bab i pendahuluan 1.1 latar belakang - sinta.unud.ac.id · bursa ini diresmikan oleh presiden...
Post on 14-Mar-2019
218 Views
Preview:
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pasar modal memiliki peran yang sangat penting bagi perekonomian suatu
negara. Pasar modal merupakan bagian dari sistem perekonomian negara,
khususnya pada sektor keuangan. Peran utama pasar modal yaitu untuk
menjalankan fungsi ekonomi, dimana pasar modal mampu mempertemukan dua
pihak yang berkepentingan yaitu pihak yang memiliki kelebihan dana atau
investor dan pihak yang memerlukan dana atau perusahaan (Husnan, 2015). Pihak
investor menginvestasikan kelebihan dana yang dimiliki di pasar modal untuk
memperoleh keuntungan. Pihak perusahaan dapat memanfaatkan dana tersebut
sebagai sumber dana dalam melakukan investasi. Berdasarkan hal tersebut, pasar
modal dapat meningkatkan produktivitas perusahaan yang pada nantinya
mendukung kemakmuran negara.
Pasar modal pertama yang didirikan di Indonesia adalah Bursa Efek
Jakarta (BEJ). Bursa ini diresmikan oleh Presiden Soeharto pada tahun 1977.
Tahun 1989, Bursa Efek Surabaya didirikan dan mulai beroperasi dibawah
pengelolaan Perseroan Terbatas milik swasta. PT Bursa Efek Surabaya bergabung
dengan Bursa Efek Jakarta pada tahun 2007 dan berubah nama menjadi Bursa
Efek Indonesia (BEI). Visi yang dimiliki oleh BEI adalah “Menjadi bursa yang
kompetitif dengan kredibilitas tingkat dunia. Selain itu, BEI memiliki Misi yaitu
“Menciptakan daya saing untuk menarik investor dan emiten, melalui
1
2
pemberdayaan anggota bursa dan partisipan, penciptaan nilai tambah, efisiensi
biaya serta penerapan good governance” (www.idx.com).
Pasar modal Indonesia menunjukkan perkembangan tiap tahunnya. Hal ini
dapat terlihat dari meningkatnya jumlah perusahaan yang terdaftar di BEI. Pada
tahun 2006, jumlah perusahaan yang terdaftar di BEI adalah 344 unit dengan nilai
perdagangan sebesar Rp 445.708 Milyar (IDX Statistics, 2006). Kemudian pada
tahun 2010, perusahaan yang terdaftar di BEI berjumlah 420 unit dengan total
nilai perdagangan Rp 1.176.237 Milyar (IDX Statistics, 2010). Perkembangan ini
juga terlihat pada tahun 2015, dimana jumlah perusahaan terdaftar di BEI
meningkat menjadi 521 unit dengan nilai perdagangan mencapai Rp 1.406.362
Milyar (IDX Statistics, 2015).
Perkembangan pasar modal Indonesia sangat terlihat dengan
meningkatnya jumlah perusahaan terdaftar dan nilai perdagangan di BEI setiap
tahunnya. Namun saat ini, yang menjadi tantangan utama bagi perusahaan-
perusahaan di BEI adalah bagaimana perusahaan mampu menghadapi globalisasi,
liberalisasi dunia dan teknologi yang semakin maju. Ketiga hal tersebut dapat
menjadi faktor pendukung produktivitas perusahaan jika perusahaan mampu
menghadapinya dengan baik. Akan tetapi, ketiga hal tersebut juga dapat menjadi
ancaman besar bagi perusahaan. Hanafi (2014) menjelaskan bahwa globalisasi,
liberalisasi dan teknologi merupakan faktor pendorong peningkatan risiko yang
dihadapi perusahaan.
Globalisasi membuat perekonomian dunia mempunyai keterkaitan yang
sangat erat. Kejadian pada suatu negara dapat mempengaruhi negara lainnya
3
secara lebih cepat. Kondisi seperti ini mengakibatkan peningkatan fluktuasi,
sehingga risiko yang dihadapi perusahaan saat ini cenderung meningkat.
Terbukanya pasar domestik terhadap investor asing merupakan suatu bentuk
liberalisasi dunia, yang menyebabkan hambatan antar negara berkurang. Hal ini
dapat mempermudah aliran modal untuk masuk atau keluar dan pada nantinya
meningkatkan fluktuasi. Teknologi yang semakin maju mendorong pelaku pasar
untuk lebih cepat memperoleh informasi dan bertindak lebih cepat atas informasi
tersebut. Kemudahan ini akan mendorong fluktuasi harga yang semakin tinggi.
Oleh karena itu, globalisasi, liberalisasi dunia, dan teknologi yang semakin maju
merupakan penyebab peningkatan fluktuasi dan faktor pendorong meningkatnya
risiko perusahaan (Hanafi, 2014).
Risiko secara sederhana dapat diartikan sebagai suatu keadaan yang
berpotensi menyebabkan kerugian. Risiko ini muncul karena adanya kondisi
ketidakpastian. Ketidakpastian ini tercermin dari fluktuasi pergerakan yang tinggi,
sehingga semakin tinggi fluktuasi maka semakin besar tingkat ketidakpastiannya.
Perusahaan saat ini memiliki berbagai macam risiko yang harus dihadapi seperti
risiko perubahan tingkat bunga, risiko nilai tukar, risiko pasar, risiko kredit, risiko
operasional, risiko teknologi, risiko likuidasi, risiko perubahan harga komoditas,
risiko terjadinya krisis keuangan global dan lainnya (Saunders dan Cornett, 2014).
Risiko perubahan tingkat bunga ditunjukkan pada Gambar 1.1 yang
mengilustrasikan perubahan tingkat suku bunga Bank Indonesia (BI) dalam
persentase dari tahun 2010 hingga 2015. Pada Gambar 1.1 dapat dicermati bahwa
tingkat suku bunga BI cukup berfluktuasi. Penurunan tingkat suku bunga yang
4
paling tinggi terjadi pada bulan November 2011. Pada bulan Juli 2013 terjadi
peningkatan suku bunga yang paling tinggi. Fluktuasi tingkat suku bunga sangat
berpengaruh pada perusahaan yang memiliki pinjaman dan memberikan kredit ke
konsumennya, karena tingkat suku bunga sangat mempengaruhi tingkat
keuntungan dan kerugian dari perusahaan yang melakukan kegiatan tersebut.
*sumber: www.bi.go.id (diakses pada bulan Februari 2016)
Gambar 1.1 Perubahan Tingkat Suku Bunga Bank Indonesia Setiap Bulan
dalam Persentase Tahun 2010-2015
-10%
-8%
-6%
-4%
-2%
0%
2%
4%
6%
8%
10%
Feb-
10
May
-10
Aug
-10
Nov
-10
Feb-
11
May
-11
Aug
-11
Nov
-11
Feb-
12
May
-12
Aug
-12
Nov
-12
Feb-
13
May
-13
Aug
-13
Nov
-13
Feb-
14
May
-14
Aug
-14
Nov
-14
Feb-
15
May
-15
Aug
-15
Nov
-15
5
*sumber: www.bi.go.id (diakses pada bulan Februari 2016)
Gambar 1.2 Perkembangan Nilai Tukar Rupiah Terhadap United States
Dollar Tahun 2007 – 2015
Risiko perubahan kurs merupakan jenis risiko lainnya yang dihadapi oleh
perusahaan. Risiko perubahan kurs disebabkan karena adanya fluktuasi nilai tukar
rupiah yang dapat dicermati pada Gambar 1.2. Gambar tersebut menunjukkan
perkembangan nilai tukar Rupiah terhadap United States Dollar (USD) mulai
tahun 2007 hingga 2015. Pada awal tahun 2007 hingga 2008, nilai Rupiah cukup
stabil dengan harga rata-rata Rp9.000 per $1. Tahun 2009 awal, nilai tukar Rupiah
melemah cukup tajam mencapai Rp12.000 per $1. Pada tahun 2011 nilai tukar
rupiah kembali menguat dengan harga rata-rata Rp9.000 per $1. Selanjutnya pada
tahun 2015, nilai tukar Rupiah melemah menjadi Rp14.000 per $1. Fluktuasi nilai
7,000
8,000
9,000
10,000
11,000
12,000
13,000
14,000
15,000
16,000
2-Jan-07 2-Jan-08 2-Jan-09 2-Jan-10 2-Jan-11 2-Jan-12 2-Jan-13 2-Jan-14 2-Jan-15
6
tukar Rupiah ini menyebabkan kerugian bagi perusahaan yang melakukan ekspor
dan impor, karena transaksi perdagangan luar negeri mereka sangat dipengaruhi
oleh nilai tukar mata uang (Hanafi, 2014).
Risiko-risiko tersebut bisa terjadi kapan saja dan sulit untuk dihindari.
Akibatnya perusahaan dapat mengalami kerugian yang signifikan sehingga
menyebabkan kesulitan keuangan dan masalah underinvestment. Masalah
keuangan yang dialami perusahaan ini akan sangat berpengaruh pada nilai
perusahaan. Oleh karena itu, semua risiko yang dihadapi oleh perusahaan akan
tercermin pada volatilitas nilai perusahaan (Guay, 1999). Sesuai dengan penelitian
yang telah dilakukan oleh Guay (1999) dan Bartram et al. (2008), risiko
perusahaan dapat diukur dengan volatilitas returns saham, karena volatilitas nilai
perusahaan tidak mudah diakses. Penelitian ini akan menggunakan volatilitas
return saham untuk mengukur risiko perusahaan.
Perkembangan returns saham bulanan pada perusahaan industri non-
keuangan dapat dicermati pada Gambar 1.3. Terdapat delapan sektor perusahaan
yang termasuk pada industri non-keuangan. Fluktuasi returns saham bulanan
dapat terlihat dengan jelas pada Gambar 1.3. Perusahaan di industri pertanian
memiliki fluktuasi returns saham yang sangat tinggi, dengan returns saham
terendah -17,15% pada bulan Agustus 2015 dan tertinggi 15,56% pada bulan Mei
2015. Hal ini dipicu karena perusahaan industri pertanian memiliki berbagai
macam risiko yang dihadapi termasuk risiko alam yang cukup sulit dikelola.
7
*sumber: www.idx.co.id (diakses pada Februari 2016)
Gambar 1.3 Returns Saham Bulanan Perusahaan Industri Non-Keuangan
Tahun 2015
-20
-15
-10
-5
0
5
10
15
20
Jan-15
Feb-15
Mar-15
Apr-15
May-15
Jun-15
Jul-15
Aug-15
Sep-15
Oct-15
Nov-15
Dec-15
Industri Barang Konsumsi
Properti, Real Estat dan Konstruksi Bangunan
Infrastruktur, Utilitas dan Transportasi
Perdagangan, Jasa dan Investasi
-20
-15
-10
-5
0
5
10
15
20
Jan-15 Feb-15 Mar-15 Apr-15 May-15 Jun-15 Jul-15 Aug-15 Sep-15 Oct-15 Nov-15 Dec-15
Pertanian
Pertambangan
Industri Dasar dan Kimia
Aneka Industri
8
Selain itu, fluktuasi yang tinggi juga terlihat pada perusahaan-perusahaan aneka
industri dan industri dasar dan kimia. Hal ini menunjukkan bahwa perusahaan
menghadapi risiko yaitu volatilitas nilai perusahaan yang dapat dicerminkan oleh
volatilitas returns saham perusahaan.
Berdasarkan uraian tersebut, dapat dicermati juga bahwa risiko perusahaan
sangat dipengaruhi oleh faktor eksternal. Faktor eksternal ini berasal dari luar
perusahaan yang berkaitan dengan lingkungan ekonomi seperti tingkat suku
bunga, nilai tukar, inflasi dan kelesuan ekonomi (Gitman, 2004). Kaplan dan
Mikes (2012) mengungkapkan bahwa risiko yang timbul dari peristiwa diluar
perusahaan, seperti perubahan ekonomi makro, politik, bencana alam, tidak dapat
dikendalikan oleh perusahaan. Perusahaan memerlukan pendekatan lain untuk
mengatasi risiko yang berasal dari faktor eksternal seperti mengidentifikasi dan
memitigasi dampaknya. Hal tersebut dapat dilakukan dengan menerapkan
manajemen risiko perusahaan yang baik.
Hanafi (2014) mengemukakan bahwa manajemen risiko perusahaan sangat
penting diterapkan untuk menghadapi risiko. Penerapan manajemen risiko
perusahaan bertujuan agar perusahaan mampu mengelola risiko sehingga
perusahaan dapat bertahan dan meminimalkan risiko tersebut. Ketika perusahaan
mampu mengelola risiko dengan baik, maka perusahaan tersebut akan mampu
memaksimumkan nilainya. Teori manajemen risiko oleh Froot et al. (1993),
Hentschel dan Kothari (2001) menyatakan bahwa perusahaan dapat mengelola
risikonya dengan menggunakan produk derivatif. Guay (1999) menjelaskan
bahwa pelaksanaan manajemen risiko dengan menggunakan produk derivatif
9
bermanfaat dalam menurunkan risiko perusahaan seperti volatilitas nilai
perusahaan, kesulitan keuangan dan masalah underinvestment.
Derivatif merupakan suatu instrumen keuangan yang nilainya tergantung
pada nilai-nilai variabel lain yang mendasarinya, dimana variabel yang mendasari
derivatif adalah harga aset yang diperdagangkan (Hull, 2009). Jenis-jenis produk
derivatif yang umum diperdagangkan adalah forward contracts, futures contracts,
options dan swaps. Manfaat utama penggunaan produk derivatif adalah sebagai
alat manajemen risiko (Ross et al., 2012; McDonald, 2006). Dengan
menggunakan derivatif, perusahaan dapat mengunci harga suatu aset atau produk
sehingga perusahaan akan terhindar dari risiko perubahan nilai aset atau produk
tersebut dimasa mendatang. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan derivatif
dapat mengurangi ekposur risiko perusahaan. Perusahaan dalam hal ini disebut
melakukan hedging. Teori corporate hedging yang dikembangkan oleh Smith dan
Stulz (1985) menyatakan bahwa hedging dibenarkan secara ekonomi karena dapat
menurunkan risiko dan meningkatkan nilai perusahaan.
Perkembangan produk derivatif cukup signifikan, terlihat dari tersedianya
beragam produk derivatif yang diperdagangkan di pasar keuangan global saat ini
seperti credit derivatives, electricity derivatives, weather derivatives, insurance
derivatives, interest rate derivatives, foreign exchange derivatives dan commodity
derivatives (McDonald, 2006). Perusahaan dapat memilih jenis produk derivatif
sesuai dengan kebutuhannya. Perusahaan di negara maju maupun berkembang
telah menggunakan produk derivatif selama bertahun-tahun karena instrumen
derivatif ini menyediakan suatu jalan untuk mengelola risiko keuangan yang
10
dihadapi perusahaan. Mallin et al. (2001) menemukan bahwa 60% perusahaan di
Inggris telah menggunakan produk derivatif paling tidak satu macam produk.
Sedangkan perusahaan-perusahaan yang menggunakan produk derivatif di
Hongkong hanya 37% (Yu et al., 2001). Schiozer and Saito (2009) menemukan
54% perusahaan yang menggunakan produk derivatif di Brazil. Tetapi, Lantara
(2010) menemukan bahwa hanya 18,4% perusahaan di Indonesia yang
menggunakan produk derivatif. Hasil ini sangat rendah jika dibandingkan dengan
di negara-negara tersebut. Hal ini disebabkan karena perusahaan-perusahaan
Indonesia memandang risk exposure yang dihadapi tidak signifikan, adanya biaya
dalam penggunaan produk derivatif melebihi manfaatnya dan adanya kesulitan
dalam proses penilaian dan pricing derivatif (Lantara, 2010). Penelitian mengenai
penggunaan produk derivatif terhadap risiko perusahaan sangat diperlukan di
Indonesia.
Beberapa penelitian empiris telah menganalisis hubungan antara
penggunaan produk derivatif terhadap risiko perusahaan. Guay (1999)
menemukan bahwa perusahaan pengguna produk derivatif mengalami penurunan
dalam stock-return volatility, interest-rate exposure dan exchange-rate exposure
secara signifikan jika dibandingkan dengan perusahaan yang tidak menggunakan
derivatif. Hentschel dan Kothari (2001) menemukan bahwa sebagian besar
perusahaan di Amerika Serikat menggunakan derivatif untuk mengelola eksposur
dan perusahaan tersebut mengalami penurunan risiko. Namun sebaliknya, Fletcher
et al. (2002) menemukan bahwa unit trust company di Inggris yang menggunakan
derivatif memiliki risk measures yang lebih tinggi karena menggunakan derivatif
11
untuk berspekulasi. Penelitian oleh Bartram et al. (2008) menemukan bukti yang
kuat bahwa penggunaan derivatif mampu mengurangi risiko total dan risiko
sistematik perusahaan. Penelitian lebih lanjut sangat diperlukan untuk
menganalisis hubungan antara penggunaan produk derivatif terhadap risiko
perusahaan.
Salah satu tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh
penggunaan produk derivatif terhadap risiko perusahaan. Untuk meneliti
hubungan ini, maka objek penelitian yang tepat adalah perusahaan yang hanya
sebagai pengguna produk derivatif. Perusahaan dalam industri keuangan tidak
memenuhi kriteria ini, karena perusahaan tersebut dapat bertindak sebagai
pengguna, penerbit dan juga market-makers (Bashir et al., 2013). Oleh karena itu,
penelitian ini menggunakan seluruh perusahaan non-keuangan di BEI sebagai
objek penelitian.
Faktor yang dapat mempengaruhi risiko perusahaan selain penggunaan
produk derivatif adalah kinerja keuangan perusahaan (Beaver et al., 1970;
Hamada, 1972; Mandelker dan Rhee, 1984; Huffman, 1987; Chun and Meharani,
1999; Hardwick dan Adams, 1999; Prevost et al., 2000; De Ceustre et al., 2003).
Selain itu, kinerja keuangan perusahaan juga diduga berpengaruh terhadap
penggunaan produk derivatif (Borokhovich et al., 2004; Nguyen dan Faff, 2003;
Shu dan Chen, 2003). Mulyadi (2008) menjelaskan bahwa kinerja keuangan
merupakan penentuan secara periodik efektivitas operasional suatu organisasi dan
karyawannya berdasarkan sasaran, standar dan kriteria yang ditetapkan
sebelumnya. Kinerja keuangan perusahaan dapat diartikan sebagai suatu
12
pengukuran subjektif mengenai pencapaian perusahaan atas berbagai aktivitas
yang telah dilakukan dalam suatu periode yang mencerminkan kondisi kesehatan
keuangan perusahaan.
Kinerja keuangan perusahaan dapat dievaluasi dengan melakukan analisis
pada laporan keuangan perusahaan. Analisis laporan keuangan perusahaan dapat
dilakukan dengan menggunakan rasio keuangan. Horne dan Wachowicz (2008)
menjelaskan bahwa rasio keuangan merupakan suatu alat analisis yang digunakan
untuk mengevaluasi kinerja keuangan perusahaan. Rasio keuangan merupakan
hubungan matematis antara satu angka dengan angka lainnya yang dihitung
berdasarkan laporan keuangan perusahaan (Paramasivan dan Subramanian, 2009).
Beberapa rasio keuangan perusahaan bermanfaat bagi perusahaan untuk
mengukur tingkat likuiditas, profitabilitas, solvabilitas dan aktivitas perusahaan
(Brealey dan Myers, 2003; Brigham dan Daves, 2007; Horne dan Wachowicz,
2008; Paramasivan dan Subramanian, 2009).
Tingkat likuiditas perusahaan menunjukkan kemampuan perusahaan
dalam memenuhi kewajiban lancarnya dengan aktiva lancar yang dimiliki
(Gitman, 2002). Perusahaan yang memiliki tingkat likuiditas yang rendah,
menunjukkan ketidakmampuan perusahaan dalam memenuhi kebutuhan jangka
pendeknya (Van Horne, 2008). Tingkat likuiditas yang rendah menandai bahwa
perusahaan tersebut memiliki masalah keuangan sehingga risiko perusahaan
meningkat. Studi empiris oleh Beaver et al. (1970) menemukan korelasi
signifikan yang negatif antara tingkat likuiditas dan risiko sistematik perusahaan.
Selain itu, Biase dan D’Apolito (2012) membuktikan hubungan negatif dan
13
signifikan antara tingkat likuiditas dan risiko sistematik perusahaan di negara
Italia.
Tingkat likuiditas suatu perusahaan juga mempengaruhi kemampuan
perusahaan untuk mengambil peluang-peluang investasi yang tersedia. Jika
perusahaan tidak mampu untuk mengambil peluang investasi tersebut karena
kendala short-term liquidity, maka perusahaan tersebut cenderung untuk
menggunakan produk derivatif untuk mengatasi masalah tersebut (Froot et al.,
1993). Carter dan Sinkey (1998) menemukan bukti bahwa masalah likuiditas
perusahaan berhubungan dengan kebutuhan untuk menggunakan derivatif sebagai
hedging instrumen. Lantara (2012) membuktikan bahwa likuiditas perusahaan
mempengaruhi penggunaan derivatif secara negatif dan signifikan.
Tingkat profitabilitas perusahaan mencerminkan kemampuan perusahaan
dalam menghasilkan laba bersih (Horne dan Wachowicz, 2008). Perusahaan yang
mampu menghasilkan laba bersih yang positif, menunjukkan bahwa perusahaan
tersebut memiliki kemampuan yang baik dalam mengelola keuangan dan
memiliki permasalahan keuangan yang lebih rendah sehingga risiko perusahaan
tersebut menurun. Chun dan Meharani (1999) menemukan bahwa tingkat
profitabilitas merupakan faktor yang paling penting dalam mempengaruhi risiko
sistematik dibandingkan faktor lainnya seperti tingkat likuiditas dan solvabilitas.
Selain itu, Biase dan D’Apolito (2012) menemukan hubungan yang negatif dan
signifikan antara tingkat profitabilitas dan risiko perusahaan.
Penggunaan produk derivatif oleh perusahaan juga ditentukan oleh tingkat
profitabilitas perusahaan. Perusahaan yang memiliki tingkat profitabilitas yang
14
rendah cenderung memiliki financial distress yang lebih tinggi (Bartram et al.,
2009). Alasan yang mendasari bahwa perusahaan dengan profit yang rendah akan
memiliki free cash flow yang rendah dan mengalami kesulitan dalam membayar
kewajiban mereka. Kondisi ini mengakibatkan perusahaan cenderung untuk
melakukan hedging dengan menggunakan produk derivatif untuk menyelesaikan
kesulitan tersebut. Namun, Allayanis dan Weston (2001) berargumen bahwa
perusahaan yang profitable memiliki kemungkinan yang lebih tinggi untuk
melakukan perdagangan instrumen derivatif dibandingkan dengan perusahaan
yang memiliki profit lebih rendah.
Tingkat solvabilitas (leverage) perusahaan mencerminkan proporsi
penggunaan dana pinjaman oleh perusahaan untuk membiayai aktiva yang
dimiliki perusahaan (Gitman, 2002). Semakin tinggi tingkat solvabilitas
perusahaan, maka semakin tinggi tingkat hutang perusahaan. Ketika perusahaan
memiliki hutang yang besar, maka perusahaan tersebut akan mengalami
peningkatan biaya financial distress yang diikuti dengan peningkatan risiko
perusahaan (Hardwick dan Adams, 1999; De Ceustre et al., 2003). Penelitian
empiris oleh Mandelker dan Rhee (1984) menemukan bahwa leverage operasi dan
leverage keuangan mempunyai pengaruh positif pada risiko sistematik
perusahaan. Biase dan D’Apolito (2012) menyatakan bahwa leverage dan risiko
sistematik memiliki hubungan positif yang kuat.
Tingkat solvabilitas juga mempengaruhi penggunaan produk derivatif oleh
perusahaan. Probabilitas dari financial distress dapat diturunkan dengan
menggunakan produk derivatif dengan cara hedging (Froot et al., 1993). Jika
15
perusahaan memiliki tingkat solvabilitas yang semakin tinggi maka perusahaan
tersebut semakin membutuhkan produk derivatif. Bukti empiris menunjukkan
hubungan positif antara debt ratio dan penggunaan derivatif untuk hedging
(Berkham dan Bradburry, 1996; Gay dan Nam, 1998; Haushalter, 2000).
Rasio aktivitas bertujuan untuk mengukur tingkat efektivitas perusahaan
dalam mengelola asetnya. Total asset turnover merupakan rasio aktivitas yang
menganalisis kemampuan perusahaan dalam menggunakan asetnya secara optimal
untuk menghasilkan laba (Ross et al., 2012). Ketika nilai total asset turnover
suatu perusahaan rendah, hal ini menunjukkan perusahaan tersebut tidak
menggunakan aset mereka sesuai kapasitasnya dan mereka harus meningkatkan
penjualan atau mengelola asetnya dengan baik. Keadaan ini akan meningkatkan
risiko yang dihadapi perusahaan.
Penggunaan derivatif semakin meningkat ketika perusahaan mengalami
masalah keuangan dan financial distress (Bartram et al., 2009; Lantara, 2012).
Semakin tinggi rasio aktivitas perusahaan menunjukkan bahwa perusahaan
memiliki kemampuan yang lebih untuk mengelola asetnya dengan baik sehingga
memperoleh laba yang diharapkan. Namun, rendahnya rasio ini menunjukkan
perusahaan kurang efektif dalam mengelola asetnya untuk meningkatkan
penjualan sehingga laba perusahaan menurun. Hal ini mengakibatkan perusahaan
mengalami masalah keuangan yaitu cash shortfalls, maka perusahaan
memerlukan derivatif untuk mengatasi masalah tersebut (Nguyen, 2011).
Berdasarkan uraian tersebut, kinerja keuangan yang mengukur tingkat
likuiditas, profitabilitas, solvabilitas dan aktivitas perusahaan berpengaruh
16
terhadap risiko perusahaan dan penggunaan produk derivatif. Melemahnya tingkat
rasio likuiditas, profitabilitas dan aktivitas perusahaan, dan naiknya tingkat
solvabilitas, menyebabkan meningkatnya masalah keuangan dan financial distress
perusahaan. Kinerja keuangan yang lemah ini menyebabkan risiko perusahaan
meningkat. Dapat dicermati juga bahwa sebelum kinerja keuangan mempengaruhi
risiko keuangan, kinerja keuangan dapat mempengaruhi keputusan perusahaan
dalam penggunaan produk derivatif. Ketika kinerja keuangan perusahaan
menurun, maka perusahaan cenderung akan menggunakan derivatif untuk
mengatasi masalah tersebut. Peran derivatif dalam hal ini yaitu untuk menurunkan
risiko perusahaan. Oleh karena itu, penggunaan produk derivatif diduga memiliki
peran mediasi antara hubungan rasio keuangan perusahaan terhadap risiko
perusahaan.
Penelitian-penelitian terdahulu menyatakan bahwa risiko perusahaan juga
dipengaruhi oleh corporate governance atau tata kelola perusahaan (Buckley,
2003; Tsorhe et al., 2011; Trinh et al., 2015). Selain itu, tata kelola perusahaan
juga berpengaruh terhadap penggunaan produk derivatif oleh perusahaan (Fama
dan Jensen, 1983; Borokhovich, 2004; Marsden dan Prevost, 2004). Tata kelola
perusahaan merupakan serangkaian hubungan antara manajemen, dewan direksi,
pemegang saham dan pemangku kepentingan lainnya (Organisation for Economic
Co-operation and Development - OECD, 2014). Tata kelola perusahaan berfungsi
untuk memacu penggunaan sumber daya perusahaan secara efisien dimana
dibutuhkan akuntabilitas dalam pengelolaan sumber daya tersebut (Osuoha,
2015). Beberapa indikator penting dari tata kelola perusahaan yang perlu
17
diperhatikan dalam pengaruhnya terhadap risiko perusahaan dan penggunaan
produk derivatif yaitu kepemilikan manajerial, proporsi komisaris independen dan
pendidikan komisaris.
Struktur kepemilikan merupakan salah satu mekanisme tata kelola
perusahaan yang penting untuk diperhatikan. Struktur kepemilikan berhubungan
dengan pemilik modal asing, pemilik modal pemerintah, pemilik modal
manajerial dan pemegang saham mayoritas (Trinh et al., 2015). Kepemilikan
manajerial merupakan faktor penting yang dapat mempengaruhi risiko
perusahaan. Ketika perusahaan memiliki kepemilikan manajerial, maka terjadi
kecenderungan pihak manajemen memiliki perilaku risk-averting atau
menghindari risiko sehingga risiko perusahaan cenderung menurun. Chen et al.
(1998) menemukan bahwa kepemilikan manajerial memiliki hubungan yang
negatif terhadap risiko pasar. Namun, hasil yang berbeda pada penelitian oleh
Anderson dan Fraser (2000), dimana mereka menemukan risiko spesifik
perusahaan bank dipengaruhi secara positif dan signifikan oleh kepemilikan
manajerial. Hubungan antara kepemilikan saham oleh orang dalam dan risiko
perusahaan perlu diteliti lebih lanjut.
Kepemilikan manajerial, selain mempengaruhi risiko perusahaan, juga
berpengaruh terhadap penggunaan produk derivatif oleh perusahaan. Semakin
banyak proporsi saham yang dipegang oleh manajerial, maka semakin besar
motivasi para pimpinan perusahaan untuk menggunakan instrumen derivatif
dalam hal mengurangi risiko dan meningkatkan nilai perusahaan (Lantara, 2012).
Penelitian empiris oleh Tufano (1996) memberikan bukti bahwa manajer yang
18
mempunyai kepemilikan saham yang lebih besar, memiliki kecenderungan yang
lebih besar untuk menggunakan produk derivatif untuk mengelola risiko
perubahan harga emas. Oleh karena itu, semakin besar kepemilikan manajerial
maka akan meningkatkan penggunaan derivatif oleh perusahaan.
Independent board merupakan pihak professional atau outsiders yang
dipilih untuk menjadi salah satu anggota board of directors (Odgen et al., 2003).
Perusahaan yang mempunyai rasio independent board yang lebih tinggi,
menghadapi frekuensi tekanan keuangan yang lebih sedikit karena independent
board memiliki kinerja yang lebih baik (Elloumi dan Gueyie, 2001). Selain itu,
penelitian oleh Daily et al. (2003) menemukan bahwa perusahaan dengan proporsi
independent board lebih banyak, memiliki kemungkinan kebangkrutan yang lebih
kecil. Adanya independent board di suatu perusahaan mendukung kemampuan
perusahaan untuk mengatasi masalah konflik keagenan, sehingga risiko yang
dihadapi perusahaan lebih rendah (Tsorhe et al., 2011). Proporsi independent
board yang lebih tinggi akan menurunkan risiko yang dihadapi perusahaan.
Berdasarkan hal tersebut, dapat dicermati bahwa anggota dewan independen
merupakan faktor penting dalam kesuksesan perusahaan. Oleh karena itu, anggota
dewan independen di perusahaan berperan dalam mengurangi risiko yang
dihadapi perusahaan.
Penelitian oleh Fama dan Jensen (1983), menemukan bahwa dorongan
yang lebih kuat untuk membuat keputusan yang benar-benar bermanfaat bagi
pemilik saham cenderung dimiliki oleh anggota dewan independen. Mereka juga
menjelaskan bahwa independent board akan menunjukkan kapabilitas mereka
19
sebagai pengawas manajemen yang efektif bagi perusahaan dengan membuat
keputusan yang terbaik untuk perusahaan. Borokhovich (2004) menemukan
bahwa independent board memiliki peran yang aktif dalam keputusan perusahaan
dalam menggunakan produk derivatif dan menyimpulkan adanya hubungan yang
positif antara komposisi dewan direksi independen terhadap penggunaan produk
derivatif. Namun, penelitian oleh Marsden dan Prevost (2004) menemukan hasil
yang berbeda, yaitu hubungan yang negatif antara proporsi dewan direksi
independen dan pemakaian produk derivatif. Osuoha et al. (2015) menyimpulkan
bahwa komposisi dewan independen adalah indikator corporate governance yang
paling kuat yang mempengaruhi penggunaan produk derivatif. Hubungan antara
anggota dewan independen terhadap penggunaan produk derivatif perlu dianalisis
lebih lanjut.
Sesuai dengan peraturan pemerintah Indonesia mengenai tata kelola
perusahaaan Nomor 33/POJK.04/2014, Perusahaan Publik diwajibkan untuk
memiliki Direksi, yang bertanggung jawab penuh atas pengurusan perusahaan,
Dewan Komisaris, yang melakukan pengawasan secara umum, dan Komisaris
Independen, yang berasal dari luar perusahaan yang bertugas melakukan
pengawasan. Hal ini berarti Indonesia menganut sistem Two Tier, dimana struktur
dewan ada dua yaitu dewan pelaksana dan dewan pengawas. Oleh karena itu,
dalam penelitian ini akan digunakan proporsi komisaris independen sebagai
ukuran dari anggota dewan independen.
Pengetahuan dan wawasan yang dimiliki anggota dewan komisaris
merupakan faktor penting dalam peningkatan kinerja perusahaan. Pengetahuan
20
dan wawasan ini mendukung kemampuan dewan direksi untuk berkontribusi
secara positif terhadap keputusan-keputusan manajemen sehingga meningkatkan
nilai perusahaan (Nicholson dan Kiel, 2004; Fairchild dan Li, 2005; Adams dan
Ferreira, 2007). Ketika manajemen mampu untuk membuat keputusan yang
bermanfaat bagi perusahaan berdasarkan pengetahuan yang dimilikinya, maka
perusahaan dapat terhindar dari risiko yang mengancam perusahaan. Oleh karena
itu, pengetahuan dan wawasan dewan direksi berpengaruh terhadap risiko
perusahaan. Pengetahuan dan wawasan dewan direksi dapat diukur dengan
melihat tingkat pendidikan dewan direksi.
Dewan komisaris yang memiliki pengetahuan dan wawasan yang baik
dapat mendukung keputusan perusahaan untuk menggunakan produk derivatif
(Buckley, 2003). Ketika dewan komisaris memiliki latar belakang pendidikan
yang tinggi, maka mereka akan memiliki pengetahuan dan wawasan mengenai
instrumen keuangan yang lebih luas. Oleh karena itu, pendidikan komisaris
mendukung keputusan perusahaan dalam menggunakan produk derivatif. Sampai
saat ini, belum ada kajian empiris yang meneliti bagaimana pengaruh pendidikan
dewan komisaris terhadap keputusan penggunaan produk derivatif perusahaan.
Penelitian ini menjadi penelitian pertama yang mengangkat bagaimana pengaruh
pendidikan dewan komisaris sebagai salah satu faktor dalam corporate
governance yang berpengaruh terhadap penggunaan produk derivatif dan risiko
perusahaan.
Berdasarkan uraian tersebut, dapat diamati bahwa tata kelola perusahaan
diduga berpengaruh terhadap risiko perusahaan. Semakin baik tata kelola
21
perusahaan yang tercermin dari kepemilikan manajerial, proporsi komisaris
independen dan pendidikan komisaris, maka risiko perusahaan pun cenderung
menurun. Ketika perusahaan memiliki tata kelola yang baik, maka perusahaan
akan mampu memberikan keputusan keuangan yang baik bagi perusahaan
termasuk keputusan dalam menggunakan produk derivatif sebagai alat manajemen
risiko. Tata kelola perusahaan yang baik akan mendukung penggunaan produk
derivatif oleh perusahaan, sehingga risiko perusahaan akan mengalami penurunan.
Oleh karena itu, penggunaan produk derivatif diduga memiliki peran mediasi
antara tata kelola perusahaan dan risiko perusahaan.
Pada literatur mengenai risiko perusahaan dan penggunaan produk
derivatif masih terdapat beberapa kelemahan maupun celah yang perlu
diperhatikan untuk perkembangan wawasan akademisi dan praktisi. Penelitian ini
diusulkan untuk menutupi celah-celah penelitian yang ada. Celah penelitian
pertama adalah sejauh ini literatur belum menganalisis mengenai bagaimana
pengaruh pendidikan dewan komisaris terhadap risiko perusahaan dan keputusan
penggunaan produk derivatif. Lantara (2012) menyatakan bahwa latar belakang
pendidikan dewan komisaris merupakan suatu faktor yang perlu dipertimbangkan
dalam keputusan perusahaan untuk penggunaan produk derivatif. Penelitian ini
akan menjadi penelitian pertama yang memasukkan pendidikan dewan komisaris
sebagai indikator dari tata kelola perusahaan yang mempengaruhi risiko
perusahaan dan penggunaan derivatif oleh perusahaan.
Dalam literatur masih terdapat perbedaan hasil (divergensi) pada saat
menjelaskan pengaruh penggunaan produk derivatif terhadap risiko perusahaan.
22
Teori klasik dari Modigliani dan Miller (1958) mengungkapkan bahwa
penggunaan produk derivatif dengan cara hedging tidak relevan jika pasar modal
sempurna. Namun, teori ini tidak berlaku jika salah satu asumsi pasar modal
sempurna dilanggar, seperti tidak adanya pajak, biaya financial distress dan biaya
transaksi. Bukti empiris mengungkapkan hasil yang beragam mengenai pengaruh
penggunaan produk derivatif terhadap risiko perusahaan. Oleh karena itu, celah
kedua yang diisi dalam penelitian ini adalah untuk memberikan bukti empiris
terbaru mengenai bagaimana pengaruh penggunaan produk derivatif terhadap
risiko perusahaan.
Konteks penelitian mengenai manajemen risiko dengan menggunakan
produk derivatif selama ini lebih banyak dilakukan di negara maju (Fox et al.,
1997; Allayannis dan Ofek, 2001; Kim et al., 2008; Supanyanij dan Strauss, 2010;
Gatopoulos dan Louberge, 2013). Penelitian mengenai penggunaan produk
derivatif di negara berkembang seperti Indonesia sangat diperlukan dan akan
memberikan wawasan baru kepada seluruh pelaku pasar untuk pengembangan
strategi dalam menggunakan produk derivatif di negara berkembang yaitu
Indonesia. Hal ini menjadi celah penelitian yang ketiga.
Penelitian yang menjadikan penggunaan produk derivatif sebagai mediasi
antara kinerja keuangan dan tata kelola perusahaan terhadap risiko perusahaan,
masih terbatas. Celah keempat penelitian ini terkait dengan konseptualisasi model
penelitian. Penelitian ini mencoba menemukan apakah penggunaan produk
derivatif dapat berperan sebagai mediasi antara kinerja keuangan dan tata kelola
perusahaan terhadap risiko perusahaan.
23
Berbagai macam risiko yang harus dihadapi perusahaan saat ini,
mendorong pentingnya penelitian mengenai risiko perusahaan. Risiko perusahaan
dapat dikelola dengan menggunakan produk derivatif. Risiko perusahaan juga
sangat dipengaruhi oleh kinerja keuangan dan tata kelola perusahaan. Selain itu,
hasil empiris juga menunjukkan adanya hubungan antara kinerja keuangan dan
tata kelola perusahaan terhadap penggunaan produk derivatif. Penelitian ini
bertujuan untuk menganalisis pengaruh penggunaan produk derivatif, kinerja
keuangan dan tata kelola perusahaan terhadap risiko perusahaan, serta pengaruh
kinerja keuangan dan tata kelola perusahaan terhadap penggunaan produk
derivatif. Selanjutnya, penelitian ini akan menganalisis peran mediasi penggunaan
produk derivatif antara kinerja keuangan dan tata kelola perusahaan terhadap
risiko perusahaan.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang, maka masalah dalam penelitian ini
dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana pengaruh Kinerja Keuangan terhadap Penggunaan Produk
Derivatif?
2. Bagaimana pengaruh Tata Kelola Perusahaan terhadap Penggunaan
Produk Derivatif?
3. Bagaimana pengaruh Kinerja Keuangan terhadap Risiko Perusahaan?
4. Bagaimana pengaruh Tata Kelola Perusahaan terhadap Risiko Perusahaan?
24
5. Bagaimana pengaruh Penggunaan Produk Derivatif terhadap Risiko
Perusahaan?
6. Bagaimana peran Penggunaan Produk Derivatif dalam memediasi Kinerja
Keuangan terhadap Risiko Perusahaan?
7. Bagaimana peran Penggunaan Produk Derivatif dalam memediasi Tata
Kelola Perusahaan terhadap Risiko Perusahaan?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah, maka tujuan yang hendak dicapai dalam
penelitian ini adalah:
1. Menjelaskan pengaruh Kinerja Keuangan terhadap Penggunaan Produk
Derivatif.
2. Menjelaskan pengaruh Tata Kelola Perusahaan terhadap Penggunaan
Produk Derivatif.
3. Menjelaskan pengaruh Kinerja Keuangan terhadap Risiko Perusahaan.
4. Menjelaskan pengaruh Tata Kelola Perusahaan terhadap Risiko
Perusahaan.
5. Menjelaskan pengaruh Penggunaan Produk Derivatif terhadap Risiko
Perusahaan.
6. Untuk membuktikan dan menjelaskan peran Penggunaan Produk Derivatif
dalam memediasi hubungan antara Kinerja Keuangan terhadap Risiko
Perusahaan.
25
7. Untuk membuktikan dan menjelaskan peran Penggunaan Produk Derivatif
dalam memediasi hubungan antara Tata Kelola Perusahaan terhadap
Risiko Perusahaan.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi bagi ilmu
pengetahuan khususnya dalam ilmu manajemen keuangan yang
berkaitan dengan:
a. Memperkaya literatur mengenai teori manajemen risiko, dengan
keterbaruan penelitian yaitu menjelaskan peran penggunaan produk
derivatif dalam memediasi hubungan antara kinerja keuangan dan
tata kelola perusahaan terhadap risiko perusahaan.
b. Memberikan kontribusi empiris tentang kinerja keuangan yang
dapat mempengaruhi penggunaan produk derivatif dalam upaya
untuk menurunkan risiko yang dihadapi oleh perusahaan non-
keuangan di Bursa Efek Indonesia.
c. Memberikan kontribusi empiris mengenai konsep tata kelola
perusahaan, yang terdiri dari kepemilikan manajerial, proporsi
komisaris independen dan pendidikan komisaris yang dapat
meningkatkan penggunaan produk derivatif dan mengurangi risiko
perusahaan.
26
d. Pengembangan model penelitian yang terintegrasi tentang kinerja
keuangan dan tata kelola perusahaan terhadap penggunaan produk
derivatif dan risiko perusahaan.
1.4.2 Manfaat Praktis
Manfaat praktis yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah:
a. Menambah wawasan bagi Perusahaan Non-Keuangan di Indonesia
mengenai penggunaan produk derivatif, kinerja keuangan dan tata
kelola perusahaan sebagai acuan untuk mengelola risiko sehingga
mereka mampu mengurangi risiko yang dihadapi.
b. Menumbuhkan kepedulian bagi Pemerintah Indonesia untuk
meningkatkan pembangunan pasar derivatif di Indonesia,
khususnya bagi Badan Pengawas Perdagangan Berjangka
Komoditi di bawah Kementrian Perdagangan Republik Indonesia.
c. Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai sumber
informasi dan referensi bagi para peneliti selanjutnya, sebagai
pengalaman pembelajaran dan memperluas wawasan bagi peneliti
sendiri, serta pengembangan keilmuan manajemen keuangan pada
masa yang akan datang.
top related