bab i pendahuluan 1.1 latar belakang - sinta.unud.ac.id i .pdf · berbangsa dan bernegara harus...
Post on 26-Mar-2019
216 Views
Preview:
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Negara Indonesia adalah Negara hukum, pernyataan tersebut diatur dalam
Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 1 ayat (3).
Dengan pernyataan tersebut maka seluruh sendi kehidupan dalam bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara harus didasarkan pada aturan atau norma-norma hukum
yang berlaku di Indonesia.
Menurut Mochtar Kusumaatmadja, Negara hukum memiliki pengertian
Negara yang berdasarkan hukum, dimana kekuasaan tunduk pada hukum dan
semua orang sama di hadapan hukum.1 Prinsip Negara hukum menjamin
kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum yang berisikan kebenaran dan
keadilan, sehingga kepentingan masyarakat terlindungi hukum harus
dilaksanakan. Dalam pelaksanaannya hukum dapat berjalan normal dan efektif di
masyarakat, tetapi dapat juga terjadi pelanggaran hukum.
Dewasa ini masyarakat sudah mulai banyak yang memahami untuk
menuangkan isi kesepakatan dalam suatu perjanjian tertulis dan tidak lagi
menggunakan perjanjian lisan. Hal ini disebabkan karena kebutuhan masyarakat
akan adanya kepastian hukum untuk melindungi kepentingan masing-masing
pihak yang membuat kesepakatan atau perjanjian.
1Mochtar Kusumaatmadja, 1995, Pemantap Cita Hukum dan Asas-asas Hukum Nasional
Dimasa Kini dan Masa Yang Akan Datang, Makalah, Jakarta, hlm.1.
2
Perjanjian tertulis dapat dijadikan sebagai dasar untuk pembuktian kelak
apabila terjadinya wanprestasi yang timbul apabila salah satu pihak tidak
terpenuhi hak karena pihak lainnya tidak memenuhi kewajibannya. Oleh karena
itu, dibutuhkannya hukum yang mengatur mengenai perjanjian sehingga dapat
memberikan keadilan kepada para pihak. Kecermatan dalam membuat perjanjian
dengan berpagarkan ketentuan hukum, menjamin pelaksanaan bisnis relatif aman,
tentu saja dari sisi hukumnya. Sekurang-kurangnya, dalam bisnis itu, kehadiran
hukum dapat melindungi hubungan bisnis di antara pelaku bisnis, dan hukum
tidak menjadi suatu hal yang menakutkan bagi hubungan bisnis.2
Perjanjian dalam hukum kita di kenal juga dengan istilah kontrak, yang
mana merupakan peristilahan terjemahan dari kata overeenkomst (Belanda) atau
contract (Inggris).3 Baik perjanjian maupun kontrak mengandung pengertian yang
sama, yaitu perbuatan hukum untuk saling mengikatkan para pihak ke dalam suatu
hubungan perikatan. Namun tidak semua perjanjian tertulis harus diberikan judul
kontrak, tetapi tergantung kepada kesepakatan para pihak, sifat, materi perjanjian
dan kelaziman dalam menggunakan istilah tersebut.4
Dewasa ini masyarakat sudah banyak yang mengerti pentingnya peran
Notaris untuk memperoleh kepastian hukum tersebut. Maka dari itu masyarakat
mulai membuat perjanjian di hadapan pejabat umum yang dalam hal ini adalah
Notaris. Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
2I Ketut Artadi dan I Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, 2014, Implementasi Ketentuan-
ketentuan Hukum Perjanjian kedalam Perancangan Kontrak, Udayana University Press, Bali,
hlm.27.
3Sutan Remy Sjahdeini, 1993, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang Bagi
Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Institut Bankir Indonesia, Jakarta,
hlm.160.
4I Ketut Artadi dan I Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, loc.cit.
3
2 Tahun 2014 Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang
Jabatan Notaris (selanjutnya disebut UUJN-P) menyatakan bahwa “Notaris
adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik dan memiliki
kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini atau
berdasarkan undang-undang lainnya”.
Kehadiran jabatan Notaris di kehendaki oleh Negara untuk membantu dan
melayani masyarakat yang telah melimpahkan wewenangnya kepada Notaris yang
membutuhkan alat bukti tertulis yang bersifat autentik mengenai keadaan,
peristiwa atau keadaan hukum.5 Notaris selaku pejabat yang berwenang membuat
akta autentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan penetapan yang di
haruskan oleh peraturan perundang-undangan. Akta notariil merupakan alat bukti
tertulis yang dibuat oleh pejabat Notaris yang merupakan alat bukti autentik.
Dalam pasal 1 angka 7 UUJN-P disebutkan bahwa “Akta Notaris yang selanjutnya
disebut Akta adalah akta autentik yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris
menurut bentuk dan tata cara yang di tetapkan oleh Undang-Undang”.
Penyelundupan hukum dengan akta notariil muncul sebagai suatu konsep
baru yang dilahirkan oleh individu tertentu untuk mencapai keinginannya yang
sesungguhnya telah dilarang oleh peraturan perundang-undangan. Perlu menjadi
perhatian Notaris untuk mengkaji apakah yang diminta pihak klien tidak
melanggar/bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, atau bahkan telah
terjadi praktek penyelundupan hukum.6
5Habib Adjie, 2013, Sanksi Perdata dan Administratif Terhadap Notaris sebagai Pejabat
Publik, PT Refika Aditama, Bandung, hlm.32.
6A.A.Andi Prijatno, 2010, Pengetahuan Praktis Tentang Apa Dan Siapa Notaris Di Indonesia,
Putra Media Nusantara, Surabaya, hlm.3-4.
4
Perkembangan hukum saat ini, mulai ditemui upaya-upaya untuk melakukan
penyelundupan hukum yang melibatkan Notaris. Salah satu tindakan yang
melahirkan konsep baru sebagai upaya penyelundupan hukum adalah pemalsuan
tandatangan oleh para pihak dalam pembuatan akta notariil. Pernah terjadi kasus
penyelundupan hukum yang melibatkan seorang Notaris, pada tanggal 11 Maret
2014 kasus ini bermula dari balik nama sertifikat tanah milik Made Sarja dengan
lokasi tanah terletak di kawasan Tanah Lot, Kabupaten Tabanan. Dalam kasus ini
melibatkan seorang Notaris I Ketut Nuridja, SH.,M.Kn beserta Nyoman Adi
Wiryatama dan Gede Made Dedy Pratama dalam kasus dugaan pemalsuan tanda
tangan akta notariil, yakni para pihak dalam hal ini yaitu Adi Wiryatama dan
Gede Made Dedy Pratama tidak pernah bertemu secara langsung dengan Made
Sarja yang dalam kasus ini menjadi pihak pelapor.7
Maka dari itu penelitian ini menganalisis mengenai aspek
pertanggungjawaban Notaris secara pidana yang tidak diatur dalam UUJN-P.
Akan tetapi sanksi pidana dapat dikenakan kepada Notaris apabila, Notaris
terbukti baik dalam jabatannya maupun sebagai subyek hukum melakukan tindak
pidana atau turut serta melakukan pemalsuan tanda tangan dalam pembuatan akta
notariil. Pasal 263 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana mengatur tentang
pemalsuan surat , yakni:
(1) Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat
menimbulkan suatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang
diperuntukkan sebagai bukti dari pada sesuatu hal dengan maksud untuk
memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah
isinya benar dan tidak dipalsu, diancam jika pemakaian tersebut dapat
7Http://m.news.viva.co.id/news/read/562966, diakses tanggal 2 Januari 2016, pkl. 10.30 WITA.
5
menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara
paling lama 6 tahun.
(2) Diancam dengan pidana yang sama barang siapa dengan sengaja memakai
surat palsu atau yang dipalsukan seolah-olah sejati, jika pemakaian surat
itu dapat menimbulkan kerugian.
Dilihat dari ketentuan Pasal 263 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(selanjutnya disebut KUHP) jika Notaris terbukti melakukan pemalsuan dapat
dikenakan sanksi pidana sedangkan sanksi pidana tersebut tidak diatur dalam
UUJN-P sehingga dapat dikatakan penelitian ini mengkaji mengenai norma
kosong. Kemudian hal tersebut akan dibahas dalam penelitian ini dengan judul
“Pemalsuan Tandatangan Akta Oleh Para Pihak Dalam Pembuatan Akta Notariil.”
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dari latar belakang yang dikemukakan diatas, maka
dapat ditarik suatu rumusan masalah sebagai berikut;
1. Apakah akibat hukum terhadap akta notariil yang tandatangannya
dipalsukan oleh para pihak ?
2. Bagaimana pertanggungjawaban Notaris terhadap pemalsuan tandatangan
oleh para pihak dalam pembuatan akta notariil?
1.3 Ruang Lingkup Masalah
Dalam mendekatkan permasalahan untuk menghindari pembahasan
menyimpang dari pokok permasalahan, diberikan batasan-batasan mengenai ruang
lingkup permasalahan yang akan dibahas. Adapun ruang lingkup permasalahan
6
yang akan dibahas, yaitu mencakup uraian-uraian dari tinjauan umum dalam hal
pemalsuan tandatangan akta oleh para pihak dalam pembuatan akta notariil.
1.4 Orisinalitas
Penelitian ini merupakan penelitian yang masih original atau asli karena
belum ada penelitian secara khusus menulis dengan judul ini, meskipun demikian
ada beberapa tulisan yang mirip tetapi tidak sama secara substansial. Adapun
judul beserta rumusan masalahpenelitian lain yang tidak sama dengan penelitian
ini :
a. Tesis berjudul Tanggung Jawab Notaris Terhadap Akta Otentik Yang Dibuat
Dan Berindikasi Perbuatan Pidana, yang disusun pada tahun 2009 oleh
Agustining mahasiswa Program Studi Kenotariatan Universitas Sumatera Utara
Medan. Rumusan masalah yang terdapat dalam penelitian ini adalah :
1. Faktor apakah yang menyebabkan Notaris diperlukan kehadirannya dalam
pemeriksaan perkara pidana?
2. Bagaimana tanggung jawab Notaris sebagai pejabat umum terhadap akta
otentik yang dibuat dan berindikasi perbuatan pidana?
3. Bagaimana fungsi dan peranan Majelis Pengawasan Daerah terhadap
pemanggilan Notaris pada pemeriksaan perkara pidana?
Tesis ini membahas tentang keterlibatan Notaris dalam perkara pidana dan
diperlukannya kehadiran Notaris dalam pemeriksaan perkara pidana yang
melibatkan kliennya.
7
b. Skripsi berjudul Pertanggungjawaban Notaris Terhadap Akta Otentik Yang
Dibuat Di Hadapannya (Studi Terhadap Notaris Di Kota Semarang), yang
disusun pada tahun 2015 oleh Ida Nurkasanah mahasiswa Program Studi Ilmu
Hukum Universitas Negeri Semarang. Rumusan yang terdapat dalam penelitian
ini adalah :
1. Bagaimana pertanggungjawaban notaris terhadap akta otentik yang dibuat di
hadapannya ?
2. Bagaimana akibat hukum terhadap akta otentik yang dibuat di hadapan
notaris jika memuat keterangan tidak benar ?
Penelitian ini lebih ditekankan untuk mengkaji dan meneliti seberapa jauh
dan bagaimana tanggung jawab profesi Notaris dalam mempertanggungjawabkan
akta otentik yang dibuat di hadapan Notaris, serta bagaimana akibat hukum jika
dalam akta otentik yang dibuat di hadapan Notaris suatu saat terjadi kekeliruan
yang menimbulkan kerugian secara perdata bagi salah satu atau lebih para pihak.
1.5 Tujuan Penulisan
Bertitik tolak dari latar belakang masalah dan rumusan masalah diatas maka
tujuan dari penulisan penelitian ini dapat dibagi menjadi dua, yaitu tujuan umum
dan tujuan khusus. Adapun kedua tujuan tersebut adalah sebagai berikut;
1.5.1 Tujuan Umum
Adapun tujuan umum dari penulisan penelitian ini adalah untuk dapat
memahami tentang kebijakan aspek hukum di Indonesia mengenai apakah akibat
hukum terhadap akta notariil yang tandatangannya dipalsukan oleh para pihak.
8
Selain itu, bertujuan juga untuk mengetahui bagaimana pertanggungjawaban
notaris terhadap pemalsuan tandatangan oleh para pihak dalam pembuatan akta
notariil.
1.5.2 Tujuan khusus
Sedangkan tujuan khusus yang ingin dicapai adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui dan mendeskripsikan secara lebih mendalam tentang akibat
hukum terhadap akta notariil yang tandatangannya dipalsukan oleh para pihak ;
2. Untuk mengetahui dan mendeskripsikan secara lebih mendalam tentang
pertanggungjawaban Notaris terhadap pemalsuan tandatangan oleh para pihak
dalam pembuatan akta notariil.
1.6 Manfaat Penulisan
1.6.1 Manfaat teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan informasi
atau kontribusi dalam aspek teoritis (keilmuan) seiring dengan berkembangnya
masyarakat serta permasalahan-permasalahan yang ada di masyarakat. Sehingga,
melalui penelitaian ini dapat dilihat apakah akibat hukum terhadap akta notariil
yang tandatangannya dipalsukan oleh para pihak serta bagaimana
pertanggungjawaban Notaris terhadap pemalsuan tandatangan oleh para pihak
dalam pembuatan akta notariil.
1.6.2 Manfaat praktis
Hasil penelitian ini secara praktis diharapkan dapat memberikan sumbangan
penelitian sebagai bahan acuan, pertimbangan, perbandingan, dan penyempurnaan
9
bagi penelitian selanjutnya dalam rangka meningkatkan perhatian dikalangan
masyarakat dan pemerintah dalam menyikapi pelanggaran-pelanggaran yang
terjadi terhadap hukum yang berlaku di Indonesia. Dalam hal ini juga diharapkan
dapat menjadi masukan dalam pengambilan kebijakan peraturan perundang
undangan dan pembaharuan terhadap peraturan-peraturan yang terkait.
1.7 Landasan Teoritis
Landasan Teoritis merupakan dukungan teori, konsep, asas dan pendapat-
pendapat hukum dalam hal membangun atau memperkuat kebenaran dari
permasalahan yang dianalisis.8 Untuk membahas permasalahan yang telah
dipaparkan penelitian ini secara lebih mendalam, perlu kiranya dikemukakan
teori, konsep, asas dan pendapat-pendapat hukum terhadap permasalahan tersebut
yang didasarkan pada literatur – literatur yang dimungkinkan untuk menunjang
pembahasan permasalahan yang ada. Dengan adanya teori, konsep, asas dan
pendapat-pendapat hukum yang menunjang, diharapkan dapat memperkuat,
memperjelas, dan mendukung untuk menyelesaikan permasalahan yang
dikemukakan dalam penelitian ini.
Adapun teori, konsep, asas dan pendapat-pendapat hukum yang
dipergunakan dalam penelitian ini meliputi :
1.7.1 Asas kebebasan berkontrak
Asas kebebasan berkontrak atau yang sering juga disebut sebagai sistem
terbuka adalah adanya kebebasan seluas-luasnya yang oleh undang-undang
8Bahder Johan Nasution, 2008, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Mandar Maju Bandung,
hlm.141.
10
diberikan kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian tentang apa saja,
asalkan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kepatutan dan
ketertiban umum. Kebebasan berkontrak begitu esensial, baik bagi individu dan
kepentingan umum masyarakat yang menuntut dan menetapkan suatu pembatasan
kebebasan untuk mengadakan sebuah perjanjian.9
Bilamana antara pihak telah mengadakan sebuah perjanjian maka diakui
bahwa ada kebebasan kehendak di antara para pihak tersebut. Hal ini berlaku juga
dalam pembuatan perjanjian di bawah tangan, kebebasan berkontrak adalah salah
satu asas yang sangat penting di dalam hukum perjanjian. Kebebasan ini adalah
perwujudan dari kehendak bebas, pancaran hak asasi.
Asas kebebasan berkontrak menurut hukum perjanjian Indonesia meliputi
ruang lingkup sebagai berikut:10
1. Kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian.
2. Kebebasan untuk memilih pihak dengan siapa ia ingin membuat
perjanjian.
3. Kebebasan untuk menentukan atau memilih causa dari perjanjian yang
akan dibuatnya.
4. Kebebasan untuk menentukan objek perjanjian.
5. Kebebasan untuk menentukan bentuk suatu perjanjian.
6. Kebebasan untuk menerima atau menyimpangi ketentuan undangundang
yang bersifat opsional.
9Johanes Ibrahim dan Lindawaty Sewu, 2004, Hukum Bisnis dalam Persepsi Manusia Modern,
PT Refika Aditama, Bandung hlm.99.
10
Sutan Remy Sjandeini, 1993, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Hukum yang
Seimbang Bagi ParaPihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Cetakan Pertama, Institut
Bahkir Indonesia, Jakarta, hlm.47.
11
Asas ini tercermin jelas dalam Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata (selanjutnya disebut KUH Perdata) yang menyatakan bahwa “semua
persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-
undang bagi mereka yang membuatnya”. Sekalipun asas kebebasan berkontrak
yang diakui oleh KUH Perdata pada hakikatnya banyak dibatasi oleh KUH
Perdata itu sendiri, tetapi daya kerjanya masih sangat longgar. Kelonggaran ini
telah menimbulkan ketimpangan-ketimpangan dan ketidakadilan bila para pihak
yang membuat kontrak tidak sama kuat.11
1.7.2 Asas konsensualitas
Hal utama yang harus di tonjolkan dalam perjanjian ialah bahwa pembuatan
perjanjian harus berpegangan pada asas konsensualitas, yang dimana asas ini
merupakan syarat mutlak bagi hukum perjanjian modern dan bagi terciptanya
kepastian hukum.12
Pengertian asas konsensualitas yaitu untuk melahirkan
perjanjian adalah cukup dengan dicapainya kata sepakat mengenai hal-hal pokok
dari perjanjian tersebut dan bahwa perjanjian itu sudah dilahirkan pada saat atau
detik tercapainya sebuah kesepakatan. Dengan kata lain, perjanjian itu sudah sah
apabila hal-hal yang pokok sudah disepakati dan tidak diperlukan suatu
formalitas.13
Terjadinya sebuah perjanjian pada umumnya peresuaian kehendak saja
sudah cukup. Namun hukum harus menyelenggarakan ketertiban dan menegakan
keadilan dalam masyarakat, sehingga diperlukannya asas konsensualitas demi
11Ibid.
12
R. Subekti, 1992, Aspek-Aspek Hukum Perikatan Nasional, Citra Aditya Bakti, Bandung,
hlm.5.
13
Johanes Ibrahim dan Lindawaty Sewu, op.cit, hlm.95.
12
tercapainya kepastian hukum. Asas Konsensualitas dapat disimpulkan melalui
Pasal 1320 KUH Perdata bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian adalah adanya
kesepakatan kedua belah pihak dan Semua persetujuan yang dibuat secara sah
sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya. Dengan adanya kesepakatan oleh para pihak, jelas melahirkan hak
dan kewajiban bagi mereka atau biasa juga disebut bahwa kontrak tersebut telah
bersifat obligatoir yakni melahirkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi
kontrak tersebut.
1.7.3 Asas kepastian hukum
Asas kepastian hukum merupakan salah satu asas terpenting dalam negara
hukum. Menurut Radbruch hukum memiliki tujuan yang berorientasi pada hal-hal
berikut:14
1. kepastian hukum;
2. keadilan;
3. daya guna atau kemanfaatan.
Asas kepastian hukum ini memberikan landasan tingkah laku individu dan
landasan perbuatan yang dapat dilakukan oleh negara terhadap individu.
Kepastian hukum bukan hanya berupa pasal-pasal dalam undang-undang
melainkan juga adanya konsistensi dalam putusan hakim antara putusan hakim
yang satu dengan putusan hakim lainnya untuk kasus yang serupa yang telah di
putuskan.15
14O. Notohamidjojo, 2011, Soal-Soal Pokok Filsafat Hukum, Griya Media, Salatiga, hlm.33.
15
Peter Mahmud Marzuki, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Pranada Media Group,
Jakarta, hlm.158.
13
Kepastian hukum secara normatif adalah ketika suatu peraturan dibuat dan
diundangkan secara pasti karena dapat memberikan pengaturan secara jelas dan
logis. Notaris dalam menjalankan tugas jabatanya wajib berpedoman secara
normatif kepada aturan hukum yang berkaitan dengan segala tindakan yang akan
diambil untuk kemudian dituangkan oleh akta. Bertindak berdasarkan aturan
hukum yang berlaku akan memberikan kepastian hukum kepada para pihak.16
Asas ini dapat dipergunakan untuk dapat mengatasi persoalan dalam hal
bentuk pertanggungjawaban notaris terhadap proses pembuatan akta notariil yang
data dan informasinya dipalsukan oleh para pihak. Realitanya banyak
permasalahan seperti ini timbul di masyarakat dan mengikutsertakan Notaris
tetapi di dalam pengaturannya terutama di UUJN-P sendiri tidak diatur mengenai
tanggung jawab pidana seorang notaris dari akta yang telah dibuatnya berdasarkan
tandatangan yang dipalsukan oleh para pihak. Dengan asas kepastian hukum ini
diharapkan dapat memberikan suatu bentuk kepastian bagi notaris apabila
berhadapan dengan kasus seperti ini
1.7.4 Pengertian, kewenangan dan kewajiban Notaris
Pengertian Notaris menurut Pasal 1 angka 1 UUJN-P jelas disebutkan
bahwa “Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta
autentik dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang ini atau berdasarkan undang-undang lainnya”, artinya Notaris
adalah orang yang diangkat untuk bertugas menjalankan amanat jabatan-
16Habib Adjie, op.cit, hlm.85.
14
jabatannya dengan maksud dan tujuan melayani kepentingan umum atau
masyarakat.
Pelaksanaan wewenang, para Notaris wajib untuk mengetahui sampai di
mana batas kewenangannya. Selain wewenang yang mereka miliki, notaris juga
memilki kewajiban yang harus mereka laksanakan dalam menjalankan tugas
jabatannya serta larangan yang tidak boleh dilakukan yang apabila ketiga hal ini
dilanggar maka Notaris yang bersangkutan akan memperoleh sanksi sesuai
dengan ketentuan yang telah diatur dalam UUJN-P.
Kewenangan Notaris tersebut diatur dalam Pasal 15 ayat (1) sampai dengan
ayat (3) UUJN-P, yang dapat dibagi menjadi tiga yaitu kewenangan umum
Notaris, kewenangan khusus Notaris dan kewenangan Notaris yang akan
ditentukan kemudian.17
Kewenangan umum Notaris diatur dalam Pasal 15 ayat
(1), yakni:
“Notaris berwenang membuat Akta autentik mengenai semua perbuatan,
perjanjian, dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-
undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk
dinyatakan dalam Akta autentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan
Akta, menyimpan Akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan Akta,
semuanya itu sepanjang pembuatan Akta itu tidak juga ditugaskan atau
dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lainyang ditetapkan oleh
undang-undang.”
Kewenangan khusus Notaris diatur dalam Pasal 15 ayat (2), yakni:
“Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Notaris
berwenang pula:
a. mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di
bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;
b. membukukan surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku
khusus;
17Hartanti Sulihandari dan Nisya Rifiani, 2013, Prinsip-prinsip Dasar Profesi Notaris, Dunia
Cerdas, Jakarta, hlm.94.
15
c. membuat kopi dari asli surat di bawah tangan berupa salinan yang
memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang
bersangkutan;
d. melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya;
e. memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan Akta;
f. membuat Akta yang berkaitan dengan pertanahan; atau
g. membuat Akta risalah lelang.”
Kewenangan Notaris yang akan ditentukan kemudian diatur dalam Pasal 15
ayat (3) bahwa “Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2), Notaris mempunyai kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundang-
undangan.” Kewenangan Notaris yang akan ditentukan kemudian tersebut adalah
peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh lembaga negara (Pemerintah
bersama-sama Dewan Perwakilan Rakyat) atau Pejabat Negara yang berwenang
dan mengikat secara umum. Dengan batasan seperti ini, maka peraturan
perundang-undangan yang dimaksud harus dalam bentuk undang-undang dan
bukan di bawah undang-undang.
Berikutnya mengenai kewajiban Notaris ini diatur secara lengkap dalam
Pasal 16 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) UUJN-P yang menegaskan bahwa :
(1) Dalam menjalankan jabatannya, Notaris wajib:
a. Bertindak amanah, jujur, saksama, mandiri, tidak berpihak, dan
menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum;
b. Membuat Akta dalam bentuk Minuta Akta dan menyimpannya sebagai
bagian dari Protokol Notaris;
c. Melekatkan surat dan dokumen serta sidik jari penghadap pada Minuta
Akta;
d. Mengeluarkan Grosse Akta, Salinan Akta, atau Kutipan Akta
berdasarkan Minuta Akta;
e. Memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan dalam Undang-
Undang ini, kecuali ada alasan untuk menolaknya;
f. Merahasiakan segala sesuatu mengenai Akta yang dibuatnya dan segala
keterangan yang diperoleh guna pembuatan Akta sesuai dengan
sumpah/janji jabatan, kecuali undang-undang menentukan lain;
g. Menjilid Akta yang dibuatnya dalam 1 (satu) bulan menjadi buku yang
memuat tidak lebih dari 50 (lima puluh) Akta, dan jika jumlah Akta
16
tidak dapat dimuat dalam satu buku, Akta tersebut dapat dijilid menjadi
lebih dari satu buku, dan mencatat jumlah Minuta Akta, bulan, dan
tahun pembuatannya pada sampul setiap buku;
h. Membuat daftar dari Akta protes terhadap tidak dibayar atau tidak
diterimanya surat berharga;
i. Membuat daftar Akta yang berkenaan dengan wasiat menurut urutan
waktu pembuatan Akta setiap bulan;
j. Mengirimkan daftar Akta sebagaimana dimaksud dalam huruf i atau
daftar nihil yang berkenaan dengan wasiat ke pusat daftar wasiat pada
kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
hukum dalam waktu 5 (lima) hari pada minggu pertama setiap bulan
berikutnya;
k. Mencatat dalam repertorium tanggal pengiriman daftar wasiat pada
setiap akhir bulan;
l. Mempunyai cap atau stempel yang memuat lambang negara Republik
Indonesia dan pada ruang yang melingkarinya dituliskan nama, jabatan,
dan tempat kedudukan yang bersangkutan;
m. Membacakan Akta di hadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling
sedikit 2 (dua) orang saksi, atau 4 (empat) orang saksi khusus untuk
pembuatan Akta wasiat di bawah tangan, dan ditandatangani pada saat
itu juga oleh penghadap, saksi, dan Notaris; dan
n. Menerima magang calon Notaris.
(2) Kewajiban menyimpan Minuta Akta sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b tidak berlaku, dalam hal Notaris mengeluarkan Akta in
originali.
(3) Akta in originali sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:
a. Akta pembayaran uang sewa, bunga, dan pensiun;
b. Akta penawaran pembayaran tunai;
c. Akta protes terhadap tidak dibayarnya atau tidak diterimanya surat
berharga;
d. Akta kuasa;
e. Akta keterangan kepemilikan; dan
f. Akta lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Uraian dalam Pasal 16 ayat (1) huruf a diatas disebutkan bahwa seorang
Notaris wajib bertindak jujur, seksama dan tidak memihak. Kejujuran merupakan
hal yang penting karena jika seorang Notaris bertindak dengan ketidakjujuran
makan akan banyak kejadian yang akan merugikan klien bahkan akan
menurunkan ketidakpercayaan klien terhadap Notaris tersebut, dan keseksamaan
17
bertindak merupakan salah satu hal yang juga harus selalu dilakukan seorang
Notaris.18
1.8 Metode Penelitian
1.8.1 Jenis penelitian
Dalam pelaksanaan penulisan penelitian ini, penulis menggunakan jenis
penelitian yuridis normatif. Dipilihnya jenis penelitian yuridis normatif karena
penelitian ini menguraikan permasalah-permasalahan yang ada, untuk selanjutnya
dibahas dengan kajian yang berdasarkan teori – teori hukum kemudian dikaitkan
dengan peraturan perundang – undangan yang berlaku dalam praktek hukum.19
1.8.2 Jenis pendekatan
Pendekatan yang penulis gunakan adalah pendekatan perundang-undangan
(Statute Approach) dan pendekatan analisis konsep hukum (Analitical and
Conseptual Approach). Pendekatan perundang-undangan digunakan karena yang
akan diteliti adalah berbagai aturan hukum yang menjadi fokus sekaligus tema
sentral dalam penelitian ini.20
Selanjutnya dilanjutkan dengan menganalisis
permasalahan yang ada sesuai dengan konsep – konsep hukum yang ada.
1.8.3 Sumber bahan hukum
Sumber bahan hukum yang digunakan dalam penulisan skripsi ini
menggunakan tiga bahan yaitu bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan
bahan hukum tersier.
18Ira Koesoemawati dan Yunirman Rijan, 2009, Ke Notaris, Raih Asa, Sukses, Jakarta, hlm.41.
19
Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, 1995, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat,Edisi I, Cet ke-V, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, hlm.13.
20
Ibrahim dan Johnny, 2006, Teori Metodologi & Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia
Publishing, Malang, hlm.302.
18
1) Bahan hukum primer
Bahan hukum primer terdiri atas asas-asas, kaidah hukum yang dalam
perwujudannya berupa peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan,
keputusan tata usaha negara dan hukum tidak tertulis yang berkaitan dengan
notaris dan akta yang bersifat mengikat. Adapun sumber-sumber bahan hukum
yang dimaksud adalah sebagai berikut:
a. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
b. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
c. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana;
d. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.
2) Bahan hukum sekunder
Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder terdiri atas literatur-
literatur yang relevan dengan topik yang dibahas, baik literatur-literatur hukum
(buku-buku teks (textbook) yang ditulis para ahli yang berpengaruh (de hersender
leer), pendapat para sarjana, jurnal-jurnal atau karya tulis hukum yang berkaitan
dengan topik penelitian maupun literatur non hukum, dan artikel-artikel yang
diperoleh dari internet.
3) Bahan hukum tersier
Bahan hukum tersier, yakni bahan hukum yang mendukung bahan hukum
primer dan bahan hukum sekunder dengan memberikan pemahaman dan
19
pengertian atas bahan hukum lainnya.21
Bahan hukum yang dipergunakan oleh
penulis seperti: kamus besar bahasa Indonesia, kamus istilah komputer,
ensiklopedia hukum dan internet.
1.8.4 Teknik pengumpulan bahan hukum
Teknik pengumpulan bahan hukum merupakan faktor penting dalam
menentukan keberhasilan dari penulisan penelitian ini, kerena jenis penelitian
yang digunakan adalah yuridis normatif. Dalam penulisan penelitian ini penulis
menggunakan teknik studi kepustakaan, yang mana dengan metode ini penulis
mencari, mempelajari dan memahami berbagai pendapat, teori dan konsepsi yang
berhubungan dengan pokok permasalahan yang didapatkan dari literatur-literatur
yang tersedia serta peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
pemalsuan tandatangan akta oleh para pihak dalam pembuatan akta notariil.
Bahan hukum yang relevan dikumpulkan dengan sistem kartu (card system), yang
kemudian kartu ini disusun berdasarkan pokok bahasan untuk memudahkan
analisis dan pada kartu dicatat konsep-konsep yang berkaitan dengan
permasalahan atau isu hukum pada tulisan ini.22
1.8.5 Teknik analisis bahan hukum
Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik deskriptif
analisis dengan menggunakan metode evaluatif, metode sistematis, metode
interprestatif dan metode argumentatif. Teknik deskriptif analisis adalah
21Peter Mahmud Marzuki, 2009, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta,
hlm.93.
22
Winarno Surachman, 1973, Pengantar Penelitian Ilmiah Dasar, Metode dan Teknik, Tarsito,
Bandung, hlm.257.
20
penjabaran data yang diperoleh dalam bentuk uraian yang nantinya akan
menjawab permasalahan.
Metode evaluatif adalah penelitian yang bertujuan mengumpulkan informasi
tentang apa yang terjadi yang merupakan kondisi nyata mengenai keterlaksanaan
rencana yang memerlukan evaluasi.
Metode sistematis adalah segala usaha menguraikan dan merumuskan
sesuatu dalam hubungan yang teratur dan logis sehingga membentuk suatu sistem
yang berarti secara utuh, menyeluruh, terpadu, dan mampu menjelaskan rangkaian
sebab akibat menyangkut obyeknya.
Metode interprestatif adalah metode yang menafsirkan peraturan perundang-
undangan dihubungkan dengan peraturan hukum atau undang-undang lain atau
dengan keseluruhan sistem hukum. Karena suatu undang-undang pada hakikatnya
merupakan bagian dari keseluruhan sistem perundang-undangan yang berlaku
sehingga tidak mungkin ada satu undang-undang yang berdiri sendiri tanpa terikat
dengan peraturan perundang-undangan lainnya.
Metode argumentatif adalah alasan berupa uraian penjelasan yang diuraikan
secara jelas, berupa serangkaian pernyataan secara logis untuk memperkuat atau
menolak suatu pendapat, pendirian atau gagasan, berkaitan dengan asas hukum,
norma hukum dan peraturan hukum konkret, serta system hukum dan penemuan
hukum yang berkaitan dengan obyeknya.
top related