bab ii kajian pustaka dan kerangka pikirabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/c0210055_bab2.pdf ·...
Post on 03-Jul-2018
219 Views
Preview:
TRANSCRIPT
11
BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR
Dalam bab II ini akan dikemukakan tentang tinjauan studi terdahulu,
pengertian sosiolinguistik, variasi bahasa, ragam bahasa, bentuk pemendekan,
campur kode, alih kode, interferensi morfologis, kata sapaan, fungsi bahasa,
register, pengertian pasar, dan kerangka pikir. Kajian pustaka memaparkan
mengenai penelitian-penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya yang
berhubungan dengan karakteristik bahasa dan sosiolinguistik. Kerangka pikir
yaitu bagan yang memberikan penggambaran secara jelas untuk mengkaji dan
memahami penelitian.
A. Kajian Pustaka
Terdapat beberapa kajian pustaka yang sejenis dan relevan dengan
penelitian ini. Beberapa kajian pustaka tersebut dapat diuraikan di bawah ini.
Skripsi Sinta Manilasari (2014), Fakultas Sastra dan Seni Rupa
Universitas Sebelas Maret yang berjudul “Pemakaian Bahasa Kelompok
Penggemar Burung Kicauan di Surakarta Suatu Pendekatan Sosiolinguistik”.
Dalam penelitian ini ditemukan adanya karakteristik pemakaian bahasa, yang
didalamnya meliputi penggunaan istilah asing, pemanfaatan bentuk singkatan,
terdapat hibrida (hibrid word) antara afiks bahasa Indonesia dengan kata dasar
asing, gaya bahasa, terdapat peristiwa pemendekan atau kontraksi, pemakaian kata
sapaan, terjadi peristiwa campur kode, yang meliputi campur kode berwujud kata,
perulangan kata, gabungan kata, dan klausa. Terdapat pula peristiwa alih kode
intern atau ke dalam.
12
Fungsi bahasa digunakan untuk menyampaikan tuturan yang ada di dalam
kelompok penggemar burung kicauan ketika proses jual beli, perlombaan,
perawatan, serta pada saat penangkaran burung kicauan. Fungsi bahasa yang
terdapat dalam penelitian ini berupa.
(a) Peristiwa penangkaran burung kicauan yang di dalamnya, meliputi fungsi
konatif menasihati antarpenangkar burung kicauan, konatif menyarankan
antarpenangkar burung kicauan, konatif meyakinkan, konatif
menawarkan, dan konatif meminta antarpedagang dan penangkar burung
kicauan. Terdapat pula fungsi metalingual mendeskripsikan istilah, fungsi
referensial, yang meliputi referensial memberikan gambaran bentuk,
referensial menilai suara burung kicauan, dan yang terakhir terdapat
fungsi menyimpulkan.
(b) Peristiwa perawatan burung kicauan, yang meliputi fungsi konatif
meminta antarpemilik burung kicauan, fungsi konatif menyuruh
antarpemilik dengan perawat burung kicauan, fungsi konatif
menyarankan antarpemilik burung kicauan. Terdapat fungsi referensial
antar pemilik burung kicauan.
(c) Peristiwa jual beli burung kicauan, yang meliputi fungsi konatif
menyarankan antara penjual dan pembeli, fungsi konatif menawarkan
antara penjual dan pembeli, dan fungsi konatif meminta antara penjual
dan pembeli.
(d) Peristiwa perlombaan burung kicauan, yang meliputi fungsi konatif
menyarankan antara peserta dan juri, fungsi konatif menyarankan
antarpenonton, fungsi konatif memerintah antara pemilik dan burung
13
kicauan, fungsi konatif menyuruh memperhatikan antara peserta dengan
juri, fungsi konatif menyuruh membandingkan, dan fungsi meminta
perhatian antara peserta dengan juri. Fungsi referensial, yang meliputi
fungsi referensial menilai kicauan, dan fungsi referensial menilai gaya
burung kicauan. Fungsi emotif, yang meliputi fungsi emotif memuji
burung murai batu, dan fungsi emotif memuji penampilan anis merah.
Register dalam kosakata khusus kelompok penggemar burung kicauan untuk
keperluan berikut.
1. Jenis burung kicauan.
2. Jenis suara burung kicauan, meliputi tembakan, kempyang, ngekek, ngetik,
kristal, dan lain-lain.
3. Fase perkembangan burung kicauan, meliputi trotol, mabung, nyulam,
lolohan, dan lain-lain.
4. Perawatan burung kicauan, meliputi memberi makan, membersihkan,
melatih, dan lain-lain.
5. Perilaku burung kicauan, meliputi nancep, mbagong, nagen, ngriwik,
uther, dan lain-lain.
6. Perlombaan burung kicauan, meliputi kelas utama, kelas madya, double
winner, gantangan, koncer, dan lain-lain.
Skripsi Canggih Atmahardianto (2012), Fakultas Sastra dan Seni Rupa
Universitas Sebelas Maret yang berjudul “Register dalam Situs Komunitas
Dunia Maya Kaskus”. Dalam penelitian ini ditemukan adanya karakteristik
penggunaan bahasa Indonesia pada register dalam situs komunitas dunia maya
14
kaskus, yang didalamnya meliputi (1) pelesapan afiks dalam bahasa Indonesia;
(2) hibrida (antara afiks bahasa Indonesia dengan kosakata asing; dan (3)
kontraksi atau pemendekan. Dalam penelitian ini juga terdapat bentuk
singkatan yang terdapat beberapa pola singkatan, yaitu (1) singkatan yang
menggunakan huruf awal kapital; (2) bentuk penggalan yang terdiri dari (a)
penggalan suku kata pertama, (b) pengekalan suku terakhir, (c) pengekalan
empat huruf pertama; (3) angka sebagai pengganti kata atau suku kata; (4)
gabungan huruf dan angka. Ditemukan juga pola penelitian akronim berikut: (1)
akronim yang berasal dari huruf awal setiap kata, (2) akronim yang ditulis
dengan huruf kecil.
Dilihat dari bentuknya register dalam kaskus digolongkan menjadi (1)
berdasar satuan lingualnya dibedakan menjadi (a) kata, (b) frasa, dan (c)
kalimat; (2) berdasarkan asal bahasanya dibedakan menjadi (a) register yang
menggunakan bahasa Indonesia, (b) register yang menggunakan bahasa Jawa,
dan (c) register yang menggunakan bahasa Inggris. 2. Kosakata khusus
penanda register dapat digolongkan menjadi (1) menanggapi suatu thread; (2)
panggilan atau sapaan; (3) reputasi; (4) pangkat atau tingkatan; (5) koneksi dan
istilah dalam internet.
Dalam penggunaan gaya bahasa ditemukan gaya bahasa (1) perbandingan
yang dibagi menjadi (a) metafora, (b) personifikasi, dan (c) asosiasi; (2)
pertentangan yang dibagi menjadi (a) paradox dan (b) antithesis; (3) sindiran
15
yang dibagi menjadi (a) ironi, (b) sinisme, dan (c) sarkasme.
Skripsi Wilda Meridiyana (2012), Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas
Sebelas Maret yang berjudul “Pemakaian Bahasa dalam Olahraga Futsal”. Dalam
peelitian ini ditemukan karakteristik pemakaian bahasa olahraga futsal,
diantaranya terdapat pemakaian istilah dari bahasa Inggris, pemakaian istilah dari
dialek Jakarta, adanya peristiwa penambahan prefiks, terdapat peristiwa
pemendekan atau kontraksi, metafora, pemanfaatan bentuk-bentuk singkatan,
pemakaian kata sapaan, terjadi peristiwa campur kode yang meliputi campur kode
yang berwujud kata, kelompok kata, kata ulang, dan klausa. Terdapat pula
peristiwa alih kode, yang meliputi alih kode ke dalam dan keluar.
Penggunaan fungsi bahasa yaitu fungsi bahasa yang memaparkan tentang
fungsi bahasa yang digunakan untuk mengekspresikan bentuk-bentuk tuturan
dengan maksud tertentu sebagai strategi tuturnya. Fungsi bahasa pada penelitian
ini membicarakan teknik permainan futsal, yang meliputi fungsi direktif meminta
antara pemain futsal dan fungsi direktif meminta antara pemain dan pelatih, fungsi
bahasa yang digunakan saat merencanakan permainan futsal, fungsi bahasa yang
digunakan saat memulai permainan futsal, fungsi bahasa yang digunakan saat
memberi instruksi yang meliputi fungsi direktif menyuruh antara pelatih dengan
pemain, fungsi direktif menyarankan antara pelatih dan pemain, fungsi direktif
menjelaskan antara pelatih dan pemain, fungsi direktif menasihati antara pelatih
dan pemain, fungsi memotivasi dan mengkonfirmasi antara pelatih dan pemain,
dan fungsi menyimpulkan. Terdapat pula fungsi bahasa yang digunakan saat
mengevaluasi permainan futsal, yang meliputi fungsi direktif menyarankan
antarpemain futsal, fungsi referensial antarpemain futsal, dan fungsi ekspresif,
16
yang meliputi ekspresif kekecewaan antarpemain, ekspresif mengeluh
antarpemain, fungsi fatis antara pelatih dan pemain, dan fungsi direktif menasihati
antara pelatih dan pemain.
Penggunaan istilah kosakata penentu register olahraga futsal, yang meliputi
posisi pemain, nama-nama tendangan oleh pemain, aturan permainan, tindakan
pemain, keadaan atau suasana pertandingan, teknik permainan, nama alat-alat dari
lingkungan futsal, dan perangkat futsal (official).
Skripsi Ponco Sulistiyono (2016), Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas
Sebelas Maret yang berjudul “Pemakaian Bahasa dalam Jual Beli Handphone dan
Aksesoris Handphone”. Dalam penelitian ini ditemukan karakteristik penggunaan
bahasa dalam pemakaian bahasa jual beli handphone, penjualan aksesoris
handphone, dan servis handphone di Surakarta ditemukan beberapa ciri khusus
yang digunakan dalam berbagai macam kegiatan. Di antaranya terdapat
pemakaian istilah asing yakni bahasa Inggris, pemanfaatan bentuk singkatan,
akronim, terdapat hibrida antara afiks bahasa Indonesia dengan kata dasar bahasa
asing, terdapat peristiwa pemendekan atau kontraksi, pemakaian kata sapaan,
terdapat peristiwa campur kode yang berwujud kata, frasa, dan klausa. Dalam
analisis karakteristik pemakaian bahasa jual beli handphone, penjualan aksesoris
handphone, dan servis handphone di Surakarta terdapat pula peristiwa alih kode
yang bersifat intern.
Penggunaan fungsi bahasa terdapat beberapa hal, yaitu fungsi bahasa yang
digunakan dalam peristiwa jual beli handphone, yang meliputi fungsi emotif puas
antara pembeli dengan penjual handphone, fungsi emotif kecewa antara pembeli
dengan penjual handphone, serta fungsi emotif marah antara pelanggan dengan
17
tukang servis handphone. Ada pula fungsi konatif menasihati antara penjual
handphone dengan pembeli, fungsi konatif menasihati antarpenjual handphone,
fungsi konatif menyarankan antara penjual handphone dengan pembeli, fungsi
konatif meyakinkan antara penjual handphone dengan pembeli, dan fungsi konatif
menawarkan antara penjual handphone dengan pembeli. Selain itu terdapat pula
fungsi referensial yang meliputi fungsi referensial memberi gambaran bentuk
serta fungsi menyimpulkan. Dalam peristiwa penjualan aksesoris handphone
terdapat fungsi konatif meminta antara penjual dengan pembeli, fungsi konatif
menyuruh antara pembeli dengan penjual, serta fungsi konatif menyarankan
antara penjual dengan pembeli. Pada peristiwa servis handphone terdapat fungsi
konatif yang meliputi fungsi konatif menyarankan antara tukang servis dengan
pelanggan, fungsi konatif menyarankan antartukang servis handphone, fungsi
konatif menawarkan antara tukang servis dengan pelanggan, dan fungsi konatif
meyakinkan antara tukang servis dengan pelanggan.
Penggunaan istilah khusus ditunjukkan klasifikasi kosakata penentu register
yang memaparkan bentuk pemakaian istilah jual beli handphone, penjualan
aksesoris handphone dan servis handphone di Surakarta yang meliputi, peristiwa
jual beli handphone, jenis handphone, nama handphone, garansi handphone,
aksesoris handphone, dan servis handphone.
Penelitian “Pemakaian Bahasa Transaksi Jual Beli di Pasar Legi Jatinom
Klaten” diharapkan dapat melengkapi penelitian-penelitian sebelumnya. Dalam
penelitian ini akan dibahas mengenai pemakaian bahasa transaksi jual beli di
Pasar Legi Jatinom Klaten, fungsi bahasa yang terjadi dalam tuturan, serta istilah-
istilah khusus dalam transaksi jual beli di Pasar Legi Jatinom Klaten.
18
B. Landasan Teori
1. Sosiolinguistik
Sosiolinguistik memandang bahasa sebagai sistem sosial dan sistem
komunikasi, serta merupakan bagian dari masyarakat kebudayaan tertentu.
Dengan demikian, dalam sosiolinguistik bahasa tidak dapat dilihat secara
internal, tetapi dilihat sebagai sarana interaksi dan komunikasi di dalam
masyarakat. Beberapa rumusan yang dikemukakan mengenai sosiolinguistik
sebagai berikut.
a. Suwito (1996:5), mengungkapkan bahwa “sosiolinguistik merupakan
interdisipliner yang menggarap masalah-masalah kebahasaan dalam
hubungannya dengan masalah-masalah sosial.” Sosiolingistik
menempatkan kedudukan bahasa dalam hubungannya dengan
pemakaiannya dalam masyarakat, sehingga bahasa dipandang sebagai
sistem sosial dan sistem komunikasi, serta merupakan bagian dari
masyarakat dan kebudayaan tertentu. Pemakaian bahasa (language use)
merupakan bentuk interaksi sosial yang terjadi dalam situasi konkret.
b. Menurut I Dewa Putu Wijana dan Muhammad Rohmadi (2006:5), tugas
seorang sosiolinguistik adalah menerang-jelaskan hubungan antara variasi-
variasi bahasa itu dengan faktor-faktor sosial, baik secara situasional
maupun implikasional. Adapun struktur masyarakat di sini dipengaruhi
oleh berbagai faktor, seperti siapa yang berbicara (who speaks), dengan
siapa (with whom), di mana (where), kapan (when), dan untuk apa (to what
end).
19
c. Abdul Chaer dan Leonie Agustina (2010:4), mengungkapkan bahwa
“sosiolingulistik adalah cabang ilmu linguistik yang bersifat interdisipliner
dengan ilmu sosiologi, dengan objek penelitian hubungan antara bahasa
dengan faktor-faktor sosial di dalam suatu masyarakat tutur.”
d. P.W.J Nababan (1993:1-2), mengungkapkan bahwa sosiolinguistik
merupakan pengkajian bahasa dengan dimensi kemasyarakatan. Dimensi
kemasyarakatan ini menimbulkan ragam-ragam bahasa yang bukan hanya
berfungsi sebagai petunjuk perbedaan golongan kemasyarakatan
penuturnya, tetapi juga sebagai indikasi situasi berbahasa serta
mencerminkan tujuan, topik, aturan-aturan, dan modus penggunaan
bahasa.
e. R.A. Hudson mendeskripsikan tentang sosiolinguistik sebagai berikut.
“Sosiolinguistik as the study of in relation to society [....] (Hudson,
1980:1). „Sosiolinguistik merupakan ilmu bahasa yang berhubungan
dengan sosial‟.
Sehubung dengan peristiwa tutur dan tindak tutur dalam masyarakat,
maka penutur akan sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor luar bahasa
sebagaimana Dell Hymess (dalam Abdul Chaer dan Leonie Agustina,
2010:48-49) menandai terjadinya peristiwa tutur yang dipengaruhi oleh faktor-
faktor yang berkenaan dengan SPEAKING. Kedelapan komponen tersebut
antara lain.
a. Setting and scene
Setting berkenaan dengan waktu dan tempat tutur berlangsung,
sedangkan scene mengacu pada situasi tempat dan waktu, atau situasi
20
psikologis pembicaraan. Waktu, tempat, dan situasi tuturan yang berbeda
dapat menyebabkan penggunaan variasi bahasa yang berbeda.
b. Participants
Participants adalah pihak-pihak yang terlibat dalam pertuturan,
bisa pembicaraan dan pendengar, penyapa dan pesapa, atau pengirim dan
penerima (pesan). Status sosial partisipan sangat menentukan ragam
bahasa yang digunakan. Partisipan dipakai untuk menunjuk kepada
minimal dua pihak dalam bertutur. Pihak pertama adalah penutur dan
pihak kedua adalah mitra tutur. Dalam waktu dan situasi tertentu dapat
juga terjadi bahwa jumlah peserta tutur lebih dari dua, yakni dengan
hadirnya pihak ketiga.
c. Ends
Ends merujuk pada maksud dan tujuan pertuturan. Sebuah tuturan
mungkin sekali dimaksudkan untuk menyampaikan informasi atau buah
pikiran, tuturan itu dipakai untuk membujuk, merayu, mendapatkan kesan,
dan sebagainya. Sebuah tuturan mungkin juga ditujukan untuk mengubah
perilaku dari seseorang dalam masyarakat. Tuturan yang dimaksudkan
untuk mengubah perilaku dari seseorang yang sering pula disebut sebagai
tujuan konatif dari penutur. Tuturan dapat juga dipakai untuk memelihara
kontak antara penutur dan mitra tutur dalam suatu masyarakat. Tujuan
yang demikian sering pula dikatakan sebagai tujuan fatis dari sebuah
tuturan.
21
d. Act Sequences
Mengacu pada bentuk ujaran dan isi ujaran. Bentuk ujaran ini
berkenaan dengan kata-kata yang digunakan, bagaimana penggunaannya,
dan hubungan antara apa yang dikatakan dengan topik pembicaraan.
e. Key
Mengacu pada nada, cara, dan semangat dimana suatu pesan
disampaikan dengan senang hati, dengan serius, dengan singkat, dengan
sombong, dengan mengejek, dan sebagainya. Hal ini dapat juga
ditunjukkan dengan gerak tubuh dan isyarat.
f. Instrument
Merupakan alat yang digunakan untuk menyampaikan tuturan.
Misalnya secara lisan, tertulis, lewat telepon, dan sebagainya.
g. Norm of Interaction and Interpretation
Mengacu pada norma atau aturan dalam berinteraksi. Norma tutur
dibedakan menjadi dua, yakni norma interaksi (interaction norm) dan
norma interpretasi (interpretation norms) dalam bertutur. Norma interaksi
menunjuk kepada dapat atau tidaknya sesuatu dilakukan oleh seseorang
dalam bertutur dengan mitra tutur. Di samping itu, norma interpretasi
masih memungkinkan pihak-pihak yang terlibat dalam komunikasi untuk
memberikan interpretasi terhadap mitra tutur khususnya manakala yang
terlibat dalam komunikasi adalah warga dari komunikasi tutur yang
berbeda.
22
h. Genres
Mengacu pada jenis bentuk penyampaian, seperti narasi, puisi,
pepatah, doa, dan sebagainya.
2. Variasi Bahasa
Berbicara mengenai bahasa sebagai alat komunikasi, bahasa
digunakan oleh anggota masyarakat penuturnya untuk menjalin hubungan
dengan anggota masyarakat lain yang mempunyai kesamaan bahasa.
Hubungan atau komunikasi itu dapat dilakukan secara perorangan atau
kelompok. Lebih lanjut, komunikasi itu juga memungkinkan seseorang
bekerja sama dengan orang lain, membentuk kelompok, atau bahkan
membentuk suatu masyarakat untuk mencapai kepentingan bersama.
a. Abdul Chaer dan Leonie Agustina (2010:61-72) menyatakan bahwa
variasi bahasa disebabkan oleh adanya kegiatan interaksi sosial yang
dilakukan oleh masyarakat atau kelompok yang sangat beragam dan
dikarenakan penuturnya tidak homogen. Variasi bahasa menurut Abdul
Chaer dan Leonie Agustina dibedakan menjadi.
1) Variasi dari Segi Penutur
a) Idiolek, merupakan variasi bahasa yang bersifat perseorangan.
Setiap orang mempunyai idiolek masing-masing. Variasi
idiolek ini berkenaan dengan “warna” suara, pilihan kata, gaya
bahasa, susunan kalimat, dan sebagainya. Yang paling dominan
adalah “warna” suara, kita dapat mengenali suara seseorang
yang kita kenal hanya dengan mendengar suara tersebut.
23
b) Dialek, yaitu variasi bahasa dari sekelompok penutur yang
jumlahnya relatif, yang berada di suatu tempat atau area
tertentu.
c) Kronolek atau dialek temporal, yaitu variasi bahasa yang
digunakan oleh kelompok sosial pada masa tertentu, misalnya
variasi bahasa pada masa tahun tiga puluhan, lima puluhan,
ataupun saat ini.
d) Sosiolek atau dialek sosial, yaitu variasi bahasa yang berkenaan
dengan status, golongan, dan kelas sosial para penuturnya.
Dalam sosiolinguistik variasi inilah yang menyangkut semua
masalah pribadi penuturnya, seperti usia, seks (jenis kelamin),
pekerjaan, dan keadaan sosial ekonomi. Sehubung dengan
variasi bahasa yang berkenaan dengan tingkat, golongan,
status, dan kelas sosial para penuturnya disebut akrolek,
basilek, vulgar, slang, kolokial, jargon, argot, dan ken. Ada
juga yang menambahkan dengan sebutan bahasa prokem.
2) Variasi dari Segi Pemakaian
Variasi bahasa berkenaan dengan penggunaannya,
pemakaiannya, atau fungsinya disebut fungsilek, ragam atau
register. Variasi ini biasanya dibicarakan berdasarkan bidang
penggunaan, gaya, atau tingkat keformalan dan sarana penggunaan.
Variasi bahasa berdasarkan bidang pemakaian ini adalah
menyangkut bahasa itu digunakan untuk keperluan atau bidang
24
apa. Misal, bidang sastra jurnalis, militer, pertanian, pelayaran,
perekonomian, perdagangan, pendidikan, dan kegiatan keilmuan.
3) Variasi dari Segi Keformalan
Dalam Abdul Chaer dan Leonie Agustina (2010:70-73)
menyatakan bahwa Martin Joos (1967) dalam bukunya The Five
Clock variasi bahasa dibagi menjadi lima macam gaya (ragam),
yaitu ragam beku (frozen), ragam resmi (formal), ragam usaha
(konsultatif), ragam santai (casual), dan ragam akrab (intimate).
4) Variasi dari Segi Sarana
Variasi bahasa dapat pula dilihat dari segi sarana atau jalur
yang digunakan. Dalam hal ini dapat disebut adanya ragam lisan
dan ragam tulis atau ragam dalam berbahasa dengan menggunakan
sarana atau alat tertentu, misalnya bertelepon atau bertelegraf.
Adanya ragam lisan dan ragam tulis didasarkan pada kenyataan
bahwa bahasa lisan dan bahasa tulis memiliki wujud struktur yang
tidak sama.
b. Suwito (1996:28) menyatakan bahwa pemakaian bahasa tidak hanya
ditentukan oleh faktor linguistik tetapi juga oleh faktor nonlinguistik.
Faktor-faktor nonlinguistik yang berpengaruh terhadap pemakaian
bahasa adalah faktor sosial dan faktor situasional. Adanya kedua faktor
itu dalam pemakaian bahasa menimbulkan variasi bahasa.
c. Poedjosoedarmo (dalam Suwito 1996:28) berpendapat bahwa yang
dimaksud dengan variasi bahasa adalah bentuk-bentuk bagian atau
variasi dalam bahasa yang masing-masing memiliki pola yang
25
menyerupai pola umum bahasa induknya. Adapun wujud variasi itu
berupa idiolek, dialek, ragam bahasa, register, dan tingkat tutur atau
biasa disebut unda-usuk. Variasi bahasa merupakan istilah yang
bersifat netral, dalam pengertian mungkin terdapat dalam masyarakat
yang luas dan besar, mungkin pula terdapat dalam masyarakat kecil,
bahkan terdapat di dalam pemakaian bahasa perseorangan.
3. Ragam Bahasa
Bahasa di dunia tidaklah sama. Dalam satu negara, ada beragam
bahasa yang dipergunakan, bahkan pada suatu daerah tertentu kita dapat
mendengar berbagai ragam bahasa yang dipergunakan seseorang. Ragam
bahasa merupakan istilah yang dipakai untuk menunjukkan salah satu dari
sekian banyak variasi yang ada dalam pemakaian bahasa. Ragam bahasa
ditentukan oleh pemakaian yang tercipta karena kebutuhan penutur untuk
berkomunikasi sesuai dengan situasi dalam konteks sosialnya. Harimurti
(2001:184) menyatakan bahwa, ragam bahasa adalah variasi bahasa yang
berbeda-beda menurut pemakaian, menurut topik yang dibicarakan, menurut
hubungan pembicaraan, kawan bicara, orang yang dibicarakan, serta menurut
medium pembicara.
Ragam bahasa dalam bahasa Indonesia tidak terbatas jumlahnya.
Harimurti Kridalaksana membagi atas dasar pokok pembicaraan, medium
pembicaraan, dan hubungan antara pembicara (1989:2-5).
a. Ragam bahasa menurut pokok pembicaraan dibedakan antara lain atas:
ragam undang-undang, ragam jusnalistik, ragam ilmiah, ragam jabatan,
dan ragam sastra.
26
b. Ragam bahasa menurut medium pembicaraan dibedakan atas:
1) ragam lisan, yang dibedakan atas: ragam percakapan, ragam pidato,
ragam kuliah, ragam panggung, dan sebagainya.
2) ragam tulis, yang dibedakan atas: ragam teknis, ragam undang-undang,
ragam catatan, ragam surat-menyurat, dan sebagainya.
c. Ragam bahasa dan hubungan antara pembicara dibedakan atas: ragam
resmi, ragam akrab, ragam agak resmi, ragam santai, dan sebagainya.
4. Bentuk Pemendekan
Bentuk pemendekan dalam bahasa Indonesia muncul karena adanya
kebutuhan untuk berbahasa secara praktis dan cepat. Harimurti Kridalaksana
(1989:161-163) mengklasifikasikan bentuk-bentuk dalan bahasa Indonesia
sebagai berikut.
a. Singkatan yaitu salah satu hasil proses pemendekan yang berupa huruf
atau gabungan huruf, baik yang dieja huruf demi huruf maupun yang tidak
dieja huruf demi huruf.
1) Pengekalan huruf pertama tiap komponen.
Contoh : RM = Rumah Makan, UGM = Universitas Gadjah Mada, TNI
= Tentara Nasional Indonesia.
2) Pengekalan huruf pertama dengan pelesapan konjungsi, preposisi,
reduplikasi dan preposisi, artikulasi dan kata.
Contoh : APBN – Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
3) Pengekalan huruf pertama dengan bilangan, bila berulang.
Contoh : 3M = Menguras, Menutup, Mengubur.
4) Pengekalan dua huruf pertama dari kata.
27
Contoh = Ny = Nyonya.
5) Pengekalan tiga huruf pertama dari sebuah kata.
Contoh : Okt = Oktober.
6) Pengekalan empat huruf pertama dari suatu kata.
Contoh : Purn = Purnawirawan.
7) Pengekalan huruf pertama dan huruf terakhir kata.
Contoh : Dr = Doktor.
8) Pengekalan huruf pertama dan huruf ketiga.
Contoh : Gn = Gunung.
9) Pengekalan huruf pertama dan terakhir dari suku kata pertama dan
huruf pertama dari suku kata kedua.
Contoh : Kpt = Kapten.
10) Pengekalan huruf pertama kata pertama dan huruf pertama kata kedua
dari gabungan kata.
Contoh : VW = Volkswagen.
11) Pengekalan huruf pertama dan diftong terakhir dari kata.
12) Pengekalan dua huruf pertama dari kata pertama dan huruf pertama
kata kedua dalam suatu gabungan kata.
Contoh : Swt = Swatantra.
13) Pengekalan huruf pertama dari kata pertama dan hururf pertama dan
terakhir suku kata kedua dari suatu kata.
Contoh : Bdg = Bandung, Jkt = Jakarta.
14) Pengekalan huruf pertama dari tiap suku kata.
Contoh : hlm = halaman.
28
15) Pengekalan huruf pertama dan huruf keempat dari suatu kata.
Contoh : DO = depot.
16) Pengekalan huruf yang tidak beraturan.
Contoh : Ops = Operasi.
b. Akronim
Akronim merupakan salah satu hasil pemendekan yang berupa
gabungan huruf atau suku kata atau bagian lain yang tertulis dan dilafalkan
sebagai kata yang wajar.
c. Penggalan
Penggalan adalah salah satu hasil pemendekan yang mengekalkan
salah satu bagian dari leksem.
1) Penggalan suku pertama dari suatu kata.
Misalnya: Dok = Dokter.
2) Pengekalan suku terakhir suatu kata.
Misalnya: Bu = Ibu.
3) Pengekalan tiga huruf pertama dari sebuah kata.
Misalnya: Dep = Departemen.
4) Pengekalan empat huruf pertama dari suatu kata.
Misalnya: Brig = Brigade.
5) Pengekalan kata terakhir dari suatu kata.
Misalnya: ekspres = kereta api ekspres.
6) Pelesapan sebagian kata.
Misalnya: takkan = tidak akan.
29
5. Perubahan Bunyi
Dalam pelaksanaan bunyi-bunyi ujaran, terjadilah pengaruh timbal
balik antara bunyi-bunyi ujaran yang berdekatan. Karena adanya pengaruh
timbal balik itu terjadilah perubahan-perubahan bunyi ujaran, yaitu ada
perubahan yang jelas kedengaran dan ada yang kurang jelas kedengaran.
Dalam pembentukan bunyi bahasa ada tiga faktor utama yang terlibat,
yakni sumber tenaga, alat ucap yang menimbulkan getaran, dan rongga
pengubah getaran. Proses pembentukan bunyi bahasa dimulai dengan
memanfaatkan pernapasan sebagai sumber tenaganya. Sumber tenaga itu
berupa udara yang keluar dari paru-paru. Pada mulanya udara dihisap oleh
paru-paru, kemudian dihembuskan sewaktu bernafas. Udara yang
dihembuskan (atau dihisap untuk sebagian kecil bunyi bahasa) itu mengalami
perubahan pada pita suara yang terletak pada pangkal tenggorokan. Arus
udara yang keluar dari paru-paru itu dapat membuka kedua pita suara yang
merapat sehingga mengakibatkan corak bunyi bahasa tertentu. Gerakan
membuka dan menutup pita suara itu menyebabkan arus udara dan udara
disekitar pita suara itu berubah tekanannya dan bergetar. Perubahan bentuk
saluran udara itulah yang menghasilkan bunyi yang berbeda-beda.
Ucapan sebuah fonem dapat berbeda-beda, sebab sangat tergantung
pada lingkungannya, atau pada fonem-fonem lain yang berada di sekitarnya.
Misalnya, fonem /o/ apabila berada pada silabel tertutup akan berbunyi /ᴐ/ dan
kalau berada pasa silabel terbuka akan berbunyi /o/. Perubahan yang terjadi
pada kasus fonem /o/ bahasa Indonesia itu bersifat fonetis, tidak mengubah
fonem /o/ menjadi fonem lain. Dalam beberapa kasus lain, dalam bahasa-
30
bahasa tertentu dijumpai perubahan fonem yang mengubah identitas fonem itu
menjadi fonem yang lain. (Abdul Chaer, 2007:132)
Kasus pengucapan bunyi yang tidak sesuai dengan Ejaan Yang
Disempurnakan memang sering sekali terjadi di masyarakat. Jenis-jenis
perubahan bunyi dalam penelitian ini hanya ditemukan monoftongisasi dan
netralisasi.
a. Netralisasi adalah perubahan bunyi fonemis sebagai akibat pengaruh dari
lingkungan. Misalnya, kata nomor menjadi nomər. Perubahan bunyi
nomor menjadi nomər ini dikarenakan pengaruh oleh bahasa sehari-hari
orang Jawa, dimana kata nomor dalam bahasa Indonesia hampir sama
dengan kata nomər dalam bahasa Jawa, dan keduanya memiliki makna
yang sama.
b. Monoftongisasi adalah perubahan dua bunyi vokal atau vokal rangkap
(diftong) menjadi vokal tunggal (monoftong). Misalnya, kata ramai
[ramai] diucapkan [rame], petai [pətai] diucapkan [pəte]. Perubahan ini
terjadi pada bunyi vokal rangkap [ai] ke vokal tunggal [e].
Dalam premis telah disebutkan bahwa bunyi-bunyi lingual condong
berubah karena lingkungannya. Dengan demikian, perubahan bunyi tersebut
bisa berdampak pada dua kemungkinan. Apabila perubahan itu tidak sampai
membedakan makna atau mengubah identitas fonem, maka bunyi-bunyi
tersebut masih merupakan alofon atau varian bunyi dari fonem yang sama.
Dengan kata lain. perubahan itu masih dalam lingkup perubahan fonetis.
Tetapi, apabila perubahan bunyi itu sudah sampai berdampak pada pembedaan
makna atau mengubah identitas fonem, maka bunyi-bunyi tersebut merupakan
31
alofon dari fonem yang berbeda. Dengan kata lain, perubahan itu disebut
sebagai perubahan fonemis.
6. Campur Kode
Campur kode adalah suatu keadaan berbahasa bilamana orang
mencampur dua bahasa atau lebih bahasa dengan saling memasukkan unsur-
unsur bahasa yang satu ke dalam bahasa yang lain, unsur-unsur yang menyisip
tersebut tidak lagi mempunyai fungsi sendiri (Suwito, 1996:88).
Aspek lain dari ketergantungan bahasa (language dependency) dalam
masyarakat multilingual adalah terjadinya gejala campur kode (code-mixing).
Apabila di dalam alih kode fungsi konteks dan relevansi situasi merupakan
ciri-ciri ketergantungan ditandai oleh adanya hubungan timbal balik anatara
peranan dan fungsi kebahasaan. Peranan maksudnya siapa yang menggunakan
bahasa itu, sedangkan fungsi kebahasaan berarti apa yang hendak dicapai oleh
penutur dengan tuturannya.
Ciri dari gejala campur kode adalah unsur-unsur bahasa atau variasi-
variasinya yang menyisipkan di dalam bahasa lain tidak lagi mempunyai
unsur-unsur tersendiri. Unsur-unsur itu telah menyatu dengan bahasa yang
disisipinya dan secara keseluruhan hanya mendukung satu fungsi. Dalam
kondisi yang maksimal, campur kode merupakan konvergensi kebahasaan
(linguistic convergen) yang unsur-unsurnya berasal dari beberapa bahasa yang
masing-masing telah menanggalkan fungsinya dan mendukung fungsi bahasa
yang disisipinya.
Dwi Purnanto (2002:27) menjelaskan bahwa campur kode dapat
diidentifikasi melalui ciri-cirinya, antara lain.
32
1) Adanya aspek saling ketergantungan yang ditandai oleh adanya timbal
balik antara peran dan fungsi kebahasaan. Peran adalah siapa yang
menggunakan bahasa itu dan fungsi merupakan tujuan apa yang hendak
dicapai oleh penutur.
2) Penggunaan bahasa lain yang tidak lagi mempunyai fungsi tersendiri,
melainkan menyatu dengan bahasa yang disisipinya dan secara
keseluruhan mendukung satu fungsi.
3) Campur kode dalam kondisi yang maksimal merupakan konvergensi
kebahasaan yang unsur-unsurnya berasal dari beberapa bahasa yang
masing-masing telah menanggalkan fungsinya dan mendukung fungsi
bahasa yang disisipinya.
4) Pemakaian bentuk campur kode tertentu kadang-kandang bermaksud
untuk menunjukkan status sosial dan identitas pribadinya di dalam
masyarakat.
5) Wujud dan komponen kode tidak pernah berwujud kalimat, melainkan
hanya berwujud perulangan kata, frasa, idiom, bentuk baster, perulangan
kata dan klausa.
7. Alih Kode
a. Suwito (1996:80-87) menyatakan bahwa peristiwa peralihan dari satu kode
ke kode yang lain. Misalnya, penutur menggunakan bahasa Indonesia
kemudian beralih menggunakan bahasa Jawa. Alih kode merupakan salah
satu aspek ketergantungan bahasa (language dependency) dalam
masyarakat multilingual.
33
Dalam masyarakat multilingual sangat sulit apabila seorang
penutur mutlak hanya menggunakan satu bahasa. Dalam alih kode,
masing-masing bahasa masih cenderung mendukung fungsi masing-
masing dan masing-masing fungsi sesuai dengan konteksnya. Appel
memberikan batasan alih kode sebagai gejala peralihan pemakaian bahasa
karena perubahan situasi. Suwito membagi alih kode menjadi dua, yaitu.
1) Alih Kode Ekstern
Apabila alih bahasa, seperti dari bahasa Indonesia beralih ke
bahasa Inggris (bahasa asing) atau sebaliknya.
2) Alih Kode Intern
Apabila alih kode berupa alih varian, seperti dari bahasa Jawa
ngoko beralih ke krama.
Beberapa faktor yang menyebabkan alih kode adalah.
1) Penutur
Seorang penutur kadang-kadang dengan sengaja beralih kode
terhadap mitra tutur karena suatu tujuan. Misalnya, mengubah situasi
dari resmi menjadi tidak resmi atau sebaliknya.
2) Lawan tutur/Mitra tutur
Mitra tutur dengan latar belakang kebahasaan yang sama dengan
penutur biasanya beralih kode dalam wujud alih varian dan apabila
mitra tutur berlatar belakang kebahasaan berbeda cenderung alih kode
berupa alih bahasa.
3) Hadirnya penutur ketiga
34
Untuk menetralisir situasi dan menghormati kehadiran mitra
tutur ketiga, biasanya penutur dan mitra tutur beralih kode, apabila
latar belakang kebahasaan mereka berbeda.
4) Pokok pembicaraan (topik)
Pokok pembicaraan atau topik merupakan faktor yang dominan
dalam menentukan terjadinya alih kode. Pokok pembicaraan yang
bersifat formal biasanya diungkapkan dengan ragam baku, dengan
gaya netral dan disampaikan secara serius, sedangkan pokok
pembicaraan yang bersifat informal disampaikan dengan bahasa
takbaku, dengan gaya sedikit emosional, dan serba seenaknya.
5) Untuk membangkitkan rasa humor
Alih kode ini biasanya berwujud alih varian, alih ragam, atau
alih gaya bahasa.
6) Untuk sekedar bergengsi
Walaupun faktor situasi, lawan bicara, topik, dan faktor sosio-
situasional tidak mengharapkan terjadi adanya alih kode, sehingga
tampak adanya paksaan, tidak wajar, dan cenderung tidak komunikatif.
b. Fishman (dalam Abdul Chaer dan Leonie Agustina (2010:108)
menjelaskan bahwa “penyebab terjadinya alih kode harus dikembalikan
kepada pokok permasalahan dalam sosiolinnguistik, yaitu mengenai siapa
yang berbicara, dengan bahasa apa, kepada siapa, kapan, dengan tujuan
apa”.
Beberapa faktor yang menjadi penyebab terjadinya alih kode, antara
lain.
35
1) Pembicara atau penutur
Seorang penutur terkadang secara sadar beralih kode terhadap
mitra tutur. Usaha yang demikian dimaksudkan untuk mengubah
situasi, mungkin dari situasi yang resmi ke situasi tidak resmi.
Dengan situasi yang tidak resmi diharapkan masalah yang sedang
dibicarakan akan lebih mudah dipecahkan.
2) Pendengar atau mitra tutur
Setiap penutur pada umumnya ingin mengimbangi bahasa
yang dipergunakan oleh mitar tutur. Di dalam masyarakat
mulitingual itu berarti bahwa seorang penutur harus beralih kode
sebanyak kali lawan tutur yang dihadapinya.
3) Perubahan situasi dengan hadirnya orang ketiga
Dua orang yang berasal dari kelompok etnik yang sama pada
umumnya saling berinteraksi dengan bahasa kelompok etniknya.
Namun, jika terdapat penutur ketiga maka kedua penutur sebelumnya
akan beralih kode ke penutur yang ketiga. Hal ini untuk netralisasi
situasi dan sekaligus menghormati hadirnya orang ketiga tersebut.
4) Perubahan topik pembicaraan
Pokok pembicaraan merupakan faktor dominan terciptanya
sebuah alih kode. Pokok pembicaraan atau topik dapat dibedakan
menjadi dua, yaitu pokok pembicaraan yang bersifat formal,
misalnya kedinasan, keilmuwah; dan pokok pembicaraan yang
bersifat nonformal, misalnya kekeluargaan, persaudaraan,
kesetiakawanan, dsb.
36
5) Untuk membangkitkan rasa humor
Alih kode terkadang sering dimanfaatkan oleh guru,
pemimpin rapat, dan seorang pelawak untuk membangkitkan rasa
humor seseorang. Tujuannya adalah untuk menyegarkan suasana
yang mulai lesu. Alih kode demikian mungkin berwujud alih varian,
alih ragam atau alih gaya bicara.
6) Untuk sekedar bergengsi
Hal ini terjadi apabila baik faktor situasi, lawan bicara, topik
dan faktor-faktor sosio-situasional yang lain sebenarnya tidak
mengharuskan dia untuk beralih kode. Dengan kata lain baik fungsi
kontekstual maupun situasi relevansinya tidak mendukung peralihan
kodenya (Suwito, 1996:85-87).
8. Interferensi Morfologis
Situasi kebahasaan masyarakat tutur bahasa Indonesia sekurang-
kurangnya ditandai dengan pemakaian dua bahasa, yaitu bahasa daerah
sebagai bahasa ibu dan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Situasi
pemakaian seperti inilah yang dapat memunculkan percampuran antara bahasa
nasional dan bahasa Indonesia. Bahasa ibu yang dikuasai pertama, mempunyai
pengaruh yang kuat terhadap pemakaian bahasa kedua, dan sebaliknya bahasa
kedua juga mempunyai pengaruh yang besar terhadap pemakaian bahasa
pertama. Kebiasaan untuk memakai kedua bahasa atau lebih secara bergantian
disebut kedwibahasaan. Peristiwa semacam ini dapat menimbulkan
interferensi.
37
Interferensi dapat terjadi pada semua komponen kebahasaan. Ini berarti
semua komponen kebahasaan dapat terjadi dalam bidang-bidang tatabunyi,
tatabentuk, tatakalimat, tatakata, dan tatamakna. Apabila penutur bahasa Jawa
mengucapkan kata-kata nama tempat yang berasal dari nama bunyi /b/, /d/, /g/,
dan /j/ dengan penasalan di depannya, maka terjadilah interferensi tatabunyi
atau interferensi fonologis bahasa jawa dalam bahasa Indonesia. Misalnya
/mBandung/, /nDeli/, /ngGombong/, /nJambi/, dan sebagainya. Interferensi
morfologis juga terjadi apabila dalam pembentukan kata suatu bahasa
menyerap afiks-afiks bahasa lain. Dalam bahasa Indonesia misalnya, sering
terjadi penyerapan afiks-afiks {ke-}, {ke-an} dari bahasa daerah (Jawa dan
Sunda), dan afiks –(n) isasi, -is dari bahasa asing (Belanda dan Inggris),
misalnya dalam kata-kata: kelanggar, kepukul, ketabrak, kebesaran, kekecilan,
kemahalan, sungguhan, turinisasi, ikanisasi, agamais, Pancasilais, dan
sebagainya (Suwito,1996: 65-66).
Interferensi merupakan gejala perubahan terbesar dan paling dominan
dalam perkembangan bahasa. Gejala interferensi dari bahasa yang satu kepada
bahasa yang lain sulit untuk dihindari. Terjadinya gejala interferensi juga tidak
lepas dari perilaku penutur bahasa penerima.
Menurut Abdul Chaer dan Leonie Agustina (2010:120) interferensi
pertama kali digunakan oleh Weinrich untuk menyebut adanya perubahan
sistem suatu bahasa sehubungan dengan adanya persentuhan bahasa tersebut
dengan unsur-unsur bahasa yang lain yang dilakukan oleh penutur yang
bilingual. Interferensi mengacu pada adanya penyimpangan dalam
menggunakan suatu bahasa dengan memasukkan sistem bahasa lain. Dilihat
38
dari segi kemurnian bahasa, interferensi pada tingkat apapun dianggap sebagai
suatu kesalahan yang dapat merusak bahasa. Hal ini disebabkan orang-orang
yang berpaham purisme (aliran atau paham yang ingin mempertahankan
kemurnian suatu bahasa) di Indonesia tentu tidak dapat menerima bentuk-
bentuk kata jadian seperti kebesaran dan susunan kalimat seperti, “Baju bapak
sudah sangat kekecilan.”
9. Fungsi bahasa
Bahasa adalah alat untuk berinteraksi atau alat untuk berkomunikasi,
dalam arti, alat untuk menyampaikan pikiran, gagasan, konsep, atau juga
perasaan. Bagi sosiolinguistik konsep bahwa bahasa adalah alat atau berfungsi
untuk menyampaikan pikiran dianggap terlalu sempit.
Fungsi bahasa menurut Roman Jakobson dalam Sudaryanto (1990:12)
dibagi menjadi enam, yaitu (1) fungsi referensial, pengacu pesan; (2) fungsi
emotif, pengungkap keadaan pembicara; (3) fungsi konatif, pengungkap
keinginan pembicara yang langsung atau segera dilakukan atau dipikirkan
oleh sang penyimak; (4) fungsi metalingual, penerang terhadap sandi atau
kode yang digunakan; (5) fungsi fatis, pembuka, pembentuk, pemelihara
hubungan atau kontak antara pembicara dengan penyimak; dan (6) fungsi
puitis, penyandi pesan. Setiap fungsi bersejajar dengan faktor fundamental
tertentu yang memungkinkan bekerjanya bahasa. Fungsi referensial (1) sejajar
dengan faktor konteks atau referen; fungsi emotif; (2) sejajar dengan faktor
pembicara; fungsi konatif; (3) sejajar dengan faktor sandi atau kode; fungsi
fatis; (5) sejajar dengan faktor amanat atau pesan.
39
Pandangan Jacobson tersebut disederhanakan oleh Geoffrey Leech
dalam Sudaryanto (1990:13) menjadi lima, yaitu fungsi (1) informasional, (2)
ekspresif, (3) direktif, (4) estetik, dan (5) fatis. Menurutnya fungsi itu masing-
masing berkorelasi dengan lima unsur utama situasi komunikatif, yaitu (1)
pokok masalah (subject-matter) untuk fungsi informasional, (2) originator,
yaitu pembicara atau penulis, untuk fungsi ekspresif, (3) penerima, yaitu
pendengar atau pembaca, untuk fungsi direkftif, (4) saluran komunikasi
antarmereka untuk fungsi estetik, dan (5) pesan kebahasaan itu sendiri untuk
fungsi fatis (Leech, 1981:40-41) dalam Sudaryanto, 1990:13).
Jika Leech menciutkan maka pakar lain, yaitu Dell Hymes (1962)
dalam Sudaryanto (1990: 13) memekarkan fungsi bahasa bukan hanya enam
melainkan tujuh, yaitu (1) fungsi ekspresif atau emotif; (2) fungsi direktif,
konatif, atau persuatif; (3) fungsi puitik; (4) fungsi kontak, fatis (fisik atau
psikologis); (5) fungsi metalinguistik; (6) fungsi referensial; dan (7) fungsi
kontekstual atau situasional. Dalam hal ini fungsi (7) adalah mekarnya.
Berikut adalah penjelasan fungsi bahasa oleh Hymes yang disebutkan
dalan Kushartati, dkk. (2007:53-54). Fungsi ekspresif atau emotif terjadi jika
yang menjadi perhatian adalah penuturnya sendiri, misalnya menyatakan
perasaan yang terwujud dalam rasa senang, marah, atau kesal. Fungsi direktif,
konatif, atau persuatif terjadi jika yang dipentingkan adalah mitra tuturnya,
yang sering diwujudkan dalam bentuk seruan atau suruhan. Fungsi puitik
(poetic) terwujud karena pusat perhatian terhadap bentuk pesan (message
form), misalnya banyak terdapat pada tulisan atau goresan ditembok tempat
umum seperti graffiti atau dalam karya sastra terutama puisi yang
40
mementingkan bentuk dan bunyi bersajak. Fungsi fatis (phatic) timbul dalam
tuturan yang mengutamakan tersambungnya atau terbukanya jalur tuturan
(channel), misalnya ucapan salam atau sekedar mengisi kekacuan dalam
pembicaraan. Fungsi metalinguistik (metalinguistic) terwujud dalam ungkapan
atau bahasa yang terpusat pada makna atau batasan istilah, misalnya terdapat
dalam bentuk definisi atau rumusan “H2O adalah rumus kimia untuk air”, dan
“Bandung adalah ibu kota Jawa Barat. Fungsi referensial terwujud dalam
tuturan yang mengutamakan isi atau topik pembicaraan (message). Misalnya
pembicaraan dua politikus tentang kriteria calon anggota DPR RI. Fungsi
kontekstual atau situasional adalah ujaran yang memberi tekanan pada waktu
(bagian dari setting), ini biasa digunakan untuk fungsi pada bahasa yang
memperlihatkan penekanan pada faktor tempat terjadinya tuturan.
Dari beberapa konsep fungsi bahasa yang dipaparkan di atas, penulis
cenderung menggunakan fungsi bahasa dari Dell Hymes yang berfokus pada
fungsi konatif dan referensia untuk menganalisa data dalam penelitian ini. Hal
ini dikarenakan dalam transaksi jual beli di Pasar Legi lebih banyak
ditemukan tuturan yang mementingkan penutur dan mitra tutur saja.
10. Register
Register merupakan salah satu dari beberapa jenis variasi bahasa jika
dilihat berdasarkan kebutuhan pemakaian bahasa atau variasi bahasa
berdasarkan fungsi penggunaan bahasa. Definisi register menurut para ahli
pada intinya memberikan pengertian yang sama, walaupun dengan kalimat
yang berbeda. Menurut Halliday dan Ruqaiya Hasan (1992:56), register dapat
didefinisikan sebagai ragam bahasa berdasarkan pemakaiannya. Dapat
41
dikatakan bahwa register adalah bahasa yang digunakan saat ini, tergantung
pada apa yang sedang dikerjakan dan sifat kegiatannya. Di samping itu,
Halliday juga membedakan register menjadi dua yaitu, bahasa terbatas dan
bahasa yang lebih terbuka. Bahasa terbatas memiliki sifat tidak mempunyai
tempat bagi individualitas atau bagi kreatifitas selain itu kemungkinan
maknanya sangat terbatas, misalnya kata sandi yang digunakan pada pengirim
berita ketika perang, navigator, dan komunikasi sehari-hari, terkait dengan
penggunaan bahasa yang setiap bidang kegiatan memiliki ciri register yang
berbeda.
Konsep register akan sangat berkaitan dengan konsep variasi bahasa
karena munculnya variasi bahasa sangat dimungkinkan oleh berbagai faktor
yang mempengaruhinya. Dalam kaitannya ini Dell Hymes dalam Dwi
Purnanto (2002:20) menyatakan bahwa pemilihan pemakaian register tidak
hanya karena adanya situasi tertentu yang menurut penggunaan register, tetapi
pemilihan register juga turut menentukan situasi pemakaiannya. Konsep
tersebut mengacu pada munculnya variasi bahasa harena dipengaruhi oleh
faktor situasi tertentu dan pemakaian variasi bahasa menyatakan situasi
tertentu.
Holmes (dalam Dwi Purnanto, 2002:19) memahami register dengan
konsep yang lebih umum karena disejajarkan dengan konsep ragam (style),
yakni menunjuk pada variasi bahasa yang mencerminkan perubahan
berdasarkan faktor-faktor situasi. Lebih lanjut dijelaskan, bahwa sebagian
besar para sosiolinguis menjelaskan konsep register secara lebih sempit, yakni
42
hanya mengacu pada pemakaian kosakata khusus yang berkaitan dengan
kelompok pekerjaan yang berbeda.
Ferguson (dalam Biber dan Edward Finegan, 1994:20) berpendapat
sebagai berikut.
A communication situational that recurs regularly in a society (in
term of participants, setting, communicative functions, and so forth)
will tend overtime to develop identifying markers of language structure
and language use, different from the language of other
communication situations.
„Situasi komunikasi yang terjadi berulang secara teratur dalam suatu
masyarakat (yang berkenaan dengan partisipan, tempat, fungsi-
fungsi komunikatif, dan seterusnya) sepanjang waktu cenderung
akan berkembang menandai struktur bahasa dan pemakaian bahasa,
yang berbeda dari pemakaian bahasa pada situasi-situasi
komunikasi yang lainnya.‟
Dijelaskan oleh Ferguson bahwa orang yang terlibat dalam
situasi komunikasi secara langsung cenderung mengembangkan
kosakata, ciri-ciri intonasi yang sama, dan potongan-potongan ciri
kalimat dan fonologi yang mereka gunakan dalam situasi itu. Lebih
lanjut dikatakannya bahwa ciri-ciri register yang demikian itu akan
memudahkan komunikasi yang cepat, sementara ciri yang lain dapat
membina perasaan yang erat.
43
Untuk melakukan analisis terhadap register transaksi jual beli mengacu
pada penerapan kerangka komprehensif analisis register. Sebagaimana yang
telah dijelaskan oleh Douglas Biber dan Edward Finegan, 1994:33) sebagai
berikut.
A comprehensive framework for register analysis should provide tools
for all three components identified in the last section: analysis of the
linguistic characteristics of registers, analysis of the situational
characteristics of registers, and analysis of the functional and
conventional associations between linguistic and situational
characteristics (Biber, Douglas dan Edward Finegan, 1994:33).
„Kerangka komprehesif analisis dalam register meliputi tiga komponen
identifikasi, analisis ciri-ciri linguistik register, analisis ciri-ciri
situasional register, dan analisis fungsional dan konvensional sebagai
gabungan ciri-ciri linguistik dan ciri-ciri situasional register‟ (Biber,
Douglas dan Edward Finegan, 1994:33)
Seperti ilustrasi yang digambarkan berikut.
FUNCTION
SITUASIONAL FEATURES ↔ and ↔ LINGUISTIC FORMS
CONVENTIONS
Penguraian terhadap ciri-ciri linguistik terdiri dari dua tipe,
penanda register dan ciri-ciri linguistik inti. Analisis ciri situasional
mengacu pada pembentuk makna register (kosakata atau ungkapan).
Analisis fungsional dan konvensional untuk register transaksi jual beli di
Pasar Legi Jatinom Klaten dilakukan dengan memvariasikan konteks
44
pemakaian bahasa sebagaimana yang diajukan Hymes dalam komponen
tuturnya
11. Pasar
Kata pasar mempunyai aneka penggunaan dalam teori ekonomi, dalam
bisnis pada umumnya dan di pemasaran pada khususnya. Pasar mungkin dapat
didefinisikan sebagai tempat dimana pembeli bertemu dengan penjual, barang-
barang atau jasa-jasa ditawarkan untuk dijual, dan kemudian terjadi
pemindahan hak milik.
Pasar secara harfiah berarti berkumpul untuk tukar menukar barang
atau jual beli sekali dalam 5 hari Jawa. Pasar diduga dari bahasa Sanskerta
Pancawara. Pasar dalam konsep urban Jawa adalah kejadian yang berulang
secara ritmik dimana transaksi sendiri tidak sentral, yang sentral dalam
kegiatan pasaran adalah interaksi sosial dan ekonomi dalam satu peristiwa.
Berkumpul dalam arti saling ketemu muka dan jual beli pada hari pasaran
menjadi semacam panggilan sosial perodik.
Menurut Hasibuan (1993:12) dalam Prihandini (2013), secara
sederhana pengertian pasar adalah pertemuan antara penjual dan pembeli.
Pengertian pasar tersebut adalah dipandang secara nyata. Secara abstrak, pasar
adalah ratusan atau ribuan perusahaan dalam suatu industri yang melakukan
transaksi perdagangan dalam waktu tertentu.
45
Pasar merupakan suatu institusi tempat bertemunya penjual dan
pembeli untuk melakukan transaksi, yaitu hubungan timbal balik antara
penjual dan pembeli untuk mencapai kesepakatan harga terhadap suatu barang
atau jasa yang hendak dibeli. Keberadaan pasar mempunyai fungsi yang
sangat penting. Secara umum, pasar mempunyai tiga fungsi utama yaitu
(Sadono Sukirno, 2004:220 dalam Putri, 2012)
a. Fungsi Distribusi
Dalam kegiatan distribusi pasar mempunyai fungsi untuk
mendekatkan jarak antara konsumen (pembeli) dengan produsen
(penjual) dalam melaksanakan transaksi. Pasar mempunyai fungsi
distribusi meyalurkan barang-barang hasil produksi ke konsumen.
Melalui transaksi jual beli, produsen dapat memasarkan barang hasil
produksinya baik secara langsung maupun tidak langsung kepada
konsumen atau kepada pedagang perantara lainnya. Melalui transaksi
jual beli itu, konsumen dapat memperoleh barang dan jasa yang
dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhannya.
b. Fungsi Pembentukan Harga
Sebelum terjadi transaksi jual beli terlebih dahulu dilakukan
proses tawar menawar, sehingga diperoleh kesepakatan harga antara
penjual dan pembeli. Dalam proses tawar menawar tersebut terjadi
penyatuan keinginan kedua belah pihak, yaitu keinginan penjual dan
keinginan pembeli untuk menentukan kesepakatan harga atau yang biasa
disebut harga pasar
46
c. Fungsi Promosi
Pasar merupakan sarana atau tempat yang palin tepat untuk
mempromosikan barang-barang produksi, karena pasar banyak
dikunjungi konsumen (pembeli). Pelaksanaan promosi dapat dilakukan
dengan berbagai cara, misalnya memasang spanduk, membagikan
brosur, memberikan sampel barang kepada para konsumen (pembeli)
dan lain sebagainya.
Pasar merupakan tempat pembeli bertemu dengan penjual,
barang-barang atau jasa-jasa ditawarkan untuk dijual dan kemudian
terjadi pemindahan hak milik. Kottler (2002:09) melihat arti pasar dalam
beberapa sisi, antara lain:
a. Dalam pengertian aslinya, pasar adalah suatu tempat fisik di mana
pembeli dan penjual berkumpul untuk mempertukarkan barang dan
jasa.
b. Bagi seorang ekonom, pasar mengandung arti semua pembeli dan
penjual yang menjual dan melakukan transaksi atas barang/jasa
tertentu. Dalam hal ini para ekonom memang lebih tertarik akan
struktur, tingkah laku dan kinerja dari masing-masing pasar ini.
c. Bagi seorang pemasar, pasar adalah himpunan dari semua pembeli
nyata dan pembeli potensial dari pada suatu produk.
47
Pasar merupakan tempat pembeli bertemu dengan penjual, barang-
barang atau jasa-jasa ditawarkan untuk dijual dan kemudian terjadi
pemindahan hak milik. Pasar dapat dibedakan menjadi dua kelompok
besar, yaitu.
a. Pasar Tradisional
Pasar yang masih memakai pola manajemen yang sangat
sederhana dengan ciri-cirinya setiap pedagang mempunyai satu
jenis usaha, adanya interaksi antara penjual dan pembeli (tawar
menawar harga), penempatan barang dijajar kurang tertata rapi,
kenyamanan dan keamanan kurang diperhatikan.
b. Pasar Modern
Pasar yang sudah memakai pola-pola manajemen modern,
dengan ciri-ciri jenis barang dagangan yang dilakukan oleh satu
pedagang, harga fixed (tetap), tata letak barang dagangan teratur
dengan baik dan rapi, kenyamanan dan keamanan sudah menjadi
prioritas utama.
48
C. Kerangka Pikir
Transaksi jual beli di pasar Legi
Jatinom Klaten
Kalimat yang mengandung
istilah khsusus
Analisis
Fungsi bahasa Tuturan yang
mengandung register
transaksi jual beli di
pasar Legi Jatinom
Klaten
Karakteristik pemakaian
bahasa transaksi jual beli di
pasar Legi Jatinom Klaten
Bentuk pemendekan
Perubahan bunyi
Campur kode
Alih kode
Interferensi morfologis
Kata sapaan
Fungsi konatif
Fungsi referensial
Kosakata khusus
penentu register
transaksi jual beli di
pasar Legi Jatinom
Klaten
Pemakaian Bahasa
Rekaman percakapan
transaksi jual beli di pasar
Legi Jatinom Klaten
Lisan
Sosiolinguistik
konteks
Simpulan karakteristik transaksi jual beli di pasar Legi Jatinom Klaten
top related