bab ii profesi mintarsih
Post on 14-Jun-2015
649 Views
Preview:
TRANSCRIPT
BAB II
GURU DAN TUNTUTAN KOMPETENSI PROFESI
Kemerosotan pendidikan bukan diakibatkan oleh kurikulum tetapi oleh kurangnya
kemampuan profesionalisme guru menggunakan kurikulum tersebut dalam kegiatan belajar
mengajar dan keengganan siswa belajar sungguh-sungguh karena berbagai alasan salah satu
alasannya pendekatan guru dalam memberikan pelajaran cenderung tidak menarik. Tentu saja
ada guru yang betul-betul menguasai materi pelajaran dan menggunakan pendekatan yang
menarik dan komunikatif, tetapi jumlah mereka tidak banyak. Kemampuan dan kualitas guru
melaksanakan tugas sebagai pendidik selalu disebut menjadi guru yang profesional atau tidak
profesional. Profesionalisme menekankan kepada penguasaan ilmu pengetahuan khususnya
materi pelajaran yang menjadi tanggungjawabnya, kemudian kemampuan manajemen
pembelajaran beserta strategi penerapannya.
Profesionalisme bukan sekadar pengetahuan teknologi dan manajemen tetapi harus
didukung sikap responsif mampu menyelesaikan masalah-masalah pembelajaran. Pengembangan
profesionalisme guru tentu harus lebih baik dan ideal dibanding seorang teknisi. Guru bukan hanya
memiliki keterampilan yang tinggi dalam hal pengajaran tetapi memiliki suatu tingkah laku
pedagogik yang dipersyaratkan. GURU akan diposisikan sebagai suatu profesi, harkat dan
martabatnya sebagaimana halnya akuntan, dokter dan pengacara. Tujuan dijadikannya guru
sebagai suatu profesi adalah sebagai bagian dari peningkatan kualitas sumberdaya manusia pada
jalur pendidikan.
Kebijakan merubah kedudukan guru hanya sekedar sebagai pegawai menjadi seorang
yang diakui menjadi pemangku jabatan profesional diharapkan bakal mengangkat harkat dan
wibawa guru menjadi guru yang sejati. Peningkatan kualitas guru dengan lebih dulu memperbaiki
kualifikasinya berpendidikan S1 atau DIV merupakan langkah-langkah strategis meningkatkan
status guru menjadi pemangku jabatan profesional. Secara konkret, program yang akan
dilaksanakan untuk mengukuhkan status profesional berbentuk sertifikasi guru. Mereka yang
direkrut menjadi guru dan yang sudah menjadi guru secara perlahan harus memenuhi proses
sertifikasi hingga akhirnya layak untuk diberi sertifikat profesi, berhak memangku jabatan profesi
guru dan memiliki kemampuan sebagai guru khususnya pada pendidikan dasar dan menengah.
Kompetensi Guru
31
Apakah yang dimaksud dengan kompetensi itu? Badan Standar Nasional Pendidikan
(BSNP) mengembangkan standar kompetensi guru dan dosen, karena badan inilah yang memiliki
kewenangan untuk mengembangkan standar kompetensi guru dan dosen yang hasilnya
ditetapkan dengan Peraturan Menteri. Namun demikian dapat dicermati pendapat Johnson (1974)
yang mengatakan kompetensi merupakan perilaku rasional guna mencapai tujuan yang
dipersyaratkan sesuai dengan kondisi yang diharapkan (Sanjaya, 2006:17). Menurut UU No. 14
tahun 2005 tentang Guru dan Dosen Pasal 1, Ayat 10, disebutkan ”Kompetensi adalah
seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dan dikuasai
oleh guru atau dosen dalam melaksanakan tugas keprofesionalan”. Kompetensi merupakan
peleburan dari pengetahuan (daya pikir), sikap (daya kalbu), dan keterampilan (daya pisik) yang
diwujudkan dalam bentuk perbuatan.
Usman (2004) membedakan kompetensi guru menjadi dua, yaitu kompetensi pribadi dan
kompetensi profesional. Kemampuan pribadi meliputi (1) kemampuan mengembangkan
kepribadian, (2) kemampuan berinteraksi dan berkomunikasi, (3) kemampuan melaksanakan
bimbingan dan penyuluhan. Sedangkan kompetensi profesional meliputi: (1) penguasaan terhadap
landasan kependidikan, dalam kompetensi ini termasuk (a) memahami tujuan pendidikan, (b)
mengetahui fungsi sekilah di masyarakat, (c) mengenal rinsip-prinsip psikologi pendidikan; (2)
menguasai bahan pengajaran, artinya guru harus memahami dengan baik materi pelajaran yang
ajarkan. Penguasaan terhadap materi pokok yang ada pada kurikulum maupun bahan pengayaan;
(3) kemampuan menyusun program pengajaran, mencakup kemampuan menetapkan kopetensi
belajar, mengembangkan bahan pelajaran dan mengembangkan strategi pembelajaran; dan (4)
kemampuan menyusun perangkat penilaian hasil belajar dan proses pembelajaran. Kompetensi
guru, menurut Sanjaya (2006:17) bukan hanya kompetensi pribadi dan kompetensi profesional,
tetapi terdapat sejumlah kompetensi yang dimiliki oleh seorang guru meliputi kompetensi pribadi,
profesional, dan sosial kemasyarakatan. Sedangkan menurut, PP No. 19 Tahun 2005 Pasal 28,
Ayat 3 dan UU No. 14 Tahun 2005 Pasal 10, Ayat 1, menyatakan ”Kompetensi pendidik sebagai
agen pembelajaran pada jenjang pendidikan dasar dan menengah serta pendidikan anak usia dini
meliputi: (a) kompetensi pedagogik, (b) kompetensi kepribadian, (c) kompetensi profesional, dan
(d) kompetensi sosial.
Pengkategorian keempat kompetensi tersebut menurut Selamet, PH (2006) telah
mengundang kritik dari publik karena keempatnya belum menampakkan sosok utuh kompetensi
guru yang profesional, lebih-lebih istilah kompetensi profesional. Guru profesional bukanlah hanya
32
untuk satu kompetensi saja yaitu kompetensi profesional, tetapi guru profesional semestinya
meliputi semua kompetensi. Terlepas setuju atau tidak setuju terhadap ke empat kompetensi guru
tersebut, toh secara resmi mereka telah menjadi legislasi dan regulasi yang harus ditaati, kecuali
ada pihak yang mengusulkan diadakannya yudicial review terhadap ke empat kompetensi guru
tersebut (adakah pihak yang dirugikan?). Sementara itu, kompetensi dosen sama sekali tidak
ditulis pada UU 14/2005 dan PP 19/2005 tersebut. Ke empat kategori kompetensi tersebut masih
dapat dipakai dengan modifikasi istilah dan isinya.
Istilah kompetensi profesional menurut Slamet PH (2006) diganti dengan kompetensi
bidang studi (subject matter competency). Istilah kompetensi kepribadian diganti dengan istilah
kompetensi etika profesi. Catatan: secara kolaboratif Direktorat Pengembangan Profesi
Guru/Pendidik pada Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan
bersama Direktorat Ketenagaan pada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi menyusun penjabaran
ke empat (4) kompetensi guru tersebut menjadi sub-sub kompetensi, indikator esensial, dan
deskriptornya untuk kepentingan penyusunan instrumen sertifikasi guru, yang tentu saja dapat
menyesuaikan diri dengan rumusan standar kompetensi yang dikembangkan BSNP. Kompetensi
guru dan dosen berbeda. Kompetensi guru terfokus pada kemampuan mendidik. Sementara itu,
kompetensi dosen mencakup kemampuan mendidik, meneliti, dan mengabdi pada masyarakat.
Kompetensi dan sub-kompetensi untuk guru dan dosen berdasarkan pemikiran Slamet
PH (2006) dikembangkan sebagai berikut. Pertama, Kompetensi Bidang Studi terdiri dari Sub-
Kompetensi (1) memahami matapelajaran yang telah dipersiapkan untuk mengajar; (2) memahami
standar kompetensi dan standar isi mata pelajaran yang tertera dalam Peraturan Menteri serta
bahan ajar yang ada dalam kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP); (3) memahami struktur,
konsep, dan metode keilmuan yang menaungi materi ajar; (4) memahami hubungan konsep antar
matapelajaran terkait; dan (5) menerapkan konsep-konsep keilmuan dalam kehidupan sehari-hari.
Kedua, Kompetensi Pedagogik terdiri dari Sub-Kompetensi (1) berkontribusi dalam
pengembangan KTSP yang terkait dengan matapelajaran yang diajarkan; (2) mengembangkan
silabus matapelajaran berdasarkan standar kompetensi (SK) dan kompetensi dasar (KD); (3)
merencanakan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) berdasarkan silabus yang telah
dikembangkan; (4) merancang manajemen pembelajaran dan manajemen kelas; (5)
melaksanakan pembelajaran yang pro-perubahan (aktif, kreatif, inovatif, eksperimentatif, efektif
dan menyenangkan); (6) menilai hasil belajar siswa secara otentik; (7) membimbing peserta didik
dalam berbagai aspek, misalnya: pelajaran, kepribadian, bakat, minat, dan karir; dan (8)
mengembangkan profesionalisme diri sebagai guru. Ketiga, Kompetensi Etika Profesi terdiri dari
33
Sub-Kompetensi (1) memahami, menghayati, dan melaksanakan kode etik guru Indonesia; (2)
memberikan layanan pendidikan dengan sepenuh hati, profesional, dan ekspektasi yang tinggi
terhadap peserta didiknya; (3) menghargai perbedaan latarbelakang peserta didiknya dan
berkomitmen tinggi untuk meningkatkan prestasi belajarnya; (4) menunjukkan dan
mempromosikan nilai-nilai, norma-norma, sikap, dan perilaku positif yang mereka harapkan dari
peserta didiknya; (5) memberikan kontribusi terhadap pengembangan sekolah umumnya dan
pembelajaran khususnya; (6) menjadikan dirinya sebagai bagian integral dari sekolah; (7)
bertanggung jawab terhadap prestasinya; (8) melaksanakan tugasnya dalam koridor peraturan
perundang-undangan yang berlaku dan dalam koridor tata pemerintahan yang baik (good
governance); (9) mengembangkan profesionalisme diri melalui evaluasi diri, refleksi, dan
pemutakhiran berbagai hal yang terkait dengan tugasnya; dan (10) Memahami, menghayati, dan
melaksanakan landasan- landasan pendidikan: yuridis, filosofis, dan ilmiah. Keempat, Kompetensi
Sosial terdiri dari Sub-Kompetensi (1) memahami dan menghargai perbedaan (respek) serta
memiliki kemampuan mengelola konflik dan benturan; (2) melaksanakan kerjasama secara
harmonis dengan kawan sejawat, kepala sekolah dan wakil kepala sekolah, dan pihak-pihak terkait
lainnya; (3) membangun kerja tim (teamwork) yang kompak, cerdas, dinamis, dan lincah; (4)
melaksanakan komunikasi (oral, tertulis, tergambar) secara efektif dan menyenangkan dengan
seluruh warga sekolah, orangtua peserta didik, dengan kesadaran sepenuhnya bahwa masing-
masing memiliki peran dan tanggung jawab terhadap kemajuan pembelajaran; (5) memiliki
kemampuan memahami dan menginternalisasikan perubahan lingkungan yang berpengaruh
terhadap tugasnya; (6) memiliki kemampuan mendudukkan dirinya dalam sistem nilai yang berlaku
di masyarakat sekitarnya; dan (7) melaksanakan prinsip-prinsip tata kelola yang baik (misalnya:
partisipasi, transparansi, akuntabilitas, penegakaan hukum, dan profesionalisme). Keempat
kompetensi tersebut tidak menekankan pada penguasaan materi pelajaran, karena jika seorang
guru telah berpendidikan S1 atau D –IV tentu saja secara teoritik guru tersebut telah menguasai
materi pelajaran sesuai bidang studi yang menjadi tanggung jawabnya
Sedangkan kompetensi dan sub-kompetensi dosen dapat dikembangkan sebagai
berikut. Pertama, Kompetensi Bidang Studi terdiri dari Sub-Kompetensi (1) memahami mata
kuliah yang telah dipersiapkan untuk mengajar; (2) memahami kompetensi, kurikulum, dan materi
pokok yang dikuliahkan di perguruan tingginya; (3) memahami struktur, konsep, dan metode
keilmuan yang menaungi materi kuliah; (4) memahami hubungan konsep antar mata kuliah terkait;
(5) menerapkan konsep-konsep keilmuan dalam kehidupan sehari-hari; dan (6) mengembangkan
bidang studi yang ditekuni. Kedua, Kompetensi Pedagogik terdiri dari Sub-Kompetensi (1)
34
berkontribusi dalam pengembangan kurikulum yang terkait dengan mata kuliah yang diajarkan; (2)
mengembangkan silabus mata kuliah berdasarkan kompetensi yang telah dikembangkan; (3)
merencanakan rencana pelaksanaan kuliah berdasarkan silabus yang telah dikembangkan; (4)
merancang manajemen perkuliahan, manajemen kelas dan laboratorium; (5) melaksanakan
perkuliahan yang pro-perubahan (aktif, kreatif, inovatif, eksperimentatif, efektif, menyenang-kan,
dan yang mendorong keingintahuan); (6) menilai hasil belajar mahasiswa secara otentik; (7)
membimbing mahasiswa dalam berbagai aspek, misalnya: pendidikan, kepribadian, bakat, minat,
dan karir; (8) menulis buku teks yang sinergis secara tekstual, aktual, dan faktual; (9)
mengembangkan profesionalisme diri sebagai dosen; dan (10) mengembangkan e-learning
sebagai salah satu metode pembelajaran. Ketiga, Kompetensi Etika Profesi terdiri dari Sub-
Kompetensi (1) memahami, menghayati, dan melaksanakan kode etik dosen Indonesia (belum
dibuat); (2) memberikan layanan pendidikan dengan sepenuh hati, profesional, dan ekspektasi
yang tinggi terhadap mahasiswa; (3) menghargai perbedaan latarbelakang mahasiswa dan
berkomitmen tinggi untuk meningkatkan prestasi belajarnya; (4) menunjukkan dan
mempromosikan nilai-nilai, norma-norma, sikap, dan perilaku positif yang mereka harapkan dari
mahasiswanya; (5) memberikan kontribusi terhadap pengembangan jurusan/program studi
umumnya dan perkuliahan khususnya; (6) menjadikan dirinya sebagai bagian integral dari
perguruan tingginya; (7) bertanggung jawab terhadap prestasinya; (8) melaksanakan tugasnya
dalam koridor peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dalam koridor tata pemerintahan
yang baik (good governance); (9) mengembangkan profesionalisme diri melalui evaluasi diri,
refleksi, dan pemutakhiran berbagai hal yang terkait dengan tugasnya; dan (10) memahami,
menghayati, dan melaksanakan landasan- landasan pendidikan: yuridis, filosofis, dan ilmiah.
Keempat, Kompetensi Sosial terdiri dari Sub-Kompetensi (1) memahami dan menghargai
perbedaan (respek) serta memiliki kemampuan mengelola konflik dan benturan; (2) melaksanakan
kerjasama secara harmonis dengan sesama dosen, ketua jurusan, dekan, rektor/ketua, dan pihak-
pihak terkait lainnya; (3) membangun kerja tim (teamwork) yang kompak, cerdas, dinamis, dan
lincah; (4) melaksanakan komunikasi (oral, tertulis, tergambar) secara efektif dan menyenangkan
dengan: warga jurusan, fakultas, dan universitas; mahasiswa; orangtua mahasiswa; dan dengan
kesadaran sepenuhnya bahwa masing-masing memiliki peran dan tanggung jawab terhadap
kemajuan perkuliahan; (5) memiliki kemampuan memahami dan menginter- nalisasikan perubahan
lingkungan yang berpengaruh terhadap tugasnya (ipteks, legislasi dan regulasi, globalisasi, dan
sebagainya); (6) memiliki kemampuan mendudukkan dirinya dalam sistem nilai yang berlaku di
masyarakat sekitarnya; dan 7) melaksanakan prinsip-prinsip tata kelola yang baik (misalnya:
35
partisipasi, transparansi, akuntabilitas, penegakaan hukum, dan profesionalisme). Kelima,
Kompetensi Penelitian terdiri dari Sub-Kompetensi (1) memahami filsafat ilmu di bidang studiya;
(2) menguasai teori-teori (klasik dan mutakhir) bidang ilmu yang ditekuni; (3) memahami
pendekatan pengembangan ilmu yang ditekuni; (4) memahami paradigma-paradigma dan
pendekatan- pendekatan penelitian di bidang ilmunya; (5) memahami metodologi-metodologi
penelitian di bidang ilmunya; (6) memahami metode-metode penelitian di bidang ilmu yang
ditekuni; (7) memahami alat analisis data, baik secara kuantitatif (statistika) maupun kualitatif; (8)
memahami hal-hal aktual dan faktual di bidang ilmu yang ditekuni; (9) mempublikasikan temuan-
temuan penelitian ilmiah/artikel ilmiah pada jurnal-jurnal tingkat lokal, nasional, dan internasional;
(10) menghadiri seminar-seminar atau pertemuan-pertemuan ilmiah lainnya dalam rangka
memutakhirkan bidang ilmu yang ditekuni; (11) selalu mengembangkan dirinya dalam filsafat ilmu,
teori-teori, paradigma penelitian, pendekatan penelitian, metodologi penelitian, metode penelitian,
dan teknik-teknik analisis data secara kuantitatif (statistika) dan kualitatif; (12) memahami
permasalahan yang dihadapi oleh ilmu, negara, dan masyarakat dalam lingkup bidang ilmu yang
ditekuni; (13) menggunakan ICT mutakhir dan canggih untuk mendukung pengembangan ilmunya;
(14) selalu bergesekan dengan nilai-nilai progresif di bidang ilmunya melalui berbagai cara
(membaca, mengakses internet, sesrawung dengan para ilmuwan (scientists & scholars),
cendekiawan, dan teknokrat; (15) rajin melakukan penelitian untuk memecahkan permasalahan
yang dihadapi oleh: ilmu pengetahuan yang ditekuni, negara, dan masyarakat; (16) terbuka
terhadap kritik, masukan dan saran perbaikan terhadap hasil-hasil karyanya; dan (17)
membudayakan penelitian di kampusnya. Keenam, Kompetensi pengabdian pada masyarakat
terdiri dari Sub-Kompetensi (1) memahami permasalahan yang sebenarnya dan menawarkan
solusi yang tepat untuk memecahkan permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat; (2) menjalin
kemitraan secara sinergis dengan masyarakat dalam rangka saling memajukan dan
mengembangkan; (3) menjalin kerjasama dengan pemerintah daerah dalam rangka untuk
memajukan daerahnya; (4) menyebarluaskan ilmunya kepada masyarakat dalam rangka ikut
mencerdaskan bangsa; (5) memfasilitasi pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah dalam
rangka menggulirkan desentralisasi dan otonomi daerah di bidang keahliannya; (6) melakukan
advokasi terhadap masyarakat tentang pentingnya perbaikan kehidupan dan upaya-upaya yang
perlu ditempuh, sesuai dengan bidang keahlian yang ditekuni; (7) melakukan survei masyarakat
yang hasilnya dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam menyusun program
pengabdian pada masyarakat; (8) kerjasama dengan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi
dalam rangka untuk mengurangi pengangguran; (9) melaksanakan berbagai promosi perguruan
36
tingginya melalui pameran, brosur, siaran televisi, siaran radio, open house, presentasi, news
releases, seminar, dan cara-cara lain yang efektif dalam rangka mengenalkan program-program
yang ditawarkan oleh perguruan tingginya; (10) kerjasama dengan pemerintah daerah dalam
rangka untuk memajukan daerahnya; (11) menyelenggarakan praktek pengalaman lapangan yang
mampu memperbaiki kondisi/situasi dan praktek-praktek yang telah berlangsung selama ini; dan
(12) memberikan layanan terbuka kepada masyarakat melalui konsultasi kepada dosen-dosen
terkait dengan permasalahan yang dihadapi.
Memang hal yang harus diperhatikan secara sungguh-sungguh menurut Qomari dan
Sagala (2004:110) adalah bagaimana memberikan prioritas yang tinggi kepada guru sehingga
mereka dapat memperoleh kesempatan untuk selalu meningkatkan kemampuannya yang
berkaitan dengan tugas meningkatkan kemampuan melaksanakan tugas sebagai guru. Guru juga
harus diberikan kepercayaan, disamping untuk melaksanakan tugasnya sebagai guru, yakni
melakukan proses belajar mengajar yang baik, kepada mereka juga perlu diberikan dorongan dan
suasana yang kondusif untuk menemukan berbagai alternatif metode dan cara mengembangkan
proses pembelajaran yang sesuai dengan kemampuan guru dan perkembangan jaman. Agar
dapat meningkatkan kemampuan dan keterlibatannya dalam melaksanakan tugas sebagai guru,
maka guru harus mengikuti program sertifikasi agar guru dan dosen memahami, menguasai, dan
terampil menggunakan sumber-sumber belajar baru dan menguasai kompetensi pedagogik,
kompetensi kepribadian, kompetensi profesional, dan kompetensi sosial sebagai bagian dari
kemampuan profesional guru.
Beberapa hal pokok dijadikan pertimbangan sertifikasi dan profesionalisme guru dan
dosen yaitu (1) kompetensi guru terfokus pada kemampuan mendidik yaitu Kompetensi bidang
studi, Kompetensi pedagogik, Kompetensi etika Profesi, dan kompetensi social; (2) kompetensi
dosen mencakup kemampuan mendidik, meneliti dan kemampuan mengabdi kepada masyarakat,
Kompetensi bidang studi, kompetensi pedagogik, kompetensi etika profesi, kompetensi social,
kompetensi penelitian, dan kompetensi pengabdian kepada masyarakat; (3) kompetensi dan
profesionalisme guru belum sepenuhnya dipahami dan diyakini oleh guru dan dosen sebagai
bagian dari upaya peningkatan mutu pendidikan dalam arti luas; (4) profesionalisme guru dan
dosen dirancang dalam skema optimalisasi pemberdayaan guru dan dosen; (5) kompetensi dan
profesionalisme guru dan dosen mutlak diperlukan dalam rangka meningkatkan kualitas anak
bangsa; (6) sikap profesionalisme guru adalah respons guru terhadap dimensi-dimensi
profesionalisme guru yang memerlukan keahlian, kemahiran, kecakapan serta memenuhi standar
mutu atau anorma tertetu; (7) program pendidikan profesi diakhiri dengan uji sertifikasi pendidik;
37
(8) uji sertifikasi pendidikan dilakukan melalui ujian tertulis dan ujian kinerja sesuai dengan standar
kompetensi; dan (9) sertifikasi pendidik bagi calon gru dipenuhi sebelum yang bersangkutan
diangkat menjadi guru.
Proporsi antara pengetahuan, sikap, dan keterampilan sangat tergantung pada jenis
pekerjaan. Misalnya, pekerjaan pertukangan kayu memerlukan porsi keterampilan pisik lebih
besar dari pada pengetahuan dan sikap, pekerjaan kedokteran bedah memerlukan porsi
pengetahuan, keterampilan dan sikap secara seimbang, dan pekerjaan sosial memerlukan porsi
sikap lebih besar dari pada pengetahuan dan keterampilan. Dengan demikian, istilah kompetensi
sangat kontekstual dan tidak universal untuk semua jenis pekerjaan. Setiap jenis pekerjaan
memerlukan porsi yang berbeda-beda antara pengetahuan, sikap, dan keterampilannya.
Pekerjaan-pekerjaan berkerah putih, pengetahuan lebih besar porsinya dari pada sikap
dan keterampilan, dan pekerjaan berkerah biru memerlukan porsi keterampilan pisik lebih besar
dari pada pengetahuan dan sikap. Kemampuan dasar meliputi daya pikir, daya kalbu, dan daya
raga yang diperlukan oleh peserta didik untuk terjun di masyarakat dan untuk mengembangkan
dirinya. Daya pikir terdiri dari daya pikir analitis, deduktif, induktif, ilmiah, kritis, kreatif, eksploratif,
diskoveri, nalar, lateral, dan berpikir sistem (berpikir sistem paling sulit dan jarang diajarkan;
berpikir sistem adalah berpikir membangun keberadaan hal menurut kriteria sistem dimana sistem
mempunyai ciri utuh dan benar menurut hukum-hukum ketetapan Nya).
Daya kalbu terdiri dari daya spiritual, emosional, moral, rasa kasih sayang, kesopanan,
toleransi, kejujuran dan kebersihan, disiplin diri, harga diri, tanggung jawab, keberanian moral,
kerajian, komitmen, estetika, dan etika. Daya raga meliputi kesehatan, kestaminaan, ketahanan,
dan keterampilan (olah raga, kejuruan, dan kesenian, baik seni suara, seni rupa, maupun seni
kriya). Sedangkan kemampuan fungsional antara lain meliputi kemampuan memanfaatkan ilmu
pengetahuan dan teknologi serta seni dalam kehidupan, kemampuan mengelola sumberdaya
(sumberdaya manusia dan sumberdaya selebihnya yaitu uang, bahan, alat, bekal, dsb.),
kemampuan bekerjasama, kemampuan mamanfaatkan informasi, kemampuan menggunakan
sistem dalam kehidupan, kemampuan manajerial dan kepemimpinan, kemampuan berwirausaha,
kemampuan kejuruan, kemampuan menjaga harmoni dengan lingkungan, kemampuan
mengembangkan karir, dan kemampuan menyatukan bangsa berdasarkan Pancasila.
Pemerintah harus berjalan bersama dalam mengaplikasi kompetensi guru tersebut.
Berangkat dari keyakinan adanya perubahan peningkatan status guru dan apresiasi lingkungan
yang tinggi, tentunya kompetensi merupakan langkah kedua yang perlu dicapai. Kompetensi
intelektual yang merupakan berbagai perangkat pengetahuan dalam diri individu yang diperlukan
38
untuk menunjang berbagai aspek unjukkerja sebagai guru profesional, dapat digali dengan
program peningkatan kualitas diri dari pemerintah. Sedangkan kompetensi fisik dan individu,
berkaitan erat dengan perangkat perilaku yang berhubungan dengan kemampuan individu dalam
mewujudkan dirinya sebagai pribadi yang mandiri untuk melakukan transformasi diri, identitas diri
dan pemahaman diri.
Pada kompetensi sosial, masyarakat adalah perangkat perilaku yang merupakan dasar
bagi pemahaman diri dengan bagian yang tidak terpisahkan dari lingkungan sosial serta
tercapainya interaksi sosial secara objektif dan efisien. Ini merupakan penghargaan guru di
masyarakat, sehingga mereka mendapatkan kepuasan diri dan mengasilkan kerja yang nyata dan
efisien, terutama dalam pendidikan nasional. Kompetensi sosial mencakup perangkat perilaku
yang menyangkut: Kemampuan interaktif yaitu kemampuan yang menunjang efektivitas interaksi
dengan orang lain seperti keterampilan ekspresi diri, berbicara efektif, memahami pengaruh orang
lain terhadap diri sendiri, menafsirkan motif orang lain, mencapai rasa aman bersama orang lain;
Keterampilan memecahkan masalah kehidupan seperti mengatur waktu, uang, kehidupan
berkeluarga, memahami nilai kehidupan dan sebagainya. Sedangkan kompetensi spiritual yaitu
pemahaman, penghayatan dan pengamalan kaidah agama dalam berbagai aspek kehidupan.
Pengembangan Standar Kompetensi Guru dan Dosen
Pengembangan standar kompetensi ditujukan untuk menjamin mutu guru dan dosen
sehingga pelayanan pendidikan dapat ditingkatkan kualitasnya, yang pada gilirannya mutu
pendidikan dapat ditingkatkan. Standar kompetensi guru dan dosen dapat digunakan sebagai
kriteria untuk seleksi dan rekrutmen, penempatan, pengembangan, penilaian, dan penentuan
kesejahteraan. Standar kompetensi guru dan dosen dikembangkan secara terencana, terarah, dan
berkelanjutan sesuai tuntutan perubahan, baik lokal, nasional, regional, maupun internasional.
Selain itu, standar kompetensi guru dan dosen digunakan sebagai acuan untuk penyusunan
kurikulum, pedoman penyelenggaraan proses belajar mengajar, dan penilaian pendidikan guru dan
dosen, baik untuk pendidikan prajabatan maupun pendidikan dalam jabatan.
Standar kompetensi guru dan dosen juga berfungsi sebagai dasar dalam perencanaan,
pelaksanaan, dan pengawasan guru dan dosen dalam rangka mewujudkan pendidikan nasional
yang bermutu tinggi. Komponen standar kompetensi guru terdiri dari kemampuan dalam
pengelolaan pembelajaran yaitu (1) menyusun silabus pembelajaran; (2) menyusun rencana
pembelajaran; (3) pelaksanaan intraksi belajar mengajar; (4) penilaian prestasi belajar peserta
didik; (5) pelaksanaan tindak lanjut hasil penilaian prestasi belajar; dan (5) pelaksanaan bimbingan
belajar peserta didik.
39
Setelah menyusun silabus pembelajaran dan dilanjutkan dengan rencana pembelajaran
guru harus mampu (1) mendeskripsikan tujuan dan indikator pembelajaran; (2)
memilih/menentukan materi; (3) menentukan metode/strategi pembelajaran; (4) memilih media
pembelajaran; (5) menentukan teknik penilaian; dan (6) mengalokasikan waktu. Dalam hal
pelaksanaan intraksi B-M guru mampu (1) membuka pelajaran; (2) menggunakan metode /strategi;
(3) menggunakan alat praga/media; (4) menggunakan bahasa yang komonukatif. Guru harus
mampu memotivasi siswa dengan cara (1) mengorganisasikan kegiatan; (2) berinteraksi dengan
siswa secara komunikatif; (3) menyimpulkan pembelajaran; (4) memberikan umpan balik
pelaksanaan penilaian; dan (5) menggunakan waktu. Bagaimana penilaian prestasi belajar siswa,
tentu saja guru harus mampu (1) memiliki soal dengan tingkat pembeda; (2) memperbaiki soal
yang tidak valid; (3) memeriksa jawaban; (4) mengklasifikasikan hasil-hasil ujian; (5) menyusun
laporan hasil penilaian; (6) membuat interpretasi antar soal berdasarkan hasil penilaian; (7)
menentukan korelasi antar soal berdasarkan hasil penilaian; (8) mengidentifikasi tingkat variasi
hasil penilaian; dan (9) kesimpulan dan hasil penilaian secara jelas dan logis.
Dalam hal pelaksanaan tindak lanjut hasil penilaian prestasi belajar, maka guru harus
mampu (1) mengklasifikasikan kemampuan peserta didik; (2) mengidentifikasi kebutuhan
perbaikan dan pengayaan; dan (3) mengevaluasi hasil perbaikan dan pengayaan. Untuk
pelaksanaan bimbingan belajar guru mampu (1) menyusun program bimbingan, melaksanakan
bimbingan, mengevaluasi program bimbingan, dan menganalisis hasil evaluasi program bimbingan
yang menjadi tanggung jawabnya; (2) melaksanakan tindak lanjut program bimbingan; (3)
menunjukkan kecerdasan dalam berpikir dan bertindak; (4) menunjukkan sikap disiplin; (5)
meningkatkan kreativitas; (6) memiliki sikap bertanggung jawab dalam melaksanakan tugas; (7)
menujukkan sikap mampu mengendalikan diri (emosi); (8) menampilkan prilaku tidak cepat putus
asa; (9) memiliki motivasi untuk berprestasi; (14) menunjukkan sikap suka membantu; (10)
memahami perbedaan individu; (11) melakukan komunikasi yang baik di lingkungan tempat
tugasnya; (12) menguasai kelas; (13) menerima pendapat orang lain; dan (14) menampilkan
prilaku mau bekerja sama.
Indikator pengembangan diri bagi guru antara lain (1) mengikuti perkembangan IPTEKS
yang mendukung potensi melalui berbagai kegiatan ilmiah; (2) menterjemahkan buku
pelajaran/karya ilmiah; (3) mengembangkan berbagai model pembelajaran; (4) menulis makalah,
menyusun/menulis diktat pelajaran, menulis modul pelajaran, dan menulis kerya ilmiah populer; (5)
melakukan penelitian ilmiah (action research); (6) menemukan teknologi tepat guna; (7) membuat
40
alat peraga/Media dan menicptakan karya seni; (8) mengikuti pelatihan berakreditasi; (9) mengikuti
pendidikan kualifikasi; dan (10) mengikuti kegiatan pengembangan kurikulum.
Pengembangan profesi guru memiliki indikator khusus yaitu (1) mampu menghasilkan
siswa berprestasi dan berkualitas; (2) mampu menghasilkan tamatan dengan kualitas pemahaman
IPTEKS yang sesuai dengan perkembangan siswa; (3) mampu menghasilkan siswa yang berbudi
pekerti baik; dan (4) mampu membangun beerbagai keunggulan kelas/sekolah. Selama ini
dipahami ada 10 kemampuan dasar guru (1) mengembangkan kepribadian; (2) menguasai
landasan kependidikan; (3) menguasai bahan pengajaran; (4) menyusun program pengajaran; (5)
melaksanakan program pengajaran; (6) menilai hasil dan proses belajar mengajar yang telah
dilaksanakan; (7) menyelenggarakan program bimbingan; (8) menyelenggarakan administrasi
sekolah; (9) berintraksi dengan teman sejawat dan masyarkat; dan (10) menyelenggarakan
penelitian sederhana untuk kepentingan pengfajaran.
Suatu kompetensi ditunjukkan oleh penampilan atau unjuk kerja yang dapat
dipertanggungjawabkan (rasional) dalam upaya mencapai tujuan. Pekerjaan sebagai guru akan
memerlukan jenis kompetensi yang berkaitan dengan tugas dan tanggung jawab sebagai guru.
Misalnya, jenis pekerjaan kedokteran memerlukan kompetensi yang berbeda dengan jenis
pekerjaan pendidikan, jenis pekerjaan bisnis, dan jenis pekerjaan pertanian. Guru yang memiliki
kompetensi profesional akan dapat menyelenggarakan proses pembelajaran dan penilaian yang
menyenangkan bagi siswa dan guru, sehingga dapat mendorong tumbuhnya kreativitas belajar
pada diri siswa. Guru yang profesional mampu berinteraksi (berkomunikasi) secara efisien dan
efektif; menjalin kerja sama dengan instansi lain yang terkait dengan pembelajaran yang akan
diberikan (dalam praktek).
Dalam melaksanakan kegiatan belajar dan mengajar guru yang profesional mampu
mengembangkan media pembelajaran, memilih dan menggunakan sumber belajar, memanfaatkan
sarana dan lingkungan belajar, mengatur program pembelajaran dan jadwal akademik, memilih
dan menetapkan materi kontekstual dengan kebutuhan lapangan kerja, menerapkan strategi
pembelajaran yang lebih menekankan pada kebermaknaan hasil belajar, mengelola kelas
(classroom management), melaksanakan praktek dengan menghubungkan dan menyesuaikan
dengan tuntutan kebutuhan lapangan kerja, mengembangkan alat dan melaksanakan evaluasi
hasil belajar secara menyeluruh (mencakup aspek kognitif, afektif, psychomotorik serta intelektual
skill), memahami karakteristik siswa, memberi layanan bimbingan kepada siswa.
41
Dalam mengembangkan kemampuan profesional, guru dapat membagi perhatian
terhadap proses dan hasil belajar secara profesional, membaca hasil penelitian dan publikasi lain
yang bermanfaat bagi pengembangan diri dan profesinya, melakukan penelitian sederhana (action
research), serta memiliki wawasan global. Dengan demikian, guru yang kompeten adalah guru
yang memiliki pengetahuan yang cukup khususnya berkaitan dengan mata pelajaran yang menjadi
tanggung jawabnya, sikap yang jujur dan sudah menjadi kebiasaannya untuk bekerja keras, dan
keterampilan menyampaikan materi pelajaran dengan menggunakan metode dan media
pendidikan yang tepat untuk melakukan/mengerjakan kegiatan pembelajaran. Kemampuan guru
yang demikian ini memberi gambarn bahwa tidak semua orang bisa jadi guru, dan jabatan guru
bukan lagi alternatif bagi para sarjana non guru yang tidak dapat pekerjaan.
Guru Profesional Menerapkan Model Pembelajaran Aktif Kreatif Efektif dan Menyenangkan (PAKEM)
Model dan proses pembelajaran menurut Sagala (2006:174) akan menjelaskan makna
kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh pendidik selama pembelajaran belangsung. Setiap pengajar
atau pendidik akan alasan-alasan menagapa ia melakukan kegiatan dalam pembelajaran dengan
menentukan sikap tertentu. Rooijakkers (2003:13) mengemukakan bilamana pengajar tidak
mengetahui apa yang sebenarnya yang terjadi dalam pikiran peserta didiknya untuk mengerti
sesuatu, kiranya diapun tidak akan dapat memberi dorongan yang tepat kepada mereka yang
sedang belajar. Para murid akan mudah melupakan pelajaran yang diterimanya, jika pengajar tidak
memberi penjelasan yang benar dan menyenangkan (Sagala, 2006:174).
Dalam pikiran murid tidak terjadi gerak proses belajar, kalau hal baru dalam materi
pelajaran itu disajikan secara tidak jelas. Sejalan dengan hal itu Rooijakkers (2003:15)
menjelaskan bahwa keberhasilan seorang pengajar akan terjamin, jika pengajar itu dapat
mengajak para muridnya mengerti suatu masalah melalui semua tahap proses belajar, karena
dengan cara begitu murid akan memahami hal yang diajarkan. Dengan begitu dalam proses
pembelajaran pengajar harus dapat menggunakan model-model dan pendekatan mengajar yang
dapat menjamin pembelajaran berhasil sesuai yang direncanakan. Model mengajar dan proses
belajar dalam pembelajaran merupakan masalah yang kompleks, karena itu bagi para guru dan
tenaga kependidikan lainnya perlu memperkaya pemahamannya yang berkaitan dengan model
mengajar. Model mengajar menurut Sagala (2006:175) difahami sebagai kerangka konseptual
yang mendeskripsikan dan melukiskan prosedur sistematik dalam mengorganisasikan pengalaman
belajar dan pembelajaran untuk mencapai tujuan belajar tertentu, dan berfungsi sebagai pedoman
bagi perencanaan pengajaran bagi para guru dalam melaksanakan aktivitas pembelajaran.
42
Pembelajaran adalah proses interaksi antara siswa dengan lingkungannya yang dibangun
interaksi secara penuh dengan memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada siswa untuk
berinteraksi dalam proses pembelajaran. Sedangkan belajar merupakan komponen ilmu
pendidikan yang berkenaan dengan tujuan dan bahan acuan interaksi, baik yang bersifat eksplisit
maupun implisit (tersembunyi). Teori-teori yang dikembangkan dalam komponen ini menurut
Sagala (2006:11) meliputi antara lain teori tentang tujuan pendidikan, organisasi kurikulum, isi
kurikulum, dan modul-modul pengembangan kurikulum. Kegiatan atau tingkah laku belajar terdiri
dari kegiatan psikhis dan fisis yang saling bekerjasama secara terpadu dan komprehensif integral.
Sejalan dengan itu, belajar dapat difahami sebagai berusaha atau berlatih supaya
mendapat suatu kepandaian. Dalam implementasinya, belajar adalah kegiatan individu
memperoleh pengetahuan, perilaku dan keterampilan dengan cara mengolah bahan belajar. Para
ahli psikologi dan guru-guru pada umumnya memandang belajar sebagai kelakuan yang berubah,
pandangan ini memisahkan pengertian yang tegas antara pengertian proses belajar dengan
kegiatan yang seamata-mata bersifat hafalan. Belajar merupakan kegiatan aktif siswa dalam
membangun makna atau pemahaman terhadap suatu konsep, sehingga dalam proses
pembelajaran siswa merupakan sentral kegiatan, pelaku utama dan guru hanya menciptakan
suasana yang dapat mendorong timbulnya motivasi belajar pada siswa. Belajar merupakan
tindakan dan perilaku siswa yang kompleks, sebagai tindakan belajar hanya dialami oleh siswa
sendiri dan belajar adalah sebagai suatu proses dimana suatu organisma berubah perilakunya
sebagai akibat dari pengalaman.
Jika guru dalam pembelajaran menggunakan pendekatan PAKEM (1) siswa menjadi aktif
dan kreatif; (2) guru sebagai fasilitator; (3) penerapan azas fleksibilitas; (4) persiapan guru matang;
(5) multi interaksi; (6) latihan dan tugas lebih intensif; (7) sumber belajar bermacam-macam; dan
(8) sudah memenfaatkan alat bantu. Untuk menerapkan model PAKEM guru yang memenuhi
persyaratan adalah (1) guru sebagai fasilitator, pembimbing, konsultan dan kawan belajar; (2)
belajar di arahkan oleh siswa dan belajar secara terbuka, ketat dengan waktu yang terbatas
fleksibel sesuai keperluan; (3) berdasarkan proyek dan masalah; (4) dunia nyata, dan refleksi
prinsip dan survei; (5) perancangan, penyelidikan, penemuan dan penciptaan hasilnya terbuka; (6)
colaboratif dan berfokus pada masyarakat; (7) keanekaragaman yang kreatif; (8) menggunakan
komputer dan interaksi multi media pembelajaran yang dinamis sebagai peralatan semua jenis
belajar; (9) komunikasi tidak terbatas ke seluruh dunia; dan (16) memanfaatkan pakar, penasehat,
kawan sebaya dan diri sendiri untuk menilai unjuk kerja.
43
Implementasi PAKEM dalam peraktek pembelajaran sangat penting untuk sekolah adalah
informasi, khusus contoh-contoh perkembangan yang langsung dari lapangan. Sekolah-sekolah
yang sudah mengimplementasikan PAKEM tentu sekolah yang menggunakan manajemen model
MBS (berdasar potensi sekolah) menyediakan informasi mengenai perkembangan sekolah. Guru
yang profesional pada dasarnya ditentukan oleh attitudenya yang berarti pada tataran kematangan
yang mempersyaratkan willingness dan ability, baik secara intelektual maupun pada kondisi yang
prima. Profesionalisasi harus dipandang sebagai proses yang terus menerus.
Guru dan siswa perlu bekal yang cukup untuk memenuhi kebutuhan manusia modern
mandiri, bekerjasama, berpikir kritis, memecahkan masalah, persaingan internasional
(Globalisasi), belajar lebih efektif/pendalaman, siswa lebih kritis, siswa menjadi lebih kreatif,
suasana dan pengalaman belajar bervariasi, meningkatkan kematangan emosional/sosial,
produktivitas siswa tinggi, dan siap menghadapi perubahan dan berpartisipasi dalam proses
perubahan. Dalam proses pengajaran, intinya adalah belajar para siswa, kadar tingginya kegiatan
belajar banyak dipengaruhi oleh pendekatan dan model belajar mengajar yang digunakan guru
apakah sudah PAKEM atau belum.
Guru Profesional Mengembangkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)
Kurikulum tidak hanya sekedar mempelajari mata pelajaran, tetapi lebih mengembangkan
pikiran, menambah wawasan, serta mengembangkan pengetahuan yang dimilikinya. Ia lebih
mempersiapkan peserta didik atau subjek belajar yang baik dalam memecahkan masalah
individualnya maupun masalah yang dihadapi oleh lingkungannya. Karena itu kurikulum diberi
konotasi sebagai usaha sekolah untuk mempengaruhi anak agar mereka dapat belajar dengan
baik didalam kelas, di halaman sekolah, di luar lingkungan sekolah atau semua kegiatan untuk
mempengaruhi subjek belajar sehingga menjadi pribadi yang diharapkan. Proses pengembangan
kurikuklum ialah kebutuhan untuk menspesifikasi peranan-peranan lulusan yang harus
dilaksanakan dalam bidang pekerjaan tertentu. Pada dasarnya kurikulum dirancang dengan
maksud mengembangkan siswa agar mampu melaksanakan peranan-peranan itu. Setelah
diadakan spesifikasi peranan yang meletakkan batas-batas di sekitar keseluruhan domain dalam
kurikulum tertentu, yang memungkinkan dilakukannya identifikasi tugas-tugas spesifik dalam
lingkup peranan tersebut (Sagala, 2006:232).
Oleh karena itu sekolah sebagai ujung tombak pelaksanaan kurikulum dituntut dapat
menjalin hubungan dengan lembaga lain yang terkait baik lembaga pemerintah maupun swasta.
Misalnya untuk pembekalan kecakapan vokasional sekolah perlu kerja sama dengan perusahaan,
44
dunia industri atau lembaga pendidikan dan latihan. Pada prinsipnya pengelolaan kurikulum pada
sekolah yang menggunakan model manajemen berbasis sekolah membagi peran dan tanggung
jawab masing-masing pelaksana pendidikan di lapangan (dinas pendidikan, pengawas sekolah,
kepala sekolah, guru, dan masyarakat) yang terkait dengan pelaksanaan kurikulum, pembiayaan
dan pengembangan silabus.
Sebelum implementasi kebijakan desentralisasi pemerintahan, beberapa sekolah di
Indonesia sudah melaksanakan model Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) secara mandiri dan
mereka mampu mengatasi banyak masalah-masalah yang berkaitan dengan pengembangan
sekolah secara internal. Sebagian sekolah dapat disebut sebagai pelopor, dan perkembangannya
sebenarnya cukup mengesankan. Sebagian kepala sekolah juga termasuk berani kalau kita
melihat keadaan lingkungan dan paradigma sistem manajemen pendidikan dan birokrasi urusan
pendidikan saat itu. Sagala (2006:17) mengatakan bahwa kemampuan dan ketekunan guru dalam
memecahkan masalah belajar siswanya dengan menggunakan langkah-langkah yang tertuang
dalam rencana pembelajaran, amat penting sebagai upaya yang dapat membantu memecahkan
masalah belajar peserta didiknya.
Inovasi-inovasi pembelajaran kreatif dapat diterapkan di kelas-kelas oleh guru-guru
melangkah menuju praktek-praktek peningkatan kualitas. Namun masih lebih banyak kepala
sekolah yang gamang untuk menerapkan model MBS dan para gurunya melaksanakan tugas
pendidikan cenderung seperti yang sudah berlangsung selama ini yaitu rutinitas belaka. Sekarang,
di beberapa provinsi di Indonesia mulai dapat dilihat kemampuan sebenarnya bagaimana sekolah-
sekolah tersebut mengimplementasikan model MBS karena dukungan yang diberikan dari
Pemerintah Daerah melalui Dinas Pendidikan masing-masing amat bervariasi. Transformasi yang
dilaksanakan beberapa sekolah ada yang luar biasa dan ada yang biasa-biasa saja.
Proses penerapan model MBS tidak dapat disebut baru di Indonesia, karena jika dilihat
dari keterlibatan masyarakat sesungguhnya sudah lama ada. Pelaksanaan manajemen
menggunakan model MBS pada sekolah-sekolah yang lebih progresif sekarang dibuktikan dapat
mengubah kebudayaan dan sistem supaya pengembangannya manajemen sekolah menjadi lebih
efektif dan "sustainable". Bersamaan dalam pelaksanaan model MBS di sekolah juga diterapkan
model Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) yang telah diversifikasi dari kurikulum sebelumnya.
Hal ini sangat dimungkinkan, artinya kurikulum dapat diperluas, diperdalam, dan disesuaikan
dengan keragaman kondisi dan kebutuhan baik yang menyangkut kemampuan atau potensi siswa
dan lingkungannya. Diversifikasi kurikulum diterapkan dalam upaya untuk menampung tingkat
kecerdasan dan kecepatan siswa yang tidak sama. Oleh sebab itu akselerasi belajar dimungkinkan
45
untuk diterapkan, begitu pula remidial dan pengayaan. Kurikulum berbasis kompetensi (KBK)
menurut Sagala (2006:243) adalah kurikulum yang ditujukan untuk menciptakan tamatan yang
kompeten dan cerdas dalam membangun identitas budaya dan bangsanya.
Semua hasil pendidikan merupakan pemilikan pengetahuan dan konsep-konsep keilmuan,
nilai, sikap, dan keterampilan yang terintegrasi, yang dapat digunakan dalam kehidupan
bermasyarakat. Implementasi KBK menuntut kemampuan sekolah untuk mengembangkan silabus
sesuai dengan kondisi dan kebutuhannya, dan penyusunannya dapat melibatkan instansi yang
relevan di daerah setempat, misalnya instansi pemerintah, swasta, perusahaan dan perguruan
tingggi. Pengelolaan Kurikulum Berbasis Kompetensi. Rekonseptualisasi kurikulum nasional yang
diwujudkan dalam Kurikulum Berbasis Kompentensi memiliki empat fokus utama, yaitu (1)
kejelasan kompetensi dan hasil belajar; (2) penilian berbasis kelas; (3) kegiatan belajar Mengajar;
dan (4) pengelolaan kurikulum berbasis sekolah.
Seiring dengan implementasi Kurikulum KBK pada pendidikan dasar dan menengah,
sedikit demi sedikit telah mengkikis keraguan dan kebingungan guru dalam mengimplementasikan
kurikulum. Pada awal implementasi sebagian guru pesimis mampukah ia melaksanakan tuntutan
KBK? Atau beranggapan paling hasil belajarnya ya sama dengan kurikulum terdahulu. Anggapan
itu semakin hilang seiring dengan bertambahnya wawasan dan pemahaman guru terhadap KBK
bagi guru yang sering diskusi dan mendapat kesempatan untuk berbagai penataran, tetapi bagi
guru yang sebaliknya tentu tetap saja membingungkan. Pemilihan model pembelajaran yang tepat
akan sangat menentukan minat dan partisipasi siswa dalam pembelajaran.
Melalui model pembelajaran yang tepat diharapkan siswa tidak hanya dapat pengetahuan,
namun juga memiliki kesan yang mendalam tentang materi pelajaran, sehingga dapat mendorong
siswa untuk mengimplementasikan konsep nilai-nilai ekonomi dalam kehidupan sehari-sehari. Ada
tiga tantangan besar yang dihadapi guru dalam mengimplementasikan KBK, yaitu (1) tatangan
bidang pengelolaan kurikulum (guru sebagai administrator); (2) bidang pelaksanaan pembelajaran;
dan (3) penilaian. Implementasi KBK berimplikasi pada munculnya serangkaian tuntutan yang
harus dipenuhi oleh guru dalam menjalan tugas keprofesionalannya yaitu mampu menganalisis,
menguasai dan menginplementasikan kurikulum dalam bentuk teori dan praktek; menguasai
materi bidang studi yang diajarkan; membuat rencana pembelajaran, memilih dan
mengembangkan materi dengan memperluas dan memperdalam dasar-dasar pengetahuan yang
lebih kuat dan mendasar, memilih dan menggunakan metode pembelajaran yang tepat. Pada
bidang pembelajaran diharapkan guru dapat menentukan model pembelajaran yang tepat
46
sehingga dapat menarik minat siswa terhadap pelajaran. Melalui model yang tepat diharapkan
siswa tidak hanya dapat pengetahuan satu konsep pengetahuan saja.
Namun juga mampu memberikan kesan yang mendalam pada siswa, sehingga dapat
mendorong siswa untuk mengimplementasikan konsep nilai-nilai ilmu pengetahuan yang
dipelajarinya dalam kehidupan sehari-sehari, karena materi pelajaran tersebut sangat relevan
dengan kehidupan masyarakat sehari-hari. Dalam perkembangannya setelah diterbitkan PP No.
19 tahun 2005 maka implementasi KBK yang sudah diterapkan sebelumnya harus melakukan
penyesuaian berkaitan dengan standar yang telah ditetapkan. UUSPN No. 20 tahun 2003 pasal 35
menyatakan standar nasional pendidikan terdiri atas standar isi, proses, kompetensi lulusan,
tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan
yang harus ditingkatkan secara berencana dan berkala.
Dalam menghadapi tantangan dan perubahan khususnya penyesuaian kurikulum model
KBK menjadi KTSP akan sangat tergantung pada profesionalisme guru. Perubahan mendasar
adalah yang tadinya kurikulum menjadi tanggung jawab pemerintah, sekarang berubah menjadi
tanggung jawab sekolah yang disebut Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) adalah
pengayaan dari implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) dalam pembelajaran, hal ini
menuntut adanya reorientasi pembelajaran. KTSP adalah kurikulum operasional yang disusun,
dikembangkan, dan dilaksanakan oleh setiap satuan pendidikan yang sudah siap dan mampu
mengembangkannya. Sejalan dengan konsep KTSP tersebut UUSPN No. 20 tahun 2003 Pasal 36
ayat (1) menyatakan pengembangan kurikulum dilakukan dengan mengacu pada standar nasional
pendidikan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional dan ayat (2) menyatakan Kurikulum
pada semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai
dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik.
Struktur KTSP pada jenjang pendidikan dasar dan menengah tertuang dalam standar isi
yang terdapat dalam PP No. 19 tahun 2005. Adapun muatan KTSP meliputi sejumlah mata
pelajarn yang cakupan dan kedalamannya merupakan beban belajar bagi peserta didik pada
satuan pendidikan. Dalam hal ini guru perlu melakukan reorientasi terhadap perubahan dan
perkembangan kurikulum. Reorientasi tidak hanya sebatas istilah “teaching” menjadi “learning”
namun harus sampai pada operasional pelaksanaan pembelajaran sebagai implementasi dari
KTSP. Penyusunan KTSP merupakan bagian dari kegiatan perencanaan sekolah secara tim dan
kelembagaan. Kegiatannya dapat dalam bentuk rapat pleno sekolah yang dihadiri secara penuh
oleh dewan pendidik sebelum awal semester dimulai. Jika diperlukan dapat mengundang ahli
kurikulum baik yang sumbernya dari perguruan tinggi, pengawas, atau sejawat guru.
47
Implementasi proses pembelajaran harus mengacu pada beberapa prinsip, yaitu berpusat
pada siswa, belajar dengan melakukan, mengembangakan kemampuan sosial, mengembangkan
keingintahuan, imajinasi dan fitrah ber-Tuhan, mengembangkan ketrampilan pemecahan masalah,
mengembangkan kreativitas siswa, mengembangkan kemampuan menggunakan ilmu dan
teknologi, menumbuhkah kesadaran sebagai warga negara yang baik, belajar sepanjang hayat,
dan perpaduan kompetisi, kerjasama dan solidaritas. Dengan demikian KTSP harus
dikembangkan dengan memperhatikan standar kompetensi dan indikator kompetensi sebagai
dasar membuat penilaian penentuan kenaikan kelas dan kelulusan.
Dalam implementasi KTSP asumsi dasar belajar adalah belajar sebagai proses individual,
proses social, menyenangkan, tak pernah berhenti, dan membangun makna (Constructivism).
Konstruktivisme pada dasarnya merupakan sebuah teori tentang bagaimana orang belajar. Teori
Constructivism memandang seseorang sebagai makhluk yang aktif dalam mengkonstruksi ilmu
pengetahuan melalui interaksi dengan lingkungannya. Di dalam konteks pembelajaran, siswa
dipandang sebagai individu yang aktif membangun pemahamannya sendiri dan pengetahuan
dunia sekitarnyanya dengan mengalami sendiri dan merefleksikan pengalaman tersebut.
Proses Constructivism ini dikenal dengan istilah Pembelajaran Aktif Kreatif, Efektif, dan
Menyenangkan (PAKEM). Dalam Konstruktivisme, guru berperan sebagai fasilitator dalam proses
pembelajaran. Ia sebaiknya mengetahui tingkat kesiapan anak untuk menerima pelajaran,
termasuk memilih metode dan teknik yang tepat dan sesuai dengan tahap perkembangan anak.
Dalam kaitannya dengan pembelajaran mata pelajaran tertentu, guru seharusnya mengetahui
hakikat mata pelajaran itu sendiri, hakikat anak, dan cara mengajarkan mata pelajaran tersebut
menurut teori yang diterapkan. Guru yang tidak mengetahui ketiga hal tersebut di atas bagaikan
tidak mempunyai dasar dan tujuan yang jelas dalam mengajar.
Pembelajaran model PAKEM mempunyai paradigma yaitu mengajar – pembelajaran
(Teaching – Learning), penilaian – perbaikan terus menerus (Testing – Continuous improvement),
perkembangan IPTEK, POLITIK, SOSBUD. Perkembangan ilmu pengetahuan semakin lama
semakin cepat, dan teknologi Informasi/sumber belajar sangat beragam. Guru harus dapat
memahami konsep Konstruktivisme yang diimplementasikan pada pembelajaran model PAKEM
dalam kegiatan pembelajaran dan pengajaran. Guru juga harus mampu menarik hubungan antara
Konstruktivisme dan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dalam kegiatan pembelajaran
dan pengajaran.
Memberikan contoh konkret pengajaran bidang studi yang diajarnya dengan
menggunakan teori Konstruktivisme. Beberapa ciri terpenting dari KTSP adalah (1) menganut
48
prinsip fleksibilitas. Setiap sekolah diberi kebebasan menambah empat jam pelajaran tambahan
per minggu, yang bisa diisi dengan apa saja baik yang wajib atau muatan lokal. Namun fleksibilitas
ini mesti diimbangi dengan potensi sekolah masing-masing serta pemenuhan standar isi seperti
digariskan Badan Standardisasi Nasional Pendidikan (BSNP); (2) KTSP dikembangkan melalui
beberapa hal, antara lain sesuai dengan potensi satuan pendidikan, potensi daerah, kondisi sosial
budaya masyarakat setempat, dan peserta didik; (3) guru kreatif dan siswa aktif. Kurikulum 2004
menghendaki guru lebih kreatif, walaupun aktivitas sebagian guru hanya sebatas mengajarkan apa
yang sudah ditetapkan dalam kurikulum. Guru harus bisa "meyakinkan" siswa untuk memberi
feedback dalam setiap pembelajaran. KTSP menggabungkan keduanya; (4) KTSP dikembangkan
dengan menganut prinsip diversifikasi. Dalam kurikulum ini standar isi dan standar kompetensi
lulusan yang dibuat BSNP itu dijabarkan dengan memasukkan muatan lokal, yakni lokal provinsi,
lokal kabupaten/kota, dan lokal sekolah. Dengan demikian, sekolah akan berperan sebagai
makelar kearifan lokal, melalui KTSP diharapkan adanya keseimbangan antara kepentingan
nasional dan kepentingan daerah; (5) KTSP sejalan dengan konsep desentralisasi pendidikan dan
manajemen berbasis sekolah (school-based management); 6) KTSP tanggap terhadap
perkembangan iptek dan seni. Inilah tantangan abad sekarang ini. Tanpa antisipasi cerdas
terhadap perkara ini, kurikulum menjadi tidak mampu mengahadapi teknologi yang serba canggih
ini. KTSP harus berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan dan kepentingan peserta didik
dan lingkungan, relevan dengan kebutuhan dan kehidupan, menyeluruh dan berkesinambungan,
dan mestinya sejalan dengan prinsip belajar sepanjang hayat; dan (7) KTSP beragam dan terpadu.
Walaupun sekolah diberi otonomi dalam pengembangannya.
Ada anggapan bahwa apa pun kurikulumnya, selama guru, sekolah, dan pengembang
kurikulumnya berpikiran tradisional, kurikulum itu tidak akan berdampak besar. Dalam kurikulum
2004 atau Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), siswa dituntut lebih kreatif. Wajar jika mereka
yang belum sempat melaksanakan KBK mendapat kesulitan dalam melaksanakan KTSP.
Kegagalan kurikulum selama ini antara lain karena penyeragaman di seluruh Indonesia, padahal
masing-masing daerah berbeda potensinya, sehingga kurikulum nasional tidak operasional.
Komite sekolah kini harus 'turun gunung' bersama guru dalam mengembangkan kurikulum.
Selama ini guru patuh pada petunjuk teknis dan petunjuk pelaksanaan yang disiapkan
oleh birokrat Depdiknas dan melaksanakan tugas lebih pada rutinitas akademis. Peluang bagi
sekolah untuk mengurus sendiri tidak hanya melalui manajemen sekolah menggunakan model
MBS memang perlu waktu lama, karena selama ini sekolah terbiasa diatur oleh pemerintah.
Aliran konstruktivisme (Constructivism) menawarkan solusi menjadikan suasana belajar secara
49
'berani' dan mendobrak kejumudan kurikulum melalui (1) kurikulum disajikan secara utuh,
menekankan konsep besar, lalu diikuti konsep-konsep kecil. Guru berpegang pada standar
kompetensi, dan tidak terjebak oleh hal-hal kecil, atau keterampilan- keterampilan dasar, atau
kompetensi dasar. Dalam konteks KTSP, pemahaman guru akan standar kompetensi dan standar
isi adalah sebuah niscaya; (2) kegiatan kurikuler mengandalkan sumber-sumber data primer dan
juga materi-materi buatan yang bermakna. Alam sekitar adalah data-data primer yang memiliki
potensi untuk dibermaknakan. Dengan begitu, buku teks tidak lagi menjadi sumber utama
sebagimana terbiasa pada kurikulum tradisional. KTSP tidak mesyaratkan adanya buku teks baru,
bukunya yang ada saja sudah memadai; (3) siswa diperlakukan sebagai 'pemikir' muda yang
belajar merumuskan teorinya sendiri. Keberanian siswa untuk bertanya dan berdebat adalah
indikator keberhasilan belajar. Ini berbeda dengan kelas tradisional yang cenderung menempatkan
siswa sebagai 'botol kosong' untuk diisi informasi oleh guru; (4) guru mengajar secara interaktif
dan komunikatif, yakni dengan kepandaian menerjemahkan lingkungan sekitar sehingga dapat
dipahami siswa. Ini berbeda dari guru tradisional yang cenderung berlagak didaktik dalam
menyebarkan informasi kepada siswa. Kebiasaan guru mengejar target kurikuler sesuai dengan
GBPP tidak sejalan dengan prinsip konstruktif, sebab sebuah informasi belum tentu materi ajar
yang bermakna (meaningful) dan terajarkan (teachable); (5) guru mencari tahu sudut pandang
siswa untuk memahami kadar pengetahuan siswa saat ini untuk dijadikan pijakan bagi pelajaran
yang akan datang. Ini berbeda dari kelas tradisional, di mana guru mencari jawaban yang benar
untuk memvalidasi pembelajaran siswa; (6) siswa bekerja dalam kelompok. Berbeda dari kelas-
kelas tradisional di mana siswa belajar secara mandiri. Justru dalam kelompoklah mereka
bersosialisasi dan berkolaborasi, sehingga secara kolektif memperoleh pencerahan lewat social
reconstructivism; dan (7) penilaian pembelajaran siswa dilakukan secara terintegrasi dalam
pengajaran dan dilakukan lewat observasi guru terhadap proses belajar siswa dalam kelompoknya
dan dengan mencermati portofolio siswa. Mekanisme ini berbeda dengan pendidikan tradisional
yang memisahkan penilaian dari pembelajaran, dan terlembaga secara formal lewat tes.
Penilaian Hasil Belajar
Penilaian hasil belajar idealnya dapat mengungkap semua askpek domain pembelajaran,
yaitu aspek kognitif, afektif dan psikomotor. Sebab siswa yang memiliki kemampuan kognitif baik
saat diuji dengan paper-and-pencil test belum tentu ia dapat menerapkan dengan baik
pengetahuannya dalam mengatasi permasalahan kehidupan (Green, 1975). Penilaian hasil belajar
sangat terkait dengan tujuan yang ingin dicapai dalam proses pembelajaran. Pada umumnya
50
tujuan pembelajaran mengikuti pengklasifikasian hasil belajar yang dilakukan oleh Bloom (1956),
yaitu cognitive, affective dan psychomotor. Kognitif adalah ranah yang menekankan pada
pengembangan kemampuan dan ketrampilan intelektual. Affective adalah ranah yang berkaitan
dengan pengembangan pengembangan perasaan, sikap nilai dan emosi. Sedangkan psychomotor
adalah ranah yang berkaitan dengan kegiatan-kegiatan atau ketrampilan motorik (Degeng: 2001).
Namun ketiga domain pembelajaran itu memang tidak dapat dipaksakan pada semua
mata pelajaran dalam porsi yang sama. Untuk matapelajaran ekonomi misalnya lebih menekankan
pada aspek kognigitive dan affecfetive dibandingkan dengan aspek psychomotor yang lebih
menekankan pada ketrampilan motorik. Fakta menunjukkan bahwa penilaian hasil belajar lebih
menitik beratkan pada aspek cognitive saja. Terbukti dengan tes-tes yang diselenggarakan
disekolah baik lisan maupun tulis lebih banyak mengarah pada pengungkapan kemapuan aspek
cognitive. Laporan hasil belajar yang disampaikan pada orang tua siswa (buku rapor) juga hanya
melaporkan kemampuan cognitive saja. Tuntutan pada KTSP itu penilaian harus mengarah pada
kompetensi siswa, sesuai dengan kompensi tuntutan kurikulum. Seyogyanya tidak ada persoalan
bagi sekolah karena yang diujikan adalah kompetensi dasar.
Kompentensi yang dimaksud pada kurikulum adalah kemampuan yang dapat dilakukan
peeserta didik yang mencakup pengetahuan, ketrampilan dan perilaku. Penilaian harus mengacu
pada pencapaian standar kompetensi sisiwa. Standar kompetensi adalah batas dan arah
kemamuan yang harus dan dapat dilakukan peserta didik setelah mengikuti proses penbelajaran
suatu mata pelajaran tenrtentu (Marpadi: 2003). Sistem penilaian yang diharapkan diterapkan
untuk mengukur hasil belajar siswa menurut kurikum 2004 adalah sistem penilaian yang
berkelanjutan. Dimana untuk mengetahui seberapa jauh peserta didik telah memiliki kompetensi
dasar maka diperlukan suatu sistem penilaian yang menyeluruh dengan mengunakan indikator-
indikator yang dikembangkan guru secara jelas.
Berkelanjutan berari semua indikator harus ditagih, kemudian hasilnya dianalisis untuk
menentukan kompetensi dasar yang telah dimiliki dan yang belum, serta untuk mengetahui
kesulitan peserta didik. Untuk itu perlu dikembangkan berbagai teknik penilaian dan ujian, seperti:
pertanyaan lisan, kuis, ulangan harian, tugas rumah, ulangan praktek, dan pengamatan (Marpadi:
2003). Pengembangan sistem penilaian berbasis kompetensi mencakup beberapa hal, yaitu (1)
standar kompetensi, adalah kemampuan yang harus dimiliki oleh lulusan dalam setiap mata
pelajaran. Hal ini memiliki implikasi yang sangat signifikan dalam perencanaan, metodelogi dan
51
pengelolaan penilaian; (2) kompetensi dasar, adalah kemampuan minimal dalam rangka mata
pelajaran yang harus dimiliki lulusan sekolah; (3) rencana penilaian, jadwal kegiatan penilaian
dalam satu semester dikembangkan bersamaan dengan pengembangan silabus; (4) proses
penilaian, pemilihan dan pengembangan teknik penilaiain, sistem pencatatan dan pengelolaan
proses; dan (5) proses implementasi menggunakan berbagai teknik penilaian.
Penilaian hasil belajar dalam KTSP dapat dilakukan dengan penilaian kelas, tes
kemampuan dasar, penilaian program, dan penilaian lainnya yang relevan. Penilaian kelas dapat
dilakukan dengan ulangan harian, ulangan umum, dan ujian akhir baik untuk kepentingan kenaikan
kelas maupun kelulusan. Mekanisme pelaksanaan ulangan harian tentu dilakukan setelah selesai
proses pembelajaran untuk mengetahui perolehan siswa terhadap kompetensi dasar tertentu.
Ulangan harian dilakukan minimal tiga kali dalam setiap semester berdasarkan soal yang sudah
dipersiapkan guru dalam rencana pembelajaran, selanjutnya guru dapat memberikan tugas-tugas
terstruktur yang berkaitan dengan materi pelajaran yang sedang dibahas.
Tujuan penilaian yang dilakukan guru di kelas dapat di arahkan pada empat hal (1)
keeping track, yaitu untuk menelusuri agar proses pembelajaran anak didik tetap sesuai dengan
rencana; (2) checking-up, yaitu untuk mengecek adakah kelemahan-kelemahan yang dialami anak
didik dalam proses pembelajaran; (3) finding-out, yaitu untuk mencari dan menemukan hal-hal
yang menyebabkan terjadinya kelemahan dan kesalahan dalam proses pembelajaran; dan (4)
summing-up, yaitu untuk menyimpulkan apakah anak didik telah mencapai kompetensi yang
ditetapkan atau belum. Agar tujuan penilaian tersebut tercapai, guru harus menggunakan berbagai
metoda dan teknik penilaian yang beragam sesuai dengan tujuan pembelajaran dan karakteristik
pengalaman belajar yang dilaluinya.
Tujuan dan pengalaman belajar tertentu mungkin cukup efektif dinilai melalui tes tertulis
(paper-pencil test), sedangkan tujuan dan pengalaman belajar yang lain (seperti bercakap dan
praktikum IPA) akan sangat efektif dinilai dengan tes praktek (performance assessment). Demikian
juga, metoda observasi sangat efektif digunakan untuk menilai aktivitas pembelajaran siswa dalam
kelompok, dan skala sikap (rating scale) sangat cocok untuk menilai aspek afektif, minat dan
motivasi anak didik. Oleh sebab itu, guru hendaknya memiliki pengetahuan dan kemahiran tentang
berbagai metoda dan teknik penilaian sehingga dapat memilih dan melaksanakan dengan tepat
metoda dan teknik yang dianggap paling sesuai dengan tujuan dan proses pembelajaran, serta
pengalaman belajar yang telah ditetapkan.
52
Di samping itu, tujuan utama dari penilaian berbasis kelas yang dilakukan oleh guru
adalah untuk memantau kemajuan dan pencapaian belajar siswa sesuai dengan matriks
kompetensi belajar yang telah ditetapkan, guru atau wali kelas. Dari hasil pantauan ini diharapkan
guru dapat mengembangkan sistem portofolio individu siswa (student portfolio) berisi kumpulan
yang sistematis tentang kemajuan dan hasil belajar siswa. Portofolio siswa memberikan gambaran
secara menyeluruh tentang proses dan pencapaian belajar siswa pada kurun waktu tertentu.
Portofolio siswa dapat berupa rekaman perkembangan belajar dan psikososial anak
(developmental), catatan prestasi khusus yang dicapai siswa (showcase), catatan menyeluruh
kegiatan belajar siswa dari awal sampai akhir (comprehensive), atau kumpulan tentang
kompetensi yang telah dikuasai anak secara kumulatif.
Portofolio ini sangat berguna baik bagi sekolah maupun bagi orang tua serta pihak-pihak
lain yang memerlukan informasi secara rinci tentang perkembangan belajar anak dan aspek
psikososialnya sehingga mereka dapat memberikan bimbingan. Hal ini sejalan dengan
pembelajaran konstruktivisme yaitu membangun ketersambungan antara pelajaran sebelumnya
dengan pelajaran selanjutnya. Penilaian dan pembelajaran yang demikian ini hanya mungkin jika
guru mengetahui sudut pandang siswa. Bila siswa bekerja dalam kelompok-kelompok kecil, guru
dan pengembang kurikulum pun berkolaborasi dengan para pemangku peran dalam merumuskan
model penilaian dan pembelajaran. Jadi, siswa, guru, bahkan manajemen sekolah mengamalkan
ajaran social reconstructivism.
Hasil akhir penilaian hasil belajar siswa adalah ujian nasional (UN) atau apapun
istilahnya yang ditentukan pemerintah. Dalam semangat desentralisasi pendidikan, UN penting
demi pemetaan kemampuan, bukan hanya penentu kelulusan siswa. Dilihat dari hak dan otonomi
guru, seharusnya biarkan sekolah menentukan kriteria kelulusan masing-masing siswanya, yakni
dengan menggabungkan hasil UN dengan ujian sekolah masing-masing. Perlu ditegaskan ada
sejumlah fungsi UN, antara lain (1) diagnosis, yakni untuk mengetahui 'penyakit' yang diderita anak
didik untuk menentukan resep yang paling mujarab; (2) diferensiasi, yakni membeda-bedakan
kelompok siswa demi penentuan kebijakan yang layak ditempuh, dan (3) uji kompetensi, yakni
untuk mengetahui sejauh mana materi ajar dikuasai siswa. Fungsi pertama dan kedua selama ini
belum betul-betul dilaksanakan dalam penyelenggaraan UN, sehingga selama ini belum jelas
langkah korektif pemerintah sebagai respons terhadap hasil UN yang sangat beragam pada
kabupaten/kota ke kota, bahkan dari sekolah ke sekolah. Setelah penerapan KTSP maka untuk
keperluan sertifikasi, kinerja, dan bobot hasil belajar yang dicantumkan dalam ijazah tidaklah
53
semata-mata atas dasar penilaian UN pada jenjang akhir sekolah, tetapi harus mencantumkan
informasi lainnya yang menjadi bagian integral dari hasil belajar peserta didik.
.
54
top related