bab ii tinjauan pustaka 2.1 kegagalan pada pipa · gambar 2.2 macam-macam bentuk korosi pada pipa ....
Post on 21-May-2018
217 Views
Preview:
TRANSCRIPT
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Dalam bab ini, akan dibahas tentang segala tinjauan teori yang digunakan selama
penelitian ini berlangsung. Ada 3 hal utama yang akan dibahas pada bab ini, yakni
teori-teori tentang kegagalan pipa, analisis kehandalan pipa, dan metode inspeksi
pipa bawah laut.
2.1 Kegagalan pada Pipa
Setiap sarana yang ada dalam industry pasti memiliki cacat baik itu merupakan
cacat yang disebabkan oleh manusia maupun cacat yang disebabkan oleh
lingkungan sekitarnya ketika sarana tersebut digunakan. Pipa merupakan sarana
utama dalam dunia industry migas sehingga tidak akan lepas dari cacat juga.
Cacat tersebut dapat terlihat secara makro maupun mikro. Secara makro, cacat
pada pipa misalnya terlihat adanya kesalahan pada saat pengelasan pada
sambungan pipa. Cacat yang berada dalam logam secara mikrostruktur lebih
bervariasi dan lebih besar dampaknya, karena kasat mata. Cacat secara mikro
misalnya penggetasan, segregasi, inklusi, microcrack, dan lain-lain. Keseluruhan
cacat pada pipa ini apabila tidak diatasi dengan benar dapat menyebabkan
kegagalan pada pipa pada saat pipa tersebut diaplikasikan dalam suatu proses
operasi atau produksi.
2.1.1 Kegagalan Akibat Kerusakan Mekanik
Pipa yang mengalami perubahan bentuk fisik, misalnya adanya dent, bugle,
buckle, dapat mempengaruhi secara langsung kekuatan mekaniknya. Pipa yang
mengalami hal ini akan berubah dimensinya menjadi diskontinyu, dimana akan
terjadi peningkatan tegangan dari beban operasi standar yang dapat menyebabkan
kegagalan. Perubahan bentuk fisik pipa ini dapat terjadi dalam skala besar
maupun kecil, yang sebenarnya tidak banyak mempengaruhi kekuatan
materialnya. Akan tetapi hal tersebut tetap harus diwaspadai karena dapat pula
menyebabkan kegagalan pada pipa.
7
Kegagalan karena kerusakan mekanik ini disebabkan oleh sejumlah sebab. Jika
ada cacat berupa takikan pada pipa, kemungkinan besar akan terjadi crack karena
regangan yang tinggi sehingga akan terjadi konsentrai tegangan pada daerah
tersebut. Dalam waktu operasi kontinyu yang relative lama, crack tersebut akan
menjalar dengan cepat sehingga dapat menyebabkan kegagalan.
Penyebab lain kegagalan juga dapat berasal dari dalam pipa yang beroperasi
tersebut. Adanya aliran dalam pipa menyebabkan adanya tegangan yang menekan
dinding pipa bagian dalam. Jika tegangan tersebut besarnay melampui kuat luluh
dinding pipa maka akan menyebabkan pipa mengalami kerusakan mekanik.
Tegangan dalam pipa yang melampui kuat luluh dinding pipa yang naik turun
dengan intensitas rendah disebut low-cycle high-stress[2].
2.1.2 Kegagalan Akibat Korosi
Korosi merupakan suatu proses degradasi (perusakan atau penurunan kualitas)
material akibat interaksi dengan lingkungannya. Komponen industry yang
mengalami korosi akan mengalami kehilangan berat, disebut pula metal loss. Hal
ini dapat mempengaruhi keseluruhan kekuatan material sampai terjadi kegagalan.
Oleh karena proses korosi ini adalah proses alami, kegagalan material akibat
korosi berkontribusi terhadap sebagian besar kegagalan logam dalam aplikasinya.
8
Gambar 2.1 Mekanisme Korosi Pada Pipa Karena Perbedaan Potensial
2.1.2.1 Korosi Eksternal
Korosi merupakan sebuah sel elektrokimia, dimana perbedaan potensial tegangan
menghasilkan arus dan menghasilkan produk korosi. Pada logam, dimana ada
perbedaan potensial tegangan akan terjadi korosi pada logam yang lebih negative
potensial tegangannya. Perbedaan potensial tegangan ini dapat diakibatkan karena
beberapa hal, antara lain, potensial reduksi masing-masing logam, dan perbedaan
kandungan oksigen terlarut. Kondisi batas antara tanah-udara-logam, dapat
menyebabkan terjadinya korosi pada daerah batas tersebut. Hal ini diakibatkan
karena kandungan oksigen terlarut pada daerah antarmuka logam-tanah memiliki
kandungan oksigen terlarut yang berbeda dengan daerah antarmuka logam-udara.
Korosi ini biasanya terjadi pada bagian luar pipa yang terekspos secara langsung
dengan lingkungan.
Korosi eksternal biasanya dapat lebih mudah diketahui sehingga tindak lanjut
terhadap pipa yang mengalami korosi ini lebih mudah dilakukan. Biasanya korosi
ini diproteksi dengan menggunakan proteksi katodik dengan menggunakan anoda
korban maupun menggunakan arus tanding.
9
2.1.2.2 Korosi Internal
Jenis korosi yang paling berbahaya dan paling sering membuat pipa penyalur gas
mengalami kegagalan adalah jenis korosi internal. Korosi internal terjadi karena
adanya aliran baik fluida maupun gas yang mengalir di dalam pipa. Aliran fluida
maupun gas tersebut bergerak dan menggesek dinding pipa bagian dalam
sehingga dinding pipa mengalami proses degradasi. Semakin besar kecepatan
aliran fluida semakin cepat proses degradasi berlangsung sebab aliran menjadi
lebih turbulen.
Selain itu, aliran juga mengandung senyawa maupun ion agresif. Adanya
kandungan-kandungan senyawa maupun ion agresif seperti CO2, H2S, Cl-, dan O2
pada gas maupun fluida menyebabkan pipa mengalami degradasi lebih cepat.
Adapun jenis korosi internal dapat dibedakan menjadi dua yakni :
a. Korosi CO2 (sweet corrosion)
Korosi ini disebabkan oleh adanya kandungan karbon dioksida (CO2) yang
dominan dalam gas yang mengalir dalam pipa. Jenis korosi ini biasanya
menyerang pipa secara perlahan dan terkonsentrasi pada suatu titik menyebabkan
localized corrosion. Korosi jenis ini bahkan dapat menyebabkan terjadinya pitting
corrosion yang sangat dalam tergantung dari kondisi aliran gas. Pada system gas
atau fluida yang mengalir dalam pipa kondisi korosi deipengaruhi oleh tekanan
parsial CO2 yang nilainya setara dengan fraksi mol CO2 dalam system[4].
Mekanisme terjadi korosi dimulai ketika CO2 dalam system tercampur dengan air
dalam fluida maupun uap air dalam gas menjadi asam karbonat[5]
............................................................................................. (2.1)
Asam karbonat merupakan asam lemah sehingga dapat terdisosiasi menjadi :
.......................................................................................... (2.2)
10
Kondisi pada system aliran gas atau fluida dalam pipa biasanya asam (pH rendah)
sehingga HCO3- tidak terdisosiasi lagi. Sementara itu ion H+ yang terbentuk dari
persamaan (2.2) akan membentuk hydrogen yang mengakibatkan reaksi korosi
berlangsung akibat adanya evolusi hidrogen. Sementara itu keseluruhan reaksi
katodik dapat ditulis sebagai berikut :
.................................................................................. (2.3)
Di lain sisi, pipa yang terkorosi akan menjadi tempat berlangsungnya reaksi
anodic :
2 .................................................................................................... (2.4)
Persamaan (2.3) dan (2.4) digabungkan menjadi suatu reaksi keseluruhan korosi
CO2 pada pipa, yakni :
................................................................................. (2.5)
b. Korosi H2S (sour corrosion)
Korosi ini disebabkan oleh adanya kandungan hidrogen sulfida (H2S)yang
dominan dalam gas yang mengalir dalam pipa. Jenis korosi ini dapat
menyebabkan terjadinya kegagalan pada pipa dengan sangat cepat. Korosi jenis
ini juga dapat menyebabkan terjadinya pitting corrosion[4].
Mekanisme terjadinya korosi ini serupa dengan mekanisme terjadinya sweet
corrosion. Perbedaannya adalah hidrogen sulfide yang terdapat dalam system
biasanya adalah gas yang kemudian terlarut menjadi larutan dan ikut mengalir di
dalam system. Hydrogen sulfide juga tidak membutuhkan reaksi dengan air yang
ada dalam system untuk membentuk asam lemah sebab penguraian senyawa
hydrogen sulfide sendiri pun sudah dapat membentuk asam lemah penyebab
korosi[5].
11
............................................................................. (2.6)
Reaksi katodik yang terjadi berasal dari ion H+ hasil penguraian tersebut menjadi
hydrogen dan kemudian kelanjutannya serupa dengan yang terjadi pada sweet
corrosion. Reaksi katodik dapat dituliskan sebagai :
2 2 2 ................................................................................ (2.7)
Reaksi anodic terjadi sesuai persamaan (2.4) dan keseluruhan reaksi korosi ini
adalah :
2 ............................................................................. (2.8)
2.1.2.3 Jenis-Jenis Korosi yang Terjadi Pada Pipa
Ada banyak jenis korosi, ditinjau dari bentuk cacatnya, diantaranya yang umum
terjadi pada pipa adalah general corrosion, hydrogen induced cracking (HIC),
stress corrosion cracking (SCC), crevice corrosion, erosion corrosion, pitting
corrosion, dan sulfide stress cracking (SSC). Cacat ini dapat terjadi pada kedua
sisi dinding pipa, internal ataupun eksternal.
Gambar 2.2 Macam-Macam Bentuk Korosi Pada Pipa
12
a. Korosi Merata (Uniform / General Corrosion)[3]
Korosi merata, sesuai dengan namanya, menggambarkan keadaan di mana pipa
mengalami degradasi ketebalan secara merata. Keadaan korosi jenis ini adalah
yang paling sederhana di antara jenis korosi lainnya. Pengontrolan dan
pendesainan pipa yang mengalami korosi merata relative mudah karena untuk
menghitung dan memperkirakan laju korosi dan waktu pakai pipa sangatlah
mudah. Oleh karena itu, sangatlah jarang ditemui kegagalan pipa di industry
disebabkan oleh korosi merat ini. Walau demikian, korosi merata tetaplah
merupakan sebuah kerugian karena korosi ini mengikis dinding pipa yang
memiliki ongkos produksi. Jika dijumlahkan dari seluruh pipa yang ada di dunia,
kerugian yang ditimbulkan oleh korosi merata jauh lebih besar daripada korosi
jenis lainnya.
Gambar 2.3 Korosi Merata
b. Hydrogen Induced Cracking
Ada tiga factor yang ikut berkontribusi dalam terbentuknya hydrogen stress
cracking, yaitu material properties dari paduan very high-strength high-hardness
steel, tegangan tarik hoop stress dari dalam pipa, serta adanya atom hydrogen
yang terbentuk akibat proteksi katodik pipa. Daerah yang mengalami penggetasan
yang rentan terhadap korosi jenis ini disebut hard spot. Lokasi hard spot harus
diketahui agar dapat mencegah timbulnya korosi HIC ini. Penentuan lokasi hard
spot dilakukan dengan menggunakan alat internal non-destructive examination
yang memancarkan fluks magnetic, dimana lokasi hard spot akan menghasilkan
kebocoran fluks magnetic tersebut.
13
c. Stress Corrosion Cracking
Seperti halnya HIC, stress corrosion cracking terjadi oleh adanya tiga faktor
utama, yaitu adanya tegangan, temperature tinggi, dan lingkungan yang korosif
untuk logam tertentu. Kandungan asam atau basa dalam suatu lingkungan dapat
berakibat SCC pada logam tertentu dan tidak berpengaruh pada suatu logam yang
lain. Kenampakan permukaan dari logam atau material yang mengalami SCC
cerah dan mengkilap, padahal penuh dengan microcrack, oleh sebab itu SCC
jarang terdeteksi sampai terjadi kegagalan. SCC umumnya terjadi dengan cepat
dan lebih sering dijumpai pada paduan logam daripada pada logam murni.
Lingkungan yang spesifik mengambil peran yang amat penting, dan umumnya
hanya dibutuhkan kandungan senyawa aktif dalam jumlah kecil untuk
menghasilkan crack yang dapat mengakibatkan kegagalan catastrophic dan tiba-
tiba.
Gambar 2.4 Stress Corrosion Cracking
d. Korosi Celah (Crevice Corrosion)
Pipa dibangun dengan menyambung satu bagian dengan bagian lain sehingga
terbentuk suatu sarana distribusi yang kontinyu. Adanya sambungan-sambungan
pada pipa menyebabkan pipa memiliki celah antara satu bagian dengan yang
lainnya. Jika celah tersebut cukup besar untuk udara maupun likuid dapat masuk,
maka kemungkinan besar celah tersebut akan terserang korosi. Korosi local
tersebut disebabkan oleh adanya ion-ion agresif (misalnya klorida) pada
lingkungan sekitar pipa dalam bentuk udara maupun likuid tersebut. Crevice
Corrosion biasanya terjadi pada pipa yang telah dipasivasi, di mana permukaan
14
lapis oksida pipa tersebut nantinya akan diserang dan pecah oleh ion agresif
kemudian korosi akan menyerang secara local pada bagian tersebut.
Gambar 2.5 Korosi Celah (Crevice Corrosion)
e. Korosi Erosi (Erosion Corrosion)[3]
Ketika ada aliran fluida maupun gas yang korosif dalam pipa secara kontinyu dan
dapat menyebabkan material logam terlarut dalam aliran tersebut, maka
permukaan pipa yang dialiri akan mengalami keausan. Mekanisme awal terjadi
ketika produk korosi terbentuk pada permukaan pipa yang dilewati oleh aliran
korosif. Kemudian penipisan terjadi, yakni ketika produk korosi yang terbentuk
larut ke dalam aliran korosif tersebut sehingga permukaan pipa bersih dari oksida
produk korosi dan menjadi lebih mudah terkorosi lagi. Kondisi menjadi lebih
ekstrim jika aliran tersebut mengandung partikel solid yang menyebabkan
permukaan pipa sobek karena berbenturan dengan partikel solid tersebut. Proses
tersebut berjalan kontinyu sehingga mengakibatkan penipisan seperti erosi
sehingga disebut korosi erosi.
Gambar 2.6 Korosi Erosi (Erosion Corrosion)
15
f. Korosi Sumuran (Pitting Corrosion)[3]
Korosi sumuran adalah suatu bentuk korosi setempat yang sangat ekstrim yang
menghasilkan lubang kecil pada logam. Korosi sumuran ini sangatlah berbahaya,
sedikit material logam yang hilang dengan pengaruh yang hampir tak terlihat dari
permukaan namun merusak bagian dalam material tersebut. Permukaan korosi
sumuran ini umumnya ditutupi oleh produk korosi sehingga hampir tidak nampak.
Korosi sumuran dapat diinisiasi oleh cacat kecil pada permukaan, yang mungkin
diakibatkan oleh goresan atau perubahan komposisi lokal, atau kerusakan akibat
coating. Permukaan material yang dipoles lebih tahan terhadap korosi sumuran.
Paduan yang rentan terhadap korosi sumuran ini adalah paduan-paduan yang
memiliki ketahanan korosi dengan membentuk selaput pasif protektif, seperti
stainless steel, paduan nikel, dan paduan alumunium.
Gambar 2.7 Pitting Corrosion
g. Sulfide Stress Cracking[3]
Beberapa jenis mikro-organisme dapat menyebabkan masalah yang serius pada
material logam, khususnya pipa. Mikro-organisme yang biasa dijumpai dalam
pipa gas adalah bakteri pereduksi sulfat (Sulphate Reducing Bacteria/SRB).
Bakteri ini mengkonsumsi sulfat yang terdapat dalam fluida maupun gas yang
mengalir dalam pipa dan menghasilkan hydrogen sulfide. Hydrogen sendiri
berasal dari udara bebas yang masuk ke dalam pipa dan mekanismenya hamper
sama dengan terjadinya Hydrogen Induced Cracking. Kandungan hydrogen
sulfide dalam pipa dapat menyebabkan timbulnya sulfide stress cracking. Pada
pipa, khususnya bagian yang mengalami welding atau HAZ (Heat Affected Zone),
korosi jenis ini lebih mudah terjadi.
16
Gambar 2.8 Sulfide Stress Cracking
2.1.2.4 Pemantauan dan Pengukuran Laju Korosi Pada Pipa
Beberapa metode yang dipakai untuk memantau (memonitor) dan memeriksa
korosi adalah dengan metode penggunaan spesimen korosi, metode elektrik dan
elektrokimia dan metode analisa kimia. Pada industri perminyakan, beberapa
contoh yang umum digunakan pada pipa penyalur adalah metode inspeksi
ultrasonic (UT) untuk mengukur tebal dinding pipa, teknik corrosion cuopon (CC)
atau kupon korosi, electrical resistance probe (ERP) atau teknik tahanan listrik
dan metode analisa kimia. Dalam pipa alir gas basah, ERP dan CC hanya
dipasang pada bagian inlet (sumur) dan outlet (terminal pengumpul) sehingga
pada bagian pipa yang berada di dasar sungai maupun bagian-bagian yang
memungkinkan terjadinya korosi di bawah permukaan air, tidak dapat diamati
dengan teknik pengukuran ini. Untuk korosi internal, contoh kategori
penilaiannya dapat dilihat pada Tabel 2.1.
17
Tabel 2.1 Kategori penilaian Korosi Internal
Corrosion Likehood
Failure Risk approximate lifetime and design life
Typical corrosion rate (*)
Very Low None system will last much longer than
required with no failures, without any preventive actions
< 0.1 mm/y
Low Negligible
system should reach its design life without a failure with available
corrosion allowance, not requiring any complementary preventive
action
0.1 - 0.3 mm/y
Medium Likely but
delayed
system should reach 50 % of its design life before a failure occurs, if no
preventive action undertaken 0.3 - 1 mm/y
High
very likely within
few years
system should reach 25 % of its design life before a failure occurs, if no
preventive action undertaken 1 - 3 mm/y
Very High certain
and soon
system will not even resist 1/4 of its design life if no preventive action
undertaken 3 - 5 mm/ y
* : indicative only, since limits are dependant on wall thickness and design life
a. Teknik Analisis Kimia
Teknik ini disebut juga metode Dissolved Iron (besi terlarut) yang mengukur dan
mengontrol secara efektif korosi dengan menghitung kandungan besi pada fluida.
Pengambilan sampling, analisa dan evaluasi data yang diambil harus benar - benar
dijaga dari endapan / benda lain agar tidak terkontaminasi. Hal tersebut dilakukan
karena hal tersebut sangat penting dalam memberikan keakuran data supaya
dalam melakukan evaluasi dari sampling diperoleh data yang akurat.
Teknik ini merupakan teknik yang relative kuno karena tingkat kesukarannya
yang besar. Teknik ini juga lebih cocok digunakan untuk pipa yang mengalami
18
korosi eksternal di mana pengambilan sampel dapat dilakukan dengan lebih
mudah dan akurat.
b. Teknik kupon korosi
Pengamatan dengan kupon korosi merupakan teknik yang sederhana, tahan lama,
dan dapat menyediakan bukti fisik yang terjadi karena menyediakan informasi
mengenai laju berkurangnya massa akibat korosi, tingkat keganasan korosi, dan
distribusi korosi. Sejumlah kupon (dengan karakteristik material menyerupai
material pipa) dimasukkan ke dalam jaringan pipa (di inlet dan outlet) dan diambil
kembali setelah selang waktu tertentu (misal 6 – 12 bulan), kupon dicuci dengan
larutan HCl 10%v/v, dibilas dengan aseton, dikeringkan, dan ditimbang kembali.
Selisih berat dapat diubah ke pengurangan ketebalan kupon dan laju korosi rata-
rata.
∆
∆ ................................................................. (2.9)
Kelemahan untuk metode kupon yang konvensional adalah memerlukan waktu
paparan yang sangat panjang untuk memperoleh data yang sah; tidak jarang waktu
paparan dapat mencapai 20 tahun atau lebih. Untuk mengatasi hal ini, dapat
digunakan beberapa variasi spesimen kupon, seperti helical coil (sesuai dengan
ISO 9226). Kelebihan dari helical coil adalah rasio luas berbanding berat yang
lebih tinggi daripada kupon panel akan memberikan sensitivitas pengukuran laju
korosi yang lebih baik. Jenis spesimen lain yang dapat digunakan adalah bimetalic
specimen, di mana kawat dililitkan pada sekrup dari jenis logam yang berbeda.
19
Spesimen ini digunakan pada uji CLIMAT (Classify Industrial and Marine
Atmosphere) dan akan memberikan sensitivitas pengukuran yang lebih baik.
c. Teknik tahanan listrik
Teknik ini digunakan untuk menentukan pengurangan logam akibat korosi atau
korosi erosi dengan memanfaatkan perubahan tahanan listrik logam ketika terjadi
perubahan dimensi. Tahanan listrik logam konduktif dinyatakan sebagai :
...................................................................................................................... (2.10)
Laju korosi dapat dihitung dari perubahan tahanan (satuan dalam pengukuran
tahanan probe adalah division):
∆
∆ ............................................................... (2.11)
Besarnya tahanan intrinsik, bergantung pada jenis logam dan temperatur. Pada
temperatur konstan, tahanan listrik logam dengan panjang tertentu akan
meningkat jika luas permukaannya berkurang, sehingga pengukuran tahanan
dapat digunakan untuk menentukan pengurangan dimensi yang sebanding dengan
laju korosi.
Kompensasi untuk perubahan tahanan intrinsik, terhadap temperatur dilakukan
dengan menggunakan elemen pembanding yang inert. Ketika tahanan listrik
elemen uji berubah terhadap temperatur, tahanan listrik elemen pembanding juga
20
berubah sesuai dengan besarnya perubahan yang terjadi. Oleh karena
perbandingan tahanan kedua elemen tersebut tidak berubah maka terjadi
kompensasi perubahan tahanan akibat perubahan temperatur.
d. Metode inspeksi ultrasonik (UT)
Ketebalan pipa dapat diukur karena ada gelombang suara frekuensi tinggi 0,1 – 25
MHz yang merambat di dinding pipa. Gelombang yang dihasilkan transducer
(berfungsi untuk mengubah gelombang elektrik menjadi gelombang mekanik)
akan merambat dalam dinding pipa dan pantulan gelombang ini diterima oleh
receiver (mengubah gelombang mekanik menjadi gelombang elektrik).
Metode ini dapat mendeteksi cacat internal seperti retak, porositas dan inklusi.
Selain hasil uji (misal ketebalan dinding pipa) dapat diketahui langsung, UT
memiliki daya penetrasi tinggi. Keterbatasan UT antara lain dibutuhkannya
couplant (agar tidak ada udara antara probe dengan dinding pipa menyebabkan
pengukuran tidak akurat), perlu referensi standar sebelum pengukuran (misal
dengan blok logam standar tebal 20 mm), atau konfigurasi kompleks benda uji
atau yang terlalu tipis akan menyebabkan pengukuran tidak akurat.
Perkembangan inspeksi jaringan pipa dengan menggunakan intelligent pig
sekarang ini telah dilengkapi dengan alat ultrasonic. Alat inspeksi UT biasanya
memiliki sejumlah sensor yang terpasang pada module sensor dibelakang pig
utama. Dengan mengikuti pergerakan pig yang mengalir sepanjang jaringan pipa,
kesalahan pengukuran dengan metode ultrasonic dapat diminimalisasikan.
21
2.1.3 Jenis Kegagalan Lain pada Pipa[2]
Beberapa jenis kegagalan yang dapat terjadi pada pipa antara lain sebagai berikut.
Secondary Loads
Ketidakstabilan tanah, longsornya tanah, penurunan muka tanah yang dapat
menghasilkan supplemental load, membuat pipa mengalami bending atau tension.
Weldment to the Pipe
Merupakan kesalahan pengelasan pada pipa yang akan disambung. Kesalahan ini
dapat mengakibatkan timbulnya konsentrasi tegangan pada daerah sambungan,
serta rentan terhadap korosi dan penggetasan.
Wrinkles, Bends, Buckle
Terjadi sewaktu belum ditemukan teknik untuk menghasilkan sudut belokan yang
besar tanpa menyebabkan timbulnya keriput pada bagian dinding yang
terkompresi. Keriput ini dapat mengakibatkan timbulnya retakan setelah lama
beroperasi akibat dari low cycle fatigue.
Internal Combustion
Listrik static yang mengalir di sekitar pipa dapat menjadi penyebab pembakaran
yang menyebabkan terjadinya kegagalan pada pipa. Karakteristik dari kegagalan
jenis ini adalah adanya gelombang letusan sepanjang internal pipa.
2.2 Analisis Kehandalan
Masalah utama pada jaringan pipa yang dapat mengancam kehandalan
keseluruhan sistem adalah adanya korosi pada material pipa. Korosi, baik internal
maupun eksternal, dapat menyebabkan pipa bocor, dan bahkan dapat
menyebabkan ledakan yang dapat merenggut korban jiwa. Oleh karena itu,
pencegahan dilakukan dengan melakukan monitoring dan inspeksi yang teratur
dan efisien, atau tepat sasaran. Untuk menyusun suatu program inspeksi yang
efektif dan efisien diperlukan suatu metode yang disebut dengan analisis
22
kehandalan, dimana metode ini melihat sejauh mana pipa dapat terus beroperasi
dalam suatu jangka waktu operasi tertentu.
Ada dua metode yang banyak digunakan dalam analisis kehandalan, yaitu metode
probabilistic, dan metode deterministic.
2.2.1 Metode Probabilistik
Dalam metode probabilistic, kehandalan sistem jaringan pipa ditentukan atau
diprediksi dengan menggunakan pendekatan statistic. Dimana dalam metode ini,
diprediksi kemungkinan gagalnya suatu jaringan pipa atau pipeline dengan
menentukan terlebih dahulu fungsi kegagalannya, atau disebut limit state function.
Penggunaan metode ini memerlukan pengetahuan mengenai teori-teori statistic
yang mendasar untuk menentukan probability of failure, dan kehandalan sistem,
seperti tipe-tipe distribusi data, cumulative density function, dan sebagainya.
Konsep dasar teori probability klasik melibatkan evaluasi probability of failure
dengan mempertimbangkan criteria performansi spesifik, beban yang
diaplikasikan dan parameter resistansi; yaitu sebuah fungsi yang mendefinisikan
beban dan tahanan (resistansi) dimana terdefinisi secara matematis sebagai
persamaan “limit state” :
Dimana R adalah resistansi atau kekuatan material dan L adalah load atau beban
yang diaplikasikan, serta kegagalan material terjadi apabila L > R, dimana kedua
variable tersebut merupakan variable random. Variabel random adalah fungsi
yang menandakan bilangan riil dari hasil percobaan. Bilangan random dapat
berupa semua bilangan dari 0 sampai tak hingga. Variable random ditulis dengan
huruf X besar dan bilangannya ditulis dengan huruf x kecil[7].
Probability merupakan perhitungan secara numeric dari kemungkinan atau
peluang sebuah kejadian. Nilai probability dari 0 (mustahil) sampai 1 (pasti).
Untuk melihat peluang tersebut, didefinisikan kurva Probability Density Function
23
(PDF) dan Cumulative Distribution Function (CDF). Hasil dari fungsi variable
random X merupakan daerah dibawah kurva PDF, sedangkan CDF menunjukkan
probability dari X yang nilainya kurang dari x.
Gambar 2.9 (a) Probability Density Function; (b) Cumulative Distribution
Function
Ada dua parameter penting sebuah variable random, yaitu rata-rata dan variansi.
Rata-rata merupakan pusat kecenderungan dari distribusi, sedangkan variansi
adalah indeks yang menyatakan penyebaran dari variable random.
Rata-rata didefinisikan sebagai :
............................................................................................................ (2.12)
Variansi didefinisikan sebagai :
..................................................................... (2.13)
Terdapat pula koefisien variansi, menunjukkan simpangan atau dispersi variable
random terhadap nilai rata-rata, didefinisikan sebagai :
..................................................................................................................... (2.14)
a b
fx(x)
x a
Fx(a)
1
Area =
=
(a) (b)
24
2.2.1.1 Jenis-jenis Distribusi Peluang
Dalam penentuan analisis probabilistic, variable random yang merupakan
parameter dalam limit state function memenuhi sebuah distribusi probability
tertentu. Penentuan jenis distribusi peluang merupakan salah satu tahap yang
penting dan menentukan dalam metode analisis ini. Ada beberapa jenis distribusi
peluang yang umum digunakan dalam praktek engineering, antara lain adalah
distribusi normal, distribusi lognormal, distribusi Weibull, dan distribusi extreme
value atau distribusi Gumbell.
Distribusi Normal
PDF dari variable random X yang terdistribusi normal adalah:
√exp ∞ ∞ .............................................. (2.15)
Dimana μ dan σ adalah parameter distribusi untuk rata-rata dan standar deviasi
dari X. Integral dari fX(x) adalah probability dari X, yang merupakan turunan dari
CDF. Dalam hal ini dilakukan pendekatan dengan mendefinisikan variable Z
sebagai :
..................................................................................................................... (2.16)
Variabel Z mempunyai rata-rata 0 dan standar deviasi 1. Integrasi numeric dari
distribusi normal standar (Z) menghasilkan approximasi polynomial dalam
mengevaluasi CDF.
CDF standar normal Z, ф(z), dilambangkan dengan FZ(z) = P(Z≤z) = ф(z).
25
Gambar 2.10 Kurva PDF Distribusi Normal
Distribusi Lognormal
Apabila variable random adalah X. Jika Y = log X, yang terdistribusi normal,
maka X dikatakan terdistribusi lognormal. Dimana untuk menghitung probability
dari X, digunakan hubungan sebagai berikut,
ф ⁄ 0 ∞ .................................................. (2.17)
Dimana,
ln 1 ..................................................................................................... (2.18)
Dan CX adalah COV dari X dan adalah median dari X.
................................................................................................................. (2.19)
Gambar 2.11 Kurva PDF Distribusi Lognormal
26
Distribusi Weibull
Fungsi Kepadatan Peluang (PDF) dari distribusi Weibull adalah sebagai berikut,
exp .......................................................................... (2.20)
Fungsi Distribusi Kumulatif (CDF) dari distribusi Weibull adalah sebagai berikut,
1 exp ..................................................................................... (2.21)
Dimana, γ adalah parameter lokasi
adalah parameter skala
m adalah parameter bentuk
Gambar 2.12 Kurva PDF Distribusi Weibull
Distribusi Extreme Value (Gumbell)
Distribusi ini digunakan untuk memodelkan nilai maksimum atau minimum suatu
kumpulan data. Fungsi kepadatan peluang (PDF) dari distribusi Gumbell adalah
sebagai berikut,
exp exp ............................................................... (2.22)
Sedangkan fungsi distribusi kumulatif (CDF) dari distribusi Gumbell adalah
sebagai berikut,
27
exp exp ............................................................................... (2.23)
Dimana, adalah parameter modus
Θ adalah parameter skala
Gambar 2.13 Kurva PDF Distribusi Gumbell
2.2.1.2 Pemilihan Jenis Distribusi Peluang
Distribusi peluang yang dipilih dalam analisis ini adalah distribusi normal dengan
menggunakan peluang kegagalan. Peluang kegagalan dapat ditentukan dengan
menyelesaikan integral multidimensi
...................................................................................................... (2.24)
Dimana X adalah variable random, dan fX adalah PDF dari X. Sedangkan Ω
adalah daerah gagal (failure), yaitu daerah dimana 0. Penyelesaian integral
ini sangat sulit dilakukan secara numeric karena beberapa hal, yaitu PDF dari
variable random tidak diketahui, penyelesaian integral dimensi tinggi yang
semakin sulit dengan semakin banyaknya variable random, serta daerah integrasi
Ω yang tidak diketahui.
Adapun hubungan antara kehandalan (reliability) dan peluang kegagalan (PoF)
adalah sebagai berikut :
28
............................................................................................................ (2.25)
Metode yang digunakan untuk menyelesaikan peluang kegagalan dalam analisis
adalah metode FOSM (First Order Second Moment). Pembahasan tentang
penyelesaian dengan menggunakan metode FOSM akan dibahas pada bab
selanjutnya.
2.2.2 Metode Deterministik
Dengan menggunakan metode deterministic, kehandalan suatu komponen
ditentukan dengan memperkirakan umur sisa atau remaining life dari komponen
tersebut melalui pendekatan secara engineering. Pendekatan engineering
dilakukan dengan melihat mekanisme kerusakan yang terjadi pada material dan
bagaimana kerusakan tersebut mempengaruhi kekuatan atau mechanical
properties dari material dalam sebuah proses operasi. Ada beberapa metode yang
terkait dengan perhitungan kekuatan sisa material untuk menentukan remaining
life seperti ASME B31G, DNV RP-F101, dan API RP579. Ada juga metode
TStreng yang direkomendasikan beberapa regulator di Amerika. Berikut akan
dibahas contoh perhitungan menggunakan metode Rstreng[8] :
10000
......................................................................... (2.26)
Di mana σFailure adalah kekuatanh sisa (psi), sedangkan M (Folias Factor)
merupakan fungsi dari panjang axial dari area yang terkorosi (L), diameter pipa
(D), dan tebal nominal (t).
√50 , 1 0,62576 0,003375 .............................. (2.27)
√50 , 0,032 33 ............................................................... (2.28)
29
2.3 Metode Inspeksi Pipa Bawah Laut
Situasi dan kondisi lingkungan dasar laut tidaklah mudah diketahui secara pasti
tanpa didukung ketersedian peralatan dan teknologi yang memadai. Beberapa
faktor yang menyebabkan demikian adanya adalah bahwa setiap penambahan
kedalaman laut sebesar 33 feet (+ 10 meter) akan menyebabkan bertambahnya
tekanan sebesar 1 atmosfer (14.7 Psi). Semakin dalam perairan hingga ke dasar
laut maka semakin tinggi pula tekanan yang ada, dan alhasil manusia sangat
memiliki keterbatasan untuk mampu menahan tekanan yang begitu besar. Selain
itu, bersamaan dengan kondisi alam seperti itu maka factor suhu yang juga sangat
dingin serta kurangnya pencahayaan di dasar laut menyebabkan jarak pandang
sangat dekat, dan masih banyak lagi factor-faktor lain. Untuk mendukung tugas-
tugas inspeksi pemipaan migas dasar laut, dikenal beberapa metode berikut
kelebihan dan kelemahannya masing-masing yang akan dijelaskan lebih lengkap
di bawah ini[9].
2.3.1 Inspeksi dengan Peralatan ROV (Remote Operated Vehicle)
Remote Operation Vehicle (ROV) secara luas dikenal sebagai nama umum bagi
kapal selam mini yang kerap digunakan pada industri minyak dan gas lepas
pantai. Kapal selam ini tak berawak, tapi dioperasikan dari kapal lain. Keduanya
terhubung melalui kabel yang berfungsi juga sebagai penambat. Kebanyakan
ROV dilengkapi dengan kamera video dan lampu. Kemampuannya bisa
ditingkatkan dengan menambahkan sonar, magnetometer, kamera foto,
manipulator atau lengan robotik, pengambil sampel air, dan alat pengukur
kejernihan air, penetrasi cahaya, serta temperatur. Kabel-kabel ROV dilapisi
dengan tabung penuh minyak agar terhindar dari korosi air laut.
ROV terbagi atas berbagai tipe, tergantung dari kemampuan dan fungsi kerjanya.
Ada Small Electric Vehicle, -ROV kecil, berdimensi mini untuk kedalaman
kurang dari 300m, biasanya untuk keperluan inspeksi dan pengamatan, digunakan
untuk inspeksi perairan pantai, juga untuk ilmiah, SAR, waduk, saluran air dan
inspeksi nuklir. Ada juga berdasarkan kemampuan kerjanya seperti tipe Work
Class Vehicle, yang menggunakan listrik dan hidrolik sebagai sumber tenaganya.
30
Industri ataupun perusahaan migas biasa menggunakan metode ini namun terdapat
keterbatasan pada metode ini. Sepanjang pengamatan, side scan sonar dan video
kamera bawah laut dapat mengobservasi posisi lokasi jaringan pemipaan migas di
dasar laut, meskipun demikian hingga saat ini video kamera yang terpasang pada
ROV ini hanya bisa mendeteksi adanya kebocoran pemipaan migas dalam skala
yang besar. Selain itu juga masih memiliki sedikit keterbatasan pengamatan
terhadap jaringan pemipaan migas yang tertanam dibawah lumpur atau sediment
dasar laut.
2.3.2 Metode SSS (Side Scan Sonar)
Metode SSS beroperasi atau bekerja dengan memanfaatkan prinsip ultrasonic atau
dengan prinsip sistem aliran magnetic. Metode ini dilakukan dengan
memancarkan gelombang ultrasonic dari alat ke pipa yang akan diinspeksi di
bawah laut. Observasi yang dilakukan akan memberikan informasi tentang
kerusakan pemipaan migas dan keadaan atau kondisi ketebalan pemipaan yang
ada. Observasi yang dilakukan oleh metode ini jauh lebih teliti daripada observasi
yang dilakukan dengan menggunakan peralatan ROV.
Metode ini memiliki kelemahan yakni bahwa kadang mengharuskan produksi
migas harus dihentikan pada saat melakukan obrservasi. Oleh karena itu, metode
ini sering tidak menjadi pilihan industry migas sebab tidak menguntungkan dari
segi financial.
2.3.3 Metode dengan Sistem METS
Sebuah perusahaan di Jerman, CAPSUM Technologies GmBH mengembang
sebuah teknologi yang mereka berikan nama CAPSUM’s METS. Ini adalah
sebuah system peralatan dimana digunakan untuk mendeteksi adanya kebocoran
jaringan pemipaan migas di dasar laut. Sistem kerja metode ini dioperasikan
dengan prinsip-prinsip difusi gas methane. METS sebenarnya merupakan salah
satu pengembangan dari ROV dengan perbedaan dioperasikan langsung oleh
31
orang yang menaikinya. Hal ini menguntungkan karena proses memonitor
jaringan pemipaan migas biayanya akan lebih efisien dan waktu yang lebih cepat.
Terdapat sebuah sensor pada alat ini berupa sensor methane yang dioperasikan
secara langsung dan online dimana dapat mengukur konsentrasi methane terlarut
dalam kedalaman dasar laut. Methane berdifusi melalui sebuah membrane masuk
ke dalam sebuah detector volume kecil. Penyerapan molekul methane pada
sebuah permukaan semikonduktor menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan
konduktivitas pada sebuah system layer yang sensitive. Konduktifitas meningkat
dengan bertambahnya konsentrasi methane. Signal-signal yang terbentuk
kemudian di konversi menjadi parameter voltase oleh sebuah system elektronik
terintegrasi. Perlu dipahami bahwa system alat ini dibuat sedemikian rupa
sehingga membentuk sebuah alat yang menyatu dalam suatu cover (tekanan
tersendiri) yang selanjutnya mampu dioperasikan pada tingkat besaran tekanan
pada kedalaman 3500 meter.
Sistem ini dibuat dengan prinsip methane adalah karena sekitar 90% dari
komponen minyak mentah ataupun gas alam, komponen terbesarnya adalah gas-
gas methane sehingga dengan mencoba merancang system alat ini (METS) dapat
dengan cepat mendeteksi kondisi kebocoran yang terjadi dari suatu jaringan
pemipaan migas di dasar laut. Gas methane memiliki molekul sangat kecil dan
oleh karena itu gas inilah yang akan pertama kali mengalami proses difusi pada
saat terjadi kebocoran dari suatu jaringan pemipaan migas di bawah laut.
top related