bab i pendahuluan -...
Post on 21-Mar-2019
222 Views
Preview:
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Alasan Pemilihan Judul
Suatu keniscayaan bahwa dalam penyelesaian suatu konflik sengketa
khususnya sengketa hukum diperlukan adanya penyelesaian yang pasti untuk
menentukan kebenaran. Dengan berkembangnya teknologi transportasi maupun
telekomunikasi maka seiring pula interaksi transnasional yang terjadi. Artinya,
interaksi dalam konteks perbuatan hukum pun berkembang tidak hanya di dalam
atau antara subjek yang berada pada wilayah Negara yang sama tetapi juga
memungkinkan melewati batas teritorial tersebut. Dalam cakupan konflik yang
berlangsung antara para pihak yang bersengketa dengan subjek hukum sama-sama
berasal dari suatu tertorial Negara yang sama, seperti yang diketahui telah
memiliki payung hukumnya sendiri. Begitu pun sebenarnya ketika para subjek
hukum yang bersengketa berasal dari teritorial Negara yang berbeda. Seperti telah
dikemukakan sebelumnya bahwa interaksi transnasional mulai berkembang. Oleh
karena itu, perlu untuk diperhatikan ketika timbul persoalan hukum. Persoalan
hukum berkaitan dengan hukum dari Negara mana yang akan diberlakukan dalam
suatu peristiwa hukum yang melibatkan subjek dari Negara yang berbeda.
Mengacu pada sengketa yang memposisikan para pihak pada wilayah yurisdiksi
Negara berbeda, maka solusi yang diterapkan adalah seputar ruang lingkup
2
Conflict of Laws1 (Hukum Perdata Internasional). Itulah alasan hadirnya Hukum
Perdata Internasional sebagai jawaban penyelesaian sengketa yang mengandung
unsur asing (foreign element)2.
Adapun terdapat tahap-tahap yang harus ditempuh dalam penyelesaian
perkara Hukum Perdata Internasional (HPI). Secara umum tahap-tahap tersebut
yakni, pertama, penentuan apakah sebuah perkara termasuk perkara HPI atau
bukan berdasarkan hukum tempat perkara diperiksa (lex fori) dan ada tidaknya
kewenangan mengadili; kedua, kualifikasi terhadap perkara HPI tersebut
(qualification of facts) dengan menggunakan hukum tempat perkara diperiksa (lex
fori); ketiga, penentuan tentang hukum mana yang harus berlaku bagi perkara
HPI; keempat, setelah hukum yang harus diterapkan (lex causae) ditentukan, akan
dilihat apakah menurut lex causae titik-titik taut yang ada selanjutnya menunjuk
lex fori, lex causae, atau hukum asing lain sebagai hukum yang harus
diberlakukan; kelima, setelah ditentukan hukum Negara mana yang harus berlaku
menurut lex causae, barulah masalah diselesaikan dengan putusan in concreto;
dan yang terakhir, pelaksanaan/ eksesusi putusan3.
Berangkat dari tahap-tahap penyelesaian tersebut, ketika telah ditentukan
bahwa suatu perkara memang benar-benar perkara HPI, maka dilakukanlah
kualifikasi. Kualifikasi atau sering juga disebut characterization; classification;
atau interpretation4 sebenarnya adalah melakukan “translation” atau “penyalinan”
1 “The terms Conflict of Laws describes generally the body of law that aspires to provide
solutions to international or interstate legal disputes between persons or entities other than
countries or states as such…”. Peter Hay, Patrick Borchers, Symeon Symeonides. Conflict of
Laws, Fifth Edition, h. 1. 2 Sudargo Gautama, Kontrak Dagang Internasional, Alumni, Bandung, 1983, h. 7. 3 Arie Siswanto. Bahan ajar kelas Hukum Perdata Internasional, FH UKSW. 4 Black’s Law Dictionary, Ninth Edition. Lihat: characterization
3
dari fakta-fakta sehari-hari dalam istilah-istilah hukum5. Pada tahapan kualifikasi
ini, ada pula 2 (dua) jenis kualifikasi yakni kualifikasi hukum (qualification of
law) dan kualifikasi fakta (qualification of facts). Kualifikasi hukum melalui
penggolongan berdasarkan kriteria sistematis yang sudah ada, sementara
kualifikasi fakta melalui penggolongan fakta-fakta ke dalam satu atau lebih
peristiwa hukum6. Berbicara mengenai kualifikasi, maka terdapat 5 (lima) teori
kualifikasi. Di antaranya adalah kualifikasi lex fori, kualifikasi lex causae,
kualifikasi secara otonom / analitik, kualifikasi secara bertahap, dan kualifikasi
hukum perdata internasional7.
Problematika yang kemudian muncul jika ternyata tidak ada klausul
pilihan hukum dalam kontrak. Jawabannya pula ada dalam ruang lingkup Conflict
of Laws bahwa pada tahap berikutnya setelah kualifikasi terhadap perkara itu
(qualification of facts) ialah penentuan hukum mana yang harus diberlakukan.
Menjadi menarik ialah terkait teori kualifikasi yang mana pada penulisan ini
menitikberatkan pada kualifikasi menurut lex causae. Teori ini beranggapan
bahwa proses kualifikasi dijalankan sesuai dengan sistem serta ukuran-ukuran dari
keseluruhan sistem hukum yang berkaitan dengan perkara. Menurut Sunaryati
Hartono, dalam hal kualifikasi berdasarkan lex causae, kesulitan mungkin akan
timbul jika sistem asing tertentu ternyata tidak memiliki sistem kualifikasi yang
cukup lengkap atau bahkan tidak mengenal klasifikasi lembaga hukum yang
5 S. Gautama. Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia, h. 119. 6 Ibid., h. 119-120 – dilihat secara umum. 7 Ibid., h. 124-125.
4
sedang dihadapi dalam perkara8. Dengan demikian, menjadi menarik ketika teori
kualifikasi lex causae digunakan dalam suatu penyelesaian perkara.
Telah dikatakan sebelumnya bahwa hakekat HPI selain berkaitan dengan
penunjukan, juga dengan foreign elements. Ketika berbicara mengenai foreign
elements maka forum yang menghadapi suatu perkara sehubungan dengan HPI
tidak dapat mengabaikan kemungkinan-kemungkinan yaitu salah satunya bahwa
lex fori bukanlah satu-satunya sistem hukum yang otomatis harus diberlakukan
dalam penyelesaian perkara. Alasan mengapa lex fori tidak otomatis harus
diberlakukan ialah karena ada kebutuhan untuk menentukan sistem hukum
manakah di antara sistem hukum yang relevan, yang seharusnya atau lebih tepat
untuk diberlakukan dalam penyelesaian perkara. Apalagi ketika sistem hukum
yang ditunjuk/ dipilih (lex causae-nya) masih lebih mengakomodir fakta-fakta
hukum suatu perkara. Itulah yang dimaksudkan akan pentingnya lex causae.
Dengan demikian, tidak terpaku apakah perkara telah terjadi jauh di waktu yang
lalu sehingga dipertanyakan relevansi lex causae dengan suasana dan atmosfer
masa sekarang, lex causae mempunyai peran penting. Berangkat dari lex fori yang
tidak secara otomatis diberlakukan, hakim tidak dapat terikat secara kaku pada
konsep lex fori saja sehingga harus memperhatikan pula cakupan peristiwa/
hubungan hukum sejenis dari suatu sistem hukum lain. Kemudian, hubungannya
dengan kebutuhan dalam menentukan sistem hukum yang seharusnya dan lebih
tepat, maka penentuan lex causae masih berperan penting hingga kini.
8 Bayu Seto Hardjowahono. Dasar-dasar Hukum Perdata Internasional Indonesia, h.
103.
5
Kemudian yang menjadi pertanyaan mengapa lex causae masih dianggap
penting padahal dalam kasus ini putusan sudah in concreto. Memang pada
dasarnya ketika putusan sudah in concreto maka secara tersirat lex causae telah
ditentukan. Namun, menurut penulis titik fokus terkait lex causae, yang tidak
kalah pentingnya ialah bagaimana proses dan perjalanan hingga pada akhirnya lex
causae ditentukan hubungannya dengan penggunaan prinsip dan kaidah hukum
perdata internasional.
Adapun kasus yang akan mennjadi acuan ketika membahas mengenai
penggunaan asas hukum perdata internasional (HPI) untuk menentukan Lex
Causae. Kasus yang dimaksud adalah Kartika Ratna Thahir melawan PT
Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara (Pertamina), Suit No: CA 204/ 1992.
Usaha Penulis untuk melakukan penelitian ini dan menemukan jawaban-
jawaban atas pertanyaan-pertanyaan penggunaan asas Hukum Perdata
Internasional berkaitan dengan kasus tersebut sehingga itu juga yang telah
menjadi alasan mengapa Penulis memilih Judul: Penentuan Lex Causae dalam
kasus Kartika Ratna Thahir melawan PT Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara
(Pertamina), Suit No: CA 204/ 1992.
Sedangkan alasan selanjutnya, Penulis memilih judul sebagaimana telah
dikemukakan di atas adalah bahwa “subject matter” asas HPI khususnya dalam
penentuan Lex Causae pada kasus Kartika Ratna Thahir melawan PT
Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara (Pertamina) belum terlalu (kalau
tidak mau dikatakan tidak ada sama sekali) dikaji secara ilmiah dalam skripsi-
skripsi di FH UKSW sehingga dapat dikatakan bahwa skripsi yang pertama
6
membicarakan secara khusus mengenai penggunaan asas HPI untuk menentukan
Lex Causae sehubungan dengan kasus tersebut.
B. Latar Belakang Masalah
Mengingat betapa pentingnya Hukum Perdata Internasional dalam
kerangka penyelesaian sengketa antara para pihak yang berada dalam yurisdiksi
berbeda, maka turut menjadi penting hubungannya dengan lex causae. Pada
hakekatnya Hukum Perdata Internasional merupakan “penunjukan”. Penunjukan
dalam artian kaedah atau norma manakah yang nantinya akan diberlakukan
terhadap suatu konflik atau sengketa yang melibatkan entitas hukum dari teritorial
Negara yang berbeda. Penunjukkan yang dimaksud ini tentu berdasarkan maupun
dilihat dari titik-titik taut primer. Titik-titik taut primer tersebut antara lain 1)
Kewarganegaraan pihak yang terkait dalam perkara; 2) Domisili pihak yang
terkait dalam perkara; 3) Letak/ tempat kedudukan (situs) benda tetap; 4) Bendera
kapal asing sebagai petunjuk “kewarganegaraan” kapal; 5) Tempat suatu
perbuatan dilakukan (locus actus), perkawinan diselenggarakan (locus
celebrationis), atau kontrak dibuat (locus contractus); 6) Tempat di mana akibat
perbuatan timbul (locus solutionis); 7) Pilihan hukum (choice of law); 8) Tempat
di mana perbuatan resmi dilakukan, termasuk tempat di mana gugatan perkara
diajukan (forum)9.
Sehubungan dengan definisi Hukum Perdata Internasional, maka inilah
pengertian menurut para ahli.10
9 S. Gautama, Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia. Bab II tentang Titik-
titik Pertalian, 1987.
10 Hardjowahono, Op.Cit., h. 7-8
7
R. H. Graveson berpendapat bahwa:
“Conflict of laws atau hukum perdata internasional adalah bidang hukum yang
berkenaan dengan perkara-perkara yang di dalamnya mengandung fakta relevan
yang menunjukan perkaitan dengan suatu sistem hukum lain, baik karena aspek
teritorial maupun aspek subjek hukumnya, dan karena itu menimbulkan
pertanyaan tentang penerapan hukum sendiri atau hukum lain (yang biasanya
asing), atau masalah pelaksanaan yurisdiksi badan pengadilan sendiri atau badan
pengadilan asing.”
Sudargo Gautama dalam bukunya Pengantar Hukum Perdata Internasional
Indonesia, mendefinisikan HPI sebagai:
“… keseluruhan peraturan dan keputusan hukum yang menunjukan stelsel hukum
manakah yang berlaku, atau apakah yang merupakan hukum, jika hubungan-
hubungan atau peristiwa-peristiwa antara warga (-warga) Negara pada suatu
waktu tertentu memperlihatkan titik pertalian dengan stetsel-stetsel dan kaidah-
kaidah hukum dari dua atau lebih Negara, yang berbeda dalam lingkungan kuasa,
tempat, pribadi, dan soal-soal.”
Berpijak dari pengertian-pengertian tersebut, maka terdapat beberapa ciri
pokok antara lain sistem hukum maupun forum yang bersangkutan. Artinya,
terdapat pula hukum lain (foreign law) dalam hubungannya dengan HPI. Oleh
karenanya, melihat pluralitas sistem hukum dalam HPI maka dalam sebuah
perkara hakim perlu menentukan lex causae. Penentuan yang dimaksud ini
dilakukan dengan memperhatikan titik-titik taut dan juga kaitannya pada teori
kualifikasi. Selain seperti yang telah diungkapkan mengenai pluralitas sistem
hukum, ada pula pluralitas forum dalam hubungannya dengan HPI.
Dalam HPI dikenal dua jenis titik taut. Pertama ialah titik-titik taut primer
(Primary Points of Contact), yaitu fakta-fakta di dalam sebuah perkara atau
peristiwa hukum, yang menunjukkan peristiwa hukum ini mengandung unsur-
8
unsur asing (foreign elements) dan karena itu peristiwa hukum yang dihadapi
adalah peristiwa HPI dan bukan peristiwa hukum intern/ domestik semata. Kedua
ialah titik-titik taut sekunder (Secondary Points of Contact), yaitu fakta-fakta
dalam perkara HPI yang akan membantu penentuan hukum manakah yang harus
diberlakukan dalam menyelesaikan persoalan HPI yang sedang dihadapi. Titik
taut sekunder seringkali disebut titik taut penentu karena fungsinya akan
menentukan hukum dari tempat manakah yang akan digunakan sebagai the
applicable law dalam penyelesaian suatu perkara11
.
Adapun teori kualifikasi sebagaimana yang telah dibahas sebelumnya,
yakni kualifikasi lex fori, kualifikasi lex causae, kualifikasi secara otonom /
analitik, kualifikasi secara bertahap, dan kualifikasi hukum perdata internasional.
Pada kasus Kartika Tahir terdapat argumen-argumen yang sama-sama
saling membantah dan menanggapi sehubungan dengan penggunaan asas hukum
perdata internasional. Argumen-argumen tersebut juga yang merupakan poin-poin
penting ketika sang hakim membuat pertimbangannya. Dengan justifikasi yang
diberikan oleh para pihak untuk meyakinkan para hakim, maka bisa dilihat dan
dicermati apa yang menjadi alasan dibalik pertimbangan hakim sedemikian. Fakta
dari kasus tersebut kurang lebih adalah sebagai berikut.
Haji Achmad Thahir atau yang lebih dikenal dengan H. Thahir adalah
nama yang cukup populer di tahun 1975-an. Di masa kepresidenan Soeharto, H.
Thahir menjabat sebagai Asisten Umum Direktur Utama Pertamina yang saat
bersamaan Pertamina dipimpin oleh Ibnu Sutowo. Sepeninggal H. Tharir pada
tanggal 23 Juli 1976, menimbulkan kontroversial di dunia hukum, sebab ternyata
11 Ibid., h. 84 & 87
9
H. Tharir memiliki simpanan rekening di Bank Sumitomo Singapura bernilai 153
milyar rupiah.
Kartika yang merupakan istri keempat dari H. Thahir mengakui bahwa
harta simpanan di Bank Sumitomo tersebut adalah harta bersama dengan H.
Thahir (joint account). Namun, sebelum Kartika datang, ternyata Ibrahim Thahir
bersama empat saudaranya yang merupakan anak H. Thahir dari istri pertamanya
sudah lebih dahulu meminta uang tersebut diblokir. Hal ini memang belum cukup
menampakkan adanya kepastian, sebab pada 6 Nopember 1975, lebih dari setahun
seteleh pembukaan rekening, H. Thahir meminta pihak Bank Sumitomo
mentransfer semua rekeningnya ke dalam rekening bersama (and/or) Thahir-
Kartika. Dan pada 11 Nopember 1975, Sumitomo meminta rekonfirmasi perihal
transfer tersebut, hingga pada 23 Juli 1976 H. Thahir meninggal dunia dan tidak
pernah memberikan jawaban atas rekonfirmasi dari Bank Sumitomo.
Belakangan, dua saudara tiri Ibrahim Thahir dari istri kedua ayahnya ikut
bergabung dengan Ibrahim Thahir. Karena ketidakjelasan siapa yang berhak atas
simpanan uang tersebut, Bank Sumitomo melimpahkan permasalahan itu ke
Pengadilan Tinggi Singapura untuk menentukan kepada siapa ia akan memberikan
uang itu apakah kepada Kartika atau anak tiri dari H. Thahir.
Di sisi lain, Pemerintah Indonesia (Pertamina) tidak tinggal diam
menyikapi kasus ini, sebab diduga harta simpanan tersebut adalah hasil korupsi H.
Thahir yang berasal dari Komisi perusahaan-perusahaan kontraktor yang tidak
disetor ke dalam keuangan Pertamina. Perusahaan-perusahaan tersebut yaitu
Siemens, Klockner, dan Ferrosthal. Akhirnya, Indonesia membentuk tim yang
10
diketuai oleh L.B. Moerdani yang beranggotakan Letnan Kolonel Teddy Rusdy,
Soehadibroto (Kejaksaan Agung), Dicky Turner (Pertamina) dan Albert Hasibuan
(pengacara). Tim ini bertugas mengembalikan uang hasil korupsi tersebut kembali
ke negara.
Kasus ini diselesaikan melalui Pengadilan Tinggi Singapura, meskipun
sesungguhnya masing-masing pihak yang bersengketa adalah warga negara
Indonesia, namun objek sengketanya berada di Singapura. Dan Singapura tentu
paling tidak memliki kepentingan atas kasus ini. Penyelesaian kasus ini berkaitan
dengan ada atau tidaknya choice of forum dan choice of law.
Selain itu, penyelesaian sengketa ini juga berkaitan dengan choice of law
atau pilihan hukum. Choice of law menentukan hukum manakah yang harus
diberlakukan untuk mengatur atau menyelesaikan persoalan-persoalan yuridis
yang mengandung unsur asing. Pada kasus ini unsur asing tersebut adalah
Indonesia dari sisi pihak penyimpan dana (Thahir), anak-anak Thahir, dan
Pemerintah Indonesia yaitu dalam hal ini Pertamina.
Hingga pada akhirnya, setelah 16 tahun perkara ini berlangsung, pada 3
Desember 1992, Hakim Pengadilan Tinggi Singapura Lai Kew Chai memutuskan
bahwa Pertamina berhak atas uang deposito H. Thahir yang jumlahnya sekitar 78
juta dollar yang berkembang dari 35 juta dollar di tahun 197612
.
Fakta hukum terkait putusan ini berangkat dari putusan high court
sebelumnya. Tetapi, dalam hal ini Pertamina yang mengajukan gugatan atas
beberapa deposit Tahir. Isunya berangkat dari putusan sebelumnya yang
12 http://arsyadshawir.blogspot.com/2013/03/penyelesaian-kasus-sengketa-simpanan-
h.html
11
menyatakan Pertamina tidak memiliki hak untuk mengklaim deposit yang
dimaksud. Para hakim menemukan bahwa pertamina telah gagal untuk
membuktikan. Oleh karena itu, timbulah setidaknya 4 (empat) isu yaitu 1) apakah
harus ada klaim kepemilikan; 2) apakah deposito adalah hasil suap; 3) hukum
manakah yang mengatur (the governing law); dan 4) apakah klaim pertamina
merupakan hal terkait kepemilikan. Berangkat dari isu-isu tersebut, maka yang
menjadi konsern penulis yaitu pada isu ketiga mengenai hukum mana yang
seharusnya mengatur.
Dengan melihat uraian serta khususnya berkaitan dengan fakta hukum
yang ada, ternyata akhirnya hakim memutuskan hukum (lex causae) yang
digunakan ketika tidak adanya pilihan hukum (choice of law) pada kasus tersebut
adalah hukum Singapura. Oleh karenanya, di balik pertimbangan hakim dalam
penentuan lex causae inilah yang merupakan latar belakang penelitian penulis.
Pada akhirnya akan dikaji penggunaan prinsip atau asas Hukum Perdata
Internasional mengenai pertimbangan penentuan tersebut.
Sedikit mengulas yang akan menjadi penelitian Penulis, pada putusan
tersebut terdapat kaedah yang menjadi pedoman penting dalam menentukan lex
causae. Hal yang dimaksud tersebut ialah Rule 201. Hakim secara jelas
menggunakan doktrin sebagai sumber HPI yang otoritatif di dalam menentukan
lex causae. Rule 201 dalam hal ini sebetulnya bukan merupakan suatu kaedah
peraturan (jika yang dimaksudkan seperti undang-undang), namun merupakan
doktrin yang dimunculkan Dicey & Morris on the Conflict of Laws (12th
Ed.
1993). Dalam Rule 201 mengandung unsur titik taut di mana penentuan lex causae
bisa dilihat dari berbagai kategori, yaitu, bahwa hukum yang pantas diberlakukan
12
adalah hukum yang tepat dari kontrak ketika kewajiban timbul sehubungan
dengan kontrak; berdasarkan objek seperti jika transaksi mengenai sebuah benda
tak bergerak (misalnya: tanah); kemudian, bahwa kewajiban muncul dalam
keadaan lain (in any other circumstances), hukum yang tepat adalah hukum
negara di mana tindakan memperkaya diri itu terjadi.
Nanti bisa dilihat bahwa alasan dibalik mengapa sistem hukum Singapura
yang ditunjuk ialah karena Singapura merupakan negara di mana tindakan
memperkaya terjadi (enrichment occurs). Paling tidak bunyi dari doktrin Rule 201
adalah sebagai berikut.
Rule 201
(1) The obligation to restore the benefit of an enrichment obtained at
another person’s expense is governed by the proper law of the obligation.
(2) The proper law of the obligation is (semble) determined as follows:
(a) If the obligation arises in connection with a contract, its proper law is
the proper law of the contract;
(b) If it arises in connection with a transaction concerning an immovable
(land), its proper law is the law of the country where the immovable is
situated (lex situs);
(c) If it arises in any other circumstances, its proper law is the law of the
country where the enrichment occurs.
Rule 201 poin ketiga secara tegas telah menjelaskan dan memberi petunjuk
bahwa hukum mana yang akan diberlakukan ketika dikaitkan dengan putusan ini.
Dikatakan bahwa hukum yang tepat ialah hukum negara di mana tindakan
memperkaya terjadi atau dilakukan. Indonesia merupakan negara di mana H.Tahir
melakukan tindakan memperkaya diri. Dengan demikian secara singkat dikatakan
bahwa hukum Indonesia yang menjadi lex causae. Namun, apakah hanya masalah
13
hukum negara di mana tindakan memperkaya dilakukan lantas lex causae
langsung ditentukan. Proses dan perjalanan menuju arah itulah yang sebetulnya
lebih difokuskan demi ditemukannya tepatnya kesesuaian dengan kaedah dan
prinsip hukum perdata internasional.
C. Rumusan Masalah
Dari pemaparan di atas, maka Penulis merumuskan permasalahan
mengenai hal tersebut sebagai berikut :
Apa dasar pertimbangan hakim menentukan hukum Singapura sebagai
lex causae-nya?
Teori kualifikasi apakah yang diterapkan oleh hakim dalam perkara
ini?
D. Tujuan Penelitian
Penelitian ini dibuat untuk meneliti beberapa hal, dengan tujuan yang ingin
dicapai adalah mengetahui bagaimana pertimbangan hakim terkait penggunaan
asas Hukum Perdata Internasional untuk menentukan Lex Causae dalam kasus
Kartika Ratna Thahir melawan PT Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara
(Pertamina).
14
E. Metode Penelitian
Metode penelitian dalam tulisan ini adalah metodologi penelitian hukum.
1. Pendekatan yang Digunakan
Pendekatan yang akan digunakan dalam skripsi ini adalah yuridis
normatif, dimaksudkan sebagai penelaah dalam tataran konsepsional
tentang arti dan maksud putusan berkaitan dengan kasus Kartika Ratna
Thahir v PT Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara (Pertamina.
Pendekatan yuridis normatif merupakan penelitian hukum kepustakaan.13
Di katakan pasti karena secara logis hukum, penelitiaan hukum normative
didasarkan pada penelitian yang dilakukan terhadap bahan hukum yang
ada14
.
2. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah penelitian
eksploratif15
. Pada dasarnya penelitian ini dilaksanakan untuk menggali
pertimbangan hakim dalam menentukan Lex Causae pada kasus Kartika
Ratna Thahir v PT Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara
(Pertamina).
.
13
Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
1994, h. 23. 14 Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitihan Hukum Normatif, Malang:
Bayumedia Publishing, 2006, h. 301. 15 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Cet. III, Jakarta: Universitas
Indonesia, 1986, h. 50
15
3. Sumber Data dan Teknik Pengumpulan Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu data sekunder,
berikut akan di uraikan penjelasan mengenai sumber data yang di gunakan
dalam penelitian ini.
Data hukum sekunder terbagi menjadi 2 (dua), yaitu bahan hukum
primer dan bahan hukum sekunder.
Bahan hukum primer, antara lain: Putusan Kartika Ratna Thahir v PT
Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara (Pertamina), Suit No: CA 204/
1992.
Bahan hukum sekunder, antara lain: buku-buku terkait; jurnal; artikel
dan sumber data lain yang relevan.
Teknik pengumpulan data melalui studi kepustakaan.
4. Unit Amatan dan Unit Analisis
Unit amatan dalam penelitian ini adalah putusan Kartika Ratna Thahir v
PT Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara (Pertamina), Suit No: CA 204/
1992. Sedangkan yang menjadi unit analisis dalam penelitian ini adalah
dasar pertimbangan hakim dalam menentukan lex causae pada putusan
Kartika Ratna Thahir v PT Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara
(Pertamina), Suit No: CA 204/ 1992.
top related