bab ii - abstrak.ta.uns.ac.id · terjadi dari tahun ke tahun hingga tahun 1985 dengan rata-rata sex...
Post on 05-Mar-2019
223 Views
Preview:
TRANSCRIPT
14
BAB II
KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT SURAKARTA
TAHUN 1980-1985
A. Kondisi Geografi dan Demografi Surakarta
1. Kondisi Geografi
a. Letak dan Luas
Kota Surakarta letaknya berada di antara wilayah pendukung yang cukup
potensial, yaitu Kabupaten Sukoharjo, Sragen, Boyolali, dan Klaten. Letak Surakarta
ada pada dataran rendah yang berada pada pertemuan Sungai Pepe, Jenes, dan
Bengawan Solo yang mempunyai ketinggian kurang lebih 92 m dari permukaan air
laut dan terletak secara astronomi antara 110º 45’ 15’-110º 45º 35’’ BT dan 7º 56º
00’’ LS.
Kota Surakarta terdiri dari lima kecamatan, yaitu Kecamatan Laweyan,
Serengan, Pasar Kliwon, Jebres, dan Banjarsari. Surakarta memiliki batas wilayah
yang bersinggungan dengan beberapa kabupaten, sebelah utara berbatasan dengan
Kabupaten Karanganyar dan Boyolali, sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten
Sukoharjo dan Karanganyar, sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Sukoharjo
dan Kabupaten Karanganyar, sedangkan sebelah selatan berbatasan dengan
Kabupaten Sukoharjo. Luas kota kurang lebih 4.404,05 Ha. Lahannya sebagian besar
digunakan untuk perumahan pemukiman 2.674,25 m2, jasa 422,60 m
2, perusahaan
15
282,12 m2, industri 101,42 m
2, tegalan 99,98 m
2, sawah 190,87 m
2 dan sisanya untuk
sarana hiburan, lapangan olah raga, taman kota dan lain-lain.1
b. Keadaan Alam
Wilayah Surakarta, secara umum dalam kondisi datar sebab berada di antara
dua gunung, yaitu Gunung Lawu dan Gunung Merapi, tanah yang agak
bergelombang terdapat pada bagian utara dan timur. Jenis tanah sebagian tanah liat
berpasir, termasuk regosol kelabu dan aluvial, di wilayah bagian utara tanah liat
grumusol serta wilayah bagian timur laut litosol meditern. Iklim tropis di Surakarta
mengalami dua kali pergantian musim dalam setahun. Pada musim kemarau di
tempat-tempat yang terbasah masih menunjukkan curah hujan di atas minimum pada
musim hujan. Keadaan iklim pada daerah ini mempunyai suhu maksimum 32,5 C
dan minimum 21,9 C, rata-rata tekanan udara 1010,9 MBS kelembapan 71%,
kecepatan angin 0,4 Knot, arah angin 240 ºC dan curah hujan 16,31 mm.2
1Kota Surakarta Dalam Angka, Badan Pusat Statistik Kota Surakarta, hlm. 3.
2Ibid.
16
Peta Kota Surakarta Tahun 1980
2. Kondisi Demografi
Pengetahuan mengenai demografi sangat diperlukan untuk mendeskripsikan
kondisi sosial masyarakat suatu daerah yang berfungsi untuk masalah demografi.
Mengetahui demografi, akan memudahkan suatu daerah atau negara dalam
menentukan kebijakan pembangunan ekonomi nasional maupun ekonomi daerah.
Demografi sendiri didefinisikan sebagai studi statistik tentang penduduk
terutama menurut besar dan kepadatannya. Sensus dan angka-angka statistik tentang
17
kelahiran, kematian, mata pencaharian, perpindahan dan lain-lain merupakan data
yang sudah sejak dahulu menjadi titik tolak bagi analisa-analisa demografi.3
Tabel 1
Luas, Jumlah dan Kepadatan Penduduk Surakarta
Tahun 1980-1985
No. Tahun Luas (km²) Jumlah Penduduk Kepadatan
Penduduk /(km²)
1 1980 44,040 459.257 10.428
2 1981 44,040 468.490 10.637
3 1982 44,040 478.178 10.858
4 1983 44,040 485.375 11.021
5 1984 44,040 492.884 11.192
6 1985 44,040 502.190 11.402
Sumber: BPS Kota Surakarta tahun 1986
Dari tabel di atas dapat dilihat tingkat kepadatan penduduk meliputi lima
kecamatan di Surakarta mengalami peningkatan setiap tahunnya, terlihat peningkatan
terjadi dari tahun ke tahun hingga tahun 1985 dengan rata-rata sex ratio mencapai
949 orang per/km². Perilaku demografis bukan terdiri atas kumpulan tindakan
individu, demikian pula kesejahteraan masyarakat tidak selalu hasil penjumlahan dari
kesejahteraan individu. Namun yang jelas keberhasilan mengendalikan dan mengatur
penduduk akan berdampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi dan diharapkan
3James T. Fawceet., Psikologi Kependudukan, (Jakarta: Rajawali Press,
1982), hlm. 11.
18
akan meningkatkan kesejahteraan sosial masyarakat. Berkaitan dengan arus migrasi
yang memadati kota-kota besar, maka perlu upaya menciptakan lapangan pekerjaan
di pedesaan, tujuannya diharapkan dapat menghambat laju urbanisasi. Untuk itu
berbagai studi tentang karakteristik penduduk perdesaan dan potensi sumber daya
alam menjadi penting artinya.
Fenomena ini dapat dilihat di Surakarta, masyarakat pendatang di kota
Surakarta, berasal dari wilayah pendukung yakni, Sukoharjo, Boyolali, Sragen,
Klaten, dan Karanganyar. Tidak jarang juga mereka adalah hasil mobilisasi penduduk
antarkecamatan di dalam kota Surakarta sendiri. Mobilisasi penduduk dalam motif
ekonomi ini, banyak melahirkan pekerjaan di sektor informal, baik itu sebagai
pedagang kaki lima, tukang becak, maupun para buruh. Sektor informal ini meliputi
masa pekerja kaum miskin yang produktivitasnya jauh lebih rendah dari pada pekerja
di sektor modern di kota yang tertutup bagi kaum miskin ini.4 Berikut tabel
banyaknya penduduk menurut mata pencaharian di Surakarta tahun 1979-1984.
4Jan Breman., “Sistim Tenaga Kerja Dualistik: Suatu Kritik Terhadap Sektor
Informal”, dalam Chris Manning & Tadjuddin Noer Effendi, Urbanisasi,
Pengangguran, dan Sektor Informal di Kota, (Jakarta: Gramedia, 1985), hlm. 141.
19
Tabel 2
Banyaknya Penduduk Menurut Mata Pencaharian di Kota Surakarta
Tahun 1982-1985
Sumber: BPS Kota Surakarta tahun 1985
Dari tabel di atas terlihat jelas sektor mata pencaharian sebagai buruh yang
memiliki jumlah angka tertinggi dibandingkan dengan mata pencaharian yang lain
dan terjadi peningkatan yang signifikan di setiap tahunnya. Dengan kata lain
persaingan untuk mencari nafkah terus meningkat. Di lain pihak para pendatang dari
luar Surakarta yang ingin menuntut ilmu maupun pekerjaan ikut pula menambah
hangatnya persaingan. Banyaknya jumlah lulusan sekolah dan perguruan tinggi di
Surakarta selain menghasilkan tenaga terampil dan para ahli di satu sisi tidak
seimbang dengan pertumbuhan lapangan pekerjaan yang ada, sehingga menghasilkan
pengangguran di sisi lain.
Mata pencaharian penduduk selalu berhubungan dengan perkembangan
penduduk yang ada dan akan selalu mengikuti fungsi daerah tersebut. Masalah
No. Tahun Buruh
Tani
Petani
Sendiri
Buruh
Bangunan
Pengusaha
Industri
Pedagang Pegawai
Negeri
Sipil
1 1982 892 783 53.119 3.757 15.896 23.699
2 1983 720 444 49.129 3.682 14.952 23.116
3 1984 714 421 54.505 3.900 15.788 22.187
4 1985 695 404 54.776 3.937 16.666 22.956
Jumlah 3.021 2.052 211.529 15.276 63.302 91.958
20
kependudukan selalu berkaitan dengan masalah ketenagakerjaan. Salah satu contoh
adalah tingginya tingkat pertumbuhan penduduk yang berpengaruh pada tingginya
penawaran tenaga kerja. Penawaran tenaga kerja yang tinggi tanpa diikuti penyediaan
kesempatan kerja yang cukup akan menimbulkan pengangguran. Kesempatan kerja
yang lebih besar di kota menyebabkan arus urbanisasi terus meningkat, selain itu
meningkatnya pendidikan masyarakat yang sudah mengarah pada referensi pekerjaan.
Berkembangnya penduduk yang cepat disebabkan karena angka kelahiran
yang tinggi, sedangkan di lain pihak angka kematian yang menurun akibat kemajuan
teknologi di bidang kedokteran, perbaikan lingkungan hidup, dan peningkatan
keadaan sosial ekonomi.5 Pertumbuhan penduduk tidak selamanya menguntungkan,
di satu pihak mengakibatkan banyaknya tenaga kerja namun di lain pihak kurangnya
lapangan pekerjaan akan menimbulkan banyak sekali pengangguran. Membicarakan
penduduk tidak akan terlepas dari jumlah, tempat tinggal, lapangan pekerjaan, dan
berbagai masalah yang mengiringinya.
Penyebaran penduduk di Surakarta pada dasarnya tidak merata. Daerah yang
padat penduduknya berada di pinggir kota yang mengelilingi wilayah Surakarta, yang
pada umumnya dicirikan sebagai perkampungan kumuh. Selain penduduk Jawa, kota
Surakarta juga dihuni etnis lain seperti Cina6 dan Arab
7. Mereka hidup berkelompok
5Rosy Munir., Penduduk dan Pembangunan Ekonomi, (Jakarta: Bina Aksara,
1986), hlm. 12. 6Kehadiaran orang-orang Cina di Surakarta sudah ada sejak tahun 1745,
bersamaan dengan Pakubuwana II yang memindahkan ibu kota Kerajaan Mataram
Kartasura ke Surakarta. Untuk selanjutnya bisa dibaca dalam Moerthiko., Riwayat
Klentheng, Vihara, Linthang, Tempat Ibadah Tri Dharma (se-Jawa), (Semarang:
Sekretariat Empu Wong Kamfu, 1980), hlm. 217.
21
hingga membentuk perkampungan etnis. Pada umumnya etnis Cina menempati
daerah-daerah strategis perdagangan yaitu di jalur-jalur utama seperti Jl. Slamet
Riyadi, Jl. Urip Sumoharjo, Jl. Coyudan, Jl. Yos Sudarso dan lain-lain. Etnis Arab
menempati daerah Pasar Kliwon, Kedung Lumbu, dan sebagian di Kauman.
Persoalan etnisitas di Surakarta yang semacam ini dikemudian hari menimbulkan
permasalahan sosial yang baru yakni persoalan relasi sosial antar etnis di Surakarta.
Selain dua etnis tersebut, tentu saja Surakarta masih terdapat suku Banjar, etnik
Madura yang kedatangannya secara signifikan memberi corak tersendiri bagi
perkembangan sosial di Surakarta.
B. Dari Simpul Jaringan Dagang Hingga Indikasi Hypercity
Dalam perkembangannya kota umumnya terbentuk dari desa. Tetapi tidak
semua desa dapat berkembang menjadi kota. Desa dapat berkembang menjadi kota
apabila tempat itu menjadi pusat pemerintahan, perdagangan, hedonism, atau pusat
pertambangan. Suatu analisis yang bersifat umum menjelaskan bahwa perkembangan
kota menjadi lebih jelas setelah terdapat kemajuan-kemajuan yang pesat di bidang
pertanian revolusi pangan. Akan tetapi hedonism yang cukup kuat mempengaruhi
perkembangan suatu kota adalah revolusi hedonism. Berkat revolusi di bidang
industrilah maka muncul hedoni komunikasi, transportasi, produk hedoni, serta
7Etnis Arab pertama kali sejak abad 19. Mereka menetap di Pasar Kliwon,
mayoritas merupakan keluarga Sungkar. Pada umumnya mereka bermata pencaharian
sebagai pedagang, terutama sebagai pedagang batik, selanjutnya baca; Warto.,
Minoritas Keturunan Arab di Surakarta, (Surakarta: Skripsi Jurusan Ilmu Sejarah,
Fakultas Sastra dan Seni Rupa UNS, 1985).
22
akibat-akibat lain yang kesemuanya merupakan penunjang bagi eksistensi kota besar
dan modern.8
Dalam hal perdagangan, kota Surakarta tidak lain telah menjadi simpul
jaringan perdagangan yang memberi kemudahan pengangkutan barang dari hilir
menuju simpul utama atau hulu yaitu kota dagang Amsterdam. Proses pengangkutan
pada waktu itu melalui dua jalur, yaitu jalur Sungai Bengawan Solo menuju
Surabaya, serta jalur darat dari Surakarta menuju Semarang. Untuk kemudahan itulah
dibuat jalur darat yang memadahi di sepanjang Sungai Batangan menuju ke barat
yang berfungsi selain prasarana pengangkutan juga prasarana militer.9
Secara sederhana, Gillt menyebut kata (di Jawa) berasal dari bahasa
Sansekerta yang berarti tempat yang diperkuat.10
Lebih lanjut Mumford mengatakan
bahwa kota adalah tempat pertemuan yang berorientasi keluar. Meyer dalam bukunya
Definition of City menguraikan bahwa kota bukan sekedar deretan kantor, gedung-
gedung, gereja, cathedral, melainkan orang-orang yang menghuninya yang pada
dasarnya menciptakan bangunan-bangunan itu. Dalam pengertian ini kota tidak lain
adalah konstruk dari figur-figur yang ada di dalamnya.11
Pendapat yang menarik
8Rahardjo., Perkembangan Kota dan Beberapa Permasalahannya.
(Yogyakarta: Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UGM, 1981), hlm. 2. 9Lebih lanjut lihat, J.H. Vincen Houben., Kraton dan Kompeni: Surakarta
dan Yogyakarta 1830-1870, (Yogyakarta: Bentang, 2002), hlm. 564. 10
Ronald Gilbert Gillt., De Indische Stadt op Java en Madoera, Disertasi
pada Delft Universiteit, 10 Januari 1995, hlm. 23. 11
P.J.M. Nas., Kota di Dunia Ketiga: Pengantar Sosiologi Kota, (Jakarta:
Bhratara, 1979), hlm. 28.
23
berasal dari Comte yang menyatakan bahwa masyarakat kota adalah masyarakat
modern.12
Kota Surakarta di era Orde Baru mengalami perkembangan pesat sejak
memasuki dekade 1980-an, banyak prasarana kota dibangun seperti jalan, air bersih,
dan perkantoran. Dalam periode ini yang perlu dicermati adalah kebijakan pemerintah
yang berkaitan dengan perbankan dan pariwisata. Berkaitan dengan kebijakan itu, di
Surakarta banyak bermunculan bangunan dan hotel. Dengan menjamurnya bangunan-
bangunan besar bank dan hotel yang mengepung Surakarta dari Palur hingga
Kartasura mengindikasikan estetika kota Surakarta tidak berbeda dengan kota besar
lain seperti Jakarta dan Surabaya. Estetika itu yang ditunjukkan dengan maraknya
bangunan modern bergaya Barat telah mengimbas pula perilaku hedonisme, karena
pada dasarnya bangunan itu tidak bebas nilai.13
Sejak 1980-an, sesungguhnya kota Surakarta kembali memasuki ikatan
global sebagaimana kota-kota besar lain di Indonesia dengan cirinya yang khas, yaitu
maraknya pertumbuhan bank, hotel, dan mall. Namun modernisasi kota yang hanya
kelihatan dari segi fisik itu memunculkan hedonis berupa sikap hedonism yang
akhirnya menggeser sikap hidup yang didasarkan pada nilai tradisional Jawa.
12
Veeger K. J., Realitas Sosial, (Jakarta: Gramedia, 1985), hlm. 19.
Pernyataan Comte ini perlu diberi catatan karena kata modern yang melekat pada
masyarakat kota sebagaimana yang dimaksud Comte merupakan representasi kota
industri di Barat (Eropa); dan bukan sebagai deskripsi kota pra-industri sebagaimana
yang ada di dunia ketiga. Tampaknya pernyataan Comte itu sering disalahartikan oleh
para pembuat urban planning di dunia ketiga bahwa ketika mereka ingin membangun
sebuah kota modern maka fasilitas kota yang berkarakter Barat perlu dihindarkan.
Akibatnya nuansa tradisi yang menjadi ciri kota dunia ketiga menjadi pudar. 13
Siti Magono dan M. Nursam., Kota Kota Di Jawa, (Yogyakarta: Ombak,
2010), hlm 45.
24
Fenomena ini tampaknya yang umum dirasakan sebagai Surakarta telah kehilangan
jati diri. Akhirnya kini jati diri kota Surakarta pun tidak berbeda dengan kota-kota
lain di Indonesia akibat dari pengalaman proses perkembangan kota yang seragam.14
Suatu hal yang perlu diperhatikan berkaitan dengan maraknya hedonisme
adalah pada cara pandang hidup seseorang atau masyarakat. Dengan cara pandang ini
orang tidak lagi berpikir ke depan. Pemikiran yang tidak mengacu pada masa depan
secara praktis tidak lagi memerlukan pijakan ataupun rujukan, dalam hal ini nilai
tradisi. Oleh karena itu, keresahan akan pudarnya jati diri pada masyarakat kota
Surakarta boleh jadi menjadi indikasi bahwa Surakarta telah menapak menjadi
hypercity.15
C. Muncul dan Berkembangnya Kriminalitas
Lingkungan hidup yang ada di sekitar manusia berpengaruh terhadap proses
adaptasi sosial dan pandangan hidup seseorang, baik yang bersifat positif maupun
negatif. Suasana di lingkungan pinggiran kota mengakibatkan orang lekas puas
dengan apa yang dimilikinya, sehingga hasrat untuk lebih maju adalah kecil. Di lain
pihak, kondisi lingkungan di pusat kota mengakibatkan orang kurang puas dengan
kehidupannya dan ingin terus meningkatkan taraf hidupnya.
Hubungan sosial antara warga di kota Surakarta cukup baik, meskipun
terkadang terjadi persaingan konflik sosial serta gosip. Pengertian persaingan dalam
pergaulan sehari-hari pada umumnya mempunyai sifat negatif, karena sering
menimbulkan perasaan iri hati. Hasrat untuk mencapai atau memperoleh yang dimilki
14
Ibid. 15
Nas P.J.M., Hypercity: The Symbol Side of Urbanism, (London: Kegan
Paul, 2008).
25
oleh orang lain tanpa disertai dengan usaha keras akan menimbulkan persaingan yang
bersifat negatif sehingga sering kali mengakibatkan kerenggangan hubungan antar
masyarakat. Gosip atau kabar angin yang bersifat memfitnah merupakan akibat dari
persaingan, iri hati, atau kecurigaan terhadap sesuatu.
Sementara itu, timbulnya kejahatan dengan kekerasan tidak bisa dilepaskan
dari faktor sifat manusia yang egois dan moral masyarakat. Berbagai upaya
memperbaiki moral ini sudah dilakukan, seperti pendidikan agama, pendidikan
formal dan moral pancasila. Kenyataanya selain kegiatan ini, masih diperlukan pula
kontrol sosial masyarakat. Sehingga apa yang dilakukan tetap pada garis bermoral.
Kontrol sosial yang dimaksud dapat dilakukan oleh masyarakat melalui perorangan
atau alat negara. Di Indonesia pada tahun 1980-an makin terasa kontrol sosial,
khususnya aparat pemerintah berkurang. Pelanggaran lalulintas merajalela, karena
pelanggar tidak dihukum semestinya. Bahkan petugas memberikan peluang dengan
memberikan surat izin mengemudi kepada anak di bawah usia 18 tahun. Keadaan
semacam itu terjadi di semua bidang, termasuk yang ada kaitannya dengan kekerasan
kriminal, seperti peredaran obat bius, senjata api, alkohol. Dan bukan rahasia umum
lagi, di kota besar terbentuk organisasi keamanan yang pekerjaannya justru memeras
disertai ancaman kekerasan. Selain faktor pribadi seseorang dari berbagai
pengalaman dan teori, tampaknya faktor lingkungan yang bisa membentuk pribadi
seseorang cukup penting diamati. Karena sifat agresif dari pribadi seseorang banyak
pula ditentukan lingkungan setempat. Mengatasi peranan lingkungan ini, perlu
ditingkatkan peranan Polri dalam memanunggal dengan masyarakat. Dengan
demikian Polri lebih mudah melakukan kontrol sosial di masyarakat dan bisa
26
mengajak mereka berperanserta menanggulangi kejahatan. Selain ditingkatkan
kemampuan peran Polri, masih perlu adanya dukungan dan keterpaduan semua aparat
pemerintah dalam menanggulangi kejahatan.16
Keterkaitan antara kondisi sosial, ekonomi, politik, dan budaya sangat
mempengaruhi perkembangan kriminalitas di Surakarta. Dari segi ekonomi,
meningkatnya angka kriminalitas yang terjadi dapat disebabkan oleh kondisi ekonomi
yang tidak tercukupi dan didukung pula dengan banyaknya angka pengangguran,
penghasilan sehari-hari untuk mencukupi kebutuhan belum memenuhi standar yang
diharapkan atau di sisi lain tindak kriminalitas itu dilakukan oleh para pelaku
memang karena semata-mata profesi mereka dan bukan karena di dorong oleh
keadaan ekonomi. Hal ini dapat dilihat walaupun kebutuhan mereka telah tercukupi
dengan baik namun keinginan untuk melakukan tindak kejahatan selalu ada. Pada
bidang sosial, dengan semakin meningkatnya jumlah angka kriminalitas yang terjadi
di suatu daerah juga dapat menimbulkan gejolak sosial dalam masyarakat yang
menyebabkan masyarakat sekitar merasa tidak aman, resah, merasa takut bahkan bisa
membuat kondisi masyarakat menjadi tidak harmonis. Meningkatnya angka kejahatan
juga didorong oleh faktor lingkungan kehidupan sosial yang secara ekonomi sangat
kurang, masih rendahnya moral yang mereka miliki sehingga keinginan untuk berbuat
kejahatan atau keburukan masih tertanam walaupun yang mereka lakukan tersebut
tidak baik tetapi karena ada kesempatan atau juga waktu akhirnya mereka selalu
memiliki niat untuk melakukan kejahatan.
16
Harian Kompas, 19 Maret 1983, hlm. 3. Koleksi Pusat Informasi Kompas,
Jakarta.
27
Dalam dunia bisnis dan hutang piutang, menyewa jasa para GALI menjadi
sesuatu hal yang perlu ketika terjadi kredit macet. Di kota Surakarta menggunakan
jasa GALI untuk menagih hutang bukan merupakan suatu hal yang langka, bahkan
para pengguna jasa GALI mempekerjakan tidak hanya satu atau dua orang saja,
tergantung dengan jumlah nominal yang akan mereka tagih. Para GALI mengerjakan
pekerjaanya juga menyesuaikan dengan situasi serta kondisi di lapangan, tidak
tanggung-tanggung mereka akan menggunakan kekerasan bahkan sampai
mengancam nyawa. Peristiwa ini terjadi di dealer kendaraan bermotor JL. Gatot
Subroto No. 71 Surakarta, pemilik dealer Liem Swie Lan mempunyai hutang
sebanyak Rp. 7.000.000,00. Dengan membawa surat kuasa dari penyewa, kawanan
GALI yang beranggotaka empat orang ini menagih hutang dengan cara memberi
tekanan secara mental hingga mengancam keselamatan keluarga dari Liem Swie Lan.
Namun, Danresta 951 Surakarta, Letkol Pol. Sediyono Mashadi telah menugaskan
seorang petugas intel untuk menyamar menjadi salah seorang karyawan dealer.
Karena sudah meresahkan dan mengancam tanpa menunggu lama kawanan GALI
berinisial Msn (38 tahun), Smng (38 tahun), Swk (29 tahun), dan BER (35 tahun),
segera ditangkap petugas Komando Resort Kepolisian Kota 951 Surakarta.17
Masyarakat kota penuh dengan dinamika dan problema yang menyertainya.
Dilihat dari kriminologi, perkembangan kota dapat dikatakan selalu disertai dengan
perkembangan kualitas dan kuantitas kriminalitas. Suatu penelaahan tajam perlu
dilakukan serta penggambaran akar kriminalitas di perkotaan. Persoalan kemiskinan
17
Harian Kompas 15 April 1980, hlm. 8. Koleksi Pusat Informasi Kompas,
Jakarta.
28
berkaitan erat dengan kriminalitas, perbanditan, dan dunia tukang pukul, di sisi lain
akan melukiskan industri seks di kota.18
Di kota-kota besar di negara-negara yang
sudah maju kejahatan remaja bergandengan erat sekali dengan kemiskinan. Hal ini
dicerminkan oleh distribusi ekonomis dan distribusi ekologis dari orang-orang yang
berasal dari kelas sosial yang berbeda-beda. Dengan sendirinya dalam masyarakat
yang demikian ini terdapat kesenjangan antara si kaya dan si miskin. Semua kejadian
tadi merangsang terjadinya jumlah peningkatan kejahatan yang dilakukan oleh anak-
anak remaja yang berasal dari stratifikasi ekonomi, anak remaja yang memiliki
ambisi materiil terlalu tinggi dan tidak realistis.19
Kejahatan atau tindak kriminil
merupakan salah satu bentuk dari perilaku menyimpang, tidak ada masyarakat yang
sepi dari kejahatan.20
Memang benar bahwa kondisi ekonomi mempunyai pengaruh
terhadap kejahatan. Namun harus diperhatikan bahwa kondisi ekonomi itu hanya
merupakan sebagian dari jumlah faktor-faktor lain yang juga memberi perangsang
dan dorongan ke arah kriminalitas. Perhatikanlah bahwa dikalangan kaum cerdik
pandai terdapat pula kekuasaan moril dan materiil yang membuat mereka berhasil
menghindari dari tuntutan hukum. Dibandingkan dengan jumlah kejahatan di
Amerika di mana tingkat perekonomian relatif jauh lebih baik daripada di Indonesia.
Hal-hal tersebut dengan singkat dapat menjelaskan bahwa di samping unsur ekonomi,
masih dijumpai sejumlah unsur lain yang banyak juga memegang peranan,
18
Daniel Dhakidae., “Industri Sex: Sebuah Tinjauan Sosio Ekonomi”
Majalah Prisma 5 Juni 1976. 19
Kartini Kartono., Patologi Sosial 2, (Jakarta: Rajawali, 1995), hlm. 33. 20
Kartini Kartono., Patologi Sosial, (Jakarta: Rajawali, 1980), hlm. 147.
29
mempengaruhi tingkah laku manusia. Unsur psikologis, adat istiadat, pendidikan
adalah faktor-faktor yang tidak dapat dikesampingkan.21
Berikut ini merupakan tabel jumlah kasus kenakalan remaja di Surakarta
tahun 1980-1985.
Tabel 3
Banyaknya Kasus Kenakalan Remaja di Surakarta Tahun 1980-1985
No Tahun Kejahatan Pelanggaran
1 1980 12 2.114
2 1981 30 2.281
3 1982 10 2.065
4 1983 36 2.200
5 1984 41 2.908
6 1985 158 5.508
Jumlah 278 17.076
Sumber: Koresta 951 Surakarta tahun 1985
Tabel di atas terlihat tingkat pelanggaran remaja yang cukup tinggi dari
tahun ke tahun. Lingkungan keluarga yang tidak harmonis mendorong remaja
melakukan tindak kejahatan. Di samping permasalahan ekonomi, media massa
mempunyai peranan yang sangat besar seperti televisi, radio, film, komik yang
banyak menyajikan kekerasan. Hal ini seakan memberikan pelajaran dan mendorong
masyarakat untuk menirunya. Bermula dari tindakan pelanggaran yang terjadi di
21
G. W. Bawengan., Psychologi Kriminil, (Jakarta: Pradya Paramita, 1977),
hlm. 32.
30
kalangan remaja yang akhirnya menjadi tindakan kejahatan mengarah pada aktivitas
kriminal.
Dalam bidang politik sangat berkaitan dengan adanya upaya pemerintah
untuk mengurangi tingkat kriminalitas dengan cara memberikan hukuman yang agak
berat terhadap pelanggar hukum bahkan lebih penting lagi di terapkannya shock
theraphy tembak di tempat bagi mereka yang melakukan tindak kejahatan. Sumber
Daya Manusia yang masih rendah terutama di kalangan remaja yang berpendidikan
sangat minim secara tidak disadari mengakibatkan angka kriminalitas mengalami
peningkatan.
“Kota Surakarta termasuk kota yang rawan bagi tindak kejahatan,” demikian
dinyatakan oleh Ketua Team Komisi I DPR-RI, Santosa Tosanny. Tindak kejahatan
yang terjadi di Surakarta adalah pemerasan, penjambretan, pencurian, penodongan
dengan senjata tajam, pembunuhan dan pemerkosaan. Kerawanan kota Surakarta bagi
tindak kejahatan menurut Danresta 951 Surakarta, Letkol Pol. Sediyono Mashadi,
disebabkan karena kota Surakarta merupakan kota perlintasan antara kota-kota di
Jawa Tengah dengan Jawa Timur, dan juga tingkat kepadatan penduduk kota
Surakarta yang tidak sebanding dengan jumlah aparat penegak hukum, yaitu polisi.
Di Surakarta seorang anggota Polri melayani 1570 penduduk, bahkan untuk
kecamatan Banjarsari yang merupakan kecamatan terpadat, seorang Polri melayani
6500 penduduk, dahulu pada awal kemerdekaan daerah tersebut memiliki 200 tenaga
31
Polisi, sedangkan di tahun 1980-an hanya yang ada 20 tenaga Polisi.22
Data kejahatan
tahun 1981 menunjukkan, Jakarta lebih aman dari pada di Surakarta dalam kasus
penjambretan.23
Surakarta memiliki resiko kemungkinan dijambret dua kali lebih
besar dari pada di Jakarta atau Palembang. Besarnya kemungkinan resiko ini
didasarkan pada angka perimbangan kejahatan crime rate per-100.000 penduduk.
Angka perimbangan kejahatan di Solo 43,54. Angka 43 ini berarti adanya 43
kejahatan yang dilaporkan per-100.000 penduduk, atau dapat pula merupakan
indikasi adanya resiko 43 kejahatan dalam setiap kelompok 100.000 penduduk, resiko
terbesar di jambret setelah Surakarta ialah Jakarta 24,10 dan Palembang 22,02.24
Data
perimbangan kejahatan ini berdasarkan tahun 1981 menunjukkan angka tindak
kejahatan khususnya penjambretan di Jakarta terjadi 2.116 kasus dengan 6.034.960
penduduk, Palembang 178 kasus dengan 808.387 penduduk sedangkan di Surakarta
mencapai 204 kasus dengan 468.490 penduduk.
Berikut adalah tabel data kriminalitas perampokan di atas angkutan umum di
Surakarta tahun 1981 sampai dengan tahun 1982.
22
Harian Kompas, 11 April 1981, hlm. 8. Koleksi Pusat Informasi Kompas,
Jakarta. 23
Harian Kompas, 9 Desember 1983, hlm. 4. Koleksi Pusat Informasi
Kompas, Jakarta 24
Harian Kompas, 19 Maret 1983, hlm. 3. Koleksi Pusat Informasi Kompas,
Jakarta.
32
Tabel 4
Perampokan di Atas Angkutan di Surakarta Periode
Tahun 1981-1982 Dalam 8 Bulan
No Jenis Angkutan Tahun 1981 Tahun 1982 Persentase
1 Bus antar kota 5 kasus 28 kasus 500 %
2 Truk 5 kasus 18 kasus 300 %
3 Colt 19 kasus 47 kasus 150 %
Sumber: Data Polri 1982
Kemudian kasus penodongan, penjambretan dan perampokan periode tahun
1981-1982 dalam sembilan bulan pertama mencapai 33.496 kasus dan 665 kasus
diantaranya bersenjata api. Sedangkan dalam kasus pembunuhan yang tercatat 1.139
kasus. Motivasinya sebagian besar akibat dendam 78 %, susila 11 %, sengketa
keluarga 8 % dan lain lain 3 %. Menurut Danjen Komando Reserse Polri Mayjen
(Pol) Drs. J.I. Silaen, seharusnya setiap instansi pemerintah seperti Polri, Kejaksaan,
Pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan dalam setiap langkah tugasnya menjurus
kepada suatu keterpaduan yaitu menekan berkembangnya kriminalitas.25
Selain
ditingkatkan kemampuan peran aparat keamanan yaitu Polri, masih perlu adanya
dukungan dan keterpaduan semua aparat pemerintah dalam menanggulangi tindak
kejahatan.
25
Ibid.
33
Daftar Pustaka
A. Sumber Dokumen
Kota Surakarta Dalam Angka Tahun 1985. Badan Pusat Statistik Kota Surakarta.
B. Sumber Buku
Sayid. 1984. Babad Sala. Surakarta: Reksopustoko,
James T. Fawceet. 1982. Psikologi Kependudukan. Jakarta: Rajawali Press.
Jan Breman. 1985. Sistim tenaga kerja Dualistik: Suatu kritik terhadap sektor
informal, dalam Chris Manning, Tadjuddin Noer Effendi, Urbanisasi,
Pengangguran, dan Sektor Informal di Kota. Jakarta: Gramedia.
Rosy Munir. 1986. Penduduk dan Pembangunan Ekonomi. Jakarta: Bina Aksara.
Moerthiko. 1980. Riwayat Klentheng, Vihara, Linthang, Tempat Ibadah Tri Dharma
(se-Jawa). Semarang: Sekretariat Empu Wong Kamfu.
Rahardjo. 1981. Perkembangan Kota dan Beberapa Permasalahannya. Yogyakarta:
Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UGM.
J.H. Vincen Houben. 2002. Kraton dan Kompeni: Surakarta dan Yogyakarta 1830-
1870. Yogyakarta: Bentang.
Ronald Gilbert Gillt. 1995 De Indische Stadt op Java en Madoera, Disertasi pada
Delft Universiteit.
Nas P.J.M. 1979. Kota di Dunia Ketiga: Pengantar Sosiologi Kota. Jakarta: Bhratara.
Veeger K. J. 1985. Realitas Sosia. Jakarta: Gramedia.
Nas P.J.M. 2008. Hypercity: The Symbol Side of Urbanism. London: Kegan Paul.
Himawan Soetanto. 1994. Rebut Kembali Madiun. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Kartini Kartono. 1980. Patologi Sosial. Jakarta: Rajawali.
Kartini Kartono. 1995. Patologi Sosial 2. Jakarta: Rajawali
34
C. Surat Kabar, Majalah, dan Artikel.
Harian Kompas, 5 April 1980, 11 April 1981, 19 Maret 1983
Daniel Dhakidar. “Industri Sex: Sebuah Tinjauan Sosio Ekonomi” Majalah Prisma 5
Juni 1976
D. Skripsi
Warto. 1985. Minoritas Keturunan Arab di Surakarta. Surakarta: Skripsi Jurusan
Ilmu Sejarah, Fakultas Sastra dan Seni Rupa UNS.
top related