bab ii landasan teori pengendalian kualitas definisi kualitaseprints.umm.ac.id/41430/3/bab...
Post on 17-Jul-2020
8 Views
Preview:
TRANSCRIPT
5
BAB II
LANDASAN TEORI
Pada bab landasan teori akan membahas referensi atau pustaka yang akan
digunakan untuk menganalisis dan mengolah data. Berikut penjelasan lebih lanjut
mengenai masing-masing bagian.
2.1. Pengendalian Kualitas
2.1.1. Definisi Kualitas
Kualitas merupakan aspek penting bagi perkembangan perusahaan. Saat
ini semakin banyak perusahaan-perusahaan yang mengubah strateginya untuk
menghasilkan produk atau jasa yang sesuai kebutuhan konsumen, agar dapat
bersaing dan menguasai pasar domestik dan maupun luar negeri. Sementara itu,
untuk menjaga konsistensi kualitas produk dan jasa yang dihasilkan sesuai dengan
tuntutan konsumen, perlu dilakukan pengendalian kualitas (Quality Control) atas
aktivitas proses yang dijalani. Maka dari itu, perlu menciptakan sistem yang dapat
mencegah timbulnya masalah mengenai kualitas agar kesalahan yang pernah
terjadi tidak terulang lagi. Faktor utama yang menentukan kinerja suatu
perusahaan adalah kualitas produk dan jasa yang dihasilkan. Produk dan jasa yang
berkualitas adalah produk dan jasa yang sesuai dengan apa yang diinginkan
konsumennya. Oleh karena itu organisasi atau perusahaan perlu mengenal
konsumen atau pelanggannya dan mengetahui kebutuhan dan keinginannya.
Ada banyak definisi kualitas, yang sebenarnya definisi tersebut hampir
sama antara yang satu dengan yang lain. Definisi kualitas menurut beberapa ahli
antara lain (Ariani, 2004):
1) Juran (1962), “Kualitas adalah kesesuaian dengan tujuan atau manfaatnya”.
2) Crosby (1979), “Kualitas adalah kesesuaian dengan kebutuhan yang meliputi
availability, delivery, reliability, maintainability, dan cost effectiveness”.
3) Deming (1982), “Kualitas harus bertujuan memenuhi kebutuhan pelanggan
sekarang dan di masa mendatang”.
4) Feigenbahum (1991), “Kualitas merupakan keseluruhan karakteristik produk
dan jasa yang meliputi marketing, engineering, manufacture, dan
6
maintenance, dimana produk dan jasa tersebut dalam pemakaianya akan
sesuai dengan kebutuhan dan harapan pelanggan”.
5) Elliot (1993), “Kualitas adalah sesuatu yang berbeda untuk orang yang
berbeda dan tergantung pada waktu dan tempat, atau dikatakan sesuai dengan
tujuan”.
6) Scherkenbach (1991), “Kualitas ditentukan oleh pelanggan, pelanggan
menginginkan produk dan jasa yang sesuai dengan kebutuhan dan harapannya
pada suatu tingkat harga tertentu yang menunjukkan nilai produk tersebut”.
7) Goetch dan Davis (1995), “Kualitas adalah kondisi dinamis yang berkaitan
dengan produk, pelayanan, orang, proses dan lingkungan yang memenuhi atau
melibihi harapan pelanggan”.
Dari beberapa definisi kualitas tersebut secara garis besar kualitas adalah
keseluruhan ciri atau karakteristik produk atau jasa yang tujuannya untuk
memenuhi kebutuhan dan harapan pelanggan. Selain itu, kualitas memerlukan
suatu proses perbaikan yang terus menerus (continous improvement process) yang
dapat diukur, baik secara individual, organisasi, korporasi, dan tujuan kinerja.
Kualitas pada industri manufaktur selain menekankan pada produk yang
dihasilkan, juga perlu diperhatikan kualitas pada proses produksi. Karena itu lebih
baik apabila perhatian pada kualitas bukan hanya pada produk akhir, melainkan
proses produksinya atau produk yang masih ada dalam proses (work in process),
sehingga bila diketahui ada cacat atau kesalahan masih dapat diperbaiki. Dengan
demikian, produk akhir yang dihasilkan adalah produk yang bebas cacat dan tidak
ada lagi pemborosan yang harus dibayar mahal karena produk tersebut harus
dibuang atau dilakukan proses pengerjaan ulang (rework).
2.1.2. Pengendalian kualitas
Pengendalian kualitas merupakan teknik penyelesaian masalah yang
digunakan untuk memonitor, mengendalikan, menganalisis, mengelolah, dan
memperbaiki produk dan proses menggunakan metode-metode statistik (Ariani,
2004 hal 54). Pengendalian kualitas statistik (Statistical quality control) sering
disebut sebagai pengendalian proses statistik (Statistical process control). Dengan
7
mengunakan pengendalian proses statistik ini maka dapat dilakukan analisis dan
meminimasi penyimpangan atau kesalahan, mengkuantifikasikan kemampuan
proses, menggunakan pendekatan statistik dengan dasar Six Sigma dan membuat
hubungan antara konsep dan teknik yang ada untuk mengadakan perbaikan proses.
Sasaran pengendalian proses statistik adalah mengurangi penyimpangan
karena penyebab khusus (assignable cause) dalam proses dan dengan cara
mencapai stabilitas dalam proses. Apabila stabilitas tercapai, kemampuan proses
dapat diperbaiki dengan mengurangi penyimpangan karena sebab umum (common
cause) seperti penyimpangan dalam bahan baku, kondisi emosional karyawan,
penurunan kinerja mesin, penurunan suhu udara, dsb (Antony et al., 2000)
(dikutip dalam Ariani 2004). Pengendalian proses statistik memiliki berbagai
manfaat bagi organisasi atau perusahaan yang menerapkannya. Menurut Antony
et al. (2000) (dikutip dalam Ariani, 2004) ada beberapa manfaat pengendalian
proses statistik yaitu:
1) Tersedianya informasi bagi karyawan apabila akan memperbaiki proses.
2) Membantu karyawan memisahkan sebab umum dan sebab khusus terjadinya
kesalahan.
3) Tersedianya Bahasa yang umum dalam kinerja proses untuk berbagai pihak.
4) Menghilangkan penyimpangan karena sebab khusus untuk mencapai
konsistensi dan kinerja yang lebih baik.
5) Pengertian yang lebih baik mengenai proses.
6) Pengurangan waktu yang berarti dalam penyelesaian masalah kualitas.
7) Pengurangan biaya pembuangan produk cacat, pengerjaan ulang terhadap
produk cacat, inspeksi ulang, dan sebagainya.
8) Komunikasi yang lebih baik dengan pelanggan tentang kemampuan produk
dalam memenuhi spesifikasi pelanggan.
9) Membuat organisasi lebih berorientasi pada data statistik dari pada hanya
berupa asumsi saja.
10) Perbaikan proses sehingga kualitas produk menjadi lebih baik, biaya lebih
rendah, dan produktivitas meningkat.
8
2.2. Six Sigma
2.2.1. Sejarah Six Sigma
Menurut Gaspersz (2002) Six Sigma merupakan suatu metode atau teknik
pengendalian dan peningkatan kualitas dramatik yang diterapkan oleh perusahaan
Motorola sejak tahun 1986. Metode ini merupakan terobosan baru dalam bidang
manajemen kualitas. Banyak ahli manajemen kualitas menyatakan bahwa metode
Six Sigma Motorola dikembangkan dan diterima secara luas oleh dunia industri,
karena manajemen industri frustasi terhadap sistem-sistem manajemen kualitas
yang ada tidak mampu melakukan peningkatan kualitas menuju tingkat kegagalan
nol. Prinsip-prinsip pengendalian dan peningkatan kualitas Six Sigma Motorola
mampu menjawab tantangan ini, dan terbukti perusahaan Motorola selama kurang
lebih 10 tahun setelah implementasi konsep Six Sigma telah mampu mencapai
tingkat kualitas 3,4 DPMO (Defects per Million Opportunities).
Setelah Motorola memenangi perhargaan MBNQA (Malcolm Baldrige
National Quality Award) pada tahun 1988, rahasia kesuksesan mereka menjadi
pengetahuan publik dan sejak saat itu program Six Sigma yang diterapkan
Motorola menjadi sangat terkenal di Amerika Serikat. Banyak perusahaan-
perusahaan kelas dunia, seperti General Electric, Alliedsignal, Dupont Chemical
Kodak, dan lain-lain mulai melakukan revolusi dalam sistem manajemen kualitas
mereka mengikuti prinsip-prinsip Six Sigma.
2.2.2. Definisi Six Sigma
Menurut Pande dan Holpp (2002) Six Sigma adalah sebuah cara untuk
mengelolah sebuah bisnis atau departemen untuk mengedepankan pelanggan dan
menggunakan fakta dan data untuk mendapatkan solusi-solusi yang lebih baik.
Target utama six sigma adalah meningkatkan kepuasan pelanggan, mengurangi
waktu siklus, dan mengurangi defect (cacat). Menurut Hidayat (2007) Six Sigma
adalah suatu metodologi bisnis yang bertujuan meningkatkan nilai-nilai
kapabilitas dari aktivitas proses bisnis.
Tujuan Six Sigma adalah meningkatkan kinerja bisnis dengan mengurangi
berbagai variasi proses yang merugikan, mereduksi kegagalan produk/proses,
9
menekan cacat-cacat produk, meningkatkan keuntungan, mendongkrak moral
personil/karyawan dan meningkatkan kualitas produk pada tingkat yang
maksimal. Istilah Sigma diambil dari terminologi statistika, di mana sigma (σ)
adalah standar deviasi. Standar deviasi adalah cara statistikal untuk
mengambarkan banyak variasi yang terjadi dalam sekumpulan data, sekelompok
item, atau sebuah proses (Pande dan Hollp, 2002 hal 10). Standar deviasi dalam
distribusi normal dengan probabilitas ± 6 (enam) atau sama dengan Pvalue =
0,999996 atau efektivitas sebesar 99,996%.
2.2.3. Konsep Six Sigma
Apabila produk (barang atau jasa) diproses pada tingkat kualitas Six
Sigma, perusahaan boleh mengharapkan 3,4 DPMO (Defects per Million
Opportunities) atau mengharapkan bahwa 99,99966 % dari apa yang diharapkan
pelanggan akan ada dalam produk itu. Target dari pengendalian kualitas Six Sigma
sebesar 3,4 DPMO tidak diinterpretasikan sebagai 3,4 unit output yang cacat dari
sejuta unit output yang diproduksi, tetapi diinterpretasikan sebagai dalam satu unit
produk tunggal terdapat rata-rata kesempatan untuk gagal dari suatu karakteristik
CTQ adalah hanya 3,4 DPMO. Atau dalam arti lain, dalam satu juta unit/proses
hanya diperkenankan mengalami kegagalan atau cacat sebanyak 3,4 unit/proses.
Maka dari itu derajat konsistensi Six Sigma sangat tinggi dengan standar deviasi
yang sangat rendah (Hidayat, 2007 hal 29). Dengan demikian Six Sigma dapat
dijadikan ukuran target kinerja sistem industri tentang bagaimana baiknya suatu
proses. Semakin tinggi target sigma yang dicapai, kinerja sistem industri akan
semakin baik. Konversi yield (probabilitas tanpa cacat) ke nilai DPMO dan nilai
sigma dapat dilihat pada tabel berikut:
10
Tabel 2.1 Tabel konversi Six Sigma
Yield Defect per Million Opportunities (DPMO) Sigma
30,8538% 691.462 (sangat tidak kompetitif) 1-sigma
69,1462% 308.548 (rata-rata industri Indonesia) 2-sigma
93,3193% 66.807 3-sigma
99,3790% 6.210 (rata-rata industri USA) 4-sigma
99,9767% 233 5-sigma
99,99966% 3.4 (industri kelas dunia) 6-sigma (Sumber: Gaspersz 2002)
Terdapat enam aspek kunci yang perlu diperhatikan dalam aplikasi konsep
Six Sigma yaitu (Gaspersz, 2002 hal 9):
1) Identifikasi pelanggan.
2) Identifikasi produk .
3) Identifikasi kebutuhan dalam memproduksi produk untuk pelanggan .
4) Definisikan proses.
5) Hindari kesalahan dalam proses dan hilangkan semua pemborosan yang ada.
6) Tingkatkan proses secara terus menerus menuju target Six Sigma.
Apabila konsep Six Sigma akan diterapkan dalam bidang manufacturing,
perhatikan enam aspek berikut:
1) Identifikasi karakteristik produk yang akan memuaskan pelanggan (sesuaikan
kebutuhan dan ekspetasi pelanggan).
2) Mengklasifikasikan semua karakteristik kualitas itu sebagai CTQ (Critical to
Quality)
3) Menentukan apakah setiap CTQ itu dapat dikendalikan melalui pengendalian
material, mesin, proses kerja, dll.
4) Menentukan batas maksimum toleransi untuk setiap CTQ sesuai yang
diinginkan pelanggan (menentukan nilai USL dan LSL dari setiap CTQ).
5) Menentukan maksimum variasi proses untuk setiap CTQ (menentukan nilai
maksimum standar deviasi untuk setiap CTQ).
6) Mengubah desain produk atau proses sedemikian rupa agar mampu mencapai
nilai target Six Sigma, yang berarti memiliki indeks kemampuan proses , Cpm
minimum sama dengan dua (Cpm ≥ 2).
11
2.2.4. Tahap Pengendalian Kulitas Six Sigma DMAIC
Tahap Six Sigma dapat dilakukan menggunakan pendekatan DMAIC
(Define, Measure, Analyze, Improve, and Control). DMAIC merupakan proses
untuk peningkatan terus menerus menuju target Six Sigma. Berikut tahapan-
tahapan DMAIC:
1. Define
Define merupakan langkah operasional pertama dalam peningkatan kualitas
Six Sigma. Pada tahap ini perlu mendefinisikan beberapa hal yang berkaitan
dengan (Gaspersz, 2002 hal 31):
1) Kriteria pemilihan proyek Six Sigma.
Kata kunci dalam hal ini adalah prioritas, artinya harus menetapkan
prioritas utama tentang masalah-masalah peningkatan kualitas mana yang
akan ditangani terlebih dahulu. Pemilihan proyek terbaik adalah berdasarkan
pada identifikasi proyek yang terbaik sepadan dengan kebutuhan, kapabilitas
dan tujuan organisasi yang sekarang.
2) Peran dan tanggung jawab dari orang-orang yang akan terlibat dalam proyek
Six Sigma.
Terdapat beberapa orang atau kelompok orang dengan peran serta gelar
yang umum dipakai dalam program Six Sigma. Deskripsi pekerjaan dari
orang-orang yang terlibat dalam peningkatan program Six Sigma yaitu sebagai
berikut:
a) Dewan Kepemimpinan.
Komite pengarah Six Sigma atau senior champions merupakan orang-
orang yang berada pada posisi manajer puncak (top management) dari
organisasi. Peran dalam posisi ini adalah menetapkan visi, peran, dan
infrastruktur dari Six Sigma, memilih proyek-proyek spesifik Six Sigma
dan mengalokasikan sumber-sumber daya, serta meninjau kemajuan
proyek Six Sigma.
b) Champions.
Champions merupakan pemimpin dari unit bisnis strategis, pemimpin tim
manajemen proyek yang berada dilokasi pembangunan proyek atau
12
kepala dari fungsi-fungsi utama dalam organisasi. Champions
bertanggung jawab untuk mengidentifikasi, memilih, mengeksekusi, dan
menindaklanjuti proyek-proyek Six Sigma yang ditangani oleh Black
Belts.
c) Master Black Belts.
Master Black Belts merupakan individu-individu yang dipilih oleh
champions untuk bertindak sebagai tenaga ahli atau konsultan dalam
perusahaan untuk menyebarluaskan pengetahuan-pengetahuan strategis
yang bersifat terobosan-terobosan Six Sigma ke seluruh organisasi. Master
Black Belts melatih Black Belts dan Green Belts, serta
mengkominikasikan status dan kemajuan secara keseluruhan dari proyek
Six Sigma di dalam area tanggung jawab mereka.
d) Black Belts.
Black Belts merupakan para peserta pelatihan yang dilatih secara intensif
dalam hal solusi masalah statistik. Peran Black Belts adalah menerapakan
dan menyebarluaskan konsep-konsep Six Sigma dari suatu proyek ke
proyek yang lain.
e) Green Belts.
Green Belts merupakan individu-individu yang bekerja paruh waktu (part
time) dalam area spesifik atau mengambil tanggung jawab pada proyek-
proyek kecil dalam lingkup proyek Six Sigma yang ditangani oleh Black
Belts.
3) Kebutuhan pelatihan orang-orang yang terlibat dalam proyek Six Sigma.
Orang-orang yang akan terlibat dalam proyek Six Sigma yang telah dipilih
berdasarkan kriteria-kriteria pemilihan proyek Six Sigma yang ditetapkan
harus memperoleh pelatihan tentang Six Sigma.
4) Proses-proses kunci dalam proyek Six Sigma
Mendefiniskan proses-proses kunci, sekuens proses beserta interaksinya,
serta pelanggan yang terlibat dalam setiap proses itu. Sebelum mendefinisikan
proses kunci beserta pelanggan dalam proyek Six Sigma, perlu mengetahui
model proses “SIPOC (Suppliers-Inputs-Processes-Outputs-Customers)”.
13
SIPOC merupakan suatu alat yang berguna dan paling banyak dipergunakan
dalam manajemen dan peningkatan proses. Nama SIPOC merupakan akronim
dari lima elemen utama dalam sistem kualitas, yaitu:
a) Suppliers
Merupakan orang atau kelompok orang yang memberikan informasi kunci,
material atau sumber daya lain kepada proses. Jika suatu proses terdiri dari
beberapa sub proses, maka sub proses sebelumnya dapat dianggap sebagai
pemasok internal (internal suppliers).
b) Inputs
Merupakan segala sesuatu yang diberikan oleh pemasok (suppliers)
kepada proses.
c) Processes
Merupakan sekumpulan langkah yang mentransfromasi dan secara ideal,
menambah nilai kepada inputs (proses transformasi nilai tambah kepada
inputs). Suatu proses biasanya terdiri dari beberapa sub proses.
d) Outputs
Merupakan produk (barang atau jasa) dari suatu proses.
e) Customers
Merupakan orang atau kelompok orang, atau sub proses yang menerima
outputs.
(Sumber: Tannady, 2015)
Gambar 2.1 Diagram SIPOC
5) Kebutuhan spesifik dari pelanggan.
Langkah pertama dalam mendefinisikan kebutuhan spesifik dari pelanggan
adalah memahami dan membedakan di antara dua kategori persyaratan kritis,
yaitu persyaratan output dan persyaratan pelayanan. Persyaratan output dan
14
persyaratan pelayanan itu kemudian didefinisikan melalui karakteristik
kualitas, yang selanjutnya akan menjadi CTQ (Critical to Quality) dalam
proyek Six Sigma.
6) Pernyataan tujuan proyek Six Sigma.
Mendefinisikan isu-isu, nilai-nilai, dan sasaran atau tujuan dari proyek Six
Sigma. Pernyataan tujuan yang benar adalah apabila mengikuti prinsip SMART
Sebagai berikut:
a) Specific
Tujuan proyek peningkatan kualitas Six Sigma harus bersifat spesifik yang
dinyatakan secara tegas.
b) Measurable
Tujuan proyek peningkatan kualitas Six Sigma harus dapat diukur
menggunakan indikator yang tepat guna mengevaluasi keberhasilan,
peninjauan ulang, dan tindakan perbaikan di waktu mendatang.
c) Achievable
Tujuan proyek peningkatan kualitas Six Sigma harus dapat dicapai melalui
usaha-usaha yang menantang (challenging efforts).
d) Result-oriented
Tujuan proyek peningkatan kualitas Six Sigma harus berfokus pada hasil-
hasil berupa pencapaian target-target kualitas yang ditetapkan, yang
ditunjukkan melalui DPMO, dll.
e) Time-bound
Tujuan proyek peningkatan kualitas Six Sigma harus menetapkan batas
waktu pencapaian tujuan itu dan harus dicapai secara tepat waktu.
2. Measure
Measure merupakan langkah operasional kedua dalam peningkatan kualitas
Six Sigma. Terdapat tiga hal pokok yang harus dilakukan dalam tahap Measure
yaitu (Gaspersz, 2002 hal 72):
15
1) Memilih atau menentukan karakteristik kualitas (CTQ)
Critical to Quality (CTQ) merupakan atribut-atribut dari suatu produk atau
proses yang sangat penting diperhatikan karena berkaitan langsung dengan
kebutuhan dan kepuasan pelanggan.
2) Mengembangkan rencana pengumpulan data
Pada dasarnya pengukuran karakteristik kualitas dapat dilakukan pada tiga
tingkat, yaitu:
a) Pengukuran pada tingkat proses
Mengukur setiap langkah atau aktivitas dalam proses dan karakteristik
kualitas input yang diserahkan oleh pemasok (supplier) yang
mengendalikan dan mempengaruhi karakteristik kualitas output yang
diinginkan. Contoh pengukuran pada tingkat proses adalah cycle time.
b) Pengukuran pada tingkat ouput
Mengukur karakteristik kualitas output yang dihasilkan dari suatu proses
dibandingkan terhadap spesifikasi karakteristik kualitas yang diinginkan
oleh pelanggan. Contoh pengukuran pada tingkat output adalah banyaknya
unit produk yang tidak memenuhi spesifikasi yang ditetapkan (banyak
produk cacat).
c) Pengukuran pada tingkat outcome
Mengukur bagaimana baiknya suatu produk (barang atau jasa) itu
memenuhi kebutuhan spesifik dan ekspetasi rasional dari pelanggan.
Contoh pengukuran pada tingkat outcome adalah tingkat kepuasan
pelanggan.
3) Mengukur baseline kinerja (performance baseline)
Six Sigma berfokus pada upaya-upaya dalam peningkatan kualitas menuju
kegagalan nol (Zero defect) sehingga memberikan kepuasan total 100%
kepada pelanggan. Oleh karena itu harus mengetahui tingkat kinerja yang
sekarang (current performance) atau dalam Six Sigma disebut baseline
kinerja. Baseline kinerja dalam Six Sigma ditetapkan menggunakan satuan
pengukuran DPMO (Defect per million opportunities) dan tingkat kapabilitas
16
sigma (sigma level). Pengukuran nilai DPMO dan kapabilitas sigma dapat
dihitung dengan rumus sebagai berikut:
𝐷𝑃𝑀𝑂 = (𝑏𝑎𝑛𝑦𝑎𝑘 𝑝𝑟𝑜𝑑𝑢𝑘 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑐𝑎𝑐𝑎𝑡
𝑏𝑎𝑛𝑦𝑎𝑘 𝑝𝑟𝑜𝑑𝑢𝑘 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑝𝑒𝑟𝑖𝑘𝑠𝑎 𝑥 𝐶𝑇𝑄 𝑝𝑜𝑡𝑒𝑛𝑠𝑖𝑎𝑙) 𝑥 1.000.000 ……. (1)
Selanjutnya untuk perhitungan nilai sigma dapat menggunakan tabel konversi
DPMO ke nilai sigma atau dapat menggunakan program Microsoft Excel
dengan menggunakan persamaan sebagai berikut:
𝑁𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑆𝑖𝑔𝑚𝑎 = 𝑛𝑜𝑟𝑚𝑠𝑖𝑛𝑣 (1.000.000−𝐷𝑃𝑀𝑂
1.000.000) + 1.5 ……………..……….. (2)
3. Analyze
Analyze merupakan langkah operasional ketiga dalam peningkatan kualitas Six
Sigma. Pada tahap ini perlu melakukan identifikasi masalah secara cepat,
menemukan sumber dan akar penyebab masalah kualitas, serta mengajukan solusi
masalah yang efektif dan efisien untuk mengambil tindakan menghilangkan akar-
akar penyebab itu. Selanjutnya akar-akar penyebab dari masalah yang ditemukan
itu dimasukkan ke dalam diagram sebab akibat yang telah mengkategorikan
sumber-sumber berdasarkan prinsip yaitu manusia, mesin, metode, material dan
lingkungan (Gaspersz, 2002 hal 200).
4. Improve
Improve merupakan langkah operasional keempat dalam peningkatan kualitas
Six Sigma. Setelah sumber-sumber dan akar penyebab dari masalah kualitas
terdientifikasi pada tahap analyze, maka perlu dilakukan penetapan rencana
tindakan (action plan) untuk peningkatan kualitas Six Sigma. Pada dasarnya
rencana-rencana tindakan (action plan) mendeskripsikan tentang alokasi sumber-
sumber daya prioritas atau alternatif yang dilakukan dalam implementasi dari
rencana itu (Gaspersz, 2002 hal 282).
17
5. Control
Control merupakan langkah operasional terakhir dalam peningkatan kualitas
Six Sigma. Pada tahap ini hasil-hasil peningkatan kualitas didokumentasikan dan
disebarluaskan, praktek-praktek terbaik yang sukses dalam meningkatkan proses
di standarisasikan dan sebarluaskan, prosedur-prosedur didokumentasikan dan
dijadikan pedoman kerja standar, serta kepemilikan atau tanggung jawab
ditransfer dari tim Six Sigma kepada pemilik atau penanggung jawab proses, yang
berarti proyek Six Sigma berakhir pada tahap ini. Standarisasi dimaksudkan untuk
mencegah masalah yang sama terulang kembali (Gaspersz, 2002 hal 293).
2.3. Tools of Quality Yang Digunakan Dalam Six Sigma
Ada berbagai alat perbaikan kualitas yang dapat digunakan dalam Six Sigma,
yaitu:
2.3.1. Flow chart
Flow chart merupakan diagram yang menunjukkan aliran atau urutan
suatu proses atau peristiwa. Diagram tersebut akan memudahkan dalam
menggambarkan suatu sistem, mengidentifikasi masalah, dan melakukan tindakan
pengendalian. Diagram tersebut akan lebih baik apabila disusun oleh suatu tim,
sehingga dapat diketahui serangkaian proses secara jelas dan tepat. Tindakan
perbaikan dapat dicapai dengan pengurangan atau penyederhanaan tahapan
proses, pengkombinasian proses, atau membuat frekuensi terjadinya langkah atau
proses lebih efisien (Ariani, 2004 hal 29). Adapun contoh digram flow chart dapat
dilihat pada gambar 2.2.
18
(Sumber: Tannady, 2015)
Gambar 2.2 Flow chart
2.3.2. Diagram pareto
Menurut Ariani (2004, hal 19) Diagram pareto diperkenalkan oleh seorang
ahli yaitu Alfredo Pareto (1848-1923). Diagram pareto ini merupakan suatu
gambar yang mengurutkan klasifikasi data dari kiri ke kanan menurut urutan
ranking tertinggi hingga terendah. Hal ini dapat membantu menemukan
permasalahan yang paling penting untuk segera diselesaikan (rangking tertinggi)
sampai dengan masalah yang tidak harus diselesaikan (rangking terendah). Prinsip
diagram pareto menyatakan bahwa 80% permasalahan perusahaan merupakan
hasil dari penyebab yang hanya 20%. Diagram pareto juga dapat mengidentifikasi
masalah yang paling penting yang mempengaruhi usaha perbaikan kualitas dan
memberikan petunjuk dalam mengalokasikan sumber daya yang terbatas untuk
menyelesaikan masalah.
Selain itu diagram pareto juga dapat digunakan untuk membandingkan
kondisi proses, misalnya ketidaksesuaian proses sebelum dan sesudah diambil
tindakan perbaikan terhadap proses. Hasil diagram pareto dapat digunakan
diagram sebab akibat untuk memetakan faktor-faktor penyebab masalah.
Pemecahan masalah haruslah berfokus atau memprioritaskan 80% penyebab
mayoritas/dominan terlebih dahulu.
19
Langkah-langkah penyusunan diagram pareto,yaitu:
1. Menentukan metode atau arti dari pengklasifikasian data, misalnya
berdasarkan masalah, penyebab, jenis ketidaksesuaian dan sebagainya.
2. Menentukan satuan yang digunakan untuk membuat urutan karakteristik-
karakteristik tersebut, misalnya rupiah, frekuensi, unit dan sebagainya.
3. Mengumpulkan data sesuai dengan interval waktu yang telah dilakukan.
4. Merangkum data dan membuat rangking kategori data tersebut dari yang
terbesar hingga yang terkecil.
5. Menghitung frekuensi kumulatif atau persentase kumulatif yang digunakan.
6. Menggambar diagram batang, menunjukkan tingkat kepentingan relatif
masing-masing masalah. Mengidentifikasi beberapa hal penting untuk
mendapat perhatian. Adapun contoh digram pareto dapat dilihat pada gambar
2.3.
(Sumber: Tannady, 2015)
Gambar 2.3 Diagram pareto
2.3.3. Diagram sebab akibat
Diagram sebab akibat (cause and effect diagram) atau diagram Ishikawa,
diagram ini dikembangkan oleh Dr. Kaoru Ishikawa pada tahun 1943. Diagram ini
tampak seperti tulang ikan, sehingga sering juga disebut dengan diagram tulang
ikan (fishbone diagram). Diagram sebab akibat menggambarkan garis dan simbol-
simbol yang menunjukkan hubungan antara akibat dan penyebab suatu masalah.
20
Diagram ini digunakan untuk mengetahui akibat dari suatu masalah untuk
selanjutnya diambil suatu tindakan perbaikan. Penyebab masalah ini dapat berasal
dari berbagai sumber utama, yaitu:
a) Manusia
Berkaitan dengan kekurangan dalam pengetahuan (tidak terlatih, tidak
berpengalaman), kekurangan dalam keterampilan dasar yang berkaitan dengan
mental dan fisik, kelelahan, stress, ketidakpedulian, dll.
b) Mesin dan peralatan
Berkaitan dengan tidak ada sistem perawatan preventif terhadap mesin-mesin
produksi, termasuk fasilitas dan peralatan lain, tidak sesuai dengan spesifikasi
tugas, tidak dikalibrasi, terlalu complicated, terlalu panas, dll.
c) Metode kerja
Berkaitan dengan tidak ada prosedur dan metode kerja yang benar, tidak jelas,
tidak diketahui, tidak terstandarisasi, tidak cocok, dll.
d) Material
Berkaitan dengan ketiadaan spesifikasi kualitas dari bahan baku dan bahan
baku penolong yang digunakan, ketidaksesuaian dengan spesifikasi kualitas
bahan baku dan bahan penolong yang ditetapkan, ketiadaan penanganan yang
efektif terhadap bahan baku dan bahan penolong itu, dll.
e) Lingkungan
Berkaitan dengan tempat dan waktu kerja yang tidak memperhatikan aspek
kebersihan, kesehatan dan keselamatan kerja, dan lingkungan kerja yang
kondusif, kekurangan dalam lampu penerangan, ventilasi yang buruk,
kebisingan yang berlebihan, dll.
Untuk mencari berbagai penyebab tersebut dapat digunakan teknik
brainstorming dari seluruh personil yang terlibat dalam proses yang sedang
dianalisis (Ariani, 2004, hal 24). Adapun contoh digram sebab akibat dapat dilihat
pada gambar 2.4.
21
(Sumber: Tannady, 2015)
Gambar 2.4 Diagram sebab akibat
2.3.4. FMEA (Failure Mode and Effect Analysis)
Menurut Gaspersz (2002, hal 246) FMEA adalah suatu prosedur
terstruktur untuk mengidentifikasi dan mencegah sebanyak mungkin mode
kagagalan (failure modes). Suatu mode kegagalan adalah apa saja yang termasuk
dalam kecacatan / kegagalan dalam desain, kondisi di luar batas spesifikasi yang
telah ditetapkan, atau perubahan-perubahan dalam produk yang menyebabkan
terganggunya fungsi dari produk tersebut. Menurut Hidayat (2007 hal 244),
FMEA adalah sistematika dari aktivitas yang mengidentifikasi dan mengevaluasi
tingkat kegagalan (failure) potensial yang ada pada sistem, produk, atau proses
terutama pada bagian akar-akar fungsi produk/proses pada faktor-faktor yang
mempengaruhi produk/proses. Tujuan FMEA adalah mengembangkan,
meningkatkan, dan mengendalikan nilai probabilitas dari failure yang terdeteksi
dari sumber (input) dan juga mereduksi efek-efek yang ditimbulkan oleh kejadian
failure tersebut. Menurut Tannady (2015) FMEA adalah alat perbaikan kualitas
yang berbentuk tabel dan berfungsi untuk mengidentifikasi dampak dari
kegagalan proses/desain, memberikan analisa mengenai prioritas dari
penanggulangan dengan menggunakan parameter nilai resiko prioritas atau Risk
Priority Number (RPN), mengidentifikasi modus kegagalan potensial, serta
meminimumkan peluang kegagalan di kemudian hari.
22
FMEA terdiri dari FMEA desain dan FMEA proses. FMEA desain
berfungsi untuk mendefinisikan akibat-akibat kegagalan yang terkait dengan
kegagalan pada tahap mendesain, kemudian membuat prioritas
penanggulangannya, agar rancangan dari produk yang akan didesain dapat
memenuhi keinginan dari pelanggan, hal ini juga membutuhkan desain masukan
dari pelanggan. Contoh dari kegagalan akibat desain adalah kesalahan dalam
menentukan jenis produk yang akan dijual, kesalahan dalam melakukan
pengembangan produk yang diestimasikan akan disukai oleh pasar. FMEA proses
berfungsi untuk mendefinisikan akibat-akibat kegagalan yang terkait dengan
kegagalan pada tahap proses, kemudian membuat prioritas penanggulangannya,
agar rancangan dari produk yang akan diproduksi dapat memenuhi keinginan dari
pelanggan, hal ini biasanya dapat dideteksi pada saar proses tengah berlangsung,
terdeteksi pada pengecekan setiap pemberhentian lini produksi. Contoh dari
kegagalan akibat proses adalah cacat pada produk akibat human error, cacat
produk akibat performa mesin kerja, cacat produk akibat tidak sesuainya dengan
SOP (Standar Operasional Prosedur).
Tabel FMEA adalah lembar kerja yang berisi input analisa FMEA. Untuk
mengisi tabel FMEA, perlu mengetahui terlebih dahulu item-item apa saja yang
terdapat pada tabel FMEA. Berikut adalah item-item yang terdapat pada tabel
FMEA:
1) Deskripsi part atau proses, yaitu part atau proses yang akan menjadi subyek
dari analisis.
2) Mode of failure potensial, yaitu suatu mode kegagalan yang terkait dengan
proses atau part.
3) Effect of failure potensial, yaitu efek atau akibat yang ditimbulkan dari mode
kegagalan yang terjadi.
4) (Severity) (S) yaitu seberapa besar dampak pengaruh efek dari suatu mode
kegagalan. Penilaian severity menggunakan skala 1 sampai 10 yang
ditunjukkan pada tabel 2.2 sebagai berikut:
23
Tabel 2.2 Rangking Severity
Rangking Kriteria
1
Negligible severity (pengaruh buruk yang dapat diabaikan). Tidak
perlu memikirkan bahwa akibat ini akan berdampak pada kinerja
produk. Pengguna akhir mungkin tidak akan memperhatikan
kecacatan atau kegagalan ini.
2
3
Mild severity (pengaruh buruk yang ringan/sedikit). Akibat yang
ditimbulkan hanya bersifat ringan. Pengguna akhir tidak akan
merasakan perubahan kinerja. Perbaikan dapat dikerjakan saat
pemeliharaan reguler (regular maintenance).
4
5
6
Moderate severity (pengaruh buruk yang moderat). Pengguna
akhir akan merasakan penurunan kinerja atau penampilan, namun
masih berada dalam batas toleransi. Perbaikan yang dapat
dilakukan tidak akan mahal, jika terjadi downtime hanya dalam
waktu singkat.
7
8
High severity (pengaruh buruk yang tinggi). Pengguna akhir akan
merasakan akibat buruk yang tidak dapat diterima, berada diluar
batas toleransi. Akibat yang akan terjadi tanpa pemberitahuan atau
peringatan terlebih dahulu. Downtime akan berakibat biaya yang
sangat mahal. Penurunan kinerja dalam area yang berkaitan
dengan peraturan pemerintah, namun tidak berkaitan dengan
keamanan dan keselamatan.
9
10
Potential safety problems (masalah keselamatan/keamanan
potensial). Akibat yang ditimbulkan sangat berbahaya yang dapat
terjadi tanpa pemberitahuan atau peringatan terlebih dahulu.
Bertentangan dengan hukum. (Sumber: Gaspersz, 2002 hal 250)
5) Cause of failure potensial, yaitu penyebab dari mode kegagalan yang terjadi.
6) (Occurrence) (O), yaitu
Occurrence adalah seberapa besar peluang frekuensi suatu masalah terjadi
karena mode kagagalan. Penilaian occurance menggunakan skala 1 sampai 10
yang ditunjukkan pada tabel 2.3 sebagai berikut:
24
Tabel 2.3 Rangking Occurrence
Rangking Kriteria Tingkat
1 Tidak mungkin bahwa penyebab ini yang
mengakibatkan mode kegagalan.
1 dalam 1.000.000
2
3 Kegagalan akan jarang terjadi.
1 dalam 20.000
1 dalam 4.000
4
5
6
Kegagalan agak mungkin terjadi.
1 dalam 1.000
1 dalam 400
1 dalam 80
7
8 Kegagalan sangat mungkin terjadi.
1 dalam 40
1 dalam 20
9
10
Hampir dapat dipastikan bahwa kegagalan
akan terjadi.
1 dalam 8
1 dalam 2 (Sumber: Gaspersz, 2002 hal 251)
7) Current control, yaitu metode atau tindakan tertentu yang telah dilakukan
perusahaan saat ini untuk mendeteksi atau mengatasi mode kegagalan yang
terjadi.
8) Detection (D), yaitu penilaian bagaimana kemampuan efektivitas dari metode
deteksi atau pencegahan saat ini untuk mengendalikan atau mengontrol mode
kegagalan yang terjadi. Penilaian Detection menggunakan skala 1 sampai 10
ditunjukkan pada tabel 2.4 sebagai berikut:
Tabel 2.4 Rangking Detection
Rangking Kriteria Tingkat kejadian
penyebab
1
Metode pencegahan atau deteksi sangat
efektif. Tidak ada kesempatan bahwa
penyebab mungkin masih muncul atau terjadi.
1 dalam 1.000.000
2
3
Kemungkinan bahwa penyebab itu terjadi
rendah.
1 dalam 200.000
1 dalam 4.000
4
5
6
Kemungkinan penyebab terjadi bersifat
moderat. Metode pencegahan atau deteksi
masih memungkinkan kadang-kadang
penyebab itu terjadi.
1 dalam 1.000
1 dalam 400
1 dalam 80
7
8
Kemungkinan bahwa penyebab itu terjadi
masih tinggi. Metode pencegahan atau deteksi
kurang efektif, karena penyebab masih
berulang kembali.
1 dalam 40
1 dalam 20
9
10
Kemungkinan bahwa penyebab itu terjadi
sangat tinggi. Metode deteksi kurang efektif,
penyebab akan selalu terjadi
1 dalam 8
1 dalam 2
(Sumber: Gaspersz, 2002 hal 254)
25
9) RPN (Risk Priority Number)
RPN merupakan hasil perkalian antara Severity, Occurrence dan Detection.
𝑅𝑃𝑁 = 𝑆 𝑥 𝑂 𝑥 𝐷. Setelah itu menyusun RPN dari yang terbesar sampai yang
terkecil, maka dari hasil RPN itu dapat menentukan mode kegagalan yang
paling kritis sehingga perlu mendahulukan tindakan korektif pada mode
kegagalan itu.
9) Action recommendation, yaitu tindakan rekomendasi perbaikan untuk
mengurangi kemungkinan penyebab munculnya mode kegagalan itu akan
terjadi dan meningkatkan efektivitas dari metode-metode pencegahan atau
deteksi.
Tabel 2.4 Tabel FMEA
Deskripsi
part/proses
Mode of
failure
potensial
Effect of
failure
potensial
S
Causes
of
failure
O Current
control D RPN
Action
recommendation
top related