bab ii hasil analisis data - abstrak.ta.uns.ac.id · istilah kinang merupakan kata dasar...
Post on 03-Mar-2019
223 Views
Preview:
TRANSCRIPT
BAB II
HASIL ANALISIS DATA
Sehubungan dengan permasalahan yang ada pada penelitian ini, maka
analisis data yang akan dibicarakan ada dua hal yaitu mengenai istilah-istilah
sesaji dalam upacara sadranan, yaitu bentuk yang berupa monomorfemis,
polimorfemis, dan frasa, makna yang berupa makna leksikal dan makna kultural
yang ada dalam upacara sadranan bagi masyarakat Jawa, serta perkembangan
tradisi terkait istilah-istilah sesaji dalam upacara sadranan di dukuh Klinggen,
desa Guwokajen, kecamatan Sawit, kabupaten Boyolali.
A. Bentuk Istilah Upacara Sadranan
Berdasarkan hasil pengumpulan data yang dilakukan ditemukan bentuk
istilah sesaji dalam upacara sadranan berupa monomorfemis, polimorfemis, dan
frasa.
1. Bentuk Monomorfemis
Monomorfemis mencakup semua kata yang tergolong kata dasar, bentuk
tunggal istilah-istilah sesaji dalam upacara sadranan, dengan pengertian bahwa
morfem itu dapat berdiri sendiri bermakna, dan tidak terikat dengan morfem yang
lain. Dengan kata lain, kata tersebut belum mengalami proses morfologis atau
383
833
839
38
belum mendapat tambahan apapun, belum diulang dan belum digabungkan.
Adapun bentuk yang termasuk monomorfemis adalah sebagai berikut:
1. Apem [apêm]
Gambar 1: Apem (Dokumen Eflin, 6 Juni 2015)
Istilah apem merupakan kata dasar berkategori Nomina. Apem
adalah kue/makanan yang terbuat dari tepung beras biasanya untuk
kenduren atau acara adat Jawa, bertekstur lembut, rasanya manis,
berbentuk bulat, dan di atasnya ada irisan kelapa.
2. Bawang [bawaŋ]
Gambar 2: Bawang (Dokumen Eflin, 26 Maret 2016)
Istilah bawang merupakan kata dasar berkategori Nomina. Bawang
adalah tanaman yang umbinya berbau khas, rasanya pahit, berwarna putih,
dan digunakan sebagai bumbu penyedap makanan. Bawang dalam bahasa
Jawa sama dengan bawang putih dalam bahasa Indonesia.
3. Brambang [brambaŋ]
Gambar 3: Brambang (Dokumen Eflin, 26 Maret 2016)
Istilah brambang merupakan kata dasar berkategori Nomina.
Brambang adalah sejenis umbi lapis berwarna merah, rasanya pedas,
berbau khas, dan berfungsi untuk penyedap masakan.
4. Besek [bese?]
Gambar 4: Besek (Dokumen Eflin, 26 Maret 2016)
Istilah besek merupakan kata dasar berkategori Nomina. Besek
adalah salah satu tempat untuk sesaji yang berbentuk persegi, kecil, dan
ada tutupnya yang terbuat dari bambu, tempat nasi untuk kenduri.
5. Kembang [kǝmbaŋ]
Gambar 5: Kembang (Dokumen Eflin, 6 Juni 2015)
Istilah kembang merupakan kata dasar berkategori Nomina.
Kembang adalah bunga untuk sesaji terbuka, mekar yang terdiri dari bunga
mawar, melati, dan kantil.
6. Kerupuk [kerupU?]
Gambar 6: Kerupuk (Dokumen Eflin, 6 Juni 2015)
Istilah kerupuk merupakan kata dasar berkategori Nomina.
Kerupuk adalah makanan yang terbuat dari adonan yang terdiri dari udang,
bawang, garam yang dicampur dengan tepung terigu yang dikukus dengan
bentuk bulan panjang. Setelah dingin diiris tipis dan dikeringkan. Setelah
kering baru digoreng (sebagai lauk-pauk). Kerupuk ini lebih dikenal
dengan krupuk udang dan sebagai pelengkap lauk-pauk.
7. Kinang [kinaŋ]
Gambar 7: Kinang (Dokumen Eflin, 29 Maret 2016)
Istilah kinang merupakan kata dasar berkategori Nomina. Kinang
adalah sekapur sirih yang terdiri dari daun sirih, gambir, kapur sirih, dan
tembakau.
8. Lawuh [lawUh]
Lihat Gambar 6, 11, 18, dan 20
Istilah lawuh merupakan kata dasar berkategori Nomina. Lawuh
merupakan lauk pauk atau makanan yang terdiri dari rempeyek, kerupuk,
tahu, tempe, daging atau ikan.
9. Lombok [lOmbO?]
Gambar 8: Lombok (Dokumen Eflin, 26 Maret 2016)
Istilah lombok merupakan kata dasar berkategori Nomina. Lombok
merupakan tanaman perdu yang buahnya berbentuk bulat panjang dengan
ujung meruncing, apabila sudah tua berwarna merah kecokelat-
kecokelatan atau hijau tua, berisi banyak biji, dan memiliki rasa pedas.
10. Ingkung [iŋkUŋ]
Gambar 9: Ingkung (Dokumen Eflin, 6 Juni 2015)
Istilah ingkung merupakan kata dasar berkategori Nomina. Ingkung
adalah ayam jago utuh yang dimasak (yang sudah dibersihkan jeroannya
‘bagian dalam ayam’) dimasak dengan bumbu, ayam diikat leher dan
kakinya sehingga posisinya seperti ayam duduk (ndhekem).
11. Menyan [mǝñan]
Gambar 10: Menyan (Dokumen Eflin, 29 Maret 2016)
Istilah menyan merupakan kata dasar berkategori Nomina. Menyan
adalah sejenis getah yang dipakai sebagai dupa yang berbau harum.
12. Rempeyek [rêmpɛyɛ?]
Gambar 11: Rempeyek (Dokumen Eflin, 6 Juni 2015)
Istilah rempeyek merupakan kata dasar berkategori Nomina.
Rempeyek adalah sejenis makanan yang terbuat dari tepung terigu dengan
campuran bumbu serta ditambahi bahan tambahan lain seperti kacang/teri.
13. Rokok [rOkO?]
Gambar 12: Rokok (Dokumen Eflin, 26 Maret 2016)
Istilah rokok merupakan kata dasar berkategori Nomina. Rokok
adalah gulungan tembakau yang bersalut daun nipah kertas.
14. Sudi [sUdI]
Gambar 13: Sudi (Dokumen Eflin, 6 Juni 2015)
Istilah sudi merupakan kata dasar berkategori Nomina. Sudi adalah
tempat untuk sambel goreng yang terbuat dari daun pisang yang berbentuk
bulat, didalamnya terdapat lancipan seperti gunung, dan disemat dengan
lidi didekat lancipnya.
15. Takir [takIr]
Gambar 14: Takir (Dokumen Eflin, 6 Juni 2015)
Istilah takir merupakan kata dasar berkategori Nomina. Takir
adalah adalah wadah atau tempat semuran yang terbuat dari daun pisang
yang disemat dengan lidi pada kedua sisinya yang berbentuk seperti kapal.
16. Tambir [tambIr]
Gambar 15: Tambir (Dokumen Eflin, 29 Maret 2016)
Istilah tambir merupakan kata dasar berkategori Nomina. Tambir
adalah anyaman bambu berbentuk bulat, tipis, tempat untuk sesaji.
17. Tumbu [tumbu]
Gambar 16: Tumbu (Dokumen Eflin, 26 Maret 2016)
Istilah tumbu merupakan kata dasar berkategori Nomina. Tumbu
adalah satu tempat yang berbentuk bulat, ada lubang didalamnya terbuat
dari anyaman bambu.
18. Tampah [tampah]
Gambar 17: Tampah (Dokumen Eflin, 26 Maret 2016)
Istilah tampah merupakan kata dasar berkategori Nomina. Tampah
adalah satu tempat yang berbentuk bulat, besar, dan tebal terbuat dari
anyaman bambu tempat untuk sesaji.
19. Tahu [tahU]
Gambar 18: Tahu (Dokumen Eflin, 28 Maret 2016)
Istilah tahu merupakan kata dasar berkategori Nomina. Tahu
adalah lauk pauk yang terbuat dari kedelai putih yang dilumuri/dicampur
bumbu halus yang terdiri dari bawang putih, garam, dan dibiarkan sejenak
kemudian digoreng sampai kira-kira bumbunya meresap dan matang.
20. Tebok [tebO?]
Gambar 19: Tebok (Dokumen Eflin, 26 Maret 2016)
Istilah tebok merupakan kata dasar berkategori Nomina. Tebok
adalah tempat yang terbuat dari plastik berbentuk bulat, besar, dan tipis.
21. Tempe [tempǝ]
Gambar 20: Tempe (Dokumen Eflin, 28 Maret 2016)
Istilah tempe merupakan kata dasar berkategori Nomina. Tempe
adalah lauk pauk yang terbuat dari kedelai putih yang dilumuri/dicampur
bumbu halus yang terdiri dari bawang putih, garam, dan dibiarkan sejenak
kemudian digoreng sampai kira-kira bumbunya meresap dan matang.
22. Wajib [wajIb]
Gambar 21: Wajib (Dokumen Eflin, 6 Juni 2015)
Istilah wajib merupakan kata dasar berkategori Nomina. Wajib
adalah pemberian uang sejumlah dua puluh ribu per orang. Uang yang
terkumpul dibagi menjadi 2 bagian, bagian yang pertama diberikan pada
moden/sesepuh desa yang memimpin upacara Sadranan dan yang bagian
kedua untuk melengkapi sesaji yang kurang dalam upacara Sadranan.
2. Bentuk Polimorfemis
Bentuk Polimorfemis meliputi (a) pengimbuhan atau penambahan afiksasi,
(b) pengulangan atau reduplikasi, (c) pemajemukan. Adapun kata-kata yang
termasuk polimorfemis adalah:
a. Pengimbuhan atau penambahan afiksasi
1. Gorengan [gOrǝŋan]
Lihat Gambar 6, 11, 18, dan 20
Gorengan adalah macam-macam makanan yang pengolahannya
dimasak/digoreng diwajan dengan minyak yang terdiri dari rempeyek,
kerupuk, tahu, tempe.
Gorengan
Goreng -an
‘memasak diwajan dengan minyak’
Gorengan V+sufiks –an = Nomina
2. Semuran [semUran]
Gambar 22: Semuran (Dokumen Eflin, 6 Juni 2015)
Semuran adalah jenis sayuran yang bersantan dan tidak pedas,
didalamnya terdapat sayur buncis, kobis, kluweh, tahu, tempe, dan
telur bebek.
Semuran
Semur -an
‘sayur yang dimasak dengan santan, masakan daging, sayuran, kentang
dan sebagainya, berupa kuah’
Semuran V + sufiks –an = Nomina
b. Pengulangan atau reduplikasi
c. Pemajemukan
1. Sambel Goreng [sambêl gOrǝŋ]
Gambar 23: Sambel Goreng (Dokumen Eflin, 6 Juni 2015)
Sambel goreng adalah jenis sayur pedas dan bersantan, didalamnya
terdapat telur puyuh, kerecek, dan ditumis beserta bumbu.
Sambel goreng
Sambel goreng
‘sambal’ ‘memasak menggunakan minyak’ sambel goreng ‘jenis
sayur pedas dan bersantan, didalamnya terdapat telur puyuh, kerecek,
dan ditumis berserta bumbu’.
Sambel goreng merupakan kategori Nomina.
3. Frasa
Frasa adalah satuan gramatikal yang terdiri dua atau lebih dari dua kata
yang tidak berciri klausa dan yang pada umumnya menjadi pembentuk klausa
(Djoko Kentjono, 1982: 57). Adapun kata-kata yang termasuk frasa adalah:
1. Endhog Jawa [EndOg jOwO]
Gambar 24: Endhog Jawa (Dokumen Eflin, 29 Maret 2016)
Endhog jawa adalah telur ayam kampung
Endhog Jawa
‘telur’ (N) ‘nama pulau’ (N) endhog jawa ‘telur ayam kampung’
Endhog jawa N + N = Frasa Nomina
2. Sega Ambengan [sêgO ambǝŋan]
Gambar 25: Sega Ambengan (Dokumen Eflin, 6 Juni 2015)
Sega ambengan adalah ‘nasi lengkap untuk kenduri yang
didalamnya terdapat semuran, sambel goreng, rempeyek, kerupuk,
tahu, tempe, apem, nasi putih, telur bebek.
Sega ambengan
Sega ambengan
‘nasi’ (N) ‘lengkap untuk kenduri yang didalamnya terdapat semuran,
sambel goreng, rempeyek, dan lain-lain’.
Sega ambengan N + N = Frasa Nomina
3. Sega Tumpeng [sêgO tUmpeŋ]
Gambar 26 : Sega Tumpeng (Dokumen Eflin, 7 Juni 2015)
Sega tumpeng adalah ‘nasi yang dibentuk kerucut untuk selamatan’.
Sega tumpeng
‘nasi’ (N) ‘berbentuk kerucut’ (N)
Sega tumpeng (N) + (N) = Frasa Nomina
4. Jajanan Pasar [jajanan pasar]
Gambar 27: Jajanan Pasar (Dokumen Eflin, 7 Juni 2015)
Jajanan pasar adalah makanan ringan yang biasanya dijual di
pasar. Dalam upacara Sadranan jajanan pasar menggunakan buah-
buahan yang terdiri dari pisang, apel, jeruk, dan salak.
Jajanan pasar
Jajanan pasar
‘pasar’ (N)
‘makanan ringan/buah-buahan’ (N)
Jajanan pasar (N) + (N) = Frasa Nomina
5. Gedhang Raja Setangkep [gêDaŋ rOjO sêtaŋkêp]
Gambar 28: Gedhang Raja Setangkep (Dokumen Eflin, 7 Juni
2015)
Gedhang raja setangkep adalah pisang jenis raja sebanyak dua sisir.
Gedhang raja setangkep
Gedhang raja setangkep
Gedhang raja
Gedhang raja setangkep ((N) + (N) + Adv. = Frasa Nomina
B. Makna Istilah Sesaji Upacara Sadranan
Dalam penelitian istilah sesaji upacara Sadranan di Kabupaten Boyolali
terdapat makna leksikal dan makna kultural. Makna leksikal merupakan makna
dasar istilah sesaji upacara Sadranan, sedangkan makna kultural yaitu makna
yang dimiliki masyarakat yang berhubungan dengan kebudayaan. Makna istilah
sesaji upacara Sadranan sebagai berikut:
A. Makna Lesikal
Makna leksikal dari istilah sesaji upacara Sadranan di Kabupaten
Boyolali sebagai berikut:
1. Apem [apêm]
Makna leksikal apem adalah kue/makanan yang terbuat dari tepung
beras biasanya untuk kenduren atau acara adat Jawa, bertekstur lembut,
rasanya manis, berbentuk bulat, dan diatasnya ada irisan kelapa. Apem
merupakan salah satu jenis roti yang terbuat dari tepung beras dicampur
dengan tape (Agus Sulistyo dan Adhi Mulyono, Kamus Bahasa Indonesia
(edisi terbaru): 42); apem yaitu srabi legi dianggo slametan ‘serabi manis
untuk selamatan’ (W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Baoesastra Djawa,
1939: 17).
2. Bawang [bawaŋ]
Makna Leksikal bawang adalah tanaman yang umbinya berbau
khas, rasanya getir, berwarna putih, dan digunakan sebagai bumbu
penyedap makanan. Bawang dalam bahasa Jawa sama dengan bawang
putih dalam bahasa Indonesia. Bawang yaitu brambang rupane putih
‘bawang yang berwarna putih’ (W.J.S. Poerwadarminta, Kamus
Baoesastra Djawa, 1939: 34).
3. Brambang [brambaŋ]
Makna Leksikal brambang adalah sejenis umbi lapis berwarna
merah, rasanya pedas, berbau khas, dan berfungsi untuk penyedap
masakan. Brambang yaitu bawang rupane abang ‘bawang yang berwarna
merah’ (W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Baoesastra Djawa, 1939: 59).
4. Besek [bese?]
Makna Leksikal besek adalah salah satu tempat untuk sesaji yang
berbentuk persegi, kecil, dan ada tutupnya yang terbuat dari bambu,
tempat nasi untuk kenduri. Besek yaitu wadah sing wujude kaya tumbu
nanging cilik sarta nganggo tutup ‘tempat yang wujudnya seperti tumbu
tetapi kecil serta menggunakan tutup’ (W.J.S. Poerwadarminta, Kamus
Baoesastra Djawa, 1939: 36).
5. Kembang [kǝmbaŋ]
Makna Leksikal kembang adalah bunga untuk sesaji terbuka,
mekar yang terdiri dari bunga mawar, melati, dan kantil. Kembang yaitu
bunga untuk sesaji terbuka, mekar (Agus Sulistyo dan Adhi Mulyono,
Kamus Bahasa Indonesia (edisi terbaru): 246).
6. Kerupuk [kǝrupU?]
Makna Leksikal kerupuk adalah makanan yang terbuat dari adonan
yang terdiri dari udang, bawang, garam yang dicampur dengan tepung
terigu yang dikukus dengan bentuk bulan panjang. Setelah dingin diiris
tipis dan dikeringkan. Setelah kering baru digoreng (sebagai lauk-pauk).
Kerupuk ini lebih dikenal dengan krupuk udang dan sebagai pelengkap
lauk-pauk. Kerupuk yaitu makanan yang dibuat dari tepung dicampur
dengan lumatan udang atau ikan, diiris tipis, dijemur, dikeringkan lalu
digoreng (Agus Sulistyo dan Adhi Mulyono, Kamus Bahasa Indonesia
(edisi terbaru): 250).
7. Kinang [kinaŋ]
Makna Leksikal kinang adalah sekapur sirih yang terdiri dari daun
sirih, gambir, kapur sirih, dan tembakau. Kinang merupakan sekapur sirih
(Agus Sulistyo dan Adhi Mulyono, Kamus Bahasa Indonesia (edisi
terbaru): 254). Kinang yaitu suruh saadune dianggo ngabang lambe ‘daun
sirih lengkap untuk memberi warna merah mulut’ (W.J.S.
Poerwadarminta, Kamus Baoesastra Djawa, 1939: 223).
8. Lawuh [lawUh]
Makna Leksikal lawuh adalah lauk pauk atau makanan yang terdiri
dari rempeyek, kerupuk, tahu, tempe, daging atau ikan. Lawuh yaitu lauk
pauk atau makanan (Agus Sulistyo dan Adhi Mulyono, Kamus Bahasa
Indonesia (edisi terbaru): 275).
9. Lombok [lOmbO?]
Makna Leksikal lombok adalah tanaman perdu yang buahnya
berbentuk bulat panjang dengan ujung meruncing, apabila sudah tua
berwarna merah kecokelat-kecokelatan atau hijau tua, berisi banyak biji,
dan memiliki rasa pedas. Lombok yaitu cabe rawit (Agus Sulistyo dan
Adhi Mulyono, Kamus Bahasa Indonesia (edisi terbaru): 284). Lombok
merupakan tetuwuhan wohe rasane pedes dianggo nyambel, dene jenenge
warna-warna, yaiku gading, rawit ‘tumbuhan yang berbuah rasanya pedas
untuk menyambel, namanya warna-warna, yaitu gading rawit’ (W.J.S.
Poerwadarminta, Kamus Baoesastra Djawa, 1939: 232).
10. Ingkung [iŋkUŋ]
Makna Lesikal ingkung adalah ayam jago utuh yang dimasak (yang
sudah dibersihkan jeroannya ‘bagian dalam ayam’) dimasak dengan
bumbu, ayam diikat leher dan kakinya sehingga posisinya seperti ayam
duduk (ndhekem).
11. Menyan [mǝñan]
Makna Leksikal menyan merupakan sejenis getah yang dipakai
sebagai dupa yang berbau harum. Dalam upacara Sadranan menyan
merupakan sesaji yang wajib ada. Menyan dibakar sampai keluar asapnya.
Menyan yaitu kemenyan (Agus Sulistyo dan Adhi Mulyono, Kamus
Bahasa Indonesia (edisi terbaru): 304).
12. Rempeyek [rêmpɛyɛ?]
Makna Leksikal rempeyek adalah sejenis makanan yang terbuat
dari tepung terigu dengan campuran bumbu serta ditambahi bahan
tambahan lain seperti kacang/teri. Rempeyek sebagai lawuhan dalam
upacara Sadranan seperti halnya kerupuk.
13. Rokok [rOkO?]
Makna Leksikal rokok adalah gulungan tembakau yang bersalut
daun nipah kertas (Agus Sulistyo dan Adhi Mulyono, Kamus Bahasa
Indonesia (edisi terbaru): 365). Rokok yaitu lintingan tembako dianggo
udud ‘gulungan tembakau untuk merokok’ (W.J.S. Poerwadarminta,
Kamus Baoesastra Djawa, 1939: 535).
14. Sudi [sUdI]
Makna Leksikal sudi adalah tempat untuk sambel goreng yang
terbuat dari daun pisang yang berbentuk bulat, didalamnya terdapat
lancipan seperti gunung, dan disemat dengan lidi didekat lancipnya.
15. Takir [takIr]
Makna Leksikal takir adalah wadah atau tempat semuran yang
terbuat dari daun pisang yang disemat dengan lidi pada kedua sisinya yang
berbentuk seperti kapal. Takir yaitu lima dari daun pisang atau daun nyiur
(Agus Sulistyo dan Adhi Mulyono, Kamus Bahasa Indonesia (edisi
terbaru): 420).
16. Tambir [tambIr]
Makna Leksikal tambir adalah anyaman bambu berbentuk bulat,
tipis, tempat untuk sesaji. Tambir yaitu blabag, pring, tampir ‘papan,
pring, tampir’ (W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Baoesastra Djawa, 1939:
588-589).
17. Tumbu [tumbu]
Makna Leksikal tumbu adalah satu tempat yang berbentuk bulat,
ada lubang didalamnya terbuat dari anyaman bambu. Tumbu yaitu bakul
besar tertutup untuk tempat beras (Agus Sulistyo dan Adhi Mulyono,
Kamus Bahasa Indonesia (edisi terbaru): 467).
18. Tampah [tampah]
Makna Leksikal tampah adalah satu tempat yang berbentuk bulat,
besar, dan tebal terbuat dari anyaman bambu tempat untuk sesaji. Tampah
yaitu niru, nyiru (Agus Sulistyo dan Adhi Mulyono, Kamus Bahasa
Indonesia (edisi terbaru): 422). Tampah merupakan tambir (tebok) gede
‘tambir (tebok) besar’ (W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Baoesastra Djawa,
1939: 588).
19. Tahu [tahU]
Makna Leksikal tahu adalah lauk pauk yang terbuat dari kedelai
putih yang dilumuri/dicampur bumbu halus yang terdiri dari bawang putih,
garam, dan dibiarkan sejenak kemudian digoreng sampai kira-kira
bumbunya meresap dan matang. Tahu yaitu lelawuhan sing digawe dele
putih digiling ‘lauk pauk yang dibuat dari kedelai putih yang digiling’
(W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Baoesastra Djawa, 1939: 585).
20. Tebok [tebO?]
Makna Leksikal tebok adalah tempat yang terbuat dari plastik
berbentuk bulat, besar, dan tipis. Tebok yaitu tampah wengkune wilahan
pring ‘tampah yang terbuat dari potongan pring tipis’ (W.J.S.
Poerwadarminta, Kamus Baoesastra Djawa, 1939: 596).
21. Tempe [tempe]
Makna Leksikal tempe adalah lauk pauk yang terbuat dari kedelai
putih yang dilumuri/dicampur bumbu halus yang terdiri dari bawang putih,
garam, dan dibiarkan sejenak kemudian digoreng sampai kira-kira
bumbunya meresap dan matang. Tempe merupakan makanan yang dibuat
dari kedelai yang diragikan (Agus Sulistyo dan Adhi Mulyono, Kamus
Bahasa Indonesia (edisi terbaru): 442). Tempe yaitu lawuh sing digawe
kedelai diragi ‘lauk pauk yang dibuat dari kedelai yang diragi’ (W.J.S.
Poerwadarminta, Kamus Baoesastra Djawa, 1939: 596).
22. Wajib [wajIb]
Makna Leksikal wajib adalah pemberian uang sejumlah dua puluh
ribu per orang. Uang yang terkumpul dibagi menjadi 2 bagian, bagian
yang pertama diberikan pada moden/sesepuh desa yang memimpin
upacara Sadranan dan yang bagian kedua untuk melengkapi sesaji yang
kurang dalam upacara Sadranan.
23. Gorengan [gOrǝŋan]
Makna Leksikal gorengan adalah macam-macam makanan yang
pengolahannya dimasak/digoreng diwajan dengan minyak yang terdiri dari
rempeyek, kerupuk, tahu, tempe. Gorengan yaitu sing
dikongseng/diratengi ing lenga ‘yang dimasak dengan minyak’ (W.J.S.
Poerwadarminta, Kamus Baoesastra Djawa, 1939: 160).
24. Semuran [semUran]
Makna Leksikal semuran adalah jenis sayuran yang bersantan dan
tidak pedas, didalamnya terdapat sayur buncis, kobis, kluweh, tahu, tempe,
dan telur bebek.
25. Sambel Goreng [sambêl gOrǝŋ]
Makna Leksikal sambel adalah cabai dan bumbu macam-macam
yang dihaluskan, goreng adalah sayur yang ditumis menggunakan minyak,
sedangkan sambel goreng adalah jenis sayur pedas dan bersantan, di
dalamnya terdapat telur puyuh, kerecek, dan ditumis beserta bumbu.
26. Endhog Jawa [EndOg jOwO]
Makna Leksikal endhog adalah benda bercangkang yang
mengandung zat hidup bakal anak yang dihasilkan oleh unggas (ayam,
itik, burung, dan sebagainya), biasanya dimakan (direbus, diceplok,
didadar, dan sebagainya). Endhog Jawa dalam bahasa Jawa sama dengan
telur ayam kampung dalam bahasa Indonesia.
27. Sega Ambengan [sêgO ambǝŋan]
Makna Leksikal sega adalah nasi, ambengan adalah kelengkapan
lauk-pauk, sedangkan sega ambengan adalah nasi lengkap untuk kenduri
yang didalamnya terdapat semuran, sambel goreng, rempeyek, kerupuk,
tahu, tempe, apem, nasi putih, telur bebek.
28. Sega Tumpeng [sêgO tUmpeŋ]
Makna Leksikal sega adalah nasi, tumpeng adalah berbentuk
kerucut, sedangkan sega tumpeng adalah nasi putih tawar yang dikukus
kemudian dibentuk kerucut. Nasi diletakkan diatas baskom yang
didalamnya sudah dilapisi daun pisang dan diatas kerucutnya diberi tutup
yang terbuat dari daun pisang. Sega Tumpeng adalah nasi yang dibentuk
kerucut untuk selamatan (Agus Sulistyo dan Adhi Mulyono, Kamus
Bahasa Indonesia (edisi terbaru): 467).
29. Jajanan Pasar [jajanan pasar]
Makna Leksikal jajanan adalah membeli makanan ringan, pasar
adalah tempat perbelanjaan, sedangkan jajanan pasar adalah makanan
ringan yang biasanya dijual di pasar. Dalam upacara Sadranan jajanan
pasar menggunakan buah-buahan yang terdiri dari pisang, apel, jeruk, dan
salak. Jajanan pasar yaitu kue, panganan, buah-buahan yang dibeli
dipasar (Agus Sulistyo dan Adhi Mulyono, Kamus Bahasa Indonesia (edisi
terbaru): 206).
30. Gedhang Raja Setangkep [gêDaŋ rOjO sêtaŋkêp]
Makna Leksikal gedhang adalah buah, raja adalah raja, setangkep
adalah dua sisir, sedangkan gedhang raja setangkep adalah pisang raja
yang rasanya paling manis diantara pisang-pisang yang lain, sehingga bisa
dianggap rajanya pisang. Gedhang Raja yang digunakan sebanyak rong
lirang ‘dua sisir’.
B. Makna Kultural
Makna kultural adalah makna bahasa yang dimiliki masyarakat
dalam hubungan dengan budaya tertentu (Wakit Abdullah, 1993: 3).
Makna kultural dari istilah sesaji upacara Sadranan di kabupaten Boyolali
adalah sebagai berikut:
1. Apem [apêm]
Makna kultural Apem bagi masyarakat dukuh Klinggen adalah kue
yang terbuat dari tepung beras dan dicampuri tape. Apem sebagai simbol
permintaan maaf (ngapura)/untuk payungan ‘tempat yang teduh’ (Mbah
Marso dan Ibu Mujinem, 1 April 2016). Apem berasal dari kata afwam atau
afuan yang berarti permintaan maaf. Manusia diharapkan selalu bisa
memberi maaf atau memaafkan kesalahan-kesalahan orang lain.
Penyebutan makna akan berbeda berdasarkan pengalaman dan
kepercayaan seseorang. Dalam sadranan Apem merupakan salah satu
istilah sesaji. Oleh karena itu, kebudayaan yang dimiliki masyarakat Jawa
tidak akan bisa lepas dari kebudayaan dan bahasa itu sendiri.
Apem dibuat untuk melambangkan adanya harapan suatu ampunan
akan kesalahan di masa lalu yaitu ngirim luhur, nyuwun donga
keselametan ‘mengirim orang yang sudah meninggal, meminta doa
keselamatan disana’ (Mbah Reso Dinomo, 1 April 2016). Apem berbentuk
bundar atau bulat melingkar. Sebagai perlambang adanya kebulatan tekad
dalam melaksanakan ritual, yakni kemantaban hati untuk mewujudkan rasa
berbakti kepada leluhur bukan hanya sebatas ucapan dan kata-kata dalam
doa. Lebih dari itu diwujudkanlah dalam sikap, tindakan, dan perbuatan
nyata dalam kehidupaan sehari-hari, dalam hal ini kegiatan bersih-bersih
meliputi jagad kecil dan jagad besar.
2. Bawang [bawaŋ]
Makna kultural bawang bagi masyarakat dukuh Klinggen adalah
bahwa hidup tidak selalu mulus jalannya, bawang digambarkan sebagai
bumbu hidup, supaya tidak terasa hambar. Warna putih bawang
melambangkan kesucian dan kebaikan dalam menjalani hidup. Bawang
mempunyai makna perbuatan manusia baik buruk yang selalu jadi
pertimbangan.
Bawang juga bermakna supaya anget ‘agar hangat’ (Bapak
Rajiman, 1 April 2016) maksudnya agar tidak memiliki pikiran yang
dingin. Hal ini dikaitkan dengan hawa nafsu, terutama nafsu amarah.
Nafsu amarah adalah bujukan setan yang menjadi musuh utama bagi
manusia. Dengan bawang ini diharapkan seluruh masyarakat dukuh
Klinggen memiliki pikiran yang tenang dan tangkas setiap menghadapi
masalah.
3. Brambang [brambaŋ]
Makna kultural brambang bagi masyarakat dukuh Klinggen adalah
sebagai bumbu hidup, supaya tidak terasa hambar. Warna merah
brambang melambangkan dalam menjalani kehidupan dibutuhkan
keberanian walau banyak cobaan atau masalah. Brambang (bawang
merah) yang melambangkan mempertimbangkan segala sesuatu dengan
matang baik buruknya. Brambang mempunyai makna perbuatan manusia
baik buruk yang selalu jadi pertimbangan.
Brambang juga bermakna supaya anget ‘agar hangat’ (Bapak
Rajiman, 1 April 2016) maksudnya agar tidak memiliki pikiran yang
panas. Hal ini dikaitkan dengan hawa nafsu, terutama nafsu amarah. Nafsu
amarah adalah bujukan setan yang menjadi musuh utama bagi manusia.
Dengan brambang ini diharapkan seluruh masyarakat dukuh Klinggen
memiliki pikiran yang tenang dan tangkas setiap menghadapi masalah.
4. Besek [bese?]
Makna kultural besek bagi masyarakat dukuh Klinggen adalah
untuk menggambarkan keadaan dukuh Klinggen sebagai tempat hidup
masyarakat yang memiliki macam-macam karakter, dan di dukuh
Klinggen memiliki kekayaan alam yang beranekaragam. Segala
keanekaragaman itu digambarkan melalui besek sebagai wadah sega go
kondangan ‘tempat nasi untuk kenduren’ (Ibu Suprapti, 1 Apri 2016) dan
segala macam makanan di dalamnya sebagai penggambaran keanekaragam
masyarakat dan alam dukuh Klinggen.
5. Kembang [kǝmbaŋ]
Makna kultural kembang bagi masyarakat dukuh Klinggen adalah
salah satu simbol untuk mencapai tujuan utama yaitu keselamatan warga
desa dari mara bahaya. Bunga yang ada dalam sesaji yaitu bunga melati
yang melambangkan simbol kesucian, bunga kantil yang berwarna kuning
sebagai simbol kehidupan, bunga mawar merupakan simbol manusia yang
berasal dari perpaduan darah merah dan darah putih. Secara keseluruhan
merupakan simbol trimurti antara pencipta, makhluk, dan alam semesta
atau antara Tuhan, manusia, dan kehidupan.
Selain makna tersebut kembang untuk sesaji juga mempunyai
makna sebagai banyu panguripan ‘air kehidupan’, kembang berwarna
merah, putih, dan kuning yang berada di air. Kembang berwarna merah
dan putih melambangkan bapak dan ibu sedangkan air merupakan
penghidupan. Sehingga secara keseluruhan kembang untuk sesaji
melambangkan bapak, ibuk yang hidup pada suatu kehidupan. Sehingga
tersirat maksud untuk bisa menghormati orang tua.
Kembang juga melambangkan dukuh Klinggen akan selalu
memiliki bau harum maksudnya warga dukuh Klinggen tidak pernah
terjadi perselisihan sehingga di kenang oleh masyarakat sekitar. Bau
harum yang ada pada kembang melambangkan serius lan mulia
‘keseriusan dan kemuliaan’ (Ibu Waginah, 1 April 2016). Maksudnya
adalah kita dengan serius dan dalam suasana hati yang tenang memohon
agar doa-doa kami dikabulkan.
6. Kerupuk [kǝrupU?]
Makna kultural kerupuk bagi masyarakat dukuh Klinggen adalah
jenis makanan ringan/lawuhan sega asahan ‘lauk pauk nasi putih’ (Mbah
Waginah dan Bapak Rajiman, 1 April 2016), dilambangkan sebagai
pengharapan masyarakat dukuh Klinggen supaya diringankan oleh Tuhan
dalam menghadapi masalah-masalah kehidupan. Selain itu, kerupuk
melambangkan dalam menjalani kehidupan jangan mudah patah/putus asa.
Sesaji kerupuk dapat diambil suatu peringatan bagi manusia yaitu dalam
menjalani hidup ini supaya tetap gigih dan tidak mudah putus asa.
7. Kinang [kinaŋ]
Makna kultural kinang bagi masyarakat dukuh Klinggen adalah.
melambangkan sempurna ‘kesempurnaan’ (Ibu Suprapti, 1 April 2016).
Maksudnya dalam kehidupan akan tercipta kesempurnaan hidup, hidup
bahagia dunia dan akhirat.
Kinang memiliki makna dan tujuan supaya manusia menghormati
terhadap sumber kehidupan yaitu dunia seisinya ini, kinang biasanya
diletakkan di atas pisang raja. Daun sirih dalam kinang yang berwarna
hijau melambangkan kesempurnaan. Kapur sirih berwarna putih
melambangkan kesucian ‘kesucian’ (Ibu Mujinem, 1 April 2016), gambir
berwarna hitam melambangkan kecantikan dan tembakau yang berwarna
hitam melambangkan kecocokan hati. Daun sirih yang diolesi sirih
mempunyai maksud sebagai kesegaran dalam menjalankan upacara
Sadranan.
8. Lawuh [lawUh]
Makna kultural lawuh bagi masyarakat dukuh Klinggen adalah
sebagai pelengkap dalam hidup dan pelengkap makanan utama, maka
dalam hidup sebagai lambang penikmat salah satunya keluarga. Lawuh
untuk lauk pauk sega asahan ‘nasi putih’ (Mbah Marso, 1 April 2016).
9. Lombok [lOmbO?]
Makna kultural lombok bagi masyarakat dukuh Klinggen adalah
salah satu bumbu dalam menjalani hidup supaya tidak hambar. Rasa pedas
yang dihasilkan lombok sebagai lambang rintangan yang berupa masalah-
masalah yang harus dihadapi dalam kehidupan. Selain itu, cabai yang
pedas merupakan anasir api yaitu simbol adanya nafsu amarah pada diri
manusia. Nafsu marah kalau bisa harus dikontrol jangan sampai tidak
terkendali yang akan berakibat munculnya masalah.
Lombok mempunyai makna yang pada akhirnya akan muncul wani
lan tekat ‘keberanian dan tekat’ untuk manunggal dengan Tuhan Yang
Maha Esa (Mbah Reso Dinomo, 1 April 2016). Lombok juga bermakna
ben gampang golek pangan ‘agar mudah mencari nafkah’ (Bapak
Rajiman,1 April 2016). Masyarakat dukuh Klinggen meyakini bahwa
mengkonsumsi lombok dapat membuat tubuh kita menjadi panas dan dapat
membuat pikiran menjadi cerah. Selain itu, lombok juga diyakini dapat
menambah semangat dalam bekerja. Hal tersebut merupakan simbol untuk
ngajeni ‘menghargai’ para lelembut dengan cara seolah-olah meminta
restu agar mudah untuk mencari nafkah dan kesuksesan dunia.
10. Ingkung [iŋkUŋ]
Makna kultural ingkung bagi masyarakat dukuh Klinggen ingkang
kakung yang dimaksud adalah baginda Rasulullah SAW. Ingkung
merupakan masakan ayam yang disajikan secara utuh. Ingkung ini sebagai
perlambangkan tutunan Rasulullah SAW. Dalam sebuah acara selamatan
ingkung ini dibagikan kepada orang-orang yang mengikuti selamatan. Hal
ini seperti tuntunan Rasulullah SAW yang berguna bagi umat manusia.
Selain itu, ingkung menyimbolkan ajaran luhur dari nenek moyang,
yaitu sifat pemberani demi membela tanah air, selalu menyerahkan segala
masalah kepada Allah SWT, menjalankan perintah dan menjauhi larangan-
Nya, tidak bergaya hidup mewah, selalu bekerjasama dalam menghadapi
tugas yang dibebankan, dan ikhlas menjalankan apa yang telah ditakdirkan
oleh Allah SWT serta mengajarkan bahwa manusia mempunyai
kemampuan yang terbatas. Ada kekuatan yang maha besar yang mengatur
mengenai kehidupan manusia di alam ini yaitu Allah SWT.
Ayam jago (jantan) yang dimasak utuh (ingkung) dengan bumbu
kuning/kunir dan diberi areh (kaldu santan yang kental) dinggo kenduren,
ngirim/dongakke luhur e ‘buat kondangan, mengirim/mendoakan keluarga
yang sudah meninggal’ (Mbah Waginah, 1 April 2016), merupakan
symbol menyembah Tuhan dengan khusuk (manekung) dengan hati yang
tenang (wening). Ketenangan hati dicapai dengan mengendalikan diri dan
sabar (nge”reh” rasa). Menyembelih ayam jago juga mempunyai makna
menghindari sifat-sifat buruk (yang dilambangkan warna merah) ayam
jago, antara lain: sombong, congkak, kalau berbicara selalu menyela dan
merasa tahu/menang/benar sendiri (berkokok), tidak setia dan tidak
perhatian kepada anak istri.
Makna lain sebagai suatu pengorbanan secara tulus yang
diperuntukkan kepada Tuhan maupun untuk kepentingan mengirim
orang/para leluhur yang sudah meninggal supaya diberi keselamatan,
perlindungan selama ini (Bapak Rajiman, 1 April 2016). Oleh karena itu,
manusia berkewajiban untuk berterima kasih kepada Tuhan agar
leluhurnya selamat.
11. Menyan [mǝñan]
Makna kultural menyan bagi masyarakat dukuh Klinggen adalah
untuk mengusir jin supaya tidak mengganggu jalannya upacara Sadranan.
Menyan disandingkan dengan kembang. Menyan merupakan sejenis getah
yang dipakai sebagai dupa yang berbau harum, yang biasanya digunakan
dalam upacara adat. Sesaji berupa menyan dengan cara dibakar sampai
keluar asapnya.
Kukus (asap) dupa dari kemenyan yang membumbung ke
atasmelambangkan bahwa tujuan hidup manusia hanya 1 yaitu kepada
Allah, tetapi terkadang dalam perjalanannya terjadi banyak rintangan/tidak
selalu mulus, seperti mobat-mabit ‘berkobar’ ke kanan ke kiri (Ibu
Suprapti, 1 April 2016), merupakan tanda sesajinya dapat diterima.
Dengan perantara menyan diharapkan pelaksanaan upacara Sadranan
dapat berjalan lancar dan permohonannya dapat dikabulkan oleh Tuhan.
Kemenyan memiliki makna sebagai penghubung antara manusia dan
Tuhannya, agar permohonannya terkabul.
12. Rempeyek [rêmpɛyɛ?]
Makna kultural rempeyek bagi masyarakat dukuh Klinggen adalah
sebagai lambang kreatifitas masyarakat dukuh Klinggen dalam
menciptakan berbagai jenis makanan, salah satunya rempeyek. Rempeyek
yang melambangkan bersatunya kebudayaan dan masyarakat dalam
mencapai tujuan bersama, dalam hal ini supaya terlaksana dengan baik
upacara sadranan. Terlihat dalam adonan rempeyek yang diberi potongan
kacang tanah. Kacang tanah sebagai simbol kebudayaan sedangkan
adonan sebagai simbol kehidupan (Mbah Marso, 1 April 2016). Meskipun
mempunyai budaya yang berbeda tetapi mempunyai tujuan yang sama
yaitu hidup tentram dan bahagia tanpa mengganggu kebudayaan yang lain.
Rempeyek juga sebagai simbol untuk menghormati hari pasaran.
Masayarakat masih sangat dipercaya terhadap petungan Jawa dan petngan
Jawa itu sendiri dihitung menggunakan hari pasaran, yaitu legi, pahing,
pon, wage, dan kliwon.
13. Rokok [rOkO?]
Makna kultural rokok bagi masyarakat dukuh Klinggen adalah
sebagai sajian untuk makhluk halus laki-laki, supaya tidak merasa
terganggu dan mengganggu. Rokok disandingkan dengan kinang.
Tembakau yang terdapat dalam rokok melambangkan ati sing tabah ‘hati
yang tabah’ (Mbah Reso Dinomo, 1 April 2016) dan bersedia berkorban
dalam segala hal, karena tembakau memiliki rasa yang pahit.
14. Sudi [sUdI]
Makna kultural sudi bagi masyarakat dukuh Klinggen adalah untuk
selametan keseluruhan yang ada di dukuh Klinggen, baik masyarakatnya
maupun alamnya (Ibu Mujinem, 1 April 2016).
15. Takir [takIr]
Makna kultural takir bagi masyarakat dukuh Klinggen adalah
untuk selametan keseluruhan yang ada di dukuh Klinggen, baik
masyarakatnya maupun alamnya. Takir adalah semacam tempat untuk
menaruh sesaji, takir dibuat dari daun pisang yang dirangkai seperti kapal.
Memiliki makna sebagai tempat/wadah segala sesuatu yang ada di dunia
ini memiliki tempatnya masing-masing.
Selain itu, takir memiliki makna kultural supaya tatak pikir ee
manungsa ‘agar manusia memiliki tekad dan keyakinan yang kuat’ (Mbah
Waginah, 1 April 2016). Dalam upacara Sadranan terdapat tekad yang
kuat dalam menjalankan tradisi tersebut dan ada keyakinan yang berpusat
kepada Tuhan Yang Maha Esa melalui perantara dhayang dukuh ‘Mbah
Mondoroko’. Takir juga berfungsi sebagai tolak bala maksudnya adalah
untuk menolak bilamana ada roh yang menguasai tempat yang akan
dijadikan tempat berlangsungnya upacara Sadranan. Dengan adanya takir
ini bermaksud untuk meminta ijin secara baik-baik kepada makhluk halus
yang terlebih dahulu menempati tempat tersebut.
16. Tambir [tambIr]
Makna kultural tambir bagi masyarakat dukuh Klinggen adalah
untuk menggambarkan keadaan dukuh Klinggen sebagai tempat hidup
masyarakat yang memiliki macam-macam karakter (Ibu Mujinem, 1 April
2016) dan di dukuh Klinggen memiliki kekayaan alam yang
beranekaragam. Segala keanekaragaman itu digambarkan melalui tambir
sebagai tempat dan segala macam makanan di dalamnya sebagai
penggambaran keanekaragaman masyarakat dan alam dukuh Klinggen.
17. Tumbu [tumbu]
Makna kultural tumbu bagi masyarakat dukuh Klinggen adalah
sebagai gambaran masjid sebagai tempat ibadah bersama untuk memohon
keselamatan kepada Tuhan, dan Nabi Muhammad sebagai suri tauladan
mereka (Ibu Mujinem, 1 April 2016).
18. Tampah [tampah]
Makna kultural tampah bagi masyarakat desa Klinggen adalah
untuk menggambarkan keadaan dukuh Klinggen sebagai tempat hidup
masyarakat yang memiliki macam-macam karakter (Ibu Mujinem, 1 April
2016) dan di dukuh Klinggen memiliki kekayaan alam yang
beranekaragam. Segala keanekaragaman itu digambarkan melalui tampah
sebagai tempat dan segala macam makanan di dalamnya sebagai
penggambaran keanekaragaman masyarakat dan alam dukuh Klinggen.
19. Tahu [tahU]
Makna kultural tahu bagi masyarakat dukuh Klinggen adalah
sejenis lawuhan ‘lauk pauk’ yang terbuat dari kedelai yang dihaluskan,
dicampur bumbu garam, bawang putih, dan penyedap rasa yang
dihaluskan, digoreng sampai matang. Halus yang ada pada tahu
melambangkan agar kehidupan masyarakat dukuh Klinggen selalu
mendapatkan kebaikan dari Tuhan (Mbah Reso Dinomo, 1 April 2016).
20. Tebok [tebO?]
Makna kultural tebok bagi masyarakat dukuh Klinggen adalah
untuk menggambarkan keadaan dukuh Klinggen sebagai tempat hidup
masyarakat yang memiliki macam-macam karakter (Ibu Mujinem, 1 April
2016) dan di dukuh Klinggen memiliki kekayaan alam yang
beranekaragam. Segala keanekaragaman itu digambarkan melalui tebok
sebagai tempat dan segala macam makanan di dalamnya sebagai
penggambaran keanekaragaman masyarakat dan alam dukuh Klinggen.
21. Tempe [tempe]
Makna kultural tempe bagi masyarakat dukuh Klinggen adalah
sejenis lawuhan ‘lauk pauk’ yang terbuat dari kedelai yang kasar,
dicampur bumbu garam, bawang putih, dan penyedap rasa yang
dihaluskan, digoreng sampai matang. Kasar yang ada pada tempe
melambangkan agar masyarakat dukuh Klinggen selalu tabah dan sabar
dalam menghadapi semua cobaan-cobaan yang ada di kehidupan (Mbah
Marso, 1 April 2016).
22. Wajib [wajIb]
Makna kultural wajib bagi masyarakat dukuh Klinggen adalah
uang sebesar dua puluh ribu yang per orang. Uang yang terkumpul dibagi
menjadi 2 bagian, bagian yang pertama diberikan pada moden/sesepuh
desa yang memimpin upacara Sadranan dan yang bagian kedua untuk
melengkapi sesaji yang kurang dalam upacara Sadranan (Bapak Rajiman,
1 April 2016), dan untuk mengukur sejauh mana yang memiliki hajat
mampu membiayai. Uang adalah sebagai alat pembayaran, yang
dimaksudkan bila dalam sesaji terdapat kekurangan dan penyajiannya,
sehingga diharapkan uang dapat digunakan sebagai pengganti sesaji yang
kurang. Karena menurut masyarakat jika dalam suatu upacara tradisional
terdapat kekurangan sesaji maka akan muncul beberapa bencana.
23. Gorengan [gOrǝŋan]
Makna kultural gorengan bagi masyarakat dukuh Klinggen adalah
sebagai penyemangat hidup. Seperti gorengan yang dapat dijadikan lauk
untuk makan, hidup juga perlu adanya variasi dan berani mencoba hal baru
apapun resikonya (Mbah Waginah, 1 April 2016).
24. Semuran [semUran]
Makna kultural semuran bagi masyarakat dukuh Klinggen adalah
didalamnya terdapat macam-macam sayuran yaitu kacang panjang berarti
pemikiran yang jauh ke depan/innovative dan kluwih berarti linuwih atau
mempunyai kelebihan dibanding lainnya (Ibu Suprapti, 1 April 2016).
25. Sambel Goreng [sambêl gOrǝŋ]
Makna kultural sambel goreng bagi masyarakat dukuh Klinggen
adalah dengan rasanya yang pedas, manis, dan gurih melambangkan
betapa banyak yang dihadapi dalam hidup, ada duka dan bahagia, namun
apapun yang sedang dihadapi dalam hidup, agar tidak lupa pada sang
Pencipta. Selain itu, sambel goreng melambangkan dalam berjuang butuh
kesemangatan/keberanian dan persatuan (Mbah Reso Dinomo, 1 April
2016). Kesemangatan digambarkan bumbu dengan cabai (merah),
sedangkan persatuan digambarkan dengan bersatunya krecek ‘kulit sapi’.
26. Endhog Jawa [EndOg jOwO]
Makna kultural endhog jawa bagi masyarakat dukuh Kilnggen
adalah telur disajikan utuh dengan kulitnya tidak dipotong, sehingga untuk
memakannya harus dikupas terlebih dahulu. Hal tersebut melambangkan
bahwa semua tindakan kita harus direncanakan (dikupas), dikerjakan
sesuai rencana dan dievaluasi hasilnya demi kesempurnaan. Piwulang
jawa mengajarkan “Tata, Titi, Titis dan Tatas” (Bapak Rajiman, 1 April
2016), yang berarti etos kerja yang baik adalah kerja yang terencana, teliti,
tepat perhitungan, dan diselesaikan dengan tuntas. Telur juga
melambangkan manusia diciptakan Tuhan dengan derajat (fitrah) yang
sama, yang membedakan hanyalah ketakwaan dan tingkah lakunya.
Telur sebagai lambang awal mulanya terjadi manusia. Manusia
terbentuk dari sperma dan ovum. Kemudian berbentuk janin dalam rahim
ibu. Rahim ibu sebagai perumpamaan cangkang telur. Ibu memegang
peranan penting dalam kehidupan sang bayi. Maka tersirat pesan supaya
kita berbakti kepada orang tua terutama ibu yang telah melahirkan kita.
27. Sega Ambengan [sêgO ambǝŋan]
Makna kultural sega ambengan bagi masyarakat dukuh Klinggen
adalah sebagai lambang kebersamaan dan kerukunan antar warga. Dapat
dilihat dari nasi yang ditata menjadi satu rapat dan padat.
Sega ambengan yaitu ngirim luhur, nyuwun donga keselametan
ning kono, nyaosi dhaharan sumupe/ambune ‘mengirim orang yang sudah
meninggal, meminta doa keselamatan disana, memberi makanan berupa
asap/baunya’ (Mbah Reso Dinomo, 1 April 2016).
Sega ambengan untuk ngirim donga, sebagai piranti ‘mengirim doa
dan sebagai alat kelengkapan’ (Bapak Rajiman, 1 April 2016). Selain itu,
sega ambengan bermakna dinggo kenduren, ngirim/dongakke luhur e
‘untuk kondangan, mengirim/mendoakan keluarga yang sudah meninggal’
(Mbah Waginah, 1 April 2016).
28. Sega Tumpeng [sêgO tUmpeŋ]
Makna kultural sega tumpeng bagi masyarakat dukuh Klinggen
merupakan saos dhahar kyai/mbah Mondoroko ‘untuk makan kyai/mbah
Mondoroko’ (Mbah Marso, 1 April 2016). Sega tumpeng yaitu untuk
tahlilan (Mbah Waginah, 1 April 2016).
Sega tumpeng adalah olahan yang berasal dari beras yang sudah
tanak.dimasak sehingga matang, untuk keperluan sesaji biasanya
dikerucutkan. Memiliki makna sebagai simbol keberuntungan dan
penyajian nasi tumpeng mengandung permohonan agar mendapat selamat
dan mendapat rejeki. Makna nasi putih juga melambangkan kesucian
karena nasi yang berwarna putih. Dengan kesucian hati dalam memohon
pada Tuhan akan semakin cepat terkabul permohonannya.
Selain itu, sega tumpeng merupakan sajian nasi kerucut khas
Indonesia dengan aneka lauk pauk yang ditempatkan dalam tampah
(nampan besar, bulat, dari anyaman bambu). Tumpeng merupakan tradisi
sajian yang mungkin sering kita lihat dalam upacara selamatan atau pesta
rakyat 17 agustusan. Sega tumpeng pasti selalu ada dalam setiap sajian.
Sega tumpeng memiliki makna mulai dari kerucut tumpeng yang berada
paling atas, badan tumpeng, lauk pauk, sayur sayuran hingga wadah
tumpeng yang selalu terbuat dari wadah tradisional beralaskan daun
pisang. Kerucut tumpeng berbentuk gunungan yang melambangkan tangan
merapat menyembah kepada Tuhan yang Maha Esa. Bentuk gunungan ini
juga bisa diartikan sebagai harapan agar kesejahteraan hidup kita pun
semakin “naik” dan “tinggi”.
Tumpeng yang berbentuk mengerucut ke atas semakin ke atas
semakin lancip sebagai simbol keyakinan dan keteguhan iman kepada
Allah. Dengan keyakinan hidup akan bisa berhasil dan sukses. Begitu pula
dalam prosesi upacara sadranan akan berjalan semestinya tanpa halangan
suatu apapun dan yang paling penting permohonan dapat dikabulkan Sang
Maha Kuasa. Pada dasarnya fungsi dan makna sesaji-sesaji ini adalah
sebagai ucapan terima kasih atas terkabunya permohonan-permohonan
masyarakat melalui upacara Sadranan di dukuh Klinggen ini.
29. Jajanan Pasar [jajanan pasar]
Makna kultural jajanan pasar bagi masyarakat dukuh Klinggen
adalah sebagai simbol anggota masyarakat yang terdiri dari berbagai
macam latar belakang sosial. Sehingga sebagai masyarakat harus bisa
menyesuaikan sedemikian rupa sehingga diterima masyarakat sekitarnya.
Masyarakat akan harmonis jika setiap komponen masyarakat bisa rukun
dan kompak. Selain itu, Jajanan pasar adalah seperangkat makanan yang
dibeli di pasar setempat, jajanan pasar mempunyai makna agar hubungan
manusia selau baik dan harapan akan kemeriahan akan murah pangan (Ibu
Mujinem, 1 April 2016).
30. Gedhang Raja Setangkep [gêDaŋ rOjO sêtaŋkêp]
Makna kultural gedhang raja setangkep bagi masyarakat dukuh
Klinggen adalah pisang raja yang rasanya paling manis diantara pisang-
pisang yang lainnya, sehingga bisa dianggap rajanya pisang. Gedhang raja
yang digunakan sebanyak rong lirang ‘dua sisir’. Biasanya gedhang raja
diletakkan bersama jajanan pasar.
Gedhang raja sebagai simbol pemimpin (raja) yang didukung
seluruh rakyatnya. Suatu masyarakat akan hidup tentram dan bahagia jika
antara pemimpin dan rakyatnya akan saling mendukung dan saling
melengkapi. Pemimpin (raja) tidak semena-mena pada rakyatnya tetapi
ngayomi pada rakyatnya. Sehingga kehidupan akan tentram, makmur, dan
bahagia.
Pemimpin (raja) yang dimaksud adalah Nabi Muhammad SAW
sebagai perlambang pemimpin umat manusia di bumi. Nabi Muhammad
SAW menyebarkan Agama Islam sehingga dianggap sebagai penyelamat
umat Islam di bumi ini. Jadi, gedhang raja ini memiliki simbol untuk
menghormati Nabi Muhammad SAW dan sebagai teken/gocekan ‘buat
pegangan’ (Mbah Marso dan Ibu Mujinem, 1 April 2016).
C. Perkembangan Istilah Sesaji Upacara Sadranan
Perkembangan yaitu sebuah proses mutlak yang akan dialami oleh
makhluk hidup. Namun tidak hanya makhluk hidup, banyak juga hal lain yang
dapat berkembang atau berubah seiring perubahan waktu. Dalam sadranan pasti
juga ada sebuah perkembangan, dari macam-macam sesajinya atau alat yang
digunakan untuk sesaji. Sesaji yang digunakan ada yang tetap dan ada yang
berkembang. Adapun perkembangan istilah sesaji upacara Sadranan di kabupaten
Boyolali adalah sebagai berikut:
1. Apem [apêm]
Perkembangan apem pada zaman dahulu kebanyakan masyarakat
membuat sendiri, tapi pada zaman sekarang ada yang membuat sendiri dan
ada juga yang beli di pasar. Perkembangan ini muncul karena sebagian
masyarakat dukuh Klinggen memiliki kesibukan dalam bekerja, sehingga
masyarakat sekarang kebanyakan lebih memilih membeli apem di pasar
dari pada membuat sendiri di rumah.
2. Besek [bese?]
Perkembangan besek yaitu pada zaman dahulu besek digunakan
sebagai tempat nasi untuk kenduren, zaman sekarang terjadi
perkembangan menggunakan ceting ‘tempat nasi’ yang terbuat dari
plastik. Perkembangan ini muncul karena adanya pola pikir masyarakat
yang menganggap bahwa besek yang terbuat dari bambu dari pring apus,
teksturnya halus, besek dapat dibuat sendiri/ beli (jual-beli) sudah jarang
ditemukan, dan orang yang membuat besek sudah berkurang (beralih
profesi). Hal tersebut menimbulkan pegeseran dari besek ke ceting, karena
harga besek lebih mahal dibandingkan ceting plastik. Selain itu, ceting
plastik lebih bersih rapi, dan praktis.
3. Menyan [mǝñan]
Perkembangan menyan yaitu pada zaman dahulu masih
menggunakan menyan yang berbentuk bulat kecil, pada zaman sekarang
ada yang menggunakan menyan yang berbentuk panjang seperti lidi.
Penggunaannya sama-sama dibakar. Terdapat pola pikir masayarakat yang
ingin menjadi modern yaitu pengunaan menyan yang berbentuk bulat kecil
ke menyan yang berbentuk panjang seperti lidi.
4. Rokok [rOkO?]
Perkembangan rokok yaitu pada zaman dahulu masih
menggunakan rokok yang dilinting ‘dilipat’ sendiri. Pada zaman sekarang
menggunakan rokok yang sudah jadi dan dapat di beli di warung-warung.
Pola pikir masyarakat yang lebih memilih membeli rokok jadi daripada
membuatnya sendiri karena membeli lebih menghemat waktu dan biaya.
5. Sudi [sUdI]
Perkembangan sudi yaitu pada zaman dahulu kebanyakan
masyarakat membuat sendiri dengan menggunakan daun pisang, tapi pada
zaman sekarang ada yang membuat sendiri dan ada juga yang beli dipasar
yang terbuat dari kertas minyak. Terdapat pola pikit masyarakat yang
menggunakan daun pisang lebih susah dari kertas minyak, karena daun
pisang harus mencari di kebun, membuat sendiri, membuang-buang
banyak waktu, dan tenaga. Sehingga kebanyakan masyarakat sekarang
lebih memilih menggunakan sudi yang terbuat dari kertas minyak, karena
lebih menghemat waktu dan tenaga. Tetapi harus mengeluarkan biaya lagi
untuk membeli sudi.
6. Takir [takIr]
Perkembangan takir yaitu pada zaman dahulu kebanyakan
masyarakat membuat sendiri dengan menggunakan daun pisang, tapi pada
zaman sekarang ada yang membuat sendiri dan ada juga yang beli di pasar
yang terbuat dari kertas minyak. Terdapat pola pikit masyarakat yang
menggunakan daun pisang lebih susah dari kertas minyak, karena daun
pisang harus mencari di kebun, membuat sendiri, membuang-buang
banyak waktu, dan tenaga. Sehingga kebanyakan masyarakat sekarang
lebih memilih menggunakan takir yang terbuat dari kertas minyak, karena
lebih menghemat waktu dan tenaga. Tetapi harus mengeluarkan biaya lagi
untuk membeli takir.
7. Tambir [tambIr]
Perkembangan tambir yaitu pada zaman dahulu masih
menggunakan tambir yang terbuat dari bambu yang berfungsi untuk
napeni. Pada zaman sekarang tambir bisa diganti dengan tebok yang
terbuat dari plastik. Pola pikir masyarakat yaitu tebok yang terbuat dari
plastik lebih kuat menampung banyak makanan yang ada di dalam wadah
tersebut.
8. Tumbu [tumbu]
Perkembangan tumbu yaitu pada zaman dahulu masih
menggunakan tumbu yang terbuat dari bambu. Pada zaman sekarang
tumbu bisa diganti dengan baskom yang terbuat dari plastik. Pola pikir
masyarakat yaitu baskom yang terbuat dari plastik lebih kuat menampung
banyak makanan yang ada di dalam wadah tersebut.
9. Tampah [tampah]
Perkembangan tampah yaitu pada zaman dahulu masih
menggunakan tampah yang terbuat dari bambu yang berfungsi untuk
ngayaki. Pada zaman sekarang tampah bisa diganti dengan tebok yang
terbuat dari plastik. Pola pikir masyarakat yaitu tebok yang terbuat dari
plastik lebih kuat menampung banyak makanan yang ada di dalam wadah
tersebut.
10. Tahu [tahU]
Perkembangan tahu yaitu pada zaman dahulu tahu digoreng, pada
zaman sekarang tahu ada yang digoreng dan ada juga yang dicampur di
dalam semuran. Pola pikir masyarakat yang terdapat di dalamnya yaitu
lebih menghemat dalam pengolahan yang dicampurkan ke dalam semuran.
11. Tebok [tebO?]
Tebok merupakan suatu perkembangan pada zaman sekarang dan
pada zaman dahulu masih menggunakan tambir dan tampah. Tebok
berbentuk bulat dan ombo. Pola pikir masyarakat yaitu tebok yang terbuat
dari plastik lebih kuat menampung banyak makanan yang ada di dalam
wadah tersebut.
12. Tempe [tempe]
Perkembangan tempe yaitu pada zaman dahulu tempe digoreng,
pada zaman sekarang tempe ada yang digoreng dan ada juga yang
dicampur di dalam semuran. Pola pikir masyarakat yang terdapat di
dalamnya yaitu lebih menghemat dalam pengolahan yang dicampurkan ke
dalam semuran.
13. Wajib [wajIb]
Perkembangan wajib yaitu pada zaman dahulu wajib diberikan
seikhlasnya, pada zaman sekarang wajib sudah ditentukan dengan
sejumlah uang dua puluh ribu rupiah. Terdapat pola pikir masyarakat yang
berfikiran bahwa kebanyakan masyarakat sekarang lebih mampu daripada
masyarakat pada zaman dahulu, karena masyarakat pada zaman sekarang
sudah memiliki pekerjaan yang lebih baik/mapan. Sehingga mampu untuk
membayar wajib sesuai dengan apa yang sudah ditentukan.
14. Jajanan Pasar [jajanan pasar]
Perkembangan jajanan pasar yaitu pada zaman dahulu adalah
menggunakan makanan tradisional seperti jadah, wajik, ketan, dan lain-
lain. Pada zaman sekarang hanya menggunakan buah-buahan saja.
Terdapat pola pikir masyarakat yang berfikiran bahwa jadah, wajik, ketan,
dan lain-lain lebih susah ditemukan daripada buah-buahan yang gampang
ditemukan. Sehingga terjadi pergeseran dari yang tradisional ke modern.
top related