bab ii landasan teoritis -...
Post on 06-Mar-2019
230 Views
Preview:
TRANSCRIPT
11
BAB II
LANDASAN TEORITIS
Wiliam Wiersma (dalam Sugiyono, 2006: 58) menyatakan bahwa, teori
adalah generalisasi atau kumpulan generalisasi yang dapat digunakan untuk
menjelaskan berbagai fenomena secara sistematik. Selanjutnya, Cooper and
Schindler dalam Sugiyono (2006: 59) mengatakan, teori adalah seperangkat
konsep, definisi dan proposisi yang tersusun secara sistematis sehingga dapat
digunakan untuk menjelaskan dan meramalkan fenomena.
Kerangka teoritis merupakan landasan pemikiran yang membantu peneliti
dalam menentukan tujuan penelitian, arah penelitian, pemilihan konsep dan
perumusan hipotesa (Koentjaraningrat: 1993: 21). Dalam penelitian kualitatif,
karena permasalahan yang dibawa peneliti masih bersifat sementara, maka teori
yang digunakan dalam penyusunan proposal juga bersifat sementara dan akan
berkembang setelah peneliti memasuki lapangan. Teori dalam penelitian kualitatif
akan membantu peneliti dalam memahami konteks sosial secara luas dan
mendalam (Sugiono: 2006: 240).
2.1 Multikulturalisme
Ada beberapa pandangan yang telah dikemukakan oleh beberapa penulis
sebelumnya mengenai multikulturalisme, seperti Suparlan (2004:117) mengatakan
bahwa multikulturalisme adalah sebuah ideologi tentang perbedaan dalam
kesederajatan. Multikulturalisme sendiri mempunyai fondasi kebudayaan dalam
masyarakat yang bersangkutan, yang terwujud sebagai sebuah mozaik dari
kebudayaan-kebudayaan yang dipunyai oleh masyarakat multikultural. Sebagai
sebuah ideologi yang menekankan perbedaan dalam kesederajatan,
multikulturalisme juga didukung oleh ideologi demokrasi yang di dalamnya
menganut persamaan dan kebersamaan. Multikulturalisme dikembangkan dari
12
konsep pluralisme budaya (cultural pluralism) dengan menekankan kesederajatan
kebudayaan yang ada pada sebuah masyarakat. Oleh sebab itu, ulasan mengenai
multikulturalisme mau tidak mau akan mengulas berbagai permasalahan yang
mendukung ideologi tersebut, yaitu politik dan demokrasi, keadilan, penegakan
hukum, kesempatan kerja dan berusaha, HAM, hak budaya komunitas dan
golongan minoritas, dan prinsip-prinsip etika moral. Karena dalam konteks
sebuah masyarakat ternyata persoalan tersebut tidak akan lepas dari sebuah
perbedaan.
Scott Lash (2002) juga berpendapat bahwa multikulturalisme memiliki arti
―keberagaman budaya‖. Dia berpendapat bahwa ada tiga istilah yang kerap
digunakan secara bergantian untuk menggambarkan masyarakat yang terdiri dari
keberagaman tersebut—baik keragaman ras, suku, budaya dan bahasa yang
berbeda-beda—yaitu pluralitas (plurality), keragaman (diversity), dan
multikultural (multicultural). Ketiga ekspresi tersebut sesungguhnya tidak
mempresentasikan hal yang sama, walaupun semuanya mengacu kepada adanya
―ketidaktunggalan‖. Konsep pluralitas mengandaikan adanya hal-hal yang lebih
dari satu (many) keragaman menunjukan bahwa keberadaan yang lebih dari satu
itu berbeda-beda, heterogen dan bahkan tidak dapat disamakan.
Menurut Bikhu Parekh (2001), istilah multikulturalisme mengandung tiga
komponen, yakni, pertama; konsep ini terkait dengan kebudayaan. Kedua, konsep
ini merujuk kepada pluralitas kebudayaan. Dan ketiga, konsep ini mengandung
cara tertentu untuk merespon pluralitas itu. Oleh sebab itu, multikulturalisme
bukan doktrin politik pragmatik, melainkan sebagai cara pandang atau semacam
ideologi dalam kehidupan manusia.
2.1.1 Etnis
Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang majemuk, sehingga bangsa
Indonesia merupakan salah satu bangsa yang sangat kaya akan kebudayaan.
Keragaman budaya, bahasa, suku, ras dan agama yang dimiliki oleh bangsa ini
13
bisa diamati dari wilayah Sabang sampai Merauke dan bisa diamati melalui
produk-produk budaya yang dihasilkan oleh setiap suku bangsa di Indonesia.
Masyarakat Indonesia juga bisa dikatakan sebagai masyarakat yang pluralistik
yang berasal dari kata ―pluralisme ” (Soekanto, 1984 : 48). Sebenarnya istilah ini
pada awalnya lebih digunakan untuk menggambarkan suatu sistem politik
tertentu, yang diperlukan didalam negara yang kompleks untuk menerapkan
demokrasi, sebab dalam sistem demokrasi selalu ditandai dengan pembagian
kekuasaan untuk membuat kebijakan-kebijakan yang efektif antara golongan-
golongan tertentu dalam masyarakat , dengan maksud mengadakan kompetisi
yang sehat. Namun seiring berjalannya waktu, istilah tersebut dipergunakan dan
diterapkan pada masyarakat –masyarakat yang mencakup aneka ragam suku
bangsa. Dan keaneka ragam suku bangsa inilah yang disebut sebagai Kelompok/
komunitas etnis (ethnic-group) yang masing-masing mempunyai kebudayaan
khusus (sub-culture). Suku bangsa itu sendiri merupakan kesatuan-kesatuan
manusia yang sangat terikat oleh kesadaran dan kesatuan sistem sosial dan
kebudayaan (yang selalu didukung oleh bahasa dan pola komunikasi tertentu
dalam komunitas–komunitas etnis dan suku bangsa tersebut).
J. Jones (dalam Liliweri 2007) mendefinisikan etnis atau sering disebut
Kelompok/ Komunitas etnis adalah sebuah himpunan manusia (sub kelompok
manusia) yang dipersatukan oleh suatu kesadaran atas kesamaan sebuah kultur
atau subkultur tertentu, atau karena kesamaan ras, agama, asal usul bangsa,
bahkan peran dan fungsi tertentu.
2.1.2 Kebudayaan
Menurut bahasa Antropologi, ―kebudayaan merupakan seluruh sistem
gagasan dan rasa, tindakan, serta karya yang dihasilkan manusia dalam kehidupan
bermasyarakat, yang dijadikan miliknya dengan belajar‖. Dengan demikian,
hampir semua tindakan manusia adalah kebudayaan, karena jumlah tindakan yang
dilakukannya dalam kehidupan bermasyarakat yang tidak dibiasakan dengan
14
belajar (yaitu tindakan naluri, refleks, atau tindakan-tindakan yang dilakukan
akibat suatu proses yang panjang).
Kata ―budaya‖ berasal dari bahasa Sansekerta buddhayah yang merupakan
bentuk jamak dari kata buddhi, yang berarti ―budi‖ atau ―akal‖ (Koentjaraningrat
2003: 73-74). Kebudayaan itu sendiri diartikan sebagai ― hal-hal yang berkaitan
dengan budi atau akal‖. Istilah culture, yang merupakan istilah bahasa asing yang
sama artinya dengan kebudayaan, berasal dari kata ―colere‖ yang artinya adalah
―mengolah atau mengerjakan‖, yaitu dimaksudkan kepada keahlian mengolah dan
mengerjakan tanah atau bertani. Kata colere yang kemudian berubah menjadi
culture diartikan sebagai ―segala daya dan kegiatan manusia untuk mengolah dan
mengubah alam‖. Seorang Antropolog yang bernama E.B. Taylor (1871),
memberikan definisi mengenai kebudayaan yaitu ―kebudayaan adalah kompleks
yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat,
kemampuan-kemampuan dan kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia
sebagai anggota masyarakat‖.
Antropolog ini menyatakan bahwa kebudayaan mencakup semua yang
didapatkan dan dipelajari dari pola-pola perilaku normatif, artinya mencakup
segala cara atau pola berpikir, merasakan dan bertindak. Selanjutnya Soekanto
menambahkan bahwa penelitian-penelitian yang berkaitan dengan kebudayaan
tertentu, akan sangat tertarik dengan objek dan subjek kebudayaan seperti rumah-
rumah, sandang, jembatan, alat-alat komunikasi maupun proses komunikasi itu
sendiri (Soekanto, 1974 : 40). Taylor selanjutnya menjelaskan juga bahwa
kebudayaan yang merupakan kompleks menyeluruh yang mencakup pengetahuan,
kepercayaan, seni, moral, hukum, adat istiadat, dan lain kemampuan serta
kebiasaan yang dipunyai manusia sebagai warga negara dari suatu masyarakat ,
selalu mempengaruhi pola hidup dalam bermasyarakat (Soekanto, 1984 : 158).
Pola hidup yang ditafsirkan oleh penulis adalah pola bagaimana masyarakat
berkomunikasi dan berinteraksi antara satu dengan yang lainnya, terlebih
15
masyarakat yang berbeda kebudayaannya. Definisi lain yang mendukung
penjelasan sebelumnya adalah Kebudayaan merupakan pandangan hidup dari
sekelompok orang dalam bentuk perilaku, kepercayaan, nilai, dan simbol-sombol
yang mereka terima tanpa sadar/tanpa dipikirkan, yang semuanya diwariskan
melalui proses komunikasi dan peniruan dari satu generasi kepada generasi
berikutnya (Liliweri, 2007 : 8).
Berikut definisi Kebudayaan dari Larry A. Samovar dan Richard E. Porter
(Samovar & Porter 2003 : 8):
Culture as the deposit of knowledge, experience, beliefs, values,
attitudes, meanings, social hierarchies, religion, notions of time,
roles, spatial relationships, concepts of the universe, and material
objects and possessions acquired by a group of people in the
course of generations through individual and group striving
(Kebudayaan dapat berarti simpanan akumulatif dari pengetahuan, pengalaman,
kepercayaan, nilai, sikap, makna, hirarki, agama, pilihan waktu, peranan, relasi
ruang, pandangan terhadap alam semesta, dan objek material atau kepemilikan
yang dimiliki dan dipertahankan oleh sekelompok orang atau suatu generasi).
2.2 Teori Konflik dan Manajemen Konflik
2.2.1 Konflik
Sebuah pepatah Cina mengatakan, ―Jika anda tidak pernah bertikai dengan
orang lain, maka anda tidaklah akan mengenal satu sama lain‖. Jika dimaknai
dengan benar, pepatah Cina tersebut tentunya tidaklah mengajarkan kita untuk
bertikai, akan tetapi adakalanya juga dengan bertikai kita akan dapat mengenal
karakter, budaya, kehebatan dan kemampuan orang lain.
Perspektif konflik pertama kali dicetuskan oleh Karl Marx (1818-1883).
Dasar pemikirannya adalah pandangan yang menyatakan bahwa telah terjadi
ekploitasi kelas besar-besaran sebagai penggerak utama dalam kekuatan-kekuatan
sejarah. Ketika berbicara mengenai konflik, maka akan ada banyak definisi dan
16
pengertian mengenai konflik misalnya konflik bisa diartikan sebagai pertentangan,
peperangan, perkelahian, kerusuhan, dan masih banyak lagi definisi mengenai
konflik dengan berbagai macam sudut pandang. Merujuk pada definisi Park dan
Burgess mengatakan bahwa secara sederhana konflik merupakan perjuangan
untuk mendapatkan status. Status yang dimaksudkan disini adalah status sosial
yang terdapat dalam klasifikasi masyarakat tertentu. Status ini tentu saja berkaitan
dengan kedudukan dan prestise seseorang dalam masyarakat.
Namun Mack dan Snyder menambahkan bahwa Ia tidak hanya
memperjuangkan status tetapi juga memperoleh sumber daya yang langka dan
mewujudkan perubahan sosial yang signifikan. Dengan demikian maka konflik
digambarkan disini sebagai situasi dimana para aktor menggunakan perilaku
konflik melawan pihak lain untuk mencapai tujuan yang bertentangan dan atau
untuk menyatakan permusuhan mereka. Aktor disini tidak dibatasi pada individual
saja, melainkan pada kelompok atau pun dalam penelitian ini adalah komunitas
(Bartos, 2002 : 13). Ketika berbicara mengenai konflik, maka perlu diperhatikan
hal-hal yang menyebabkan terjadinya konflik. Pada awal tulisan ini, sudah
dijelaskan secara singkat bahwa persoalan ekonomi sering menjadi faktor pemicu
terjadinya konflik. Widarto, (2003: 30-31) mengemukakan bahwa konflik adalah
pertentangan dan terdapat empat faktor penyebab terjadinya konflik yaitu :
1. Perbedaan antar orang per orang. Perbedaan pendirian dan perasaan
mungkin menyebabkan bentrokan antar orang per orang.
2. Perbedaan kebudayaan. Perbedaan kepribadian dari orang per orang
tergantung pula dari pola kebudayaan yang menjadi latar belakang
pembentukan serta perkembangan kepribadian tersebut. Seorang secara
sadar maupun tidak sadar, sedikit banyaknya akan terpengaruh oleh pola
pemikiran dan pola pendirian dari kelompoknya. Selanjutnya keadaan
tersebut dapat pula menyebabkan terjadinya pertentangan antar kelompok
manusia.
17
3. Bentrokan antar kepentingan. Bentrokan kepentingan orang-orang
maupun kelompok manusia merupakan sumber lain dari konflik atau
pertentangan. Wujud dari kepentingan tersebut misalnya kepentingan
dalam bidang ekonomi, politik, dan sebagainya.
4. Perubahan Sosial. Perubahan sosial yang cepat dalam masyarakat, untuk
sementara waktu mengubah sistem nilai dalam masyarakat dan
menyebabkan terjadinya berbagai golongan yang berbeda pendiriannya
mengenai reorganisasi dari sistem nilai.
Berdasarkan empat point diatas maka penulis akan memfokuskan penelitian
ini pada persoalan perbedaan kebudayaan dimana hal ini selalu menjadi kajian
yang utama terhadap proses komunikasi antar budaya. Para psikolog berpendapat
bahwa konflik merupakan kondisi terjadinya ketidakcocokan antara nilai atau
tujuan-tujuan yang ingin dicapai, baik yang ada dalam diri individu, maupun
dalam hubungannya dengan orang lain (Killman & Thomas,1978, dalam Haryati
2001 : 9). Selanjutnya Scuyth (dalam Haryati 2001 : 9) melihat konflik dari sisi
hukum, mengemukakan bahwa konflik adalah situasi (keadaan) dimana dua atau
lebih pihak memperjuangkan tujuan-tujuan mereka masing-masing yang tidak
dapat dipersatukan dan dimana tiap-tiap pihak mencoba meyakinkan pihak lain
mengenai kebenaran tujuannya sendiri.
Menurut Simmel, konflik berguna untuk membentuk dan mempertahankan
identitas dan garis batas masyarakat dalam kelompok. Konflik dengan kelompok
lain mendukung pembentukan dan penegasan identitas kelompok tersebut
terhadap dunia sosial disekitarnya.
Sedangkan menurut Webster 1996 (dalam Prurit, 2004) dikatakan bahwa
istilah konflik ―conflict‖ di dalam bahasa aslinya berarti suatu ―perkelahian,
perperangan atau perjuangan‖--- yaitu berupa konfrontasi fisik antara beberapa
pihak. Akan tetapi nampaknya kata itu kemudian berkembang dengan masuknya
―ketidaksepakatan yang tajam atau oposisi atas berbagai kepentingan, ide, dan
18
lain-lain‖. Dengan kata lain, istilah tersebut sekarang juga menyentuh aspek
psikologis dibalik konfrontasi fisik yang terjadi, istilah ―conflict‖ menjadi begitu
meluas sehingga beresiko kehilangan statusnya sebagai sebuah konsep tunggal.
2.2.2 Teori Konflik
Wirawan (2010), mengatakan bahwa konflik merupakan salah satu esensi
dari kehidupan dan perkembangan manusia yang mempunyai karakteristik yang
beragam. Manusia memiliki perbedaan jenis kelamin, strata sosial dan ekonomi,
sistem hukum, bangsa, suku, agama dan kepercayaan, aliran politik serta budaya
dan tujuan hidupnya. Dan dalam sejarah umat manusia, perbedaan inilah yang
selalu menimbulkan konflik. Dan konflik merupakan proses pertentangan yang
diekspresikan di antara dua pihak atau lebih yang saling tergantung mengenai
obyek konflik, menggunakan pola perilaku dan interaksi konflik yang
menghasilkan keluaran konflik.
Sedangkan Fisher dkk (2001) mengatakan bahwa konflik adalah suatu
kenyataan hidup yang tidak terhindarkan dan konflik merupakan hubungan antara
dua pihak atau lebih (individu atau kelompok) yang memiliki atau merasa
memiliki sasaran-sasaran yang tidak sejalan. Menurut Fisher dkk, ada 6 (enam)
teori yang dapat digunakan untuk memahami penyebab konflik, yang diantaranya:
1. Teori hubungan masyarakat, teori ini menganggap bahwa konflik
disebabkan oleh polarisasi yang terus terjadi, ketidak percayaan dan
permusuhan diantara kelompok yang berbeda dalam suatu masyarakat.
2. Teori negoisasi prinsip. Teori ini menganggap bahwa konflik
disebabkan oleh posisi-posisi yang tidak selaras dan perbedaan
pandangan tentang konflik oleh pihak-pihak yang mengalami konflik.
3. Teori kebutuhan manusia. Teori ini berasumsi bahwa konflik yang
berakar dapat disebabkan oleh kebutuhan dasar manusia—fisik, mental
dan sosial—yang tidak terpenuhi atau dihalangi. Keamanan, identitas,
pengakuan, partisipasi dan otonomi sering menjadi inti pembicaraan.
19
4. Teori Identitas. Teori ini berasumsi bahwa konflik disebabkan karena
identitas yang terancam, yang sering berakar pada hilangnya sesuatu
atau penderitaan di massa lalu yang tidak terselesaikan.
5. Teori kesalah-pahaman antar budaya. Teori ini berasumsi bahwa
konflik disebabkan oleh ketidak-cocokan dalam cara-cara komunikasi
diantara berbagai budaya yang berbeda.
6. Teori transormasi konflik. Teori ini berasumsi bahwa konflik
disebabkan oleh masalah-masalah ketidaksetaraan dan ketidakadilan
yang muncul sebagai masalah-masalah sosial, budaya dan ekonomi.
Dalam hal tersebut, Fisher juga berpendapat bahwa ada beberapa hal yang
melatar belakangi sebuah konflik, diantaranya:
1. Kekuasaan. Kekuasaan adalah unsur penting dalam setiap masalah
manusia: suatu konflik sering berpusat pada usaha untuk memperoleh
kekuasaan yang lebih besar atau kekawatiran akan kehilangan
kekuasaan.
2. Budaya. Budaya sangat menentukan cara seseorang dalam berfikir dan
bertindak. Masyarakat menghormati budayanya sendiri, dan sering
mempertahankan dalam menghadapi pengaruh-pengaruh dari luar.
Konflik bisa terjadi karena ketidakcocokan dalam cara-cara komunikasi
diantara berbagai budaya yang berbeda.
3. Identitas. Identitas diperoleh dari rasa memiliki suatu budaya. Dalam
konflik, apa yang dirasakan orang mengenai siapa diri mereka dapat
berubah dan menjadi sumber kekuatan untuk melakukan peningkatan.
Pada waktu yang sama, cara pandang orang lain terhadap satu individu
lain atau kelompok dapat berubah menjadi sebuah cara pandang
serangan.
20
4. Hak-hak. Merupakan dimensi konflik sosial dan politik yang vital.
Pelanggaran hak dan perjuangan untuk menghapuskan pelanggaran ini,
merupakan dasar dari berbagai konflik kekerasan.
William Hendricks (1996) berpendapat bahwa konflik biasanya dilatar-
belakangi oleh perbedaan-perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatu
interaksi. Perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya adalah menyangkut ciri fisik,
kepandaian, adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya. Dengan dibawa
sertanya ciri individual dalam interaksi sosial, konflik merupakan situasi yang
wajar dalam setiap masyarakat dan tidak satupun yang tidak pernah mengalami
konflik antar anggotanya atau dengan kolompok masyarakat yang lainnya. Dan
konflik hanya akan hilang bersama dengan hilangnya masyarakat itu sendiri.
Menurut Liliweri (2005), konflik yang terjadi antar etnis ada beberapa
definisi yang diantaranya:
1. Suatu bentuk pertentangan alamiah yang dihasilkan individu atau
kelompok yang berbeda etnis (suku, agama, ras, dan golongan) karena
memiliki perbedaan sikap, kepercayaan, dan nilai-nilai kebutuhan.
2. Hubungan antar dua etnis atau lebih (individu/kelompok) yang
memiliki/ merasa memiliki sasaran-sasaran tertentu namun diliputi
pemikiran, perasaan, atau perbuatan yang tidak sejalan.
3. Bentuk pertentangan alamiah yang dihasilkan oleh individu/kelompok
etnis baik intra etnis maupun antar etnis yang memiliki perbedaan
sikap, norma, dan kepercayaan.
4. Pertikaian antar etnis yang disebabkan karena perbedaan kebutuhan
nilai, motivasi pelaku atau yang terlibat di dalamnya.
5. Suatu bentuk perlawanan yang melibatkan dua etnis /lebih secara
antagonis.
Liliweri juga menambahkan bahwa ada empat unsur-unsur konflik yang
diantaranya adalah sebagai berikut:
21
1. Ada dua etnis atau lebih yang terlibat. Ada interaksi antar personal
maupun antar kelompok diantara mereka yang terlibat.
2. Ada tujuan yang dijadikan sasaran konflik antar etnis, tujuan itu yang
menjadi sumber konflik.
3. Ada perbedaan pikiran, perasaan, tindakan antar etnis dalam kerangka
konflik untuk mendapatkan atau mencapai tujuan atau sasaran.
4. Ada situasi konflik antara dua etnis atau lebih yang bertentangan,
meliputi situasi antar pribadi, kelompok dan antar organisasi.
Webster (dalam Pruit dan Rubin, 2009) mengatakan bahwa istilah ―conflict‖
di dalam bahasa aslinya berarti perkelahian, peperangan, perjuangan, yang berupa
konfrontasi fisik antara beberapa pihak.
Sehingga, dari beberapa penjelasan mengenai konflik oleh beberapa penulis
seperti yang telah dikatakan diatas, peneliti dalam hal ini dapat menyimpulkan
bahwa konflik merupakan sebuah persoalan yang timbulnya disebabkan oleh
karena pemahaman yang tidak sejalan, ego diri yang terlalu tinggi, watak adat
isitadat yang keras dan latar belakang individu atau kelompok yang dalam kondisi
tertentu melakukan persinggungan dan melukai, rasa dan perasaan sehingga
menyebabkan masing-masing pihak tidak dapat menerima kondisi yang dialami
dan memutuskan untuk menyelesaikan persoalan dengan watak, karakter, budaya
dan cara yang mereka miliki masing-masing.
2.2.3 Manajemen Konflik
Dalam hal persoalan konflik, sangat perlu sekali dilakukan manajemen,
seperti yang dikatakan oleh Alice Pescuric (dalam Wirawan, 2010), mengelola
konflik merupakan urutan ke-7 dari 10 prioritas kegiatan seorang manajer dalam
sebuah kepemimpinananya. Dalam menjalankan kehidupan pasti akan
menghadapi konflik, dan konflik tersebut dapat terjadi yang disebabkan oleh
beragam hal, seperti konflik antar anggota organisasi, atau konflik dengan pihak
luar. Sehingga sangat diperlukan sebuah manajemen konflik dalam berkehidupan.
22
Menurut P3PK UGM (1997) seperti yang dikutip oleh Ali Imron, untuk
dapat memanajemen konflik diperlukan beberapa pendekatan seperti salah
satunya adalah pendekatan multikultural, karena pendekatan multikultural lebih
mengakui hak individu untuk tetap mengekspresikan identitas budayanya sesuai
dengan latar belakang masing-masing, termasuk jender, dengan bebas. Selain itu,
dalam pendekatan multikultral terdapat tiga perspektif dalam pengembangannya,
yaitu: Pertama, Perspektif Cultural Assimilation, model yang menunjukan pada
proses asimilasi warga masyarakat subnational kedalam suatu core culture atau
core society. Kedua, Perspektif Cultural Pluralisme, perspektif yang menekankan
pentingnya hak bagi semua kebudayaan dan masyarakat subnational untuk
memelihara dan mempertahankan identitas kultural masing-masing dan Ketiga,
Perspektif cultural Synthesis, dimana perspektif ini merupakan sintesis dari
perspektif asimilationis dan pluralis, yang lebih menekanan pentingnya proses
terjadinya sintesis di dalam diri warga masyarakat dan terjadinya perubahan
dalam berbagai kebudayaan masyarakat subnational.
Adapun maksud dari pendekatan multikultural dalam kajian tersebut adalah
pendekatan yang menggunakan matra yang berbasis pada pluralitas budaya dalam
kehidupan masyarakat yang memberikan kebebasan kepada berbagai budaya
untuk hidup berdampingan dan saling menghargai satu dengan lainnya. Gagasan
dan semangat pluralistik terasa mendasari dalam setiap analisis masalah dan
dalam mencari resolusi konflik. Dengan pendekatan demikian diharapkan kultur
etnik dan agama, bahkan golongan semuanya dapat berinteraksi secara wajar
tanpa harus dipertentangkan, masing-masing memiliki eksistensinya.
Penanganan terhadap konflik dengan pendekatan represif ataupun keamanan
(security approach) tidaklah tepat, terlebih pada masa pascareformasi. Bahkan,
pada masa-masa mendatang penanganan konflik social dengan menggunakan
senjata sama sekali tidak populer. Karena, di samping sering membawa korban
jiwa, juga sering tidak menyelesaikan permasalahan. Misalnya, fenomena yang
23
terjadi di Nangroe Aceh Darussalam beberapa tahun lalu, penyelesaian konflik
dengan senjata ternyata justru banyak membawa bencana sosial seperti banyak
kekerasan seksual dan/ atau pemerkosaan terhadap kaum perempuan oleh oknum
militer yang bertugas berbulan-bulan bahkan bertahun- tahun di wilayah serambi
Mekkah itu. Perjanjian perdamaianlah yang akhirnya menyelesaikan konflik di
provinsi Indonesia paling barat itu. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan-
pendekatan yang lebih berorientasi pada pemecahan masalah dengan
memerhatikan issue yang melatari konflik (Ali Imron, 2006). Oleh karenanya
penanganan terhadap konflik tidak dapat diselesaikan dengan menggunakan
kekerasan, namun perlu dilakukan dengan mengedepankan pendekatan yang
mengetahui latar belakang persolan atau terjadinya konflik tersebut.
Lebih lanjut, pendekatan pemecahan masalah memperlakukan konflik
sebagai masalah dan bukan sebagai tindak kerusuhan dan kekerasan yang harus
dibasmi, terlebih memandangnya sebagai pemberontakan atau makar yang harus
diberangus sampai ke akar-akarnya, tanpa melihat akar permasalahan yang
sebenarnya. Pendekatan konflik semestinya lebih memfokuskan perhatian bukan
hanya pada perilaku konflik melainkan juga rasa tidak puas, rasa diperlakukan
tidak adil, dan seterusnya. Juga, pendekatan konflik memfokuskan pada kondisi
dan situasi yang melatari konflik yang terjadi. Ringkasnya, pendekatan konflik
harus dilakukan secara multidimensi atau dengan pendekatan holistik, di
antaranya dengan perspektif multikultural (Ali Imron, 2002). Seperti dipaparkan
di atas, bahwa pemahaman akan keberadaan konflik perlu dilakukan dengan
penyelesaian secara holistik/menyeluruh dengan memandang dari berbagai aspek
konflik tersebut. Hal itu merupakan salah satu jalan yang memungkinkan kita
untuk toleran dan terbuka untuk memasuki dan dimasuki.
Dalam beberapa pemaparan mengenai manajemen konflik diatas, dapat
disimpulkan bahwa perlunya sebuah konflik dalam lingkungan multikulturalisme
dikelola atau dimanajemeni dengan baik sehingga konflik-konflik yang terjadi
24
dapat diminimalisir. Sedangkan dalam pendekatan-pendakatan yang digunakan
juga terdapat beberapa seperti dengan cara tindakan menghindar, kompromis,
berkolaborasi yang tentunya tidak meninggalkan pendekatan kultural dimana
setiap hak-hak yang dimiliki oleh masing-masing etnis dikelola dan diakui dengan
baik.
2.3 Argumentasi Teoritis
Dari kajian pustaka diatas pada intinya merupakan bekal peneliti sebagai
frame berpikir peneliti dalam upaya untuk berdialog secara kritis dengan fakta
empiris. Dengan konsep dasar yang digunakan seperti Multikulturisme, Konflik
dan konsep manajemen konflik diharapakan akan menjadi frame berpikir dalam
menganalisis penegelolaan konflik dalam pergaulan multikultur. Oleh karena
dalam penelitian kualitatif, sifat dari realitas bersifat holistik maka akan lebih baik
jika peneliti sebagai human instrument dalam penelitian kualitatif mempunyai
bekal teori yang cukup banyak, akan tetapi tentunya peneliti harus bersifat
―perspektif emic‖ dimana ―memperoleh data yang tidak hanya tersirat, tapi juga
yang tidak tersirat‖.
Dalam hal ini tidak semua teori akan digunakan untuk menganalisis
masalah, teori mana yang akan digunakan, akan dipilih berdasarkan tujuan
penelitian dan temuan fakta empiris di lapang. Argumentasi yang dibangun disini
adalah disisi lain konsep yang ada akan membantu kita memahami realitas secara
lebih baik, akan tetapi disisi lain akan mendistorsi pemahaman kita akan
realitas.Akan tetapi sesuai tujuan dari penelitian bahwa penelitian ini ditujukan
untuk menganalisis pengelolaan konflik dalam hal ini konflik-konflik etnis yang
ada dalam lingkungan UKSW. Dimana lebih ditekankan terhadap pendekatan-
pendekatan yang digunakan dalam penanganan (pengelolaan) konflik antar etnis,
dalam hal ini mahasiswa UKSW.
top related