bab i pendahuluan 1.1. latar belakang 1.1.1. realitas...
Post on 17-Mar-2019
220 Views
Preview:
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
1.1.1. Realitas konflik dan Permasalahannya
Konflik yang terjadi di Maluku sejak Januari 1999 telah menimbulkan
kehancuran dan penderitaan yang berkepanjangan.1 Konflik tersebut dibagi dalam
4 tahapan yakni : Januari 1999, Juli 1999, Desember 1999 dan Juni 2000-2002.2
Korban jiwa yang ditimbulkan selama konflik lebih dari 10.000 orang, 500.000
pengungsi yang tersebar, 500 gedung ibadah dan 60.000 rumah yang musnah,
ratusan sekolah, rumah sakit, fasilitas pendidikan, perkantoran pemerintahan dan
pusat perekonomian yang hancur.3 Konflik tersebut bukan saja menimbulkan
korban jiwa dan harta benda tetapi juga mengakibatkan tekanan psikologis yakni
rasa takut, trauma dan kesedihan akibat berbagai tindakan kekerasan yang terekam
dalam ingatan dan sulit dilupakan.
Dalam kenyataannya para ahli mencoba mengkaji tentang latar belakang
terjadinya konflik di Maluku. Berbagai pendapat yang dikemukakan juga berbeda-
beda bergantung dari sudut pandang/analisa mereka terhadap konflik yang terjadi.
Dari berbagai pemaparan terhadap konflik dan analisanya menurut para ahli,
1 Menurut Lambang Trijono konflik di Maluku merupakan konflik terburuk bila dibandingkan dengan konflik yang terjadi di berbagai wilayah di Indonesia yakni Posso, Kalimantan Barat dan Timur, Aceh dan Papua. Lambang Trijono & P.Tanamal (ed), The Making of Ethnic and Religious Conflicts in Southeast Asia : Case and Resolutions, CSPS , Yogyakarta; 2004, p. 231. 2 J. Manuputty, “Konflik Maluku” dalam Lambang Trijono (ed), Potret Retak Nusantara,- Studi Kasus terhadap Konflik di Indonesia, Yogyakarta: CSPS Books, 2004, h.109-121. Bdk. Lambang Triyono, Keluar dari Kemelut Maluku, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2001, h. 37-63. 3 Ibid, p. 108.
2
paling tidak dipetakan 4 faktor penyebab terjadinya konflik antara Salam dan
Sarani4 di Maluku.
Pertama, penyebab konflik adalah faktor politik. Pandangan tersebut
menyatakan bahwa konflik yang terjadi antara Muslim dan Kristen di Maluku erat
kaitannya dengan kepentingan atau rekayasa elit politik baik di tingkat pusat
maupun di tingkat lokal.5 Bahwa kerusuhan yang terjadi di Maluku termasuk di
beberapa daerah lainnya seperti Aceh dan Timor tidak dapat dipisahkan dari
situasi dan pengaruh perpolitikan pada tataran elit politik di tingkat pusat maupun
di daerah.
Kedua, konflik Maluku terkait dengan faktor ekonomi. Pandangan ini
salah satunya dikemukakan oleh J. Manuputty.6 Menurutnya, tidak merata proses
pembangunan dari pemerintah pusat menyebabkan sebagian besar masyarakat
hidup dalam kemiskinan dan keterbelakangan. Tingginya angka ketergantungan
dari pemerintah lokal terhadap pemerintah pusat yang bersifat sentralistik
menimbulkan kesenjangan ekonomi antar wilayah dan masyarakat semakin
melebar.7 Krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1999 dan kerusuhan semakin
mempertajam kesenjangan ini. 8
4 Salam menunjuk kepada masyarakat yang beragama Muslim sedangkan Sarani menunjuk kepada masyarakat yang beragama Kristen. 5 Stokhof dan Murni Jamal (ed), Konflik Komunal di Indonesia Saat ini, Jakarta : INIS, 2003, h 71. Bdk. John Piris, Tragedi Maluku : Sebuah Krisis Peradaban, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2004, h. 154. 6 J. Manuputty, “Konflik Maluku” dalam Lambang Trijono (ed), Potret Retak Nusantara,- Studi Kasus terhadap Konflik di Indonesia, Yogyakarta: CSPS Books, 2004, h 78-79. 7 Ibid. Bdk. Lambang Triyono, Keluar dari Kemelut Maluku, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2001, h. 26. 8 Salah satu isu konflik etnis antar Ambon asli dan Ambon pendatang saat dibakarnya pasar Batu Merah (lokasi Muslim) turut juga berakar pada kesenjangan sosial-ekonomi. Lambang Trijono, Keluar dari Kemelut Maluku, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2001, h. 43
3
Ketiga, faktor budaya. Hal ini terkait dengan kebijakan pembangunan
yakni pemberlakuan UU No 4 tahun 1974 tentang pokok-pokok Pemerintahan
Daerah dan UU No 5 tahun 1979 tentang sistim Pemerintahan Desa turut
menciptakan guncangan kebudayaan akibat perubahan radikal dan struktur dan
tatanan masyarakat adat.9 Hal ini didukung pula oleh pesatnya perkembangan
Ilmu dan teknologi sehingga melemahnya sistim adat dan terjadi pergeseran nilai
dan perilaku sehingga masyarakat teralienasi dari budayanya.
Keempat, faktor agama. Pandangan ini mengatakan konflik Maluku
sebagai konflik agama. Salah satunya Suedy Marasabessy yang mengatakan
bahwa pada saat konflik, agama sangat berperan menjadi pemicu dalam
melanggengkan terjadinya konflik yang berkepanjangan.10 Bahkan jika
dibandingkan dengan isu-isu lainnya, isu konflik agama merupakan salah satu isu
yang dominan sehingga mengkondisikan masyarakat berhadap-hadapan dan saling
membantai.11 Simbol-simbol agama digunakan sebagai alat untuk saling
menyerang satu dengan yang lainnya. Militansi pembelaan terhadap agama
dikedepankan sebagai justifikasi untuk membantai komunitas yang beragama lain
bahkan penafsiran-penafsiran Kitab Suci digunakan secara bebas untuk
membangun klaim-klaim pembenaran terhadap keharusan perang suci.12
Dari realitas konflik dan permasalahannya yang telah penulis paparkan
secara umum di atas, maka fokus perhatian penulisan ini akan dibatasi pada
9 J. Manuputty, “Konflik Maluku” dalam Lambang Trijono (ed), Potret Retak Nusantara,- Studi Kasus terhadap Konflik di Indonesia, Yogyakarta: CSPS Books, 2004, h. 83-85. 10 Suedy Marasabessy (ed), Maluku Baru, Jakarta: 2002, h. 29-33. 11 J. Manuputty, “Konflik Maluku” dalam Lambang Trijono (ed), Potret Retak Nusantara,- Studi Kasus terhadap Konflik di Indonesia, Yogyakarta: CSPS Books, 2004, h. 130. 12 Ibid.
4
pembacaan teks-teks Kitab Suci selama konflik. Hal ini disebabkan karena
pembacaan tersebut menimbulkan problematik secara etis maupun teologis.
Bertolak dari problematik tersebut maka dibutuhkan suatu kajian yang lebih
mendalam terhadapnya.
1.1.2. Pembacaan Teks-teks Kitab Suci selama Konflik dan Rekonsiliasi
Selama konflik, teks-teks Alkitab yang bernuansa kekerasan sering
dibaca untuk melegitimasi tindakan kekerasan terhadap komunitas lain ketika
diserang. Teks-teks tersebut di antaranya teks-teks perang (Perjanjian Lama) yang
mengisahkan peperangan bangsa Israel melawan bangsa sekitarnya, teks-teks
yang berisi gambaran Allah sebagai divine warrior atau pahlawan perang. Teks-
teks tersebut sangat diminati oleh pembaca selama konflik. Sedangkan dalam
Perjanjian Baru, salah satu teks yang biasa digunakan yakni teks kematian dan
kebangkitan/kemenangan Yesus. Teks-teks tersebut mendorong mereka untuk
berjuang melawan musuh mereka (komunitas Muslim). Terkait dengannya
terkadang simbol-simbol agama digunakan untuk melegitimasi berbagai tindakan
peperangan yakni Kitab Suci13, lagu-lagu/nyanyian14, lambang/gambar dan
pakaian.15 Sebelum terjadinya konflik, teks-teks tersebut jarang bahkan tidak
pernah dimaknai secara demikian. Tetapi selama konflik, teks-teks tersebut
digunakan untuk membenarkan berbagai tindakan mereka. Dalam kenyataannya
pembacaan dan pemaknaan terhadap teks-teks tersebut hanya bersifat fungsional
yakni berlangsung selama konflik. Setelah konflik, pembacaan terhadap teks-teks 13 Hal ini nampak dari penggunaan Kitab Suci selama konflik di saku-saku kemeja, celana, dll. 14 Salah satu lagu yang dinyanyikan selama konflik adalah lagu Laskar Kristen Maju. 15 Pakaian yang digunakan menunjuk kepada identitas masing-masing. Putih adalah simbol dari komunitas Muslim sedangkan hitam, merah atau ungu menunjuk komunitas Kristen.
5
perang untuk melegitimasi kekerasan juga mengalami perubahan. Terhadap cara
membaca teks-teks Alkitab yang dilakukan selama konflik, membutuhkan adanya
suatu tanggapan kritis.
Penulis beranggapan bahwa pembacaan dan pemaknaan terhadap teks-
teks Kitab Suci selama konflik tidak dapat dipisahkan dari situasi sosial mereka
yakni situasi konflik dan penderitaan. Berdasarkan kesadaran inilah, penulis
mendalami tesis ini yakni pembacaan teks-teks Alkitab selama konflik dan
rekonsiliasi. Perhatian penulis ini didasarkan atas : 1) Kesadaran akan
situasi/konteks pembaca yakni konteks kekerasan dan penderitaan; 2) Realitas
keberadaan Muslim-Kristen di Maluku; 3) Adanya keprihatinan terhadap
persoalan-persoalan kemanusiaan yang terjadi; 4) Perhatian penulis terhadap
pembacaan Alkitab terkait dengan perbaikan kehidupan bersama antar umat
beragama.
Asumsi yang dimunculkan yakni adanya hubungan erat antara
pembacaan teks-teks Kitab Suci selama konflik dan rekonsiliasi. Pembacaan teks-
teks Kitab Suci selama konflik tak dapat dipisahkan dari pengalaman, nilai,
tradisi/budaya pembaca yakni masyarakat Maluku. Lewat suatu pendalaman
terhadap konteks pembaca, penulis akan melakukan suatu analisis terhadap
pembacaan teks-teks Alkitab yang dilakukan oleh pembaca.
1.1.3. Sekelumit tentang Rekonsiliasi
Dalam penulisan ini penulis akan menggunakan ilmu sosial (sosiologi)
sebagai salah satu pendekatan untuk tafsir teks-teks Alkitab. Dengan mengacu
pada sumbangan teori rekonsiliasi, penulis berupaya mendalami dan menganalisa
6
gejala sosial dan perilaku manusia dalam teks-teks yang akan ditafsir maupun
dalam konteks sosial pembaca sekarang. Membicarakan tentang rekonsiliasi
mencakup suatu pengertian yang sangat luas sebab ada banyak defenisi yang
diungkapkan oleh para ahli. Oleh sebab itu penulis akan memberikan pembatasan
tentang pengertian rekonsiliasi dan cakupannya menurut para ahli.
Dalam kamus Bahasa Indonesia, istilah rekonsiliasi menunjuk kepada
suatu tindakan untuk memulihkan persahabatan pada keadaan semula atau suatu
upaya untuk menyelesaikan perbedaan.16 A.Yewangoe mengungkapkan
rekonsiliasi mencakup 3 (tiga) dimensi yakni pemulihan hubungan dengan Allah,
pemulihan relasi dengan sesama dan pemulihan hubungan dengan
lingkungan/alam.17
Membicarakan rekonsiliasi tidak dapat dipisahkan dari situasi konflik
sebab dari situlah rekonsiliasi berawal. Rekonsiliasi tercakup di dalamnya
resolution conflict yakni suatu penyelesaikan konflik dengan memusatkan
perhatian kepada sumber atau akar konflik.18 Dalam resolusi konflik perhatian
kita terarah kepada masalah keadilan, masalah persamaan dan harkat
16 Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ke 3, Jakarta: Balai Pustaka, 2003, h.942. Pengertian tersebut identik dengan kata perdamaian yang diterjemahkan dari kata Inggris reconciliation artinya suatu upaya untuk menyatukan 2 atau lebih gagasan/ide, situasi, dengan pihak lain atau menunjuk kepada akhir perpecahan. Lht.Oxford Advanced Learner’s Dictionary, Edisi ke 5, New York : Oxford University Press, 1995, p. 974. Dalam bahasa Yunani, istilah yang digunakan untuk rekonsiliasi yakni kattalasso yang artinya menukar, yang menunjuk kepada suatu pemulihan antara manusia dengan Tuhan. H.G. Link & C. Brown (ed) dalam The International Dictionary of New Testament Theology, Vol 3, Grand Rapids: Pateroster Press, 1987, p. 166. Sedangkan Alan Richardson & John Bowden mendefenisikan rekonsiliasi sebagai suatu perubahan yang dicapai lewat tindakan atau pembayaran jaminan dari partner-partner yang sedang dalam persoalan untuk mencapai suatu keharmonisan. Alan Richardson & John Bowden, The International Dictionary of New Testament Theology, Vol 3, Grand Rapids: Pateroster Press, 1987, p. 166. 17 A.Yewangoe, Pendamaian, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1983, h. 3. 18 Hugh Miall (dkk), Resolusi Damai Konflik Kontemporer, Menyelesaikan, Mencegah, Mengelola dan Mengubah Konflik Bersumber Politik, Sosial, Agama dan Ras, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002, h 31.
7
kemanusiaan, masalah penyelesaian konflik bagi keseimbangan dan pengendalian
ekologis.19 Terkait dengan permasalahan tersebut langkah-langkah resolusi
konflik mencakup de-eskalasi konflik, proses negosiasi sampai kepada
pembangunan damai (peace building).20
Mencari de-eskalasi konflik adalah langkah awal dari tahapan
penyelesaian konflik. Upaya tersebut dilakukan karena adanya konflik bersenjata
memakan korban jiwa sehingga proses resolusi konflik terpaksa bergandengan
dengan militer. Sedangkan proses negosiasi adalah tahapan dalam resolusi konflik
yang melibatkan, baik pihak-pihak yang bersengketa maupun pihak ketiga untuk
mencari kesepakatan antar aktor-aktor konflik. 21 Para ahli membedakan ada dua
pendekatan dalam negosiasi yakni pendekatan integratif atau positive-sum dan
pendekatan tawar menawar atau zero-sum. Pendekatan integratif menunjuk
kepada suatu upaya merekonsiliasi posisi sengketa kemudian memenuhi
kepentingan, nilai dan keperluan mendasar sedangkan pendekatan tawar menawar
terkait dengan pemberian kompensasi (ganti rugi).22 Menurut Hugh Miall proses
negosiasi adalah suatu titik balik/titik perekat menuju proses damai, tidak akan
19 Ibid, p. 59. 20 Ibid, h.191-297. Bdk Komnas HAM, “Empat Tahapan Resolusi Konflik menurut Komnas HAM”, http://www.komnasham.or.id.publikasiwacana/no 09 thn II.htm.17 Juni 2004. 21 Proses negosiasi mencakup 4 (empat) model yakni represi, arbitrasi, mediasi dan negosiasi. Istilah represi menunjuk kepada peranan salah satu pihak yang menentukan di antara ke dua belah pihak yang terlibat dalam konflik; arbitrase yakni adanya pihak ketiga yang tiba-tiba muncul dan menentukan dalam penyelesaian konflik di antara ke dua belah pihak yang bertikai; mediasi terjadi jika adanya campur tangan pihak ketiga dalam penyelesaian konflik di antara dua belah pihak yang berkonflik dan proses penyelesaiannnya ditentukan oleh pihak-pihak yang terlibat dalam konflik; sedangkan istilah negosiasi sendiri menunjuk adanya keterlibatan langsung antara pihak-pihak yang terlibat konflik dalam proses penyelesaian konflik. Bdk. Hasil Lokakarya Pusat Studi dan Pengembangan Perdamaian (PSPP), Pemberdayaan untuk Rekonsiliasi, Yogyakarta: Duta Wacana University Press, 1999. 22 Hugh Miall (dkk), Resolusi Damai Konflik Kontemporer, Menyelesaikan, Mencegah, Mengelola dan Mengubah Konflik Bersumber Politik, Sosial, Agama dan Ras, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002, h. 268.
8
berjalan dengan baik jika tidak ada respons timbal balik di antara ke dua belah
pihak yang bertikai. Itulah sebabnya mengawali proses tersebut, mesti ada
tawaran kepada ke dua belah pihak yang terlibat yakni melakukan gencatan
senjata atau melanjutkan kekerasan. Menolak gencatan senjata maka kekerasan
akan terus berlanjut sebaliknya memilih gencatan senjata adalah suatu titik balik
menuju proses damai.23
John Paul Lederach24 mengatakan bahwa rekonsiliasi mencakup suatu
upaya transformasi konflik yang mencakup aspek personal yakni spiritual,
emosional, psikis dan persepsi; aspek relasional yakni menyangkut
relasi/hubungan; aspek struktural yakni menemukan akar konflik dan situasi sosial
serta mengupayakan mekanisme non kekerasan sehingga mengurangi terjadinya
konfrontasi dan menemukan kebutuhan dasar manusia (kebenaran dan keadilan);
aspek kultural (tradisi/budaya yang dimulai dari masyarakat).
Bagi Daan Bronkhost upaya rekonsiliasi mesti berorientasi pada victims
serta upaya-upaya rehabilitasi hak dan martabat mereka.25 Berbagai tindak
kekerasan dan kejahatan telah melahirkan kehancuran dan penderitaan yang
mendalam. Sehingga lewatnya para korban diberikan kesempatan untuk
23 Ibid. p.263-268. 24 John Paul Lederach, The Little Book of Conflict Transformation, Intercourse: Good Books, 2003, p.14, 27. Menurutnya transformasi konflik sebagai suatu upaya mengimpikan dan respon untuk menyurutkan dan mengelola konflik sosial sebagai peluang yang memberikan kehidupan demi menciptakan suatu perubahan konstruktif yang mereduksikan kekerasan, menambah keadilan dalam interaksi langsung dengan struktur sosial dan jawaban untuk persoalan-persoalan yang riil dalam relasi manusia. Bdk. Carolyn Schrock-Shenk (Ed.), Mediation and Facilitation Training Manual-Foundation and Skills for Constructive Conflict Transformatiuon, fourth edition, Pennsylvania: Mennonite Conciliation Service, 2000, p. 51-83. 25 Daan Bronkhorst, Truth and Reconciliation, Obstacle and Opportunities for Human Rights, Trans by. Tim Penerjemah ELSAM, Amsterdam: Amnesty Internasional Dutch Section, 1995, p. 126-129. Bdk Geiko Muller-Fahrenholz, Pengampunan Membebaskan : Pengampunan dan Rekonsiliasi dalam Masyarakat,, trans by. Yosef Florisan & Georg Kichberger, Maumere : Lembaga Pembentukan Berlanjut Arnold Jansen, 1999, h.117.
9
menceritakan pengalaman-pengalaman pahit (luka, benci/marah, dukacita)
mereka yang selanjutnya akan membawa kepada pengampuan. Oleh sebab itu
bagi R. J. Schreiter, rekonsiliasi tanpa pengampunan bukanlah rekonsiliasi, sebab
pengampunan akan membuka jalan bagi proses rekonsiliasi.26 Menurut Geiko F.
Muller, pengampunan bukan berarti melupakan pengalaman pahit masa lalu
sebab pengalaman-pengalaman pahit tersebut tidak dapat sekejap hilang dalam
lubang pelupaan kita.27 Sehingga berbicara tentang pengampunan erat kaitannya
dengan proses mengingat.28 Artinya relasi antara pengampunan dan perihal
mengingat akan memancarkan cahaya baru tentang pengampuan sebagai suatu
proses yang membebaskan orang dari rantai rasa bersalah dan rasa malu masa
lampau, supaya memulai jalan yang lebih konstruktif menunju masa depan.
Menurut Paulus S. Widjaja, komitmen untuk rekonsiliasi tak akan
pernah terwujud jika proses pengampunan diabaikan.29 Terkait dengannya Paulus
S. Widjaya membagi pengampunan dan rekonsiliasi menurut Donald W. Shriver
dalam 4 (empat) elemen penting yakni : 1) Penilaian moral yakni proses
pengampunan yang diawali dengan tindakan mengingat kejahatan yang telah
terjadi dan memberikan penilaian moral atas kejahatan tersebut secara tegas dan
gamblang. Hal ini bertujuan dalam rangka meyakinkan para korban bahwa pelaku
telah benar-benar bercerai dengan masa lalu dan diikuti dengan pengakuan akan
26 Robert J.Schreiter, “Reconciliation and Forgiveness in Twenty-First Century Mission”, dalam Rein Fernhout dkk (ed), Fullness of Life For All, Challenges for Mission in Early 21st Century, Amsterdam-New York: NY, 2003, p. 191-216. 27 Geiko Muller-Fahrenholz, Pengampunan Membebaskan,Pengampunan dan Rekonsiliasi dalam Masyarakat, Maumere : Lembaga Pembentukan Berlanjut Arnoldus Janssen, 1999, h. 54-58. 28 Ibid. 29 Paulus S. Widjaja, “Rekonsiliasi Antar Umat Beragama, Refleksi Pengalaman Lapangan”, dalam Basilica Dyah Putranti & Asnath N. Natar (ed), Perempuan, Konflik dan Rekonsiliasi, Perspektif Teologi dan Praktis, Yokyakarta: Pusat Studi Feminis Universitas Kristen Duta Wacana, 2004. h.69-71.
10
kesalahan serta permohonan pengampunan; 2) Penolakan upaya balas dendam; 3)
Empati, yakni suatu sikap mengakui dan turut merasakan apa yang di alami oleh
pihak lain baik terhadap pelaku maupun korban. Sikap tersebut didasarkan oleh
kasih yang membuka jalan bagi proses pengampunan; 4) Rekonsiliasi dan
restorasi hubungan yang rusak.
C. Villa Vicencio mengungkapkan bahwa rekonsiliasi merupakan
Telling One Another Stories yakni suatu proses saling bercerita satu dengan yang
lainnya.30 Cerita/kisah tersebut adalah cerita yang benar (true stories), cerita
tentang rahasia kehidupan yakni tentang peristiwa-peristiwa yang melukai dan
menyembuhkan, cerita yang memberikan kehidupan dan kematian. Lewat proses
saling bercerita maka kita dapat belajar untuk mengerti kisah atau cerita orang
lain, untuk belajar mengasihi orang lain dan untuk memaafkan mereka yang
melakukan kejahatan sehingga rekonsiliasi dapat dimulai. Proses mana menurut
Vicencio erat kaitannya dengan persoalan spiritualitas.31
Menurut R. Schreiter, membicarakan warta rekonsiliasi Kristen tidak
dapat dipisahkan dari karya/Anugerah Allah sehingga lewatNya para korban
memperoleh kekuatan untuk bergiat dalam upaya rekonsiliasi.32 Bertolak dari
pemikiran inilah menurut Schreiter rekonsiliasi merupakan sebuah spiritualitas
yang mencakup suatu panggilan atau cara hidup yang mendorong sesorang untuk
terlibat dalam kegiatan/upaya rekonsiliasi. Bagi Schreiter, sebagai suatu
30 Charles Villa-Vicencio, “Telling One Another Stories”, dalam Gregory Baum & Harold Wells (ed), The Reconciliation of Peoples, Challenge to the Churches, New York: Orbis Books, 1997, p. 30-40. 31 Ibid, p.37-38. 32 Robert J. Schreiter, Rekonsiliasi Membangun Tatanan Masyarakat Baru, NTT: Nusa Indah, 2000, h. 47-49.
11
spiritualitas, rekonsiliasi mencakup sikap mendengar dan menunggu, sikap
perhatian dan keprihatinan serta sikap mental pasca pembuangan. 33
1.1.4. Teks-Teks Yang Dibaca Selama Konflik, Sebuah Acuan
Ada 2 bagian teks yang digunakan sebagai ajuan dalam penulisan ini
yakni : teks perang dalam Ulangan 20 :1-20 dan teks kebangkitan Yesus dalam
Lukas 24:1-35. Penulis akan melakukan telaah terhadap teks-teks tersebut dengan
masukan ilmu sosial yang menurut penulis mengandung nilai-nilai rekonsiliasi
dan perlu digali secara mendalam dari konteks pembaca. Teks-teks tersebut
memang belum pernah dikaji secara mendalam oleh para penafsir dari perspektif
pembaca yakni rekonsiliasi.
Yongki Karman34 dalam tulisan tentang teks-teks perang mengusulkan
adanya dua tahapan dalam penafsiran teks-teks tersebut, pertama yakni menafsir
teks-teks perang dalam kerangka kerajaan Allah; kedua menafsirkannya dari
tuntutan hak-hak asasi modern di mana visi damainya dikembangkan. Apa yang
dipaparkan oleh Karman (point kedua) dapat dijadikan sebagai ajuan dalam
mendalami teks-teks perang dari perspektif pembaca yakni rekonsiliasi.
Sedangkan upaya mendalami teks kebangkitan/kemenangan dalam Lukas 24:1-35 33 (1) Sikap mendengar dan menunggu, suatu sikap di mana para korban menceritakan kisah hidup mereka dalam membangun suatu kisah hidup yang baru. Sikap menunggu menunjuk kepada suatu sikap aktif untuk menjadi tenang dan memberkan kesempatan untuk kenangan masa lalu muncul sambil menantikan rahmat pendamaian Allah; (2) Sikap perhatian dan keprihatinan. Sikap perhatian menunjuk kepada suatu sikap yang diarahkan kepada Allah tetapi juga menyembuhkan kenangan yang sakit. Sedangkan sikap keprihatinan atau compassio yakni merasakan dan menderita bersama. Sikap ini bertumbuh dari sikap menunggu dan berada bersama untuk berjalan berdampingan dengan korban dalam derap langkahnya; (3) Sikap mental pasca pembuangan, terkait erat dengan tulisan-tulisan Alkitab pasca pembuangan yang perlu direnungkan sehingga memberikan spiritualitas rekonsiliasi makanan rohani. Sehingga lewatnya rekonsiliasi mengalir dari dalam hati dan jiwa setiap orang. Ibid, p. 74-77. 34 Yongki Karman, “Perang: Problem Teologis dan Reinterpretasi” dalam Bunga Rampai Teologi Perjanjian Lama, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004, h.161.
12
memang pernah didalami secara khusus oleh Robert Schreiter.35 Apa yang
dipaparkan oleh Schreiter ini memberikan peluang dalam mendalami pembacaan
teks-teks Kitab Suci dari pengalaman pembaca di Maluku.
Adapun alasan sehingga penulis mengangkat ke 2 teks ini yakni : 1)
Teks-teks tersebut bernuansa kekerasan yang digunakan oleh para pembaca dalam
konteks konflik. Ulangan 20 :1-20 berisi hukum-hukum perang yang dibaca oleh
para pembaca untuk memberikan spirit dalam berperang. Demikian juga Lukas 24
:1-35 yakni teks pengorbanan Yesus (peristiwa kebangkitan/kemenanganNya
dalam menghadapi kematian/maut; 2) Teks-teks tersebut jika dikaitkan dengan
konteks pembaca dpat memberi masukan bukan saja dalam konteks
konflik/perang tetapi juga penderitaan sebagai akibat yang ditimbulkan
konflik/perang; 3) Ke dua teks tersebut saling melengkapi satu dengan yang
lainnya jika dibaca dari perspektif rekonsiliasi dengan mempertibangkan konteks
pembaca dan keprihatinannya. Teks PL, Ulangan 20:1-20 mencakup realitas
konflik dan penyebabnya sebagai konteks rekonsiliasi, upaya-upaya
menghentikan konflik (resolusi konflik) sampai proses negosiasi, upaya
perlindungan terhadap hak-hak manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan sedangkan
teka PB, berfokus pada upaya pembangunan damai/rekonsiliasi yang mencakup
dimensi personal dan relasional yang mana saling melengkapi dan memberikan
masukan bagi konteks pembaca.
Upaya mendalami teks-teks Kitab Suci dari pengalaman pembaca
setidaknya turut didukung oleh adanya diskursus penafsiran Alkitab yang
35 Robert J. Schreiter, Pelayanan Rekonsiliasi : Spiritualitas dan Strategi, Flores : Nusa Indah, 2001, h.40-81.
13
mengacu pada perspektif pembaca. Di bawah ini penulis akan memberikan
gambaran sekilas menyangkut signifikansi dari penafsiran tersebut.
1.1.5. Signifikansi Metode atau Pendekatan Tafsir dan Tujuan
1.1.5.1. Sekilas Tentang Pendekatan Tafsir
Dalam proses penafsiran dikenal berbagai metode atau pendekatan tafsir.
Pandangan yang dikemukakan oleh para ahli juga berbeda-beda menyangkut
metode atau pendekatan tafsir terhadap Kitab Suci.36 Robert Setio mengemukakan
pembagian penafsiran menurut M.H. Abrams dalam 4 (empat) tipe sebagai
berikut37 : 1) Mimetic yakni teks Alkitab dipahami sebagai representasi dari suatu
realitas; 2) Expressive yang menjadikan pengarang atau penulis sebagai pusat atau
fokus perhatian; 3) Objective yang memusatkan perhatian kepada teksnya sebagai
dirinya sendiri secara objektif yakni nilai teks apa adanya; 4) Pragmatic yakni tipe
penafsiran yang memusatkan perhatian kepada pembaca. Dalam pendekatan
pragmatis, yang dibahas adalah bagaimana efek cerita bagi pembaca, bagaimana
pikiran pembaca dibentuk dan diarahkan oleh narator sehingga akhirnya pembaca
akan menyetujui pemikiran tertentu atau mendukung serta mau mempraktekkan
nilai tertentu atau sebaliknya menolak bahkan membenci pemikiran atau nilai
yang bertentangan. Bertolak dari tipe-tipe penafsiran di atas maka dalam
36 George Aichele dkk mengemukakan setidaknya ada 7 pendekatan yakni kritik respon pembaca, kritik strukturalis dan narratologis, kritik post-strukturalis, kritik retoris, kritik psikoanalisis, kritik feminis dan kritik ideologis. George Aichele (ed), The Postmodern Bible, The Bible And Culture Collective, London: Yale University Press, 1995. Sedangkan Sandra Schneiders menyebutkan pendekatan historis, pendekatan literer, pendekatan psikologis dan sosiologis, pendekatan kritik ideologis, pendekatan theologis, religius dan spiritualitas. 37 Robert Setio, “Membaca Alkitab Secara Pragmatis”, dalam Forum Biblika No 11, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000, h.52-54.
14
penulisan ini, penulis akan menggunakan pendekatan hermeneutik yang
berorientasi kepada pembaca (point 4).
Pendekatan hermeneutik yang mengacu kepada pembaca (reader-
oriented) juga memiliki berbagai keragaman menurut para ahli. John Hayes
menjelaskan kritik respon pembaca sebagai suatu pendekatan dalam penafsiran
yang memberikan penekanan pada pembaca beserta nilai-nilai mereka, sifat,
respon yang dimiliki oleh pembaca. 38
Dalam kenyataannya ada berbagai keragaman pemikiran para ahli dalam
kritik respon pembaca sehingga dalam penulisan ini penulis akan mengacu kepada
pemetaan yang dilakukan oleh Steven Mailloux.39 S. Mailloux berupaya
memetakan kritik respons pembaca dalam tiga model yakni model psikologi atau
subjektif dengan tokohnya David Bleich dan Norman Holland; model interaktif
atau penomenologis dengan tokohnya Wolfgang Iser; dan model sosial atau
model struktural dengan tokohnya Stanley Fish. Dengan mengacu pada
pandangan di atas, penulis akan mengfokuskan perhatian pada model sosial.
1.1.5.2. Makna Dalam Pembaca dan Komunitas Interpretatif
Salah satu tokoh yang dikenal dalam teori respon pembaca dengan
pandangannya yang sangat kontroversial yakni Stanley Fish yang memberikan 38 John Hayes memperhadapkan berbagai variasi yang terdapat pada kritik respon pembaca dengan beragam penekanan, ada yang menekankan pada pembaca otonom, pembaca tersirat, kritik penerimaan pembaca, kritik respon-estetis, ada yang menekankan pendekatan psikologis bahkan ada pandangan yang radikal pada respon pembaca. John H.Hayes (ed), Dictionary of Biblical Interpretation, USA: Abingdon Press, 1999, p.372-373. Sedangkan J.Tompkins membagi kritik respon pembaca atas beberapa bagian yakni kritik baru, strukturalis, phenemenologi, subjektif, psikoanalisis dan dekonstruksi. Bdk. Jane Tompkins , “An Introduction to Reader-Response Criticism” dalam Jane Tompkins (Ed.), Reader Response, From Formalism to Post Structuralism Criticism”, London : The Johns Hopkins University Press, 1980, p.ix-x. 39 George Aichele (ed), The Postmodern Bible: The Bible And Cuture Collective, London: Yale University Press, 1995, p. 27.
15
penekanan terhadap meaning dalam proses atau tindakan membaca. Bagi Fish
makna tidak berada dalam teks sebagai objek, makna juga tidak eksis di luar (out
there), melainkan di dalam diri pembaca atau komunitas baca (within). 40
Dengan dilatarbelakangi oleh pemikirannya bahwa tidak ada basis yang
stabil untuk makna, Fish mengatakan tidak ada suatu interpretasi yang selalu
benar dan absolut. Konteks pembacalah yang mempengaruhi apa yang ia
lakukan/kerjakan. Teks-teks yang ditulis merupakan suatu tabularasa, suatu
kertas kosong yang diatasnya pembaca saat membaca dengan preunderstanding
atau prapemahamannya benar-benar menulis teks.41
Menurut Stanley Fish, teks merupakan suatu titik tempat pembaca
memproyeksikan pemahaman dirinya dan berfungsi sebagai “kaca” atau “cermin”
di mana di dalamnya pembaca berefleksi berdasarkan pengalaman-pengalaman
hidup mereka.42 Pandangan Fish ini didasarkan atas epistemiknya bahwa tidak
mungkin kita dapat mengakses suatu maksud sedangkan maksud itu sendiri tidak
eksis dalam lingkup objektif.43 Menurut Fish, aktifitas membaca berada pada
tahap pusat dalam menghasilkan makna. Hal senada ditekankan juga oleh
Wolfgang Iser yang memberikan penekanan terhadap proses hermeneutik sebagai
The Act of Reading dalam rangka menghasilkan makna.44 Bahwa dalam
penafsiran pembaca terlibat secara aktif dalam memberikan makna terhadap
sebuah teks lewat proses pembacaan yang terjadi secara terus menerus sebagai
40 Stanley Fish dalam Chris Lang, “A Brief History of Literary Theory III : Reader-Response Theory of Stanley Fish,”: http://www.xenos.org/essays/litthry4.html, Maret, 2006. 41 Ibid 42 Ibid. 43 Ibid. 44 Bdk. Wolfgang Iser, The Act of Reading, A Theory of Aesthetic Response, London: The Johns Hopkins University Press, 1972.
16
hasil bentukan dari interaksi antara teks dan pembaca. Pandangan S. Fish dan W.
Iser dilatarbelakangi oleh adanya perbedaan dunia dan kultur yang kita miliki
dengan masa lalu sehingga ada gap atau jarak antara dunia para penafsir dengan
dunia penulis.
S. Fish mengatakan pengetahuan itu tidak objektif tetapi selalu
terkonstruksi atau terkondisi secara sosial.45 Makna yang dihasilkan oleh
seseorang selalu terkait erat dengan konteks sosial atau komunitas tempat mereka
hidup dan bukan di luar kultur atau konteks sosial tersebut. Kultur ini ditunjuk
oleh Fish sebagai suatu komunitas interpretatif sehingga strategi interpreter
merupakan bagian dari suatu komunitas lewat suatu kesepakatan berdasarkan
suatu konstruksi.46 Demikian juga dengan cara komunitas hidup bukanlah suatu
refleksi terhadap realitas di luar komunitas tersebut tapi suatu konstruksi yang
dihasilkan berdasarkan suatu konsensus atas realitas yang mereka miliki dan
menjadi kekuatan hanya selama komunitas pembaca terus meyakininya.
Proses hermeneutik yang memberikan penekanan pada respons pembaca
bukan saja berkembang di Barat tetapi juga di Asia. Archie Lee mengatakan
bahwa konteks atau lokasi sosial dari pembaca/penafsir masuk dalam proses
penafsiran secara langsung.47 Menurutnya dalam upaya penafsiran atau
pembacaan teks-teks Akitab, para penafsir mesti memberikan tekanan yang lebih
besar kepada respon pembaca dan tindakan pembacaan terhadap teks-teks Kitab
Suci yang dibentuk oleh interaksi antara teks dan pembaca. Hal mana
45 Stanley Fish dalam Chris Lang, “A Brief History of Literary Theory III : Reader-Response Theory of Stanley Fish”,: http://www.xenos.org/essays/litthry4.html, 2006. 46 Ibid. 47 Archie C.C.Lee, “Biblical Interpretation in Asia Perspectives”, The Asia Journal of Theology, Volume 7, 1993, p.35-39.
17
diungkapkan juga oleh Robert Setio bahwa penafsiran yang berorientasi pada
pembaca mengingatkan kita akan semakin terbukanya muatan-muatan budaya
yang membentuk diri kita sebagai pembaca untuk ikut berperan dalam proses
penafsiran.48
Wacana yang dipaparkan di atas setidaknya dapat menjadi acuan dalam
mendalami pembacaan teks-teks Alkitab selama konflik sehingga lewatnya ada
jalan terbuka bagi penulis untuk melakukan upaya tafsir yang mempertimbangkan
perspektif rekonsiliasi.
1.1.6. Membaca Teks-teks Kitab Suci Dari Perspektif Rekonsiliasi
Memperhatikan teks-teks yang dibaca selama konflik dan metode
penafsiran yang berorientasi kepada pembaca maka penulis menduga bahwa teks-
teks tersebut dapat dibaca secara berbeda dari perspektif rekonsiliasi. Dengan
mempertimbangkan 3 unsur yakni konteks pembaca, teks-teks Kitab Suci dan
ilmu sosial tentang rekonsiliasi maka penulis akan melakukan suatu proses
hermeneutis dalam rangka menghasilkan makna yang berbeda dan baru.
Teks-teks Kitab Suci yang penulis tafsir yakni Ulangan 20 :1-20, diduga
memuat aspek rekonsiliasi mencakup realitas sosial dan penyebabnya, upaya
resolusi konflik yakni penyelesaian konflik dengan cara mengurangi terjadinya
eskalasi konflik, proses negosiasi terhadap pihak-pihak yang terlibat dalam
perang, hambatan dalam proses tersebut dan perlindungan terhadap sesama
manusia dan makhluk hidup lainnya ketika konflik. Sedangkan teks kebangkitan
48 Robert Setio, “Membaca Alkitab Secara Pragmatis,” dalam Forum Biblika, No 11, Jakarta: LAI, 2000, h.52-54.
18
Yesus dapat diperjumpakan dan dibaca dengan mempertimbangkan teori dan
konteks pembaca beserta nilai-nilai yang dimiliki. Pengalaman perjumpaan
dengan Tuhan, proses transformasi baik secara personal maupun relasional lewat
media dialog, pengayaan tradisi/budaya setempat terhadap rekonsiliasi yang
melibatkan pihak-pihak yang berekonsiliasi yang memberikan masukan dalam
memahami upaya pemulihaan atau rekonsiliasi. Penulis akan menggambarkan
proses hermeneutik tersebut dalam diagram di bawah ini :
MEMBACA KITAB SUCI DARI PERSPEKTIF REKONSILIASI
PENAFSIR/PEMBACA
SOSIAL KITAB MASYARAKAT
TEORI
TEKS- TEKS KONTEKS/
SUCI LOKAL
MAKNA AKSI 1.2. PERUMUSAN MASALAH
Tesis ini akan membahas pokok- pokok permasalahan yakni :
19
1. Bagaimana pembaca menggunakan teks-teks Kitab Suci untuk melegitimasi
kekerasan, alasan-alasan yang mendorong pembaca membaca teks-teks
tersebut dan makna teks-teks tersebut bagi pembaca?
2. Bagaimana pembaca menggunakan teks-teks damai selama konflik, alasan-
alasan yang mendorong pembaca membaca teks-teks tersebut dan maknanya
bagi pembaca?
3. Bagaimana perspektif pembaca tentang rekonsiliasi?
4. Bagaimana membaca atau menafsir teks-teks Alkitab yang dibaca selama
konflik dari perspektif rekonsiliasi (Ulangan 20:1-20 dan Lukas 24:1-35).
1. 3. TUJUAN PENULISAN
Tujuan penulisan tesis ini adalah :
1. Mengetahui tentang bagaimana pembaca membaca teks-teks Kitab Suci untuk
melegitimasi peperangan, alasan-alasan yang melatarbelakangi pembacaan
tersebut dan makna pembacaan teks-teks Kitab Suci bagi pembaca.
2. Mengetahui pembaca menggunakan teks-teks damai selama konflik, alasan-
alasan yang mendorong pembaca membaca teks-teks tersebut dan maknanya
bagi pembaca.
3. Mengetahui perspektif pembaca tentang rekonsiliasi.
4. Membaca atau menafsir Kitab Suci dari perspektif rekonsiliasi (Ulangan 20:1-
20 dan Lukas 24:1-35).
1.4. HIPOTESA
Hipotesis yang ingin dibuktikan adalah :
20
1. Teks-teks Kitab Suci yang digunakan selama konflik dapat dibaca dari
perspektif rekonsiliasi dengan mempertimbangkan konteks pembaca dengan
keragaman pengalaman, tradisi, budaya dan keprihatinannya.
2. Teks Ulangan 20:1-20 dan Lukas 24:1-35 memiliki makna yang mendalam
dan baru jika dibaca dari perspektif rekonsiliasi.
3. Penafsiran dari perspektif rekonsiliasi dapat memberikan sumbangsih bagi
upaya rekonsiliasi.
1.5. JUDUL
Penulisan tesis ini diberi judul :
MEMBACA KITAB SUCI DARI PERSPEKTIF REKONSILIASI Proses Hermeneutik yang Mengacu pada Pengalaman Pembaca
yakni Konteks Konflik dan Penderitaan di Maluku
1.6. METODE PENELITIAN
Berdasarkan metode tafsir yang penulis gunakan yakni kritik respons
pembaca, maka penulis akan melakukan proses tafsir terhadap teks Alkitab
dengan mempertimbangkan konteks pembaca. Lewat proses penelitian, penulis
akan memperoleh data-data terkait dengan problematik yang dihadapi yakni
bagaimana pembaca membaca teks-teks Kitab Suci selama konflik untuk
melegitimasi kekerasan, latar belakang pembacaan teks-teks tersebut dan
maknanya bagi pembaca. Selain itu penulis akan juga meneliti tentang perspektif
pembaca tentang rekonsiliasi. Dalam proses penelitian, penulis juga
memperhatikan beberapa hal di bawah ini.
21
1.6.1. Jenis Metode/Pendekatan Analisa
Penulis mengfokuskan penelitian ini pada desa Waai dengan
pertimbangan sebagai berikut : 1) Masyarakat Waai terlibat dalam konflik dengan
menggunakan teks-teks Kitab Suci untuk melegitimasi kekerasan; 2) Masyarakat
Waai adalah korban konflik yakni mengalami penderitaan dan kehancuran akibat
terjadinya konflik; 3) Masyarakat Waai telah kembali ke pemukimannya sehingga
proses damai telah berjalan; 4) Masyarakat Waai adalah masyarakat adat yang
memiliki budaya/tradisi yang terkait dengan rekonsiliasi.
Penulis akan menggunakan pendekatan kualitatif49 dengan metode
observasi partisipatif, di mana penulis akan mengadakan wawancara yang juga
menggunakan data-data dokumenter dan pustaka sebagai sumber sekunder.
Untuk menganalisa data tersebut, penulis akan menggunakan juga tabel atau
angka-angka. Karena terkait dengan tabel atau angka-angka pendekatan kuantitatif
dipakai dalam rangka menunjang perolehan data-data kualitatif.
1.6.2. Teknik Pengumpulan Data dan Analisa Data
Data-data tersebut akan penulis peroleh lewat : 1)Wawancara dengan
informan kunci untuk mengetahui tentang cara membaca teks-teks kitab Suci
selama konflik, latarbelakang pembacaan dan maknanya. Informan kunci adalah
tokoh agama, tokoh-tokoh masyarakat, tokoh adat dan beberapa anggota
masyarakat/jemaat ; 2) Untuk mendukung data-data tersebut, penulis juga
menyebar kuestioner kepada 75 responden dengan kategori: yang terlibat dan
49 Anselm Strauss & Juliet Corbin, Dasar-Dasar Penelitian Kualitatif, Yokyakarta: Pustaka Pelajar, 2003, h. 4-5.
22
tidak terlibat dalam konflik, usia, jenis kelamin/gender, tingkat pendidikan dan
pekerjaan.
Dari data tersebut, penulis akan mengumpulkan, mengatur dan
menganalisanya. Penulis akan melakukan pengecekan kembali data yang
diperoleh kemudian membandingkannya dengan pendapat pribadi, masyarakat
maupun dengan menggunakan juga literatur lainnya. Setelah melakukan
pengumpulan dan penyeleksian data, penulis akan memaparkannya dalam bentuk
deskripsi dan melakukan analisis dan tanggapan terhadap pembacaan teks-teks
tersebut berdasarkan respon pembaca. Akhirnya dengan mempertimbangkan
masukan-masukan dari pengalaman pembaca (konteks), teks-teks Alkitab dan
ilmu sosial maka penulis akan melakukan tafsir secara kritis terhadap teks-teks
Kitab Suci dari perspektif rekonsiliasi.
1.7. SISTEMATIKA PENULISAN
Bab I yakni pendahuluan yang memuat latar belakang, perumusan masalah,
tujuan penulisan, hipotesa, metodologi serta sistimatika penulisan.
Bab II memuat deskripsi dan analisa terhadap pembacaan teks-teks Alkitab oleh
masyarakat Waai serta perspektif lokal tentang rekonsiliasi.
Bab III yakni upaya menafsir 2 teks Alkitab dari perspektif rekonsiliasi yakni
Ulangan 20:1-20 dan Lukas 24:1-35.
Bab IV berisi penutup yang terdiri dari kesimpulan, sumbangan penafsiran dan
beberapa pikiran rekomendatif.
top related