan
kurangnya informasi mengenai program. Hubungan karakteristik masyarakat, yaitu
usia dan pendidikan, tidak ada hubungannya dengan keikut sertaan masyarakat dalam
program. Terdapat hubungan antara partisipasi dan keuntungan. Peran pendamping
juga sangat diperlukan, karena suatu pengembangan masyarakat sangat perlu suatu
pendamping, dimana masyarakat diawasi, diberi informasi dan pelatihan sedikit demi
sedikit secara terstruktur sehingga masyarakat dapat menjalankan program sendiri
Beberapa penelitian terdahulu yang terkait dengan pengembangan pertanian
perkotaan dapat dilihat pada Gambar 2.3.
41
Gambar 2.3
Penelitian Terdahulu
Tahun 2011
Pertanian perkotaan di Amsterdam : Memahami tren terbaru dalam kegiatan produksi pangan dalam batas-batas modal negara-negara maju (Peter de Lange,2011)
Tahun 2012
Kebijakan pengembangan pertanian kota berkelanjutan: studi kasus di DKI Jakarta (Sostenis sampeling, dkk, 2012)
Permodelan pemberdayaan kelompok tani dalam penjaminan keberlanjutan usahatani pinggiran perkotaan (Endang Indrawati, dkk)
Tahun 2013
Apa pengaruh dari program pertanian perkotaan terhadap ketahanan pangan di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah (Ruth Stewart,2013)
Dampak pertanian Perkotaan : sosial, kesehatan dan ekonomi. Sebuah tinjauan literatur (Sheila Golden,2013)
Proses perencanaan kegiatan pertanian kota yang dilakukan oleh komunitas berkebundi kota Bandung (Fandi P,2013)
Tahun 2015
Model pengembangan pertanian perkotaan di Kota Denpasar
42
top related