bab i pendahuluan -...
Post on 07-Mar-2019
227 Views
Preview:
TRANSCRIPT
1
BAB I
Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
Kasus intoleransi di Indonesia, baik secara eksplisit maupun implisit, masih
kerap terjadi. Permasalahnya selalu berbasis pada relasi sosial lintas agama yang tidak
kondusif. Beberapa contoh di antaranya adalah penolakan pendirian rumah ibadah,
penghentian dan pembubaran paksa kegiatan peribadatan, hingga pengrusakkan
rumah ibadah yang dilakukan oleh sekelompok orang dari agama tertentu terhadap
kelompok agama lain. Kejadian-kejadian tersebut merupakan indikasi bahwa memang
masih ada persoalan serius di tengah kehidupan sosial lintas agama di bangsa ini.1
Apabila masalah tersebut tidak segera ditemukan solusinya, tentu akan menjadi
sebuah ancaman yang dapat menimbulkan kehancuran masif bagi keutuhan
Indonesia.2
1 Penolakan pendirian gedung gereja GKI Yasmin di Bogor merupakan contoh kongkrit dan
nyata berkaitan toleransi yang lemah dalam kehidupan antar umat beragama. Selain itu terjadi juga
pembubaran paksa Ibadah Natal di gedung Sambuga ITB, Bandung, Selasa pada tanggal 6 Desember
2016 oleh sekelompok orang yang mengatasnamakan agama tertentu. Di Tanjung Balai Selatan,
Sumatera Utara, terjadi pembakaran enam Vihara dan Kelenteng pada tanggal 29 Juli 2016.
Prihandoko, “GKI Yasmin Menjadi Catatan Dunia” 24 Januari 2012, Tempo.Co, diakses pada tanggal
10 Juli 2017 https://nasional.tempo.co/read/379395/masalah-gki-yasmin-jadi-catatan-dunia. Dendi
Ramdhani, “Acara Kebaktian Rohani di Sabuga Bandung Dihentikan” 06 Desember 2012,
regional.compas.com, Diakses pada tanggal 10 Juli 2017.
http://regional.kompas.com/read/2016/12/06/23444311/acara.kebaktian.rohani.di.sabuga.bandung.dih
entikan. Destriani, “Salah paham, 7 Tempat Ibadah Terbakar di Tanjung Balai” 30 Juli 2016,
Tempo.Co diakses pada tanggal 10 Juli 2017. https://nasional.tempo.co/read/791846/salah-paham-7-
tempat-ibadah-terbakar-di-tanjung-balai 2 Indonesia seharusnya menjadi bangsa yang dapat mewujudkan cita-cita para pendirinya,
yaitu “semua untuk semua”. Bhinneka Tunggal Ika yang memiliki semangat toleransi suku, agama, ras
dan antar golongan (SARA) kembali dipertanyakan di tengah relasi sosial bangsa ini. Kementerian
Dalam Negeri, “Revolui Mental” 11 Maret 2015, diakses pada tanggal 10 Juli 2017.
http://www.kemendagri.go.id/article/2015/03/11/revolusi-mental
2
Indonesia adalah sebuah bangsa yang unik. Ia memiliki kondisi yang sangat
berbeda dengan bangsa-bangsa lain. Sejak dikenal sebagai Nusantara hingga berdiri
menjadi sebuah negara, Indonesia telah memiliki tradisi, budaya dan agama yang
beraneka ragam. Akan tetapi menjadi sangat ironis ketika di dalam perjalanan
kehidupan bernegara, perbedaaan agama menjadi persoalan yang sering muncul ke
permukaan dan sering kali dibesar-besarkan, sedangkan masalah tersebut sebenarnya
telah tuntas saat dicapainya kesepakatan akan menjadi negara seperti apa Indonesia
ini.3
Titaley mengatakan bahwa agama adalah sebuah kenyataan sosial yang
historik-sosial. Dikatakan sosial karena diusung dari dan oleh komunitas sosial
manusia, sekalipun nilai-nilai yang mendorong tindakan beragama itu dipahami
sebagai berasal dari kenyataan ilahi.4 Di dalamnya terdapat kaidah-kaidah yang harus
ditaati oleh pemeluknya. Ada prinsip-prinsip yang terkandung di dalam agama, yaitu
keadilan, persamaan, kemajemukan, kemerdekaan, musyawarah.5 Akan tetapi prinsip-
prinsip tersebut akan dianggap tidak relevan dan dikesampingkan ketika iman pribadi
diperhadapkan dengan keyakinan berlebihan serta cenderung disebabkan oleh
pemahaman yang dangkal. Dengan pemahaman terbatas itu, agama dijadikan sebagai
tunggangan untuk mencapai suatu tujuan dengan cara yang tidak sehat bahkan
kekerasan yang dilakukan baik secara verbal maupun fisik dianggap lumrah. Di dalam
kondisi seperti inilah hubungan antar umat beragama menjadi rusak.
3 Safroedin Bahar, Nannie Hudawati, Risalah Sidang Badan Penyidikan Usaha-usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesian (PPKI)28
Mei 1945 - 22 Agustus 1945 (Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1998), 101. 4 John A. Titaley, Religiositas di Alinea Tiga: Pluralisme, Nasionalisme dan Transformasi
Agama-Agama (Salatiga: Satya Wacana Univesity Press, 2013), i. 5 Amir Mu’allim, “Relasi Agama dan Kekerasan” dalam Unisia No.61/XXIX/III (2016), 258-
260.
3
Magnis mengatakan bahwa kekerasan yang paling mengkhawatirkan dan
mengerikan adalah ketika alasan dan motivasinya didasarkan atas nama agama. Di
dalamnya terdapat keinginan untuk mencapai suatu tujuan, namun cara yang
ditempuh adalah membinasakan pemeluk agama lain.6 Kekerasan macam ini
merupakan hal yang amat memalukan dan selalu dipakai oleh kaum ateis untuk
menarik kesimpulan bahwa agama merupakan suatu malapetaka bagi manusia.
Permasalahannya adalah bahwa agama seharusnya tidak diperbolehkan melakukan
pemaksaan terhadap pihak lain, bahkan sebaliknya seharusnya agamalah yang
seharusnya menjadi pembela utama kebebasan beragama dalam arti yang seluas-
luasnya.7 Akan tetapi yang terjadi justru elemen agama dipakai untuk melegalkan
kekerasan oleh mereka yang memiliki paham radikal. Sumanto mengatakan bahwa
kaum radikal muslim sering menggunakan fatwa untuk menghalalkan tindakan
kekerasan.8
Masalah yang terjadi dalam hubungan antar umat beragama adalah masalah
sosial. Di dalamnya terkandung berbagai dimensi sehingga tidak mudah ditemukan
atau dirumuskan jalan penyelesaiannya. Hal tersebut sering ditafsirkan sebagai suatu
kondisi yang tidak diharapkan oleh sebagian besar warga masyarakat karena
menyimpang dari nilai, norma atau standar sosial yang berlaku.9 Di dalamnya
diperlukan analisis sosial yang berupaya melihat golongan-golongan atau kelompok-
6 Frans Magnis-Suseno, Kebangsaan, Demokrasi, Pluralisme: Bunga Rampai Etika Politik
Aktual (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2015), 150. 7 Magnis, Kebangsaan, Demokrasi, Pluralisme, 151. 8 Sumanto Al Qurtuby, “Between Radicalisme and Pluralism: The Challenge of Interfaith
Engagement in Contemporary Indonesia” CTC Bulleti: Bulletin of The Program Area on Faith Mission
and Unity (Theological Concerns) Christian Conference of Asia Vol. XXVIII No. 2 (Desember 2012),
63. 9 Soetomo, Masalah Sosial dan Upaya Pemecahannya (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), 1.
4
kelompok sosial. Secara praktis berarti melihat struktur kekuasaan, siapakah yang
menentukan dalam keseluruhan proses sosial.10
Kondisi sosial Indonesia yang sejak awal telah memiliki budaya dan agama
yang sangat beragam dapat menjadi sangat menguntungkan maupun sebaliknya.11
Titaley mengandaikan pluralisme seperti bawaan genetik manusia, tidak dapat
ditentukan menurut kemauan seseorang, sekali pun saat ini rekayasa genetika
dimungkinkan. Oleh karena itu, perbedaan adalah hal yang kodrati dan siapa pun
tidak dapat mengelak dari hal tersebut. Begitu juga dengan pluralisme yang
merupakan kenyataan bahwa dalam kehidupan bersama terdapat perbedaan suku, ras,
budaya dan agama.12
Agama selalu menjadi masalah yang cukup pelik ketika diperhadapkan dengan
kepelbagaian, sedangkan bagi bangsa Indonesia sendiri agama merupakan hak asasi
manusia yang tidak boleh dilanggar oleh siapa pun. Pasal 29 Undang-Undang Dasar
(UUD) 1945 telah menegaskan tentang jaminan kebebasan tersebut. Artinya bahwa
negara telah ikut berperan serta dalam menjamin kebebasan beragama individu
dengan tujuan mewujudkan perdamaian keadilan sosial dan persahabatan antar
pemeluk agama yang berlainan.13 Dalam tonggak sejarah Indonesia ada momen
perasaan keberagaman dalam beragama dan kesetaraan sebagai warga negara yang
kemudian dituangkan dalam Pembukaan UUD 1945.14 Di dalam keadaan yang
10 Joe Holland Peter Henriot SJ, Analisis Sosial dan Upaya Refleksi Teologis: Kaitan Iman
dan Keadilan (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1986), 8. 11 Riniwati, “Iman Kristen dalam Pergaulan Lintas Agama” Jurnal Simpson (ISSN: 2356-
1901), 21. 12 Titaley, Religiositas di Alinea Tiga, 169. 13 Rr. Rina Antasari “Kebebasan Beragama dalam Hubungannya dengan Hak Asasi Manusia
dan Demokrasi: Pandangan Tokoh Agama, Akademisi dan Penggiat HAM di Kota Palembang” Jurnal
AN’NISA’A Vol. 9 No. 1 (Juni 2014), 48. 14 Titaley, Religiositas di Alinea Tiga, 30.
5
multikultural dan multi agama ini, sangat diperlukan kesadaran dan kemauan yang
tinggi untuk membangun relasi perdamaian yang memperjuangkan nilai-nilai
kesetaraan dan keadilan.15
Para pendiri bangsa ini sebenarnya telah menyadari dengan sungguh tentang
keberadaan Indonesia yang tidak dapat dipisahkan dengan pluralisme yang ada.
Dengan sangat apik dan bijaksana mereka memilih Bhinneka Tunggal Ika sebagai
abtraksi sekaligus kenyataan eksistensial yang tidak terbantahkan ketika berbicara
tentang Indonesia. Fakta utama ke-Indonesia-an adalah ke-bhinneka-an sebagai
kerinduan kolektif yang bersifat politik.16 Selain itu mereka juga merumuskan
Pancasila sebagai jalan keluar untuk menjembatani masalah pluralisme di Indonesia.
Dengan demikian semua agama yang ada terakomodir tanpa mengalami
diskriminasi.17 Apabila hubungan antar agama ini dapat dipelihara dengan baik akan
menjadi suatu potensi yang berkekuatan besar untuk kemajuan masyarakat dan
negara. Akan tetapi jika yang terjadi sebaliknya, maka akan menjadi sumber konflik
dan malapetaka yang tentu akan membawa kehancuran bagi bangsa ini.18
Tantangan utama Pluralisme adalah eksklusivisme. Hal tersebut terjadi karena
tidak ada satu pun agama di dunia ini yang dapat menghindarkan dirinya untuk
bertemu dengan pengaruh agama lain. Sumartana mengibaratkan dunia ini sebagai
15 Oktavianus Heri Prasetyo Nugroho, “Meretas Damai di Tengah Keberagaman:
Mengembangkan Pendidikan Kristiani untuk Perdamaian dalam Perspektif Multikulturalisme.” Gema
Teologi: Jurnal Teologi Kontekstual Vol. 38 No. 2 (Oktober 2014), 143-144. 16 Johm Simon, “Tuhan Tidak Perlu Dibela: Konteks Kekerasan dan Upaya Membangun
Jembatan Etis-Praktis Berteologi Agama-Agama dalam Masyarakat Pluralistik Indonesia” Gema
Teologi: Jurnal Teologi Kontekstual Vol. 36 No. 1 (April 2012), 76. 17 Zakaria Ngelow, ”Interfaith Cooperation agains Radicalism and Violence in Indonesia: A
Christian Perpective” CTC Bulletin: Bulletin of the Program Area on Faith, Mission and Unity
(Theological Concern) Christian Confrence of Asia Vo. XXIV No. 3 (Desember 2008), 18. 18 Enggar Objantoro, “Pluralisme Agama-Agama: Tantangan bagi Teologi Kristen,” Jurnal
Simpson: Jurnal Teologi dan Pendidikan Agama Kristen Vol. I No. 1 (Juli 2014), 61.
6
perkampungan kecil yang di dalamnya manusia hidup bersama dan saling
berhubungan. Hubungan tersebut juga mengakibatkan satu sama lain saling
bergantung. Oleh karena itu pluralisme merupakan ciri esensial dari masyarakat dan
dunia ini.19
Di dalam prilaku sosial, hubungan antar umat beragama selalu menjadi
perhatian yang serius. Masalah agama selalu menjadi perspektif di dalam tata
pergaulan sosial, politik dan budaya yang berlaku di masyarakat. Kemajemukan yang
ada di Indonesia kemudian dijadikan alasan untuk membelah masyarakat ke dalam
kotak-kotak agama dan dalam upaya menemukan jalan keluar untuk masalah sosial
ini diperlukan pendekatan sosiologi agama. Pendekatan ini menjadi penting karena
sosiologi agama tidak hanya bertumpu pada satu disiplin ilmu, melainkan di dalam
kesadaran ruang dan waktu studi lintas agama adalah studi interdisipliner. Di
dalamnya terkait masalah sejarah, ekonomi, budaya, sosiologi, politik dan agama.20
1.2. Lokus Penelitian
Di dalam penelitian ini – berkaitan erat juga dengan latar berlakang di atas –
penulis memilih Desa Prangat Baru21 sebagai lokus penelitian. Desa ini terletak di
Jalan Poros Samarinda - Bontang, kilometer 63 dan memiliki latar belakang
masyarakat yang cukup beragam. Sebagian besar mereka berasal dari Probolinggo,
Banyuwangi dan Bojonegoro yang mengikuti progam transmigrasi penempatan tahun
1989. Ada juga yang berasal dari Sulawesi Selatan, Banjar, Kutai dan wilayah sekitar
19 Th. Sumartana, “Teologia Religionum,” dalam Meretas Jalan Teologi Agama-Agama di
Indonesia oleh Tim Balitbang PGI (penyunting) (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000), 18. 20 Izak Lattu, Buku Ajar Teologi Agama-Agama: Isu-Isu Kontemporer (Salatiga: Fakultas
Teologi Universitas Kristen Satya Wacana), 1. 21 Berada di Kecamatan Marang Kayu, Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan
Timur.
7
Kalimantan. Mereka pun terdiri dari berbagai suku antara lain Jawa, Madura, Bugis,
Kutai, Banjar dan juga Dayak. Mata pencarian mereka sebagian besar sebagai petani
karet dan ada juga yang menjadi Pegawai Negeri Sipil.
Menurut pengamatan penulis masyarakat Desa Prangat Baru memiliki sikap
yang sangat terbuka untuk menerima kepelbagaian. Sekali pun hanya terdapat satu
gedung gereja22 di antara dua masjid yang cukup besar dan delapan mushola, namun
segala kegiatan yang diadakan selalu dikerjakan secara bergotong royong. Hal ini
berlaku bagi seluruh warga masyarakat dan tanpa terkecuali, baik di masjid maupun
gereja atau tempat umum.23 Selain itu, di desa yang dikepalai oleh Purnomo ini ada
dua jabatan publik yang saat ini dipercayakan kepada orang non muslim, yaitu Kepala
Badan Perwakilan Desa (BPD) oleh Elly Depris dan Kepala Dusun Wono Asri oleh
Filipi.24 Gambaran kepemimpinan di tempat ini sangat berbeda dengan banyak tempat
lain di Indonesia, yang membatasi partisipasi publik bagi anggota masyarakat yang
bukan kelompok dominan. Kemungkinan yang terjadi adalah jabatan publik itu
dimonopoli oleh mereka yang digolongkan sebagai kelompok mayoritas.25
22 Gereja Kemah Injil Indonesia (GKII) Prangat Baru dengan jumlah anggota jemaat enam
kepala keluarga. 23 Sudah menjadi kebiasaan yang lazim jika ada acara perayaan di gereja (GKII Prangat Baru),
warga masyarakat diundang dan demikian sebaliknya. Saat mempersiapkan tempat acara pun selalu
dilakukan bersama secara gotong royong oleh masyarakat, baik di gereja maupun di masjid. Suasana
kekeluargaan pun sangat terasa pada saat hari raya, baik Natal maupun Idul Fitri, mereka saling
mengunjungi satu dengan yang lainnya. Fenomena inilah yang membuat penulis tertarik untuk
mengangkatnya dalam tulisan ini. 24 Elly Depris dan Filipi adalah warga jemaat GKII Prangat Baru. 25 Menurut Bapak Agus Haryanto (informan utama) yang adalah seorang Kristen di Desa itu,
kebersamaan di Desa Prangat Baru terjadi sudah sejak lama, sejak mereka mulai hidup bersama di
tempat itu sebagai transmigran. Suatu kali ada seorang Bapak, salah seorang warga desa itu yang
bertanya tentang jumlah warga jemaat tempat Bapak Agus bergereja dan ia menjawab bahwa di
tempatnya hanya ada sepuluh kepala keluarga. Lalu ditanyakan mengapa gereja tempat Bapak Agus
berjemaat dapat membuat gedung gereja yang cukup baik meskipun hanya sepuluh kepala keluarga.
Bapak Agus pun menjelaskan bahwa di tempatnya selalu diajarkan memberi yang terbaik untuk
pekerjaan Tuhan dan di dalamnya ada iman bahwa Tuhan tidak pernah membiarkan anak-anak-Nya
kekurangan. Lalu Bapak tadi merespons bahwa di tempat ia berjemaah hal itu belum bisa terjadi karena
8
1.3. Beberapa Penelitian Sebelumnya
Cukup banyak penelitian tentang hubungan Islam-Kristen di Indonesia yang
telah dilakukan, baik yang kemudian menjadi tulisan di dalam buku maupun jurnal.26
Dalam tulisan ini, penulis mengangkat tulisan yang dimuat di beberapa jurnal
berkaitan penelitian Islam-Kristen ini. Di antaranya adalah yang dilakukan oleh
Dahlan A.R. dalam tulisannya yang berjudul Agama dan Kearifan Lokal: Model
Pembinaan Kerukunan Umat Beragama Berbasis Komunitas di Jawa Tengah. 27
Dalam tulisannya ini, ia mengungkapkan meskipun di Desa Karangrowo terdapat
masyarakat yang memeluk agama berbeda-beda, namun kerukunan dan toleransi
masih sangat terjaga. Selain itu semangat bergotong royong masih mereka lestarikan.
Di dalamnya terdapat unsur kearifan (budaya) lokal yang mampu menjaga rasa
kebersamaan dan sikap toleransi.28
kesadaran untuk memberi secara sistematis belum bertumbuh. Menurut Bapak Agus mereka ada
keinginan untuk belajar meskipun itu dari mereka yang minoritas. Kejadian lain yaitu ketika
lingkungan tempat Bapak Agus berdomisili berencana untuk membuat mushola swadaya umat Muslim
dan Kristen pada tahun 2015. 26 Jan S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia (Jakarta: PT BPK
Gunung Mulia, 2005); Adian Husaini, Tinjauan Historis Konflik Yahudi, Kristen dan Islam (Jakarta:
Gema Insani Press, 2004) 27 Dahlan AR. “Agama dan Kearifan Lokal: Model Pembinaan Kerukunan Umat Beragama
Berbasis Komunitas di Jawa Tengah”, dalam Jurnal Prosiding (Bidang Kehidupan Keagamaan) vol. 2
No.2. 28 Ada tradisi yang dilakukan oleh semua anggota komunitas tanpa memandang agama, yaitu
“sedekah bumi” yang dilakukan setiap bulan Apit (penanggalan Jawa). Dalam artikelnya peneliti
menyampaikan beberapa hasil penelitian di antaranya bahwa dengan mempertahankan Samin,
masyarakat Desa Karangrowo memberikan ruang yang sama untuk mengekspresikan identitas
kulturnya melalui adat istiadat yang ada, sepanjang tidak menimbulkan konflik. Kelompok Samin di
tempat itu pun membagi diri menjadi dua bagian. Samin yang masih memegang teguh ajaran Samin
yang dulu disebut Samin dlejet dan yang sudah membuka diri terhadap masyarakat pada umumnya
disebut Samin amping-amping. Kerukunan antar umat beragama di Desa Karangrowo dilihat dari
indikator bahwa mereka saling menghargai dengan tingginya tingkatan menghadiri undangan hajatan
yang diadakan dan saling memberikan bingkisan. Mereka juga menunjukkan sikap saling percaya satu
dengan yang lainnya dan ini terlihat saat mereka saling meminjamkan barang. Pada bagian akhir
penulis menyampaikan saran agar ajaran Samin terus dipelihara serta dilestarikan karena berfungsi
sebagai spiritual sosial, juga menjadi sarana kerukunan intern maupun intern umat beragama.
9
Ada juga penelitian yang dilakukan oleh Umi Sumbulah dalam tulisannya
yang berjudul Pluralisme dan Kerukunan Umat Beragama Perspektif Elite Agama di
Kota Malang. 29 Di dalam penelitiannya ini ia menemukan hasil yang variatif tentang
pendapat para elite agama di kota Malang berkenaan masalah pluralisme dan
kerukunan antar umat beragama.30 Di tengah ketidakseragaman pendapat itu, ia dapat
mendeskripsikan tentang bagaimana hubungan Islam - Kristen dapat terjaga dengan
baik.
Penulis juga memperhatikan penelitian yang dilakukan oleh Lilam Kadarin
Nuriyanto yang tulisannya berjudul Integrasi Sosial Pengelolaan Rumah Ibadah Islam
dan Kristen di Surakarta.31 Ia menemukan beberapa bentuk harmonisasi dan toleransi
hubungan yang diciptakan oleh masing-masing pengelola rumah ibadah.32 Sikap yang
dimunculkan oleh setiap pengelola rumah ibadah dapat juga menjadi indikator
bagaimana hubungan umat agama Islam dengan umat agama lainnya. Apa yang
29 Umi Sumbulah, “Pluralisme dan Kerukunan Umat Beragama Perspektif Elite Agama di
Kota Malang”, dalam Analisa Journal of Social Science and Religion Vol. XXII, No. 1, 1-13. 30 Keberagamanan dipahami sebagai kenyataan sosial, sikap menghargai dan terbuka terhadap
agama lain dan kesetaraan semua agama di mata Tuhan. Begitu juga dengan makna kerukunan umat
beragama, ada yang memaknainya sekadar menghargai dan menghormati keyakinan orang lain yang
bersifat ko-eksistensi, namun ada pula yang berpandangan lebih progresif dan pro-eksistensi. Akan
tetapi ada juga yang dapat menghambat kerukunan umat beragama, yaitu fanatisme yang sempit,
egoisme dan keengganan bersikap terbuka terhadap yang lain. 31 Lilam Kadarin Nuriyanto, “Integrasi Sosial Pengelolaan Rumah Ibadah Islam dan Kristen di
Surakarta”, dalam Analisa Journal of Social Science and Religion Vol. XXII, No. 1, 29-41. 32 Setiap ada acara keagamaan mereka saling memberitahu. Bahkan pernah pengurus masjid
diundang dalam acara penahbisan pendeta yang baru. Bentuk toleransi lain adalah ketika hari Idul Fitri
dan Idul Adha lapangan di gereja digunakan untuk lahan parkir. Ia juga mengutarakan beberapa faktor
penghambat dalam pengelolaan rumah ibadah yang berdekatan seperti sikap ekslusif beragama yang
salah. Seperti pelarangan dari kelompok Muslim tertentu terhadap GKJ Joyodiningratan dalam
menyediakan nasi bungkus ketika bulan puasa dan larangan parkir bagi umat GBI Diaspora Sejahtera.
Sedangkan faktor yang mendukung dalam pengelolaan tempat ibadah yang berdekatan adalah dengan
masih adanya nilai gotong royong dan menghormati kebebasan menjalankan ibadah; sikap inklusif
dalam beragama; adanya sikap saling terbuka dalam menyikapi kegiatan yang diadakan antar tempat
ibadah berdekatan.
10
dilakukan oleh para pengurus rumah ibadah juga sangat mempengaruhi penduduk
sekitarnya dalam bersikap kepada umat lain.
1.4. Rumusan Masalah
Selain beberapa penelitian yang penulis paparkan di atas, masih banyak
penelitian lain yang membahas hubungan Islam-Kristen di berbagai tempat. Akan
tetapi, hingga saat ini, penulis belum menemukan penelitian yang menggunakan
perspektif peran modal sosial. Penelitian yang menggunakan pendekatan modal sosial
selama ini lebih banyak membahas hubungan lintas etnis33. Oleh karena itu di dalam
penelitian ini, penulis akan menggunakan pendekatan teori modal sosial sebagai
landasan dan kerangka berpikir. Di dalamnya penulis akan fokus menggunakan teori
modal sosial yang dikembangkan oleh Robert Putnam yang sangat memandang
penting masyarakat sipil.34
Putnam mengatakan bahwa modal sosial adalah fitur yang ada di dalam sistem
masyarakat sehingga masyarakat dapat terorganisir pergerakannya. Fitur itu adalah
kepercayaan (trust), norma (norm) dan jaringan (network).35 Ia melihat ada
keterikatan antara jaringan masyarakat dengan norma yang berlaku dan di dalamnya
tumbuh kepercayaan. Fokus utamanya adalah kelompok-kelompok masyarakat yang
memiliki seperangkat nilai sosial-budaya serta menghargai pentingnya kerja sama
33 Di antaranya, I. W. Mudana, “Modal Sosial dalam Pengintegrasian Etnis Tionghoa pada
Masyarakat Desa Pakraman di Bali,” Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora Vol. I, No. 1 (April 2012),
209-221; Nuraini Asriati, Yohanes Bahari, “Pengendalian Sosial Berbasis Modal Sosial Lokal pada
Masyarakat di Kalimantan Barat,” Jurnal Mimbar Vol. XXXVI, No. 2 (Desember 2010), 147-158. 34 Robert Putnam, Bowling Alone: The Collaps and Revival of American Community (New
York: Simon and Schuster, 2000), 149. 35 Robert Putnam, Making Democracy Work: Civic Tradition in Modern Italy (New Jersey:
Princeton University Press, 1993), 167.
11
guna kemajuan dan perkembangan yang didorong oleh kekuatan bersama.36 Bagi
Putnam keterlibatan masyarakat sangat penting karena dapat menjadi media yang
sangat baik dalam mengedukasi masyarakat dan meningkatkan kemampuan
masyarakat sekaligus menjadi jembatan hubungan sosial di dalamnya.37
Lattu dalam tulisannya juga mengutip Putnam yang mengatakan bahwa
keterlibatan sosial adalah cara orang dapat menerima orang lain meskipun di
dalamnya terdapat perbedaan agama, karena melalui keterlibatan sosial ini terbangun
kepercayaan.38 Putnam percaya bahwa modal sosial dapat menjembatani jurang
pemisah antara kelompok-kelompok yang berbeda ideologi dan memperkuat
kesepakatan tentang pentingnya pemberdayaan masyarakat.39 Putnam juga melihat
bahwa agama memainkan peranan yang cukup penting dalam membangun fitur yang
ada dalam modal sosial, yaitu jaringan yang akan membuat relasi sosial semakin
baik.40
Berkaitan dengan hal-hal tersebut di atas, penulis merumuskan beberapa
pertanyaan penelitian sebagai berikut:
1. Mengapa masyarakat Desa Prangat Baru yang beragam dapat hidup secara
mutual?
2. Bagaimana modal sosial berperan dalam menciptakan hubungan mutual Islam-
Kristen di desa Prangat Baru?
36 Rusydi Syahra, “Modal Sosial: Konsep Dan Aplikasi,” Jurnal Masyarakat dan Budaya LIPI
Vol. V, No. 1, (2003), 6. 37 Robert Putnam, “Tunning In, Tunning Out: The Strange Disappearance of Social Capital in
America.” PS: Political Science and Politics Vol. XXVIII, No. 4 (Desember 1995), 667. 38 Izak Lattu, “Civil Society: Building Trust and Social Solidarity in the Public Sphere in The
Perspective of Indonesia” Waskita, Jurnal Studi Agama dan Masyarakat Vol. II, No. 2 (2014), 8. 39 Syahra, Modal Sosial, 6. 40 Robert Putnam and David E. Campbell, American Grace: How Religion Divides and Unites
Us (New York: Simon and Schuster Paperbacks, 2010), 481.
12
Dengan demikian, maka dalam penelitian ini penulis memilih judul:
Modal Sosial dalam Hubungan Mutual Islam-Kristen
di Desa Prangat Baru Marang Kayu.
1.5. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah: pertama, untuk menganalisis faktor yang
menyebabkan masyarakat Desa Prangat Baru yang beragam dapat hidup secara
mutual. Kedua, untuk menganalisis bagaimana peran modal sosial dalam menciptakan
hubungan mutual Islam-Kristen di Desa Prangat Baru. Dengan demikian, harapan dari
penelitian ini adalah dapat bermanfaat untuk memberikan kontribusi positif bagi
warga masyarakat dan pemerintah setempat, juga masyarakat Indonesia secara umum
tentang model hubungan Islam-Kristen yang terjalin dengan baik. Selain itu,
bermanfaat juga untuk memberikan deskripsi serta rekomendasi positif kepada Gereja
Protestan di Indonesia (GPIB)41 tentang bagaimana studi Sosiologi Agama dapat
menjadi salah satu disiplin ilmu sekaligus sarana yang signifikan dalam mewujudkan
visi GPIB.42
1.6. Metode Penelitian
Metode penelitian yang akan digunakan di dalam penelitian ini adalah
kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Fenomenologi agama tepatnya. Istilah
fenomenologi ini sendiri pertama kali dicetuskan oleh Johann Heinrich Lambert pada
tahun 1764. Selanjutnya dikembangkan oleh Immanuel Kant, George W. F. Hegel,
41 Sebagai Gereja pengutus. 42 Visi GPIB: Menjadi Gereja yang menghadirkan damai sejahtera kepada seluruh umat
ciptaan-Nya.
13
Edmund Husserl.43 Metode ini memberikan penekanan terhadap keaslian dari apa
yang disajikan atau disaksikan sebagaimana adanya. Dengan demikian data yang
diperoleh adalah data yang akurat karena berasal dari fenomena yang ada di lokasi
penelitian.
Penulis juga akan melakukan wawancara terhadap beberapa sumber yang
dipandang sebagai representasi masyarakat Desa Prangat Baru, di antaranya tokoh
masyarakat, tokoh agama (imam masjid dan pendeta), dan aparat pemerintahan
(Kepala Desa, Ketua BPD, Sekretaris Desa, para Ketua Dusun). Selain itu, penulis
juga akan melakukan dan memperhatikan bagaimana hubungan mutual itu terwujud di
lingkungan sosial daerah tersebut. Penulis juga akan melakukan observasi yang
mengarah kepada keterlibatan secara langsung dengan audiens. Penulis juga akan
melakukan pengambilan data-data statistik yang dibutuhkan sebagai faktor pendukung
dalam melakukan analisis data. Kegiatan pengambilan gambar/foto pun akan penulis
lakukan untuk semakin melengkapi dan memperdalam penelitian ini. Selanjutnya
penulis akan menginterpretasi data, memvalidasikannya dan menunjukkan potensi
hasil penelitian sebagaimana yang disarankan oleh Creswell.44
1.7. Sistematika Penulisan
Tulisan penelitian ini akan dikemas dengan sistematika sebagai berikut:
43 Emeka C. Ekke and Chike A. Ekeopara, “Phenomenological Approach to the Study of
Religion: A Historical Perspective” in Europian Jounal of Scientific Research ISSN 1450-216X Vol.44
No.2 (2010): 267. 44 John W. Creswell, Research Design: Pendekatan Metode Kualitatif, Kuantitatif dan
Campuran, edisi 4 diterjemahkan oleh: Achmad Fawaid dan Rianayati Kusmini Pancasari
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2016), 246-247.
14
Bab I: Memaparkan konteks penelitian, studi yang sebelumnya pernah dilakukan,
celah penelitian, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian,
metodologi penelitian dan sistematika penulisan.
Bab II: Memberikan fokus kepada teori hubungan Islam-Kristen dan teori modal
sosial yang dikemukakan oleh Robert Putnam.
Bab III: Mendeskripsikan tentang data lapangan yang ada di desa Prangat Baru dan
memaparkan hubungan mutual Islam-Kristen di tempat itu.
Bab IV: Melakukan analisis sosiologis terhadap hubungan mutual Islam-Kristen di
desa Prangat dengan menggunakan perspektif teori modal sosial.
Bab V: Memaparkan poin-poin analisis yang telah diperoleh, rekomendasi baik
kepada masyarakat dan pemerintah setempat, masyarakat Indonesia secara umum dan
GPIB, sebagai institusi yang memberikan penugasan studi lanjut ini kepada penulis di
program Magister Sosiologi Agama (MSA) di UKSW.
top related