bab ii kajian pustaka, konsep, landasan teori ......perlindungan warisan budaya dan alam dunia di...
Post on 12-Sep-2020
5 Views
Preview:
TRANSCRIPT
9
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL
PENELITIAN
2.1 Kajian Pustaka
Ada beberapa penelitian yang menarik dan relevan untuk ditelaah dan
diacu dalam penelitian ini. Adapun beberapa penelitian tersebut adalah sebagai
berikut.
Penelitian Geria (2007) berjudul Survei Tinggalan Arkeologi di Bentangan
Alam Kawasan Jatiluwih (Culture Landscape) Penebel, Tabanan, Bali. Masalah
yang dikaji dalam penelitian tersebut adalah : 1) apakah ada sumber daya
arkeologi dalam wujud fisik (tinggalan arkeologi) pada bentangan alam subak
Jatiluwih?; 2) bagaimana wujud kearifan lokal masyarakat setempat yang diwarisi
sejak dulu dalam pelestarian sumber daya alam? Meskipun judul dan masalah
penelitian tersebut berbeda dengan judul dan masalah penelitian ini, persoalan
yang mendorong pelaksanaan penelitian itu hampir sama dengan persoalan yang
mendorong pelaksanaan penelitian ini, yaitu betapa pentingnya kearifan lokal
dalam konteks pelestarian alam setempat. Oleh karena itu, hasil penelitian yang
dilakukan oleh Geria itu memberikan inspirasi bagi penelitian ini dalam rangka
memperoleh gambaran yang lebih lengkap terkait dengan lingkungan alam dan
budaya masyarakat di kawasan Subak Jatiluwih.
Penelitian Oka Prasiasa (2010), berjudul Pengembangan Pariwisata dan
Keterlibatan Masyarakat di Desa Wisata Jatiluwih Kabupaten Tabanan. Penelitian
untuk disertasi Program S3 Kajian Budaya Program Pascasarjana Universitas
10
Udayana tersebut mengkaji tiga butir masalah : 1) bagaimana pengembangan
pariwisata di Desa Wisata Jatiluwih Kabupaten Tabanan? ; 2) bagaimana
keterlibatan masyarakat dalam pengembangan pariwisata di Desa Wisata
Jatiluwih Kabupaten Tabanan; dan 3) apa dampak dan makna pengembangan
pariwisata dan keterlibatan masyarakat di Desa Wisata Jatiluwih Kabupaten
Tabanan? Judul dan masalah penelitian tersebut jelas berbeda dengan judul dan
masalah penelitian ini. Dengan demikian, hasil penelitian ini pastilah akan
berbeda dengan hasil penelitian tersebut.
Penelitian yang dilakukan Pujaastawa dkk. (2005) berjudul “Pariwisata
Terpadu, Alternatif Model Pengembangan Pariwisata Bali Tengah”. Fokus
penelitian ini adalah mengenai pendapat dan sikap masyarakat terhadap potensi
wisata di Desa Jatiluwih. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar
respondennya berpendapat sebagai berikut.
1) Perlu pengembangan pariwisata (92%), potensi dominan adalah wisata
ekologis (98%).
2) Setuju pengelolaan kawasan pertanian dan potensi alam lainnya sebagai
DTW (100%).
3) Setuju pengelolaan bercocok tanam sebagai DTW. (100%).
4) Setuju pengelolaan tradisi adat-istiadat dan agama sebagai DTW. (95%).
5) Setuju pembangunan sarana dan prasarana pariwisata (72%).
6) Setuju peran serta masyarakat dalam perencanaan dan pengelolaan
pariwisata (93%).
7) Setuju kehadiran etnik lain sebagai tenaga kerja pariwisata (63%).
11
Hasil penelitian sebagaimana disebutkan di atas sangatlah penting bagi
pelaksanaan penelitian ini. Dikatakan penting, karena data hasil penelitian
tersebut di atas masih perlu didalami guna menjawab permasalahan penelitian ini.
Untuk itu data hasil penelitian tersebut di atas menjadi penting, yakni sebagai
dasar untuk mempertanyakan, bahwa jika memang setuju terhadap berbagai hal
sebagaimana disebutkan di atas, mengapa dukungan terhadap pengelolaan
kawasan Subak Jatiluwih mengalami pasang - surut. Dengan demikian penelitian
ini akan berbeda, baik fokusnya maupun hasilnya dibandingkan dengan fokus dan
hasil penelitian yang dilakukan oleh Pujaastawa dkk tersebut.
Penelitian yang dilakukan oleh Diasa (2009) berjudul “Strategi
Pengembangan Pariwisata Perdesaan Di Desa Jatiluwih, Kecamatan Penebel,
Kabupaten Tabanan” (2009). Fokus penelitian Diasa tersebut pada kajian
pariwisata perdesaan Jatiluwih yang menekankan pada komponen-komponen
yang harus ada pada pengembangan suatu DTW. Komponen-komponen yang
dimaksud dalam hal ini adalah akomodasi, seperti hotel dan fasilitas layanan
lainnya yang terkait dimana wisatawan bisa menginap di DTW. Hasil
penelitiannya adalah sebagai berikut :
1) Hasil penelitian ini menunjukkan kekuatan internal pengembangan
pariwisata perdesaan Jatiluwih terdiri atas: panorama yang indah dan asri,
berupa sawah terasering; keanekaragaman seni dan budaya; tercatat
sebagai nominasi Warisan Alam dan Budaya Dunia di UNESCO;
keramahtamahan masyarakatnya; rumah penduduk yang masih tradisional
dan bisa dimanfaatkan sebagai home stay; ketersediaan fasilitas
kepariwisataan seperti hotel, restoran; penataan dan pengelolaan; segmen
12
pasar. Sedangkan kelemahan yang dimiliki dari faktor-faktor internal
terdiri atas: ketersediaan infrastruktur seperti jalan, air bersih, listrik dan
faksimile; sumber daya manusia dan kelembagaan pariwisata.
2) Faktor-faktor eksternal berupa peluang yang dimiliki pariwisata
perdesaan terdiri atas: Otonomi Daerah dan Peraturan Bupati Nomor 9
Tahun 2005 Tentang Rencana Detail Tata Ruang Jatiluwih; adanya tren
peningkatan kunjungan wisatawan ke Bali; kemajuan teknologi, baik
teknologi informasi maupun teknologi transportasi; adanya
kecenderungan pariwisata dunia ke arah pariwisata alternatif, seperti
pariwisata perdesaan; citra Bali sebagai daerah tujuan wisata dunia;
persaingan dengan kawasan wisata yang sejenis di daerah lain; stabilitas
sosial dan politik dalam negeri; situasi keamanan nasional dan
internasional. Berikut berupa ancaman yang dimiliki terdiri atas:
berkembangnya bangunan-bangunan modern; adanya kecenderungan
alih fungsi lahan pertanian.
3) Strategi alternatif yang relevan diterapkan berupa program-program
terdiri atas: (1) menciptakan program-program berdasarkan seni budaya
lokal, (2) memanfaatkan rumah penduduk yang masih tradisional sebagai
home stay untuk mempromosikan pariwisata alternatif, (3) memanfaatkan
teknologi terkini dalam pelayanan, (4) memperkuat dan mengembangkan
arsitektur bangunan tradisional, (5) membuat program-program unggulan
dibidang pertanian, (6) pengembangan prasarana seperti jalan, air bersih
dan listrik, (7) pengembangan sumber daya manusia dan kelembagaan
13
pariwisata, (8) menciptakan kerjasama yang lebih baik dengan berbagai
stake holder terkait.
Hasil penelitian Diasa sebagaimana diuraikan di atas tampak jelas bahwa
penelitiannya itu menggunakan teknik analisis SWOT. Betapapun bagusnya
teknik analisis SWOT dan dengan demikian hasil penelitian Diasa itu juga
menjadi bagus, namun teknik analisis SWOT bersifat positivistik, suatu
pendekatan yang penggunaannya tidaklah menjadi hobi kalangan Kajian Budaya.
Berbeda dengan itu, penelitian yang dilakukan ini menggunakan pendekatan
penelitian kualitatif yang lazim disebut pendekatan fenomenologis dan
pendekatan hermeneutik. Dengan pendekatan ini, penelitian ini menyoroti apa
yang disebut noumena, yaitu gagasan-gagasan yang ada di balik fakta-fakta
fenomenal yang kasat mata.
2.2 Konsep
Penjelasan konsep dalam hal ini dengan mengacu pengertian istilah
konsep serta fungsinya dalam suatu penelitian. Menurut Mely G. Tan (1989 : 21)
menegaskan bahwa konsep sebenarnya adalah definisi singkat tentang fakta yang
perlu diamati. Menurut Ratna (2010 : 279-280), keseluruhan kata dalam judul dan
masalah penelitian dianggap sebagai konsep sehingga perlu dijelaskan secara
singkat. Konsep yang dimaksud dalam hal ini adalah konsep operasional untuk
suatu penelitian. Satuan konsep tidak selalu terdiri atas satu kata melainkan bisa
juga terdiri atas lebih dari satu kata. Ini berarti, bahwa fakta yang perlu diamati
dapat diketahui, dipahami, dan dijelaskan, yakni fakta-fakta yang menunjuk
kepada kalimat-kalimat dan kata-kata serta istilah-istilah yang terdapat dalam
14
formulasi judul dan masalah yang hendak dikaji dalam penelitian yang
bersangkutan. Pendefinisian fakta-fakta berupa kalimat-kalimat, kata-kata atau
istilah-istilah yang terdapat dalam formulasi judul dan masalah yang dikaji dalam
suatu penelitian sangatlah penting. Jika fakta-fakta yang perlu diketahui,
dipahami, dan dijelaskan dalam suatu penelitian tidak didefinisikan atau
dikonsepsikan secara jelas, maka bisa jadi (kalau tidak boleh dipastikan) peneliti
akan mengumpulkan fakta-fakta yang tidak relevan untuk menjawab masalah
yang dikajinya. Berdasarkan pengertian tentang konsep dalam suatu
penelitian sebagaimana dipaparkan di atas, maka untuk penelitian ini ada
beberapa unit konsep berupa kalimat, kata atau istilah yang perlu dijelaskan, baik
yang berkaitan dengan judul maupun rumusan masalah yang hendak dikaji
dalam penelitian ini. Penjelasan unit-unit konsep itu dapat dipilah dan
diilustrasikan sebagai berikut.
1) Pasang-surutnya dukungan terhadap WBD.
2) Kiprah para pihak dalam pengelolaan kawasan Subak Jatiluwih.
3) Pelestarian
4) Proses
5) Implikasi
Penjelasan masing-masing istilah tersebut adalah sebagai berikut.
2.2.1 Pasang-surutnya Dukungan terhadap WBD
Pemakaian istilah ”pasang surutnya dukungan” dalam judul penelitian ini
bermula dari adanya fakta sebagaimana disebutkan pada bagian latar belakang di
atas, bahwa sejak tahun 2000 pemerintah dan masyarakat yang terkait,
15
bersepakat dan berjuang keras untuk mengusulkan kawasan Subak Jatiluwih agar
ditetapkan sebagai WBD. Namun setelah ditetapkannya kawasan subak tersebut
sebagai WBD pada tahun 2012, ternyata tindakan pemerintah dan masyarakat
yang terkait justru terlihat kurang gencar dalam upaya mencapai tujuan utama
penetapan kawasan subak itu sebagai WBD, yaitu melestarikan lingkungan alam
dan budaya lokal (setempat). Kesepakatan dan perjuangan pemerintah dan
masyarakat dalam proses pengusulan kawasan Subak Jatiluwih agar ditetapkan
sebagai WBD, serta kurang gencarnya tindakan mereka dalam upaya pelestarian
alam dan budaya di kawasan subak tersebut itulah dalam hal ini dikonsepsikan
sebagai pasang-surutnya dukungan terhadap WBD.
Secara implisit konsepsi ini menunjukkan adanya perubahan dukungan
terhadap WBD, yakni dari dukungan yang begitu kuat kemudian mereda.
Pemakaian istilah ”pasang surut” dan ”dukungan” itu dipakai dalam konsepsi ini,
karena dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008 : 1026), ada istilah ”pasang”
yang diartikan sebagai ”sedang baik”, dan dalam kamus ini juga (2008 : 1362),
kata ”surut” diartikan sebagai ” (makin) berkurang, reda”. Selain itu, dalam kamus
ini (2008 : 1026), ada kata ”pasang-surut atmosfer” yang diartikan sebagai
”perubahan atmosfer”. Istilah dukungan berasal dari kata dukung yang dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008 : 346) diartikan sebagai ”menyokong,
membantu, menunjang”.
Pengertian tentang WBD dikemukakan oleh UNESCO dalam Konvensi
Perlindungan Warisan Budaya dan Alam Dunia di Paris pada tahun 1972. Dalam
hal ini WBD disebut situs dalam artinya sebagai berikut.
16
”Hasil karya manusia atau gabungan antara alam dan hasil karya manusia
termasuk dalam hal ini adalah situs purbakala yang mempunyai nilai
universal istimewa dari segi sejarah, kebudayaan atau ilmu pengetahuan”
Pengertian ini relevan untuk diacu dalam penelitian ini, karena kawasan Subak
Jatiluwih merupakan salah satu bagian dari Kawasan Catur Angga Batukaru yang
telah ditetapkan sebagai WBD. Tampaknya pengertian ini juga diacu dalam
perumusan tentang warisan budaya Bali yang telah ditetapkan sebagai WBD
sebagaimana tercantum dalam Surat Keputusan Gubernur Bali Nomor 1110/03-
H/HK/2011 tentang Pembentukan dan Susunan Keanggotaan Dewan Pengelola
Warisan Budaya Bali. Pengertian tentang warisan budaya Bali dalam Surat
Keputusan Gubernur Bali tersebut adalah sebagai berikut.
”bahwa warisan budaya Bali merupakan kekayaan budaya bangsa yang
sangat penting artinya bagi pemahaman dan pengembangan sejarah, ilmu
pengetahuan serta kebudayaan, sehingga perlu dilindungi, dilestarikan dan
dikembangkan guna pemupukan kesadaran jati diri bangsa demi
kepentingan bersama baik nasional maupun internasional. Bahwa upaya
perlindungan, pelestarian dan pengembangan objek-objek warisan budaya
Bali yang memiliki nilai-nilai universal yang sangat tinggi perlu
dikembangkan sebagai WBD didukung oleh pemerintah maupun
masyarakat”.
Pengertian warisan budaya Bali sebagaimana dipaparkan dalam petikan ini
juga relevan untuk dijadikan acuan dalam merumuskan konsep WBD dalam
penelitian ini. Sebab WBD yang dikaji dalam penelitian ini adalah warisan budaya
Bali yang telah ditetapkan sebagai WBD, yakni kawasan Subak Jatiluwih.
2.2.2 Kiprah Para Pihak dalam Pengelolaan Kawasan Subak Jatiluwih
Satuan konsep ini dapat dipahami dengan menelusuri arti istilah-istilah
yang tercakup di dalamnya, kiprah, para pihak, pengelolaan, kawasan, dan subak,
yakni Subak Jatiluwih. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008 : 701),
17
istilah kiprah diartikan sebagai ”derap kegiatan”. Berdasarkan pengertian ini,
kiprah para pihak dalam pengelolaan kawasan Subak Jatiluwih diartikan sebagai
derap langkah para pihak terkait dalam pengelolaan kawasan subak tersebut.
Istilah para dalam Kamus besar Bahasa Indonesia (2008 : 1019) diartikan sebagai
”kata penyerta yang menyatakan pengacuan ke kelompok”, sedangkan istilah
pihak dalam kamus tersebut (2008 : 1071) diartikan sebagai ”golongan” dengan
contoh pemakaiannya : ”korban bencana alam itu memerlukan uluran tangan
semua pihak”. Dengan demikian, para pihak yang dimaksudkan dalam hal ini
adalah ”golongan” yang berperan dalam pengelolaan kawasan WBD yang disebut
kawasan Subak Jatiluwih. Secara garis besar, para pihak yang dimaksud dalam hal ini
adalah pemerintah Provinsi Bali, Pemerintah Kabupaten Tabanan serta masyarakat
petani Subak Jatiluwih, masyarakat Desa Pakraman Jatiluwih, dan Desa Dinas Jatiluwih.
Para pihak inilah yang selama ini berperan dalam pengelolaan kawasan Subak Jatiluwih,
terutama sejak pengusulan kawasan ini sebagai kawasan WBD. Secara lebih rinci dan
lengkap mungkin baru akan diketahui jika dilacak lebih jauh dalam pelaksanaan
penelitian.
Pengertian tentang istilah pengelolaan dapat ditelusuri dari istilah kelola
atau mengelola yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008 : 657)
diartikan sebagai ”mengurus”, pengelolaan diartikan sebagai proses, cara,
perbuatan mengelola (2008 : 567), dan kawasan diartikan sebagai daerah tertentu
yang mempunyai ciri tertentu (2008 : 638). Mengenai istilah subak, ternyata ada
banyak definisi. Sutawan (2008) menunjukkan 11 definisi subak yang
rumusannya bervariasi. Misalnya, satu dari 11 definisi tersebut adalah definisi
subak versi Perda Bali No. 02/PD/DPRD/1972, yakni sebagai berikut.
18
”subak adalah masyarakat hukum adat di Bali yang secara historis
didirikan sejak dahulu kala dan berkembang terus sebagai organisasi
penguasa tanah dalam bidang pengaturan air dan lain-lain untuk
persawahan dari suatu sumber air di dalam suatu daerah”.
Definisi subak yang lainnya dikemukakan oleh Kaler (1985 : 3) yang menegaskan
bahwa :
”subak adalah suatu organisasi petani sawah secara tradisional di Bali,
dengan suatu kesatuan areal sawah, serta umumnya satu sumber air selaku
kelengkapan pokoknya”.
Berdasarkan 11 definisi tersebut, Sutawan (2008 : 20-23) menyatakan bahwa :
”Jadi, subak dapat dilihat dari aspek hukum, aspek teknologi, aspek
ekonomi (ekonomi pertanian), aspek sosio-budaya, sosio-agraris, sosio-
religius, ekologi, dan lain sebagainya”.
Dalam konteks ini, Pitana (1993) mengemukakan bahwa subak mempunyai
beberapa ciri dasar sebagai berikut.
1) Mempunyai organisasi petani yang mengelola air irigasi untuk anggota-
anggotanya, juga mempunyai pengurus dan aturan keorganisasian (awig-
awig), baik yang tertulis maupun tidak tertulis.
2) Mempunyai sumber air bersama, yang dapat berupa bendung (empelan) di
sungai, mata air, air tanah, ataupun saluran utama suatu sistem irigasi.
3) Mempunyai suatu areal persawahan.
4) Mempunyai otonomi, baik internal maupun eksternal.
5) Mempunyai satu atau lebih Pura Bedugul (atau pura yang berhubungan dengan
persubakan).
Bertolak dari pengertian tentang istilah pengelolaan dan istilah subak di atas,
maka pengelolaan kawasan Subak Jatiluwih dalam penelitian ini diartikan sebagai
19
cara mengurus wilayah organisasi petani (Subak Jatiluwih) yang memiliki areal
sawah, sumber air, dan pura.
2.2.3 Pelestarian
Kata pelestarian berasal dari kata dasar lestari, yang dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia (2008 : 820) diartikan tetap seperti keadaannya semula, tidak
berubah, bertahan, kekal. Kata pelestarian diartikan perlindungan dari
kemusnahan atau kerusakan, pengawetan, konservasi. Jika pengertian ini
dikaitkan dengan istilah pelestarian lingkungan alam dan budaya lokal, maka
muncul permasalahan, karena alam dan budaya terus berkembang sesuai dengan
dinamika masyarakat yang bersangkutan. Oleh karena itu, arti kata pelestarian
dalam penelitian ini mengacu kepada gagasan Widja (1993 : 60) yang
menegaskan bahwa :
”pelestarian budaya tidaklah harus diartikan semata-mata mengusahakan
agar budaya kita tetap seperti keadaannya semula (menjadi antik). Dia
selalu bersifat ambivalen, lestari dan sekaligus bersifat dinamik. Dari segi
teori kebudayaan, hal ini bukan saja suatu keniscayaan, dan karena itu
perlu tetap diupayakan keberadaan sifat itu”
Berdasarkan gagasan kutipan di atas, maka istilah pelestarian yang dipakai dalam
rumusan masalah penelitian ini diartikan sebagai upaya mempertahankan
lingkungan alam dan budaya lokal agar tetap bertahan (lestari) tetapi tanpa
menghilangkan sifat dinamiknya.
2.2.4 Proses
Istilah proses dalam rumusan masalah butir kedua penelitian ini, yaitu
proses pasang-surutnya dukungan terhadap WBD, mengacu kepada arti kata
20
proses dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008 : 1106), yaitu ”runtunan
perubahan (peristiwa) dalam perkembangan sesuatu”. Dengan demikian, proses
pasang-surutnya dukungan terhadap WBD dalam penelitian ini diartikan sebagai
runtunan perubahan dukungan tersebut, yaitu dari pasang menjadi surut.
2.2.5 Implikasi
Konsep implikasi dalam hal ini mengacu kepada pengertian istilah
implikasi yang dikemukakan oleh Keraf (1985 : 7-8) bahwa implikasi berarti
melibat atau merangkum atau rangkuman, yaitu sesuatu dianggap ada karena
sudah dirangkum dalam fakta atau evidensi itu sendiri. Sejalan dengan hal ini,
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008 : 529), istilah implikasi diartikan
sebagai keterlibatan atau keadaan terlibat; yang termasuk atau tersimpul, tetapi
tidak dinyatakan. Jadi secara operasional, konsep implikasi dalam penelitian ini
dapat didefinisikan sebagai hal-hal yang tercakup atau terangkum dalam fakta-
fakta yang berkaitan dengan pasang-surutnya dukungan terhadap pelestarian
kawasan Subak Jatiluwih.
Selain itu, pengertian implikasi juga memiliki makna sesuatu yang
disarankan atau untuk terjadi secara tidak langsung. Secara kebahasaan kata
implikasi ini biasanya dipergunakan dalam bentuk jamak, dimana pemahamannya
bahwa implikasi memiliki banyak efek atau konsekuensi yang dapat saja terjadi di
masa yang akan datang. Tambahan pula dengan kata implikasi ini bermakna pula
bahwa dalam sebuah keputusan yang diambil, maka mungkin saja bisa terjadi
sesuatu yang negatif yang tidak diharapkan akan terjadi.
21
https://www.vocabulary.com/dictionary/implication). Diakses 7 Juli 2017, pkl.
07.30 wita.
2.3 Landasan Teori
Landasan teori atau disebut juga kerangka teori ini disusun dengan
bertitik tolak dari pemahaman tentang kegunaan dan cara menyusunnya untuk
penelitian kualitatif. Pemahaman itu diperoleh dari beberapa sumber pustaka :
Buku Pedoman Penulisan Usulan Penelitian, Tesis dan Disertasi, Program
Pascasarjana Universitas Udayana (2010 : 12), Ariasumantri (1984 : 322),
Mely G. Tan (1989 : 21), dan Irawan (2006 : 38). Berdasarkan sumber pustaka ini
diketahui bahwa landasan teori diperlukan sebagai kerangka acuan dalam
mencari jawaban atau memecahkan masalah yang dikaji dalam penelitian.
Landasan teori menunjukkan alur-alur pikiran yang logis hingga membuahkan
kesimpulan berupa hipotesis, bahkan landasan teori dianggap sama dengan
hipotesis. Secara teknis hal ini dapat dimulai dengan membaca teori-teori yang
relevan dengan fokus/masalah penelitian, dilanjutkan dengan membuat sintesis
(“menyatukan”) berbagai teori itu menjadi kerangka atau landasan teori versinya
sendiri yang menunjukkan alur-alur pikiran yang logis hingga membuahkan
kesimpulan berupa hipotesis. Dengan demikian, seperti disebutkan dalam Buku
Pedoman Penulisan Usulan Penelitian, Tesis dan Disertasi Program Pascasarjana
Universiras Udayana (2010 : 1-2), setiap peneliti dapat berkreativitas secara
otonom dalam pembuatan landasan teori khusus untuk memecahkan permasalahan
penelitiannya.
22
Selain mengikuti gagasan di atas, secara teknis penyusunan landasan teori
ini juga dilakukan dengan berpegang pada ciri penting ilmu Kajian Budaya
(Cultural Studies). Terkait dengan ciri pentingnya itu, Agger (2007 : 247-248)
menegaskan, bahwa ”Cultural Studies adalah salah satu contoh terbaik teori kritis
interdisipliner yang benar-benar meliputi berbagai sumber teoretis dan disiplin”.
Tujuan teori kritis adalah mengaitkan teori dan praktek, menyediakan wawasan
dan memperkuat pelaku perubahan keadaan yang menindas, guna mewujudkan
manusia dan masyarakat yang rasional yang mampu memenuhi kebutuhan dan
kekuasaan manusia secara berkeadilan (Atmadja, 2007 : 6). Terkait dengan
interdisiplinaritas ilmu Kajian Budaya, Lubis (2006 : 144) menegaskan, bahwa :
“Cultural Studies dengan leluasa dan bebas bergerak dari satu teori ke
teori lainnya, dari satu metodologi ke metodologi lain, dari satu disiplin ke
disiplin lainnya. Kajian budaya mengambil apa saja yang dibutuhkannya
dari bidang-bidang ilmu lain, lalu diadopsinya untuk disesuaikan dengan
tujuannya tanpa mengikuti aturan keilmiahan konvensional”.
Berdasarkan pemikiran terurai di atas, maka landasan teori ini sengaja disusun
dengan mengacu teori-teori tertentu, termasuk teori-teori sosial kritis yang relevan
untuk diacu hingga melahirkan berbagai hipotesis kerja dalam rangka mencari
jawaban atau memecahkan masalah yang dikaji dalam penelitian ini. Dalam hal
ini ada dua teori besar (grand theory) yang diposisikan sebagai acuan pokok,
sedangkan teori-teori yang lainnya diacu untuk memperjelas pemikiran yang
dibangun dalam landasan teori ini. Satu dari dua teori besar itu adalah teori yang
ada dalam ilmu ekologi manusia, yaitu ilmu yang mengkaji interaksi manusia
dengan lingkungannya (Hadi, 2000 : 3), yakni teori mengenai hubungan antara
sistem sosial (social system) dan ekosistem (ecosystem) menurut Terry Rambo.
Teori besar yang lainnya adalah teori mengenai sistem sosiokultural yang
23
dikemukakan oleh Sanderson dalam bukunya yang berjudul Makrososiologi
Sebuah Pendekatan terhadap Realitas Sosiologi (2011). Dua teori ini diacu
karena fenomena dan masalah yang dikaji dalam penelitian ini pada dasarnya
tercakup dalam hubungan manusia sebagai makhluk sosial yang berbudaya
dengan lingkungannya. Adapun teori-teori beserta landasan berpikir yang
dibangun berdasarkan teori-teori tersebut dapat diilustrasikan sebagai berikut.
2.3.1 Teori Ekologi Manusia Terry Rambo
Sebagaimana dikemukakan oleh Hadi (2000 : 5), Rambo menjelaskan
hubungan sistem sosial dengan ekosistem. Sistem sosial terdiri atas komponen-
komponennya berupa nilai, ideologi, pengetahuan, teknologi, organisasi sosial,
kesehatan, pola eksploitasi sumber daya, pertukaran ekonomi, dan sebagainya.
Komponen-komponen ekosistem meliputi air, tanah, lahan, udara, flora, fauna,
iklim dan makhluk hidup yang lain. Kedua sistem ini berinteraksi, dan dalam
interaksinya itu ada aliran energi, material, dan informasi, baik dari sistem sosial
ke ekosistem maupun dari ekosistem ke sistem sosial. Dalam interaksinya itu juga
ada proses seleksi dan adaptasi. Teori ekologi manusia Terry Rambo yang
memposisikan ideologi dan pengetahuan sebagai komponen sistem sosial tampak
relevan dengan ilmu Kajian Budaya, terutama karena sebagaimana dikemukakan
Barker (2005 : 87), bahwa ”sebagian besar karya kajian budaya terpusat pada
pertanyaan-pertanyaan tentang kekuasaan, pengetahuan, ideologi, dan hegemoni”.
Ideologi memang kompleks sehingga dapat didefinisikan secara beragam, dan
dalam hal ini Barker (2005 : 86) melihatnya sebagai pandangan dunia kelompok-
24
kelompok dominan dan atau kelompok mana pun yang berfungsi membenarkan
dan mempertahankan kekuasaan dan tindakan mereka.
Berdasarkan teori Rambo di atas, maka dapat diformulasikan jawaban
sementara (hipotesis) bahwa pasang-surutnya dukungan para pihak terhadap
pelestarian kawasan Subak Jatiluwih berkaitan erat dengan kekuasaan,
pengetahuan, ideologi, dan hegemoni yang ada dan berlaku di kalangan para
pihak terkait dengan pengelolaan kawasan subak tersebut. Hal ini bisa saja
berpengaruh terhadap pandangan para pihak tersebut mengenai besar-kecilnya
potensi kawasan Subak Jatiluwih sebagai WBD untuk memenuhi harapan mereka,
yakni harapan untuk memenuhi kepentingan mereka, yaitu memperoleh
keuntungan, baik berupa materi, maupun energi dan informasi yang mereka
perlukan. Pandangannya itulah yang menggerakkan tindakan mereka dalam
pengelolaan kawasan subak tersebut. Pandangan mereka itu bisa berupa apa yang
oleh Soemarwoto ( 1989 : 94) disebut sebagai ”citra lingkungan” dalam arti
sebagai berikut.
“Citra lingkungan menggambarkan anggapan orang tentang struktur
lingkungan, bagaimana lingkungan itu berfungsi, reaksinya terhadap
tindakan orang serta hubungan manusia dengan lingkungannya. Citra
lingkungan itu memberi petunjuk tentang apa yang boleh dilakukan dan
apa yang tidak boleh dilakukan demi kebaikan orang itu”.
Ideologi yang bisa berpengaruh kuat terhadap pandangan, harapan, dan
tindakan mereka terkait dengan kawasan Subak Jatiluwih adalah ideologi
kapitalisme, sebab globalisasi yang berintikan ideologi kapitalisme yang
mengutamakan keuntungan begitu kuat pengaruhnya terhadap manusia di seluruh
penjuru dunia. Menurut Piliang (2006 : 13-16), pengaruh globalisasi telah
melahirkan apa yang disebutnya homo minimalis, yakni manusia berkebudayaan
25
posmodern dengan berbagai cirinya, antara lain merayakan hasrat untuk memiliki
kekuasaan, kekayaan, dan popularitas, memuja hasil ketimbang proses perolehan
hasil. Padahal, sebagaimana dikemukakan oleh Feng Jing (2010:5), keuntungan
yang bisa diharapkan dari WBD tidak hanya berupa materi, melainkan juga non
materi, yaitu (1) meningkatnya kesadaran publik tentang situs yang dilindungi, (2)
memperkuat langkah-langkah perlindungan, (3) manajemen plan yang bersifat
menyeluruh, (4) menarik pendanaan internasional, (5) mendapat bantuan teknis
dan saran, (6) menaikkan jumlah kunjungan wisatawan (Feng Jing, 2010:5).
Bertitik tolak dari pendapat Feng Jing ini maka dapat diduga bahwa
menguatnya (pasangnya) semangat para pihak terkait untuk memberikan
dukungan terhadap upaya pelestarian kawasan Subak Jatiluwih karena mereka
memahami penetapan kawasan Subak Jatiluwih sebagai WBD berpotensi besar
bagi mereka untuk memperoleh materi berupa uang, barang dan jasa, misalnya
dari UNESCO atau dari bank dunia, atau melalui pengembangan fasilitas
pariwisata di kawasan subak tersebut. Sebaliknya, jika mereka berpandangan
bahwa potensi kawasan Subak Jatiluwih kurang potensial untuk memperoleh
keuntungan, maka semangat mereka untuk mendukung pelestarian kawasan
Subak Jatiluwih bisa mengalami kemerosotan. Hal ini bisa saja terjadi karena
sebagaimana dikemukakan oleh Feng Jing (2010 : 4), dampak negatif dari WBD
adalah (1) tekanan pariwisata, (2) tekanan politik dan ketegangan diantara
berbagai aktor.
Bertolak dari paparan di atas, maka bisa jadi dalam rangka memperoleh
keuntungan para pihak terkait lebih mengutamakan pengembangan pariwisata di
kawasan Subak Jatiluwih dengan cara-cara yang kurang sesuai dengan upaya
26
pelestarian WBD. Selain itu, bisa jadi pula terjadi permainan kekuasaan di antara
para pihak terkait dalam rangka pemanfaatan potensi kawasan Subak Jatiluwih
untuk memperoleh keuntungan. Dalam permainan kekuasaan itulah mungkin
terjadi hegemoni, dominasi, bahkan kekerasan yang dilakukan oleh pihak yang
berkuasa terhadap dikuasainya, sehingga pembagian hal dan kewajiban dalam
pengelolaan kawasan subak tersebut kurang berkeadilan. Persoalan inilah pada
gilirannya bisa menimbulkan ketegangan diantara pihak terkait. Ketegangan di
antara pihak tersebut bisa jadi pula menimbulkan perubahan pemikiran yang
berlanjut pada sikap dan perilaku masing-masing pihak terkait.
Secara teoretis, perubahan pemikiran, sikap, dan perilaku dalam konteks
ini dapat ditelusuri dengan mengacu teori sosial kritis versi Freudian yang
memahami kritik sebagai pembebasan individu dari irasional menjadi rasional,
dan dari ketidaksadaran menjadi kesadaran (Takwin, 2003 : 106). Berdasarkan
hal ini dapat pula diduga bahwa ketegangan di antara para pihak terkait dapat
membangkitkan kesadaran dan rasionalitas mereka yang mendorong mereka
untuk melepaskan diri dari ketegangan tersebut dengan cara-cara yang mereka
anggap bisa mendatangkan keuntungan bagi mereka. Cara-cara mereka itu bisa
saja kurang mendukung bahkan merongrong kelestarian kawasan Subak Jatiluwih
sebagai WBD.
2.3.2 Teori Sosiokultural Sanderson
Sanderson (2011 : 59) mengemukakan bahwa sistem sosiokultural
mengacu kepada sekumpulan orang yang menggunakan berbagai cara untuk
beradaptasi dengan lingkungan mereka, yang bertindak menurut bentuk-bentuk
27
perilaku sosial yang sudah terpolakan, dan menciptakan kepercayaan dan nilai
bersama yang dirancang untuk memberi makna bagi tindakan kolektif mereka.
Secara lebih jauh Sanderson (2011 : 60) menegaskan sistem sosiokultural terdiri
atas tiga komponen pokok : infrastruktur, struktur sosial, dan superstruktur
ideologis, masing-masing terdiri atas bagian-bagiannya. Tiga komponen sistem
sosiokultural ini saling berkaitan satu dengan yang lainnya. Superstruktur
ideologis yang wujudnya berbentuk gagasan muncul dari dan diaplikasikan dalam
struktur sosial yang pada dasarnya merupakan perilaku aktual manusia dalam
kehidupan bermasyarakat yang bersesuaian dengan kondisi infrastruktur yang
mencakup teknologi, ekonomi, dan demografi. Secara lebih lengkap dan konkret,
mekanisme kerja sistem sosiokultural, dan jika dikontekstualkan dengan
pengelolaan lingkungan serta fokus penelitian ini maka dapat diilustrasikan
sebagai berikut.
2.3.2.1 Superstruktur Ideologis
Superstruktur ideologis meliputi cara-cara yang telah terpolakan, yang
dengan cara tersebut para anggota masyarakat berpikir, melakukan
konseptualisasi, menilai dan merasakan sesuatu, di dalamnya tercakup beberapa
unsur : ideologi umum, agama lokal, ilmu pengetahuan, kesenian dan
kesusasteraan (Sanderson, 2011 : 62). Ideologi umum merujuk kepada
karakteristik kepercayaan/keyakinan, karakteristik nilai, dan karakteristik norma
yang berlaku pada suatu masyarakat. Agama lokal mengacu kepada kepercayaan
dan nilai bersama yang berkaitan dengan kekuatan adikodrati yang pada
umumnya dianggap dapat secara langsung mencampuri kehidupan manusia tanpa
28
terikat oleh waktu (kapanpun) dan tempat (dimanapun). Ilmu pengetahuan adalah
serangkaian teknik untuk memperoleh pengetahuan berdasarkan pengamatan dan
pengalaman. Kesenian adalah kesan-kesan atau pengungkapan-pengungkapan
simbolik yang memiliki nilai estetis dan emosional bagi suatu masyarakat. Jika
kesenian dalam arti ini lebih bersifat fisik, kesusastraan yang pada dasarnya juga
merupakan kesan-kesan simbolik tetapi bersifat verbal (lisan dan /atau tertulis).
Mite dan legenda merupakan bagian dari kesusastraan yang hidup di tengah-
tengah masyarakat (Sanderson, 2011 : 62-63).
Berdasarkan pemahaman tentang superstruktur ideologis di atas dapat
diduga bahwa pasang-surutnya dukungan para pihak terkait terhadap upaya
pelestarian kawasan Subak Jatiluwih berkaitan pula dengan keyakinan, nilai,dan
norma tertentu. Tampaknya dalam hal ini ideologi Tri Hita Karana dijadikan
sebagai salah satu acuan, yakni ideologi yang menekankan pada keharmonisan
hubungan antara manusia-Tuhan, manusia-sesamanya, dan manusia-alam. Namun
perlu diketahui bahwa, ideologi sangatlah kompleks sehingga dapat dilihat dari
berbagai segi sehingga melahirkan berbagai pengertian. Salah satu pengertian
dalam hal ini menegaskan bahwa istilah ideologi mengarah pada pernyataan-
pernyataan aau pengetahuan-pengetahuan yang tidak sesuai dengan kenyataan
(Takwin, 2003 : 3). Selain itu, Barker (2005 : 86) menegaskan, ideologi dapat
dilihat sebagai pandangan dunia kelompok mana pun yang membenarkan
tindakan mereka. Mengacu kepada pengertian ini, maka dapat diduga ada pihak-
pihak tertentu berusaha membenarkan tindakannya dalam pengelolaan kawasan
Subak Jatiluwih, namun pembenarannya itu tidak sesuai dengan kenyataan.
29
2.3.2.2 Struktur Sosial
Struktur sosial pada dasarnya merupakan perilaku aktual manusia yang
muncul dalam hubungan antar sesamanya maupun dalam hubungan mereka
dengan lingkungan alam (biofisik). Sebagaimana dikemukakan Sanderson (2011 :
61), struktur sosial dalam arti ini terdiri atas beberapa unsurnya, yakni keluarga,
kekerabatan, politik, pendidikan.
Mengingat konsep kebudayaan dalam Kajian Budaya adalah konsep yang
politis (Barker, 2005 : 87), maka pemikiran mengenai unsur struktur sosial yang
menarik untuk dipinjam dalam hal ini adalah unsurnya yang berupa politik.
Unsur kepolitikan dalam struktur sosial merujuk kepada cara-cara terorganisasi
suatu masyarakat dalam memelihara hukum, aturan internal dan hubungan
individu-individu, termasuk mengendalikan konflik-konflik sosial (Sanderson,
2011 : 62). Cara-cara terorganisasi seperti ini bisa melahirkan suatu sistem
pemerintahan desa tradisional, misalnya pemerintahan Desa Adat/Pakraman di
Bali. Pemerintahan desa ini sangatlah penting, karena memiliki dan mampu
memainkan kekuasaan yang melekat padanya untuk menciptakan tertib sosial,
termasuk tertib sosial dalam pengelolaan berbagai sumber daya. Contoh mengenai
hal ini, antara lain pengelolaan kios-kios di kawasan wisata Hutan Sangeh di
Kabupaten Badung, dan di kawasan wisata Alas Kedaton, Kabupaten Tabanan,
Bali yang dikoordinasikan melalui Desa Adat / Pakraman setempat. Berdasarkan
pengertian di atas dapat diduga bahwa selain Subak Jatiluwih, pihak desa adat
setempat juga ikut berperan penting dalam pengelolaan kawasan Subak Jatiluwih
sebagai WBD yang berpotensi untuk pengembangan pariwisata. Dengan
30
demikian, desa adat juga ikut berperan dalam konteks pasang-surutnya dukungan
terhadap upaya pelestarian kawasan Subak Jatiluwih.
2.3.2.3 Infrastruktur Material
Infrastruktur material terdiri atas unsur-unsurnya : teknologi,ekonomi,
ekologi, demografi (Sanderson, 2011 : 60). Teknologi terdiri lagi atas informasi,
peralatan, dan teknik yang oleh manusia digunakan untuk beradaptasi terhadap
lingkungan dalam arti luas. Manusia mampu mengolah dan memanfaatkan sumber
daya lingkungan untuk memenuhi kebutuhan ekonominya. Terkait dengan hal ini
Pronk (1993 : 100) mengemukakan, teknologi pada dasarnya adalah faktor yang
menghubungkan sumber daya alam dan kesejahteraan ekonomi. Dalam hal ini ada
tiga nilai ekonomi yang bisa diperoleh manusia dari sumber daya alam : (1) nilai
manfaat konsumtif atau nilai subsistensi, (2) nilai manfaat produktif atau
pemanfaatan komersial, dan (3) nilai manfaat non-konsumtif atau nilai ekologis
(Shiwa, 1993). Berdasarkan hal ini dapat diduga, bahwa proses dan implikasi
pasang-surutnya dukungan para pihak terhadap upaya pelestarian kawasan Subak
Jatiluwih berkaitan pula dengan teknologi yang mereka gunakan dalam rangka
aktivitas sosial-ekonomi di kawasan tersebut.
Terkait dengan fenomena demografis, perkembangan penduduk tidak
dapat dilepaskan dengan perkembangan kebutuhan manusia yang bersangkutan,
sehingga berpengaruh terhadap kegiatan manusia dalam memenuhi kebutuhan
hidupnya, termasuk di dalamnya dengan memanfaatkan sumber daya lingkungan
dalam arti luas. Bertolak dari pemikiran ini maka dapat diduga, bahwa para pihak
31
terkait menggunakan teknologi dalam pengelolaan kawasan Subak Jatiluwih
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang kian meningkat sejalan dengan
peningkatan jumlah penduduk setempat.
2.3.3 Teori Dekonstruksi Derrida
Istilah dekonstruksi diciptakan dan dipopulerkan oleh Derrida. Namun,
justru Derrida kesulitan dalam menjawab pertanyaan apa yang dimaksud dengan
dekonstruksi (Lubis, 2014:33). Walaupun begitu, berdasarkan pemahamannya
tentang pemikiran Derrida, Lubis (2014:35) menegaskan bahwa dekonstruksi
adalah upaya untuk mengkritisi secara radikal dan membongkar berbagi asumsi
dasar yang menopang pemikiran dan keyakinan kita sendiri. Asumsi-asumsi dasar
yang dibongkar atau didekonstruksi adalah asumsi dasar yang ada di dalam teori
strukturalisme sehingga melahirkan post-strukturalisme (Lubis, 2014a:85). Oleh
karena itu, secara teoretis dapat dikatakan bahwa dekonstruksi terkait erat dengan
post-strukturalisme. Dalam konteks ini teori post-strukturalisme memang terdiri
atas berbagai bagian sehingga tidak merupakan teori tunggal, melainkan
merupakan suatu gugus teori.
Mengingat bahwa teori post-strukturalisme tidak tunggal, maka untuk
penelitian ini perlu dipilih teori dekonstruksi yang memang berkaitan erat dengan
teori post-strukturalisme. Berkenaan dengan hal ini, Barker (2005:24) menyatakan
bahwa Derrida fokus pada dekonstruksi. Derrida dengan pemikirannya yang
bersifat dekonstruktif menolak gagasan adanya ”struktur dalam” (underlying
structure) yang membentuk makna lewat pasangan-pasangan biner (hitam-putih,
baik-buruk, laki-laki- perempuan dll). Sehubungan dengan hal ini, Derrida
mendekonstruksi oposisi biner ”stabil” yang menjadi landasan strukturalisme.
32
Dalam dekonstruksi itu terjadi peluruhan oposisi konseptual yang hierarkis,
seperti tulisan/wicara, realitas/citra, alam/budaya, akal/kegilaan, dan lain-lain
yang mengeksklusikan dan meremehkan bagian ”inferior” dari biner itu. Dalam
konteks inilah Derrida berargumentasi bahwa tulisan selalu sudah hadir dalam
wicara (Barker, 2005:25). Sejalan dengan hal ini, Baha Lajar (2005:165)
menegaskan bahwa teori postrukturalisme pada dasarnya menekankan bahwa
pemikiran dalam teori strukturalisme yang memandang adanya kebenaran tunggal
dan sekaligus universal merupakan ide-ide yang menyesatkan karena situasi dan
kondisi sejarah juga mempengaruhi kebenaran. Jadi, dekonstruksi telah dilakukan,
baik oleh Derrida maupun Foucault, hingga lahirlah postruktural.
Khusus berkenaan dengan pemikiran Foucault tentang teori
postrukturalisme, Aur (2005:148--149) memberikan beberapa penjelasan yang
penting, yaitu sebagai berikut.
1) Kaum pascastrukturalis berargumen bahwa kebudayaan-kebudayaan dan teks-
teks bisa ditafsirkan dengan beraneka macam cara dan mampu menghasilkan
pembacaan yang beragam - tidak selalu seragam, dan beberapa di antaranya
mungkin saling bertentangan.
2) Sementara kaum strukturalis menekankan kualitas matematis yang kering dari
sistem-sistem kebudayaan, kaum pascastrukturalis merayakan hasrat,
kesenangan, tubuh, dan permainan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari
pengamatan atas kebudayaan dan tulisan-tulisan teoretis tentangnya.
3) Terkait dengan soal kekuasaan (power), kaum strukturalis melihat bahwa
budaya dan struktur sosial bukanlah produk kekuasaan, melainkan lebih
33
merupakan hasil dari ikatan sosial, kebutuhan-kebutuhan manusia, dan faktor
ketidaksadaran kolektif yang bersifat transendental.
Pada intinya pemikiran teori postrukturalisme atau pascastrukturalisme
memosisikan realitas sebagai fenomena budaya yang di baliknya ada berbagai hal
yang tersembunyi. Adapun hal-hal yang tersembunyi, yaitu ideologi, kekuasaan,
kepentingan, dan hasrat. Pemikiran dalam teori dekonstruksi ini tampak relevan
untuk mencari jawaban atas rumusan masalah penelitian ini. Relevansinya itu
didukung oleh realita bahwa ada berbagai pihak yang terlibat, baik dalam proses
pengusulan Subak Jatiluwih untuk dijadikan WBD maupun setelah dijadikan
WBD. Dalam keadaan demikian memungkinkan adanya ideologi, kepentingan,
kekuasaan, dan hasrat yang beragam di balik aktivitas yang dilakukan oleh para
pihak yang terkait. Hal ini memungkinkan untuk diketahui dan dipahami dengan
mencermati atau mendekonstruksi teks atau pemakaian bahasa (kata-kata, istilah-
istilah, kalimat-kalimat) yang diucapkan atau dipakai oleh pihak-pihak yang
terkait. Dikatakan demikian karena pemakaian bahasa pada dasarnya merupakan
teks yang disebut juga wacana atau diskursus, sedangkan diskursus atau wacana
tak dapat dipisahkan dengan ideologi. Berkenaan dengan hal ini, Aminuddin
(2002:29) mengemukakan sebagai berikut.
”Wacana sebagai sasaran kajian secara konkret merujuk pada
realitas penggunaan bahasa yang disebut ’teks’. Teks sebagai
perwujudan konkret wacana terbentuk oleh untaian kalimat yang
mempunyai komposisi, urutan, dan ciri distribusi tertentu”.
Berdasarkan pendapat Aminuddin ini, maka jelaslah bahwa pemakaian bahasa
merupakan suatu teks atau wacana sebagaimana dikatakan di atas. Sementara itu,
Althusser (dalam Faruk, 2002:142) menyatakan bahwa wacana adalah ideologi
34
dalam praktek; tidak ada ideologi tanpa wacana dan tidak ada wacana tanpa
ideologi. Berdasarkan hal ini maka sebagaimana dikatakan di atas, wacana tak
dapat dilepaskan dengan ideologi, mengingat wacana merupakan cerminan
ideologi yang ada di balik wacana yang bersangkutan. Berkaitan dengan ideologi,
Althusser juga berpendapat bahwa, ideologi merupakan hasil hubungan kekuasaan
yang tidak hanya terdapat pada tataran negara atau dalam hubungan negara
dengan rakyat, hubungan majikan dengan buruh, tetapi juga terdapat dalam
hubungan antara orang per orang sehari-hari di mana saja (Takwin, 2003: 99).
Berdasarkan ideologi dan kepentingan yang beragam juga dimungkinkan
terjadinya pemaknaan terhadap suatu objek atau tanda sehingga setiap tanda bisa
mempunyai beragam makna. Untuk memahami hal ini Derrida sebagai tokoh teori
postrukturalisme dengan pendekatan atau metode dekonstruksi membongkar
oposisi biner yang lazim di dalam pikiran para penganut teori strukturalisme.
Dalam konteks ini dekonstruksi yang disebut juga hermeneutika radikal tidak
bertujuan menemukan makna objektif atau makna yang dimaksudkan pengarang,
tetapi justru membongkar dan menyingkap berbagai asumsi yang tersembunyi
dalam teks atau wacana. Tujuannya adalah menyingkap ketidakbenaran fakta,
kelemahan logika, ketidakkonsistenan argumentasi yang disusun, dan
menunjukkan subjektivitas, kepentingan, dan ideologi yang terkandung dalam
argumen (Lubis, 2014:53).
2.3.4 Teori Praktik Bourdieu
Pemikiran Bourdieu tentang praktek tersirat dalam judul sebuah buku yang
editornya terdiri atas Richard Harker, Cheelen Mahar, dan Chris Wilkes, yaitu
35
(Habitus x Modal) + Ranah = Praktik. Judul ini kemudian dibahas oleh Fashri
(2007:96) dengan penjelasan yang hendak diacu disini khusus untuk membangun
ladasan teori atau kerangka berpikir untuk penelitian ini. Dalam penjelasannya
ditegaskan sebagai berikut.
”Konsep ranah mengandaikan hadirnya berbagai macam potensi yang
dimiliki oleh individu maupun kelompok dalam posisinya masing-
masing. Tidak saja sebagai arena kekuatan-kekuatan, ranah juga
merupakan domain perjuangan demi memperebutkan posisi-posisi di
dalamnya. Posisi-posisi tersebut ditentukan oleh alokasi modal atas
para pelaku yang mendiami suatu ranah. Dari sinilah kita memandang
bahwa hierarki dalam suatu ruang sosial bergantung pada mekanisme
distribusi dan diferensiasi modal, yaitu seberapa besar modal yang
dimiliki (volume modal) dan struktur modal mereka”.
Jika diringkas, gagasan pada kutipan ini pada dasarnya menegaskan bahwa
manusia sebagai individu ataupun kelompok sosial berinteraksi dalam suatu arena
(ranah) sosial. Dalam interaksi itu terjadi perjuangan untuk merebut posisi-posisi
dengan mempertaruhkan modal yang dimiliki oleh tiap-tiap pihak.
Gagasan tersebut dapat diaplikasikan dalam konteks rumusan masalah
kedua dalam penelitian ini dengan membuat dugaan penting. Dugaan yang
dimaksud dalam hal ini adalah bahwa dalam sistem pengonstruksian promosi
pariwisata budaya Bali terdapat perjuangan untuk memperebutkan posisi yang ada
dalam proses konstruksi promosi pariwisata budaya Bali dalam media cetak.
Dalam perjuangan itu modal berfungsi vital, yakni menentukan pihak-pihak yang
berpeluang menjadi dominan. Pihak pemilik modal yang kuat akan memperoleh
posisi dominan. Dengan demikian, berkuasa dalam menentukan proses konstruksi
promosi pariwisata budaya Bali berdasarkan ideologi, kekuasaan, kepentingan,
dan hasrat.
36
Adapun modal yang dimaksud dalam hal ini adalah sebagaimana
dikemukakan oleh Fashri (2007:97) bahwa istilah modal digunakan oleh Bourdieu
untuk memetakan hubungan-hubungan kekuasaan dalam masyarakat. Modal
terakumulasi melalui investasi, bisa diberikan kepada yang lain melalui warisan,
dan dapat memberikan keuntungan melalui kesempatan yang dimiliki oleh
pemiliknya untuk mengoperasikan penempatannya. Terkait dengan pengertian
ini, modal dibedakan menjadi empat macam, yaitu sebagai berikut.
1) Modal ekonomi mencakup alat-alat produksi (mesin, tanah, buruh), materi
(pendapatan dan benda-benda), dan uang yang dengan mudah dapat
digunakan untuk segala tujuan serta diwariskan dari satu generasi ke
generasi berikutnya.
2) Modal budaya adalah keseluruhan kualitas intelektual yang bisa
diproduksi, baik melalui pendidikan formal maupun warisan keluarga.
Termasuk modal budaya, antara lain kemampuan menampilkan diri di
depan publik, pemilikan benda-benda budaya bernilai tinggi, pengetahuan
dan keahlian tertentu dari hasil pendidikan, juga sertifikat (gelar
kesarjanaan).
3) Modal sosial menunjuk pada jaringan sosial yang dimiliki pelaku (individu
atau kelompok) dalam hubungannya dengan pihak lain yang memiliki
kuasa.
4) Modal simbolik, yaitu segala bentuk prestise, status, otoritas, dan
legitimasi yang terakumulasi.
Untuk membantu melihat posisi tiap-tiap modal tersebut, hal lain yang
menurut Bourdieu (dalam Plummer, 2013:27--228) penting diketahui adalah
37
memahami sumber daya. Bourdieu menunjukkan peran penting sumber daya
dalam membentuk posisi dalam kehidupan sosial.
Berdasarkan pengertian tentang modal ini, dapat diduga bahwa pihak yang
memiliki akumulasi modal yang besar bisa mengendalikan proses kegiatan yang
berkaitan dengan pengusulan Subak Jatiluwih untuk dijadikan WBD. Pihak inilah
yang kiranya mempunyai argumentasi atau opini tentang mengapa Subak
Jatiluwih perlu dijadikan WBD dan bagaimana upaya menjadikan Subak
Jatiluwih sebagai WBD.
2.4 Model Penelitian
Keterangan: tanda panah satu arah : pengaruh
tanda panah dua arah : interaksi
UNESCO
ne
sco
SUBAK
JATILUWIH
WBD
REGULASI WBD
DAN
PARIWISATA
PERENCANAAN
PEMERINTAH DAN
MASYARAKAT
MASYARAKAT
SUBAK
Pasang – Surutnya
Dukungan Terhadap WBD
Latar Belakang/ Dasar Proses Implikasi
38
Bagan mengenai model penelitian di atas menunjukkan bahwa lembaga
internasional yaitu UNESCO yang membidangi pelestarian Budaya Dunia
menetapkan Kawasan Subak Jatiluwih sebagai WBD. Hal ini tercapai berkat
dukungan yang memadai dari para pihak terkait : pemerintah dan masyarakat
terhadap upaya pelestarian kawasan subak tersebut. Namun setelah penetapan
tersebut justru dukungan mereka itu menyurut. Penelitian ini hendak
memfokuskan perhatian pada tiga aspek mengenai pasang-surutnya dukungan
para pihak tersebut : dasar/alasannya, prosesnya, dan implikasinya.
top related