bab ii masjid dan pembiasaan shalat...
Post on 06-Feb-2018
219 Views
Preview:
TRANSCRIPT
11
BAB II
MASJID DAN PEMBIASAAN SHALAT BERJAMAAH
A. M a s j i d
1. Pengertian Masjid
Secara bahasa masjid berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata sajada,
yasjudu sujudan yang berarti membungkuk dengan berkhidmat.1 Fi’il sajada
diberi awalan ma sehingga terjadilah isim makan. Isim makan ini
menyebabkan perubahan bentuk sajada menjadi masjidu, masjid2, yang
berarti tempat sujud atau tempat menyembah Allah SWT.3
Adapun definisi secara istilah antara lain : “masjid adalah tempat yang
dijadikan dan ditentukan untuk tempat manusia mengerjakan shalat jamaah
(tempat yang ditentukan untuk mengerjakan ibadah kepada Allah SWT)”4
Pendapat lain meyebutkan bahwa “masjid adalah rumah Allah yang
agung dan tempat yang mulia untuk beribadah kepada-Nya serta tempat untuk
berdzikir, bersyukur, dan memuji kepada-Nya.”5
A special place is provided for congregational prayer and it is called
the mosque.6
“Sebuah tempat khusus yang disediakan untuk shalat berjamaah dan ia disebut masjid.”
Lukman Hakim Hasibuan menyebutkan bahwa masjid sekurang-
kurangnya mempunyai tiga tinjauan makna yaitu : Pertama, berkaitan dengan
aspek individu adalah terciptanya manusia yang beriman. Kedua, berkaiatan
dengan aspek sosial adalah membentuk umat yang siap menjalankan
1Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al Munawwir, (Surabaya: Pustaka Progessive, 2002), Cet
25, hlm. 610. 2 Sidi Gazalba, Mesjid : Pusaat Ibadat dan Kebudayaan Islam, (Jakarta : Pustaka Al Husna,
1994), Cet. VI, hlm. 118. 3 Moh. E. Ayub, dkk., Manajemen Masjid, (Jakarta : Gema Insani Press, 1996), Cet I, hlm. 1. 4Hasbi Ash Shiddieqy, Pedoman Shalat, (Jakarta : Bulan Bintang, 1975), Cet VIII, hlm. 291. 5Abu Al Hasan bin Muhammad Al Faqih, Saudaraku, Masjid Merindukanmu, terj. Abu
Hanan Dzakiyya dan Athifah Ummu Hanan, (Solo : Pustaka Arofah, 2005), Cet. I, hlm. 82. 6 Mohammed Zafeeruddin, Mosque in Islam, (New Delhi: Qazi Publishers & Distributors,
1996), hlm. 11.
12
kehidupan dalam berbagai situasi atau kondisi yang dihadapi dan mampu
hidup bermasyarakat dalam arti yang luas, berbangsa dan bernegara. Yang
terpenting dalam aspek ini adalah kepribadian (akhlak) sebagai basis dinamik
bangunan sosial yang kokoh. Ketiga, berkaitan dengan aspek fisik-bangunan
adalah sebagai pembuktian ketauhidan, kekokohan jalinan sosial yang
memiliki sikap konstruktif dan produktif.7
The word ‘mosque’ is derived from the Arabic masjid, meaning
literally ‘place of prostration’, and the building it describes serves both as a
house of worship and as a symbol of Islam.8
“Kata ‘mosque’diambil dari (akar kata) Arab yang berarti masjid, secara istilah berarti ‘tempat untuk mengalahkan’ dan (dapat diartikan) sebuah bangunan. (masjid) menggambarkan pelayanan-pelayanan baik sebagai rumah untuk ibadah maupun sebagai sebuah simbol Islam”.
Dari beberapa definisi yang telah disebutkan di atas dapat disimpulkan
masjid adalah sebuah bangunan yang digunakan sebagai tempat untuk
beribadah kepada Allah SWT khususnya shalat berjamaah.
2. Fungsi Masjid
Ketika Rasulullah SAW hijrah ke Madinah, sarana yang pertama
sekali dibangun adalah masjid. Setibanya di desa Quba yang terletak di
pinggir kota Madinah, beliau membangun masjid. Masjid itu dibangun
Rasulullah sebelum beliau mempunyai rumah atau tempat tinggal untuk
dirinya sendiri.9
Kehadiran masjid di tengah-tengah masyarakat muslim merupakan
cermin persatuan dan kesatuan dalam ikatan persaudaraan Islami. Sebab di
tempat itulah setiap individu muslim dapat menempatkan dirinya secara utuh,
baik dalam kapasitasnya sebagai hamba Allah maupun sebagai khalifah Allah.
7 Lukman Hakim Hasibuan, Pemberdayaan Masjid di Masa Depan. (Jakarta : Bina Rena
Pariwara, 2002), Cet. I, hlm. 8 – 9. 8 Martin Frishman dan Hasanuddin Khan (eds), The Mosque, (London: Thames and Hudson,
1994), hlm. 11. 9 Supardi dan Teuku Amiruddin, Manajemen Masjid dalam Pembangunan Masyarakat,
(Yogyakarta : UII Press, 2001), hlm. 2.
13
Keberadaan masjid Quba sebagai masjid yang pertama didirikan umat
Islam menempatkannya pada posisi istimewa. Masjid itu adalah
pengejawantahan dan lambang keberanian kaum perintis dalam
mengemukakan jati dirinya. Ketika orang-orang munafik dari suku Aus dan
suku Khazraj membangun masjid tandingan di dekat masjid Quba -dikenal
dengan sebutan masjid Dhirar atau masjid yang menyesatkan dengan niat
memecah belah umat islam- Allah SWT memperingatkan dalam Al-Qur’an :
ال تقم فيه أبدا لمسجد اسس على التقوى من اول يوم أحق أن تقوم فيه نريطهتالم حباهللا ي ا وورطهتن أن يوحبال يه رج108: التوبه (في(
“Janganlah kamu shalat dalam masjid itu selama-lamanya. Sesungguhnya masjid yang didirikan atas dasar taqwa sejak hari pertama adalah lebih patut kamu shalat di dalamnya. Di dalamnya ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. Dan Allah menyukai orang-orang yang bersih.” (At-Taubat : 108)10
Pada saat Rasulullah memilih masjid sebagai langkah pertama
membangun masyarakat madani, konsep masjid bukan hanya sebagai tempat
shalat atau tempat berkumpulnya masyarakat tertentu, akan tetapi masjid
sebagai pusat pengendalian masyarakat.11
Fungsi utama masjid adalah tempat sujud kepada Allah SWT, tempat
shalat dan tempat beribadah kepada-Nya. Selain itu fungsi masjid adalah :
a. Tempat kaum muslimin beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah SWT.
b. Tempat kaum muslimin beri’tikaf, membersihkan diri, menggembleng batin/keagamaan sehingga selalu terpelihara keseimbangan jiwa dan raga serta keutuhan kepribadian.
c. Tempat bermusyawarah kaum muslimin guna memecahkan persoalan-persoalan yang timbul dalam masyarakat.
d. Tempat kaum muslimin berkonsultasi, mengajukan kesulitan-kesulitan, meminta bantuan dan pertolongan.
e. Tempat membina keutuhan ikatan jamaah dan kegotongroyongan dalam mewujudkan kesejahteraan bersama.
10 Soenarjo, dkk., Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang : Toha Putra, 1995), hlm. 299. 11 Achmad Mubarok, Masjid, Do’a Mustajab dan Shalat Khusyuk, (Jakarta : Bina Rena
Pariwara, 2005), Cet. I, hlm. 3.
14
f. Masjid dengan majelis taklimnya merupakan wahana untuk meningkatkan kecerdasan dan ilmu pengetahuan muslimin.
g. Tempat pembinaan dan pengembangan kader-kader pimpinan umat. h. Tempat menghimpun dana, menyimpan dan membagikannya. i. Tempat melaksanakan pengaturan dan supervisi sosial.12
Selain fungsi-fungsi yang telah disebutkan di atas, fungsi masjid dapat
diklasifikasikan menjadi empat yaitu :
Fungsi Ruhaniah Masjid
Fungsi masjid yang paling utama adalah untuk memotivasi dan
membangkitkan kekuatan ruhaniah dan iman. Suasana yang berlaku di
tempat-tempat peribadatan Islam mendorong diamalkannya ibadah dan
shalat. Islam memerintahkan para pemeluknya untuk shalat lima kali
dalam sehari di masjid, sehingga aktivitas keduniaan disesuaikan dengan
shalat lima waktu di masjid.13
Allah SWT berfirman :
ودا بالغهفي له حبسي هما اسهفي ذكريو فعرت اذن اهللا أن تويفى ب ) 36: النور (واالصال
“Bertasbihlah kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk memuliakan dan disebut nama-Nya dan di dalamnya pada waktu pagi dan petang.” (An-Nur : 36)14
Masjid adalah sebagai manifestasi untuk mengabdi kepada Allah
SWT. Hal ini biasa dilakukan melalui i’tikaf, yaitu memperlakukan fisik
dan roh manusia mukmin dengan pembersihan dan penyucian yang teguh
agar kedudukan dan fungsi masjid tidak diselewengkan, sebagaimana
proklamasi Allah tentang status kepemilikan masjid dan keharusan
berakhlak terhadapnya adalah jelas.15 Sebagaimana firman-Nya :
12 Moh. E. Ayub, dkk., op. cit., hlm 7 – 8. 13 Supriyanto Abdullah (ed.), Masjid : Peran dan Fungsi, (Yogyakarta : Cahaya Hikmah,
2003), Cet. I, hlm. 5 – 6. 14 Soenarjo, dkk., op.cit., hlm. 550. 15 Lukman Hakim Hasibuan, op.cit., hlm. 17.
15
)18: اجلن (وأن المسجد هللا فال تدعوا مع اهللا أحدا
“Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah kepunyaan Allah, maka janganlah kamu menyembah seseorangpun di dalamnya disamping (menyembah) Allah.” (Al-Jin : 18)16
Dewasa ini orang-orang di seluruh dunia berusaha dengan segala
cara untuk memperoleh ketenangan. Harta pun dikeluarkan untuk
memperoleh ketenangan tersebut. Padahal dalam al-Qur’an dinyatakan :
بالقلو ئنطم28: الرعد (اال بذكر اهللا ت(
“Ingatlah hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.” (Ar-Ra’d : 28)17
Shalat adalah amalan utama dan mulia untuk mengingat Allah.
Dengan demikian shalat yang dilakukan di masjid merupakan salah satu
amalan terbaik untuk memperoleh kedamaian dan ketenangan.
Masjid sangat fungsional dalam membina manusia untuk taat dan
patuh sepenuhnya terhadap ketentuan-ketentuan Allah SWT dan Rasul-
Nya. Masjid senantiasa mengingatkan dan mendorong setiap muslim
untuk menjaga dan memelihara dirinya agar tidak tergelincir dari taqwa
kepada Allah SWT.
Masjid Sebagai Pusat Pendidikan dan Kebudayaan
Disamping menjadi tempat untuk beribadah, masjid juga berfungsi
sebagai tempat pengajaran agama dan penerapannya dalam kehidupan. Al-
Qur’an menganggap agama sebagai sesuatu yang dapat diketahui dan
dikomunikasikan dengan bantuan akal.18
Fungsi pendidikan masjid dapat dikatakan sangat luas, baik dari
segi lapisan atau kelompok jamaah yang terlibat dalam proses pendidikan
maupun dari segi kelembagaan pendidikan yang muncul belakangan.
16 Soenarjo, dkk., op.cit., hlm. 985. 17 Ibid, hlm. 373. 18 John L. Esposito, Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern, Terj. Eva Y. N., dkk.,
(Bandung : Mizan, 2001), Cet. I, hlm. 369.
16
Masjid menjadi tempat untuk memberikan pengajaran tentang dasar-dasar
ajaran Islam. Secara kelembagaan, masjid juga memunculkan
kelembagaan madrasah-khan yakni madrasah yang ada di lingkungan atau
di dalam kompleks masjid.19
Segala cita, rasa dan karsa manusia dituangkan menjadi
kebudayaan. Di dalam peran masjid yang terpenting dalam masyarakat
adalah untuk menghidupkan kebudayaan Islam. Kebudayaan Islam
meliputi setiap bidang kehidupan dan ia mencerminkan cara kehidupan
Islam yang lengkap serta memiliki hubungan khusus dan mendasar dengan
pengetahuan yang muncul sejak lahirnya Islam.
Jika dilihat pada masa sekarang banyak masjid yang digunakan
sebagai taman pendidikan al-Qur’an (TPQ).
Fungsi Masjid dalam Bidang Sosial
Masjid sebagai pusat kesatuan sosial muslim seperti digambarkan
oleh Sidi Gazalba sebagai berikut :
1) Masjid adalah pangkal tolak muslim dalam usaha atau pekerjaannya
sehari-hari. Setelah shalat subuh, mereka menuju lapangan pekerjaan
atau usahanya masing-masing. Jadi masjid merupakan pangkal tolak
dari pekerjaan atau kegiatan muslim dalam kehidupan atau kesatuan
sosialnya.
2) Masjid adalah penutup dari pekerjaan atau kegiatan sosial muslim
sehari-hari. Sebelum menuju tempat tidur, mereka melakukan shalat
Isya. Semua cita dan amalan hari itu dikritik dan dikontrol dalam diri
di masjid.
3) Muslim yang rata-rata lima kali sehari terhimpun dalam masjid,
membentuk ikatan dengan sesamanya.20
Melalui masjid masyarakat dapat mengembangkan tradisi
silaturrahmi untuk saling bertukar pikiran, berbagi pengalaman dan
informasi, serta memecahkan masalah-masalah sosial. Silaturrahmi
19 Azyumardi Azra, Paradigma Baru Pendidikan Nasional, (Jakarta : Kompas Media Nusantara, 2002), Cet. I, hlm. 235.
20 Sidi Gazalba, op. cit., hlm. 169 – 171.
17
dipandang sebagai proses interaksi sosial dengan melibatkan individu dan
jamaah. Masjid merupakan cermin sosialisasi nilai-nilai kehidupan yang
dibangun di atas dasar keimanan dan ketaqwaan. Sebab secara teologis
masyarakat meyakininya sebagai tempat berkomunikasi antara hamba
dengan Khaliqnya, tempat mengadu secara transendental, dan tempat
menemukan makna kemanusiaan melalui interaksi dengan sesama
jamaahnya.
Masjid pada hakekatnya memiliki aspek sosial yang merupakan
sub sistem dari bidang keimanan-aqidah yang berperan dalam pembinaan
umat dalam mengemban tugas-tugasnya sebagai hamba Allah. Hakikat
inilah yang semestinya menjadi tuntunan dalam memakmurkan masjid-
masjid kita.21 Masjid merupakan central of social institution bagi umat
Islam, maka peranan masjid menjadi sangat penting dalam pembangunan
masyarakat Indonesia seutuhnya, yaitu material dan spiritual menjadi satu
paket.22 Dengan demikian masjid dapat berfungsi sebagai tempat untuk
memberikan motivasi dalam semua kegiatan masyarakat baik yang
menyangkut pendidikan formal atau informal maupun untuk peningkatan
kesejahteraan masyarakat atau umat dalam mencapai tujuan pembangunan
Indonesia yaitu masyarakat adil makmur dan sejahtera lahir batin.
Fungsi Masjid dalam Bidang Politik
Masjid sebagai basis politik Islam bukanlah merupakan hal baru
atau sesuatu yang bersifat kontemporer. Masjid menjadi pusat aktivitas
politik semenjak hari-hari awal Islam. Nabi Muhammad SAW mengawasi
latihan militer dikalangan sahabatnya dan mengarahkannya di masjid. Dari
tempat itu pula beliau mengirimkan duta, utusan, surat dan mengirimkan
pasukan. Beliau juga menerima tamu dan utusan serta jamaah yang baru
kembali dari tugas berdakwah maupun mengajar untuk beberapa dusun di
luar Madinah. Ghanimah (harta rampasan) perang dibagi secara adil di
21 Lukman Hakim Hasibuan, op.cit., hlm. 37 – 38. 22 Supardi dan Teuku Amiruddin, op.cit., hlm. 137 – 138.
18
masjid. Begitu juga perawatan para mujahid selepas peperangan
diistirahatkan di masjid.23
Fungsi dan peranan masjid sangat penting bagi umat Islam, seperti
yang telah dipaparkan di atas, namun satu hal yang perlu dicatat, fungsi dan
peranan masjid baru akan dapat dirasakan oleh masyarakat manakala umat
Islam, khususnya orang yang suka menjalankan shalat mampu
mentransformasikan nilai-nilai dalam ibadah tersebut dalam kehidupan sosial.
3. Upaya Memakmurkan Masjid
Masjid yang makmur adalah masjid yang berhasil tumbuh menjadi
sentral dinamika umat. Adalah tugas dan tanggung jawab seluruh umat Islam
untuk memakmurkan masjid yang telah mereka dirikan.
Firman Allah SWT :
إنمايعمر مساجد اهللا من أمن باهللا واليوم االخر واقام الصلوة وأتى الزكوة نديتهالم ا منونكوأن ي لئكسى اواال اهللا فع شخي لم18: التوبة (و (
“Hanyalah yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk.” (At-Taubat : 18)24
Yang memakmurkan masjid-masjid Allah hanyalah, yakni tidak lain
kecuali siapa yang beriman dengan benar kepada Allah dan hari kemudian,
serta tetap mendirikan shalat secara tekun dan benar, menunaikan zakat
dengan sempurna dan tidak takut kepada siapapun kecuali kepada Allah.
Maka mereka itulah yang sangat jauh lagi tinggi kedudukannya (yaitu) orang-
orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat serta
23 Ahmad Sarwono, Pesona Akhlak Rasulullah, (Yogyakarta : UII Press, 2002), Cet. I, hlm.
57 – 58. 24 Soenarjo, dkk., op.cit., hlm. 280.
19
melaksanakan secara sempurna petunjuk Allah.25 Orang-orang yang
memadukan rukun-rukun penting diantara rukun-rukun Islam itulah mereka
yang diharapkan mendapatkan petunjuk untuk melakukan apa yang disukai
dan diridhai oleh Allah, yaitu memakmurkan masjid secara inderawi maupun
maknawi, sesuai dengan sunah-sunah Allah dalam perbuatan manusia dan
pengaruhnya terhadap jiwa mereka.26
Beberapa usaha yang diharapkan dapat memakmurkan masjid antara
lain :
a. Kegiatan pembangunan
Bangunan masjid perlu dipelihara dengan sebaik-baiknya, agar
masjid senantiasa berada dalam keadaan bagus, bersih, indah dan terawat.
Kemakmuran masjid dari segi material ini mencerminkan tingginya
kualitas hidup dan kadar iman umat di sekitarnya.
b. Kegiatan ibadah
Meliputi shalat berjamaah lima waktu, shalat Jumat, shalat
Tarawih. Shalat berjamaah ini sangat penting artinya dalam usaha
mewujudkan persatuan dan ukhuwah Islamiyah. Kegiatan spiritual lain
yang sangat baik dilakukan di dalam masjid mencakup berdzikir, berdo’a,
beri’tikaf, membaca al-Qur’an, berinfak, dan bersedekah.
c. Kegiatan keagamaan
Meliputi kegiatan pengajian rutin, khusus ataupun umum,
peringatan hari-hari besar Islam, bimbingan dan penyuluhan masalah
keagamaan dan sebagainya
d. Kegiatan pendidikan
Mencakup pendidikan formal dan informal. Secara formal
misalnya dengan mendirikan sekolah atau madrasah. Secara nonformal
misalnya dengan mengadakan pesantren kilat, pelatihan remaja Islam,
kursus bahasa dan sebagainya.27Pendidikan Islam termasuk sebagai
kegiatan memakmurkan masjid dan ini sesuai prinsip yang dianut umat
25 Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, vol. 5, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), Cet. I, hlm. 551-
552. 26 Ahmad Mushthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, juz. X, (Semarang: Toha Putra, 1987),
Cet. I, hlm. 126. 27 Moh. E. Ayub dkk., op. cit., hlm. 73 –74.
20
Islam bahwa ilmu itu datangnya dari Allah karena itu masjid lebih utama
digunakan untuk mencari ilmu pengetahuan.
B. Pembiasaan Shalat Berjamaah
1. Pembiasaan
a. Pengertian Pembiasaan
Secara Etimologi, pembiasaan berasal dari kata “biasa”. Dalam
kamus Besar Bahasa Indonesia, “biasa” adalah “(1) Lazim atau umum; (2)
Seperti sedia kala; (3) Sudah merupakan hal yang tidak terpisahkan dari
kehidupan sehari-hari”.28 Menurut Armai Arief dengan adanya prefiks
“pe” dan sufiks “an” menunjukkan arti proses. Sehingga pembiasaan dapat
diartikan dengan proses membuat sesuatu/seseorang menjadi terbiasa.29
Sedangkan dalam pengertian yang lain, yang dimaksud pembiasaan adalah
proses penanaman kebiasaan. Kebiasaan adalah pola untuk melakukan
tanggapan terhadap situasi tertentu yang dipelajari oleh seorang individu
dan yang dilakukannya secara berulang-ulang untuk hal yang sama.30
Kartini Kartono dan Dali Gulo memberikan pengertian, bahwa
kebiasaan (habit) adalah tingkah laku yang diperoleh dan dimanifestasikan
secara konsisten atau tindakan yang telah dipelajari dan menjadi mapan
serta relatif otomatis melalui pengulangan terus menerus.31
Senada dengan pengertian yang telah diutarakan tersebut di atas,
M.D. Dahlan mengartikan bahwa yang dimaksud dengan kebiasaan atau
habit adalah suatu cara-cara bertindak yang persistent, uniform, dan
hampir-hampir otomatis (hampir tidak disadari oleh pelakunya).32
28 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 1994), hlm. 113. 29 Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Pers,
2002), hlm. 110. 30 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, op. cit., hlm. 94. 31 Kartini Kartono dan Ghalio, Kamus Psikologi, (Bandung: Pioner Jaya, 1987), hlm. 198. 32 M.A. Dahlan, Prinsip-prinsip dan Teknik Belajar, Analisa Terbentuknya Tingkah Laku,
(Bandung: Jurusan Bimbingan dan Penyuluhan FIP IKIP, 1979), hlm. 7.
21
Sedangkan menurut Dr. Abdullah Nashih Ulwan, pembiasaan adalah
dimensi praktis dalam upaya pembentukan (pembinaan) dan persiapan.33
Dengan melihat beberapa pengertian pembiasaan di atas, dapat
disimpulkan, bahwa pembiasaan merupakan proses penanaman kebiasaan
dan merupakan reaksi otomatis dari tingkah laku terhadap situasi yang
diperoleh dan dimanifestasikan secara konsisten sebagai hasil dari
pengulangan-pengulangan dan belajar. Inti dari pembiasaan adalah adanya
pengulangan terhadap tingkah laku tersebut sehingga menjadi mapan dan
relatif otomatis. Faktor terpenting dalam pembentukan pembiasaan adalah
pengulangan.
b. Pembentukan Kebiasaan
Kebiasaan terbentuk melalui pengulangan dan memperoleh
bentuknya yang tetap apabila disertai dengan kepuasan. Menanamkan
kebiasaan itu sulit dan kadang-kadang memerlukan waktu yang lama.
Kesulitan itu disebabkan pada mulanya seseorang atau anak belum
mengenal secara praktis sesuatu yang hendak dibiasakannya. Apalagi
kalau yang dibiasakan itu dirasakan kurang menyenangkan. Oleh sebab itu
dalam menanamkan kebiasaan diperlukan pengawasan. Pengawasan
hendaknya digunakan, meskipun secara berangsur-angsur peserta didik
diberi kebebasan. Dengan perkataan lain, pengawasan dilakukan dengan
mengingat usia peserta didik, serta perlu ada keseimbangan antara
pengawasan dan kebebasan.34
Pembiasaan yang pada akhirnya melahirkan kebiasaan di tempuh
pula oleh al-Qur’an dalam rangka memantapkan pelaksanaan materi-
materi ajarannya.35 Islam juga mempergunakan kebiasaan itu sebagai
salah satu teknik pendidikan. Lalu ia mengubah seluruh sifat-sifat baik
sebagai kebiasaan, sehingga jiwa dapat menuaikan kebiasaan itu tanpa
33 Abdullah Nashih Ulwan, Tarbiyatul Aulad Fil-Islam, Jilid II, (Bairut: Darussalam li-al-
tiba’ah wa-nasr wal-tauzi, t.th.), hlm. 636. 34 Hery Noer Aly, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), Cet. II, hlm.
189. 35 Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, (Bandung : Mizan, 1994), hlm. 176.
22
terlalu payah, tanpa kehilangan banyak tenaga dan tanpa menemukan
banyak kesulitan.36 Sesorang yang telah mempunyai kebiasaan tertentu
akan dapat melaksanakannya dengan mudah dan senang hati.
Kebiasaan ditempatkan oleh manusia sebagai suatu yang istimewa.
Ia menghemat banyak sekali kekuatan manusia, karena sudah menjadi
kebiasaan yang melekat dan spontan. Di samping mempunyai kedudukan
yang amat penting di dalam kehidupan manusia, ia juga dapat dirubah
menjadi faktor penghalang yang besar apabila ia kehilangan
“penggerak”nya dan berubah menjadi kelambanan yang memperlemah
dan mengurangi reaksi jiwa.37 Pembiasaan hendaknya disertai dengan
usaha membangkitkan kesadaran atau pengertian terus menerus akan
maksud dari tingkah laku yang dibiasakan. Pembiasaan yang pada
awalnya bersifat mekanistis hendaknya diusahakan agar menjadi
kebiasaan yang disertai kesadaran.38
Kebiasaan terbentuk dalam tradisi yang berbeda-beda seiring
dengan tahapan serta proses perkembangan anak. Saat anak tumbuh besar,
maka proses penangkapan serta pengolahan impresi yang diterimanya
menjadi lebih cepat. Dan pada prinsipnya setiap perubahan tatanan
kebiasaan sang anak, dari satu bentuk ke dalam bentuk lain yang telah
diseleksi oleh anak itu sendiri, akan menuntut pemusatan perhatian sang
anak terhadap kondisi yang baru itu, kemudian lambat laun sang anak
akan terbiasa dengannya.
Faktor terpenting dalam pembentukan kebiasaan adalah
pengulangan. Al-Ghazali juga telah menggunakan pengulangan ini dalam
pendidikan agama. Diantara rahmat Tuhan terhadap hamba-Nya ialah
bahwa dilapangkan hatinya untuk beriman sejak awal usianya tanpa
memerlukan argumentasi dan bukti. Hal itu tak dapat dipungkiri, sebab
36 Muhammad Quthb, Sistem Pendidikan Islam, Terj. Salman Harun, (Bandung: PT. Al-
Ma’arif, 1984), Cet. 1, hlm. 263. 37 Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997), Cet 1, hlm.
100 – 101. 38 Hery Noer Aly, op. cit., hlm. 190.
23
semua aqidah orang awam itu, prinsip-prinsipnya diberi melalui
induktrinasi dan peniruan sejati. Kegiatan induktrinasi itu diumpamakan
oleh Al-Ghazali dengan kegiatan menabur benih di lahan pertanian. Dan ia
diumpamakan keyakinan melalui kajian bukti-bukti dengan upaya
pengairan dan pendidikan. Lalu tumbuhlah benih dan membesar, sehingga
berdirilah pohon yang baik dan kuat akarnya serta cabang-cabangnya
menjulang ke langit. Oleh karena itu diperlukan upaya-upaya untuk
menguatkan dan memantapkan sehingga ia mengakar kuat dan tidak
goyah atau goncang di dalam jiwa anak. Hal itu dilakukan dengan cara
memperbanyak membaca al-Qur’an dan tafsirnya, membaca hadits dan
maknanya dan dengan memperbanyak ibadah. Metode yang digunakan
adalah metode yang ditegakkan dengan cara pengulangan.39
Beberapa petunjuk dalam menanamkan kebiasaan:
1) Kebiasaan jelek yang sudah terlanjur dimiliki anak, wajib sedikit demi sedikit dilenyapkan dan diganti dengan kebiasaan yang baik.
2) Sambil menanamkan kebiasaan, pendidik terkadang secara sederhana menerangkan motifnya, sesuai dengan tingkatan perkembangan anak didik.
3) Sebelum dapat menerima dan mengerti motif perbuatan, kebiasaan ditanamkan secara latihan terus menerus disertai pemberian penghargaan dan pembetulan.
4) Kebiasaan tetap hidup sehat, tentang adat istiadat yang baik, tentang kehidupan keagamaan yang pokok, wajib sejak kecil sudah mulai ditanamkan.
5) Pemberian motif selama pendidikan suatu kebiasaan, wajib disertai usaha menyentuh perasaan suka anak didik. Rasa suka ini wajib selalu meliputi sikap anak didik dalam melatih diri memiliki kebiasaan.40
c. Metode Pembiasaan Dalam Pendidikan
Dalam teori perkembangan anak didik, dikenal ada teori
konvergensi, dimana pribadi dapat dibentuk oleh lingkungannya dengan
mengembangkan potensi dasar yang ada padanya. Potensi dasar ini dapat
menjadi penentu tingkah laku (melalui proses). Oleh karena itu, potensi
39 Fathiyah Hasan Sulaiman, Aliran-aliran Dalam Pendidikan: Studi Tentang Aliran
Pendidikan Menurut Al-Ghazali, (Semarang: Dina Utama, 1993), Cet. I, hlm. 48. 40 Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya,
1994), hlm. 160.
24
dasar harus selalu diarahkan agar tujuan pendidikan dapat tercapai dengan
baik. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mengembangkan potensi
dasar tersebut adalah melalui kebiasaan yang baik.
Hal ini sesuai dengan keyakinan Al-Ghazali tentang apa yang
dapat diharapkan dari pendidikan etika, termasuk di dalamnya
pembentukan karaktek yang baik dan pembentukan akhlak mulia yang
kuat sekali. Ia menjelaskan bahwa praktek mendidik adalah kerjasama
antara fitrah dan lingkungannya.41
Di dalam kitab Ihya’ Ulum al-Din, disebutkan: “Budi pekerti itu
akan kuat jika dipraktekkan, dipatuhi dan diyakini sebagai sesuatu yang
baik dan direstui”.42 Dengan kata lain, bahwa latihan terhadap jenis
perilaku manapun akan membuatnya menjadi mantap di dalam diri
manusia sehingga menjadi bagian dari kebiasaan-kebiasaan yang
mengakar pada diri anak didik.
Dalam prakteknya, penggunaan metode pembiasaan ini dilakukan
secara bertahap. Misalnya dalam pembinaan ibadah shalat. Pada tahap
pertama, anak-anak mulai diperkenalkan dengan bentuk kewajiban dalam
syari’ah Islam, yaitu diajak melaksanakan shalat. Cara yang baik anak
diperkenalkan untuk melaksanakan shalat berjamaah, setelah itu anak
mulai diperkenalkan dengan syarat sahnya shalat, rukun dan larangan-
larangannya.43
Anak-anak hendaknya dijauhkan dari pekerjaan-pekerjaan yang
tidak bermakna. Menurut Al-Ghazali, cara yang dapat digunakan adalah
dengan mengisi waktu senggangnya. Dan cara yang paling tepat untuk
mengisi waktu senggangnya itu adalah dengan membiasakannya banyak
membaca khususnya membaca al-Qur’an, hadits, berbagai berita dan
hikayat orang-orang baik.44
41 Fathiyah Hasan Sulaiman, op. cit., hlm. 51. 42 Al-Ghazali, Ihya ‘Ulum al-Din, Juz III, (Beirut: Darul Kutub Ilmiyah, t. th.), hlm. 48. 43 Abdul Hafizh Nur, Mendidik Anak Bersama Rasulullah, (Bandung: al-Bayan, 1997), hlm.
152. 44 Fathiyah Hasan Sulaiman, op. cit., hlm. 60.
25
Pendekatan pembiasaan sesungguhnya sangat efektif dalam
menanamkan nilai-nilai positif ke dalam diri anak didik, baik pada aspek
kognitif, afektif dan psikomotorik. Selain itu pendekatan pembiasaan juga
dinilai sangat efisien dalam mengubah kebiasaan negatif menjadi positif.
Namun demikian pendekatan ini akan jauh dari keberhasilan jika tidak
diiringi dengan contoh tauladan yang baik dari si pendidik.
2. Shalat Berjamaah
a. Pengertian Shalat Berjamaah
Shalat berasal dari kata kerja shalla yang berarti memuja. Jika
dikaitkan dengan tindakan Tuhan kata ini berarti memberkahi, dan jika
dikaitkan dengan tindakan manusia berarti menyembah.45 shalat berasal
dari bahasa arab yaitu dari kata shalla, yushalli, shalaatan yang berarti
doa.46
Secara istilah shalat mempunyai pengertian :
47 الصالة هي أقوال وأفعال خمصوصة مفتتحة بالتكبري خمتتمة بالتسليم
“Shalat adalah beberapa ucapan dan perbuatan tertentu yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam.”
Hasbi Ash Shiddieqy memberikan pengertian yang agak berbeda
dari yang sudah disebutkan di atas. Menurutnya shalat adalah
“menghadapkan hati (jiwa) kepada Allah SWT, menghadap yang
mendatangkan takut, menumbuhkan rasa kebesaran-Nya dan kekuasaan-
Nya dengan penuh khusyuk, ikhlas dalam perkataan dan perbuatan yang
dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam.”48
45 Cyril Glasse, Ensiklopedi Islam (ringkas), Terj. Ghufron A. Mas’adi (ed.), (Jakarta : Raja
Grafindo Persada, 1999), Cet. 2, hlm. 361. 46 Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, (Bandung : Sinar Baru Algesindo, 1998), Cet. 32, hlm 63. 47 Zainuddin bin Abdul Aziz, Fath Al Mu’in, (Semarang : Toha Putra, t.th), hlm. 3. 48 Hasbi Ash Shiddieqy, op. cit., hlm. 68.
26
Prayer is worship of God. It is obligatory for the believer to pray
five times a day. These prayers are performed in mosques in
congregation.49
“Shalat adalah menyembah Tuhan. (Shalat) adalah kewajiban bagi orang beriman untuk dilakukan lima kali sehari. Shalat-shalat ini dilaksanakan di masjid secara jamaah.”
Adapun “shalat berjamaah adalah shalat yang dilakukan oleh dua
orang atau lebih, seorang diantaranya menjadi imam dan yang lain
menjadi makmum.”50
Apabila dua orang bersama-sama melakukan shalat dan salah
seorang diantara mereka mengikuti yang lainnya, maka keduanya
dinamakan shalat berjamaah. Orang yang diikuti di depan disebut imam,
dan orang yang mengikuti di belakang disebut makmum.51
Dalam pengertian lain disebutkan
The salat al-Jama’a is conducted by an imam who takes up a
position before the front row, or, if there are only two individuals present
besides him, between the two or so that one is on his right and the other
behind him.52
“Shalat berjamaah adalah perbuatan yang dipimpin oleh seorang imam yang berada sebelum barisan depan, atau jika hanya ada dua orang berada di sebelahnya, diantara dua atau satu di kanannya dan yang lainnya di belakangnya.”
Dari beberapa pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
shalat berjamaah adalah shalat yang dikerjakan oleh dua orang atau lebih
secara bersama-sama salah seorang diantara mereka menjadi pemimpin
49 Maulana Wahiduddin Khan, Principles of Islam, (New Delhi: Goodword Books, 1998),
Cet. I, hlm. 108. 50 Asjmuni Abdurrahman, Shalat Berjamaah, (Yogyakarta : Suara Muhammadiyah, 2003),
hlm I. 51 Taufik Abdullah, dkk., (eds.), Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, (Jakarta : PT. Ichtiar Baru
Van Hoeve, t.th.), hlm. 39. 52 E.J. Brill’s, First Encyclopaedia of Islam 1913 – 1936, (New York : Leiden, 1987), hlm.
101.
27
shalat, yang disebut sebagai imam dan yang lainnya mengikuti imam dan
disebut sebagai makmum dengan menghadapkan hati kepada Allah SWT
secara khusyuk dan ikhlas dan sebaiknya dilaksanakan di dalam masjid.
b. Dasar Perintah Shalat Berjamaah
1) Dasar Perintah Shalat dan shalat khusuk
Shalat merupakan ibadah pertama yang diwajibkan dalam
Islam setelah mengucapkan dua kalimat syahadat. Adapun ayat yang
menegaskan kewajiban shalat, diantaranya :
) 56: النور . (واقيموا الصلوة واتوا الزكوة واطيعوا الرسول لعلكم ترحمون
“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatlah kepada rasul supaya kamu diberi rahmat.”( An-Nur : 56)53
Shalat yang wajib dilaksanakan oleh setiap orang Islam
sebanyak lima kali dalam sehari semalam. Itu artinya bahwa waktu
shalat telah ditentukan sebagaimana firman Allah SWT :
) 103: النساء ( الصلوة كانت على المؤمنين كتبا موقوتا إن
“Sesunggunhya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (An-Nisa : 103)54
Shalat merupakan penghubung antara seorang hamba dengan
Rabbnya dan merupakan bukti kecintaan hamba kepada Rabbnya.
Oleh karena itu kekhusyukan dalam shalat sangat diperlukan.
Firman Allah SWT.
)2-1: املؤمنون . (الذين هم فى صالتهم خاشعون. قد أفلح المؤمنون
“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyuk dalam shalatnya.” (Al Mukminun : 1-2).55
53 Soenarjo, dkk., op.cit., hlm. 554. 54 Ibid, hlm. 138. 55 Ibid., hlm. 526.
28
Kekhusyukan dalam shalat akan berpengaruh pula pada
khusuknya dalam kehidupan insan yang melakukannya. Yang
dimaksud khusyuk dalam shalat adalah mampu menjaga diri dari
perbuatan keji dan munkar dengan mewujudkan perilaku-perilaku
terpuji sebagai bukti nyata dari pernyataan-pernyataan yang dibaca
sewaktu shalat.56
2) Dasar Perintah Shalat Berjamaah
Allah telah mewajibkan kita untuk shalat. Melaksanakannya
pada waktu yang telah ditetapkan, serta dilakukan dengan khusyuk.
Selanjutnya dalam pelaksanaanya, shalat juga dianjurkan untuk
dilakukan secara berjamaah.
Firman Allah SWT.
ناكعيالر عا موكعاركوة وا الزوأتلوة وا الصوماقي43: البقرة (و(
“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku’.” (Al-Baqarah : 43)57
Melalui ayat ini Allah SWT memerintah agar shalat
dilaksanakan secara berjamaah. Sebab, ketika shalat dilaksanakan
secara berjamaah, semua jiwa bersatu memanjatkan doa dan mengadu
kepada Allah SWT. Di samping itu jamaah bisa pula membina adanya
saling pengertian antar kaum muslimin. Sebab ketika mereka
berkumpul tentunya akan membicarakan hal-hal yang seharusnya
dicegah, dan bermusyawarah untuk hal-hal yang bermanfaat di
kalangan mereka. Allah SWT sengaja mengungkapkan pengertian
shalat dengan kata ruku’ agar berbeda dengan kebiasaan shalat yang
56 Hembing Wijayakusuma, Himah Shalat : Untuk Pengobatan dan Kesehatan, (Jakarta :
Pustaka Kartini, 1997), Cet. III, hlm. 181. 57 Soenarjo, dkk., op. cit., hlm. 16
29
biasa dilakukan kaum Yahudi sebelum Islam. Ketika itu shalat mereka
tidak memakai ruku’.58
Dalam Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Abi
Hurairah disebutkan :
قال ع لمسه وليلى اهللا عول اهللا صسة أن رريرأبى ه ن:ده وبي فسىن الذيطب فيبح رأن أم تممه لقدذ حؤالة فيبالص رأم ثم نطب رأم ا ثمله الفأخ ثم اسالن مؤال فيجال فأ رإلى رجرحق مهتويب همليرواه . (ع
59 ). البخارى
Dari Abi Hurairah sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: “Demi jiwaku yang berada dikekuasaan-Nya sungguh aku ingin menyuruh untuk mengumpulkan kayu bakar kemudian aku perintah untuk menegakkan shalat dan adzan baginya kemudian aku suruh seorang laki-laki untuk mengimami jamaah lalu aku gantikan dia untuk menghadapi orang-orang (yang meninggalkan shalat berjamaah) lantas aku bakar rumah-rumah mereka beserta orang-orang yang ada di dalamnya.” (HR. Bukhari).
Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum shalat
berjamaah. Jumhur ulama berpendapat bahwa hukumnya sunnah atau
fardhu kifayah. Golongan ulama dzahiriyah berpendapat hukumnya
fardhu atau wajib bagi setiap orang mukallaf. 60
Islam sangat mengajurkan agar syiar-syiar agama dilakukan
secara berjamaah, sehingga mereka bisa saling bahu membahu dalam
mengerjakannya. Oleh karena itu, kebiasaan shalat berjamaah harus
digalang setiap masjid oleh setiap muslim di sekitarnya.
58 Ahmad Mushthafa Al Maraghi, Tafsir Al Maraghi, Juz. I, (Semarang : Toha Putra, 1992),
Cet. II, hlm. 179. 59 Abu Abdillah Muhammad Ismail Al Bukhari, Shahih Bukhari, Juz I, (Beirut : Dar Al Fikr,
1981), hlm. 158. 60 Abi Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ahmad ibnu Rusydi al-Qurthubi,
Bidayat al-Mujtahid wa nihayat al-Muqtashid, Juz. 2, (Beirut: Dar al-Kotob al-Ilmiyah, 1996), Cet. I, hlm. 273.
30
c. Keutamaan Shalat Berjamaah
Sebagian karunia Allah SWT pada hamba-Nya adalah memberikan
pahala yang berlimpah kepada orang yang melaksanakan shalat
berjamaah. Di antara keutamaan shalat berjamaah adalah sebagai berikut :
1) Shalat berjamaah lebih utama dibandingkan dengan shalat sendirian
dengan dua puluh tujuh derajat. Hadits Nabi Muhammad SAW yang
diriwayatkan Bukhari dari Abdullah bin Umar :
صالة : عن عبد اهللا بن عمر أن رسول اهللا صلى اهللا عليه وسلم قال 61 )رواه البخارى (سبع وعشرين درجة الجماعة تفضل صالة الفذ ب
Dari ‘Abdillah bin Umar sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda “Shalat berjamaah melebihi shalat sendirian dengan dua puluh tujuh derajat.” (HR. Bukhari)
2) Shalat sunah qabliyah, sunah ba’diyah dan berdzikir waktunya
melingkupi shalat fardlu. Biasanya dengan shalat berjamaah
menjadikan mudah melaksanakan amalan-amalan pengiring tersebut.
3) Shalat berjamaah adalah kesempatan bagus untuk belajar mendengar
bacaan Iman yang tartil dan sesuai tajwid.
4) Shalat berjamaah merupakan sarana mendisiplinkan diri dan
mengontrol pribadinya serta berlatih untuk taat.
5) Shalat berjamaah akan membuat seorang muslim memperhatikan diri
dan penampilannya serta kebersihan pakaiannya yang demikian itu
karena ia berkumpul dengan orang banyak dikala siang maupun
malam.
6) Shalat berjamaah merupakan kesempatan besar untuk saling mengenal
dan beramah tamah sesama muslim.
61 Abu Abdillah Muhammad Ismail Al Bukhari, loc. cit.
31
7) Mensyi’arkan agama Allah.62
Selain mempunyai keutamaan-keutamaan sebagaimana yang telah
disebutkan di atas, shalat berjamaah juga mempunyai dimensi psikologis
dan nilai-nilai terapeutik.
Dimensi psikologis dan nilai terapeutik shalat berjamaah antara
lain :
1) Aspek demokratis
Aspek psikologis pertama shalat berjamaah adalah aspek demokratis.
Hal ini terlihat dari berbagai aktivitas yang melingkupi shalat
berjamaah itu sendiri, antara lain :
(a) Memukul kentongan atau bedug.
(b) Mengumandangkan Adzan.
(c) Melantunkan Iqamat.
Untuk ketiga hal di atas boleh dilakukan oleh siapa saja, namun
tentunya harus mengerti kesepakatan atau aturan di daerah
tersebut. Ini berarti Islam sudah menerapkan bahwa kedudukan
manusia sama, tidak dibedakan berdasarkan berbagai atribut
kemanusiaan.
(d) Pemilihan atau pengisian shaf.
Pada saat seseorang masuk ke masjid, siapapun ia memperoleh hak
di depan atau shaf pertama. Dengan kata lain siapa yang datang
dahulu maka boleh menempati tempat yang paling terhormat yaitu
di depan.
(e) Proses Pemilihan Imam.
Shalat berjamaah harus ada yang menjadi imam dan makmum
meski itu hanya dua orang. Apabila diperhatikan seolah-olah ada
suatu musyawarah untuk memilih imam (pemimpin dalam shalat)
yang dilakukan di masjid.
62 Ahmad Sarwono, Masjid Jantung Masyarakat, (Yogyakarta : ‘Izzan Pustaka, 2003), Cet I,
hlm. 57 – 58.
32
2) Rasa diperhatikan dan berarti
Setelah selesai shalat jamaah mempunyai kebiasaan untuk bersalaman
dengan jamaah yang lain. Hal ini menunjukkan bahwa ia berhak untuk
menyapa lingkungannya.
3) Perasaan kebersamaan
Aspek kebersamaan pada shalat berjamaah mempunyai nilai
terapeutik, dapat menghindarkan seseorang dari rasa terisolir, tidak
dapat bergabung dalam kelompok, tidak diterima atau dilupakan. Ia
juga mempunyai efek terapi kelompok (group therapy), sehingga
perasaan cemas, terasing, takut akan hilang. Di dalam kelompok,
seseorang dapat merasakan adanya universalitas.
4) Tidak ada jarak personal (personal space)
Salah satu kesempurnaan shalat berjamaah adalah lurus dan rapatnya
barisan atau shaf para jamaahnya. Ini berarti tidak ada jarak personal
antara satu dengan lainnya. Masing-masing berusaha untuk
mengurangi jarak personal, bahkan kepada mereka yang tidak dikenal,
namun merasa ada satu ikatan yaitu ikatan aqidah.
5) Terapi lingkungan
Salah satu kesempurnaan shalat adalah dilakukan secara berjamaah
dan lebih utama lagi dilakukan di masjid. Masjid dalam Islam
mempunyai perananan yang cukup besar. Masjid bukan sebagai pusat
aktivitas beragama dalam arti sempit namun sebagai pusat aktivitas
umat sehingga shalat berjamaah di masjid ini mengandung unsur terapi
lingkungan.
6) Pengalihan perhatian
Melakukan shalat berjamaah di masjid diharapkan akan mengalihkan
perhatian seseorang dari kesibukan yang sudah menyita segala energi
yang ada dalam diri seseorang. Lingkungan masjid akan memberikan
suasana relaks dan tenang.
33
7) Melatih saling ketergantungan (interdependency)
Shalat berjamaah yang utama dilakukan di masjid atau mushalla dan
hal ini mengajarkan nilai-nilai seperti saling membutuhkan atau
ketergantungan satu jamaah dengan jamaah lainnya.
8) Membantu pemecahan masalah (problem solving)
Sekarang ini sudah banyak para takmir masjid menyelenggarakan
pengajian pendek yang lebih dikenal kultum (kuliah tunjuh menit).
Tentunya salah satu pokok pembahasan adalah mengenai
permasalahan manusia, sehingga hal ini akan membantu pemecahan
masalah. 63
Salah satu warisan anatomis dahsyat yang membuat orang merasa
perlu membentuk kelompok adalah neokorteks, lapisan paling atas pada
otak yakni bagian yang memberi kemampuan berpikir. Neokorteks akan
makin “membesar” sebanding dengan besarnya kelompok yang mampu
dibentuk. Maka shalat berjamaah akan membangun kecerdasan sosial
manusia, melalui peningkatan neokorteks yang memberi dan
meningkatkan kemampuan berpikir serta kemampuan bersosialisasi dan
bersinergi. Suatu perintah untuk meningkatkan neokorteks langsung dari
Allah SWT melalui Rasulullah melalui shalat berjamaah.64
d. Tata Cara Shalat Berjamaah
Dalam tata cara shalat berjamaah ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan :
1) Imam
Imam adalah pemimpin dalam shalat berjamaah. Untuk
menjadi seorang imam harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
(a) Berakal. Hal ini jelas sebab tidak ada shalat dan tidak ada ibadah
bagi orang gila.
(b) Baligh.
(c) Adil (baik)
63 Sentot Haryanto, Psikologi Shalat, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 117 – 147. 64 Ary Ginanjar Agustian, ESQ : Berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam, (Jakarta :
Arga, 2001), hlm. 212 – 213.
34
(d) Baik bacaan al-Qur’annya65
Selain syarat-syarat di atas, ada beberapa hal yang juga harus
diperhatikan dalam menetapkan imam masjid yaitu :
Hendaknya orang yang sehat dan akidahnya kuat serta giat melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar. Hendaknya orang yang cermat berfikir, berpengalaman luas dan
mengenal baik lingkungannya. Hendaknya mengerti dan memahami serta melaksanakan sumber
pokok ajaran Islam yaitu al-Qur’an dan as Sunnah. Hendaknya orang yang fasih membaca al-Qur’an dan mengetahui
ketentuan-ketentuan tajwid. Hendaknya orang yang berwibawa. Hendaknya berpakaian rapih.66
Mengenai urutannya adalah yang lebih mahir membaca al-
Qur’an, kemudian yang lebih mengerti tentang sunnah, kemudian yang
lebih awal masuk Islam, kemudian yang lebih tua umurnya.67
Laki-laki boleh menjadi imam bagi laki-laki dan perempuan
dan perempuan hanya boleh menjadi imam bagi sesama perempuan,
tidak boleh bagi laki-laki.68
2) Makmum
Makmum adalah orang yang mengikuti imam. Makmum yang
akan shalat di belakang imam harus berniat mengikuti shalat imam.
Gerakan-gerakan makmum dalam shalat berjamaah, mulai dari
takbiratul ihram sampai salam harus selalu mengikuti gerakan-gerakan
imam dan tidak boleh mendahuluinya.
65 Muhammad Jawad Mughniya, Fiqih Ja’fari, Terj. Syamsuri Rifa’i dan Abu Zainab AB.,
(Jakarta : Lentera, 1996), Cet. 2, hlm. 208 – 209. 66 Nana Rukmana D.W, Masjid dan Dakwah, (Jakarta: Al Mawardi Prima, 2002), Cet I, hlm.
145 – 146. 67 Ahmad Sarwono, op. cit., hlm. 60. 68 Muhammad Jawad Mughniyah, loc. cit.
35
Sebagaimana hadits riwayat Muslim dari Anas bin Malik:
إنما . : قال رسول اهللا صلى اهللا عليه وسلم : عن أنس بن مالك قال فإذا كرب فكربوا وإذا سجد فاسجدوا وإذا رفع جعل االمام ليؤمت به اهللا ملن محده فقولوا ربنا ولك احلمد وإذا صلى فارفعوا وإذا قال مسع
69 )رواه مسلم(أمجعون قعودا قاعدا فصلواDari Anas malik ia berkata Rasulullah SAW bersabda:“Sesungguhnya seseorang dijadikan imam adalah untuk diikuti, maka apabila bertakbir, bertakbirlah kamu, dan apabila ia bersujud, bersujudlah kamu, apabila diangkat kepalanya, angkatlah kepalamu, dan apabila ia membaca Sami’allahuliman hamidah, bacalah Rabbanaa wa lakal hamdu, dan apabila ia shalat dengan duduk, maka kamu semua dengan duduk.” (HR. Muslim)
3) Pengaturan Shaf
Apabila makmum hanya satu orang laki-laki, maka ia berdiri di
sebelah kanan imam agak ke belakang, dan jika satu orang perempuan,
maka ia berdiri di belakang imam, apabila makmumnya dua orang atau
lebih, maka makmum berdiri di belakang imam.70
Apabila seorang perempuan mengimami makmum perempuan dua atau lebih, maka imam berada pada shaf pertama dan ditengah-tengahnya. Jika makmum terdiri dari laki-laki, anak-anak dan perempuan maka laki-laki menempati shaf bagian depan, kemudian shaf anak-anak dan yang di belakang adalah shaf untuk perempuan.71
4) Masbuq
Makmum masbuq ialah makmum yang tidak mendapati
kesempatan yang cukup untuk membaca fatihah bersama imam.
Dalam hal ini ada beberapa ketentuan :
Jika ia mendapati imam sedang ruku’ dan terus mengikutinya,
maka sempurnalah satu rakaat baginya meskipun tidak sempat
membaca fatihah.
69 Imam Muslim, Sahih Muslim, juz. 1, (Indonesia: Daru Ihya’, t.th), hlm. 175. 70 Asjmuni Abdurrahman, op.cit., hlm. 56. 71 Hasbi Ash Shiddieqy, op.cit., hlm. 402.
36
Jika mendapati imam telah melakukan ruku’ maka tidak
sempurnalah satu rakaat baginya dan ia harus mengulangi satu
rakaat itu setelah imam salam.
Jika mendapati imam sedang sujud maka langsung takbiratul ihram
lalu mengikuti sujud bersama imam. Hadits riwayat Abu Dawud
dari Abu Hurairah
إذا جئتم . : قال رسول اهللا صلى اهللا عليه وسلم : عن أبى هريرة قال وحنن سجود فاسجدوا وال تعدوها شبئا ومن ادرك الركعة إىل الصالة 72 )رواه أبى داود (الصالة فقد ادرك
Dari Abu Hurairah ia berkata Rasulullah SAW bersabda: “Jika kamu datang untuk shalat (bersama kami) dan kami sedang sujud maka sujudlah dan jangan menghitungnya menjadi satu rakaat dan barang siapa mendapat ruku’ maka ia dihitung mendapat shalat satu rakaat”. (HR. Abi Dawud).
Jika mendapati imam sedang sujud maka langsung takbiratul ihram
lalu mengikuti sujud bersama imam.
Jika mendapati imam pada akhir shalat, maka langsung takbiratul
ihram dan duduk mengikuti imam meskipun tidak dihitung satu
rakaat.73
C. Memakmurkan Masjid Melalui Kebiasaan Shalat Berjamaah
Salah satu artefak peradaban Islam ialah masjid. Masjid, sebagaimann kita
semua tahu bahwa ia merupakan sebuah bangunan fisik yang digunakan untuk
beribadah kaum muslimin kepada Allah dan dianggap tempat suci bagi umat
Islam. Seseorang dapat mengatakan ada atau tidak adanya peradaban Islam di
suatu tempat hanya dengan mengetahui pernah berdiri masjid atau tidak. Dalam
kerangka ini, masjid dipandang murni sebagai sebuah simbol peradaban umat
Islam. Pendirian masjid secara fisik adalah manifestasi keimanan seorang hamba-
72 Abi Dawud Sulaiman, Sunan Abi Dawud, Juz. 1, (Beirut: Dar al-Fikr, t. th.), hlm. 236. 73 Ridwan Nasir dan Hamim, Pedoman Shalat Lengkap. (Surabaya: Anika Bahagia, 1997),
hlm. 98-99.
37
dalam bentuk komunal dan disepakati secara bersama-untuk mewujudkan sebuah
tempat yang berfungsi sebagai mediator dalam rangka mendekatkan diri kepada
Sang Pencipta nan Maha Perkasa.74 Masjid tidak samata-mata merupakan realitas
pelaksanaan kewajiban manusia mukmin tetapi mengandung muatan teoritik yang
integral dengan proses pencapaian kedekatan pada-Nya. Di sinilah kaitan erat
shalat dengan masjid dan kita imani sebagaimana dalam mukjizat Rasulullah Saw
melaksanakan perjalanan isra mi’raj.
Manusia membutuhkan masjid untuk mengekspresikan cita rasa
keagamaannya (taste of religious) dan sebaliknya masjid membutuhkan manusia
dengan cara yang berbeda. Masjid membutuhkan manusia untuk
memakmurkannya karena mamiliki implikasi yang bersifat simbiosis mutualisme,
saling menguntungkan dan bukan saling merugikan.
Salah satu jalan untuk menghidupkan ghirah keberislaman adalah dengan
memberdayakan masyarakat muslimnya untuk saling bersatu padu dalam ikatan
jamaah yang solid. Dan hal itu dapat dimulai dengan memakmurkan masjid,
khususnya melalui shalat berjamaah.
Banyaknya jamaah yang melaksanakan shalat berjamaah menunujukkan
masjid itu ramai dan makmur. Shalat berjamaah juga merupakan salah satu
penanda adanya dinamika masjid. Tanpa adanya kegiatan shalat jamaah, shaf-shaf
masjid bukan saja akan sepi dari jamaah melainkan juga dapat berubah fungsinya.
Karenanya shalat berjamaah ini harus digalang dan ditegakkan di setiap masjid
oleh setiap muslim disekitarnya75 Keadaan masjid mencerminkan keadaan umat
Islam. Makmur atau sepinya masjid sangat bergantung pada mereka. Apabila
umat Islam rajin beribadah ke masjid, maka makmurlah tempat ibadah itu. Tetapi
apabila mereka enggan dan malas beribadah ke masjid, maka sepi pulalah
baitullah tersebut.
Shalat adalah kecintaan untuk memiliki kontak dengan Allah SWT,
berdoa kepada-Nya dan memohon pertolongan dari-Nya. Islam lalu merubah
kecintaan itu menjadi tingkah laku tertentu yang mempunyai cara-cara dan batas-
74 A. Bachrun Rifa’i dan Moch. Fakhruroji, Manajemen Masjid: Mengoptimalkan fungsi sosial ekonomi masjid, (Bandung: Benang Merah Press, 2005), Cet 1, hlm. 154.
75 Moh. E. Ayub, dkk., op.cit., hlm. 19 – 20.
38
batas tertentu. Seterusnya kecintaan itu disusun di dalam waktu-waktu tertentu
pula.76 Shalat adalah manifestasi iman dan taqwa kepada Allah SWT dalam
bentuk empirik dan menjadi sangat utama dilaksanakan di masjid. Shalat dan
masjid adalah satu kesatuan iman dan taqwa. Lima kali sehari umat Islam
dianjurkan untuk mengunjungi masjid guna melaksanakan shalat fardhu lima
waktu.
Nilai dan kelezatan shalat berjamaah di dalam masjid sangat berbeda
dibandingkan dengan di tempat-tempat lain. Masjid yang memang berfungsi
sebagai tempat ibadah memberikan suasana yang mendukung ketenangan dan
kekhusyukan shalat berjamaah. Hati mereka yang menunaikan shalat seakan
sedemikian dekat dengan sang Khaliq.77
Shalat adalah tujuan teragung dari membangun masjid. Keutamaan masjid
bagi tiap-tiap mukmin adalah menunaikan shalat sebagai tujuan pokok hubungan
manusia dengan masjid. Pembentukan dan pembinaan tiap-tiap pribadi mukmin
mencapai tingkat gemar shalat dalam masjid juga mengokohkannya menjadi
anggota masyarakat yang terbina melalui shalat berjamaah di masjid.78 Untuk
mencapai tingkat gemar shalat berjamaah di masjid tentunya berawal dari sebuah
kebiasaan.
Antara memakmurkan dan pembentukan jamaah masjid terdapat saling
hubungan dan saling pengaruh yang mesra. Kebijaksanaan dalam kedua hal ini
terutama bergantung pada pengurus. Sebuah kebiasaan tidak terwujud secara tiba-
tiba. Ia digerakkan oleh individu yang berkembang pada sekumpulan orang atau
ia digerakkan oleh sekumpulan orang yang berkembang pada orang banyak.
Demikian pula memakmurkan masjid berasal dari gerakkan pengurus. Bergantung
dari kebijaksanaan penguruslah bagaimana menanamkan kebiasaan itu pada
jamaah.79 Karena pengurus masjid merupakan lokomotif atau motor yang
menggerakkan umat untuk memakmurkan masjid.
76 Muhammad Quthb, Sistem Pendidikan Islam, Terj. Salman Harun, (Bandung : PT. Al-
Ma’arif, 1984), Cet 1, hlm. 368. 77 Moh. E. Ayub, dkk., op.cit., hlm. 20. 78 Lukman Hakim Hasibuan, op. cit., hlm. 45 – 46. 79 Sidi Gazalba, op.cit., hlm. 369.
39
Dalam tujuan untuk kembali mengikat hubungan jamaah dengan masjid,
pengurus harus menjalankan usaha yang bersifat serba tetap. Usaha ini dilakukan
secara berencana dan sistematik, yang semakin lama semakin giat. Biasanya,
masjid hanya ramai dikunjungi waktu shalat jumat. Sekarang diusahakan supaya
setiap subuh ia juga ramai dikunjungi.
Bebarapa hal yang bisa dilakukan untuk menanamkan kebiasaan
memakmurkan masjid (khususnya melalui shalat berjamaah) kepada jamaah,
antara lain :
1. Diberikan pendidikan atau pengajaran secara berkala untuk anak-anak dan
orang dewasa.
2. Diadakan kegiatan-kegiatan yang serba terus yang mempunyai daya tarik dan
manfaat pada jamaah, lambat laun akan menanamkan ikatan jamaah dengan
masjid. 80
3. Pendataan jamaah. Pada zaman Rasulullah SAW beliau sangat mengenal betul
jamaahnya. Seandainya ada yang tidak bisa hadir dalam shalat berjamaah,
beliau mengetahuinya.81
4. Suasana masjid yang dapat mendukung kekhusyukan beribadah dalam masjid
akan memberikan dorongan kepada jamaah untuk senantiasa memakmurkan
masjid. Oleh karena itu perlu diciptakan iklim yang menunjang kekhusyukan
beribadah di masjid. Suasana yang tenang, tertib dan aman dapat menunjang
kekhusyukan jamaah yang melakukan ibadah di dalamnya.82
5. Pembinaan jamaah melalui media dakwah. Hal ini bisa dilakukan dengan cara
menerbitkan buku-buku, brosur maupun bulletin secara berkala yang memuat
ajaran-ajaran pokok agama Islam, keutamaan dan hikmah dari ajaran-ajaran
Islam.83
6. Silaturrahmi kepada jamaah masjid atau warga kampung, terlebih kunjungan
kepada mereka yang sedang sakit atau memerlukan pertolongan.
7. Mengajak warga untuk meningkatkan peranannya di masjid.
80 Ibid. 81 Nana Rukmana D.W., op.cit., hlm. 142. 82 Ibid, hlm. 159-160. 83 Nana Rukmana D.W., op.cit., hlm. 150.
40
8. Kegiatan silaturrahmi ke jamaah masjid untuk menumbuhkan kepedulian akan
pentingnya memakmurkan masjid. Silaturrahmi ini bertujuan juga agar
tercipta kerjasama untuk memakmurkan masjid di kampung masing-masing.84
9. Mengumandangkan adzan di setiap waktu shalat. Adzan adalah sebesar-besar
syiar Islam, dan ini terus menerus dilakukan Rasulullah SAW baik ketika
beliau sedang ada di rumah (sedang tidak pergi) maupun di saat beliau dalam
perjalanan.85
10. Pengurus dengan persuasif mengajak jamaah berbincang dari hati ke hati
menitipkan pesan halus agar jamaah dapat mengajak saudara-saudara seagama
shalat berjamaah di masjid di hari-hari berikutnya.
11. Kegiatan silaturahmi dari rumah ke rumah. Pengurus masjid dalam hal ini
yang menjadi sponsornya. Untuk itu diperlukan adanya pendataan jamaah
masjid, terutama jamaah tetap. Apabila data jamaah telah dimiliki, pengurus
dapat menyusun rencana pelaksanaannya dan menyusun jadwal kunjungan.86
Masjid yang makmur, disamping diukur dari ramainya jamaah dan
maraknya kegiatan, juga dari kualitas jamaahnya. Dengan kualitas jamaah yang
bertambah baik dari waktu ke waktu, perbaikan kualitas dan kemakmuran
masjidpun bisa berjalan seiring. Langkah yang patut diperhatikan untuk mencapai
sasaran itu adalah:
1. Kesiapan pengurus masjid.
Penguruslah yang mesti berusaha meningkatkan kualitas jamaah, bila masjid
diharapkan lebih maju dan berkembang. Sebab, tanpa kesiapan pengurus baik
siap secara intelektual, mental dan manajerial sangatlah sukar melaksanakan
cita-cita besar itu.
2. Kesadaran jamaah
Peningkatan kualitas jamaah juga tergantung pada jamaah itu sendiri. Kalau
jamaah tidak mau, tidak mungkin usaha itu berjalan dan terlaksana. Perbaikan
kualitas merupakan satuan yang abstrak, tidak terlalu mudah diukur, memakan
waktu (dan biaya) dalam proses pencapaiannya. Jadi, kesadaran jamaah
merupakan prasyarat yang tidak bisa ditawar-tawar.
84 Ahmad Sarwono, 2003, op.cit., hlm. 313. 85 Miftah Faridl, Masjid, (Bandung : Pustaka, 1985), Cet. 1, hlm. 59. 86 Moh. E. Ayub, dkk., op.cit., hlm. 139 – 140.
41
3. Program kegiatan
Usaha peningkatan kualitas jamaah masjid ini mesti tersusun dalam program
kegiatan yang teratur dan terarah. Program ini menjadi landasan bagi semua
kegiatan pembinaan jamaah di masjid, sehingga tepat sasaran dan tujuannya.87
Jadi dalam memakmurkan masjid melalui kebiasaan shalat berjamaah ada
tiga hal yang tidak dapat dipisahkan. Pertama kesiapan dan keseriusan pengurus,
karena setiap usaha apapun akan dapat berjalan secara efektif dan efisien
bilamana telah dipersiapkan dan direncanakan dengan baik. Kedua, kesadaran
jamaah dan ketiga program kegiatan. Program-program yang direncanakan
tentunya harus sesuai dengan tujuan yang hendak dicapau yaitu membiasakan
masyarakat shalat berjamaah di masjid.
87 Ibid, hlm. 126-128.
top related