bab i pendahuluan a. latar...
Post on 15-Mar-2019
223 Views
Preview:
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Otonomi daerah merupakan keleluasaan daerah dalam mengatur rumah
tangganya sendiri. Otonomi daerah telah memberikan kewenangan begitu besar
kepada daerah dan menuntut daerah untuk mandiri di dalam menyelenggarakan
pemerintahannya sendiri membuat kebanyakan daerah belum mampu dan
belum siap untuk dapat melaksanakan otonomi secara menyeluruh. Hal ini
disebabkan karena selama sistem pemerintahan yang sentralistis telah membuat
pemerintah pusat begitu dominan sehingga menjadikan pemerintah daerah
sangat tergantung pada pemerintah pusat dan akibatnya kemampuan-
kemampuan strategis yang ada dan dimiliki oleh daerah sangat lemah.
Kehadiran otonomi daerah telah menggeser paradigma di dalam sistem
pemerintahan dari sentralististik menjadi desentralisasi. Menurut Rondinelli
dan Cheema (1983) (dalam Dwiyanto 2005, h. 47) desentralisasi merupakan
pelimpahan kewenangan atau pembagian kekuasaan dalam pemerintahan dari
tingkat nasional ke daerah. Bentuk desentralisasi yang tengah digaungkan
adalah governance decentralization yang berarti tidak sekedar melibatkan
negara dalam proses transfer kewenangan namun juga melibatkan masyarakat
dan aktor lainnya. Adapun tujuan dari diberlakukannya otonomi daerah (dalam
Satuhu 2005, h. 2), yaitu :
- meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat;
- mengembangkan kehidupan demokrasi, keadilan, dan pemerataan;
2
- mewujudkan good governance (transparansi, akuntabilitas, responsivitas,
law enforcement, dan adanya kemitraan diantara pemerintah, sektor
privat, dan civil society ).
Strategi untuk dapat menjawab tujuan otonomi daerah yang diterapkan
oleh pemerintah yaitu melalui capacity building. Penguatan kapasitas
kelembagaan (capacity building) menurut Grindle 1997 (dalam Nurhaeni 2009,
h. 335) memfokuskan pada dimensi pengembangan sumber daya manusia,
penguatan organisasi, dan reformasi kelembagaan. Strategi pemerintah daerah
dalam menghadapi otonomi daerah salah satunya dilakukan dengan cara
meningkatkan kapasitas kelembagaan melalui perubahan status desa menjadi
kelurahan (Satuhu 2005, h.6). Dengan diberlakukannya Undang-undang
Nomor 22 Tahun 1999 telah jelas bahwa desa-desa yang berada di wilayah
Kotamadya, Kotamadya Administratif, dan Kota Administratif berubah
statusnya menjadi kelurahan. Begitupun yang tertera pada Perda Kabupaten
Kulon Progo no. 16 Tahun 2008 yang kemudian digantikan dengan Perda no. 9
Tahun 2009 yang menerangkan perubahan status Desa Wates menjadi
kelurahan. Dalam kurun waktu 2005 hingga 2010, Desa Wates telah lolos
pengkajian yang merubah status desa menjadi kelurahan dan merupakan satu-
satunya kelurahan di Kabupaten Kulon Progo hingga tahun 2014 ini. Sebagai
tindak lanjut dari Perda Kabupaten Kulon Progo Nomor 17 Tahun 2008 Pasal 6
ayat (3), Pemerintah Kabupaten Kulon Progo menerbitkan peraturan Bupati
Kulon Progo Nomor 56 Tahun 2010 tentang uraian Tugas Unsur Organisasi
Terendah pada Kelurahan.
3
Berubahnya status desa menjadi kelurahan yang sesuai dengan tujuan
otonomi daerah berupa peningkatan pelayanan perlu dibuktikan dengan melihat
perbedaan pada penyelenggaraan pelayanan publik di desa dan kelurahan.
Perlu diketahui bahwa pelayanan publik adalah hak dasar warga negara yang
harus dipenuhi negara.
Pada umumnya pelayanan kewarganegaraan merupakan hak dasar warga
negara yang harus dipenuhi oleh negara. Salah satu bentuk pelayanan
kewarganegaraan adalah Kartu Tanda Penduduk (KTP). Pelayanan
kewarganegaraan merupakan kebutuhan yang harus dipenuhi oleh negara dan
masyarakat. Pada satu sisi negara membutuhkan pendataan penduduknya
melalui pelayanan Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan disisi yang lain
masyarakat membutuhkan pelayanan Kartu Tanda Penduduk (KTP) untuk
dapat mengakses pelayanan yang diselenggarakan oleh negara. Selain
dipilihnya civil service yang erat dengan pelayanan yang dilakukan pada
pemerintahan desa atau kelurahan, pelayanan pemerintahan desa atau
kelurahan juga berhadapan langsung dengan masyarakat atau dalam pelayanan
publik diposisikan sebagai frontline services provider.
Berangkat dari isu perubahan status desa menjadi kelurahan yang
dikaitkan dengan perkembangan konsep pelayanan publik tersebut, peneliti
akan melihat “Bagaimana implikasi perubahan status desa menjadi
kelurahan terhadap pelayanan Kartu Tanda Penduduk (KTP) di
Kelurahan Wates Kecamatan Wates Kabupaten Kulon Progo?” Dalam
penelitian ini peneliti akan menelisik kesesuaian konsep New Public Services
dengan pelayanan yang diberikan oleh kelurahan.
4
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang sudah dipaparkan sebelumnya, dapat
dirumuskan suatu permasalahan dalam penelitian ini sebagai berikut:
“Bagaimana implikasi perubahan status desa menjadi kelurahan terhadap
pelayanan Kartu Tanda Penduduk (KTP) di Kelurahan Wates Kecamatan
Wates Kabupaten Kulon Progo?”
C. Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui implikasi perubahan status desa menjadi Kelurahan
terhadap pelayanan Kartu Tanda Penduduk (KTP) di Kelurahan Wates
Kecamatan Wates Kabupaten Kulon Progo.
D. Manfaat Penelitian
1. Dengan penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bahwa telah
berubahnya status desa berimplikasi terhadap pelayanan KTP di kelurahan.
2. Dengan penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi keilmuwan
mengenai implikasi perubahan status desa menjadi kelurahan terhadap
pelayanan KTP di Kelurahan.
E. Literature Review
Penelitian terkait perubahan status desa menjadi kelurahan pernah
dilakukan oleh Dewi Kurniasih (2012) yang berjudul Perubahan Status Desa
menjadi kelurahan di Kabupaten Bandung dan Ongky Asep Satuhu (2005)
yang berjudul Dampak Perubahan Status Desa menjadi kelurahan di Kota
Kediri. Temuan dari kedua penelitian tersebut kemudian dibandingkan dengan
penelitian yang akan peneliti lakukan di Kabupaten Kulon Progo dengan judul
Implikasi Perubahan Status Desa Menjadi Kelurahan terhadap Pelayanan Kartu
5
Tanda Penduduk di Kelurahan Wates Kecamatan Wates Kabupaten Kulon
Progo. Berikut perbandingan ketiga penelitian tersebut dengan melihat dari
beberapa aspek.
Tabel 1.1 Perbedaan penelitian sekarang dan sebelumnya
Judul
Penelitian
Aspek
Penelitian
Perubahan Status
Desa Menjadi
Kelurahan di
Kabupaten
Bandung
Dampak
Perubahan Status
Desa Menjadi
Kelurahan di
Kota Kediri
Implikasi
Perubahan
Status Desa
Menjadi
Kelurahan
Terhadap
Pelayanan KTP
di Kelurahan
Wates
Lokus
Penelitian
Lima Desa (Desa
Cingcin, Desa
Sadu, Desa
Sekarwangi, Desa
Soreang, Desa
Parung Serab) di
Kabupaten
Bandung
Desa-desa di
Kabupaten Kediri
Desa Wates
merupakan desa
satu-satunya di
Kabupaten Kulon
Progo yang
berubah statusnya
menjadi
kelurahan.
Tujuan
penelitian
Untuk menguji
kelayakan lima
Desa yang telah
dirubah statusnya
menjadi kelurahan
Untuk mengetahui
dampak- dampak
dari perubahan
status desa menjadi
kelurahan.
Untuk
mengetahui
implikasi
perubahan status
desa menjadi
kelurahan
terhadap
pelayanan KTP di
kelurahan
Latar belakang
perubahan
status desa
Peningkatan
pelayanan publik
pada level
pemerintahan desa
dimana
masyarakatnya
sudah mengalami
perubahan.
Strategi pemerintah
Daerah dalam
merespon otonomi
Daerah melalui
capacity building.
Strategi
pemerintah
Daerah dalam
merespon tujuan
otonomi Daerah
yang salah
satunya tentang
peningkatan
pelayanan publik
6
melalui capacity
building.
Hasil
Penelitian
Tiga desa dianggap
belum layak
menjadi kelurahan
karena sarana dan
prasarana belum
memadai.
Dampak perubahan
status desa meliputi
peningkatan pada
pelayanan dan
sistem
organisasional.
Perubahan
pelayanan KTP
ditingkat
Kelurahan.
Perubahan
pelayanan
Tidak dijelaskan Perbaikan waktu
pelayanan dan cara
mendapatkan
pelayanan serta
menimbulkan pola
perilaku baru yaitu,
menuntut peran
serta dan partisipasi
aktif dari
masyarakat dalam
kegiatan
keorganisasian
maupun
pembangunan
Mengalami
perubahan
pelayanan
kewarganegaraan
(civil service)
khususnya
pelayanan KTP di
kelurahan
Latar belakang
keilmuwan/
perspektif
keilmuwan
Administrasi Administrasi Politik (relasi
antara pengguna
layanan dan
penyelenggara
layanan)
Berdasarkan tabel 1.1 dapat diamati perbedaan penelitian terkait
perubahan status desa yang akan dilakukan di Kulon Progo dengan kedua
penelitian yang telah dilakukan sebelumnya. Menarik untuk dilakukan
penelitian lebih lanjut bagaimana perubahan pelayanan publik yang selama ini
menjadi tujuan dari perubahan status desa menjadi kelurahan. Terlebih
penelitian yang akan dilakukan ini mengambil lokus pada Desa Wates yang
kini telah berubah menjadi kelurahan dan satu-satunya desa yang dirubah
statusnya di Kabupaten Kulon Progo. Kedua penelitian sebelumnya abai dalam
7
melihat perubahan pelayanan Kartu Tanda Penduduk (KTP). Oleh karena itu,
penelitian ini akan melihat peningkatan pelayanan publik dari desa ke
kelurahan dengan melihat implementasi NPS pada Kelurahan Wates.
F. Kerangka Teori
1. Perubahan desa menjadi kelurahan
a. Desa
Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki
kewenangan otonom berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat
yang sudah dimiliki sejak dulu kala dan melekat dalam masyarakat desa
bersangkutan (Nurcholis 2007, h. 37). Istilah desa adalah pembagian
wilayah administratif dibawah kecamatan, yang dipimpin oleh kepala
desa. Pemerintahan desa yang semula merupakan unit pemerintahan
terendah di bawah Camat, berubah menjadi sebuah “self governing
community” yang mempunyai kebebasan untuk mengurus kepentingan
masyarakat setempat dan mempertanggung jawabkannya pada
masyarakat setempat pula. Berbeda dengan masa orde baru dimana setiap
desa di seluruh Indonesia diseragamkan dengan mengacu pada desa yang
berada dipulau Jawa. Padahal kenyataannya setiap desa memiliki
karakteristik budaya, sejarah, dan pengelolaan pemerintah yang berbeda.
Namun ketika lahirnya otonomi desa selepas runtuhnya orde baru maka
kini setiap desa memiliki kewenangan mengurusi pemerintahan desanya
sendiri. Pada masa penjajahan Inggris, belum ada konsep negara yang
dimasukkan kedalam desa. Namun berawal dari masa kolonial hadir
sebutan desa sebagai kesatuan masyarakat hukum (Eko 2005, h.444).
8
Desa sebagai kesatuan masyarakat hukum yang berarti mempunyai
otonomi didasarkan atas adat istiadat setempat maka otonomi desa
disebut otonomi adat. Berbeda dengan pemerintahan Provinsi,
Kabupaten, atau Kota yang mempunyai otonomi formal yang didasarkan
pada undang-undang. Hal ini ditegaskan oleh Nurcholis (2007, h. 234)
dalam bagan gambar 1.1.
Gambar 1.1 Bagan Otonomi Pemerintahan Kabupaten/kota dan Desa
(Nurcholis 2007, h.234)
Berdasarkan bagan diatas telah jelas bahwa desa berhak mengatur
urusan-urusan yang secara adat telah diatur dan diakui oleh undang-
undang. Desa dalam menjalankan tugasnya berdasarkan bagan diatas
tidak lagi dibawah kecamatan, tetapi dibawah Kabupaten. Hal ini telah
ditegaskan dalam UU No. 22/ 1999 dan UU No. 32/ 2004. Kecamatan
yang tidak lagi sebagai suatu wilayah yang membawahi desa, berarti
camat hanyalah staf daerah kabupaten yang mengurusi desa-desa.
Pemerintahan desa terdiri dari Kepala Desa, Sekretaris Desa,
Kepala Urusan, Pelaksana Urusan, Kepala Dusun, dan BPD (Badan
Permusyawaratan Desa). Kepala Desa yang merupakan kepala
pemerintahan desa memiliki tugas dan kewajiban meliputi:
1. Memimpin penyelenggaraan pemerintahan desa
Otonomi
Formal
Otonomi
Adat Desa Desa Desa Desa
Pemerintahan Kabupaten/ Kota
9
2. Membina kehidupan masyarakat desa
3. Membina perekonomian desa
4. Membina Ketentraman dan Ketertiban Masyarakat desa
5. Mendamaikan perselisihan masyarakat di desa
6. Mewakili desanya didalam dan luar pengadilan dan dapat
menunjuk kuasa hukumnya.
Kepala Desa akan dibantu oleh sekretaris desa dalam bidang
pembinaan administrasi dan memberikan pelayanan teknis kepada
seluruh perangkat pemerintahan desa. Jika kepala desa dipilih langsung
oleh masyarakat melalui pemilihan langsung, lain halnya dengan
sekretaris Desa yang merupakan Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang telah
memenuhi syarat sebagai Kepala Desa. Sekretaris Desa adalah satu-
satunya perangkat desa yang berstatus sebagai PNS. Sekretaris Desa ini
akan dibantu oleh Kepala Urusan. Perangkat desa lainnya adalah
Pelaksana Urusan bertugas melaksanakan urusan teknis dilapangan yang
bertanggungjawab kepada Kepala Desa. Sama halnya dengan Pelaksana
Urusan, perangkat desa berikutnya adalah Kepala Dusun yang juga
bertanggungjawab kepada Kepala Desa dalam menjalankan tugas di
wilayah kerjanya. Perangkat pemerintahan desa berikutnya adalah BPD
(Badan Permusyawaratan Desa) yang merupakan bagian dari penyalur
aspirasi masyarakat, anggotanya terdiri dari Ketua RT/RW, pemangku
adat, dan tokoh masyarakat.
Seluruh aparatur pemerintahan desa digaji melalui PADes
(Pendapatan Asli Desa). Adanya otonomi desa membebaskan desa untuk
10
mencari sumber pembiayaan sendiri. Sumber pendapatan desa dikelola
melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes). Anggaran
Pendapatan dan Belanja Desa ditetapkan oleh Kepala Desa bersama BPD
dengan berpedoman pada APBDes yang ditetapkan Bupati. Dengan
demikian pada dasarnya, Kepala Desa bertanggungjawab kepada rakyat
desa. Kepala Desa harus menyampaikan pokok-pokok
pertanggungjawabannya. Namun PADes bukanlah sumber pembiayaan
utama desa, karena dalam perjalanannya PADes memiliki keterbatasan.
ADD (Alokasi Dana Desa) menjadi sumber pembiayaan utama Desa
karena terbatasnya PADes. Untuk itulah dalam PP 72/2005 telah
mengatur sumber pembiayaan bagi desa dalam rangka memberikan
pelayanan pada masyarakat antara lain dari sumber-sumber Pendapatan
Asli Desa, adanya kewajiban bagi Pemerintah dari pusat sampai dengan
Kabupaten/Kota untuk memberikan transfer dana bagi Desa, hibah
ataupun donasi. Salah satu bentuk transfer dana dari pemerintah adalah
Alokasi Dana Desa (ADD) yang telah ditetapkan sebesar 10% dari dana
perimbangan pemerintahan pusat dan daerah yang diterima masing–
masing Pemerintah Kabupaten/Kota. Ketentuan formal yang mengatur
ADD secara lebih jelas sebagai pelaksanaan Peraturan Pemerintah
tersebut ada dalam Permendagri 37/2007 pada Bab IX. Dalam
Permendagri tersebut telah cukup dijelaskan mulai tujuan ADD, tata cara
penghitungan besaran anggaran per desa, mekanisme penyaluran,
penggunaan dana sampai dengan pertanggungjawabannya.
11
b. Kelurahan
Kelurahan menurut Nurcholis (2007, h. 232) adalah wilayah kerja
Lurah sebagai perangkat daerah Kabupaten/ Kota dibawah kecamatan
yang ditetapkan dengan peraturan Daerah. Kelurahan yang dipimpin oleh
seorang Lurah yang diangkat dari Pegawai Negeri Sipil oleh Bupati/
Walikota atas usul Camat. Lurah melalui Camat bertanggungjawab
kepada Bupati/ Walikota. Tugas Lurah meliputi : penerimaan sebagian
pelimpahan kewenangan dari Bupati/ Walikota, pelaksanaan kegiatan
pemerintahan kelurahan, pemberdayaan masyarakat, pelayanan
masyarakat, penyelenggaraan ketentraman dan ketertiban umum, dan
pemeliharaan prasarana dan fasilitas pelayanan umum.
Pelaksanaan pemerintah kelurahan akan terlaksana secara optimal
apabila diikuti dengan pemberian sumber-sumber keuangan yang
besarnya diselaraskan dengan pelaksanaan kegiatan pemerintahan dan
tuntutan kebutuhan masyarakat. Oleh karena itu dana merupakan faktor
penunjang dalam pengembangan kelurahan. Pelaksanaan alokasi dana
kelurahan membutuhkan persepsi dari pimpinan dan masyarakat
kelurahan untuk melihat sejauh mana pelaksanaan dari alokasi dana
kelurahan tersebut mengingat maksud dari alokasi dan kelurahan tersebut
oleh pemerintah kabupaten ialah untuk membiayai program Pemerintah
Kelurahan dalam melaksanakan pemerintahan dan pemberdayaan
masyarakat. Dengan demikian pembiayaan penyelenggaraan kelurahan
menjadi beban Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) sesuai
dengan Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004.
12
c. Perubahan dan perbedaan
Berubahnya status desa menjadi kelurahan sebagai jawaban dari
otonomi daerah yang dilakukan dengan strategi capacity building
(penguatan kapasitas kelembagaan). Menurut Rayanto (2009, h. 87)
penguatan kapasitas kelembagaan dapat dilihat dari pendekatan individu,
sistem, maupun kelembagaan. Dalam kasus perubahan status desa
menjadi kelurahan untuk melihat dampaknya terhadap proses
penyelenggaraan pelayanan publik kita dapat melihat dari pendekatan
individu yakni Sumber Daya Manusia (SDM) yang berada sebagai
perangkat desa dan kelurahan.
Perubahan status desa menjadi kelurahan telah turut merubah SDM
sebagai penyelenggara pelayanan publik dari yang sebelumnya diisi oleh
pegawai bukan PNS (Pegawai Negeri Sipil) kemudian diisi oleh PNS. Ini
dijelaskan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 pada Bab
XI Pasal 103 ayat 3, yakni:
Sekretaris Desa yang ada selama ini yang bukan Pegawai Negeri
Sipil secara bertahap diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil yang
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah tersendiri.
Kemudian Mengacu pada Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999
dalam Pasal 3 ayat 1 disebutkan bahwa:
“Pegawai Negeri berkedudukan sebagai unsur aparatur negara
yang bertugas untuk memberikan pelayanan kepada
masyarakat secara profesional, jujur, adil, dan merata dalam
penyelenggaraan tugas negara, pemerintahan, dan
pembangunan”.
Sebagai penyelenggara pelayanan publik dengan adanya perubahan
status desa menjadi kelurahan telah menjadikan Sekretaris Desa diangkat
13
sebagai PNS, namun tidak untuk Kepala Desa. Kepala Desa hanya
berganti menjadi Lurah seiring dengan status desa yang berubah menjadi
kelurahan. Posisi perangkat desa setelah menjadi kelurahan akan diisi
oleh Pegawai Negeri Sipil (PNS) atas rekomendasi Pemerintah Daerah
Kabupaten.
Perubahan status desa menjadi kelurahan selain merubah aparatur
pemerintahan juga turut merubah sumber pembiayaan. Kekayaan dan
sumber-sumber pendapatan yang menjadi aset desa berubah menjadi aset
pemerintah Kota/Kabupaten. Dengan demikian pembiayaan
penyelenggaraan kelurahan menjadi beban Anggaran Pendapatan Belanja
Daerah (APBD) sesuai dengan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004
dalam Pasal 4:
(1) Penyelenggaraan urusan Pemerintahan Daerah dalam rangka
pelaksanaan Desentralisasi didanai APBD.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tersebut
kelurahan yang didanai oleh APBD salah satu tujuannya untuk
memberikan pelayanan kepada masyarakat. Adanya dana APBD yang
diterima oleh setiap kelurahan akan disesuaikan dengan kebutuhan dan
jumlah penduduk di kelurahan.
2. Pelayanan Publik
a. Definisi pelayanan publik
Pelayanan publik pada umumnya kerap dikaitkan dengan fungsi
pemerintah. Pemerintah sebagai aktor dari negara dituntut mampu
menjalankan fungsi pelayanan publik demi terpenuhinya hak dasar warga
14
negara. Dalam Kamus Umum Besar Indonesia yang dimaksud dengan
pelayanan adalah usaha untuk melayani kebutuhan orang lain, sedangkan
yang dimaksud dengan publik adalah umum. Menurut Moenir (dalam
Anggraeni 2007, h. 13) pelayanan umum tidak terlepas dari segala yang
menyangkut kepentingan orang banyak/ masyarakat. Kepentingan umum
tersebut haruslah tidak bertentangan dengan norma dan aturan yang
bersumber dari kebutuhan (hajat hidup) orang banyak/masyarakat dan
bersifat kolektif maupun individual.
Pelayanan publik dan barang publik adalah satu kesatuan yang
menjadi tuntutan masyarakat terhadap pemerintah. Pelayanan adalah cara
dan barang publik adalah bentuk dari pemberian pelayanan. Menurut
Nurcholis (2007, h. 290) barang publik (public goods) adalah barang-
barang yang dapat digunakan secara bersama oleh semua orang tanpa
seorangpun dikecualikan dalam menggunakannya (non excludable) dan
tidak ada persaingan (non rivalry).
Pelayanan publik berdasarkan Keputusan Menteri PAN Nomor
63/Kep/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan
Pelayanan Publik adalah segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan
oleh penyelenggara publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan
penerima layanan maupun pelaksanakan ketentuan peraturan perundang-
undangan. Telah dijelaskan pula dalam Keputusan Menteri PAN tersebut
bahwa kelompok pelayanan terdiri dari kelompok pelayanan barang,
kelompok pelayan jasa, dan kelompok pelayanan administrasi.
Herdyansyah (dalam Nursalim 2014, h.26) menyebutkan faktor-
15
faktor yang memengaruhi pelayanan publik meliputi 3 unsur penting
yaitu: Unsur pertama, organisasi pemberi (penyelenggara) pelayanan
yaitu Pemerintah/Pemerintah Daerah, unsur kedua, adalah penerima
layanan (pelanggan) yaitu orang atau masyarakat atau organisasi yang
berkepentingan, dan unsur ketiga, adalah kepuasan yang diberikan atau
diterima oleh penerima layanan (pelanggan).
Berdasarkan konsep pelayanan publik yang telah dijelaskan, dalam
penelitian ini pelayanan publik yang dimaksud adalah pelayanan yang
ditujukkan pada kepentingan umum yang tidak ada persaingan
didalamnya. Pelayanan publik akan difokuskan pada Kelompok
Pelayanan Administrasif. Kelompok pelayanan administrasi yang
dimaksud yaitu pelayanan yang menghasilkan dokumen resmi yang
dibutuhkan oleh publik, misalnya : KTP, Akte Kelahiran, IMB, dan
sebagainya. Karena pada dasarnya pelayanan administrasi ini tidak
terlepas dari tugas dan fungsi negara.
b. Jenis pelayanan publik
Menurut Undang-undang Nomor 25 Tahun 2009 dalam (Yable
2012, h.10) pelayanan publik dikelompokkan kedalam tiga jenis
pelayanan, yaitu:
1) Kelompok pelayanan barang
Pelayanan yang menghasilkan berbagai bentuk/jenis barang
yang digunakan oleh publik, seperti: jaringan telepon, penyediaan
tenaga listrik, air bersih dan sebagainya.
16
2) Kelompok pelayanan jasa
Pelayanan yang menghasilkan berbagai bentuk jasa yang
dibutuhkan oleh publik, seperti: pendidikan, penyelenggaraan
transportasi, pos, dan sebagainya.
3) Kelompok pelayanan administrasi
Pelayanan yang menghasilkan berbagai bentuk dokumen resmi,
seperti: Status Kewarganegaraan (KTP), Sertifikat Kompetensi
(SIM), Kepemilikan atau penguasaan terhadap suatu barang dan
sebagainya.
Soedjatmo (dalam Anggraeni 2007, h. 13) menjelaskan bahwa
pelayanan administratif/pelayanan kewarganegaraan (civil service) yang
sebenarnya bukan merupakan bentuk pelayanan murni melainkan lebih
sebagai instrumen pengontrol pemerintah terhadap rakyat. Aini pun
mengemukakan (dalam Anggraeni 2007, h.13) Civil service merupakan
pelayanan yang diberikan kepada masyarakat sebagai warga negara tanpa
pandang kelas dan besarnya imbalan. Misal seseorang yang mengurus
surat jalan harus dilayani sama dengan orang lain yang mempunyai
kedudukan tinggi.
Berdasarkan paparan jenis pelayanan publik diatas, yang menjadi
fokus penelitian adalah jenis pelayanan publik civil service (pelayanan
kewarganegaraan). Dipilihnya civil service mengingat bahwa pelayanan
jenis ini identik dengan pelayanan yang diberikan oleh kelurahan sebagai
front line service provider.
17
G. Definisi Konseptual
Berdasarkan kerangka konseptual tersebut, ditentukan definisi konseptual
sebagai berikut :
1. Perubahan status desa menjadi kelurahan menurut penelitian ini adalah
perubahan sumber daya dan sumber pembiayaan pada kelurahan setelah
berubah status.
2. Pelayanan publik menurut penelitian ini ditujukkan pada jenis pelayanan
kewarganegaraan yakni pelayanan KTP yang mengalami perubahan setelah
desa berubah status menjadi Kelurahan.
H. Definisi Operasional
Definisi operasional merupakan suatu cara atau alat atau petunjuk
bagaimana mengukur suatu variabel melalui suatu indikator-indikator untuk
mempermudah pengukuran. Secara operasional, perubahan status desa menjadi
kelurahan berdampak terhadap pelayanan KTP di Kelurahan, meliputi:
1. Pengelolaan pelayanan KTP oleh pemerintah daerah
2. Pengelolaan pelayanan KTP oleh pemerintah kelurahan
H. Metode Penelitian
1. Jenis penelitian
Berdasarkan permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini maka
penggunaan metode penelitian kualitatif dianggap dapat menjelaskan
permasalahan dalam penelitian ini karena penelitian kualitatif bermaksud
untuk memahami fenomena yang berkaitan dengan implementasi NPS di
kelurahan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa pada
suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai
18
metode alamiah. Ditegaskan dalam Moleong (2001, h.3) oleh Bogdan dan
Taylor yang mendefinisikan metode kualitatif sebagai prosedur penelitian
yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari
orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Selain itu, dalam penelitian ini
dipilih pendekatan studi kasus dengan alasan mencoba untuk mencermati
individu atau sebuah unit secara mendalam. Surakhmad (1982, h. 143)
mengatakan, studi kasus memusatkan penelitian pada suatu kasus secara
intensif dan mendetail. Termasuk di dalam perhatian peneliti itu adalah
segala sesuatu yang mempunyai arti dalam riwayat kasus, misalnya
peristiwa terjadinya, perkembangannya, dan perubahan-perubahannya
dengan perubahan pelayanan Kartu Tanda Penduduk sebagai unit
analisisnya. Penelitian ini akan secara tegas mencari seberapa besar
pengaruh antar variabel yakni variabel implikasi perubahan status desa
menjadi kelurahan dengan variabel pelayanan Kartu Tanda Penduduk di
kelurahan.
2. Informan penelitian
Dalam penelitian ini penentuan informan dimaksudkan untuk mencari
informasi sedalam mungkin. Menurut Satuhu (2007, h. 36) penentuan
informan penelitian bertujuan untuk menentukan obyek yang diteliti. Karena
dengan adanya obyek penelitian, peneliti mendapatkan informasi dari
informan yang menguasai dan mengetahui secara mendalam tentang proses
implementasi dan dampak dari kebijakan (key person). Penentuan informan
dilakukan secara purposive (bertujuan) karena dengan cara ini pengambilan
19
informan bisa berkembang di lapangan. Proses ini berhenti sampai pada titik
dimana informasi yang didapat mencapai kejenuhan.
Dalam penelitian ini yang menjadi informan adalah pemerintah dan
masyarakat. Pada level pemerintah yang akan menjadi informan adalah
pemerintah Kelurahan Wates sebagai penyelenggara layananan. Peneliti
akan mewawancarai Kepala Kelurahan, Sekretaris Kelurahan, dan aparatur
Kelurahan Wates lainnya bila dirasa data belum memadai. Selain pegawai
kelurahan, perlu digali informasi pula mengenai pelayanan dari level
RT/RW. Karena pelayanan dimulai dari pengantar yang dibuat dari RT/RW.
Selain itu juga diperlukan penggalian data pada Dinas Kependudukan dan
Catatan Sipil Kabupaten Kulon Progo sebagai triangulasi data terkait
pelayanan di kelurahan.
Menilik yang dikemukakan oleh Saraswati & Widaningsih (2006, h.
13) bahwa penduduk Indonesia memiliki pengertian semua orang yang
tinggal di wilayah negara Indonesia dan telah menetap sekurang-kurangnya
enam bulan disaat pendataan penduduk. Penduduk Indonesia terdiri atas
warga negara Indonesia pribumi dan warga negara Indonesia keturunan
asing. Dipilihnya informan penduduk yakni warga negara pribumi di
kelurahan Wates karena informan ini dapat memberikan informasi
pelayanan kewarganegaraan di Kelurahan Wates. Seperti yang telah
diketahui bahwa penelitian ini fokus terhadap pelayanan Kartu Tanda
Penduduk (KTP) yang pada umumnya diakses oleh penduduk yang berusia
diatas 17 tahun. Untuk itu informan yang dipilih adalah penduduk pribumi
Kelurahan Wates yang telah berusia 17 tahun ke atas. Kemudian pada level
20
masyarakat yang menjadi informan adalah masyarakat yang tercatat sebagai
warga di Kelurahan Wates. Informan masyarakat ini ditunjukkan kepada
masyarakat yang memiliki jarak tempat tinggal terdekat dan terjauh dari
kantor pemerintahan Kelurahan Wates. Masyarakat yang menjadi informan
pertama adalah masyarakat yang bertempat tinggal paling dekat dengan
kantor pemerintahan Kelurahan Wates dan informan masyarakat kedua
ditunjukkan pada masyarakat yang bertempat terjauh jaraknya dari kantor
pemerintahan Kelurahan Wates. Masyarakat terdekat dengan kantor
pemerintahan Kelurahan Wates adalah RT 17/RW 08 dan RT 57/RW 29.
Masyarakat terjauh dengan kantor pemerintahan Kelurahan Wates adalah
RT 01/RW01 dan RT 02/RW 01. Jumlah informan baik dari level
pemerintah maupun masyarakat belum bisa ditentukan, selama data belum
memadai maka penggalian informasi akan terus dilakukan baik terhadap
informan yang sudah ditentukan maupun mencari informan tambahan.
Berikut daftar informan yang telah diwancarai :
Tabel 1.2 Daftar informan yang diwawancarai
No Nama Profesi/ Jabatan
1. R. Sigit Purnomo S.IP Lurah Wates
2. Slamet Nuryana S.IP Sekretaris Kelurahan Wates
3. Mulyono S.IP Kepala Seksi Pemerintahan Kelurahan
Wates
4. Tri Anggoro Staf Kasi Pemerintahan Kelurahan
Wates
5. Diah Pratiwisari S.IP Kepala Seksi Ekonomi dan
pembangunan Kelurahan Wates
6. Dra. Maryati, S.H. Kasi Perkembangan Pendudukan
Dinas Kependudukan dan Catatan
Sipil Kabupaten Kulon Progo
7. Tri Aryani, S.H. Kepala Bidang Data dan TI Dinas
Kependudukan dan Catatan Sipil
21
Kabupaten Kulon Progo
8. Dra. R.R. Arifiati
Nugrahani
Kepala Seksi Pendaftaran Penduduk,
Dinas Kependudukan dan Catatan
Sipil Kabupaten Kulon Progo
9. Sugiatno S.H Ketua RW 08
10. Jumirin Ketua RT 02
11. Agus Hassanudin Warga RT 17/RW 8 Kelurahan Wates,
pedagang warung kopi.
12. Setun Warga RT 57/RW 29 Kelurahan
Wates, pelukis dan penjaga masjid
13. Teguh Warga RT 01/RW 01 Kelurahan
Wates, supir.
14. Suminah Warga RT 02/RW 01 Kelurahan
Wates, buruh.
15. Jumari Warga yang transmigran dari
Kelurahan Wates ke Kelurahan
Pengasih Kecamatan Pengasih
16 Kamisah Warga RT 05/RW 03Kelurahan
Wates, Petani.
17. Suratih Warga RT 06/ RW 03 Kelurahan
Wates, Guru SMP.
18. Indah Warga RT 03/ RW 02 Kelurahan
Wates, Pedagang.
3. Teknik pengumpulan data
Sumber data yang diperlukan dalam penelitian ini merupakan data
primer dan sekunder. Data primer merupakan kata-kata dan tindakan dari
subjek yang diteliti yang dikumpulkan melalui observasi dan wawancara
mendalam. Observasi dilakukan ketika penulis melakukan pengamatan
perubahan konsep pelayanan publik di Kelurahan Wates. Kemudian untuk
wawancara dilakukan bersamaan dengan observasi di Kelurahan Wates.
Data sekunder diperoleh melalui sumber-sumber tertulis seperti buku-buku,
skripsi, tesis, laporan penelitian, peraturan-peraturan, media cetak, majalah,
jurnal ilmiah, arsip, dokumen pribadi dan dokumen resmi lembaga-lembaga
22
yang terkait dengan penelitian ini serta artikel-artikel dalam internet. Teknik
pengumpulan data dilakukan melalui :
a. Wawancara mendalam
Wawancara mendalam dalam penelitian ini dilakukan untuk
menggali data dan informasi kualitatif langsung dari responden sebagai
sumber data primer. Dengan wawancara secara mendalam ini terjadi
komunikasi langsung antara peneliti dengan responden dan masing-
masing pihak mengemukakan pendapatnya sehingga diperoleh data dan
informasi langsung dari responden. Dengan demikian peneliti sebagai
instrumen dituntut bagaimana membuat responden lebih terbuka dan
leluasa dalam memberi informasi dan data, untuk mengemukakan
pengetahuan dan pengalamannya terutama yang berkaitan dengan
informasi sebagai jawaban terhadap permasalahan penelitian sehingga
terjadi semacam dikusi, obrolan santai, spontanitas (alamiah) dengan
subjek penelitian sebagai pemecah masalah dan peneliti sebagai
pemancing timbulnya permasalahan agar muncul wacana yang detail.
Wawancara dilakukan pada pihak pemerintah dan masyarakat.
Pada pihak pemerintah selaku backline service provider yang akan
diwawancarai adalah Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil. Kemudian
untuk pihak pemerintah selaku frontline service provider yang akan
diwawancarai adalah Kepala Kelurahan Wates, Sekretaris Kelurahan, dan
aparatur pemerintahan kelurahan lainnya. Kemudian pada responden
masyarakat lokal, yang akan diwawancarai adalah masyarakat yang
tercatat sebagai penduduk di Kelurahan Wates atau warga negara pribumi
di Kelurahan Wates.
23
Usai melakukan wawancara mendalam, guna melakukan
kesesuaian dengan fakta di lapangan maka peneliti melakukan observasi.
Observasi merupakan metode pengumpulan data dengan cara melakukan
pengamatan langsung untuk mengumpulkan data, mencatat segala
informasi, serta hal-hal yang relevan dengan permasalahan yang diangkat
dalam penelitian. Observasi dilakukan dengan peninjauan langsung
terhadap pelayanan Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang berlangsung di
Kelurahan Wates.
b. Sumber data sekunder
Pencarian data Sekunder dilakukan untuk mengumpulkan data dan
informasi yang berupa tulisan atau artikel, data statistik dan bahan-bahan
pustaka yang membahas permasalahan yang sama dengan peneliti. Data-
data yang diperoleh dari pengumpulan dokumentasi kemudian dijadikan
referensi yang menunjang proses penelitian. Sumber data sekunder dapat
peneliti peroleh dari laporan evaluasi pelayanan Kewarganegaraan
berupa pelayanan Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang diberikan sejak
Wates masih berstatus desa hingga kini berubah status menjadi
kelurahan. Sumber data lain juga dapat diperoleh dari penelitain yang
sudah dilakukan terkait perubahan status Desa Wates menjadi Kelurahan
Wates.
4. Teknik analisis data
Menurut Moleong ( 20001, h. 190) proses analisa data dimulai dengan
menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber, yaitu dari hasil
wawancara, pengamatan yang sudah dituliskan dalam catatan lapangan,
24
dokumen pibadi, dokumen resmi, gambar, foto dan sebagainya. Data dan
informasi yang diperoleh dianalisis dengan langkah-langkah sebagai
berikut:
a. Data yang dikumpulkan dari hasil wawancara, observasi yang sudah
ditulis dalam catatan lapangan langsung dilakukan analisa. Untuk
selanjutnya dilakukan reduksi data dengan jalan membuat abstrakasi
yang berupa rangkuman inti.
b. Data yang dikumpulkan diseleksi dan dilakukan interpretasi terhadap
data tersebut. Data kemudian disusun dalam satuan-satuan, yaitu
dimasukan kedalam variabel-variabel penelitian yang terdiri dari
implikasi perubahan status desa menjadi kelurahan dan pelayanan Kartu
Tanda Penduduk (KTP). Untuk memudahkan dalam penyusunan data ke
dalam variabel-variabel maka dilakukan kodifikasi atas data yang
terkumpul seperti penandaan jenis responden, penandaan lokasi, dan
penandaan cara pengumpulan data.
c. Tahap terakhir yaitu mengadakan pemeriksaan keabsahan data yang
kemudian dilanjutkan dengan tahap penafsiran data dalam mengolah
hasil sementara menjadi teori substantif dengan menggunakan metode
triangulasi. Menurut Satuhu (2007, h.41) triangulasi diperlukan untuk
keperluan pengecekan atau pembanding terhadap data. Cara pengecekan
yang digunakan adalah menggunakan uraian pokok pertanyaan yang
sama dengan sumber (responden) yang berbeda. Responden yang
dimaksud berbeda dengan pertanyaan yang sama dalam penelitian ini
seperti Kepala Kecamatan Wates yang diharapkan dapat memberikan
25
jawaban baik lisan maupun tertulis yang diharapkan dapat menunjang
validasi data.
I. Sistematika Penulisan
Skripsi ini disusun atas lima Bab, Bab I berupa Pendahuluan yang
berisi latar belakang masalah yaitu meliputi alasan mengapa topik dipilih,
rumusan masalah dan pertanyaan penelitian. Berdasarkan kerangka teori diatas,
pada Bab II yang akan menjadi pembahasan adalah Profil Pemerintahan
Desa dan Pemerintahan Kelurahan Wates. Didalam pembahasan ini penulis
akan memaparkan gambaran wilayah, kependudukan, sosial ekonomi, dan
struktur pemerintahan Desa Wates dan Pemerintahan Kelurahan Wates.
Kemudian sebagai keberlanjutan dari pembahasan terkait perubahan status,
pada Bab III penulis akan membahas Perubahan Status Desa Wates
Menjadi Kelurahan Wates. Didalam pembahasan tersebut penulis akan
menjelaskan proses perubahan status Desa Wates menjadi Kelurahan Wates.
Kemudian masuk pada inti pembahasan yakni Bab IV yang membahas
Implikasi Perubahan Status Desa Menjadi Kelurahan Terhadap
Pelayanan Kartu Tanda Penduduk. Didalam pembahasan ini yang akan
dijelaskan mengenai layanan KTP yang dikelola oleh pemerintah daerah dan
Kelurahan. Sampailah pada akhir penulisan yakni Bab V Penutup. Pada bab
ini berisi kesimpulan refleksi hasil penelitian terhadap teori pelayanan publik.
top related