bab ii landasan teori a. pengertian hak politik...
Post on 07-Apr-2019
235 Views
Preview:
TRANSCRIPT
12
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Pengertian Hak Politik Perempuan
Secara yuridis formal hak politik perempuan merupakan hak azasi
sebagaimana dimuat dalam Deklarasi Universal Hak-Hak Azasi Manusia
Tahun 1948. Pasal 1 intinya adalah bahwa semua orang dilahirkan merdeka
dan mempunyai martabat dan hak-hak yang tidak berbeda. Pasal 7
menegaskan bahwa setiap orang berhak atas perlindungan hukum yang sama
dan Pasal 21 menentukan bahwa setiap orang berhak turut serta dalam
pemerintahan negerinya sendiri, baik dengan langsung maupun melalui wakil-
wakil yang dipilih secara bebas. Setiap orang berhak atas kesempatan yang
sama, untuk diangkat dalam jabatan pemerintahan di negerinya.
Selain itu perlu diperhatikan pula bahwa pemerintah telah meratifikasi
konvesi tentang hak politik perempuan sebagaimana tertuang dalam UU No.
68 Tahun 1958. Dalam UU tersebut terdapat ketentuan bahwa perempuan
berhak memberikan suara dalam semua pemilihan dengan status yang sama
dengan pria tanpa diskriminasi. Selain itu UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak
Azasi Manusia khususnya Pasal 46 secara tegas memberikan jaminan
keterwakilan perempuan. Atas dasar itu semua, kiranya tidak perlu ragu
bahwa perempuan pun juga dijamin hak politiknya. Persoalannya terletak
pada perempuan sendiri mau atau tidak memanfaatkan jaminan hukum ini.
13
Memperhatikan tentang ruang politik yang sudah terbuka bagi kaum
perempuan, maka dapatlah dikatakan perempuan dapat mengimplementasikan
hak politiknya secara terbuka pula. Adanya jaminan mengenai hak politik,
memberikan dampak yang sangat positif bagi pergerakan politik kaum
perempuan. Dalam upaya merepresentasikan hak politik dalam
keterwakilannya, dalam pengambilan keputusan politik, maka yang perlu
untuk dilihat ialah konteks perempuan dan perwakilan politik. Hal ini sangat
perlu untuk dicermati guna memperhatikan lebih jauh tentang aktualisasi
perempuan dalam perwakilan politik yang mereka jalani.1
B. Pengaturan Hak Politik Perempuan
1. Menurut Undang-Undang Dasar 1945
Jaminan bagi hak berpartisipasi dalam jaringan pemerintah dan
politik di Negara Republik Indonesia, pertama-tama ditetapkan dalam
Pasal 1 ayat (2) UUD 19452. Undang-Undang Dasar merupakan ketentuan-
ketentuan fundamental tentang organisasi dan kebijaksanaan Pemerintah,
sedangkan GBHN merupakan Garis Besar Kebijaksanaan Pemerintah dan
Pembangunan dalam menjalankan ketatalaksanaan pembangunan untuk
1 Utami Santi Wijaya Hesti dkk, Perempuan dalam Pusaran Demokrasi, dari Pintu
Otonomi ke Pemerdayaan, Penerbit IP4 Lappera Indonesia, Bantul, 2001, h.. 40-41.
2Pasal 1 ayat (2) UUD 1945: “kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan
menurut Undang-Undang Dasar”
14
mencapai tujuan seperti yang tertuang dalam UUD. Jaminan lainnya
tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945:3
“Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum
dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Hukum yang di
maksud dalam hal ini meliputi hukum tertulis dan tidak tertulis,
hukum nasional dan hukum internasional, hukum publik dan hukum
privat yang memberi jaminan hukum bagi berbagai aspek kehidupan
rakyat. Pemerintahan yang dimaksud meliputi bidang pemerintahan
legislatif, eksekutif dan yudikatif, dan lain-lainnya pada tingkat
pemerintahan baik di pusat maupun daerah yang memberi jaminan
hak partisipasi untuk turut menjalankan pemerintahan sepanjang
memenuhi prasaratan sebagai diatur dalam perundang-undangan.”
Sedangkan dalam pasal 28 D ayat (3) UUD 19454 telah
dikemukakan bahwa adanya persamaan hak bagi setiap warga negara
dalam pemerintahan. Dengan adanya ketentuan tersebut mengisyaratkan
bahwa adanya jaminan hak yang sama antar laki-laki dan perempuan untuk
berkiprah dalam dunia politik.
2. Menurut Undang-Undang Nomor 39 Tahun tentang HAM
Negara Republik Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi hak
azasi manusia dan kebebasan dasar manusia sebagai hak yang secara
kodrati melekat pada dan tidak terpisahkan dari manusia, yang harus
3 Sastriani Siti Hariti, Gender and Politics,Penerbit Pusat Studi Wanita Universitas
Gajah Mada dengan Tiara Wacana, Yogyakarta, 2009, h. 202
4 Pasal 28D ayat (3): “Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama
dalam pemerintahan”
15
dilindungi, dihormati, dan ditegakkan demi peningkatan martabat
kemanusiaan, kesejahteraan, dan kecerdasan serta keadilan.5 Hak tersebut
meliputi juga hak politik bagi kaum perempuan yang tercantum pada pasal
46 Undang-undang HAM, yang berbunyi sebagai berikut:
“Siatem pemilihan umum, kepartaian, pemilihan anggota badan
legislatif, dan sistem pengangkatan di bidang eksekutif, yudikatif,
harus menjamin keterwakilan wanita sesuai persyaratan yang
ditentukan”
Di dalam pasal tersebut dicantumkan secara tegas adanya jaminan
keterwakilan perempuan dalam siatem pemilihan umum, kepartaian,
pemilihan anggota badan legislatif, dan sistem pengangkatan di bidang
eksekutif, yudikatif. Hal tersebut mencerminkan adanya perlindungan hak
politik bagi kaum perempuan yang bertujuan untuk mencegah terjadinya
diskriminasi.
3. Menurut Undang-Undang Partai Politik dan Undang-Undang Pemilu
Kedua undang-undang ini bersifat diskriminatif karena memberikan
perlakuan khusus kepada perempuan dengan mencantumkan kuota 30%
keterwakilan perempuan dalam Partai Politik dan Parlemen.
Pengaturan Hak Politik perempuan di dalam Undang-Undang Partai
Politik dan Undang-Undang PEMILU terdapat pada Pasal 2 ayat (2) dan
ayat (5) sedangkan dalam Undang-Undang PEMILU terdapat pada Pasal 8
ayat (2E) dan Pasal 55.
Isi dari Pasal-pasal tersebut sebagai berikut:
5Pasal 2 Undang-Undang HAM
16
Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Partai Politik berbunyi:
“Pendirian dan pembentukan Partai Politik sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) menyertakan 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan
perempuan.”
Pasal 2 ayat (5) Undang-Undang Partai Politik berbunyi:
“Kepengurusan Partai Politik tingkat pusat sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) disusun dengan menyertakan paling rendah 30% (tiga
puluh perseratus) keterwakilan perempuan.”
Pasal 8 ayat (2E) Undang-Undang PEMILU:
“Partai politik yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara
pada Pemilu sebelumnya atau partai politik baru dapat menjadi
Peserta Pemilu setelah memenuhi persyaratan menyertakan
sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen) keterwakilan
perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat”
Sedangkan Pasal 55 berbunyi:
“Daftar bakal calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal
536memuat paling sedikit 30% (tiga puluh persen) keterwakilan
perempuan”
4. Menurut CEDAW
CEDAW sebagai salah satu konvensi keperempuanan internasional
yang bertujuan meminimalisir diskriminasi terhadap perempuan,
mengakomodir hak-hak terhadap perempuan. Hak-hak tersebut adalah hak
Persamaan dalam Kehidupan Politik dan Kemasyarakatan pada Tingkat
Nasional, hak Persamaan dalam Kehidupan Politik dan Kemasyarakatan
pada Tingkat Internasional, hak Persamaan dalam Hukum Nasional, Hak
Persamaan dalam Pendidikan, Persamaan dalam Hak Pekerja dan Buruh,
6Daftar bakal calon yang dimaksud dalam Pasal 53 adalah daftar bakal calon anggota
DPR dan DPD.
17
Hak atas Persamaan Kesempatan atas Pelayanan Fasilitas Kesehatan dan
hak atas Jaminan Keuangan dan Sosial.
Hak politik sebagai salah satu hak perempuan yang dilindungi
dalam CEDAW adalah hak Persamaan dalam Kehidupan Politik dan
Kemasyarakatan pada Tingkat Nasional dan pada tingkat internasional.
Pengaturan mengenai hak politik perempuan dalam CEDAW diatur dalam
Pasal tujuh (7) dan Pasal delapan (8).
Dalam Pasal 7 disebutkan bahwa:
“Negara-negara Pihak harus mengambil semua langkah perlu untuk
menghapus diskriminasi terhadap perempuan dalam kehidupan
politik, kehidupan kemasyarakatan negaranya, dan khususnya
menjamin bagi perempuan, atas dasar persamaan dengan laki-laki,
hak sebagai berikut”:
a. Untuk memberikan suara dalam semua pemilihan dan
referendum publik, dan untuk dipilih pada semua badan badan
yang secara umum dipilih;
b. Untuk berpartisipasi dalam perumusan kebijakan pemerintah
dan pelaksanaannya, serta memegang jabatan publik dan
melaksanakan segala fungsi publik di semua tingkat
pemerintahan;
c. Untuk berpartisipasi dalam organisasi-organisasi dan
perkumpulan-perkumpulan Non-Pemerintah yang berhubungan
dengan kehidupan masyarakat dan politik negara.”
Pasal 7 menghendaki Negara-negara Pihak untuk melakukan dua
tahapan kegiatan, untuk menciptakan persamaan dalam kehidupan politik
dan kemasyarakatan bagi perempuan. Pertama, Negara-negara harus
menyebarluaskan hak yang telah dijamin berdasarkan Pasal 25 Kovenan
Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, dan memberi jaminan terhadap
perempuan untuk memberikan suara pada setiap pemilihan umum dan
referendum. Masalah penting bagi perempuan adalah hak untuk
18
memberikan suara secara rahasia. Perempuan yang tidak diijinkan
memberikan suara secara rahasia sering dipaksa untuk memberikan suara
yang sama dengan suami mereka, dan karenanya menghalangi mereka
untuk mengungkapkan pendapatnya sendiri.
Kedua, Pasal 7 mengakui bahwa walaupun hal ini penting, hak untuk
memilih saja tidaklah cukup untuk menjamin partisipasi yang nyata dan
efektif bagi perempuan dalam proses politik. Oleh sebab itu Pasal ini
menghendaki Negara untuk memastikan bahwa perempuan mempunyai
hak untuk dipilih dalam badan-badan publik dan untuk memegang jabatan
publik lainnya dan kedudukan dalam organisasi non-pemerintah.
Kewajiban-kewajiban ini dapat dilaksanakan dengan memasukkan
perempuan dalam daftar calon pemerintah, affirmative action dan kuota,
dengan menghapus pembatasan berdasarkan gender pada posisi tertentu,
meningkatkan tingkat kenaikan jabatan bagi perempuan, dan
mengembangkan program pemerintah untuk menarik lebih banyak
perempuan ke dalam peran kepemimpinan politik yang punya arti penting
(tidak sekedar nominal).
Dalam Pasal 8 disebutkan bahwa:
“Negara-negara Pihak harus mengambil semua upaya-upaya yang
tepat untuk memastikan agar perempuan memiliki kesempatan
mewakili Pemerintah mereka pada tingkat internasional dan untuk
berpartisipasi dalam pekerjaan organisasi-organisasi internasional,
atas dasar persamaan dengan laki-laki dan tanpa diskriminasi
apapun.”
19
Walaupun banyak keputusan-keputusan yang berpengaruh langsung
terhadap kehidupan perempuan dibuat di dalam negaranya sendiri,
kecenderungan politik, hukum dan gejala sosial didorong dan diperkuat
pada tingkat internasional. Untuk alasan ini maka pentinglah bahwa
perempuan terwakili secara memadai dalam forum internasional sebagai
anggota delegasi pemerintah dan sebagai pekerja pada organisasi
internasional. Tujuan perwakilan yang setara bagi perempuan dalam
tingkat internasional masih jauh dari kenyataan. Dalam rekomendasi
umum No 8 yang ditetapkan pada sidang ketujuh tahun 1988, Komite
Mengenai Penghapusan Diskriminasi Terhadap Perempuan
merekomendasikan agar dalam pelaksanaan Pasal 8 Konvensi, Negara-
negara Pihak memberlakukan tindakan khusus yang sementara misalnya
affirmative action dan diskriminasi yang positif sebagaimana dituangkan
dalam pasal 4. Negara-negara juga harus menggunakan pengaruhnya
dalam organisasi internasional untuk memastikan agar perempuan
terwakili secara setara dan memadai.
Jadi, dalam CEDAW secara jelas telah cukup diakomodir tentang
hak-hak politik perempuan, tetapi yang menjadi permasalahan kemudian
adalah negara-negara peratifikasi konvensi CEDAW tidak memberikan
perhatian khusus terhadap hak politik perempuan. Sehingga relisasi dan
perkembangan hak politik perempuan tidak berjalan dengan baik.
20
C. Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
yang Baik
1. Pengertian Asas-asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
yang Baik7
Asas-asas pembentukan perundang-undangan adalah suatu pedoman
atau suatu rambu-rambu dalam pembentukan peraturan perundang-
undangan yang baik.
Dalam bidang hukum yang menyangkut pembentukan peraturan
perundang-undangan negara, Burkhardt Krems menyebukannya dengan
istilah staatsliche Rechtssetzung, sehingga pembentukan peraturan itu
menyangkut:
1. Isi peraturan (Inhalt der Regelung)
2. Bentuk dan susunan peraturan (Form der Regelung)
3. Metode pembentukan peraturan(Metodhe der Ausarbeitung der
Regelung); dan
4. Prosedur dan proses pembentukan peraturan (Verfahren der
Ausarbeitung der Regelung).
7 Indrati Maria Farida, Ilmu PerUndang-Undangan, Cet. 13, Penerbit Kanisius (Anggota
IKAPI), 2007, h. 252-253.
21
Berdasarkan hal-hal tersebut, maka asas bagi pembentukan
peraturan perundang-undangan negara akan meliputi asas-asas hukum
yang berkaitan dengan itu.
Selain itu Paul Scholten mengemukakan bahwa, sebuah asas hukum
(rechtsbeginsel) bukanlah sebuah aturan hukum (Rechtsregel). Untuk
dapat dikatakan sebagai aturan hukum, sebuah asas hukum adalah terlalu
umum sehingga ia atau bukan apa-apa atau berbicara terlalu banyak (of
niets of veel te vell zeide). Penerapan asas hukum secara langsung melalui
jalan subsumsi atau pengelompokan sebagai aturan tidaklah mungkin,
karena itu lebih dulu perlu dibentuk isi yang lebih kongkrit. Dengan
perkataan lain, asas hukum bukankah hukum, namun hukum tidak akan
dapat dimengerti tanpa asas-asas tersebut. Scholten mengemukakan lebih
lanjut, adalah menjadi tugas ilmu pengetahan hukum untuk menelusuri dan
mencari asas hukum itu dalam hukum positif.
2. Asas-asas Pembentukan Peraturan Negara yang Baik Menurut
I.C.van dwr Vlies8
Di dalam bukunya yang berjudul “Het wetsbegrip en beginselen
van behoorlijke regelgeving” I.C van der Vlies membagi asas-asas dalam
pembentukan peraturan negara yang baik (beginselen van behoorlijke
regelgeving) ke dalam asas-asas yang formal dan yang material.
8 Ibid., h. 253-254.
22
Asas-asas formal meliputi:
1. Asas tujuan yang jelas (beginsel van duidelijke doelstelling);
2. Asas organ/lembaga yang tepat (beginsel van het juiste organ);
3. Asas perlunya pengaturan (het noodzakelijkheids eginsel);
4. Asas dapatnya dilaksanakan (het beginsel van uitvoerbaarheid);
5. Asas kosensus (het beginsel van cosensus).
Asas-asas yang material meliputi:
1. Asas tentang terminologi dan sistematika yang benar (het beginsel
van duidelijke terminologi en duidelijke systematiek);
2. Asas tentang dapat dikenali (het beginsel van de kenbarheid);
3. Asas perlakuan yang sama dalam hukum (het
rechtsgelijkhidsbeginsel);
4. Asas kepastian hukum (het rechtszekerheidsbeginsel);
5. Asas pelaksanaan hukum sesuai keadaan individual (het beginsel
van de individuele rechtsbedeling).
3. Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Yang Patut
Menurut A. Hamid S. Attamimi9
A. Hamid S. Attamimi berpendapat bahwa pembentukan peraturan
perundang-undangan Indonesia yang patut adalah sebagai berikut:
a. Cita hukum Indonesia
9 Ibid., h. 254-257.
23
b. Asas negara berdasar atas hukum dan asas pemerintahan berdasar
sisitim konstitusi
c. Asas-asas lainnya
Dengan demikian, asas-asas pembentukan peraturan perundang-
undangan Indonesia yang patut akan mengikuti pedoman dan bimbingan
yang diberikan oleh:
a. Cita hukum Indonesia yang tidak lain melainkan Pancasila (sila-sila
dalam hal tersebut berlaku sebagai cita (idee), yang berlaku sebagai
bintang pemandu).
b. Norma fundamental negara yang juga tidak melainkan Pancasila
(sila-sila dalam hal tersebut berlaku sebagai norma).
(1) asas-asas negara berdasar atas hukum yang menempatkan
Undang-undang sebagai alat pengaturan yang khas berada
dalam keutamaan hukum (der Primat des Rechts);
(2) Asas-asas pemerintahan berdasar sistem konstitusi yang
menempatkan Undang-undang sebagai dasar dan batas
penyelenggaraan kegiatan-kegiatan pemerintahan.
Asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang patut
meliputi juga:
1. Asas tujuan yang jelas;
2. Asas perlunya pengaturan;
24
3. Asas organ/lembaga dan materi muatan yang tepat;
4. Asas dapatnya dilaksanakan;
5. Asas dapatnya dikenali;
6. Asas perlakuan yang sama dalam hukum;
7. Asas kepastian hukum;
8. Asas pelaksanaan hukum sesuai keadaan individual.
Apabila mengikuti pembagian mengenai adanya asas yang formal
dan asas material, maka A. Hamid S. Attamimi cenderung untuk membagi
asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang patut tersebut
kedalam:
a. Asas-asas formal, dengan perincian:
1. Asas tujuan yang jelas;
2. Asas perlunya pengaturan;
3. Asas organ/lembaga yang tepat;
4. Asas materi muatan yang tpat;
5. Asas dapatnya dilaksanakan; dan
6. Asas dapat dikenali;
b. Asas-asas material, dengan perincian:
1. Asas sesuai dengan Cita Hukum Indonesia dan Norma
Fundamental Negara;
2. Asas sesuai dengan Hukum Dasar Negara;
25
3. Asas sesuai dengan prinsip-prinsip Pemerintahan Berdasar Sistem
Konstitusi.
Dengan mengacu pada asas-asas pembentukan peraturan perundang-
undangan Indonesia yang patut tersebut, dapat diharapkan terciptanya
perturan perundang-undangan yang baik dan dapat mencapai tujuan secara
optimal dalam pembangunan hukum di Negara Republik Indonesia.
4. Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang Baik
Menurut Undang-undang No.10 Th.200410
Asas pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik seperti
di kemukakan di atas dirumuskan juga dalam Undang-undang No.10 Th.
2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan khususnya
Pasal 5 dan Pasal 6 yang dirumuskan sebagai berikut:
Pasal 5:
Dalam membentuk peraturan Perundang-undangan harus
berdasarkan pada asas pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang
baik meliputi:
a. Kejelasan tujuan;
b. Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat;
c. Kesesuaian antara jenis dan materi muatan;
d. Dapat dilaksanakan;
10 Ibid., h. 257-264.
26
e. Kedayagunaan dan kehasilgunaan;
f. Kejelasan rumusan; dan
g. Keterbukaan.
Asas-asas yang dimaksutkan dalam pasal 5 diberikan penjelasannya
dalam penjelasan sebagai berikut:
a. Asas kejelasan tujuan adalah bahwa setiap pembentukan peraturan
perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang
hendak dicapai.
b. Asas kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat adalah bahwa
setiap jenis peraturan perundang-undangan harus dibuat oleh
lembaga/pejabat pembentuk peraturan perundang-undangan tersebut
dapat dibatalkan demi hukum, bila dibuat oleh lembaga/pejabat yang
tidak berwenang.
c. Asas kesesuaian antara jenis dan materi muatan adalah bahwa dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan harus benar-benar
memperhatikan materi muatan yang tepat dengan jenis peraturan
perundang-undangannya.
d. Asas dapat dilaksanakan adalah bahwa setiap pembentukan
peraturan perundang-undangan harus memperhitungkan efektifitas
peraturan perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat, baik
secara filosofis, yuridis maupun sosiologis.
27
e. Asas kedayagunaan dan kehasilgunaan adalah bahwa setiap
peraturan perundang-undangan dibuat karena memang benar-benar
dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
f. Asas kejelasan rumusan adalah bahwa setiap peraturan perundang-
undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan peraturan
perundang-undangan, sistematika dan pilihan kata atau terminologi,
serta bahasa hukumnya jelas dan mudah dimengerti, sehingga tidak
menimbulkan berbagai macam interprestasi dalam pelaksanaannya.
g. Asas keterbukaan adalah bahwa dalam proses pembentukan
peraturan perundang-undangan mulai dari perencanaan, persiapan,
penyusunan, dan pembahasan bersifat transparan dan terbuka.
Dengan demikian masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-
luasnya untuk memberikan masukan dalam proses pembentukan
peraturan perundang-undangan.
Sementara itu, asas-asas yang harus dikandung dalam materi muatan
Peraturan Perundang-undangan di Negara Republik Indonesia dirumuskan
dalam Pasal sebagai berikut
Pasal 6
1. Materi muatan Peraturan Perundang-undangan mengandung asas:
a. Pengayoman;
b. Kemanusiaan;
28
c. Kebangsaan;
d. Kekeluargaan;
e. Kenusantaraan;
f. Bhineka Tunggal Ika;
g. Keadilan;
h. Kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;
i. Ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau
j. Keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.
2. Selain asas yang dimasud ayat (1), Peraturan Perundang-undangan
tertentu dapat berisi asas lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan
Perundang-undangan yang bersangkutan.
Apa yang dimaksutkan dengan asas-asas yang berlaku dalam materi
muatan Peraturan Perundang-undangan tersebut dijelaskan dalam
penjelasan Pasal 6 ayat (1) sebagai berikut:
Penjelasan Pasal 6 ayat (1):
a. Asas pengayoman adalah bahwa setiap peraturan perundang-
undangan harus berfungsi memberikan perlindungan dalam rangka
menciptakan ketentraman masyarakat.
b. Asas kemanusiaan adalah bahwa setiap materi muatan peraturan
perundang-undangan harus mencerminkan perlindungan dan
29
pengayoman hak-hak asasi manusia serta harkat dan martabat setiap
warga negara dan penduduk Indonesia secara proposional.
c. Asas kebangsaan adalah bahwa setiap materi muatan peraturan
perundang-undangan harus mencerminkan sifat dan watak bangsa
Indonesia yang pluralisik (kebhinekaan) dengan tetap menjaga
prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
d. Asas kekeluargaan adalah bahwa setiap materi muatan peraturan
perundang-undangan harus mencerminkan musyawarah untuk
mencapai mufakat dalam setiap pengambilan keputusan.
e. Asas kenusantaraan adalah bahwa setiap materi muatan peraturan
perundang-undangan senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh
wilayah Indonesia dan materi muatan peraturan perundang-undangan
yang dibuat di daerah merupakan bagian dari sistem hukum nasional
yang berdasarkan Pancasila.
f. Asas Bhineka Tunggal Ika adalah materi muatan peraturan
perundang-undangan harus memperhatikan keragaman penduduk,
agama, suku dan golongan, kondisi khusus daerah, dan budaya
khususnya yang menyangkut masalah-masalah sensitif dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
g. Asas keadilan adalah bahwa setiap materi muatan peraturan
perundang-undangan harus mencerminkan keadilan secara
peroposional bagi setiap warga negara tanpa kecuali.
30
h. Asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan adalah
bahwa materi muatan peraturan perudang-undangan tidak boleh
berisi hal-hal yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang,
antara lain agama, suku, ras, golongan, gender, atau status sosial.
i. Asas ketertiban dan kepastian hukum adalah bahwa setiap materi
muatan peraturan perundang-undangan harus dapat menimbulkan
ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan adanya kepastian
hukum.
j. Asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan adalah bahwa
materi muatan setiap peraturan perundang-undangan harus
mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, antara
kepentingan individu dan masyarakat dengan kepentingan bangsa
dan negara.
Penjelasan Pasal 6 ayat (2) menjelaskan bahwa:
Yang dimaksud dengan “asas lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan
Perundang-undangan yang bersangkutan” antara lain:
a. Dalam Hukum Pidana, misalnya asas legalitas, asas tidak hukuman
tanpa kesalahan, asas pembinaan narapidana, dan asas praduga tak
bersalah;
b. Dalam Hukum Perdata, misalnya dalam hukum perjanjian antara lain
asas kesepakatan, kebebasan berkontrak, dan itikat baik.
31
Dari beberapa asas hukum yang dikemukakan oleh I.C.van dwr
Vlies, A. Hamid S. Attamimi, dan yang terdapat dalam Undang-undang
No.10 Tahun 2004 penulis hanya akan menggunakan tiga asas guna
menjawab permasalahan yang sedang penulis teliti yaitu asas kejelasan
tujuan, asas kedaya gunaan dan kehasil gunaan dan asas perlakuan yang
sama di depan hukum.
D. Pengertian Affirmatif Action (Tindakan Khusus Sementara)
Pengertian awal affirmative action adalah hukum dan kebijakan yang
mensyaratkan dikenakannya kepada kelompok tertentu pemberian
kompensasi dan keistimewaan dalam kasus-kasus tertentu guna mencapai
representasi yang lebih proporsional dalam beragam institusi dan okupasi. Ia
merupakan diskriminasi positif (positive discrimination) yang dilakukan
untuk mempercepat tercapainya keadilan dan kesetaraan. Salah satu sarana
terpenting untuk menerapkannya adalah hukum, dimana jaminan
pelaksanaannya harus ada dalam Konstitusi dan UU.11
Affirmative action dapat diartikan sebagai “A policy or a program
that seeks to redress past discrimination through active measures to ensure
equal opportunity, as in education and employment.12
(Kebijakan atau
program yang berusaha untuk memperbaiki tindakan diskriminasi yang
11 http://www.institutperempuan.or.id/?p=17 , diakses tanggal 25 mei 2014.
12 http://www.answers.com/topic/affirmative-action. diakses tanggal 25 mei 2014
32
terjadi pada masa lalu melalui tindakan aktif untuk menjamin kesempatan
yang sama, seperti dalam pendidikan dan pekerjaan).
Affirmative action merupakan kebijakan khusus yang bersifat
sementara dari sekian banyak kebijakan untuk meningkatkan peran serta
perempuan dalam dunia sosial, ekonomi dan politik. Sebenarnya masih ada
banyak hal yang bisa dilakukan terkait kebijakan affirmative action bidang
politik, antara lain seperti yang diterangkan Pippa Norris, bahwa kebijakan
affirmative selain menempatkan perempuan dalam daftar calon anggota
legislatif sebagai calon potensial, bisa juga dilakukan dengan memberikan
pelatihan khusus, dukungan pendanaan dan publikasi berimbang terhadap
calon perempuan tersebut.13
Tentu saja terminal akhir dari affirmative action
itu adalah meningkatkan keterwakilan politik perempuan dan tercapainya
kesetaraan gender.
E. Tujuan Affirmatif Action
Tujuan tindakan afirmatif yang merupakan tindakan sementara adalah
mendorong jumlah perempuan lebih banyak di DPR, DPRD provinsi, dan
DPRD kabupaten/kota.14
Menurut Ani Widyani,15
bahwa pada awalnya
affirmative action dirancang untuk menanggapi kondisi ekonomi kelompok-
13 Jurnal Konstitusi PSHK-FH UII, Volume II Nomor 1, Pippa Norris dalam Masnur
Marzuki, Affirmative Action dan Paradoks Demokrasi, Juni 2009 hlm. 10. 14
Pendapat berbeda (dissenting opinion) Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati dapat
dilihat di bab 3 halaman 112
15 Widyani Ani, Politik Perempuan Bukan Gerhana: Esai-Esai Pilihan, Penerbit Buku
Kompas, Jakarta, 2005, hlm. 100
33
kelompok tertentu dalam masyarakat. Tujuannya saat itu adalah untuk
memperbaiki posisi dan kedudukan ekonomi perempuan atau kelompok kulit
berwarna di Amerika sebagai dampak dari kebijakan segresasi dan
diskriminasi yang menimpa mereka.
Implikasi atas berbagai macam diskriminasi terhadap kelompok
minoritas yang terjadi selama kurun waktu yang relatif lama itu telah
menyebabkan mereka tertinggal dalam segala aspek baik di bidang ekonomi
maupun partisipasi di bidang politik. Untuk mengakselerasi dan menciptakan
kesetaraan kelompok marjinal tersebut akibat ketidakadilan yang dialaminya,
maka berbagai macam hal dilakukan. Termasuk di antaranya adalah dengan
mengeluarkan kebijakan affirmative action yaitu memberikan hak istimewa
kepada kelompok minoritas agar mampu sejajar kedudukannya dengan
kelompok-kelompok lain dalam jangka waktu tertentu sampai kesetaraan itu
tejadi.
Kebijakan diskriminatif positif yang bersifat sementara ini
dibolehkan oleh hukum sebagaimana bunyi Pasal 28H ayat (2) UUD 1945
menetapkan, “Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan
khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna
mencapai persamaan dan keadilan” dan Pasal 4 Konvensi Penghapusan
Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW) yang
menegaskan bahwa:
“Penggunaan langkah sementara yang dilakukan pemerintah untuk
memacu kesetaraan laki-laki dan perempuan secara de facto tidak
dianggap diskriminasi. Tetapi hal itu tidak boleh dilanggengkan
34
karena sama dengan memelihara ketidaksetaraan dan standar yang
berbeda. Langkah itu harus segera dihentikan ketika tujuan dari
kesetaraan, kesempatan dan tindakan telah tercapai”.
Secara teoritik, kebijakan afirmasi ini tidak ada yang menentangnya.
Namun dalam praktek sering muncul perdebatan terutama bila kebijakan
affirmative action itu diterjemahkan menjadi penentuan kuota tertentu.
Memang ketika berbicara affirmative action, maka persoalan yang terkait di
dalamnya adalah persoalan kuota yang di banyak negara banyak dipakai
sebagai salah satu cara untuk mengejewantahkan adanya kebijakan
affirmative action ini. Para pejuang dan pembela hak-hak perempuan
menganggap bahwa kebijakan kuota bisa menjadi salah satu alternatif yang
efektif bagi terciptanya kesetaraan kaum minoritas (perempuan) di parlemen.
Di sisi lain tidak sedikit pula kelompok-kelompok yang menentang
kebijakan kuota ini dengan alasan melanggar asas persamaan di depan hukum
(equality before the law) dan cenderung diskriminatif. Padahal, kalau
mengingat semangat awal adanya affirmative action itu adalah untuk
menciptakan kesetaraan. Sehingga, dengan adanya kuota ini justru bertolak
belakang dengan cita-cita awal affirmative action tersebut. Arbi Sanit secara
tegas mengatakan “jangan memperjuangkan demokrasi dengan semangat anti
demokrasi”.16
Bahkan Amich Alhumami menegaskan bahwa:
“kebijakan afirmatif tidak paralel dengan kuota bagi kaum
perempuan atau kelompok minoritas. Ada perbedaan
16 Jemabut Inno, Dampak Suara Terbanyak: Kuota Perempuan 30 Persen Sulit
Direalisasikan, Sinar Harapan, Selasa, 30 Desember 2008.
35
fundamental antara tujuan kebijakan afirmatif dan kuota.
Tujuan utama kebijakan afirmatif adalah pelibatan
sekelompok orang, yang semula tereksklusi dan kurang
terwakili di arena publik, tanpa pembatasan dan hanya
didasarkan kualifikasi individual. Sistem kuota adalah court
assigned to redress a pattern of discriminatory hearing.
Karena itu, kebijakan afirmatif tak bisa dijadikan dasar untuk
mengangkat seseorang yang tak memenuhi standar kualifikasi
dan tak layak menduduki posisi di lembaga publik. Kebijakan
afirmatif tidak menoleransi seseorang dengan kemampuan
minimal dan berkapasitas rendah—dengan pertimbangan
jender atau keragaman sosial budaya—guna menempati
jabatan publik”.17
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, bangsa Indonesia telah
berkomitmen untuk terus mendukung terhadap upaya-upaya dalam rangka
memajukan kesetaraan jender dalam berbagai bidang. Salah satunya dalam
ranah politik upaya yang dilakukan adalah memasukkan ketentuan affirmative
action dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan
Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Pasal 55 ayat (2) UU Pemilu berbunyi “Di
dalam daftar bakal calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam setiap 3
(tiga) orang bakal calon terdapat sekurang-kurangnya 1 (satu) orang
perempuan bakal calon”. Bahkan UU ini telah memberikan keistimewaan
kepada kaum hawa sejak proses pengajuan daftar bakal calon legislatif
(caleg) oleh partai politik peserta pemilu yang menganjurkan bagi setiap
Parpol untuk memenuhi 30% calegnya harus berasal dari perempuan.
Selengkapnya Pasal 53 -nya menyebutkan “Daftar bakal calon sebagaimana
17Alhumami Amich, Mitos Kebijakan Afirmatif, Kompas, Kamis, 5 Februari 2009
36
dimaksud dalam Pasal 52 memuat paling sedikit 30% (tiga puluh perseratus)
keterwakilan perempuan”. Kebijakan ini dimaksudkan untuk mendorong
kesetaraan keterwakilan perempuan dan laki-laki di parlemen.
F. Perlakuan Khusus Sementara adalah Hak Konstitusional yang Dijamin
UUD 1945
Perlakuan khusus sementara merupakan amanat dan mandat
konstitusional yang tercantum dalam UUD 1945 Pasal 28H ayat (2). Pasal
28H ayat (2) menyebutkan:
"Setiap orang berhak mendapat, kemudahan dan perlakuan khusus
untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai
persamaan dan keadilan".
Perlakuan khusus yang dijamin konstitusi yaitu untuk mendapatkan
kemudahan dan untuk memperoleh kesempatan sama adalah dalam rangka
mencapai persamaan dan keadilan berlaku bagi setiap warga negara yang
telah mengalami diskriminasi sehingga hal tersebut dapat mempercepat
kesetaraan “de facto” antara laki-laki dan perempuan.
Atas dasar itulah para pembentuk Undang-undang membuat peraturan
khusus karena perlakuan khusus tersebut tidak melanggar Undang-Undang
1945.
G. Mengambil Tindakan Khusus Sementara untuk Mewujudkan Kesetaraan
Gender adalah Kewajiban Negara
37
Perlakuan khusus atau tindakan khusus sementara dalam rangka
mewujudkan kesetaraan jender adalah mandat Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi terhadap Wanita [Convention the Ellimination of All Forms
Discrimination Against Women) (CEDAW)]. Ratifikasi sebuah konvensi
internasional menuntut negara pihak (state parties) untuk mengintegrasikan
seluruh prinsip-prinsip yang tercantum dalam konvensi ke dalam hukum
nasionalnya.
Pasal 3 Konvensi CEDAW mewajibkan Negara untuk menjamin
perkembangan dan kemajuan perempuan dengan tujuan untuk menjamin agar
perempuan melaksanakan dan menikmati HAM dan kebebasan-kebebasan
pokok atas dasar persamaan antar pria dan perempuan. 18
Negara mengakui adanya ketimpangan dalam hubungan antar pria dan
perempuan, karena ketertinggalan, kekurangan, atau ketidakberdayaan
perempuan sehingga perlu dilakukan upaya dan peraturan khusus agar
persamaan “de facto” lebih cepat tercapai.19
Pasal 4 (1) dan Pasal 7 merupakan dasar kewajiban negara untuk
melakukan tindakan affirmatif action dan pemberian jamian kepada
perempuan dalam kehidupan politik dan kehidupan Negara, sebagai instrumen
untuk mengatasi masalah ketidakadilan jender yang dialami perempuan.
18 Lapan, L. M. Gandhi, Disiplin Hukum yang Mewujudkan Kesetaraan dan Keadilan
Gender, Penerbit Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta, 2012, h.153.
19 Ibid.
38
Pasal 4 ayat (1) mengatur sebagai berikut:
”Pembentukan peraturan peraturan dan melakukan tindakan khusus
sementara oleh negara-negara pihak yang ditujukan untuk mempercepat
kesetaraan de facto antara laki-laki dan perempuan, tidak dianggap
sebagai diskriminasi seperti ditegaskan dalam konvensi ini, dan sama
sekali tidak harus membawa konsekuensi pemeliharaan standar-standar
yang tidak sama atau terpisah, maka peraturan-peraturan dan tindakan
tersebut wajib dihentikan jika tujuan, persamaan kesempatan dan
perlakuan telah tercapai”
Sedangkan dalam Pasal 7 CEDAW mengatur sebagai berikut:
”Negara-negara pihak wajib mengambil langkah-langkah yang sesuai
untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan dalam kehidupan
politik dan kehidupan bermasyarakat di negaranya, khususnya menjamin
bagi perempuan atas dasar persamaan dengan laki-laki, hak”:
a. Untuk memilih dalam semua pemilihan dan agenda publik dan
berkemampuan untuk dipilih dalam lembaga-lembaga yang dipilih
masyarakat;
b. Untuk berpartisipasi dalam perumusan kebijakan pemerintah dan
implementasinya, serta memegang jabatan dalam pemerintahan dan
melaksanakan segala fungsi pemerintahan di semua tingkatan;
c. Untuk berpartisipasi dalam organisasi-organisasi dan perkumpulan-
perkumpulan non pemerintah yang berhubungan dengan kehidupan
masyarakat dan politik negara;
Dari ketentuan di atas terdapat beberapa esensi yang merupakan prinsip
dasar kewajiban negara, antara lain:20
1. Menjamin hak perempuan melalui hukum dan kebijakan, serta
menjamin hasilnya.
2. Menjamin pelaksanaan praktis dari hak itu melalui langkah dan tindak
atau aturan khusus sementara, menciptakan kondisi yang kondusif
20 Irianto Sulistyowati, Perempuan & Hukum, Menuju Hukum yang Berperspektif
Gender, Cet, II, Penerbit Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2006, h. 89.
39
untuk meningkatkan kesempatan dan akses perempuan pada peluang
yang ada, dan menikmati manfaat yang sama/adil dari hasil
menggunakan peluang itu.
3. Negara tidak saja menjamin tetapi juga merealisasi hak perempuan.
4. Tidak saja menjamin secara de-jure tetapi juga secara de-facto.
5. Negara tidak saja harus bertanggung jawab dan mengaturnya di sektor
publik, tetapi juga di sektor privat (keluarga) dan sektor swasta
top related